Anda di halaman 1dari 450

DISERTASI

SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI

PULUMUN PETERUS GINTING

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

DISERTASI

SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI

PULUMUN PETERUS GINTING


NIM 109071014

PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI

Disertasi untuk Memperoleh


Gelar Doktor
pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya
Program Pascasarjana Universitas Udayana

PULUMUN PETERUS GINTING


NIM 1090371014

PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

LEMBAR PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI


TANGGAL 17 PEBRUARI 2015
Promotor,

Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.


NIP. 195701131980031001
Kopromotor 1,

Kopromotor 2,

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.


NIP.194409271976021001

Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A.


NIP. 194804121974031001

Mengetahui

Ketua Program Pendidikan Doktor (S3)


Kajian Budaya Program Pascasarjana
Universitas Udayana,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.


NIP. 194807201980031001

Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)


NIP. 195902151985102001

Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup (Tahap I)


Tanggal 17 Pebruari 2015

Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan Surat Keputusan


Rektor Universitas Udayana
Nomor : 531/UN.14.4.5/HK/2015
Tanggal 13 Pebruari 2015

Ketua

: Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.

Anggota

1. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.


2. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U.
3. Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A.
4. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.
5. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.
6. Dr. Putu Sukarja, M.Si.
7. Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si.

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama

: Pulumun Peterus Ginting

NIM

: 109071014

Jurusan/Program Studi

: Kajian Budaya

Fakultas/Program

: Pascasarjana Universitas Udayana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi ini benar-benar merupakan hasil


karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan
pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya
ilmiah yang berlaku.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam
disertasi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lainnya yang
dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai
peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.

Denpasar, Juni 2015


Yang membuat pernyataan,

Pulumun Peterus Ginting

UCAPAN TERIMA KASIH

Mejuah-Juah
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, berkat
lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Spiritualitas
Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi pada Program
Doktor Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar.
Pada kesempatan ini

dengan segala kerendahan hati, penulis

menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang


telah membantu penyelesaian disertasi ini mulai dari persiapan, proses, hingga
promosi. Penelitian dan penyelesaian disertasi ini juga tidak terlepas dari
dukungan dan bantuan semua pihak, baik materi maupun moril kepada penulis.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Made
Suastika S.U. selaku promotor; Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. dan Prof.
Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A. selaku kopromotor dan penguji; Prof. Dr. Anak
Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Emiliana
Mariyah, M.S.; Dr. Putu Sukarja, M.Si.; Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si.,
yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan,
tuntutan, dan saran selama penulis menyelesaikan disertasi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas


Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., Direktur

Program

Pascasarjana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., Asisten Direktur I Prof.
Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana
Mahendra, Ph.D. Ketua Program Doktor Kajian Budaya Prof. Dr. Anak Agung
Bagus Wirawan, S.U.

dan Sekretaris Program, Dr. Putu Sukarja, M.Si. atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan


pendidikan pada Program Doktor di Universitas Udayana.
Ucapan yang sama ditujukan kepada para dosen pengampu mata kuliah,
yakni Prof. Dr. I Wayan Widja; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A.; Prof. Dr.
Emiliana Mariyah, S.U.; Prof. Dr. I Gde Semadi Astra; Prof. Dr. I Nyoman Kutha
Ratna. S.U.; Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.; Prof. Dr. I Gede Parimartha, M.A,;
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Aron Meko Mbete S.U.; Prof. Dr. Anak
Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A.; Prof. Dr.
Sulistyawati; Prof. Dr. I Nyoman Sirta; Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.Si
dan Dr. Pudentia MPPS. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan
pengetahuan yang telah ditularkan kepada penulis.
Kepada Ketua ATL Pusat Jakarta Dr. Pudentia MPPS dan Ketua ATL
Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. atas kesempatan yang diberikan pada
penulis untuk menjalani program doktoral dalam konsentrasi Kajian Tradisi Lisan
(KTL) yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritikan saat penulisan awal
proposal serta memberi kesempatan mengikuti Program pada Sandwich-like di

KITLV, Leiden University Belanda. Dr. Clara Bekker, Ismeralda, Daniella, Juara
Ginting, Nelly Sembiring, Michel, Utari, Kinok Surbakti, Pa Guntar Sinuraya,
Kristy dan Gabriella Ginting yang memberi kesempatan dan waktu untuk
menampilkan seni Karo pada beberapa peristiwa di Belanda.
Dorongan dan motivasi dari pembimbing KTL, Prof. Dr. Emiliana
Mariyah, Prof. Robert Sibarani, Dr. Sutamat Ariwibowo, M.Si, dan semua teman
seperjuangan Maria Matildis Banda, Yon Adlis, Ni Wayan Sumitri, Hamirudin
Udu, Sumiman Udu, Syahrial, Katubi, Trias Yusuf, Sainul Hermawan, Isman,
Mariana Lewier, Ali Prawiro, Jultje Aneka Rattu, Siti Gomo Attas, Retty
Esnendes, Lies Mariani, La Aso, yang bersama-sama mengikuti Program
Sandwich di Leiden-Belanda angkatan 2010 ikut memberikkan semangat atas
terselesaikannya disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Rektor,
Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Ketua Jurusan Sendratasik, Ketua Program Studi
Seni Musik, Universitas Negeri Medan (UNIMED), yang telah memberikan izin
untuk melanjutkan studi pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Disamping itu, juga seluruh dosen Jurusan Sendratasik
Universitas Negeri Medan, rekan-rekan sejawat, yang diwakili oleh Ben M
Pasaribu MMA (alm) penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral,
informasi, bantuan, dan motivasi selama ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pegawai
administrasi Program Studi Kajian Budaya, yaitu I Wayan Sukaryawan, S.T., Dra.

Ni Luh Witari, Cok Istri Murniati, S.E., Ni Wayan Aryati, S.E., I Putu Hendrawan,
I Nyoman Candra, dan I Ketut Budiarsa. Selain itu, juga seluruh pegawai kantor
pusat Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah membantu dan
memberikan kemudahan kepada penulis yang berkaitan dengan urusan
administrasi.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pejabat instansi
pemerintahan Kabupaten Karo dan Provinsi Sumatera Utara atas segala bantuan
dan kemudahan yang telah diberikan selama proses penelitian ini dilaksanakan.
Demikian pula kepada seluruh informan yang telah memberikan banyak informasi
dan kemudahan selama kegiatan penelitian ini dilaksanakan. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya sekaligus mohon maaf yang sebesar-besarnya
atas hal-hal yang tidak berkenan selama kegiatan penelitian ini dilakukan.
Terima kasih yang tulus diucapkan kepada keluarga penulis, Bapa Renceng
Thomas Ginting (Alm) yang beramanat kepada penulis tidak perlu kaya, uang
jangan dikejar, tetapi kejarlah ilmu setinggi-tingginya dan Ibunda tercinta Lelem
Br Sembiring yang selalu mendoakan, dan memberikan motivasi serta semangat
hingga selesainya disertasi ini. Kepada istriku tercinta Ely Br Sitepu yang dengan
sabar menanti kembalinya suami dari Bali dan selalu memberikan motivasi beserta
putra-putri kami Fillinllife Ginting dan Cicio Puelfi Br Ginting. Adinda tersayang
Bob King Sidney Ginting dan Athania Rasbina Br Sembiring dan putri kecil
mereka Kintan Nayara Br Ginting. Kakanda Erlykasta Br. Ginting dan Abang Abri

Barus beserta putra-putrinya Agung Prima Barus, Eviona Br Barus, Cindy Br


Barus, yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya.
Akhirnya, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama
menyelesaikan studi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
bidang seni budaya dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya dalam
mengeksplorasi tradisi lisan sebagai warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Di
atas segalanya, kepada Tuhan yang Mahakuasa penulis memanjatkan doa agar
anugerah-Nya dilimpahkan untuk kita semua.

Denpasar, Juni 2015


Penulis,

Pulumun Peterus Ginting

ABSTRAK
Etnik Karo memiliki berbagai jenis upacara dalam tradisinya. Upacara
gendang kematian merupakan salah satu upacara yang sangat penting dan
mengandung nilai-nilai luhur yang terdapat pada semua unsurnya. Upacara
gendang kematian di kalangan etnik Karo telah mengalami banyak perubahan
spiritualitas pada zaman globalisasi. Perubahan yang menuju ke arah sekularisasi
ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya global ke dalam
upacara gendang kematian etnik Karo, seperti perubahan ensambel gendang lima
sendalanen menjadi keyboard, yang kemudian melahirkan bentuk dan makna baru.
Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang terjadi
di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas upacara
gendang kematian pada masyarakat setempat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji, dan menjelaskan
berbagai perubahan yang telah terjadi pada spiritualitas upacara gendang kematian
pada etnik Karo. Pembahasan terhadap realitas budaya yang terjadi pada etnik
Karo pada era globalisasi ini difokuskan pada tiga permasalahan, yaitu (1)
bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi; (2) faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi; dan (3) Bagaimanakah makna
dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi. Penelitian ini dirancang sebagai sebuah penelitian kualitatif dengan
pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan mulitimensional.
Ketiga permasalahan tersebut dibedah menggunakan teori dekonstruksi, teori
etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik. Pengumpulan data
dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan
kepustakaan. Metode analisis yang digunakan deskriptif kualitatif dan interpretatif.
Disertasi ini menawarkan tiga hal sebagai simpulan. Pertama, wujud
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo adalah degradasi ke arah
sekularisasi terhadap nilai-nilai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo.
Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas pada upacara gendang
kematian etnik Karo mencakup internal (masyarakat pendukung, kreativitas
seniman) dan eksternal (kristenisasi, industri budaya, media elektronik). Ketiga,
makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo meliputi spiritualitas
pramodern, modern, postmodern, perubahan sosial budaya dan strategi pewarisan
melalui keluarga, masyarakat, pemerintah dan melalui revitalisasi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perjumpaan dan interaksi antara budaya
lokal dan budaya global di kalangan etnik Karo telah meminggirkan nilai-nilai
budaya lokal dan mendapatkan nilai baru. Akibatnya, upacara gendang kematian
di kalangan etnik Karo mengalami degradasi ke arah sekularisasi.
Kata kunci: spiritualitas, upacara gendang kematian, etnik Karo, era globalisasi

ABSTRACT
Karo ethnic has various kinds of ceremonies in its tradition. The gendang
ceremony of death is one of the most important ceremonies and embodies noble values
that contained in all of its elements. The gendang ceremony of death in the Karo ethnic
has undergone many changes in terms of spirituality in the age of globalization. A change
toward secularization is as a result of the influence of global cultural elements into the
gendang ceremony of death of the Karo ethnic like ensemble gendang lima sendalanen
change to keyboard who gave birth to a new form and meaning. This dissertation is the
result of a study of the cultural realities that occur among the Karo ethnic in this age of
globalization, namely the change in the spirituality the gendang ceremony of death in the
local people of Karo.
This study aims to identify and to analyze, as well as to explain the various
changes that have occurred in the spirituality of the gendang ceremony of death of the
Karo ethnic. The discussion of the cultural reality that occurs in the Karo ethnic in the age
of globalization has been focused on three issues, namely (1) How is the form of changes
in the spirituality of the gendang ceremony of death in Karo ethnic in this age of
globalization; (2) What factors are causing changes in the spirituality of the gendang
ceremony of death of the Karo ethnic in this age of globalization; and (3) What is the
meaning of spirituality change of the gendang ceremony of death in the Karo ethnic in this
age of globalization.
The study was designed as a qualitative study of critical, interdisciplinary and
multidimensional cultural studies approach. The three problems mentioned above were
analyzed by using deconstruction, ethnomusicology, co-modification and semiotic
theories. The study used descriptive qualitative and interpretative methods of analysis.
The data were collected by observation, in-depth interviews, and documentation as well as
library studies.
This dissertation offers three things in conclusion. First, the form of spiritual
change in the gendang ceremony of death of the Karo ethnic, is the degradation toward
secularization of spiritual values of the gendang ceremony of death, among the Karo
people. Second, the factors that cause changes in spirituality in gendang ceremony of
death in the Karo ethnic include the internal factors (community support, creativity,
innovation of artists) and the external factors (Christianization, the pressure of foreign
culture, and the cultural industries). Third, the meanings of changes in the spirituality of
funeral ceremony of the Karo ethnic include the representation of identity, the cultural
secularization, social change of the Karo people and inheritance strategy through family,
community, government and revitalization.
This study shows that the encounter and interaction between the local and the
global culture among the Karo ethnic has marginalized the local cultural values and they
obtain new meanings. Consequently, the gendang ceremony of death among the ethnic of
Karo has undergone degradation toward secularization.

Keywords:

spirituality, gendang ceremony of death, the Karo ethnic, the era of


globalization.

RINGKASAN DISERTASI
SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang
terjadi di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas
upacara gendang kematian

etnik Karo. Perubahan yang menuju ke arah

sekularisasi ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya


global ke dalam upacara gendang kematian etnik Karo yang kemudian melahirkan
bentuk dan makna baru.
Dalam perspektif kajian budaya, penelitian ini mengangkat realitas
lapangan yang empiris berkaitan dengan permasalahan globalisasi kebudayaan.
Fenomena pergeseran dari alat musik tradisional gendang lima sendalanen
mengalami degradasi ke arah sekularisasi, yaitu keyboard yang merupakan salah
satu unsur dari ritual upacara gendang kematian etnik Karo. Hal ini merupakan
representasi dari bertemunya spiritualitas etnik Karo dengan rasionalitas modern,
sebuah penanda absurditas dalam kebudayaan Karo pada era globalisasi. Sebagai
sebuah tradisi lisan, upacara gendang kematian etnik Karo belum mendapat
perhatian peneliti budaya di Indonesia di tengah berkembangnya pemikiran lokal
genius dan di tengah derasnya pengaruh modernisme yang menggusur nilai-nilai
lokal. Upacara gendang kematian etnik Karo terdiri atas lima unsur (peristiwa),
yaitu gendang lima sedalanen (musik), landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung
(tangisan), dan rende (nyanyian).
Upacara gendang kematian pada awalnya berbentuk sakral dan memiliki
nilai-nilai religi yang tinggi. Westernisasi, modernisasi, dan globalisasi
menyebabkan upacara gendang kematian mengalami degradasi ke arah
sekularisasi, seperti gendang lima sendalanen berubah dan digantikan oleh sebuah
instrumen modern, yaitu keyboard ditambah dengan ensambel musik tiup. Selain
itu, kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan etnik Karo bertendensi ekonomi.

Karena begitu kompleksnya permasalahan spiritualitas upacara gendang


kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka penelitian ini difokuskan ke dalam
tiga pertanyaan dalam masalah.

Pertama, bagaimanakah wujud spiritualitas

upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? Kedua faktor-faktor
apakah yang memengaruhi upacara gendang kematian etnik

Karo pada era

globalisasi? Ketiga, bagaimanakah makna spiritualitas dan strategi pewarisan


upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi?
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami spiritualitas
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping itu, juga
ingin mengetahui dan memahami fenomena budaya lokal di daerah Karo dalam
persfektif kajian budaya. Tujuan lainnya adalah mengungkapkan latar belakang
terjadinya perubahan upacara gendang kematian. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi, memahami faktor-faktor yang memengaruhi upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan menginterpretasi makna
spiritualitas dan mengetahui strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi dalam khazanah kebudayaan masyarakat pendukungnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis
maupun praktis. Manfaat teoretis temuan yang dihasilkan penelitian ini
memberikan kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang
kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam
pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya,
tetapi juga secara meluas dan bersifat multidisipliner. Di pihak lain manfaat
praktis penelitian ini merupakan upaya intelektual dalam memberikan proses
pemahaman, pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu,
memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat

dalam hal spiritualitas serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada


pemerintah dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal.
Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, diguanakan
metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis,
interdisipliner, dan multidimensional. Adapun data diperoleh melalui studi
kepustakaan, studi dekomentasi, observasi, dan wawancara. Setelah dilakukan
verifikasi, data kemudian dianalisis dengan beberapa teori yang relevan, seperti
teori dekonstruksi, teori etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik.
Temuan penelitian ini mencakup tiga hal. Pertama, wujud spiritualitas
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi meliputi (a) upacara
kematian masyarakat Karo, yang mengungkapkan kematian adalah kehidupan
yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan dan di dalam kehidupan ada
kematian; (b) wujud gendang lima sendalanen; yang mencakup kosmologi
masyarakat Karo; (c) wujud landek (menari) yang mencakup landek adat istiadat
dan landek ritual; (d) wujud nuri-nuri (petuah); (e) wujud ngandung (tangisan);
(f)

wujud rende perkolong-kolong(bernyanyi), dan (g) wujud keyboard serta

wujud trompet (ensambel tiup).


Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi adalah sebagai berikut. (a) Faktor internal
yang meliputi masyarakat pendukung gendang kematian tidak dilihat secara
sempit dan terbatas pada genealogis dan teritorial grafis, tetapi etnik Karo yang
terhimpun dalam satu komunitas organisasi sosial kemasyarakatan kekaroan di
mana pun mereka berada. Kreativitas seniman dan budayawan, dalam upacara
gendang kematian merupakan akumulasi dari pemikiran-pemikiran kreatif orang
Karo sepanjang zaman hingga kekinian. Identitas Karo, yang erat hubungannya
dengan faktor ekonomi dan politik budaya serta praktik-praktik sebagai penanda
identitas budaya. (b) Faktor eksternal yang meliputi kristenisasi, yang
membekaskan kesan yang ambivalen dan menyebabkan keretakan-keretakan
dalam batin orang Karo. Selanjutnya tekanan budaya asing yang menciptakan

orang Karo menjadi masyarakat komoditas yang meliputi unsur-unsur di dalamnya


sudah terstandardisasi. Industri budaya sebagai salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi upacara gendang kematian.
Ketiga, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan
bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai
sebuah tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya
mengungkap makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik
Karo dapat ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca tanda
zaman dan dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang
dihasilkannya bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo
merepresentasikan spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya.
Secara umum, ada tiga pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang,
wujud dan faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi yang menyangkut nilai-nilai dasar atau
filosofi kehidupan masyarakatnya, yakni makna spiritualitas pramodern, modern,
dan postmodern.
Makna spiritualitas pramodern etnik Karo melalui gendang lima sedalanen
yang memiliki fungsi sebagai iringan musik dan tari dalam upacara gendang
kematian sebagai perekat dari semua unsur yang ada dalam upacara. Selain itu,
juga digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai pesan dan
harapan bagi keluarga yang ditinggalkan serta makna hubungan antara gendang
lima sedealanen, baik instrumen maupun bunyi (musik), yang dihasilkannnya
dengan sistem kekerabatan yang ada pada etnik Karo. Landek (menari) yang
mencakup landek adat istiadat dan landek ritual, yang memaknai gerak sebagai
sebuah simbol yang menjadi filosofi etnik Karo. Nuri-nuri (petuah), menunjukkan
duka keluarga sekaligus memberikan penghormatan kepada kalimbubu yang
disampaikan melalui nuri-nuri. Ngandung (tangisan), penyampaian belasungkawa
dan sekaligus meneguhkan hati pihak keluarga disampaikan melalui tangisan atau

ratapan. Rende (vokal/bernyanyi) yang sering digunakan pada upacara-upacara


adat yang ada pada masyarakat Karo khususnya upacara gendang
Spiritualitas modern menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri
komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat
atau komunitas sebagai yang utama, dengan individu (yang sebagian saja
otonom) sebagai produknya, melainkan menganggap masyarakat hanya sebagai
kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuantujuan tertentu.
Kehadiran keyboard/trompet dalam hal ini bukan bagian dari spiritualitas
yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang
sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di
depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara
gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika
spiritualitas kultural etnik Karo.
Penggunaan keyboard/trompet pada upacara gendang kematian di atas
dapat dikatakan seperti diungkapkan oleh Piliang, sebagai gejala hipertualitas,
yakni realitas ritual yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi sehingga
tampak seakan-akan merupakan bagian dari ritual asli. Namun sesungguhnya ia
tidak lebih dari ciptaan artifisial yang tidak merujuk pada model-model ritual yang
telah baku. Dalam konteks ini ritual diredusir menjadi simbol-simbol yang
digunakan

untuk

menunjukkan

identitas.

Dengan

kata

lain,

kehadiran

keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian tersebut merupakan proses


semiotisasi ritual, yakni menambahkan muatan pada aspek-aspek ritual dengan
makna-makna yang sesungguhnya tidak hakiki. Ritual tersebut dikemas
sedemikian rupa dengan dilengkapi atribut-atribut yang tidak berkaitan sama
sekali dengan konteks upacara, akan tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seakanakan ia menjadi dari wacana upacara tersebut.
Spiritualitas postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi,
pandangan dunia, secara pasti menentukan etika dan cara hidup manusia. Oleh

sebab itu, dari sudut pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Manusia tidak bisa mengatasi masalah yang
ditimbulkan oleh cara-cara manusia mengatur kehidupan individu dan kelompok
tanpa menolak pandangan dunia yang mendasarinya.
Makna perubahan budaya yng mencakup beralihnya nilai tradisi ke modern
adalah

teralihkannya

orientasi

nilai-nilai

magis

religius

dari

agama

pemena/perbegu ka agama Kristen. Benturan peradaban antara budaya Kristen dan


budaya pemena dari agama tradisi etnik Karo masih terasa kental sampai sekarang.
Berkaitan dengan degradasi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi ke arah sekularisasi bermakna pada terkikisnya spiritualitas
etnik Karo. Dalam hal ini roh globalisasi yang tidak mungkin dibendung
menghadirkan pluralistik di bidang kebudayaan.

Hal ini berpengaruh pada

menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo dengan dimainkannya akord dan
harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari
perkembangan teknologi modern yang mempengaruhi musik Karo.
Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan
pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Masyarakat
pemilik warisan budaya mestinya memahami yang tangible, yaitu warisan budaya
yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang pada umumnya berupa benda
yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan
tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya yang tak benda atau tak
tersentuh. Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai
suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum
kehilangan maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara
terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama
pemerintah yang memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan
budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang
terkandung di dalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar

belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah
lain.
Hasil penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai temuan baru
penelitian. Pertama, tradisi lisan upacara gendang kematian menunjukkan
spiritualitas sebagai nilai-nilai dan komitmen dasariah pada etnik Karo dalam
melakukan upacara. Kedua, modernisasi dan globalisasi yang diyakini selama
initanpa disadaritidak menghegemoni, memarginalisasi, dan menggerus
tradisi-tradisi lokal, penelitian ini mengungkapkan kebenaran yang terjadi di
lapangan. Artinya, hegemoni berjalan dengan konsensus dan kesepahaman
bersama. Ketiga, redefinisi upacara gendang kematian dari definisi sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama,
kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan
dan di dalam kehidupan ada kematian. Kematian seperti halnya kehidupan adalah
bentuk keseimbangan alam sebagaimana dualisme oposisi baik-buruk, siangmalam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada tanpa kehadiran sisi lainnya. Manusia
terdiri atas jasmani (kula) dan rohani (tendi). Dengan demikian, dalam upacara
gendang kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut
menjadi ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas
menjadi angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu
(tulang menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu).
Kedua, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi mengalami degradasi ke arah sekularisasi yang diakibatkan oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi masyarakat pendukung
upacara gendang kematian dan kreativitas seniman/budayawan. Di pihak lain
faktor eksternal, yaitu kristenisasi, tekanan budaya asing, dan media elektronik
Ketiga, penelitian ini bermakna untuk menguatkan identitas. Penguatan
identitas ini terwujud dalam representasi identitas masyarakat Karo melalui
gendang lima sedalanen ensambel musik yang terdapat dalam upacara gendang
kematian, landek yaitu menari, nuri-nuri petuah-petuah dari sistem kekerabatan,

melalui ngandung yaitu ratapan, melalui rende yaitu bernyanyi, melalui keyboard
instrumen musik pengganti gendang lima sendalanen, dan melalui trompe sebagai
ensambel tiup, serta makna perubahan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dengan adanya problematik
empirik yang belum tergali secara mendalam terkait dengan perubahan
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran
dan rekomendasi dapat disampaikan. Pertama, para peneliti yang tertarik dengan
upacara gendang kematian pada etnik Karo atau penelitian sejenis dengan topik
dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik
dan terbuka untuk penelitian lanjutan. Artinya, untuk dikaji secara mendalam dan
mendapatkan pemahaman yang lebih kritis dan teoretis berbagai dimensi
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Kedua,
penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan kepada para
pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan
diberbagai tingkatan,

baik ekskutif maupun legislatif, pimpinan organisasi

kelembagaan sosial budaya, sanggar seni, seniman, budayawan, praktisi seni


dalam memecahkan berbagai permasalahan pembangunan untuk kesejahteraan
bersama, lebih khususnya pembangunan seni budaya pada era globalisasi. Ketiga,
hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan kemajuan disiplin
kajian budaya di samping sebagai sumber rujukan utama ataupun sumber alternatif
dalam dinamika kreativitas kehidupan berkesenian masyarakat di tanah Karo
khususnya, Provinsi Sumatera Utara, dan Indonesia pada umumnya.

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM............................................................................

PRASYARAT GELAR......................................................................

ii

LEMBAR PENGESAHAN...........

iii

PERNYATAAN KEASLIAN............................................................

UCAPAN TERIMA KASIH..............................................................

vi

ABSTRAK..........................................................................................

xi

ABSTRACT..

xii

RINGKASAN DISERTASI...............................................................

xiii

DAFTAR ISI.......................................................................................

xxi

DAFTAR TABEL..............................................................................

xxviii

DAFTAR GAMBAR..........................................................................

xxix

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................

xxxi

GLOSARIUM ....................................................................................

xxxii

BAB I PENDAHULUAN................................................................

1.1 Latar Belakang............................................................................

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................

14

1.3 Tujuan penelitian......................................................................

15

1.3.1 Tujuan Umum......................................................................

15

1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................

16

1.4 Manfaat Penelitian................................................................

16

1.4.1 Manfaat Teoretis......................................................

16

1.4.2 Manfaat Praktis.........................................................

17

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,


DAN MODEL PENELITIAN........................................

18

2.1 Kajian Pustaka............................................................................

18

2.2 Konsep........................................................................................

30

2.2.1 Spiritualitas....................................................................

30

2.2.2 Upacara Gendang Kematian............................................

34

2.2.3 Etnik Karo.......................................................................

38

2.2.4 Era Globalisasi...............................................................

40

2.3 Landasan Teori............................................................................

43

2.3.1 Teori Dekonstruksi............................................................

45

2.3.2 Teori Etnomusikologi.......................................................

49

2.3.3 Teori Komodifikasi............................................................

52

2.2.4 Teori Semiotika..................................................................

55

2.4 Model Penelitian..........................................................................

58

BAB III METODE PENELITIAN................................................

61

3.1 Rancangan Penelitian.......

61

3.2 Lokasi Penelitian..

62

3.3 Jenis Data dan Sumber Data.

63

3.4 Penentuan Informan.....

65

3.5 Instrumen Penelitian....

66

3.6 Teknik Pengumpulan Data..........................................................

67

3.6.1 Observasi.............................................................................

67

3.6.2 Wawancara..........................................................................

69

3.6.3 Studi Dokumen....................................................................

71

3.7 Teknik Analisis Data....................................................................

72

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.........................................

74

BAB IV GAMBARAN UMUM ETNIK KARO


DAN UPACARA GENDANG KEMATIAN..................

75

4.1 Gambaran Umum Etnik Karo............................................

75

4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis............................................

76

4.1.2 Asal Usul Etnik Karo......................................................

82

4.1.3 Politik dan Pemerintahan...................................................

85

4.1.4 Sistem Kekerabatan...........................................................

94

4.1.5 Mata Pencaharian...............................................................

104

4.1.6 Kepercayaan dan Agama...................................................

106

4.1.6.1 Begu dalam Kepercayaan Etnik Karo...........

109

4.1.6.2 Guru/ Dukun..........................................................

115

4.1.6.3 Katika Hari dalam Kalender Karo......................

122

4.1.6.4 Kedai Kopi.............................................................

126

4.1.6.5 Jambur / Losd........................................................

130

4.2 Gambaran Umum Upacara Gendang Kematian

132

4.2.1 Jenis Kematian...

133

4.2.2 Gendang/ Musik.

135

4.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen

136

4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen.....................................

137

4.2.2.3 Gendang Lima Puluh Kurang Dua

138

4.2.2.4 Instrumen Nonensambel..

140

4.2.2.5 Musik Vokal Etnik Karo..

141

4.2.2.6 Gendang Kibod/ Keyboard

143

4.2.2.7 Gendang Trompet/ Ensambel Tiup

144

BAB V WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA


GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI............................................

147

5.1 Wujud Upacara Kematian Etnik Karo.........................................

149

5.1.1 Wujud Upacara Perpisahan /Sirang-sirang ......................

152

5.1.2 Wujud Usungan Mayat/ Pating-pating..............................

155

5.1.3 Wujud Kuburan/ Pendawanen...........................................

160

5.1.4 Wujud Pembakaran Mayat/ Pekualuh..............................

162

5.1.5 Wujud Memanggil Roh/ Perumah Begu...........................

164

5.1.6 Wujud Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-Tulan....

167

5.2 Wujud Gendang Lima Sendalanen.............................................

168

5.2.1 Wujud Sarune....................................................................

172

5.2.2 Wujud Gendang Singindungi dan Singanaki.....................

174

5.2.3 Wujud Penganak dan Gung...............................................

177

5.3 Wujud Menari/ Landek...............................................................

178

5.4 Wujud Petuah-petuah/ Nuri-nuri.................................................

182

5.5 Wujud Menangis/ Ngandung.......................................................

184

5.6 Wujud Menyanyi/ Rende............................................................

186

5.7 Wujud Keyboard/ Gendang Kibod..............................................

189

5.8 Wujud Ensambel Tiup/ Trompet..................................................

192

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SPIRITUALITAS


UPACARA GENDANG KEMATIAN
ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI
195
6.1 Faktor Internal..............................................................................

197

6.1.1 Faktor Masyarakat Pendukung Gendang Kematian..........

199

6.1.2 Faktor Kreativitas Seniman/Budayawan............................

206

6.2 Faktor Eksternal...........................................................................

214

6.2.1 Faktor Kristenisasi.............................................................

217

6.2.2 Faktor Industri Budaya......................................................

236

6.2.3 Faktor Media Elektronik...................................................

244

BAB VII MAKNA SPIRITUALITAS DAN STRATEGI PEWARISAN


UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI.........................................
248
7.1 Makna Spiritualitas.. ....

250

7.1.1 Makna Spiritualitas Pramodern..

261

7.1.2 Makna Spiritualitas Modern.........

313

7.1.3 Makna Spiritualitas Postmodern

322

7.2 Makna Perubahan Budaya

325

7.2.1 Beralihnya Nilai Spiritualitas Tradisi ke Modern

326

7.2.2 Terkikisnya Spiritualitas Etnik Karo..

331

7.2.3 Menurunnya Kreativitas Seniman

343

7.3 Makna Perubahan Kehidupan Sosial.

348

7.4 Strategi Pewarisan..

353

7.4.1 Pewarisan Melalui Keluarga, Masyarakat, Pemerintah..

353

7.4.2 Pewarisa Melalui Revitalisasi.

362

7.5 Temuan Penelitian..

370

7.6 Refleksi

373

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN.........................................

377

8.1 Simpulan......................................................................................

377

8.2 Saran.............................................................................................

380

DAFTAR PUSTAKA........................................................................

382

LAMPIRAN.......................................................................................

396

Lampiran 1 Daftar Informan..................................................

396

Lampiran 2 Pedoman wawancara..........................................

399

Lampiran 3 Peta Wilayah.......................................................

402

Lampiran 4 Daftar Foto.........................................................

403

TABEL
Tabel
Tabel 4.2

Halaman
Bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Karo.. 91

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

Gambar 2.1

Model Penelitian

58

Gambar 3.1

Observasi Upacara Gendang Kematian.

68

Gambar 3.2

Wawancara Upacara Gendang Kematian... 70

Gambar 4.1

Peta Sumatera dan Sumatera Utara 77

Gambar 4.2

Peta Kabupaten Karo.. 80

Gambar 4.3

Rumah Adat Karo di Desa Dokan....................................... 88

Gambar 4.4

Kantor Bupati Kabupaten Karo........................................... 93

Gambar 4.5

Rakut Sitelu dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo. 97

Gambar 4.6

Aksara Karo........................................................................ 103

Gambar 4.7

Musik dan Tari Karo Sekitar Tahun 1900-an....................

Gambar 5.1

Usungan Mayat................................................................... 156

Gambar 5.2

Usungan Mayat Pating-pating Lige-lige............................. 157

Gambar 5.3

Usungan Mayat Lante Empat Mbeka.................................. 158

Gambar 5.4

Usungan Mayat Tandu Sapo-sapo...................................... 159

Gambar 5.5

Usungan Mayat Tandu Kejeren.......................................... 160

Gambar 5.6

Pembakaran Mayat.............................................................. 163

Gambar 5.7

Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-tulan................... 168

Gambar 5.8

Repertoar Lagu Simelungen Rayat.. 171

Gambar 5.9

Ensambel Gendang Lima Sendalanen................................. 172

114

Gambar 5.10 Instrumen Sarune................................................................. 173


Gambar 5.11 Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi. 176
Gambar 5.12 Instrumen Gung dan Penganak........................................... 178
Gambar 5.13 Landek/Menari dalam Upacara Gendang Kematian............ 181
Gambar 5.14 Nuri-nuri pada Upacara Gendang Kematian....................... 183
Gambar 5.15 Ngandung/Meratap pada Upacara Gendang Kematian....... 185

Gambar 5.16 Rende atau Bernyanyi pada Upacara Gendang Kematian.... 188
Gambar 5.17 Organ Tunggal/Kibod pada Upacara Gendang Kematian 191
Gambar 5.18 Trompet/Ensambel Tiup pada Upacara Gendang Kematian. 193
Gambar 7.1

Bagian-bagian Sarune.. 268

Gambar 7.2

Gendang Singindungi dan Singanaki... 273

Gambar 7.3

Melodi Sarune dalam Upacara Gendang Kematian. 286

Gambar 7.4

Ritmis Gendang Singanaki.. 288

Gambar 7.5

Ritmis Gendang Singindungi... 289

Gambar 7.6

Ritmis Gung dan Penganak. 291

Gambar 7.7

Landek dalam Gendang Guro-Guro Aron 294

Gambar 7.8

Landek dalam Upacara Gendang Kematian.. 297

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran

Halaman

Lampiran 1

Daftar Informan.. 396

Lampiran 2

Pedoman Wawancara.

399

Lampiran 3

Peta wilayah Penelitian..

402

Lampiran 4

Daftar Foto.

403

GLOSARIUM

aerofon

: golongan instrumen musik yang menggunakan sumber bunyi


aero atau udara. Istilah untuk bagian alat musik tiup dengan
hawa atau udara sebagai sumber suaranya. Misalnya, sarune
pembawa melodi dalam ensambel gendang lima sedalanen
pada upacara gendang kematian.

anak beru

: pihak yang mengambil istri dari sebuah keluarga tertentu


untuk diperistri.

begu

: masyarakat Karo percaya bahwa tendi (roh) orang yang


telah
meninggal masih dapat, baik memberikan
pertolongan maupun mengganggu manusia, yang masih
hidup dalam bentuk begu.

belo kinapur

: kapur sirih.

bere-bere

: merga dari keluarga ibu.

beru

: merga yang disandang di belakang nama seorang


perempuan.

beru dayang

: sosok wanita yang diyakini ada di bulan dan wujudnya


ditampakkan melalui pelangi.

beru puhun

: anak perempuan dari kalimbubu ayah.

beru singumban

: anak perempuan dari kalimbubu anak.

birawan

: orang yang sedang sakit karena terkejut dan diyakini oleh


masyarakat sebagai akibat adanya sapaan oleh makhluk
halus.

buk mulih ku ijuk

: rambut menjadi ijuk.

cimpa

: sejenis kue atau makanan yang terbuat dari tepung terigu.

dagangen

: kain putih yang biasa digunakan, baik untuk menutup


maupun membungkus mayat.

dareh mulih ku lau : darah yang berubah menjadi air.

Dibata si la idah

: Tuhan yang tidak kelihatan, disebut dengan Dibata kaci-kaci


yang mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas
(Guru batara), dunia tengah (Padukah ni aji), dan dunia
bawah (Banua koling).

Dibata si idah

: Tuhan yang kelihatan, yaitu kalimbubu yang merupakan


unsur terhormat atau golongan yang disegani. Orang yang
menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak
rezeki dan kesehatan. Oleh karena itu, ia disebut dibata si
idah.

didong doah

: nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby).

endek

: gerakan tari yang dilakukan dengan menekuk lutut.

erpangir kulau

: komunikasi transendental dalam hubungan


komunikasi
antara manusia dan roh gaib dengan menggunakan seorang
dukun sebagai mediatornya. Adapun tujuan seseorang /
keluarga tertentu melaksanakan ritual erpangir ku lau ini
adalah untuk menemukan dan dapat berkomunikasi dengan
kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, terutama
yang berkaitan dengan penyembuhan suatu penyakit,
membuang sial di badan, menabalkan seseorang menjadi
guru, dan membersihkan diri dari yang kotor.

erturang

: antara seorang laki-laki dan seorang perempuan ber merga


yang sama.

ertutur

: berkenalan untuk mendekatkan hubungan kekerabatan.

gbkp

: Gereja Batak Karo Protestan

gendang

: biasanya pengertian kata gendang tergantung dari kata yang


mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen, kata
gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu,
(2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung
arti nama sebuah lagu, (3) gendang singindungi atau
gendang singanaki, kata gendang menunjukkan salah satu
jenis alat musik, (4) gendang kematian atau gendang nurun,
kata gendang menjadi suatu upacara.

gendang kibod

: sebutan atau istilah lazim diucapkan oleh masyarakat Karo


terhadap jenis irama yang diprogram secara khusus di dalam
keyboard, pada upacara kematian.

gung

: instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis


konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen pada
upacara gendang kematian.

guro-guro Aron

: sebuah upacara tradisi yang dilakukan oleh muda-mudi di


setiap kuta (desa) yang dilaksanakan setiap tahun sebagai
ungkapan rasa gembira dan rasa syukur kepada Dibata atas
keberhasilan mereka.

guru

: orang yang dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat


mengobati penyakit dan sekaligus sebagai peramal.

ideofon

: instrumen musik yang sumber bunyinya berupa badan alat


musik itu sendiri. Misalnya gung dan penganak.

io-io

: nyanyian yang mengandung ungkapan rasa rindu.

jambur

: sejenis aula besar sebagai tempat upacara, baik perkawinan,


kematian dilaksanakan.

jinujung

: makhluk halus yang dipunyai seseorang yang memberikan


keahlian dan kelebihan pada seseorang itu dan
mengucapkan melalui mang-mang dan mantra-mantra.

jukut mulih kutaneh : daging berubah menjadi tanah.


jungut-jungut

: iringan sarune ketika seorang bernyanyi, nuri-nuri, dan


ngandung pada upacara gendang kematian.

kade-kade

: kerabat yang terdapat dalam sistem kemasyarakatan.

kalimbubu

: pihak keluarga senina pemberi istri.

kalimbubu dareh

: saudara laki-laki dari ibu kandung, bagi seorang laki-laki


dan seorang perempuan yang tidak/belum menikah.
Perempuan menikah kalimbubu dareh nya, yaitu ayah atau
saudaranya.

katika

: hari dalam kalender Karo.

katoneng-katoneng : musik vokal etnik Karo yang memiliki garis melodi baku,
tetapi lirik atau teks lagu tersebut senantiasa berubah dan
disesuaikan dengan satu konteks upacara.
kerja tahun

: pesta tahunan yang diadakan setiap tahun di sebuah


dataran tinggi Karo.

kesah jadi angin

: napas menjadi angin.

keteng-keteng

: instrumen musik Karo yang terbuat dari bambu, yang


berfungsi sebagai pembawa ritem dimaikan dengan cara
dipukul.

landek

: menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu.


Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari
Karo terbagi atas dua bentuk, yaitu landek adat dan landek
hiburan.

lau meciho

desa

: air jernih (suci) yang digunakan pada upacara penguburan.

mang-mang

: sejenis nyanyian yang terdapat pada masyarakat Karo. Orang


yang menyajikan mangmang adalah dukun (guru sibaso).
Guru Sibaso menyajikan mangmang pada masa
menjalankan upacara ritual tertentu dengan cara bernyanyi,
tanpa iringan musik. Terdapat dua jenis upacara ritual
sebagai konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau
(upacara ritual penyucian diri) dan raleng tendi (upacara
ritual memanggil roh manusia).

membranofon

: instrumen musik yang sumber bunyinya berupa membran


atau selaput kulit. Misalnya, gendang singindungi dan
gendang singanaki.

mengket jabu

: upacara memasuki rumah baru.

merga silima

: ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo, yaitu


merga Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan
Perangin-angin. Kelima merga ini disebut merga silima.

morah-morah

: utang adat bagi orang yang meninggal untuk diberikan


kepada kalimbubunya.

narsarken rimah

: perjamuan makan sesuai dengan kemampuan dan menari


berganti-ganti menurut adat yang berlaku, sebagai suatu
pemberitahuan kepada sukut bahwa kerabat yang datang
dari tempat jauh akan pulang.

nendung

: aktivitas seorang dukun dalam meramalkan sesuatu atau


seseorang yang hilang atau pergi tanpa memberi tahu ke
mana kepergiannya.

nereh-empo

: berasal dari dua pihak, yaitu nereh dari pihak perempuan


dan empo dari pihak laki-laki, yang dilanjutkan pada
upacara perkawinan.

ngandung

: pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung


dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban
yang harus dilakukan pihak kelompok yang punya kerja.

ngarkari

: upacara pemutusan hubungan dengan orang yang meninggal.

ngerana

: memberikan petuah-petuah, baik dari kelompok yang


mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang
turut serta dalam upacara tersebut.

nuri-nuri

: kata-kata yang diutarakan pada upacara gendang kematian


yang berisikan kata pengapul (kata hiburan, ajaran, dan
nasihat)

odak

: gerakan tari, baik ketika melangkah maju dan mundur


maupun serong ke kiri dan ke kanan.

ole

: goyangan atau ayunan badan saat menari.

patam-patam

: repertoar lagu yang bertempo cepat, baik dalam tarian mudamudi maupun upacara ritual.

pating-pating

: usungan atau tandu yang digunakan untuk membawa mayat


ke kuburan.

pasu-pasu

: berkat atau pemberkatan.

pendawanen

: tempat penguburan umum.

penganak

: instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis


konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen yang
digunakan pada upacara gendang kematian.

penggual

: pamanggilan terhadap pemain musik gendang lima


sendalanen.

perkade-kaden

: kekerabatan dalam masyarakat.

perkolong-kolong

: sebutan kepada penyanyi yang dipanggil pada upacara


gendang kematian untuk menyampaikan nasihat,
penghormatan, pujian, doa, harapan, dan sebagainya.

perumah begu

: menghindari hal-hal yang tidak diinginkan


masyarakat
Karo dengan melakukan upacara pemanggilan roh-roh
manusia yang sudah mati.

puang kalimbubu

: kalimbubu dari kalimbubu seseorang, baik dari pihak ibu


maupun pihak ayah.

rakut sitelu

: kelengkapan lembaga sosial kemasyarakatan yang terdiri atas


tiga kelompok, yaitu senina, kalimbubu dan anak beru.

raron

: sekelompok orang yang bertetangga atau yang berkerabat


secara bersama-sama mengerjakan tanah pertaniannya
dengan cara bergiliran.

rende

: pada mulanya rende (vokal) disebut didong-didong yang


digunakan untuk menyampaikan doa atau memuja
seseorang, menidurkan anak. Lalu didong-didong kemudian
berkembang menjadi lagu. Lagu adalah sebuah nyanyian
yang dinyanyikan oleh seorang perende-rende, kemudian
perende-rende dikenal dengan permangga-mangga dan kini
berubah menjadi perkolong-kolong.

rengget

: cengkok (kekhasan) yang terdapat dalam melodi gendang


Karo, baik dalan instrumen maupun dalam vokal/nyanyian.

rubia-rubia

: jenis makhluk bergerak di luar diri manusia.

sangkep nggeluh : pribadi atau keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh


senina, anak beru, dan kalimbubu-nya. Dalam
melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan,

kematian, memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap


nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut
dalam upacara tersebut.
sarune

: instrumen musik (aerofon) yang berfungsi sebagai pembawa


melodi dalan upacara gendang kematian.

senina

: mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau


submerga yang sama. Sekalipun tidak dalam satu merga,
biasanya masih dalam satu induk merga.

sierjabaten

: pemain musik atau gendang dalam sebuah ensambel yang


berfungsi sebagai pengiring dalam upacara gendang
kematian masyarakat Karo.

sukut

: adalah orang yang berhajatan dan orang tuanya, dalam acara


adat kematian sukut adalah janda atau duda dan anak lakilaki dari yang meninggal (keluarga dari orang yang
meninggal). Atau dalam acara memasuki rumah baru
(mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.

tabas

: mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru (dukun) dalam


pengobatan tradisional.

tangis-tangis

: nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan


seseorang.

tendi jadi begu

: roh yang berubah menjadi hantu.

trompet

: ensambel tiup yang digunakan dalam upacara gendang


kematian dikenal dengan sebutan trompet.

tutur siwaluh

: merupakan konsep kekerabatan etnik Karo yang terdiri atas


delapan golongan, yaitu puang kalimbubu, kalimbubu,
sembuyak,
senina,
senina
sipemeren,
senina
siparibanen/sipengalon, anak beru, dan anak beru minteri.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertemuan antara suatu budaya dan budaya yang lainnya tidak selalu
berproses seimbang. Dalam perkembangan peradaban saat ini nilai-nilai universal
yang diemban oleh kebudayaan Barat sering kali menggeser nilai-nilai di
kebudayaan Timur. Pengaruh budaya global yang sering diasosiasikan dengan
modernitas dan rasionalitas secara tak sadar telah mengubah posisi suatu produk
kebudayaan tradisional etnik tertentu. Hal ini juga terjadi di kebudayaan Indonesia.
Salah satu di antaranya adalah komunitas etnik Karo dengan berbagai sistem nilai
dan pranata hidup yang bersumber dari spiritualitas yang sakral berubah menjadi
spiritualitas sekularisasi. Esensi spiritualitas masyarakat tradisi tentunya terkait
dengan pemaknaan masyarakat tersebut pada kosmosnya yang terwujud dalam
ritual-ritual adat. Ritual upacara gendang kematian yang menjadi representasi
spiritualitas etnik Karo berangsur-angsur berubah dan mengalamai degradasi
sebagai akibat dari masuknya unsur-unsur budaya modern.
Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi,
tetapi juga dengan berbagai aspek kehidupan. Saat ini dengan majunya teknologi,
komunikasi, dan informasi, dunia tidak lagi memiliki batas jarak dan waktu. Di
satu sisi globalisasi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan,
tetapi di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang cukup signifikan pada aspek-

aspek kebudayaan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai
budaya lokal, tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan,
seperti tradisi lisan yang diwariskan dan berkembang secara turun-temurun
sebagai bentuk warisan adat yang mengandung spiritualitas suatu komunitas
masyarakat. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global, yang
menggurita ke dalam sendi-sendi kehidupan etnik Karo tidak bisa dibendung
ataupun ditolak akibat derasnya arus globalisasi yang membentur tradisi budaya
etnik setempat.
Wacana globalisasi menurut Barker (2005) turut memberikan kekacauan
baru dalam konteks perubahan budaya yang multidimensional saling terkait
dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas. Perubahan yang
dianggap chaos ini diantisipasi oleh cultural studies dengan berupaya memahami
perubahan-perubahan ini dan menempatkan pada ranah kajian budaya melalui
penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya, dan
postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada
sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme dan hal ini
terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker,
2005: 133). Oleh karena itu, globalisasi budaya yang sudah dimuati oleh praktikpraktik kapitalisme akan secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan
kebudayaan tradisi yang ada.
Etnik Karo sebagai bagian dari kebudayaan tentunya terseret dalam
dinamika kapitalisme global. Menurut Piliang, manusia konsumer tidak tertarik

akan keselamatan diri lewat perenungan atau ibadat, tetapi tertarik terhadap
ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan,
dan keamanan psikis lewat terapi, hanyut dalam pelbagai bentuk terapi, seperti
yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, joging, pusat kebugaran, dan
karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Piliang sebagai
postspiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk
dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan sehingga
batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207). Kapitalisme
tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi, tetapi juga nadi
sakralnya. Pada proses ini tentunya seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa
etnik Karo adalah bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis
terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini.
Menurut Hoed, dalam menghadapi arus globalisasi yang memang nyata,
menganggap modernitas merupakan sesuatu yang endogen, yaitu faktor dari dalam
suatu masyarakat yang berpikir kritis terhadap dinamika perkembangannya.
Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya tergantung dari apakah
masyarakat itu sendiri memberikannya kesempatan untuk berkembang atau tidak.
Sayangnya modernitas sering kali dihadapkan dengan adat istiadat dan tradisi asli
kita. Bahkan,

jika dilihat lebih lanjut, kita pun telah menjadi penerima adat

istiadat dan tradisi baru dari Timur Tengah, Jepang, dan Cina. Inilah globalisasi
yang terjadi dewasa ini (Hoed, 2008: 108--109). Etnik Karo sebagai bagian dari

masyarakat global saat ini, harus mampu memiliki sikap kritis terhadap arus
modernitas yang secara perlahan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita.
Pada perkembangannya kategori-kategori seni juga mengalami perubahan
karena desakan modernitas. Kesenian tradisional yang dulu merupakan batang
tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari kini
mulai digantikan oleh bentuk-bentuk kesenian yang modern. Danesi (2010)
mengatakan sebagai berikut.
Seni modern mengemuka dengan menggunakan imaji dan suara yang
mencerminkan meterialisme dan kevulgaran budaya konsumerisme, para
seniman modern pada tahap awal berusaha menyuguhkan pandangan
realitas yang lebih langsung dan relevan dibandingkan seni zaman dahulu,
sedangkan seni postmodern berusaha untuk menstabilisasi pandangan atas
dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat
Barat sejak Renaisans, tetapi, dengan membuat budaya Barat makin
mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme sekaligus
mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010:
251 & 312).
Pandangan Danesi ini menunjukkan bahwa seni postmodern merupakan
salah satu jalan tengah antara masyarakat tradisional dan modern. Seni merupakan
sarana yang universal meskipun tetap terdapat unsur-unsur ideologis di dalamnya.
Namun, masyarakat tetap harus dapat meletakkan eksistensi mereka dan secara
kritis melihat terjadinya pergeseran identitas dalam diri kesenian mereka. Hal ini
diungkapkan Danesi (2010: 252) dalam bukunya Pesan, Tanda, dan Makna,seperti
berikut.
Barangkali tidak ada lagi yang membedakan manusia dari spesies lainnya
seperti halnya seni. Seni adalah kemampuan lahiriah yang memungkinkan
kita, sejak bayi, untuk mengambil makna dari gambar, musik, pertunjukan,
dan hal-hal yang sejenis. Seni adalah pengakuan bahwa kita memang

makhluk-makhluk spiritual yang mencari penjelasan mengenai alam


semesta. Sementara sains mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban
atas makna hidup melalui perpaduan pemikiran imajinatif dan logis, seni
menyelidiki makna hidup melalui emosi. Inilah mengapa pengalaman akan
seni disebut pengalaman estetis dan pengalaman akan sains disebut
pengalaman intelektual. Namun, salah jika jenis kedua penyelidikan ini
dilihat sebagai kategori yang berbeda. Keduanya digunakan oleh manusia
untuk meyelidiki pertanyaan-pertanyaan yang sama.
Pengalaman akan seni merupakan pengalamann estetis sehingga seni dapat
menyelidiki makna-makna kehidupan. Lebih jauh lagi, seni merupakan bagian dari
pengungkapan hasrat-hasrat spiritualitas dalam mencari penjelasan mengenai
keseimbangan alam semesta. Dengan demikian, spiritualitas

menjadi penting

untuk dipertahankan, baik dalam seni postmodern maupun arus globalisasi


kebudayaan dan kapitalisme saat ini.
Pada masyarakat modern saat ini spiritualitas sering diasosiasikan dengan
hal-hal berbau mistis, gaib, irasional, tidak terukur, tidak empirik, dan tidak wajar.
Padahal, menurut kamus Oxford Dictionary of Advanced Learners, spirityang
merupakan akar kata dari spiritualitasmemiliki beberapa pengertian, seperti
soul, demon, dan magic. Beberapa teoretikus kajian budaya bahkan menganggap
seperti dibawah ini.
Spiritualitas akan selalu berhubungan dengan hal yang sifatnya abstrak, tak
kasat mata, intangible, namun bisa dirasakan eksistensinya. Dalam konteks
jiwa, spiritualitas dapat dikorelasikan dengan nilai dan kualitas di balik
sosok atau perwujudan suatu benda atau objek. (Darmawan dalam Adlin
(ed), 2007: 144). Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilainilai dan komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15).
Jadi, pada dasarnya spiritualitas memiliki makna-makna yang terwujud dalam
penanda benda-benda produk kebudayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh

suatu

produk

kebudayaan

akan

selalu

terikat

pada

petanda-petanda

kebudayaannya. Penanda dan petanda merupakan perwujudan spiritualitas dan


meterialitas suatu masyarakat.
Perwujudan nilai-nilai spiritualitas ini pada masyarakat kontemporer
mengalami disposisi antara penanda dan petanda. Absurditas penanda dan petanda
terjadi karena pergumulan masyarakat dengan arus modernitas dan nilai-nilai
tradisionalnya. Bisa saja dalam perwujudan spiritualitasnya, nilai-nilai atau
petanda, bahkan makna menjadi banal. Misalnya yang sudah diutarakan Yasraf
bahwa realitas yang suci bercampur aduk dengan yang profan sehingga
mengaburkan nilai-nilai yang dikandung sebelumnya. Hal inilah yang terjadi
dalam realitas budaya tradisi lisan masyarakat saat ini.
Perbedaan spiritualitas tidak lepas dari terjadinya dinamika dalam struktur
masyarakat. Masyarakat tradisional telah menjadi masyarakat modern dan yang
modern telah menjadi postmodern. Terdapat kategori-kategori dalam menentukan
struktur masyarakat ini. Masyarakat tradisional sering diasosiasikan dengan
masyarakat pramodern. Hal ini dikatakan oleh Griffin seperti berikut.
Masyarakat klasik pramodern tidak berorientasi pada profesionalisme,
melainkan pada otoritarianisme. Organisasinya memiliki bentuk tatanan
piramidal, perluasannya dalam waktu terbentuk tradisi siklis, dan kendali
kekuasaannya bersifat absolut. Pengabdian religius adalah legitimasinya.
Hal-hal itulah yang ditentang kaum modernis (Griffin, 2005: 75).
Kategori masyarakat tradisional yang diutarakan oleh Holland (2005) juga
kemudian turut menjelaskan kategori masyarakat modern dan postmodern seperti
di bawah ini.

Masyarakat modern dan sampai pada titik tertentu juga organisasiorganisasi religius berorientasi pada profesionalisme. Bentuk
organisasinya adalah rasionalisasi birokratis, perluasanya dalam waktu
terbentuk perkembangan linear, dan kendali kekuasaannya bersifat
manipulatif. Kompetisi profesional adalah legitimasinya. Modernitas
condong ke arah ini. Lain halnya dengan organisasi postmodern karena
berorientasi pada prinsip kreativitas (atau lebih baik kokreativitas). Bentuk
organisasinya adalah komunitas holistis, perluasannya dalam waktu
terbentuk spiral ritmis, dan kendali kekuasaannya bersifat imajinasi artistik.
Maka, legitimasinya berasal dari karisma, yang sekaligus bersifat sosial
dan spiritual. Pengabdian dan kompetensi tidak akan hilang, tetapi
sekarang diabdikan pada kreativitas karisma (Holland dalam Griffin (ed),
2005: 75).
Lebih dari itu ketika kita berbicara tentang kategori-kategori masyarakat Di
dalamnya mengalir juga unsur-unsur spiritualitas. Ada perbedaan antara
spiritualitas tradisional, modern, dan postmodern. Visi-visi postmodern yang di
tulis oleh Griffin membantu kita untuk memahami sekaligus kategori dan nilainilai spiritualitas. Selanjutnya Griffin mengatakan sebagai berikut.
Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat
dualistik
dan
supernaturalistis
dan
berakhir
dengan
suatu
pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas;
postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur
dari spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, karena spiritualitas
postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan
masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap
memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia
modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur
modernitas; individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia
oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah
sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah
ekonomi (Griffin, 2005: 16--17).
Tentunya realitas yang digambarkan oleh Griffin menjadi acuan untuk menggali
nilai-nilai tradisional secara kritis menelusuri tahap-tahap perkembangan
masyarakat, baik dari sisi wujud , faktor, maupun makna. Kaitan-kaitan ini

menunjukkan bahwa produk kebudayaan yang berupa seni merupakan upaya kritis
untuk meninjau realitas tersebut.
Prinst (2003: 154) mengatakan bahwa keselarasan antara manusia dan
alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan
lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam
masyarakat mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos (alam) dan
masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau
panjang atau malapetaka lainnya. Keselarasan atau keseimbangan dalam suatu
mayarakat sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktivitas sehari-hari
sehingga di situlah apa yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud. Menurut
Liembeng (2007: 17) orang Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain
sebagai tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk
lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia.
Oleh

sebab

itu

dibutuhkan

aktivitas-aktivitas

tertentu

untuk

menjaga

keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan


makhluk-makhluk lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan
spiritualitas yang terkait dengan kosmologi etnik Karo.
Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan
jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup
dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan
keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi
begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika

seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam
hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari
ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi
hantu.
Liembeng (2007: 31) memaparkan filsafat dalam ungkapan keseharian
etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara gendang kematian. Ungkapan
lainnya, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh,
tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk,
darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi
batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut menggambarkan bahwa
eksistensi masyarakat Karo adalah bagian integral dari lingkungan mereka.
Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai satu kesatuan
menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam. Manusia adalah
bagian dari alam, bukan sebaliknya.
Upacara gendang kematian menjadi penting dalam kosmologi etnik Karo
karena dalam mati ada hidup dan dalam hidup ada mati. Tarigan (1988: 37)
menganggap bahwa masyarakat

Karo sangat percaya pada kehidupan baru

pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia diyakini masih
berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu. Bahkan, upacara
gendang kematian yang dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi
keluarga yang masih hidup.

Gendang kematian merupakan salah satu ritual kematian yang terdapat


pada masyarakat Karo yang

terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang

merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur
(peristiwa), yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) nurinuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian). Salah satu
peranan gendang lima sendalanen sebagai iringan musik dan tari dalam gendang
kematian adalah sebagai perekat semua unsur upacara. Gendang lima
sendalanen digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai
pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang yang sudah meninggal (Ginting,
2012: 7).
Sejatinya filsafat hidup suatu masyarakat tidak hanya diwujudkan dalam
ungkapan-ungkapan keseharian. Kehadiran filsafat hidup tersebut akan sangat
terasa dari bagaimana suatu masyarakat memaknai kematian yang tampak dalam
ritual upacara kematiannya. Gendang kematian merupakan perwujudan dari
bersatunya kembali manusia dengan alam seperti yang diutarakan dalan ungkapan
kesehariannya. Namun, etnik Karo seperti etnik lainnya tidaklah hidup dalam
ruang hampa karena ada kehadiran spiritualitas lain yang dapat dikatakan sebagai
spiritualitas sekularisme, kosmologi global, dan modernisasi bersama dengan
datangnya globalisasi. Gendang kematian seolah-olah menjadi arena kontestasi,
pertempuran, persengkataan, persilangan, dan perselisihan budaya.
Secara simbolis gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas
kehidupan etnik Karo melalui berbagai unsurnya, seperti instrumen yang

digunakan, para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Gendang lima


sendalanen merupakan simbol tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun
silam hingga kini. Namun, penggunaan gendang lima sendalanen mengalami
degradasi pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu digunakan instrumen
tradisional, seperti sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), dan
gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau
keyboard (Ginting, 2012: 8).
Pergeseran instrumen ini disebabkan oleh adanya konstruksi binerisme
masyarakat yang melihat sebuah budaya pada tataran baik dan buruk, sakral dan
sekuler, bahkan beradab dan primitif. Konstruksi binerisme tersebut dapat ditunda
dan dibongkar melalui teori dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques
Derrida. Begitu juga dengan upacara gendang kematian dalam keberlanjutannya
sarat dengan konstruksi binerisme. Secara historis, Raja Pa Mbelgah Purba, salah
seorang raja di Desa Kabanjahe tertarik masuk agama Kristen tetapi tidak
diperbolehkan memakai gendang karena dianggap sebagai suatu unsur kekafiran
yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen (Cooley, 1976: 5). Cara
pandang biner akan selalu memosisikan salah satu pihak menjadi terpinggir. Itulah
yang tampak pada penolakan gereja atas konsep spiritualitas Raja Pa Mbelgah
Purba.
Sekurang kurangnya dalam dua dekade terakhir ini musik Karo telah
menggunakan alat musik keyboard, yaitu alat musik modern yang memiliki
berbagai fasilitas program musik. Bahkan alat tersebut cukup dimainkan oleh

seorang pemain untuk menghasilkan, baik musik combo (band) maupun orkestra
(big band). Bahkan, lebih jauh lagi telah terjadi konsensus di masyarakat Karo
secara tidak sadar untuk menggabungkan unsur modernitas dan tradisionalitas
disebut dalam istilah gendang kibod. Alat musik ini bahkan dapat menyerupai
musik Karo dalam berbagai ekspresi dan kreasi seniman-seniman Karo. Peneliti
telah mengamati dalam satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran dalam
gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan nganting manuk (malam sebelum
upacara adat perkawinan Karo berlangsung).
Lima tahun terakhir keyboard mulai merambah ke upacara gendang
kematian etnik Karo. Hal ini terwujud bukan semata-mata karena ekonomi.
Kepraktisan penggunaan alat ini justru sebagai salah satu faktor yang mendorong
minat masyarakat menggunakan keyboard. Selain itu, penggunaan keyboard ini
juga tidak banyak melibatkan jumlah pemain, bahkan umumnya cukup dimainkan
oleh satu orang (player). Gendang lima sendalanen bagi etnik Karo, merupakan
prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, segala
unsur gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian etnik Karo
mengandung simbol-simbol dan makna simbolik. Pudarnya sistem kepercayaan ini
setidaknya mendorong perubahan dan pergeseran pada penggunaan alat-alat
tradisonal musik Karo menjadi alat musik modern berupa keyboard.
Memudarnya sistem kepercayaan asli etnik Karo juga tidak terlepas oleh
sistem kepercayaan agama-agama wahyu yang hanya percaya kepada Tuhan Yang
Esa. Makna sakral yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen

termasuk pada alat yang digunakan secara perlahan terdegradasi menjadi makna
profan karena alat musik modern berupa keyboard mampu menirukan repertoar
gendang lima sendalanen. Dengan demikian, secara perlahan masyarakat pemilik
pun semakin kehilangan tentang makna dari gendang lima sendalanen tersebut.
Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
dikhawatirkan tidak akan bertahan lama akibat dari degradasi tersebut, padahal di
dalamnya terkandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan secara lisan dan
telah berlangsung berabad-abad.
Pada saat ini upacara gendang kematian masih menjadi arena bagi
pertempuran budaya-budaya. Keberadaan gendang keyboard di tengah-tengah
prosesi upacara gendang kematian menunjukkan adanya binerisme baru pada
konsep spiritualitas etnik Karo. Keyboard merupakan alat musik modern yang
hadir di luar konsep-konsep kosmologi Karo. Kemampuan keyboard sebagai alat
musik sarat dengan konstruksi modernisme yang memosisikan gendang lima
sendalanen di posisi sebaliknya sebagai alat musik tradisional. Padahal, menurut
seorang pakar musik Nusantara, Suka Hardjana (2003: 26), keyboard adalah
mesin, mesin adalah benda dan benda itu mati. Oleh karena itu, konstruksi biner
gendang keyboard dan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian
bisa saja berujung pada matinya spiritualitas etnik Karo.
Ditinjau dari latar belakang filosofis, teoretik, dan empirik penelitian ini
menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan oleh etnik Karo merupakan bagian dari
masyarakat global saat ini yang sedang mengalami dinamika perubahan struktur

masyarakat. Tidak bisa dimungkiri bahwa spiritualitas merupakan bagian yang


penting dalam unsur-unsur suatu masyarakat dan untuk menjaga keseimbangan di
dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Peneliti melihat upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi merupakan unsur penanda spiritualitas
etnik Karo. Dengan demikian, keberadaan petanda menjadi penting untuk
ditelusuri.

1.2 Rumusan Masalah


Keberadaan salah satu unsur dalam upacara gendang kematian, yaitu
gendang lima sendalanen tidak bertahan hingga kini tentu tidak terlepas dari
berbagai faktor yang memengaruhinya. Sistem kebudayaan yang berlangsung
dalam kehidupan etnik Karo menyiratkan sejumlah pesan dan simbol yang
menarik untuk dimaknai. Namun, sejauh mana semua struktur upacara tradisi
tersebut, dapat dipahami dengan mengemukakan rumusan masalah sebagai
indikator kajian pada penelitian ini. Oleh sebab itu, pertanyaan yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi?
2. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi?
3. Bagaimanakah makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1

Tujuan Umum
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini secara umum

bertujuan mengungkapkan fenomena yang berkaitan dengan spiritualitas upacara


gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian dilakukan dengan
tujuan memberikan pemahaman, kesadaran, dan upaya pembinaan. Selain itu, juga
untuk memahami nilai-nilai kehidupan tradisi lisan sebagai kearifan lokal yang ada
untuk seluruh masyarakat Indonesia, secara khusus bagi etnik Karo, yang terkait
dengan spiritualitas upacara gendang kematian.
1.3.2

Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan

jawaban atas pertanyaan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yaitu


sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui bagaimana wujud spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi
2. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi wujud spiritualitas
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
3. Untuk menginterpretasi makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis
maupun manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut diuraikan seperti di bawah ini.

1.4.1

Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari temuan yang dihasilkan penelitian ini memberikan

kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang kajian budaya,


terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan
wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya, tetapi juga secara
meluas dan bersifat multidisipliner. Manfaat lainnya dapat dijadikan acuan bagi
calon peneliti lain yang tertarik dengan upacara gendang kematian etnik Karo,
terutama dalam melakukan penelitian yang sejenis dengan topik, perspektif, dan
permasalahan yang berbeda.

1.4.2 Manfaat Praktis


Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk memberikan ruang bagi
eksisnya gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian karena hal
tersebut dapat memperkuat identitas etnik Karo dan kebudayaannya. Di samping
itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi etnik Karo ataupun etnik lainnya
untuk menambah pengetahuan tentang nilai-nilai tradisi lisan sebagai sebuah
kearifan lokal yang masih terdapat dalam kehidupan etnik Karo.

Dalam perspektif kajian budaya dan kajian tradisi lisan, penelitian ini
merupakan

upaya

intelektual

dalam

memberikan

proses

pemahaman,

pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk memperbaiki


kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu, memberikan
sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat dalam hal
spiritualitas serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah
dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka


Kajian mengenai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dilihat dari
perspektif kajian budaya yang bersifat kritis. Hal tersebut terjadi akibat tradisi
lisan mengenai upacara gendang kematian yang menyangkut beberapa unsur
termasuk ensambel gendang lima sendalanen mulai diabaikan, bahkan
ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas
dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap gendang lima sendalanen
sebagai warisan leluhur yang tidak bernilai dan telah ketinggalan zaman.
Penelitian ini mencoba

untuk memahami berkembangnya fenomena

upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan
pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3)
makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan penelitian
lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasil-hasil penelitian
terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka buku-buku teks.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan pustaka-pustaka yang

penjelasannya ditujukan untuk menyatakan bahwa masalah-masalah penelitian


yang dilakukan belum pernah dikerjakan oleh para peneliti/ penulis terdahulu.
Studi yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah Prikuten Tarigan
dalam tesisnya berjudul Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Tradisi Karo
Sumatera Utara (2004) pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Permasalahan yang diangkat mencakup perubahan alat
musik dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron), perkawinan (nerehempo), dan upacara memasuki rumah baru (mengket jabu). Dalam penelitian itu,
Prikuten menemukan realitas perubahan alat musik dan pengaruhnya terhadap
adat istiadat Karo. Teori yang digunakan adalah teori akulturasi, sebagai proses
kebudayaan yaitu terjadi peningkatan keserupaan antara dua kebudayaan dari
Kroaber, teori perubahan, menunjukkan bagaimana cara teknologi sebagai
pendorong perubahan dari Velben dan Ogburn dan teori fungsi musik tentang
hubungan musik dengan perilaku masyaraktnya dari Merriam. Penelitian ini sangat
relevan sebagai acuan dalam disertasi ini karena membahas perubahan alat musik
dalam kesenian tradisi Karo yang merupakan salah satu permasalahan yang
dibahas dalam disertasi ini. Perbedaannya adalah Tarigan seolah-olah merayakan
pengaruh globalisasi dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron),
sedangkan penelitian ini menangguhkan atau menunda makna untuk menemukan
makna baru dalam konteks upacara gendang kematian.
Milala Terang Malem (2008) meneliti utang dalam upacara kematian yang
diberi judul Utang Adat Kematian dalam Adat Karo. Penelitian ini menguraikan

nilai-nilai budaya Karo dalam utang adat kematian etnik Karo yang tersirat dalam
nama dan jenis barang yang digunakan. Misalnya, berupa dagangen (kain kafan)
yang berwarna putih untuk yang meninggal dan keperluan hidup sehari-hari
kepada keluarga yang ditinggalkan berupa beras dan ayam. Panelitian ini
memberikan kontribusi kepada peneliti terkait dengan jenis barang yang
digunakan dalam upacara gendang kematian. Di pihak lain disertasi ini meneliti
musik gendang lima sendalanen dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pulumun P. Ginting (2012) meneliti tentang Gendang Kematian dan
Kematian Gendang pada Masyarakat Karo disampaikan pada Seminar
Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat
dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus 2012 di Berastagi. Makalah ini
menunjukkan gendang kematian adalah salah satu ritual kematian yang terdapat
pada etnik Karo yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa) yang
merupakan satu kesatuan, yaitu (1) Gendang lima sendalanen (musik), (2) landek
(tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (ratapan), (5) rende (nyanyian). Salah
satu unsur yang paling penting dalam upacara gendang kematian, gendang lima
sendalanen sebagai iringan musik pada upacara gendang kematian sebagai
perekat dari semua unsur upacara. Gendang lima sendalanen

digunakan

sepanjang upacara tersebut dilaksanakan. Secara simbolis Gendang lima


sendalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan etnik Karo melalui berbagai
unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga

prosesi ritualnya. Namun penggunaan gendang lima sendalanen

mengalami

pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu menggunakan instrumen


tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), maupun
gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau
keyboard. Makalah ini adalah sebagai awal untuk penelitian disertasi ini.
Persamaan penelitian dengan disertasi ini yaitu memaknai upacara gendang
kematian etnik Karo secara denotatif sedangkan disertasi ini melihat fenomena
secara konotatif.
Merriam, Alan P. (1964) dalam buku yang berjudul The Anthropology of
Music, mengemukakan fungsi dan penggunaan (used and function) musik, yaitu
(1) pengungkapan estetis, (2) pengungkapan emosional, (3) hiburan, (4)
perlambangan atau simbol, (5) komunikasi, (6) reaksi jasmani, (7) norma-norma
sosial, (8) pengesahan lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan, dan (10)
pengintegrasian masyarakat.

Fungsi (function) dan penggunaan (use) adalah

merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini
menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik tetapi lebih
dari itu, ingin mengetahui implikasi musik terhadap manusia, dan bagaimana
implikasi tersebut dihasilkan. Selanjutnya Merriam mengemukakan bahwa musik
rakyat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya dan musik tanpa
teks juga mampu memberikan komunikasi. Menurut Merriam musik bukan suatu
bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja, karena setiap jenis musik
lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya. Dalam

beberapa hal, musik merupakan simbol dari aspek kehidupan dan organisasi sosial
masyarakat pendukungnya. Dari fungsi dan kegunaan musik yang di tawarkan
oleh Merriam dalam buku ini, sangat membantu penulis untuk menelaah makna
secara konotatif dan memberikan peluang tentang strategi pewarisan upacara
gendang kematian etnik Karo dari makna yang telah tergali.
Darwan Prinst (2004) meneliti adat Karo secara umum. Buku ini dirangkai
dari hasil kongres kebudayaan Karo tahun 1995 yang diberi judul Adat Karo.
Darwan menguraikan panjang lebar tentang adat istiadat dan kesenian Karo. Selain
itu, berbagai perilaku budaya Karo juga dijelaskan. Pembahasan tentang kesenian
lebih pada deskripsi seni pertunjukan seperti tari dan musik untuk kebutuhan
upacara ritual. Meskipun penelitian ini lebih difokuskan pada bidang deskripsi
adat istiadat, cukup memberikan wawasan dalam penyusunan disertasi ini.
Informasi penting dalam penelitian yang relevan dengan penyusunan disertasi ini
adalah uraian mengenai berbagai jenis upacara kematian pada masyarakat Karo.
Masri Singarimbun (1975) dalam disertasinya Kinship, Descent, and
Alliance Among the Karo Batak meneliti sistem kemasyarakatan dan kekerabatan
pada masyarakat

Karo. Penelitian ini merupakan sumber yang penting yang

terkait dengan makna simbol dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Dalam
buku ini Singarimbun menjelaskan keberadaan rumah adat dalam sistem
kekerabatan, aspek-aspek simbolisnya, dan
Kerangka berpikir Singarimbun dalam penelitian

penyelenggaraan ritual-ritual.
ini dapat digunakan untuk

menganalisis simbol yang terdapat dalam upacara gendang kematian etnik Karo.

Simbol yang terdapat dalam rumah adat yang dimaknai berhubungan dengan
sistem kekerabatan, dalam penelitian ini dijadikan acuan untuk memaknai unsurunsur yang terdapat dalam upacara gendang kematian dengan sistem kekerabatan
sangkep nggeluh.
Kumalo (2007) meneliti mangmang nyanyian guru (dukun) untuk
memanggil roh-roh yang sudah meninggal dunia. Tesis ini berjudul Mangmang:
Analisis dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di
Sumatra Utara. Kumalo menjelaskan Mangmang adalah sejenis nyanyian yang
terdapat pada etnik Karo. Orang yang menyajikan mangmang adalah bomoh.
Bomoh menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara ritual tertentu
dengan cara bernyanyi. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai konteks
penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian diri) dan
raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia). Upaya menjalankan kedua
upacara ritual di atas merupakan keyakinan bagi etnik

Karo. Penelitian ini

memberikan informasi bahwa etnik Karo sangat kuat terikat dengan kesenian,
khususnya musik. Hasil penelitian ini sangat membantu dalam penyusunan
disertasi ini karena di dalamnya dibahas mengenai etnomusikologi dan jenis-jenis
seni di luar konteks gendang kematian. Dengan demikian, penelitian ini relevan
digunakan sebagai acuan dalam disertasi ini.
Pasaribu (2004)

menulis buku Pluralitas Musik Etnik Batak Toba,

Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Buku ini berisi


karangan beberapa penulis dan masing-masing dikenal sebagai peneliti dan

pemerhati kesenian yang ada di Sumatera Utara. Pasaribu menyimpulkan bahwa


semua penelitian penulis yang menemukan musikalitas + etnisitas = pluralitas.
Dari penelitian ini dapat dikatakan bagaimana pentingnya musik pada suatu
tradisi. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi terkait dengan
sinkronisasi musik tradisi yang ada di Sumatera Utara. Persamaannya dengan
penelitian penulis, yaitu sama-sama meneliti musik tradisi, kegunannya, sampai
perubahannya. Perbedaannya, buku ini tidak menjelaskan musik tradisi dan
spiritualitas, sedangkan penelitian penulis meneliti spiritualitas di balik ansambel
musik yang digunakan pada upacara ritual, khususnya upacara gendang kematian.
Achim Sibeth dalam bukunya The Batak (1991)

lebih memusatkan

perhatian pada aspek historis atau sejarah Batak. Dokumentasi foto kebudayaan
masyarakat Batak Karo yang dibuat pada tahun 1910 merupakan data yang sangat
berharga bagi penelitian ini. Foto-foto yang dibuat Achim Sibeth memberikan
gambaran tentang alat musik yang digunakan dalam upacara ritual tradisi Karo.
Ini sangat berbeda dengan keadaan sekarang yang terjadi pada upacara ritual
Karo. Oleh karena itu, buku karya Achim ini sangat membantu untuk melacak
jejak makna instrumen musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo.
Brahma Putro (1999) membahas tentang sejarah Karo dari zaman ke
zaman. Putro meneliti perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga
kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Karo
dan Melayu ketika pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Deli Serdang,
Langkat, Tanah Tinggi Karo, dan sepanjang lembah sungai Renun. Kehidupan

masyarakat Karo di tiga daerah ini memberikan informasi kepada penulis terkait
dengan upacara gendang kematian yang diteliti. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah meneliti masyarakat Karo yang ada di Tanah Tinggi
Karo. Perbedaannya Putro membahas sejarah, sedangkan penelitian penulis
tentang spiritualitas upacara gendang kematian.
J.H. Neumann (1972) meneliti tentang sejarah Batak Karo dengan judul
Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Neumann meneliti dan menerangkan
asal usul dan arah penyebaran dari kelima merga (klan) yang terdapat pada
masyarakat Karo, yaitu

merga Karo-karo, merga Ginting, merga Sembiring,

merga Perangin-angin, dan merga Tarigan dengan cara menganalisis dongengdongeng folklor orang Karo sendiri. Berdasarkan penelitian ini, Neumann
berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo adalah di Dataran Tinggi Karo.
Disebutkan juga bahwa Dataran Tinggi Karo, kira-kira tiga abad yang lalu
dimasuki oleh orang-orang Batak dari daerah lain, seperti orang Batak dari daerah
Pakpak di sebelah baratnya, yang menjadi nenek moyang dari merga Karo-karo.
Kemudian ada juga migrasi ke daerah dataran tinggi Karo dari sebelah timur dan
selatan yang menyebabkan terjadinya merga-merga lain di Dataran Tinggi Karo.
Terlepas benar atau tidaknya pendapat Neumann di atas, akan tetapi memberikan
inspirasi bagi penelitian penulis dalam hal menggali mitos atau dongeng yang
terdapat pada gendang kematian. Relevansi penelitian ini dengan penelitian
penulis adalah berawal dari mitos. Perbedaannya adalah Neumann menguraikan
merga-merga melaui mitos, sedangkan penelitian penulis meneliti kaitan gendang

lima

sedalanen

dalam

upacara

gendang

kematian

dengan

sistem

kemasyarakatannya dan semua unsur yang ada di dalamnya.


Masri Singarimbun (1960) meneliti perumpamaan yang ada pada
masyarakat Karo dengan judul Seribu Perumpaman Karo. Buku ini membahas
perumpaman tahap kehidupan bagi masyarakat Karo, yaitu kelahiran, perkawinan,
dan kematian. Dalam upacara gendang kematian perumpaman tidak terlepas dari
pelaksanaannya. Buku ini memberikan informasi dan wawasan untuk menggali
makna yang ada pada perumpaman yang diungkapkan dalam upacara gendang
kematian. Perbedaannya, penelitian penulis tentang perumpaman dengan cara
dinyanyikan dan kecenderungannya sambil menangis/meratap.
Bob King Ginting (2010) dalam tesisnya Analisis Komunikasi
Transendental pada Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk, Desa
Daulu, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo membahas tentang spiritualitas
yang terkait dengan gendang pada upacara erpangir ku lau. Sasaran utama tesis ini
untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjadi pada saat upacara ritual
erpangir ku lau, mengetahui alasan-alasan penganut kepercayaan tradisi tersebut
melaksanakan upacara erpangir ku lau, dan cara masyarakat pendukung
kepercayaan tradisi dalam melakukan hubungan komunikasi transendental dengan
roh gaib (jinujung). Berkaitan dengan penelitian ini Bob King memberikan
informasi bagi penulis terkait dengan spiritualitas upacara ritual erpangir ku Lau
pada masyarakat Karo. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah
dalam meneliti menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya adalah penelitian

ini tidak sampai meneliti nilai-nilai dari materi gendang pada upacara, sedangkan
penelitian penulis menggali sampai sedalam-dalamnya.
Arlin Dietrich Jansen (2003) dalam bukunya yang berjudul Gondrang
Simalungun membahas struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun.
Dalam buku ini Jansen menguraikan ansambel musik gondrang, konteks historis,
dan struktur musik yang berhubungan dengan musik tersebut. Jansen juga
memperlihatkan peran dan fungsi musik gondrang pada masyarakat Simalungun.
Namun, menurut Jansen, kelangsungan tradisi musik ini pada masa depan masih
belum dapat dipastikan karena kurangnya minat dan ketertarikan di kalangan
masyarakat Simalungun. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi pada
penelitian penulis terkait dengan kekhawatiran kelangsungan tradisi musik
gendang lima sendalanen pada etnik Karo. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah menguraikan peran ensambel musik pada masyarakat.
Perbedaannya adalah penelitian penulis tidak hanya menganalisis peran ensambel,
tetapi juga mencari makna yang implisit dari materi yang menghasilkan wujud
ensambel tersebut.
Sembiring

(2010)

mengadakan

penelitian

berjudul

Ambivalensi

Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera


Utara. Sikap ambivalen orang Karo terhadap Kristenisasi yang beriringan dengan
kolonialisasi, menurut penelitian Sembiring, tidak serta merta terjadi sejak awal
perjumpaan antara kedua belah pihak. Bermula dari rasa terancam, orang Karo
memiliki sikap curiga terhadap segala kebaikan hati yang ditawarkan pihak

zending. Akan tetapi, setelah melalui proses historis yang tidak mudah, terjadi
sejumlah negosiasi kultural sehingga resepsi terhadap kristenisasi. Esai ini
memberikan informasi dan wawasan bagi penelitian penulis yang terkait dengan
gendang Karo, yaitu Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja di desa tertarik
dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen dan dibaptis.
Tidak lama setelah dibaptis ia menanyakan kepada pendeta apakah sebagai orang
Kristen ia dapat memakai gendang Karo. Jawab pendeta itu tidak boleh!!.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama melihat
pengaruh perubahan kebudayaan etnik Karo dari sisi kekristenan. Perbedaannya,
Sembiring meneliti perubahan keyakinan melalui kristenisasi sedangkan penelitian
penulis melihat perubahan musik dan spiritualitas upacara gendang kematian dari
sudut kristenisasi, industri budaya yang ditandai dengan komodifikasi.
Buku Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo yang ditulis A.G.
Sitepu (1998) memberikan gambaran umum tentang ragam hias etnik Karo yang
terdapat dalam berbagai benda pakai, seperti kain, alat masak, dan alat-alat musik.
Informasi ini diperlukan untuk mengetahui organologis alat-alat musik yang
terdapat pada masyarakat Karo. Relevansi buku ini dengan penelitian penulis
hanya tentang alat musik dan organologisnya, sedangkan perbedaaanya adalah
penelitian penulis sampai pada bentuk bunyi dan spiritualitas materi yang
memproduksi bunyi tersebut.
Sumber-sumber pustaka dan tulisan di atas telah memberikan wawasan,
informasi, dan bahan yang sangat berharga bagi penelitian ini. Dari kajian pustaka

di atas diketahui bahwa penelitian tentang spiritualitas upacara gendang kematian


etnik Karo pada era globalisasi belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis
yakin bahwa penelitian ini menambah wawasan yang positif dalam rangka
melestarikan dan mempertahankan tradisi lisan pada etnik Karo. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kajian budaya dan kajian tradisi
lisan yang difokuskan pada wujud, faktor-faktor, dan makna serta strategi
pewarisan yang dimunculkan upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi. Di samping ada persamaan dengan kajian pustaka di atas juga jelas
perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Jadi, keaslian penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan.

2.2 Konsep
Penelitian ini membahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian
sehingga dapat digunakan sebagai pendukung analisis dan memberikan bingkai
sesuai dengan permasalahan penelitian . Terkait dengan itu, dikemukakan empat
satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep spiritualitas, upacara
gendang kematian, etnik Karo, dan era globalisasi

2.2.1 Spiritualitas
Spritualitas berasal dari kata spiritus (roh) mengandung beberapa
pengertian yaitu, (1) imaterial, tidak jasmani, terdiri atas roh; (2) mengacu kepada
kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan

nilai-nilai pikiran; (3) mengacu kepada nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial,


seperti keindahan, kebaikan, sinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, kesudian,
dan (4) mengacu kepada perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik (Bagus,
2002: 1034).
Spiritualitas sebenarnya sangat dekat dengan hidup keseharian manusia.
Spiritualitas bisa bermanifestasi dalam bentuk antusiasme terhadap hal-hal yang
imanen dan profan atau terhadap hal-hal yang transenden dan sakral. Antusiasme
itu sendiri adalah bentukan dari pengalaman dan lingkungan yang membentuk
dunia dan pandangan hidup seseorang selama sekian tahun kehidupannya. Melalui
bentukan itulah spiritualitas menemukan jalannya untuk bermanifestasi dalam
kehidupan manusia (Adlin, 2007: xxi).
Arkoun melihat bahwa ada hubungan antara spiritualitas dan hampir semua
hal yang acap ditemukan dalam hidup sehari-hari. Hubungan ini tampaknya
hubungan sebab akibat, yaitu satu hal menyebabkan munculnya hal yang lain.
The concept of spirituality is load with complex and different meanings; it is
used loosely in context as different as religion, architecture, music, painting,
literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism, astrology,
esoteric knowledge, et cetera (Darmawan dalam Adlin (ed.), 2007: 145).
Menurut Capra (1999: 17), kita dapat memiliki spiritualitas tanpa agama,
tetapi kita tidak dapat memiliki agama yang benar jika tanpa spiritualitas. Kita
dapat mempunyai agama tanpa teologi, tetapi kita tak akan mempunyai teologi
yang benar tanpa agama dan spiritualitas. Prioritasnya ialah spiritualitas sebagai
pengalaman, sebuah pengalaman langsung akan Roh absoluts di sini dan kini, serta

sebagai praksis, sebuah pengetahuan yang mengubah cara saya menjalani hidup di
dunia ini.
Saya menjadi bagian dari seluruh hewan dan juga tumbuhan. Dan menjadi
bagian (belonging) berarti saya betah (at home) bersama mereka, saya
bertanggung jawab untuk dan pada mereka, Anda lihat saya menjadi bagian
dari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian saya. Kita
semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmis yang besar
ini (Capra, 1999: 22).
Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah
ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius
tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah spiritualitas dipakai untuk menunjuk
pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang
tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap
nilai-nilai dan makna tersebut.
Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat
dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas
(spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas
asli yang memuat unsur-unsur spiritualitas pramodern. Walaupun begitu,
spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan
masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki
dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat
postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme, dan
nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan

manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi
masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17).
Spiritualitas postmodern mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan
luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau
kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman
nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah tuan segala
ciptaan yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti bahwa
manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh sebab
itu, pandangan postmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya
digabungkan perhatian pada ekologi dengan perhatian khusus pada kesejahtraan
manusia (Griffin, 2005: 33).
Aktivitas melihat kemudian percaya adalah bagaimana seseorang melihat
objek visual. Namun, pengelihatannya ini dapat menembus batas-batas fisik objek
yang dilihat sehingga ia dapat mencerap

muatan-muatan nonfisiknya, seperti

pesan, dan makna. Sesuatu yang koheren di sini pada dasarnya bukan sematamata sosok objek visual dengan kepercayaan. Namun, muatan (content) di dalam
objek visual yang memungkinkan hubungan antara melihat, objek visual, dan
kepercayaan itu terjalin. Muatan inilah yang menjadi jiwa atau muatan spiritualitas
objek visual. Sinkronisasi antara nilai fisik dan nonfisik sebuah objek visual inilah
yang kemudian dapat menimbulkan satu wujud kepercayaan (Darmawan dalam
Adlin (ed), 2007: 144).

Bagi masyarakat tradisional, perlakuan terhadap objek visual, mulai dari


proses penciptaan sampai penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan, bahkan
diatur. Hal ini penting karena mereka menyadari bahwa objek visual tersebut
memiliki nilai-nilai luhur yang masih perlu dijunjung tinggi (Darmawan dalam
Adlin (ed), 2007: 148).
Piliang

mengemukakan

bahwa

posmodernisme

lebih

cenderung

mengembangkan agama-agama noninstitusi dan konsep-konsep baru tentang spirit


dan spiritualitas, yang terlepas dari konsep-konsep konvensional yang bersumber
dari agama-agama besar. Posmodernisme lebih cenderung menggali dimensidimensi emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spirit-spirit masa
lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, dan restorasi menjadi konsep-konsep yang sangat
penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas posmodern (Piliang,
2004: 256).

2.2.2 Upacara Gendang Kematian


Upacara berasal dari kata Sanskerta, yaitu terdiri atas kata upa artinya
dekat dan kata acara yang berarti kebiasaan. Jadi, upacara mengandung arti
kebiasaan yang dekat atau kebiasaan yang mendekatkan. Maksudnya adalah suatu
kebiasaan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau kebiasaan
yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu (Donder, 2007: 280).
Pengertian gendang secara umum adalah sebuah alat musik yang terbuat
dari kulit dan dipukul atau ditabuh sehingga

menghasilkan bunyi sebagai

pengiring dalam ensambel musik. Akan tetapi, bagi masyarakat Karo pengertian
gendang tersebut bukan alat musik semata sebagaimana dalam pengertian secara
umum diatas. Kata gendang pada masyarakat Karo memiliki beberapa pengertian.
Selain sebagai sebuah ensambel musik, gendang bisa juga berarti nama repertoar
sebuah lagu

ataupun alat musik tertentu. Biasanya pengertian kata gendang

tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen,
kata gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu, (2) gendang
simalungun rayat, kata gendang mengandung arti nama sebuah lagu, (3) gendang
indung, kata gendang menunjukkan salah satu jenis alat musik, (4) gendang gurogoro atau gendang kematian kata gendang menjadi suatu upacara.
Kematian berasal dari kata mati atau maut yang artinya tidak ada,
gersang, tandus, kosong, berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati nurani,
serta lepasnya roh dari jasad. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, kata mati
memiliki arti sudah tidak hidup lagi hilang nyawanya. Di pihak lain pengertian
mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1) kemusnahan dan kehilangan total
roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh dan badan, dan (3) terhentinya budi daya
manusia secara total (Yusuf, 2005: 55--56).
Kematian bagi manusia suatu hal biasa, tetapi bagi etnik Karo yang ada di
Sumatera Utara, kematian merupakan peristiwa penting. Manusia yang masih
hidup memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan roh orang yang sudah
meninggal dunia. Kematian bagi etnik Karo mendapat perhatian yang istimewa
dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Etnik

Karo sangat percaya pada

kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia
diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu.
Hubungan dengan roh (pertendin) orang yang sudah meninggal dunia tersebut
terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam berbagai ritual agar tidak
mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, ritual yang
dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih
hidup.
Upacara gendang kematian adalah salah satu kebiasaan yang tersusun
dengan urutan-urutan tertentu sebagai suatu ritual kematian yang terdapat pada
etnik Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu
kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa) yang
merupakan satu kesatuan, yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek
(tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian).
Gendang Lima Sendalanen (sering juga disebut gendang telu sedalanen
lima sada perarih) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam
khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan
dengan alat musik, lima berarti lima dan sendalanen berarti sejalan. Dengan
demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian lima buah
instrumen musik yang dimainkan secara bersama-sama.
Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sedalanen memang
terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarunei, (2) gendang singindungi, (3)
gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung. Tiap-tiap alat musik dimainkan

oleh seorang pemain dengan sebutan penarunei untuk pemain sarunei, penggual
untuk sebutan gendang singindungi dan gendang singanaki. Lebih spesifik lagi,
pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi dan pemain gendang
singanaki disebut penggual singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut
simalu penganak dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung. Ketika
mereka bermain musik dalam suatu upacara adat Karo, sebutan mereka menjadi
satu, yaitu sierjabaten (yang memiliki jabatan). Sebutan penggual dan penarune
tetap melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik,
sementara sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain
dalam suatu konteks upacara adat Karo.
Landek adalah menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu.
Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua
bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan. Dalam landek adat, yang berhadaphadapan adalah kelompok sukut (kelompok sukut yang meninggal) dengan salah
satu pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut. Dalam landek
hiburan, yang landek berhadap-hadapan adalah kelompok sunguda-nguda (wanita)
dan kelompok anak perana (pria) yang dilakukan dengan berpasang-pasangan.
Tiap-tiap kelompok berjumlah persis sama, sedangkan dalam landek adat (upacara
kematian), tidak memperhatikan kesamaan jumlah kedua kelompok.
Nuri-nuri adalah seseorang yang memberikan petuah-petuah, baik dari
kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut
serta dalam upacara tersebut. Singerunggui (protokol) mengarahkan acara nuri-

nuri dengan sistem kekerabatan yang ada. Konsep

nuri-nuri dalam konteks

gendang kematian umumnya tidak saja berbicara dengan keluarga yang ditinggal,
tetapi justru yang nuri-nuri memosisikan diri pada mayat yang sedang diupacarai.
Ngandung adalah pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung
dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan
pihak kelompok yang mempunyai hajatan. Ketika seseorang nuri-nuri atau
ngandung, kemudian pihak keluarga akan datang mendekat sambil ngandung.
Sukut dalam hal ini meratapi dan mengenang perilaku yang meninggal ketika
masih hidup dan terungkap dari keluarga yang ngandung.
Rende adalah bernyanyi, sedangkan perkolong-kolong adalah orang yang
bernyanyi. Dalam upacara gendang kematian lagu katoneng-katoneng (teks lagu
yang dinyanyikan secara spontan) diiringi

gendang lima sedalanen yang

dinyanyikan oleh seorang perkolong-kolong. Dalam hal ini perkolong-kolong


sebagai media untuk menyampaikan pesan yang meninggal kepada kerabatnya.
Sebaliknya, pesan dari kerabat kepada keluarga yang ditinggal.

2.2.3 Etnik Karo


Kata etnik berakar dari kata ethnos (Yunani) mengandung pengertian
bangsa atau kelompok orang atau juga sebagai kelompok sosial yang dibalut oleh
konstruksi ras, adat istiadat, tradisi, bahasa, perangkat nilai, dan norma budaya
lainnya (Mbete, 2009: 16). Etnik atau kelompok etnik merupakan (1) suatu
kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama.

Adanya kesamaan itu menjadi suatu identitas sebagai suatu subkelompok dalam
suatu masyarakat yang luas (bangsa). Kelompok etnik bisa memiliki bahasa
sendiri, agama, tradisi, dan adat istiadat yang berbeda dengan kelompok yang lain;
(2) suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi di
antara anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama; (3) suatu
kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain (Liliweri,
2005: 11--12).
Karo merupakan salah satu etnik

yang terdapat di Provinsi Sumatera

Utara. Selain etnik Karo, etnik yang tergabung dalam wilayah ini adalah Toba,
Simalungun, Pak-pak Dairi, Mandailing, dan sebagainya. Setiap etnik memiliki
wilayah daerah setingkat kabupaten. Meskipun etnik Karo menempati satu
kabupaten yang disebut Kabupaten Karo, wilayah geografis budaya etnik Karo
memiliki beberapa wilayah komunitas tertentu di luar wilayah Kabupaten Karo.
Etnik

Karo seperti halnya bangsa lain, juga mempunyai sistem

kekerabatan keluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga tersebut


dipertahankan dengan cara mencamtumkannya di belakang nama. Nama keluarga
ini disebut merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk perempuan), yang diwarisi
secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan berdasarkan ayah),
tetapi etnik Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan ibu. Hal ini terlihat
dalam sistem kekerabatan yang nantinya dibahas dalam bab selanjutnya. Untuk
memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo mau tidak mau harus memahami

sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima karena dalam setiap pelaksanaan
adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh.
Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut/sembuyak, yaitu pribadi atau
keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu
nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan, kematian,
memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila
sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. Misalnya dalam perkawinan, sukut
adalah orang yang kawin dan orang tuanya, dalam acara adat kematian sukut
adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari orang yang
meninggal). Dalam upacara memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah
pemilik rumah baru tersebut.

2.2.4 Era Globalisasi


Dalam konteks penelitian ini era diberikan arti sebagai suatu kurun waktu,
zaman, atau periode tertentu. Istilah globalisasi dari kata globe atau global artinya
dunia atau mendunia. Istilah globalisasi kemudian menjadi fenomena oleh
sebagian pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dalam kajian budaya.
Globalisasi dapat dimaknai dengan banyak pengertian dan konteks yang berbedabeda dari berbagai latar belakang konsep, definisi dan menjadi bahan pembicaraan
dalam ilmu-ilmu humaniora.
Sekarang ini globalisasi sudah berubah menjadi kata biasa dengan berbagai
konotasinya. Tampaknya globalisasi merupakan akibat perkembangan dalam

ekonomi dunia. Dalam hal itu, batas-batas negarasecara ekomomimakin


pudar dan mungkin hilang sama sekali. Globalisasi adalah suatu proses, bukan
suatu pengertian yang statis. Globalisasi juga bukan sesuatu yang otonomis terjadi.
Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan-gagasan yang lahir dari berbagai
interaksi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarnegara, yang pada abad ke dua
puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008: 101).
Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan
totalitas, kesatuan nilai kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integral budaya
lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam
menjadi basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan
kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisaasi yang ditandai oleh perbedaanperbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang
berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai
dimensi kehidupan mengalamai redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas
yang menunjuukkan sifat relatif suatu praktik sosial (Abdullah, 2006: 107).
Sebenarnya globalisasi bukanlah sekadar soal ekonomi. Globalisasi adalah
gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya kebudayaan dunia di
berbagai negara. Itu merupakan suatu sistem budaya dunia yang menguasai kita
semua. Artinya, suatu kebudayaan baru sedang merebak dan melanda dunia
(Barker, 2006: 115116; Hoed, 2008: 102).
Perkembangan teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya
kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang

budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negara-bangsa.
Globalisasi korporat atau sering juga disebut dengan globalisasi atas merupakan
transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang mengeroposi
ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis homogenisasi budaya
menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen menghilangkan keragaman
budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan kesamaan dan dugaan akan
hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperalisme
budaya (Barker, 2004: 117).
Gagasan tentang globalisasi mengandaikan adanya kesalingterhubungan
dan kesalingtergantungan semua kawasan global yang terjadi secara kurang
disengaja. Ini muncul sebagai praktik budaya yang tidak diarahkan kepada
integrasi global, tetapi yang menghasilkannya. Lebih penting lagi, efek dari
globalisasi adalah melemahnya koherensi budaya di semua negara individual,
termasuk negara-bangsa yang kuat secara ekonomi, kekuasaan imperialis masa
sebelumnya (Barker, 2004: 123, Piliang, 2011: 3).
Identitas yang stabil jarang dipertanyakan. Ia tampak alamiah dan diterima
begitu saja. Namun, ketika kealamiahan mulai terlihat pudar, kita cenderung
menelaah identitas-identitas ini dengan cara baru. Identitas begitu banyak
diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Globalisasi menyediakan
konteks bagi krisis semacam itu karena dia telah meningkatkan cakupan sumber
dan sumber daya yang ada bagi konstruksi identitas. Pola-pola gerakan penduduk
dan permukiman yang telah ada sejak kolonialisme dan tahun-tahun sesudahnya

dikombinasikan dengan percepatan terkini globalisasi, khususnya komunikasi


elektronik memungkinkan semakin meningkatnya perbenturan, pertemuan, dan
percampuran antarbudaya (Barker, 2004: 206).
Globalisasi adalah koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik
yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke
dalam kesadaran kita atas mereka. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi
produk global diasosiasikan dengan institusi modernitas dan penyempitan ruang
dan waktu atau tenggelamnya dunia ini (Barker, 2004: 405).
Bagi etnik Karo, era globalisasi adalah suatu era yang telah mengalami
suatu proses perjalanan, sebagaimana fase-fase sejarah yang disebutkan oleh Hood
dan Barker dalam konsep globalisasi. Sejak masa lampau intensitas kontak budaya
dengan asing, hubungan etnik Karo dengan dunia luar terus berlanjut. Sentuhan
budaya global membawa pengaruh tidak saja pada seni dan budaya, tetapi juga
merambah pada berbagai sendi kehidupan orang Karo. Pola kehidupam etnik
Karo cenderung sekuler dan komersial, dalam bidang seni bergeser dari sakral
menjadi sekular dan manusia hidup cenderung individual, seperti berlomba
mengejar yang ditinggalkan dan meninggalkan yang seharusnya dikejar. Hal ini
memengaruhi jati diri, kepribadian, dan identitas etnik Karo itu sendiri.

2.3 Landasan Teori


Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di
atas, maka diperlukan konsep pemikiran yang dibangun untuk memberikan

jawaban penelitian. Konsep pemikiran tersebut merupakan landasan teori untuk


menggali berbagai aspek dalam subjek penelitian, yang meliputi wujud, faktorfaktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi.
Ritzer (2003: 18--20) menunjukkan karakteristik postmodern sebagai
berikut. Pertama, postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas. Kedua, postmodern cenderung menolak apa
yang dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas.
Ketiga,

postmodern

cenderung

menggembar-gemborkan

fenomena

besar

pramodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman


personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos,
sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Keempat, postmodern menolak
kecenderungan modern yang meletakkan batas antara hal-hal tertentu, seperti:
disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, serta image dan realitas.
Kelima, postmodern menolak gaya dikursus akademis modern yang elite dan
bernalar. Keenam, postmodern tidak memfokuskan pada inti (core) masyarakat
modern, tetapi mengkhususkan perhatian pada bagian tepi (periphery).
Dalam kaitan ini Danesi berpendapat bahwa seni posmodern mengemuka
untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan logosentris, yang
telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans. Akan tetapi, dengan membuat
budaya barat makin mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme
sekaligus mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi,

2010: 251). Penggunaan teori kritis dan teori posmodern dalam kajian budaya,
sesuai dengan perjuangan pendirinya di Inggris, seperti Hoggart dan Williams,
yaitu melawan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kapitalis (Lubis, 2006:
138). Salah satu karakteristik teori kritis, teori posmodern, dan kajian budaya
adalah peningkatan kondisi kemanusiaan, emansipasi manusia, dan perbaikan
sosial budaya yang berkeadilan dan manusiawi agar lebih mencerahkan dan
emansipatoris (Lubis, 2006; Agger, 2006).
Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran
modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa
menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai
perlu (Sugiartha, 2012: 34). Berdasarkan

pokok permasalahan wujud, faktor-

faktor, dan makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori utama
untuk mengkaji permasalahan secara umum. Tiga

tiga teori lainnya, yaitu

etnomusikologi, komodifikasi, dan semiotika, digunakan sebagai teori pendukung.

2.3.1 Teori Dekonstruksi


Dekonstruksi adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Derrida, yang
merupakan kritik dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat modern.
Kritik dan penolakan ini didasarakan pada beberapa fakta bahwa modernisme
gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang diinginkan oleh
pendukungnya. Dalam hal ini muncul kontradiksi antara teori dan fakta dalam

ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya kesewenangwenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu modern kurang
memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena
terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009: 248).
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan
intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku.
Dekonstruksi

sering

diartikan

sebagai

teori

pembongkaran,

perlucutan,

penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan


penyempurnaan arti semula. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh dekonstruksi
adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan,
sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berusaha untuk memberikan arti
kepada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang diperhatikan, bahkan
diabaikan sama sekali (Ratna, 2005: 251).
Dekonsruksi menurut Jacques Derrida, di dalam Of Grammatologi (1993)
adalah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan, membongkar,
menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur (bahasa, ideologi, ekonomi,
politik, hukum, dan kebudayaan), yang selama ini (dipaksa untuk) diterima
sebagai satu kebenaran sehingga tidak menyisakan ruang bagi pertanyaan,
gugatan, atau kritikan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut kemudian
direkonstruksi kembali untuk menghasilkan struktur baru yang lebih segar, lebih

demokratis, lebih terbuka. Inilah sebetulnya hakikat dekonstruksi (Piliang, 2003:


116--117).
Menurut Derrida, deconstruction merupakan prosedur dalam menyusun
suatu teks dengan membongkar teks-teks lain serta berupaya melebihi teks-teks
lain itu dengan menyampaikan sesuatu yang tidak dikatakan di dalam teks-teks
lain tersebut. Derrida mengemukakan bahwa teks atau tenunan merupakan
jaringan atau rajutan tanda dan arti asli kata teks yang berasal dari kata latin
textere, yang artinya menenun. Pada paham Derrida segala sesuatu yang ada
merupakan teks dan tidak ada sesuatu di luar teks. Jadi, menurut Derrida kata
teks mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada arti yang biasanya dikenal
orang. Suatu teks tidak pernah terisolasi, tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks
lain sehingga Derrida menemukan adanya intertekstualitas. Dikatakan pula oleh
Derrida bahwa menerjemahkan adalah mengganti teks satu dengan teks yang lain
dan terjemahan adalah transformasi (Alfian dalam Waridi (ed), 2005: 86).
Pemahaman atas makna globalisasi adalah pemahaman atas suatu struktur
pikiran, yakni kata globalisasi dengan makna yang seolah-olah sudah
dianggap baku. Padahal, menurut Derrida, dalam kehidupan sehari-hari tanda
merupakan sesuatu yang dinamis, yang berperikehidupan sendiri. Menurut
Derrida, makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan makna yang
berbeda-beda menurut setiap individu. Proses ini terjadi dengan penundaan
hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (isi) yang memungkinkan adanya
pemaknaan baru yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Hasil

proses seperti itu disebutnya differance. Intinya adalah bahwa dekonstruksi


merupakan suatu proses penafsiran yang sistematis oleh setiap individu atau
kelompok masyarakat tertentu (Hoed, 2008: 103).
Spiritualitas selalu didekonstruksi atau merupakan aktivitas interpretasi
atas interpretasi secara tanpa henti. Spiritualitas bukanlah aktivitas menafsirkan
sumber-sumber masa lalu (logos, Oidos, Tuhan, wahyu) dengan orientasi ke
belakang (retospektive), melainkan sebuah interpretasi ke depan (prospective).
Spiritualitas adalah sebuah proses penjelajahan tanda-tanda secara tanpa henti
melalui proses dekonstruksi oposisi biner antara sakral/profan, transenden/imanen,
tidak dalam rangka mencari ketetapan makna, tetapi merayakan permainanpermainan dan dunia kemungkinan yang disediakannya (Piliang, 2007: 173).
Dalam kaitan ini teori dekonstruksi digunakan sebagai teori utama karena
paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan wujud, faktor-faktor, dan
makna yang tersembunyi dalam spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi dan didukung oleh teori-teori lain secara eklektif. Agar
kedalaman makna tidak tertangguh atau tertunda, maka pemaknaan harus diulang
dan dihasilkan kembali. Pencarian makna dilakukan dengan pembongkaran
sebagai proses secara terus-menerus. Melalui dekonstruksi akan diperoleh segala
sesuatu yang selama ini tidak mendapat perhatian.

2.3.2 Teori Etnomusikologi


Istilah etnomusikologi berasal dari ethnomusicology (bahasa Inggris).
Ethnomusicology dibentuk dan berasal dari tiga kata, yaitu ethos, mousike,
dan logos (bahsa Yunani); ethos berarti hidup bersama, yang kemudian
berkembang menjadi bangsa atau etnis, mosuike artinya musik, sedangkan logos
artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabung menjadi ethnomusicology
atau etnomusikologi, artinya ilmu musik bangsa-bangsa (Nakagawa, 2000: 1--2).
Istilah etnomusikologi pertama sekali dikemukakan oleh ahli musik
berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini
digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif
yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat nonEropa
dan musik yang diwariskan dengan tradisi lisan. Ilmu ini dipopulerkan oleh Alan
P. Merriam, Bruno Nettle, dan Mantle Hood (Nakagawa, 2000: 1-2; Sugiartha,
2012: 41). Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh tokoh ini terkait dengan
penyelamatan musik-musik timur, musik rakyat, dan musik-musik dalam tradisi
lisan. Upaya penyelamatan itu dilakukan

dengan mengedepankan isu-isu

konseptual seperti asal mula musik, perubahan musik, musik sebagai simbol
universal, fungsi dan kegunaan musik dalam masyarakat, perbandingan sistem
musikal, dan dasar-dasar biologis musik.
Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior
kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik yang lebih tinggi.
Di samping itu, menganggap musik Timur sebagai musik kuno, primitif, dan tidak

beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik musikal
maupun sosial (Sugiartha, 2012: 41).
Menurut Merriam (1964: 33), etnomusikologi adalah sistem suara yang
selalu mempunyai struktur dan harus dipandang sebagai produk tingkah laku yang
menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek fisik,
sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang
mendasarinya. Karena musik tanpa konsep, tingkah laku tidak akan ada, dan tanpa
tingkah laku, suara musik tidak akan ada. Pernyataan ini mempunyai satu
implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak
hanya mempelajari bunyi musik, tetapi juga bertujuan untuk mempelajari materi
yang menghasilkan bunyi musik.
Etnomusikologi mempunyai tugas pokok mengamati, mencari data,
menyiapkan perangkat analisis, dan membuat analisis tentang musik sasarannya.
Pokoknya melakukan penelitian, pencarian pengetahuan, dan teori tentang musik
tersebut. Mereka harus berada di lapangan dan bekerja dengan narasumber dan
melihat pertunjukan musik. Bila perlu, ikut memainkan musik tersebut,
menanyakan isu-isu yang relevan dengan penelitiannya, dan berpartisipasi dengan
kegiatan yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itulah kemampuan musikal
diperlukan, yaitu dalam rangka mengikuti kegiatan bermusik (bukan kegiatan
bermasyarakat seperti apa adanya) dan menggunakannya untuk keperluan
mendapat data musikal (Santosa, 2007: 47; Liembeng, 2009: 30).

Untuk menjelaskan musik harus disadari bahwa musik itu hidup dalam
masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya.
Ketika kita pertama kali mengenal sebuah musik, biasanya kita mengamati
akustiknya, melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain.
Dalam hal ini kita diamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi
etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi harus dihubungkan dengan
masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu
dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan
utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsurunsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya masalah politik dan
seni-seni yang lain. Pendek kata, objek penelitian bukan semata-mata struktur
musik itu sendiri, melainkan lebih luas lagi yang terkait dengan teks dan konteks
(Nakagawa, 2000: 6).
Teks berarti kejadian akustik, sedangkan konteks adalah suasana, yaitu
keadaan yang dibentuk oleh masyarakat pendukung musik tersebut. Kata teks
biasanya diterjemahkan dengan syair lagu. Dalam pembahasan ini bukan itu,
melainkan elemen-elemen yang lain, seperti bunyi, gerak, rupa, dan sebagainya.
Etnomusikologi menggunakan pengertian teks melalui analisis konteks atau
menghubungkan pengertian teks dengan konteks. Artinya, apabila meneliti musik
Sumatera

dengan

menganalisis

strukturnya

saja,

itu

bukan

kegiatan

etnomusikologi. Kegiatan itu baru disebut kegiatan etnomusikologi ketika kita

menghubungkannya dengan unsur kebudayaan lain atau menghubungkan teks


dengan konteksnya (Nakagawa, 2000: 6--7).
Dalam penelitian ini teori etnomusikologi digunakan sebagai landasan
kajian wujud, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi yang berhubungan dengan wujud dan
makna bunyi, gerak, rupa, dan unsur-unsur lainnya. Analisis dalam penelitian ini
juga dilakukan dengan cara eklektik dengan teori pendukung yang lain.

2.3.3 Teori Komodifikasi


Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, yaitu
objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan permukaan
barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul komoditas yang berasal
dari hubungan eksploitatif yang disebut Marx dengan fetisisme komoditas. Lebih
jauh lagi, fakta bahwa para pekerja dihadapkan dengan produk kerja mereka
sendiri yang kini terpisah dari mereka menimbulkan alienasi (Barker, 2004: 14).
Komodifikasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya
bukan komoditas, kemudian menjadi komoditas yang tujuan utamanya dapat
diperjualbelikan. Komodifikasi dipahami sebagai proses produksi komoditas yang
tidak hanya terbatas pada lingkup ekonomi yang sempit, yaitu penjualan barangbarang kebutuhan hidup, tetapi juga mengacu pada rangkaian kegiatan produksi,
distribusi, dan konsumsi (Fairclough, 1985: 19). Selanjutanya, menurut Kaunang,
komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung dan sengaja, dengan

penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai sebuah komoditas belaka.


Dengan komodifikasi, setiap hal bisa menjadi produk yang siap dijual, mulai dari
benda-benda konkret sampai keabstrakan-keabstrakan yang tersembunyi, dari
kapal terbang sampai bagian-bagian tubuh privat (Kaunang, 2010: 26).
Menurut Adorno (Piliang, 2003: 94--95), komodifikasi tidak saja menunjuk
pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi juga telah merambat ke
bidang seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat
kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada hukum
komoditas kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan kebudayaan
industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa
dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser dalam
penentuan bentuk, gaya, dan maknanya. Perkembangan masyarakat konsumen
memengaruhi cara-cara pengungkapan nilai estetik. Perkembangan tentang model
konsumsi baru dalam konsep nilai estetik sangat penting karena terjadi perubahan
mendasar terhadap cara dan bentuk hasil produksi. Produsen penghasil suatu
produk dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan dengan selera
pasar. Dalam membentuk masyarakat konsumen yang mengarah pada budaya
populer, setidaknya ada tiga kekuasaan yang memengaruhinya, yaitu kekuasaan
kapital, produser, dan media massa (Piliang, 1999:246).
Teori komodifikasi dalam disertasi ini digunakan sebagai pisau bedah
untuk menelaah rumusan masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, yang dikaitkan dengan

teknologi, relasinya dengan kebutuhan untuk dikonsumsi penduduk asli, dan


kebudayaan-kebudayaan mereka sebagai suatu trend global yang sedang
berkembang sekarang. Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, upacara gendang
kematian dengan berbagai peralatannya telah muncul menjadi barang dagangan
atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemen-elemen yang
berkepentingan. Di sini peralatan upacara tidak lagi dikerjakan secara gotong
royong seperti sebelumnya, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk jasa yang
diperdagangkan. Terjadinya perubahan-perubahan dalam rumusan ini tidak
terlepas dari komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme,
yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Analisis dalam
penelitian ini menggunakan teori secara eklektik dengan teori semiotik dan teori
lainnya sebagai pisau analisis menuju pada validitas temuan.

2.3.4 Teori Semiotika


Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de Saussure
(1857--1913) dan Charles Sander Pierce (1839--1914). Kedua tokoh tersebut
mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama
lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan
adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang
dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure didasarkan pada
anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna
atau selama berfungsi sebagai tanda harus ada di belakangnya sistem pembedaan

dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada
sistem (Sumbo, 2008: 11--12).
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem.
Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang
ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk,
sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau
makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan
kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama (Sumbo, 2008: 11--13;
Marianto, 2006:135--138).
Menurut Pierce, tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain
dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang
oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda
baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri
penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem
tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukkan Pierce
terkenal dengan nama segi tiga semiotik (Sumbo, 2008: 13--14).
Selanjutnya dikatakan bahwa tanda dalam hubungan dengan acuannya
dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut

metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan kedekatan
eksistensi. Contoh tanda panah penunjuk bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan
tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum
konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Sumbo, 2008: 14).
Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat
bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda
dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung
tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai
kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya
intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama
banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda (Hoed, 2008: 76; Sumbo, 2008: 15).
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam
tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini
dikaitkan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan
ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual diperoleh
dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosis tingkat
pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya.
Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka pesan dapat dipahami
secara utuh (Sumbo, 2008: 15). Munculnya berbagai tipe perubahan pada
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi disebabkan
oleh terjadinya perkembangan konsep tanda dalam musik Karo.

2.4 Model Penelitian


Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi sebagai kajian budaya (cultural studies) dapat digambarkan seperti
model penelitian berikut ini.
Budaya Lokal

Budaya Global

- Masyarakat Pendukung
- Kreativitas
Seniman/Budayawan

- Kristenisasi
- Industri Budaya
- Media Elektronik

Spiritualitas Upacara
Gendang Kematian Etnik Karo
pada Era Globalisasi

Faktor-faktor yang
memengaruhi
Spiritualitas Upacara
Gendang Kematian
Etnik Karo

Wujud Spiritualitas
Upacara
Gendang Kematian
Etnik Karo

Makna Spiritualitas
dan Strategi Pewarisan
Upacara
Gendang Kematian
Etnik Karo

Penguatan
Spiritualitas Etnik Karo

Gambar 2.1 Model Penelitian


Keterangan:

: Menunjukkan hubungan saling memengaruhi


: Menujukkan pengaruh searah (dominasi/pembinaan)
: Menunjukkan harapan/tujuan penelitian

Dalam Gambar 2.1 tampak bahwa budaya global dan budaya lokal saling
memengaruhi. Relasi budaya global dan budaya lokal secara langsung
berpengaruh kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi. Di satu sisi budaya lokal upacara gendang kematian berusaha
mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh
globalisasi yang sulit dibendung kekuatannya. Akan tetapi, di sisi yang berbeda
globalisasi dalam wujudnya kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik
memainkan peran penting dalam perubahannya. Wujud, faktor-faktor, dan makna
merupakan harapan atau temuan penelitian. Gendang kematian adalah upacara
kematian yang dilaksanakan dalam hubungan dengan tradisi, ritual dalam berbagai
aspek kehidupan etnik Karo yang dalam perkembangannya dipengaruhi faktorfaktor intern dan ekstern.
Globalisasi menjadi suatu petanda zaman baru, yang tidak bisa dibendung
ataupun ditolak yang mengakibatkan banyak aspek dalam kehidupan sosial dan
budaya masyarakat mengalami perubahan. Pergeseran budaya lokal ke arus
budaya globalisasi menjadikan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi mengalami bentuk dan makna-makna baru.
Globalisasi dengan berbagai wujud spiritualitas upacara gendang kematian
disebabkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern dengan arus utama
kebudayaan global terkait dengan faktor kristenisasi, industri budaya, dan media
elektronik merupakan

agen budaya populer. Pengaruh faktor intern dengan

kebudayaan lokal, relasinya dengan faktor etnik Karo sebagai pendukung budaya
gendang kematian, kreativitas seniman/budayawan dan konstruksi identitas Karo.
Fenomena di atas dalam paradigma keilmun dianalisis kritis dengan
persperktif kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk
menjawab rumusan masalah yang diteliti. Adapun masalah yang dimaksud, yaitu
(1) wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi,
(2) faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi, dan (3) makna spiritualitas dan strategi pewarisan
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung
untuk mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan dan relasinya dengan
spiritualitas upacara gendang kematian. Dengan metode dan metodologi yang
jelas dalam domain kajian budaya diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan baru
guna kemandirian tradisi dan adat istiadat etnik Karo pada era globalisasi.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian ini dilakukan dengan tahapan pengumpulan data
yang dimulai dari studi pustaka, observasi, dan wawancara. Selanjutnya,
diinventarisasi dan diidentifikasi serta diolah dan dianalisis berdasarkan metode
kualitatif untuk menemukan jawaban permasalahan penelitian ini. Menurut Ratna
(2010: 84), metode penelitian dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk
memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian
sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah
sehingga lebih mudah dipecahkan dan dipahami.
Metode deskriptif digunakan untuk melihat sifat data penelitian, yaitu
aspek wujud, aspek faktor-faktor serta aspek makna spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di pihak lain metode kualitatif
digunakan saat pengambilan dan pembahasan data yang ditekankan pada aspek
kualitas data. Di samping itu, alasan lain pemakaian metode penelitian kualitatif
karena data yang diperoleh dari lapangan tidak terstruktur dan relatif banyak
sehingga dimungkinkan untuk ditata, dikritisi, dan diklasifikasikan.
Menurut Lubis (2006: 186), cultural studies dan kajian budaya
kontemporer lebih tertarik menggunakan metode kualitatif dalam penelitiannya
(hermeneutika dan fenomenologi dengan variannya) karena metode ini

mempertimbangkan masalah, konteks budaya, ideologi, kepentingan, kuasa dalam


menjelaskan budaya dan maknanya. Metode hermeneutika dan fenomenologi
memungkinkan deskripsi mendalam dan multiplisitas paradigma dan kerangka
konseptual sesuai dengan pandangan kajian budaya kontemporer.
Karena wujud, faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi memiliki dimensi yang
kompleks, seperti aspek musik, aspek gerak, bahasa, budaya, sosiologis, dan
historis. Oleh karena itu dalam menganalisis permasalahan yang tertuang dalam
rumusan masalah di atas, digunakan metode yang yang bersifat eklektif dengan
melakukan pendekatan teori-teori dekonstruksi, etnomusikologi,

komodifikasi,

dan semiotika.

3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini

dilakukan di

Kabupaten

Karo,

yakni

salah satu

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari tujuh belas Kecamatan, yaitu


Kecamatan Barus Jahe, Berastagi, Juhar, Kabanjahe, Kuta Buluh, Laubaleng,
Mardingding, Merek, Payung, Simpang Empat, Tiga Binanga, Tiga Panah, Munte,
Tiganderket, Naman Teran, Dolat Rayat, dan Merdeka dipilih tiga kecamatan
sebagai lokasi penelitian. Kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Barus Jahe
yaitu Desa Barusjahe, Kecamatan Tiga Panah yaitu Desa Seberaya dan Kecamatan
Tiga Binanga yaitu Desa Perbesi.

Kabupaten Karo dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan


sebagai tempat perubahan dan keberlanjutan upacara gendang kematian dan lokasi
yang memiliki kantong-kantong kebudayaan berupa sanggar seni, tokoh
masyarakat, seniman, yang terkait, baik dengan musik, tari, maupun rupa. Di
samping itu dianggap dapat mewakili tujuh belas kecamatan yang ada di
Kabupaten Karo berdasarkan letak geografis. Alasan lainnya, yaitu secara teknis
operasional peneliti berada di lokasi penelitian yang secara intensif memberikan
kemudahan menjangkau subjek penelitian. Hal ini berarti mempermudah peneliti
melakukan pengamatan, observasi langsung dengan mendatangi upacara gendang
kematian.

3.3 Jenis Data dan Sumber Data


Sebagai sebuah kajian budaya, sebagian bessar data dalam penelitian ini
mencakup jenis data kualitatif yang didukung pula oleh data kuantitatif. Data
kualitatif berupa narasi, uraian, kata-kata, dan ungkapan yang berkaitan dengan
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.
Sedangkan, data kuantitatif berupa angka-angka, penjumlahan, dan persentase.
Data kualitatif diperoleh dari observasi dan wawancara, sementara data kuantitatif
diperoleh dari dokumentasi, BPPS

yang menyangkut jumlah penduduk, dan

komunitas berkesenian di Karo.


Para peneliti yang sungguh-sungguh serius, membagi sumber data menjadi
dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah

manuskrip-manuskrip

dan

dokumen-dokumen

asli

yang

disimpan

serta

dilestarikan dalam tempat pengarsipan serta perpustakaan, surat-surat, catatan


harian, akte, dan dokumen-dokumen umum serta pribadi yang berhubungan
dengan objek penelitian. Di samping itu, peta dan benda-benda yang dapat diamati
seperti gambar atau barangkali foto juga dapat dimasukkan dalam kategori sumber
informasi primer. Sumber informasi sekunder dapat berupa hasil pengembangan
serta perbaikan dari sumber informasi primer yang telah dicetak, seperti surat-surat
dan jurnal penulis tertentu, peta wilayah tertentu, dan sebagainya. Karya-karya lain
yang dibuat berdasarkan sumber informasi primer dapat juga digolongkan sebagai
sumber informasi sekunder (Flon & Vidmar, 2007 : 27).
Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi menggunakan sumber data primer dan sekunder. Data primer adalah
data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti yang berasal dari hasil
wawancara sejumlah informan. Data sekunder adalah data yang diolah oleh
peneliti yang diperoleh dari sejumlah tempat, kantor, dan lembaga, seperti
dokumen yang diproses berdasarkan keperluan dan analisis yang tepat. Data ini
juga dilengkapi dengan data stastistik, laporan arsip, artikel, foto, gambar, dan peta
untuk melengkapi data primer. Sehubungan dengan ini, Moleong (2005: 157)
menyatakan bahwa sumber data dapat berupa, foto, dokumen, dan koran.
Keseluruhan data tidak untuk memperoleh generalisasi temuan, tetapi lebih
mengarah pada penjelasan fenomena yang diteliti secara mendalam dan bermakna.

3.4 Penentuan Informan


Penentuan informan merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian
ini. Informan adalah orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap
informasi yang dibutuhkan dan dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman
yang memadai tentang berbagai hal yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan
penelitian. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa
jaringan, seperti informasi dari seniman dan budayawan yang ada di lokasi
penelitian yang dipilih secara selektif berdasarkan sejumlah kriteria tertentu.
Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah individu-individu yang berasal dari
organisasi-organisasi sosial, dan ketegori sosial yang sedang atau telah banyak
berperan secara langsung dalan upacara gendang kematian. Para akademisi yang
ada di jurusan etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, jurusan sendratasik
Universitas Negeri Medan, jurusan musik Universitas HKBP Nommensen, Taman
Budaya Sumatera Utara, dan tokoh-tokoh masyarakat atau budayawan yang
dianggap banyak mengetahui kehidupan dan perkembangan gendang kematian
etnik Karo.
Di samping itu, diperlukan informan lain, yaitu informan yang secara
legitimasi mempunyai wewenang untuk memberikan keterangan yang secara
umum diakui oleh masyarakat yang menganut atau mendukung upacara gendang
kematian tersebut. Terkait dengan hal tersebut dalam penelitian ini informan dapat
dikategorikan sebagai penggual (salah seorang pemain musik, baik gendang lima
sendalanen maupun gendang kibod), perkolong-kolong (salah seorang penyanyi),

silandek (salah seorang yang menari), simbalu (suami atau istri yang meninggal),
dan singerunggui (protokol/ budayawan) pada upacara gendang kematian etnik
Karo.

3.5 Instrumen Penelitian


Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, instrumen utama adalah
peneliti sendiri. Menurut visi kualitatif kecanggihan teknologi belum mampu
menyamai kecanggihan manusia. Alasannya adalah gejala yang diungkap bukan
gejala yang tampak, melainkan justru yang ada di baliknya sebagai gejala yang
belum jelas. Selain itu objek ilmu sosial humaniora bukan benda, melainkan
manusia. Manusia harus didekati oleh manusia. Oleh karena itulah, instrumen
utama metode kualitatif adalah manusia, yaitu peneliti itu sendiri, sebagai human
instrument.
Peneliti sebagai human instrument dilengkapi dan didukung oleh pedoman
wawancara (interview guide), tape recorder, kamera, dan catatan.

Pedoman

wawancara dengan daftar pertanyaan terbuka dapat diarahkan ke hal-hal yang


lebih spesifik, kemudian dijawab oleh informan secara lisan. Posisi peneliti
menempatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan dan peristiwa. Selain itu, juga
berusaha menjalin hubungan yang wajar dan penuh keakraban dengan informan
dalam upacara gendang kematian.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen. Adapun penjelasan
teknik-teknik tersebut adalah seperti berikut ini.

3.6.1 Observasi
Observasi adalah cara yang dilakukan untuk memperoleh data dengan
melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Pengamatan
(observation) merupakan cara untuk mengamati perilaku dan benda-benda yang
digunakan atau dihasilkan oleh masyarakat yang hendak dipahami melalui
penelitian. Dalam melakukan observasi, seorang peneliti langsung datang ke
lapangan dan melakukan pengamatan dengan pancaindra dan kemampuan yang
ada di samping melaksanakan pencatatan segala gejala yang ditemukan. Selain
mengamati secara langsung, peneliti juga harus berusaha membandingkan hasil
pengamatannya dengan hasil pengamatan orang lain yang pernah melakukan
pengamatan yang sama. Hal ini dilakukan selain bertujuan memperoleh kepastian
data juga untuk memahami perubahan atau perkembangan yang dituju.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini diawali penentuan sasaran,
yaitu objek material dan objek formal. Hal ini dilakukan untuk memilah apa yang
mesti diamati dengan saksama dan mana yang dapat diabaikan. Namun, di
lapangan hal yang sering terjadi adalah sasaran pengamatan berubah. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat dan kebudayaan terus menerus mengalami perubahan.

Oleh sebab itu, dilakukan observasi terhadap peristiwa upacara gendang kematian
dalam masyarakat pendukungnya. Agar diperoleh data yang lebih lengkap,
dilakukan juga pengamatan partisipasif di lapangan dengan cara melibatkan diri
secara langsung dalam peristiwa upacara gendang kematian.

Gambar 3.1
Suasana observasi pada upacara gendang kematian Dison Barus
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar 3.1 menunjukkan kegiatan observasi peneliti dengan cara ikut
berpartisipasi dalam

memainkan salah satu instrumen musik pada upacara

gendang kematian di lokasi penelitian, yaitu Kecamatan Barusjahe Kabupaten


Karo. Pengamatan secara langsung terhadap upacara kematian bertujuan
mendapatkan data aktual tentang aspek bentuk upacara dan unsur-unsur
pendukung upacara gendang kematian lainnya. Hal ini tidak serta merta dijadikan

sebagai data utama penelitian, tetapi digunakan untuk mendukung konsep dan
teori-teori yang digunakan untuk mempelajari realitas objek yang diteliti.

3.6.2 Wawancara
Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan
berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antarindividu maupun individu dengan
kelompok. Wawancara melibatkan dua komponen pewawancara, yaitu peneliti itu
sendiri dan orang yang diwawancarai. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan
baik dengan formal maupun tidak formal dan berusaha menumbuhkan keakraban.
Demikian juga waktu dan tempat wawancara tidak terikat, tetapi melihat situasi
dan kondisi di lapangan. Wawancara adalah proses tanya jawab antara peneliti
dan informan untuk mendapatkan keterangan secara lisan, yang berkaitan dengan
permasalahan, pandangan, dan pendirian subjek yang diwawancarai (lihat gambar
L.4.28).
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi antara
peneliti dan informan. Teknik wawancara digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan berbagai informasi, keterangan lisan dari informan yang berkaitan
dengan permasalahan kajian. Gambar 3.2 menunjukkan kegiatan wawancara
dilakukan dengan cara bercakap-cakap dengan informan untuk mendapatkan
keterangan dan pendiriannya tentang suatu persoalan objek kajian.

Gambar 3.2
Suasana wawancara dengan Darwan Tarigan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Wawancara dilakukan di mana ada kesempatan dan selalu diupayakan,
seperti di kebun, di kedai kopi, lokasi upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini
bahasa Karo digunakan peneliti untuk memperlancar komunikasi dengan informan
untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Informan diharapkan dapat
memberikan keterangan berupa pandangan, pendapat, dan pemberitahuan berbagai
hal tentang upacara gendang kematian yang ada pada masyarakat Karo. Untuk itu
wawancara dikembangkan di

lapangan hingga informasi yang dibutuhkan

dipandang cukup dan sesuai untuk memecahkan permasalahan penelitian.


Pedoman wawancara telah disusun sedemikian rupa dan secara terbuka.
Artinya, mudah dipahami oleh informan dan dengan mudah peneliti dapat
menjaring data, informasi, keterangan melalui pengetahuan, pendapat, dan gagasan

informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Kegiatan
wawancara di lapangan juga membutuhkan keahlian peneliti dalam mengajukan
pertanyaan, menggali jawaban lebih jauh, dan mencatatnya. Catatan-catatan
pertanyaan dan petanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman
wawancara sesuai dengan situasi dan konteks yang dihadapi selama melakukan
wawancara menuju kedalaman percakapan.

3.6.3 Studi Dokumen


Di samping wawancara dan observasi, dalam penelitian ini juga digunakan
teknik studi dokumen. Analisis dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan
menelusuri dokumen dan laporan yang terkait dengan permasalahan keberadaan
dan segala permasalahan yang mengarah kepada spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi. Studi dokumen menunjuk pada masa
lampau, sebagai catatan atau bukti suatu peristiwa, aktivitas, dan kejadian tertentu,
tetapi berbeda dengan observasi dan wawancara karena studi dokumen merupakan
data nonmanusia.
Dokumen diperoleh dari data sekunder, seperti kliping media massa, arsip
pemerintah kota, dan letak geografis (peta) Kabupaten Karo dengan tujuan untuk
mengetahui data yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan sejarah setempat.
Studi dokumen juga dilakukan untuk memperoleh referensi yang dianggap
relevan, seperti konsep, gagasan, dan teori yang relevan dan berkaitan dengan
penelitian, baik proses pengumpulan data maupun proses pengolahan data.

Demikian juga studi dokumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
seperti pengambilan foto dan perekaman dengan tape recorder. Di samping itu,
dokumen dipandang penting dalam penelitian ini, yakni sebagai upaya untuk
mendukung dan melengkapi data hasil wawancara dan observasi sehingga
penelitian ini jelas dan lengkap. Karena objek penelitian ini berkaitan dengan
budaya dan aktivitas suatu masyarakat, maka penerapan studi dokumen dipandang
sangat penting.

3.7 Teknik Analisis Data


Analisis data dalam suatu penelitian merupakan kegiatan mendasar untuk
mencapai hasil penelitian berdasarkan data yang dikumpulkan. Menurut Dharmojo
(2005 : 21), analisis data yang dilakukan pada saat pengumpulan data bertujuan
agar tidak terjadi penumpukan data dan dapat memahami sistem simbol sesuai
dengan konteksnya. Analisis data setelah pengumpulan data dimaksudkan untuk
klarifikasi agar ketepatan analisis dapat dipenuhi.
Analisis data adalah aktivitas mendengarkan suara-suara orang lain. Dalam
hubungan ini meliputi keseluruhan data, baik yang diperoleh melalui sumber
primer maupun sekunder, yang kemudian digabungkan dengan pemahaman dan
penjelasan peneliti sebagai proses interpretasi sehingga menghasilkan maknamakna baru. Setidaknya ada tiga unsur pengamatan terpenting dalam analisis,
yaitu makna lokal, makna prediksi, dan makna konsekuensi. Makna lokal
berkaitan dengan hakikat objek yang pada umumnya disebut emik, makna prediksi

berkaitan dengan kompetensi peneliti, bagaimana objek diinterpretasikan, dan


makna konsekuensi berkaitan dengan pembaca, risiko sebagaimana diakibatkan
oleh terjadinya makna pertama dan kedua (Ratna, 2010: 303--304).
Dalam penelitian spiritualitas upacara gendang etnik Karo pada era
globalisasi

terlebih dahulu data direduksi atau dipilih sesuai dengan

tujuan

penelitian. Data-data kualitatif tersebut ditabulasi berdasarkan aspek wujud,


faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan, sehingga dapat dilihat reliabilitas dan
validitasnya. Model analisis ini menerapkan model analisis komparatif dengan
melihat fakta-fakta pada saat upacara gendang kematian. Dalam hal ini digunakan
logika perbandingan dengan menerapkan analisis sinkronik dalam pembahasan
aspek simboliknya yang berkaitan dengan nilai-nilai kultural, atau menelaah
aspek-aspek yang berbeda dan persamaannya. Di samping itu, juga digunakan
analisis diakronik yang menekankan pada aspek historisnya.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data


Tahapan terakhir dari seluruh proses penelitian ini adalah penyajian
seluruh analisis data. Penyajian hasil analisis data disajikan secara formal dan
informal. Secara formal berupa tabel dan gambar, seperti peta, bagan, dan foto,
sedangkan penyajian data secara informal, seperti narasi, kata-kata, ungkapan,
kalimat,

dalam ragam bahasa ilmiah. Penyajian hasil analisis data dilakukan

secara sistematis dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca.

Keseluruhan kajian disusun dalam bentuk laporan utama yang berhubungan


dengan masalah penelitian ini.

BAB IV
GAMBARAN UMUM ETNIK KARO DAN
UPACARA GENDANG KEMATIAN

4.1 Gambaran Umum Etnik Karo


Etnik Karo merupakan salah satu suku bangsa asli yang mendiami pesisir
timur Sumatera atau bekas wilayah Kresidenan Sumatera Timur, yang sekarang
disebut Sumatera Utara, Indonesia. Nama Karo juga dijadikan salah satu nama
kabupaten di salah satu wilayah yang didiami (dataran tinggi Karo), yaitu
Kabupaten Karo. Etnik Karo memiliki bahasa sendiri yang disebut cakap Karo dan
kekayaan budaya adat istiadat sendiri. Salah satu kekayaan budaya yang sampai
sekarang masih dilakukan etnik Karo, baik yang tinggal di dataran tinggi Karo
maupun daerah lain, yaitu tradisi lisan upacara gendang kematian.
Gambaran umum etnik Karo dan gendang kematian dilakukan dengan
penjelasan metode etnografis. Gambaran umum dengan metode etnografis
berkaitan dengan laporan suatu suku bangsa yang di dalam penelitian ini adalah
laporan suku (bangsa) Karo untuk mengetahui tingkat-tingkat perubahan dan
keberlanjutan budayanya. Tujuan uraian etnografi adalah untuk mendeskripsikan
dan membangun struktur sosial dan budaya suatu etnik.
Penjelasan mengenai etnografi dalam subbab ini menjadi pola penulisan,
termasuk ke dalam perpaduan deskripsi etnografi klasifikasi dan etnografi analitis.
Unsur-unsur universal yang dibahas disusun secara sistematis, yang sesuai dengan

konteks relevansi kajian. Selanjutnya dijelaskan dengan konsep-konsep budaya


dan ilmu sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan eksplanasi dan argumen penulis
untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Di samping itu, juga membuka
dimensi pemikiran baru yang dianggap lebih dari yang sebelumnya sudah ada.

4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis


Berdasarkan sejarah dan dasar hukum terbentuk dan berdirinya Sumatera
Utara, yaitu tanggal 7 Desember 1956, yang diperkuat dengan dasar hukum UU
No 24/1956. Dalam hal ini kata Sumatera berasal dari unsur su yang artinya baik
dan matra yang berarti ukuran. Beberapa sumber menyebut Sumatera dengan
Samantara dengan makna batas atau penengah. Namun, bangsa Spanyol dan
Portugis menyebutnya dengan Samatra yang berarti hujan mendadak. Di pihak
lain Odorikus menulis nama Pulau Sumatera tersebut dengan sedikit variasi yang
tidak konsisten dalam otografi, yakni dari kata Sumotra, Samotra, Zamatra, dan
Sumatera (Marsden, t.t. : 8). Selanjutnya, apabila ditelusuri nama Sumatera,
tidaklah dikenal oleh penduduk pribumi, tetapi orang-orang Hindulah yang
memilih nama Sumatera atau Samantara. Marco Polo sendiri menyebutkan
Sumatera sebagai Java Minor. Selain itu, Marco Polo juga melukiskan bahwa
pulau tersebut dikelilingi oleh delapan kerajaan, dua kerajaan tidak diketahui dan
enam lainnya disebut Ferlech (Marsden, t.t : 4; Minawati, 2010: 60).

Gambar 4.1
Peta Sumatera dan Sumatera Utara
(Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)

Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera terdiri dari beberapa
Provinsi yang salah satunya adalah Provinsi Sumatera Utara dengan ibu kotanya
Medan, terdiri atas tiga puluh tiga kabupaten/kota, yaitu (1) Kabupaten Deli
Serdang, (2) Kabupaten Langkat, (3) Kabupaten Nias, (4) Kabupaten Karo, (5)
Kabupaten Mandailing Natal, (6) Kabupaten Serdang Bedagai, (7) Kabupaten Nias
Selatan, (8) Kabupaten Tapanuli Tengah, (9) Kabupaten Tapanuli Utara, (10)
Kabupaten Toba Samosir, (11) Kabupaten Asahan, (12) Kabupaten Dairi, (13)
Kabupaten Hubang Hasundutan, (14) Kabupaten Labuhan Batu, (15) Kabupaten

Simalungun, (16) Kabupaten Tapanuli Selatan, (17) Kabupaten Samosir, (18)


Kabupaten Pakpak Barat, (19) Kabupaten Batubara, (20) Kabupaten Labuhan Batu
Selatan, (22) Kabupaten Nias Barat, (23) Kabupaten Nias Utara, (24) Kabupaten
Padang Lawas, (25) Kabupaten Padang Lawas Tua, (26) Kota Binjai, (27) Kota
Gunung Sitoli, (28) Kota Medan, (29) Kota Padang Sidempuan, (30) Kota
Pematang Siantar, (31) Kota Sibolga, (32) Kota Tanjung Balai, dan (33) Kota
Tebing Tinggi

(http://pengetahuan-oemum.blogspot.com/2010).

Beberapa

kabupaten yang di diami masyarakat Karo seperti Kabupaten Karo, Kabupaten


Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kabupaten Simalungun masih melakukan
kegiatan upacara gendang kematian dalam komunitasnya. Namun, Kabupaten
Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan masyarakatnya.
Kabupaten Karo dengan ibu kotanya Kabanjahe merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang berpotensi sebagai daerah pertanian
dan pariwisata. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit
Barisan yang berada pada ketinggian 400--1.600 m di atas permukaan laut. Dua
gunung berapi, yaitu Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak aktif terletak di
wilayah ini sehingga rawan gempa vulkanik. Lokasinya berjarak 75 km dari
Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo terletak pada 02050-03019LU dan 97055--98038BT. Luas wilayah Kabupaten Karo 2.127 km2 atau
2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara, dengan total jumlah penduduk 350.479
jiwa yang terdiri atas 174.391 laki-laki dan 176.088 perempuan. Dari hasil Sensus
Penduduk 2010 diketahui bahwa Kecamatan Kabanjahe, Berastagi, dan Tigapanah

merupakan tiga kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu masingmasing berjumlah 63.290 orang (18,06 persen), 42.555 orang (12,14 persen), dan
29.411 orang (8,39 persen). Kecamatan yang penduduknya paling sedikit adalah
Kecamatan Dolat Rayat dengan jumlah penduduk 8.311 orang (2,37 persen).
Dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 yang didiami 350.479 orang maka rata-rata
tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Karo adalah sebanyak 165 orang per kilo
meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya
adalah Kecamatan Kabanjahe, yakni sebanyak 1.417 orang per kilometer persegi,
sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Dolat Rayat, yakni sebanyak 44
orang per kilometer persegi. Secara administratif Kabupaten Karo berbatasan
dengan empat kabupaten, yaitu di sebelah utara Kabupaten Langkat dan Deli
Serdang, di sebelah timur Kabupaten Simalungun, di sebelah selatan Kabupaten
Dairi dan Toba Samosir, dan disebelah barat Kabupaten Aceh Tenggara/Prov.
NAD (Karo dalam Angka, 2010; http://www.wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro;
Majalah Pariwisata Karo, 2008).
Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Karo dapat dilihat pada
gambar tampilan peta 4.2 berdasarkan wilayah kecamatan sebagai berikut.

Gambar 4.2
Peta Kabupaten Karo
(Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)

Gambar 4.2 menunjukkan letak geografis Kabupaten Karo berdasarkan


kecamatan. Sehubungan dengan hal ini, Abdullah (1994: 171) menyatakan bahwa
Kabupaten Karo disebut juga dengan Tanah Karo Simalem yang merupakan
daerah tujuan wisata utama yang terkenal dengan keindahan alam dan udara sejuk.
Tipe iklim Kabupaten Karo adalah E2 dan menurut klasifikasi Oldeman
bulan basah lebih dari tiga bulan dan bulan kering berkisar 2--3 bulan. Menurut
Koppen, Kabupaten Karo memiliki curah hujan rata-rata di atas 1.000 mm/tahun
dan merata sepanjang tahun. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.000-4.000mm/tahun dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah, yaitu Agustus
sampai dengan Januari dan Maret sampai dengan Mei. Suhu udara Kabupaten
Karo mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada

tahun 70-an iklim di Kabupaten Karo masih cukup dingin, yaitu sekitar 10--12 C,
bahkan pada masa itu masyarakat masih banyak mengenakan baju hangat sejenis
mantel atau jaket, kain sarung (kampuh) meskipun berada di tempat-tempat umum
seperti, ke warung, ke pasar, menghadiri pesta, upacara-upacara adat, atau pesta.
Bahkan, juga termasuk ke ladang, kadang kala kaum pria selalu melilitkan kain
sarung tersebut pada leher dan kepalanya, termasuk ke acara-acara ritual atau pesta
kekerabatan sehingga

gaya pakaian ini menjadi ciri khas mayarakat Karo

khususnya yang berada di pegunungan (http://pariwisatakaro.blogspot.com).


Udara yang sejuk dan dingin membuat suasana terasa sangat damai dan
nyaman. Namun sejak tahun 80-an, suhu udara mengalami peningkatan hingga 16-17 C akibat efek pemanasan global. Pakaian-pakaian yang dikenakan tidak lagi
sebagai bentuk antisipasi, baik terhadap iklim maupun suhu udara di Kabupaten
Karo, bahkan mulai banyak yang menggunakan jenis bahan dan gaya pakaian
masyarakat urban, seperti kain jean atau sejenisnya.
Wilayah administrasi Kabupaten Karo terdiri atas tujuh belas kecamatan,
sepuluh kelurahan, dan dua ratus lima puluh dua desa, yakni dengan pembagian
sebagai berikut. Kecamatan Kabanjahe terdiri atas delapan desa, Kecamatan
Berastagi terdiri atas lima desa, Kecamatan Payung terdiri atas delapan desa,
Kecamatan Barus Jahe terdiri atas sembilan belas desa, Kecamatan Mardinding
terdiri atas dua belas desa, Kecamatan Tiga Binanga terdiri atas delapan belas
desa, Kecamatan Tiga Panah terdiri atas dua puluh dua desa, Kecamatan Merek
terdiri atas sembilan belas desa, Kecamatan Munte terdiri atas dua puluh dua desa,

Kecamatan Juhar terdiri atas dua puluh empat desa, Kecamatan Merdeka terdiri
atas sembilan desa, Kecamatan Laubaleng terdiri atas lima belas desa, Kecamatan
Naman Teran terdiri atas empat belas desa, Kecamatan Simpang IV terdiri atas
tujuh belas desa, Kecamatan Kutabuluh terdiri atas enam belas desa, Kecamatan
Dolat Rayat terdiri atas tujuh desa, dan Kecamatan Tiga Nderket terdiri atas tujuh
belas desa (Kabupaten Karo dalam Angka, 2011).

4.1.2 Asal Usul Etnik Karo


Keberjarakan dan keluasan wilayah etnik Karo mengakibatkan daerah
yang didiami memiliki keragaman budaya yang tidak persis sama antara satu
daerah dan daerah lainnya. Di samping itu, ditemukan berbagai perbedaan, baik
bersifat dialek, tata pelaksanaan adat istiadat, maupun media yang digunakan
walaupun orang Karo berasal dari satu rumpun keturunan, bahasa, dan budaya
(adat istiadat) yang sama.
Terkait dengan hal itu, Abdullah (1994: 22) dalam buku Sejarah Melayu
dan Sinar (1991: 7) dalam The History of Medan in the Olden Times menjelaskan
adanya Kerajaan Aru/Haru/Haro, yang menyebutkan Tanah Karo sebagai suatu
kampung serba nyaman. Kerajaan Aru adalah kerajaan besar yang kaya akan hasil
bumi, terutama lada, tembakau, rotan, pinang, gambir, kapur barus, emas,
cengkeh, batu bara, dan lain-lain. Kerajaan Aru mencakup seluruh daerah
Sumatera (Labuhan Deli) di pinggir Sungai Deli (sekarang jauh dari pantai), tetapi
kemudian nama Aru hilang sehingga muncul nama Deli. Nama Deli muncul

karena kekalahan Raja Deli Tua yang ditaklukkan oleh Aceh. Akibat kekalahan
tersebut masyarakat Deli diislamkan yang sebelumnya menganut Perbegu.
Suku yang mendiami tanah Karo adalah suku Karo, Toba, Aceh, Gayo,
Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, India, Cina, dan Alas. Kehidupan
masyarakatnya terdiri atas berbagai latar belakang, baik etnis maupun kulturnya.
Sikap terbuka masyarakat Karo memberikan ruang bagi etnis lain untuk datang
dan bertempat tinggal, baik secara sementara maupun permanen. Di Kabupaten
Karo tidak dikenal kebudayaan dominan karena setiap kultur memiliki ruang gerak
dan pengakuan yang bebas dan fleksibel. Sehubungan dengan hal ini,
Koentjaraningrat (Abdullah, 1994: 22--26) dalam menentukan suatu etnis atau
suku bangsa dengan konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa, yakni
mencakup kesadaran dan intensitas akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan
intensitas suatu masyarakat sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Bahasa
Karo terdapat di Pustaka Alim Kembaren yang memakai ejaan u menjadi o (Putro,
1981: 27--28). Menurut Abdullah (1994: 28), nama suku bangsa Haru kemudian
disebut Haro, yang akhirnya dinamai suku Karo sampai sekarang ini. Masyarakat
yang mendukung budaya dan adat istiadat Karo hidup di Kabupaten Karo, Langkat
Hulu, dan Deli Hulu.
Berkaitan dengan penaklukan daerah-daerah di Tanah Karo, tahun 1904
diadakan suatu ekspedisi besar-besaran oleh Belanda, yang disebut Ekspedisi Van
Daalean. Di Kabupaten Karo ekspedisi ini pecah menjadi dua, yaitu sebagian
menuju Toba ke Sibolga, dan sebagian lagi ke Tanah Karo yang dipimpin oleh de

Graaf (Abdullah, 1994: 111--112; Putro, 1981: 31--33). Kekalahan Belanda


mengundang orang terkemuka Karo untuk menetapkan sibayak-sibayak/kerajaan
untuk dibagi, seperti Sibayak Lingga, yang penandatanganannya dilakukan oleh Pa
Terang dan Pa Sendi pada 11 September 1907, Sibayak Barus Jahe,
penandatanganan dilakukan oleh Pa Tempena Barus dan Pa Unjuken pada 12
September 1907, Sibayak Sarinembah, penandatanganan dilakukan oleh Pa
Ngobah dan Si Napa pada 12 September 1907, Sibayak Suka, penandatanganan
dilakukan oleh Pa Nunsang tanggal 13 September 1907, dan Sibayak Kuta Buluh,
penandatanganan dilakukan oleh Pa Sinabung Perangin-angin dan Si Andein
tanggal 13 September 19907 (Tamboen, 1952: 17--25; Abdullah, 1994: 112--113;
Minawati, 2010: 63).
Dengan terbitnya surat ketetapan pada tahun 1911 Bijblad No. 7565, batas
Tanah Karo dengan Simalungun, berdasarkan Urung Silima Kuta daerah
Kabupaten Karo menjadi daerah Simalungun, dan Dairi ditetapkan pada stablad
1908 No. 604, masuk keresidenan Tapanuli. Kabupaten Langkat dimasukkan ke
wilayah Afdeling Langkat yang diperintah oleh seorang asisten residen, sedangkan
Sultan Langkat sebagai pemerintahan bumi putra mengepalai Afdeling Langkat.
Karo Jahe dimasukkan ke administrasi yang diperintah oleh bumi putra yang
disebut Sultan Deli. Tanah Karo diperintah oleh Raja Berempat, yang terdiri atas
lima lanskap yang berpangkat sibayak, di antaranya lanskap Lingga berkedudukan
di Lingga, yang sejak 1936 berkedudukan di Kabanjahe, lanskap Suka dikepalai
Sibayak Suka yang membawahi beberapa urung, lanskap Barusjahe dikepalai

Sibayak Barusjahe dan membawahi beberapa raja urung, Lanskap Sarinembah


dikepalai oleh Sibayak Sarinembah yang membawahi beberapa raja urung, dan
lanskap Kuta Buluh dikepalai Sibayak Kuta Buluh dan membawahi beberapa raja
urung. Raja berempat atau sibayak-sibayak yang mengepalai Lanshap dibawahi
oleh seorang konteler dan seorang wakil Konteler dari Gubernemen yang
mengepalai resor Onderafdeling Karo Landen yang berkedudukan di kota
Kabanjahe (Putro, 1981: 30).

4.1.3 Politik dan Pemerintahan


Sistem pemerintahan tertua yang dijumpai di Tanah Karo adalah pengulu,
yang menjalankan pemerintahan (kedudukan) di kampung (kuta) menurut adat.
Terbentuknya suatu kuta harus memenuhi persyaratan adat, seperti merga pendiri,
merga taneh/simantek kuta, senia simantek kuta, anak beru simantek kuta (anak
beru taneh), dan kalimbubu simantek kuta (kalimbubu taneh).
Pada 1906 pemerintah wilayah Kabupaten Karo berbentuk pemerintahan
yang oleh onderafdeling Kabupaten Karo Landen dipimpin oleh controleur
dengan pemerintahan di tangan Belanda. Pada 1907 pemerintahan di Tanah Karo
dipimpin oleh bumi putra/landschaap yang dikepalai oleh sibayak dan dibawahi
beberapa urung yang dikepalai oleh raja urung. Pada masa penjajahan Jepang
tahun 1942 pemeritahan di Tanah Karo sama dengan masa pemerintahan Belanda.
Namun, setelah kemerdekaan RI, pemerintahan dikepalai oleh pusat yang
dipimpin oleh Sibayak Ngerajai Meliala (bupati pertama). Susunan pemerintahan

diatur oleh UU No. 22, Tahun 1999, dalam hal ini daerah dibentuk oleh DPRD
sebagai badan legislatif daerah dan pemerintahan daerah sebagai badan eksekutif
daerah. Pemimpin di tingkat Kabupaten Karo disebut bupati, yakni dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh wakil bupati. Sejak 29 Desember 2006
Kabupaten Karo yang semula terdiri atas tiga belas kecamatan resmi menjadi tujuh
belas kecamatan (Pasaribu, 2005: 64).
Pada zaman kerajaan kekuasaan tertinggi di Kabupaten Karo dipegang oleh
Maha Raja Diraja. Pemerintah kerajaan sebelumnya sangat memfasilitasi kegiatankegiatan agama

Perbegu, seperti mendirikan pemujaan-pemujaan, yakni Aji

Manering, Pulu Balang, Tembunan Kuta, Nini Galuh, Paka Waluh Seberaya, dan
yang lebih istimewa dalam Rumah Adat Karo terdapat tempat guru-guru agama
Perbegu yang dinamai Jabu Bicara Guru (Putro, 1981: 100--101). Sebagaimana
diketahui bahwa rumah adat Karo sudah berdiri sejak abad XV Masehi dan seni
konstruksinya dipengaruhi oleh langgam Tamil Nado. Secara pasti rumah adat di
Kampung Aji Nembah memiliki Si Pitu Ruang, istana ayah Raja Sori, yakni
sewaktu memasukinya terjadi gelap tujuh hari tujuh malam yang kemudian
diselamatkan oleh Opung Barus. Namun, secara pasti tidak diketahui kapan rumah
tersebut dibangun. Menurut Br Ginting Pase, rumah adat sudah menjadi istana
Raja Nagur Pase di Pase pada abad XIII (Putro, 1981: 102).
Asitektur rumah adat Karo memiliki susunan pemerintahan suku Karo,
yakni sebagai berikut. (1) Jabu bena kayu dinamakan jabu pengelului/pengulu
atau penduduk asli (anak taneh) yang berhak atas tanah adat yang menjadi kepala

dalam rumah adat. (2) Jabu ujung kayu menempati anak beru yang berperan
menjalankan perintah-perintah penghulu sekaligus mewakili penghulu. (3) Jabu
lepar bena kayu dinamai jabu sungkun berita berfungsi mengamati-amati,
misalnya situasi baru, kekacauan, musuh, atau pengkhianat. (4) Jabu lepar ujung
kayu dinamai siman-minem (makan minum), penghuninya pihak istri dan ibu
penghulu yang disebut kalimbubu.
Kalimbubu dalam masyarakat Karo memiliki posisi yang dihormati
sehingga disebut dibata ni idah. Kemudian (5) jabu si dapur bena kayu, dinamai
jabu peningel-ninggelen (menyaksikan secermat-cermatnya) penghuninya anak
beru menteri berperan menyaksikan musyawarah di samping sebagai saksi dalam
membuat keputusan karena dahulu belum mengenal kertas dan tulisan. (6) Jabu
sidapur ujung kayu dinamai jabu ariteneng (nama sebuah kain adat yang juga
dijadikan sebagai upah tendi di samping perhiasan. Penghuninya adalah anak
kalimbubu (dalam masyarakat Karo disebut impal, baik anak perempuan maupun
laki-laki). Menurut kepercayaan sebagai suatu kebahagiaan dan bakti kepada
penghuni rumah (kalimbubu). (7) Jabu sidapur ujung kayu dinamai jabu bicara
guru (Dewa Roh Yang Luhur), yaitu roh anak kecil yang belum bergigi ketika
meninggal dunia, yang menempati jabu ini adalah guru agama atau yang lebih
dikenal dalam masyarakat Karo disebut Guru Si Baso, yang berperan untuk
mengajarkan ajaran agama/rohani. (8) Jabu si dapurken lepar ujung kayu meramu
sirih (jabu singapuri belo) penghuninya anak dari anak beru yang berfungsi

menerima tamu dan menjaga keamanan (Putro, 1981: 102--103). Bentuk rumah
tradisional Karo terdapat pada gambar 4.3 berikut ini.

Gambar 4.3
Rumah adat Karo di Desa Dokan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010)
Pada Gambar 4.3 dapat dilihat rumah tradisional Karo yang terdapat di
Desa Dokan yang dikenal sebagai desa budaya. Dari bentuk fisik bangunan terlihat
lebih terawat karena ada perhatian dari pemerintah setempat khusus untuk desa ini.
Struktur pemerintahan yang tergambar pada rumah adat Karo menunjukkan
masyarakat Karo sudah berabad-abad mengenal sistem musyawarah/demokrasi.
Lembaga-lembaga kepancaan dalam kebudayaan Karo, seperti marga silima
(pancamarga), sebagai pola dasar kebudayaan Karo, rakut sitelu (tiga ikatan)
sebagai lambang/simbol yang berarti mehamat erkalimbubu, metami eranak beru
dan melias/erpenungkunen ersenina, lima kuh sangkep ngeluh (panca susunan
hidup), yaitu anak beru menteri, anak beru, kalimbubu, puang kalimbubu, dan

senina sebagai dasar kekerabatan masyarakat Karo yang tidak bertentangan


dengan falsafah Pancasila.
Politik dalam sistem pemerintahan, khususnya sistem pemerintahan
sebuah kota, seperti Kabupaten Karo, tidak lepas dari permasalahan hubungan
antarnegara (pemerintah), pengusaha, dan masyarakat atau antara mitra politik,
ekonomi, dan budaya. Dalam konteks pembangunan di Kabupaten Karo ada empat
pelaku yang berperan, yaitu (1) pemerintah, (2) swasta, (3) masyarakat, dan (4)
kaum intelektual. Hal ini dapat dipahami karena pembangunan merupakan sebuah
proses (per)politik(an). Selanjutnya, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kota menyelenggarakan dua bidang
urusan, yaitu (1) urusan pemerintahan teknis yang pelaksanannya diselenggarakan
oleh dinas-dinas daerah dan (2) urusan pemerintahan umum, yakni berupa
kewenangan mengatur yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sebagai badan legislatif kota dan bupati sebagai pimpinan
tertinggi badan eksekutif pemerintahan.
Struktur pemerintahan di Kabupaten Karo secara konstitusional dibagi
berdasarkan daerah kabupaten dan daerah yang lebih kecil, yaitu kota dan
kecamatan. Tiap-tiap daerah pada dasarnya memiliki sifat otonom dan
administratif, yakni berdasarkan pertimbangan situasional, politis, dan teknis
pemerintahan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dengan
diberlakukannya UU No. 32, Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

pemerataan, keadilan, juga

memperhatikan potensi daerah. Secara struktural, pemimpin tertinggi Kabupaten


Karo adalah bupati. Tercapainya kondisi pemerintahan yang aman, stabil, dan
terkendali tidak terlepas dari berbagai usaha pembinaan yang ditempuh
pemerintahan Kabupaten Karo bersama instansi terkait termasuk peran kepala
daerah kepada masyarakatnya. Bupati saat ini adalah Kena Ukur Surbakti.
Menurut buku resmi Pemda Kab. Karo pada 2007 terdapat 17 bupati yang pernah
memimpin daerah ini sejak zaman kolonial hingga zaman kemerdekaan. Dalam
Tabel 4.2 berikut ini termuat nama-nama bupati yang pernah memimpin
Kabupaten Karo.

Tabel 4.2
Bupati yang Pernah Menjabat di Kabupaten Karo
No.

Nama Bupati

Periode

Ngerajai Meliala

19431946

Mayor Moh. Kasim

Rakutta Sembiring Brahmana

19461947

Raja Kelelong Sinulingga

19471949

Rejin Perangin-angin

Rakutta Sembiring Brahmana

19501953

T. Raja Purba

19531957

Abdullah Eteng

19571960

Mayor Matang Sitepu

19601966

10

Baharudin Siregar

19661969

11

Kol. Tampak Sebayang

19691980

1946

1950

12

Drs. Rukun Sembiring

19801985

13

Ir. Menet Ginting

19851990

14

Drs. Rupai Perangin-angin

19901994

15

Drs. Daulat Daniel Sinulingga

19952000

16

Sinar Perangin-angin

20002005

17

Drs. Daulat Daniel Sinulingga

20052010

18

Kena Ukur Surbakti

2010

(Dokumen: BPPS Kabupaten Karo, 2011; http://id.wikipedia.org)


Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa hingga tahun 2015 tercatat delapan
belas periode pejabat yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan Kabupaten
Karo. Secara pemerintahan, fungsi dan kewenangan bupati di Kabupaten Karo
membawahi (pimpinan eksekutif tertinggi) seluruh instansi pelaksanaan eksekutif
kota. Berlakunya UU No. 32, Tahun 2004 membawa implikasi, baik secara
filosofis maupun administratif, tidak hanya dari sentralisasi menjadi desentralisasi,
tetapi berkembangnya peran masyarakat menjadi demokratis-partisipatif. Secara
umum, perubahan tersebut membawa implikasi bahwa daerah dapat berkembang
dengan prakarsa daerah masing-masing di samping adanya pergeseran dominasi
eksekutif menjadi keseimbangan dengan legislatif dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan pembangunan kota.
Secara umum etnik Karo digambarkan suka berpolitik. Hal tersebut
terlihat dari kegemarannya bermain catur. Perpolitikan sebagai sebuah ajang
khusus, yakni di dalamnya ada legitimasi, kepentingan, dan kekuasaan. Demikian
pula, baik secara politik maupun ekonomi, Kabupaten Karo sejak zaman Kerajaan

Haru telah melakukan hubungan dengan luar negeri, seperti: India, Arab, Portugis,
dan Cina. Sebagai bagian dari politik kemitraan, dalam kegiatan ekonomi yang
diperankan oleh pemerintah, juga terdapat sektor swasta dan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa salah satu kebijakan (politik) penting
pemerintah Kabupaten Karo adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada sektor swasta dan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan
kota. Gambar 4.4 adalah Kantor Bupati Karo yang terdapat di Kabanjahe.

Gambar. 4.4 Kantor Bupati Kabupaten Karo


(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Pada Gambar 4.4 terlihat Kantor Bupati Karo, tepatnya di Jalan Jamin
Ginting Nomor 17. Di tempat inilah bupati dan wakil bupati berkantor
menjalankan misi dan programnya. Berdasarkan pengalaman kepemimpinnya, dan
periode tiap-tiap bupati yang pernah memimpin memiliki misi dan visi yang
berbeda. Namun, semuanya bertujuan meningkatkan pembangunan, kemakmuran,
dan kesejahteraan masyarakat Karo. Dari keseluruhan misi dan visi tersebut hanya

berbeda pada prioritasnya. Visi yang dikedepankan bersifat visioner, dan bahkan
sangat ideal. Dalam hal mewujudkan sasaran dan tujuan pembangunan kota,
pemerintah merumuskan rencana strategis sebagai garis besar penyelenggaraan
pembangunan. Rencana tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kebijakan, program,
dan pengembangan pembangunan sebagai bentuk akuntabilitas publik untuk
menjamin peningkatan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Secara administratif, otonomi daerah dimaknai sebagai pergeseran
kewenangan, yaitu semula didominasi oleh pusat ke daerah, kemudian dari daerah
ke masyarakat. Penggambaran keadaan sebelum dan sesudah otonomi daerah di
tingkat Kabupaten Karo, yaitu dari sentralisasi ke desentralisasi, dari atas ke
bawah secara simultan, dari keseragaman ke keberagaman, petunjuk ke prakarsa,
instruksi ke pilihan, ketergantungan ke kemandirian, hierarki ke keterkaitan, dan
kesenjangan ke keserasian. Hal ini menunjukkan semangat zaman yang ingin
diemban meskipun pada akhirnya hal tersebut sering tidak sesuai dengan harapan.
Dengan semangat otonomi daerah Kabupaten Karo membangun diri dengan segala
potensi yang dimilikinya.

4.1.4 Sistem Kekerabatan


Etnik Karo mengenal sistem kemasyarakatan merga silima, rakut sitelu,
tutur siwaluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada. Masyarakat Karo
mempunyai sistem merga (klan), dalam hal ini merga untuk laki-laki, sedangkan
untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru disandang di belakang nama

seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri atas lima kelompok yang disebut
merga silima, yang berarti ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo.
Kelima merga tersebut adalah (1) Karo-Karo, (2) Tarigan, (3) Ginting, (4)
Sembiring, dan (5) Perangin-angin. Kelima merga ini masih mempunyai submerga
masing-masing (Kabupaten Karo dalam Angka, 2008; Woollams, 2004: 3). Merga
dan beru diperoleh secara otomatis dari ayah. Setiap orang Karo akan memiliki
merga tersebut. Merga ayah menjadi merga anak, tetapi ada kalanya merga
diberikan kepada seseorang yang disahkan secara adat. Hal tersebut banyak
dilakukan suku Karo yang melakukan perkawinan antaretnis atau sebagai sebuah
penghargaan adat, seperti pemberian merga kepada Megawati Br Perangin-angin.
Bagi etnik Karo, merga sangat penting dalam kehidupannya sebagai
anggota masyarakat. Merga berguna untuk mengekspresikan identitas diri serta
hubungannya dalam mencari hubungan kerabat atau garis keturunan. Di samping
itu, masyarakat Karo tidak hanya mempunyai merga atau beru, tetapi sekaligus
mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut bere-bere. Jadi, setiap pribadi
mempunyai merga atau beru dan bere-bere, kecuali orang Karo yang kawin
campur atau kawin dengan etnik lain. Namun, dalam praktik sehari-hari bere-bere
tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan ditanya dalam
kegiatan berkenalan (ertutur), yakni untuk mendekatkan hubungan kekerabatan.
Walaupun etnik Karo mempunyai sistem parental, yang paling penting adalah
merga atau beru. Hal ini terbukti dari merga dan beru tetap dicantumkan pada
nama seseorang setelah ia meninggal dunia. Kebiasaan ini merupakan hal yang

lazim bagi etnik Karo. Setiap orang Karo mencantumkan merga dan beru untuk
membuktikan jati dirinya sebagai orang Karo.
Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama dianggap bersaudara
dalam arti mempunyai garis keturunan yang sama. Kalau laki-laki ber-merga
sama, maka mereka disebut ersenina. Demikian juga antara perempuan yang
mempunyai beru yang sama akan disebut ersenina juga. Namun, antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan ber-merga yang sama disebut erturang sehingga
dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin. Begitu pula sistem perkawinan dalam masyarakat Karo selain dilakukan
secara agama juga dilakukan secara adat Karo. Hal ini tetap terjadi meskipun
mereka melakukan kawin campur antar etnik. Dahulu sebelum suku Karo
mengenal agama Kristen dan Islam, sistem perkawinan hanya dilakukan dengan
adat istiadat. Akan tetapi, saat ini merujuk pada kebalikannya, yakni masyarakat
Karo lebih mengutamakan atau melakukan perkawinan secara agama.
Lebih jauh dijelaskan oleh Minawati (2010: 91) bahwa kekerabatan dalam
masyarakat Karo disebut perkadekaden dan kerabat disebut kade-kade. Pengertian
kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas. Dalam hal ini jika diabstraksikan
pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan yang
menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari
silsilahnya, maka akan terjalin hubungan kekerabatan. Dalam kaitan ini,
pentingnya merga tersebut sebagai identitas diri di samping mengetahui asal usul
nenek moyangnya. Pada intinya kekerabatan masyarakat Karo berdasarkan merga,

tetapi ada dua hal penting yang memengaruhi kekeluargaan, yaitu kelahiran dan
perkawinan. Dua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah.
Berdasarkan

hubungan darah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan

kekerabatan di dalam masyarakat. Apabila dilihat secara sepintas diketahui bahwa


dalam menarik garis keturunan pada masyarakat Karo dilakukan secara patrilineal.
Akan tetapi, kalau diteliti lebih mendalam, dapat dimengerti letak kekhasan
masyarakat Karo dalam menarik garis keturunannya. Dalam hal ini, Bangun
(1990: 18) menyatakan bahwa masyarakat Karo tidak menarik garis keturunan
secara patrilineal, tetapi parental (bilateral) dengan menarik garis keturunan dari
ayah dan ibu sekaligus.
Kalimbubu

SEMBUYAK /
TUAN
RUMAH

Senina
Anakberu

Gambar 4.5
Skema Rakut Sitelu dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo
(Dokumen: Fuad Erdansyah 2010)

Hal lain yang penting dalam masyarakat Karo adalah (gambar 4.5) rakut
sitelu, yaitu berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep
nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud
adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri atas tiga
kelompok, yaitu (1) senina, (2) kalimbubu, dan (3) anak beru. Senina adalah
keluarga satu jalur keturunan merga atau keluarga inti. Kalimbubu dapat
didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri dan anak beru keluarga yang
mengambil atau menerima istri.
Tutur siwaluh merupakan konsep kekerabatan masyarakat Karo yang
terdiri atas delapan golongan, yaitu (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3)
sembuyak, (4) senina, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon/sendalenen, (7)
anak beru, dan (8) anak beru mentri. Dalam upacara adat, tutur siwaluh ini masih
dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih khusus sesuai dengan
keperluan dalam pelaksanan adat, yakni sebagai berikut.
1) Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang baik dari pihak
ibu maupun ayah.
2) Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu
ini dapat dikelompokkan lagi menjadi dua. Pertama, kalimbubu bena-bena
atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu
yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri asal dari keluarga tersebut.
Misalnya, A ber-merga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah
kalimbubu si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah

kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua adalah kalimbubu dari anak A. Jadi,


kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah
kandung. Kedua, kalimbubu simada dareh, yaitu berasal dari ibu kandung
seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki ibu kandung
seseorang. Dalam hal ini disebut kalimbubu simada dareh karena dianggap
bahwa darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
3) Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan.
Jadi, artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang
sama. Namun, dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang
berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh sipedeher (yang
jauh menjadi dekat).
4) Senina, yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau submerga
yang sama. Senina ibas runggun adat, yaitu saudara yang telah diangkat di
dalam suatu musyawarah adat. Sekalipun mungkin tidak satu merga, tetapi
biasanya masih dalam satu induk merga. Misalnya merga Sitepu dengan Barus
atau Ginting munte dengan Ginting suka.
5) Senina sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu mereka bersaudara kandung.
Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang
mempunyai istri yang bersaudara. Jadi, seseorang menjadi ersenina
(bersaudara) karena hubungan perkawinan di samping istri mereka bersaudara.
6) Senina sipengalon/sendalanen, yaitu saudara karena anaknya diambil menjadi
istri dari anak mertua yang sama. Misalnya, anak-anak perempuan A, B, C

diambil menjadi istri dari anak X, maka A, B, C jadi kalimbubu X dan anakanaknya.
7) Anak beru, berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk
diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita
keluarga tertentu dan secara tidak langsung melalui perantara orang lain,
seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri atas
dua jenis. Pertama, anak beru tua, yakni anak beru dalam keluarga turuntemurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu
(kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama karena tanpa
kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu,
maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi
sebagai singerana (sebagai pembicara) karena fungsinya dalam upacara adat
sebagai pembicara dan pemimpin dalam keluarga kalimbubu dalam konteks
adat. Kedua, anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara
langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu. Anak
beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala
keluarga. Misalnya, si A seorang laki-laki mempunyai saudara perempuan si
B, maka anak si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari si A. Dalam
panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
8) Anak beru minteri, yaitu anak beru (nya) anak beru. Asal kata minteri adalah
dari kata pinteri yang berarti meluruskan. Anak beru minteri mempunyai
pengertian yang lebih luas, yakni sebagai petunjuk, mengawasi, dan membantu

tugas kalimbubunya pada suatu kewajiban dalam upacara adat. Dalam hal ini
ada pula yang disebut anak beru singukuri, yaitu anak beru (nya) anak beru
minteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Anak beru singukuri juga bertanggung jawab penuh atas jalannya upacara adat
karena hubungan yang relatif jauh sehingga mereka ditempatkan dalam
membantu kalimbubunya sebagai anak beru minteri (Minawati, 2010: 95).
Dari merga silima, rakut sitelu, dan tutur siwaluh terbentuklah kemudian
perkade-kaden sepuluh sada tambah sada (hubungan persaudaraan sebelas
ditambah satu), yaitu; (1) sembuyak, (2) senina, (3) senina sipemeren, (4) senina
siparibanen, (5) senina sipengalon/sendalanen, (6) kalimbubu, (7) puang
kalimbubu, (8) puang ni puang, (9) anak beru, (10) anak beru minteri, (11) anak
beru singukuri, dan ditambah satu, yaitu teman meriah, kenalan atau orang lain di
luar hubungan kekeluargaan. (Wawancara Jekmen Sinulingga, 20 April 2012).
Etnik Karo selalu menjunjung tinggi sistem kekerabatan yang disebut
merga silima, rakut si telu, tutur si waluh, dan perkade-kaden sepuluh sada
tambah sada. Dalam hal ini pandangan masyarakat Karo adalah bahwa sebagai
manusia harus beradat menunjukkan bahwa aturan adat harus dipatuhi dan dituruti.
Menurut filosopi etnis Karo, mereka yang tidak menjalankan adat dianggap lebih
buruk daripada orang yang tidak beragama, bahkan menurut Njenap Ginting
masyarakat Karo yang tidak beradat sama dengan rubia-rubia (jenis makhluk yang
bergerak di luar manusia) (wawancara, 27 Februari 2012).

Hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini sistem budaya etnik Karo
sudah mengalami perubahan, baik yang berada di wilayah Karo Jahe (Deli
Serdang, Langkat), Karo Gugung (Kabupaten Karo), maupun etnik Karo yang
tersebar di wilayah Indonesia. Budaya instan seperti gendang lima sendalanen
dipinggirkan oleh sebuah keyboard sebagai pengaruh budaya global membuka
toleransi yang kebablasan dalam pelaksanaan adat istiadat, terutama pada upacara
gendang kematian etnik Karo sehingga berbagai kegiatan peradatan dipangkas,
bahkan ditiadakan.
Menurut Putro penduduk asli Sumatera Utara adalah orang-orang dari suku
Karo, tetapi saat ini telah menjadi kota multietnis. Atas dasar itu, Sumatera,
khususnya Kabupaten Karo menjadi sebuah kota dengan tingkat penduduk yang
pluralisme budayanya tinggi. Bangsa (suku) Karo yang memiliki bahasa sendiri
(Karo), aksara sendiri, seni tari dan musik, adat istiadat, serta sistem merga yang
turun temurun menunjukkan asal atau trombo (Putro, 1981: 31). Bahasa Karo
memiliki keterkaitan dengan tiga bahasa masyarakat di sekitarnya, seperti bahasa
Alas di sebelah barat, bahasa Pakpak di sebelah selatan, dan bahasa Simalungun di
sebelah timur (Woollams, 2004: 5,7). Kerajaan Haru sebagai cikal bakal
Kabupaten Karo, dahulunya telah mengenal huruf dan bahasa. Hal ini terbukti dari
negaranya sudah melakukan surat-menyurat dalam pemerintahannya. Surat Haru
secara umum dikenal dan digunakan oleh guru (dukun), kaum politisi, dan
cendekiawan. Surat Haru terdiri atas sembilan belas huruf besar yang disebut
indung surat dan lima disebut anak surat.

Aksara Karo merupakan aksara kuno yang digunakan oleh masyarakat


Karo, tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas, bahkan hampir tidak
digunakan. Aksara Karo memiliki persamaan dengan aksara Bali sebagaimana
terlihat pada Gambar 4.6 brikut ini.

Gambar 4.6 Aksara Karo


(Dokumen: Minawati 2010: 96)
Pada Gambar 4.6 dapat dilihat aksara Karo. Selanjutnya, jika ditelusuri,
aksara Jawa, Bali, Karo, dan Jambi (Melayu) berasal dari sumber yang sama.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa apabila merujuk ke belakang terdapat
pengaruh peradaban Hindu, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Sriwijaya
(Minawati, 2010: 96; Ginting, 2002: 181).
Sebagai suku yang memiliki peradaban tinggi, etnik Karo juga memiliki
budaya yang mencerminkan jiwa estetik, yaitu berupa seni musik. Kegiatan
budaya yang sampai sekarang dilakukan pada masyarakat Karo, seperti merdang
merdem atau kerja tahun (pesta tahunan) dan dimeriahkan oleh gendang guroguro aron. Budaya dan sistem kekerabatan Karo saat ini tampak mulai melemah
bersamaan dengan mulai mengendurnya adat istiadat mereka.

4.1.5 Mata Pencaharian


Masyarakat Kabupaten Karo lebih dominan bermata pencaharian sebagai
petani karena berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Karo didukung oleh
lahan pertanian. Secara umum orang Karo bekerja sebagai petani sayuran, buahbuahan, kopi, jagung, cokelat, jeruk, dan bunga. Di samping itu, orang Karo ada
yang bekerja di perkebunan, sebagai pedagang, pada industri, sebagai pegawai
negeri sipil, di peternakan, dan jasa angkutan. Dalam kaitan ini, Sinar Peranginangin, mantan Bupati Kabupaten Karo mengatakan bahwa perekonomian di
Kabupaten Karo dikuasai oleh etnis Karo, Cina, Jawa, Mandailing, dan Dairi
(Pariwisata Kabupaten Karo, 2008).
Pada dasarnya etnik Karo mengenal sikap gotong royong dalam hal
bercocok tanam, yang dalam bahasa Karo disebut raron. Dalam hal ini
sekelompok orang yang bertetangga atau berkerabat secara bersama-sama
mengerjakan tanah pertaniannya dengan cara bergiliran. Dalam kaitan ini raron
merupakan suatu pranata yang keanggotaannya sukarela dan lamanya berdiri
tergantung pada persetujuan anggotanya. Selain raron, etnik Karo sejak dahulu
sudah mengenal neraya. Di sini neraya memiliki pegertian mengerjakan pekerjaan
secara bersama-sama. Dari beberapa urutan istilah tersebut, pengertiannya sama
walaupun berbeda penyebutannya. Dalam hal ini hanya terdapat perbedaan pada
sebutan sesuai dengan wilayah (daerah). Adapun bentuk sumbangan yang
berkaitan dengan tenaga, misalnya membuat rumah, menanam padi, dan membuat
irigasi. Sikap neraya saat ini telah tereksploitasi karena sudah dalam bentuk

upahan (jual jasa) yang disebut ngemo. Hal ini disebabkan oleh perekonomian
yang semakin sulit dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Perubahan tersebut
berdampak pada menurunnya sistem kekerabatan dan solidaritas dalam
masyarakat.
Selain bercocok tanam, peternakan juga merupakan mata pencaharian
masyarakat Karo, terutama memelihara kerbau, babi, kambing, ayam, dan bebek.
Dalam hal ini kerbau dibutuhkan sebagai binatang yang dapat membantu bekerja
di sawah, babi banyak dimakan dalam pelaksanaan pesta, sedangkan ayam,
kambing, dan bebek banyak dijual untuk menambah pendapatan atau
perekonomian keluarga. Masyarakat dapat hidup sejahtera sebagai petani dengan
pendapatan per kapita 4.483.323,77 juta. Dalam kaitan ini kontribusi terbesar dari
sektor pertanian mencapai 59,80% kemudian didukung oleh sektor pariwisata dan
peternakan (BPPS Kabupaten Karo, 2008).
Hubungan yang baik antara manusia dan alam merupakan tanggung jawab
etnik Karo untuk melestarikannya. Misalnya, dengan menyelengarakan pesta
syukuran, seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah yang dilaksanakan
setiap tahun. Salah satu bukti tentang pentingnya flora sebagai siklus pertanian
masyarakat Karo adalah dengan hadirnya sebuah kawasan hutan lindung yang
disebut Taman Hutan Raya (Tahura). Kawasan ini juga merupakan ekosistem
mata pencaharian mereka.

4.1.6 Kepercayaan dan Agama


Sebelum kedatangan penjajah etnik

Karo sudah memiliki tingkat

peradaban yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dari kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa, mempunyai aksara atau tulisan sendiri, mempunyai bahasa
sendiri, menghasilkan karya seni, dan memiliki adat istiadat sendiri.
Etnik Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang
dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat, merupakan ciptaan Dibata. Menurut
Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si idah (Tuhan yang dilihat) dan
Dibata si la idah (Tuhan yang tidak dilihat). Dibata si idah dimaksud menunjuk
pada kalimbubu, yang terdapat pada sistem kekerabatan masyarakat Karo yang
berada dalam unsur daliken sitelu/rakut sitelu. Ketiga unsur tersebut

adalah

kalimbubu ( pemberi dara), anak beru (pihak penerima dara), dan sembuyak/senina
(saudara). Kalimbubu adalah unsur yang terhormat atau golongan yang disegani.
Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rejeki oleh
karena itu kalimbubu disebut juga Dibata si idah.
Dibata si la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci. Dibata kaci-kaci
ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia
bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil
dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut
Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya memerintah, etnik Karo
percaya kepada (1) Dibata Datas, disebut juga Guru Batara, yang memiliki
kekuasaan dunia atas (angkasa), (2) Dibata Tengah, disebut Tuhan Padukah ni

Aji. Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini, dan (3)
Dibata Teruh disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di
bumi bagian bawah bumi.
Kepercayaan lainnya adalah ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu
sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar mataniari yang
memberi penerangan. Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam.
Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata.
Siberu dayang adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal di bulan. Siberu
dayang sering kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat
dan tidak diterbangkan angin topan (Tambun, 1952: 131--132; Tarigan, 1988: 83-84).
Manusia dalam kepercayaan etnik Karo terdiri atas (1) tendi (jiwa), (2)
begu (roh orang yang sudah meninggal, hantu), dan (3) kula/tubuh. Ketika
seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur, tetapi
begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh.
Ketika tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan
dengan mengadakan pemanggilan tendi, yang disebut dengan upacara raleng tendi
(memanggil jiwa). Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah
kematian. Bagi orang Karo Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana
saja, kekuasaannya meliputi segalanya, dan dianggap sebagai sumber segalanya.
Hal ini sesuai dengan keyakinan masyarakat Karo yang sangat dekat dengan suatu
bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa

yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib (Tarigan, 1988: 83-84).
Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen sebagai kepercayaan yang
baru di tengah-tengah etnik Karo, telah memiliki suatu kepercayaan yang disebut
perbegu yang artinya orang yang mempunyai atau memercayai hantu. Dalam
perkembangannya kepercayaan ini disebut pemema (kepercayaaan awal).
Kepercayaan pemena tidak termasuk dalam satu agama yang resmi.
Untuk menjalankan kepercayaannya, etnik Karo terlebih dahulu melakukan
ritual. Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap
penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan
bagi keluarganya yang masih hidup. Ritual ini penting dilaksanakan sebab
menurut Njenap Ginting, jika tidak dilaksanakan, maka roh-roh tersebut atau
tendi akan bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup dan hal
ini tentu menakutkan bagi keluarganya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan maka dilakukanlah pemanggilan roh-roh yang sudah mati (Perumah
Begu) (Wawancara, 28 Mei 2012).
Roh dalam pandangan etnik Karo memiliki kekuatan yang tinggi. Etnik
Karo memercayai dengan melakukan ritus pemanggilan begu, maka roh orang
mati tersebut menjadi roh pelindung di dalam rumah dan akan melindungi
keluarganya dari kekuatan-kekuatan yang jahat. Selain ritual pemanggilan
terhadap roh orang yang sudah mati juga ritual pemujaan terhadap benda-benda
sekitarnya yang disebut mangmang. Mangmang adalah satu nyanyian ritual Karo

yang dinyanyikan oleh seorang guru/dukun berdasarkan kepercayaan semula jadi


Karo. Sistem kepercayaan ini dapat dilihat pada saat menjalankan upacara ritual.
Upacara bertujuan untuk pengobatan. Terdapat dua jenis upacara ritual yang
memerlukan penyajian mangmang, yaitu penyucian diri dan memanggil

roh

manusia (Tarigan, 2006: 65).


Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluarga ada yang meninggal dalam
satu hari (mate sadawari), baik sakit maupun kecelakaan. Arwah orang yang
meninggal diyakini dapat mengganggu keluarga. Oleh karena itu, pada ritual
mangmang dilakukan dengan cara memberikan sesaji berupa sebatang rokok yang
sudah dinyalakan dan dijepit pada sebatang ranting kecil di tanah. Kemudian
dilengkapi dengan seperangkat daun sirih, yaitu lazimnya orang yang makan sirih.
Selanjutnya, bersama seluruh keluarga mereka duduk menghadap pohon sambil
meratap, menangis, dan menyatakan seluruh perasaannya tentang arwah orang
yang meninggal dunia tersebut.

4.1.6.1 Begu dalam Kepercayaan Etnik Karo


Etnik Karo percaya bahwa setiap orang mempunyai tendi/ roh. Jika
seseorang meninggal dunia, maka tendi akan berubah menjadi begu. Begu
dipercaya masyarakat Karo sering menganggu manusia yang masih hidup dan
sekaligus dipercaya dapat menjaga manusia. Artinya, ada begu yang ditakuti dan
ada begu yang dihormati. Berikut dijelaskan beberapa jenis begu yang terdapat
pada masyarakat Karo. (1) Begu yang sangat penting adalah begu jabu atau rumah

tangga, yang disebut dibata jabu atau dewa rumah tangga. Begu ini merupakan
jenis roh dari kerabat terdekat yang meninggal secara tiba-tiba (si mate sada wari)
atau seseorang yang meninggal dalam suatu hari tertentu, baik oleh kecelakaan,
pelanggaran, maupun bunuh diri, tetapi tidak melalui perkembangan penyakit.
Setelah acara ritus perumah begu, begu ini menjadi roh rumah tangga atau begu
jabu, yang melindungi keluarga mereka dari segala bentuk kekuatan dan penguruh
jahat.

Begu jabu ngkelini jabuna, artinya roh rumah (begu jabu)

menyelamatkan keluarganya. Roh-roh atau dewa ini dikatakan menghuni rumah


tangga dan sajian khusus disampaikan kepada mereka.
(2) Jenis begu lainnya yang dikenal masyarakat Karo adalah meliputi begu butara
guru, yakni roh anak yang baru lahir atau yang juga disebut begu perkakun
jabu, yakni roh pengaman rumah tangga. Roh tersebut juga memiliki potensi
bahaya. Selama kita tidak belajar untuk berbicara tentang kehidupannya, maka
tidak mungkin bagi kita mengomunikasikan kebutuhan dan keinginannya,
demikian juga halnya dengan keluarganya. Kecermatan tinggi harus dilakukan
pada penguburan tubuh seorang bayi karena guru (dukun) dapat menggunakan
tubuh bayi untuk membuat obat atau pupuk yang selanjutnya dipercaya akan
menimbulkan nasib sial bagi keluarga bayi itu atau orang lain.
(3) Begu yang dikenal sebagai bicara guru disebut juga begu perkakun jabu adalah
roh seorang anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi. Apabila roh ini
dihormati, akan menjadi roh pelindung bagi keluarga. Tubuh anak-anak yang
meninggal jika dicuri orang, dipercaya bahwa rohnya dapat digunakan oleh

dukun untuk menjadi pengikutnya dan bisa berbahaya bagi orang banyak.
(4) Begu simate sada wari, yaitu begu yang berasal dari orang-orang yang
meninggal tidak disebabkan oleh penyakit, tetapi meninggal secara mendadak
dalam satu hari. Misalnya, orang yang meninggal disambar petir, ditembak,
gantung diri, dan lain-lain. Kepada begu simate sada wari perlu dibuat bereberen dengan pakaian lengkap. Ada ungkapan kurumah begu simate sada
wari, seluk guru, merawa ia megang sorana, tapi ukurna mehuli nge gelah
mejuah-juah kam (datang ke rumah begu simate sada wari melaui guru/dukun
dengan suara yang keras, tetapi hatinya baik untuk kesehatan) berbicara
melalui medium.
(5) Begu tungkup wanita yang meninggal dan belum pernah menikah selama
hidupnya. Begu ini juga termasuk begu jabu yang harus dihormati agar tidak
mengganggu keluarga yang masih hidup.
(6) Begu kayat-kayaten orang yang meninggal disebabkan penyakit, sedangkan
orangnya belum begitu tua. begu ini dianggap sebagai begu biasa.
(7) Begu mentas orang lain yang merupakan begu melintas saja.
(8) Begu menggep, yaitu sejenis begu yang sangat menakutkan dan selalu
mengintip orang untuk mencederainya di bawah kolong atau dibawah tangga
rumah atau ke pondok untuk menerkam mangsanya. Jenis begu ini sangat
ganas kepada wanita dan anak-anak. Sebagai penangkal dan penolak begu
menggep maka anak-anak dan para wanita diberikan kalung umbi jerangau.
(9) Begu sidangbela adalah begu dari wanita yang meninggal pada saat

melahirkan. Begu ini sangat marah, benci, dan kejam sekali terhadap wanita
hamil dan anak-anak kecil. Begu ini sering menanti korbannya di bagian jahen
tapin (sebelah hilir dari tepian tempat pemandian). Dalam kepercayaan lama
antinya adalah jerangau diselipkan di dalam sanggul orang yang sedang hamil
atau dijadikan kalung bagi anak-anak sebagai penangkal.
(10) Begu juma, yaitu begu orang yang meninggal secara umum. Begu ini selalu
mengganggu orang yang bekerja di ladang, merasuki orang sehingga orang di
ladang boleh berkelahi tanpa sebab.
(11) Begu ganjang adalah begu yang sangat ganas dan senang sekali mencekik
leher mangsanya. Begu ini tinggi, setinggi pohon enau atau pohon tualang.
Biasa disuruh oleh orang yang memilikinya untuk mencelakai orang lain,
mencekik orang sehingga berbekas biru di lehernya. Selain itu, bisa juga
membuat lidah orang yang dicekiknya menjulur keluar dan matanya melotot.
Bila tidak hati-hati dan segera mendapatkan pertolongan dari seorang
guru/dukun, akan menyebabkan korbannya meninggal. Menurut tradisi Karo,
orang yang memelihara begu ganjang

biasanya orang yang sedang

mempunyai masalah. Karena ia selalu disertai dengan ketakutan, maka ia


perlu dikawal.
(12) Begu sirudang gara, yaitu begu yang bisa disuruh-suruh, misalnya menjaga
ladang, kolam ikan, jemuran dan lain-lain. Bila ada pencuri, bisa tiba-tiba
meninggal ataupun stroke (Tambun, 1952: 133--134; Tarigan, 1988: 85--89 ;
Ginting, 1999: 19--30).

Dalam pandangan etnik Karo, penting diketahui bahwa dalam acara


ritus perumah begu/memanggil roh, roh selalu direkonsiliasikan dengan nasibnya,
dipaksa untuk menyadari statusnya yang baru, dan cara yang tepat untuk bertindak
terhadap keluarganya yang masih hidup. Di samping itu, memberikan peluang
untuk mengambil jarak dari keluarganya, mengindikasikan keinginannya yang
terakhir, dan menyelesaikan urusan yang belum selesai sesuai dengan
keperluannya. Gambar 4.7 menunjukkan bahwa etnik Karo melakukan upacara
perumah begu yang dilaksanakan setelah upacara gendang kematian di kesain
(lapangan rumah adat) dan disaksikan oleh semua kerabat yang tinggal di rumah
adat tersebut. Insrumen musik yang digunakan dalam upacara ini adalah kulcapi
sebagai pembawa melodi yang biasanya perkulcapi (pemain kulcapi) dapat
mengalami kesurupan bersamaan dengan guru sibaso sebagai pimpinan dalam
upacara tersebut. Saat ini hal tersebut tidak pernah lagi dilakukan oleh etnik Karo.

Gambar 4.7
Musik dan tari Etnik Karo, dalam upacara ritual tahun1900
(Dokumen: K.I. Museum Amsterdam, Capture: Pulumun P. Ginting, 2010)
Perumah begu adalah suatu upacara yang dilakukan pada malam hari untuk
memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia dengan perantaraan dukun
(guru sibaso). Karena sifat kematiannya yang berlangsung tiba-tiba, maka begu si
mate sada wari adalah roh yang sangat kuat dan berbahaya. Apabila tidak
ditangani secara tepat dalam acara ritus perumah begu, dapat menjadi ancaman
besar bagi diri dan orang lain, yang mungkin akan mendapat tempat tinggal
menetap. Orang yang diambil dari kehidupannya secara tiba-tiba, sekalipun tidak
diinginkannya sehingga tidak ada persiapan untuk mati, maka orang tersebut
mungkin menjadi roh liar (begu mentas), yang tidak menentu ke mana perginya
dan bagaimana nasibnya kemudian. Setiap upaya yang tidak tepat untuk memasuki
kembali roh jahat ke siklus kehidupan keluarganya yang masih hidup akan

menimbulkan penyakit dan kematian bagi mereka sebab akan menimbulkan


keterkejutan tiba-tiba bila bertemu dengan anggota keluarga, baik di ladang
maupun di jalan. Ritus perumah begu di representasikan melalui medium
guru/dukun.

4.1.6.2 Guru/ Dukun


Orang yang dapat menjalankan prinsip kepercayaan pada masyarakat Karo
biasanya disebut dengan guru/dukun. Guru pada masyarakat Karo disebut guru si
baso atau guru yang secara umum berarti orang yang dapat berkomunikasi dengan
roh gaib dan dapat mengobati. Guru adalah seseorang yang mempunyai indra
keenam. Fungsinya selain sebagai pembuat obat juga sebagai peramal. Tarigan
(2007: 50) menyebutkan bahwa guru adalah seseorang yang mempunyai jinujung
(makhluk halus yang memberikan keahlian), mempunyai kelebihan, dan dapat
mengucapkan mang-mang/mantra-mantra.
Guru dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai

masyarakat awam dan

sebagai orang yang mempunyai ilmu. Sebagai anggota masyarakat awam, secara
umum sama dengan masyarakat Karo yang lain yang bukan guru. Mereka bekerja
untuk mencukupi keperluan sehari-hari dengan cara bertani atau berjualan. Mereka
juga menjalankan adat yang terdapat dalam rakut si telu.

Sebagai orang yang

mempunyai ilmu, mereka mempunyai kelebihan daripada masyarakat awam.


Mereka mempunyai kelebihan dan dapat

menjalankan aktivitas yang khas,

misalnya dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat

menjalankan

pengobatan kepada seseorang yang sakit atau menjalankan upacara ritual.


Kelebihan guru daripada masyarakat awam terutama karena guru
mempunyai jinujung. Jinujung merupakan satu kekuatan yang

penting yang

terdapat dalam diri guru sebab dengan ada jinujung maka seseorang mempunyai
ilmu dan

mendapat sebutan seorang guru. Aktivitas guru selalu mengikuti

petunjuk dari

jinujung. Oleh karena itu, yang menjalankan aktivitas

pada

dasarnya ialah jinujung. Guru hanya sebagai media komunikasi. Akan tetapi, pada
waktu menjalankan satu aktivitas, jinujung tidak selalu menyerap ke dalam tubuh
guru.
Menurut Ginting (2009: 65), seseorang yang bisa menjadi guru adalah
orang-orang yang mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan orang
biasa pada umumnya. Guru termasuk orang yang dituakan dan mempunyai
kelebihan-kelebihan, seperti (1) guru bisa berkomunikasi dengan roh-roh halus
(gaib), (2) guru bisa kemasukan (kesurupan) roh-roh halus dan masih bisa tetap
mengontrol dirinya walaupun lagi kesurupan, (3) seorang guru biasanya
mempunyai indra yang lebih dari manusia biasa, yakni guru dapat melihat roh-roh
halus (dua lapis pengenen matana), (4) ersora kerahungna (lehernya bisa bersuara
) dan melalui suara itulah dia dapat berkomunikasi dengan roh-roh halus, (5) guru
dapat menentukan hari-hari apa saja yang menjadi hari baik dan hari tidak baik
setiap bulannya, (6) biasanya seorang guru bisa mencari barang yang sudah hilang,

(7) dapat mengartikan sebuah mimpi, serta (8) dapat mengobati berbagai macam
penyakit, bisa membuat penangkal dan membuat jimat sebagai penangkal bala.
Orang Karo membagi beberapa jenis guru/dukun, yaitu (1) Guru mbelin,
yaitu guru (dukun) yang mampu mengobati berbagai macam penyakit dalam tubuh
manusia, baik penyakit yang datangnya dari ulah manusia maupun penyakit yang
datangnya akibat guna-guna. Seorang guru mbelin biasanya sakti dan sangat
disegani oleh masyarakat. Pada etnik Karo guru inilah yang dianggap paling
banyak tahu tentang pengobatan penyakit dan kosmologi. Guru ini memiliki
berbagai macam keahlian sekaligus dari beberapa jenis guru yang ada pada
masyarakat.
(2) Guru penawar, yaitu guru yang dapat mengobati berbagai penyakit dengan
membuat obat-obatan dari bahan ramuan tumbuh-tumbuhan, akar-akaran, bijibijian, minyak dan sebagainya.
(3) Guru pengarkari, yaitu guru yang dapat membuat benteng atau perlindungan
dari roh-roh atau makhluk-makhluk halus yang ingin mengganggu manusia
atau dari teluh yang dibuat oleh orang lain. Benteng atau perlindungan
tersebut terdiri atas berbagai macam bentuk dan bahan, misalnya jimat dari
batu, kain, tumbuhan, dan sebagainya;
(4) Guru ngulakken, yaitu guru yang mempunyai keahlian untuk mengobati
penyakit yang datangnya dari teluh. Guru ini tidak hanya bisa mengobati
penyakit tersebut, tetapi apabila diminta oleh orang yang sedang diobati agar
penyakit

tersebut

ulakken

(kembalikan),

maka

dia

juga

mampu

mengembalikan penyakit tersebut kepada yang mengirimnya sehingga


penyakit tersebut akhirnya menghantam pemiliknya sendiri.
(5) Guru persilihi, yaitu guru yang mampu mengobati orang yang sakit karena
birawan, yaitu orang yang sedang sakit karena terkejut, dan diyakini oleh
masyarakat karena disapa oleh makhluk halus. Oleh sebab itu, agar tidak
diganggu oleh makhluk halus tersebut maka diberikan benda-benda sebagai
pengganti manusia yang sakit tersebut kepada roh yang menyapanya. Persilihi
artinya memberikan ganti. Dalam upacara persilihi sebagai ganti selain
beberapa jenis makanan, seperti buah pisang emas dan beberapa jenis
makanan yang disebut dengan cimpa, yang diletakkan di sebuah
persimpangan yang diyakini sering dilalui oleh makhluk halus tersebut juga
biasanya pohon pisang beserta bonggolnya diukir seperti tubuh manusia, yang
disebut dengan gana-gana. Pohon pisang dengan makanan tersebut diletakkan
di persimpangan jalan. Benda-benda itu diberikan sebagai pengganti manusia
yang diganggu oleh roh atau makhluk halus tersebut. Namun, dalam upacara
yang lebih kecil biasanya diberikan cukup manuk sabur bintang (ayam) saja
sebagai kahul. Ini biasa digunakan dalam upacara ndilo tendi, yaitu
memanggil roh seseorang yang ditahan oleh makhluk halus di tempat-tempat
tertentu. Upacaranya dipimpin oleh guru persilihi ini.
(6) Guru siniktik wari atau disebut juga guru si meteh wari telu puluh, adalah guru
yang mempunyai keahlian tentang hari-hari yang baik dan tidak baik. Harihari baik dan tidak baik ini menyangkut apa yang baik dilakukan pada hari-

hari tertentu. Biasanya untuk melakukan upacara terlebih dahulu ditanyakan


kepada guru ini kapan waktu yang baik diadakan upacara.
(7) Guru perdewal-dewal, yaitu guru yang biasa dipakai untuk upacara perumah
begu, yaitu upacara untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia.
Dalam kepercayaan orang Karo, roh yang sudah meninggal dunia dapat
dipanggil kembali melalui medium sang guru tersebut. Manusia masih dapat
melakukan komunikasi dan saling tukar informasi tentang kehidupan orang
yang meninggal tersebut. Upacara ini juga biasa dipakai untuk mendamaikan
sebuah keluarga yang dilanda konflik. Karena pihak keluarga tidak dapat lagi
mendamaikan konflik yang ada maka biasanya dilakukan upacara perumah
begu. Oleh karena itu, dipanggil roh orang tua mereka yang sudah meninggal
dan memberikan nasihat kembali kepada anak-anaknya agar hidup tentram,
damai dan jangan bertengkar.
(8) Guru si ngoge gerek-gereken, yaitu guru yang mampu meramalkan sifat
seseorang, membaca firasat atau apa yang akan terjadi dengan melihat telur
ayam atau manuk sangkep, yaitu ayam yang sudah dimasak dicampur dengan
kelapa parut. Hal ini biasanya dilakukan pada upacara mukul dalam
perkawinan, yaitu ketika pengantin makan daging ayam bersama dan
disaksikan oleh sanak famili.
(9) Guru si dua lapis pengenen matana, yaitu guru yang mampu melihat makhlukmakhlu halus. Selain itu, juga dapat berkomunikasi dengan mereka.

(10) Guru ngeluncang atau guru muncang, yaitu guru yang mempunyai keahlian
untuk mengusir roh-roh jahat yang sudah sangat menggangu di sebuah
kampung. Hal ini ditandai dengan terlalu sering ada orang yang meninggal di
sebuah kampung, penyakit merajalela, penduduk ketakutan, dan dianggap di
kampung tersebut ada roh-roh jahat yang mengganggu. Biasanya dalam
upacara ini sang guru akan berlari-lari ke sana kemari berperang melawan
roh-roh jahat tersebut. Sekali-sekali dia memanjat pohon kelapa dengan cepat.
Demikian juga dia turun dari pohon kelapa dengan cepat, sampai pada
akhirnya kampung tersebut dinyatakan bebas dari gangguan roh-roh jahat.
(11) Guru perjinujung, yaitu guru yang mempunyai roh yang menyertai dirinya,
biasanya roh kerabatnya yang sudah meninggal dunia, atau roh di sebuah
tempat tertentu yang ingin bersamanya. Secara harfiah dapat disebut dengan
jinujung adalah yang dijunjung, yaitu roh yang menyertai dirinya dan menjadi
baigan dari diri seseorang melalui proses penabalan (pentabisan) oleh guru
juga. Orang yang dapat mempunyai jinujung biasanya disebabkan oleh (a)
turun-temurun dari nenek moyangnya, (b) berdasarkan ngguru atau belajar
dari pustaka najati atau lak-lak kayu, yaitu tulisan kuno yang terdapat dalam
kulit kayu, (c) berdasarkan mimpi, (d) sengget (terkejut), dan (e) begu jabu,
yaitu ada roh anggota keluarga yang ingin masuk kepada salah satu
saudaranya yang masih hidup. Roh ini biasanya roh orang yang mate sada
wari atau mati kontan (satu hari), misalnya karena kecelakaan, bunuh diri, dan
sebagainya.

(12) Guru nendong (tedung), yaitu seseorang yang mempunyai keahlian


mengetahui sesuatu, misalnya mengetahui di mana seseorang yang hilang
berada dan sebagainya.
(13) Guru penggel, yaitu guru yang dapat mengobati orang yang patah tulang.
(14) Guru peraji-aji, yaitu guru yang dapat membuat orang lain menjadi sakit.
(15) Guru si baso, yaitu guru yang dapat melakukan komunikasi dengan roh-roh
atau makhluk halus;
(16) Guru purkasih atau percoles-coles, yaitu guru yang dapat menaklukkan
seseorang dengan cara-cara tertentu. Misalnya, orang akan menjadi sangat
kasihan meskipun sebelumnya sangat marah atau menjadi sangat suka kepada
seseorang meskipun tidak ada perasaan cinta sama sekali sebelumnya.
(17) Guru kebal, yaitu guru yang mempunyai keahlian tahan daging. Misalnya
membuat seseorang tidak mempan dibacok dengan benda-benda tajam.

4.1.6.3 Katika Hari dalam Kalender Karo


Apabila seseorang membutuhkan guru untuk memanggil begu dalam
keluarganya, maka guru akan meniktik wari/guru perkatika atau melihat hari yang
baik untuk mengadakan upacara. Guru perkatika sering juga disebut guru simeteh
wari telupuluh (dukun yang dapat membaca hari tiga puluh dalam satu bulan).
Tidak semua hari yang dapat digunakan dalam ritus perumah begu. Berikut namanama wari/hari yang terdapat pada kepercayaan masyarakat Karo. Guru simeteh
wari telu puluh memiliki keterampilan untuk membaca hari-hari agar manusia

mengetahui hari yang baik dan tidak baik melakukan sesuatu. Nama-nama hari
yang dipercaya etnik Karoyaitu sebagai berikut. (1) Aditia, wari medalit, baik
memulai sesuatu, runggu musyawarah, dan hati-hati.
(2) Suma. Wari sidua nahe, yaitu hari dua kaki, hari manusia dan ayam, hari ini
kurang baik untuk menggali lubang, bila ada orang meninggal perlu dibuat
upacara ngarkari, akan tetapi baik untuk kegiatan barburu, menjala ikan, dan
memikat binatang.
(3) Nggara. Wari merawa/merampek, yaitu hari baik untuk perang, membalikkan
guna guna, membuang sial, membuat obat-obatan, berburu, dan merambah
hutan.
(4) Budaha. Wari siempat nahe, hari yang berkaki empat, hari ini adalah hari padi,
baik untuk menanam padi di ladang dan sawah, memasukkan padi ke
lumbung, memulai musim tanam, dan baik untuk melakukan pesta.
(5) Beraspati. Wari medalit, yaitu hari licin, hari ini baik untuk pesta, memulai
membangun rumah, meresmikan rumah baru, memulai usaha baru, melamar
pekerjaan, dan pantang bersitegang.
(6) Cukra enem berngi. Wari pembukui,wari salang sai, yaitu hari yang baik
untuk berangkat merantau, menyeberang lautan, melamar pekerjaan,
menghadap orang penting, memulai usaha baru, upacara perkawinan, dan
melamar gadis.
(7) Belah naik. Wari pengguntur, wari raja, adi berkat usur jumpa teman, hari
yang baik untuk menikah, melamar pekerjaan, upacara raleng tendi, erpangir

karena terpenuhinya apa yang dicita-citakan. Semua pesta baik jika


menggunakan alat musik.
(8) Aditia naik. Wari mehuli, yaitu hari baik, semua baik untuk pesta, rapat adat,
pesta musik, ritual (berkeramas), pesta perkawinan, meresmikan rumah baru,
membuka usaha baru, melamar perempuan, rekonsiliasi (purpur sage).
(9) Sumana siwah. Wari kurang ulina, yaitu hari yang kurang baik dan harus hatihati dalam segala tindakan. Yang baik hanya untuk berburu.
(10) Nggara sepuluh. Wari melas, yaitu hari panas. Hati-hati berbicara, jangan
bersitegang, hati-hati dengan api, baik untuk membuat obat-obatan, perang,
membalikkan guna-guna orang, memulai pekerjaan baru, buang sial, pesta
kawin, main musik, meresmikan rumah baru, dan baik untuk ngampeken
tulan/ mengangkat tulang bululang nenek moyang.
(11) Budaha ngadep. Wari salang sai, wari mehuli, yaitu baik untuk pesta, rapat
adat, menjenguk kerabat, melamar pekerjaan, perkawinan, dan pesta dengan
musik.
(12) Beras pati tangkep. Wari simehuli, mehulu njumpai simbelin (menjumpai
pejabat), masuk rumah baru, pesat meminta rezeki, pesta kawin, dan
mengucapkan syukur kepada Dibata.
(13) Cukera dudu (lau). Wari mehuli, baik untuk pesta kawin, masuk rumah baru,
dan upacara erpangir ku lau.

(14) Belah purnama raya. Wari raja, yaitu baik buat pesta yang besar, pesta
pejabat, erpangir ku lau, dan pesta guro-guro aron, memberikan makanan
kepada orang tua, bertunangan, pesta tahunan, pesta seni.
(15) Tula. Wari sial, yaitu tidak baik untuk pesta yang baik hanya menanam
kelapa. Jika ada anak lahir, bisa mengakibatkan salah satu orang tuanya
meninggal. Oleh karena itu, harus dibuat sebuah upacara yang disebut ibahbahi alu bulung simalem-malem.
(16) Suma cepik. Wari sila mehuli, hari yang tidak bagus, kecuali untuk berburu
dan memancing.
(17) Nggara enggo tula. Wari merawa, yaitu hari baik untuk buang sial, membuat
obat, hari yang penuh dengan hati-hati dan erpangir selamsam / mimpi buruk.
(18) Budaha gok. Wari page mbuah, hari panen, menyimpan padi ke lumbung,
mulai menanam, baik membeli hewan berkaki empat, kurang baik untuk
menjual sesuatu, baik untuk mengadakan upacara.
(19) Beras pati. Mejile menaken rabin, yaitu baik memotong kayu untuk rumah,
memancing, membuat gubuk di ladang.
(20) Cukra sidua puluh. Baik untuk membuat obat, masuk rumah baru,
mengangkat tulang belulang nenek moyang, pergi bertamasya, hari yang baik
dalam segala hal.
(21) Belah turun. Baik untuk buang sial, ncibali siding, memancing, berburu,
memasang pelet burung.

(22) Aditia turun. Baik untuk membuat obat, erpangir, buang sial, berburu,
engkawil, ngulakken pinakit, turun ke laut.
(23) Sumana mate. Baik untuk membuat pancingan baik di darat maupun di air,
membuat jebakan, berburu binatang, jika berkelahi taruhannya adalah nyawa.
(24) Nggara simbelin. Baik untuk membuat obat, buang sial, bertapa, berperang,
mencari ilmu, membuat penangkal atau penjaga badan, penangkal ladang.
(25) Budaha medem. Hari baik untuk mulai menanam ke ladang, pesta tahunan,
memulai perjalanan, menggiling padi, mengambil padi dari lumbung,
menikah.
(26) Beraspati medem. Wari simalam-malem, yaitu memberikan makanan kepada
orang tua, hari damai, mengunjungi kalimbubu, pesta kawin, membuat obat.
(27) Cukrana mate. Hari buang sial, membuat obat, berburu, memancing, dan
berladang.
(28) Mate bulan. Hari buang sial, ngulakken, tidak baik mengadakan upacara,
mudah ingkar janji, saling tidak percaya, tidak perlu pergi jika tidak penting,
yang baik hanya berburu, memancing, turun ke laut.
29. Dalan bulan. Wari kurang ulina ( hari yang kurang baik ) dalam segala hal.
30. Samisara. Wari pendungi hari untuk menyelesaikan, menutup kerja, membayar
utang, purpursage, berdoa kepada Dibata dan kepada leluhur, nendungi guru.

4.1.6.4 Kedai Kopi


Bagi orang Karo, khususnya kaum laki-laki (dewasa), kedai kopi
merupakan sebuah kebutuhan penting. Meskipun di rumah telah disediakan oleh
pernanden (ibu) kopi sejenis atau kopi sejenis seperti di kedai kopi, tidak
mengurangi niat dan minat kaum bapak ke kedai kopi. Hal itu menarik. Apakah
karena kebiasaan itu merupakan warisan dari budaya Karo? Dari pengamatan
peneliti ke seluruh perkampungan Karo, baik di tanah Karo sendiri maupun di
berbagai tempat yang didiami orang Karo, seperti Seli Serdang, Binjai,
Simalungun, Dairi, bahkan di berbagai tempat di Pulau Jawa, selalu ada saja kedai
kopi Karo atau kedai kopi orang Karo.
Meskipun di perkotaan telah muncul beragam kafe-kafe internasional,
kedai kopi bagi orang Karo atau setidaknya lapo bagi orang Toba tidak bisa hilang
dimana pun mereka berada. Hal ini tidak serta merta mengurangi kemodernan
seseorang meskipun telah tinggal di kota besar seperti Jakarta, Medan, dan
sebagainya. Bagi orang Karo kedai kopi bukan sekadar tempat meminum kopi,
kopi susu, teh manis, atau sejenisnya, melainkan telah lama bagi masyarakat Karo
kedai kopi sebagai tempat pusat informasi komunitas, baik di kampung maupun di
kota. Mulai kelahiran sampai kematian dapat diketahui dari adanya kedai kopi.
Berbagai hal diulas dan didiskusikan di sana, baik dari sisi obrolan ringan seperti
harga jeruk turun, calon bupati 2014, perkembangan pansus century, maupun
persoalan-persoalan politik yang menyangkut negara, seperti kunjungan Obama ke
Indonesia, bahkan kehidupan selebritis.

Tidak ada yang tidak dapat dibahas di kedai kopi Karo. Semuanya bisa
menjadi ahli, semuanya bisa menjadi pendengar baik. Termasuk membicarakan
hal-hal yang belum terpecahkan sekalipun bisa dipecahkan di kedai kopi Karo.
Namun, satu hal juga yang tidak pernah ketinggalan sekadar ingin melihat
pertandingan catur atau cator. Obrolan-obrolan pemain catur ini pun menjadi salah
satu daya tarik. Bahkan, lebih menarik mendengar obrolan-obrolan pemain catur
ini daripada permainan caturnya sendiri. Rengget atau cengkok nyanyian
perkolong-kolong yang terdapat dalam gendang kematian juga tidak terlepas dari
nyanyian yang ada di kedai kopi, sadar atau tanpa sadar pemain catur sering
menyanyikan rengget ini. Di mana ada kedai kopi Karo, pasti di sana ada papan
catur. Terkadang mejanya itu sendiri diwarnai atau dibuat garis-garis menjadi
papan catur.
Ketika peneliti bertanya kepada beberapa orang yang sering ke kedai kopi
di lokasi penelitian, apa yang membuat Anda ketagihan datang ke kedai kopi?
Cukup beragam jawaban mereka. Ada yang sekadar menghabiskan waktu, ada
yang sekadar mencoba peruntungan dengan memasang angka-angka, ada yang
ingin mengobrol, ada yang ingin bertemu dengan orang-orang, ada yang mencari
hiburan dengan mendengar beragam obrolan yang tak berkesudahan dan tak
berkeputusan, dan sebagainya. Menurut Njenap Ginting, tidak cukup untuk
memahami kebudayaan kita di berbagai upacara atau ritual saja, kedai kopi
merupakan salah satu wadah untuk memahami adat istiadat kita, karena di sinilah
kita bebas berargumentasi dan akan diterapkan dalam kehidupan kita (wawancara,

26 Mei 2012). Obrolan di kedai kopi telah dipahami sebagai obrolan santai dan
tidak serius. Oleh sebab itu, pada saat itulah orang per orang bebas berbicara apa
saja tanpa ada yang merasa tersinggung, karena mereka tahu benar konteksnya
dimana.
Pada dasarnya orang-orang ke kedai kopi tidak sekadar minum, tetapi
komunikasi antarindividu tersebutlah yang menjadi faktor utamanya. Meskipun di
kota-kota besar seperti Medan, Pekan Baru Jakarta, dan seterusnya bukan
minumannya yang menjadi faktor ke kedai kopi, melainkan emosional kesukuan
dan kedaerahan, emosional cita rasa kekaroannya tidak akan pernah terlupakan.
Setelah diamati dapat disimpulkan bahwa menurut kepercayaan, masyarakat Karo
tidak akan ada tanpa kedai kopi. Artinya, ketika kedai kopi lenyap maka sekaligus
adat dan budaya etnik Karo akan lenyap. Kedai kopi adalah sekolah atau
universitas nonformal bagi orang Karo.
Tempat berkumpulnya sierjabaten/penggual (pemain gendang lima
sendalanen) disebut kedai kopi penggual. Kedai kopi penggual berada di Kota
Kaban Jahe, yaitu ibu kota Kabupaten Karo. Setiap hari mereka akan menunggu
panggilan

untuk

upacara

gendang

kematian.

Semua

masyarakat

yang

membutuhkan jasa mereka untuk upacara gendang kematian cukup datang ke


kedai kopi penggual tersebut. Namun, akibat teknologi informasi, kedai penggual
atau tempat berkumpulnya seniman-seniman Karo, berangsur-angsur ditinggalkan,
yang membuat kemudian seniman bersifat individual. Meskipun demikian, mereka
masih tetap ke kedai kopi, tetapi bukan kedai kopi penggual.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kedai kopi merupakan sarana
informasi bagi orang Karo, baik di tanah tinggi Karo maupun daerah lain, yang
didiami orang Karo. Kabar kematian akan didapatkan siapa, di mana, dan kapan
akan dilaksanakan upacara gendang kematian tersebut. Pada umumnya, di mana
pun lokasinya upacara gendang kematian akan dilaksanakan pada sebuah gedung
atau aula bersama yang disebut masyarakat Karo dengan istilah jambur atau
losd.

4.1.6.5 Jambur / Losd


Salah satu cara untuk mempertahankan nilai-nilai luhur budaya lokal yang
berkarakter adalah dengan membangun sarana pendukung budaya kepada generasi
muda kita. Nilai-nilai budaya warisan leluhur ini adalah jiwa kebudayaan lokal dan
menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Hal ini bisa dilihat
dari satu sarana berkumpul dalam sebuah upacara yang terdapat pada etnik Karo,
yaitu jambur/losd.
Jambur/losd pada masyarakat Karo adalah sebuah sarana untuk
menghargai dan mengaktualisasikan adat dan budayanya. Aktualisasai kebudayaan
Karo termanifestasikan dalam sebuah jambur/losd. Etnik Karo memiliki berbagai
upacara yang menyangkut adat istiadat yang dilangsungkan secara turun-temurun
dan dari generasi ke generasi yang disebut dengan tradisi lisan. Jambur/losd
sebagai sarana untuk melaksanakan semua kegiatan adat yang bersifat kearifan
lokal.

Bagi masyarakat Kabupaten Karo di Sumatera Utara, keberadaan jambur


atau losd menjadi kebutuhan yang terbangun secara alami. Jambur atau losd
awalnya tempat sosial masyarakat Karo untuk memanen hasil pertanian atau jual
beli dan pada masa kini berkembang menjadi tempat menggelar upacara adat,
seperti upacara perkawinan atau upacara kematian. Hampir setiap desa di tanah
Karo memiliki jambur atau losd. Bahkan, jambur banyak ditemukan di kota
Medan karena telah menjadi kebutuhan sosial. Jambur jugalah yang meringankan
kegagapan pemerintah Kabupaten Karo, yang selama ini hanya disibukkan oleh
arus perdagangan hasil pertanian yang melimpah ruah, dalam menangani bencana
Gunung Sinabung, yang dipercayai baru kali pertama terjadi dalam 400 tahun
terakhir.
Jambur adalah sejenis aula yang besar, yang biasanya bisa nenampung
untuk sebuah upacara antara 500--1000 undangan yang biasanya digelar tikar
untuk tempat duduk. Jambur bisa ditemukan di setiap desa, baik di Kabupaten
Karo maupun di wilayah yang dihuni masyarakat Karo. Kepemilikan jambur di
setiap desa itu adalah masyarakat desa tersebut, tetapi kalau misalnya di kota, baik
di Kota Kabanjahe, Berastagi, maupun Medan, mayoritas kepemilikannya
perindividu, yang biasanya dikomersialkan untuk upacara

perkawinan atau

upacara gendang kematian.


Pada zaman dulu sebelum adanya bangunan ini, baik upacara pernikahan
maupun upacara lainnya, diadakan di tanah lapang atau lapangan (kesain). Akan
tetapi, berjalannya waktu para pendahulu kita mulai menyadari betapa pentingnya

memiliki suatu bangunan yang permanen untuk mengadakan acara-acara penting


agar acara tersebut dapat berlangsung dengan teratur dan baik. Oleh sebab itu,
simatek kuta mengajak warga yang ada di desa untuk membangun bangunan yang
disebut jambur. Semua hal yang dibicarakan di kedai kopi implementasinya
tampak dalam upacara di jambur. Terkait dengan itu, seperti yang sudah disebut di
atas bahwa upacara gendang kematian etnik Karo dilaksanakan di bangunan
tersebut.

4.2 Gambaran Umum Upacara Gendang Kematian


Upacara adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sebuah komunitas
yang biasanya dilakukan dengan musyawarah mufakat meskipun upacara tersebut
dilakukan untuk kepentingan seseorang. Gendang dalam subbab ini diartikan
sebagai nama sebuah upacara sekaligus nama sebuah ensambel musik. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa akhir kehidupan pada orang Karo adalah
ketika seseorang meninggal dan dilakukan penghormatan terakhir oleh
kekerabatannya (sangkep nggeluh) dalam peristiwa yang disebut upacara gendang
kematian.
Upacara gendang kematian adalah sebuah ritual yang sangat penting bagi
etnik Karo. Dalam satu dekade terakhir ini upacara gendang kematian mengalami
degradasi sebagai akibat dari pengaruh budaya global.
Etnik Karo percaya bahwa arwah yang meninggal masih dekat dengan diri
mereka dan tidak akan jauh meninggalkan keluarga. Hal ini tampak dari perilaku

ketika upacara gendang kematian dilaksanakan. Manusia terdiri atas

jasmani

(kula) dan rohani (tendi). Apabila seseorang meninggal dunia, unsur-unsur


jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asalnya semula. Dengan demikian, dalam
upacara gendang kematian pada masyarakat Karo tidak asing disebutkan buk jadi
ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, jukut jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi
begu. Semua hal itu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk, darah menjadi
air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh
menjadi hantu. Hal ini berarti bahwa manusia merupakan bagian dari alam, bukan
sebaliknya. Pemaparan subbab tentang jenis upacara kematian dan unsur-unsur
yang ada di dalamnya seperti uraian berikut ini.

4.2.1 Jenis Kematian


Beberapa jenis kematian pada masyarakat Karo, di antaranya adalah
sebagai berikut. Pertama, cawir metua. Cawir metua disebut apabila umur yang
meninggal sudah lanjut (beranak-cucu, cicit atau cacah) dan semua anaknya sudah
berkeluarga. Namun, ada kalanya orang yang meninggal itu sudah berusia lanjut,
tetapi masih ada anaknya yang belum berkeluarga, maka dalam keadaan demikian
bisa dilaksanakan adat cawir metua dengan persetujuan kalimbubu dan anak yang
belum kawin tersebut. Kedua, mate sada wari (mati dalam satu hari) adalah
kematian yang disebabkan tidak oleh suatu penyakit, terjadi dalam satu hari.
Penyebab mate sada wari ini di antaranya adalah dibunuh orang, bunuh diri,
kecelakaan, melahirkan anak, dan sebagainya terkait dengan meninggal tanpa

mengidap suatu penyakit. Khusus untuk orang yang meninggal demikian dibuat
kuburan (pendawanen) tersendiri dan terpisah dari tempat penguburan umum.
Ketiga, mate nguda apabila umur yang meningal masih muda, bisa jadi belum
kawin atau sudah kawin dan anak-anaknya belum semua berkeluarga atau ketika
masih anak-anak. Keempat, tabah-tabah galuh apabila orang yang meninggal
dunia belum lanjut usia, tetapi anak-anaknya semua sudah berkeluarga (sai utang).
Kelima, mate lenga ripen (belum bergigi) apabila anak meninggal sejak dalam
kandungan atau beberapa saat setelah lahir atau beberapa bulan kemudian dan
giginya belum tumbuh. Anak-anak yang meninggal belum bergigi hari itu juga
harus dikubur, tubuhnya dibungkus dengan kain putih (dagangen), kemudian
dikeluarkan dari rumah adat melalui pintu perik (jendela) seorang menjulurkannya
dari rumah dan seorang lainnya menerimanya dari luar. Penguburannya dilakukan
secara rahasia karena takut dicuri orang. Keenam, mate mupus (mati melahirkan),
kematian seorang ibu waktu melahirkan anaknya. Kematian sang ibu dapat terjadi
sebelum atau sesudah bayi lahir (Prinst, 2004: 131). Mati beranak atau mati kala
melahirkan anak merupakan suatu kematian yang dipandang amat hina pada
masyarakat Karo. Bila seorang ibu melahirkan anak sudah sepantasnya dia
bergirang hati walaupun harus menderita kesakitan. Sang ibu harus tabah
menerima kebahagiaan tersebut. Seorang ibu yang mate ranak dianggap kurang
tabah, bahkan tidak tabah sama sekali menanti kelahiran anaknya (Tarigan, 1998:
79).

Pada masa dulu bila wanita yang meninggal bersalin, maka semua pintu
rumah di kampung itu ditutup dan jarang orang pergi keluar rumah kalau tidak
perlu. Para wanita hamil, wanita yang baru melahirkan, dan anak-anak yang belum
bergigi di kampung itu diwajibkan meludahi mbun-mbunen (yaitu kumpulan
tepung, pisang, dan sebutir telur ayam) empat kali sebagai tanda untuk
menghina/membenci kematian itu. Kemudian mbun-mbunen itu diantarkan oleh
salah seorang kaum kertabatnya kepada mayat wanita yang mati bersalin itu
(Tarigan, 1998: 79--80).
Malam harinya setelah penguburan kalau sang suami mau masuk

ke

rumah, dia harus mengetuk pintu sepulusada (sebelas) kali. Orang-orang


seperumahan akan bertanya dari dalam jera kam mbalu. Sang suami akan
menjawab jera,jera. Ketukan pintu itu dilakukan sebanyak sepulusada (sebelas)
kali karena kata sepuluhsada bersajak dengan kata ersada (bersatu) tendi atau roh
ke rumah (Tarigan, 1998: 80).

4.2.2 Gendang/Musik
Melakukan aktivitas musik dalam kebudayaan Karo dikenal dengan dua
istilah, yaitu ergendang dan rende. Ergendang terdiri atas dua kata yaitu er
(melakukan sesuatu) dan gendang secara sederhana dapat berarti musik. Jadi,
ergendang dapat diartikan bermain musik. Gendang dapat berarti salah satu alat
musik, satu upacara, judul komposisi, nama instrumen, dan beberapa arti lainnya.
Dalam subjudul ini gendang berarti nama sebuah ensambel musik dan nama

sebuah instrumen musik. Dari keseluruhan alat musik yang ada dalam khazanah
budaya Karo terdapat dua ensambel musik tradisional, yaitu

gendang lima

sedalanen, gendang telu sedalanen. Selain kedua ensambel tersebut, ada pula
beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara tunggal (solo).

4.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen


Gendang lima sendalanen (sering juga disebut gendang sarune)
merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khazanah musik tradisional
Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan alat musik, lima
berarti lima, dan sendalanen berarti sejalan. Dengan demikian, gendang lima
sendalanen mengandung pengertian lima buah alat musik yang dimainkan sejalan
atau secara bersama-sama. Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima
sendalanen memang terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarune, (2)
gendang singindungi, (3) gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung
Tiap-tiap alat musik dimainkan oleh seorang pemain, dengan sebutan
penarune untuk pemain sarune, penggual untuk pemain gendang singindungi dan
gendang singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut simalu penganak
dan orang yang memaikan gung disebut simalu gung. Ketika mereka bermain
musik dalam suatu upacara adat Karo, sebutan kepada mereka menjadi satu, yaitu
sierjabaten (yang memiliki jabatan). Sebutan penggual dan penarune tetap
melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik. Di
pihak lain sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain dalam

suatu konteks upacara adat seperti upacara gendang kematian. Ensambel gendang
lima sedalanen adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara
kematian. Ensambel inilah sebagai perekat terhadap unsur-unsur yang ada dalam
upacara tersebut.
4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen
Gendang telu sendalanen juga merupakan ensambel musik tradisional yang
terdapat pada masyarakat Karo. Gendang telu sedalanen memiliki pengertian tiga
alat musik yang sejalan (dimainkan secara bersama-sama). Ketiga alat musik
tersebut adalah kulcapi, keteng-keteng, dan mangkok. Ada kalanya kulcapi,
sebagai pembawa melodi dalam gendang telu sedalanen dapat pula diganti dengan
instrumrn balobat. Dengan demikian istilah gendang telu sendalanen sering
disebut berdasarkan nama alat musik pembawa melodinya, yaitu gendang kulcapi
atau gendang balobat. Gendang kulcapi berarti kulcapi sebagai pembawa melodi
dan gendang balobat berarti balobat sebagai pembawa melodi. Instrumen
pengiring dalam gendang telu sendalanen atau gendang kulcapi/gendang balobat
adalah tetap, yaitu keteng-keteng dan mangkok.
Tiap-tiap alat musik dimainkan oleh seorang pemain dengan sebutan
perkulcapi untuk pemain kulcapi, perbalobat untuk pemain balobat, simalu
keteng-keteng untuk pemain keteng-keteng, dan simalu mangkok untuk pemain
mangkok. Apabila musisi gendang telu sedalanen ini bermain dalam konteks
upacara, maka sebutan untuk mereka juga adalah sierjabaten. Namun, dalam
kehidupan sehari-hari hanya pemain kulcapi dan balobat yang biasanya tetap

mendapat sebutan, yakni perkulcapi dan perbalobat, sementara itu pemain ketengketeng dan mangkok biasanya tidak mempunyai sebutan tertentu. Ensambel
gendang telu sendalanen digunakan dalam upacara ritual masyarakat Karo, seperti
perumah begu (memanggil roh orang meninggal), erpangir kulau (penyucian diri),
raleng tendi (mencari roh), dan sebagainya.

4.2.2.3 Gendang Lima Puluh Kurang Dua


Gendang lima puluh kurang dua (gendang 50-2) berarti gendang sebagai
nama sebuah repertoar lagu. Gendang ini berkaitan dengan mitos terjadinya alam.
Mitos tersebut dipercaya oleh masyarakat Karo dan akan diuraikan sebagai
berikut. Dibata (Tuhan) menciptakan manusia pada awalnya masih dalam keadaan
labil. Dibata mempunyai tiga orang anak yang kemudian dikenal dari tempat
tinggalnya, yaitu di atas (datas) dengan simbol padi/page (buah di atas), di tengah
dengan simbol jagung/jong (buah di tengah), dan di bawah (teruh) dengan simbol
ubi/gadung (buah di bawah). Ketiga anak ini selalu berbeda pendapat dan Dibata
sibuk mendamaikannya. Kelakuan ketiga anaknya persis seperti ungkapan dalam
pepatah Karo, yaitu bagi ancit, adi jumpa sipatuken, adi sirang sitedehaen yang
berarti kalau jumpa bekelahi, kalau berpisah saling rindu.
Berdasarkan keadaan tersebut Dibata kemudian menciptakan pemisah atau
batas di antara ketiga anaknya. Namun, pembatas ini selalu dirusak oleh anak
jagung (tengah) dengan angin topan (angin kaba-kaba) sehingga hancur. Kejadian
seperti ini terjadi sampai empat kali sesuai dengan arah desa si empat (keempat

arah mata angin), yaitu purba (timur), daksina (selatan), pustima (barat), dan utara
(utara). Dari kejadian inilah lahir desa si empat pada masyarakat Karo.
Akibat selalu ada persoalan di antara anaknya, Dibata menidurkan ketiga
anaknya selama tujuh hari tujuh malam (pitu wari pitu berngi). Selama anak-anak
ini tidur, Dibata membuat pemisah di antara ketiga anaknya. Pada hari kedelapan
ketiga anak Dibata bangun dan mereka tidak saling melihat lagi, karena sudah ada
pemisah di antara mereka. Anak Dibata tengah lalu menciptakan angin topan
(angin kalisungsung) dan meniup pembatas tersebut, tetapi pembatas itu tidak
hancur. Akan tetapi, terjadilah lembah-lembah (baluren), jurang (embang),
gunung-gunung (deleng), dan sebagainya.
Kini ketiga anak Dibata terpisah dan tidak dapat berhubungan secara
langsung, tetapi harus melalui perantaraan guru (dukun). Sejak itulah terjadi desa
si waluh (delapan arah mata angin), yaitu purna (timur), aguni (tenggara), daksina
(selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), utara (utara),
dan idan irisen (timur laut) (Darwan, 2004: 230).
Pada hari kedelapan inilah terjadi mitos tentang gendang lima puluh
kurang dua (gendang 50-2). Gendang ini diturunkan Dibata melalui guru karena
Dibata telah mengaruniakan pengetahuan kepadanya. Guru membimbing
sierjabaten (penarune, penggual, si malu penganak, dan si malu gung) tentang
gendang limapuluh kurang dua. Guru bermantra (ermang-mang) dan si erjabaten
membuat musiknya. (Darwan, 2004: 229--231).

Gendang lima puluh kurang dua biasanya digunakan pada upacara-upacara


adat yang besar (agung), seperti pada upacara gendang kematian dalam konteks
kematian bangsawan (sibayak), mengket rumah siwaluh jabu (memasuki rumah
adat). Sebagai repertoar lagu gendang lima puluh kurang dua, empat puluh
delapan diperuntukkan bagi manusia, sedangkan dua gendang (musik)
diperuntukkan bagi Pencipta kehidupan dan roh-roh leluhur. Bagi orang Karo,
tidak ada pemisah antara orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal
dunia. Keduanya masih dapat berkomunikasi melalui mimpi atau melalui perantara
guru si baso.

4.2.2.4 Instrmen Nonensambel


Selain alat-alat musik kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih
terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo nonensambel atau bersifat solo
instrumen. Artinya, alat musik tersebut dimainkan secara tunggal (solo) tanpa
diiringi dengan alat musik lain. Alat musik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kulcapi dan balobat, selain digunakan dalam musik ensambel juga
dimainkan sebagai alat musik tunggal (solo). Kulcapi merupakan alat musik petik,
dua senar, dan balobat merupakan alat musik tiup dengan enam buah lubang nada.
Kedua alat musik ini masih sering ditemukan pada masyarakt Karo sampai saat ini
dan dimainkan untuk mengenang masa-masa lamapu. Kedua, surdam merupakan
alat musik tiup dari belakang (endblown flute) terbuat dari bambu. Surdam
memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat berbunyi. Tanpa menguasai

teknik tersebut, surdam tidak akan berbunyi ketika ditiup. Ketiga, murbab
merupakan alat musik gesek, mirip alat musik rebab dalam musik Jawa. Murbab
sebagai alat musik tradisional Karo sekarang ini sudah sangat jarang ditemukan
pada kebudayaan musik Karo. Keempat, empi-empi alat musik ini sebenarnya
merupakan alat musik yang biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika padi
menguning. Empi-empi merupakan alat musik tiup yang lidahnya (reed-nya)
berasal dari badan alat musik itu sendiri. Empi-empi terbuat dari batang padi yang
telah mulai menguning. Untuk saat sekarang, kedua alat musik ini sudah jarang
ditemukan atau dimainkan oleh para petani Karo walaupun sebenarnya teknik
pembuatan serta bahan kedua alat musik tersebut tidak begitu rumit dan masih
mudah ditemukan di daerah Karo.

4.2.2.5 Musik Vokal Etnik Karo


Rende secara umum diartikan sebagai bernyanyi, sedangkan ende-enden
berarti nyanyian. Orang yang pintar bernyanyi disebut perende-ende. Perendeende biasa dipanggil untuk menyanyi sekaligus menari dalam konteks upacara
dengan sebutan perkolong-kolong. Beberapa aktivitas guru sibaso (dukun
tradisional Karo) dalam berbagai upacara kepercayaan tradisi kadang-kadang
dilakukan dengan cara bernyanyi.
Ende-enden atau nyanyian dalam kebudayaan Karo terdiri atas beberapa
jenis, seperti (1) katoneng-katoneng, (2) tangis-tangis, (3) io-io, (4) didong-doah,
(5) tabas, (6) mang-mang, (7) nendung, dan (8) nyayian percintaan atau muda-

mudi. Katoneng-katoneng merupakan suatu musik vokal yang biasanya diiringi


gendang lima sedalanen. Secara komposisi, katoneng-katoneng telah memiliki
garis melodi yang baku, tetapi lirik atau teks dari komposisi tersebut senantiasa
berubah dan disesuaikan dengan satu konteks upacara. Kadang-kadang katonengkatoneng disebut juga dengan pemasu-masun (nasihat-nasihat) karena isi atau
tema lagu itu biasanya berisi nasihat, penghormatan, pujian, doa atau harapan, dan
sebagainya. Kadang-kadang lirik katoneng-katoneng juga bertemakan perjuangan
atau kisah hidup seseorang. Komposisi ini biasanya dinyanyikan oleh perkolongkolong. Berdasarkan sifat nyanyian ini maka katoneng-katoneng dapat
digolongkan sebagai nyanyian bercerita (narrative song). Nyanyian inilah menjadi
salah satu unsur dalam upacara gendang kematian etnik Karo.
Tangis-tangis adalah nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau
penderitaan seseorang. Io-io merupakan nyanyian tentang rasa rindu. Didong-doah
yaitu nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby) pada masyarakat
Karo disebut didong-doah. Istilah didong-doah sebagai aktivitas rende juga
ditemukan dalam upacara perkawinan adat pada masyarakat Karo, yaitu seorang
ibu mengungkapkan perasaan dan nasihatnya melalui nyanyian pada keluarga
pengantin.
Tabas adalah mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun)
dalam pengobatan tradisional. Mang-mang merupakan ungkapan penghormatan
seorang dukun terhadap jinujung-nya (roh-roh yang menolong atau menyertainya
setiap waktu. Nendung adalah aktivitas seorang dukun dalam hal meramalkan

sesuatu atau seseorang yang pergi hilang, tanpa memberitahukan ke mana


kepergiannya
Aktivitas guru sibaso dalam tabas, mang-mang, dan nendung tidak
selamanya dinyanyikan. Namun hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam
mantra. Isi ucapan itu pun kadang-kadang tidak dapat dimengerti secara jelas bagi
orang yang mendengarkannya. Di pihak lain nyanyian percintaan atau muda-mudi
merupakan jenis vokal yang berkembang sampai saat ini. Semua jenis yang sudah
diuraikan di atas berkaitan dengan kematian, tetapi ada yang digunakan setelah
beberapa lama upacara gendang kematian dilakukan. Untuk perumah begu
(memanggil roh), misalnya, harus dilakukan dengan mencari hari baik (niktik
wari).

4.2.2.6 Gendang Kibod/ Keyboard


Dalam kurun dua dekade terakhir kebudayaan musik Karo telah
menggunakan alat musik keyboard. Ada beberapa jenis keyboard yang pernah
digunakan dalam kebudayaan musik Karo, seperti Yamaha Pss 680, Yamaha Psr
500, Yamaha Psr 510, Technich KN 1000. KN 2000, KN 2400, KN 2600, dan KN
7000.
Pada awalnya keyboard ini digunakan (dipelopori) oleh Djasa Tarigan,
seorang seniman tradisional Karo yang cukup dikenal. Namun belakangan muncul
pemain-pemain keyboard baru yang beberapa di antaranya sama sekali tidak
memiliki latar belakang sebagai pemusik tradisional Karo. Keyboard yang dikenal

masyarakat Karo sebagai gendang kibod, yaitu alat musik modern dari kebudayaan
musik Barat yang memiliki berbagai fasilitas program musik yang dapat meniru
bunyi musik tradisi Karo dengan cara memprogram.
Awalnya keyboard tersebut digabungkan dengan gendang lima sedalanen
dengan cara memanfaatkan unsur-unsur ritmis yang terdapat dalam keyboard
untuk menambah nuansa musikal dalam konteks gendang guro-guro aron. Secara
cepat musik gabungan ini menjadi sangat digemari pada masyarakat Karo. Melalui
berbagai kreasi dan eksperimen yang dilakukan seniman Karo terhadap alat musik
keyboard, pada akhirnya terciptalah program irama yang menyerupai gendang
Karo sehingga keyboard dapat digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian
yang terdapat di masyarakat Karo.

4.2.2.7 Gendang Trompet (Ensambel Tiup)


Musik adalah kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga
perubahan merupakan hal yang dianggap wajar sesuai dengan perkembangan
waktu, baik perubahan yang diakibatkan pengaruh materi maupun inovasi-inovasi
yang dilakukan oleh masyarakat. Awalnya musik tiup trompet (ensambel tiup)
pada masyarakat Karo hanya digunakan dalam ibadah-ibadah Minggu di gereja.
Namun, pada perkembangannya penggunaan musik ensambel brass ini lebih
banyak ditemukan pada upacara gendang kematian, bahkan sudah sangat jarang
dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah yang lain. Belakangan perubahan
fungsi ensambel brash yang awal perkembangannya dari ruang lingkup gereja

menjadi salah satu bagian dari upacara adat, yaitu sebagai pengiring dalam upacara
gendang kematian etnik Karo.
Menurut Sinuraya, sekitar tahun 1965 para misionaris berkebangsaan
Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan Injil. Kedatangan para
misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan
ini terjadi karena selain melaksanakan misinya para misionaris juga turut
membawa dan mengembangkan kebudayaan mereka ke tanah Karo. Salah satu
hasil kebudayaan mereka itu adalah ensambel brass (Sinuraya, 2000: 2).
Sebagai salah seorang pemain saxsophone sopran dalam satu ensambel
brass, Samion Sinulingga mengungkapkan bahwa pada tahun 1967, misionaris
berkebangsaan Jerman menyerahkan beberapa alat musik Brash kepada
masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa yang lain seperti, Kabanjahe Kota,
Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967 hingga 1980 ensambel tiup hanya
dimainkan pada ibadah gereja dan pada upacara pasu-pasu pemberkatan
pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun 1995 musik tiup Toba datang ke tanah
Karo secara khusus untuk mengiringi upacara kematian dengan konsep musiknya
berasal dari perpaduan alat instrumen, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar
bass dan semua alat musik brass seperti terompet, horn, tuba, sopran, dan alto.
Grup musik Toba ini mulai sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi
upacara kematian. Berdasarkan kemajuan grup musik Toba ini, maka grup musik
ensambel brass ini dihidupkan kembali dengan penambahan beberapa instrumen,
seperti gitar bass elektrik dan keyboard. (Wawancara, 10 Januari 2012).

BAB V
WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini
atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu (Griffin, 2005: 15).
Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan yang lebih
luas, lebih dalam, dan lebih kaya yang meletakkan situasi terbatas kita saat ini
dalam pespektif baru. Dengan demikian, spiritualitas berhubungan dengan sesuatu
yang transenden. Sesuatu yang transenden adalah melampaui, menembus, dan
mengatasi semua apa yang dialami dan diketahui manusia dalam hidup ini
(Sumarjo, 2006: 12).
Wujud perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi tidak dapat dipisahkan dengan berkembangnya semangat global
yang mewarnai modernitas yang telah melanda dunia dewasa ini. Spiritualitas
modern seperti apa yang diungkapkan Griffin (2005) adalah suatu kecenderungan
untuk menggali hampir semua wujud masa kini dalam hubungannya dengan masa
depan, yang dalam praktiknya berarti melupakan masa lalu, memotong semua
ikatan dengan masa lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang baru. Anti
tradisionalisme radikal ini adalah dimensi individualisme modernitas yang lain,
yaitu bahwa hubungan dengan masa lalu tidak dianggap sebagai bagian dari masa
kini.

Sebelum terkena pengaruh globalisasi, yaitu pada masa pramodern etnik


Karo melaksanakan segala kegiatan termasuk upacara gendang kematian secara
gotong royong dan penuh perhatian dalam melaksanakan upacara untuk
mempertahankan nilai-nilai dan kearifan etnik Karo pada umumnya. Menurut
Sumardjo, dalam dunia pra-modern etnik adalah dunia budaya kolektif, terstruktur,
dan determinis. Kebebasan individu hanya dimungkinkan dalam rangka
kolektifnya karena pramodern adalah budaya religi, budaya kepercayaan,
keimanan religi suku. Semua religi bertolak dari kolektivitas budaya suku
(Sumarjo, 2006: 96).
Selanjutnya spiritualitas posmodern mengakui bahwa manusia memiliki
kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi
kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat
pengalaman nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah tuan
segala ciptaan yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti
bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh
sebab itu, pandangan posmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di
dalamnya perhatian pada ekologi digabungkan dengan perhatian khusus pada
kesejahteraan manusia (Griffin, 2005: 33). Pernyataan di atas sangat erat berkaitan
dengan apa yang dialami oleh salah satu upacara ritual, yaitu upacara gendang
kematian etnik Karo, yaitu bertemunya spiritualitas modern dengan spiritualitas
tradisi. Berikut diuraikan bagaimana wujud upacara gendang kematian dulu hingga
kini.

Salah satu unsur yang terpenting dalam upacara gendang kematian adalah
musik, yaitu ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi pengiring dari
unsur-unsur lainnya, yaitu landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung (menangis),
dan rende (nyanyi). Di samping itu gendang lima sedalanen hadir berdasarkan
sistem kekrabatan dan spiritualitas kosmologi etnik Karo, baik dari materi
instrumen maupun dari bunyi yang dihasilkannya.
Pembahasan wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi secara keseluruhan terdiri atas delapan subbab, yaitu subbab
pertama memaparkan wujud upacara kematian pada etnik Karo; subbab kedua
wujud gendang lima sendalanen (musik); ketiga, wujud landek (tari); keempat,
wujud nuri-nuri (petuah); kelima, wujud ngandung (menangis); keenam, Eujud
rende (bernyanyi), ketujuh, wujud gendang kibod (keyboard) dan kedelapan,
wujud trompet (ensambel tiup).

5.1 Wujud Upacara Kematian Etnik Karo


Seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya bahwa kematian adalah
kehidupan yang sesungguhnya. Etnik Karo percaya bahwa di dalam kehidupan ada
kematian dan di dalam kematian ada kehidupan. Demikianlah sangkep nggeluh
(kekerabatan) mengungkapkan isi hati melalui ungkapan-ungkapan dan tangisan
keluarga yang ditinggal dalam upacara gendang kematian etnik Karo. Kematian
seperti halnya kehidupan merupakan wujud keseimbangan alam sebagaimana
dualisme oposisi baik-buruk, siang-malam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada

tanpa kehadiran sisi lainnya. Semua makhluk yang berstatus hidup di muka bumi
tidak satu pun yang luput dari kematian.
Etnik Karo percaya bahwa arwah yang mati masih dekat dengan diri
mereka dan tidak akan jauh meninggalkan keluarga. Hal ini terwujud dari perilaku
orang Karo ketika upacara gendang kematian dilaksanakan. Manusia terdiri dari
jasmani (kula) dan rohani (tendi). Apabila seseorang meninggal dunia, unsur-unsur
jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asalnya semula. Dengan demikian, dalam
upacara gendang kematian etnik Karo seperti sudah disebutkan dalam bab
sebelumnya bahwa tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk),
dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas menjadi
angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang
menjadi batu), tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu).
Dari keenam ungkapan di atas, begu-lah yang selanjutnya dianggap dapat
membantu keluarga yang masih hidup dan dapat berkomunikasi melalui guru
sibaso (dukun). Di satu sisi, orang Karo takut terhadap begu (roh) yang sudah
meninggal, tetapi di sisi lain mereka sekaligus merindukannya. Hal ini terwujud
dari beberapa orang yang masih memanggil roh-roh orang meninggal melalui
medium guru sibaso.
Menurut Ginting, etnik Karo pada zaman dahulu (kebalikan zaman
modern) melihat dunia ini sebagai objek atau sarana dalam perbuatannya. Akan
tetapi, ia melihat dirinya sendiri sebagai salah satu dari subjek-subjek yang
jumlahnya tidak dapat dihitung. Kesadarannya mengatakan bahwa ia merasakan

dirinya hidup di tengah-tengah makhluk yang beraneka ragam, bukan barangbarang yang tidak mempunyai roh (tidak berjiwa). Jadi, satu hal yang pribadi.
Segala sesuatu itu dilihatnya berpribadi. Itulah sebabnya seorang pandai besi,
misalnya memberikan sesajen untuk bengkel, peralatan, dan sebagainya (Ginting,
1999: 11).
Demikian juga halnya sierjabaten/penggual (pemain musik), Darwan
Tarigan, dalam upacara gendang kamatian (perangkat musik tradisional Karo),
seperti sarune, gendang, dan lainnya (lihat gambar L.4.24), diberikan sesajen
dengan ritus tertentu terhadap instrumen-instrumen musiknya. Bila gendang i
palu (musik tradisional dimainkan) repertoar awal yang akan dimainkan adalah
gendang perang-perang empat kali dalam pengertian gendang sebagai judul lagu
dan gendang yang pertama tidak bisa menari karena gendang tersebut khusus
diperuntukkan bagi roh yang tidak kelihatan (Wawancara, 19 April 2012).
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya (4.2.1), bahwa
kematian etnik Karo mempunyai beberapa jenis, yaitu mate cawir metua apabila
umur yang meninggal sudah lanjut, mate sada wari (mati dalam satu hari), mate
nguda (meningal muda), tabah-tabah galuh (belum lanjut usia), mate lenga ripen
(belum bergigi), mate mupus (melahirkan), kematian seorang ibu waktu
melahirkan anaknya (Tarigan, 1988: 68; Prinst, 2004: 131--133).
Sebelum berkembangnya agama-agama wahyu pada masyarakat Karo,
menurut Tarigan, upacara gendang kematian dilakukan dengan

berbagai cara

tradisional Karo. Hal ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan

oleh semua masyarakat pendukungnya. Akan tetapi, sekarang segala sesuatunya


dipermudah terkait dengan tuntutan zaman. Adapun hal-hal yang harus dilakukan
adalah seperti uraian berikut.

5.1.1 Wujud Upacara Perpisahan /Sirang-sirang


Pada zaman dahulu mayat orang yang meninggal dunia pada umumnya
dibakar. Menurut Njenap Ginting, mayat terakhir dibakar di Barusjahe sekitar
tahun 1956. Akan tetapi, akibat perkembangan zaman, lama-kelamaan dikubur
saja karena biaya pembakaran memang jauh lebih mahal dibandingkan dengan
kuburan (wawancara, 26 Desember 2012). Kalau seseorang meninggal dunia,
maka tendinya menjadi begu. Begu merupakan roh yang mengembara. Dalam
keadaan seperti ini dia merasa dipaksa untuk meninggalkan badan, tempat dia
tinggal sebelumnya. Oleh karena itu, sejak kepercayaan leluhur dia merasa dihina,
merasa tidak senang. Menurut keyakinan orang Karo, ia cemburu kepada tenditendi orang-orang yang masih hidup. Hal itulah kemudian yang menyebabkan
upacara perpisahan (sirang-sirang) dilakukan.
Sebelum mayat dibawa ke kuburan atau ke tempat pembakaran, maka pada
saat mayat akan dikeluarkan dari rumah, semua orang dalam rumah itu melakukan
sirang-sirang (upacara perpisahan). Untuk maksud ini penghuni rumah
menyediakan limau yang ditaruh dalam mangkuk yang berisi air. Setiap orang
yang hadir di rumah itu mencelupkan jari tangannya ke dalam mangkuk dan
selanjutnya mengoleskan air campuran limau ke kuku jari kakinya. Atau

mengambil sepotong keratan limau yang kemudian menggosokkannya pada kuku


jari kakinya dan meludahi benda itu empat kali. Bilangan empat bersajak kata
selpat (putus, rubuh). Dengan upacara ini dianggap putuslah hubungan badan
dengan orang yang meninggal tersebut. Setelah semua mendapat giliran, mayat itu
dikeluarkan melalui pintu sebelah kiri (atau pintu jabu ujung kayu) rumah adat
(Tarigan, 1998: 69).
Hari berikutnya dilakukan upacara nurunken (menurunkan) yang meningal
dunia dari atas rumah adat menuju ture (teras rumah). Sebelum mayat dibawa dari
ture ke kesain (sekarang jambur), keluarga dekat dan anak rumah membuat
sirang-sirang, yakni kuku kaki dan tangan dikikis dan ditampung di daun sirih dan
dimasukkan ke peti mati. Adapun acara-acara yang dilakukan pada hari itu adalah
pada pagi hari janda/duda (si mbalu) dari yang meninggal dimandikan di teras
(ture) rumah, dimandikan dengan lau penguras (air jeruk purut, jera). Setelah
dimandikan janda/duda itu iosei (dipakaikan pakaian adat) seperti gonje/abit, uis
arinteneng (sarung, pakaian selayaknya) atau cemata runte-runten (sejenis bunga
bertali) diikatkan di kepala dan digantung di leher tanpa tudung (kain untuk kepala
wanita) atau bulang-bulang (kain untuk kepala laki-laki) yang meninggal. Sebagai
bunga hias diambil bunga tumbalaling (kecubung) atau daun dokum (daun yang
pohonnya dipakai untuk membakar mayat).
Setelah i osei (dipakaikan pakaian adat), diambil pisau (sekin, tanggaltanggal) dan rotan (ketang). Pisau dipegang dengan tangan kiri, rotan diletakkan di
atas bantalan kayu, lalu dengan sekali tektek (potong) putuslah rotan itu. Hal ini

dilakukan sebagai simbol putusnya janji hidup bersama sebagai suami istri.
Apabila tidak putus dengan sekali tektek (potong), menurut kepercayaan
masyarakat Karo, si duda/janda juga tidak lama lagi akan meninggal dunia
mengikuti istri/suaminya yang meninggal.
Selesai acara tetek ketang, mayat kemudian diturunkan dari ture rumah.
Ketika mayat sampai di depan rumah, janda/duda sudah menunggu. Dimainkan
musik gendang lima sendalanen yang disebut dengan gendang jumpa teruh
(gendang jumpa di bawah). Dalam upacara ini urutan menari adalah sebagai
berikut. (1) sukut/ sembuyak, senina, siparibanen, sipengalon menari bersama, (2)
kalimbubu, puang kalumbubu, puang ni puang, menari bersama, (3) anak beru,
anak beru minteri, anak beru singukuri menari bersama, dan (4) anak beru rumah
serentak menari. Sesudah mayat dikelilingi empat kali, sesudahnya diangkat ke
kesain (jambur tempat upacara) yang dahulu namanya pengasen.
Wujud gendang kematian dipaparkan secara khusus di dalam subjudul
wujud gendang lima sedalanen, landek, nuri-nuri, ngandung, rende, gendang
keyboard, dan trompet. Hal itu dilakukan karena semua keluarga yang ada dalam
sistem kekerabatan tidak terlepas dari unsur-unsur yang ada di atas. Oleh sebab itu,
berikut ini akan diuraikan jenis-jenis usungan mayat (pating-pating) yang terdapat
pada etnik Karo.

5.1.2 Wujud Usungan Mayat/ Pating-pating


Dalam upacara gendang kematian yang terakhir dilakukan adalah upacara
ncabinken dagangen (menutup dengan kain putih), kemudian mayat diusung di
atas pating-pating (tandu) ke kuburan. Di atas usungan mayat itu ditelentangkan,
mukanya menghadap keatas dan kakinya membujur ke depan. Hal ini dilakukan
karena etnik Karo percaya agar mayat tidak dapat lagi menoleh ke kampung
tempat tinggalnya semula. Selain itu juga roh orang yang turut mengarak tandu itu
tidak dapat berpandangan muka dengan begu (roh) yang meninggal (Tarigan,
1998: 70).
Dalam rangka mengusung tandu, kalimbubu berada di sebelah kepala,
senina pada kiri kanan jalan, dan anakberu pada bagian kaki orang yang
meninggal. Jadi, dalam arakan anakberu berjalan di depan, senina di tengah, dan
kalimbubu di belakang, lalu diikuti oleh sangkep nggeluh, kerabat, handai taulan,
teman sekampung yang turut mengantar jenazah.

Gambar 5.1
Usungan Mayat
(Dokumen: Tamboen, 1952: 112)

Gambar 5.1 menunjukkan semua orang yang ikut mengantar mayat itu
berdoa dalam hati agar begu orang yang meninggal itu jangan merenggut roh
mereka yang masih hidup. Satu orang ikut ditandu bersama mayat yang meninggal
yang biasanya suami/istri. Dalam perjalanan ke kuburan arak-arakan itu berhenti
empat kali

dan setiap pemberhentian ada mang-mang yang diucapkan dan

repertoar lagu khusus yang dimainkan oleh penggual (Tamboen, 1952: 112;
Tarigan, 1998: 71).
Masyarakat Karo mengenal beberapa jenis pating-pating, antara lain
pating-pating lige-lige/ kalimbaban, yaitu usungan mayat, yang di atasnya dibuat
sebuah pondok-pondokan yang anjung-anjungnya bertingkat-tingkat sehingga
merupakan sebuah menara. Selain itu dihiasi dengan daun enau muda berwarna
kuning. Usungan ini dibuat dari bambu dan semua diselubungi dengan kain putih.
Usungan ini bertingkat dua. Dasarnya dibuat dari dua bambu melintang agar dapat
dipikul oleh beberapa orang. Usungan ini biasanya diperuntukkan bagi orangorang bangsawan atau orang-orang kaya yang sanggup membiayai upacaranya dan
memenuhi upacara adat untuk menghormati orang yang meninggal itu. Dalam
upacara yang seperti ini biasanya disemblih kerbau atau lembu untuk menjamu
sangkep nggeluh, yaitu sembuyak/senina, kalimbubu, dan anak beru.

Gambar 5.2
Pating-pating Lige-lige/ Kalimbaban
(Dokumen: Tamboen. 1952: 121)
Di daerah gunung-gunung atau sungalur lau (gambar 5.2) usungan ini
disebut kalimbaban dan biasanya dibuat bila seorang raja atau sibayak terkenal
meninggal. Cara untuk membawa usungan ini ke kuburan tidak dengan cara
dipikul, tetapi dengan jalan sambil menghelanya. Yang menghela kalimbaban ini
dilakukan oleh anak beru dan banyak orang. Karena usungan ini tidak memakai
roda, maka sangat berat menghelanya, lebih-lebih selain mayat, keluarga suami
atau istri yang meninggal pun ikut serta naik di atas kalimbaban tersebut (Tarigan,
1998: 78--79).
Pating-pating lante empat mbeka. Usungan jenis ini dibuat dari bambu.
Alas tempat mayat berbaring terdiri atas empat belahan bambu. Tali pengikatnya

terbuat dari bambu. Semua serba bambu. Itulah sebabnya disebut lante empat
mbeka (gambar 5.3). Usungan ini untuk orang miskin, yang merupakan upacara
yang paling rendah. Dalam upacara seperti ini cukup tiga ekor ayam saja sebagai
lauknya. Kalau keluarga yang meninggal itu tidak sanggup menyediakan tiga ekor
ayam beserta berasnya, maka pengulu, anak ber, dan seninanya menyediakan, baik
dengan jalan meminta bantuan orang kampung maupun ditanggung sendiri.

Gambar 5.3
Usungan mayat/Tandupating-pating lante empat mbeka
(Dokumen: Tamboen, 1952: 120)
Usungan yang biasa digunakan untuk kebanyakan disebut pating-pating
sapo-sapo usungan pondok. Dikatakan demikian karena usungan mayat itu
berbaring berbentuk sapo-sapo pondok (gambar 5.4).

Gambar 5.4
Tandu Sapo-sapo
(Dokumen: Tamboen, 1952: 120)

Belakangan tandu sapo-sapo itu lazim diganti dengan payung saja untuk
menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Upacara penguburan mayat yang
menggunakan usungan jenis ini boleh pula diiringi seperangkat gendang. Gendang
dapat berupa gendang ambat atau gendang asa ben. Yang disebut gendang ambat
adalah suatu upacara penguburan yang hanya bergendang dari rumah sampai ke
kuburan. Di sana semua hadirin berpisah, hanya kaum kerabat yang datang dari
kampung jauh singgah di rumah sekadar makan hidangan yang sederhana. Biaya
untuk ini memang relatif murah. Yang disebut gendang asa ben adalah
bergendang sampai sore. Dalam upacara seperti ini tentu biaya pun relatif lebih
banyak sebab semua tuntutan adat semestinya dipenuhi dan dilaksanakan.
Jenis lainnya adalah pating-pating kejere. Usungan ini dibuat dari bambu
yang merupakan piramid yang diselubungi dengan kain putih (gambar 5.5). Pada
prisipnya sama dengan pating-pating lige-lige, hanya pating-pating kejeren sedikit
lebih besar (Tarigan, 1998: 79).

Gambar 5.5
Tandu Kejeren
(Dokumen: Tamboen, 1952: 122)
Selain yang sudah dijelaskan masih ada usungan yang disebut patingpating lantuk-lantuk. Usungan ini dibuat dari bambu dan bentuknya seperti pundak
gunung. Pating-pating lantuk-lantuk khusus digunakan untuk orang-orang yang
mate nguda mati muda, yaitu pemuda atau pemudi yang meninggal sebelum
kawin (Tarigan, 1998: 79).

5.1.3 Wujud Kuburan / Pendawanen


Wujud kuburan atau pendawanen adalah ingan pengadi-ngadin sirasa
lalap atau tempat peristirahatan terakhir yang diperuntukkan bagi yang meninggal.
Setelah mayat sampai di kuburan, di sana juga gendang lima sedalanen masih
dimainkan. Kemudian orang-orang menari secara berganti-ganti menurut aturan
seperti yang telah disepakati sebelumnya. Saat itu orang yang paling dekat

hubungannya dengan yang meninggal, yaitu suami atau istrinya, membungkuk di


atas mayat seraya menggerakkan tangan kirinya. Tangan kiri atau tangan yang
dianggap tidak baik telah diisi kunyahan sirih bersama daun seram.
Dia mondar-mandir, empat kali mengelilingi mayat itu sambil menyerukan,
enggo namsam belawanta, mejuah-juah kal kami kerina itadingkendu yang berarti
sudah punah/putus segala hubungan badan kita, semoga selamat sejahtera kami
semua yang engkau tinggalkan. (Kata ersam atau resam bersajak dengan kata
namsam mengibas). Setelah selesai diucapkan, lalu sirih dan resam pun
diludahinya empat kali dan selanjutnya diletakkannya pada dada mayat itu .
Bilangan empat bagi masyarakat Karo mengandung arti budaya menjadi selpat
atau putus. Upacara ini menurut Tarigan, disebut juga dalam bahasa Karo dengan
istilah namsamken belawan. Artinya, membinasakan atau memunahkan, yaitu
memutuskan dengan begu orang yang meninggal itu supaya jangan sekali-kali
mengganggu tendi kaum kerabat.
Selesai upacara namsamken belawan, maka ditarikanlah tarian pekeri-kerin
(penghabisan), sebagai penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal itu.
Kemudian dibunyikanlah gendang terus-menerus dalam pitu (tujuh) jenis lagu
tanpa ditarikan orang. Kepercayaan yang mendasarinya bahwa semua itu ditarikan
oleh para begu (roh-roh) yang tidak kelihatan untuk menerima tendi yang baru
meninggal sebagai begu baru. Perlu dicatat bahwa pitu tujuh bersajak dengan
pitut bunga kelesa (terhindar dari malapetaka) (Tarigan, 1998: 72).

5.1.4

Wujud Pembakaran Mayat/ Pekualuh


Pembakaran mayat yang dilakukan masyarakat Karo disebut pekualuh.

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa saat namsamken belawan keluarga
menari yang disebut tari pekeri-kerin (terakhir), yang kemudian dilanjutkan
dengan memainkan tujuh jenis repertoar lagu secara instrumentalia. Pada saat itu
keluarga sangkep nggeluh kembali ke rumah, kecuali empat dukun wanita atau
empat orang wanita tua. Mereka ini bertugas mengurus/menyelesaikan
pembakaran mayat. Masyarakat Karo menyebut mereka sebagai sidapur petugas
dapur khusus untuk pembakaran mayat.
Menurut Tarigan, hal yang mesti dilakukan adalah mayat ditelanjangi,
kemudian ditelungkupkan di atas kumpulan kayu ndokum sejenis kayu yang
mudah dibakar yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan ditindihi pula dengan
kayu yang serupa secukupnya (gambar 5.6). Kemudian api dinyalakan. Satu hal
yang harus dilakukan oleh para sidapur ialah kayu bakar tidak boleh ditambah
selama pembakaran. Harus diusahakan agar tumpukan potongan-potongan kayu
itu cukup sampai selesai (Tarigan, 1998: 75--76).

Gambar 5.6
Pembakaran Mayat
(Dokumen: Tamboen, 1952: 115)
Sebelum melakukan pembakaran, kaki mayat tersebut dipukul kuat-kuat
sebanyak empat kali dengan maksud agar begu-nya tidak dapat bergentayangan ke
sana kemari karena dikhawatirkan begu itu kelak akan mencelakakan dan
mengganggu orang-orang yang masih hidup. Setelah pembakaran mayat selesai
maka abunya dibuang ke sungai dan tanah tempat pembakaran itu dipacul baikbaik. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar dukun-dukun lain tidak sempat
mengambil serta menyimpan tanah yang ditetesi minyak mayat tersebut, yang
dapat dibuat menjadi jimat dan guna-guna untuk mencelakakan orang lain. Minyak
yang berasal dari mayat itu bila dicampur dengan ramuan lain, dapat menjadi
minyak pupuk, yaitu semacam jimat yang berkekuatan gaib.
Para sidapur yang menangani pembakaran mayat dipandang sebagai orang
yang mungkin mendapat sial karena begu orang mati itu mungkin saja menjauhkan
keberuntungan mereka. Untuk menghindarkan hal tersebut, maka para sidapur

harus membersihkan diri. Demikianlah mereka harus mandi dan berlangir terlebih
dahulu. Sesudah itu baru mereka diperbolehkan pulang ke rumah. Sebelahmenyebelah pintu ke rumah disediakan dua mangkuk air, yang satu berisi air
panas, yang satu lagi berisi air dingin. Sebelum ke rumah, mereka diharuskan
mencelupkan tangan ke dalam kedua mangkuk tersebut. Dengan berbuat demikian
diharapkan agar pikiran mereka menjadi tenang dan dingin. Sesampai di rumah
ada lagi syarat yang lain. Mereka harus meraba atau menyentuh tangku dapur dan
para-para yang ada di atasnya. Maksudnya agar begu orang yang telah meninggal
itu tidak dapat menyusahkan mereka. Sesudah itu mereka diuduk di papan
tongga,l yaitu tempat duduk hamba sahaya di sisi dapur. Setelah terbuktti bahwa
segala syarat untuk sidapur dipenuhi dengan baik, barulah mereka boleh bergaul
dengan orang-orang di rumah itu (Tarigan, 1998: 76--77).

5.1.5 Wujud Memanggil Roh/ Perumah Begu


Pada sekitar tahun 1980-an memanggil roh perumah begu masih sering
dilakukan. Pada sekitar tahun tersebut peneliti masih sempat menyaksikan upacara
ini di lokasi penelitian sekarang. Namun, sekarang jarang ditemukan bahkan tidak
ada lagi yang melakukan sesuai dengan informasi yang diterima dari informan.
Biasanya pada malam berikut setelah upacara penguburan atau pembakaran mayat,
keluarga atau sangkep nggeluh masih berkumpul untuk menemani dan menghibur
hati suami/istri dan anak-anak, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal itu.
Biasanya pada malam itu diadakan upacara perumah begu memanggil roh yang

meninggal. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita. Adapun maksud
dan tujuan upacara ini ialah untuk menyenangkan begu atau roh dengan
memberinya makanan dan minuman yang melebihi makanan sehari-hari.
Begu dapat bertukar pikiran dan memberikan nasihat kepada sangkep
nggeluh yang masih hidup. Upacara perumah begu selalu diadakan pada malam
hari hingga pagi hari. Khusus bagi kaum bangsawan, misalnya keturunan raja
sibayak, ada upacara kematian yang disebut igendangi empat wari empat bulan,
empat tahun digendangi empat hari, empat bulan, empat tahun. Maksudnya,
bergendang dua malam

sebelum mayat dikubur atau dibakar, pada hari

penguburan pun bergendang, lantas pada malam berikutnya bergendang lagi


sambil perumah begu. Yang terakhir setiap tahun selama empat tahun diadakan
pula perumah begu diiringi gendang. Dengan demikian, setelah upacara ini
dipenuhi maka tugas atau kewajiban kaum kerabat terhadap si meninggal dianggap
selesai (Tarigan, 1998: 73).
Satu hari setelah dilakukan upacara perumah begu, keluarga yang
ditinggalkanyaitu istri/suami serta anak-anaknyatidak boleh pergi ke manamana. Mereka semua tinggal di rumah. Mereka harus ngerebuken kesah
memantangkan nyawa, maksudnya agar nyawa ( kesah ) orang yang masih
hidup menjadi rebu, menjadi tabu, pantang bergaul dengan begu orang yang telah
meninggal karena sudah dilakukan upacara perumah begu. Dengan ngerebuken
kesah, orang beranggapan bahwa begu tidak akan mengganggu tendi orang yang
masih hidup. Sore hari pada hari yang sama sangkep nggeluh

pergi lagi ke

kuburan. Kali ini mereka membawa lau meciho air jernih dalam mangkuk yang
dicampur dengan daun-daunan dan nakan atau nasi layaknya dimakan oleh
manusia yang masih hidup. Sesampainya di kuburan, mereka menuangkan atau
meyiramkan air jernih yang telah dicampur dedaunan itu di atas kuburan tersebut
dan meletakkan makanan yang sudah disediakan. Masyarakat Karo percaya bahwa
mayat yang telah dibakar atau yang dikubur dalam kuburan itu menderita
kehausan yang amat sangat. Kalau dibiarkan begitu, pasti begu-nya mengganggu
manusia yang masih hidup. Sehubungan dengan itu, keluarganya perlu sekali
ngambur lau meciho mencurahkan air jernih dan memberikan makanan di atas
kuburan agar terobatilah penderitaan yang dideritanya, dari kehausan dan
kelaparan. Dengan demikian, begu orang yang meninggal merasa masih dihargai
dan tak perlu mengganas mengganggu orang-orang yang masih hidup.
Setelah empat atau tujuh hari mayat dikuburkan atau dibakar, maka
diadakanlah upacara ngeleka tendi memisah roh pada sore hari. Acara ini
dipimpin oleh seorang guru (dukun) wanita. Adapun sarana yang biasa digunakan
oleh sang guru, antara lain cekala lepas (sejenis zingiberacea), bakal pohon enau
yang kecil beserta akarnya (dalam bahasa Karo bertuk), ujung beski (pimping),
dan leka-leka (sejenis tanaman) berikut pula mbun-mbunen (sejenis sesajen).
Semua ini disajikan di atas kuburan orang tersebut dengan harapan agar tendi
orang-orang yang masih hidup berpisah dengan begu orang yang telah meninggal.
Dengan kata lain, memutuskan hubungan tendi dengan begu supaya begu jangan
mengganggu tendi. Jika, dengan jalan ngeleka tendi pun maksud tidak tercapai,

maka diadakanlah upacara yang lebih berat, yang dipimpin oleh seorang dukun
pria. Upacara ini disebut ngarkari menguraikan simpul atau memutuskan
hubungan (Tarigan, 1998: 75).

5.1.6 Wujud Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-Tulan


Upacara ngampeken tulan-tulan sudah lama dikenal pada masyarakat Karo.
Ngampeken yang berarti mengangkat dan tulan-tulan, yaitu tulang-tulang
merupakan

upacara pemindahan tengkorak ke geriten (kuburan batu). Ada

kalanya pemindahan tulang-tulang tengkorak dilakukan tidak hanya satu tengkorak


mayat, tetapi tergantung kesepakatan antara sukut dalam sangkep nggeluh pada
masyarakat Karo. Gambar 5.7 menunjukkan bahwa tulan-tulan yang diangkat
terdiri atas lima orang, tetapi dari kelima ini tidak boleh di luar dari sangkep
nggeluh yang ada, artinya masing-masing masih ada pertalian darah yang dekat.

Gambar 5.7
Ngampeken tulan-tulan (mengangkat tulang dari tanah ke geriten)
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 20 Juli 2012)

Upacara ngampeken tulan-tulan dilakukan di jambur dan dibuat upacara


yang sama dengan upacara kematian. Upacara ini dilakukan karena ketika
meninggal, mereka tidak dibakar dan belum dilakukan upacara selayaknya yang
dilakukan oleh orang Karo.

5.2 Wujud Gendang Lima Sendalanen


Gendang lima sendalanen merupakan salah satu unsur yang sangat
penting dalam upacara gendang kematian. Seperti yang sudah diuraikan pada bab
sebelumnya bahwa masyarakat Karo percaya bahwa di sekitarnya masih banyak
makhluk halus atau tendi-tendi. Sehubungan dengan itu, pertama-tama yang harus
dilakukan oleh penggual (pemusik), yaitu dengan gendang dibuang dimainkan
gendang tanpa ada orang yang menari). Dalam hal ini repertoar yang dimainkan
perang-perang empat kali, tanpa ada yang menari. Ini adalah gendang untuk rohroh leluhur. Akan tetapi, sekarang ini jika masih dimainkan, disebut gendang
persikapen (untuk bersiap-siap). Hal tersebut dianggap kafir karena diperuntukkan
kepada roh-roh yang tidak kelihatan akhirnya jarang sekali dimainkan oleh
penggual (pemain musik).
Gendang lima sendalanaen pada etnik Karo awalnya dikenal dengan nama
gendang telu sendalanen dan lima sada perarih. Menurut Amat Depari, sebelum
tahun 70-an ketika ada sebuah upacara yang akan dilakukan terutama upacara
gendang kematian di sebuah tempat atau desa, maka pemain musik yang datang ke
tempat upacara tersebut hanya tiga orang, yakni, penarune, singindungi, dan

singanaki, sedangakan pemalu gung dan pemalu penganak berasal dari tempat di
mana upacara tersebut berlangsung. Selanjutnya dalam penelitian ini disebut
gendang lima sendalanen meskipun diuraikan tentang gendang telu sendalanen
lima sada perarih karena gendang lima sendalanen-lah yang lazim dikenal etnik
Karo pada saat ini (wawancara, 18 Maret 2012).
Ensambel musik pada etnik Karo atau sering disebut dengan gendang lima
sendalanen terdiri atas lima jenis instrumen musik, yaitu sarune, gendang indung,
gendang anak, penganak, dan gung (lihat gambar L.4.22). Tiap-tiap instrumen
dimainkan oleh satu orang pemain musik. Kelima pemain tersebut adalah pemain
sarune disebut penarun, pemain gendang indung disebut penggual singindungi,
pemain gendang anak disebut penggual singanaki, pemain penganak disebut
simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung (lihat, 4.2.2.1).
Repertoar yang dimainkan dalam ensambel gendang lima sendalanen pada
upacara gendang kematian adalah repertoar gendang simelungen rayat, (gendang
dalam hal ini menunjukkan judul lagu). Wujud bunyi lagu tersebut dapat di lihat
dari gambar (5.8) yang menunjukkan bahwa wujud bunyi setiap instrumen yang
terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen terdiri dari sarune, gendang
singindung, gendang singanaki, penganak dan gung. Penelaahan makna terhadap
sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo di paparkan pada bab tujuh
dalam penelitian ini.

Gambar 5.8
Wujud repertoar lagu Simelungen Rayat dalam ensambel gendang lima
sendalanen pada upacara gendang kematian masyarakat Karo
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2014)
Gendang lima sendalanen pada etnik Karo dikenal sebagai ensambel
musik yang terdiri atas lima jumlah instrumen musik, yaitu sarune termasuk
dalam klasifikasi (aerofon) yaitu bunyi dihasilkan dari angin, gendang indung
(membranofon), gendang anak (membranofon), gung, dan penganak (ideofon),
Namun, sering juga disebut dengan gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu
dua, yaitu angka dua belas untuk hitung-hitungan perangkat yang digunakan
seluruhnya, termasuk stik atau alat pemukul instrumen musik tersebut yang sangat
erat berkaitan dengan upacara gendang kematian. Etnik Karo mengenal pemain
musik dengan istilah sierjabaten atau penggual yang berfungsi sebagai pengiring
musik dalam upacara yang ada pada masyarakat Karo. Gambar 5.9 menunjukkan
bagaiman wujud ensambel gendang lima sendalanen dalam upacara gendang
kematian.

Gambar 5.9
Ensambel gendang Lima Sendalanen
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

5.2.1 Wujud Sarune


Sarune merupakan alat tiup yang memiliki lidah ganda (double reed
aerophone). Tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat
musik obo (oboe). Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Insrumen ini terdiri atas
lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan dan terbuat dari bahan yang berbeda.
Pertama, dilah-dilah, yaitu anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai kecil daun
kelapa hijau yang dikeringkan. Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir
(pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak sarune kepada
bagian tongkeh (gambar 5.10).

Gambar 5.10
Instrumen Sarune
(Dokumen. Pulumun P. Ginting 2011)
Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah sarune
tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang tumbuhnya di
permukaan yang tinggi, bebas disinari matahari dan tiupan angin. Di samping daun
kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut dipercaya
masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional. Bahkan,
ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya menggunakan
air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar penjelasan di atas,
diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan oleh orang Karo di
luar dari kepentingan alat musiknya.

Kedua, tongkeh terbuat dari timah.

Bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung anak-anak


sarune kepada bagian berikutnya. Ketiga, ampang-ampang, yakni sebuah
lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling)
diletakkan di tengah tongkeh. Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir

pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut. Keempat, kerahong atau batang
sarune terbuat dari kayu selantam. Kayu tersebut harus dibentuk agar menjadi
konis, dan bagian dalamnya juga dilubangi agar menjadi konis juga. Pada batang
sarune inilah terdapat lubang-lubang sebanyak delapan buah. Kelima, gundal juga
terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini
merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune.

5.2.2 Wujud Gendang Singindungi dan Singanaki


Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik
pukul yang memiliki membran terbuat dari kulit pada kedua sisi alat musik yang
berbentuk konis (double head conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang
dipukul disebut babah gendang, sedangkan sisi belakang/bawah (tidak dipukul)
disebut pantil gendang. Dibandingkan dengan alat musik gendang (drum) yang
terdapat di Sumatera, kedua gendang Karo memiliki ukuran yang kecil,
panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah gendang 5 cm, diameter pantil gendang
4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk,
ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya, yaitu pada gendang singanaki
terdapat lagi (diikatkan) sebuah gendang mini, yang disebut gerantung (panjang
11,5 cm), sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi
dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu,
sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun.

Dalam gambar 5.11 dapat dilihat bahwa kedua alat musik ini terbuat dari
pohon tualang dan nangka. Lubang atau rongga bagian dalam dibentuk mengikuti
konstruksi bagian luar alat-alat musik tersebut. Kulit yang direntangkan kedua sisi
muka (head drum) alat musik tersebut berasal kulit napuh, sejenis kancil yang
kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung
ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang
dililitkan pada seluruh badan gendang tersebut berfungsi untuk mengencangkan
kulit/membran gendang. Tiap-tiap gendang memiliki dua palu-palu gendang atau
alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm. Kedua palu-palu gendang singanaki dan
satu palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang sama (kecilnya),
sementara itu satu lagi palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang lebih
besar dari pada yang lainnya.

Gambar 5.11
Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Bagian-bagian gendang singanaki dan gendang singindungi sama, yang


berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang
adalah sebagai berikut. (1) Tutup gendang, yaitu bagian atas konis atas (konis
pertama) yang mengelilingi babah gendang (membran gendang). Tutup gendang
terbuat dari bambu, yang kemudian dilapisi oleh kulit napuh (sejenis kancil) (2)
Babah gendang (membran gendang) ini juga terbuat dari bambu yang sebelumnya
telah dilapisi kulit napuh (kancil). Bagian babah gendang dan inilah yang dipukul
dengan stik sehingga menghasilkan pola ritme, baik gendang singanaki maupun
gendang singindungi. (3) Badan gendang terbuat dari kayu tualang atau nangka.
(4) Tali gendang (selanjutnya disebut dengan tarik gendang) terbuat dari kulit sapi
yang berumur tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Tarik gendang ini memiliki
spesifikasi panjang 9 m, lebar 0,4 cm, dan tebal1.5 mm. Tarik gendang melintasi
sekeliling kedua tutup (atas dan bawah) secara vertikal terhadap panjang babah
melalui sepuluh lubang tali pada setiap tutup (posisi tali pada lubang tali
hubungannya dengan bingke dan pinggir kulit tampak atas, samping, dan belah
simetris vertikal). Selain itu, juga menelusuri sekujur buluh dengan pola jelujur
yang membentuk huruf V yang saling bersambungan. Fungsi tarik gendang ini
sebagai perangkat pengatur mekanis. (5) Pantil gendang, yaitu bagian bawah konis
bawah (konis kedua). Pantil gendang juga terbuat dari bambu, yang sebelumnya
telah dilapisi dengan kulit napuh (sejenis kancil).
Gerantung, yaitu gendang kecil yang berada pada sisi gendang singanaki.
Secara konstruksi, seluruh bagian dan bahan pembuatannya tidak berbeda dengan

gendang singanaki. Perbedaan terjadi pada ukurannya yaitu tutup gendang


berdiameter 6,5 cm, pantil gendang berdiameter 6 cm, panjang badan garantung
adalah 11,5 cm, dan panjang tarik gendang adalah 2 m. Alat pukul gendang (stik)
terbuat dari kayu jeruk purut. Alat pukul gendang singanaki keduanya sama
panjang, besar, dan bentuknya, sedangkan alat pukul gendang sngindungi
keduanya berbeda besar dan bentuknya. Panjang stik 14 cm.

5.2.3 Wujud Penganak dan Gung


Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni
sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan
musik Nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat
yang demikian kontras. Dalam gambar 5.12 gung memiliki ukuran yang besar
(diameter 68,5 cm) dan penganak memiliki ukuran kecil (diameter 16 cm). Pada
waktu dulu gung dan penganak terbuat dari kuningan, tetapi pada saat sekarang ini
gung dan penganak terbuat dari besi plat. Palu-palu (stick) gung dan penganak
terbuat dari kayu, tetapi yang bersentuhan langsung dengan pencu kedua alat
musik tersebut adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan karet mentah.

Gambar 5.12
Instrumen Gung dan Penganak
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010)

5.3 Wujud Menari/ Landek


Tari sebagai

perwujudan ekspresi sosial, karena seseorang atau

sekelompok orang yang menari tidaklah hanya untuk kepentingan sendiri


melainkan untuk dirasakan bersama orang lain, baik yang terlibat langsung
(menari bersama) maupun yang menyaksikan dari luar. Dengan demikian, mereka
yang biasa menari akan terlatih pula untuk berhubungan dengan orang lain, serta
mengaitkan apa yang dirasakan di luar dirinya dengan yang ada di dalam dirinya.
Aktivitas tari seringkali tergantung atau bahkan terikat oleh dinamika kehidupan
suatu masyarakat (Dibia, 2005: 9).
Pernyataan di atas sangat erat kaitannya dengan apa yang dilakukan orang
Karo ketika menari pada upacara gendang kematian. Secara umum, tari pada etnik

Karo disebut landek. Dalam budaya Karo, penyajian landek sangat kontekstual.
Dengan kata lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya.
Selain itu, setiap gerakan dalam landek juga berhubungan dengan simbol-simbol
dan makna-makna tertentu.
Pola-pola dasar landek pada masyarakat Karo terbentuk atas tiga unsur.
Pertama, endek (gerakan menekuk lutut) merupakan salah satu unsur penting
dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan
kembali lagi ke atas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan
ke bawah secara vertikal. Gerakan endek disesuaikan dengan buku gendang (bunyi
gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi).
Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan
sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo. Di beberapa
landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh
penari berada di posisi atas. Kedua, odak atau pengodak (gerakan langkah kaki),
merupakan gerakan penari, baik ketika melangkah maju dan mundur maupun
melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki
kanan dan dilakukan pada saat gung berbunyi. Dalam gerakan odak
atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap
terlihat. Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut
tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan music.
Ketiga, ole (goyangan/ayunan badan), merupakan gerakan goyangan atau ayunan

badan ke depan dan ke belakang, atau ke samping kiri dan kanan. Gerakan ole juga
mengikuti bunyi gung dan penganak.
Selanjutnya diuraikan wujud landek dalam upacara gendang kematian.
Landek dalam upacara gendang kematian bersifat komunal biasanya dilakukan
oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh yang berduka, bersamasama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah). Tiap-tiap kelompok
menari dengan posisi berhadap-hadapan. Dalam hal ini tari tidak sebagai sebuah
tari tontonan. Menurut Dibia, tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih
penting daripada seni (keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam
suatu peristiwa tari komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan
menari yang bagus (Dibia, 2005: 3).
Bagi kelompok sukut/sembuyak, tarian itu merupakan tarian penyambutan
atau penghormatan atas kehadiran kade-kade atau tamu-tamu kekerabatan.
Sebaliknya, bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka
sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat)
kepada keluarga yang memiliki hajatan.

Gambar 5.13
Landek/menari dalam Upacara Gendang Kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar 5.13 menunjukkan tari (landek) yang berkaitan dengan ritual
nggalari utang (membayar utang) dalam upacara kematian. Di samping pihak
sukut yang berhadap-hadapan dengan kalimbubu-nya ada seorang anak beru yang
membawa kain yang di dalamnya diikatkan uang dengan jumlah yang sudah
ditentukan untuk membayar utang yang meninggal terhadap kalimbubu. Uang
yang diikat dalam kain tersebut dinamai orang Karo dengan sebutan batu uis.
Selain yang telah dipaparkan di atas beberapa wujud tari pada masyarakat
Karo yang berkaitan dengan upacara gendang kematian di antaranya adalah
upacara perumah begu, upacara raleng tendi, dan upacara ngampeken tulan-tulan.
Jenis tari yang ditarikan dalam ritual upacara ini adalah tari tungkat (tari untuk
mengusir roh-roh jahat), tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang
berisi sesaji untuk persembahan), tari seluk (tarian kesurupan), dan sebagainya.

Upacara yang berkaitan dengan ritual ini dilakonkan oleh guru sibaso
(dukun), berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Hal ini terjadi karena
ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya guru tersebut
memanggil jinujung-nya (junjungannya) untuk masuk ke dirinya. Dengan
demikian, gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan
pola gerak tari landek Karo pada umumnya. Akan tetapi, secara umum gerakan
yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan
mengangkat kaki secara bergantian).

5.4 Wujud Petuah-petuah/ Nuri-nuri


Nuri-nuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan pada upacara
kematian yang berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau
nasihat). Pada proses ini diiringi oleh ensambel gendang lima sendalanen dan
dimainkan lagu simelungen rayat yang bernada sendu dan lemah gemulai serta
diikuti dengan menari. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah kata-kata atau
kalimat yang diucapkan oleh setiap kekerabatan yang ada dalam sangkep nggeluh
pada upacara gendang kematian. Misalnya, berwujud ratapan dengan melodi
tertentu, yakni berbentuk ratapan oleh pihak keluarga yang berduka. Gambar 5.14
menunjukkan sukut yang berduka nuri-nuri dan memberikan penghormatan
kepada pihak kalimbubu, sembuyak senina, dan anak beru.

Gambar 5.14
Nuri-nuri atau memberikan kata penghiburan pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Dalam acara nuri-nuri semua kekerabatan akan mendapat acara untuk
menyampaikan belasungkawa terhadap keluarga yang ditinggal. Namun, yang unik
dalam wujud nuri-nuri ini adalah ketika giliran seseorang untuk menyampaikan
kata pengiburannya kepada keluarga yang ditinggal, justru orang yang meninggal
itu selalu diajak berbicara, seoalah-olah mayat masih dapat mendengar apa yang
diungkapkan. Dari nuri-nuri akan diketahui baik-buruknya, yang meninggal ketika
masih hidup dan keluarga yang ditinggalkannya. Spiritualitas masyarakat Karo
termanifestasi dari nuri-nuri sebagai salah satu unsur yang ada pada upacara
gendang kematian.

5.5 Wujud Menangis/ Ngandung


Ngandung berarti menangis tidak bisa terlepas dari upacara gendang
kematian etnik Karo. Dalam kematian, keluarga, saudara-sudara, dan sahabat
menangis atau meratapi kepergian yang meninggal. Tangisan ini tidak akan
berhenti sepanjang mayat belum dikuburkan. Biasanya tangisan yang dilakukan
sambil berkata-kata dengan kata-kata yang menunjukkan si mati telah berjasa
dalam hidupnya. Kata-kata tangisan yang mengungkit keburukan-keburukan yang
meninggal jarang sekali diucapkan meskipun terkadang terucap juga oleh keluarga
yang menangis. Tangisan keluarga terutama anak kandung atau saudara yang
meninggal memberikan gambaran pada orang yang hadir dalam sebuah upacara
kematian. Tangisan yang kuat terutama dalam perjalanan menuju ke kawasan
pekuburan amat digalakkan. Tangisan ini seolah-olah menggambarkan kesedihan
keluarga dan sahabat terhadap kematian itu. Tangisan akan berkelanjutan hingga
mayat dikebumikan.
Tiap-tiap kerabat, baik sukut, kalimbubu, maupun anak beru mendapat
giliran dan kesempatan menangis sambil mengungkapkan kata-kata dan tanpa
sadar yang menangis menganngap yang sudah meninggal masih dalam keadaan
hidup. Penyampaian kata-kata belasungkawa mengenang hubungannya selama ini
dengan yang meninggal atau nasihat meneguhkan hati pihak keluarga yang
ditinggalkan almarhum disampaikan melalui tangisan dan ratapan. Meratap dalam
bahasa Karo disebut Ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan

hal-hal yang dijalani dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun
percakapan yang terakhir dilakukan.

Gambar 5.15
Ngandung atau meratap pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar 5.15 menunjukkan bahwa sang istri sedang menangis dan
melampiaskan seluruh isi hatinya di depan mayat suaminya. Ngandung tidak akan
berhenti sebelum upacara kematian selesai dan mayat diantarkan ke kuburan.
Ketika emosi yang menangis karena kekecewaannya ditinggal suami atau istrinya
akan dilampiaskan melalui serko (menangis dengan keras), Di situ juga penggual
(pemain musik) menaikkan motif melodi pada ensambel sarune yang disebut
jungut-jungut (motif melodi yang dimainkan) berdasarkan konteks yang terjadi
pada upacara.

5.6 Wujud Menyanyi/ Rende


Aktivitas menyanyi

etnik Karo disebut rende. Sedangkan ende-enden

dikenal dengan istilah nyanyian. Dalam musik Barat dekenal dengan vokal.
Menurut Rumengan (2010), musik vokal memiliki keterikatan yang sangat kuat
dengan bahasa suatu masyarakat. Musik vokal tradisional banyak berupa doa-doa
atau pujian pada semesta yang biasanya bergerak sesuai emosi, gaya, ritme,
intonasi,

dan

sebagainya.

Lagu

etnik

merupakan

atau

terbentuk

dari

pendramatisasian atau pengekspresian yang sungguh-sungguh mantra atau doa


(Rumengan, 2010: 36).
Etnik Karo memiliki delapan jenis nyanyian sebagai berikut. Pertama,
katoneng-katoneng merupakan suatu musik vokal yang biasanya diiringi gendang
lima sendalanen. Secara komposisi, katoneng-katoneng telah memiliki garis
melodi yang baku, tetapi lirik atau teks komposisi tersebut senantiasa berubah dan
disesuaikan dengan satu konteks upacara. Kadang-kadang katoneng-katoneng
disebut juga dengan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang disampaikan dengan
cara bernyanyi, tetapi isi atau tema lagu tersebut berisi nasihat, penghormatan,
pujian, doa atau harapan dan sebagainya. Kadang-kadang lirik katoneng-katoneng
tergantung pada konteks upacara etnik Karo. Repertoar ini biasanya dinyanyikan
oleh perkolong-kolong. Berdasarkan sifat nyanyian ini maka katoneng-katoneng
dapat digolongkan sebagai nyanyian bercerita (narrative song). Kedua, tangistangis nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan seseorang. Ketiga,
io-io merupakan nyanyian tentang rasa rindu. Keempat, didong-doah nyanyian

seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby) pada masyarakat Karo disebut
didong-doah. Istilah didong-doah sebagai aktivitas rende juga ditemukan dalam
upacara perkawinan etnik Karo, yaitu seorang ibu mengungkapkan perasaan dan
nasihatnya melalui nyanyian pada keluarga pengantin. Kelima, tabas adalah
mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun) dalam pengobatan
tradisional. Keenam, mang-mang merupakan ungkapan penghormatan seorang
dukun terhadap jinujung-nya (roh-roh yang menolong atau menyertainya setiap
waktu. Ketujuh, nendung, yaitu aktivitas seorang dukun dalam hal meramalkan
sesuatu atau seseorang yang pergi tanpa memberitahukan ke mana kepergiannya.
Aktivitas guru sibaso dalam tabas, mang-mang, dan nendung tidak selamanya
dinyanyikan, tetapi hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam mantra. Selain
itu, isi ucapan itu pun kadang-kadang tidak dapat dimengerti secara jelas oleh
orang yang mendengarkannya. Kedelapan, pop merupakan nyanyian percintaan
atau muda-mudi. Jenis vokal inilah yang berkembang sampai saat ini.
Nyanyian yang digunakan dalam upacara gendang kematian adalah
katoneng-katoneng yang diiringi gendang lima sendalanen. Yang termasuk dalam
katoneng-katoneng adalah kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh
perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada upacara adat kematian yang
berbentuk ratapan. Berbeda halnya dengan upacara pernikahan kata-kata atau
kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong disebut masu-masu (mendoakan)
dan bila diperhatikan, akan sama dengan upacara kematian. Namun, di sini
bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan. Pada upacara

kematian, kata-kata atau kalimat yang dilontarkan berbentuk ratapan/kesedihan


akan ditinggalkan oleh mendiang dan nasihat pada keluarga mendiang (gambar
5.16). Juga sama halnya kata-kata yang di utarakan oleh pihak keluarga pada
upacara pernikahan disebut masu-masu (pemberkatan/doa-doa)

.
Gambar 5.16
Perkolong-kolong rende atau bernyanyi pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Perkolong-kolong merupakan salah satu unsur yang sangat penting pada
upacara gendang kematian, terutama upacara kematian yang digolongkan cawir
metua (bebas dari tanggung jawab). Acara demi acara yang ada dalam upacara
tersebut dapat disampaikan oleh seorang perkolong-kolong dari semua sangkep
nggeluh (kekerabatan) yang ada. Ia dapat mewakili petuah-petuah dari kalimbubu
untuk anak beru, senina/sembuyak melalui nyanyian dengan rengget (khas)
katoneng-katoneng pada setiap kekerabatan yang ada. Tradisi lisan yang
diwariskan secara turun-temurun akan tampak wujudnya yang nyata dari seorang

perkolong-kolong. Cukup dengan waktu sekitar dua atau tiga menit saja seorang
anak beru menceritakan siapa yang akan mempunyai acara berikutnya, perkolongkolong akan menyampaikan hal tersebut dengan nyanyian yang dapat
menghabiskan waktu konteks lebih dari satu jam (lihat gambar L.4.19).

5.7 Wujud Keyboard/ Gendang Kibod


Menurut Jasa Tarigan, masuknya instrumen keyboard dalam tradisi Karo
pada awalnya sekitar 1991-an. Awalnya instrumen musik keyboard digunakan oleh
Jasa Tarigan pada saat-saat menjelang sebuah pertunjukan, musik tradisi Karo
ataupun setelah selesai mengadakan seni pertunjukan misalnya upacara gendang
guro-guro aron. Namun, lambat laun karena di dalam kegiatannnya sebagai
pemusik, alat musik ini kemudian digemari oleh masyarakat pendukungnya.
Keadaan semacam ini lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan dan proses
berlangsungnya tidak memakan waktu yang lama sehingga masyarakat Karo yang
sering menggunakan ensambel gendang lima sendalanen meminta keyboard untuk
melayani kebutuhan mereka, terutama pada gendang guro-guro aron (pesta mudamudi). Sekitar 1992 instrumen musik keyboard mulai masuk dalam pesta
perkawinan. Sekitara tahun 1994 instrumen musik keyboard yang kemudian
disebut masyarakat dengan istilan gendang kibod juga telah dimainkan pada
upacara kematian (lihat gambar L.4.27). Hal ini dilakukan untuk mendapat
kemudahan karena satu orang pemain dapat membuat berbagai ritmis gendang
yang diperlukan untuk menari.

Perlu disampaikan bahwa di beberapa pihak masih ada diantara orang Karo
yang belum menerima kehadiran keyboard. Hal ini terjadi karena ada yang
menyatakan gendang laradat (tidak beradat). Memang pada dasarnya penyajian
instrumen keyboard pada setiap kegiatan, baik dalam pesta maupun upacaraupacara terlepas dari adat istiadat. Artinya penyajian instrumen musik keyboard
semata-mata untuk memberikan hiburan pada mereka yang membutuhkannya.
Pemakaian keyboard dalam tradisi musik etnik Karo pada mulanya dalam
konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada gendang patam-patam
(repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron muda-mudi). Pemakaian
keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat memberikan aksen tertentu pada
komposisi tersebut. Hal ini dilakukan karena keadaan para penari dan penonton
sudah mulai lelah. Akibat mendengar bunyi keyboard, penonton mendapat
semangat baru sehingga pertunjukan guro-guro aron berlangsung hingga pagi
hari.

Gambar 5.17
Organ tunggal atau gendang kibod pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Sejak itu Jasa Tarigan selalu mengadakan eksperimen untuk mentransfer
bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru berbagai pola melodi sarune
dan pola ritmis gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung.
Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik yang diprogram dalam keyboard
sehingga dapat menggantikan posisi gendang lima sendalanen menjadi keyboard
tunggal dalam ensambel musik Karo.
Gambar 5.17 menunjukkan bahwa gendang keyboard banyak berperan
dalam mengiringi tari dan nyanyian pada konteks seni pertunjukan muda-mudi
Karo dalam upacara gendang guro-guro aron. Akan tetapi, kemudian digunakan
dalam upacara perkawinan. Bahkan, sekarang, keyboard telah digunakan dalam
mengiringi upacara gendang kematian tanpa disertai salah satu instrumen gendang
lima sendalanen.

5.8 Wujud Ensambel Tiup/ Trompet


Musik adalah kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga
perubahan merupakan hal yang dianggap wajar sesuai dengan perkembangan
waktu, baik perubahan yang diakibatkan oleh pengaruh materi maupun inovasiinovasi yang dilakukan oleh suatu etnik. Awalnya ensambel musik tiup digunakan
dalam ibadah-ibadah minggu di gereja. Namun, pada perkembangannya
penggunaan ensambel musik tiup ini lebih banyak ditemui pada upacara gendang
kematian, bahkan sudah sangat jarang dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah
yang lain. Belakangan tampak terjadi perubahan fungsi dari ensambel musik tiup
yang awal perkembangannya dari ruang lingkup gereja menjadi salah satu bagian
dari acara adat, yaitu sebagai pengiring lagu pada upacara kematian (gambar 5.18).
Menurut Sinuraya, sekitar tahun 1965 para misionaris berkebangsaan
Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan Injil. Kedatangan para
misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan
ini terjadi karena selain melaksanakan misi para misionaris juga turut membawa
dan mengembangkan kebudayaan mereka ke tanah Karo. Salah satu hasil
kebudayaan mereka itu adalah musik tiup (Sinuraya, 2000: 2).
Penggunaan ensambel musik tiup terdapat pada beberapa tempat yaitu
Kabanjahe, Berastagi, Tiga Ndeket dan Surbakti. Tiap-tiap instrument pada
ensambel musik tiup ini diberikan secara cuma-cuma oleh misionalris Jerman
untuk digunakan di ibadat gereja. Ensambel musik tiup tersebut sebagai pengiring
ibadah Minggu di Gereja Batak Karo Protestan, khususnya di Desa Surbakti

(tempat salah satu grup ensambel musik tiup di Kabupaten Karo). Sumbangan
ensambel musik tiup yang diterima dari para misionaris Jerman tersebut yaitu, (1)
terompet, (2) horn, (3) tuba, (4) saxophone sopran, dan (5) saxophone alto.

Gambar 5.18
Ensambel tiup atau trompet pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Menurut Samion Pinem, salah seorang pemain saxsopran dalam ensambel
musik tiup

pada tahun 1967, misionaris berkebangsaan Jerman menyerahkan

beberapa alat musik brash kepada masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa
yang lain, seperti Kabanjahe Kota, Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967
hingga 1980 ensambel musik tiup hanya dimainkan pada ibadah gereja dan pada
upacara pasu-pasu atau pemberkatan pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun
1995, musik tiup Toba datang ke tanah Karo secara khusus untuk mengiringi
upacara kematian dengan konsep musiknya berasal dari perbaduan alat instrumen
tradisi, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar bass, dan semua alat musik tiup
seperti terompet, horn, tuba, saxsopran, dan saxalto. Grup musik Toba ini mulai
sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi upacara

kematian.

Berdasarkan kemajuan grup ensambel musik tiup Toba ini, Sembiring selaku
pimpinan grup, terinspirasi untuk menambah alat instrumennya sehingga pada
tahun 1997 dilakukan penambahan alat musik berupa gitar bass yang digunakan
untuk menggantikan fungsi tuba. Hal ini dilakukan karena memiliki bodi yang
besar dan sulit dibawa pada saat grup ensambel music tiup ini dipanggil untuk
bermain dengan jarak yang cukup jauh. Oleh karena itu, format instrumen grup
pun mengalami perubahan, yaitu (1) terompet, (2) horn, (3) tuba digantikan gitar
bass elektrik, (4) saxophone sopran, (5) saxophone alto, dan (6) drum (lihat
gambar, L.4.29) (Wawancara, 10 Januari 2012).

BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Ada beberapa faktor yang memengaruhi suatu produk kebudayaan
termasuk upacara adat yang mengalami perubahan. Bagi etnik Karo produk
kebudayaan berupa upacara gendang kematian merupakan warisan dan pusaka
leluhur yang dilanjutkan secara turun-temurun. Upacara itu dikenal sebagai tradisi
lisan yang dibanggakan dan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang hakiki
dari cerminan spiritualitas etnik Karo. Eksistensi upacara gendang kematian dalam
wujudnya yang sekarang, tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang
memengaruhinya, baik faktor intern maupun faktor ekstern.
Perubahan/perkembangan seni terkadang tampak tercabut dari akarnya,
seakan berkembang dan berubah bersama-sama dengan mengalirnya seni bangsa
lain yang mampu merambah dan membalut seni milik bangsa sendiri. Dalam
zaman yang cepat berubah inikarena komunikasi global, bahkan banyak orang
mulai berbicara tentang budaya globalmaka terjadi tarik-menarik antara
perubahan yang harus ada dan perkembangan atau kontinuitas yang dalam banyak
hal masih ingin kita lestarikan (Sukerta, 2005: 50).
Menurut Alvin Boskoff, perubahan sosial budaya dalam masyarakat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud

adalah faktor yang datang dari dalam, sedangkan faktor eksternal merupakan
faktor yang datang dari luar (Boskoff, 1964: 140).
Jika diperhatikan kehidupan etnik Karo, khususnya pada masa sekarang
ini, ternyata mereka sudah kena pengaruh alam modernisasi dan teknologi
canggih, yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dalam tindaktanduk orang Karo, khususnya sudah mengalami perubahan/pergeseran.
Sehubungan dengan hal itu, tampak jelas dalam segala kegiatan juga dalam
pergaulan seseorang di tengah-tengah masyarakat sebagai orang Karo. Menurut
pengamatan peneliti, orang-orang sering tidak tahu lagi mana yang baik dan yang
buruk, mana yang pantas ataupun tidak pantas berdasarkan tata krama adat dan
budaya Karo.
Demikian juga kalau diperhatikan pada masa sekarang ini, ternyata istilahistilah ataupun kata-kata yang biasa digunakan dalam adat budaya Karo, dapat
dikatakan bahwa generasi muda Karo sekarang tidak dapat lagi memahaminya,
apalagi melaksanakannya, baik adat berupa upacara kematian maupun upacara
perkawinan. Oleh karena itu, generasi tua sering merasa sedih melihat tindaktanduk generasi muda yang kurang berkepedulian. Di pihak lain, generasi muda
sekarang beranggapan pula bahwa generasi tua itu kuno, ketinggalan zaman pada
Era Globalisasi ini.
Berdasarkan situasi dan kondisi yang demikian maka tujuan penelitian ini
adalah untuk memberikan pemahaman demi kelestarian adat budaya Karo yang

belakangan ini telah mengalami degradasi. Bahkan, mungkin saja pada suatu saat
nanti bisa hilang atau lenyap dari budaya nasional jika tidak ada usaha untuk
melestarikannya. Berdasarkan uraian di atas, maka sudah sewajarnya orang Karo
merenungkan kembali adat budaya Karo agar dalam mengikuti zaman modernisasi
dan perkembangan teknologi canggih pada masa kini, masyarakat Karo dapat
menunjukkan identitas sebagai orang Karo.
Selanjutnya diuraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan upacara gendang kematian, baik faktor internal maupun faktor
eksternal. Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi tidak bisa terlepas dari peran
aktif yang dimainkan oleh berbagai elemen dalam keberpihakannya terhadap
eksistensi, perkembangan, dan pelestarian kebudayaan, khususnya upacara
gendang kematian. Apa yang terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi, dianalisis dengan teori komodifikasi di samping teori-teori
lainnya yang secara eklektik memberikan topangan eksplanasi menuju kepada
pemahaman yang lebih baik.

6.1 Faktor Internal


Faktor internal yang dimaksud adalah perubahan kebudayaan yang datang
dari masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh
berbagai macam dorongan, antara lain tantangan dari perubahan yang sifatnya

alami yang sedemikian bermaknanya perubahan tersebut sehingga manusia


didorong ke arah suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, artinya mengadakan
tindakan-tindakan perubahan. Penyebab yang lain adalah kejenuhan. Ada tiga
faktor perubahan internal, yaitu dorongan adanya kesadaran orang-orang akan
kekurangan dalam kebudayaannya, kualitas ahli-ahli dalam suatu kebudayaan, dan
perangsang kreativitas-kreativitas penciptaan dalam masyarakat (Sedyawati, 1996:
138).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa faktor internal terhadap perubahan
kebudayaan tampak dalam kehidupan sehari-hari orang Karo. Etnik Karo sebagai
pendukung kebudayaan mengalami perubahan tanpa menyadari datangnya
perubahan itu sendiri. Hal tersebut termanifestasikan dalam upacara gendang
kematian etnik Karo pada akhir-akhir ini, terutama dalam pergeseran gendang lima
sendalanen digantikan oleh sebuah instrumen musik Barat, yaitu keyboard dan
unsur-unsur lain yang ada dalam upacara tersebut.
Menurut Sukerta (2005), faktor perubahan internal pada masyarakat, yaitu
perubahan alami, perubahan yang direncanakan, dan perubahan yang tergantung
pada kehendak individu. Perubahan alami adalah perubahan-perubahan yang
terjadi tidak disengaja atau terjadi dengan sendirinya. Perubahan alami dapat
berproses dengan cepat atau lambat tergantung pada tingkat keseimbangan
kehidupan masyarakat tanpa ada orang atau pihak lain yang sengaja
memengaruhinya. Perubahan yang terjadi secara alami dapat membawa akibat

negatif dan positif. Perubahan yang direncanakan adalah perubahan yang


didasarkan atas pertimbangan dan perhitungan secara matang tentang manfaat
perubahan tersebut bagi kehidupan masyarakat.
Cepat lambatnya perubahan ini dipengaruhi oleh besarnya kemampuan dan
tanggung jawab para pembarunya dan kesesuaian antara program perubahan dan
kepentingan masyarakat. Perubahan yang tergantung pada kehendak individu
merupakan perubahan yang erat hubungannya dengan selera pribadi. Bentuk
perubahan ini relatif sedikit pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat, yaitu hanya
terbatas pada perbedaan selera tiap-tiap

individu. Artinya, tidak berpengaruh

terhadap keseluruhan pola sikap dan perilaku masyarakat dan tidak mengakibatkan
perubahan pada keseluruhan tatanan masyarakat (Sukerta, 2005: 50).

6.1.1 Faktor Masyarakat Pendukung Gendang Kematian


Etnik Karo adalah sebuah komunitas masyarakat yang mempunyai bahasa
sendiri, adat istiadat, budaya, dan kesenian mereka. Masyarakat merupakan suatu
perwujudan kehidupan bersama. Sehingga dapat diartikan bahwa masyarakat
merupakan wadah untuk berinteraksi dan menghasilkan suatu kebudayaan.
Masyarakat juga merupakan kelompok manusia yang telah hidup dan berkerja
bersama cukup lama sehingga dapat mengatur diri dan mengganggap diri mereka
sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yg dirumuskan dengan jelas.

Faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya.
Seiring

berjalannya

waktu dengan

perkembangan

zaman

dan

perkembangan teknologi, maka kebudayaan dalam suatu masyarakat pun


mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman tersebut. Itulah sebabnya
kehidupan dalam suatu masyarakat selalu berubah-ubah, baik dari segi budaya,
adat istiadat, moral, tingkah laku, pengetahuan, maupun pola pikir. Perubahan
tersebut biasanya disebut dengan perubahan sosial.
Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang
selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami
perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju, tetapi juga ke
samping kiri dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali
ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.
Faktor masyarakat pendukung yang dimaksud di sini adalah masyarakat
Karo sebagai pemilik dan pendukung upacara gendang kematian. Masyarakat Karo
yang dimaksud tidak dilihat secara sempit dan terbatas pada genealogis (garis
keturunan) dan teritorial grafis (wilayah penelitian). Akan tetapi, dalam pengertian
luas, yakni orang-orang Karo yang terhimpun dalam satu komunitas organisasi
sosial kemasyarakatan kekaroan di mana pun mereka berada.
Dalam konteks kekinian (kontemporer), yang dimaksud dengan masyarakat
(manusia) Karo adalah mereka yang tidak saja terikat sedarah secara langsung,
tetapi juga mereka yang hidup di luar tanah Karo (geografis) dan memiliki

komitmen membela membangun masyarakat Karo. Tidak sulit menemukan


pemilik dan pendukung upacara gendang kematian, baik di berbagai wilayah di
Indonesia maupun di luar negeri. Pada umumnya secara spesifik orang Karo di
perantauan membentuk organisasi yang menghimpun mereka baik secara sosial
maupun kultural yang dinamakan persadan merga silima persatuan lima marga,
yaitu Ginting, Sembiring, Karo-karo, Tarigan, dan Perangin-angin. Istilah merga
silima terdiri atas lima induk merga (klan) yang terdapat pada etnik Karo. Lebih
jelasnya di setiap kota besar di Indonesia, seperti Denpasar, Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, Jayapura dan sebagainya, bahkan luar negeri, seperti
Belanda, Australia, Amerika dan sebagainya, ada komunitas merga silima. Di
samping itu secara sosiologis mereka membentuk suatu organisasi Persadan
Merga Silima (persatuan dari lima marga), yang menghimpun orang-orang seasal,
sekuturunan (satu nenek moyang) dari nenek moyang masyarakat Karo. Organisasi
ini bergerak di bidang sosial kemasyarakatan, terutama meneruskan pesan-pesan
moral nenek moyang, yang disebut sangkep nggeluh (Lihat, 4.1.4).
Suatu ritual bagaimanapun tingginya nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya jika tidak memiliki masyarakat pendukungnya, tidak akan mencapai
tujuan. Hal itu terjadi karena suatu ritual ada untuk dihayati oleh masyarakat
pemiliknya. Upacara gendang kematian harus dipandang secara proporsional.
Artinya, masyarakat yang tetap berada dan tinggal dalam lingkup geografis di
tanah Karo dan komunitas orang Karo lainnya yang hidup di perantauan, ada
secara langsung masih memiliki keterkaitan kultural. Sebaliknya, yang lain ada

telah terkontaminasi dengan berbagai pengaruh, perubahan zaman dan globalisasi,


mengaku nenek moyangnya dari Karo, tetapi karena lahir, bertumbuh dan menjadi
dewasa bukan di tanah Karo.
Terkait dengan masyarakat pendukung gendang kematian, Njenap Ginting
sebagai salah satu singerunggui (protokol) dalam upacara gendang kematian
mengungkapkan sebagai berikut.
Masyarakat Karo sekarang sibuk, segala sesuatu selalu diukur dengan
uang. Perhitungan waktu juga banyak mempengaruhi upacara gendang
kematian. Contoh, kalau tempo dulu upacara naruhken nakan atau
ngamburi lau simalem-malem (mengantar nasi atau menabur kuburan
dengan air bersih), dilakukan setelah empat hari dimakamkan, sekarang
tidak terikat ketentuan hari, ada yang melakukan keesokan harinya.
Bahkan, untuk menabur bunga sekarang langsung ditaburkan pada hari
penguburannya. Perbedaan itu sedemikian nyata dan terasa karena sekitar
20 tahunan yang silam acara tersebut masih wajar dilaksanakan. Tetapi
sekarang, pada waktu upacara penguburan keluarga, langsung saat itu juga
penaburan bunga dilakukan keluarga atas prakrasa jemaat gereja.
(Wawancara, 24 Desember 2012).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap
pelaksanaan upacara gendang kematian telah terpengaruh atau terkontaminasi oleh
unsur

globalisasi. Dalam penghayatan suatu ritual, masyarakat pendukung

memiliki kedaulatannya sendiri dalam mengonstitusikan fungsi suatu ritual.


Apakah upacara gendang kematian ini masih merupakan ritual penting bagi
masyarakat Karo ataukah sekarang hanya tinggal memenuhi fungsi sebagai
dokumentasi ritual di mana orang bisa mengadakan penelitian sejarah kebudayaan
suatu komunitas, bahkan hanya sekadar pemicu gobalisasi sekarang ini.

Era globalisasi telah meninabobokkan (menidurkan) etnik Karo terhadap


eksistensi upacara gendang kematian. Roh globalisasi telah membungkus
sedemikian rupa sehingga tanpa terasa kesinambungan upacara gendang kematian
goyah, mengalami pergeseran diubah oleh zaman dan waktu, serta pengecilan
ruang oleh budaya global. Perlu kesiapan mentalitas tinggi dalam ritual gendang
kematian pada era globalisasi sehingga upacara gendang kematian bisa survive
bersama unsur-unsurnya untuk menuju masa depan budaya Karo.
Dalil masyarakat pendukung dalam perannya untuk pelestarian tidak bisa
dimungkiri dipengaruhi kompetisi dan kontestasi akibat globalisasi. Hal itu secara
otomatis mesti memenuhi syarat-syarat global yang cenderung kepada budaya
instan dan populer dalam mengapresiasi bentuk nyata setiap upacara. Demikian
juga upacara gendang kematian ataupun upacara lainnya, masyarakat Karo
berusaha memenuhi tuntutan globalisasi.
Masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang kematian seperti
yang diungkapkan oleh Jekmen Sinulingga berikut ini.
Gundari ibas gendang kematen kalak Karo, nggo bagi ikarusken saja.
Cuba tatapndu kai pe nggo serba cepat, acara pe lanai bo bagi sigelel,
kerina ibahan uga gelah meter, sipenting dung sada wari e. Kai pe adi
banci itukur salu sen nggo nge itukur kerina, contohna peti mate, ras
bunga-bungana kerina. Nen dehkam anak beru pe nggo pemokenna nuci
piring, terlebih-lebih akapndu gendang lima sedalanen pe nggo gantikenna
jadi kibod. Kerinana cepat kal sambar ibas gendang kematen enda
Terjemahan:
Dalam upacara gendang kematian pada etnik Karo saat ini, segalanya
serba dipermudah supaya acara cepat. Rangkaian acara dalam upacara juga
berubah dan jika bisa diselesaikan dalam satu hari. Segala sesuatu jika bisa

didapatkan dengan uang akan dibeli. Bagaimana dulu anak beru membuat
peti mati, sekarang tinggal dipesan dan dibeli, bagaimana dulu anak beru
sibuk dengan pekerjaannya sekarang sudah ada catering, dan terutama
gendang lima sendalanen tinggal panggil seorang pemain keyboard
elektronik (Wawancara 11 April 2013).
Pernyataan di atas dibenarkan berkaitan dengan pengaruh globalisasi yang
menimpa masyarakat saat ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Barker bahwa
globalisasi, budaya konsumen, dan pascamodernisme adalah fenomena yang
terjalin erat karena tiga hal berikut, Pertama, globalisasi telah menggeser dunia
Barat dan kategori filosofisnya dari pusat jagat raya; memang, beberapa orang
telah melihat runtuhnya klasifikasi Barat sebagai tanda-tanda pascamodrrnisme.
Kedua, meningkatnya penampilan status budaya pop, yang dipercepat oleh media
elektronik, berarti bahwa pemisahan antarbudaya rendah dan budaya tinggi tidak
lagi relevan. Ketiga, kaburnya batas-batas seni, kebudayaan, dan perdagangan,
yang menyatu dengan semakin pentingnya figural pascamodern telah
menghasilkan estetisasi secara umum kehidupan sehari-hari (Barker, 2004: 300).
Selanjutnya, masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang
kematian di satu pihak merayakan perubahan yang dulunya dilakukan beberapa
hari menjadi singkat dengan pemangkasan upacara-upacara yang seharusnya
dilakukan, yang awalnya diiringi oleh ensambel gendang lima sendalanen dan
berubah mendadi kibod. Namun di sisi lain mereka mengkritisi terkikisnya nilainilai yang ada dalam upacara tersebut. Bahkan, ada beberapa orang mengatakan
jika saya meninggal, jangan sempat gendang kibod yang digunakan dalam upacara
kematian saya.

Dari pernyataan di atas terlihat bukti ambivalen antara modern dan


tradisional. Satu sisi mereka merayakan, akan tetapi di sisi lain mereka mengritisi.
Dalam hal ini Kebun Tarigan mengatakan bahwa orang Karo lupa akan leluhurnya.
Mereka menghakimi yang dimilikinya dan menerima yang di luar budayanya
menjadi dirinya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memahami nilai-nilai yang
ada pada budayanya sendiri.
Seharusnya peran masyarakat pendukung upacara gendang kematian pada
masyarakat Karo mempelajari apa sebenarnya yang dilakukan dalam
upacara tersebut. Kalau dulu arwah yang meninggal diantar oleh kosmologi
masyarakat Karo hingga ke liang kubur, lihatlah sekarang apa kemudian
yang terjadi, arwah keluarga kita yang meninggal hanya diantar oleh
sebuah mesin yang telah direkayasa bentuk bunyi yang menyerupai
gendang lima sendalanen. Gendang lima sendalanen menunjukkan
bagaimana masyarakat Karo berinteraksi dengan alam, berinteraksi dengan
sesama dan bagaiman ia menunjukkan sikap terhadap penciptanya
(Wawancara 20 Desember 2012).
Apa yang dikemukakan di atas, idealnya memang demikian. Masyarakat
Karo sebagai pendukung upacara gendang kematian seharusnya memiliki
kesadaran untuk tetap manjadi bagian aktif dalam menumbuhkembangkan
kebudayaan Karo yang diwujudkan dalam upacara gendang kematian. Dengan
demikian,

alih

teknologi

kesenian

kepada

generasi

penerus

dapat

dipertanggungjawabkan dalam mengisi pembangunan mental dan sosial budaya.


Berdasarkan uraian

di atas, diketahui bahwa masyarakat pendukung

upacara gendang kematian merupakan bagian dari faktor intern yang memengaruhi
perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.

Hal ini terjadi, karena masyarakat Karo adalah masyarakat yang ambivalen
terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam upacara gendang kematian.

6.1.2 Faktor Kreativitas Seniman/Budayawan


Faktor perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era

globalisasi

tidak

terlepas

dari

faktor

intern,

yaitu

kreativitas

seniman/budayawan yang ada di masyarakat Karo. Menurut Sumardjo, kreativitas


adalah suatu kondisi, suatu sikap, atau keadaan mental yang sangat khusus sifatnya
dan sulit sekali merumuskannya. Sampai sekarang belum didapat rumusan yang
pasti. Kreativitas adalah kegiatan mental yang sangat individual yang merupakan
manifestasi kebebasan manusia sebagai individu. Manusia kreatif adalah manusia
yang menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak. Kreativitas
menerjunkan seseorang ke dalam keadaan ambang, yaitu keadaan antara ada dan
belum ada. Dengan demikian, seorang yang kreatif selalu dalam kondisi kacau,
ricuh, kritis, gawat, mencari-cari, mencoba-coba untuk menemukan sesuatu yang
belum pernah ada dari tatanan buday yang pernah dipelajarinya. Inilah sebabnya
dalam kreativitas diperlukan keberanian kreatif. Bukan hanya dalam keberanian
menghadapi dirinya yang gawat, tetapi juga keberanian dalam menghadapi
kebudayaan, lingkungan, masyarakat, dunia, dan sejarahnya (Sumardjo: 2000: 80).
Perubahan upacara gendang kematian sebagai suatu produk budaya etnik
Karo dalam proses kehadirannya tidak bisa terlepas dari berbagai kreativitas

manusia Karo yang menjadi satu, baik dalam memenuhi rasa suka maupun duka.
Kreativitas dalam upacara gendang kematian merupakan akumulasi dari
pemikiran-pemikiran kreatif seniman/budayawan Karo sepanjang zaman hingga
kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa yang
terus-menerus melalui indra mereka, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
upacara. Perubahan gendang lima sedalanen menjadi gendang keyboard tidak
terlepas dari kreativitas seniman Karo. Hal ini seperti yang diungkapkan Jasa
Tarigan berikut ini.
Saya mencoba-coba memasukkan unsur musik Barat ke dalam gendang
lima sendalanen, yaitu keyboard dalam sebuah upacara gendang guro-guro
aron (pesta muda-mudi) pada tahun 1991, tempatnya di Simpang Selayang
Medan. Dari keyboard hanya diambil bunyi perkusi yang sudah tersedia di
bank bunyi dalam keyboard tersebut. Munurut pengkuan beliau bahwa
pada upacara tersebut, semua pengunjung merasa antusias dengan
tambahan bunyi-bunyi itu. Hal ini tampak dari permintaan pengunjung
untuk menari yang sebelumnya belum pernah terjadi (Wawancara, 11
Maret 2012).
Dalam berkreativitas, kemampuan seniman merupakan faktor penentu
dalam sebuah seni pertunjukan. Seniman memiliki ide, kreasi, dan kemampuan
teknis dalam mengekspresikan pengalaman dan gejolak jiwanya. Kreativitas
adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam
merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Seniman dituntut
kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalamannya yang
unik dan menarik untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang original dan

mampu menjadikan pengalaman baru yang unik bagi orang lain (Kaunang, 2010:
239).
Selanjutnya menurut Alfian (1996), selama seseorang, kelompok
masyarakat, atau suatu bangsa masih mempunyai kemampuan untuk bersikap kritis
terhadap dirinya sendiri, selama itu pula masih ada harapan baginya untuk
memperbaiki, memperbarui, atau membangun dirinya. Secara jujur ia berupaya
memahami dirinya sesungguh mungkin, menghargai apa-apa yang sudah
dicapainya, serta menyadari segi-segi kelemahan dan kekurangan yang masih
dimilikinya. Dari pemahaman yang mendalam seperti itu ia akan terundang untuk
memperbaiki kelemahannya dan menambal kekurangannya. Ada kalanya ia
berhasil, tetapi ada kalanya ia gagal. Walau bagaimanapun, melalui rangkaian
upaya seperti itu terjadilah proses pembangunan dirinya. Proses pembangunan diri
yang begitulah yang disebut sebagai kreativitaas (Alfian, 1986: 143).
Kreativitas adalah persoalan kebebasan pribadi seniman dalam berkarya.
Kebebasan berkreativitas seniman harus dapat menyatu dengan kehidupan seharihari dan selalu berada di tengah-tengah kesadaran komunal atau kehidupan
bersama. Bekal atau sumber inspirasi kreativitas seniman, sumber utamanya
adalah kebudayaan masyarakat di mana seni itu dimiliki. Tanggung jawab kolektif
lebih dikedepankan daripada pengakuan atas otoritas kreatif seniman sendiri.
Disadari bahwa setiap seniman memiliki tingkat kepekaan yang berbeda dalam
menangkap berbagai peristiwa yang terjadi dalam proses sosial. Peristiwa-

peristiwa ini memengaruhi pikiran dan jiwa berkesenian seniman, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dalam proses penciptaan karya. Faktor
pendorong lainnya dalam kreativitas seniman juga ditentukan sejauh mana respons
masyarakat pada umumnya terhadap produk kesenian yang diciptakan. Tugas
seniman adalah mensiosialisasikan hasil kreativitasnya yang memberikan ruang
dan waktu kepada masyarakat pemilik budaya dan masyarakat umumnya untuk
memberikan respons (Kaunang, 2010: 240).
Terkait dengan pernyataan di atas, seniman yang dimaksud adalah seniman
dan budayawan dalam upacara gendang kematian yang secara langsung ataupun
tidak langsung berperan ikut mempercepat laju perubahan spiritualitas upacara
gendang kematian masyarakat Karo pada era globalisasi. Secara kuantitas
terhitung sedikit seniman upacara gendang kematian yang benar-benar mengerti
dan memahami apa dan bagaimana gendang kematian. Di pundak seniman inilah
perubahan upacara gendang kematian dibelokkan atau diluruskan pada jalan tradisi
nilai-nilai dan roh budaya Karo yang sebenarnya.
Menurut Amat Karo Sekali (68), salah seorang penggual (pemain gendang)
di lokasi penelitian menyatakan sebagai berikut.
Sebelum tahun 1980 ketika upacara gendang kematian dilakukan maka
pihak keluarga yang meninggal akan mengundang sierjabaten (pemain
ansambel musik Karo). Ensambel gendang lima sendalanen adalah
ensambel musik yang terdapat pada masyarakat Karo yang terdiri dari lima
instrumen dan dimainkan oleh lima orang pemain musik. Ensambel ini
salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara gendang kematian
masyarakat Karo. Sierjabaten akan datang sebanyak tiga orang sebagai

pemain sarune, pemain gendang singindungi, dan pemain gendang


singanaki. Dua orang pemain, yaitu pemain gung dan pemain penganak di
dapatkan dari tempat upacara berlangsung. Setiap desa yang terdapat di
daerah tinggi Karo mempunyai pemain yang dua tersebut. Itulah yang
menyebabkan sebelum gendang lima sendalanen sebelumya dikenal
dengan gendang telu sendalanen dan lima sada perarih (Wawancara, 20
April 2012).
Sejalan dengan pendapat di atas bahwa sebelum dnamai gendang lima
sendalanen masyarakat Karo mengenal ensambel ini dengan nama gendang telu
sendalanen lima sadaperarih. Jika dikaitkan dengan sistem kekerabatan yang ada
pada masyarakat Karo, telu (yang berarti tiga), lima (yang berarti lima)
mengandung arti bahwa masyarakat Karo tidak bisa terlepas dari merga silima dan
rakut sitelu.
Kreativitas seniman untuk mengubah gendang lima sendalanen yang
semestinya dimaikan oleh lima orang pemain, terjadi saat pemilu pada tahun 1982.
Pada masa itu semua pemain musik yang ada di masyarakat Karo tidak dapat
mencukupi pelayanan kampanye pemilu yang dilakukan oleh berbagai partai. Pada
saat itulah menurut Amat Karosekali, kekurangan pemain gung dan penganak.
Kemudian Pokat Sembiring memaksakan diri memainkan gung dan penganak
sekaligus. Di situlah awal perubahan pemain ensambel ini dari lima orang menjadi
empat orang. Hal ini sama sekali tidak menjadi sebuah persoalan bagi masyarakat
pendukung gendang lima sendalanen (Wawancara, 20 April 2012).
Tuntutan utama dari kreativitas ialah untuk bisa menjaga bagaimana
dinamika pembangunan manusia atau masyarakat tetap berada dalam suasana

seimbang/stabil sehingga tidak sampai terlepas menjadi sesuatu yang berbahaya


bagi dirinya sendiri. Semua itu mungkin dapat disimpulkan melalui konsep
dinamika dalam kestabilan (Alfian, 1986: 148).
Apabila dicermati ungkapan di atas, maka seperti pernyataan Gantar
Sembiring sebagai berikut.
Masyarakat Karo sekarang ini terbuka terhadap berbagai perubahan dalam
kegiatan pelaksanaan upacara gendang kamatian. Masyarakat Karo tidak
lagi banyak mempermasalahkan bagaimana seharusnya gendang kematian
dibawakan. Akan tetapi masyarakat memiliki ukuran budaya sendiri
meskipun mengalami banyak perubahan bentuk terutama pergantian dari
lima pemain gendang lima sendalanen menjadi empat. Dalam pelaksanaan
upacara pun bagi masyarakat Karo tidak lagi menjadi permasalahan dengan
aturan kesakralannya yang penting cerminan identitas kekaroan tetap eksis
(wawancara, 10 Januari 2012).
Atas dasar penjelasan di atas, masyarakat Karo masih dapat menerima
perubahan yang diakibatkan kekuarangan pemain dalam ensambel ini. Hal inilah
yang mungkin disebut Alfian sebagai dinamika dalam kestabilan. Atas perubahan
ini sama sekali tidak ada permasalahan bagi masyarakat pendukungnya karena
bunyi yang dihasilkan masih dari materi yang sama meskipun pemainnya
berkurang.
Seperti sudah dijelaskan pada awal subbab ini bahwa yang menjadi fokus
penelitian adalah perubahan gendang lima sendalanen yang terdiri atas lima
instrumen musik berubah menjadi keyboard tunggal tidak terlepas dari kreativitas
seniman Karo, yaitu Jasa Tarigan, seorang seniman musik tradisi Karo. Hal itu

bermula dari masuknya Jasa Tarigan ke Universitas Sumatera Utara Jurusan


Etnomusikologi sebagai mahasiswa dan pengajar luar biasa pada praktek musik
tradisi Karo di Etnomusikologi pada pertengahan tahun 1982.
Pada tahun-tahun studinya di etnomusikologi Jasa Tarigan mulai bermain
dan menyukai instrumen musik keyboard. Dari sinilah kemudian ide Jasa Tarigan
untuk memulai karya gendang kibod yang kemudian menjadi sebuah fenomena
dalam perkembangan tradisi musik Karo. Dia juga yang pertama sekali
memperkenalkan gendang kibod sebagai ensambel musik pengiring dalam upacara
adat etnik Karo. Gendang kibod merupakan sebutan atau istilah yang lazim
diucapkan oleh masyarakat Karo terhadap jenis irama musik yang diprogram
secara khusus di dalam keyboard. Kata gendang mengacu kepada pengertian
musik Karo dan kata kibod merupakan ucapan orang Karo terhadap kata keyboard
itu sendiri.
Dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam
gendang kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern terhadap
perubahan budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi kesenian
Karo dan banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok
masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini
membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati
budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan

berdampak buruk terhadap eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian


kesenian Karo yang terkait dengan kosmologinya.
Dari sisi lain kemudahan dalam menyajikan dan murahnya biaya
pertunjukan mengakibatkan gendang kibod semakin eksis pada masyarakat Karo.
Selain itu, banyaknya lagu pop termasuk dangdut yang mudah dimainkan dengan
gendang kibod juga semakin memojokkan keberadaan gendang lima sendalanen.
Dari fenomena di atas jelas sekali bahwa globalisasi telah begitu besar
memengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo. Misalnya, dengan
munculnya gendang kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik
tradisional, baik untuk acara-acara ritual kematian maupun acara-acara adat
lainnya. Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya,
tetapi juga berimbas kepada seniman-seniman tradisinya sendiri yang akhirnya
jasa mereka semakin jarang dipertunjukkan.
Jasa Tarigan sendiri yang merintis lahirnya gendang kibod menjadi orang
yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun, di sisi lain pemusik yang
menguasai beberapa alat musik tradisional Karo ini, juga dianggap berperan aktif
telah memopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di luar wilayah Karo
sendiri (Wawancara, 11 Maret 2012).
Terkait dengan fenomena di atas Kayam mengungkapkan bahwa kesenian
tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang
paling penting dalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari
kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan, demikian pula

kesenian

mencipta,

memberikan

peluang

untuk

bergerak,

memelihara,

menularkan, mengembangkan, dan kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi


(Kayam, 1981:38).
Berbeda dengan pendapat Alfian, bahwa kreativitas yang tinggi di dalam
suatu bidang kehidupan manusia atau masyarakat rupanya bisa berakibat buruk
pada sebagian bidang lainnya. Kini kita berada dalam suasana bahwa kreativitas
manusia dalam ilmu dan teknologi yang hebat sekarang ini bisa membahayakan
seluruh kehidupan manusia di muka bumi ini (Alfian, 1986: 151).
Menurunnya kreativitas seniman tradisi di masyarakat Karo sangat erat
berkaitan dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam
gendang kibod. Hal itu tampak nyata dari perkembangan teknologi modern
terhadap perubahan budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi
kesenian Karo dan banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok
masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini
membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati
budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan
berdampak buruk terhadap eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian
kesenian Karo yang terkait dengan kosmologinya.

6.2 Faktor Eksternal


Yang dimaksud dengan faktor eksternal dalam penelitian ini adalah faktor
yang cenderung mengarah pada penguasaan, standardisasi, dan keseragaman
budaya yang datang dari luar, yang memengaruhi dan menyebabkan terjadinya
perubahan upacara gendang kematian masyarakat Karo. Adapun faktor-faktor
eksternal yang dimaksud adalah faktor kristenisasi, pertemuan budaya global dan
lokal. Masuknya agama kristen di Karo dengan membawa budaya Kristen
merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya perubahan
upacara gendang kematian masyarakat Karo. Hood menyebut dengan istilah
transformasi budaya.
Transformasi budaya adalah proses perubahan budaya. Transformasi
budaya dewasa ini dipercepat dengan adanya proses globalisasi. Globalisasi adalah
suatu gejala perkembangan kebudayaan internasional yang memasuki dan
mengikutsertakan masyarakat berbagai negara di dunia dalam kebudayaan dunia
tersebut. Kebudayaan internasional itu didominasi oleh negara-negara maju yang
menguasai

ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya negara-negara

industri. (Hoed, 2008: 115).


Di Indonesia transformasi budaya terjadi sepanjang sejarah. Transformasi
budaya terjadi pada zaman Hindu, zaman Islam, dan zaman masuknya orang Eropa
ke Indonesia. Perbedaannya dengan transformasi pada zaman kita adalah
kecepatannya. Transformasi budaya pada zaman kita berlangsung sangat cepat,

yaitu dengan hitungan bulan dan tahun saja, sedangkan transformasi budaya
sebelumnya berlangsung dalam hitungan dekade atau abad.
Selanjutanya Sedyawati mengungkapkan faktor bahwa eksternal adalah
pengaruh-pengaruh dari luar karena adanya interaksi, misalnya interaksi
antarbangsa. Pada masa-masa yang lalu interaksi hanya dapat terjadi apabila ada
pertemuan-pertemuan tatap muka. Berbeda dengan sekarang, berkat kecanggihan
teknologi komunikasi, interaksi dapat dilakukan melalui media komunikasi jarak
jauh, baik personal maupun impersonal (Sedyawati, 1996 : 138--139). Pernyataan
di atas tidak terlepas dari apa yang dialami orang Karo pada zaman kolonial.
Intensitas pertemuan antara misionaris dan orang Karo tidak dapat dihindari
sehingga ideolog kristenisasi yang menjadi misi mereka berhasil ditanamkan pada
etnik Karo.
Dalam kebudayaan terjadi beberapa pola perubahan, yaitu evolusi, difusi,
akulturasi, dan inovasi. Evolusi adalah perkembangan masyarakat yang telah
berkembang dengan lambat (berevolusi) dari tingkat yang paling rendah dan
sederhana, ke tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Proses
evolusi ini selalu akan dialami oleh seluruh manusia di muka bumi ini walaupun
dengan kecepatan yang berbeda-beda. (Koentjaraningrat, 1987: 31).
Difusi adalah suatu proses penyebaran dari penemuan baru terhadap
lingkungan masyarakat yang lebih luas; penemuan baru dikomunikasikan untuk
mendapatkan pengakuan masyarakat (Syani, 1995:105). Pengakuan ini disebabkan

oleh hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang telah


berlangsung lama dan hampir tidak memengaruhi bentuk kebudayaan masingmasing.
Akulturasi adalah perubahan, yaitu terjadi percampuran antara dua
kebudayaan. Penyatuan ini dihasilkan dari kontak yang berlanjut. Kontak ini dapat
terjadi dengan berbagai cara, yaitu kolonisasi, perang, penaklukan dan kedudukan
militer, migrasi, misi penyebaran agama, perdagangan, pariwisata, bersempadan.
Di samping itu, juga media massa, terutama media cetak, radio, dan televisi.
Akulturasi tidak hanya dihasilkan dari interaksi, tetapi juga dari rencana yang
disengaja

oleh

kebudayaan

yang

kuat

(Lauer,

2001:

404).

Menurut

Koentjaraningrat (1990: 91), akulturasi merupakan proses sosial yang terjadi bila
manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi
oleh unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang mempunyai perbedaan sifat. Selain
itu, unsur-unsur kebudayaan yang asing tadi lambat laun diakomodasikan dan
diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri.
Inovasi adalah proses perubahan kebudayaan yang terjadi di dalam
kebudayaan itu sendiri terjadi pembaruan yang biasanya mengalami penggunaan
sumber-sumber alam, energi dan modal, peraturan baru tenaga kerja, dan
penggunaan teknologi baru. Semua ini akan menyebabkan adanya sistem produksi
dan dihasilkannya produk-produk baru. Dalam proses penemuan baru ini, baik

yang berupa alat maupun ide baru, biasanya berlangsung cukup lama
(Koentjaraningrat, 1990 :108--109; Sukerta, 2005: 50--52).

6.2.1 Faktor Kristenisasi


Upacara gendang kematian masyarakat Karo hingga kini telah mengalami
banyak perubahan, baik dalam struktur maupun fungsinya. Banyak penyebab yang
menjadi alasan terjadinya perubahan ini. Selain faktor internal, faktor-faktor yang
bersifat eksternal juga telah banyak memberikan andil bagi kondisi perubahan ini.
Perubahan upacara gendang kematian masyarakat Karo, yang disebabkan oleh
faktor eksternal telah berlangsung sejak masa silam. Salah satu pengaruh luar yang
telah mengubah struktur upacara ini adalah masuknya bangsa Eropa yang telah
membawa masuk juga budaya baru dan diperkenalkan pada masyarakat Karo yang
dibawa para misionaris.
Selanjutnya dibahas pengaruh Eropa terhadap upacara gendang kematian
masyarakat Karo, secara khusus yang dibawa oleh orang Belanda. Meskipun
istilah penjajah tidak sepenuhnya dapat dijuluki bagi orang Belanda di Karo,
unsur penguasaan dan rasa diri sebagai yang superior ada dalam diri orang
Belanda. Akibatnya, rasa untuk menguasai, memerintah, memaksakan kehendak,
ide, bahkan dari satu sisi menekan dapat saja terjadi. Akan tetapi, di samping
kegiatan-kegiatan yang bersifat penguasaan, orang Belanda juga telah melakukan

kegiatannya dalam bentuk transformasi budaya melalui kegiatan pendidikan dan


keagamaan.
Bentuk kegiatan ini tentunya menyentuh dan memengaruhi kehidupan
orang Karo dan tentunya keberadaan orang Karo. Kedua kegiatan ini telah banyak
membawa perubahan dalam cara dan gaya hidup, bahkan pandangan hidup orang
Karo. Melalui kegiatan pendidikan, orang Karo diantarkan pada kondisi
penyadaran untuk dapat hidup lebih baik dan teratur. Sebagai contoh, dalam hal
hidup sehat dilalui dengan proses pembelajaran secara logika dan tidak hanya
didasarkan pada pemahaman yang keliru atau pengaruh mistik semata. Contoh
konkretnya adalah kebiasaan untuk hidup bersih. Karena semua yang diajarkan
dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya, maka apa yang diajarkan tersebut diterima
dengan sadar dan bukan karena terpaksa. Sebagai akibat dari kondisi ini, akhirnya
kehadiran orang Belanda, di satu sisi justru dibutuhkan oleh orang Karo (Sinuraya,
2000: 8--11).
Menurut Bangun (1986), sebelum kedatangan para misionaris ke Tanah
Karo, orang Karo telah memiliki kepercayaan dan budayanya sendiri. Agama asli
orang Karo adalah agama Pemena. Penganut agama Pemena

mengatakan

bahwasanya mereka erkiniteken (memiliki kepercayaan) adanya Dibata (Tuhan)


sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Selain itu, mereka
juga percaya adanya tenaga gaib, yaitu spirit yang berkedudukan di batu-batu

basar, kayu besar, sungai, dan tempat-tempat yang lain juga percaya kepada
kekuatan-kekuatan roh, khususnya roh orang meninggal (Bangun, 1986: 37).
Kepercayaan awal etnik Karo ini akan ditundukkan lewat misi
pemberadaban

kristenisasi

dalam

bingkai

kolonialisasi

yang

bermaksud

melebarkan ekspansi lahan perkebunannya di wilayah Sumatra Timur. Tentu saja


terjadi gesekan, guncangan, dan negosisi antara penjajah dan terjajah dalam
perjumpaannya. Terjadi ketegangan antara disiplin gereja ala Pietisme Eropa dan
kelokalan orang Karo. Terjadi pemangkiran dan pengakuan atas pelbagai upaya
penginjilan oleh para misionaris sehingga pengalaman ini disebut pengalaman
yang dibenci, tetapi dirindukan. Permulaan usaha pekabaran Injil di tanah Karo
tidak lepas dari pembukaan perusahaan perkebunan di Sumatera Timur. Usaha itu
dimulai dari prakarsa J. Th. Cremers, seorang pemimpin perkebunan, yang
berpendapat bahwa jalan paling baik supaya penduduk setempat tidak menentang
dan mengganggu usaha perkebunan adalah mengabarkan Injil dan mengkristenkan
mereka (Cooley, 1976: 1-22; Sembiring, 2010: 74--75).
Pada akhir abad ke-19 Belanda telah menguasai pesisir timur Sumatera dan
pesisir barat Sumatera. Wilayah dataran rendah Sumatera Timur telah dieksploitasi
dengan perkebunan besar dan tambang minyak yang memberikan keuntungan
besar kepada pemerintah Hindia Belanda. Sejak Belanda menanamkan modalnya
di Sumatera Timur telah timbul kericuhan, bahkan pemberontakan orang Karo.
Orang Karo membabat tanaman perkebunan dan membakar bangsal milik Belanda.

Perlawanan terhadap dominasi kolonial ini dikenal dengan nama perang sunggal.
Untuk menghentikan perlawanan inilah pihak perkebunan meminta Nederlands
Zendelings Genooschap (NZG), lembaga penginjilan di Belanda mengkristenkan
orang Karo dan seluruh biaya ditanggung oleh pihak perkebunan (Sembiring,
2010: 75).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa misi pekabar Injil Belanda dalam
karyanya terlebih dahulu melihat sasaran sosial dari pada dogma. Hal lain yang
menunjang adalah bahwa pekabaran Injil itu langsung pada masyarakat secara
pribadi dengan mengunjungi orang Karo dari rumah ke rumah. Meskipun
demikian, tentunya cara-cara yang dilakukan itu tidak selalu bersifat dan
berdampak positif. Cara ini akan menimbulkan dampak lain bagi orang Karo
beserta adatnya sebab motivasi dan tujuan lain yang tersembunyi tentunya juga
ada. Itulah sebabnya semua yang dibuat ini tidak berarti bahwa para pekabar Injil
tidak mengalami hambatan walaupun para pekabar injil sendiri sudah merasa
sangat dipercaya dan telah kuat pengaruhnya. Keyakinan ini akan memberi
semangat kepada mereka dalam melakukan misi, termasuk menghilangkan
kegiatan tradisi.
Etnik Karo menganggap orang Belanda tidak hanya ingin menguasai tanahtanah mereka, tetapi juga budaya dan keyakinan mereka. Misionaris dan pemilik
kebun dianggap memiliki kepentingan yang sama. Itulah sebabnya upaya
penginjilan tidak berjalan lancar (Sembiring, 2010: 76).

Pada tahun 1906 Tuan G. Smith membuka sekolah Kweekschool di


Berastagi dengan maksud mendidik guru-guru sekolah yang bisa menggunakan
sekolah sebagai landasan untuk mengabarkan Injil. Namun, rencana itu tidak
berhasil karena anak-anak orang Karo tidak mau sekolah secara teratur, tetapi
mereka lebih suka bebas. Akhirnya, sekolah guru ditutup tahun 1920. Namun,
beberapa yang telah dididik dijadikan guru Injil dan ditempatkan di kampungkampung. Penetua (salah satu jabatan dalam pelayanan gereja) dari kalangan
orang Karo mulai diangkat pada tahun 1920-an. Meskipun telah ada penginjil
lokal, pekerjaan mereka lebih bersifat koster, memasang lampu, menyapu, dan
menemani pendeta yang datang ke kampung. Betapa dominasi misionaris sangat
kuat terhadap orang Karo, bahkan ketika orang Karo sudah dididik sekalipun tidak
diberikan porsi besar untuk bicara (Cooley, 1976: 4; Sinuraya, 2004: 2;
Sembiring, 2010: 74--75).
Penginjilan lewat sekolah tetap dilaksanakan. Untuk mempersiapkan
pemuda-pemuda pada tahun 1931, sekolah Zending yang pernah ditutup (tahun
1920) dibuka kembali. Pada tahun ini dibuka sekolah Christelijke H.I.S si
Kabanjahe, dilengkapi dengan sebuah asrama putri yang dipimpin Suster Wilkens
dari Selandia Baru dan sebuah asrama putra yang dipimpin guru agama S. Ketaren
tanpa pungutan biaya. Pada kesempatan ini anak perempuan telah mendapat
kesempatan untuk bersekolah. Pemikiran awal tentang perempuan harus bekerja,

tidak belajar justru telah bergeser dengan didirikannya fasilitas pendidikan


(Cooley, 1976: 4; Sembiring, 2010: 78).
Tahun 1934 didirikanlah CMCM (Christelijke Meisjes Club Maju) yang
dipimpin oleh istri-istri pedeta NZG. Di CMCM diajarkan jahit-menjahit,
menyulam, bordir, memasak, dan sebagainya. Biasanya selalu ada kebaktian
singkat. Untuk laki-laki didirikan organisasi yang disebut BKDK (Bond Kristen
Dilaki Karo) dibantu oleh Pdt. W.A. Smith. Kegiatan di dalamnya, adalah
penelaahan Alkitab (PA), olahraga, musik, dan drama. Kristenisasi dan modernitas
berjalan bersama dalam upaya pemberadaban orang Karo. Pada masa-masa ini
orang Karo menilai bahwa misionaris menawarkan kemajuan dan orang Karo
mulai tertarik (Cooley, 1976: 6; Sembiring, 2010: 78).
Tidak mudah bagi para misionaris menerjemahkan konsep Tuhan kepada
orang Karo. Kata yang paling dekat adalah Dibata, yaitu nama yang diberikan
orang Karo kepada yang Ilahi. Kata Dibata dipakai

karena nama itu sudah

dihayati orang Karo sebagai pencipta Awali atau Dibata Simada Tinuang. Orang
Karo percaya bahwa kekuatan pencipta Awali itu sangat besar untuk menguasai
hidup manusia, tetapi Ia berada jauh di atas sana (Sembiring, 2010: 80--81).
Biasanya orang Karo tidak langsung berhubungan dengan Dibata, tetapi
dengan roh-roh yang diyakini sangat membantu praktik hidup sehari-hari orang
Karo. Orang Karo masih menganggap bahwa Dibata yang dikenal sama sekali
berbeda dengan Dibata yang diperkenalkan oleh misionaris hingga akhirnya

Tampenawas, misionaris Minahasa

pendamping misionaris Belanda di Tanah

Karo menjelaskan bahwa Dibata yang diperkenalkan justru bisa diajak


berkomunikasi. Saat sedih dan khawatir bicaralah kepada-Nya dan Ia akan
mendengar, begitu juga saat bahagia (Sembiring, 2010: 81).
Pada masa Belanda kristenisasi dan pendidikan merupakan dua sisi yang
tidak dapat dipisahkan.

Dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan, musik

merupakan mata pelajaran yang harus dipelajari dan digunakan. Pengaruhnya bagi
penduduk berkembang menurut kehendak zaman dan mencapai puncaknya pada
awal abad ke-20. Kemajuan dunia pendidikan dan perluasan peradaban Barat
dengan pelbagai dimensinya menyusul kristenisasi ini telah membuat perubahan
yang besar sampai pada seluruh aspek kehidupan di Karo. Pada saat ini musik
yang dipelajari adalah organ yang dibawa Belanda untuk mengiringi kebaktiankebaktian yang ada. Padahal, masyarakat Karo mempunyai ensambel yang disebut
gendang lima sendalanen tidak dipelajari bahkan dilarang untuk dimainkan.
Gendang lima sendalanen adalah ensambel musik pada masyarakat Karo
yang digunakan dalam berbagi jenis upacara, seperti upacara perkawinan, upacara
memasuki rumah baru, dan upacara kematian. Di samping itu, juga upacaraupacara yang besifat ritual, misalnya erpangir kulau (penyucian diri), perumah
begu (memanggil roh) dan sebagainya. Namun pada zaman penjajahan gendang
lima sendalanen dianggap kafir oleh para misionaris.

Hal ini dapat dibuktikan ketika Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja
desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen,
dibabtis oleh misionaris Van den Berg. Tidak lama setelah dibabtis, ia
menanyakan kepada pendeta apakah sebagai seorang Kristen ia dapat memakai
gendang Karo. Jawab pendeta itu tidak boleh. Namun, karena posisinya sebagai
raja

mengharuskannya memakai gendang dalam upacara-upacara adat, raja

tidak dapat menerima jawaban itu. Akhirnya Raja Pa Mbelgah Purba dikenai
disiplin gereja karena tetap bersikukuh memakai gendang yang dianggap sebagai
suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen.
Akibatnya raja dikeluarkan dari gereja (Cooley, 1976: 5; Sembiring, 2010: 82).
Hampir segala sesuatu yang berbau ritual dihilangkan dengan alasan
adanya pemahaman bahwa hal tersebut akan menjadikan orang Karo lebih
beradab. Di samping itu, dari sisi agama dapat membawa masyarakat Karo menuju
keselamatan di akhirat. Dari satu sisi, pemusnahan ritual tentunya tidak dapat
dianggap sebagai tolak ukur sejarah untuk menunjukkan keberhasilan para pekabar
injil Belanda. Bagi mereka yang telah memeluk agama Kristen, hal ini mungkin
tidak masalah. Akan tetapi, hal ini merupakan satu preseden yang buruk bagi orang
Karo yang lain karena seakan-akan keberadaan misi itu mau mencabut orang Karo
dari akar tradisinya.
Secara tidak sadar mereka telah membuat orang Karo mengambang dan
tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki tumpuan. Dalam kesempatan itu (tidak

memiliki pegangan) mereka memegang orang Karo dan langsung atau tidak
langsung memaksa orang Karo untuk ikut pada cara Belanda. Orang Belanda
menciptakan suasana yang sedemikian rupa sehingga orang Karo sadar atau tidak
sadar harus memahami

bahwa tradisi mereka adalah tradisi kafir atau tidak

beradab serta akan menjauhkan mereka dari keselamatan abadi.


Menurut Sembiring, kristenisasi di Tanah Karo membekaskan kesan yang
ambivalen dan menyebabkan keretakan-keretakan dalam batin orang Karo. Misi
penginjilan yang disampaikan misionaris mengakibatkan adanya posisi tawar
dalam menerima yang baru dan tetap mempertahankan yang lama. Akibatnya,
terbentuklah identitas postkolonial orang Karo dalam wacana kolonial yang
dibenci karena latar belakang kedatangannya adalah ekspansi lahan perkebunan,
tetapi dirindukan karena kenangan kemajuan yang ditawarkannya (Sembiring,
2010: 89).
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa gendang tidak pernah
digunakan dalam upacara ritual pada masyarakat Karo sejak tahun 1911 setelah Pa
Mbelgah Purba terpaksa keluar dari agama Kristen akibat menggunakan gendang
dalam sebuah upacara di rumahnya. Hal ini dikuatkan oleh Sinuraya (2000) bahwa
Pendeta J.P. Talens setelah mengantikan Pendeta E.J. Van den Berg pada tahun
1912, membuat panitia pengumpulan dana permukiman penyakit kusta di
Lausimomo. Selain itu secara berkala mengadakan konser organ, bazar dan lain

sebagainya (sinuraya, 2000: 61). Atas dasar penjelasan di atas, diketahui bahwa
gendang pada masyarakat Karo sejak saat itu telah terabaikan.
Semua kegiatan ritual harus disingkirkan meskipun dalam kegiatan ritual
pada etnik Karo tersebut banyak sekali nilai tradisional termasuk dari elemen
musik etnik, yang dapat ditemukan. Salah satu kegiatan ritual yang bisa disebut
sebagai tradisi lisan yang mengandung kearifan lokal adalah ritual perumah begu
(memanggil roh yang sudah meninggal). Menurut Ginting (1999), perumah begu
bermaksud memberikan pijer podi (mempererat persatuan keluarga dalam sangkep
nggeluh). Guru si baso bercerita (memberikan suatu ungkapan lisan), masalah
yang besar ia perkecil, masalah yang kecil dihapuskan. Semuanya menjadi tuntas,
terjadi perdamaian dalam keluarga. Inilah tujuan perumah begu (Ginting, 1999:
47).
Dalam kongres kebudayaan Karo tahun 1996, disebutkan tentang sejarah
perumah begu pada masyarakat Karo. Perumah begu adalah salah satu ritual yang
sangat penting dalam upacara gendang kematian. Alkisah, pada zaman dahulu kala
seseorang tinggal di sebuah pedesaan dengan kehidupan yang kaya raya, tanah dan
sawahnya luas, kerbau, lembu, dan kuda serta binatang piaraannya. Ia mempunyai
tiga anak laki-laki dan ketiga-tiganya sudah mempunyai keluarga sendiri-sendiri.
Bapak dan ibu mereka kemudian meninggal dunia.
Sepeninggal kedua orang tuanya ketiga anak ini cekcok. Nasihat-nasihat
yang diberikan orang tuanya dahulu sudah dilupakan. Ketiga saudara ini saling

mengadu ke pegulu kuta (kepala desa). Sudah tiga tahun mereka lalui sepeninggal
orang tuanya, tetapi masalah tetap saja semakin tidak bisa diselesaikan. Akhirnya
anak beru mempunyai usul kepada ketiga kalimbubu-nya untuk mengundang begu
atau roh ibu mereka yang dipercaya akan

memberikan pertimbangan dalam

perkara keluarga. Ketiga-tiganya mengatakan setuju. Setelah ada kesesuaian


pendapat akhirnya mereka melakukan upacara perumah begu (memanggil roh).
Setelah ditanya guru simeteh wari telu puluh (dukun yang tahu hari tiga puluh),
maka ditetapkanlah di mana dan waktu upacara akan dilaksanakan. Diundanglah
kemudian semua sangkep nggeluh. Setelah berkumpul sangkep nggeluh baik
sembuyak/senina, kalimbubu dan anak beru, maka i palu (dimainkan) gendang
lima sendalanen. Setelah gendang dimainkan dan sampai pada repertoar tertentu
kemudian guru sibaso seluk (kesurupan) dan

memanggil ketiga anak yang

berpekara tersebut. Guru sibaso mulai berbicara seperti di bawah ini.


Anakku sintua, anakku sintengah ras anakku singuda mari kam kerina.
Kundul kujenda, gelah arih-arih kel ateku kita anakku teluna. Setelah
ketiga anak tersebut datang mendekat maka ibunya (roh Ibunya melalui
guru sibaso) berbicara, kam teluna anakku, seri nkam ateku kelengna
teluna. Emaka ningku anakku, ula kam rubat teluna, peturah-turahkal
ukurndu simehuli, man bandu anakku teluna. Kami nggi lawes duana ras
bapandu, asum kami nggeluh denga ersura-sura kal kami ras bapandu
gelah lit itadingken kami erta-erta man anakta e ate kami. Anakku turang
nadena, erdahin la erngadi-ngadi, gelap la tampil gelap, udan la tampil
udan, las la tampil las, em dahin kami tep-tep wari, bulan she ku bulan
tande tahunna, la erngadi-ngadi. Enggo lit erta, asuh-asuhen, taneh,
sabah, peken, emas, duit ras paken simeherga. Genduari anakku enggo
kam erpekara, enggo kam latih. Ceda kal ate kami, morah kel ate kami, la
malem ate kami, anakku teluna ..,..,. Emaka ningkami ras bapandu,
ola sirang sembuyak erkiteken erta, ula sirang ersenina erkiteken duit ras
emas. Em pemindon kami man bandu ankku teluna, , . Aloi kel aku

anakku teluna, keleng ateku, maka malem kal pusuh kami ras bapandu
anakku.
Ngaloi anakna, nina:
Labo cedaken kami ukurndu nande, robah kal kami, jera kal kami nande,
jenda nari kulebe, lanai kami rubati, ersada kal ukur kami.
Ngerana nandena erkelangken Guru sibaso, nina:
Adi bage kin anakku nggo mehuli i palu gendang, ras kita kerina landek.
Sebab ibas landek e kari kuputusken perkarandu alu mehuli, kuarap
gelah ibegikenkamlah kai sikubahan rikutken ateku keleng.
Roh ibunya berbicara melalui guru sibaso sebagai berikut:
Tertingel-tinggel kam kalimbubu, Dibata si idah kami, bagepe kam anak
beru kami rikut kam senina, kai kari sikubelasken, kai kari sikukataken,
suratkenkal ibas pusuhndu sebab aku sekalienda ndabuhken timbangen
ras mutusken perkara man anakku sitelu enda. Ntah ija gia kari berneh
gugungna, ntah lebih kurangna, ula kal tama-tama kupusuh, tapi tama
kini juah-juahen, ras nambahi ate malem. Tertinggel kam kerina
erkitekenn kam kerina jadi saksi.
Sabah sijahen kuta e man bandu anak singuda
Sabah si julun kuta e man bandu anak sintengah
Rumah e ras peken bagepe asuh-asuhen man bandu anak sintua.
Me enggo me bage nindu anakku teluna, kam pe kalimbubu, anak beru
bagepe senina.
Ngaloi anakna, nina:
Enggo ibegi kami nande (ketiga-tiganya serentak menjawab)
Enggo bialoken kami kerina, keputusendu enggo mehuli iakap kami, ras
lanaikami rubat.
(Terjemahan)
Anakku yang tua, anakku yang tengah, dan anakku yang muda mari dekat
dengan ibu. Ada yang mesti saya sampaikan kepada kalian. Kasih
sayangku terhadap anakku bertiga tidak ada bedanya. Jadi, aku sangat
bermohon supaya kalian bertiga rukun, damai, dan saling mengasihi satu
dengan yang lain. Kami dengan bapak sudah pergi meninggalkan kalian.
Ketika kami masih tinggal dan hidup bersama anakku bertiga, kami
bersama-sama mencari harta yang berupa materi sawah maupun ladang

sebagai warisan yang kami tinggalkan untuk kalian. Kami tidak mengenal
hujan maupun panas dengan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan
kalian. Sekarang kalian saling mengadu dan berselisih akibat harta yang
kami sudah tingalkan. Kami tidak bisa mendapat kedamaian di dunia baru
kami ketika kami melihat di antara anak yang kami sayangi saling
bertengkar gara-gara harta warisan. Anakku..., ..., ..., Kami sangat
berharap di antara kalian tidak ada perselisihan, bagaimana kalian
menghormati kekerabatan jika di antara kalian juga saling tidak
menghormati. Oleh sebab itu, saya dan bapak kalian meminta, jawablah
kami anakku...., ...., ....biar kami pun damai dalam kehidupan akhirat.
Kemudian anaknya menyahut:
Kami tidak mau membuat hati kalian tidak damai ibu, maafkan kami ibu,
mulai sekarang kami tidak akan berpekara lagi dengan saudarasaudaraku.
Ibunya berkata melalui Guru Sibaso:
Jika demikian halnya anakku, sudah bisa dimainkan gendang (musik) dan
kita akan menari bersama-sama. Pada saat menari pembagian harta yang
kami tinggalkan akan saya bagi berdasarkan kasih sayang yang tidak
berbeda dari saya dan bapak kalian.
Yang saya hormati, kalimbubu sebagai wujud Tuhan yang terlihat dalam
keluarga kami, demikian juga sembuyak/senina kami, serta seluruh anak
beru yang membantu kami, apa yang akan saya katakan saya harap
sangkep nggeluh kami bisa sebagai saksi hidup dan saya mohon tuliskan
di hati sebab saya akan memutuskan pembagian harta untuk ketiga anak
kami. Jika ada kekurangan dan kelebihan dari apa yang saya putuskan
kami minta maaf dan jangan dimasukkan ke hati karena inilah keputusan
kami dengan bapaknya. Kami percaya sangkep nggeluh kami sebagai
saksi dalam keputusan ini. Kuputusan itu adalah
Sawah yang letaknya di hilir kampung kami serahkan pada anak kami
yang muda.
Sawah yang terletak di hulu kampung kami berikan pada anak kami
yang tengah.
Rumah dan ladang kami serahkan pada anak kami yang tua. Sudahkah
kalian dengar anakku demikian juga kalimbubu, sembuyak/senina juga
anak beru kami?
Ketiga anaknya menjawab:
Secara serentak, sudah kami dengar ibu. masing-masing kami sudah dapat
bagian dengan adil, keputusan ibu sangat kami hargai, dan mulai sekarang
kami tidak punya pertengkaran lagi.

Sesudah itu ibunya (roh ibunya) meninggalkan atau pergi dari tubuh guru
sibaso. Suara menangis terdengar dari seluruh sangkep nggeluh. Semua
perkara/perselisihan telah diselesaikan dalam waktu tidak lebih satu jam. Nasihat
guru sibaso ketika kesurupan seakan menjadi therapy menembus hati yang keras
menjadi lembut. Kehadiran guru sibaso sebagai theraphy rohani dan mental
mamasuki emosi dan unsur budaya Karo (Ginting, 1999: 50).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, segala persengketaan atau perkara
pada etnik Karo dapat diselesaikan dengan kepercayaan yang dimiliki. Tradisi
lisan sebagai kearifan lokal tidak dilakukan lagi karena menurut Ginting, upacara
perumah begu adalah melulu unsur religi yang menyangkut kepercayaan kepada
begu atau roh orang yang sudah meninggal. Orang kristen tidak melakukan hal
tersebut sebab bertentangan dengan iman kristiani yang berdasarkan Alkitab.
Orang Kristen tidak lagi bertanya kepada guru sibaso atau sejenisnya dan
janganlah ikut menjadi fasilitator dalam pekerjaan-pekerjaan memuja begu atau
kuasa-kuasa kegelapan (Ginting, 1999: 51).
Menurut Geertz (1974), kita semua melihat bahwa masalah kepercayaan itu
sebagai suatu ruang sempit yang berbahaya. Sehubungan dengan itu, orang selalu
menghindar dari ruang sempit itu walaupun menurutnya, dalam ruang sempit itu
tersedia nuansa kepercayaan yang paling kaya dan praktik-praktik magis yang
lembut dan indah dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, Geertz tetap menyatakan
keyakinannya bahwa perubahan-perubahan sistem kepercayaan religius manusia

telah dan sedang terjadi walaupun kelangsungan kebudayaan sebuah masyarakat


(seperti Bali) tetap dapat dipelihara, ciri dasar kehidupan religiusnya pada suatu
saat akan berubah, terutama setelah Indonesia mengalami berbagai krisis pada
akhir abad kedua puluh satu ini (Pelly, 2010: xii).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa etnik Karo meninggalkan apa yang
dimiliki, menghindar dari ruang sempit itu. Pengaruh Barat tidak saja tampak
dalam pemeluk agama Kristen, tetapi dengan sendirinya telah melupakan semua
ikatan kepercayaan yang merupakan sebuah kearifan lokal dari nenek moyang
yang diyakini sebelumnya. Periodisasi kolonial di Karo adalah zaman ketika
kekristenan dan peradaban Barat masuk dalam waktu yang bersamaan. Di satu
pihak, perjumpaan antara kekaroan dan kekristenan yang kebarat-baratan itu telah
membawa sejumlah perubahan dan kemajuan, misalnya melalui dibangunnya
sekolah-sekolah untuk orang Karo, diperkenalkan dengan nilai-nilai kekristenan
yang membawa banyak pengaruh bagi kehidupan orang Karo. Meskipun harus
jujur diakui bahwa karena perjumpaan itu banyak nilai tradisi masyarakat Karo
harus bergeser. Persoalan kemudian ketika terjadi perjumpaan soal menentukan
mana yang disebut budaya Karo dan mana yang tidak. Apakah budaya Karo harus
ditarik dari zaman Karo kuno dengan segala ritualnya atau Karo kontemporer yang
merupakan hasil dialektika dengan zaman yang terus berproses itu.
Menurut Cooley (1976), sejak tahun 1890--1900 sistem kemasyarakatan
dan kebudayaan

termasuk adat istiadat yang terdapat pada etnik Karo sudah

mengalami banyak perubahan yang besar dan luas akibat berbagai pengaruh.
Agama Kristen merupakan salah satu unsur yang ikut berpengaruh dalam hal
tersebut. Ada persoalan-persoalan dan ketegangan-ketegangan yang timbul bagi
orang Kristen yang terkait dengan adat istiadat sekarang ini. Hal-hal tersebut
adalah (1) gendang kematian diadakan atau tidak dalam pesta atau upacara, (2)
mencuci muka di atas kuburan oleh keluarga dekat orang yang meninggal, (3)
mengantar makanan ke kuburan, (4) memindahkan tulang atau menguburkan
kembali rangka-rangka atau tulang-tulang dengan mempersatukan yang Kristen
dan yang bukan Kristen, (5) memanggil hujan, (6) kawin semarga, (7) kawin lari,
dan (8) mengusir roh jahat.
Dari kedelapan persoalan ini yang paling menegangkan adalah poin
pertama sampai poin keempat. Keempat persoalan ini terkait dengan peristiwa
upacara gendang kematian. Jawaban dan respons Kristen terhadap persoalan ini
adalah (1) memberikan pengajaran waktu katehisasi dan penerangan sewaktu
peristiwa terjadi, (2) berusaha mengalihkan hubungan dengan yang bukan Allah
(dewa-dewa atau roh-roh) kepada Allah yang benar, (3) mengadakan perubahan
dalam bentuk/kulit upacara, tetapi yang lebih penting mengubah dan pengarahan
upacara, dan (4) menghapuskan atau meninggalkan adat-adat tertentu (Cooley,
1976: 123).
Prinsip pokok yang dilakukan Kristen dalam menyikapi persoalan dan
pertentangan ini, yaitu adat istiadat yang ada hubungannya dengan kepercayaan

terhadap dewa-dewa, arwah-arwah nenek moyang, roh-roh orang meninggal


dilawan oleh gereja. Dengan prinsip inilah gereja kemudian menentukan bentuk
ritual adat istiadat ditinggalkan. Prinsip dasar ini diterapkan dengan sikap dan
kebijaksanaan gereja Karo yang luwes, tetapi kokoh. Gereja Karo mengimbau
umatnya berusaha agar tidak menolak atau menjauhkan mereka yang mengikuti
tuntutan adat, tetapi mendekati mereka, sebagai orang Kristen yang memiliki
semua hal secara berlainan karena imannya terhadap Allah, menghadiri dan
melihat mereka sebagai manusia, tidak lebih tidak kurang.
Hal

inilah

yang

bisa

disebut

sebagai

sebuah

ideologi,

yang

memorakporandakan sistem kemasyarakatan sangkep nggeluh pada masyarakat


Karo. Ideologi meliputi nilai, norma, falsafah, dan kepercayaan religius, sentimen,
kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia etos, dan semacamnya. Pada
abad kedelapan belas, de Tracy memunculkan ideologi sebagai istilah yang
menunjuk pada ilmu tentang gagasan. Dalam penggunaan yang lebih modern
dan sempit, ideologi biasanya mengacu pada sistem gagasan yang dapat digunakan
untuk merasionalisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang, atau
menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak, atau pengaturan kultural tertentu.
Dengan demikian, bila sekarang orang berkata bahwa suatu sistem gagasan
bersifat ideologis biasanya ini berarti gagasan-gagasan itu bersifat partisan.
Artinya, tidak terlalu objektif tetapi disusun untuk mendukung (atau menyerang)
suatu misi atau maksud tertentu (Kaplan, 2002: 154)

Dengan menghadiri sebuah upacara adat dan tidak lebih tidak kurang kehadiran
hanya sebagai manusia sangat bertentangan dengan adat istiadat yang ada pada
etnik Karo, yaitu pada sistem kekerabatan tidak ada yang terhegemoni maupun
yang menghegemoni. Selanjutnya menurut Cooley, sejak tahun 1911 gendang
dilarang oleh Zending digunakan pada upacara adat sehingga gendang dibagi
menjadi dua, yaitu ada gendang adat yang dihubungkan dengan dunia luar, yang
mengandung kepercayaan kadang-kadang disebut gendang mistik. Gendang inilah
jika dimainkan pada upacara kematian, bisa menyebabkan orang yang menari
kesurupan roh-roh lain. Selain itu, orang Kristen bisa dilemahkan oleh hal tersebut
dan gendang yang tidak mengandung roh-roh kepercayaan. Oleh sebab itu,
gendang kematian dianggap sebuah persoalan krusial di tubuh gereja Karo. Lantas
dalam sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) tahun 1965 diambil keputusan,
yaitu gendang dapat dipakai di dalam upacara-upacara adat termasuk di gereja,
tetapi gendang yang tidak mengandung unsur kepercayaan.
Menurut Bavans, tugas misionaris yang pertama dalam mendekati orang lain,
kebudayaan lain, agama lain ialah dengan menanggalkan kasutnya karena
tempat yang hendak didekati itu adalah kudus. Kalau tidak, bisa saja kita
malahan menginjak-injak impian manusia. Atau lebih celaka lagi, kita
barangkali lupa bahwa Dibata (Allah) sudah ada disana sebelum kita sampai
(Bevans, 2002: 99).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa gendang sangat erat terkait dengan


kosmologi pada etnik Karo. Menurut Sumardjo, gendang adalah seni dan seni
adalah budaya.

Konsep budaya mistis adalah kesatuan mikrokosmos dan

makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden, kesatuan dunia


manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini hanya dapat
diperoleh lewat sistem kepercayaan. Dalam hal ini dapat dikatakan agama asli
Indonesia. Jadi, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk memahami
estetika seni budaya mistis adalah pengetahuan tentang kepercayaan asli yang
kini masih tersisa ditambah dengan metode perbandingan dan data tertulis di
masa lampau. (Sumardjo, 2000: 323).
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa agama besar sebagai agama dunia
jelas melahirkan hegemoni, memarginalkan spiritualitas masyarakat Karo,
khususnya yang ada dalam tradisi. Agama tertentu menjadi narasi besar, berhak
disebut sebagai agama resmi, bahkan agama negara. Agama tersebut
dipertentangkan dengan agama yang tidak resmi, sebagai semata-mata sistem
kepercayaan. Ratna mengatakan bahwa salah satu agama resmi di Indonesia
adalah agama Kristen. Padahal, dalam agama yang tidak resmi (pemena) ,
bahkan dalam berbagai sistem kepercayaan yang sudah ada sejak nenek
moyang, yang dikategorikan sebagai animisme, terkandung ajaran-ajaran,
sebagai

kearifan

lokal,

yang

justru

bermanfaat

untuk

menopang

multikulturalisme dan lahirnya solidaritas bangsa pada umumnya (Ratna, 2008:


360).
Seperti yang diungkapkan Adlin, masyarakat memilih menggunakan kata
agama untuk mewakili gambaran suatu entitas yang serba maha. Manusia
kemudian menderivasi konsep agama ini dalam kekhasannya masing-masing. Pada
titik ini justru kebesaran agama ini tampak, yaitu ketika manusia tak pernah
mampu menjelaskan agama dalam sebuah finalitas definisi tunggal, kebesaran
agama justru terjelaskan dalam pluralitas definisi. Namun, pada titik yang sama,
agama kemudian menjadi kultur. Sayangnya, dalam perkembangannya, konsepkonsep agama ini berubah menjadi ideologi sehingga terkesan terpisah dari esensi
apa yang ingin digambarkan melalui kata agama. Agama kemudian tak lagi hidup
dalam keagungannya, tetapi justru teredusir sebatas konsep dan ritualitas.

6.2.2 Faktor Industri Budaya


Budaya merupakan hal yang hidup dalam masyarakat dan memiliki nilainilai yang umumnya tidak dapat diperjualbelikan. Nilai-nilai tersebutlah yang
menjadi pedoman diri individu dalam masyarakat sebagai filter diri terhadap halhal yang dinilai jauh dari tindakan, katakanlah, tidak bermoral dan sejenisnya.
Budaya dengan nilai-nilai yang dikandungnya merupakan proses berpikir yang
tidak dapat dipertukarkan dan lebih memiliki asas manfaat daripada asas tukar.

Industri budaya erat hubungannya dengan karya-karya intelektual Jerman


yang dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt terutama pemikiran dari Adorno
dan Horkheimer dalam karya mereka yang diterbitkan pada tahun 1072 dengan
judul The Dialectic of Englightenment (Dialektika Pencerahan). Karya Adorno
dan Horkheimer menjadi pintu masuk dalam memahami industri budaya
(Kaunang, 2010: 263).
Bentuk-bentuk komodifikasi sebagai akibat dari munculnya industri
hiburan merupakan salah satu bentuk perusahaan kapitalistik. Hal ini
menyebabkan produk budaya distandardisasi dan dirasionalisasi yang memang
dirancang dan dibuat untuk pengumpulan modal dan mendapatkan keuntungan
(Thompson, 2006: 153).
Dialektika pencerahan atau rasio yang dimaksud oleh Adorno dan
Horkheimer dipahami sebagai bentuk perlawanan atau kekuatan tandingan
terhadap berbagai mitos kemapanan. Pencerahan yang diperhadapkan kepada
berbagai bentuk paksaan tradisi (kekuasaan) telah membelenggu individu dan
masyarakat. Dengan demikian, pencerahan ingin melepaskan berbagai ikatan
individual dari kekuatan-kekuatan kelompok, kolektif, dominan yang tidak
bersosok. Singkatnya, pencerahan memanusiakan dan membebaskan manusia
sebagai seorang pribadi yang luhur (Kaunang, 2010 264).

Menurut Jekmen Sinulingga, sebagai berikut.


Upacara gendang kamatian etnik Karo, yang meliputi unsur-unsur di
dalamnya sudah terstadardisasi. Hal ini bisa dibuktikan dari perubahanperubahan dari tradisi menjadi populer. Misalnya, peti mati sudah
disediakan oleh pengusaha peti dan kita cukup membelinya. Yang menjadi
persoalan jika kita membuat sendiri kita dianggap tidak mengikuti zaman.
Hampir semua unsur-unsur dalam upacara ini masyarakat Karo sudah
menjadi masyarakat komoditi. Mulai dari pakaian, dekorasi, makanan,
musik yang mengiringi, semua sudah terstandardisasi. Uang adalah hal
yang paling penting dalam kehidupan orang Karo sekarang. Kita tidak
mehaga (terpandang) tanpa uang. Kesakralan yang dulu begitu
diperhatikan sekarang ditelantarkan. Saya sebagai seorang yang dikenal
sebagai tokoh dalam upacara ini sangat menyesalkan itu terjadi.
(Wawancara, 23 April 2013).
Menurut Weber, manusia didominasi oleh keinginan mendapatkan uang
melalui akuisisi sebagai tujuan utama hidupnya. Akuisisi ekonomis ini tidak lagi
menjadi subordinat sebagai cara-cara manusia memuaskan kebutuhan materialnya.
Ini adalah esensi dari spirit kapitalisme modern (Weber, 2006: xxxv).
Pernyataan di atas memberikan informasi bahwa dalam masyarakat
kontemporer di Karo, modus praktik-praktik budaya kepada pengalihan nilai-nilai
orientasi seni dari sakral, religius kepada sifat profan, materialis, sedang
berlangsung sebagai bentuk perkembangan ekonomi industri kapitalisme lanjut.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Piliang (2004: 251) bahwa industri budaya tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat konsumer (consumer society),
yaitu suatu kehidupan masyarakat yang menunjuk pada suatu kondisi sosial yang
di dalamnya konsumsi menjadi titik sentral kehidupan. Kemudian masyarakat
informasi (information society) merupakan titik sentral kehidupan pada fungsi
informasi dan masyarakat postmodern menunjuk pada praktik-praktik tekstual

kehidupan dengan nilai-nilai kultural baru yang ironis. Ketiga bentuk konsep
masyarakat ini tentu berbeda penekanannya. Akan tetapi, ketiganya menunjuk
pada suatu masyarakat dan budaya yang sama dalam lingkup masyarakat
postmodern.
Dengan meminjam analisis Gramsci tentang hegemoni, mereka menolak
gaya hidup afirmatif masyarakat konsumeristis. Hegemoni selalu mengandaikan
praktik-praktik material yang menopang dominasi budaya. Althusser menyebut
proses itu sebagai interpelasi. Interpelasi adalah proses identifikasi aktif subjek
atas budaya atau gaya hidup dominan. Kultur dominan tidak semata-mata
menyergap objek pasif, tetapi memanggil subjek untuk aktif mengidentifikasikan
diri. Gagasan-gagasan spiritual, misalnya tidak sekadar menentukan secara satu
arah subjek-subjek beriman, tetapi subjek-subjek itu aktif mereproduksi
gagasan

lewat praktik material, seperti doa, salat, meditasi, dan

sebagainya

(Adlin, 2007: 30)


Adapun salah satu ciri masyarakat postmodern erat kaitannya dengan
masyarakat konsumer dan tidak bisa dipisahkan dengan praktik-praktik budaya
kapitalisme (Piliang, 2004: 252). Praktik-praktik budaya kapitalisme dengan
industri budaya dan industri seni pertunjukan tidak dipahami masyarakat
kebanyakan. Industri bagi masyarakat adalah persoalan kemakmuran dan
kesejahteraan. Padahal, industri memerlukan eksploitasi sumber, baik sumber daya
manusia, alam, maupun sumber-sumber budaya, yang dalam konteks penelitian ini

adalah upacara gendang kematian. Eksploitasi yang secara terus menerus


dilakukan industri terhadap sumber daya alam dengan tujuan mencari keuntungan
modal akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan tidak terjaga. Di samping
itu, juga eksploitasi sumber daya manusia tanpa peduli dengan nilai-nilai
kemanusiaan akan mengakibatkan kesengsaraan bagi manusia (Kaunang, 2010:
266).
Jika kemudian gendang kematian menjadi bagian dari industri budaya atau
gendang kematian diindustrikan, maka kekhasan gendang kematian akan hilang,
kemerosotan, kedangkalan nilai seni pun terjadi. Ini akan menjadikan upacara yang
disebut oleh Piliang sebagai estetika kitch. Dalam estetika postmodern hal seperti
ini erat kaitannya dengan estetika kitch (bahasa Jerman verkitschen artinya
membuat murah) yaitu menurunnya bakuan seni akibat pengaruh industri hiburan
(Piliang, 2003: 194).
Sebagai suatu produk budaya etnik Karo, gendang kematian diciptakan
dalam suatu proses pengalaman berbudaya, pengalaman kemanusiaan sesepuh
seniman/budayawan Karo, baik secara individual maupun berkelompok, hal ini
terjadi dalam proses berkesenian, bukan untuk tujuan komersial sebagaimana yang
terjadi dalam proses produksi industri budaya kapitalisme, yakni untuk mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kelangsungan suatu produk (baik barang
maupun jasa).

Menurut Teodor Adorno, seperti di bawah ini.


Pertumbuhan industri dan kapitalisme, memaksa budaya untuk keluar dari
pakemnya demi memuaskan beberapa elit modal. Kekuatan nilai-nilai yang
hidup dalam budaya di masyarakat sebagai filter terhadap produk-produk
industri membuat kaum kapitalis resah dan mencari celah demi dominasi
ekonomi
yang
berkelanjutan.
Pemanfaatan
celah
melalui
jalan packaging memunculkan industri tersendiri dalam budaya yang
kemudian akrab disebut dengan industri budaya. Kemunculannya juga
menghasilkan fetisisme komoditas demi melancarkan proses industri
budaya. Adorno menganalisis fenomena tersebut melalui teori musik pop.
Teori musik pop merupakan analisis yang terkenal dari Adorno dalam
menjelaskan industri budaya. Menurutnya, teori pop ini terkait dengan teori
industri budaya dan fetisisme komoditas (http://id.wikipedia.org/wiki.).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa produk budaya apa pun yang
dihasilkan oleh industri budaya telah diciptakan sedemikian rupa untuk memenuhi
selera dan kecenderungan-kecenderungan massa. Salah satu strateginya adalah
menjadikan suatu produk memiliki daya pesona sehingga mampu mendomidasi
asas pertukaran nilai tukar suatu produk dengan konsep fetisisme komoditas. Tidak
bisa dihindari bahwa upacara gendang kematian telah dijadikan sebagai salah satu
produk fetisisme komoditas yang memiliki daya pesona konsumsi massa yang
disejajarkan bersama-sama dengan produk-produk budaya lainnya, di antaranya
makanan tradisional, musik, arsitektur, pola hidup, sifat keramahtamahan, dan
sebagainya. Industri budaya sebagai agen utama produksi (kapitalisme) bersamasama dengan agen distribusinya, cenderung membuat upacara gendang kematian
sebagai bagian dari komoditas dengan berbagai bentuk-bentuk komodifikasi.

Adapun agen-agen industri budaya, di antaranya, iklan di media massa dan


film. Iklan oleh industri budaya diasosiasikan sebagai relasi yang akan mengubah
formasi nilai guna kepada sesuatu yang diproduksi oleh sistem kapitalisme, yaitu
mendudukkan dan menggunakan konsumen sebagai komoditas. Hal ini sejalan
dengan asumsi industri budaya yang memposisikan manusia sebagai pelaku utama
yang akan dijadikan korban oleh industri budaya dan manusia tidak menyadarinya
(Kaunang 2010: 268).
Adapun bentuk-bentuk komodifikasi yang dihasilkan dari proses distribusi
melalui industri budaya disesuaikan dengan nilai pasaran, artinya sifat dan
berbagai bentuk produk budaya ditentukan oleh motif keuntungan. Apabila suatu
produk budaya memiliki nilai pasar, maka komodifikasi bentuk akan mengalami
proses standardisasi, yaitu produk budaya tersebut mendapatkan bentuknya yang
sama di semua komoditas. Hal ini tidak bisa diterima oleh roh dekonstruksi,
standarisasi suatu produk budaya mengakibatkan terbentuknya struktur baru, yaitu
adanya dominasi kelompok budaya tertentu tehadap kelompok lain. Dekonstruksi
memberikan kebebasan berekspresi, kebebasan mencipta yang terus-menerus tanpa
akhir, dan kemampuan suatu produk budaya dengan distandardisasi adalah jauh
dari sikap dan pemikiran dekonstruksi. Standaridsasi produk budaya menciptakan
struktur oposisi pasangan, oposisi biner, yang memberian kesan bahwa jika ada
produk budaya yang sama dan tidak terstandardisasi, tidak termasuk dalam
struktur.

Terkait dengan pernyataan di atas gendang kematian etnik Karo adalah


salah satu ritual yang sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya.
Ketergerusan gendang lima sendalanen yang menjadi salah satu unsur dalam
upacara ini tidak terlepas dari produk industri yang menghasilkan fetisisme
komoditas. Berdasarkan wawancara mendalam terhadap beberapa informan,
diketahui bahwa kepraktisan keyboard dan kemudahan mempelajarinya membuat
alat musik ini semakin kokoh. Belum lagi dengan kemudahan memainkan berbagai
genre lagu pop dengan dibubuhi suara-suara alat musik dan tiruan dari musik
tradisi sehingga banyak lagu terkesan menjadi lagu Karo. Keyboard makin popular
tatkala biayanya lebih murah daripada memanggil seperangkat alat musik tradisi.
Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi
industri budaya, yakni standardisasi dan individualitas semu. Standardisasi
menjelaskan tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal
originalitas,

autentisitas,

ataupun

rangsangan

intelektual.

Standardisasi

menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa
antara satu dan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007: 73). Dengan
kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang
dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri.
Pengomodifikasian tersebut yang menghasilkan fetisisme komoditas nantinya. Hal
tersebut membuat, baik individu maupun masyarakat, salah alamat terhadap
pemujaan mereka atas musik pop.

Diskusi industri budaya semakin jelas memperpanjang rantai kuasa, baik


industri budaya maupun dominasi kapitalisme, sebagai bentuk paling mutakhir dari
sistem ekonomi kapitalisme. Jaringan modal kuasa melalui agen distribusi
menjadikan upacara gendang kematian distandardisasi dan masyarakat pemilik
atau pendukung budaya (konsumen) tidak menyadari bahwa mereka dalam
naungan dominasi kuasa kapitalisme. Dominasi kuasa kapitalisme tidak terasa
karena mengembangkan isu-isu industri hiburan, budaya populer yang disukai
masyarakat banyak, selera budaya massa, budaya populer dengan mengambil alih
kesadaran massa.

6.2.3 Faktor Media Elektronik


Media elektronik sebagai salah satu faktor eksternal terhadap perubahan
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi hanya dapat
menampilkan kenyataan dengan distorsi atau penyimpangan. Lebih jelas
Hamelink menguraikan kelihatan seolah-olah penampilan dan penyajian
langsung, tetap, life sesuai dengan kenyataan yang hidup, tetapi sebetulnya media
itu merupakan cermin-cermin yang retak. Kenyataan tercermin dalam media
hampir nyata dan asli, tetapi sebenarnya itu tidak asli lagi. Media menempatkan
diri di tengah-tengah penerima dan kenyataan. Media meregristrasikan keadaan
menurut pendekatan mereka dan meneruskan gambar-gambar pada penerima,
sehingga kenyataan hanya dirasakan secara tidak langsung (Alfian, 1986: 173).

Media elektronika dengan teknik perantaraannya mengembangkan suatu


visi khas terhadap kenyataan, yaitu televisi. Dalam visi ini fiksi dan nonfiksi
berbaur. Hanya sebagian dari kenyataan diseleksi, tetapi seleksi itu disajikan
sebagai kenyataan yang menyeluruh. Kenyataan dipotong-potong agar sesuai
dengan kaidah-kaidah siaran televisi yang baik. Serangkaian kaidah teknis dan
profesional mengendapkan kenyataan

dijadikan gambar yang bagus. Ini

membatasi peranan media elektronika dalam mengembangkan dan memerdekakan


manusia (proses emansipasi). Justru untuk proses emansipasi itu pengalaman
langsung dan pengamatan langsung terhadap kenyataan hidupnya sendiri mutlak
perlu. Hanya dengan mengalami dan mengamati secara langsung kita belajar
bahwa kenyataan dapat dipengaruhi dan diubah. Media elektronika mengacaukan
hubungan dengan dunia kehidupan langsung dan mengajak kita untuk
menyesuaikan diri kepada suatu kenyataan semu (Alfian, 1986: 173--174).
Apabila dicermati ungkapan tersebut di atas sangatlah tidak berbeda apa
yang disuguhkan oleh televisi kepada manusia, yang telah diformat dan direkayasa
sedemikan rupa sehingga merupakan sebuah realitas, padahal sebenarnnya dapat
disebut sebagai realitas semu. Demikian juga tidak ubahnya seperti televisi,
keyboard datang dan menggantikan gendang lima sedalanen yang sebenarnya
hanya merupakan pengimitasian atau peniruan dari spiritualitas tradisi yang
digiring ke spiritualitas modern.

Menurut Yusuf, sejak informasi dibuka lebar dan banyak stasiun televisi
swasta berdiri, televisi Indonesia terkena sindrom snobisme, terjebak dalam selera
pasar dengan mendasarkan pada rating acara. Rating itulah yang akan menentukan
nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah acara,
semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun
dengan harga yang tinggi. Kun Sri Bidiasih mengistilahkan kebiasaan pengelola
televisi ini sebagai perilaku pedagang. Ketika sebuah warung menjual menu
baru dan laris, maka warung yang lain akan ikut-ikutan menjual menu tersebut.
Akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik
mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin penonton (Yusuf, 2005: 83).
Perkembangan kebudayaan yang diakibatkan globalisasi telah menyentuh
sendi-sendi tradisi pada masyarakat Karo. Sebagai hasil dari potensi dan
perkembangan masyarakat penggunanya sendiri, seni musik tradisi dalam budaya
Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling banyak mendapat
pengaruh dari luar budaya Karo dalam hal ini adalah teknologi. Teknologi
merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk memenuhi
kebutuhannya.
Jika televisi dikaitkan dengan keyboard elektronik, sulit untuk dibedakan.
Televisi dapat mengemas berita-berita dengan kekuatan teknologinya, sedangkan
keyboard dapat mengesploitasi bunyi-bunyi yang menyerupai bunyi tradisi yang
khas yang semestinya sakral dengan ensambel musik tradisi gendang lima

sendalanen berubah menjadi bunyi profan akibat sebuah keyborad produksi


globalisasi (lihat gambar L.4.26).

BAB VII
MAKNA SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Upacara gendang kematian etnik Karo, sebagai suatu tradisi lisan, yaitu
tradisi yang diwariskan secara turun-temurun atau melalui generasi ke generasi
selalu bersinggungan dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu sejalan dengan
perkembangan wacana budaya. Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo,
yang lahir dari leluhur etnik Karo menyimpan berbagai makna tersembunyi yang
bisa ditelusuri melalui telaah kritis. Sesuai dengan teori dekonstruksi yang
dikemukakan Derrida, maka yang tersembunyi dalam sebuah realitas dapat
ditemukan dengan terlebih dahulu membuka selubungnya, kemudian melihat
isinya secara terpisah, membuang hubungan yang sudah ada dengan tujuan
menghapus prasangka yang menjadi sumber utama kesalahan. Untuk memahami
makna harus ada upaya menangguhkan atau menunda dulu sampai ada yang pantas
menyandangnya. Ketertundaan makna yang bergerak antara masa lalu dan masa
yang akan datang oleh Derrida disebut sebagai difference yang berarti gerakan
masa sekarang ke masa lalu dan masa mendatang (Sughiarta, 2012: 327--328).
Menurut Ratna (2007: 54), makna adalah apa yang ditandakan, yaitu fungsi
dan isinya. Makna adalah produksi teks, makna plural, jejak (trace), efek makna
itu. Upaya menemukan makna tidaklah sekadar mencari sebab, akibat tetapi

menurut Geertz adalah bagaimana makna budaya yang ditunjukkan masyarakat


bersangkutan dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia budayanya dan
bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Upaya menemukan makna tidak
berdasarkan kacamata ilmiah yang dimiliki, tetapi berdasarkan mata kepala
masyarakat setempat dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Secara sederhana kajian budaya dapat menganalisis objek apa saja sebab
kebudayaan adalah seluruh aktivitas manusia. Meskipun demikian, sesuai dengan
ciri-cirinya maka yang dianalisis adalah masalah yang terpinggirkan dan berada
pada struktur permukaan. Objek adalah perwujudan, perwakilan, pernyataan diri,
yang sekaligus membentuk suatu kesatuan sehingga menghasilkan makna. Makna
itu pun tidak final, tetapi selalu berubah-ubah sebab akan terus lahir wacana baru.
Menurut Derrida,

proses pemaknaan ini disebut sebagai decentering, praktik

pemaknaan, bukan makna itu sendiri. Makna bukan bendanya, makna melekat
pada materialnya, seperti gedung, lukisan, prasasti, dan sebagainya. Material inilah
yang dianalisis melalui konteks sosial tertentu secara posisionalitas. Analisis
seperti ini dengan sendirinya bukan analisis teks, tetapi dianalisis seperti teks
sesuai dengan pendapat bahwa seluruh kehidupan dalam teori kontemporer
diangap sebagai teks.
Makna tidak terkandung dalam objeknya, sebagaimana indah bukan
bendanya, tetapi nilainya. Proses pembacaan, penikmatan, pemahaman, tidak
membuka bungkus yang serta merta menunjukkan adanya pesan dan nilai tertentu.

Makna dihasilkan melalui proses interaksi antara objek dan subjek dalam hal ini
setiap unsur memberikan sumbangannya. Apabila objek dan penikmat merupakan
jaringan yang telah memiliki persamaan, proses interaksinya dipastikan akan
menghasilkan makna sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, apabila di antara
keduanya belum membentuk persamaan tersebut, maka proses pemahaman akan
terganggu, bahkan akan gagal sama sekali. Dalam hubungan inilah dikatakan
bahwa produksi makna merupakan aktivitas dinamis. Tidak ada makna tetap,
makna selalu berubah, dan dengan sendirinya selalu baru (Ratna, 2008: 127). Hal
ini didukung oleh Cappalaro bahwa pencarian makna terdiri atas sejumlah operasi
yang tak terhitung di mana manusia mencoba memahami dunia. Oleh karena itu,
pencarian tersebut sebenarnya tak berakhir sebab hanya akan berhenti jika rasa
ingin tahu yang sama diakhiri (Cappalaro, 2001: 10).

7.1 Makna Spiritualitas


Upacara gendang kematian memiliki potensi yang sangat signifikan dalam
kehidupan spiritual etnik Karo. Pemahaman yang mendalam terhadap aspirasi,
kekuatan, dan pandangan hidup dapat tercermin dari produk budaya lokal. Sebagai
sebuah tradisi lisan, upacara gendang kematian diyakini berasal dari ajaran
kepercayaan etnik Karo dan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan
kepercayaan dan agama pada etnik Karo, khususnya orang Karo yang tinggal di
dataran tinggi Sumatera Utara. Seluruh pola kehidupan masyarakat berasaskan

adat istiadat yang sebelumnya merujuk kepada kepercayaan pemena. Rujukan asas
kehidupan masyarakat inilah yang dituangkan ke dalam tradisi lisan upacara
gendang kematian yang perlu terus dijaga sehingga manusia mendapat
keselamatan dunia dan akhirat dengan tetap menjaga hubungan manusia dengan
sang pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Upacara gendang kematian merupakan penyaluran nilai-nilai spiritualitas, seperti
diungkapkan Njenap Ginting seperti berikut.
Upacara gendang kematian pada etnik Karo bersumber dari ajaran leluhur
Karo, yang sangat terkait dengan kosmologi manusia khususnya etnik
Karo. Sebelum kita mengenal agama yang kita yakini sekarang, agama kita
adalah agama nenek moyang kita yang diajarkan melalui generasi ke
generasi tanpa memiliki kitab wahyu. Hakikat spiritualitas kita bukan dari
apa yang kita ketahui akan tetapi dari apa yang kita perbuat. Kalimbubu
sebagai pemilik darah yang meninggal kita kenal sebagai representasi
Tuhan yang kelihatan kita hormati sepenuh jiwa dan raga kita, dan
bagaimana kita menghargai alam sekitar kita untuk mendukung upacara
tersebut. Demikian kita lakukan sebagai lingkaran yang berputar karena
masing-masing orang Karo mendapatkan posisi sebagai kalimbubu
(wawancara, 26 Desember 2012).
Ungkapan di atas memperlihatkan bahwa tradisi lisan upacara gendang
kematian mengintegrasikan nilai-nilai ajaran leluhur ke dalam aktivitas kultural,
menjadi petunjuk masyarakat dalam mengembangkan pola pola kehidupan yang
berlandaskan adat istiadat. Sebagai produk historis kultural masa lampau, upacara
gendang kematian memadu padankan nilai-nilai estetika dan kebenaran agama
sekarang yang ada didalamnya. Selanjutnya menurut Njenap Ginting sebagai
berikut.
Kalau saya melihat tidak ada pertentangan antara spiritualitas pemena
dengan agama yang kita yakini dan anut sekarang. Yang menjadi

perbedaan adalah agama sekarang terlalu mencampuri dan bahkan menolak


ajaran yang kita miliki sebelum kita memahaminya. Jika agama sekarang
tidak mengkafirkan unsur-unsur yang kita gunakan dalam tradisi kita
kususnya pada upacara gendang kematian etnik Karo tentunya tidak berada
dalam posisi ambivalen. Satu sisi kita mencintai tradisi kita, di sisi lain kita
membencinya. Upacara gendang kematian memiliki nilai-nilai kehidupan
dasar etnik Karo (wawancara, 26 Desember 2012).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa upacara gendang kematian
memiliki kekuatan dasar, yaitu kekutan spiritual, dimana pesan-pesan tersembunyi
yang bernilai luhur dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan
bermasyarakat. Menurut Piliang, pada dasarnya realitas bersifat spiritual karena
segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang berwujud spiritual pula. Realitas
merupakan perwujudan hasrat yang lebih tinggi, yang diarahkan pada sifat-sifat
ketuhanan. Sebaliknya, realitas sebagai perwujudan hasrat-hasrat rendah (nafs)
diangggap sebagai ilusi atau realitas palsu. Perwujudan nafs yang paling rendanh
adalah penghambaan pada materi. Nafs cenderung memaksakan hasrat-hasrat
dalam upaya memuaskan diri sendiri, dengan melanggar etika sekalipun.
Meskipun, dengan sifat homo homini lupus manusia, kepuasan itu tidak pernah ada
ujung pangkalnya. Manusia, sebagaimana digambarkan agama, terdiri dari tiga
unsure, yaitu roh, akal, dan jasad. Masing-masing dari tiga unsure itu diberi hak
sesuai dengan kebutuhannya. Nafs mengendalikan akal untuk memenuhi segala
kebutuhan jasad, hasrat-hasrat duniawi. Manusia lupa bahwa roh juga memerlukan
pemenuhan haknya, yaitu siraman rohani. Nilai-nilai spiritual dibenamkan dalam
roh mampu membentuk pribadi yang tidak hanya sekadar penghambaan materi,

tetapi membentuk pribadi yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan


kehidupan akhirat (Piliang, 2004: 186).
Spiritualitas

menawarkan pengekangan terhadap hasrat-hasrat rendah,

sebaliknya modernitas menawarkan pembebasan hasrat. Spiritualitas membentengi


diri dari hasrat-hasrat rendah, materialistis, dan hedonistik. Pengekangan ini oleh
banyak kalangan terutama kaum kapitalis, merintangi jalan untuk memberikan
kepuasan-kepuasan pada masyarakat dalam bentuk kesenangan semu dan
pemuasan nafs kekuasaan. Spiritualitas sebagai semen sosial antara manusia
dengan

penciptanya,

manusia

dengan

manusia,

dan

manusia

dengan

lingkungannya tidak lagi menampakkan geliatnya. Ikatan sosiokultural masyarakat


mengalami pergeseran, tidak lagi menampakkan hubungan harmonis antara satu
komunitas dengan komunitas lainnya. Masing-masing kelompok masyarakat sibuk
dengan urusan duniawi mereka sehingga berakibat pada terputusnya relasi dan
ikatan batin di antara masyarakat (Majid, 2010: 204--205).
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya sistem hubungan sosial
adalah faktor hubungan kekerabatan sangkep nggeluh.

Wujud dari hubungan

kekerabatan itu adalah emosi keyakinan yang merupakan yang merupakan getaran
jiwa yang pada suatu ketika dapat menghinggapi seseorang. Emosi keyakinan
itulah yang mendorong orang untuk berperilaku serba religious, artinya manusia
akhirnya sadar akan adanya gaib yang merupakan sumber kekuatan yang ada di
luar dirinya. Emosi keyakinan masyarakat Karo sangat kuat dalam menyikapi
berbagai bentuk persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat. Salah

satu wujud makna spiritualitas pada upacara gendang kematian yaitu upacara
perumah begu (Lihat, 6.2.1).
Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa, konsep spiritualitas
memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau
mengimplikasikan bentuk disiplin religious tertentu. Spiritualitas memang
memiliki konotasi religious dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki
seseorang mencerminkan hal-hal yang dianggapnya suci, yaitu yang memiliki
kepentingan yang paling mendasar. Tetapi, apa yang dianggap suci bisa saja
merupakan sesuatu yang duniawi, seperti kekuasaan dan kesuksesan. Ada spiritual
dalam diri setiap orang, meskipun bisa saja spiritulitas yang nihilistik dan
materialistik. Kondisi inilah yang terjadi dalam perkembangan pada era globalisasi
ini.
Upacara gendang kematian etnik Karo saat ini, memiliki spiritualitas
modern, yaitu spiritualitas yang mengarah pada kapitalisme dimana konsumerisme
telah menjadi bagian dari unsur-unsur yang ada pada upacara tersebut. Padahal,
semestinya harus ada keseimbangan antara spiritual dan materi. Seperti yang
dijelaskan Piliang, kepentingan mendasar spiritualisme adalah bagaimana
menjadikan individu memahami akan dirinya, antara agama dan materi.
Spiritulitas tidak boleh dijadikan untuk mengejar materi, yang dengan sendirinya
dapat membuka jalan untuk merebut kekuasaan. Agama sangat kaya dengan ajaran
keseimbangan yang dapat dijadikan titik tolak untuk membentuk pribadi yang
kuat, tahan terhadap terpaan dan arif dalam bertindak. Harus pula diciptakan

keseimbangan antara spiritual dan materi. Keseimbangan antara spiritual dan


materi berlandasakan pada pengekangan hasrat. Dalam dunia konsumerisme
kapitalisme global, masyarakat terus didorong untuk memenuhi siklus kehidupan
dan dorongan hasrat yang tidak ada akhirnya (Piliang, 2004: 307).
Terkait dengan ungkapan diatas bahwa spiritualitas

upacara gendang

kematian etnik Karo memiliki wajah budaya tradisi, saat ini berubah menjadi
wajah yang tidak diilhami dan disemangati oleh nilai-nilai tradisi yang ada. Hal ini
mengakibatkan hampir semua pilihan dan keputusan yang diambil terkesan sangat
kompromistis dan opurtunistik. Masyarakat terkesan tumbuh menjadi sosok
manusia yang tidak lagi mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil.
Penghambaan pada materi menjadi urutan teratas tidak saja pada sebuah upacara
kematian, tetapi juga dalam segala aktivitas kehidupan. Inilah, menurut
pengamatan penulis menjadi faktor pendorong terjadinya gaya hidup dimana
spiritualitas hanya dijadikan sebagai pemuasan hasrat rendah, yaitu materi. Dalam
tradisi

Karo

sangat

jelas

pembatasan

antara

pertua

agama

dan

budayawan/seniman. Namun keduanya sering disatukan untuk pemuasan hasrathasrat rendah dan dijadikan alat perpanjangan tangan melakukan kekuasaan
terhadap orang lain.
Menurut Majid (2010: 207), hubungan antara agama dan negara umumnya
dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu pertama, lebih berkaitan dengan dimensi
internal agama. Seberapa jauh agama menyediakan rancang bangun yang
mengatur seluruh tata kehidupan, termasuk antara relasi agama dan politik atau

agama dianggap wilayah privat, yang tidak ada kaitannya dengan urusan
penyelenggara Negara. Kedua, dimensi eksternal yang lebih berkaitan dengan
pemahaman penyelenggara Negara terhadap nilai-nilai agama. Apakah agama
dipahami sebagai wilayah yang tidak ada sangkut pautnya dengan Negara. Nilainilai agama seyogianya ditampilkan dalam prinsip-prinsip yang lebih universal,
dalam bentuk gerakan kultural yang dijabarkan dalam etika atau moralitas
terhadap penyelenggara agama.
Pernyataan diatas tidak sepenuhnya terjadi sehingga makna spiritualitas
konsumerisme kapitalis yang bermuara kristenisasi terjadi dalam upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi. Nilai-nilai luhur tradisi ditinggalkan
sebelum masyarakat pemilik memahaminya. Ini akibat dari derasnya arus
globalisasi yang menimpa nilai-nilai spiritualitas asli etnik Karo. Menurut Berry,
manusia perlu menemukan ekspresi yang bisa ditinjau melalui dua kepedulian
umat manusia yang saat ini teramati yaitu, kepedulian akan kelangsungan proses
kosmis di dalam alam dan kepedulian akan disiplin batiniah yang bersifat
tradisional. Berdasarkan kepedulian yang pertama, kita memahami bahwa kita
tidak dapat bertindak sesuka hati terhadap alam. Pada kepedulian yang kedua, kita
menyadari bahwa kita pun tidak dapat berbuat sesuka hati dalam berelasi dengan
kekuatan psikis dan spiritual dunia, melainkan harus menyatu dengan kekuatankekuatan itu (Berry, 2013: 3).
Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

tidak terlepas dari

hubungan manusia dengan sang pencipta, dimana manusia meninggalkan dunia

untuk menuju dunia yang baru, manusia dengan manusia, yaitu implementasi dari
sistem kekerabatan yang ada, dan manusia dengan alamnya, yakni unsur yang
digunakan dalam upacara gendang kematian sangat terkait dengan alam sekitarnya
seperti spiritual yang ada pada gendang lima sendalanen tidak semata-mata hanya
sebagai pengiring pada upacara tetapi lebih pada kaitannya dengan alam sekitar.
Hal ini ditegaskan oleh Berry, kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri
tanpa menyelamatkan dunia di mana kita hidup. Tidak ada dua dunia, dunia
manusia dan dunia bagi makhluk-makhluk lain. Hanya ada satu dunia. Sejalan
dengan mati hidupnya bumi, kehidupan manusia pun ditentukan sepenuhnya oleh
keberadaannya. Kita akan dipelihara secara spiritual oleh dunia ini atau kita akan
mengalami kelaparan spiritual. Tidak ada pengalaman perwahyuan lainnya bagi
manusia seperti pengalaman yang didapatnya dari alam (Berry, 2013: 113).
Sesuai dengan pernyataan di atas menurut Jekmen Sinulingga seperti berikut.
Sebelum etnik Karo mengenal tulisan kita belajar dari tradisi lisan yang ada
seperti tindakan-tindakan yang kita lakukan ketika melakukan sebuah
upacara. Bambu yang digunakan untuk mengankat mayat ke kuburan
setelah upacara itu diampbil dari bambu yang berada di tepi jurang di desa.
Bambu itu dianggap sebagai tempat keramat sehingga orang Karo
menghormati dan memeliharanya (Wawancara, 20 Desember 2013).
Hal senada diucapkan oleh Kebun Tarigan tentang gendang lima sendalanen
sebagai berikut.
Semua unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sendalanen adalah
menunjukkan bagiamana orang Karo itu menghargai alam sekitarnya. Mulai
dari materi instrumen sampai bunyi yang dihasilkannya sangat terkait
dengan spiritualitas pandangan hidup orang Karo. Akan tetapi semua
keterhubungan ini tergerus dengan musik modern seperti keybard dan
ensambel tiup. Tentu saja hal ini membunuh nilai-nilai tradisi yang ada

pada etnik Karo. Semua ini tidak terlepas dari pengesahan atau legitimasi
dari agama yang dianut orang Karo saat ini (Wawancara 11 Mei 2012).
Penguasa dan pengusaha hendaknya bercermin pada nilai-nilai agama yang
dianutnya. Bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai substansial yang dapat
dijadikan sebagai pegangan dalam urusan penyelenggara Negara, yaitu nilai-nilai
keadilan, persamaan, musyawarah, dan persaudaraan. Pemahaman atas nilai-nilai
agama ini tidak terwujud dalam implementasi kebijakan yang ditetapkan
pemerintah, terutama nilai-nilai keadilan yang sudah amat langka dirasakan oleh
masyarakat tradisi. Disini, agama hadir ketika pelembagaan agama diikuti oleh
kepentingan diuar dirinya. Agama terjebak sebagai instrumen kepentingan, baik
kepentingan yang mengatasnamakan suara Tuhan sebagai suara kekuasaan,
maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai alat
legitimasi (Majid, 2010: 207).
Upacara gendang kematian bermakna spiritualitas, perasaan kebatinan
yang mendalam dan emosi budaya bertujuan untuk mendidik diri dan keluarga
untuk hidup bersih dan sederhana patuh dalam menjalankan nilai-nilai tradisi.
Spiritual modern mengalami perubahan bentuk yang nihilistik dan materialistik.
Hidup sederhana berubah menjadi konsumtif dan hedonistik. Hidup bersih menjadi
kotor, dalam arti tidak lagi memenuhi kriteria seperti pribahasa Karo adi idahndu
duri i dalin, buat tutung janahndu erlambuk (jika nampak duri di jalan, ambil dan
bakar ketika memasak). Hal ini diperparah lagi dengan campur tangan penguasa
dengan berbagai kebijakan yang dihasilkan kadang tidak memihak kepada rakyat

dan memenuhi rasa keadilan. Kapitalisme global juga memiliki andil yamg besar
terhadap pergeseran makna spiritualitas. Kapitalisme global menghendaki
universalitas dalam segala aspek kehidupan.
Spiritualitas tradisi dapat membawa manusia kembali kepada hal-hal yang
fundamental. Kita mungkin tidak perlu khawatir mengenai kelangsungan tradisitradisi ini dalam bentuk formalitas dasar, tetapi fundamentalisme mengandung
aspek positif, selain tentu memiliki juga di dalamnya aspek-aspek yang kurang kita
harapkan (Berry, 2013: 6).
Terkait dengan ungkapan di atas, sebagai sebuah tradisi lisan dan bagian
dari kearifan lokal etnik Karo, upacara gendang kematian memiliki makna
spiritualitas yang mendalam, yang berpengaruh dalam segala tata kehidupan.
Namun, tradisi lisan ini tengah berjuang untuk mempertahankan eksistensinya agar
dipahami dan diterima oleh etnik Karo. Kapitalisme global mampu merontokkan
sendi-sendi tradisi dan kearifan lokal masyarakat, yang merupakan bukti historis
kreativitas leluhur etnik Karo pada masa lalu. Upacara gendang kematian
merupakan bagian dari budaya, sementara budaya membentuk sejarah. Masyarakat
merupakan bagian dari proses sejarah dalam periode tertentu. Tradisi lisan upacara
gendang kematian etnik Karo, memiliki spiritualitas yang sangat berkaitan dengan
norma-norma dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang mengalami
dinamika seiring dengan perkembangan zaman.
Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan bagian dari
kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai sebuah

tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya mengungkap
makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik Karo dapat
ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca tanda zaman dan
dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang dihasilkannya
bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo merepresentasikan
spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya. Secara umum, ada tiga
pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang, wujud dan faktor-faktor
yang mempengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi

yang

menyangkut

nilai-nilai

dasar

atau

filosofi

kehidupan

masyarakatnya, yakni makna spiritualitas pramodern, modern, dan postmodern.


Makna-makna yang tercantum di atas diuraikan seperti berikut ini.

7.1.1

Makna Spiritualitas Pramodern


Seni berurusan dengan spiritualitas, baik secara rasio maupun secara

pengalaman. Nilai dan makna ada diwilayah kosong dari benua ketidaksadaran
manusia yang belum terpetakan. Seni mengandung spiritualitas yang ditangkap
seniman dalam wujud-wujud analogi, karena yang tak ada itu sulit dirumuskan
dalam ada (budaya). Seniman memperkaya kebudayaan. Dalam seni modern
simbol-simbol seni mengacu pada konsep[ dan pengalaman budaya. Dalam seni
pramodern bukan sekedar konsep dan pengalaman, tetapi wujud kehadiran yang
spiritual. Yang spiritual itu realitas transenden dari wilayah kosong. Ia hanya

terasa ada dan hadir dalam simbol-simbolnya saja. Simbol itu sendiri adalah
realitas transenden. Tidak dengan sendirinya artefak-artefak seni yang merupakan
realitas transenden itu hadir dalam dunia manusia. Kehadirannya hanya terjadi
dalam peristiwa ritual dalam ruang dan waktu kesekarangan alias keabadian.
Di luar itu daya-daya transendennya tidak bekerja. Diluar upacara benda-benda
seni itu hanya berstatus pada profan biasa (Sumardjo 2006: 93).
Terkait dengan hal di atas, pada upacara gendang kematian etnik Karo
memiliki unsur seni yang sangat penting yaitu seni musik. Menurut Nakagawa,
musik adalah objek dan objek adalah tanda, yang diinterpretasi untuk menemukan
makna-makna dan harus disadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat. Musik
dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Ketika pertama kali
mengenal musik, biasanya kita mengamati akustiknya, seperti melodi (lagu),
ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain. Dalam hal ini kita
mengamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi etnomusikologi hal
demikian tidak cukup, tetapi kita harus menghubungkan dengan masalah
kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu dipelihara
dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan utama peneliti,
tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsur-unsur
kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya seni-seni yang lain
(Nakagawa, 2000: 6).
Selanjutnya

Marriam

mengungkapkan bahwa

salah satu

wilayah

penyelidikan yang menjadi perhatian etnomusikologi adalah budaya material

musik. Wilayah ini meliputi studi tentang instrumen musik yang disusun oleh
peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, idiofon, membranofon, aerofon,
dan chordofon. Di samping itu, tiap instrumen harus diukur, dideskripsi, dan
digambar dengan skala atau difoto, prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang
digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, termasuk nada-nada
yang dihasilkan. Di samping masalah-masalah analitis yang dapat menjadi sasaran
penelitian dengan beberapa pertanyaan, seperti (1) adakah konsep untuk
memperlakukan secara khusus instrumen-instrumen musik tertentu di dalam suatu
masyarakat, (2) adakah yang dikeramatkan, (3) adakah instrumen-instrumen yang
melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial lain, (4) apakah instrumeninstrumen tertentu merupakan pertanda dari pesan-pesan tertentu pada masyarakat
luas, dan (5) apakah suara-suara atau bentuk-bentuk instrumen tertentu
berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara,
atau tanda-tanda tertentu (Merriam, 1995: 100).
Gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian merujuk pada
karya seni musik, tradisi, dan religi pada etnik Karo. Selain itu, gendang lima
sendalanen dapat memanifestasikan etos suatu masyarakat mengenai nada, watak,
mutu hidup, gaya, estetis, dan pandangan hidup. Dengan demikian, dapat disebut
sebagai salah satu simbol yang terdapat pada upacara gendang kematian. Menurut
Dharmojo (2005: 119), makna simbol bebas dan terbuka bergantung pada aspekaspek tempat simbol bersemayam. Menurut Adlin, bagi masyarakat tradisional,
perlakuan terhadap objek visual, mulai dari proses penciptaan sampai

penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan, bahkan diatur. Hal ini penting


karena mereka menyadari bahwa objek visual tersebut memiliki nilai-nilai luhur
yang masih perlu dijunjung tinggi (Adlin, 2007: 148).
Gendang lima sendalanaen pada etnik Karo seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa awalnya gendang telu sendalanen lima sada perarih. Menurut
Amat Depari, sebelum tahun 70-an ketika ada sebuah upacara yang dilakukan,
terutama upacara gendang kematian pada sebuah tempat atau desa, maka pemain
musik yang datang ke tempat upacara tersebut hanya tiga orang, yakni penarune
(pemain sarune), singindungi (pemain gendang indung), dan singanaki (pemain
gendang anak), sedangakan pemalu penganak (pemain penganak) dan pemalu
gung (pemain gung) berasal dari tempat di mana upacara tersebut berlangsung.
Selanjutnya dalam penelitian ini disebut gendang lima sendalanen meskipun akan
diuraikan tentang gendang telu sendalanen lima sada perarih oleh karena gendang
lima sendalanen telah diakui dan diseminarkan dalam kongres kebudayaan Karo
pada tahun 1965 dan lazim dikenal masyarakat Karo pada saat ini (Lihat 5.2).
Terkait dengan istilah organologi dalam tradisi musik Barat, gendang lima
sendalanen dikenal sebagai ensambel musik yang terdiri

atas lima jumlah

instrumen musik, yaitu sarune termasuk dalam klasifikasi (aerofon), yaitu bunyi
dihasilkan dari udara/angin, gendang indung dan gendang anak (membranofon),
yaitu bunyi dihasilkan dari kulit, sedangkan gung dan penganak (idiofon), yaitu
menghasilkan bunyi melalui alat itu sendiri. Namun sering juga disebut dengan
gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu dua, yaitu angka dua belas untuk

hitung-hitungan perangkat yang digunakan seluruhnya, termasuk stik atau alat


memukul instrumen musik tersebut. Masyarakat Karo mengenal pemain musik
dengan istilah sierjabaten atau penggual yang berfungsi sebagai pengiring musik
dalam upacara yang ada pada etnik Karo (lihat gambar, L.4.22)
Di dalam spiritualitas pramodern, upacara gendang kematian etnik Karo
terdapat tanda-tanda identitas Karo dalam memproduksi makna yang dapat di
interpretasi, antara lain dari penanda (signifier) gendang lima sedalanen sebagai
tanda (semiotik), yang mempunyai petanda (signified) untuk menjelaskan konsep
atau makna. Produksi makna di sini adalah proses makna lapis kedua yang bersifat
implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (Piliang, 2004: 90). Makna
konotasi diperoleh berdasarkan latar budaya pemberi konotasi.
Sebelum tahun 1945, sierjabaten atau pemain musik dalam upacara
gendang kematian benar-benar bersatu dengan unsur lain yang ada pada upacara
tersebut. Para sierjabaten (pemain musik) diakui memiliki kemampuan yang lebih
dari manusia biasa. Namun, dalam upacara gendang kematian jasa mereka tidak
diukur dari uang. Mereka hanya diberikan simulih sumpit atau pukulan untuk
orang sakit (sesajen) berupa beras, telur ayam, sirih, rokok, garam dalam satu
wadah yang disebut sumpit. Syarat itu juga dilakukan karena dianggap bahwa
mereka akan lama sampai di tempat tinggal dan itu sebagai bekal di perjalanan.
Mereka adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dengan sistem kekerabatan yang
ada di masyarakat Karo. Dalam upacara gendang kematian wadah sistem
kekerabatan ini semua berlaku.

Berdasarkan uraian di atas menurut Kebun Tarigan (85), salah seorang


penarune senior bahwa ensambel gendang lima sendalanen pada etnik Karo tidak
bisa terlepas dari sistem kekerabatan atau sistem adat istiadat yang ada. Gendang
lima sendalanen yang awalnya dikenal dengan gendang telu sendalanen lima sada
perarih mewakili merga silima dan telu sendalanen menerangkan ikatan yang tiga
atau rakut sitelu. Bilang-bilang (bilangan) sangat dijunjung tinggi oleh nenek
moyang orang Karo. Jadi, telu (tiga) dengan lima (lima) akan menjadi waluh
(delapan) yang kemudian disebut tutur siwaluh. Unsur keseluruhan yang
digunakan dalam ensambel gendang lima sendalanen terdiri atas sepuluh sada
tambah sada yang berarti berjumlah dua belas perangkat termasuk pemukul (stick)
yang digunakan dalam ensambel tersebut. Tambahan unsur dari lima instrumen di
atas adalah dua pemukul gendang singindungi, dua pemukul gendang singanaki,
satu pemukul penganak satu pemukul gung, dan satu gantungan gung. Inilah yang
kemudian disebut sebagai perkade-kaden sepulusada tambah sada. Sangkep
nggeluh (Lihat 4.1.4), sebagai sistem kekerabatan terwakili oleh ensambel
gendang lima sendalanen yang semuanya harus hadir dalam upacara gendang
kematian (wawancara, 10 Juni 2012).
Pernyataan di atas ditegaskan oleh Adlin, bahwa objek visual (simbol),
seakan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi manusia, terutama untuk
memperjelas keunikan atau identitas dirinya di tengah-tengah komunitas
masyarakat yang lebih luas lagi. Hal ini memiliki makna terhadap proses
penciptaan objek visual itu sendiri. Pesan spiritualitas dan kontekstualitas berperan

untuk membantu menegaskan sekaligus mengangkat nilai-nilai yang tersisip, yang


mungkin adiluhung di balik visualisasi objek. Namun, masyarakat pula yang
menggiring nilai-nilai tersebut agar dapat dipermainkan dan dipertukarkan
sehingga memiliki nilai yang lain dan berbeda dengan nilai-nilai orisinalnya.
Akhirnya, kembali kepada individu dan masyarakat lagi yang menilai apakah akan
mempertahankan nilai-nilai objek yang orisinal dan mungkin adiluhung atau
memang membiarkannya bermain dan diombang-ambingkan di tengah
kubangan persepsi masyarakat modern (Adlin, 2007: 151).
Ensambel gendang lima sendalanen seperti yang sudah disebutkan dalam
wujud (lihat 5.2) terdiri atas lima jenis instrumen musik. Surune adalah salah satu
instrumen dalam ensambel ini yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Sarune
merupakan alat tiup yang memiliki lidah ganda (double reed aerophone). Tabung
alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe).
Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Insrumen ini terdiri atas lima bagian alat yang
dapat dipisah-pisahkan dan terbuat dari bahan yang berbeda. Gambar 7.1
menunjukkan, yaitu (1) dilah-dilah atau anak sarune (reeds) terbuat dari dua helai
kecil daun kelapa hijau yang dikeringkan. Kedua helai daun kelapa itu diikatkan
pada katir (pipa kecil yang terbuat dari perak) sebagai penghubung anak-anak
sarune kepada bagian tongkeh; (2) ampang-ampang, yakni sebuah lempengan
berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning (tenggiling) diletakkan di
tengah tongkeh. Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain
sarune ketika sedang meniup alat tersebut; (3) tongkeh terbuat dari timah,

bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung anak-anak


sarune kepada bagian berikutnya; (4) kerahong atau batang sarune terbuat dari
kayu selantam. Kayu tersebut harus dibentuk agar bentuknya menjadi konis dan
bagian dalamnya juga dilubangi agar bentuknya menjadi konis. Pada batang
sarune inilah terdapat lubang-lubang sebanyak delapan buah; (5) gundal juga
terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini
merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune.

Gambar 7.1
Dilah-dilah, ampang-ampang, tongkeh, kerahung, dan gundal bagian-bagian yang
terdapat pada instrumen sarune dalam gendang lima sendalanen
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah-dilah
sarune tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang

tumbuhnya di permukaan yang tinggi, bebas di sinar matahari dan tiupan angin. Di
samping daun kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut
dipercaya masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional.
Bahkan, ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya
menggunakan air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar
penjelasan di atas, diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan
oleh masyarakat Karo di luar dari kepentingan alat musiknya.
Selanjutnya menurut Tarigan, ampang-ampang dalam instrumen musik
sarene jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Karo merupakan pembatas
atau pembeda merga-merga yang ada. Pada zaman dahulu tiap-tiap orang Karo
mempunyai kesain batas-batas, baik tempat tinggal, perladangan, maupun
persawahan. Batas-batas inilah kemudian ditafsir sebagai ampang-ampang pada
instrumen sarune.
Pernyataan di atas didukung oleh seorang etnomusikolog Shin Nakagawa
dari Jepang yang mengungkapkan bahwa Ilmu etnomusikologi pada mulanya
berupa kegiatan meneliti nada-nada dan alat-alat musik bangsa lain. Kemudian
berkembang menjadi mencari hubungan antar musik dan manusia dalam
kebudayaan dengan menggunakan hasil penelitian antropologi. Proses ini disebut
perubahan perspektif, yaitu perubahan dari etnosentrisme menjadi etnorelativisme
(Nakagawa, 2000: 4).

Tongkeh sarune adalah unsur yang terbuat dari timah. Menurut Jekmen
Sinulingga, masyarakat Karo sudah mengenal timah sejak dahulu. Hal ini terwujud
dari bagaimana masyarakat Karo ketika memberikan kata penghiburan kepada
sukut yang meninggal dunia dalam upacara kematian, dengan kuan-kuan
(peribahsa) sebagai berikut, gia nggo lawes orang tuanta nadingken kita tetaplah
kam kerina bagi timah sada tinuang, (meskipun orang yang dikasihi telah
meninggalkan kita untuk selama-lamanya, tetap kita seperti timah tuangan yang
bersatu yang takkan dapat diceraikan oleh apa pun) (Wawancara, 11 Juni 2012).
Dari ungkapan di atas diketahui bahwa sesuai dengan letak tongkeh pada
instrumen sarune adalah sebagai bagian tengah untuk menghasilkan bunyi dan
sebagai penyambung dilah dengan kerahung pada instrumen tersebut.
Kerahung dan batang sarune terbuat dari pohon selantam. Pohon selantam
dikenal pada masyarakat Karo sebagai jenis tanaman perdu dan daunnya termasuk
salah satu yang disebut bulung-bulung simelias gelar (daun-daun yang baik untuk
obat-obatan). Bagian inilah yang dilubangi untuk menghasilkan perbedaan nada
antara satu dan yang lain dalam melodi. Dalam proses melubangi menurut Kebun
Tarigan, ada mang-mang (mantra) yang harus dilakukan. Jumlah delapan lubang
pada kerahong/batang sarune dan setiap lubang terkait dengan tutur siwaluh yang
terdapat pada sangkep nggeluh masyarakat Karo. Proses melubangi memakan
waktu yang tidak bisa ditentukan dengan pasti. Karena dari kedelapan lubang yang
ada pada batang sarune mewakili salah satu kerabat yang meninggal pada tutur

siwaluh karena sarune yang digunakan pada upacara gendang kematian adalah
sarune yang sama (Lihat, 4.1.4). Di samping dijadikan sebagai sarune dalam
tradisi musik Karo, selantam biasanya tumbuh dan ditanam oleh orang Karo di
pembatas-pembatas perladangan dengan jurang untuk menahan jatuhnya jurang
dan sekaligus menjadi pagar. Selantam adalah pohon yang tidak mengganggu
tanaman-tanaman yang lain yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari oleh
manusia (wawancara, 10 Juni 2012).
Berdasarkan uraian di atas Krader mengungkapkan bahwa etnomusikologi
mencoba meletakkan kembali kenyataan-kenyataan dari musik di dalam konteks
sosiokultuaralnya, menempatkan musik itu ke dalam pikiran, kegiatan-kegiatan,
dan struktur-struktur sebuah kelompok manusia. Di samping itu, juga memperjelas
pengaruh timbal balik antara satu dan yang lain. Etnomusikologi membandingkan
fakta-fakta ini satu dengan yang lain melalui sejumlah kelompok individu yang
mempunyai kesamaan atau perbedaan tingkat kultural dan lingkungan teknisnya
(Krader, 1995: 3). Kenyataan ini sangat erat terkait dengan bagian-bagian sarune
yang merupakan sebuah simbol yang dapat dimakanai satu dengan yang lain.
Gundal pada instrumen sarune juga terbuat dari bahan pohon selantam.
Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa instrumen sarune terdiri atas lima
unsur pada bagian-bagiannya. Bentuk gundal dalam sarunai menunjukkan bahwa
segala sesuatu perlu di-momo-kan atau diumumkan. Gundal adalah unsur yang
menentukan besar kecilnya bunyi yang dihasilkan oleh sarune. Menurut Kebun

Tarigan, gundal berfungsi sebagai corong (bell). Demikian juga dalam sistem
kemasyarakatan yang disebut merga silima sudah ditentukan merga yang
memberikan kabar (berita) kepada merga-merga yang lain yang tinggal di
daerahnya (Lihat 4.1.3).
Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik
pukul yang memiliki membran terbuat dari kulit pada kedua sisi alat musik yang
berbentuk konis (double head conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang
dipukul disebut babah gendang, sedangkan sisi belakang/bawah (tidak dipukul)
disebut pantil gendang. Perbedaannya, pada gendang singanaki terdapat lagi
(diikatkan) sebuah gendang mini, yang disebut gerantung, sedangkan pada
gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi
naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki
tidak bisa naik turun.
Badan kedua alat musik ini, terbuat dari pohon tualang. Lobang atau
rongga bagian dalam dibentuk mengikiuti konstruksi bagian luar alat-alat musik
tersebut. Kulit direntangkan pada kedua sisi muka (head drum). Kulit tersebut
berasal kulit napuh, sejenis kancil yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan
diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali
yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang dililitkan pada seluruh badan gendang
tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit/membran gendang. Tiap-tiap
gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick).

Gambar 7.2
Gendang singindungi dan gendang singanaki yang digunakan pada upacara
gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar 7.2 menunjukkan bahwa bagian-bagian gendang singanaki dan
gendang singindungi sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis
akustiknya. Bagian-bagian gendang adalah (1) tutup gendang dan pantil gendang,
yaitu bagian atas dan bagian bawah yang mengelilingi babah gendang (membran
gendang). Tutup gendang terbuat dari bambu, yang kemudian dilapisi dengan kulit
napuh (sejenis kancil), (2) babah gendang (membran gendang) ini juga terbuat
dari bambu yang sebelumnya telah dilapisi kulit napuh (kancil). Bagian babah
gendang inilah yang dipukul dengan stik sehingga menghasilkan pola ritme, baik
gendang singanaki maupun gendang singindungi, (3) kula gendang (badan
gendang) terbuat dari kayu tualang sekarang digunakan kayu nangka, (4) tali
gendang (selanjutnya disebut dengan tarik gendang) terbuat dari kulit sapi yang

berumur tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Tarik gendang melintasi
sekeliling kedua tutup (atas dan bawah) secara vertikal terhadap panjang babah
melalui sepuluh lubang tali pada setiap tutup (posisi tali pada lubang tali
hubungannya dengan bingke dan pinggir kulit tampak atas, samping, dan belah
simetris vertikal). Selain itu menelusuri sekujur baluh dengan pola jelujur yang
membentuk huruf V yang saling bersambungan. Fungsi tarik gendang ini sebagai
perangkat pengatur mekanis, (5) alat pukul gendang (stik) terbuat dari kayu jeruk
purut. Alat pukul gendang singanaki keduanya sama panjang, besar, dan
bentuknya. Di pihak lain alat pukul gendang sngindungi keduanya berbeda besar
dan bentuknya. Gerantung/garantung, yaitu gendang kecil yang berada pada sisi
gendang singanaki. Secara konstruksi, seluruh bagian dan bahan pembuatannya
tidak berbeda, baik dengan gendang singindungi maupun gendang singanaki.
Perbedaan terjadi hanya pada ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan
gendang.
Dari uraian di atas diketahui bahwa gendang pada etnik Karo juga terdiri
atas lima bagian yang berbeda-beda. Disetiap bagian menunjukkan bahwa
masyarakat Karo pada dasarnya sangat dekat dengan kosmologinya. Dari
kosmologi inilah kemudian dapat diwujudkan spiritualitas masyarakat itu sendiri.
Napuh, bambu, tualang, lembu, dan jeruk purut merupakan sebuah simbol yang
dimaknai sebagai representasi spiritualitas pramodern etnik Karo terhadap ibu
pertiwi atau alam lingkungannya. Berikut ini ditelaah makna-makna yang terdapat
pada gendang singindungi dan gendang singanaki.

Tutup gendang dan pantil gendang terbuat dari kulit napuh. Napuh
merupakan salah satu jenis binatang menyerupai binatang kancil. Menurut
Sorensen Tarigan, sudah banyak sekali kulit binatang dicoba untuk digunakan
dalam instrumen baik gendang singindungi maupun gendang singanaki. Akan
tetapi, semua kulit ini, misalnya kambing, sapi, dan rusa, suara yang dihasilkan
tidak sesuai seperti kulit napuh. Di samping itu, etnik Karo mempunyai jenis
makanan khas yang disebut dengan terites. Terites adalah sejenis makanan yang
bahan dasarnya secara kasar adalah makanan lembu atau kambing yang telah
berada dalam ususnya. Terites atau sebagian masyarakat lain lebih mengenalnya
dengan sebutan pagit-pagit merupakan salah satu makanan yang menurut suku lain
adalah hal yang aneh dan mungkin menjijikkan. Terites tersebut diambil dari
lambung kedua sapi (lembu dalam masyarakat Karo) atau kambing dalam istilah
biologinya dikenal dengan istilah rumen, tetapi orang Karo menyebutnya tuka si
peduaken (usus nomor dua). Kata pagit-pagit berarti yang pahit-pahit adalah
padanan kata yang paling cocok. Mengapa masyarakat Karo mengambil sumber
terites dari lembu ataupun kambing karena sulit sekali untuk mendapatkan napuh.
Sebenarnya napuh-lah yang paling enak dibandingkan dengan hewan yang lain
(Wawancara, 05 Mei 2012).
Informasi lain tentang binatang ini, diperoleh dari Kebun Tarigan. Menurut
Kebun Tarigan,

lemaknya sangat

baik

untuk menyembuhkan penyakit

keseleo/patah tulang. Lemak binatang yang paling baik untuk penyakit jenis ini
adalah dari binatang napuh. Kulitnya dijadikan sebagai penutup, baik gendang

singindungi maupun gendang singanaki dengan cara membungkus babah gendang


yang terbuat dari bambu. Bambu ini kemudian dibalut dengan kulit napuh
sehingga menjadi bentuk lingkaran dan disebut babah gendang dan pantil gendang
(Wawancara, 11 Mei 2012).
Etnik

Karo menyebut bambu dengan istilah buluh. Etnik Karo

menggunakan buluh dari lantai hingga atap rumahnya, dari perabot di dapur
seperti ukat (sendok mengambil nasi), ingan beltu-beltu (tempat mengeringkan
ikan), ndiru (alat pengayak beras), dan sebagainya. Menurut Joker Barus salah satu
guru (dukun) di lokasi penelitian mengungkapkan seperti di bawah ini.
adi la lit buluh, labo lit kalak Karo. Sebab buluh e me i bere Dibata jadi
sinampati ibas kegeluhenta. Adi nai bagi si kubahan enda tamandu ije
pangan sada tahun nari nendu entah ipandu seri denga nanmna. Tapi
ibahan nge mang-mang ibas buluh enda salu tulisen aksara Karo.
(Jika tidak ada bambu, orang Karo juga tidak ada. Bambu diberikan yang
punya kehidupan yang membantu manusia Karo dalam segala hal. Kalau
dulu, makanan bisa disimpan selama setahun, ketika dimakan masih sama
rasanya dengan setahun yang lalu. Satu-satunya alat yang bisa menyimpan
itu adalah bambu yang telah dengan ucapan khusus dan menulis dengan
aksara Karo
Apabila dicermati ungkapan tersebut, dalam kehidupan masyarakat
pedesaan khususnya lokasi penelitan spiritualitas upacara gendang kematian
bambu memegang peranan yang sangat penting. Bambu dikenal oleh masyarakat
Karo memiliki sifat-sifat yang luar biasa dan sangat berguna untuk kehidupan
sehari-hari. Bambu juga disimbolkan sebagai sebuah siklus hidup orang Karo,
contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluarlah rebung. Batang bambu muda dapat
dijadikan makanan khas, yaitu tubis. Selain itu, batang bambu juga dapat

digunakan sebagai bahan bangunan, bahan baku kerajinan tangan, dan yang utama
adalah dijadikan sebagai alat musik. Bambu memiliki makna mendalam. Di
seluruh Nusantara bambu digunakan sebagai alat musik mereka, seperti kolintang,
angklung, gambang, keteng-keteng, dan sebagainya. Kenyataan di atas
menunjukkan bahwa babah gendang dibuat dari bambu yang sebelumnya dilapis
kulit napuh kemudian disatukan dengan kula gendang (badan gendang) yang
berasal dari pohon tualang.
Tualang adalah jenis kayu besar dan tinggi yang hidup di hutan. Sebelum
seniman Karo menggunakan pohon nangka sebagai salah satu unsur dalam
gendang singindungi dan gendang singanaki, tualang-lah yang digunakan.
Kepercayaan masyarakat Karo terhadap kayu ini sangat banyak dari sisi
kekuatannya. Menurut Njenap Ginting, ketika masyarakat Karo membangun
sebuah rumah siwaluh jabu (rumah adat) tualang digunakan sebagai pusat
kebertahanan rumah yang disebut tekang. Tekang adalah kekuatan dalam sebuah
bangunan. Untuk dijadikan tekang dalam membangun rumah

tidak dapat

digunakan selain tualang. Di atas pohon tulang yang tinggi selalu ada tawon yang
bermadu dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Ada sebuah mitos yang dipercaya masyarakat Karo terkait dengan tualang,
yang dikenal masyarakat dengan cerita tualang simande angin. Alkisah, ada
seorang pemuda yang bernama Pawang Ternalem mencintai seorang putri raja
yang bernama Beru Patimar. Syarat untuk mempersunting dirinya adalah dengan
memanjat sebuah pohon tualang yang penuh dengan tawon/lebah yang berbisa dan

harus memberikan madu tawon yang diambil dari tualang tersebut kepaba Beru
Patimar. Sudah puluhan pemuda menjadi korban meninggal oleh karena jatuh.
Pawang Ternalem adalah seorang anak yatim piatu yang datang ke tempat
tersebut. Tempat berdirinya tualang itu disebuah desa yang disebut Desa Jenggi
Kumawar. Jenggi Kumawar letaknya di daerah hilir (dataran rendah) Tanah Karo.
Pawang Ternalem datang dari daerah tinggi Karo yang disebut Karo Gugung.
Ketika hari pagi yang disebut orang Karo tekuak manuk sekali, masyarakat Jenggi
Kumawar mendengar suara musik surdam dari atas tualang simande angin. Beru
Patimar juga mendengar bunyi surdam tersebut. Keluarlah Beru Patimar siapa
gerangan yang sudah dapat memanjat pohon tualang simande angin. Alangkah
terkejutnya dia ketika menyaksikan apa yang ada di depannya. Dia melihat
seorang pemuda desa dan sama sekali tidak sesuai seperti apa yang diharapkannya.
Namun, akibat persyaratan yang diminta telah terpenuhi dia harus menerima
pemuda ini menjadi suaminya. Di bawah pohon tersebut ada sebuah kolam dan di
kolam itulah kemudian Pawang Ternalem mandi. Begitu selesai mandi Beru
Patimar sangat terkejut, melihat ketampanan pemuda tersebut. (Wawancara, 27
Desember 2012).
Hingga kini etnik Karo masih sering mendengar turi-turin atau mitos
tualang simande angin. Etnik Karo percaya bahwa air yang berdekatan dengan
tualang juga mempunyai kekuatan untuk mengobati penyakit. Sejak saat itulah
tualang kemudian dijadikan badan (kula) gendang singindungi dan gendang
singanaki pada ensambel musik Karo, yaitu gendang lima sendalanen. Tualang

yang dijadikan kula gendang (badan gendang) dikelilingi oleh kulit lembu (sapi)
yang disebut dalam gendang dengan sebutan tarik.
Tarik berbentuk tali untuk menarik tutup gendang dengan pantil gendang.
Tarik diambil dari kulit seekor lembu untuk dijadikan keseimbangan suara
gendang singindungi dan gendang singanaki. Lembu merupakan salah satu hewan
peliharaan yang yang dapat membantu kehidupan manusia khususnya masyarakat
Karo. Di samping daging dan kotorannya masih banyak hal dalam dirinya yang
dapat membantu kebaikan manusia. Zaman pramodern setiap merga di Karo
mempunyai rumah adat sendiri beserta sangkep nggeluh-nya. Ketika membangun
rumah adat yang disebut siwaluh jabu atau delapan keluarga dalam satu rumah,
lembu dimanfaatkan untuk menarik balok (kayu) besar menuju kampung. Di
samping itu, masyarakat Karo mempunyai keturunan yang banyak, baik untuk
mengelola pertanian maupun persawahan, lembu merupakan pembantu yang
paling utama dalam menggarapnya.
Menurut Sorensen Tarigan, semua materi yang digunakan, baik dalam
gendang singindungi maupun gendang singanaki, sangat dekat hubungannya
dengan orang Karo. Hal ini bisa dibuktikan pada kerja sintua (upacara besar) di
masyarakat Karo bahwa memotong lembu adalah sebuah kebanggaan pada orang
pemilik kerja tersebut. Itu yang menyebabkan tarik dalam gendang pun tidak
boleh diambil dari hewan lain. Silengguri (spirit) bunyi gendang akan berbeda jika
diganti (Wawancara, 26 Desember 2012).

Demikian juga dengan palu-palu gendang, tidak dapat digunakan


sembarangan. Pemukul/stick (palu-palu) gendang. Palu-palu gendang adalah stick
yang memukul di bagian babah gendang sehingga menghasilkan bunyi. Palu-pulu
gendang terbuat dari pohon rimo mukur (jeruk purut). Kekuatan yang terdapat
pada jeruk purut di samping dijadikan sebagi pemukul gendang juga sebagai
materi untuk penyucian diri. Etnik Karo percaya bahwa setelah berdekatan dengan
mayat dalam upacara gendang kematian, harus berlangir dengan menggunakan
jeruk purut.
Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni
sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan
musik Nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran (diameter) kedua alat
yang demikian kontras (lihat gambar 5.2.3). Gung memiliki ukuran yang besar
(diameter 68,5), sedangkan penganak memiliki ukuran kecil (diameter 16 cm).
Pada waktu dulu gung dan penganak terbuat dari kuningan, namun pada saat
sekarang ini gung dan penganak yang terbuat dari besi pelat. Palu-palu (stick)
gung dan penganak terbuat dari kayu, tetapi yang bersentuhan langsung dengan
pencu kedua alat musik tersebut adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan
karet mentah.
Kata gung di Karo mempunyai pengertian untuk menunjuk salah satu jenis
instrumen musik yang bentuknya bundar dan persegi. Bentuk gung bundar di
tengah-tengahnya menggunakan pencu sebagai tempat untuk memukul. Instrumen
gung pada umumnya dibuat dari perunggu dan kadang-kadang juga dibuat dari

besi yang digunakan pada ensambel gendang lima sendalanen dalam gendang
kematian.
Dari uraian di atas tampak bagaimana gendang lima sendalanen sangat erat
terkait dengan spiritualitas pramodern baik dari sudut makrokosmos dan
mikrokosmos yang terdapat pada etnik Karo. Hal ini ditegaskan Capra, bahwa kita
menjadi bagian dari seluruh hewan dan tumbuhan. Selain itu, menjadi bagian
(belonging) berarti kita betah (at home) bersama mereka, kita bertanggung jawab
untuk mereka, dan kita menjadi bagian dari (belong to) mereka persis sebagaimana
mereka menjadi bagian kita. Kita semua saling memiliki (belong together) di
dalam kesatuan kosmis yang besar ini (Capra, 1999: 22).
Di samping makna-makna instrumen gendang lima sendalanen dengan
spiritualitas pramodern etnik Karo masing-masing instrumen juga mununjukkan
sangat erat terkait dengan sistem kekerabatan. Setelah ditelaah lebih jauh, sarune
dapat dikatakan sebagai posisi sukut/sembuyak. Peran sukut/sembuyak dalam
upacara gendang kematian adalah sebagai pemilik upacara tersebut, yang tentu
saja harus dapat melihat dan memperhatikan semua kerabat yang hadir dengan
cara menghormatinya. Demikian jika dikaitkan dengan sarune dalam gendang
lima sendalanen yang berfungsi sebagai pembawa melodi harus melihat semua
unsur lain yang ada dalam gendang lima sendalanen. Demikian juga
sukut/sembuyak melihat dan memperhatikan semua hal yang terjadi di upacara
gendang kematian. Jika upacara ini tidak sukses, yang paling dipersalahkan adalah
sukut/senina. Jika ada kesalahan dalam memainkan gendang lima sendalanen

maka sarune-lah yang dianggap menjadi pokok kesalahan tersebut. Dalam upacara
gendang kematian sukut/sembuyak berdiri di sebelah kiri kalimbubu dan sebelah
kanan senina, sama halnya dengan sarune di sebelah kiri gendang singindungi dan
sebelah kanan gendang singanaki.
Gendang singindungi berperan sebagai kalimbubu. Kalimbubu dalam
upacara gendang kematian dianggap sebagai Dibata si idah (Tuhan yang
kelihatan), ketika kesepakatan dalam musyawarah di pihak sukut/sembuyak,
kemudian kesepakatan yang sudah diakui tersebut harus diberitahukan kepada
kalimbubu untuk dilengkapi dan di pasu-pasu (diberkati). Demikian juga gendang
singindungi dalam ensambel gendang lima sedalanen yang digunakan pada
upacara kematian sebagai sebuah kekuatan dalam ensambel ini. Ritme gendang
singindungi merupakan wujud kekuatan dari seluruh instrumen yang ada.
Demikian juga jika dilihat dari formasi duduk, gendang singindungi selalu di
sebelah kanan sarune, begitu juga dalam formasi berdiri kekerabatan dalam
upacara kematian kalimbubu harus di sebelah kanan anak beru.
Gendang singanaki berperan sebagai senina. Senina dalam kekerabatan
etnik Karo adalah pihak yang selalu mewakili sukut/sembuyak dalam segala hal
untuk mengontrol kesuksesan sebuah upacara. Sukut/sembuyak akan selalu
menyampaikan sesuatu ke senina-nya sebelum disampaikan ke Tuhan yang
kelihatan, yaitu kalimbubu. Begitu juga halnya gendang singanaki dalam ensambel
gendang lima sedalanen. Apa yang mau dilakukan oleh sarune, misalnya
mengganti sebuah bentuk melodi, gendang singanaki yang akan menyampaikan

pesan tersebut kepada gendang singndungi. Formasi berdiri dalam sistem


kekrabatan senina di sebelah kiri sukut/sembuyak. Demikian juga formasi duduk
dalam ensambel gendang lima sendalanen, gendang singanaki duduk di sebeleh
kiri sarune.
Penganak yang memaikan ritme konstan dalam ensambel dianggap sebagai
anak beru. Sehebat apa pun sukut/sembuyak, kalimbubu, senina tidak akan bisa
melakukan apa-apa jika luput dari anak beru. Anak beru merupakan tulang
punggung atas kesuksesan sebuah upacara pada etnik Karo. Demikian peran
penganak dalam ensambel gendang lima sedalanen, baik sarune, gendang
singindungi, maupun gendang singanaki, tidak akan berguna jika tulang
punggung, yaitu penganak tidak ikut di dalamnya. Formasi dalam gendang lima
sendalanen, penganak berada disebelah kiri gendang singanaki dan formasi dalam
upacara adat anak beru di sebelah kiri senina.
Gung dalam ensambel gendang lima sendalanen mewakili anak beru
minteri dalam upacara gendang kematian. Anak beru minteri dalam upacara
gendang kematian adalah orang yang membantu anak beru dalam menyelasaikan
semua tugas yang harus dilakukan mencapai kesuksesan upacara tersebut. Anak
beru minteri-lah yang meluruskan semua yang dianggap bengkok dalam upacara
tersebut. Sama halnya dengan gung dalam ensambel gendang lima sendalanen
adalah sebagai instrumen yang meluruskan semua unsur sehingga gung dijadikan
sebagai tolok ukur untuk dapat ditarikan.

Sebagai

representasi

spiritualitas

pramodern

etnik

Karo

dengan

kekerabatan melalui formasi dan kekuatan, yaitu sarune mewakili sukut/sembuyak,


gendang singindungi mewakili kalimbubu, gendang singanaki mewakili senina,
penganak mewakili anak beru, dan gung mewakili anak beru minteri. Dengan
demikian, unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sedalanen tidak bisa
dilepaskan dari sistem kekerabatan yang ada pada etnik Karo. Berikut ini
penelaahan tentang bunyi gendang lima sendalanen dengan sistem kekerabatan
masyarakat Karo.
Sesuai dengan makna unsur-unsur yang terdapat pada ensambel gendang
lima sendalanen dan hubungannya dengan sistem kekerabatan pada etnik Karo
sudah dijelaskan di atas. Berikut ini akan membahas tentang bunyi gendang lima
sendalanen

dan

hubungannya

dengan

sistem

kekerabatan,

sebagaimana

dikemukakan Merriam bahwa musik dalam sebuah masyarakat, menyampaikan


pesan yang terkandung di dalam teksnya. Demikian pula, musik tanpa teks juga
mampu memberikan komunikasi. Namun, menurut Merriam bahwa kita sendiri
belum tentu tahu apa yang dikomunikasikan oleh bunyi musik itu, bagaimana, dan
kepada siapa. Musik itu sendiri bukan suatu bahasa universal yang dapat
dimengerti oleh siapa saja karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu
masyarakat tertentu dengan kebudayaannya (Merriam 1964: 223).
Pernyataan di atas menegaskan bahwa bunyi musik yang terdapat pada
suatu tradisi semestinya dapat dimaknai hubungannya dengan sistem kekerabatan
yang ada pada tradisi tersebut. Bunyi dalam gendang lima sendalanen secara

melodis dikenal dengan istilah ngerenggeti (cengkok). Sebelum acara adat dalam
upacara gendang kematian dimulai, singerunggui (protokol) dalam upacara
tersebut, meminta kepada sierjabten (pemain gendang) agar memulai dengan
buangken gendang (musik dimainkan tanpa ada penari). Gendang ini untuk tenditendi (roh-roh) yang ada di sekeliling tempat upacara dilakukan. Menurut Darwan
Tarigan, jika hal ini tidak dilakukan, keberlangsungan upacara dapat terganggu
oleh tendi-tendi yang ada di tempat upacara tersebut. Sebelum tahun 1980-an hal
ini masih tetap dilakukan, tetapi kini tidak dilakukan lagi karena tidak sesuai
dengan ajaran agama yang dianut oleh orang Karo (Wawancara, 20 September
2012).
Secara umum gerakan melodi gendang lima sendalanen dalam upacara
gendang kematian etnik Karo disesuaikan dengan kata-kata, tangisan/ratapan, dan
nyayian yang diungkapkan. Pada dasarnya melodi yang dimainkan, yaitu melodi
pendek, dan selalu terjadi pengulangan. Ada beberapa jenis lagu dalam
pengulangan tersebut, yaitu penarune (pemain sarune) akan melihat reaksi-reaksi
dari keluarga yang meninggal dalam upacara, seperti tangisan suami/istri orang
yang meninggal, maka nada-nada yang digunakan juga nada yang tinggi. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa melodi dalam gendang lima sendalanen
secara umum hanya diulang-ulang (repetisi). Melodi yang lazim ditemukan pada
ensambel ini seperti di bawah ini.

Gambar 7.3
Melodi sarunei pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar 7.3 menunjukkan modus pentatonis (sistem lima nada), yang
digunakan untuk melodi ensambel gendang lima sendalanen pada upacara
gendang kematian. Nada-nada yang digunakan yaitu mi-fa-la-si do (3-4-6-7-1).
Menurut Kebun Tarigan, semua unsur yang ada dalam gendang lima sendalanen,
baik materi instrumen maupun bunyi yang dihasilkannya, tidak terlepas dari
hubungannya dengan sistem kemasyarakatan yang ada pada etnik Karo. Jumlah
lima nada yang dimainkan menggambarkan bahwa masyarakat Karo mempunyai
lima merga (Wawancara, 6 Juni 2012).
Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa sarune adalah
insrumen musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Menurut Rumengan,
musik adalah satu sumber daya bunyi. Bunyi merupakan akibat dari satu gesekan,
pukulan, tiupan (sarune), atau persentuhan antara satu benda dengan benda yang
lain. Karakter bunyi sangat ditentukian oleh jenis bahan dan cara bagaimana bahan
tersebut digunakan untuk menghasilkan bunyi yang dimaksud (Rumengan, 2010:
61). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa musik pada etnik Karo dapat
dikatakan sebagai sumber pengetahuan. Selain itu mungkin sebagai pelestarian

pengetahuan dan nilai-nilai luhur masyarakat. Di samping sarune sebagai


pembawa melodi dalam gendang lima sendalanen berikut ini diuraikan musik
yang terkait dengan ritmis. Ritmis, baik gendang singindungi maupun gendang
singanaki dikenal pada etnikKaro dengan sebutan cak-cak.
Cak-cak merupakan salah satu bentuk karya seni yang disusun oleh
seniman atau penggual yang menggunakan bunyi atau nada sebagai mediumnya
yang bersumber dari gendang singindungi atau gendang singanaki. Cak-cak yang
bersumber dari gendang merupakan suatu rangkaian bunyi atau nada dari
gendang yang disajikan oleh berbagai jenis dan bentuk cak-cak sesuai dengan
jenis gendangnya. Dari rangkaian bunyi atau nada tersebut dan ditambah dengan
unsur-unsur musikal lainnya, seperti tempo, volume, dan pola pukulan tiap-tiap
cak-cak, struktur, dan bagian gendang pada akhirnya akan mewujudkan suatu
bentuk gendang seperti di Karo, yaitu adanya bentuk gendang simelungen rayat,
gendang odak-odak, gendang patam-patam, dan sebagainya.
Etnik Karo mengenal bunyi dari gendang singanaki dengan sebutan tang
dan ck. Gambar 7.4 menunjukkan bahwa tang dan ck dapat mewakili merga
silima dan rakut sitelu.

Gambar 7.4
Ritmis gendang singanaki pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Dengan menggunakan istilah musik Barat, notasi ini ditulis dalam garis
para nada tanpa tanda kunci karena ritmis pada gendang singanaki tidak besifat
melodis. Pada baris pertama tampak jelas bahwa

yang berbunyi ritmis tang

berjumlah lima atau delapan buah setiap birama yang sebenarnya mewakili lima
merga dan tutur siwaluh yang terdapat pada etnik Karo. Jika ditinjau lebih jauh
bagaimana cara memainkan tang pada gendang singanaki, yaitu seperti memukul
sesuatu dan ketika pukulan itu mengenai sesuatu itu, pemukulnya langsung
berpisah sehingga bunyi didengar lebih lama (reveb). Di pihak lain

yang

berbunyi ck, dipukul dengan melengketkan stik pada instrumen tersebut seperti
melengketkan sesuatu dan selalu berjumlah tiga dalam satu birama atau tiga nada
yang bergandengan. Inilah yang mewakili rakut sitelu pada sistem kekerabatan
etnik Karo.

Pada baris kedua melodi di atas, digambarkan bahwa pada etnik Karo
terutama pada sistem kekerabatannya terdapat variasi, seperti sub-sub yang ada
pada sembuyak, yaitu sipemeren, kalimbubu seperti puang kalimbubu dan anak
beru seperti anakberu minteri dapat tergambar dari baris kedua dan baris ketiga
melodi sarune di atas.
Gambar 7.5 menunjukkan ritmis yang terdapat pada gendang singindungi
dalam ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi salah satu unsur pada
upacara gendang kematian etnik Karo. Variasi ritmis dalam gendang singindungi
digambarkan dan ditelaah sebagai berikut.

Gambar 7.5
Ritmis gendang singindungi pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Seperti yang diungkapkan oleh Darwan Tarigan bahwa ritmis gendang
singindungi berfungsi untuk mempertegas bagaimana pentingnya rakut sitelu pada
etnik Karo. Hal ini berarti bahwa apa yang dimainkan dalam gendang singindungi
ini merupakan variasi dari variasi kehidupan yang terdapat pada sangkep nggeluh
yang ada di masyarakat Karo (Wawancara, 26 juni 2013). Penjelasan tersebut

dapat dilihat dari

yang berbunyi tang, menunjukkan tutur siwaluh, sedangkan

yang berbunyi ck, yang dipertegas oleh

dengan bunyi tih dan sekaligus

menunjukkan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada yang berjumlah dua belas.
Jadi, dari bunyi yang dimainkan atau didengar pada ensambel gendang lima
sendalanen, baik dari sisi melodi maupun sisi ritmis, merupakan

sistem

kekerabatan etnik Karo yang disebut sangkep nggeluh yaitu merga silima, rakut
sitelu, tutur siwaluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada.
Gendang lima sendalanen adalah musik dan musik adalah seni. Menurut
Sumardjo, nilai seni adalah nilai yang dialami, baik intrinsik maupun nilai
ekstrinsiknya. Nilai itu hadir lewat medium intrinsiknya yang distruktur oleh nilai
ekstrinsik yang ingin disampaikan. Karena nilai seni dihayati secara konkret, maka
nilai seni tidak dapat direduksi lewat kesadaran rasional. Meskipun demikian,
kesadaran rasional dapat memperjelas nilai pengalaman seninya (Sumarjo, 2006:
96).
Terkait dengan pernyataan di atas meskipun penganak dan gung tidak
berperan sebagai pembawa ritmis variasi dalam ensambel gendang lima
sendalanen, mengandung nilai intrinsik melampaui instrumen yang lain dalam
ensambel tersebut. Melodi pada sarune, ritmis pada gendang singindungi dan
singanaki tidak akan ada manfaatnya jika tidak ada penganak dan gung. Penganak
dan gung berfungsi sebagai ritmis konstan dalam ensambel gendang lima
sendalanen. Gambar 7.6 menunjukkan ritmis yang diperani oleh penganak dan

gung. Setiap birama menujukkan jumlah bunyi penganak dimainkan, dan nilai
ketukan satu kali gung lebih besar nilai ketukannya dibandingkan dengan bunyi
penganak.

Gambar 7.6
Ritmis gung dan penganak pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar 7.6 adalah partitur bunyi dari suara penganak dan gung. Dalam
ensambel gendang lima sendalanen bunyi yang paling sedikit dimainkan adalah
bunyi penganak dan bunyi gung. Jika bunyi penganak dalam satu birama sebanyak
dua ketukan, maka gung hanya satu ketukan. Meskipun bunyi gung paling sedikit
terdengar dalam ensambel ini, gung dipercaya orang Karo sebagai keputusan akhir
dari sebuah kesepakatan. Hal ini, terwujud dari peribahasa atau kuan-kuan pada
etnik Karo,yaitu kata kalimbubu emekap kata gung (keputusan kalimbubu atau
Tuhan yang terlihat adalah keputusan yang harus dilaksanakan). Penjelasan di atas
adalah uraian kekerabatan pada masyarakat Karo yang ada pada upacara gendang
kematian.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa etnomusikologi mencurahkan
perhatiannya untuk mengumpulkan fakta-fakta kemudian mencari penyelesaian
masalah-masalah mendasar di dalam hubungan dengan studi tentang musik

sebagai bagian dari budaya manusia. Menurut Merriam, hal ini ditekankan di
dalam literatur etnomusikologi yang cenderung untuk mengarahkan perhatiannya
terhadap analisis suara-suara musik dan menghubungkan dengan matris
budayanya. Di samping itu, juga terhadap deskripsi fisik instrumen-instrumen
musik sebagai bentuk fisik dan mengadakan analisis tentang musik itu dan apa
peranannya di dalam masyarakat (Merriam, 1995: 91). Selanjutnya akan ditelaah
makna representasi spiritual melalui landek (menari).
Makna representasi spiritualitas etnik Karo melalui landek diawali dengan
makna landek dalam konteks guro-guro aron (upacara muda-mudi). Landek (tari)
merupakan seni tubuh berdasarkan irama, gerakan, dan isyarat yang saling
terhubung melalui pola dan gagasan musik. Menurut Danesi, tari memiliki lima
fungsi dalam kehidupan manusia. Pertama, tari dapat menjadi bentuk komunikasi
estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, atau gagasan, mengisahkan suatu
cerita. Balet Barat merupakan contoh tarian estetis. Kedua, tarian dapat menjadi
bagian ritual dan berfungsi komunal. Di Karo misalnya, tarian dalam upacra
gendang kematian. Ketiga, tari dapat menjadi sebentuk rekreasi dan memenuhi
berbagai kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial, atau hanya sekadar sebuah
pengalaman yang menyenangkan. Keempat, tari memainkan peran penting dalam
fungsi sosial. Setiap masyarakat memiliki bentuk tarian karakteristik, yang
dilangsungkan dalam acara-acara seremonial atau pada perkumpulan informal.
Seperti halnya makanan dan kostum tradisional, tarian membantu orang-orang
dalam sebuah bangsa atau kelompok etnis untuk memahami hubungan mereka satu

sama lain dan dengan leluhur mereka. Dengan menari bersama, para anggota
sebuah kelompok mengekspresikan perasaan adanya identitas bersama atau
keterlibatan. Kelima, tarian terutama penting selama masa pacaran dan inilah
alasannya mengapa tarian sangat populer di kalangan muda. Orang menari sebagai
cara menarik pasangan dengan menampilkan keindahan, keluwesan, dan vitalitas
mereka (Danesi, 2010: 87; Liembeng, 2009: 28).
Secara umum tari pada etnik Karo disebut landek. Dalam budaya Karo,
penyajian landek tergantung pada konteks atau bersifat kontekstual. Dengan kata
lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya. Selain itu, setiap
gerakan dalam landek pada etnik Karo juga berhubungan dengan simbol-simbol
dan makna-makna tertentu. Gambar 7.7 berikut menujukkan gerakan dalam landek
pada upacara guro-guro aron (pesta muda-mudi) dalam kerja tahun (pesta
tahunan) etnik Karo.

8
9
Gambar 7.7
Makna simbol-simbol landek dalam upacara gendang guro-guro aron
(Dokumen: Pulumun P. Ginting 23 Juni 2012)
Gambar 7.7 menunjukkan bahwa setiap gerakan landek yang ada pada
etnik Karo dimaknai sesuai dengan konteksnya. Menurut Kumalo Tarigan,
beberapa makna gerakan dalam landek pada masyarakat Karo adalah (1) gerakan
tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur
(berpikir) posisi landek seperti ini

maknanya menimbang-nimbang sebelum

memutuskan sesuatu; (2) gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke
bawah melambangkan sisampat-sampaten (tolong-menolong) maknanya adalah
saling menolong dan saling membantu; (3) gerakan tangan kiri ke kanan ke depan
melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tidak

boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau jangan dekat sebelum
tahu merga dan beru; (4) gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan
perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah
untuk mencapai mufakat; (5) gerakan tangan ke atas melambangkan ise pe la
banci ndeher, siapa pun tidak bisa mendekat dan berbuat sembarangan; (6) gerak
tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak
melambangkan beren rukur, yang bermakna menimbang-nimbang sebelum
memutuskan, pikir dahulu pendapatan, jangan menyesal kemudian; (7) gerak
tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras
simenahang ras mbabasa, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung
akibatnya, sebagai rasa sepenanggungan; (8) gerakan tangan di pinggang
melambangkan penuh tanggung jawab; dan (9) gerakan tangan kiri dan tangan
kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur
ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun dia apabila sudah
berkenalan akan diterima dengan senang hati (Wawancara, 23 Juni 2012).
Pola-pola dasar landek etnik Karo terbentuk atas tiga unsur, yakni endek
(gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole
(goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan landek
Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan cemet jari (lentik jari).
Endek merupakan salah satu unsur penting dalam landek Karo. Endek
dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan kembali lagi ke atas.
Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan ke bawah secara

vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (ritmis gung
dan ritmis penganak dalam gendang lima sendalanen yang sedang mengiringi).
Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan
sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam landek pada etnik Karo.
Odak atau pengodak adalah gerakan penari, baik ketika melangkah maju
dan mundur maupun melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai
dengan gerakan kaki kanan dan dilakukan pada saat gung (gong) berbunyi. Dalam
gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas
harus tetap

dilakukan.

Maksudnya, ketika

penari

melakukan odak

(melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian


gerakan odak dengan gendang. Sementara itu, ole merupakan gerakan goyangan
atau ayunan badan ke depan dan ke belakang, atau ke samping kiri dan kanan.
Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak. Dari penjelasan di atas,
diketahui bahwa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi
seorang penari pada masyarakat Karo untuk melakukan endek, odak, dan ole.
Menurut Dibia, Idiom dasar (substansi) tari adalah gerak tubuh. Tubuh
sekaligus juga sebagai instrumennya. Tubuh adalah kesatuan utuh dari seorang
individu, tidak merupakan bagian tubuh orang lain, baik dari sisi fisik (otot, tulang,
darah, daging), pikiran (penalaran), maupun batin (rasa, jiwa). Tubuh seseorang
berbeda dengan tubuh orang lainnya. Karena itu, dari pandangan ini, tari adalah
suatu perwujudan ekspresi secara personal (Dibia, 2005: 6).

Ungkapan tersebut di atas terjadi pada landek dalam upacara gendang


kematian etnik Karo. Karena dalam konteks ini tiap-tiap orang memiliki penalaran
menari

berbeda-beda.

Landek

pada

etnik

Karo

dalam

penggunaannya dibedakan sesuai dengan konteksnya. Landek yang berkaitan


dengan adat istiadat adalah landek yang merupakan bagian dari suatu upacara adat.
Upacara adat yang dimaksud adalah upacara gendang kematian dan upacaraupacara yang lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh
kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, yaitu senina, kalimbubu, dan
anak beru bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik upacara/ tuan rumah).
Tiap-tiap kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan.

Gambar 7.8
Landek dalam upacara gendang kematian pada masyarakat Karo
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 23 Juli 2012)
Tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih penting daripada seni
(keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam suatu peristiwa tari
komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan menari yang bagus

(Dibia, 2005: 3). Gambar 7.8 menunjukkan bagaimana etnik Karo menari pada
upacara gendang kematian. Bagi kelompok sukut, tarian ini merupakan tarian
penyambutan atau penghormatan kepada kalimbubu (Tuhan yang kelihatan) dalam
upacara tersebut. Setiap kerabat yang diundang akan mendapat giliran menari
sambil memberikan kata penghiburan yang selalu berhadap-hadapan dengan pihak
sukut. Sebaliknya, bagi kelompok tamu, tarian ini merupakan aktivitas pembuka
sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat)
kepada keluarga yang memiliki hajatan.
Landek dalam konteks upacara gendang kematian merupakan sebuah tarian
komunal yang menjadi representasi spiritualitas etnik Karo dalam hal persamaan
derajat atau suatu kontak antara orang kaya dan orang miskin, orang kota dan
orang desa dari suatu garis keturunan atau kekerabatan. Landek dalam konteks ini
tidak ada kaitannya dengan keindahan tubuh seperti yang terjadi pada landek
dalam upacara gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi). Di samping itu,
landek juga dilakukan dalam konteks ritual, seperti memanggil roh perumah begu.
Pernyataan diatas didukung oleh Sumardjo, seni pramodern tidak
memperhitungkan bagus atau tidak bagusnya penampilan seninya, tetapi justru
selamat atau tidak selamatnya selama upacara pertunjukan. Seorang penari yang
keseleo bukan saja merusak estetika, tetapi yang lebih gawat dapat merusak
upacara yang berakibat ketidakselamatan (musibah kemudiannya). Kain upacara
yang sobek dapat membuat sipemakainya tidak dapat tidur berhari-hari, menebaknebak malapetaka yang akan menimpanya. (Sumarjo, 2006: 95).

Landek yang berkaitan dengan ritual biasanya dibawakan oleh seorang


guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh guru,
disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari
Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah tari perumah begu (tari
memanggil roh) (lihat 6.2.1), tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang
yang berisi sesaji untuk persembahan), tari seluk (tarian kesurupan), dan
sebagainya. Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh guru
sibaso (dukun) berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Ketika
seorang guru (dukun) memimpin upacara biasanya beliau memanggil jinujungnya (junjungan-nya) untuk masuk ke dirinya. Dengan demikian, gerakan tarinya
tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo
pada umumnya. Akan tetapi, secara umum gerakan yang khas pada tarian ini
adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara
bergantian).
Menurut filsuf Amerika, Susanne K. Langer (1895--1985), bentuk kesenian
merupakan sebuah bentuk yang disajikan, hingga memungkinkan beragam
interpretasi, tidak seperti buntuk diskursif yang ada dalam sains dan bahasa biasa,
yang memiliki makna dalam kamus. Gerakan yang indah dalam tarian tidak
memiliki tujuan spesifik. Langer menyatakan bahwa selain untuk membangkitkan
perasaan naluriah kita akan keindahan dan hal-hal yang agungdan keduanya
bersifat universal. Secara paradoks, seni dapat mencapai satu hal yang tak dapat
dicapai alam. Seni dapat menawarkan keburukan dan keindahan sekaligus dalam

satu objeklukisan bagus yang menggambarkan wajah yang jelek masih indah
dari segi estetika (Danesi, 2010: 89).
Di samping itu pada upacara gendang kematian etnik Karo tidak bisa terlepas dari
kata penghiburan atau petuah-petuah yang disebut dengan nuri-nuri. Etnik
merupakan sekelompok orang yang terorganisasi, hidup, dan bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan. Artinya, etnik memiliki organisasi dan aturan-aturan untuk
berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Etnik dan kebudayaan
tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan konsep yang saling tergantung. Jadi,
etnik merupakan pendukung kebudayaan. Wujud kebudayaan yang berupa polapola aturan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan tampak pada
pelaksanaan adat istiadat atau tradisi mereka. Etnik yang menetap pada suatu
daerah akan secara otomatis membentuk atau memiliki norma-norma, sopan
santun, dan aturan.
Upacara gendang kematian etnik Karo tidak terlepas dari norma-norma dan
aturan pada pelaksanaan upacara tersebut. Nuri-nuri sebagai sebuah aturan untuk
berhubungan satu sama lain terwujud dari penyampaian kata-kata belasungkawa,
mengenang hubungannya selama ini dengan yang meninggal atau nasihat
meneguhkan hati pihak keluarga yang ditinggalkan almarhum.
Nuri-nuri diambil dari kata dasar turi. Prinst (2010: 677) menyatakan turi
(tentang peristiwa, hikayat) cerita, kata, kisah, uraian, nuri-nuri bercerita. Nurinuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan dengan dialek tertentu, yakni
berbentuk ratapan oleh pihak keluarga pada upacara gendang kematian yang

berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran, atau nasihat). Pada
proses ini diiringi oleh gendang yang bernanda sendu dan lemah gemulai serta
diikuti dengan menari.
Nuri-nuri dilakukan untuk menyampaikan dan menceritakan sesuatu hal
oleh pihak kerabat yang berduka, kadang-kadang sambil menangis, disampaikan
dengan iringan gendang lima sendalanen. Apabila diperhatikan, berbentuk syair
lagu, yakni syair kesedihan hati yang dalam pelaksanaannya dilakukan sambil
menari. Makna yang terkandung pada nuri-nuri yang diutarakan oleh sangkep
nggeluh pada dasarnya berisikan hal yang hampir sama. Nuri nuri adalah kata-kata
atau kalimat yang diutarakan pada upacara gendang kematian yang berisikan kata
pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau nasihat). Pada proses ini akan
diiringi oleh gendang lima sendalanen sambil menari.
Makna spiritualitas etnik Karo melalui nuri-nuri dapat dipaparkan
sebagaimana sukut ketika mengungkapkan ungkapan yang disampaikan dengan
maksud supaya adanya saling menghormati antar seluruh kekerabatan pada
keluarga. Pihak sukut (yang mempunyai hajatan) kemudian nuri nuri seperti
Perpulungen si erceda ate, gia iluh ibas mata...kalimbubu sinihamati kami
sembuyak senina kami, bagaipe siningkelengi kami anak beru kami sada pe la
ketadingen. Jadi ibas paksa enda kita sangana erceda ate, ngerana ka aku
Artinya

saudara-saudari

yang

ikut

berduka

cita,

meskipun

air

mata

tergenangkalimbubu yang kami hormati, sembuyak/senina yang kami cintai, dan

semua anak beru yang kami kasihi, hari ini kita semua berduka, atas meninggalnya
orang tua yang kami kasihi
Nuri-nuri

menunjukkan bagaimana pemakaian kata kerendahan hati

seorang sukut mau mengasihi kalimbubu dan anak beru dan menyapa dengan
hormat. Kata salam yang diucapkan oleh pihak sukut pada umumnya disampaikan
terdahulu kepada kalimbubu atau puang kalimbubu keluarga yang berduka,
kemudian kepada senina/sembuyak dari kalimbubu itu sendiri, selanjutnya kepada
anak beru, anak beru minteri, dan dilanjutkan kepada seluruh yang hadir.
Anak beru meminta kalimbubu dari sukut (yang mempunyai hajatan) nurinuri dengan tujuan ingin mencapai sesuatu dari anak beru-nya. Dalam hal ini
adalah meminta supaya anak beru (bere-bere) agar tidak pecah berai bersaudara,
mengutamakan diskusi untuk mengambil keputusan keluarga, dan sebagainya.
Ucapan

meminta ini tidak hanya ditujukan kepada yang masih hidup saja,

melainkan kepada yang meninggal contoh Mejuah-juah kerina tading kendu


bere-bere kami si dilaki ras sidiberu. Meminta supaya diberkati oleh yang
meninggal anak-anak yang ditinggalkannya. Ungkapan menyarankan ini adalah
ungkapan yang diucapkan oleh kalimbubu kepada anak beru dengan tujuan
mencapai sesuatu, yakni supaya dilaksanakan. Isinya, yaitu menyarankan supaya
tetap teguh dan tetap bersatu walaupun ditinggal pergi oleh orang tua.
Ungkapan

menyarankan ini akan lebih terasa apabila yang meninggal

adalah perempuan (ibu) karena yang meninggal tidak lain adalah saudara
perempuan kalimbubu itu sendiri. Selain itu, ungkapan menyarankan pada

umumnya disampaikan oleh pihak puang kalimbubu. Hal ini dilakukan karena
posisi puang kalimbubu adalah posisi yang tugasnya hanya menyarankan tidak
sebagai pemberi keputusan.
Dalam nuri-nuri saran disampaikan tidak hanya kepada saudara yang
ditinggalkan, tetapi juga ditujukan untuk almarhum. Hal ini disebabkan oleh orang
Karo percaya ketika orang meninggal hanya badannya yang mati, sedangkan jiwa
atau rohnya tetap hidup dan ada di sekitar keluarga yang ditinggalkan.
Petuah dan saran dari kalimbubu bertujuan untuk memberi masukan
kepada anak beru. Petuah ini tidak hanya disampaikan kepada saudara yang
ditinggalkan almarhum, tetapi juga ditujukan kepada yang meninggal, juga
disampaikan kepada saudara orang yang meninggal terlebih kepada saudara
perempuan (apabila yang meninggal adalah perempuan). Hal ini penting karena
saudara perempuan yang ditinggalkan tersebut dituntut sebagai pengganti ibu bagi
anak yang ditinggalkan saudaranya.
Nuri-nuri yang diucapkan oleh kalimbubu kepada kalimbubunya (puang
kalimbubu oleh yang berduka) karena telah diberikan kesempatan berbicara dan
menyampaikan ucapan belasunggkawa kepada saudaranya. Petuah-petuah juga
disampaikan oleh kalimbubu karena kalimbubu adalah jabatan adat yang tertinggi.
Di pihak lain, jabatan yang dijabat oleh kalimbubu tersebut adalah jabatan yang
tidak tetap. Artinya, jabatan adat di acara adat di satu keluarga akan berbeda bila
dia menghadiri acara adat di keluarga yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh
hubungan kekeluargaan. Untuk memulai pembicaraan pada upacara gendang

kematian biasanya dimulai dengan ucapan terima kasih kepada Simada Tinuang
(Tuhan), dan kemudian kepada kalimbubu, sembuyak, dan anak beru. ucapan
berterima kasih juga akan kembali diucapkan pada saat mengakhiri penyampaian
nuri-nuri.
Nuri-nuri yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru pada
umumnya berisikan bahwa pihak kalimbubu juga ikut merasakan akan kehilangan
orang yang dikasihi tersebut. Hal ini akan sangat jelas tampak apabila yang
meninggal adalah perempuan (si ibu), karena ibu merupakan saudara perempuan
dari kalimbubu. Sehingga nuri-nuri akan berisi bahwa kalimbubu juga merasa
sangat kehilangan. Nuri-nuri ini disampaikan dengan maksud agar saudara yang
ditinggalkan tidak merasa bahwa hanya mereka yang kehilangan, tetapi pihak
kalimbubu pun merasa kehilangan. Ini diceritakan dengan makna bahwa adanya
keterikatan hati dan batin antara kalimbubu dengan saudara yang ditinggalkan
Nuri-nuri lainnya, yaitu memperingatkan. Nuri-nuri ini diucapkan oleh
kalimbubu dengan tujuan memperingatkan anak beru (yang berduka) supaya
bertindak benar dan tidak membuat kesalahan dalam hidupnya, yaitu
mengutamakan kebenaran dan mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat Karo. Upaya mematuhi adat merupakan hal yang paling penting
karena adat merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi yang sangat
bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Nuri-nuri sebagai sebuah peringatan
dalam hal ini merupakan pemberian nasihat kepada anak beru supaya tidak terlalu
lama larut dalam kesedihan dan memperingatkan agar hidup seperti biasanya.

Selain itu, juga memperingatkan supaya bertindak yang bardasarkan aturan yang
berlaku.
Petuah-petuah yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru
berisikan bagaimana tentang kejadian yang di hadapi sebelum meninggalnya orang
yang dicintai. Dalam hal ini menjelaskan bahwa kejadian ditinggalkan orang tua
tidak hanya dialami mereka, tetapi dialami semua orang, hanya dibedakan oleh
waktu. Nuri-nuri ini mejelaskan bagaimana orang-orang yang mengasihi orang
yang meninggal dalam merawat dan menjagai sebelum akhirnya meninggal. Oleh
sebab itu, jasa-jasa yang menjagai tersebut haruslah dihargai dan menjadi sebuah
pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Dalam upacara gendang kematian etnik Karo, semua sangkep nggeluh akan
mendapat giliran waktu untuk nuri-nuri.

Kalimbubu dalam hal ini dianggap

sebagai Dibata si idah (Tuhan yang kelihatan) menjadi fokus dalam nuri-nuri ini.
Oleh sebab itu dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa isi,
makna dan tujuan nuri-nuri pada dasarnya berupa kalimat untuk memberikan
keteguhan hati, yakni tuturan duka cita, menjelaskan, menyarankan, meminta, dan
memperingatkan.
Kalau nuri-nuri merupakan sebuah ujaran bagi sangkep nggeluh, maka
ngandung cenderung ditujukan kepada almarhum. Ngandung yang artinya
meratap berbeda dengan menangis seperti biasanya. Meratap dalam bahasa Karo
disebut ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan hal-hal yang

dijalanai dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun percakapan yang
terakhir dilakukan.
Suatu hal yang tidak perlu diajarkan pada manusia adalah menangis,
sedangkan hal-hal lain seperti senyum atau tertawa memakan waktu yang relatif
lama.

Pada upacara gendang kematian masyarakat Karo menangis berarti

ngandung. Ketika seseorang meninggal akan selalu ada yang ngandung sampai
mayat diantar ke kuburan. Dari pihak sukut yang ngandung dapat diketahui seperti
apa yang meninggal ketika masih hidup dan bagaimana dia bisa meninggal. Salah
satu makna ngandung dalam upacara gendang kematian adalah jika sebelumnya
persoalan dalam keluarga meskipun sudah lama berlalu, misalnya persoalan
saudara kandung, dapat berdamai ketika salah seorang ngandung dan meratap
dalam upacara tersebut.
Seperti yang diungkapkan Njenap Ginting, inti ngandung pada upacara
gendang kematian adalah hanya mempersatukan keluarga yang sebelumnya retak
dengan bantuan roh (pertendin) orang yang meninggal.
Aku enggo lawes nadingken kena nakku, bage nge nindu bapa. Lanai aku
man kep-kepen kena, lanai aku man sulangen ras man tunggahen kena,
aku nggo malem ateku bage nge nindu e bapa. Kelengi nande kena e, alu
ersada arih kena anak-anakku kerina, gia lit gel-gel perubaten sanga aku
nggeluh denga gundari nge paksana kam sialem-alemen kerina senina ras
turangndu e anakku bage nge nindu bapa
(Aku telah pergi meninggalkan kalian anakku, itu yang engkau ucapkan
bapak. Tidak perlu lagi kalian mengurus aku, tidak perlu menyuap dan
memberiku minum, sudah selasai pekerjaan dan tanggung jawabku, itu

yang engkau katakan bapa. Sayangi ibu kalian, bersatulah meskipun


ketika aku masih hidup ada persoalan di antara kalian, sekaranglah
waktunya kalian saling maaf-memaafkan dan saling berangkulan, itu yang
engkau katakan bapa) (Wawancara, 20 Desember 2012)
Sambil menangis dan meratap salah satu anak yang ditinggalkan almarhum
mengungkapan ucapan di atas dan didengar oleh semua sangkep nggeluh yang
hadir dalam upacara gendang kematian. Jika ada saudara yang mempunyai
persoalan tidak mendatangi yang menangis, keluarga akan memaksa mereka untuk
saling memaafkan dan saling berpelukan sambil ngandung. Ngandung dalam
upacara gendang kematian mengandung makna representasi spiritualitas sebagai
pemersatu keluarga. Di samping ngandung, pada upacara gendang kermatian
khususnya cawir metua diundang seorang penyanyi perkolong-kolong yang
menyampaikan petuah-petuah bagi keluarga yang ditinggal.
Pada etnik Karo istilah perkolong-kolong, adalah seorang

penyanyi

ataupun vokalis (sirende), baik pria maupun wanita. Istilah yang digunakan pada
awalnya untuk vokalis tersebut adalah perende-rende, kemudian digunakan istilah
permangga-mangga yang populer sampai tahun 1930-an. Menurut Ngambat
Ginting, sekitar tahun 1950-an istilah permangga-mangga kembali berubah
menjadi perkolong-kolong. Kolong- kolong awalnya adalah sebuah judul lagu
(gendang) yang sangat sering ditampilkan dan dinyanyikan sehingga pada saat itu
sangat populer. Oleh sebab itulah, kemudian penyanyi (vokalis) pada masyarakat

Karo dikenal dengan sebutan perkolong-kolong (Wawancara, 11 Juni 2013). Per


artinya orang, sedangkan kolong-kolong artinya nyanyian.
Dalam konteks upacara

kerja tahun (pesta tahunan) yang biasanya

diselenggarakan setahun sekali dengan gendang guro-guro aron (pesta mudamudi) yang melibatkan bapa aron (pemuda), nande aron (pemudi), pemusik, dan
perkolong-kolong sebagai hiburan bagi masyarakat. Perkolong-kolong adalah
penyanyi sekaligus penari yang berfungsi sebagai hiburan dalam upacara kerja
tahun tersebut. Mereka adalah seniman profesional (laki dan perempuan, yang
juga tidak boleh semarga) yang diundang dan dibayar masyarakat. Mereka
menyanyi (kadang sambil menari) mengiringi tarian adat guro-guro aron (mudamudi). Di situ, fungsi perkolong-kolong sama dengan pemusik dan mereka disebut
sierjabaten untuk menciptakan suasana agar aron atau siapa pun yang menari
merasa puas. Ketika perkolong-kolong menari, seolah ada kontes antara penyanyi
perempuan dan laki-laki (adu perkolong-kolong), penonton menilai penari yang
lebih bagus membawakan nyanyiannya. Ketika seorang perkolong-kolong tidak
bisa mengikuti lagi gerak/nyanyian dari pasangannya, penonton menyoraki.
Namun, demikian jika kedua penari sama pandainya, sama baiknya, penonton pun
menyukainya. Penilaian penonton kepada perkolong-kolong ditujukan pada aspek
teknik, keterampilan atau kelenturan tubuh, kualitas suara, dan kedalaman
kesenimanannya. Perkolong-kolong ini ditampilkan (adu) di atas pentas. Kadang
kala perkolong-kolong ini akan menampilkan bentuk dialog, bahkan juga sering

bercanda atau lawakan lewat pantun yang berisi sindiran (sitokoh-tokohen) yang
mengundang tawa penonton.
Dalam kerja tahun fungsi perkolong-kolong adalah sebagai hiburan bagi
orang yang hadir. Perkolong-kolong dipilih sesuai dengan hasil musyawarah dan
pilihan masyarakat. Kegiatan kerja tahun itu dilaksanakan di jambur. Jambur
adalah suatu wadah bagi masyarakat Karo sebagai tempat pertemuan dan tempat
pelaksanaan kegiatan-kegiatan, misalnya tempat upacara perkawinan, upacara
kematian, dan sebagainya. Perkolong-kolong ketika adu sangat berbeda dengan
landek simanteki kuta, bapa aron, nande aron, kalimbubu kuta, anak beru kuta,
pengurus kuta dan pulu aron. Dalam adu ini perkolong-kolong akan menunjukan
kebolehan, kelincahanya menari, menyanyi, melawak dan perkolong-kolong juga
harus dapat mengendalikan suasana yang sedih menjadi gembira sehingga orangorang tertawa.
Kemampuan kesenimanan inilah yang menjadi ukuran bagi masyarakat
untuk mengundang mereka. Akan tetapi, menentukan siapa yang menang atau
kalah bukanlah tujuan utama. Yang lebih penting adalah bagaimana pertunjukan
itu menjadi menarik dan menyenangkan. Tujuan perkolong-kolong pun tidak untuk
saling mengalahkan, tetapi untuk menghibur. Biasanya mereka berpura-pura kalah
untuk menyegarkan penonton. Jadi, pengertian kontes atau perlombaan di sini
berbeda sekali dengan lomba-lomba kesenian pada umumnya.
Berbeda perkolong-kolong dalam konteks upacara guro-guro aron mudamudi dengan konteks ritual seperti upacara gendang kematian. Perbedaan dalam

hal ini bukan orangnya atau penyanyinya. Perbedaannya terkait dengan repertoar
lagu yang dibawakannya. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah juga kata-kata
atau kalimat yang dilontarkan oleh perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada
upacara gendang kematian, yaitu berbentuk ratapan. Berbeda halnya pada upacara
pernikahan. Kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong
disebut masu-masu (mendoakan ). Apabila diperhatikan, akan sama pada upacara
gendang kematian. Namun di sini bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang
dinyanyikan. Pada upacara kematian kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan
berbentuk ratapan/kesedihan akan ditinggalkan oleh yang meninggal serta nasehat
pada keluarga yang ditinggal. Di samping itu, juga sama halnya kata-kata yang
diutarakan oleh pihak keluarga pada upacara pernikahan disebut masu-masu
(pemberkatan/doa-doa).
Sesuai dengan apa yang diungkapkan Merriam bahwa wilayah perhatian
etnomusikologi adalah studi tentang teks nyanyian. Studi ini meliputi studi teks
sebagai peristiwa linguistik, hubungan antara linguistik dan suara musik, dan
masalah-masalah isi yang diungkapkan oleh teks tersebut. Masalah hubungan
antara teks dan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena
manfaatnya yang jelas. Teks nyayian mengungkapkan tingkah laku literer yang
dapat dianalisis dari segi struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung
mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian. Di samping itu, kadangkadang, seperti pada nama-nama pujian atau bahasa-bahasa signal kendang, teks
tersebut merupakan bahasa rahasia yang hanya diketahui oleh sekelompok

tertentu masyarakat. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih
lentur daripada bahasa harian. Bahasa tersebut juga tidak hanya mengungkapkan
proses kejiawaan seperti pengenduran tekanan, tetapi juga memuat informasi
tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan.
Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai
yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan
terpaksa di dalam ungkapan harian. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada
kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu budaya atau terhadap
suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman tentang tingkah laku ideal
dan nyata sering dapat

diungkap melalui teks nyanyian. Akhirnya, teks juga

digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk
menanamkan nilai-nilai, dan cara untuk mebudayayakan generasi muda (Merriam,
1995: 100-101).
Atas dasar penjelasan di atas teks nyanyian pada upacara gendang
kematian masyarakat Karo dapat dinyatakan sebagai berikut.
dagei nande beru Ginting, apai nge kata lebe kubelasken ibas
penenahkenndu sangkep ngeeeluh si la erpudun e, belasken nakku beru
Karo, kataku man sambar gancihku e, bage nge nindu nande, adi aku nggo
me malem ateku lanai lit si mesuiku. Emaka ersada lah kerina arihndu
sambar gancihku e, mejuah-juah kam kerina kutadingken, sangap ras
ndeher rejikindu ngarak-ngarak kempuku sienterem e, bage nge nindu
nande
( Ibu beru Ginting, apa yang mesti aku nyanyikan, ibu undang kami tanpa
janji dan pemberitahuan, katakan anakku sekarang aku bahagia dan tidak
merasa mengalami sebuah penyakit dan juga tidak merasa sakit. Oleh
sebab itu, bersatulah kalian semua yang menggantikan aku, damai sejahtera
aku tinggalkan, murah rejeki dan semua cita-cita cucu yang aku tinggalkan

tercapai, begitulah yang Ibu ucapkan kepada generasi yang menggantika


ibu(petikan Sabarita Br Sitepu).
Seorang perkolong-kolong seperti halnya nuri-nuri seolah berbicara kepada
mayat tidak ubahnya berbicara kepada manusia yang masih hidup. Mayat
dianggap masih dapat berkomunikasi dengan sangkep nggeluh. Oleh sebab itu,
setiap pergantian acara seorang anak beru akan menceritakan siapa selanjutnya
yang mendapat giliran, sehingga perkolong-kolong bisa menyampaikan doa sesuai
dengan hubungan kekerabatan dengan orang yang meninggal (gambar L.4.19).
Makna spiritualitas etnik Karo terwujud dari bagaimana seorang
perkolong-kolong dapat menjadi benang untuk menutup kain yang koyak (benang
penjarumi).

Meskipun meninggalkan bekas, sudah dapat digunakan dalam

kehidupan sehari hari. Perumpamaan-perumpamaan yang ada pada etnik Karo


akan ditemukan ketika perkolong-kolong rende (bernyanyi) dalam upacara
gendang kematian. Perkolong-kolong merupakan salah satu media yang
mengungkapkan nilai-nilai luhur dan spiritualitas pada etnik Karo melalui
nyanyian. Menurut Tejo, Seni yang baik pasti menyiaratkan pesan rohaniah dan
religius. Jadi tidak perlu secara verbal menampilkan ayat-ayat suci dari alkitab
agama tertentu. Apakah karena tidak disebut nama Tuhan secara verbal lalu suatu
nyanyian menjadi tidak rohaniah (Tejo, 2003: 44).

7.1.2 Makna Spiritualitas Modern


Dorongan

untuk

mendominasi,

menundukkan,

menguasai,

dan

mengendalikan alam merupakan salah satu ciri pokok spiritualitas modern


(Griffin, 2005: 18). Sekitar lima tahun belakangan ini banyak sekali masyarakat
Karo mengeluhkan kehadiran gendang keyboard yang dianggap telah menggeser
musik tradisi Karo gendang lima sendalanen dalam berbagai kesempatan dan
upacara adat istiadat. Misalnya, tidak ada lagi kesantunan dan keindahan gerak
ketika orang-orang menarikan lagu yang diiringi keyboard, apalagi setelah
dimasuki oleh gaya yang bernuansa dangdut atau house musik dan sebagainya.
Atau ada juga yang mengatakan bahwa kemunculan keyboard semakin
mengerikan ditambah dengan dampingan penari are-are (penari perempuan dari
suatu tempat) yang disewa, lanai lit si mehangkena (tidak ada lagi kesopanan).
Konteks ini terjadi pada upacara guro-guro aron (pesta muda-mudi) etnik Karo.
Salah satu sosok yang paling dipersalahkan atas perkasanya keyboard
adalah Djasa Tarigan, yang notabene juga seorang pemusik tradisi handal. Dalam
wawancara dengan beliau, dapat ditangkap beberapa kisah perjalanan hidupnya
sebagai seorang musisi tradisi yang sangat berpengaruh, termasuk soal kehadiran
keyboard dalam tradisi musik Karo. Djasa adalah seorang jenius alam dalam
musik, hampir semua alat musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo bisa
dimainkan dengan sempurna. Dia membuat banyak terobosan baru dalam musik
tradisi sehingga tidak mengherankan jika dia juga berimprovisasi dengan alat

musik Barat yaitu keyboard. Kepiawaiannya terbukti ketika dia mendesain nada
alat musik tradisi pada keyboard. Persis sekali, sehingga keyboard bisa mewakili
komponen alat musik tradisi. Dia juga mendesain tempo, timbre (warna suara)
setiap bagian dari repertoar musik tradisi gendang lima sendalanen sehingga tetap
bisa ditarikan sesuai dengan tuntutan tempo.
Kepraktisan keyboard dan kemudahan mempelajarinya membuat alat
musik ini semakin kokoh. Belum lagi dengan kemudahan memainkan berbagai
genre lagu dengan dibubuhi suara-suara alat musik dan tempo tradisi sehingga
banyak lagu terkesan menjadi lagu Karo. Keyboard makin populer tatkala
biayanya lebih murah daripada memanggil seperangkat alat musik tradisi. Seingat
penulis, beberapa tahun lalu masyarakat Karo masih sungkan menggunakan
keyboard dalam upacara gendang kematian, musik tradisi masih menjadi panutan.
Akan tetapi, kini orang Karo tidak peduli, mau pesta meriah ataupun upacara
kematian keyboard kerap jadi pilihan. Sebagian orang Karo mengakui biayanya
terlalu mahal jika harus menghadirkan alat musik tradisi dalam sebuah upacara
etnik Karo. Seri nge ras gendang lima sendalanen, regana ndauh murahen (sama
suaranya dengan gendang lima sendalanen), begitulah alasan mereka.
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa, musik tradisional etnik Karo
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, melodi, ritmis konstan, dan ritmis variasi.
Melodi biasanya terdiri atas satu buah lagu yang disajikan, baik dengan instrumen
maupun vokal. Di pihak lain, dalam ritmis variasi bebas artinya dapat bervariasi
terus-menerus. Gendang singanaki berpola untuk mengikuti tempo yang biasanya

digunakan untuk memertahankan ketukan. Gung dan penganak sebagai pola ritmis
tetap.
Pola ini bertahan ataupun tetap demikian di dalam semua repertoar musik
tradisional Karo yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen. Bila
diperhatikan,

dalam

repertoar

tersebut

terdapat

harmonisasi.

Pengertian

harmonisasi pada konteks ini berbeda dengan pengertian harmonisasi yang


terdapat pada musik modern. Dalam musik Barat harmoni berhubungan dengan
interval nada-nada dari satu melodi dengan melodi lain dalam paduan suara
ataupun hubungan antara melodi dan progressi akord. Sebaliknya, harmonisasi
dalam musik tradsisional Karo dalam hal ini gendang lima sendalanen dimaksud
hubungan yang selaras antara unsur-unsur musik Karo sehingga menyatu
menghasilkan suatu komposisi musik. Harmonisasi musik Karo pada dasarnya
adalah gabungan dari melodi dan ritmis yang menyatu seimbang. Gabungan yang
seimbang antara melodi dan ritmis disebut ranggut sehingga bisa disebut memiliki
harmonisasi yang sempurna. Oleh sebab itu, keseimbangan atau harmonisasi yang
muncul pada musik tradisional Karo bukan hanya hubungan satu melodi dengan
melodi yang lain, melainkan hubungan lebih jauh, yaitu antara ritmis yang ada dan
melodi.
Dengan hadirnya keyboard, harmonisasi ini mengalami perubahan. Di
dalam keyboard dapat dimainkan harmonisasi Barat baik dalam keseimbangan
interval antara satu melodi dan melodi yang lain maupun keseimbangan antara
melodi dan dengan akord. Dengan demikian, bagi sebagian orang Karo yang telah

akrab dengan musik Barat kehadiran akord dalam penyajian musik tradisional
Karo memberikan nilai tambah dalam arti lebih memuaskan dirinya.
Demikian juga instrumen-instrumen musik tradisi Karo biasanya tidak
banyak menghasilkan nada. Artinya, dalam garapan melodi terbatas pada nadanada yang dapat diproduksi dari alat musik itu sendiri. Di sisi lain pengaruh
harmonisasi keyboad terhadap musik gendang lima sendalanen dapat dilihat
dengan pemilihan warna suara yang diinginkan. Biasanya suara gendang yang
dihasilkan musik Karo apabila pemain keliru bisa menghasilkan suara yang bukan
seperti semestinya. Artinya, keyboard merupakan alat yang mempermudah
sekaligus mengurangi biaya dibanding dengan alat musik tradisional Karo yang
asli. Dengan demikian, alat musik keyboard yang dikenal oleh masyarakat di luar
masyarakat Karo sendiri dengan sebutan kibod Karo menjadi sangat populer di
seluruh pelosok Sumatera Utara, bahkan keluar provinsi. Hal ini merupakan
representasi spiritualitas baru bagi masyarakat Karo dengan julukan gendang
kibot Karo.
Sekarang ini, seringkali manusia menyingkirkan benda-benda seni tua
karena tidak ada relevansinya lagi untuk hidupnya. Ini disebabkan cara membaca
benda seni mereka adalah cara baca masyarakat sekarang. Kalaupun ada bendabenda seni masa lampau yang masih punya daya tarik pada masa sekarang, maka
daya tarik itu lebih disebabkan karya-karya itu masih terbaca dalam cara manusia.
(Sumarjo, 2006: 2).

Di samping keyboard yang telah mempengaruhi gendang lima sendalanen


dalam upacara gendang kematian, yaitu ensambel tiup yang dikenal dengan
sebutan trompet. Kebudayaan bersifat dinamis sehingga perubahan merupakan hal
yang cukup wajar sesuai dengan perkembangan waktu, baik perubahan yang
diakibatkan pengaruh materi maupun inovasi-inovasi yang dilakukan oleh
masyarakat. Awalnya trompet/ensambel tiup pada etnik Karo digunakan dalam
ibadah-ibadah Minggu di gereja. Namun, pada perkembangannya penggunaan
ensambel ini lebih banyak ditemukan pada upacara kematian etnik Karo, bahkan
sudah sangat jarang dimainkan untuk kegiatan-kegiatan ibadah yang lain.
Awalnya ensambel ini digunakan hanya sebagai pengiring lagu pada
upacara kematian seperti contoh lagu yang berjudul ayah (apabila yang
meninggal laki-laki) dan lagu yang berjudul mama (apabila yang meninggal
tersebut wanita) yang kerap kali diminta dimainkan pada upacara gendang
kematian secara instrumental. Sebelum ensambel ini menjadi bagian dalam
upacara gendang kematian etnik Karo, belum pernah dilakukan bernyanyi dengan
cara bersama-sama. Ensambel ini kemudian dapat berperan untuk menyatukan satu
buah lagu populer.
Menurut Samion Pinem, salah seorang pemain senior dalam sebuah grup
ensambel tiup di Karo, sampai saat ini belum pernah ada upacara kematian yang
mengundang mereka di luar masyarakat yang beragama Kristen. Ensambel tiup
dipanggil untuk meperagungkan upacara tersebut. Seolah-olah harga diri

masyarakat atau status sosial lebih terpandang dengan menghadirkan ensambel


tiup dalam upacara kematian keluarganya (Wawancara Juni, 2012).
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa representasi spiritualitas
etnik Karo melalui trompet/ ensambel tiup adalah, spiritualitas kekristenan dan
dianggap sebagai masyarakat yang punya modal untuk melakukannya. Menurut
pengamatan peneliti, ketika ada seseorang yang meninggal di sebuah desa, tanpa
sadar mereka sering bertanya tentang dihadirkannya ensambel ini. Ketika ia hadir
maka kemudian upacara itu dianggapnya semakin agung. Sejauh ini peneliti
belum melihat, baik keyboard maupun trompet, yang dapat menunjukkan nilainilai dasar atau spiritualitas etnik Karo baik mikrokosmos, makrokosmos maupun
metakosmos karena mereka hadir di luar kosmologi etnik Karo. Representasi
spiritualitas yang dihasilkan kedua musik ini hanya representasi spiritualitas
modern, yang berdeda dengan spiritualitas pramodern etnik Karo.
Spiritualitas modern menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri
komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat
atau komunitas sebagai yang utama, dengan individu (yang sebagian saja
otonom) sebagai produknya, melainkan menganggap masyarakat hanya sebagai
kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuantujuan tertentu. Tentu saja modernitas harus mengakui bahwa tetap ada hubungan
tertentu, khususnya hubungan dengan orang tua, yang sangat dasariah akan tetapi,
hubungan semacam ini dianggap hanya sebagai perkecualian. Penekanannya,

sekaligus cita-citanya, adalah kebebasan dasariah seseorang terhadap yang lain


(Griffin, 2005: 18).
Kehadiran keybard dan trompet dalam upacara gendang kematian ini
tentunya mengundang berbagai interpretasi. Sebagaimana dikemukakan Giddens,
bahwa tradisi memiliki para penjaga yang memiliki hak istimewa dalam
melakukan penafsiran dan menjalankan praktik tradisi. Terkait dengan itu, maka
ritual sebagai aspek tradisi haruslah ditafsirkan oleh para penjaga tradisi untuk
memahami kebenaran formulatif yang terkandung di dalamnya. Namun demikian,
terhadap fenomena ini, para budayawan singerunggui sebagai penjaga tradisi
sekaligus sebagai pemimpin upacara cukup kesulitan menginterpretasi kehadiran
keyboard/trompet dalam konteks upacara gendang kematian tersebut. Kenyataan
ini mengingatkan apa yang dikemukakan Giddens (2003: 9) mengenai
problematisasi tradisi.
Di satu sisi terjadi perluasan institusi modern yang diuniversalkan melalui
proses globalisasi. Di sisi lain terjadi proses perubahan yang disengaja yang
dapat disebut dengan radikalisasi modernitas. Di seluruh dunia, masih ada
orang yang tidak sadar dengan fakta bahwa aktivitas kedaerahan mereka
telah dipengaruhi, bahkan terkadang ditentukan oleh peristiwa atau agen
yang jauh.
Kehadiran keyboard/trompet dalam hal ini bukan bagian dari spiritualitas
yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang
sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di
depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara
gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika

spiritualitas kultural etnik Karo. Sebagaimana dikemukakan Pujaastawa (2011:


487), bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks, sebagian karena
konstruksi ini merupakan produk sejarah. Kebudayaan itu sendiri bisa berubah dan
diubah bergantung pada konteksnya, pada kekuasaan, dan kepentingan agen yang
bermain.
Penggunaan keyboard/trompet pada upacara gendang kematian di atas
dapat dikatakan seperti diungkapkan oleh Piliang, sebagai gejala hipertualitas,
yakni realitas ritual yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi sehingga
tampak seakan-akan merupakan bagian dari ritual asli. Namun sesungguhnya ia
tidak lebih dari ciptaan artificial yang tidak merujuk pada model-model ritual yang
telah baku. Dalam konteks ini ritual diredusir menjadi simbol-simbol yang
digunakan

untuk

menunjukkan

identitas.

Dengan

kata

lain,

kehadiran

keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian tersebut merupakan proses


semiotisasi ritual, yakni menambahkan muatan pada aspek-aspek ritual dengan
makna-makna yang sesungguhnya tidak hakiki. Ritual tersebut dikemas
sedemikian rupa dengan dilengkapi atribut-atribut yang tidak berkaitan sama sekali
dengan konteks upacara, akan tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seakan-akan ia
menjadi dari wacana upacara tersebut (Piliang, 2004: 339).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa spiritualitas modern tidak lagi
memikirkan nilai spiritualitas pramodern. Seperti yang diungkapkan Griffin,
spiritualitas pramodern mengandaikan bahwa segala bentuk pemaksaan, yang
menyakiti dan membatasi kebebasan mereka untuk menentukan arah diri,

memerlukan pembenaran yang mengabaikan segala pertimbangan. Spiritualitas


modern mengabaikan anggapan itu.
Orientasi spiritualitas modern lainnya adalah seperti yang disebutkan oleh
Peter Berger sebagai futurisme, yaitu suatu kecenderungan untuk menggali hampir
semua makna masa kini dalam hubungannya dengan masa depan, yang dalam
praktiknya berarti melupakan masa lalu, memotong semua ikatan dengan masa
lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu ayang baru. Anti tradisionalisme
radikal ini adalah dimensi individualisme modernitas yang lain, yaitu bahwa
hubungan dengan masa lalu tidak dianggap sebagai bagian dari masa kini. (Griffin,
2005: 18-19)

7.1.3

Makna Spiritualitas Postmodern


Berbicara tentang fenomena spiritualitas seperti membicarakan fenomena

sosial-budaya lainnya, karena ia terkait secara erat dengan unsur terdalam (batin)
dari pengalaman manusia. Sekalipun begitu, penampakan praktiknya seringkali
begitu kasat mata, karena ia menjadi bagian ritual kehidupan sehari-hari. Karena
itu, kalau selama ini perbincanagan tentang agama, spiritual, atau spiritualitas
senantiasa dikaitkan dengan sesuatu yang diatas, sesuatu yang melampaui rasio
atau nalar, sesuatu yang dikaitkan dengan hal-hal yang adikodrati, sehinggga
dalam bahasa teologi sering disebut sebagai agama langit, maka sesungguhnya
praktik agama, spiritual, atau spiritualitas itu adalah sesuatu yang senantiasa hadir

di bumi, suatu fenomena yang dinamis sebagai realitas budaya dalam suatu
masyarakat (Subandi, 2007: 153).
Spiritualitas postmodern akan menciptakan sikap-sikap baru. Ia juga
berpikir tentang Tuhan dari pemikiran Abad Pertengahan dan modern awal. Bagi
kita yang tidak bisa melepaskan hubungan antara kata ini dengan citra rasa masa
lalu, kata Tuhan ini tidak perlu digunakan, paling tidak untuk sementara. Mungkin
yang lebih baik sebutan yang kita pakai adalah Realitas Suci. Realitas Suci adalah
Sang Pencipta kita, tetapi tidak dalam pengertian yang bersifat eksternal dan
sepihak. Realitas Suci ini merangsang kita dari dalam, mendorong kita untuk
menciptakan diri kita sendiri secara optimal. Realitas Suci menggerakkan kita
dengan memberi kita impian, bukan paksaan. Meniru Sang Realitas Suci ini
memberi orang lain berbagai pandangan yang dengannya mereka bisa
merealisasikan potensi-potensi mereka yang terdalam agara kreativitas mereka bisa
semakin meningkat. (Griffin, 2005: 194)
Meskipun

masyarakat

postmodern

masih

tetap

memiliki

dan

mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat


postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme dan
rasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan
manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi
masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16-17).
Lebih jauh lagi, menurut Griffin pemikiran postmodern melihat hubungan
mendasar yang ada dalam kehidupan sebagai yang tidak bersifat memaksa, dan

menunjukkan bahwa dalam semua relasi antar objek yang lebih mendasar adalah
sikap kerja sama, bukannya persaingan. Hubungan yang bersifat pemaksaan dan
persaingan memang ada, tetapi ini adalah sekunder. Memiliki kesadaran
postmodern adalah melihat dan merasakan keunggulan hubungan-hubungan kerja
sama, saling membantu, dan yang bukan pemaksaan. Suatu etika yang memiliki
wawasan tentang kesadaran semacam ini tidak akan melihat kekerasan sebagai
satu cara yang memuaskan demi tercapainya tujuan.
Untuk menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman yang mengalami
komodifikasi dan komersialisasi pada upacara gendang kematian etnik Karo
seperti saat ini, menurut Adlin yang kita butuhkan adalah ruang-ruang untuk
menghidupkan kembali kemampuan berkontemplasi dalam setiap aksi yang kita
lakukan. Karena dalam deraan masyarakat konsumer ini, betapa sering kebenaran
yang sederhana ini dilupakan, di mana manusia ingin melakukan kebaikan tanpa
terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, ingin mengubah dunia tanpa terlebih
dahulu mengubah diri sendiri, memuji-muji aksi tetapi meremehkan kontemplasi.
(Adlin, 2007: 161).
Pernyataan di atas, terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo, di
mana unsur-unsur di dalamnya mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Suatu aspek mendasar dari spiritualitas
postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi kita, pandangan dunia kita,
secara pasti menentukan etika dan cara hidup kita. Oleh sebab itu, dari sudut
pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa dipisahkan satu sama

lain. Kita tidak bisa mengatasi masalah yang ditimbulakan oleh cara-cara kita
mengatur kehidupan individu dan kelompok kita tanpa menolak pandangan dunia
yang mendasarinya.
Spiritualitas postmodern terus-menerus bersifat ekologis, dan memberikan
landasan filosofis dan teologis demi wawasan yang dipopulerkan oleh gerakan
ekologi. Ini sebenarnya menjadi landasan untuk suatu paradigma baru bagi kultur
kita, generasi-generasi kita dimasa depan akan tumbuh dengan suatu kesadaran
ekologis yang di dalamnya nilai dari semua objek dihargai dan saling keterkaitan
dari semuanya diakui. Kesadaran bahwa kita harus berjalan dengan hati-hati di
dunia, hanya memakai yang kita butuhkan saja, dan menjaga keseimbangan
ekologis demi sesama dan generasi-generasi masa depan, akan berupa akal sehat
(Griffin, 2005: 203).
Terkait dengan pernyataan di atas hendaknya etnik Karo dapat
merenungkan apa yang terjadi pada upacara gendang kematian saat ini. Tanpa
menyadari hakikat perenungan yang terus terancam dalam masyarakat konsumer
seperti saat ini, maka peneliti khawatir kebangkitan spiritualitas akan mudah
menjadi sekedar pendukung budaya konsumen, sehingga bisa jadi tidak banyak
membuahkan hasil yang bermanfaat bagi kemanusiaan, apalagi untuk menjawab
tantangan-tantanagan kemanusiaan di masa datang.

7.2 Makna Perubahan Budaya


Kebudayaan telah kehilangan definisinya karena secara umum telah
dimengerti dan dikenali sosoknya, tetapi dalam norma definitifnya ternyata labil.
Hal itu terjadi, karena standar pemahamannya secara konsepsional lebih
ditentukan oleh para teoretikus akademisi dan oleh penguasa kebudayaan yang
lebih kuat bahwa seni adalah dari asumsi penguasa kebudayaan yang lebih kuat
ini, seluruh gelar (setting) pengetahuan seni ditentukan. Oleh karena itu, mereka
yang lebih lemah dan terkuasai mengadopsi begitu saja pengetahuan itu seolaholah menjadi bagian dari dirinya (Hardjana, 2003 : 9).
Penciptaan seni adalah aktivitas kognitif yang dilakukan oleh orang-orang
yang terpilih dan terlatih, baik secara intelektual maupun emosional sehingga hasil
ciptaannya memiliki makna bukan saja terhadap sikap masyarakat dalam
memaknai kehadiran seni. Kendatipun seni merupakan sesuatu yang dapat dikenali
oleh semua orang, pemahaman dan pemaknaan atas kehadirannya tetap
memerlukan cara-cara tersendiri (Danesi, 2010: 233).
Dalam fungsi awalnya yang bersifat ritualistik dan mistis, yang diciptakan
oleh semua anggota komunitas sebagai karya kolektif, seni telah diyakini memiliki
makna-makna tertentu, baik terhadap senimannya maupun terhadap kehidupan
sosial dan alam lingkungannya. Pada zaman modern hingga postmodern, ketika
musik telah masuk dalam konsep perekayasaan kreativitas yang lebih bebas dan
terbuka, makna terhadap senimannya tidak hanya menjadi persoalan kolektif,
tetapi juga menjadi persoalan individu. Hal ini disebabkan oleh proses penciptaan

seni pada zaman modern dan postmodern ini lebih banyak berawal dari ekspresi
individu untuk menunjukkan identitas secara terbuka (Sugiartha, 2012: 297).

7.2.1 Beralihnya Nilai Spiritualitas Tradisi ke Modern


Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah
ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius
tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah itu dipakai untuk menunjuk pada
nilai dan makna dasar yang melandasi hidup manusia, baik duniawi maupun yang
tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen manusia
terhadap nilai-nilai dan makna tersebut.
Menurut Griffin, setiap orang memiliki spiritualitas meskipun bisa saja
spiritualitas yang nihilistik atau materialistik. Tentu saja kita juga bisa
menggunakan pengertian spiritualitas ini dalam maknanya yang lebih sempit,
yaitu suatu cara hidup yang diorientasikan ke hal-hal yang bukan kekuasaan,
nafsu, atau pemilikan. Bila yang dimaksudkan adalah spiritualitas dalam
maknanya yang sempit ini, maka nihilisme adalah spiritualitas semu, bahkan anti
spiritualitas. Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilai-nilai dan
komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15)
Salah satu makna beralihnya nilai spiritualitas tradisi ke modern adalah
teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama pemena/perbegu ka
agama Kristen. Benturan peradaban antara budaya Kristen dan budaya pemena

dari agama tradisi masyarakat Karo masih terasa kental sampai sekarang.
Sumardjo mengungkapkan bahwa dalam budaya tradisi pengalaman seni
merupakan pengalaman dengan daya-daya transenden yang dipercayainya. Dayadaya spiritual hadir dalam wujud medium simbol-simbol seni. Aktivitas
mendengarkan musik dapat berarti mengalami kehadiran yang transenden. Karena
yang transenden itu berasal dari luar pengalaman budaya, maka wujud seninya
juga tidak yang berasal dari budayanya. Namun, tanpa pengalaman budaya tak
mungkin yang transenden dapat dialami. Untuk itu, seni upacara menghasilkan
wujud paradoks antara yang dikenal dan tak diketahui dalam budaya suku supaya
yang transenden itu dapat dialami oleh manusia (Sumardjo, 2006: 97).
Selanjutnya menurut Sumardjo, spiritualitas tradisi adalah kesatuan
mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden,
kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini
hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan, dalam hal ini dapat dikatakan
agama asli Indonesia. Jadi, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk
memahami estetika seni budaya mistis adalah pengetahuan tentang kepercayaan
asli yang kini masih tersisa, ditambah dengan metode perbandingan dan data
tertulis pada masa lampau (Sumardjo, 2000: 323).
Manusia ditentukan oleh hubungannya dengan lingkungan. Akan tetapi,
dari hubungan-hubungan ini setiap saat manusia menciptakan dirinya dalam hal
keinginan, tujuan, nilai, dan makna yang dimiliki singkatnya dari spiritualitas kita.

Karena unsur-unsur otonomi ini setiap individu tidak hanya dibentuk oleh
lingkungannya, tetapi juga membentuk lingkungannya sendiri. Modernitas adalah
media pembentuk yang saling berpengaruh dalam menentukan sikap sebuah
masyarakat.
Atas dasar penjelasan di atas Griffin mengungkapkan bahwa modernitas
menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri
individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang
utama dengan individu (yang sebagian saja otonom) sebagai produknya, tetapi
menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu bebas yang secara
sukarela bergabung dengan tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja modernitas harus
mengakui bahwa tetap ada hubungan tertentu, khususnya hubungan dengan orang
tua, yang sangat dasariah, tetapi hubungan semacam ini dianggap hanya sebagai
perkecualian. Penekanannya sekaligus cita-citanya adalah kebebasan dasariah
seseorang terhadap yang lain (Griffin, 2005: 18).
Modernisasi muncul sebagai produk dari interaksi dan proses sosial di
dalam masyarakat. Sebaliknya, modernisasi itu secara bertahap akan berangsurangsur mengubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat untuk terus-menerus
meningkatkan mutu kehidupan. Pengaruh modernisasi terhadap masyarakat
berlangsung melalui saluran-saluran sosial dan akhirnya memasuki semua segi
kehidupan yang ada.

Menurut

Piliang,

dunia

globalisasi

yang

dicirikan

oleh

sifat

kesalingbergantungan dan ketidakterbatasan telah menciptakan sebuah situasi


penuh tantangan. Globalisasi membuat simbol, yang sebelumnya merupakan
wilayah komunitas budaya tertentu menjadi wilayah publik global yang diterima,
digunakan, dikonsumsi, dan diinterpretasikan oleh masyarakat global. Pada abad
informasi terdapat arus pergerakan dan perpindahan simbol yang cepat dan masif
dari satu tempat ke tempat lain dalam skala global. Hal itu berlangsung di dalam
medan simbolik global (Piliang, 2011: 3).
.

Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi

sarana perubahan budaya yang ampuh sekaligus juga alternatif pilihan hiburan
yang lebih beragam bagi orang Karo. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak
tertarik lagi menikmati berbagai seni tradisional yang sebelumnya akrab dengan
kehidupan mereka. Kesenian tradisional Karo, seperti gendang lima sendalanen
yang dulunya digunakan dalam gendang guro-goro aron (pesta muda-mudi) kini
tidak diminati karena dianggap ketinggalan zaman. Hal ini sangat disayangkan
mengingat gendang lima sedalanen merupakan salah satu bentuk ensambel
tradisional Karo yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral (lihat 7.1.1). selain
itu, juga merupakan salah satu unsur penanaman nilai-nilai moral yang baik.
Menurut Sutrisnaatmaka, untuk mencapai habitus baru yang benar-benar
membawa manfaat untuk hidup yang lebih manusiawi, kita sedang menghadapi
sekian banyak tantangan pada zaman modern ini. Budaya yang timbul pada zaman
modern tidak serta merta semakin menguntungkan perkembangan kesejahteraan

manusia dan peningkatan martabatnya. Kemudahan yang diperoleh karena


kemajuan teknologi memiliki pengaruh ganda. Di satu pihak, banyak kemudahan
dan efisiensi kerja meningkat. Manusia dapat hidup lebih enak dan tidak banyak
susah payah. Di lain pihak, tidak semua orang dapat menikmati kemajuan tersebut
mengingat kemampuan finansial dan daya beli yang terbatas. Tidak jarang justru
hasil-hasil teknologi itu menyiksa dan menimbuilkan kecemberuan sosial. Selain
itu, hasil teknologi canggih juga memicu budaya baru yang memberikan dampak
negatif bagi kehidupan masyarakat modern (Sutrisnaatmaka. 2006: 112).
Kondisi seperti ini secara nyata tampak pada etnik Karo, yang melihat
kehidupan dari objek visual modern tanpa menyadari meninggalkan tradisi mereka
dan beralih ke modern. Hal senada disebutkan Ruly bahwa objek visual seakan
sudah menjadi kebutuhan sehari-hari manusia, terutama untuk memperjelas
keunikan atau identitas dirinya di tengah-tengah komunitas masyarakat yang lebih
luas lagi. Hal ini memiliki dampak terhadap proses penciptaan objek visual itu
sendiri, yaitu pesan spiritualitas dan kontekstualitas berperan untuk membantu
menegaskan sekaligus mengangkat nilai-nilai yang tersisip, yang mungkin
adiluhung di balik visualisasi objek. Namun, masyarakat pula yang menggiring
nilai-nilai tersebut agar dapat dipermainkan dan dipertukarkan sehingga memiliki
nilai yang lain dan berbeda dengan nilai-nilai orisinalnya. Akhirnya, kembali
kepada individu dan masyarakat lagi yang menilai apakah akan mempertahankan
nilai-nilai

objek

yang

orisinal

dan

mungkin

adiluhung

atau

memang

membiarkannya bermain dan diombang-ambingkan di tengah kubangan persepsi


masyarakat modern (Ruly, 2007: 151).

7.2.2 Terkikisnya Spiritualitas Etnik Karo


Etnik Karo yakin sebagian besar budaya yang dimiliki bersumber dari
agama pemena yang tidak dapat dipisahkan dari adat istiadatnya. Hal tersebut
terwujud dari upacara-upacara adat istiadat sebelum dipengaruhi oleh agamaagama sekarang (lihat, 6.2.1). Berkaitan dengan degradasi spiritualitas upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi ke arah sekularisasi bermakna
pada terkikisnya spiritualitas etnik Karo. Dalam hal ini roh globalisasi yang tidak
mungkin dibendung menghadirkan pluralistik di bidang kebudayaan. Masuknya
(ideologi) agama besar tersebut menjadi tantangan bagi budaya dan kepercayaan
lokal dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya pergeseran sendi-sendi
budaya tradisional yang disertai pembongkaran, pembalikan nilai-nilai dan maknamakna dalam kehidupan orang Karo. Nilai-nilai yang dahulunya sakral, kemudian
mengalami perubahan ke sekular sehingga terjadi keresahan sampai pada
terjadinya krisis identitas. Perubahan ini akan melemahkan integrasi, kesadaran
solidaritas, kesadaran sejarah, dan kesadaran budaya yang mengakibatkan
kaburnya identitas etnik Karo secara umum.
Maraknya wacana mayoritas-minoritas sampai dimunculkannya doktrin
multikulturalisme, dalam hal ini lebih kepada mempromosikan keberagamaan,

baik etnik, kelompok, agama, maupun budaya. Tujuan paham tersebut adalah
membangun suasana yang lebih egalitar, damai, toleran, dan saling menghargai
agar dapat hidup secara bersama dan rukun. Berdasarkan fenomena ini, Minawati
(2010: 280) menjelaskan bahwa seseorang ditentukan oleh kelompok sosialnya
sebagai tempat individu bergabung dan melakukan sesuatu yang menguntungkan
kelompoknya. Apabila dikaitkan dengan uraian ini, komunitas upacara gendang
kematian sebagai individu dan kelompok sosial memiliki keterkaitan dengan
komunitas lain. Mereka berbaur tidak berdasarkan upacara, tetapi juga berdasarkan
identitas sosialnya.
Masuknya agama-agama besar pada etnik Karo menjadi tantangan bagi
perkembangan dan pelestarian tradisinya. Di sinilah kemudian disadari atau tidak
oleh masyarakat telah terjadi penjajahan budaya. Budaya sangkep nggeluh dalam
adat telah terbingkai oleh perkembangan agama-agama besar lainnya, sehingga
konsep-konsep tradisi Karo banyak yang terkikis karena dianggap bertentangan
dengan agama baru. Kenyataanya, banyak budaya Karo yang terpinggirkan apabila
disejajarkan dengan paham keyakinan, seperti Kristen dan Islam. Berdasarkan
konsep agama tersebut, begitu banyak masyarakat Karo yang masuk dalam paham
kefanatikan agama sehingga ikut memangkas budaya Karo dan mengantikannya
dengan tata cara agama.
Sebagai contoh, kalau dulu untuk melakukan upacara perkawinan,
masyarakat Karo melihat hari baik (lihat, 4.1.6.3), untuk menentukan upacara
perkawinan, dan akan disepakati oleh sangkep nggeluh, tetapi sekarang sudah

berubah. Niktik wari (mencari hari baik) menurut tradisi Karo zaman dahulu telah
terabaikan oleh agama-agama sekarang. Waktu perkawinan cenderung ditentukan
oleh pastor ataupun pendeta. Dengan adanya kenyataan ini, secara disadari
maupun tidak, masyarakat telah dikuasai oleh ideologi agama besar tersebut.
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada etnik Karo, maka budaya Karo
dalam praktiknya telah banyak mengalami toleransi-toleransi. Dalam hal ini
kalimat toleransi merupakan satu hal yang tidak disadari meruntuhkan aturanaturan adat istiadat yang selama ini dijunjung sangat tinggi. Toleransi dan
kebebasan menjadi suatu hal yang berujung pada pengorupsian dan penghilangan
budaya Karo, yakni dari cabang sampai pada yang sangat substansial (akar).
Toleransi dalam hal ini apabila dicermati, telah sampai pada taraf kebablasan,
karena dalam paham tersebut kesepakatan dianggap memiliki posisi lebih tinggi
daripada adat istiadat. Artinya, dalam pelaksanaan adat yang menjadi titik sentral
adalah kesepakatan. Jika dicermati lebih jauh, ketika suatu kebiasaan dikikis,
tetapi disepakati maka berarti tidak ada persoalan. Kemudahan-kemudahan yang
menjadi alternatif dipedomani karena alasan waktu, ekonomi yang efektif dan
efesien meskipun hanya sebagai formalitas. Hal ini dapat disebut dengan istilah
hegemoni.
Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk menunjukkan hubungan
kekuasaan kelas dominan terhadap kelas subordinat. Lebih jauh dikatakan bahwa
hegemoni merupakan suatu kondisi kelas dominan mengatur dan mengarahkan
masyarakat melalui kepemimpinan moral intelektual. Hegemoni terjadi karena

adanya konsensus, yaitu kelas bawah atau subordinat mendukung atau menyetujui
nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka
pada struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan
kelompok dominan relatif tidak ditentang karena ideologi yang ditanamkan sudah
diinternalisasi secara sukarela sehingga dipandang sebagai bagian kepentingan
kelompok subordinat (Patria dan Arief, 2003; Pujaastawa, 2011: 58).
Kesadaran-kesadaran ini apabila dikaitkan dengan pengakuan beberapa
orang tua yang sudah berusia enam puluh tahun ke atas, yakni dapat diyatakan
bahwa tradisi Karo telah mengalami erosi budaya. Njenap Ginting sebagai pakar
budaya Karo ikut mengamini dan mengatakan:
Sudah banyak sekali perubahan dalam adat istiadat kita. Hal ini dapat kita
lihat ketika dalam pelaksanaan upacara perkawinan, upacara kematian,
masuk rumah baru, dan lain-lain yang dilakukan berdasarkan adat istiadat,
tidak dilakukan lagi sebagaimana mestinya tata cara adat dalam tradisi
Karo (wawancara, 27 Mei 2012)
Dari ciri-ciri tersebut tergambar bahwa telah terjadi pengikisan terhadap budaya
Karo, baik secara etika maupun moral. Sepantasnya adat tidak dijalankan hanya
dalam waktu tertentu atau peristiwa-peristiwa khusus upacara adat, tetapi dijadikan
sebagai pegangan berperilaku di masyarakat Karo dalam menjalani kehidupannya.
Pelanggaran dan korupsi budaya akan mengerucut sehingga terjadinya erosi
budaya secara besar-besaran, yang tentunya dapat mengaburkan identitas Karo,
budaya Karo, dan etnis Karo. Menurut Rutherford (Minawati, 2010: 282),
menyebutkan masyarakat seharusnya menganalogikan identitas sebagai rumah
karena rumah merupakan tempat kembali dan tempat awal berasal.

Berdasarkan fenomena budaya yang dialami masyarakat Karo, maka dapat


diketahui bahwa generasi muda sudah melupakan asal usulnya, budayanya,
leluhurnya, dan semua hal yang mengawali sebelum mereka ada. Hal-hal tersebut
yang membuktikan bahwa budaya Karo telah terongrong dari akarnya. Hal seperti
itu terjadi karena kuatnya pengaruh dan kontestasi budaya global dengan budaya
lokal di samping masuknya ideologi agama besar. Fenomena zaman seperti ini
dekat dengan erosi budaya yang terjadi dalam masyarakat Karo, terutama yang
terkait dengan adat dan budayanya.
Sesuai dengan yang dialami, Njenap Ginting menyatakan bahwa
kebudayaan Karo saat ini sudah rusak secara mental (tabiat sehari-hari/kebiasaan
sehari-hari). Terkait dengan fenomena ini, Minawati (2010: 282) menyatakan
bahwa lokalitas sering diposisikan sebagai entitas budaya yang terpinggirkan dan
tersudutkan oleh jelajah global. Oleh karena itu, Njenap Ginting berharap kepada
seluruh masyarakat Karo, terutama generasi muda, baik di Tanah Karo maupun di
luar Karo seperti berikut ini.
Man kita kalak Karo tanggung jawabta adat Karo, si enda me nininininta nari la lupa, harus metenget, erpenggejaben, ermediate ibas
kegeluhenta peretibi enda.
Terjemahan:
Kepada seluruh masyarakat Karo bertanggung jawab terhadap adat
kebudayaan Karo dan tidak meniru-niru budaya Barat atau budaya
lainnya. Leluhur mengingatkan agar lebih berhati-hati, tanggap dengan
rongrongan budaya luar, perhatian dengan keseimbangan lingkungan
sekelilingnya (wawancara, 27 Mei 2012).

Berdasarkan fenomena dan dinamika budaya yang terserap oleh masyarakat Karo,
khususnya para generasi muda, Njenap Ginting berpendapat seperti yang
dijelaskan berikut ini.
Generasi sekarang hanya meniru-niru yang mereka tidak mengerti, ke
mana akan dibawa, seperti menjalani hidup yang tidak terarah, seperti
burung cip-cip yang mengeramkan telur burung piso surit, setelah
menetas, ada yang aneh dengan anak tersebut karena berbeda dengan
yang semestinya. Dan akhirnya induknya pun bingung dalam
membimbing anaknya dalam kehidupan sehari-hari (wawancara, 27 Mei
2012).
Apa yang disampaikan Njenap Ginting cukup jelas bahwa budaya
merupakan warisan nenek moyang terdahulu, dalam hal ini budaya tersebut
memiliki nilai-nilai dan filosofi orang Karo. Di samping itu, perlu disadari bahwa
budaya Karo merupakan satu ikatan dan pegangan bagi etnis Karo yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti satu bangsa, satu
adat, satu kebudayaan, dan satu daerah Tanah Karo yang bertujuan menciptakan
suatu keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, lebih jauh dijelaskan oleh
Ropong Tarigan seperti berikut ini.
Adi masap pagi adat ta enda, uga nge pagi cibalna pergeluhta kupudi
wari? Kai pagi tanda-tandana pagi kita tubuh ibas daerah Tanah Karo
enda nari? Adi alu cara cakapta saja kuakap lanai bo cukup alasenta
maka kita kita Karo.
Kalau hilang nanti adat kita ini, bagaimana nanti keadaan kita di belakang
hari? Apa nanti tanda-tanda bahwa kita lahir di daerah Tanah Karo ini?
Kalau hanya berdasarkan bahasa saja, saya kira tidak cukup menjadi alasan
kita menjadi suku Karo (wawancara, 06 Mei 2012).
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa dalam etnik Karo, adat tidak berarti
membeda-bedakan manusia sebagai manusia ciptaan Tuhan, tetapi mengatur

posisinya dalam adat, seperti sembuyak, kalimbubu, dan anak beru. Dalam kaitan
ini, semua orang Karo masih mengakui dan mengetahui adat (budaya) Karo karena
mereka akan melakoninya secara bergantian. Di sanalah letak keadilan dan sikap
tidak membeda-bedakan yang dimaksud, sebagaimana yang disampaikan Njenap
Ginting di bawah ini.
Kalak Karo harus mehamat, mereha, mehangke, rebu, ula jagar-jagar,
ula meriah-meriah, biak irahasiakan, biak banci erterus terang, ras biak
tungkuken (jimpuh).
Orang Karo harus sopan, segan, serius, tidak boleh sembarangan, tidak
boleh bercanda gurau dengan pihak-pihak tertentu, ada hal yang pantas
dirahasiakan, ada juga yang harus diterusterangkan, dan ada juga yang
pantas di hormati (wawancara, 27 Mei 2012).
Adat istiadat berisikan peraturan dan larangan, hukum/kedisiplinan yang
mengatur kebiasaan kehidupan orang Karo, baik terhadap manusia, alam, maupun
Tuhan. Semua aturan dan tata cara yang diajarkan oleh nenek moyang terdahulu
adalah cara (bicaranya) atau pelaksanaan pengucapan rasa syukur, yang
merupakan bawaan dalam hidup untuk diwariskan tanpa diperkenankan untuk
merusaknya. Dalam hal ini, Hertz dan Gennep (Minawati, 2010: 285) menyatakan
bahwa makna adat harus diangkat dari struktur kongnitif. Berdasarkan uraian
tersebut, diketahui bahwa budaya yang tertuang dalam adat istiadat harus bersifat
fisikal atau teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat.
Terjadinya peperangan nilai antara budaya tradisional dan budaya global
memunculkan budaya baru sebagai kiblat budaya masyarakat saat ini. Menurut
Minawati (2010: 285), globalisasi dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya budaya

seragam, yang secara halus menetapkan standar nilai-nilai baru. Peperangan


budaya atau perebutan makna yang terjadi antara budaya global dan budaya lokal
tidak dapat dihindarkan. Hal tersebut menjadi tantangan yang sangat mendasar
dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi dan budaya Karo. Pandangan ini
didukung oleh Abdilah (2002: 117) yang menyatakan bahwa budaya global
menjadi

proyek

hegemoni

baru

terhadap

identitas-identitas

yang

ada,

memarginalisasi, diketahui diketahui bahwa bahwa bahkan membunuhnya sama


sekali. Berdasarkan penjelasan Abdilah, perkembangan kebudayaan Karo, seperti
yang dijelaskan Ropong Tarigan dan Njenap Ginting, sudah jauh meninggalkan
akar filosopi masyarakat Karo. Untuk lebih jelasnya dapat dipahami sebagaimana
yang diungkapkan oleh Njenap Ginting berikut ini.
Selama kita dijajah tentu saja terhambat dalam pengembangan budaya
kita. Jangan dulu kita cerita ketika Zending datang ke Karo. Sejak tahun
kemerdekaan saja apakah ada penambahan adat istiadat Karo? Yang ada
hanya penambahan atau pengurangan yang merusak, yang membuat
identitas orang Karo menjadi kabur, semakin tidak jelas konsepnya, adat
yang mana yang mau diikuti, akhirnya berjalan dengan sendiri-sendiri.
Semua begitu akhirnya semua menjadi pantas. Orang tua menangis melihat
anak cucu yang sudah berperilaku semena-mena dalam hidup, kepada
orang tua, saudara dan yang lainnya. Kalau dinasihati, dibilang kuno,
primitif, terbelakang, akhirnya kita memilih diam (Wawacara, 27 Mei
2012).
Berdasarkan komentar tersebut, dapat dipahami bahwa pemangkasan
budaya Karo sudah menjadi suatu kesadaran baru, rongrongan yang sangat
kompleks sehingga bukan hanya penjajahan budaya yang terjadi, melainkan
kapitalis dan sikap konsumerisme masyarakat yang tinggi. Dalam hal ini, Jekmen
Sinulingga (wawancara, 30 Juni 2012) menyampaikan bahwa dalam situasi ini

keluar istilah kalak Karo ndayaken bana (orang Karo menjual dirinya). Berkaitan
dengan fenomena ini, peperangan budaya terjadi, yakni menurut Minawati (2010:
287) seperti di bawah ini.
Peperangan budaya adalah saat suatu kekuatan budaya, politik, atau
ekonomi (yang umumnya hegemonik) melakukan serangan atau teror halus
terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan lain. Dalam hal ini,
bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan komunitas
budaya di bawah kendalinya.
Dari uraian ini diketahui terdapat peperangan ideologi, baik secara budaya
maupun agama (Islam dan Kristen) yang diyakini memiliki ideologi Barat yang
menyerap ke dalam budaya tradisi (lokal). Proses tersebut dekat juga dengan
praktik yang dikenal dengan imperialisme budaya. Menurut Minawati (2010: 288),
seperti berikut ini.
Berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik
perhatian. Perang kebudayaan melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai
cara. Efek perang budaya dapat berlanjut dari generasi ke generasi, dan
umumnya berlangsung tanpa sadar, bahkan menyenangkan korbannya.
Apa yang disampaikan Khamenei tidak berbeda dengan konsep
hegemoni Gramsci. Sepatutnya generasi muda dapat menjadi tonggak estafet
dalam pengembangan dan pelestarian budaya Karo sehingga tidak perlu
dipertanyakan. Pernyataan lain disampaikan Njenap Ginting seperti di bawah ini.
Kalau dulu di setiap desa ada ketua adat. Fungsi ketua adat ini melakukan
pengontrolan dalam pelaksanaan adat di desa tersebut. Ketika ada pesta,
baik yang suka cita maupun duka cita ketua adat akan menjadi sangat
penting kedudukannya. Ketua adat dalam masyarakat Karo sangat
dihormati dan digurui, seperti pertua. Bila ada pelanggaran adat yang
dilakukan oleh warga, maka yang menjadi hakim adat dalam memberikan
keputusan sanksi, yang disaksikan oleh kepala desa dan warga. Sekarang
ketua adat tidak difungsikan lagi dalam struktur desa. Jadi, apa pun yang

terjadi tidak ada lagi yang mengontrolnya, mau ada yang di desa tersebut
selingkuh, kawin dengan semarga, dan perbuatan-perbuatan sumbang
lainnya, tidak ada mendapat sanksi. Sanksi/hukum yang berkembang hanya
dari aparat pemerintah seperti kepolisian. Artinya, tidak ada lagi kontrol
atau langkah preventif dari masyarakat (wawancara, 27 Mei 2012).
Dalam hal ini tampak koreksi Njenap Ginting tentang hilangnya kontrol
adat dalam masyarakat. Sebagaimana Jekmen Sinulingga juga sudah pesimis
dengan keberadaan budaya Karo yang sudah tercemar, dikatakannya berikut ini.
Kalau dahulu kita dengan mengorbankan harta benda, menghanguskan
bumi pertiwi, mengungsi dalam mengusir penjajah dan segala sifatsifatnya. Akan tetapi sekarang, kita tanpa melakukan perlawanan terhadap
sifat-sifat penjajah sudah meresap ke dalam darah daging, dan merongrong
generasi kita. Kita sekarang menjadi masyarakat yang konsumeristis
(Wawancara, 20 Juni 2012).
Fenomena erosi budaya dalam masyarakat Karo dikenali mulai tahun 1990,
yakni awal masuknya musik keyboard dalam ensambel tradisional Karo. Dalam
hal ini Ismail Bangun mengatakan sebagai berikut.
Nina tua-tuanta, anak-anakta sigundari enda, lanai bo erluhu, lanai eruga, lanai tehna mereha ras mehangke, lanai lit rebuna. Kutera pe enggo
banci, gelah sura-sura erdalen. Bagem gundari si jadi bas gendang
Karo. Banci mon-mon ras turangna pe ia landek.
Banyak orang tua berpendapat bahwa generasi muda yang sekarang ini
tidak beretika, tidak bermoral, tidak tahu malu, tidak ada yang tidak
pantas, bagaimanapun dijalankan asal keinginannya terpenuhi. Begitulah
sekarang yang terjadi dalam gendang Karo. Kadang-kadang mereka
menari dengan semarga tetapi tidak dipedulikan (wawancara, 10 Mei
2012).
Pemahaman adat yang sesungguhnya berarti berasal dari warisan turuntemurun. Dalam hal ini pentingnya adat dilaksanakan oleh orang Karo agar bisa
diterima dalam lingkungan adat dan sangkep nggeluh. Selanjutnya, apabila

disimak kata merga yang memiliki makna diberi harga atau semua masyarakat
Karo berharga tanpa membeda-bedakan kelas.
Salah satu budaya Karo yang ditinggalkan setelah masuknya agama
Kristen atau Islam adalah perumah begu yang dipimpin guru sibaso (lihat 4.1.6.1).
Hal ini tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Binneka Tunggal
Ika. Bahkan, dalam hal ini dikatakan bahwa wajib bagi setiap warga negara
melestarikan segala nilai budaya di samping nilai-nilai budaya lokal hendaknya
terefleksi dalam filosofis masyarakatnya, baik secara geografis, bahasa, seni,
budaya, maupun kepercayaan setempat. Adapun tujuannya adalah untuk
mengembalikan dan mewujudkan kembali identitas sosial masyarakat yang berada
di antara kebingungannya. Terkait dengan fenomena ini, Said (Minawati, 2010:
290)

menyatakan

bahwa

kebingungan

budaya

terjadi

karena

terdapat

ketumpangtindihan budaya, kait-mengait, saling berhubungan, dan tidak satu pun


budaya itu tunggal dan murni, serta di dalamnya ditemukan sesuatu yang bersifat
hibrid, heterogen, dan tidak terdapat sifat yang monolitik.
Rawannya rongrongan dari luar dan rapuhnya kondisi upacara gendang
kematian tidak hanya berakibat punahnya tradisi pada Karo, tetapi dapat
berdampak kepada penghilangan budaya Karo. Bila hal tersebut terjadi, tentunya
akan dapat menghilangkan sistem kekerabatan dan adat istiadat (rakut si telu),
yang secara kajian budaya hal tersebut juga bertentangan dengan sikap
multikulturalisme. Hal ini apabila dikaitkan antara upacara gendang kematian dan

budaya Karo, khususnya rakut si telu tercermin dalam adat istiadat, diyakini
bersumber dari leluhur orang Karo.

7.2.3 Menurunnya Kreativitas Seniman


Seperti yang telah diuraikan (lihat subbab 6.1.2) bahwa kreativitas seniman
tidak bisa terlepas dari makna perubahan spiritualitas upacara gendang kematian
etnik Karo pada era globalisasi. Kreativitas merupakan salah satu faktor intern
menjawab perubahan ini. Kreativitas merupakan bagian dari hidup manusia dan
manusia yang kreatif mampu menjawab berbagai tuntutan kebutuhan dan
tantangan zaman. Kreativitas lahir dari hasil rekayasa pikiran manusia kreatif yang
membuat kita mengaguminya.
Menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo sangat erat berkaitan
dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang
kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern terhadap perubahan
budaya Karo. Dewasa ini gendang kibod sudah mendominasi kesenian Karo dan
menimbulkan banyak reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo
sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran gendang kibod ini membuahkan pro
dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang
mencemaskan bahwa kehadiran gendang kibod akan berdampak buruk terhadap
eksistensi gendang lima sendalanen dan keaslian kesenian Karo yang terkait
dengan kosmologinya.

Amat Depari mengungkapkan sebagai berikut.


Uga ningen banci gundari kita beluh, adi cukup sada program saja nggo
banci ipelandekna kerina jelma. Emaka adi banci kataken labo lit sitik pe
pemetehna kerna seni, ngkai maka bage ningku, lanai angka penggual
sigundari kai kin ertina gandang lima sendalane e, bas kalak Karo situhna
me lit nge kerina kaitenna alat musik e ras sangkep nggeluta kerina. Adi
kibod ah kai nge sibanci ituriken adi la sorana ngenca. Situhuna gendang
Karo enda labo sora ngenca tapi uga maka bagenda nai bentuk gendang e
me lanai bo angkana kerina. Adi kami gelgel e, kenca beluh kami malusa
emaka ipelajari kami ka uga erbahansa. Ije me nari nuri-nuri ka singajari
kami ija nari kin rehna gendang enda.
Sekarang susah kita menemukan seniman tradisi yang kreatif karena
dengan menekan satu tombol saja sudah bisa membuat orang menari. Oleh
sebab itu, mereka sebenarnya tidak mengerti apa yang disebut seni. Saya
yakin seniman Karo sekarang tidak bisa memaknai apa yang sebenarnya
ada pada ensambel gendang lima sendalanen. Mereka tidak tahu bahwa
setiap unsur yang ada pada gendang lima sendalanen itu ada kaitannya
dengan sistem kekerabatan sangkep nggeluh pada masyarakat Karo.
Apalah yang bisa dibicarakan dari keyboard di luar bunyi yang
dihasilkannya. Akan tetapi gendang lima sendalanen adalah dapat
menceritakan bagaimana masyarakat Karo berinteraksi dengan alam,
manusia, demikian juga Dibata (Tuhan)-nya. Hal ini kami dapat ketika
kami belajar memainkan dan sekaligus belajar membuat gendang itu,
sambil guru kami bercerita tentang gendang tersebut (wawancara, 20 April
2012).
Pernyataan Amat Depari tersebut didukung oleh Marriam, yang
mengungkapkan bahwa penggunaan (use) dan fungsi (function) merupakan
masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi karena hal ini menyangkut
makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik. Akan tetapi, lebih dari itu,
kita ingin mengetahui pula efek atau dampak musik terhadap manusia dan kita
ingin mengerti bagaimana efek tersebut dihasilkan. Singkat kata, penggunaaan
musik menyangkut cara pemakaian musik dalam pandangan yang lebih luas
(Merriam 1964: 209).

Etnomusikologi pada dasarnya mempelajari musik dan instrumen musik


dari semua bangsa non-Eropa, termasuk kelompok-kelompok suku yang disebut
primitif dan bangsa-bangsa Timur yang berbudaya. Etnomusikologi disebut
sebagai tradisi oral karena etnomusikologi pada dasarnya mempelajari musik yang
diwariskan turun-temurun yang disebut dengan tradisi lisan. (Murgyanto, 2008:
19)
Menurut Karder, etnomusikologi pada dasarnya berurusan dengan musikmusik yang masih hidup (termasuk di dalamnya instrumen-instrumen musikal dan
tari) yang terdapat di dalam tradisi lisan, di luar batasan pengertian musik urban
musik-musik seni Eropa. Subjek-subjek dan sasaran penelitian utamanya adalah
musik-musik pada masyarakat nonliterasi (atau musik tribal), musik yang
diajarkan secara lisan melalui tradisinya pada suatu kebudayaan. Dampak dan
akulturasi juga merupakan sasaran studi etnomusikologi. Ini dapat dilakukan
melalui studi terhadap musik populer atau musik komersial, yang dalam hal ini
terdapat di dalam tradisi-tradisi masyarakat urban de berbagai bagian dunia
sebagai pusat perhatiannya (Krader, 1995: 2).
Apabila dicermati ungkapan di atas, diketahui bahwa dampak dari musik
populer atau musik komersial sangat kuat memengaruhi kreativitas seniman
masyarakat Karo. Terpasungnya kreativitas seniman/ penggual dalam ensambel
gendang lima sendalanen tidak terlepas dari apa yang diungkapkan Jenda Bangun
bahwa hal ini cenderung disebabkan oleh politik kebudayaan lokal, yaitu
kebijakan pemerintah daerah yang tidak mampu merumuskan secara tepat apa itu

kebudayaan dengan langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkan eksistensi dari


sesuatu yang selama ini dikenal sebagai ensambel musik tradisi. Pengalaman
sejarah masa lampau Karo telah membuktikan, bahwa arus globalisasi telah
banyak menghilangkan nilai-nilai tradisi lama/tradisi lisan, dan manusia Karo
terlalu cepat dan mudah menerima kebudayaan baru, meskipun disisi yang lain apa
yang baru belum tentu diterima begitu saja, akan tetapi ada proses adaptasi,
akulturasi budaya bahkan secara revolusioner dengan konversi diterima begitu saja
apabila dianggap sesuai dan ada persamaan dengan nilai-nilai tradisi
(wawancara, 11 Mei 2012).
Dari fenomena di atas jelas sekali bahwa globalisasi telah begitu besar
memengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo. Dengan munculnya
gendang kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional,
baik untuk acara-acara ritual kematian maupun acara-acara adat lainnya.
Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya. Akan
tetapi, berimbas pula kepada pemasungan kreativitas seniman-seniman tradisinya
sendiri yang akhirnya semakin jarang dipertunjukkan. Dari sisi lain, kemudahan
dalam menyajikan, dan murahnya biaya pertunjukan

mengakibatkan gendang

kibod semakin eksis pada masyarakat Karo. Selain itu, banyaknya lagu populer
yang mudah dimainkan dengan gendang kibod juga semakin memojokkan
keberadaan gendang lima sendalanen.
Saat ini yang menjadi persoalan penting dalam kebudayaan Karo adalah
belum memadainya pengalaman manusia Karo tentang hakikat kebudayaan itu

sendiri. Pengertian yang kurang memadai menurut Kaunang, membuahkan sikap


dan perlakuan yang keliru, bahkan tak jarang sangat bertentangan dengan
pembudayaan yang seharusnya. Akibatnya, jelas bahwa produk budaya,
pendidikan, kualitas moral, dan kecerdasan kreatif tidak pernah dapat bisa
dijalankan dengan jaminan kepastian yang terukur. Pendidikan budaya menjadi
lebih dari sebuah proses perjudian (gambling), penguasa politik, kapitalisme mulai
melemparkan dadu dan hanya bisa berharap atas apa hasil akhirnya. Akibatnya,
politik kebudayaan kita terlalu politis, maka budaya politik pun sangat tak
berbudaya (Kaunang, 2010: 299).
Kebudayaan itu dinamis. Kebudayaan adalah praktik-praktik kehidupan
sehari-hari. Kedinamisan kebudayaan melahirkan daya kreatif manusia dalam
menjawab tantangan zaman dengan berbagai kreativitas kebudayaan untuk
memenuhi kepuasan estetika manusianya, sebagai pendukung budaya upacara
gendang kematian. Menurut Kaunang (2010: 300), terdapat beberapa pola pikir
yang keliru dalam menangani kebudayaan. Ada yang mengira bahwa kebudayaan
hanyalah urusan seni tradisional semata, adat istiadat, sistem kosmologi sejak
zaman nenek moyang dengan segala praktik mistiknya, pokoknya serba masa lalu.
Pemikiran seperti ini memang tidak salah karena apresiasi masyarakat atas
hasil kebudayaan nenek moyangnya merupakan tumpuan berkreasi dalam
melahirkan karya-karya kebudayaan yang lebih tinggi. Namun, fenomena kekinian
menunjukkan bahwa pemahaman kebudayaan pada etnik Karo berkaitan dengan
upacara gendang kematian yang terjadi bahwa pola-pola keseragaman,

standardisasi selalu diikat oleh aturan yang tanpa peraturan membatasi kreativitas
seniman. Aturan tanpa peraturan dimaksud di sini, seolah-olah keyboard sebagai
instrumen musik tunggal harus hadir dalam suatu ritual pada masyarakat Karo.
Hal ini menyebabkan, bukan saja kreativitas seniman terpangkas dalam hal
penciptaan, melainkan kreativitas berpikir pun terpangkas oleh fenomena ini.
Wujud terkikisnya kreativitas seniman dalam hal ini sangat erat terkait dengan
bagaimana seniman mengenal dirinya sendiri melalui budayanya. Menurut Jenda
Bangun, dengan hadirnya instrumen musik modern dalam kesenian tradisi
masyarakat Karo, yang sebelumnya dimainkan oleh lima orang dengan nilai-nilai
budaya yang tinggi mengakibatkan kreativitas seniman terpasung. Bagaimana
seniman dapat berkreativitas jika mereka meninggalkan nilai-nilai budaya yang
semestinya dipahami.

7.3. Makna Perubahan Kehidupan Sosial


Globalisasi masuk ke rumah kita tanpa mengetuk pintu dan tanpa ada
jendela atau pintu yang rusak. Mungkin itulah sebabnya lebih dari dua dasawarsa
yang lalu globalisasi media sudah sampai ke kampung kita. Media baru
mempunyai kekuatan untuk menyusup lebih jauh ke dalam kebudayaan penerima
dibandingkan dengan manifestasi budaya Barat manapun sebelumnya (Subandy,
2007: xviii). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perubahan kehidupan sosisl
tidak akan dapat dibendung tanpa memahami nilai-nilai tradisi leluhur.

Ketidakpahaman akan nilai ini akan membentuk pola pikir sebuah tradisi masuk
ke sendi-sendi kehidupan sosialnya.
Demikian yang dialami oleh masyarakat, khususnya etnik Karo akibat
derasnya hantaman arus globalisasi. Globalisasi membentuk manusia untuk
memudahkan segala sesuatu akibat tuntutan zaman. Hal ini seperti yang diutarakan
oleh Njenap Ginting berikut.
Kalak Karo, ope denga sigundari emekap sangana kita kujuma denga kai
pe gel-gel lakon silit iras-rasken kerina ndungisa. Anak beru masa sie seh
kal nge jingkatna kerina. Senina ras kalimbubu pe labo lit ketadingen ibas
lakon e, terlebih-lebih ibas kalak mate. Adi gundari lanai bo sieteh kai
situhuna man ayakenta, sebab kai pe nggo banci itukur. Adi gel-gel igiling
denga ura-ura bengkau, adi gundari nggo banci tukur saja, adi gel-gel
kotak mayat pe anak beru erbahansa, gundari itukur saja. Labo e saja tapi
sierdahin pe nggo banci igalari, emaka anak beru si erdahin nggo banci
kundul saja erkiteken nggo lit sierdakan emekap ketring nina. Adi gel-gel I
pebetehken man siergendang lima seendalanen gundari nggo banci kibod
saja. Kai pe gundari banci iergai alu sen.
(Orang Karo, sebelum terkena pengaruh globalisasi, yaitu pada masa
agraris segala kegiatan dilakukan secara gotong royong. Anak beru sangat
bertanggung jawab atas semua jenis pekerjaan dalan kegiatan adat tersebut.
Senina dan kalimbubu melaksanakan tugasnya masing-masing, terutama
pada peristiwa kematian. Hari ini saya tidak mengerti apa yang sebenarnya
dikejar orang Karo. Kalau dulu bumbu makanan tidak perlu dibeli, masingmasing kerabat akan membawa dan mengolahnya bersama-sama. Peti
mayat yang seharusnya dikerjakan anak-beru sekarang hanya cukup
dengan memesannya saja. Anak beru yang semestinya mengerjakan segala
sesuatu, cukup duduk manis karena sudah ada catring yang menggantikan
posisinya dengan cukup membayarnya. Gendang lima sendalanen yang
dulunya dipanggil dengan sebutan kehormatan sebagai sierjabaten cukup
memesan sebuah keyboard untuk menggantikan posisinya. Segala
sesuatunya bisa dibeli dengan uang) (wawancara, 24 Desember 2012).
Jika diperhatikan perubahan upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi, tidak dapat menunjuk pada sebuah faktor tunggal sebagai sumber

dari perubahan dalam upacara tersebut. Seperti yang diungkapkan Lubis, yang
lebih sering perubahan itu terjadi diakibatkan oleh serangkaian peristiwa. Salah
satu dari peristiwa tersebut yaitu inovasi. Inovasi adalah penemuan dan
pengungkapan tentang sesuatu yang baru seperti gagasan, proses, praktik, alat,
atau sarana (Lubis, 2006: 222).
Hal tersebut didukung oleh Jurgen Habermas, yang menjelaskan
bagaimana sistem (kuasa dan uang) telah menjajah dunia kehidupan (komunikasi
intersubjektif). Kita tidak pernah lagi duduk bersama bersepakat tentang apa yang
baik, indah, dan benar. Semuanya dipaksakan dari luar oleh kuasa dan uang yang
bekerja secara utilitaris (Adlin, 2007: 29).
Dalam upacara gendang kematian, masalah perubahan kehidupan sosial
yang timbul bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Hal ini terjadi di luar
kesadaran masyarakat Karo. Oleh sebab itulah, maka lebih tepat disebut sebagai
efek sampingan dari proses perubahan itu sendiri. Mengingat bahwa perubahan
kehidupan sosial merupakan fenomena yang saling mengait, maka tidak
mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek,
dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan
pada aspek lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian
dikategorikan ke dalam masalah perubahan kehidupan sosial.
Berbagai makna perubahan kehidupan sosial dari perubahan upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi memandang sistem sosial pada
dasarnya bersifat dinamis. Perubahan sosial sebagai proses yaitu suatu bentuk

sosial beralih ke bentuk-bentuk yang lain. Perubahan sosial meliputi perubahan


yang terjadi, pada keseluruhan sistem sosial maupun pada komponen-komponen
tertentu dari sistem tersebut. Pada umumnya perubahan sistem sosial bermula dari
salah satu komponen. Kemudian menimbulkan perubahan pada komponenkomponen lainnya. Seluruh mata rantai sebab akibat bergerak sehingga pada
akhirnya akan melahirkan perubahan pada keseluruhan sistem sosial.
Dari sekian banyaknya perubahan spiritualitas upacara gendang kematian
etnik Karo pada era globalisasi adalah upacara sebagai sebuah penanda status
sosial. Wujud penanda status sosial ini, misalnya ketika mengundang musik
modern seperti keyboard dan ensambel tiup (terompet), status keluarga dianggap
lebih terpandang dari pada hanya mengundang gendang lima sendalanen.
Demikian juga halnya peti mayat yang dulu dibuat oleh salah satu sangkep
nggeluh yaitu anak beru cukup dibeli dengan berbagai variasi harga. Harga yang
mahal akan selalu menjadi ukuran dalam tingkat status kehidupan sosial mereka
(lihat gambar L.4.4).
Banyak terjadi dalam upacara gendang kematian memaksakan diri untuk
mengikuti tren yang ada pada upacara kematian keluarganya seperti yang
diungkapkan oleh Jekmen Sinulingga berikut ini.
sekarang masyarakat Karo tidak lagi memedulikan bagaiman seharusnya
upacara gendang kematian itu dilakukan. Kita tidak perlu lama-lama
menunggu sampai upacara itu selesai, cukup seperti mengintip jurang yang
dalam saja, bahkan jika kita memberi uang lebih banyak dari sepantasnya
tidak akan ada persoalan meskipun upacara tersebut tidak kita hadiri.
Lihatlah, setelah selesai makan siang orang yang tinggal upacara orangorang yang memang tidak bisa meninggalkannya secara adat. Kebanyakn

orang hanya melihat apa saja unsur-unsur yang berubah dan mengikuti
perkembangan zaman seperti, peti mati, keyboard, ensambel tiup dan
bahkan hanya melihat properti yang digunakan. Budaya lama itu kuno
menurut mereka, segala sesuatu dipersingkat. Masyarakat kita sekarang
adalah masyarakat konsumer (Wawancara, 27 Desember 2013).
Pernyataan di atas, seperti yang diungkapkan Baudrillard bahwa
masyarakat konsumer adalah masyarakat yang mengalami kelelahan. Kelelahan ini
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kelelahan otot atau kelelahan
tenaga. Kelelahan ini tidak datang dari penggunaan tenaga fisik. Akan tetapi,
justru dari kelelahan nonfisik, yang menyebabkan masyarakat konsumer mutakhir
menjadi masyarakat stres, masyarakat yang tertekan karena kita digiring dalam
masyarakat persaingan menyeluruh, totaliter, yang bermain dalam semua
tingkatan, ekonomi, pengetahuan, keinginan, tubuh, tanda, dan dorongan (Subandi,
2007: 157).
Perubahan kehidupan sosial tidak terlepas dari agama wahyu yang
dipercaya sekarang. Kalau dulu, semua urusan dari awal hingga selesai dalam
upacara dilaksanakan oleh sangkep nggeluh. Akan tetapi, banyak perubahan akibat
agama sekarang memayungi upacara dari awal hingga selesai. Sebagai sebuah
lembaga besar dan terlegitimasi, dengan tidak susah mengubah pola-pola
kehidupan sosial yang ada seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Tidak semata-mata perubahan kehidupan sosial ini kearah negatif tetapi banyak
perubahan kehidupan sosial kearah yang positif.
Untuk itu menurut Subandi, menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman
yang mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti saat ini, yang dibutuhkan

adalah ruang-ruang untuk menghidupkan kembali kemampuan berkontemplasi


dalam setiap aksi yang dilakukan. Hal itu penting karena dalam deraan masyarakat
konsumer ini, betapa sering kebenaran yang sederhana ini dilupakan. Manusia
ingin melakukan kebaikan tanpa terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, ingin
mengubah dunia tanpa terlebih dahulu mengubah diri sendiri, memuji-muji aksi,
tetapi meremehkan kontemplasi (Subandi 2007: 161).

7.4 Strategi Pewarisan


7.4.1 Pewarisan Melalui Keluarga, Masyarakat, Pemerintah
Tradisi pada umumnya tidak seperti budaya pop yang ditunjang oleh
industri budaya populer yang bertumbuh dan berkembang secara masif dan global.
Terdengar dan terlihat dimana-mana. Dimediasi oleh kekuatan industri global itu,
anak-anak muda belajar dan berlomba untuk menjadi bagian budaya pop itu.
Setiap saat dan setiap tempat selalu disuguhkan secara silih berganti berbagai jenis
budaya pop dan sekaligus dengan itu berniat menjadi bagian budaya tersebut.
Televisi, radio, film, media cetak, dan terutama media elektronik seperti sosial
media terus menyebarkan pesona budaya pop. Pengetahuan akan segala aspek
budaya pop ini menunjukkan seberapa luas tingkat pergaulan seorang remaja.
Dengan itu semua budaya pop bertumbuh seperti jamur di masyarakat.
Berbeda dengan budaya tradisi, sejak awalnya tradisi selalu bersifat lokal
yang terbatas pada wilayah geografis masyarakat pemiliknya dan tidak seperti
olahraga sepak bola atau kemampuan mengutak-atik komputer yang ada di

sekolah-sekolah formal dan tersedia banyak tempat belajar secara nonformal


seperti tempat-tempat kursus. Kebanyakan tradisi tidak ada sekolah formalnya.
Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan bagaimanakah strategi pewarisan
tradisi. Tradisi dengan berbagai bentuk dan di berbagai kawasan mampu bertahan
sebagai suatu pengetahuan maupun keterampilan karena di antaranya ada sistem
pewarisan yang bersifat kultural. Tradisi pada umumnya bermuara pada pewarisan
yang berbasis pada keluarga, masyarakat dan pemerintah. Seorang budayawan
akan menjadikan anak atau cucunya sebagai budayawan, atau keturunannya secara
kultural jejak ayah atau kakeknya menjadi budayawan, meneruskan keahlian
keluarganya. Demikian juga masyarakat yang menjadi bagian dari budaya itu
sendiri dan peran pemerintah sebagai sebuah strategi pewarisan.
Pengetahuan dan keahlian itu ditrasmisikan secara tidak formal, dan
melalui pola yang bermacam-macam. Dalam hal tradisi mendalang di Jawa
Tengah misalnya, menurut Rahayu Supanggah, proses pewarisan itu berjalan
secara otomatis karena lingkungan keluarga. Caranya bermacam-macam, yaitu
lewat nonton, melihat sejak kecil, misalnya sanak familinya yang nabuh, atau
membantu. Yang jelas tidak ada semacam prosedur guru murid seperti dikenal
dalam sekolah formal (Suroto, 2007: 26).
Ungkapan tersebut di atas berlaku pada tradisi lisan upacara gendang
kematian etnik Karo dimana sampai sekarang belum ada pewarisan secara formal
akan tetapi pewarisan itu ada dari lingkungan keluarga. Hal ini dipertegas oleh
Darwan Tarigan sebagai berikut.

Jika keluarga memiliki waktu banyak dengan anak-anak atau


keturunannya dan selalu bermain atau membicarakan tentang tradisi, itulah
sistem pewarisan yang paling baik. Di samping itu, jika ada upacaraupacara tradisi sebaiknya mereka diikut sertakan dalam upacara tersebut
meskipun sebenarnya mereka belum tertarik dengan rangkaian-rangkaian
adat istiadat yang dilakukan pada upacara tersebut. Dari intensitas
kehadiran mereka maka proses pewarisan itu berjalan secara otomatis
(Wawancara, 20 Desember 2012).
Menurut pengamatan penulis, bukan berarti tradisi yang diwariskan itu
akan begitu-begitu saja. Sering ada pengembangan baru, suatu kreativitas, dari
tradisi yang diwarisi. Setidaknya tradisi yang dilakukan kemudian si anak itu
berbeda meski kelihatan dikembangkan pendahulunya. Hal ini disebabkan karena
regenerasi mengisyaratkan dua generasi yang berbeda zaman yang kemudian
menentukan perbedaan pula dalam interpretasi terhadap tradisi itu. Apalagi
mengingat si anak tidak berguru kepada ayahnya saja, tetapi juga berguru, baik
secara diam-diam maupun atas anjuran orang tuanya sendiri, pada budayawan lain,
atau melengkapinya dengan pendidikan formal. Seperti yang dikatakan Supanggah
dalam Suroto (2007: 27) biasanya seorang anak tidak bisa belajar secara serius
kepada bapaknya, walaupun bapaknya adalah idolanya. Mungkin karena sungkan,
dari segi ayahnya juga begitu. Misalnya, jika anaknya salah pasti takut untuk
menyalahkan anaknya, biasanya Cuma dicantrikkan atau belajar ke orang lain atau
kekeluarga yang lain.
Sebagai tradisi lisan tidak dapat terlepas dari upaya masyarakat pemiliknya
dalam menjaga kelestarian tradisi tersebut. Tentu saja dalam melakukan upaya
pelestarian itu berbagai

tantangan akan dihadapi.

Mulai

dari internal

masyarakatnya, maupun datangnya pengaruh dari budaya luar. Tentu saja


menyikapi kondisi ini, dituntut kecerdasan, kejelian dan kemampuan masyarakat
pemiliknya dalam menjaga kelangsungan tradisi upacara gendang kematian.
Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan pemahaman
dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini ditegaskan oleh
Sedyawati, masyarakat pemilik warisan budaya mestinya memahami yang
tangible, yaitu warisan budaya yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang
pada umumnya berupa benda yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat
untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya
yang tak benda atau tak tersentuh. (Sedyawati, 2006: 160).
Upacara gendang kematian etnik Karo memiliki warisan budaya yang
tangilbe seperti alat musik ensambel gendang lima sendalanen yang menghasilkan
bunyi musik untuk kebutuhan upacara tersebut. Meskipun instrumen musik ini
merupakan suatu benda yang bersifat tangible, tetapi karena sifat budayanya tentu
memiliki sejumlah aspek intangible tak benda atau tak dapat diraba yang melekat
padanya (Lihat, 7.1.1). Sedyawati mengungkapkan setidaknya ada enam aspek
intangible atau tak benda dapat berkenaan dengan (1) konsep mengenai benda
itu sendiri, (2) perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, (3)
kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, (4) isi pesan yg
terkandung di dalamnya, (5) teknologi untuk membuatnya, dan (5) pola tingkah
laku yang terkait dengan pemanfaatannya. Tidak semua dari keenam aspek
tersebut harus sekaligus semaua ada pada sebuah benda, namun sebuah benda pada

umumnya mempunyai lebih dari dua aspek intangible yang melekat padanya
(Sedyawati 2006: 161--162).
Warisan budaya intangible di luar yang terdapat pada benda konkret
tersebut, juga memerlukan upaya pelestarian, yaitu (1) sastra, yang dapat
digolongkan berdasarkan lisan atau tertulis, seperti mitos, legenda, dongeng,
kefilsafatan dan lain-lain, (2) musik, yang digolongkan atas vokal, instrumental,
dan gabungan, (3) tari, yaitu tari murni, tari bercerita , dan gabungan, (4)
olahraga tradisional, (5) teater, (6) tata upacara, dan (7) ilmu pengetahuan. Aspek
di atas hampir semua terdapat pada upacara gendang kematian etnik Karo yang
memerlukan pewarisan seperti, perekaman, maupun upaya untuk memupuk
kehidupannya agar tetap aktual, sama-sama penting untuk dilakukan, yaitu karena
diperlukan oleh peneliti maupun bagi pewaris sumber daya budaya itu sendiri.
Dari dua sisi kehidupan sumber daya budaya mempunyai kaidah-kaidah
pewarisannya sendiri, yaitu di satu sisi dokumentasi dan pengarsipan yang sebaikbaiknyauntuk kepentingan ilmiah, dan di sisi lain pengeya sebagai substansi
industri budaya untuk pemenuhan kebutuhan penikmatan serta pemihakan oleh
khalayak ramai. Upaya yang disebut terakhir itulah yang dewasa ini sangat
memerlukan perhatian dari semua pihak yang peduli terhadap mutu kebudayaan
bangsa, karena banyaknya warisan budaya tradisi takbenda yang terancam tergusur
selama-lamanya oleh industri budaya yang semata-mata berancangan komersial
(Sedyawati, 2006: 164).

Pedentia (2008), mengatakan seperti halnya yang terjadi di berbagai negara


lain, di Indonesia pun warisan budaya makin lama makin menghilang dan
beberapa di antaranya mendekati kepunahan. Beberapa ragam tradisi juga yang
mengalami perubahan, baik yang terjadi secara perlahan seperti pada upacara
ritual misalnya, maupun yang terjadi secara cepat karena tuntutan situasi dan
migrasi tradisi tersebut ke luar dari daerah asalnya. Proses perubahan dan bahkan
punahnya tradisi (seringkali juga bersamaan dengan tiadanya pendukung tradisi)
berarti juga hilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional, kearifan lokal,
dan nilai-nilai budaya sebagai sumber berharga atau ensiklopedi dari suatu
masyarakat. Dengan demikian berarti pula identitas lokal yang dalam arti luas
berarti juga identitas dan karakter bangsa ikut menghilang secara berangsurangsur. Dengan fungsi dan perannya yang begitu penting, keberadaan tradisi harus
dikelola dengan amat baik dan bertanggung jawab dengan memperhatikan sebabsebab terjadinya perubahan dan kepunahan tersebut. Pengaruh negatif dari
globalisasi, kehebatan teknologi informasi dan industrialisasi sangat berperan.
Selain itu, belum adanya program pengelolaan yang melibatkan juga penghargaan
yang tetap dan berkelanjutan pada para penutur dan pemilik tradisi dan proses
pewarisan yang belum berjalan sesuai dengan kondisi masa kini juga merupakan
penyebab makin menghilangnya warisan budaya tersebut, baik sebagai living
tradition maupun sebagai memory tradition.
Menghilangnya tradisi dari ingatan memori pemiliknya atau punahnya
tradisi bersamaan dengan punah nya penutur atau pemilik tradisi berarti

terjadinya sebuah bencana budaya. Bencana jenis ini memang tak tampak secara
langsung karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antarmanusia
yang langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana
budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada
hilangnya identitas dan karakter bangsa, pemicu masalah sosial, bencana alam,
dan pertikaian antarmanusia, serta hancurnya peradaban dalam arti luas. Dalam
artian ini ketahanan budaya sangat signifikan dengan ketahanan bangsa dalam
berbagai bidang.
Selanjutnya menurut Pudentia, untuk melaksanakan hal tersebut, peran
masyarakat menjadi penting. Pemerintah meskipun diamanatkan oleh UUD 45,
pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat
berbagai kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan upaya
memajukan kebudayaaan nasional, tidak mungkin dan tidak mampu bekerja
sendiri. Pemerintah dalam hal ini harus membangun sistem kemitraan berbasis
masyarakat yang tidak hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk
turut menjaga warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran
bahwa sumber-sumber warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya.
Masyarakat tempat pemilik warisan budaya yang bersangkutan juga yang paling
mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana
mereka masih memerlukannya.
Tradisi lisan, sebagai bagian dari warisan budaya yang intangible, sadar
atau tidak telah berada dalam tahap penghancuran. Keberadaan tradisi lisan

upacara gendang kematian saat ini, menimbulkan banyak kekhawatiran bagi


pemerhati budaya lokal, yang sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak,
seperti pemerintah daerah, lembaga nonpemerintah, para tokoh masyarakat, dan
tentu masyarakat Karo sendiri yang menjadi pendukung utama tradisi lisan
tersebut. Hal ini menjadi krusial karena keberadaan unsur yang paling penting
pada upacara, yaitu gendang lima sendalanen telah terpinggirkan dari tempat
semestinya ia berada, demikian juga unsur-unsur yang lain. Ismail Bangun
mengungkapkan sebagai berikut.
Sejauh ini pemerintah belum ada upaya untuk melestarikan tradisi. Saya
dan beberapa teman seniman dan budayawan sempat menyarankan kepada
pemerintah melalui dinas pariwisata, untuk melakukan revitalisasi
kebudayaan yang menyangkut adat istiadat yang ada pada etnik Karo.
Namun belum terealisasi karena tempat saja yang masih dapat disediakan
oleh pemerintah, sedangkan kebutuhan lain belum ada. Sudah dimulai
beberapa tahun terakhir namun sama sekali tidak ada kemajuan akibat
kurangnya dukungan pemerintah setempat. Akibatnya minat orang yang
belajar juga kurang antusias terhadap hal seperti ini. Ini juga tidak terlepas
dari peran pemerintah dalam mempublikasikannya (Wawancara, 15 Juli
2012).
Warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible, tidak boleh
dibiarkan terbengkalai namun sebaliknya harus tetap ditumbuhkan dalam iklim
yang sesehat-sehatnya. Alih-alih menguatkan, pemerintah memegang andil yang
signifikan dalam kepunahan warisan budaya. pembubaran badan pengembangan
kebudayaan dan pariwisata dlam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
menghilangkan sandaran bagi pengembangan kebudayaan. Secara normatif, hal ini
berarti bahwa pemerintah kini tidak menangani pelaksanaan kerja dan hanya
berperan sebagai pengarah kebijakan. Perlindungan peninggalan sejarah

purbakala, serta berbagai warisan buday intangible tidak lagi menjadi tanggung
jawab pemerintah dan dilepas ke khalayak ramai. Ini akan berdampak pada
kemunduran dan kepunahan warisan budaya milik etnik tertentu, yang secara
politis dan ekonomis tidak memiliki posisi tawar yang kuat (Sedyawati, 2008:
162).
Menurut Majid (2010: 139), Pemerintah sebagai pengemban amanat
undang-undang memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh
kembangkan warisan budaya. Di tangan merekalah ekspos tradisi dapat
diwujudkan, selain karena ditunjang oleh segi finansial juga memiliki akses dalam
membuka dan memfasilitasi warisan tradisi dalam skala yang lebih besar. Media
massa, bagaimanapun juga, telah menjadi tumpuan untuk dujadikan medium
pengembangan budaya. tanpa peran pemerintah dan media massa, warisan budaya
tradisional tidak dapat berbuat banyak, apalagi menumbuhkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya peran dan fungsi kekayaan tradisi.

7.4.2 Pewarisan Melalui Revitalisasi


Revitalisasi tradisi lisan upacara gendang kematian merupakan pengokohan
jati diri etnik Karo yang menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa
strategisnya tradisi lisan upacara gendang kematian, sebagai falsafah hidup, dalam
menghadapi derasnya arus globalisasi. Selain itu, mampu mengendalikan dan
memberikan arah pada perkembangan budaya lokal tersebut, yang dipresentasikan

sebagai kelanjutan identitas Karo dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat
bertahan dalam menumbuhkan kemampuannya.
Menurut Keesing, revitalisasi adalah perubahan komunitas karena
kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup
dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang
sudah lampau. Kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan
masyarakat yang sudah menyinggung dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat
berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap
mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap
mengikuti pola lama yang telah diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Keesing, 1999: 257).
Sibarani (2004: 30) bahwa revitalisasi kebudayaan adalah proses dan usaha
memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat
kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan harus menjadi bagian masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus
diusahakan

untuk

bermanfaat

dalam

kehidupan

manusia

untuk

lebih

menyejahterakan masyarakat.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa untuk melakukan revitalisasi
tradisi lisan dibutuhkan kepedulian kepedulian berbagai kalangan, baik dari
pemerintah daerah, pemerhati budaya, dan tentu saja masyarakat. Namun, yang
menjadi kunci utama dari revitalisasi tradisi lisan adalah sikap dari masyarakat
pendukungnya. Jekmen Sinulingga mengungkapkan sebagai berikut.

Etnik Karo saat ini mengalami ambivalen dalam menyikapi upaya


pelestarian tradisi. Disatu sisi sangat antusias terhadap tradisi yang dimiliki
seolah olah tanpa menjalankan tradisi orang Karo tidak beradap, disisi lain
menganggap tradisi adalah kebiasaan yang ketinggalan zaman. Semestinya
generasi muda Karo saat ini diberi pencerahan dan motivasi untuk untuk
mencintai warisan budaya mereka (Wawancara, 26 Desember 2013).
Ungkapan diatas minyiratkan bahwa, dorongan yang sifatnya motivatif dan
proaktif kepada generasi muda harus terus ditanamkan dalam menjaga dan
memelihara keberadaan tradisi lisan yang mengandung kearifan lokal sebagai
identitas etnik Karo. Pemerhati budaya sering mengungkapkan bahwa tradisi lisan
merupakan bagisn dari kebudayaan dan hidupnya tradisi lisan mencerminkan
hidup ebudayaan. Tradisi lisan yang tangguh adalah yang tetap hidup dalam
komunitas, hadir dalam kegiatan masyarakat, dan menjalankan fungsi dalam
konteks kehidupan. Selain itu, penyebaran dan penerusan kepada masyarakat
pendukung, baik segenerasi maupun antargenerasi terus berlangsung.
Tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
mengalami kemunduran bahkan sebagian dari unsur di dalamnya mengalami
kepunahan. Kemunduran ini ditandai oleh berbagai faktor yang memengaruhinya,
sedangkan kepunahan ditandai oleh banyaknya tradisi lisan yang tidak hidup lagi
di masyarakat. Tradisi lisan itu telah kehilangan pemiliknya dan generasi
pemiliknya tidak pernah lagi melihat tradisi lisan itu. Akibatnya bentuk dan isi
tradisi lisan itu semakin tidak dikenal komunitasnya. Atas dasar itu, menurut
Sibarani, tradisi lisan sangat perlu membuat model revitalisasi untuk
menghidupkan tradisi lisan itu dan sekaligus memfungsikan nilai dan norma

budaya yang terkandung di dalamnya untuk menata kehidupan komunitasnya


(Sibarani, 2012: 292).
Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu
yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum kehilangan
maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara terorganisir oleh
individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang
memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran
akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya
timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar belakang dari warisan
leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.
Hal tersebut di atas, sesuai dengan pendapat Astra (2004: 115--116)
menyatakan pentingnya mendayagunakan atau merevitalisasi tradisi lisan atau
kearifan lokal untuk tujuan pembangunan. Memilah upaya-upaya revitalisasi, yaitu
menggali serta merumuskan dengan tepat kearifan lokal yang masih terpendam
dalam berbagai aspek kehidupan atau budaya, memupuk kearifan lokal yang sudah
berfungsi dengan baik, dan merevitalisasi kearifan lokal secara sistematis dan
terencana sehingga dapat berfungsi secara tepat dan optimal.
Upacara gendang kematian adalah salah satu tradisi lisan yang sangat
penting di kalangan etnik Karo. Pada upacara ini setiap individu dituntut dapat
menempatkan dirinya dalam masyarakat serta mampu menciptakan suasana
kemajemukan yang dapat menjalin ikatan antara sesama manusia dalam hubungan
kekerabatan sangkep nggeluh. Dalam perjalanannya, tradisi lisan ini berhadapan

dengan berbagai kekuatan, seperti masyarakat, dan para pewaris upacara gendang
kematian tersebut. Tradisi lisan sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya,
merupakan wujud pencarian identitas bagi masyarakat atau etnik tertentu sehingga
dapat memahami keberadaannya di tengah-tengah kemajemukan masyarakat saat
ini. Identitas diperoleh, dikelola, dan ditrasformasikan melalui berbagai proses
sosial. Identitas sangat penting karena dia membentuk prilaku etnik. Tradisi lisan
mampu membentuk identitas etnik dan membedakannya dari etnik lain. perbedaan
perilaku etnik bertentangan dengan prinsip yang dianut masyarakat global.
Globalisasi

menjadikan

universalitas

sebagai

tujuan

utamanya

sehingga

memungkinkan terciptanya hegemonisasi budaya.


Hegemoni budaya tidak terlepas dari peran media massa yang
menghasilkan budaya massa, dan penguasa yang terus-menerus mengembangkan
praktik-praktik kekuasaan. Kapitalisme global tidak hanya berkaitan dengan
ekspansi kapital dan pasar, tetapi juga merambah pada nilai-nilai kultural.
Kapitalisme global dibangun atas fondasi individualisme, dibangun berdasarkan
persaingan untuk menguasai dan mendominasi. Hal ini sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh budaya lokal, seperti semangat
kebersamaan, kesederhanaan, tenggang rasa, dan kasih sayang. Jika hegemoni
kultural terus berlanjut, maka akan terjadi proses penghancuran budaya lokal
beserta warisan-warisan budaya lainnya (Majid, 2010: 134).
Oleh sebab itu, budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari
zaman lampau sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh

globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi
yang begitu gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya
lokal, maka perlu dimunculkan revitalisasi tradisi lisan/kearifan lokal. Seperti yang
diungkapkan Majid (2010: 21), revitalisasi menjadi hal yang sangat penting untuk
dilakukan dalam menangkal berbagai pengaruh globalisasi. Globalisasi yang
menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampak globalisasi adalah keengganan
untuk melanjutkan tradisi lama yang dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang
telah usang dan tidak sesuai lagi dengan masa kekinian, harus sesegera mungkin
disikapi dan ditindaklanjuti. Revitalisasi meniscayakan nilai-nilai budaya lokal
menjawab berbagai tantangan globalisasi.
Revitalisasi tradisi melingkupi kesadaran kolektif masyarakat lokal untuk
memperkokoh jati diri dan identitas bangsa dengan menumbuhkan kembali norma
dan nilai-nilai budaya lokal yang telah didefinisikan di masa lalu secara kolektif,
dan diwariskan secara turun temurun sehingga mampu memberikan arah pada
perkembangan budaya lokal yang mengandung nilai-nilain kebenaran.
Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya
lokal

sehingga

dapat

mengaktualisasikan

diri

dalam

konteks

global.

Pengembangan budaya lokal dapat dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran


budaya lokal, dengan menciptakan ruang bagi pengembangan kreativitas
lokalsehingga mampub menumbuhkan kesadaran cultural tanpa mengorbankan
nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan
budaya lokal sebagai kebutuhan dalam mensejahterakan masyarakat. Adapun

indicator yang menyangkut revitalisasi tradisi lisan, antara lain sebagai berikut. (1)
menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam
menghadapi derasnya arus globalisasi, (2) kesadaran untuk memnanamkan cara
hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya likal dalam memperkokoh
jati diri masyarakat lokal, (3) membangkitkan kembali atau pemberdayaan,
pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat, (4)
memulihkan dan membangklitlan kembali ingatan dan keadaran klektif
masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya, dan (5) dorongan untuk
menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada perkembangan
budaya lokal Majid (2010: 27--28).
Seharusnya ditengah perubahan masyarakat, tradisi lisan upacara gendang
kematian etnik Karo mampu menyesuaikan struktur dan fungsinya sehingga dapat
hadir dalam wujud yang serasi dengan perilaku manusia penggunanya. Namun,
kenyataan ini bertentangan dengan kondisi yang dialami saat ini, dimana
implementasi tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo jauh melenceng
dari yang seharusnya. Tradisi lisan tidak lagi menjadi cerminan masyarakat
pendukungnya, bahkan makin menjauh dan tidak lagi memiliki daya pikat sesuai
dengan semestinya. Oleh sebab itu revitalisasi tradisi lisan ini harus dilakukan.
Revitalisasi tradisi lisan adalah proses dan usaha melestarikan kearifan
lokal dalam kehidupan masyarakat atau usaha membuat tradisi lisan menjadi suatu
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Merevitalisasi
tradisi lisan menurut Sibarani (2004: 33--34), (1) mendorong setiap tradisi lisan

suatu etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi. Agar semua tradisi di Indonesia
ini dapat hidup dan berkembang, kita harus menghindari dominasi kebudayaan
mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan penyeragaman kebudayaan, (2)
membuat tradisi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, bukan hanya sebagai
tontonan masyarakatnya. Hakikat tradisi lisan harus dicari, doformulasikan, dan
dimanfaatkan dalam rangka revitalisasinya, (3) kebudayaan bangsa (kebudayaan
nasional) kita merupakan keseluruhan kebudayaan etnik yang hidup dan
keseluruhan kebudayaan baru. Dalam pemikiran ini, tidak ada tradisi suatu etnik
yang lebih rendah daripada tradisi etnik lain, semuanya sama. Ini memungkinkan
dan

memotivasi

pemilik

tradisi

mensinergikan

kemampuannya

untuk

merevitalisasi dan menghargai tradisinya sendiri karena dia tidak akan bingung
mencari puncak-puncak kebudayaan daerah yang tidak berpuncak itu. Marilah kita
meratakan puncak-puncak itu supaya semua transfaran dan hidup berdampingan,
(4) membangun perkampungan budaya (culture village) pada setiap kabupaten.
Perkampungan budaya pada setiap wilayah etnik atau kabupaten sangat perlu
dibangun agar dapat dimanfaatkan sebagai wadah transfer budaya secara sosial,
sosialisasi kebudayaan, dan sebagai tujuan wisata budaya, (5) segala bentuk
pembangunan harus dilandasi oleh tradisi masyarakat setempat. Penyeragaman
pembangunan

selama

ini

terjadi

telah

terbukti

gagal

karena

tidak

memperhitungkan kebudayaan masyarakat setempat. Berapa banyak penbangunan


KUD yang menjadi kandang hewan di desa-desa, berapa banyak perumahan guru
tidak ditempati. Ini semua terjadi karena pembangunan tidak didasarkan pada

aspek-aspek sosial-budaya masyarakat setempat, (6) melibatkan masyarakat


setempat sebagai pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima
untung dari kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan. Dengan
metode seperti ini, masyarakat akan merasa memiliki, menghargai, dan menguasai
kebudayaannya. Kebudayaan adalah masalah kebiasaan, dan (7) melibatkan
orang-orang budaya dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan setiap
pembangunan. Perencanaan pembangunan di masa mendatang harus melibatkan
perencanaan dari orang-orang budaya, baik itu dari latar belakang humaniora
maupun dari latar belakang sosial.

7.5 Temuan Penelitian


Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi, menghasilkan temuan yang merupakan pemahaman baru terhadap
permasalahan penelitian. Adapun temuan yang dapat dikemukakan dan perlu
dicermati dalam penelitian ini adalah seperti berikut ini.
Pertama, etnik Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain sebagai
tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain
yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Oleh
sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan
alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan makhluk-makhluk
lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait
dengan kosmologi etnik Karo.

Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan
jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup
dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan
keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi
begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika
seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam
hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari
ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi
hantu.
Ungkapan keseharian etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara
gendang kematian, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging
jadi taneh, tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut
menjadi ijuk, darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah,
tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut
menggambarkan bahwa eksistensi etnik Karo adalah bagian integral dari
lingkungan mereka. Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai
satu kesatuan menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam.
Manusia adalah bagian dari alam, bukan sebaliknya.
Kedua, ditemukan bahwa etnik Karo pada era globalisasi menganggap
dirinya tidak dipengaruhi oleh sesuatu dalam tumbuh kembangnya perubahan
unsur-unsur upacara gendang kematian yang sudah tergerus dari keasliannya.
Mereka menganggap perubahan itu bukan sebagai sebuah kekuasaan modern yang

menimpa nilai-nilai budayanya, melainkan hanya merupakan kelumrahan dijalani


tanpa resistensi. Namun, dalam penelitian ini ditemukan hal-hal yang signifikan
dari globalisasi sebagai agen perubahan yang berwujud

kristenisasi, industri

budaya, dan media elektronik. Bahkan masyarakat Karo menyandingkan atau


menyejajarkan

antara

nilai

dan

harga.

Hantaman

spiritualitas

modern

menyebabkan harga di atas nilai, yang semestinya spiritualitas tradisi menjunjung


tinggi nilai diatas harga.
Ketiga, ditemukan bahwa gendang lima sendalanen bukan musik kafir,
seperti yang dikatakan oleh misionaris dari Belanda. Setelah ditelaah lebih dalam
penelitian ini menemukan bahwa gendang lima sendalanen adalah representasi
identitas Karo yang dapat mewakili kekerabatan yang ada. Sarune adalah
sukut/sembuyak, gendang singindungi adalah kalimbubu, gendang singanaki
adalah senina, penganak adalah anak beru, dan gung adalah anak beru minteri.
Dengan demikian gendang lima sendalanen adalah sistem kekerabatan yang ada
pada masyarakat Karo sesuai dengan prilaku masyarakat baik dari instrumen
maupun bunyi musik yang dihasilkan ensambel tersebut.
Etnomusikologi mencurahkan perhatiannya untuk mengumpulkan faktafakta kemudian mencari penyelesaian masalah-masalah mendasar di dalam
hubungan dengan studi tentang musik sebagai bagian dari budaya manusia.
Menurut Merriam, hal ini ditekankan di dalam literatur etnomusikologi yang
cenderung untuk mengarahkan perhatiannya terhadap analisis suara-suara musik
dan menghubungkan dengan matris budayanya. Di samping itu, juga terhadap

deskripsi fisik instrumen-instrumen musik sebagai bentuk fisik dan mengadakan


analisis tentang musik itu dan apa peranannya di dalam masyarakat (Merriam,
1995: 91).
Keempat, ditemukan bahwa spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi disebabkan oleh ketertinggalan pengembangan dan
perkembangan seni budaya Nusantara apabila dibandingkan dengan seni budaya
Barat, baik di sokolah-sekolah formal maupun nonformal. Perbandingan ini dapat
diibaratkan sebagai situasi deret ukur (berdasarkan waktu). Dalam hal ini
perkembangan seni budaya Nusantara berdasarkan deret waktu terus mengalami
penyusutan, sedangkan perkembangan seni budaya Barat terus mengalami
kenaikan secara sugnifikan. Sebagai konsekuensinya, komunitas budaya tradisi
terpinggirkan (identitas melemah). Hal ini berkebalikan dengan komunitas budaya
modern. Secara kajian budaya, fenomena ini merupakan sebuah kerugian besar
bagi budaya yang terpinggirkan.

7.6 Refleksi
Kondisi

perubahan

dengan

bertumbuhkembangnya

unsur-unsur

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dan
semakin tergesernya sisi-sisi ritual dengan beralihnya nilai spiritualitas tradisi ke
modern, terkikisnya budaya Karo, serta menurunnya kreativitas seniman, maka
dianggap perlu strategi kebudayaan dalam menata upacara gendang kematian
untuk masa yang akan datang, jangan sampai di tinggalkan oleh generasi yang

berikutnya. Pola strategi budaya yang dibutuhkan dari warisan leluhur seperti
tradisi lisan masa lampau dengan adanya tafsiran-tafsiran baru khususnya terhadap
eksistensi upacara gendang kematian ke depan, dengan rasa kebanggaan,
kecintaan, dan kepercayaan terhadap upacara gendang kematian sebagai tradisi
yang unggul dan menjadi bagian penting dari identitas kekaroan.
Dalam melakukan strategi itu ada tiga hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, upaya untuk menciptakan persepsi dan resepsi terhadap upacara gendang
kematian sebagai budaya yang komprehensif yang mempunyai peran dan cakupan
luas atas sendi-sendi kehidupan masyarakat pemilik dan pendukung upacara
gendang kematian tersebut. Tentu saja dilakukan dengan cara menjawab tantangan
kontestasi global yang deras. Tradisi suatu masyarakat merupakan faktor penentu
eksistensi masyarakat tersebut. Gendang kematian sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan urusan masa lalu tentu saja tidak sepaham dengan hakikat kebudayaan
yang dinamis bahwa kebudayaan selalu mengikuti perubahan masyarakat untuk
mencapai suatu kehidupan yang baik dari sebelumnya. Kedua, menjadikan upacara
gendang kematian sebagai media ampuh dalam menghadapi berbagai tantangan
globalisasi, perputaran waktu yang sangat cepat. Ketiga, upacara gendang
kematian sebagai ikon budaya Karo, jati diri, dan identitas kekaroan, harus
didekatkan pada falsafah pembudayaan yang diarahkan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat Karo.
Selain ketiga aspek di atas, diperlukan visi (tujuan) dan misi (rencana
program) yang sama dalam usaha pengembangan dan pelestarian upacara gendang

kematian. Budayawan/seniman, masyarakat pendukung gendang kematian


semestinya harus secara bersama merumuskan secara tepat strategi membangun
upacara gendang kematian. Bagaimana peran upacara gendang kematian dalam
pengembangan

masyarakat

dan

bagaimana

peran

masyarakat

dalam

pengembangan upacara gendang kematian. Kedua peran ini harus diciptakan


sebagai suatu gerakan terpadu dan tidak dalam oposisi biner, tetapi posisinya
dalam satu garis linear hubungan kausalitas.
Berdasarkan pemahaman bahwa upacara gendang kematian memiliki
kekuatan dan potensi lebih sempurna daripada upacara-upacara yang lain, maka
hal

ini

penting

dijawab

sebagai

tantangan

komunitasnya.

Artinya,

budayawan/seniman, etnik Karo, dan pemerintah daerah perlu menciptakan


berbagai momen yang berujung pada meningkatnya pemahaman dan minat
masyarakat Karo khususnya dan dunia untuk mempelajari dan memperlakukan
upacara gendang kematian sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa di berbagai
forum.
Untuk itu, pengembangan dan pemberdayaan upacara gendang kematian
dapat dilakukan dengan menyentuh filosofi hidup, yakni erpenungkunen man
senina (bermusyawarah dengan senina), mehamat er kalimbubu (menghormati
kalimbubu), dan metami er anak beru (menyayangi anak beru). Filosofi
masyarakat terhadap kematian itu sendiri, yakni buk mulih ku ijuk (rambut menjadi
ijuk), tulan mulih ku batu (tulang menjadi batu), dareh milih ku lau (darah menjadi
air), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), kesah mulih ku angin (napas

menjadi angin) dan tendi jadi begu (roh menjadi hantu). Hal tersebut berarti
manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain, sedangkan manusia mati untuk
menghidupkan manusia lain. Tidak ada manusia yang tetap hidup, sampai saatnya
akan meninggal. Dengan demikian, ada rasa memiliki, dan menjadikan upacara
gendang kematian sebagai alat kontrol sosial dalam peradaban etnik Karo, baik
pada

masa

lampau,

dan

masa

kini,

maupun

masa

depan.

BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumya mengenai
penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
dapat dihasilkan temuan dan refleksi dalam penelitian ini. Adapun simpulan dalam
penelitian ini sebagai berikut.
Pertama, dalam paham tradisional etnik Karo menganggap ada
keterbatasan hidup manusia di dunia ini, tetapi dipahami juga bahwa ada
kehidupan setelah kematian. Ada hubungan yang berkelanjutan antara orang yang
hidup dan orang mati. Dengan denikian, dalam spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi
ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (nafas menjadi
angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang
menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi begu).
Spirituaitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi telah
mengalami proses historis yang panjang yang diawali dengan adanya gejala
perubahan ke dalam unsur-unsur upacara yang cenderung mengarah pada nilainilai upacara gendang kematian mengikuti pola-pola modern. Pergeseran dari
tradisi (gendang lima sendalanen) ke modern (keyboard/trompet) beserta unsurunsur yang lain dalam upacara gendang kematian kelihatan indah dinikmati dan

disaksikan, bahkan terasa menyatu, baik secara individu maupun bersama, tetapi
perlahan kesakralan akan terabaikan. Pemakaian keyboard dalam musik tradisi
Karo pada mulanya dalam konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada
gendang patam-patam (repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron
muda-mudi). Pemakaian keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat
memberikan aksen tertentu pada komposisi tersebut. Dengan melakukan
eksperimen pencarian bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru
berbagai pola melodi sarune dan pola ritmis gendang singanaki, gendang
singindungi, penganak, dan gung. Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik
yang diprogram dalam keyboard sehingga menggantikan posisi gendang lima
sendalanen menjadi keyboard tunggal dalam ensambel musik Karo yang kemudian
digunakan pada upacara gendang kematian.
Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian
etnik Karo pada era globalisasi mencakup faktor intern dan faktor ekstern. Faktor
intern adalah faktor-faktor yang muncul dari konstruksi budaya lokal itu sendiri,
seperti adanya masyarakat pendukung, budayawan/seniman dengan kreativitasnya,
dan konstruksi identitas dalam lokalitasnya di tengah-tengah pusaran arus budaya
global. Sebaliknya, faktor ekstern adalah faktor yang cenderung mengarah kepada
faktor penguasaan, standardisasi, keseragaman budaya yang dapat melengserkan
budaya lokal yang plural dalam kekaroan. Bahkan, dapat menghilangkannya
apabila tidak memiliki strategi ketahanan budaya upacara gendang kematian.
Faktor ekstern yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi, seperti kristenisasi, industri budaya dimana bertemunya budaya


global dengan budaya lokal, dan media elektronik.
Ketiga, makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi, yaitu makna spiritualitas pramodern yang diuraikan dari unsur upacara
gendang kematian, seperti gendang lima sendalanen, yang merujuk pada karya
seni musik, tradisi, kosmologi, dan religi pada etnik Karo. Gendang lima
sendalanen dapat memanifestasikan etos suatu masyarakat mengenai nada, watak,
mutu hidup, gaya, estetis, dan pandangan hidupnya. Kehadiran keyboard/trompet
dalam upacara gendang kematian etnik Karo merupakan spiritualitas modern, yaitu
bukan bagian dari spiritualitas yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah
konstruksi spiritualitas baru yang sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi
status dan prestise seseorang di depan publik. Dengan demikian, kehadiran
keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian dapat dikatakan sebagai
catatan baru dalam sejarah dinamika spiritualitas kultural etnik Karo.
Makna perubahan budaya seperti beralihnya nilai tradisi ke modern adalah
teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama pemena/perbegu ke
agama Kristen. Terkikisnya spiritualitas etnik Karo akibat arus glonalisasi
menyebabkan nilai-nilai yang dahulunya sakral, kemudian mengalami perubahan
ke sekular sehingga terjadi keresahan sampai pada terjadinya krisis identitas. Di
samping itu menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo sangat erat berkaitan
dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang
kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern dengan menekan satu

tombol saja terhadap perubahan budaya Karo. Sangkep nggeluh sebagai


kekerabatan berangsur-angsur berubah fungsi dengan hantaman arus globalisasi.
Strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo yang menyangkut
keluarga, masyarakat, pemerintah dapat berpartisipasi dalam menjaga keutuhan
dan kelangsungan upacara gendang kematian. Dalam menghadapi derasnya arus
globalisasi, upacara gendang kematian sebagai kearifan lokal untuk melakukan
revitalisasi tradisi lisan yang membutuhkan kepedulian berbagai kalangan
keluarga, masyarakat, dan pemerintah

8.2 Saran
Sesuai dengan tujuan dan temuan penelitian spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran dapat disampaikan sebagai
berikut.
Pertama, para peneliti yang tertarik dengan gendang kematian etnik Karo
atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil
penelitian ini terbuka untuk dikritik. Selain itu, juga terbuka untuk penelitian
lanjutan, untuk dikaji secara mendalam dan mendapatkan pemahaman yang lebih
kritis dan teoretis berbagai dimensi spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi.
Kedua,

penelitian

ini

dapat

dijadikan

kontribusi

sebagai

bahan

pertimbangan kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan,


para penentu kebijakan di berbagai tingkatan, baik ekskutif maupun legislatif,

pimpinan organisasi kelembagaan sosial budaya, sanggar seni, seniman,


budayawan,

praktisi

seni

dalam

memecahkan

berbagai

permasalahan

pembangunan untuk kesejahteraan bersama, lebih khususnya pembangunan seni


budaya pada era globalisasi.
Ketiga, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan
kemajuan disiplin kajian budaya. Di samping itu, juga sebagai sumber rujukan
utama ataupun sumber alternatif dalam dinamika kreativitas kehidupan
berkesenian masyarakat di daerah Karo khususnya, Provinsi Sumatera Utara, dan
Indonesia pada umumnya.
Keempat, disadari bahwa dalam penelitian terdapat keterbatasanketerbatasan. Oleh karena itu, dipandang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
yang lebih mendalam, lebih luas, dan lebih komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan dan Iqbal, Ibnu. 2008. (ed). Agama dan Kearifan Lokal dalam
Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Taufik. 1994. Sumatera Utara dalam Lintas Sejarah: Sejarah
Perkembangan Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.
Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara.
Adlin, Alfahri (ed.). 2007. Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Jalasutra.
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Akbar, Ali. 2011. Tradisi Lisan sebagai Sumber Pencarian dan Pengidentifikasian
dalam Jurnal ATL, Edisi April. Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi
Peneliti dan Tradisi Lisan. Hal. 42--47. Jakarta: ATL.
Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional. Jakarta:
UI Press.
Astra, I Gde Semadi. 2004. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya
Memperkokoh Jadi Diri Bangsa dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra
(ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Bali: Fakultas Sastra
Universitas Udayana dan Balimangsi Press.
Bakan, Michael B. 1999. Music of Death and New Creation, Experiences in the
World of Balinese Gamelan Beleganjur Chicago: University of Chicago.
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi, Filsafat tentang Kosmos sebagai
Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Bakker, SJ J.W.M. 2005. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Kanisius.
Banawiratma, J.B., S.J. 1990. Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan
Ekumenis. Yogyakarta: Kanisius.
Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indayu Press

Bangun, Tridah. 1990. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta:
Yayasan Merga Silima.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (terj. Nurhadi).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (terj. Nurhaidi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 2010. Imaji Musik Teks : Analisis Semiologi atas Fotografi,
Iklan, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra. (terj.
Agustinus Hartono) Yogyakarta: Jalasurta.
Berry, Thomas. 2013. Kosmologi Kristen. (terj. Amelia Hendani). Maumere:
Ledalero.
Bevans, Stephen B. 2002. Model-Model Teologi Kontekstual. (terj. Yosef Maria
Florisan). Maumere: Ledalero.
Boskoff, Alvin. 1964. Recent Theories of Social Change dalam Werner J.
Cahnman dan Alvin Boskoff, Sosiology and History : Theory and Reserch.
London: The Free Press of Glencoe.
Budiarto, C. Teguh. 2001.
Tarawang Press.

Musik Modern dan Ideologi Pasar.

Yogyakarta:

Bukit, M. 1994. Sejarah Kerajaan dan Adat-istiadat Karo Kabanjahe: Toko Bukit
Capra, Fritjof. 1999. Menyatu dengan Semesta: Menyikap Batas antara Sains dan
Spiritualitas (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Capra, Fritjof. 2002. Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistomologi dan
Kehidupan (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. (terj.
Laily Rahmawati) Yogyakarta: Niagara.
Cooley, Frank L. 1976. Tim Penelitian GBKP dan Staf Proyek Survei Menyeluruh
DGI, Benih Yang Tumbuh IV, Suatu Survei Mengenai Gereja Batak Karo
Protestan. Jakarta: LPGI.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Grafiri.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. (Terj. Setyarini dan Piantari).
Yogyakarta: Jalasutra.
Dharmojo. 2005 Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi
Driarkara). Yogyakarta: Kanisius.
Dibia,

Agama.

(terj.

Kelompok

I Wayan. 2005. Karya Seni Lintas Budaya dan Beberapa


Permasalahannya dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang
Pendekatan Emik Nusantara, Waridi (ed.) Surakarta: FF dan STSI, hlm.
376--386.

Dibia, I Wayan. 2006. Kesenian Rakyat yang Terpinggirkan (Makalah)


Matrikulasi Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, 5-19
Agustus. Universitas Udayana.
Dibia, I Wayan. F.X. Widaryanto dan Endo Suanda. 2006. Tari Komunal. Jakarta:
Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol, The Power of Simbol (terj. A.
Widyamatataya). Yogyakarta: Kanisius.
Djohan. 2005. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.
Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu: Penciptaan, Pemeliharaan, dan
Peleburan serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Paramita.
Eco, Umberto. 2004. Tamasya dalam Hiperealitas. (terj. Iskandar Zulkarnaen).
Yogyakarta: Jalasutra.
Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika: Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta
Teori Produksi Tanda. (terj. Inyiak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Kreasi
Wcana.
Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah.
(terj. Cuk Ananta). Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:
Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Fairclough, N. 1995. Discourse and Social Change. Chambridge: Polity Press.


Fasya, Teuku Kemal. 2006. Kata dan Luka Kebudayaan Isu-Isu Gerakan
Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer. Medan: USU Press.
Featherstone, Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. (terj. Misbah
Elizabeth). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gahral Adian, Donny. 2006. Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi dalam
Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. hlm. 23-33. Yogyakarta: Jalasutra.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan, Kebudayaan dan Agama, Politik
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. (terj. Ali Noer Zaman).
Yogyakarta: IRCiSoD.
Gie, The Liang. 2004. Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB.
Ginting, Bobking Sidney. 2009. Analisis Komunikasi Transendental pada
Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk, Desa Daulu,
Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Tesis S2 Studi Komunikasi UDA.
Medan.
Gintings. E.P. 1997. Adat Karo Ibas Kalak Mate: Kinata Berita Si Meriah kerna
Kematen i bas Masyarakat Karo. Kabanjahe: Abdi Karya.
Gintings. E.P. 1999. Religi Karo, Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru.
Kabanjahe: Abdi Karya.
Ginting, Nalinta (peny.). 1983. Seminar Adat Istiadat Karo, 16 s.d. 19 Pebruari
1977 di Kabanjahe.
Ginting, Pulumun P. 2012. Gendang Kematian dan Kematian Gendang pada
Masyarakat Karo. Seminar Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi
Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat dalam Memperkokoh Identitas Lokal.
2--3 Agustus
Gourlay, K.A. 1995. Perumusan Kembali Peran Etnomusikologi di dalam
Penelitian dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan
Benteng Budaya dan MSPI. hal, 123--176.

Griffin, David Ray. 2005. Visi-Visi Postmodern Spiritualitas dan Masyarakat (terj.
Gunawan Admiranto). Yogyakarta: Kanisius.
Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara.
Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta:
Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan
Hardjana, Suka. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Buku Kompas.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
https://groups.yahoo.com/neo/groups/gbkp/conversations/topics/13572
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Musik_Pop_Theodor_Adorno
http://pariwisatakaro.blogspot.com/
http:/wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro
Ibrahim, Abd Syukur (ed.). 2006. Semiotik: Handbook of Semiotics (Advances in
Semiotics). Terj. Ibrahim dkk. Surabaya: Airlangga University Press.
Ibrahim, Idi Subandy. (ed.). 1997. Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Chaospirituality di Taman Kontemplasi Batin:
Refleksi atas Fenomena Spiritualitas Akhir-akhir ini dalam Adlin (ed.)
Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer Hal. 153-161
Yogyakarta: Jalasutra.
Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gondrang Simalungun Struktur dan Fungsi dalam
Masyarakat Simalungun. Medan: Bina Media.
John, Liku Ada. 2006. Dialog Antara Iman dan Budaya. Jakarta: Konferensi
Waligereja Indonesia.
Kaelan, M.S. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:
Paradigma.

Kayam, Umar. 2004. Budaya Massa Indonesia (dalam Lifestyle Ecstasy:


Kebudayaaaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Ibrahim,
ed., Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 27--43).
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
(terj. Samuel Gunawan). Jakarta: Erlangga.
Kipp, Rita Smith. 1976. The Ideology of Kinship in Karo Batak Ritual. Degree of
Doktor of Philosophy University of Pittsburgh.
Kleden, Leo. 2003 Mencari Wajah Indonesia dalam Pergeseran Paradigma
Kebudayaan dalam Murgiyanto dkk (ed). Mencermati Seni Pertunjukan I
Perspektif Kebudayaan, Ritual, Hukum. hal 1--18 Surakarta: FF & STSI.
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan. Yogyakarta: Djembatan.
Krader, Barbara. 1995. Etnomusikologi dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi.
Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI. hal 1--32.
Kunst, Jaap. 1955. Ethnomusicology: A Study of its Nature, its Problems, Methods,
and Representative Personalities to which is added a Bibliography.
Netherlands: Martinus Hijhoff.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai
Postmodrnitas. Yogyakarta: Kanisius.
Liembeng, Julianus. 2007. Erpangir Kulau, Mandi Ritual pada Masyarakat Karo.
Jakarta: Depbudpar.
Liliweri, Alo. 2005. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya.
Yogyakarta: PT Lkis.
List, George. 1995. Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya dalam
Supanggah (ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya
dan MSPI. hal 33--39.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari


Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies.
Jakarta: Pusaka Indonesia Satu (PIS).
Lubis, Nur A Fadhil. 2006 Agama sebagai Poros Perubahan Sosial dalam Fasya,
Teuku Kemal (ed) Kata dan Luka Kebudayaan Isu-isu Gerakan
Kebudayaan dan Pengetahuan Kontemporer. hal, 215--235. Medan: USU
Press.
Mack, Dieter. 2001a. Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural. Bandung:
Artiline.
Mack, Dieter. 2001b. Pendidikan Musik Antara Harapan dan Realitas. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia dan MSPI.2
Majid, Bakhtiar. 2010. Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Bololo dalam
Masyarakat Kesultanan Ternate: Sebuah Kajian Budaya. Tesis S2 Kajian
Budaya Universitas Udayana Denpasar.
Marianto, Dwi M. 2006. Quantum Seni. Semarang: Dahara Prize.
Marsden, William. t.t. Sejarah Sumatera. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mbete, Aron Meko (peny.). 2009. Etnisitas, Pluralisme, dan Multikulturalisme:
Perspektif Kajian Budaya. Denpasar: Kajian Budaya Universitas
Udayana.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music, Chicago: Northwestern
University Press.
Merriam, Alan P. 1995. Beberapa Definisi tentang Musikologi Komparatif dan
Entomusikologi: Sebuah Pandangan Historis-Teoritis dalam Supanggah
(ed.) Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya dan MSPI.
hal, 40-64.
Merriam, Alan P. 1995. Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi
dalam Supanggah (ed.) Etnomusikologi, Yogyakarta: Yayasan Benteng
Budaya dan MSPI. hal 89--122.
Milala, Terang Malem. 2008. Utang Adat Kematian dalam Adat Karo. Medan:
Maranatha.

Minawati, Rosta. 2010. Keterpinggiran Komunitas Hindu dalam Pluralitas


Agama di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Disertasi Doktor (S3) Kajian
Budaya Universitas Udayana. Bali.
Moleong, MA Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas dan Kritik Penalaran
Poskolonial. (terj. Wiwin Indiarti). Yogyakarta: Pararaton.

Munro, Thomas. 2007. Estetika Timur: Sebuah Kajian bagi Pertemuan antara
Budaya Timur dan Barat. (terj. Heribertus B. Sutopo). Surakarta: Seni
Rupa UNS.
Murgiyanto, Sal. (ed). 2003. Mencermati Seni Pertunjukan I Perspektif
Kebudayaan, Ritual, Hukum. Surakarta: Ford Foundation dan Sekolah
Tinggi Seni Indonesia.
Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari Di Indonesia.
Jakarta: Weda Tama Widia Sastra.
Nakagawa, Shin. 1999. Musik dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Neumann, J.H. 1972.
Bhratara.

Sedjarah Batak-Karo Sebuah Sumbangan. Djakarta:

Norris, Christoher. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (terj.


Insyak Ridwan Muzir). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Parto, Suhardjo F.X. 1996. Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pasaribu, Ben M. 2004. Pluralitas Musik Etnik.
Nommensen.

Medan: Universitas HKBP

Pasaribu, Ben M. 2008. Arkeomusikologi. Medan: Balai Arkeologi.


Pasaribu, M. Patar. 2005. Dr. Ingwer Ludwing Nommensen Opostel di Tanah
Batak. Medan: Universitas HKBP Nommensen.

Patria, Nezar dan Andi, Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pelly, Usman. 2010. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Wujud
Budaya Spiritual (Kata Pengantar). dalam Ibrahim Gultom. Agama
Malim di Tanah Batak. hal. v xvi. Jakarta: Bumi Aksara.
Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera
Timur Laut (terj. Saraswati Wardhany) Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Peursen. C.A. van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi. Jakarta:
Mizan Publika.
Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. (terj. Samanjaya). Bandung:
Ultimus.
Prinst, Darwan. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media.
Prinst, Darwin. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media.
Pudentia, MPSS (ed). 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL
Pujaastawa, Ida Bagus Gde. 2011. Komodifikasi Lingkungan dan Implikasinya
terhadap Sistem Sosiokultrural di Desa Taro. Disertasi Doktor (S3) Kajian
Budaya Universitas Udayana. Bali.
Purba, Rehngenana. 2000. Lembaga Musyawarah Adat (Runggu) dan Perdamaian
Desa sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di
Tanah Karo. Medan: Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas
Sumatera Utara.
Puspa, Ida Ayu Tari. 2014 Bali Dalam Perubahan Ritual: Komodifikasi Ngaben di
Era Globalisasi. Provinsi Bali: Buku Arti.
Putro, Brahma. 1981. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Yayasan Massa

Rahyono. F.X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta : Wedatama Widya
Sastra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ried, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia.
(terj. Masri Maris). Jakarta: KITLV dan OBOR.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. (terj. Muhammad Taufik).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ruly Darmawan. 2007. Spiritualitasi dan Kontekstualisasi Objek Visual dalam
Alfathri Adlin (ed) Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer.
hal. 143--151 Yogyakarta: Jalasutra.
Rumengan, Perry. 2010. Hubungan Fungsional Struktur Musikal - Aspek
Ekstramusikal Musik Vokal Etnik Minahasa. Yogyakarta: Institut Seni
Indonesia.
Rusbiantoro, Dadang. 2001. Bahasa Dekonstruksi ala Foucauld dan Derrida.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Safari, Agus & Hermana, W. (peny.) 2008. Ketika Musik Bambu Dibicarakan.
Bandung: Balai Pengelolaan TBJB.
Sangti, Batara (Ompu Buntilan Simanuntak). 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl
Sianipar Company.
Santosa dkk. 2007. Etnomusikologi Nusantara Perspektif dan Masa Depannya.
Surakarta: ISI Press.

Santoso, Heri. 2009. Metode Dekonstruksi Jacques Derrida: Kritik atas Metafisika
dan Epistemologi Modern. Dalam Santosa, Listyono (ed.). Epistemologi
Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media. Hal. 247--259.
Santoso, Listyono (ed.). 2009. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media.

Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme dan Posmodernisme. Yogyakarta:


Jalasutra.
Schacht, Richard. 2005. Alienasi: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (terj.
Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta: Jalasutra.
Sediawati, Edy. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sediawati, Edy. 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Sembiring, Norita N. 2010. Ambivalensi Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam
Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara. Dalam Budiawan (ed.)
Ambivalensi Post-kolonialisme Membedah Musik sampai Agama di
Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 73--92.
Sembiring, Terbit. 1987. Song of Evacuation: Song of Fighting for Independence
in Indonesia (Lagu Mengungsi: Sada Lagu Perjuangan Kemerdekaan i
Indonesia). Dalam Rainer Carle (ed.) Cultures and Societies of North
Sumatra Berlin: Reimer. hal, 395--426.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik
Antropologi. Medan: Poda.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi
Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Silado, Remy. 1995. Nyanyian Kematian dalam Tradisi Sinkretisme di
Minahasa dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Yogyakarta: MSPI dan Yayasan Benteng Budaya. hal. 107--118.
Sinaga, Martin Lukito. 2004. Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam
Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas
Kristen Simalungun. Yogyakarta: LkiS.

Sinar, Luckman Tengku. 2005. The History of Medan In The Olden Times. Medan:
PERWIRA.
Singarimbun, Masri. 1960. Seribu Perumpamaan Karo. Medan Ulih Saber.
Singarimbun, Masri. 1975. Kinship, Descent and Alliance Among the Karo Batak.
USA: California University Press.
Sinuraya. P. 2000. Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Suka
Makmur: BPPM GBKP.
Sitepu, Bujur. 1952. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarso, S.P. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni.
Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.

Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.
Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Krisis Kesadaran. Yogyakarta; Kanisius.
Spivak, Gayatri Cakravorty. 2003. Membaca Pemikiran Derrida: Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Steedly, Mary Margaret. 1993. Hanging Without A Rope: Narrative Experience in
Colonial and Postcolonial Karoland. New Jersey: Princeton University
Press.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar
Komprehensif Teori dan Metode. (terj. Laily Rahmawati). Yogyakarta:
Jalasutra.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.
Suanda, Endo dan Sumaryono. 2006. Tari Tontonan Buku Pelajaran Kesenian
Nusantara. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Suastika, I Made. (ed.). 2008. Isu-Isu Kontemporer Cultural Studies. Denpasar:
CV Bintang Warli Artika.

Sugiartha, I Gede Arya. 2012. Kreativitas Musik Bali Garapan Baru di Kota
Denpasar. Disertasi Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Bali.
Sugiharto, Bambang. 2006. Kebudayaan Filsafat dan Seni dalam Alfahtri Adlin
(ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas.
hlm. 3--21.
Yogyakarta: Jalasutra.
Sugiharto, Bambang. (ed). 2013. Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari.
Sukerta, Pande Made. 2009. Gong Kebyar Buleleng: Perubahan dan
Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar. Surakarta: Program Pascasarjana ISI
dan ISI Press.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB
Sumardjo, Jakob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press STSI.
Supanggah, Rahayu. (Ed). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng
Budaya dan MSPI.
Sutrisnaatmaka. A.M. 2006 Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Budaya
Suku-Suku. Dalam John Liku Ada, (Ed). Dialog Antara Iman dan
Budaya. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Hal 95--121.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed.). 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Synnott, Anthony. 2007. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. (terj.
Pipit Maizier). Yogyakarta: Jalasutra.
Takwin, Bagus. 2006. Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya
Hidup dalam Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan
Realitas. hlm. 35--54. Yogyakarta: Jalasutra.
Takwin, Bagus. 2009. Akar-Akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi
dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Tamboen, P. 1952. Adat-Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.

Tarigan, Hendry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo. Jakarta: Yayasan Merga
Silima.
Tarigan, Hendry Guntur. 1994. Antusen Bilangen ibas Kalak Karo, Makna
Bilangan pada Masyarakat Karo. Bandung: FPBS IKIP.
Tarigan, Kumalo. 2006. Mangmang: Analisis dan Perbandingan Senikata dan
Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatera Utara. Penang: Tesis S2,
Etnomusikologi Universitas Sains Malaysia.
Tarigan, Prikuten. 2004. Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Karo Sumatera
Utara. Tesis S2 Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar.
Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Turner,

Bryan. 2000. Teori-Teori


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sosiologi

Modernitas

Posmodernitas.

Waridi (ed). Menimbang Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik


Nusantara. Surakarta: STSI Press.
Weber, Max. 2006a. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. (terj. Utomo T.W.
Yusup Pria Sudiarja). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Winfried, Noth. 2006. Semiotik: Handbook of Semiotics (terj. Abd. Syukur
Ibrahim). Surabaya: Airlangga University Press.
Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas.
Yogyakarta: UII Press.

Lampiran 1
DAFTAR INFORMAN

1. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Ngambat Ginting
: 86 Tahun
: Laki-laki
: SR
: Veteran/ Pemerhati Kebudayaan
: Kuta Mbaru

2. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Alamat

: Kebun Tarigan
: 84 Tahun
: Laki-laki
: Seniman/Penarune
: SR
: Jl. Luku, Padang Bulan, Medan

3. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Alamat

: Gantar Sembiring
: 72
: Laki-laki
: Pensiunan guru/ Singerunggui
: SPG
: Barus Jahe

4. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Njenap Ginting
: 71 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Pensiunan/ Tokoh Masyarakat
: Barus Jahe

5. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Amat Depari
: 68 Tahun
: Laki-laki
: SMP
: Penggual, Perajin alat musik
: Seberaya

6. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Norma Br Tarigan
: 65 Tahun
: Perempuan
: SD
: Perkolong-kolong/Penyanyi
: Seberaya

7. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Joker Barus
: 62 Tahun
: Laki-laki
: SD
: Guru (dukun)
: Barus Jahe

8. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Ismail Bangun
: 60 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Budayawan
: Batukarang

9. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Drs. Samion Pinem


: 60 Tahun
: Laki-laki
: Sarjana
: Pemain Musik Tiup
: Simalingkar, Medan

8. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Darwan Tarigan
: 58 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Penarune/ Seniman
: Kaban Jahe

9. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Sorensen Tarigan
: 55 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Seniman, Perajin alat musik
: Medan

10. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Jasa Tarigan
: 54 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Penarune, Perkulcapi/Seniman
: Lona Garden Medan

11. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Kumalo Tarigan
: 53 Tahun
: Laki-laki
: Sarjana
: Dosen Etnomusikologi/ Seniman Karo
: Tanjung Sari, Medan

12. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerajaan
Alamat

: Jenda Bangun
: 52 Tahun
: Laki-laki
: Sarjana
: Budayawan/ Seniman / Wartawan
: Delitua

13. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Jekmen Sinulingga
: 52 Tahun
: Laki-laki
: Magister
: Dosen USU/ Pemerhati kebudayaan
: Koserna, Medan

14. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Raja Edward Sebayang


: 48 Tahun
: Laki-laki
: Sarjana
: Seniman, Kepala Desa Perbesi
: Perbesi

15. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Siti Aminah Br Ginting


: 45 Tahun
: Perempuan
: SMA
: Perkolong-kolong/Penyanyi
: Kabanjahe

Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara untuk penelitian Spiritualitas Upacara Gendang
Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi diklasifikasikan berdasarkan rumusan
masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Klasifikasi yang dimaksud berdasarkan
(A) gambaran umum (B) rumusan masalah 1, (C) rumusan masalah 2, dan (D)
rumusan masalah 3. Sebagai pedoman wawancara, daftar pertanyaan ini disusun
menurut pokok-pokok kenyataan dan akan dikembangkan sesuai dengan
konteksnya di lapangan dan penyampaiannya disesuaikan dengan situasi, bahasa,
dan latar belakang para informan yang dipilih.

A. Gambaran umum
1. Bagaimanakah letak, sejarah georafis, penduduk, dan sosial masyarakatnya?
2. Bagaimanakah bentuk organisasi sosial?
3. Bagaimanakah adat istiadat etnik Karo?
4. Bagaimanakah asal usul gendang lima sendalanen dalam gendang kematian
etnik Karo?
5. Adakah cerita rakyat yang berkaitan dengan gendang kematian etnik Karo?

B. Pertanyaan tentang wujud spiritualitas upacara gendang Kematian


etnik Karo pada era globalisasi
1. Bagaimanakah wujud upacara gendang kematian pada etnik Karo dulu?
2. Bagaimanakah menurut kepercayaan masyarakat Karo terhadap manusia yang
sudah meninggal?
3. Apakah dalam upacara gendang kematian ada unsur-unsur atau nilai-nilai
dasar dalam kehidupan masyarakat Karo sehari-hari?

4. Bagaimanakah proses upacara gendang kematian pada masyarakat Karo?


5. Bagaimanakah praktik masyarakat Karo dalam gendang kematian?

C. Pertanyaan tentang faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara


gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
1. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi gendang lima sendalanen dalam
upacara gendang kematian masyarakat Karo? Sejak kapan?
2. Apakah faktor ekonomi pada masyarakat Karo dapat dijadikan penyebab
perubahan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian
masyarakat Karo? Jelaskan?
3. Apakah ada pengaruh dari agama Kristen terhadap perubahan upacara gendang
kematian pada masyarakat Karo?
4. Apakah kreativitas antarseniman dapat dijadikan penyebab perubahan gendang
lima sendalanen dalam gendang kematian pada etnik Karo? Kalau ya,
jelaskan? Kalau tidak, jelaskan?
5. Sampai kapan gendang lima sendalanen dalam gendang kematian pada etnik
Karo dapat bertahan? Jelaskan!
6. Apa yang semestinya dilakukan oleh masyarakat pendukung dalam hal
perubahan ini?

D. Pertanyaan tentang makna spiritualitas dan strategi pewarisan


upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
1. Dalam kehidupan sehari-hari, makna apa yang bisa masyarakat Karo dapatkan
dari upacara gendang kematian?
2. Apa sebenarnya makna sangkep nggeluh dalam upacara gendang kematian?
3. Perubahan telah terjadi dalam upacara gendang kematian, kira-kira apa makna
perubahan ini, baik yang menguntungkan maupun merugikan bagi orang Karo?
4. Apakah makna keyboard bagi masyarakat Karo?

5. Apakah makna gendang lima sendalanen bagi budaya Karo dan masyarakat
Karo?
6. Apa makna gendang kematian bagi budaya Karo dan masyarakat Karo?
7. Usaha apa yang dilakukan masyarakat Karo dalam mempertahankan gendang
lima sendalanen sampai saat ini?
8. Apakah gendang lima sendalanen memiliki potensi untuk berdaya kembali?
Jelaskan!
9. Apakah makna landek (menari) pada upacara gendang kematian?
10. Adakah makna filosofi yang menjadi pegangan masyarakat Karo terkait
dengan upacara gendang kematian?
11. Unsur-unsur dalam upacara gendang kematian, salah satunya adalah gendang
lima sendalanen, apakah gendang mempunyai hubungan dengan sistem
kekerabatan pada masyarakat Karo?
12. Perubahan apa yang paling tampak pada etnik Karo terkait dengan upacara
gendang kematian?
13. Apakah masyarakat Karo masih berharap mewariskan gendang lima
sendalanen pada upacara gendang kematian kegenerasi berikut sebagai
warisan leluhur orang Karo. Jika tidak, mengapa? Jika ya, strategi apa yang
harus dilakukan terkait dengan pewarisan ini?

Lampiran 3
Pulau Sumatera

Kabupaten Karo

Sumatera Utara

Lampiran 4
Daftar Foto

Gambar L.4.1
Sang Istri meratapi suami yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.2
Kalimbubu simada dareh mem-bulangi anak beru-nya yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.3
Petuah dari Kalimbubu sebelum mayat dibawa ke losd/Jambur
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.4
Anak beru mengangkat peti mayat ke tempat upacara dilaksanakan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.5
Ucapan selamat jalan dari sukut saudara yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.6
Pihak sukut meratapi saudaranya yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.7
Anak beru mengiris pohon pisang untuk dijadikan persiapan makan siang
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.8
Anak beru mempersiapkan makan siang untuk keluarga dalam upacara
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.9
Anak beru mengucapkan selamat jalan kepada kalimbubu-nya
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.10
Pihak sukut sedang menari dalam acara upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.11
Anak beru, dari sukut menyerahkan utang adat kepada kalimbubu simada dareh
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.12
Kalimbubu simada dareh, erlebuh sambil
memanggil kembali seolah-olah mayat masih hidup
(Dokumen Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.13
Pihak sukut sedang menyelimuti mayat dengan dagangen kehormatan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.14
Cucu-cucu yang meninggal sedang membawa dagangen sebagai tanda kasih
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.15
Liturgi gereja sebelum mayat dibawa ke kuburan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.16
Sebagai simbol, pengurus gereja melemparkan tanah ke dalam
kuburun yang akan diikuti oleh semua keluarga
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.17
Penaburan bunga oleh keluarga setelah selesai liturgi gereja
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.18
Penaburan bunga oleh sukut keluarga setelah selesai liturgi gereja
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)

Gambar L.4.19
Jip Sembiring sebagai Anak beru sedang memberikan petunjuk kepada perkolongkolong Sabarta Br Sitepu, tentang apa yang harus disampaikan dalam katonengkatoneng pada acara berikutnya.
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.20
Gendang Lima Sendalanen dalam gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.21
Wawancara dengan sierjabaten usai upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.22
Unsur-unsur instrumen musik yang terdapat dalam ensambel
gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian etnik Karo
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Gambar L.4.23
Saat peneliti mewawancarai salah seorang penggual singindungi
pada upacara gendang kematian.
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)

Gambar L.4.24
Peneliti sedang memainkan gendang singindungi pada
upacara gendang kematian dalam rangka observasi
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.25
Suasana wawancara peneliti dengan seorang pemain keyboard
pada upacara gendang kematian etnik Karo.
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.26
Sarune dan Keyboard dalam upacara gendang kematian,
pemain keyboard terlihat diam karena bunyi untuk kebutuhan upacara
yang sebelumnya sudah diprogram
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.27
Organ tunggal/ Kibod pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.28
Wawancara dengan Seniman Karo Ismail Bangun, Yuanto Ginting dan Bangun
Tarigan usai latihan keteng-keteng di dinas Pariwisata Kab. Karo Berastagi
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Gambar L.4.29
Ensambel Tiup, yang dikenal pada etnik Karo dengan istilah
trompet pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)

Anda mungkin juga menyukai