SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
DISERTASI
SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Kopromotor 2,
Mengetahui
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Ketua
Anggota
PERNYATAAN KEASLIAN
NIM
: 109071014
Jurusan/Program Studi
: Kajian Budaya
Fakultas/Program
Mejuah-Juah
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, berkat
lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Spiritualitas
Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi pada Program
Doktor Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar.
Pada kesempatan ini
Program
Pascasarjana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., Asisten Direktur I Prof.
Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana
Mahendra, Ph.D. Ketua Program Doktor Kajian Budaya Prof. Dr. Anak Agung
Bagus Wirawan, S.U.
KITLV, Leiden University Belanda. Dr. Clara Bekker, Ismeralda, Daniella, Juara
Ginting, Nelly Sembiring, Michel, Utari, Kinok Surbakti, Pa Guntar Sinuraya,
Kristy dan Gabriella Ginting yang memberi kesempatan dan waktu untuk
menampilkan seni Karo pada beberapa peristiwa di Belanda.
Dorongan dan motivasi dari pembimbing KTL, Prof. Dr. Emiliana
Mariyah, Prof. Robert Sibarani, Dr. Sutamat Ariwibowo, M.Si, dan semua teman
seperjuangan Maria Matildis Banda, Yon Adlis, Ni Wayan Sumitri, Hamirudin
Udu, Sumiman Udu, Syahrial, Katubi, Trias Yusuf, Sainul Hermawan, Isman,
Mariana Lewier, Ali Prawiro, Jultje Aneka Rattu, Siti Gomo Attas, Retty
Esnendes, Lies Mariani, La Aso, yang bersama-sama mengikuti Program
Sandwich di Leiden-Belanda angkatan 2010 ikut memberikkan semangat atas
terselesaikannya disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Rektor,
Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Ketua Jurusan Sendratasik, Ketua Program Studi
Seni Musik, Universitas Negeri Medan (UNIMED), yang telah memberikan izin
untuk melanjutkan studi pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Disamping itu, juga seluruh dosen Jurusan Sendratasik
Universitas Negeri Medan, rekan-rekan sejawat, yang diwakili oleh Ben M
Pasaribu MMA (alm) penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral,
informasi, bantuan, dan motivasi selama ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pegawai
administrasi Program Studi Kajian Budaya, yaitu I Wayan Sukaryawan, S.T., Dra.
Ni Luh Witari, Cok Istri Murniati, S.E., Ni Wayan Aryati, S.E., I Putu Hendrawan,
I Nyoman Candra, dan I Ketut Budiarsa. Selain itu, juga seluruh pegawai kantor
pusat Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah membantu dan
memberikan kemudahan kepada penulis yang berkaitan dengan urusan
administrasi.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pejabat instansi
pemerintahan Kabupaten Karo dan Provinsi Sumatera Utara atas segala bantuan
dan kemudahan yang telah diberikan selama proses penelitian ini dilaksanakan.
Demikian pula kepada seluruh informan yang telah memberikan banyak informasi
dan kemudahan selama kegiatan penelitian ini dilaksanakan. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya sekaligus mohon maaf yang sebesar-besarnya
atas hal-hal yang tidak berkenan selama kegiatan penelitian ini dilakukan.
Terima kasih yang tulus diucapkan kepada keluarga penulis, Bapa Renceng
Thomas Ginting (Alm) yang beramanat kepada penulis tidak perlu kaya, uang
jangan dikejar, tetapi kejarlah ilmu setinggi-tingginya dan Ibunda tercinta Lelem
Br Sembiring yang selalu mendoakan, dan memberikan motivasi serta semangat
hingga selesainya disertasi ini. Kepada istriku tercinta Ely Br Sitepu yang dengan
sabar menanti kembalinya suami dari Bali dan selalu memberikan motivasi beserta
putra-putri kami Fillinllife Ginting dan Cicio Puelfi Br Ginting. Adinda tersayang
Bob King Sidney Ginting dan Athania Rasbina Br Sembiring dan putri kecil
mereka Kintan Nayara Br Ginting. Kakanda Erlykasta Br. Ginting dan Abang Abri
ABSTRAK
Etnik Karo memiliki berbagai jenis upacara dalam tradisinya. Upacara
gendang kematian merupakan salah satu upacara yang sangat penting dan
mengandung nilai-nilai luhur yang terdapat pada semua unsurnya. Upacara
gendang kematian di kalangan etnik Karo telah mengalami banyak perubahan
spiritualitas pada zaman globalisasi. Perubahan yang menuju ke arah sekularisasi
ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya global ke dalam
upacara gendang kematian etnik Karo, seperti perubahan ensambel gendang lima
sendalanen menjadi keyboard, yang kemudian melahirkan bentuk dan makna baru.
Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang terjadi
di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas upacara
gendang kematian pada masyarakat setempat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji, dan menjelaskan
berbagai perubahan yang telah terjadi pada spiritualitas upacara gendang kematian
pada etnik Karo. Pembahasan terhadap realitas budaya yang terjadi pada etnik
Karo pada era globalisasi ini difokuskan pada tiga permasalahan, yaitu (1)
bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi; (2) faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi; dan (3) Bagaimanakah makna
dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi. Penelitian ini dirancang sebagai sebuah penelitian kualitatif dengan
pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan mulitimensional.
Ketiga permasalahan tersebut dibedah menggunakan teori dekonstruksi, teori
etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik. Pengumpulan data
dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan
kepustakaan. Metode analisis yang digunakan deskriptif kualitatif dan interpretatif.
Disertasi ini menawarkan tiga hal sebagai simpulan. Pertama, wujud
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo adalah degradasi ke arah
sekularisasi terhadap nilai-nilai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo.
Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas pada upacara gendang
kematian etnik Karo mencakup internal (masyarakat pendukung, kreativitas
seniman) dan eksternal (kristenisasi, industri budaya, media elektronik). Ketiga,
makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo meliputi spiritualitas
pramodern, modern, postmodern, perubahan sosial budaya dan strategi pewarisan
melalui keluarga, masyarakat, pemerintah dan melalui revitalisasi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perjumpaan dan interaksi antara budaya
lokal dan budaya global di kalangan etnik Karo telah meminggirkan nilai-nilai
budaya lokal dan mendapatkan nilai baru. Akibatnya, upacara gendang kematian
di kalangan etnik Karo mengalami degradasi ke arah sekularisasi.
Kata kunci: spiritualitas, upacara gendang kematian, etnik Karo, era globalisasi
ABSTRACT
Karo ethnic has various kinds of ceremonies in its tradition. The gendang
ceremony of death is one of the most important ceremonies and embodies noble values
that contained in all of its elements. The gendang ceremony of death in the Karo ethnic
has undergone many changes in terms of spirituality in the age of globalization. A change
toward secularization is as a result of the influence of global cultural elements into the
gendang ceremony of death of the Karo ethnic like ensemble gendang lima sendalanen
change to keyboard who gave birth to a new form and meaning. This dissertation is the
result of a study of the cultural realities that occur among the Karo ethnic in this age of
globalization, namely the change in the spirituality the gendang ceremony of death in the
local people of Karo.
This study aims to identify and to analyze, as well as to explain the various
changes that have occurred in the spirituality of the gendang ceremony of death of the
Karo ethnic. The discussion of the cultural reality that occurs in the Karo ethnic in the age
of globalization has been focused on three issues, namely (1) How is the form of changes
in the spirituality of the gendang ceremony of death in Karo ethnic in this age of
globalization; (2) What factors are causing changes in the spirituality of the gendang
ceremony of death of the Karo ethnic in this age of globalization; and (3) What is the
meaning of spirituality change of the gendang ceremony of death in the Karo ethnic in this
age of globalization.
The study was designed as a qualitative study of critical, interdisciplinary and
multidimensional cultural studies approach. The three problems mentioned above were
analyzed by using deconstruction, ethnomusicology, co-modification and semiotic
theories. The study used descriptive qualitative and interpretative methods of analysis.
The data were collected by observation, in-depth interviews, and documentation as well as
library studies.
This dissertation offers three things in conclusion. First, the form of spiritual
change in the gendang ceremony of death of the Karo ethnic, is the degradation toward
secularization of spiritual values of the gendang ceremony of death, among the Karo
people. Second, the factors that cause changes in spirituality in gendang ceremony of
death in the Karo ethnic include the internal factors (community support, creativity,
innovation of artists) and the external factors (Christianization, the pressure of foreign
culture, and the cultural industries). Third, the meanings of changes in the spirituality of
funeral ceremony of the Karo ethnic include the representation of identity, the cultural
secularization, social change of the Karo people and inheritance strategy through family,
community, government and revitalization.
This study shows that the encounter and interaction between the local and the
global culture among the Karo ethnic has marginalized the local cultural values and they
obtain new meanings. Consequently, the gendang ceremony of death among the ethnic of
Karo has undergone degradation toward secularization.
Keywords:
RINGKASAN DISERTASI
SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang
terjadi di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas
upacara gendang kematian
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? Kedua faktor-faktor
apakah yang memengaruhi upacara gendang kematian etnik
untuk
menunjukkan
identitas.
Dengan
kata
lain,
kehadiran
sebab itu, dari sudut pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Manusia tidak bisa mengatasi masalah yang
ditimbulkan oleh cara-cara manusia mengatur kehidupan individu dan kelompok
tanpa menolak pandangan dunia yang mendasarinya.
Makna perubahan budaya yng mencakup beralihnya nilai tradisi ke modern
adalah
teralihkannya
orientasi
nilai-nilai
magis
religius
dari
agama
menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo dengan dimainkannya akord dan
harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari
perkembangan teknologi modern yang mempengaruhi musik Karo.
Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan
pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Masyarakat
pemilik warisan budaya mestinya memahami yang tangible, yaitu warisan budaya
yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang pada umumnya berupa benda
yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan
tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya yang tak benda atau tak
tersentuh. Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai
suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum
kehilangan maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara
terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama
pemerintah yang memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan
budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang
terkandung di dalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar
belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah
lain.
Hasil penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai temuan baru
penelitian. Pertama, tradisi lisan upacara gendang kematian menunjukkan
spiritualitas sebagai nilai-nilai dan komitmen dasariah pada etnik Karo dalam
melakukan upacara. Kedua, modernisasi dan globalisasi yang diyakini selama
initanpa disadaritidak menghegemoni, memarginalisasi, dan menggerus
tradisi-tradisi lokal, penelitian ini mengungkapkan kebenaran yang terjadi di
lapangan. Artinya, hegemoni berjalan dengan konsensus dan kesepahaman
bersama. Ketiga, redefinisi upacara gendang kematian dari definisi sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama,
kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan
dan di dalam kehidupan ada kematian. Kematian seperti halnya kehidupan adalah
bentuk keseimbangan alam sebagaimana dualisme oposisi baik-buruk, siangmalam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada tanpa kehadiran sisi lainnya. Manusia
terdiri atas jasmani (kula) dan rohani (tendi). Dengan demikian, dalam upacara
gendang kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut
menjadi ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas
menjadi angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu
(tulang menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu).
Kedua, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi mengalami degradasi ke arah sekularisasi yang diakibatkan oleh faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi masyarakat pendukung
upacara gendang kematian dan kreativitas seniman/budayawan. Di pihak lain
faktor eksternal, yaitu kristenisasi, tekanan budaya asing, dan media elektronik
Ketiga, penelitian ini bermakna untuk menguatkan identitas. Penguatan
identitas ini terwujud dalam representasi identitas masyarakat Karo melalui
gendang lima sedalanen ensambel musik yang terdapat dalam upacara gendang
kematian, landek yaitu menari, nuri-nuri petuah-petuah dari sistem kekerabatan,
melalui ngandung yaitu ratapan, melalui rende yaitu bernyanyi, melalui keyboard
instrumen musik pengganti gendang lima sendalanen, dan melalui trompe sebagai
ensambel tiup, serta makna perubahan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dengan adanya problematik
empirik yang belum tergali secara mendalam terkait dengan perubahan
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran
dan rekomendasi dapat disampaikan. Pertama, para peneliti yang tertarik dengan
upacara gendang kematian pada etnik Karo atau penelitian sejenis dengan topik
dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik
dan terbuka untuk penelitian lanjutan. Artinya, untuk dikaji secara mendalam dan
mendapatkan pemahaman yang lebih kritis dan teoretis berbagai dimensi
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Kedua,
penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan kepada para
pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan
diberbagai tingkatan,
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM............................................................................
PRASYARAT GELAR......................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN...........
iii
PERNYATAAN KEASLIAN............................................................
vi
ABSTRAK..........................................................................................
xi
ABSTRACT..
xii
RINGKASAN DISERTASI...............................................................
xiii
DAFTAR ISI.......................................................................................
xxi
DAFTAR TABEL..............................................................................
xxviii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................
xxix
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................
xxxi
GLOSARIUM ....................................................................................
xxxii
BAB I PENDAHULUAN................................................................
14
15
15
16
16
16
17
18
18
2.2 Konsep........................................................................................
30
2.2.1 Spiritualitas....................................................................
30
34
38
40
43
45
49
52
55
58
61
61
62
63
65
66
67
3.6.1 Observasi.............................................................................
67
3.6.2 Wawancara..........................................................................
69
71
72
74
75
75
76
82
85
94
104
106
109
115
122
126
130
132
133
135
136
137
138
140
141
143
144
147
149
152
155
160
162
164
167
168
172
174
177
178
182
184
186
189
192
197
199
206
214
217
236
244
250
261
313
322
325
326
331
343
348
353
353
362
370
7.6 Refleksi
373
377
8.1 Simpulan......................................................................................
377
8.2 Saran.............................................................................................
380
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
382
LAMPIRAN.......................................................................................
396
396
399
402
403
TABEL
Tabel
Tabel 4.2
Halaman
Bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Karo.. 91
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
Gambar 2.1
Model Penelitian
58
Gambar 3.1
68
Gambar 3.2
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Gambar 5.7
Gambar 5.8
Gambar 5.9
114
Gambar 5.16 Rende atau Bernyanyi pada Upacara Gendang Kematian.... 188
Gambar 5.17 Organ Tunggal/Kibod pada Upacara Gendang Kematian 191
Gambar 5.18 Trompet/Ensambel Tiup pada Upacara Gendang Kematian. 193
Gambar 7.1
Gambar 7.2
Gambar 7.3
Gambar 7.4
Gambar 7.5
Gambar 7.6
Gambar 7.7
Gambar 7.8
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
Lampiran 1
Lampiran 2
Pedoman Wawancara.
399
Lampiran 3
402
Lampiran 4
Daftar Foto.
403
GLOSARIUM
aerofon
anak beru
begu
belo kinapur
: kapur sirih.
bere-bere
beru
beru dayang
beru puhun
beru singumban
birawan
cimpa
dagangen
Dibata si la idah
Dibata si idah
didong doah
endek
erpangir kulau
erturang
ertutur
gbkp
gendang
gendang kibod
gung
guro-guro Aron
guru
ideofon
io-io
jambur
jinujung
kade-kade
kalimbubu
kalimbubu dareh
katika
katoneng-katoneng : musik vokal etnik Karo yang memiliki garis melodi baku,
tetapi lirik atau teks lagu tersebut senantiasa berubah dan
disesuaikan dengan satu konteks upacara.
kerja tahun
keteng-keteng
landek
lau meciho
desa
mang-mang
membranofon
mengket jabu
merga silima
morah-morah
narsarken rimah
nendung
nereh-empo
ngandung
ngarkari
ngerana
nuri-nuri
odak
ole
patam-patam
: repertoar lagu yang bertempo cepat, baik dalam tarian mudamudi maupun upacara ritual.
pating-pating
pasu-pasu
pendawanen
penganak
penggual
perkade-kaden
perkolong-kolong
perumah begu
puang kalimbubu
rakut sitelu
raron
rende
rengget
rubia-rubia
senina
sierjabaten
sukut
tabas
tangis-tangis
trompet
tutur siwaluh
BAB I
PENDAHULUAN
aspek kebudayaan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai
budaya lokal, tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan,
seperti tradisi lisan yang diwariskan dan berkembang secara turun-temurun
sebagai bentuk warisan adat yang mengandung spiritualitas suatu komunitas
masyarakat. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global, yang
menggurita ke dalam sendi-sendi kehidupan etnik Karo tidak bisa dibendung
ataupun ditolak akibat derasnya arus globalisasi yang membentur tradisi budaya
etnik setempat.
Wacana globalisasi menurut Barker (2005) turut memberikan kekacauan
baru dalam konteks perubahan budaya yang multidimensional saling terkait
dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas. Perubahan yang
dianggap chaos ini diantisipasi oleh cultural studies dengan berupaya memahami
perubahan-perubahan ini dan menempatkan pada ranah kajian budaya melalui
penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya, dan
postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada
sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme dan hal ini
terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker,
2005: 133). Oleh karena itu, globalisasi budaya yang sudah dimuati oleh praktikpraktik kapitalisme akan secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan
kebudayaan tradisi yang ada.
Etnik Karo sebagai bagian dari kebudayaan tentunya terseret dalam
dinamika kapitalisme global. Menurut Piliang, manusia konsumer tidak tertarik
akan keselamatan diri lewat perenungan atau ibadat, tetapi tertarik terhadap
ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan,
dan keamanan psikis lewat terapi, hanyut dalam pelbagai bentuk terapi, seperti
yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, joging, pusat kebugaran, dan
karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Piliang sebagai
postspiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk
dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan sehingga
batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207). Kapitalisme
tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi, tetapi juga nadi
sakralnya. Pada proses ini tentunya seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa
etnik Karo adalah bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis
terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini.
Menurut Hoed, dalam menghadapi arus globalisasi yang memang nyata,
menganggap modernitas merupakan sesuatu yang endogen, yaitu faktor dari dalam
suatu masyarakat yang berpikir kritis terhadap dinamika perkembangannya.
Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya tergantung dari apakah
masyarakat itu sendiri memberikannya kesempatan untuk berkembang atau tidak.
Sayangnya modernitas sering kali dihadapkan dengan adat istiadat dan tradisi asli
kita. Bahkan,
jika dilihat lebih lanjut, kita pun telah menjadi penerima adat
istiadat dan tradisi baru dari Timur Tengah, Jepang, dan Cina. Inilah globalisasi
yang terjadi dewasa ini (Hoed, 2008: 108--109). Etnik Karo sebagai bagian dari
masyarakat global saat ini, harus mampu memiliki sikap kritis terhadap arus
modernitas yang secara perlahan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita.
Pada perkembangannya kategori-kategori seni juga mengalami perubahan
karena desakan modernitas. Kesenian tradisional yang dulu merupakan batang
tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari kini
mulai digantikan oleh bentuk-bentuk kesenian yang modern. Danesi (2010)
mengatakan sebagai berikut.
Seni modern mengemuka dengan menggunakan imaji dan suara yang
mencerminkan meterialisme dan kevulgaran budaya konsumerisme, para
seniman modern pada tahap awal berusaha menyuguhkan pandangan
realitas yang lebih langsung dan relevan dibandingkan seni zaman dahulu,
sedangkan seni postmodern berusaha untuk menstabilisasi pandangan atas
dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat
Barat sejak Renaisans, tetapi, dengan membuat budaya Barat makin
mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme sekaligus
mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010:
251 & 312).
Pandangan Danesi ini menunjukkan bahwa seni postmodern merupakan
salah satu jalan tengah antara masyarakat tradisional dan modern. Seni merupakan
sarana yang universal meskipun tetap terdapat unsur-unsur ideologis di dalamnya.
Namun, masyarakat tetap harus dapat meletakkan eksistensi mereka dan secara
kritis melihat terjadinya pergeseran identitas dalam diri kesenian mereka. Hal ini
diungkapkan Danesi (2010: 252) dalam bukunya Pesan, Tanda, dan Makna,seperti
berikut.
Barangkali tidak ada lagi yang membedakan manusia dari spesies lainnya
seperti halnya seni. Seni adalah kemampuan lahiriah yang memungkinkan
kita, sejak bayi, untuk mengambil makna dari gambar, musik, pertunjukan,
dan hal-hal yang sejenis. Seni adalah pengakuan bahwa kita memang
menjadi penting
suatu
produk
kebudayaan
akan
selalu
terikat
pada
petanda-petanda
Masyarakat modern dan sampai pada titik tertentu juga organisasiorganisasi religius berorientasi pada profesionalisme. Bentuk
organisasinya adalah rasionalisasi birokratis, perluasanya dalam waktu
terbentuk perkembangan linear, dan kendali kekuasaannya bersifat
manipulatif. Kompetisi profesional adalah legitimasinya. Modernitas
condong ke arah ini. Lain halnya dengan organisasi postmodern karena
berorientasi pada prinsip kreativitas (atau lebih baik kokreativitas). Bentuk
organisasinya adalah komunitas holistis, perluasannya dalam waktu
terbentuk spiral ritmis, dan kendali kekuasaannya bersifat imajinasi artistik.
Maka, legitimasinya berasal dari karisma, yang sekaligus bersifat sosial
dan spiritual. Pengabdian dan kompetensi tidak akan hilang, tetapi
sekarang diabdikan pada kreativitas karisma (Holland dalam Griffin (ed),
2005: 75).
Lebih dari itu ketika kita berbicara tentang kategori-kategori masyarakat Di
dalamnya mengalir juga unsur-unsur spiritualitas. Ada perbedaan antara
spiritualitas tradisional, modern, dan postmodern. Visi-visi postmodern yang di
tulis oleh Griffin membantu kita untuk memahami sekaligus kategori dan nilainilai spiritualitas. Selanjutnya Griffin mengatakan sebagai berikut.
Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat
dualistik
dan
supernaturalistis
dan
berakhir
dengan
suatu
pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas;
postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur
dari spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, karena spiritualitas
postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan
masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap
memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia
modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur
modernitas; individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia
oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah
sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah
ekonomi (Griffin, 2005: 16--17).
Tentunya realitas yang digambarkan oleh Griffin menjadi acuan untuk menggali
nilai-nilai tradisional secara kritis menelusuri tahap-tahap perkembangan
masyarakat, baik dari sisi wujud , faktor, maupun makna. Kaitan-kaitan ini
menunjukkan bahwa produk kebudayaan yang berupa seni merupakan upaya kritis
untuk meninjau realitas tersebut.
Prinst (2003: 154) mengatakan bahwa keselarasan antara manusia dan
alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan
lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam
masyarakat mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos (alam) dan
masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau
panjang atau malapetaka lainnya. Keselarasan atau keseimbangan dalam suatu
mayarakat sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktivitas sehari-hari
sehingga di situlah apa yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud. Menurut
Liembeng (2007: 17) orang Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain
sebagai tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk
lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia.
Oleh
sebab
itu
dibutuhkan
aktivitas-aktivitas
tertentu
untuk
menjaga
seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam
hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari
ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi
hantu.
Liembeng (2007: 31) memaparkan filsafat dalam ungkapan keseharian
etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara gendang kematian. Ungkapan
lainnya, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh,
tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut menjadi ijuk,
darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi
batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut menggambarkan bahwa
eksistensi masyarakat Karo adalah bagian integral dari lingkungan mereka.
Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai satu kesatuan
menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam. Manusia adalah
bagian dari alam, bukan sebaliknya.
Upacara gendang kematian menjadi penting dalam kosmologi etnik Karo
karena dalam mati ada hidup dan dalam hidup ada mati. Tarigan (1988: 37)
menganggap bahwa masyarakat
pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia diyakini masih
berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu. Bahkan, upacara
gendang kematian yang dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi
keluarga yang masih hidup.
merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur
(peristiwa), yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek (tari), (3) nurinuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian). Salah satu
peranan gendang lima sendalanen sebagai iringan musik dan tari dalam gendang
kematian adalah sebagai perekat semua unsur upacara. Gendang lima
sendalanen digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai
pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang yang sudah meninggal (Ginting,
2012: 7).
Sejatinya filsafat hidup suatu masyarakat tidak hanya diwujudkan dalam
ungkapan-ungkapan keseharian. Kehadiran filsafat hidup tersebut akan sangat
terasa dari bagaimana suatu masyarakat memaknai kematian yang tampak dalam
ritual upacara kematiannya. Gendang kematian merupakan perwujudan dari
bersatunya kembali manusia dengan alam seperti yang diutarakan dalan ungkapan
kesehariannya. Namun, etnik Karo seperti etnik lainnya tidaklah hidup dalam
ruang hampa karena ada kehadiran spiritualitas lain yang dapat dikatakan sebagai
spiritualitas sekularisme, kosmologi global, dan modernisasi bersama dengan
datangnya globalisasi. Gendang kematian seolah-olah menjadi arena kontestasi,
pertempuran, persengkataan, persilangan, dan perselisihan budaya.
Secara simbolis gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas
kehidupan etnik Karo melalui berbagai unsurnya, seperti instrumen yang
seorang pemain untuk menghasilkan, baik musik combo (band) maupun orkestra
(big band). Bahkan, lebih jauh lagi telah terjadi konsensus di masyarakat Karo
secara tidak sadar untuk menggabungkan unsur modernitas dan tradisionalitas
disebut dalam istilah gendang kibod. Alat musik ini bahkan dapat menyerupai
musik Karo dalam berbagai ekspresi dan kreasi seniman-seniman Karo. Peneliti
telah mengamati dalam satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran dalam
gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan nganting manuk (malam sebelum
upacara adat perkawinan Karo berlangsung).
Lima tahun terakhir keyboard mulai merambah ke upacara gendang
kematian etnik Karo. Hal ini terwujud bukan semata-mata karena ekonomi.
Kepraktisan penggunaan alat ini justru sebagai salah satu faktor yang mendorong
minat masyarakat menggunakan keyboard. Selain itu, penggunaan keyboard ini
juga tidak banyak melibatkan jumlah pemain, bahkan umumnya cukup dimainkan
oleh satu orang (player). Gendang lima sendalanen bagi etnik Karo, merupakan
prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, segala
unsur gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian etnik Karo
mengandung simbol-simbol dan makna simbolik. Pudarnya sistem kepercayaan ini
setidaknya mendorong perubahan dan pergeseran pada penggunaan alat-alat
tradisonal musik Karo menjadi alat musik modern berupa keyboard.
Memudarnya sistem kepercayaan asli etnik Karo juga tidak terlepas oleh
sistem kepercayaan agama-agama wahyu yang hanya percaya kepada Tuhan Yang
Esa. Makna sakral yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen
termasuk pada alat yang digunakan secara perlahan terdegradasi menjadi makna
profan karena alat musik modern berupa keyboard mampu menirukan repertoar
gendang lima sendalanen. Dengan demikian, secara perlahan masyarakat pemilik
pun semakin kehilangan tentang makna dari gendang lima sendalanen tersebut.
Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
dikhawatirkan tidak akan bertahan lama akibat dari degradasi tersebut, padahal di
dalamnya terkandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan secara lisan dan
telah berlangsung berabad-abad.
Pada saat ini upacara gendang kematian masih menjadi arena bagi
pertempuran budaya-budaya. Keberadaan gendang keyboard di tengah-tengah
prosesi upacara gendang kematian menunjukkan adanya binerisme baru pada
konsep spiritualitas etnik Karo. Keyboard merupakan alat musik modern yang
hadir di luar konsep-konsep kosmologi Karo. Kemampuan keyboard sebagai alat
musik sarat dengan konstruksi modernisme yang memosisikan gendang lima
sendalanen di posisi sebaliknya sebagai alat musik tradisional. Padahal, menurut
seorang pakar musik Nusantara, Suka Hardjana (2003: 26), keyboard adalah
mesin, mesin adalah benda dan benda itu mati. Oleh karena itu, konstruksi biner
gendang keyboard dan gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian
bisa saja berujung pada matinya spiritualitas etnik Karo.
Ditinjau dari latar belakang filosofis, teoretik, dan empirik penelitian ini
menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan oleh etnik Karo merupakan bagian dari
masyarakat global saat ini yang sedang mengalami dinamika perubahan struktur
Tujuan Umum
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini secara umum
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan
1.4.1
Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari temuan yang dihasilkan penelitian ini memberikan
Dalam perspektif kajian budaya dan kajian tradisi lisan, penelitian ini
merupakan
upaya
intelektual
dalam
memberikan
proses
pemahaman,
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan
pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3)
makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan penelitian
lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasil-hasil penelitian
terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka buku-buku teks.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan pustaka-pustaka yang
nilai-nilai budaya Karo dalam utang adat kematian etnik Karo yang tersirat dalam
nama dan jenis barang yang digunakan. Misalnya, berupa dagangen (kain kafan)
yang berwarna putih untuk yang meninggal dan keperluan hidup sehari-hari
kepada keluarga yang ditinggalkan berupa beras dan ayam. Panelitian ini
memberikan kontribusi kepada peneliti terkait dengan jenis barang yang
digunakan dalam upacara gendang kematian. Di pihak lain disertasi ini meneliti
musik gendang lima sendalanen dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pulumun P. Ginting (2012) meneliti tentang Gendang Kematian dan
Kematian Gendang pada Masyarakat Karo disampaikan pada Seminar
Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas Adat
dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus 2012 di Berastagi. Makalah ini
menunjukkan gendang kematian adalah salah satu ritual kematian yang terdapat
pada etnik Karo yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa) yang
merupakan satu kesatuan, yaitu (1) Gendang lima sendalanen (musik), (2) landek
(tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (ratapan), (5) rende (nyanyian). Salah
satu unsur yang paling penting dalam upacara gendang kematian, gendang lima
sendalanen sebagai iringan musik pada upacara gendang kematian sebagai
perekat dari semua unsur upacara. Gendang lima sendalanen
digunakan
mengalami
merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini
menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik tetapi lebih
dari itu, ingin mengetahui implikasi musik terhadap manusia, dan bagaimana
implikasi tersebut dihasilkan. Selanjutnya Merriam mengemukakan bahwa musik
rakyat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya dan musik tanpa
teks juga mampu memberikan komunikasi. Menurut Merriam musik bukan suatu
bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja, karena setiap jenis musik
lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya. Dalam
beberapa hal, musik merupakan simbol dari aspek kehidupan dan organisasi sosial
masyarakat pendukungnya. Dari fungsi dan kegunaan musik yang di tawarkan
oleh Merriam dalam buku ini, sangat membantu penulis untuk menelaah makna
secara konotatif dan memberikan peluang tentang strategi pewarisan upacara
gendang kematian etnik Karo dari makna yang telah tergali.
Darwan Prinst (2004) meneliti adat Karo secara umum. Buku ini dirangkai
dari hasil kongres kebudayaan Karo tahun 1995 yang diberi judul Adat Karo.
Darwan menguraikan panjang lebar tentang adat istiadat dan kesenian Karo. Selain
itu, berbagai perilaku budaya Karo juga dijelaskan. Pembahasan tentang kesenian
lebih pada deskripsi seni pertunjukan seperti tari dan musik untuk kebutuhan
upacara ritual. Meskipun penelitian ini lebih difokuskan pada bidang deskripsi
adat istiadat, cukup memberikan wawasan dalam penyusunan disertasi ini.
Informasi penting dalam penelitian yang relevan dengan penyusunan disertasi ini
adalah uraian mengenai berbagai jenis upacara kematian pada masyarakat Karo.
Masri Singarimbun (1975) dalam disertasinya Kinship, Descent, and
Alliance Among the Karo Batak meneliti sistem kemasyarakatan dan kekerabatan
pada masyarakat
terkait dengan makna simbol dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Dalam
buku ini Singarimbun menjelaskan keberadaan rumah adat dalam sistem
kekerabatan, aspek-aspek simbolisnya, dan
Kerangka berpikir Singarimbun dalam penelitian
penyelenggaraan ritual-ritual.
ini dapat digunakan untuk
menganalisis simbol yang terdapat dalam upacara gendang kematian etnik Karo.
Simbol yang terdapat dalam rumah adat yang dimaknai berhubungan dengan
sistem kekerabatan, dalam penelitian ini dijadikan acuan untuk memaknai unsurunsur yang terdapat dalam upacara gendang kematian dengan sistem kekerabatan
sangkep nggeluh.
Kumalo (2007) meneliti mangmang nyanyian guru (dukun) untuk
memanggil roh-roh yang sudah meninggal dunia. Tesis ini berjudul Mangmang:
Analisis dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual Karo di
Sumatra Utara. Kumalo menjelaskan Mangmang adalah sejenis nyanyian yang
terdapat pada etnik Karo. Orang yang menyajikan mangmang adalah bomoh.
Bomoh menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara ritual tertentu
dengan cara bernyanyi. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai konteks
penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian diri) dan
raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia). Upaya menjalankan kedua
upacara ritual di atas merupakan keyakinan bagi etnik
memberikan informasi bahwa etnik Karo sangat kuat terikat dengan kesenian,
khususnya musik. Hasil penelitian ini sangat membantu dalam penyusunan
disertasi ini karena di dalamnya dibahas mengenai etnomusikologi dan jenis-jenis
seni di luar konteks gendang kematian. Dengan demikian, penelitian ini relevan
digunakan sebagai acuan dalam disertasi ini.
Pasaribu (2004)
lebih memusatkan
perhatian pada aspek historis atau sejarah Batak. Dokumentasi foto kebudayaan
masyarakat Batak Karo yang dibuat pada tahun 1910 merupakan data yang sangat
berharga bagi penelitian ini. Foto-foto yang dibuat Achim Sibeth memberikan
gambaran tentang alat musik yang digunakan dalam upacara ritual tradisi Karo.
Ini sangat berbeda dengan keadaan sekarang yang terjadi pada upacara ritual
Karo. Oleh karena itu, buku karya Achim ini sangat membantu untuk melacak
jejak makna instrumen musik tradisi yang ada pada masyarakat Karo.
Brahma Putro (1999) membahas tentang sejarah Karo dari zaman ke
zaman. Putro meneliti perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga
kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Karo
dan Melayu ketika pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Deli Serdang,
Langkat, Tanah Tinggi Karo, dan sepanjang lembah sungai Renun. Kehidupan
masyarakat Karo di tiga daerah ini memberikan informasi kepada penulis terkait
dengan upacara gendang kematian yang diteliti. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah meneliti masyarakat Karo yang ada di Tanah Tinggi
Karo. Perbedaannya Putro membahas sejarah, sedangkan penelitian penulis
tentang spiritualitas upacara gendang kematian.
J.H. Neumann (1972) meneliti tentang sejarah Batak Karo dengan judul
Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Neumann meneliti dan menerangkan
asal usul dan arah penyebaran dari kelima merga (klan) yang terdapat pada
masyarakat Karo, yaitu
merga Perangin-angin, dan merga Tarigan dengan cara menganalisis dongengdongeng folklor orang Karo sendiri. Berdasarkan penelitian ini, Neumann
berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo adalah di Dataran Tinggi Karo.
Disebutkan juga bahwa Dataran Tinggi Karo, kira-kira tiga abad yang lalu
dimasuki oleh orang-orang Batak dari daerah lain, seperti orang Batak dari daerah
Pakpak di sebelah baratnya, yang menjadi nenek moyang dari merga Karo-karo.
Kemudian ada juga migrasi ke daerah dataran tinggi Karo dari sebelah timur dan
selatan yang menyebabkan terjadinya merga-merga lain di Dataran Tinggi Karo.
Terlepas benar atau tidaknya pendapat Neumann di atas, akan tetapi memberikan
inspirasi bagi penelitian penulis dalam hal menggali mitos atau dongeng yang
terdapat pada gendang kematian. Relevansi penelitian ini dengan penelitian
penulis adalah berawal dari mitos. Perbedaannya adalah Neumann menguraikan
merga-merga melaui mitos, sedangkan penelitian penulis meneliti kaitan gendang
lima
sedalanen
dalam
upacara
gendang
kematian
dengan
sistem
ini tidak sampai meneliti nilai-nilai dari materi gendang pada upacara, sedangkan
penelitian penulis menggali sampai sedalam-dalamnya.
Arlin Dietrich Jansen (2003) dalam bukunya yang berjudul Gondrang
Simalungun membahas struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun.
Dalam buku ini Jansen menguraikan ansambel musik gondrang, konteks historis,
dan struktur musik yang berhubungan dengan musik tersebut. Jansen juga
memperlihatkan peran dan fungsi musik gondrang pada masyarakat Simalungun.
Namun, menurut Jansen, kelangsungan tradisi musik ini pada masa depan masih
belum dapat dipastikan karena kurangnya minat dan ketertarikan di kalangan
masyarakat Simalungun. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi pada
penelitian penulis terkait dengan kekhawatiran kelangsungan tradisi musik
gendang lima sendalanen pada etnik Karo. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian penulis adalah menguraikan peran ensambel musik pada masyarakat.
Perbedaannya adalah penelitian penulis tidak hanya menganalisis peran ensambel,
tetapi juga mencari makna yang implisit dari materi yang menghasilkan wujud
ensambel tersebut.
Sembiring
(2010)
mengadakan
penelitian
berjudul
Ambivalensi
zending. Akan tetapi, setelah melalui proses historis yang tidak mudah, terjadi
sejumlah negosiasi kultural sehingga resepsi terhadap kristenisasi. Esai ini
memberikan informasi dan wawasan bagi penelitian penulis yang terkait dengan
gendang Karo, yaitu Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja di desa tertarik
dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen dan dibaptis.
Tidak lama setelah dibaptis ia menanyakan kepada pendeta apakah sebagai orang
Kristen ia dapat memakai gendang Karo. Jawab pendeta itu tidak boleh!!.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama melihat
pengaruh perubahan kebudayaan etnik Karo dari sisi kekristenan. Perbedaannya,
Sembiring meneliti perubahan keyakinan melalui kristenisasi sedangkan penelitian
penulis melihat perubahan musik dan spiritualitas upacara gendang kematian dari
sudut kristenisasi, industri budaya yang ditandai dengan komodifikasi.
Buku Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo yang ditulis A.G.
Sitepu (1998) memberikan gambaran umum tentang ragam hias etnik Karo yang
terdapat dalam berbagai benda pakai, seperti kain, alat masak, dan alat-alat musik.
Informasi ini diperlukan untuk mengetahui organologis alat-alat musik yang
terdapat pada masyarakat Karo. Relevansi buku ini dengan penelitian penulis
hanya tentang alat musik dan organologisnya, sedangkan perbedaaanya adalah
penelitian penulis sampai pada bentuk bunyi dan spiritualitas materi yang
memproduksi bunyi tersebut.
Sumber-sumber pustaka dan tulisan di atas telah memberikan wawasan,
informasi, dan bahan yang sangat berharga bagi penelitian ini. Dari kajian pustaka
2.2 Konsep
Penelitian ini membahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian
sehingga dapat digunakan sebagai pendukung analisis dan memberikan bingkai
sesuai dengan permasalahan penelitian . Terkait dengan itu, dikemukakan empat
satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep spiritualitas, upacara
gendang kematian, etnik Karo, dan era globalisasi
2.2.1 Spiritualitas
Spritualitas berasal dari kata spiritus (roh) mengandung beberapa
pengertian yaitu, (1) imaterial, tidak jasmani, terdiri atas roh; (2) mengacu kepada
kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan
sebagai praksis, sebuah pengetahuan yang mengubah cara saya menjalani hidup di
dunia ini.
Saya menjadi bagian dari seluruh hewan dan juga tumbuhan. Dan menjadi
bagian (belonging) berarti saya betah (at home) bersama mereka, saya
bertanggung jawab untuk dan pada mereka, Anda lihat saya menjadi bagian
dari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian saya. Kita
semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmis yang besar
ini (Capra, 1999: 22).
Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah
ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius
tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah spiritualitas dipakai untuk menunjuk
pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang
tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap
nilai-nilai dan makna tersebut.
Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat
dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas
(spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas
asli yang memuat unsur-unsur spiritualitas pramodern. Walaupun begitu,
spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan
masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki
dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat
postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas, individualisme, dan
nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan
manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi
masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17).
Spiritualitas postmodern mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan
luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi kebaikan atau
kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai tingkat pengalaman
nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu adalah tuan segala
ciptaan yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya tidak berarti bahwa
manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor ngengat. Oleh sebab
itu, pandangan postmodern menyarankan suatu spiritualitas yang di dalamnya
digabungkan perhatian pada ekologi dengan perhatian khusus pada kesejahtraan
manusia (Griffin, 2005: 33).
Aktivitas melihat kemudian percaya adalah bagaimana seseorang melihat
objek visual. Namun, pengelihatannya ini dapat menembus batas-batas fisik objek
yang dilihat sehingga ia dapat mencerap
pesan, dan makna. Sesuatu yang koheren di sini pada dasarnya bukan sematamata sosok objek visual dengan kepercayaan. Namun, muatan (content) di dalam
objek visual yang memungkinkan hubungan antara melihat, objek visual, dan
kepercayaan itu terjalin. Muatan inilah yang menjadi jiwa atau muatan spiritualitas
objek visual. Sinkronisasi antara nilai fisik dan nonfisik sebuah objek visual inilah
yang kemudian dapat menimbulkan satu wujud kepercayaan (Darmawan dalam
Adlin (ed), 2007: 144).
mengemukakan
bahwa
posmodernisme
lebih
cenderung
pengiring dalam ensambel musik. Akan tetapi, bagi masyarakat Karo pengertian
gendang tersebut bukan alat musik semata sebagaimana dalam pengertian secara
umum diatas. Kata gendang pada masyarakat Karo memiliki beberapa pengertian.
Selain sebagai sebuah ensambel musik, gendang bisa juga berarti nama repertoar
sebuah lagu
tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen,
kata gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu, (2) gendang
simalungun rayat, kata gendang mengandung arti nama sebuah lagu, (3) gendang
indung, kata gendang menunjukkan salah satu jenis alat musik, (4) gendang gurogoro atau gendang kematian kata gendang menjadi suatu upacara.
Kematian berasal dari kata mati atau maut yang artinya tidak ada,
gersang, tandus, kosong, berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati nurani,
serta lepasnya roh dari jasad. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, kata mati
memiliki arti sudah tidak hidup lagi hilang nyawanya. Di pihak lain pengertian
mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1) kemusnahan dan kehilangan total
roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh dan badan, dan (3) terhentinya budi daya
manusia secara total (Yusuf, 2005: 55--56).
Kematian bagi manusia suatu hal biasa, tetapi bagi etnik Karo yang ada di
Sumatera Utara, kematian merupakan peristiwa penting. Manusia yang masih
hidup memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan roh orang yang sudah
meninggal dunia. Kematian bagi etnik Karo mendapat perhatian yang istimewa
dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Etnik
kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal dunia
diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu.
Hubungan dengan roh (pertendin) orang yang sudah meninggal dunia tersebut
terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam berbagai ritual agar tidak
mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, ritual yang
dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih
hidup.
Upacara gendang kematian adalah salah satu kebiasaan yang tersusun
dengan urutan-urutan tertentu sebagai suatu ritual kematian yang terdapat pada
etnik Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu
kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa) yang
merupakan satu kesatuan, yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2) landek
(tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende (nyanyian).
Gendang Lima Sendalanen (sering juga disebut gendang telu sedalanen
lima sada perarih) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam
khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan
dengan alat musik, lima berarti lima dan sendalanen berarti sejalan. Dengan
demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian lima buah
instrumen musik yang dimainkan secara bersama-sama.
Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sedalanen memang
terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarunei, (2) gendang singindungi, (3)
gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung. Tiap-tiap alat musik dimainkan
oleh seorang pemain dengan sebutan penarunei untuk pemain sarunei, penggual
untuk sebutan gendang singindungi dan gendang singanaki. Lebih spesifik lagi,
pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi dan pemain gendang
singanaki disebut penggual singanaki. Orang yang memainkan penganak disebut
simalu penganak dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung. Ketika
mereka bermain musik dalam suatu upacara adat Karo, sebutan mereka menjadi
satu, yaitu sierjabaten (yang memiliki jabatan). Sebutan penggual dan penarune
tetap melekat pada diri mereka sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik,
sementara sebutan sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain
dalam suatu konteks upacara adat Karo.
Landek adalah menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu.
Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua
bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan. Dalam landek adat, yang berhadaphadapan adalah kelompok sukut (kelompok sukut yang meninggal) dengan salah
satu pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut. Dalam landek
hiburan, yang landek berhadap-hadapan adalah kelompok sunguda-nguda (wanita)
dan kelompok anak perana (pria) yang dilakukan dengan berpasang-pasangan.
Tiap-tiap kelompok berjumlah persis sama, sedangkan dalam landek adat (upacara
kematian), tidak memperhatikan kesamaan jumlah kedua kelompok.
Nuri-nuri adalah seseorang yang memberikan petuah-petuah, baik dari
kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut
serta dalam upacara tersebut. Singerunggui (protokol) mengarahkan acara nuri-
gendang kematian umumnya tidak saja berbicara dengan keluarga yang ditinggal,
tetapi justru yang nuri-nuri memosisikan diri pada mayat yang sedang diupacarai.
Ngandung adalah pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung
dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan
pihak kelompok yang mempunyai hajatan. Ketika seseorang nuri-nuri atau
ngandung, kemudian pihak keluarga akan datang mendekat sambil ngandung.
Sukut dalam hal ini meratapi dan mengenang perilaku yang meninggal ketika
masih hidup dan terungkap dari keluarga yang ngandung.
Rende adalah bernyanyi, sedangkan perkolong-kolong adalah orang yang
bernyanyi. Dalam upacara gendang kematian lagu katoneng-katoneng (teks lagu
yang dinyanyikan secara spontan) diiringi
Adanya kesamaan itu menjadi suatu identitas sebagai suatu subkelompok dalam
suatu masyarakat yang luas (bangsa). Kelompok etnik bisa memiliki bahasa
sendiri, agama, tradisi, dan adat istiadat yang berbeda dengan kelompok yang lain;
(2) suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi di
antara anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama; (3) suatu
kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain (Liliweri,
2005: 11--12).
Karo merupakan salah satu etnik
Utara. Selain etnik Karo, etnik yang tergabung dalam wilayah ini adalah Toba,
Simalungun, Pak-pak Dairi, Mandailing, dan sebagainya. Setiap etnik memiliki
wilayah daerah setingkat kabupaten. Meskipun etnik Karo menempati satu
kabupaten yang disebut Kabupaten Karo, wilayah geografis budaya etnik Karo
memiliki beberapa wilayah komunitas tertentu di luar wilayah Kabupaten Karo.
Etnik
sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima karena dalam setiap pelaksanaan
adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh.
Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut/sembuyak, yaitu pribadi atau
keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu
nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan, kematian,
memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila
sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. Misalnya dalam perkawinan, sukut
adalah orang yang kawin dan orang tuanya, dalam acara adat kematian sukut
adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari orang yang
meninggal). Dalam upacara memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah
pemilik rumah baru tersebut.
budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negara-bangsa.
Globalisasi korporat atau sering juga disebut dengan globalisasi atas merupakan
transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang mengeroposi
ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis homogenisasi budaya
menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen menghilangkan keragaman
budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan kesamaan dan dugaan akan
hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperalisme
budaya (Barker, 2004: 117).
Gagasan tentang globalisasi mengandaikan adanya kesalingterhubungan
dan kesalingtergantungan semua kawasan global yang terjadi secara kurang
disengaja. Ini muncul sebagai praktik budaya yang tidak diarahkan kepada
integrasi global, tetapi yang menghasilkannya. Lebih penting lagi, efek dari
globalisasi adalah melemahnya koherensi budaya di semua negara individual,
termasuk negara-bangsa yang kuat secara ekonomi, kekuasaan imperialis masa
sebelumnya (Barker, 2004: 123, Piliang, 2011: 3).
Identitas yang stabil jarang dipertanyakan. Ia tampak alamiah dan diterima
begitu saja. Namun, ketika kealamiahan mulai terlihat pudar, kita cenderung
menelaah identitas-identitas ini dengan cara baru. Identitas begitu banyak
diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Globalisasi menyediakan
konteks bagi krisis semacam itu karena dia telah meningkatkan cakupan sumber
dan sumber daya yang ada bagi konstruksi identitas. Pola-pola gerakan penduduk
dan permukiman yang telah ada sejak kolonialisme dan tahun-tahun sesudahnya
postmodern
cenderung
menggembar-gemborkan
fenomena
besar
2010: 251). Penggunaan teori kritis dan teori posmodern dalam kajian budaya,
sesuai dengan perjuangan pendirinya di Inggris, seperti Hoggart dan Williams,
yaitu melawan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat kapitalis (Lubis, 2006:
138). Salah satu karakteristik teori kritis, teori posmodern, dan kajian budaya
adalah peningkatan kondisi kemanusiaan, emansipasi manusia, dan perbaikan
sosial budaya yang berkeadilan dan manusiawi agar lebih mencerahkan dan
emansipatoris (Lubis, 2006; Agger, 2006).
Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran
modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa
menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dinilai
perlu (Sugiartha, 2012: 34). Berdasarkan
faktor, dan makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori utama
untuk mengkaji permasalahan secara umum. Tiga
ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya kesewenangwenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu modern kurang
memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena
terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009: 248).
Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan
intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku.
Dekonstruksi
sering
diartikan
sebagai
teori
pembongkaran,
perlucutan,
konseptual seperti asal mula musik, perubahan musik, musik sebagai simbol
universal, fungsi dan kegunaan musik dalam masyarakat, perbandingan sistem
musikal, dan dasar-dasar biologis musik.
Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior
kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik yang lebih tinggi.
Di samping itu, menganggap musik Timur sebagai musik kuno, primitif, dan tidak
beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik musikal
maupun sosial (Sugiartha, 2012: 41).
Menurut Merriam (1964: 33), etnomusikologi adalah sistem suara yang
selalu mempunyai struktur dan harus dipandang sebagai produk tingkah laku yang
menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek fisik,
sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang
mendasarinya. Karena musik tanpa konsep, tingkah laku tidak akan ada, dan tanpa
tingkah laku, suara musik tidak akan ada. Pernyataan ini mempunyai satu
implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak
hanya mempelajari bunyi musik, tetapi juga bertujuan untuk mempelajari materi
yang menghasilkan bunyi musik.
Etnomusikologi mempunyai tugas pokok mengamati, mencari data,
menyiapkan perangkat analisis, dan membuat analisis tentang musik sasarannya.
Pokoknya melakukan penelitian, pencarian pengetahuan, dan teori tentang musik
tersebut. Mereka harus berada di lapangan dan bekerja dengan narasumber dan
melihat pertunjukan musik. Bila perlu, ikut memainkan musik tersebut,
menanyakan isu-isu yang relevan dengan penelitiannya, dan berpartisipasi dengan
kegiatan yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itulah kemampuan musikal
diperlukan, yaitu dalam rangka mengikuti kegiatan bermusik (bukan kegiatan
bermasyarakat seperti apa adanya) dan menggunakannya untuk keperluan
mendapat data musikal (Santosa, 2007: 47; Liembeng, 2009: 30).
Untuk menjelaskan musik harus disadari bahwa musik itu hidup dalam
masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya.
Ketika kita pertama kali mengenal sebuah musik, biasanya kita mengamati
akustiknya, melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain.
Dalam hal ini kita diamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi
etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi harus dihubungkan dengan
masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu
dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan
utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsurunsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya masalah politik dan
seni-seni yang lain. Pendek kata, objek penelitian bukan semata-mata struktur
musik itu sendiri, melainkan lebih luas lagi yang terkait dengan teks dan konteks
(Nakagawa, 2000: 6).
Teks berarti kejadian akustik, sedangkan konteks adalah suasana, yaitu
keadaan yang dibentuk oleh masyarakat pendukung musik tersebut. Kata teks
biasanya diterjemahkan dengan syair lagu. Dalam pembahasan ini bukan itu,
melainkan elemen-elemen yang lain, seperti bunyi, gerak, rupa, dan sebagainya.
Etnomusikologi menggunakan pengertian teks melalui analisis konteks atau
menghubungkan pengertian teks dengan konteks. Artinya, apabila meneliti musik
Sumatera
dengan
menganalisis
strukturnya
saja,
itu
bukan
kegiatan
dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada
sistem (Sumbo, 2008: 11--12).
Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem.
Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang
ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk,
sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau
makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan
kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama (Sumbo, 2008: 11--13;
Marianto, 2006:135--138).
Menurut Pierce, tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain
dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, yang
oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda
baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri
penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem
tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukkan Pierce
terkenal dengan nama segi tiga semiotik (Sumbo, 2008: 13--14).
Selanjutnya dikatakan bahwa tanda dalam hubungan dengan acuannya
dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut
metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan kedekatan
eksistensi. Contoh tanda panah penunjuk bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan
tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum
konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Sumbo, 2008: 14).
Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat
bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda
dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung
tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai
kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya
intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama
banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda (Hoed, 2008: 76; Sumbo, 2008: 15).
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam
tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini
dikaitkan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan
ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual diperoleh
dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosis tingkat
pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya.
Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka pesan dapat dipahami
secara utuh (Sumbo, 2008: 15). Munculnya berbagai tipe perubahan pada
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi disebabkan
oleh terjadinya perkembangan konsep tanda dalam musik Karo.
Budaya Global
- Masyarakat Pendukung
- Kreativitas
Seniman/Budayawan
- Kristenisasi
- Industri Budaya
- Media Elektronik
Spiritualitas Upacara
Gendang Kematian Etnik Karo
pada Era Globalisasi
Faktor-faktor yang
memengaruhi
Spiritualitas Upacara
Gendang Kematian
Etnik Karo
Wujud Spiritualitas
Upacara
Gendang Kematian
Etnik Karo
Makna Spiritualitas
dan Strategi Pewarisan
Upacara
Gendang Kematian
Etnik Karo
Penguatan
Spiritualitas Etnik Karo
Dalam Gambar 2.1 tampak bahwa budaya global dan budaya lokal saling
memengaruhi. Relasi budaya global dan budaya lokal secara langsung
berpengaruh kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi. Di satu sisi budaya lokal upacara gendang kematian berusaha
mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh
globalisasi yang sulit dibendung kekuatannya. Akan tetapi, di sisi yang berbeda
globalisasi dalam wujudnya kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik
memainkan peran penting dalam perubahannya. Wujud, faktor-faktor, dan makna
merupakan harapan atau temuan penelitian. Gendang kematian adalah upacara
kematian yang dilaksanakan dalam hubungan dengan tradisi, ritual dalam berbagai
aspek kehidupan etnik Karo yang dalam perkembangannya dipengaruhi faktorfaktor intern dan ekstern.
Globalisasi menjadi suatu petanda zaman baru, yang tidak bisa dibendung
ataupun ditolak yang mengakibatkan banyak aspek dalam kehidupan sosial dan
budaya masyarakat mengalami perubahan. Pergeseran budaya lokal ke arus
budaya globalisasi menjadikan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi mengalami bentuk dan makna-makna baru.
Globalisasi dengan berbagai wujud spiritualitas upacara gendang kematian
disebabkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern dengan arus utama
kebudayaan global terkait dengan faktor kristenisasi, industri budaya, dan media
elektronik merupakan
kebudayaan lokal, relasinya dengan faktor etnik Karo sebagai pendukung budaya
gendang kematian, kreativitas seniman/budayawan dan konstruksi identitas Karo.
Fenomena di atas dalam paradigma keilmun dianalisis kritis dengan
persperktif kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk
menjawab rumusan masalah yang diteliti. Adapun masalah yang dimaksud, yaitu
(1) wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi,
(2) faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi, dan (3) makna spiritualitas dan strategi pewarisan
upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.
Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung
untuk mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan dan relasinya dengan
spiritualitas upacara gendang kematian. Dengan metode dan metodologi yang
jelas dalam domain kajian budaya diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan baru
guna kemandirian tradisi dan adat istiadat etnik Karo pada era globalisasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
komodifikasi,
dan semiotika.
dilakukan di
Kabupaten
Karo,
yakni
salah satu
manuskrip-manuskrip
dan
dokumen-dokumen
asli
yang
disimpan
serta
silandek (salah seorang yang menari), simbalu (suami atau istri yang meninggal),
dan singerunggui (protokol/ budayawan) pada upacara gendang kematian etnik
Karo.
Pedoman
3.6.1 Observasi
Observasi adalah cara yang dilakukan untuk memperoleh data dengan
melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Pengamatan
(observation) merupakan cara untuk mengamati perilaku dan benda-benda yang
digunakan atau dihasilkan oleh masyarakat yang hendak dipahami melalui
penelitian. Dalam melakukan observasi, seorang peneliti langsung datang ke
lapangan dan melakukan pengamatan dengan pancaindra dan kemampuan yang
ada di samping melaksanakan pencatatan segala gejala yang ditemukan. Selain
mengamati secara langsung, peneliti juga harus berusaha membandingkan hasil
pengamatannya dengan hasil pengamatan orang lain yang pernah melakukan
pengamatan yang sama. Hal ini dilakukan selain bertujuan memperoleh kepastian
data juga untuk memahami perubahan atau perkembangan yang dituju.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini diawali penentuan sasaran,
yaitu objek material dan objek formal. Hal ini dilakukan untuk memilah apa yang
mesti diamati dengan saksama dan mana yang dapat diabaikan. Namun, di
lapangan hal yang sering terjadi adalah sasaran pengamatan berubah. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat dan kebudayaan terus menerus mengalami perubahan.
Oleh sebab itu, dilakukan observasi terhadap peristiwa upacara gendang kematian
dalam masyarakat pendukungnya. Agar diperoleh data yang lebih lengkap,
dilakukan juga pengamatan partisipasif di lapangan dengan cara melibatkan diri
secara langsung dalam peristiwa upacara gendang kematian.
Gambar 3.1
Suasana observasi pada upacara gendang kematian Dison Barus
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar 3.1 menunjukkan kegiatan observasi peneliti dengan cara ikut
berpartisipasi dalam
sebagai data utama penelitian, tetapi digunakan untuk mendukung konsep dan
teori-teori yang digunakan untuk mempelajari realitas objek yang diteliti.
3.6.2 Wawancara
Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan
berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antarindividu maupun individu dengan
kelompok. Wawancara melibatkan dua komponen pewawancara, yaitu peneliti itu
sendiri dan orang yang diwawancarai. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan
baik dengan formal maupun tidak formal dan berusaha menumbuhkan keakraban.
Demikian juga waktu dan tempat wawancara tidak terikat, tetapi melihat situasi
dan kondisi di lapangan. Wawancara adalah proses tanya jawab antara peneliti
dan informan untuk mendapatkan keterangan secara lisan, yang berkaitan dengan
permasalahan, pandangan, dan pendirian subjek yang diwawancarai (lihat gambar
L.4.28).
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi antara
peneliti dan informan. Teknik wawancara digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan berbagai informasi, keterangan lisan dari informan yang berkaitan
dengan permasalahan kajian. Gambar 3.2 menunjukkan kegiatan wawancara
dilakukan dengan cara bercakap-cakap dengan informan untuk mendapatkan
keterangan dan pendiriannya tentang suatu persoalan objek kajian.
Gambar 3.2
Suasana wawancara dengan Darwan Tarigan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Wawancara dilakukan di mana ada kesempatan dan selalu diupayakan,
seperti di kebun, di kedai kopi, lokasi upacara, dan sebagainya. Dalam hal ini
bahasa Karo digunakan peneliti untuk memperlancar komunikasi dengan informan
untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Informan diharapkan dapat
memberikan keterangan berupa pandangan, pendapat, dan pemberitahuan berbagai
hal tentang upacara gendang kematian yang ada pada masyarakat Karo. Untuk itu
wawancara dikembangkan di
informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Kegiatan
wawancara di lapangan juga membutuhkan keahlian peneliti dalam mengajukan
pertanyaan, menggali jawaban lebih jauh, dan mencatatnya. Catatan-catatan
pertanyaan dan petanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman
wawancara sesuai dengan situasi dan konteks yang dihadapi selama melakukan
wawancara menuju kedalaman percakapan.
Demikian juga studi dokumen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
seperti pengambilan foto dan perekaman dengan tape recorder. Di samping itu,
dokumen dipandang penting dalam penelitian ini, yakni sebagai upaya untuk
mendukung dan melengkapi data hasil wawancara dan observasi sehingga
penelitian ini jelas dan lengkap. Karena objek penelitian ini berkaitan dengan
budaya dan aktivitas suatu masyarakat, maka penerapan studi dokumen dipandang
sangat penting.
tujuan
BAB IV
GAMBARAN UMUM ETNIK KARO DAN
UPACARA GENDANG KEMATIAN
Gambar 4.1
Peta Sumatera dan Sumatera Utara
(Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)
Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera terdiri dari beberapa
Provinsi yang salah satunya adalah Provinsi Sumatera Utara dengan ibu kotanya
Medan, terdiri atas tiga puluh tiga kabupaten/kota, yaitu (1) Kabupaten Deli
Serdang, (2) Kabupaten Langkat, (3) Kabupaten Nias, (4) Kabupaten Karo, (5)
Kabupaten Mandailing Natal, (6) Kabupaten Serdang Bedagai, (7) Kabupaten Nias
Selatan, (8) Kabupaten Tapanuli Tengah, (9) Kabupaten Tapanuli Utara, (10)
Kabupaten Toba Samosir, (11) Kabupaten Asahan, (12) Kabupaten Dairi, (13)
Kabupaten Hubang Hasundutan, (14) Kabupaten Labuhan Batu, (15) Kabupaten
(http://pengetahuan-oemum.blogspot.com/2010).
Beberapa
merupakan tiga kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu masingmasing berjumlah 63.290 orang (18,06 persen), 42.555 orang (12,14 persen), dan
29.411 orang (8,39 persen). Kecamatan yang penduduknya paling sedikit adalah
Kecamatan Dolat Rayat dengan jumlah penduduk 8.311 orang (2,37 persen).
Dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 yang didiami 350.479 orang maka rata-rata
tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Karo adalah sebanyak 165 orang per kilo
meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya
adalah Kecamatan Kabanjahe, yakni sebanyak 1.417 orang per kilometer persegi,
sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Dolat Rayat, yakni sebanyak 44
orang per kilometer persegi. Secara administratif Kabupaten Karo berbatasan
dengan empat kabupaten, yaitu di sebelah utara Kabupaten Langkat dan Deli
Serdang, di sebelah timur Kabupaten Simalungun, di sebelah selatan Kabupaten
Dairi dan Toba Samosir, dan disebelah barat Kabupaten Aceh Tenggara/Prov.
NAD (Karo dalam Angka, 2010; http://www.wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro;
Majalah Pariwisata Karo, 2008).
Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Karo dapat dilihat pada
gambar tampilan peta 4.2 berdasarkan wilayah kecamatan sebagai berikut.
Gambar 4.2
Peta Kabupaten Karo
(Dokumen: http://pariwisatakaro.blogspot.com/ diakses Desember 2013)
tahun 70-an iklim di Kabupaten Karo masih cukup dingin, yaitu sekitar 10--12 C,
bahkan pada masa itu masyarakat masih banyak mengenakan baju hangat sejenis
mantel atau jaket, kain sarung (kampuh) meskipun berada di tempat-tempat umum
seperti, ke warung, ke pasar, menghadiri pesta, upacara-upacara adat, atau pesta.
Bahkan, juga termasuk ke ladang, kadang kala kaum pria selalu melilitkan kain
sarung tersebut pada leher dan kepalanya, termasuk ke acara-acara ritual atau pesta
kekerabatan sehingga
Kecamatan Juhar terdiri atas dua puluh empat desa, Kecamatan Merdeka terdiri
atas sembilan desa, Kecamatan Laubaleng terdiri atas lima belas desa, Kecamatan
Naman Teran terdiri atas empat belas desa, Kecamatan Simpang IV terdiri atas
tujuh belas desa, Kecamatan Kutabuluh terdiri atas enam belas desa, Kecamatan
Dolat Rayat terdiri atas tujuh desa, dan Kecamatan Tiga Nderket terdiri atas tujuh
belas desa (Kabupaten Karo dalam Angka, 2011).
karena kekalahan Raja Deli Tua yang ditaklukkan oleh Aceh. Akibat kekalahan
tersebut masyarakat Deli diislamkan yang sebelumnya menganut Perbegu.
Suku yang mendiami tanah Karo adalah suku Karo, Toba, Aceh, Gayo,
Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, India, Cina, dan Alas. Kehidupan
masyarakatnya terdiri atas berbagai latar belakang, baik etnis maupun kulturnya.
Sikap terbuka masyarakat Karo memberikan ruang bagi etnis lain untuk datang
dan bertempat tinggal, baik secara sementara maupun permanen. Di Kabupaten
Karo tidak dikenal kebudayaan dominan karena setiap kultur memiliki ruang gerak
dan pengakuan yang bebas dan fleksibel. Sehubungan dengan hal ini,
Koentjaraningrat (Abdullah, 1994: 22--26) dalam menentukan suatu etnis atau
suku bangsa dengan konsep yang tercakup dalam istilah suku bangsa, yakni
mencakup kesadaran dan intensitas akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan
intensitas suatu masyarakat sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Bahasa
Karo terdapat di Pustaka Alim Kembaren yang memakai ejaan u menjadi o (Putro,
1981: 27--28). Menurut Abdullah (1994: 28), nama suku bangsa Haru kemudian
disebut Haro, yang akhirnya dinamai suku Karo sampai sekarang ini. Masyarakat
yang mendukung budaya dan adat istiadat Karo hidup di Kabupaten Karo, Langkat
Hulu, dan Deli Hulu.
Berkaitan dengan penaklukan daerah-daerah di Tanah Karo, tahun 1904
diadakan suatu ekspedisi besar-besaran oleh Belanda, yang disebut Ekspedisi Van
Daalean. Di Kabupaten Karo ekspedisi ini pecah menjadi dua, yaitu sebagian
menuju Toba ke Sibolga, dan sebagian lagi ke Tanah Karo yang dipimpin oleh de
diatur oleh UU No. 22, Tahun 1999, dalam hal ini daerah dibentuk oleh DPRD
sebagai badan legislatif daerah dan pemerintahan daerah sebagai badan eksekutif
daerah. Pemimpin di tingkat Kabupaten Karo disebut bupati, yakni dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh wakil bupati. Sejak 29 Desember 2006
Kabupaten Karo yang semula terdiri atas tiga belas kecamatan resmi menjadi tujuh
belas kecamatan (Pasaribu, 2005: 64).
Pada zaman kerajaan kekuasaan tertinggi di Kabupaten Karo dipegang oleh
Maha Raja Diraja. Pemerintah kerajaan sebelumnya sangat memfasilitasi kegiatankegiatan agama
Manering, Pulu Balang, Tembunan Kuta, Nini Galuh, Paka Waluh Seberaya, dan
yang lebih istimewa dalam Rumah Adat Karo terdapat tempat guru-guru agama
Perbegu yang dinamai Jabu Bicara Guru (Putro, 1981: 100--101). Sebagaimana
diketahui bahwa rumah adat Karo sudah berdiri sejak abad XV Masehi dan seni
konstruksinya dipengaruhi oleh langgam Tamil Nado. Secara pasti rumah adat di
Kampung Aji Nembah memiliki Si Pitu Ruang, istana ayah Raja Sori, yakni
sewaktu memasukinya terjadi gelap tujuh hari tujuh malam yang kemudian
diselamatkan oleh Opung Barus. Namun, secara pasti tidak diketahui kapan rumah
tersebut dibangun. Menurut Br Ginting Pase, rumah adat sudah menjadi istana
Raja Nagur Pase di Pase pada abad XIII (Putro, 1981: 102).
Asitektur rumah adat Karo memiliki susunan pemerintahan suku Karo,
yakni sebagai berikut. (1) Jabu bena kayu dinamakan jabu pengelului/pengulu
atau penduduk asli (anak taneh) yang berhak atas tanah adat yang menjadi kepala
dalam rumah adat. (2) Jabu ujung kayu menempati anak beru yang berperan
menjalankan perintah-perintah penghulu sekaligus mewakili penghulu. (3) Jabu
lepar bena kayu dinamai jabu sungkun berita berfungsi mengamati-amati,
misalnya situasi baru, kekacauan, musuh, atau pengkhianat. (4) Jabu lepar ujung
kayu dinamai siman-minem (makan minum), penghuninya pihak istri dan ibu
penghulu yang disebut kalimbubu.
Kalimbubu dalam masyarakat Karo memiliki posisi yang dihormati
sehingga disebut dibata ni idah. Kemudian (5) jabu si dapur bena kayu, dinamai
jabu peningel-ninggelen (menyaksikan secermat-cermatnya) penghuninya anak
beru menteri berperan menyaksikan musyawarah di samping sebagai saksi dalam
membuat keputusan karena dahulu belum mengenal kertas dan tulisan. (6) Jabu
sidapur ujung kayu dinamai jabu ariteneng (nama sebuah kain adat yang juga
dijadikan sebagai upah tendi di samping perhiasan. Penghuninya adalah anak
kalimbubu (dalam masyarakat Karo disebut impal, baik anak perempuan maupun
laki-laki). Menurut kepercayaan sebagai suatu kebahagiaan dan bakti kepada
penghuni rumah (kalimbubu). (7) Jabu sidapur ujung kayu dinamai jabu bicara
guru (Dewa Roh Yang Luhur), yaitu roh anak kecil yang belum bergigi ketika
meninggal dunia, yang menempati jabu ini adalah guru agama atau yang lebih
dikenal dalam masyarakat Karo disebut Guru Si Baso, yang berperan untuk
mengajarkan ajaran agama/rohani. (8) Jabu si dapurken lepar ujung kayu meramu
sirih (jabu singapuri belo) penghuninya anak dari anak beru yang berfungsi
menerima tamu dan menjaga keamanan (Putro, 1981: 102--103). Bentuk rumah
tradisional Karo terdapat pada gambar 4.3 berikut ini.
Gambar 4.3
Rumah adat Karo di Desa Dokan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010)
Pada Gambar 4.3 dapat dilihat rumah tradisional Karo yang terdapat di
Desa Dokan yang dikenal sebagai desa budaya. Dari bentuk fisik bangunan terlihat
lebih terawat karena ada perhatian dari pemerintah setempat khusus untuk desa ini.
Struktur pemerintahan yang tergambar pada rumah adat Karo menunjukkan
masyarakat Karo sudah berabad-abad mengenal sistem musyawarah/demokrasi.
Lembaga-lembaga kepancaan dalam kebudayaan Karo, seperti marga silima
(pancamarga), sebagai pola dasar kebudayaan Karo, rakut sitelu (tiga ikatan)
sebagai lambang/simbol yang berarti mehamat erkalimbubu, metami eranak beru
dan melias/erpenungkunen ersenina, lima kuh sangkep ngeluh (panca susunan
hidup), yaitu anak beru menteri, anak beru, kalimbubu, puang kalimbubu, dan
Tabel 4.2
Bupati yang Pernah Menjabat di Kabupaten Karo
No.
Nama Bupati
Periode
Ngerajai Meliala
19431946
19461947
19471949
Rejin Perangin-angin
19501953
T. Raja Purba
19531957
Abdullah Eteng
19571960
19601966
10
Baharudin Siregar
19661969
11
19691980
1946
1950
12
19801985
13
19851990
14
19901994
15
19952000
16
Sinar Perangin-angin
20002005
17
20052010
18
2010
Haru telah melakukan hubungan dengan luar negeri, seperti: India, Arab, Portugis,
dan Cina. Sebagai bagian dari politik kemitraan, dalam kegiatan ekonomi yang
diperankan oleh pemerintah, juga terdapat sektor swasta dan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa salah satu kebijakan (politik) penting
pemerintah Kabupaten Karo adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada sektor swasta dan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan
kota. Gambar 4.4 adalah Kantor Bupati Karo yang terdapat di Kabanjahe.
berbeda pada prioritasnya. Visi yang dikedepankan bersifat visioner, dan bahkan
sangat ideal. Dalam hal mewujudkan sasaran dan tujuan pembangunan kota,
pemerintah merumuskan rencana strategis sebagai garis besar penyelenggaraan
pembangunan. Rencana tersebut sekaligus menjadi dasar bagi kebijakan, program,
dan pengembangan pembangunan sebagai bentuk akuntabilitas publik untuk
menjamin peningkatan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Secara administratif, otonomi daerah dimaknai sebagai pergeseran
kewenangan, yaitu semula didominasi oleh pusat ke daerah, kemudian dari daerah
ke masyarakat. Penggambaran keadaan sebelum dan sesudah otonomi daerah di
tingkat Kabupaten Karo, yaitu dari sentralisasi ke desentralisasi, dari atas ke
bawah secara simultan, dari keseragaman ke keberagaman, petunjuk ke prakarsa,
instruksi ke pilihan, ketergantungan ke kemandirian, hierarki ke keterkaitan, dan
kesenjangan ke keserasian. Hal ini menunjukkan semangat zaman yang ingin
diemban meskipun pada akhirnya hal tersebut sering tidak sesuai dengan harapan.
Dengan semangat otonomi daerah Kabupaten Karo membangun diri dengan segala
potensi yang dimilikinya.
seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri atas lima kelompok yang disebut
merga silima, yang berarti ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo.
Kelima merga tersebut adalah (1) Karo-Karo, (2) Tarigan, (3) Ginting, (4)
Sembiring, dan (5) Perangin-angin. Kelima merga ini masih mempunyai submerga
masing-masing (Kabupaten Karo dalam Angka, 2008; Woollams, 2004: 3). Merga
dan beru diperoleh secara otomatis dari ayah. Setiap orang Karo akan memiliki
merga tersebut. Merga ayah menjadi merga anak, tetapi ada kalanya merga
diberikan kepada seseorang yang disahkan secara adat. Hal tersebut banyak
dilakukan suku Karo yang melakukan perkawinan antaretnis atau sebagai sebuah
penghargaan adat, seperti pemberian merga kepada Megawati Br Perangin-angin.
Bagi etnik Karo, merga sangat penting dalam kehidupannya sebagai
anggota masyarakat. Merga berguna untuk mengekspresikan identitas diri serta
hubungannya dalam mencari hubungan kerabat atau garis keturunan. Di samping
itu, masyarakat Karo tidak hanya mempunyai merga atau beru, tetapi sekaligus
mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut bere-bere. Jadi, setiap pribadi
mempunyai merga atau beru dan bere-bere, kecuali orang Karo yang kawin
campur atau kawin dengan etnik lain. Namun, dalam praktik sehari-hari bere-bere
tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan ditanya dalam
kegiatan berkenalan (ertutur), yakni untuk mendekatkan hubungan kekerabatan.
Walaupun etnik Karo mempunyai sistem parental, yang paling penting adalah
merga atau beru. Hal ini terbukti dari merga dan beru tetap dicantumkan pada
nama seseorang setelah ia meninggal dunia. Kebiasaan ini merupakan hal yang
lazim bagi etnik Karo. Setiap orang Karo mencantumkan merga dan beru untuk
membuktikan jati dirinya sebagai orang Karo.
Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama dianggap bersaudara
dalam arti mempunyai garis keturunan yang sama. Kalau laki-laki ber-merga
sama, maka mereka disebut ersenina. Demikian juga antara perempuan yang
mempunyai beru yang sama akan disebut ersenina juga. Namun, antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan ber-merga yang sama disebut erturang sehingga
dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin. Begitu pula sistem perkawinan dalam masyarakat Karo selain dilakukan
secara agama juga dilakukan secara adat Karo. Hal ini tetap terjadi meskipun
mereka melakukan kawin campur antar etnik. Dahulu sebelum suku Karo
mengenal agama Kristen dan Islam, sistem perkawinan hanya dilakukan dengan
adat istiadat. Akan tetapi, saat ini merujuk pada kebalikannya, yakni masyarakat
Karo lebih mengutamakan atau melakukan perkawinan secara agama.
Lebih jauh dijelaskan oleh Minawati (2010: 91) bahwa kekerabatan dalam
masyarakat Karo disebut perkadekaden dan kerabat disebut kade-kade. Pengertian
kekerabatan dalam masyarakat Karo sangat luas. Dalam hal ini jika diabstraksikan
pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan yang
menyangkut semua orang Karo, dalam arti bahwa setiap orang Karo jika dicari
silsilahnya, maka akan terjalin hubungan kekerabatan. Dalam kaitan ini,
pentingnya merga tersebut sebagai identitas diri di samping mengetahui asal usul
nenek moyangnya. Pada intinya kekerabatan masyarakat Karo berdasarkan merga,
tetapi ada dua hal penting yang memengaruhi kekeluargaan, yaitu kelahiran dan
perkawinan. Dua hubungan tersebut akan menimbulkan hubungan darah.
Berdasarkan
SEMBUYAK /
TUAN
RUMAH
Senina
Anakberu
Gambar 4.5
Skema Rakut Sitelu dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo
(Dokumen: Fuad Erdansyah 2010)
Hal lain yang penting dalam masyarakat Karo adalah (gambar 4.5) rakut
sitelu, yaitu berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep
nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud
adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri atas tiga
kelompok, yaitu (1) senina, (2) kalimbubu, dan (3) anak beru. Senina adalah
keluarga satu jalur keturunan merga atau keluarga inti. Kalimbubu dapat
didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri dan anak beru keluarga yang
mengambil atau menerima istri.
Tutur siwaluh merupakan konsep kekerabatan masyarakat Karo yang
terdiri atas delapan golongan, yaitu (1) puang kalimbubu, (2) kalimbubu, (3)
sembuyak, (4) senina, (5) senina sipemeren, (6) senina sipengalon/sendalenen, (7)
anak beru, dan (8) anak beru mentri. Dalam upacara adat, tutur siwaluh ini masih
dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih khusus sesuai dengan
keperluan dalam pelaksanan adat, yakni sebagai berikut.
1) Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang baik dari pihak
ibu maupun ayah.
2) Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu. Kalimbubu
ini dapat dikelompokkan lagi menjadi dua. Pertama, kalimbubu bena-bena
atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberi istri kepada kelompok tertentu
yang dianggap sebagai kelompok pemberi istri asal dari keluarga tersebut.
Misalnya, A ber-merga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah
kalimbubu si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah
diambil menjadi istri dari anak X, maka A, B, C jadi kalimbubu X dan anakanaknya.
7) Anak beru, berarti pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk
diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita
keluarga tertentu dan secara tidak langsung melalui perantara orang lain,
seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri. Anak beru ini terdiri atas
dua jenis. Pertama, anak beru tua, yakni anak beru dalam keluarga turuntemurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil istri dari keluarga tertentu
(kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama karena tanpa
kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubu,
maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi
sebagai singerana (sebagai pembicara) karena fungsinya dalam upacara adat
sebagai pembicara dan pemimpin dalam keluarga kalimbubu dalam konteks
adat. Kedua, anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara
langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubu. Anak
beru cekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala
keluarga. Misalnya, si A seorang laki-laki mempunyai saudara perempuan si
B, maka anak si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari si A. Dalam
panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
8) Anak beru minteri, yaitu anak beru (nya) anak beru. Asal kata minteri adalah
dari kata pinteri yang berarti meluruskan. Anak beru minteri mempunyai
pengertian yang lebih luas, yakni sebagai petunjuk, mengawasi, dan membantu
tugas kalimbubunya pada suatu kewajiban dalam upacara adat. Dalam hal ini
ada pula yang disebut anak beru singukuri, yaitu anak beru (nya) anak beru
minteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Anak beru singukuri juga bertanggung jawab penuh atas jalannya upacara adat
karena hubungan yang relatif jauh sehingga mereka ditempatkan dalam
membantu kalimbubunya sebagai anak beru minteri (Minawati, 2010: 95).
Dari merga silima, rakut sitelu, dan tutur siwaluh terbentuklah kemudian
perkade-kaden sepuluh sada tambah sada (hubungan persaudaraan sebelas
ditambah satu), yaitu; (1) sembuyak, (2) senina, (3) senina sipemeren, (4) senina
siparibanen, (5) senina sipengalon/sendalanen, (6) kalimbubu, (7) puang
kalimbubu, (8) puang ni puang, (9) anak beru, (10) anak beru minteri, (11) anak
beru singukuri, dan ditambah satu, yaitu teman meriah, kenalan atau orang lain di
luar hubungan kekeluargaan. (Wawancara Jekmen Sinulingga, 20 April 2012).
Etnik Karo selalu menjunjung tinggi sistem kekerabatan yang disebut
merga silima, rakut si telu, tutur si waluh, dan perkade-kaden sepuluh sada
tambah sada. Dalam hal ini pandangan masyarakat Karo adalah bahwa sebagai
manusia harus beradat menunjukkan bahwa aturan adat harus dipatuhi dan dituruti.
Menurut filosopi etnis Karo, mereka yang tidak menjalankan adat dianggap lebih
buruk daripada orang yang tidak beragama, bahkan menurut Njenap Ginting
masyarakat Karo yang tidak beradat sama dengan rubia-rubia (jenis makhluk yang
bergerak di luar manusia) (wawancara, 27 Februari 2012).
Hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini sistem budaya etnik Karo
sudah mengalami perubahan, baik yang berada di wilayah Karo Jahe (Deli
Serdang, Langkat), Karo Gugung (Kabupaten Karo), maupun etnik Karo yang
tersebar di wilayah Indonesia. Budaya instan seperti gendang lima sendalanen
dipinggirkan oleh sebuah keyboard sebagai pengaruh budaya global membuka
toleransi yang kebablasan dalam pelaksanaan adat istiadat, terutama pada upacara
gendang kematian etnik Karo sehingga berbagai kegiatan peradatan dipangkas,
bahkan ditiadakan.
Menurut Putro penduduk asli Sumatera Utara adalah orang-orang dari suku
Karo, tetapi saat ini telah menjadi kota multietnis. Atas dasar itu, Sumatera,
khususnya Kabupaten Karo menjadi sebuah kota dengan tingkat penduduk yang
pluralisme budayanya tinggi. Bangsa (suku) Karo yang memiliki bahasa sendiri
(Karo), aksara sendiri, seni tari dan musik, adat istiadat, serta sistem merga yang
turun temurun menunjukkan asal atau trombo (Putro, 1981: 31). Bahasa Karo
memiliki keterkaitan dengan tiga bahasa masyarakat di sekitarnya, seperti bahasa
Alas di sebelah barat, bahasa Pakpak di sebelah selatan, dan bahasa Simalungun di
sebelah timur (Woollams, 2004: 5,7). Kerajaan Haru sebagai cikal bakal
Kabupaten Karo, dahulunya telah mengenal huruf dan bahasa. Hal ini terbukti dari
negaranya sudah melakukan surat-menyurat dalam pemerintahannya. Surat Haru
secara umum dikenal dan digunakan oleh guru (dukun), kaum politisi, dan
cendekiawan. Surat Haru terdiri atas sembilan belas huruf besar yang disebut
indung surat dan lima disebut anak surat.
upahan (jual jasa) yang disebut ngemo. Hal ini disebabkan oleh perekonomian
yang semakin sulit dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Perubahan tersebut
berdampak pada menurunnya sistem kekerabatan dan solidaritas dalam
masyarakat.
Selain bercocok tanam, peternakan juga merupakan mata pencaharian
masyarakat Karo, terutama memelihara kerbau, babi, kambing, ayam, dan bebek.
Dalam hal ini kerbau dibutuhkan sebagai binatang yang dapat membantu bekerja
di sawah, babi banyak dimakan dalam pelaksanaan pesta, sedangkan ayam,
kambing, dan bebek banyak dijual untuk menambah pendapatan atau
perekonomian keluarga. Masyarakat dapat hidup sejahtera sebagai petani dengan
pendapatan per kapita 4.483.323,77 juta. Dalam kaitan ini kontribusi terbesar dari
sektor pertanian mencapai 59,80% kemudian didukung oleh sektor pariwisata dan
peternakan (BPPS Kabupaten Karo, 2008).
Hubungan yang baik antara manusia dan alam merupakan tanggung jawab
etnik Karo untuk melestarikannya. Misalnya, dengan menyelengarakan pesta
syukuran, seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah yang dilaksanakan
setiap tahun. Salah satu bukti tentang pentingnya flora sebagai siklus pertanian
masyarakat Karo adalah dengan hadirnya sebuah kawasan hutan lindung yang
disebut Taman Hutan Raya (Tahura). Kawasan ini juga merupakan ekosistem
mata pencaharian mereka.
peradaban yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dari kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa, mempunyai aksara atau tulisan sendiri, mempunyai bahasa
sendiri, menghasilkan karya seni, dan memiliki adat istiadat sendiri.
Etnik Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang
dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat, merupakan ciptaan Dibata. Menurut
Tarigan, orang Karo membedakan antara Dibata si idah (Tuhan yang dilihat) dan
Dibata si la idah (Tuhan yang tidak dilihat). Dibata si idah dimaksud menunjuk
pada kalimbubu, yang terdapat pada sistem kekerabatan masyarakat Karo yang
berada dalam unsur daliken sitelu/rakut sitelu. Ketiga unsur tersebut
adalah
kalimbubu ( pemberi dara), anak beru (pihak penerima dara), dan sembuyak/senina
(saudara). Kalimbubu adalah unsur yang terhormat atau golongan yang disegani.
Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rejeki oleh
karena itu kalimbubu disebut juga Dibata si idah.
Dibata si la idah biasa disebut dengan Dibata kaci-kaci. Dibata kaci-kaci
ini mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia
bawah. Setiap wilayah kekuasaan ini diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil
dari Dibata Kaci-kaci. Ketiga Dibata itu merupakan satu kesatuan yang disebut
Dibata Si Telu ( Tuhan yang tiga). Berdasarkan tempatnya memerintah, etnik Karo
percaya kepada (1) Dibata Datas, disebut juga Guru Batara, yang memiliki
kekuasaan dunia atas (angkasa), (2) Dibata Tengah, disebut Tuhan Padukah ni
Aji. Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini, dan (3)
Dibata Teruh disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di
bumi bagian bawah bumi.
Kepercayaan lainnya adalah ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu
sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar mataniari yang
memberi penerangan. Tempatnya ada di matahari terbit dan matahari terbenam.
Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata.
Siberu dayang adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal di bulan. Siberu
dayang sering kelihatan pada pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat
dan tidak diterbangkan angin topan (Tambun, 1952: 131--132; Tarigan, 1988: 83-84).
Manusia dalam kepercayaan etnik Karo terdiri atas (1) tendi (jiwa), (2)
begu (roh orang yang sudah meninggal, hantu), dan (3) kula/tubuh. Ketika
seseorang meninggal maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur, tetapi
begu tetap ada. Tendi dengan aku seseorang merupakan kesatuan yang utuh.
Ketika tendi berpisah dari aku maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan
dengan mengadakan pemanggilan tendi, yang disebut dengan upacara raleng tendi
(memanggil jiwa). Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah
kematian. Bagi orang Karo Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir di mana
saja, kekuasaannya meliputi segalanya, dan dianggap sebagai sumber segalanya.
Hal ini sesuai dengan keyakinan masyarakat Karo yang sangat dekat dengan suatu
bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa
yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib (Tarigan, 1988: 83-84).
Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen sebagai kepercayaan yang
baru di tengah-tengah etnik Karo, telah memiliki suatu kepercayaan yang disebut
perbegu yang artinya orang yang mempunyai atau memercayai hantu. Dalam
perkembangannya kepercayaan ini disebut pemema (kepercayaaan awal).
Kepercayaan pemena tidak termasuk dalam satu agama yang resmi.
Untuk menjalankan kepercayaannya, etnik Karo terlebih dahulu melakukan
ritual. Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap
penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan
bagi keluarganya yang masih hidup. Ritual ini penting dilaksanakan sebab
menurut Njenap Ginting, jika tidak dilaksanakan, maka roh-roh tersebut atau
tendi akan bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup dan hal
ini tentu menakutkan bagi keluarganya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan maka dilakukanlah pemanggilan roh-roh yang sudah mati (Perumah
Begu) (Wawancara, 28 Mei 2012).
Roh dalam pandangan etnik Karo memiliki kekuatan yang tinggi. Etnik
Karo memercayai dengan melakukan ritus pemanggilan begu, maka roh orang
mati tersebut menjadi roh pelindung di dalam rumah dan akan melindungi
keluarganya dari kekuatan-kekuatan yang jahat. Selain ritual pemanggilan
terhadap roh orang yang sudah mati juga ritual pemujaan terhadap benda-benda
sekitarnya yang disebut mangmang. Mangmang adalah satu nyanyian ritual Karo
roh
tangga, yang disebut dibata jabu atau dewa rumah tangga. Begu ini merupakan
jenis roh dari kerabat terdekat yang meninggal secara tiba-tiba (si mate sada wari)
atau seseorang yang meninggal dalam suatu hari tertentu, baik oleh kecelakaan,
pelanggaran, maupun bunuh diri, tetapi tidak melalui perkembangan penyakit.
Setelah acara ritus perumah begu, begu ini menjadi roh rumah tangga atau begu
jabu, yang melindungi keluarga mereka dari segala bentuk kekuatan dan penguruh
jahat.
dukun untuk menjadi pengikutnya dan bisa berbahaya bagi orang banyak.
(4) Begu simate sada wari, yaitu begu yang berasal dari orang-orang yang
meninggal tidak disebabkan oleh penyakit, tetapi meninggal secara mendadak
dalam satu hari. Misalnya, orang yang meninggal disambar petir, ditembak,
gantung diri, dan lain-lain. Kepada begu simate sada wari perlu dibuat bereberen dengan pakaian lengkap. Ada ungkapan kurumah begu simate sada
wari, seluk guru, merawa ia megang sorana, tapi ukurna mehuli nge gelah
mejuah-juah kam (datang ke rumah begu simate sada wari melaui guru/dukun
dengan suara yang keras, tetapi hatinya baik untuk kesehatan) berbicara
melalui medium.
(5) Begu tungkup wanita yang meninggal dan belum pernah menikah selama
hidupnya. Begu ini juga termasuk begu jabu yang harus dihormati agar tidak
mengganggu keluarga yang masih hidup.
(6) Begu kayat-kayaten orang yang meninggal disebabkan penyakit, sedangkan
orangnya belum begitu tua. begu ini dianggap sebagai begu biasa.
(7) Begu mentas orang lain yang merupakan begu melintas saja.
(8) Begu menggep, yaitu sejenis begu yang sangat menakutkan dan selalu
mengintip orang untuk mencederainya di bawah kolong atau dibawah tangga
rumah atau ke pondok untuk menerkam mangsanya. Jenis begu ini sangat
ganas kepada wanita dan anak-anak. Sebagai penangkal dan penolak begu
menggep maka anak-anak dan para wanita diberikan kalung umbi jerangau.
(9) Begu sidangbela adalah begu dari wanita yang meninggal pada saat
melahirkan. Begu ini sangat marah, benci, dan kejam sekali terhadap wanita
hamil dan anak-anak kecil. Begu ini sering menanti korbannya di bagian jahen
tapin (sebelah hilir dari tepian tempat pemandian). Dalam kepercayaan lama
antinya adalah jerangau diselipkan di dalam sanggul orang yang sedang hamil
atau dijadikan kalung bagi anak-anak sebagai penangkal.
(10) Begu juma, yaitu begu orang yang meninggal secara umum. Begu ini selalu
mengganggu orang yang bekerja di ladang, merasuki orang sehingga orang di
ladang boleh berkelahi tanpa sebab.
(11) Begu ganjang adalah begu yang sangat ganas dan senang sekali mencekik
leher mangsanya. Begu ini tinggi, setinggi pohon enau atau pohon tualang.
Biasa disuruh oleh orang yang memilikinya untuk mencelakai orang lain,
mencekik orang sehingga berbekas biru di lehernya. Selain itu, bisa juga
membuat lidah orang yang dicekiknya menjulur keluar dan matanya melotot.
Bila tidak hati-hati dan segera mendapatkan pertolongan dari seorang
guru/dukun, akan menyebabkan korbannya meninggal. Menurut tradisi Karo,
orang yang memelihara begu ganjang
Gambar 4.7
Musik dan tari Etnik Karo, dalam upacara ritual tahun1900
(Dokumen: K.I. Museum Amsterdam, Capture: Pulumun P. Ginting, 2010)
Perumah begu adalah suatu upacara yang dilakukan pada malam hari untuk
memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia dengan perantaraan dukun
(guru sibaso). Karena sifat kematiannya yang berlangsung tiba-tiba, maka begu si
mate sada wari adalah roh yang sangat kuat dan berbahaya. Apabila tidak
ditangani secara tepat dalam acara ritus perumah begu, dapat menjadi ancaman
besar bagi diri dan orang lain, yang mungkin akan mendapat tempat tinggal
menetap. Orang yang diambil dari kehidupannya secara tiba-tiba, sekalipun tidak
diinginkannya sehingga tidak ada persiapan untuk mati, maka orang tersebut
mungkin menjadi roh liar (begu mentas), yang tidak menentu ke mana perginya
dan bagaimana nasibnya kemudian. Setiap upaya yang tidak tepat untuk memasuki
kembali roh jahat ke siklus kehidupan keluarganya yang masih hidup akan
sebagai orang yang mempunyai ilmu. Sebagai anggota masyarakat awam, secara
umum sama dengan masyarakat Karo yang lain yang bukan guru. Mereka bekerja
untuk mencukupi keperluan sehari-hari dengan cara bertani atau berjualan. Mereka
juga menjalankan adat yang terdapat dalam rakut si telu.
menjalankan
penting yang
terdapat dalam diri guru sebab dengan ada jinujung maka seseorang mempunyai
ilmu dan
petunjuk dari
pada
dasarnya ialah jinujung. Guru hanya sebagai media komunikasi. Akan tetapi, pada
waktu menjalankan satu aktivitas, jinujung tidak selalu menyerap ke dalam tubuh
guru.
Menurut Ginting (2009: 65), seseorang yang bisa menjadi guru adalah
orang-orang yang mempunyai kelebihan tersendiri dibandingkan dengan orang
biasa pada umumnya. Guru termasuk orang yang dituakan dan mempunyai
kelebihan-kelebihan, seperti (1) guru bisa berkomunikasi dengan roh-roh halus
(gaib), (2) guru bisa kemasukan (kesurupan) roh-roh halus dan masih bisa tetap
mengontrol dirinya walaupun lagi kesurupan, (3) seorang guru biasanya
mempunyai indra yang lebih dari manusia biasa, yakni guru dapat melihat roh-roh
halus (dua lapis pengenen matana), (4) ersora kerahungna (lehernya bisa bersuara
) dan melalui suara itulah dia dapat berkomunikasi dengan roh-roh halus, (5) guru
dapat menentukan hari-hari apa saja yang menjadi hari baik dan hari tidak baik
setiap bulannya, (6) biasanya seorang guru bisa mencari barang yang sudah hilang,
(7) dapat mengartikan sebuah mimpi, serta (8) dapat mengobati berbagai macam
penyakit, bisa membuat penangkal dan membuat jimat sebagai penangkal bala.
Orang Karo membagi beberapa jenis guru/dukun, yaitu (1) Guru mbelin,
yaitu guru (dukun) yang mampu mengobati berbagai macam penyakit dalam tubuh
manusia, baik penyakit yang datangnya dari ulah manusia maupun penyakit yang
datangnya akibat guna-guna. Seorang guru mbelin biasanya sakti dan sangat
disegani oleh masyarakat. Pada etnik Karo guru inilah yang dianggap paling
banyak tahu tentang pengobatan penyakit dan kosmologi. Guru ini memiliki
berbagai macam keahlian sekaligus dari beberapa jenis guru yang ada pada
masyarakat.
(2) Guru penawar, yaitu guru yang dapat mengobati berbagai penyakit dengan
membuat obat-obatan dari bahan ramuan tumbuh-tumbuhan, akar-akaran, bijibijian, minyak dan sebagainya.
(3) Guru pengarkari, yaitu guru yang dapat membuat benteng atau perlindungan
dari roh-roh atau makhluk-makhluk halus yang ingin mengganggu manusia
atau dari teluh yang dibuat oleh orang lain. Benteng atau perlindungan
tersebut terdiri atas berbagai macam bentuk dan bahan, misalnya jimat dari
batu, kain, tumbuhan, dan sebagainya;
(4) Guru ngulakken, yaitu guru yang mempunyai keahlian untuk mengobati
penyakit yang datangnya dari teluh. Guru ini tidak hanya bisa mengobati
penyakit tersebut, tetapi apabila diminta oleh orang yang sedang diobati agar
penyakit
tersebut
ulakken
(kembalikan),
maka
dia
juga
mampu
(10) Guru ngeluncang atau guru muncang, yaitu guru yang mempunyai keahlian
untuk mengusir roh-roh jahat yang sudah sangat menggangu di sebuah
kampung. Hal ini ditandai dengan terlalu sering ada orang yang meninggal di
sebuah kampung, penyakit merajalela, penduduk ketakutan, dan dianggap di
kampung tersebut ada roh-roh jahat yang mengganggu. Biasanya dalam
upacara ini sang guru akan berlari-lari ke sana kemari berperang melawan
roh-roh jahat tersebut. Sekali-sekali dia memanjat pohon kelapa dengan cepat.
Demikian juga dia turun dari pohon kelapa dengan cepat, sampai pada
akhirnya kampung tersebut dinyatakan bebas dari gangguan roh-roh jahat.
(11) Guru perjinujung, yaitu guru yang mempunyai roh yang menyertai dirinya,
biasanya roh kerabatnya yang sudah meninggal dunia, atau roh di sebuah
tempat tertentu yang ingin bersamanya. Secara harfiah dapat disebut dengan
jinujung adalah yang dijunjung, yaitu roh yang menyertai dirinya dan menjadi
baigan dari diri seseorang melalui proses penabalan (pentabisan) oleh guru
juga. Orang yang dapat mempunyai jinujung biasanya disebabkan oleh (a)
turun-temurun dari nenek moyangnya, (b) berdasarkan ngguru atau belajar
dari pustaka najati atau lak-lak kayu, yaitu tulisan kuno yang terdapat dalam
kulit kayu, (c) berdasarkan mimpi, (d) sengget (terkejut), dan (e) begu jabu,
yaitu ada roh anggota keluarga yang ingin masuk kepada salah satu
saudaranya yang masih hidup. Roh ini biasanya roh orang yang mate sada
wari atau mati kontan (satu hari), misalnya karena kecelakaan, bunuh diri, dan
sebagainya.
mengetahui hari yang baik dan tidak baik melakukan sesuatu. Nama-nama hari
yang dipercaya etnik Karoyaitu sebagai berikut. (1) Aditia, wari medalit, baik
memulai sesuatu, runggu musyawarah, dan hati-hati.
(2) Suma. Wari sidua nahe, yaitu hari dua kaki, hari manusia dan ayam, hari ini
kurang baik untuk menggali lubang, bila ada orang meninggal perlu dibuat
upacara ngarkari, akan tetapi baik untuk kegiatan barburu, menjala ikan, dan
memikat binatang.
(3) Nggara. Wari merawa/merampek, yaitu hari baik untuk perang, membalikkan
guna guna, membuang sial, membuat obat-obatan, berburu, dan merambah
hutan.
(4) Budaha. Wari siempat nahe, hari yang berkaki empat, hari ini adalah hari padi,
baik untuk menanam padi di ladang dan sawah, memasukkan padi ke
lumbung, memulai musim tanam, dan baik untuk melakukan pesta.
(5) Beraspati. Wari medalit, yaitu hari licin, hari ini baik untuk pesta, memulai
membangun rumah, meresmikan rumah baru, memulai usaha baru, melamar
pekerjaan, dan pantang bersitegang.
(6) Cukra enem berngi. Wari pembukui,wari salang sai, yaitu hari yang baik
untuk berangkat merantau, menyeberang lautan, melamar pekerjaan,
menghadap orang penting, memulai usaha baru, upacara perkawinan, dan
melamar gadis.
(7) Belah naik. Wari pengguntur, wari raja, adi berkat usur jumpa teman, hari
yang baik untuk menikah, melamar pekerjaan, upacara raleng tendi, erpangir
(14) Belah purnama raya. Wari raja, yaitu baik buat pesta yang besar, pesta
pejabat, erpangir ku lau, dan pesta guro-guro aron, memberikan makanan
kepada orang tua, bertunangan, pesta tahunan, pesta seni.
(15) Tula. Wari sial, yaitu tidak baik untuk pesta yang baik hanya menanam
kelapa. Jika ada anak lahir, bisa mengakibatkan salah satu orang tuanya
meninggal. Oleh karena itu, harus dibuat sebuah upacara yang disebut ibahbahi alu bulung simalem-malem.
(16) Suma cepik. Wari sila mehuli, hari yang tidak bagus, kecuali untuk berburu
dan memancing.
(17) Nggara enggo tula. Wari merawa, yaitu hari baik untuk buang sial, membuat
obat, hari yang penuh dengan hati-hati dan erpangir selamsam / mimpi buruk.
(18) Budaha gok. Wari page mbuah, hari panen, menyimpan padi ke lumbung,
mulai menanam, baik membeli hewan berkaki empat, kurang baik untuk
menjual sesuatu, baik untuk mengadakan upacara.
(19) Beras pati. Mejile menaken rabin, yaitu baik memotong kayu untuk rumah,
memancing, membuat gubuk di ladang.
(20) Cukra sidua puluh. Baik untuk membuat obat, masuk rumah baru,
mengangkat tulang belulang nenek moyang, pergi bertamasya, hari yang baik
dalam segala hal.
(21) Belah turun. Baik untuk buang sial, ncibali siding, memancing, berburu,
memasang pelet burung.
(22) Aditia turun. Baik untuk membuat obat, erpangir, buang sial, berburu,
engkawil, ngulakken pinakit, turun ke laut.
(23) Sumana mate. Baik untuk membuat pancingan baik di darat maupun di air,
membuat jebakan, berburu binatang, jika berkelahi taruhannya adalah nyawa.
(24) Nggara simbelin. Baik untuk membuat obat, buang sial, bertapa, berperang,
mencari ilmu, membuat penangkal atau penjaga badan, penangkal ladang.
(25) Budaha medem. Hari baik untuk mulai menanam ke ladang, pesta tahunan,
memulai perjalanan, menggiling padi, mengambil padi dari lumbung,
menikah.
(26) Beraspati medem. Wari simalam-malem, yaitu memberikan makanan kepada
orang tua, hari damai, mengunjungi kalimbubu, pesta kawin, membuat obat.
(27) Cukrana mate. Hari buang sial, membuat obat, berburu, memancing, dan
berladang.
(28) Mate bulan. Hari buang sial, ngulakken, tidak baik mengadakan upacara,
mudah ingkar janji, saling tidak percaya, tidak perlu pergi jika tidak penting,
yang baik hanya berburu, memancing, turun ke laut.
29. Dalan bulan. Wari kurang ulina ( hari yang kurang baik ) dalam segala hal.
30. Samisara. Wari pendungi hari untuk menyelesaikan, menutup kerja, membayar
utang, purpursage, berdoa kepada Dibata dan kepada leluhur, nendungi guru.
Tidak ada yang tidak dapat dibahas di kedai kopi Karo. Semuanya bisa
menjadi ahli, semuanya bisa menjadi pendengar baik. Termasuk membicarakan
hal-hal yang belum terpecahkan sekalipun bisa dipecahkan di kedai kopi Karo.
Namun, satu hal juga yang tidak pernah ketinggalan sekadar ingin melihat
pertandingan catur atau cator. Obrolan-obrolan pemain catur ini pun menjadi salah
satu daya tarik. Bahkan, lebih menarik mendengar obrolan-obrolan pemain catur
ini daripada permainan caturnya sendiri. Rengget atau cengkok nyanyian
perkolong-kolong yang terdapat dalam gendang kematian juga tidak terlepas dari
nyanyian yang ada di kedai kopi, sadar atau tanpa sadar pemain catur sering
menyanyikan rengget ini. Di mana ada kedai kopi Karo, pasti di sana ada papan
catur. Terkadang mejanya itu sendiri diwarnai atau dibuat garis-garis menjadi
papan catur.
Ketika peneliti bertanya kepada beberapa orang yang sering ke kedai kopi
di lokasi penelitian, apa yang membuat Anda ketagihan datang ke kedai kopi?
Cukup beragam jawaban mereka. Ada yang sekadar menghabiskan waktu, ada
yang sekadar mencoba peruntungan dengan memasang angka-angka, ada yang
ingin mengobrol, ada yang ingin bertemu dengan orang-orang, ada yang mencari
hiburan dengan mendengar beragam obrolan yang tak berkesudahan dan tak
berkeputusan, dan sebagainya. Menurut Njenap Ginting, tidak cukup untuk
memahami kebudayaan kita di berbagai upacara atau ritual saja, kedai kopi
merupakan salah satu wadah untuk memahami adat istiadat kita, karena di sinilah
kita bebas berargumentasi dan akan diterapkan dalam kehidupan kita (wawancara,
26 Mei 2012). Obrolan di kedai kopi telah dipahami sebagai obrolan santai dan
tidak serius. Oleh sebab itu, pada saat itulah orang per orang bebas berbicara apa
saja tanpa ada yang merasa tersinggung, karena mereka tahu benar konteksnya
dimana.
Pada dasarnya orang-orang ke kedai kopi tidak sekadar minum, tetapi
komunikasi antarindividu tersebutlah yang menjadi faktor utamanya. Meskipun di
kota-kota besar seperti Medan, Pekan Baru Jakarta, dan seterusnya bukan
minumannya yang menjadi faktor ke kedai kopi, melainkan emosional kesukuan
dan kedaerahan, emosional cita rasa kekaroannya tidak akan pernah terlupakan.
Setelah diamati dapat disimpulkan bahwa menurut kepercayaan, masyarakat Karo
tidak akan ada tanpa kedai kopi. Artinya, ketika kedai kopi lenyap maka sekaligus
adat dan budaya etnik Karo akan lenyap. Kedai kopi adalah sekolah atau
universitas nonformal bagi orang Karo.
Tempat berkumpulnya sierjabaten/penggual (pemain gendang lima
sendalanen) disebut kedai kopi penggual. Kedai kopi penggual berada di Kota
Kaban Jahe, yaitu ibu kota Kabupaten Karo. Setiap hari mereka akan menunggu
panggilan
untuk
upacara
gendang
kematian.
Semua
masyarakat
yang
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kedai kopi merupakan sarana
informasi bagi orang Karo, baik di tanah tinggi Karo maupun daerah lain, yang
didiami orang Karo. Kabar kematian akan didapatkan siapa, di mana, dan kapan
akan dilaksanakan upacara gendang kematian tersebut. Pada umumnya, di mana
pun lokasinya upacara gendang kematian akan dilaksanakan pada sebuah gedung
atau aula bersama yang disebut masyarakat Karo dengan istilah jambur atau
losd.
perkawinan atau
jasmani
mengidap suatu penyakit. Khusus untuk orang yang meninggal demikian dibuat
kuburan (pendawanen) tersendiri dan terpisah dari tempat penguburan umum.
Ketiga, mate nguda apabila umur yang meningal masih muda, bisa jadi belum
kawin atau sudah kawin dan anak-anaknya belum semua berkeluarga atau ketika
masih anak-anak. Keempat, tabah-tabah galuh apabila orang yang meninggal
dunia belum lanjut usia, tetapi anak-anaknya semua sudah berkeluarga (sai utang).
Kelima, mate lenga ripen (belum bergigi) apabila anak meninggal sejak dalam
kandungan atau beberapa saat setelah lahir atau beberapa bulan kemudian dan
giginya belum tumbuh. Anak-anak yang meninggal belum bergigi hari itu juga
harus dikubur, tubuhnya dibungkus dengan kain putih (dagangen), kemudian
dikeluarkan dari rumah adat melalui pintu perik (jendela) seorang menjulurkannya
dari rumah dan seorang lainnya menerimanya dari luar. Penguburannya dilakukan
secara rahasia karena takut dicuri orang. Keenam, mate mupus (mati melahirkan),
kematian seorang ibu waktu melahirkan anaknya. Kematian sang ibu dapat terjadi
sebelum atau sesudah bayi lahir (Prinst, 2004: 131). Mati beranak atau mati kala
melahirkan anak merupakan suatu kematian yang dipandang amat hina pada
masyarakat Karo. Bila seorang ibu melahirkan anak sudah sepantasnya dia
bergirang hati walaupun harus menderita kesakitan. Sang ibu harus tabah
menerima kebahagiaan tersebut. Seorang ibu yang mate ranak dianggap kurang
tabah, bahkan tidak tabah sama sekali menanti kelahiran anaknya (Tarigan, 1998:
79).
Pada masa dulu bila wanita yang meninggal bersalin, maka semua pintu
rumah di kampung itu ditutup dan jarang orang pergi keluar rumah kalau tidak
perlu. Para wanita hamil, wanita yang baru melahirkan, dan anak-anak yang belum
bergigi di kampung itu diwajibkan meludahi mbun-mbunen (yaitu kumpulan
tepung, pisang, dan sebutir telur ayam) empat kali sebagai tanda untuk
menghina/membenci kematian itu. Kemudian mbun-mbunen itu diantarkan oleh
salah seorang kaum kertabatnya kepada mayat wanita yang mati bersalin itu
(Tarigan, 1998: 79--80).
Malam harinya setelah penguburan kalau sang suami mau masuk
ke
4.2.2 Gendang/Musik
Melakukan aktivitas musik dalam kebudayaan Karo dikenal dengan dua
istilah, yaitu ergendang dan rende. Ergendang terdiri atas dua kata yaitu er
(melakukan sesuatu) dan gendang secara sederhana dapat berarti musik. Jadi,
ergendang dapat diartikan bermain musik. Gendang dapat berarti salah satu alat
musik, satu upacara, judul komposisi, nama instrumen, dan beberapa arti lainnya.
Dalam subjudul ini gendang berarti nama sebuah ensambel musik dan nama
sebuah instrumen musik. Dari keseluruhan alat musik yang ada dalam khazanah
budaya Karo terdapat dua ensambel musik tradisional, yaitu
gendang lima
sedalanen, gendang telu sedalanen. Selain kedua ensambel tersebut, ada pula
beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara tunggal (solo).
suatu konteks upacara adat seperti upacara gendang kematian. Ensambel gendang
lima sedalanen adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara
kematian. Ensambel inilah sebagai perekat terhadap unsur-unsur yang ada dalam
upacara tersebut.
4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen
Gendang telu sendalanen juga merupakan ensambel musik tradisional yang
terdapat pada masyarakat Karo. Gendang telu sedalanen memiliki pengertian tiga
alat musik yang sejalan (dimainkan secara bersama-sama). Ketiga alat musik
tersebut adalah kulcapi, keteng-keteng, dan mangkok. Ada kalanya kulcapi,
sebagai pembawa melodi dalam gendang telu sedalanen dapat pula diganti dengan
instrumrn balobat. Dengan demikian istilah gendang telu sendalanen sering
disebut berdasarkan nama alat musik pembawa melodinya, yaitu gendang kulcapi
atau gendang balobat. Gendang kulcapi berarti kulcapi sebagai pembawa melodi
dan gendang balobat berarti balobat sebagai pembawa melodi. Instrumen
pengiring dalam gendang telu sendalanen atau gendang kulcapi/gendang balobat
adalah tetap, yaitu keteng-keteng dan mangkok.
Tiap-tiap alat musik dimainkan oleh seorang pemain dengan sebutan
perkulcapi untuk pemain kulcapi, perbalobat untuk pemain balobat, simalu
keteng-keteng untuk pemain keteng-keteng, dan simalu mangkok untuk pemain
mangkok. Apabila musisi gendang telu sedalanen ini bermain dalam konteks
upacara, maka sebutan untuk mereka juga adalah sierjabaten. Namun, dalam
kehidupan sehari-hari hanya pemain kulcapi dan balobat yang biasanya tetap
mendapat sebutan, yakni perkulcapi dan perbalobat, sementara itu pemain ketengketeng dan mangkok biasanya tidak mempunyai sebutan tertentu. Ensambel
gendang telu sendalanen digunakan dalam upacara ritual masyarakat Karo, seperti
perumah begu (memanggil roh orang meninggal), erpangir kulau (penyucian diri),
raleng tendi (mencari roh), dan sebagainya.
arah mata angin), yaitu purba (timur), daksina (selatan), pustima (barat), dan utara
(utara). Dari kejadian inilah lahir desa si empat pada masyarakat Karo.
Akibat selalu ada persoalan di antara anaknya, Dibata menidurkan ketiga
anaknya selama tujuh hari tujuh malam (pitu wari pitu berngi). Selama anak-anak
ini tidur, Dibata membuat pemisah di antara ketiga anaknya. Pada hari kedelapan
ketiga anak Dibata bangun dan mereka tidak saling melihat lagi, karena sudah ada
pemisah di antara mereka. Anak Dibata tengah lalu menciptakan angin topan
(angin kalisungsung) dan meniup pembatas tersebut, tetapi pembatas itu tidak
hancur. Akan tetapi, terjadilah lembah-lembah (baluren), jurang (embang),
gunung-gunung (deleng), dan sebagainya.
Kini ketiga anak Dibata terpisah dan tidak dapat berhubungan secara
langsung, tetapi harus melalui perantaraan guru (dukun). Sejak itulah terjadi desa
si waluh (delapan arah mata angin), yaitu purna (timur), aguni (tenggara), daksina
(selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), utara (utara),
dan idan irisen (timur laut) (Darwan, 2004: 230).
Pada hari kedelapan inilah terjadi mitos tentang gendang lima puluh
kurang dua (gendang 50-2). Gendang ini diturunkan Dibata melalui guru karena
Dibata telah mengaruniakan pengetahuan kepadanya. Guru membimbing
sierjabaten (penarune, penggual, si malu penganak, dan si malu gung) tentang
gendang limapuluh kurang dua. Guru bermantra (ermang-mang) dan si erjabaten
membuat musiknya. (Darwan, 2004: 229--231).
teknik tersebut, surdam tidak akan berbunyi ketika ditiup. Ketiga, murbab
merupakan alat musik gesek, mirip alat musik rebab dalam musik Jawa. Murbab
sebagai alat musik tradisional Karo sekarang ini sudah sangat jarang ditemukan
pada kebudayaan musik Karo. Keempat, empi-empi alat musik ini sebenarnya
merupakan alat musik yang biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika padi
menguning. Empi-empi merupakan alat musik tiup yang lidahnya (reed-nya)
berasal dari badan alat musik itu sendiri. Empi-empi terbuat dari batang padi yang
telah mulai menguning. Untuk saat sekarang, kedua alat musik ini sudah jarang
ditemukan atau dimainkan oleh para petani Karo walaupun sebenarnya teknik
pembuatan serta bahan kedua alat musik tersebut tidak begitu rumit dan masih
mudah ditemukan di daerah Karo.
masyarakat Karo sebagai gendang kibod, yaitu alat musik modern dari kebudayaan
musik Barat yang memiliki berbagai fasilitas program musik yang dapat meniru
bunyi musik tradisi Karo dengan cara memprogram.
Awalnya keyboard tersebut digabungkan dengan gendang lima sedalanen
dengan cara memanfaatkan unsur-unsur ritmis yang terdapat dalam keyboard
untuk menambah nuansa musikal dalam konteks gendang guro-guro aron. Secara
cepat musik gabungan ini menjadi sangat digemari pada masyarakat Karo. Melalui
berbagai kreasi dan eksperimen yang dilakukan seniman Karo terhadap alat musik
keyboard, pada akhirnya terciptalah program irama yang menyerupai gendang
Karo sehingga keyboard dapat digunakan untuk mengiringi nyanyian dan tarian
yang terdapat di masyarakat Karo.
menjadi salah satu bagian dari upacara adat, yaitu sebagai pengiring dalam upacara
gendang kematian etnik Karo.
Menurut Sinuraya, sekitar tahun 1965 para misionaris berkebangsaan
Jerman datang ke tanah Karo untuk menyebarkan Injil. Kedatangan para
misionaris ini menyebabkan terjadinya kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan
ini terjadi karena selain melaksanakan misinya para misionaris juga turut
membawa dan mengembangkan kebudayaan mereka ke tanah Karo. Salah satu
hasil kebudayaan mereka itu adalah ensambel brass (Sinuraya, 2000: 2).
Sebagai salah seorang pemain saxsophone sopran dalam satu ensambel
brass, Samion Sinulingga mengungkapkan bahwa pada tahun 1967, misionaris
berkebangsaan Jerman menyerahkan beberapa alat musik Brash kepada
masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa yang lain seperti, Kabanjahe Kota,
Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967 hingga 1980 ensambel tiup hanya
dimainkan pada ibadah gereja dan pada upacara pasu-pasu pemberkatan
pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun 1995 musik tiup Toba datang ke tanah
Karo secara khusus untuk mengiringi upacara kematian dengan konsep musiknya
berasal dari perpaduan alat instrumen, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar
bass dan semua alat musik brass seperti terompet, horn, tuba, sopran, dan alto.
Grup musik Toba ini mulai sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi
upacara kematian. Berdasarkan kemajuan grup musik Toba ini, maka grup musik
ensambel brass ini dihidupkan kembali dengan penambahan beberapa instrumen,
seperti gitar bass elektrik dan keyboard. (Wawancara, 10 Januari 2012).
BAB V
WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Spiritualitas memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini
atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu (Griffin, 2005: 15).
Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan yang lebih
luas, lebih dalam, dan lebih kaya yang meletakkan situasi terbatas kita saat ini
dalam pespektif baru. Dengan demikian, spiritualitas berhubungan dengan sesuatu
yang transenden. Sesuatu yang transenden adalah melampaui, menembus, dan
mengatasi semua apa yang dialami dan diketahui manusia dalam hidup ini
(Sumarjo, 2006: 12).
Wujud perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi tidak dapat dipisahkan dengan berkembangnya semangat global
yang mewarnai modernitas yang telah melanda dunia dewasa ini. Spiritualitas
modern seperti apa yang diungkapkan Griffin (2005) adalah suatu kecenderungan
untuk menggali hampir semua wujud masa kini dalam hubungannya dengan masa
depan, yang dalam praktiknya berarti melupakan masa lalu, memotong semua
ikatan dengan masa lalu, dan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang baru. Anti
tradisionalisme radikal ini adalah dimensi individualisme modernitas yang lain,
yaitu bahwa hubungan dengan masa lalu tidak dianggap sebagai bagian dari masa
kini.
Salah satu unsur yang terpenting dalam upacara gendang kematian adalah
musik, yaitu ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi pengiring dari
unsur-unsur lainnya, yaitu landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung (menangis),
dan rende (nyanyi). Di samping itu gendang lima sedalanen hadir berdasarkan
sistem kekrabatan dan spiritualitas kosmologi etnik Karo, baik dari materi
instrumen maupun dari bunyi yang dihasilkannya.
Pembahasan wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi secara keseluruhan terdiri atas delapan subbab, yaitu subbab
pertama memaparkan wujud upacara kematian pada etnik Karo; subbab kedua
wujud gendang lima sendalanen (musik); ketiga, wujud landek (tari); keempat,
wujud nuri-nuri (petuah); kelima, wujud ngandung (menangis); keenam, Eujud
rende (bernyanyi), ketujuh, wujud gendang kibod (keyboard) dan kedelapan,
wujud trompet (ensambel tiup).
tanpa kehadiran sisi lainnya. Semua makhluk yang berstatus hidup di muka bumi
tidak satu pun yang luput dari kematian.
Etnik Karo percaya bahwa arwah yang mati masih dekat dengan diri
mereka dan tidak akan jauh meninggalkan keluarga. Hal ini terwujud dari perilaku
orang Karo ketika upacara gendang kematian dilaksanakan. Manusia terdiri dari
jasmani (kula) dan rohani (tendi). Apabila seseorang meninggal dunia, unsur-unsur
jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asalnya semula. Dengan demikian, dalam
upacara gendang kematian etnik Karo seperti sudah disebutkan dalam bab
sebelumnya bahwa tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk),
dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas menjadi
angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang
menjadi batu), tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu).
Dari keenam ungkapan di atas, begu-lah yang selanjutnya dianggap dapat
membantu keluarga yang masih hidup dan dapat berkomunikasi melalui guru
sibaso (dukun). Di satu sisi, orang Karo takut terhadap begu (roh) yang sudah
meninggal, tetapi di sisi lain mereka sekaligus merindukannya. Hal ini terwujud
dari beberapa orang yang masih memanggil roh-roh orang meninggal melalui
medium guru sibaso.
Menurut Ginting, etnik Karo pada zaman dahulu (kebalikan zaman
modern) melihat dunia ini sebagai objek atau sarana dalam perbuatannya. Akan
tetapi, ia melihat dirinya sendiri sebagai salah satu dari subjek-subjek yang
jumlahnya tidak dapat dihitung. Kesadarannya mengatakan bahwa ia merasakan
dirinya hidup di tengah-tengah makhluk yang beraneka ragam, bukan barangbarang yang tidak mempunyai roh (tidak berjiwa). Jadi, satu hal yang pribadi.
Segala sesuatu itu dilihatnya berpribadi. Itulah sebabnya seorang pandai besi,
misalnya memberikan sesajen untuk bengkel, peralatan, dan sebagainya (Ginting,
1999: 11).
Demikian juga halnya sierjabaten/penggual (pemain musik), Darwan
Tarigan, dalam upacara gendang kamatian (perangkat musik tradisional Karo),
seperti sarune, gendang, dan lainnya (lihat gambar L.4.24), diberikan sesajen
dengan ritus tertentu terhadap instrumen-instrumen musiknya. Bila gendang i
palu (musik tradisional dimainkan) repertoar awal yang akan dimainkan adalah
gendang perang-perang empat kali dalam pengertian gendang sebagai judul lagu
dan gendang yang pertama tidak bisa menari karena gendang tersebut khusus
diperuntukkan bagi roh yang tidak kelihatan (Wawancara, 19 April 2012).
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya (4.2.1), bahwa
kematian etnik Karo mempunyai beberapa jenis, yaitu mate cawir metua apabila
umur yang meninggal sudah lanjut, mate sada wari (mati dalam satu hari), mate
nguda (meningal muda), tabah-tabah galuh (belum lanjut usia), mate lenga ripen
(belum bergigi), mate mupus (melahirkan), kematian seorang ibu waktu
melahirkan anaknya (Tarigan, 1988: 68; Prinst, 2004: 131--133).
Sebelum berkembangnya agama-agama wahyu pada masyarakat Karo,
menurut Tarigan, upacara gendang kematian dilakukan dengan
berbagai cara
tradisional Karo. Hal ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan
dilakukan sebagai simbol putusnya janji hidup bersama sebagai suami istri.
Apabila tidak putus dengan sekali tektek (potong), menurut kepercayaan
masyarakat Karo, si duda/janda juga tidak lama lagi akan meninggal dunia
mengikuti istri/suaminya yang meninggal.
Selesai acara tetek ketang, mayat kemudian diturunkan dari ture rumah.
Ketika mayat sampai di depan rumah, janda/duda sudah menunggu. Dimainkan
musik gendang lima sendalanen yang disebut dengan gendang jumpa teruh
(gendang jumpa di bawah). Dalam upacara ini urutan menari adalah sebagai
berikut. (1) sukut/ sembuyak, senina, siparibanen, sipengalon menari bersama, (2)
kalimbubu, puang kalumbubu, puang ni puang, menari bersama, (3) anak beru,
anak beru minteri, anak beru singukuri menari bersama, dan (4) anak beru rumah
serentak menari. Sesudah mayat dikelilingi empat kali, sesudahnya diangkat ke
kesain (jambur tempat upacara) yang dahulu namanya pengasen.
Wujud gendang kematian dipaparkan secara khusus di dalam subjudul
wujud gendang lima sedalanen, landek, nuri-nuri, ngandung, rende, gendang
keyboard, dan trompet. Hal itu dilakukan karena semua keluarga yang ada dalam
sistem kekerabatan tidak terlepas dari unsur-unsur yang ada di atas. Oleh sebab itu,
berikut ini akan diuraikan jenis-jenis usungan mayat (pating-pating) yang terdapat
pada etnik Karo.
Gambar 5.1
Usungan Mayat
(Dokumen: Tamboen, 1952: 112)
Gambar 5.1 menunjukkan semua orang yang ikut mengantar mayat itu
berdoa dalam hati agar begu orang yang meninggal itu jangan merenggut roh
mereka yang masih hidup. Satu orang ikut ditandu bersama mayat yang meninggal
yang biasanya suami/istri. Dalam perjalanan ke kuburan arak-arakan itu berhenti
empat kali
repertoar lagu khusus yang dimainkan oleh penggual (Tamboen, 1952: 112;
Tarigan, 1998: 71).
Masyarakat Karo mengenal beberapa jenis pating-pating, antara lain
pating-pating lige-lige/ kalimbaban, yaitu usungan mayat, yang di atasnya dibuat
sebuah pondok-pondokan yang anjung-anjungnya bertingkat-tingkat sehingga
merupakan sebuah menara. Selain itu dihiasi dengan daun enau muda berwarna
kuning. Usungan ini dibuat dari bambu dan semua diselubungi dengan kain putih.
Usungan ini bertingkat dua. Dasarnya dibuat dari dua bambu melintang agar dapat
dipikul oleh beberapa orang. Usungan ini biasanya diperuntukkan bagi orangorang bangsawan atau orang-orang kaya yang sanggup membiayai upacaranya dan
memenuhi upacara adat untuk menghormati orang yang meninggal itu. Dalam
upacara yang seperti ini biasanya disemblih kerbau atau lembu untuk menjamu
sangkep nggeluh, yaitu sembuyak/senina, kalimbubu, dan anak beru.
Gambar 5.2
Pating-pating Lige-lige/ Kalimbaban
(Dokumen: Tamboen. 1952: 121)
Di daerah gunung-gunung atau sungalur lau (gambar 5.2) usungan ini
disebut kalimbaban dan biasanya dibuat bila seorang raja atau sibayak terkenal
meninggal. Cara untuk membawa usungan ini ke kuburan tidak dengan cara
dipikul, tetapi dengan jalan sambil menghelanya. Yang menghela kalimbaban ini
dilakukan oleh anak beru dan banyak orang. Karena usungan ini tidak memakai
roda, maka sangat berat menghelanya, lebih-lebih selain mayat, keluarga suami
atau istri yang meninggal pun ikut serta naik di atas kalimbaban tersebut (Tarigan,
1998: 78--79).
Pating-pating lante empat mbeka. Usungan jenis ini dibuat dari bambu.
Alas tempat mayat berbaring terdiri atas empat belahan bambu. Tali pengikatnya
terbuat dari bambu. Semua serba bambu. Itulah sebabnya disebut lante empat
mbeka (gambar 5.3). Usungan ini untuk orang miskin, yang merupakan upacara
yang paling rendah. Dalam upacara seperti ini cukup tiga ekor ayam saja sebagai
lauknya. Kalau keluarga yang meninggal itu tidak sanggup menyediakan tiga ekor
ayam beserta berasnya, maka pengulu, anak ber, dan seninanya menyediakan, baik
dengan jalan meminta bantuan orang kampung maupun ditanggung sendiri.
Gambar 5.3
Usungan mayat/Tandupating-pating lante empat mbeka
(Dokumen: Tamboen, 1952: 120)
Usungan yang biasa digunakan untuk kebanyakan disebut pating-pating
sapo-sapo usungan pondok. Dikatakan demikian karena usungan mayat itu
berbaring berbentuk sapo-sapo pondok (gambar 5.4).
Gambar 5.4
Tandu Sapo-sapo
(Dokumen: Tamboen, 1952: 120)
Belakangan tandu sapo-sapo itu lazim diganti dengan payung saja untuk
menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Upacara penguburan mayat yang
menggunakan usungan jenis ini boleh pula diiringi seperangkat gendang. Gendang
dapat berupa gendang ambat atau gendang asa ben. Yang disebut gendang ambat
adalah suatu upacara penguburan yang hanya bergendang dari rumah sampai ke
kuburan. Di sana semua hadirin berpisah, hanya kaum kerabat yang datang dari
kampung jauh singgah di rumah sekadar makan hidangan yang sederhana. Biaya
untuk ini memang relatif murah. Yang disebut gendang asa ben adalah
bergendang sampai sore. Dalam upacara seperti ini tentu biaya pun relatif lebih
banyak sebab semua tuntutan adat semestinya dipenuhi dan dilaksanakan.
Jenis lainnya adalah pating-pating kejere. Usungan ini dibuat dari bambu
yang merupakan piramid yang diselubungi dengan kain putih (gambar 5.5). Pada
prisipnya sama dengan pating-pating lige-lige, hanya pating-pating kejeren sedikit
lebih besar (Tarigan, 1998: 79).
Gambar 5.5
Tandu Kejeren
(Dokumen: Tamboen, 1952: 122)
Selain yang sudah dijelaskan masih ada usungan yang disebut patingpating lantuk-lantuk. Usungan ini dibuat dari bambu dan bentuknya seperti pundak
gunung. Pating-pating lantuk-lantuk khusus digunakan untuk orang-orang yang
mate nguda mati muda, yaitu pemuda atau pemudi yang meninggal sebelum
kawin (Tarigan, 1998: 79).
5.1.4
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa saat namsamken belawan keluarga
menari yang disebut tari pekeri-kerin (terakhir), yang kemudian dilanjutkan
dengan memainkan tujuh jenis repertoar lagu secara instrumentalia. Pada saat itu
keluarga sangkep nggeluh kembali ke rumah, kecuali empat dukun wanita atau
empat orang wanita tua. Mereka ini bertugas mengurus/menyelesaikan
pembakaran mayat. Masyarakat Karo menyebut mereka sebagai sidapur petugas
dapur khusus untuk pembakaran mayat.
Menurut Tarigan, hal yang mesti dilakukan adalah mayat ditelanjangi,
kemudian ditelungkupkan di atas kumpulan kayu ndokum sejenis kayu yang
mudah dibakar yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan ditindihi pula dengan
kayu yang serupa secukupnya (gambar 5.6). Kemudian api dinyalakan. Satu hal
yang harus dilakukan oleh para sidapur ialah kayu bakar tidak boleh ditambah
selama pembakaran. Harus diusahakan agar tumpukan potongan-potongan kayu
itu cukup sampai selesai (Tarigan, 1998: 75--76).
Gambar 5.6
Pembakaran Mayat
(Dokumen: Tamboen, 1952: 115)
Sebelum melakukan pembakaran, kaki mayat tersebut dipukul kuat-kuat
sebanyak empat kali dengan maksud agar begu-nya tidak dapat bergentayangan ke
sana kemari karena dikhawatirkan begu itu kelak akan mencelakakan dan
mengganggu orang-orang yang masih hidup. Setelah pembakaran mayat selesai
maka abunya dibuang ke sungai dan tanah tempat pembakaran itu dipacul baikbaik. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar dukun-dukun lain tidak sempat
mengambil serta menyimpan tanah yang ditetesi minyak mayat tersebut, yang
dapat dibuat menjadi jimat dan guna-guna untuk mencelakakan orang lain. Minyak
yang berasal dari mayat itu bila dicampur dengan ramuan lain, dapat menjadi
minyak pupuk, yaitu semacam jimat yang berkekuatan gaib.
Para sidapur yang menangani pembakaran mayat dipandang sebagai orang
yang mungkin mendapat sial karena begu orang mati itu mungkin saja menjauhkan
keberuntungan mereka. Untuk menghindarkan hal tersebut, maka para sidapur
harus membersihkan diri. Demikianlah mereka harus mandi dan berlangir terlebih
dahulu. Sesudah itu baru mereka diperbolehkan pulang ke rumah. Sebelahmenyebelah pintu ke rumah disediakan dua mangkuk air, yang satu berisi air
panas, yang satu lagi berisi air dingin. Sebelum ke rumah, mereka diharuskan
mencelupkan tangan ke dalam kedua mangkuk tersebut. Dengan berbuat demikian
diharapkan agar pikiran mereka menjadi tenang dan dingin. Sesampai di rumah
ada lagi syarat yang lain. Mereka harus meraba atau menyentuh tangku dapur dan
para-para yang ada di atasnya. Maksudnya agar begu orang yang telah meninggal
itu tidak dapat menyusahkan mereka. Sesudah itu mereka diuduk di papan
tongga,l yaitu tempat duduk hamba sahaya di sisi dapur. Setelah terbuktti bahwa
segala syarat untuk sidapur dipenuhi dengan baik, barulah mereka boleh bergaul
dengan orang-orang di rumah itu (Tarigan, 1998: 76--77).
meninggal. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita. Adapun maksud
dan tujuan upacara ini ialah untuk menyenangkan begu atau roh dengan
memberinya makanan dan minuman yang melebihi makanan sehari-hari.
Begu dapat bertukar pikiran dan memberikan nasihat kepada sangkep
nggeluh yang masih hidup. Upacara perumah begu selalu diadakan pada malam
hari hingga pagi hari. Khusus bagi kaum bangsawan, misalnya keturunan raja
sibayak, ada upacara kematian yang disebut igendangi empat wari empat bulan,
empat tahun digendangi empat hari, empat bulan, empat tahun. Maksudnya,
bergendang dua malam
pergi lagi ke
kuburan. Kali ini mereka membawa lau meciho air jernih dalam mangkuk yang
dicampur dengan daun-daunan dan nakan atau nasi layaknya dimakan oleh
manusia yang masih hidup. Sesampainya di kuburan, mereka menuangkan atau
meyiramkan air jernih yang telah dicampur dedaunan itu di atas kuburan tersebut
dan meletakkan makanan yang sudah disediakan. Masyarakat Karo percaya bahwa
mayat yang telah dibakar atau yang dikubur dalam kuburan itu menderita
kehausan yang amat sangat. Kalau dibiarkan begitu, pasti begu-nya mengganggu
manusia yang masih hidup. Sehubungan dengan itu, keluarganya perlu sekali
ngambur lau meciho mencurahkan air jernih dan memberikan makanan di atas
kuburan agar terobatilah penderitaan yang dideritanya, dari kehausan dan
kelaparan. Dengan demikian, begu orang yang meninggal merasa masih dihargai
dan tak perlu mengganas mengganggu orang-orang yang masih hidup.
Setelah empat atau tujuh hari mayat dikuburkan atau dibakar, maka
diadakanlah upacara ngeleka tendi memisah roh pada sore hari. Acara ini
dipimpin oleh seorang guru (dukun) wanita. Adapun sarana yang biasa digunakan
oleh sang guru, antara lain cekala lepas (sejenis zingiberacea), bakal pohon enau
yang kecil beserta akarnya (dalam bahasa Karo bertuk), ujung beski (pimping),
dan leka-leka (sejenis tanaman) berikut pula mbun-mbunen (sejenis sesajen).
Semua ini disajikan di atas kuburan orang tersebut dengan harapan agar tendi
orang-orang yang masih hidup berpisah dengan begu orang yang telah meninggal.
Dengan kata lain, memutuskan hubungan tendi dengan begu supaya begu jangan
mengganggu tendi. Jika, dengan jalan ngeleka tendi pun maksud tidak tercapai,
maka diadakanlah upacara yang lebih berat, yang dipimpin oleh seorang dukun
pria. Upacara ini disebut ngarkari menguraikan simpul atau memutuskan
hubungan (Tarigan, 1998: 75).
Gambar 5.7
Ngampeken tulan-tulan (mengangkat tulang dari tanah ke geriten)
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 20 Juli 2012)
singanaki, sedangakan pemalu gung dan pemalu penganak berasal dari tempat di
mana upacara tersebut berlangsung. Selanjutnya dalam penelitian ini disebut
gendang lima sendalanen meskipun diuraikan tentang gendang telu sendalanen
lima sada perarih karena gendang lima sendalanen-lah yang lazim dikenal etnik
Karo pada saat ini (wawancara, 18 Maret 2012).
Ensambel musik pada etnik Karo atau sering disebut dengan gendang lima
sendalanen terdiri atas lima jenis instrumen musik, yaitu sarune, gendang indung,
gendang anak, penganak, dan gung (lihat gambar L.4.22). Tiap-tiap instrumen
dimainkan oleh satu orang pemain musik. Kelima pemain tersebut adalah pemain
sarune disebut penarun, pemain gendang indung disebut penggual singindungi,
pemain gendang anak disebut penggual singanaki, pemain penganak disebut
simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung (lihat, 4.2.2.1).
Repertoar yang dimainkan dalam ensambel gendang lima sendalanen pada
upacara gendang kematian adalah repertoar gendang simelungen rayat, (gendang
dalam hal ini menunjukkan judul lagu). Wujud bunyi lagu tersebut dapat di lihat
dari gambar (5.8) yang menunjukkan bahwa wujud bunyi setiap instrumen yang
terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen terdiri dari sarune, gendang
singindung, gendang singanaki, penganak dan gung. Penelaahan makna terhadap
sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo di paparkan pada bab tujuh
dalam penelitian ini.
Gambar 5.8
Wujud repertoar lagu Simelungen Rayat dalam ensambel gendang lima
sendalanen pada upacara gendang kematian masyarakat Karo
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2014)
Gendang lima sendalanen pada etnik Karo dikenal sebagai ensambel
musik yang terdiri atas lima jumlah instrumen musik, yaitu sarune termasuk
dalam klasifikasi (aerofon) yaitu bunyi dihasilkan dari angin, gendang indung
(membranofon), gendang anak (membranofon), gung, dan penganak (ideofon),
Namun, sering juga disebut dengan gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu
dua, yaitu angka dua belas untuk hitung-hitungan perangkat yang digunakan
seluruhnya, termasuk stik atau alat pemukul instrumen musik tersebut yang sangat
erat berkaitan dengan upacara gendang kematian. Etnik Karo mengenal pemain
musik dengan istilah sierjabaten atau penggual yang berfungsi sebagai pengiring
musik dalam upacara yang ada pada masyarakat Karo. Gambar 5.9 menunjukkan
bagaiman wujud ensambel gendang lima sendalanen dalam upacara gendang
kematian.
Gambar 5.9
Ensambel gendang Lima Sendalanen
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar 5.10
Instrumen Sarune
(Dokumen. Pulumun P. Ginting 2011)
Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah sarune
tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang tumbuhnya di
permukaan yang tinggi, bebas disinari matahari dan tiupan angin. Di samping daun
kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut dipercaya
masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional. Bahkan,
ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya menggunakan
air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar penjelasan di atas,
diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan oleh orang Karo di
luar dari kepentingan alat musiknya.
pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut. Keempat, kerahong atau batang
sarune terbuat dari kayu selantam. Kayu tersebut harus dibentuk agar menjadi
konis, dan bagian dalamnya juga dilubangi agar menjadi konis juga. Pada batang
sarune inilah terdapat lubang-lubang sebanyak delapan buah. Kelima, gundal juga
terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini
merupakan corong (bell) pada bagian ujung sarune.
Dalam gambar 5.11 dapat dilihat bahwa kedua alat musik ini terbuat dari
pohon tualang dan nangka. Lubang atau rongga bagian dalam dibentuk mengikuti
konstruksi bagian luar alat-alat musik tersebut. Kulit yang direntangkan kedua sisi
muka (head drum) alat musik tersebut berasal kulit napuh, sejenis kancil yang
kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung
ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang
dililitkan pada seluruh badan gendang tersebut berfungsi untuk mengencangkan
kulit/membran gendang. Tiap-tiap gendang memiliki dua palu-palu gendang atau
alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm. Kedua palu-palu gendang singanaki dan
satu palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang sama (kecilnya),
sementara itu satu lagi palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang lebih
besar dari pada yang lainnya.
Gambar 5.11
Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar 5.12
Instrumen Gung dan Penganak
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2010)
Karo disebut landek. Dalam budaya Karo, penyajian landek sangat kontekstual.
Dengan kata lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya.
Selain itu, setiap gerakan dalam landek juga berhubungan dengan simbol-simbol
dan makna-makna tertentu.
Pola-pola dasar landek pada masyarakat Karo terbentuk atas tiga unsur.
Pertama, endek (gerakan menekuk lutut) merupakan salah satu unsur penting
dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan
kembali lagi ke atas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan
ke bawah secara vertikal. Gerakan endek disesuaikan dengan buku gendang (bunyi
gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi).
Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan
sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo. Di beberapa
landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh
penari berada di posisi atas. Kedua, odak atau pengodak (gerakan langkah kaki),
merupakan gerakan penari, baik ketika melangkah maju dan mundur maupun
melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki
kanan dan dilakukan pada saat gung berbunyi. Dalam gerakan odak
atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap
terlihat. Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut
tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan music.
Ketiga, ole (goyangan/ayunan badan), merupakan gerakan goyangan atau ayunan
badan ke depan dan ke belakang, atau ke samping kiri dan kanan. Gerakan ole juga
mengikuti bunyi gung dan penganak.
Selanjutnya diuraikan wujud landek dalam upacara gendang kematian.
Landek dalam upacara gendang kematian bersifat komunal biasanya dilakukan
oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh yang berduka, bersamasama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah). Tiap-tiap kelompok
menari dengan posisi berhadap-hadapan. Dalam hal ini tari tidak sebagai sebuah
tari tontonan. Menurut Dibia, tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih
penting daripada seni (keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam
suatu peristiwa tari komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan
menari yang bagus (Dibia, 2005: 3).
Bagi kelompok sukut/sembuyak, tarian itu merupakan tarian penyambutan
atau penghormatan atas kehadiran kade-kade atau tamu-tamu kekerabatan.
Sebaliknya, bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka
sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat)
kepada keluarga yang memiliki hajatan.
Gambar 5.13
Landek/menari dalam Upacara Gendang Kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar 5.13 menunjukkan tari (landek) yang berkaitan dengan ritual
nggalari utang (membayar utang) dalam upacara kematian. Di samping pihak
sukut yang berhadap-hadapan dengan kalimbubu-nya ada seorang anak beru yang
membawa kain yang di dalamnya diikatkan uang dengan jumlah yang sudah
ditentukan untuk membayar utang yang meninggal terhadap kalimbubu. Uang
yang diikat dalam kain tersebut dinamai orang Karo dengan sebutan batu uis.
Selain yang telah dipaparkan di atas beberapa wujud tari pada masyarakat
Karo yang berkaitan dengan upacara gendang kematian di antaranya adalah
upacara perumah begu, upacara raleng tendi, dan upacara ngampeken tulan-tulan.
Jenis tari yang ditarikan dalam ritual upacara ini adalah tari tungkat (tari untuk
mengusir roh-roh jahat), tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang
berisi sesaji untuk persembahan), tari seluk (tarian kesurupan), dan sebagainya.
Upacara yang berkaitan dengan ritual ini dilakonkan oleh guru sibaso
(dukun), berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Hal ini terjadi karena
ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya guru tersebut
memanggil jinujung-nya (junjungannya) untuk masuk ke dirinya. Dengan
demikian, gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan
pola gerak tari landek Karo pada umumnya. Akan tetapi, secara umum gerakan
yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan
mengangkat kaki secara bergantian).
Gambar 5.14
Nuri-nuri atau memberikan kata penghiburan pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Dalam acara nuri-nuri semua kekerabatan akan mendapat acara untuk
menyampaikan belasungkawa terhadap keluarga yang ditinggal. Namun, yang unik
dalam wujud nuri-nuri ini adalah ketika giliran seseorang untuk menyampaikan
kata pengiburannya kepada keluarga yang ditinggal, justru orang yang meninggal
itu selalu diajak berbicara, seoalah-olah mayat masih dapat mendengar apa yang
diungkapkan. Dari nuri-nuri akan diketahui baik-buruknya, yang meninggal ketika
masih hidup dan keluarga yang ditinggalkannya. Spiritualitas masyarakat Karo
termanifestasi dari nuri-nuri sebagai salah satu unsur yang ada pada upacara
gendang kematian.
hal-hal yang dijalani dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun
percakapan yang terakhir dilakukan.
Gambar 5.15
Ngandung atau meratap pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar 5.15 menunjukkan bahwa sang istri sedang menangis dan
melampiaskan seluruh isi hatinya di depan mayat suaminya. Ngandung tidak akan
berhenti sebelum upacara kematian selesai dan mayat diantarkan ke kuburan.
Ketika emosi yang menangis karena kekecewaannya ditinggal suami atau istrinya
akan dilampiaskan melalui serko (menangis dengan keras), Di situ juga penggual
(pemain musik) menaikkan motif melodi pada ensambel sarune yang disebut
jungut-jungut (motif melodi yang dimainkan) berdasarkan konteks yang terjadi
pada upacara.
dikenal dengan istilah nyanyian. Dalam musik Barat dekenal dengan vokal.
Menurut Rumengan (2010), musik vokal memiliki keterikatan yang sangat kuat
dengan bahasa suatu masyarakat. Musik vokal tradisional banyak berupa doa-doa
atau pujian pada semesta yang biasanya bergerak sesuai emosi, gaya, ritme,
intonasi,
dan
sebagainya.
Lagu
etnik
merupakan
atau
terbentuk
dari
seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby) pada masyarakat Karo disebut
didong-doah. Istilah didong-doah sebagai aktivitas rende juga ditemukan dalam
upacara perkawinan etnik Karo, yaitu seorang ibu mengungkapkan perasaan dan
nasihatnya melalui nyanyian pada keluarga pengantin. Kelima, tabas adalah
mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru sibaso (dukun) dalam pengobatan
tradisional. Keenam, mang-mang merupakan ungkapan penghormatan seorang
dukun terhadap jinujung-nya (roh-roh yang menolong atau menyertainya setiap
waktu. Ketujuh, nendung, yaitu aktivitas seorang dukun dalam hal meramalkan
sesuatu atau seseorang yang pergi tanpa memberitahukan ke mana kepergiannya.
Aktivitas guru sibaso dalam tabas, mang-mang, dan nendung tidak selamanya
dinyanyikan, tetapi hanya berupa ucapan-ucapan tertentu semacam mantra. Selain
itu, isi ucapan itu pun kadang-kadang tidak dapat dimengerti secara jelas oleh
orang yang mendengarkannya. Kedelapan, pop merupakan nyanyian percintaan
atau muda-mudi. Jenis vokal inilah yang berkembang sampai saat ini.
Nyanyian yang digunakan dalam upacara gendang kematian adalah
katoneng-katoneng yang diiringi gendang lima sendalanen. Yang termasuk dalam
katoneng-katoneng adalah kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh
perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada upacara adat kematian yang
berbentuk ratapan. Berbeda halnya dengan upacara pernikahan kata-kata atau
kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong disebut masu-masu (mendoakan)
dan bila diperhatikan, akan sama dengan upacara kematian. Namun, di sini
bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan. Pada upacara
.
Gambar 5.16
Perkolong-kolong rende atau bernyanyi pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Perkolong-kolong merupakan salah satu unsur yang sangat penting pada
upacara gendang kematian, terutama upacara kematian yang digolongkan cawir
metua (bebas dari tanggung jawab). Acara demi acara yang ada dalam upacara
tersebut dapat disampaikan oleh seorang perkolong-kolong dari semua sangkep
nggeluh (kekerabatan) yang ada. Ia dapat mewakili petuah-petuah dari kalimbubu
untuk anak beru, senina/sembuyak melalui nyanyian dengan rengget (khas)
katoneng-katoneng pada setiap kekerabatan yang ada. Tradisi lisan yang
diwariskan secara turun-temurun akan tampak wujudnya yang nyata dari seorang
perkolong-kolong. Cukup dengan waktu sekitar dua atau tiga menit saja seorang
anak beru menceritakan siapa yang akan mempunyai acara berikutnya, perkolongkolong akan menyampaikan hal tersebut dengan nyanyian yang dapat
menghabiskan waktu konteks lebih dari satu jam (lihat gambar L.4.19).
Perlu disampaikan bahwa di beberapa pihak masih ada diantara orang Karo
yang belum menerima kehadiran keyboard. Hal ini terjadi karena ada yang
menyatakan gendang laradat (tidak beradat). Memang pada dasarnya penyajian
instrumen keyboard pada setiap kegiatan, baik dalam pesta maupun upacaraupacara terlepas dari adat istiadat. Artinya penyajian instrumen musik keyboard
semata-mata untuk memberikan hiburan pada mereka yang membutuhkannya.
Pemakaian keyboard dalam tradisi musik etnik Karo pada mulanya dalam
konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada gendang patam-patam
(repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron muda-mudi). Pemakaian
keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat memberikan aksen tertentu pada
komposisi tersebut. Hal ini dilakukan karena keadaan para penari dan penonton
sudah mulai lelah. Akibat mendengar bunyi keyboard, penonton mendapat
semangat baru sehingga pertunjukan guro-guro aron berlangsung hingga pagi
hari.
Gambar 5.17
Organ tunggal atau gendang kibod pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Sejak itu Jasa Tarigan selalu mengadakan eksperimen untuk mentransfer
bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru berbagai pola melodi sarune
dan pola ritmis gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung.
Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik yang diprogram dalam keyboard
sehingga dapat menggantikan posisi gendang lima sendalanen menjadi keyboard
tunggal dalam ensambel musik Karo.
Gambar 5.17 menunjukkan bahwa gendang keyboard banyak berperan
dalam mengiringi tari dan nyanyian pada konteks seni pertunjukan muda-mudi
Karo dalam upacara gendang guro-guro aron. Akan tetapi, kemudian digunakan
dalam upacara perkawinan. Bahkan, sekarang, keyboard telah digunakan dalam
mengiringi upacara gendang kematian tanpa disertai salah satu instrumen gendang
lima sendalanen.
(tempat salah satu grup ensambel musik tiup di Kabupaten Karo). Sumbangan
ensambel musik tiup yang diterima dari para misionaris Jerman tersebut yaitu, (1)
terompet, (2) horn, (3) tuba, (4) saxophone sopran, dan (5) saxophone alto.
Gambar 5.18
Ensambel tiup atau trompet pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Menurut Samion Pinem, salah seorang pemain saxsopran dalam ensambel
musik tiup
beberapa alat musik brash kepada masyarakat Desa Surbakti dan beberapa desa
yang lain, seperti Kabanjahe Kota, Tanjung Barus dan Tiga Nderket. Tahun 1967
hingga 1980 ensambel musik tiup hanya dimainkan pada ibadah gereja dan pada
upacara pasu-pasu atau pemberkatan pernikahan di gereja. Kemudian pada tahun
1995, musik tiup Toba datang ke tanah Karo secara khusus untuk mengiringi
upacara kematian dengan konsep musiknya berasal dari perbaduan alat instrumen
tradisi, seperti sulim Toba, tagading, drum, gitar bass, dan semua alat musik tiup
seperti terompet, horn, tuba, saxsopran, dan saxalto. Grup musik Toba ini mulai
sering diundang oleh orang Karo untuk mengiringi upacara
kematian.
Berdasarkan kemajuan grup ensambel musik tiup Toba ini, Sembiring selaku
pimpinan grup, terinspirasi untuk menambah alat instrumennya sehingga pada
tahun 1997 dilakukan penambahan alat musik berupa gitar bass yang digunakan
untuk menggantikan fungsi tuba. Hal ini dilakukan karena memiliki bodi yang
besar dan sulit dibawa pada saat grup ensambel music tiup ini dipanggil untuk
bermain dengan jarak yang cukup jauh. Oleh karena itu, format instrumen grup
pun mengalami perubahan, yaitu (1) terompet, (2) horn, (3) tuba digantikan gitar
bass elektrik, (4) saxophone sopran, (5) saxophone alto, dan (6) drum (lihat
gambar, L.4.29) (Wawancara, 10 Januari 2012).
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Ada beberapa faktor yang memengaruhi suatu produk kebudayaan
termasuk upacara adat yang mengalami perubahan. Bagi etnik Karo produk
kebudayaan berupa upacara gendang kematian merupakan warisan dan pusaka
leluhur yang dilanjutkan secara turun-temurun. Upacara itu dikenal sebagai tradisi
lisan yang dibanggakan dan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang hakiki
dari cerminan spiritualitas etnik Karo. Eksistensi upacara gendang kematian dalam
wujudnya yang sekarang, tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang
memengaruhinya, baik faktor intern maupun faktor ekstern.
Perubahan/perkembangan seni terkadang tampak tercabut dari akarnya,
seakan berkembang dan berubah bersama-sama dengan mengalirnya seni bangsa
lain yang mampu merambah dan membalut seni milik bangsa sendiri. Dalam
zaman yang cepat berubah inikarena komunikasi global, bahkan banyak orang
mulai berbicara tentang budaya globalmaka terjadi tarik-menarik antara
perubahan yang harus ada dan perkembangan atau kontinuitas yang dalam banyak
hal masih ingin kita lestarikan (Sukerta, 2005: 50).
Menurut Alvin Boskoff, perubahan sosial budaya dalam masyarakat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud
adalah faktor yang datang dari dalam, sedangkan faktor eksternal merupakan
faktor yang datang dari luar (Boskoff, 1964: 140).
Jika diperhatikan kehidupan etnik Karo, khususnya pada masa sekarang
ini, ternyata mereka sudah kena pengaruh alam modernisasi dan teknologi
canggih, yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dalam tindaktanduk orang Karo, khususnya sudah mengalami perubahan/pergeseran.
Sehubungan dengan hal itu, tampak jelas dalam segala kegiatan juga dalam
pergaulan seseorang di tengah-tengah masyarakat sebagai orang Karo. Menurut
pengamatan peneliti, orang-orang sering tidak tahu lagi mana yang baik dan yang
buruk, mana yang pantas ataupun tidak pantas berdasarkan tata krama adat dan
budaya Karo.
Demikian juga kalau diperhatikan pada masa sekarang ini, ternyata istilahistilah ataupun kata-kata yang biasa digunakan dalam adat budaya Karo, dapat
dikatakan bahwa generasi muda Karo sekarang tidak dapat lagi memahaminya,
apalagi melaksanakannya, baik adat berupa upacara kematian maupun upacara
perkawinan. Oleh karena itu, generasi tua sering merasa sedih melihat tindaktanduk generasi muda yang kurang berkepedulian. Di pihak lain, generasi muda
sekarang beranggapan pula bahwa generasi tua itu kuno, ketinggalan zaman pada
Era Globalisasi ini.
Berdasarkan situasi dan kondisi yang demikian maka tujuan penelitian ini
adalah untuk memberikan pemahaman demi kelestarian adat budaya Karo yang
belakangan ini telah mengalami degradasi. Bahkan, mungkin saja pada suatu saat
nanti bisa hilang atau lenyap dari budaya nasional jika tidak ada usaha untuk
melestarikannya. Berdasarkan uraian di atas, maka sudah sewajarnya orang Karo
merenungkan kembali adat budaya Karo agar dalam mengikuti zaman modernisasi
dan perkembangan teknologi canggih pada masa kini, masyarakat Karo dapat
menunjukkan identitas sebagai orang Karo.
Selanjutnya diuraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan upacara gendang kematian, baik faktor internal maupun faktor
eksternal. Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi tidak bisa terlepas dari peran
aktif yang dimainkan oleh berbagai elemen dalam keberpihakannya terhadap
eksistensi, perkembangan, dan pelestarian kebudayaan, khususnya upacara
gendang kematian. Apa yang terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo
pada era globalisasi, dianalisis dengan teori komodifikasi di samping teori-teori
lainnya yang secara eklektik memberikan topangan eksplanasi menuju kepada
pemahaman yang lebih baik.
terhadap keseluruhan pola sikap dan perilaku masyarakat dan tidak mengakibatkan
perubahan pada keseluruhan tatanan masyarakat (Sukerta, 2005: 50).
Faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya.
Seiring
berjalannya
waktu dengan
perkembangan
zaman
dan
didapatkan dengan uang akan dibeli. Bagaimana dulu anak beru membuat
peti mati, sekarang tinggal dipesan dan dibeli, bagaimana dulu anak beru
sibuk dengan pekerjaannya sekarang sudah ada catering, dan terutama
gendang lima sendalanen tinggal panggil seorang pemain keyboard
elektronik (Wawancara 11 April 2013).
Pernyataan di atas dibenarkan berkaitan dengan pengaruh globalisasi yang
menimpa masyarakat saat ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Barker bahwa
globalisasi, budaya konsumen, dan pascamodernisme adalah fenomena yang
terjalin erat karena tiga hal berikut, Pertama, globalisasi telah menggeser dunia
Barat dan kategori filosofisnya dari pusat jagat raya; memang, beberapa orang
telah melihat runtuhnya klasifikasi Barat sebagai tanda-tanda pascamodrrnisme.
Kedua, meningkatnya penampilan status budaya pop, yang dipercepat oleh media
elektronik, berarti bahwa pemisahan antarbudaya rendah dan budaya tinggi tidak
lagi relevan. Ketiga, kaburnya batas-batas seni, kebudayaan, dan perdagangan,
yang menyatu dengan semakin pentingnya figural pascamodern telah
menghasilkan estetisasi secara umum kehidupan sehari-hari (Barker, 2004: 300).
Selanjutnya, masyarakat Karo sebagai pendukung upacara gendang
kematian di satu pihak merayakan perubahan yang dulunya dilakukan beberapa
hari menjadi singkat dengan pemangkasan upacara-upacara yang seharusnya
dilakukan, yang awalnya diiringi oleh ensambel gendang lima sendalanen dan
berubah mendadi kibod. Namun di sisi lain mereka mengkritisi terkikisnya nilainilai yang ada dalam upacara tersebut. Bahkan, ada beberapa orang mengatakan
jika saya meninggal, jangan sempat gendang kibod yang digunakan dalam upacara
kematian saya.
alih
teknologi
kesenian
kepada
generasi
penerus
dapat
upacara gendang kematian merupakan bagian dari faktor intern yang memengaruhi
perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.
Hal ini terjadi, karena masyarakat Karo adalah masyarakat yang ambivalen
terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam upacara gendang kematian.
globalisasi
tidak
terlepas
dari
faktor
intern,
yaitu
kreativitas
manusia Karo yang menjadi satu, baik dalam memenuhi rasa suka maupun duka.
Kreativitas dalam upacara gendang kematian merupakan akumulasi dari
pemikiran-pemikiran kreatif seniman/budayawan Karo sepanjang zaman hingga
kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa yang
terus-menerus melalui indra mereka, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
upacara. Perubahan gendang lima sedalanen menjadi gendang keyboard tidak
terlepas dari kreativitas seniman Karo. Hal ini seperti yang diungkapkan Jasa
Tarigan berikut ini.
Saya mencoba-coba memasukkan unsur musik Barat ke dalam gendang
lima sendalanen, yaitu keyboard dalam sebuah upacara gendang guro-guro
aron (pesta muda-mudi) pada tahun 1991, tempatnya di Simpang Selayang
Medan. Dari keyboard hanya diambil bunyi perkusi yang sudah tersedia di
bank bunyi dalam keyboard tersebut. Munurut pengkuan beliau bahwa
pada upacara tersebut, semua pengunjung merasa antusias dengan
tambahan bunyi-bunyi itu. Hal ini tampak dari permintaan pengunjung
untuk menari yang sebelumnya belum pernah terjadi (Wawancara, 11
Maret 2012).
Dalam berkreativitas, kemampuan seniman merupakan faktor penentu
dalam sebuah seni pertunjukan. Seniman memiliki ide, kreasi, dan kemampuan
teknis dalam mengekspresikan pengalaman dan gejolak jiwanya. Kreativitas
adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam
merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Seniman dituntut
kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalamannya yang
unik dan menarik untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang original dan
mampu menjadikan pengalaman baru yang unik bagi orang lain (Kaunang, 2010:
239).
Selanjutnya menurut Alfian (1996), selama seseorang, kelompok
masyarakat, atau suatu bangsa masih mempunyai kemampuan untuk bersikap kritis
terhadap dirinya sendiri, selama itu pula masih ada harapan baginya untuk
memperbaiki, memperbarui, atau membangun dirinya. Secara jujur ia berupaya
memahami dirinya sesungguh mungkin, menghargai apa-apa yang sudah
dicapainya, serta menyadari segi-segi kelemahan dan kekurangan yang masih
dimilikinya. Dari pemahaman yang mendalam seperti itu ia akan terundang untuk
memperbaiki kelemahannya dan menambal kekurangannya. Ada kalanya ia
berhasil, tetapi ada kalanya ia gagal. Walau bagaimanapun, melalui rangkaian
upaya seperti itu terjadilah proses pembangunan dirinya. Proses pembangunan diri
yang begitulah yang disebut sebagai kreativitaas (Alfian, 1986: 143).
Kreativitas adalah persoalan kebebasan pribadi seniman dalam berkarya.
Kebebasan berkreativitas seniman harus dapat menyatu dengan kehidupan seharihari dan selalu berada di tengah-tengah kesadaran komunal atau kehidupan
bersama. Bekal atau sumber inspirasi kreativitas seniman, sumber utamanya
adalah kebudayaan masyarakat di mana seni itu dimiliki. Tanggung jawab kolektif
lebih dikedepankan daripada pengakuan atas otoritas kreatif seniman sendiri.
Disadari bahwa setiap seniman memiliki tingkat kepekaan yang berbeda dalam
menangkap berbagai peristiwa yang terjadi dalam proses sosial. Peristiwa-
peristiwa ini memengaruhi pikiran dan jiwa berkesenian seniman, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dalam proses penciptaan karya. Faktor
pendorong lainnya dalam kreativitas seniman juga ditentukan sejauh mana respons
masyarakat pada umumnya terhadap produk kesenian yang diciptakan. Tugas
seniman adalah mensiosialisasikan hasil kreativitasnya yang memberikan ruang
dan waktu kepada masyarakat pemilik budaya dan masyarakat umumnya untuk
memberikan respons (Kaunang, 2010: 240).
Terkait dengan pernyataan di atas, seniman yang dimaksud adalah seniman
dan budayawan dalam upacara gendang kematian yang secara langsung ataupun
tidak langsung berperan ikut mempercepat laju perubahan spiritualitas upacara
gendang kematian masyarakat Karo pada era globalisasi. Secara kuantitas
terhitung sedikit seniman upacara gendang kematian yang benar-benar mengerti
dan memahami apa dan bagaimana gendang kematian. Di pundak seniman inilah
perubahan upacara gendang kematian dibelokkan atau diluruskan pada jalan tradisi
nilai-nilai dan roh budaya Karo yang sebenarnya.
Menurut Amat Karo Sekali (68), salah seorang penggual (pemain gendang)
di lokasi penelitian menyatakan sebagai berikut.
Sebelum tahun 1980 ketika upacara gendang kematian dilakukan maka
pihak keluarga yang meninggal akan mengundang sierjabaten (pemain
ansambel musik Karo). Ensambel gendang lima sendalanen adalah
ensambel musik yang terdapat pada masyarakat Karo yang terdiri dari lima
instrumen dan dimainkan oleh lima orang pemain musik. Ensambel ini
salah satu unsur yang sangat penting dalam upacara gendang kematian
masyarakat Karo. Sierjabaten akan datang sebanyak tiga orang sebagai
kesenian
mencipta,
memberikan
peluang
untuk
bergerak,
memelihara,
yaitu dengan hitungan bulan dan tahun saja, sedangkan transformasi budaya
sebelumnya berlangsung dalam hitungan dekade atau abad.
Selanjutanya Sedyawati mengungkapkan faktor bahwa eksternal adalah
pengaruh-pengaruh dari luar karena adanya interaksi, misalnya interaksi
antarbangsa. Pada masa-masa yang lalu interaksi hanya dapat terjadi apabila ada
pertemuan-pertemuan tatap muka. Berbeda dengan sekarang, berkat kecanggihan
teknologi komunikasi, interaksi dapat dilakukan melalui media komunikasi jarak
jauh, baik personal maupun impersonal (Sedyawati, 1996 : 138--139). Pernyataan
di atas tidak terlepas dari apa yang dialami orang Karo pada zaman kolonial.
Intensitas pertemuan antara misionaris dan orang Karo tidak dapat dihindari
sehingga ideolog kristenisasi yang menjadi misi mereka berhasil ditanamkan pada
etnik Karo.
Dalam kebudayaan terjadi beberapa pola perubahan, yaitu evolusi, difusi,
akulturasi, dan inovasi. Evolusi adalah perkembangan masyarakat yang telah
berkembang dengan lambat (berevolusi) dari tingkat yang paling rendah dan
sederhana, ke tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan kompleks. Proses
evolusi ini selalu akan dialami oleh seluruh manusia di muka bumi ini walaupun
dengan kecepatan yang berbeda-beda. (Koentjaraningrat, 1987: 31).
Difusi adalah suatu proses penyebaran dari penemuan baru terhadap
lingkungan masyarakat yang lebih luas; penemuan baru dikomunikasikan untuk
mendapatkan pengakuan masyarakat (Syani, 1995:105). Pengakuan ini disebabkan
oleh
kebudayaan
yang
kuat
(Lauer,
2001:
404).
Menurut
Koentjaraningrat (1990: 91), akulturasi merupakan proses sosial yang terjadi bila
manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi
oleh unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang mempunyai perbedaan sifat. Selain
itu, unsur-unsur kebudayaan yang asing tadi lambat laun diakomodasikan dan
diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri.
Inovasi adalah proses perubahan kebudayaan yang terjadi di dalam
kebudayaan itu sendiri terjadi pembaruan yang biasanya mengalami penggunaan
sumber-sumber alam, energi dan modal, peraturan baru tenaga kerja, dan
penggunaan teknologi baru. Semua ini akan menyebabkan adanya sistem produksi
dan dihasilkannya produk-produk baru. Dalam proses penemuan baru ini, baik
yang berupa alat maupun ide baru, biasanya berlangsung cukup lama
(Koentjaraningrat, 1990 :108--109; Sukerta, 2005: 50--52).
mengatakan
basar, kayu besar, sungai, dan tempat-tempat yang lain juga percaya kepada
kekuatan-kekuatan roh, khususnya roh orang meninggal (Bangun, 1986: 37).
Kepercayaan awal etnik Karo ini akan ditundukkan lewat misi
pemberadaban
kristenisasi
dalam
bingkai
kolonialisasi
yang
bermaksud
Perlawanan terhadap dominasi kolonial ini dikenal dengan nama perang sunggal.
Untuk menghentikan perlawanan inilah pihak perkebunan meminta Nederlands
Zendelings Genooschap (NZG), lembaga penginjilan di Belanda mengkristenkan
orang Karo dan seluruh biaya ditanggung oleh pihak perkebunan (Sembiring,
2010: 75).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa misi pekabar Injil Belanda dalam
karyanya terlebih dahulu melihat sasaran sosial dari pada dogma. Hal lain yang
menunjang adalah bahwa pekabaran Injil itu langsung pada masyarakat secara
pribadi dengan mengunjungi orang Karo dari rumah ke rumah. Meskipun
demikian, tentunya cara-cara yang dilakukan itu tidak selalu bersifat dan
berdampak positif. Cara ini akan menimbulkan dampak lain bagi orang Karo
beserta adatnya sebab motivasi dan tujuan lain yang tersembunyi tentunya juga
ada. Itulah sebabnya semua yang dibuat ini tidak berarti bahwa para pekabar Injil
tidak mengalami hambatan walaupun para pekabar injil sendiri sudah merasa
sangat dipercaya dan telah kuat pengaruhnya. Keyakinan ini akan memberi
semangat kepada mereka dalam melakukan misi, termasuk menghilangkan
kegiatan tradisi.
Etnik Karo menganggap orang Belanda tidak hanya ingin menguasai tanahtanah mereka, tetapi juga budaya dan keyakinan mereka. Misionaris dan pemilik
kebun dianggap memiliki kepentingan yang sama. Itulah sebabnya upaya
penginjilan tidak berjalan lancar (Sembiring, 2010: 76).
dihayati orang Karo sebagai pencipta Awali atau Dibata Simada Tinuang. Orang
Karo percaya bahwa kekuatan pencipta Awali itu sangat besar untuk menguasai
hidup manusia, tetapi Ia berada jauh di atas sana (Sembiring, 2010: 80--81).
Biasanya orang Karo tidak langsung berhubungan dengan Dibata, tetapi
dengan roh-roh yang diyakini sangat membantu praktik hidup sehari-hari orang
Karo. Orang Karo masih menganggap bahwa Dibata yang dikenal sama sekali
berbeda dengan Dibata yang diperkenalkan oleh misionaris hingga akhirnya
merupakan mata pelajaran yang harus dipelajari dan digunakan. Pengaruhnya bagi
penduduk berkembang menurut kehendak zaman dan mencapai puncaknya pada
awal abad ke-20. Kemajuan dunia pendidikan dan perluasan peradaban Barat
dengan pelbagai dimensinya menyusul kristenisasi ini telah membuat perubahan
yang besar sampai pada seluruh aspek kehidupan di Karo. Pada saat ini musik
yang dipelajari adalah organ yang dibawa Belanda untuk mengiringi kebaktiankebaktian yang ada. Padahal, masyarakat Karo mempunyai ensambel yang disebut
gendang lima sendalanen tidak dipelajari bahkan dilarang untuk dimainkan.
Gendang lima sendalanen adalah ensambel musik pada masyarakat Karo
yang digunakan dalam berbagi jenis upacara, seperti upacara perkawinan, upacara
memasuki rumah baru, dan upacara kematian. Di samping itu, juga upacaraupacara yang besifat ritual, misalnya erpangir kulau (penyucian diri), perumah
begu (memanggil roh) dan sebagainya. Namun pada zaman penjajahan gendang
lima sendalanen dianggap kafir oleh para misionaris.
Hal ini dapat dibuktikan ketika Raja Pa Mbelgah Purba, salah seorang raja
desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan masuk agama Kristen,
dibabtis oleh misionaris Van den Berg. Tidak lama setelah dibabtis, ia
menanyakan kepada pendeta apakah sebagai seorang Kristen ia dapat memakai
gendang Karo. Jawab pendeta itu tidak boleh. Namun, karena posisinya sebagai
raja
tidak dapat menerima jawaban itu. Akhirnya Raja Pa Mbelgah Purba dikenai
disiplin gereja karena tetap bersikukuh memakai gendang yang dianggap sebagai
suatu unsur kekafiran yang tidak bisa dikawinkan dengan agama Kristen.
Akibatnya raja dikeluarkan dari gereja (Cooley, 1976: 5; Sembiring, 2010: 82).
Hampir segala sesuatu yang berbau ritual dihilangkan dengan alasan
adanya pemahaman bahwa hal tersebut akan menjadikan orang Karo lebih
beradab. Di samping itu, dari sisi agama dapat membawa masyarakat Karo menuju
keselamatan di akhirat. Dari satu sisi, pemusnahan ritual tentunya tidak dapat
dianggap sebagai tolak ukur sejarah untuk menunjukkan keberhasilan para pekabar
injil Belanda. Bagi mereka yang telah memeluk agama Kristen, hal ini mungkin
tidak masalah. Akan tetapi, hal ini merupakan satu preseden yang buruk bagi orang
Karo yang lain karena seakan-akan keberadaan misi itu mau mencabut orang Karo
dari akar tradisinya.
Secara tidak sadar mereka telah membuat orang Karo mengambang dan
tidak memiliki jati diri dan tidak memiliki tumpuan. Dalam kesempatan itu (tidak
memiliki pegangan) mereka memegang orang Karo dan langsung atau tidak
langsung memaksa orang Karo untuk ikut pada cara Belanda. Orang Belanda
menciptakan suasana yang sedemikian rupa sehingga orang Karo sadar atau tidak
sadar harus memahami
sebagainya (sinuraya, 2000: 61). Atas dasar penjelasan di atas, diketahui bahwa
gendang pada masyarakat Karo sejak saat itu telah terabaikan.
Semua kegiatan ritual harus disingkirkan meskipun dalam kegiatan ritual
pada etnik Karo tersebut banyak sekali nilai tradisional termasuk dari elemen
musik etnik, yang dapat ditemukan. Salah satu kegiatan ritual yang bisa disebut
sebagai tradisi lisan yang mengandung kearifan lokal adalah ritual perumah begu
(memanggil roh yang sudah meninggal). Menurut Ginting (1999), perumah begu
bermaksud memberikan pijer podi (mempererat persatuan keluarga dalam sangkep
nggeluh). Guru si baso bercerita (memberikan suatu ungkapan lisan), masalah
yang besar ia perkecil, masalah yang kecil dihapuskan. Semuanya menjadi tuntas,
terjadi perdamaian dalam keluarga. Inilah tujuan perumah begu (Ginting, 1999:
47).
Dalam kongres kebudayaan Karo tahun 1996, disebutkan tentang sejarah
perumah begu pada masyarakat Karo. Perumah begu adalah salah satu ritual yang
sangat penting dalam upacara gendang kematian. Alkisah, pada zaman dahulu kala
seseorang tinggal di sebuah pedesaan dengan kehidupan yang kaya raya, tanah dan
sawahnya luas, kerbau, lembu, dan kuda serta binatang piaraannya. Ia mempunyai
tiga anak laki-laki dan ketiga-tiganya sudah mempunyai keluarga sendiri-sendiri.
Bapak dan ibu mereka kemudian meninggal dunia.
Sepeninggal kedua orang tuanya ketiga anak ini cekcok. Nasihat-nasihat
yang diberikan orang tuanya dahulu sudah dilupakan. Ketiga saudara ini saling
mengadu ke pegulu kuta (kepala desa). Sudah tiga tahun mereka lalui sepeninggal
orang tuanya, tetapi masalah tetap saja semakin tidak bisa diselesaikan. Akhirnya
anak beru mempunyai usul kepada ketiga kalimbubu-nya untuk mengundang begu
atau roh ibu mereka yang dipercaya akan
anakku teluna, keleng ateku, maka malem kal pusuh kami ras bapandu
anakku.
Ngaloi anakna, nina:
Labo cedaken kami ukurndu nande, robah kal kami, jera kal kami nande,
jenda nari kulebe, lanai kami rubati, ersada kal ukur kami.
Ngerana nandena erkelangken Guru sibaso, nina:
Adi bage kin anakku nggo mehuli i palu gendang, ras kita kerina landek.
Sebab ibas landek e kari kuputusken perkarandu alu mehuli, kuarap
gelah ibegikenkamlah kai sikubahan rikutken ateku keleng.
Roh ibunya berbicara melalui guru sibaso sebagai berikut:
Tertingel-tinggel kam kalimbubu, Dibata si idah kami, bagepe kam anak
beru kami rikut kam senina, kai kari sikubelasken, kai kari sikukataken,
suratkenkal ibas pusuhndu sebab aku sekalienda ndabuhken timbangen
ras mutusken perkara man anakku sitelu enda. Ntah ija gia kari berneh
gugungna, ntah lebih kurangna, ula kal tama-tama kupusuh, tapi tama
kini juah-juahen, ras nambahi ate malem. Tertinggel kam kerina
erkitekenn kam kerina jadi saksi.
Sabah sijahen kuta e man bandu anak singuda
Sabah si julun kuta e man bandu anak sintengah
Rumah e ras peken bagepe asuh-asuhen man bandu anak sintua.
Me enggo me bage nindu anakku teluna, kam pe kalimbubu, anak beru
bagepe senina.
Ngaloi anakna, nina:
Enggo ibegi kami nande (ketiga-tiganya serentak menjawab)
Enggo bialoken kami kerina, keputusendu enggo mehuli iakap kami, ras
lanaikami rubat.
(Terjemahan)
Anakku yang tua, anakku yang tengah, dan anakku yang muda mari dekat
dengan ibu. Ada yang mesti saya sampaikan kepada kalian. Kasih
sayangku terhadap anakku bertiga tidak ada bedanya. Jadi, aku sangat
bermohon supaya kalian bertiga rukun, damai, dan saling mengasihi satu
dengan yang lain. Kami dengan bapak sudah pergi meninggalkan kalian.
Ketika kami masih tinggal dan hidup bersama anakku bertiga, kami
bersama-sama mencari harta yang berupa materi sawah maupun ladang
sebagai warisan yang kami tinggalkan untuk kalian. Kami tidak mengenal
hujan maupun panas dengan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan
kalian. Sekarang kalian saling mengadu dan berselisih akibat harta yang
kami sudah tingalkan. Kami tidak bisa mendapat kedamaian di dunia baru
kami ketika kami melihat di antara anak yang kami sayangi saling
bertengkar gara-gara harta warisan. Anakku..., ..., ..., Kami sangat
berharap di antara kalian tidak ada perselisihan, bagaimana kalian
menghormati kekerabatan jika di antara kalian juga saling tidak
menghormati. Oleh sebab itu, saya dan bapak kalian meminta, jawablah
kami anakku...., ...., ....biar kami pun damai dalam kehidupan akhirat.
Kemudian anaknya menyahut:
Kami tidak mau membuat hati kalian tidak damai ibu, maafkan kami ibu,
mulai sekarang kami tidak akan berpekara lagi dengan saudarasaudaraku.
Ibunya berkata melalui Guru Sibaso:
Jika demikian halnya anakku, sudah bisa dimainkan gendang (musik) dan
kita akan menari bersama-sama. Pada saat menari pembagian harta yang
kami tinggalkan akan saya bagi berdasarkan kasih sayang yang tidak
berbeda dari saya dan bapak kalian.
Yang saya hormati, kalimbubu sebagai wujud Tuhan yang terlihat dalam
keluarga kami, demikian juga sembuyak/senina kami, serta seluruh anak
beru yang membantu kami, apa yang akan saya katakan saya harap
sangkep nggeluh kami bisa sebagai saksi hidup dan saya mohon tuliskan
di hati sebab saya akan memutuskan pembagian harta untuk ketiga anak
kami. Jika ada kekurangan dan kelebihan dari apa yang saya putuskan
kami minta maaf dan jangan dimasukkan ke hati karena inilah keputusan
kami dengan bapaknya. Kami percaya sangkep nggeluh kami sebagai
saksi dalam keputusan ini. Kuputusan itu adalah
Sawah yang letaknya di hilir kampung kami serahkan pada anak kami
yang muda.
Sawah yang terletak di hulu kampung kami berikan pada anak kami
yang tengah.
Rumah dan ladang kami serahkan pada anak kami yang tua. Sudahkah
kalian dengar anakku demikian juga kalimbubu, sembuyak/senina juga
anak beru kami?
Ketiga anaknya menjawab:
Secara serentak, sudah kami dengar ibu. masing-masing kami sudah dapat
bagian dengan adil, keputusan ibu sangat kami hargai, dan mulai sekarang
kami tidak punya pertengkaran lagi.
Sesudah itu ibunya (roh ibunya) meninggalkan atau pergi dari tubuh guru
sibaso. Suara menangis terdengar dari seluruh sangkep nggeluh. Semua
perkara/perselisihan telah diselesaikan dalam waktu tidak lebih satu jam. Nasihat
guru sibaso ketika kesurupan seakan menjadi therapy menembus hati yang keras
menjadi lembut. Kehadiran guru sibaso sebagai theraphy rohani dan mental
mamasuki emosi dan unsur budaya Karo (Ginting, 1999: 50).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, segala persengketaan atau perkara
pada etnik Karo dapat diselesaikan dengan kepercayaan yang dimiliki. Tradisi
lisan sebagai kearifan lokal tidak dilakukan lagi karena menurut Ginting, upacara
perumah begu adalah melulu unsur religi yang menyangkut kepercayaan kepada
begu atau roh orang yang sudah meninggal. Orang kristen tidak melakukan hal
tersebut sebab bertentangan dengan iman kristiani yang berdasarkan Alkitab.
Orang Kristen tidak lagi bertanya kepada guru sibaso atau sejenisnya dan
janganlah ikut menjadi fasilitator dalam pekerjaan-pekerjaan memuja begu atau
kuasa-kuasa kegelapan (Ginting, 1999: 51).
Menurut Geertz (1974), kita semua melihat bahwa masalah kepercayaan itu
sebagai suatu ruang sempit yang berbahaya. Sehubungan dengan itu, orang selalu
menghindar dari ruang sempit itu walaupun menurutnya, dalam ruang sempit itu
tersedia nuansa kepercayaan yang paling kaya dan praktik-praktik magis yang
lembut dan indah dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, Geertz tetap menyatakan
keyakinannya bahwa perubahan-perubahan sistem kepercayaan religius manusia
mengalami banyak perubahan yang besar dan luas akibat berbagai pengaruh.
Agama Kristen merupakan salah satu unsur yang ikut berpengaruh dalam hal
tersebut. Ada persoalan-persoalan dan ketegangan-ketegangan yang timbul bagi
orang Kristen yang terkait dengan adat istiadat sekarang ini. Hal-hal tersebut
adalah (1) gendang kematian diadakan atau tidak dalam pesta atau upacara, (2)
mencuci muka di atas kuburan oleh keluarga dekat orang yang meninggal, (3)
mengantar makanan ke kuburan, (4) memindahkan tulang atau menguburkan
kembali rangka-rangka atau tulang-tulang dengan mempersatukan yang Kristen
dan yang bukan Kristen, (5) memanggil hujan, (6) kawin semarga, (7) kawin lari,
dan (8) mengusir roh jahat.
Dari kedelapan persoalan ini yang paling menegangkan adalah poin
pertama sampai poin keempat. Keempat persoalan ini terkait dengan peristiwa
upacara gendang kematian. Jawaban dan respons Kristen terhadap persoalan ini
adalah (1) memberikan pengajaran waktu katehisasi dan penerangan sewaktu
peristiwa terjadi, (2) berusaha mengalihkan hubungan dengan yang bukan Allah
(dewa-dewa atau roh-roh) kepada Allah yang benar, (3) mengadakan perubahan
dalam bentuk/kulit upacara, tetapi yang lebih penting mengubah dan pengarahan
upacara, dan (4) menghapuskan atau meninggalkan adat-adat tertentu (Cooley,
1976: 123).
Prinsip pokok yang dilakukan Kristen dalam menyikapi persoalan dan
pertentangan ini, yaitu adat istiadat yang ada hubungannya dengan kepercayaan
inilah
yang
bisa
disebut
sebagai
sebuah
ideologi,
yang
Dengan menghadiri sebuah upacara adat dan tidak lebih tidak kurang kehadiran
hanya sebagai manusia sangat bertentangan dengan adat istiadat yang ada pada
etnik Karo, yaitu pada sistem kekerabatan tidak ada yang terhegemoni maupun
yang menghegemoni. Selanjutnya menurut Cooley, sejak tahun 1911 gendang
dilarang oleh Zending digunakan pada upacara adat sehingga gendang dibagi
menjadi dua, yaitu ada gendang adat yang dihubungkan dengan dunia luar, yang
mengandung kepercayaan kadang-kadang disebut gendang mistik. Gendang inilah
jika dimainkan pada upacara kematian, bisa menyebabkan orang yang menari
kesurupan roh-roh lain. Selain itu, orang Kristen bisa dilemahkan oleh hal tersebut
dan gendang yang tidak mengandung roh-roh kepercayaan. Oleh sebab itu,
gendang kematian dianggap sebuah persoalan krusial di tubuh gereja Karo. Lantas
dalam sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) tahun 1965 diambil keputusan,
yaitu gendang dapat dipakai di dalam upacara-upacara adat termasuk di gereja,
tetapi gendang yang tidak mengandung unsur kepercayaan.
Menurut Bavans, tugas misionaris yang pertama dalam mendekati orang lain,
kebudayaan lain, agama lain ialah dengan menanggalkan kasutnya karena
tempat yang hendak didekati itu adalah kudus. Kalau tidak, bisa saja kita
malahan menginjak-injak impian manusia. Atau lebih celaka lagi, kita
barangkali lupa bahwa Dibata (Allah) sudah ada disana sebelum kita sampai
(Bevans, 2002: 99).
kearifan
lokal,
yang
justru
bermanfaat
untuk
menopang
kehidupan dengan nilai-nilai kultural baru yang ironis. Ketiga bentuk konsep
masyarakat ini tentu berbeda penekanannya. Akan tetapi, ketiganya menunjuk
pada suatu masyarakat dan budaya yang sama dalam lingkup masyarakat
postmodern.
Dengan meminjam analisis Gramsci tentang hegemoni, mereka menolak
gaya hidup afirmatif masyarakat konsumeristis. Hegemoni selalu mengandaikan
praktik-praktik material yang menopang dominasi budaya. Althusser menyebut
proses itu sebagai interpelasi. Interpelasi adalah proses identifikasi aktif subjek
atas budaya atau gaya hidup dominan. Kultur dominan tidak semata-mata
menyergap objek pasif, tetapi memanggil subjek untuk aktif mengidentifikasikan
diri. Gagasan-gagasan spiritual, misalnya tidak sekadar menentukan secara satu
arah subjek-subjek beriman, tetapi subjek-subjek itu aktif mereproduksi
gagasan
sebagainya
autentisitas,
ataupun
rangsangan
intelektual.
Standardisasi
menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa
antara satu dan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007: 73). Dengan
kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang
dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri.
Pengomodifikasian tersebut yang menghasilkan fetisisme komoditas nantinya. Hal
tersebut membuat, baik individu maupun masyarakat, salah alamat terhadap
pemujaan mereka atas musik pop.
Menurut Yusuf, sejak informasi dibuka lebar dan banyak stasiun televisi
swasta berdiri, televisi Indonesia terkena sindrom snobisme, terjebak dalam selera
pasar dengan mendasarkan pada rating acara. Rating itulah yang akan menentukan
nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin tinggi rating sebuah acara,
semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun
dengan harga yang tinggi. Kun Sri Bidiasih mengistilahkan kebiasaan pengelola
televisi ini sebagai perilaku pedagang. Ketika sebuah warung menjual menu
baru dan laris, maka warung yang lain akan ikut-ikutan menjual menu tersebut.
Akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik
mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin penonton (Yusuf, 2005: 83).
Perkembangan kebudayaan yang diakibatkan globalisasi telah menyentuh
sendi-sendi tradisi pada masyarakat Karo. Sebagai hasil dari potensi dan
perkembangan masyarakat penggunanya sendiri, seni musik tradisi dalam budaya
Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling banyak mendapat
pengaruh dari luar budaya Karo dalam hal ini adalah teknologi. Teknologi
merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk memenuhi
kebutuhannya.
Jika televisi dikaitkan dengan keyboard elektronik, sulit untuk dibedakan.
Televisi dapat mengemas berita-berita dengan kekuatan teknologinya, sedangkan
keyboard dapat mengesploitasi bunyi-bunyi yang menyerupai bunyi tradisi yang
khas yang semestinya sakral dengan ensambel musik tradisi gendang lima
BAB VII
MAKNA SPIRITUALITAS UPACARA
GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO
PADA ERA GLOBALISASI
Upacara gendang kematian etnik Karo, sebagai suatu tradisi lisan, yaitu
tradisi yang diwariskan secara turun-temurun atau melalui generasi ke generasi
selalu bersinggungan dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu sejalan dengan
perkembangan wacana budaya. Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo,
yang lahir dari leluhur etnik Karo menyimpan berbagai makna tersembunyi yang
bisa ditelusuri melalui telaah kritis. Sesuai dengan teori dekonstruksi yang
dikemukakan Derrida, maka yang tersembunyi dalam sebuah realitas dapat
ditemukan dengan terlebih dahulu membuka selubungnya, kemudian melihat
isinya secara terpisah, membuang hubungan yang sudah ada dengan tujuan
menghapus prasangka yang menjadi sumber utama kesalahan. Untuk memahami
makna harus ada upaya menangguhkan atau menunda dulu sampai ada yang pantas
menyandangnya. Ketertundaan makna yang bergerak antara masa lalu dan masa
yang akan datang oleh Derrida disebut sebagai difference yang berarti gerakan
masa sekarang ke masa lalu dan masa mendatang (Sughiarta, 2012: 327--328).
Menurut Ratna (2007: 54), makna adalah apa yang ditandakan, yaitu fungsi
dan isinya. Makna adalah produksi teks, makna plural, jejak (trace), efek makna
itu. Upaya menemukan makna tidaklah sekadar mencari sebab, akibat tetapi
pemaknaan, bukan makna itu sendiri. Makna bukan bendanya, makna melekat
pada materialnya, seperti gedung, lukisan, prasasti, dan sebagainya. Material inilah
yang dianalisis melalui konteks sosial tertentu secara posisionalitas. Analisis
seperti ini dengan sendirinya bukan analisis teks, tetapi dianalisis seperti teks
sesuai dengan pendapat bahwa seluruh kehidupan dalam teori kontemporer
diangap sebagai teks.
Makna tidak terkandung dalam objeknya, sebagaimana indah bukan
bendanya, tetapi nilainya. Proses pembacaan, penikmatan, pemahaman, tidak
membuka bungkus yang serta merta menunjukkan adanya pesan dan nilai tertentu.
Makna dihasilkan melalui proses interaksi antara objek dan subjek dalam hal ini
setiap unsur memberikan sumbangannya. Apabila objek dan penikmat merupakan
jaringan yang telah memiliki persamaan, proses interaksinya dipastikan akan
menghasilkan makna sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, apabila di antara
keduanya belum membentuk persamaan tersebut, maka proses pemahaman akan
terganggu, bahkan akan gagal sama sekali. Dalam hubungan inilah dikatakan
bahwa produksi makna merupakan aktivitas dinamis. Tidak ada makna tetap,
makna selalu berubah, dan dengan sendirinya selalu baru (Ratna, 2008: 127). Hal
ini didukung oleh Cappalaro bahwa pencarian makna terdiri atas sejumlah operasi
yang tak terhitung di mana manusia mencoba memahami dunia. Oleh karena itu,
pencarian tersebut sebenarnya tak berakhir sebab hanya akan berhenti jika rasa
ingin tahu yang sama diakhiri (Cappalaro, 2001: 10).
adat istiadat yang sebelumnya merujuk kepada kepercayaan pemena. Rujukan asas
kehidupan masyarakat inilah yang dituangkan ke dalam tradisi lisan upacara
gendang kematian yang perlu terus dijaga sehingga manusia mendapat
keselamatan dunia dan akhirat dengan tetap menjaga hubungan manusia dengan
sang pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Upacara gendang kematian merupakan penyaluran nilai-nilai spiritualitas, seperti
diungkapkan Njenap Ginting seperti berikut.
Upacara gendang kematian pada etnik Karo bersumber dari ajaran leluhur
Karo, yang sangat terkait dengan kosmologi manusia khususnya etnik
Karo. Sebelum kita mengenal agama yang kita yakini sekarang, agama kita
adalah agama nenek moyang kita yang diajarkan melalui generasi ke
generasi tanpa memiliki kitab wahyu. Hakikat spiritualitas kita bukan dari
apa yang kita ketahui akan tetapi dari apa yang kita perbuat. Kalimbubu
sebagai pemilik darah yang meninggal kita kenal sebagai representasi
Tuhan yang kelihatan kita hormati sepenuh jiwa dan raga kita, dan
bagaimana kita menghargai alam sekitar kita untuk mendukung upacara
tersebut. Demikian kita lakukan sebagai lingkaran yang berputar karena
masing-masing orang Karo mendapatkan posisi sebagai kalimbubu
(wawancara, 26 Desember 2012).
Ungkapan di atas memperlihatkan bahwa tradisi lisan upacara gendang
kematian mengintegrasikan nilai-nilai ajaran leluhur ke dalam aktivitas kultural,
menjadi petunjuk masyarakat dalam mengembangkan pola pola kehidupan yang
berlandaskan adat istiadat. Sebagai produk historis kultural masa lampau, upacara
gendang kematian memadu padankan nilai-nilai estetika dan kebenaran agama
sekarang yang ada didalamnya. Selanjutnya menurut Njenap Ginting sebagai
berikut.
Kalau saya melihat tidak ada pertentangan antara spiritualitas pemena
dengan agama yang kita yakini dan anut sekarang. Yang menjadi
penciptanya,
manusia
dengan
manusia,
dan
manusia
dengan
kekerabatan itu adalah emosi keyakinan yang merupakan yang merupakan getaran
jiwa yang pada suatu ketika dapat menghinggapi seseorang. Emosi keyakinan
itulah yang mendorong orang untuk berperilaku serba religious, artinya manusia
akhirnya sadar akan adanya gaib yang merupakan sumber kekuatan yang ada di
luar dirinya. Emosi keyakinan masyarakat Karo sangat kuat dalam menyikapi
berbagai bentuk persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat. Salah
satu wujud makna spiritualitas pada upacara gendang kematian yaitu upacara
perumah begu (Lihat, 6.2.1).
Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa, konsep spiritualitas
memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau
mengimplikasikan bentuk disiplin religious tertentu. Spiritualitas memang
memiliki konotasi religious dalam arti bahwa nilai dan makna dasar yang dimiliki
seseorang mencerminkan hal-hal yang dianggapnya suci, yaitu yang memiliki
kepentingan yang paling mendasar. Tetapi, apa yang dianggap suci bisa saja
merupakan sesuatu yang duniawi, seperti kekuasaan dan kesuksesan. Ada spiritual
dalam diri setiap orang, meskipun bisa saja spiritulitas yang nihilistik dan
materialistik. Kondisi inilah yang terjadi dalam perkembangan pada era globalisasi
ini.
Upacara gendang kematian etnik Karo saat ini, memiliki spiritualitas
modern, yaitu spiritualitas yang mengarah pada kapitalisme dimana konsumerisme
telah menjadi bagian dari unsur-unsur yang ada pada upacara tersebut. Padahal,
semestinya harus ada keseimbangan antara spiritual dan materi. Seperti yang
dijelaskan Piliang, kepentingan mendasar spiritualisme adalah bagaimana
menjadikan individu memahami akan dirinya, antara agama dan materi.
Spiritulitas tidak boleh dijadikan untuk mengejar materi, yang dengan sendirinya
dapat membuka jalan untuk merebut kekuasaan. Agama sangat kaya dengan ajaran
keseimbangan yang dapat dijadikan titik tolak untuk membentuk pribadi yang
kuat, tahan terhadap terpaan dan arif dalam bertindak. Harus pula diciptakan
upacara gendang
kematian etnik Karo memiliki wajah budaya tradisi, saat ini berubah menjadi
wajah yang tidak diilhami dan disemangati oleh nilai-nilai tradisi yang ada. Hal ini
mengakibatkan hampir semua pilihan dan keputusan yang diambil terkesan sangat
kompromistis dan opurtunistik. Masyarakat terkesan tumbuh menjadi sosok
manusia yang tidak lagi mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil.
Penghambaan pada materi menjadi urutan teratas tidak saja pada sebuah upacara
kematian, tetapi juga dalam segala aktivitas kehidupan. Inilah, menurut
pengamatan penulis menjadi faktor pendorong terjadinya gaya hidup dimana
spiritualitas hanya dijadikan sebagai pemuasan hasrat rendah, yaitu materi. Dalam
tradisi
Karo
sangat
jelas
pembatasan
antara
pertua
agama
dan
budayawan/seniman. Namun keduanya sering disatukan untuk pemuasan hasrathasrat rendah dan dijadikan alat perpanjangan tangan melakukan kekuasaan
terhadap orang lain.
Menurut Majid (2010: 207), hubungan antara agama dan negara umumnya
dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu pertama, lebih berkaitan dengan dimensi
internal agama. Seberapa jauh agama menyediakan rancang bangun yang
mengatur seluruh tata kehidupan, termasuk antara relasi agama dan politik atau
agama dianggap wilayah privat, yang tidak ada kaitannya dengan urusan
penyelenggara Negara. Kedua, dimensi eksternal yang lebih berkaitan dengan
pemahaman penyelenggara Negara terhadap nilai-nilai agama. Apakah agama
dipahami sebagai wilayah yang tidak ada sangkut pautnya dengan Negara. Nilainilai agama seyogianya ditampilkan dalam prinsip-prinsip yang lebih universal,
dalam bentuk gerakan kultural yang dijabarkan dalam etika atau moralitas
terhadap penyelenggara agama.
Pernyataan diatas tidak sepenuhnya terjadi sehingga makna spiritualitas
konsumerisme kapitalis yang bermuara kristenisasi terjadi dalam upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi. Nilai-nilai luhur tradisi ditinggalkan
sebelum masyarakat pemilik memahaminya. Ini akibat dari derasnya arus
globalisasi yang menimpa nilai-nilai spiritualitas asli etnik Karo. Menurut Berry,
manusia perlu menemukan ekspresi yang bisa ditinjau melalui dua kepedulian
umat manusia yang saat ini teramati yaitu, kepedulian akan kelangsungan proses
kosmis di dalam alam dan kepedulian akan disiplin batiniah yang bersifat
tradisional. Berdasarkan kepedulian yang pertama, kita memahami bahwa kita
tidak dapat bertindak sesuka hati terhadap alam. Pada kepedulian yang kedua, kita
menyadari bahwa kita pun tidak dapat berbuat sesuka hati dalam berelasi dengan
kekuatan psikis dan spiritual dunia, melainkan harus menyatu dengan kekuatankekuatan itu (Berry, 2013: 3).
Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo
untuk menuju dunia yang baru, manusia dengan manusia, yaitu implementasi dari
sistem kekerabatan yang ada, dan manusia dengan alamnya, yakni unsur yang
digunakan dalam upacara gendang kematian sangat terkait dengan alam sekitarnya
seperti spiritual yang ada pada gendang lima sendalanen tidak semata-mata hanya
sebagai pengiring pada upacara tetapi lebih pada kaitannya dengan alam sekitar.
Hal ini ditegaskan oleh Berry, kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri
tanpa menyelamatkan dunia di mana kita hidup. Tidak ada dua dunia, dunia
manusia dan dunia bagi makhluk-makhluk lain. Hanya ada satu dunia. Sejalan
dengan mati hidupnya bumi, kehidupan manusia pun ditentukan sepenuhnya oleh
keberadaannya. Kita akan dipelihara secara spiritual oleh dunia ini atau kita akan
mengalami kelaparan spiritual. Tidak ada pengalaman perwahyuan lainnya bagi
manusia seperti pengalaman yang didapatnya dari alam (Berry, 2013: 113).
Sesuai dengan pernyataan di atas menurut Jekmen Sinulingga seperti berikut.
Sebelum etnik Karo mengenal tulisan kita belajar dari tradisi lisan yang ada
seperti tindakan-tindakan yang kita lakukan ketika melakukan sebuah
upacara. Bambu yang digunakan untuk mengankat mayat ke kuburan
setelah upacara itu diampbil dari bambu yang berada di tepi jurang di desa.
Bambu itu dianggap sebagai tempat keramat sehingga orang Karo
menghormati dan memeliharanya (Wawancara, 20 Desember 2013).
Hal senada diucapkan oleh Kebun Tarigan tentang gendang lima sendalanen
sebagai berikut.
Semua unsur yang terdapat pada ensambel gendang lima sendalanen adalah
menunjukkan bagiamana orang Karo itu menghargai alam sekitarnya. Mulai
dari materi instrumen sampai bunyi yang dihasilkannya sangat terkait
dengan spiritualitas pandangan hidup orang Karo. Akan tetapi semua
keterhubungan ini tergerus dengan musik modern seperti keybard dan
ensambel tiup. Tentu saja hal ini membunuh nilai-nilai tradisi yang ada
pada etnik Karo. Semua ini tidak terlepas dari pengesahan atau legitimasi
dari agama yang dianut orang Karo saat ini (Wawancara 11 Mei 2012).
Penguasa dan pengusaha hendaknya bercermin pada nilai-nilai agama yang
dianutnya. Bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai substansial yang dapat
dijadikan sebagai pegangan dalam urusan penyelenggara Negara, yaitu nilai-nilai
keadilan, persamaan, musyawarah, dan persaudaraan. Pemahaman atas nilai-nilai
agama ini tidak terwujud dalam implementasi kebijakan yang ditetapkan
pemerintah, terutama nilai-nilai keadilan yang sudah amat langka dirasakan oleh
masyarakat tradisi. Disini, agama hadir ketika pelembagaan agama diikuti oleh
kepentingan diuar dirinya. Agama terjebak sebagai instrumen kepentingan, baik
kepentingan yang mengatasnamakan suara Tuhan sebagai suara kekuasaan,
maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan agama sebagai alat
legitimasi (Majid, 2010: 207).
Upacara gendang kematian bermakna spiritualitas, perasaan kebatinan
yang mendalam dan emosi budaya bertujuan untuk mendidik diri dan keluarga
untuk hidup bersih dan sederhana patuh dalam menjalankan nilai-nilai tradisi.
Spiritual modern mengalami perubahan bentuk yang nihilistik dan materialistik.
Hidup sederhana berubah menjadi konsumtif dan hedonistik. Hidup bersih menjadi
kotor, dalam arti tidak lagi memenuhi kriteria seperti pribahasa Karo adi idahndu
duri i dalin, buat tutung janahndu erlambuk (jika nampak duri di jalan, ambil dan
bakar ketika memasak). Hal ini diperparah lagi dengan campur tangan penguasa
dengan berbagai kebijakan yang dihasilkan kadang tidak memihak kepada rakyat
dan memenuhi rasa keadilan. Kapitalisme global juga memiliki andil yamg besar
terhadap pergeseran makna spiritualitas. Kapitalisme global menghendaki
universalitas dalam segala aspek kehidupan.
Spiritualitas tradisi dapat membawa manusia kembali kepada hal-hal yang
fundamental. Kita mungkin tidak perlu khawatir mengenai kelangsungan tradisitradisi ini dalam bentuk formalitas dasar, tetapi fundamentalisme mengandung
aspek positif, selain tentu memiliki juga di dalamnya aspek-aspek yang kurang kita
harapkan (Berry, 2013: 6).
Terkait dengan ungkapan di atas, sebagai sebuah tradisi lisan dan bagian
dari kearifan lokal etnik Karo, upacara gendang kematian memiliki makna
spiritualitas yang mendalam, yang berpengaruh dalam segala tata kehidupan.
Namun, tradisi lisan ini tengah berjuang untuk mempertahankan eksistensinya agar
dipahami dan diterima oleh etnik Karo. Kapitalisme global mampu merontokkan
sendi-sendi tradisi dan kearifan lokal masyarakat, yang merupakan bukti historis
kreativitas leluhur etnik Karo pada masa lalu. Upacara gendang kematian
merupakan bagian dari budaya, sementara budaya membentuk sejarah. Masyarakat
merupakan bagian dari proses sejarah dalam periode tertentu. Tradisi lisan upacara
gendang kematian etnik Karo, memiliki spiritualitas yang sangat berkaitan dengan
norma-norma dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat yang mengalami
dinamika seiring dengan perkembangan zaman.
Spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan bagian dari
kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai sebuah
tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya mengungkap
makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik Karo dapat
ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca tanda zaman dan
dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang dihasilkannya
bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo merepresentasikan
spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya. Secara umum, ada tiga
pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang, wujud dan faktor-faktor
yang mempengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era
globalisasi
yang
menyangkut
nilai-nilai
dasar
atau
filosofi
kehidupan
7.1.1
pengalaman. Nilai dan makna ada diwilayah kosong dari benua ketidaksadaran
manusia yang belum terpetakan. Seni mengandung spiritualitas yang ditangkap
seniman dalam wujud-wujud analogi, karena yang tak ada itu sulit dirumuskan
dalam ada (budaya). Seniman memperkaya kebudayaan. Dalam seni modern
simbol-simbol seni mengacu pada konsep[ dan pengalaman budaya. Dalam seni
pramodern bukan sekedar konsep dan pengalaman, tetapi wujud kehadiran yang
spiritual. Yang spiritual itu realitas transenden dari wilayah kosong. Ia hanya
terasa ada dan hadir dalam simbol-simbolnya saja. Simbol itu sendiri adalah
realitas transenden. Tidak dengan sendirinya artefak-artefak seni yang merupakan
realitas transenden itu hadir dalam dunia manusia. Kehadirannya hanya terjadi
dalam peristiwa ritual dalam ruang dan waktu kesekarangan alias keabadian.
Di luar itu daya-daya transendennya tidak bekerja. Diluar upacara benda-benda
seni itu hanya berstatus pada profan biasa (Sumardjo 2006: 93).
Terkait dengan hal di atas, pada upacara gendang kematian etnik Karo
memiliki unsur seni yang sangat penting yaitu seni musik. Menurut Nakagawa,
musik adalah objek dan objek adalah tanda, yang diinterpretasi untuk menemukan
makna-makna dan harus disadari bahwa musik itu hidup dalam masyarakat. Musik
dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya. Ketika pertama kali
mengenal musik, biasanya kita mengamati akustiknya, seperti melodi (lagu),
ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-lain. Dalam hal ini kita
mengamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam studi etnomusikologi hal
demikian tidak cukup, tetapi kita harus menghubungkan dengan masalah
kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna musik itu dipelihara
dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik menjadi tujuan utama peneliti,
tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur sosial dan unsur-unsur
kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya seni-seni yang lain
(Nakagawa, 2000: 6).
Selanjutnya
Marriam
mengungkapkan bahwa
salah satu
wilayah
musik. Wilayah ini meliputi studi tentang instrumen musik yang disusun oleh
peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, idiofon, membranofon, aerofon,
dan chordofon. Di samping itu, tiap instrumen harus diukur, dideskripsi, dan
digambar dengan skala atau difoto, prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang
digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, termasuk nada-nada
yang dihasilkan. Di samping masalah-masalah analitis yang dapat menjadi sasaran
penelitian dengan beberapa pertanyaan, seperti (1) adakah konsep untuk
memperlakukan secara khusus instrumen-instrumen musik tertentu di dalam suatu
masyarakat, (2) adakah yang dikeramatkan, (3) adakah instrumen-instrumen yang
melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial lain, (4) apakah instrumeninstrumen tertentu merupakan pertanda dari pesan-pesan tertentu pada masyarakat
luas, dan (5) apakah suara-suara atau bentuk-bentuk instrumen tertentu
berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara,
atau tanda-tanda tertentu (Merriam, 1995: 100).
Gendang lima sendalanen dalam upacara gendang kematian merujuk pada
karya seni musik, tradisi, dan religi pada etnik Karo. Selain itu, gendang lima
sendalanen dapat memanifestasikan etos suatu masyarakat mengenai nada, watak,
mutu hidup, gaya, estetis, dan pandangan hidup. Dengan demikian, dapat disebut
sebagai salah satu simbol yang terdapat pada upacara gendang kematian. Menurut
Dharmojo (2005: 119), makna simbol bebas dan terbuka bergantung pada aspekaspek tempat simbol bersemayam. Menurut Adlin, bagi masyarakat tradisional,
perlakuan terhadap objek visual, mulai dari proses penciptaan sampai
instrumen musik, yaitu sarune termasuk dalam klasifikasi (aerofon), yaitu bunyi
dihasilkan dari udara/angin, gendang indung dan gendang anak (membranofon),
yaitu bunyi dihasilkan dari kulit, sedangkan gung dan penganak (idiofon), yaitu
menghasilkan bunyi melalui alat itu sendiri. Namun sering juga disebut dengan
gendang lima sendalanen, ranggutna sepulu dua, yaitu angka dua belas untuk
Gambar 7.1
Dilah-dilah, ampang-ampang, tongkeh, kerahung, dan gundal bagian-bagian yang
terdapat pada instrumen sarune dalam gendang lima sendalanen
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Menurut Darwan Tarigan, daun kelapa yang dibutuhkan untuk dilah-dilah
sarune tidak boleh sembarangan. Kelapa yang dipilih adalah kelapa yang
tumbuhnya di permukaan yang tinggi, bebas di sinar matahari dan tiupan angin. Di
samping daun kelapa yang dijadikan sebagai dilah sarune, buah kelapa tersebut
dipercaya masyarakat Karo sangat baik dijadikan untuk campuran obat tradisional.
Bahkan, ada guru sibaso (dukun) yang mengharuskan obat tradisi buatannya
menggunakan air kelapa tersebut (Wawancara, 19 April 2012). Atas dasar
penjelasan di atas, diketahui bahwa dilah sarune adalah satu hal yang diperlukan
oleh masyarakat Karo di luar dari kepentingan alat musiknya.
Selanjutnya menurut Tarigan, ampang-ampang dalam instrumen musik
sarene jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Karo merupakan pembatas
atau pembeda merga-merga yang ada. Pada zaman dahulu tiap-tiap orang Karo
mempunyai kesain batas-batas, baik tempat tinggal, perladangan, maupun
persawahan. Batas-batas inilah kemudian ditafsir sebagai ampang-ampang pada
instrumen sarune.
Pernyataan di atas didukung oleh seorang etnomusikolog Shin Nakagawa
dari Jepang yang mengungkapkan bahwa Ilmu etnomusikologi pada mulanya
berupa kegiatan meneliti nada-nada dan alat-alat musik bangsa lain. Kemudian
berkembang menjadi mencari hubungan antar musik dan manusia dalam
kebudayaan dengan menggunakan hasil penelitian antropologi. Proses ini disebut
perubahan perspektif, yaitu perubahan dari etnosentrisme menjadi etnorelativisme
(Nakagawa, 2000: 4).
Tongkeh sarune adalah unsur yang terbuat dari timah. Menurut Jekmen
Sinulingga, masyarakat Karo sudah mengenal timah sejak dahulu. Hal ini terwujud
dari bagaimana masyarakat Karo ketika memberikan kata penghiburan kepada
sukut yang meninggal dunia dalam upacara kematian, dengan kuan-kuan
(peribahsa) sebagai berikut, gia nggo lawes orang tuanta nadingken kita tetaplah
kam kerina bagi timah sada tinuang, (meskipun orang yang dikasihi telah
meninggalkan kita untuk selama-lamanya, tetap kita seperti timah tuangan yang
bersatu yang takkan dapat diceraikan oleh apa pun) (Wawancara, 11 Juni 2012).
Dari ungkapan di atas diketahui bahwa sesuai dengan letak tongkeh pada
instrumen sarune adalah sebagai bagian tengah untuk menghasilkan bunyi dan
sebagai penyambung dilah dengan kerahung pada instrumen tersebut.
Kerahung dan batang sarune terbuat dari pohon selantam. Pohon selantam
dikenal pada masyarakat Karo sebagai jenis tanaman perdu dan daunnya termasuk
salah satu yang disebut bulung-bulung simelias gelar (daun-daun yang baik untuk
obat-obatan). Bagian inilah yang dilubangi untuk menghasilkan perbedaan nada
antara satu dan yang lain dalam melodi. Dalam proses melubangi menurut Kebun
Tarigan, ada mang-mang (mantra) yang harus dilakukan. Jumlah delapan lubang
pada kerahong/batang sarune dan setiap lubang terkait dengan tutur siwaluh yang
terdapat pada sangkep nggeluh masyarakat Karo. Proses melubangi memakan
waktu yang tidak bisa ditentukan dengan pasti. Karena dari kedelapan lubang yang
ada pada batang sarune mewakili salah satu kerabat yang meninggal pada tutur
siwaluh karena sarune yang digunakan pada upacara gendang kematian adalah
sarune yang sama (Lihat, 4.1.4). Di samping dijadikan sebagai sarune dalam
tradisi musik Karo, selantam biasanya tumbuh dan ditanam oleh orang Karo di
pembatas-pembatas perladangan dengan jurang untuk menahan jatuhnya jurang
dan sekaligus menjadi pagar. Selantam adalah pohon yang tidak mengganggu
tanaman-tanaman yang lain yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari oleh
manusia (wawancara, 10 Juni 2012).
Berdasarkan uraian di atas Krader mengungkapkan bahwa etnomusikologi
mencoba meletakkan kembali kenyataan-kenyataan dari musik di dalam konteks
sosiokultuaralnya, menempatkan musik itu ke dalam pikiran, kegiatan-kegiatan,
dan struktur-struktur sebuah kelompok manusia. Di samping itu, juga memperjelas
pengaruh timbal balik antara satu dan yang lain. Etnomusikologi membandingkan
fakta-fakta ini satu dengan yang lain melalui sejumlah kelompok individu yang
mempunyai kesamaan atau perbedaan tingkat kultural dan lingkungan teknisnya
(Krader, 1995: 3). Kenyataan ini sangat erat terkait dengan bagian-bagian sarune
yang merupakan sebuah simbol yang dapat dimakanai satu dengan yang lain.
Gundal pada instrumen sarune juga terbuat dari bahan pohon selantam.
Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa instrumen sarune terdiri atas lima
unsur pada bagian-bagiannya. Bentuk gundal dalam sarunai menunjukkan bahwa
segala sesuatu perlu di-momo-kan atau diumumkan. Gundal adalah unsur yang
menentukan besar kecilnya bunyi yang dihasilkan oleh sarune. Menurut Kebun
Tarigan, gundal berfungsi sebagai corong (bell). Demikian juga dalam sistem
kemasyarakatan yang disebut merga silima sudah ditentukan merga yang
memberikan kabar (berita) kepada merga-merga yang lain yang tinggal di
daerahnya (Lihat 4.1.3).
Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik
pukul yang memiliki membran terbuat dari kulit pada kedua sisi alat musik yang
berbentuk konis (double head conical drums). Sisi depan/atas atau bagian yang
dipukul disebut babah gendang, sedangkan sisi belakang/bawah (tidak dipukul)
disebut pantil gendang. Perbedaannya, pada gendang singanaki terdapat lagi
(diikatkan) sebuah gendang mini, yang disebut gerantung, sedangkan pada
gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi
naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki
tidak bisa naik turun.
Badan kedua alat musik ini, terbuat dari pohon tualang. Lobang atau
rongga bagian dalam dibentuk mengikiuti konstruksi bagian luar alat-alat musik
tersebut. Kulit direntangkan pada kedua sisi muka (head drum). Kulit tersebut
berasal kulit napuh, sejenis kancil yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan
diperhalus. Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali
yang terbuat dari kulit lembu. Tali yang dililitkan pada seluruh badan gendang
tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit/membran gendang. Tiap-tiap
gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick).
Gambar 7.2
Gendang singindungi dan gendang singanaki yang digunakan pada upacara
gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar 7.2 menunjukkan bahwa bagian-bagian gendang singanaki dan
gendang singindungi sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis
akustiknya. Bagian-bagian gendang adalah (1) tutup gendang dan pantil gendang,
yaitu bagian atas dan bagian bawah yang mengelilingi babah gendang (membran
gendang). Tutup gendang terbuat dari bambu, yang kemudian dilapisi dengan kulit
napuh (sejenis kancil), (2) babah gendang (membran gendang) ini juga terbuat
dari bambu yang sebelumnya telah dilapisi kulit napuh (kancil). Bagian babah
gendang inilah yang dipukul dengan stik sehingga menghasilkan pola ritme, baik
gendang singanaki maupun gendang singindungi, (3) kula gendang (badan
gendang) terbuat dari kayu tualang sekarang digunakan kayu nangka, (4) tali
gendang (selanjutnya disebut dengan tarik gendang) terbuat dari kulit sapi yang
berumur tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Tarik gendang melintasi
sekeliling kedua tutup (atas dan bawah) secara vertikal terhadap panjang babah
melalui sepuluh lubang tali pada setiap tutup (posisi tali pada lubang tali
hubungannya dengan bingke dan pinggir kulit tampak atas, samping, dan belah
simetris vertikal). Selain itu menelusuri sekujur baluh dengan pola jelujur yang
membentuk huruf V yang saling bersambungan. Fungsi tarik gendang ini sebagai
perangkat pengatur mekanis, (5) alat pukul gendang (stik) terbuat dari kayu jeruk
purut. Alat pukul gendang singanaki keduanya sama panjang, besar, dan
bentuknya. Di pihak lain alat pukul gendang sngindungi keduanya berbeda besar
dan bentuknya. Gerantung/garantung, yaitu gendang kecil yang berada pada sisi
gendang singanaki. Secara konstruksi, seluruh bagian dan bahan pembuatannya
tidak berbeda, baik dengan gendang singindungi maupun gendang singanaki.
Perbedaan terjadi hanya pada ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan
gendang.
Dari uraian di atas diketahui bahwa gendang pada etnik Karo juga terdiri
atas lima bagian yang berbeda-beda. Disetiap bagian menunjukkan bahwa
masyarakat Karo pada dasarnya sangat dekat dengan kosmologinya. Dari
kosmologi inilah kemudian dapat diwujudkan spiritualitas masyarakat itu sendiri.
Napuh, bambu, tualang, lembu, dan jeruk purut merupakan sebuah simbol yang
dimaknai sebagai representasi spiritualitas pramodern etnik Karo terhadap ibu
pertiwi atau alam lingkungannya. Berikut ini ditelaah makna-makna yang terdapat
pada gendang singindungi dan gendang singanaki.
Tutup gendang dan pantil gendang terbuat dari kulit napuh. Napuh
merupakan salah satu jenis binatang menyerupai binatang kancil. Menurut
Sorensen Tarigan, sudah banyak sekali kulit binatang dicoba untuk digunakan
dalam instrumen baik gendang singindungi maupun gendang singanaki. Akan
tetapi, semua kulit ini, misalnya kambing, sapi, dan rusa, suara yang dihasilkan
tidak sesuai seperti kulit napuh. Di samping itu, etnik Karo mempunyai jenis
makanan khas yang disebut dengan terites. Terites adalah sejenis makanan yang
bahan dasarnya secara kasar adalah makanan lembu atau kambing yang telah
berada dalam ususnya. Terites atau sebagian masyarakat lain lebih mengenalnya
dengan sebutan pagit-pagit merupakan salah satu makanan yang menurut suku lain
adalah hal yang aneh dan mungkin menjijikkan. Terites tersebut diambil dari
lambung kedua sapi (lembu dalam masyarakat Karo) atau kambing dalam istilah
biologinya dikenal dengan istilah rumen, tetapi orang Karo menyebutnya tuka si
peduaken (usus nomor dua). Kata pagit-pagit berarti yang pahit-pahit adalah
padanan kata yang paling cocok. Mengapa masyarakat Karo mengambil sumber
terites dari lembu ataupun kambing karena sulit sekali untuk mendapatkan napuh.
Sebenarnya napuh-lah yang paling enak dibandingkan dengan hewan yang lain
(Wawancara, 05 Mei 2012).
Informasi lain tentang binatang ini, diperoleh dari Kebun Tarigan. Menurut
Kebun Tarigan,
lemaknya sangat
baik
keseleo/patah tulang. Lemak binatang yang paling baik untuk penyakit jenis ini
adalah dari binatang napuh. Kulitnya dijadikan sebagai penutup, baik gendang
menggunakan buluh dari lantai hingga atap rumahnya, dari perabot di dapur
seperti ukat (sendok mengambil nasi), ingan beltu-beltu (tempat mengeringkan
ikan), ndiru (alat pengayak beras), dan sebagainya. Menurut Joker Barus salah satu
guru (dukun) di lokasi penelitian mengungkapkan seperti di bawah ini.
adi la lit buluh, labo lit kalak Karo. Sebab buluh e me i bere Dibata jadi
sinampati ibas kegeluhenta. Adi nai bagi si kubahan enda tamandu ije
pangan sada tahun nari nendu entah ipandu seri denga nanmna. Tapi
ibahan nge mang-mang ibas buluh enda salu tulisen aksara Karo.
(Jika tidak ada bambu, orang Karo juga tidak ada. Bambu diberikan yang
punya kehidupan yang membantu manusia Karo dalam segala hal. Kalau
dulu, makanan bisa disimpan selama setahun, ketika dimakan masih sama
rasanya dengan setahun yang lalu. Satu-satunya alat yang bisa menyimpan
itu adalah bambu yang telah dengan ucapan khusus dan menulis dengan
aksara Karo
Apabila dicermati ungkapan tersebut, dalam kehidupan masyarakat
pedesaan khususnya lokasi penelitan spiritualitas upacara gendang kematian
bambu memegang peranan yang sangat penting. Bambu dikenal oleh masyarakat
Karo memiliki sifat-sifat yang luar biasa dan sangat berguna untuk kehidupan
sehari-hari. Bambu juga disimbolkan sebagai sebuah siklus hidup orang Karo,
contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluarlah rebung. Batang bambu muda dapat
dijadikan makanan khas, yaitu tubis. Selain itu, batang bambu juga dapat
digunakan sebagai bahan bangunan, bahan baku kerajinan tangan, dan yang utama
adalah dijadikan sebagai alat musik. Bambu memiliki makna mendalam. Di
seluruh Nusantara bambu digunakan sebagai alat musik mereka, seperti kolintang,
angklung, gambang, keteng-keteng, dan sebagainya. Kenyataan di atas
menunjukkan bahwa babah gendang dibuat dari bambu yang sebelumnya dilapis
kulit napuh kemudian disatukan dengan kula gendang (badan gendang) yang
berasal dari pohon tualang.
Tualang adalah jenis kayu besar dan tinggi yang hidup di hutan. Sebelum
seniman Karo menggunakan pohon nangka sebagai salah satu unsur dalam
gendang singindungi dan gendang singanaki, tualang-lah yang digunakan.
Kepercayaan masyarakat Karo terhadap kayu ini sangat banyak dari sisi
kekuatannya. Menurut Njenap Ginting, ketika masyarakat Karo membangun
sebuah rumah siwaluh jabu (rumah adat) tualang digunakan sebagai pusat
kebertahanan rumah yang disebut tekang. Tekang adalah kekuatan dalam sebuah
bangunan. Untuk dijadikan tekang dalam membangun rumah
tidak dapat
digunakan selain tualang. Di atas pohon tulang yang tinggi selalu ada tawon yang
bermadu dapat menyembuhkan berbagai penyakit.
Ada sebuah mitos yang dipercaya masyarakat Karo terkait dengan tualang,
yang dikenal masyarakat dengan cerita tualang simande angin. Alkisah, ada
seorang pemuda yang bernama Pawang Ternalem mencintai seorang putri raja
yang bernama Beru Patimar. Syarat untuk mempersunting dirinya adalah dengan
memanjat sebuah pohon tualang yang penuh dengan tawon/lebah yang berbisa dan
harus memberikan madu tawon yang diambil dari tualang tersebut kepaba Beru
Patimar. Sudah puluhan pemuda menjadi korban meninggal oleh karena jatuh.
Pawang Ternalem adalah seorang anak yatim piatu yang datang ke tempat
tersebut. Tempat berdirinya tualang itu disebuah desa yang disebut Desa Jenggi
Kumawar. Jenggi Kumawar letaknya di daerah hilir (dataran rendah) Tanah Karo.
Pawang Ternalem datang dari daerah tinggi Karo yang disebut Karo Gugung.
Ketika hari pagi yang disebut orang Karo tekuak manuk sekali, masyarakat Jenggi
Kumawar mendengar suara musik surdam dari atas tualang simande angin. Beru
Patimar juga mendengar bunyi surdam tersebut. Keluarlah Beru Patimar siapa
gerangan yang sudah dapat memanjat pohon tualang simande angin. Alangkah
terkejutnya dia ketika menyaksikan apa yang ada di depannya. Dia melihat
seorang pemuda desa dan sama sekali tidak sesuai seperti apa yang diharapkannya.
Namun, akibat persyaratan yang diminta telah terpenuhi dia harus menerima
pemuda ini menjadi suaminya. Di bawah pohon tersebut ada sebuah kolam dan di
kolam itulah kemudian Pawang Ternalem mandi. Begitu selesai mandi Beru
Patimar sangat terkejut, melihat ketampanan pemuda tersebut. (Wawancara, 27
Desember 2012).
Hingga kini etnik Karo masih sering mendengar turi-turin atau mitos
tualang simande angin. Etnik Karo percaya bahwa air yang berdekatan dengan
tualang juga mempunyai kekuatan untuk mengobati penyakit. Sejak saat itulah
tualang kemudian dijadikan badan (kula) gendang singindungi dan gendang
singanaki pada ensambel musik Karo, yaitu gendang lima sendalanen. Tualang
yang dijadikan kula gendang (badan gendang) dikelilingi oleh kulit lembu (sapi)
yang disebut dalam gendang dengan sebutan tarik.
Tarik berbentuk tali untuk menarik tutup gendang dengan pantil gendang.
Tarik diambil dari kulit seekor lembu untuk dijadikan keseimbangan suara
gendang singindungi dan gendang singanaki. Lembu merupakan salah satu hewan
peliharaan yang yang dapat membantu kehidupan manusia khususnya masyarakat
Karo. Di samping daging dan kotorannya masih banyak hal dalam dirinya yang
dapat membantu kebaikan manusia. Zaman pramodern setiap merga di Karo
mempunyai rumah adat sendiri beserta sangkep nggeluh-nya. Ketika membangun
rumah adat yang disebut siwaluh jabu atau delapan keluarga dalam satu rumah,
lembu dimanfaatkan untuk menarik balok (kayu) besar menuju kampung. Di
samping itu, masyarakat Karo mempunyai keturunan yang banyak, baik untuk
mengelola pertanian maupun persawahan, lembu merupakan pembantu yang
paling utama dalam menggarapnya.
Menurut Sorensen Tarigan, semua materi yang digunakan, baik dalam
gendang singindungi maupun gendang singanaki, sangat dekat hubungannya
dengan orang Karo. Hal ini bisa dibuktikan pada kerja sintua (upacara besar) di
masyarakat Karo bahwa memotong lembu adalah sebuah kebanggaan pada orang
pemilik kerja tersebut. Itu yang menyebabkan tarik dalam gendang pun tidak
boleh diambil dari hewan lain. Silengguri (spirit) bunyi gendang akan berbeda jika
diganti (Wawancara, 26 Desember 2012).
besi yang digunakan pada ensambel gendang lima sendalanen dalam gendang
kematian.
Dari uraian di atas tampak bagaimana gendang lima sendalanen sangat erat
terkait dengan spiritualitas pramodern baik dari sudut makrokosmos dan
mikrokosmos yang terdapat pada etnik Karo. Hal ini ditegaskan Capra, bahwa kita
menjadi bagian dari seluruh hewan dan tumbuhan. Selain itu, menjadi bagian
(belonging) berarti kita betah (at home) bersama mereka, kita bertanggung jawab
untuk mereka, dan kita menjadi bagian dari (belong to) mereka persis sebagaimana
mereka menjadi bagian kita. Kita semua saling memiliki (belong together) di
dalam kesatuan kosmis yang besar ini (Capra, 1999: 22).
Di samping makna-makna instrumen gendang lima sendalanen dengan
spiritualitas pramodern etnik Karo masing-masing instrumen juga mununjukkan
sangat erat terkait dengan sistem kekerabatan. Setelah ditelaah lebih jauh, sarune
dapat dikatakan sebagai posisi sukut/sembuyak. Peran sukut/sembuyak dalam
upacara gendang kematian adalah sebagai pemilik upacara tersebut, yang tentu
saja harus dapat melihat dan memperhatikan semua kerabat yang hadir dengan
cara menghormatinya. Demikian jika dikaitkan dengan sarune dalam gendang
lima sendalanen yang berfungsi sebagai pembawa melodi harus melihat semua
unsur lain yang ada dalam gendang lima sendalanen. Demikian juga
sukut/sembuyak melihat dan memperhatikan semua hal yang terjadi di upacara
gendang kematian. Jika upacara ini tidak sukses, yang paling dipersalahkan adalah
sukut/senina. Jika ada kesalahan dalam memainkan gendang lima sendalanen
maka sarune-lah yang dianggap menjadi pokok kesalahan tersebut. Dalam upacara
gendang kematian sukut/sembuyak berdiri di sebelah kiri kalimbubu dan sebelah
kanan senina, sama halnya dengan sarune di sebelah kiri gendang singindungi dan
sebelah kanan gendang singanaki.
Gendang singindungi berperan sebagai kalimbubu. Kalimbubu dalam
upacara gendang kematian dianggap sebagai Dibata si idah (Tuhan yang
kelihatan), ketika kesepakatan dalam musyawarah di pihak sukut/sembuyak,
kemudian kesepakatan yang sudah diakui tersebut harus diberitahukan kepada
kalimbubu untuk dilengkapi dan di pasu-pasu (diberkati). Demikian juga gendang
singindungi dalam ensambel gendang lima sedalanen yang digunakan pada
upacara kematian sebagai sebuah kekuatan dalam ensambel ini. Ritme gendang
singindungi merupakan wujud kekuatan dari seluruh instrumen yang ada.
Demikian juga jika dilihat dari formasi duduk, gendang singindungi selalu di
sebelah kanan sarune, begitu juga dalam formasi berdiri kekerabatan dalam
upacara kematian kalimbubu harus di sebelah kanan anak beru.
Gendang singanaki berperan sebagai senina. Senina dalam kekerabatan
etnik Karo adalah pihak yang selalu mewakili sukut/sembuyak dalam segala hal
untuk mengontrol kesuksesan sebuah upacara. Sukut/sembuyak akan selalu
menyampaikan sesuatu ke senina-nya sebelum disampaikan ke Tuhan yang
kelihatan, yaitu kalimbubu. Begitu juga halnya gendang singanaki dalam ensambel
gendang lima sedalanen. Apa yang mau dilakukan oleh sarune, misalnya
mengganti sebuah bentuk melodi, gendang singanaki yang akan menyampaikan
Sebagai
representasi
spiritualitas
pramodern
etnik
Karo
dengan
dan
hubungannya
dengan
sistem
kekerabatan,
sebagaimana
melodis dikenal dengan istilah ngerenggeti (cengkok). Sebelum acara adat dalam
upacara gendang kematian dimulai, singerunggui (protokol) dalam upacara
tersebut, meminta kepada sierjabten (pemain gendang) agar memulai dengan
buangken gendang (musik dimainkan tanpa ada penari). Gendang ini untuk tenditendi (roh-roh) yang ada di sekeliling tempat upacara dilakukan. Menurut Darwan
Tarigan, jika hal ini tidak dilakukan, keberlangsungan upacara dapat terganggu
oleh tendi-tendi yang ada di tempat upacara tersebut. Sebelum tahun 1980-an hal
ini masih tetap dilakukan, tetapi kini tidak dilakukan lagi karena tidak sesuai
dengan ajaran agama yang dianut oleh orang Karo (Wawancara, 20 September
2012).
Secara umum gerakan melodi gendang lima sendalanen dalam upacara
gendang kematian etnik Karo disesuaikan dengan kata-kata, tangisan/ratapan, dan
nyayian yang diungkapkan. Pada dasarnya melodi yang dimainkan, yaitu melodi
pendek, dan selalu terjadi pengulangan. Ada beberapa jenis lagu dalam
pengulangan tersebut, yaitu penarune (pemain sarune) akan melihat reaksi-reaksi
dari keluarga yang meninggal dalam upacara, seperti tangisan suami/istri orang
yang meninggal, maka nada-nada yang digunakan juga nada yang tinggi. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa melodi dalam gendang lima sendalanen
secara umum hanya diulang-ulang (repetisi). Melodi yang lazim ditemukan pada
ensambel ini seperti di bawah ini.
Gambar 7.3
Melodi sarunei pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar 7.3 menunjukkan modus pentatonis (sistem lima nada), yang
digunakan untuk melodi ensambel gendang lima sendalanen pada upacara
gendang kematian. Nada-nada yang digunakan yaitu mi-fa-la-si do (3-4-6-7-1).
Menurut Kebun Tarigan, semua unsur yang ada dalam gendang lima sendalanen,
baik materi instrumen maupun bunyi yang dihasilkannya, tidak terlepas dari
hubungannya dengan sistem kemasyarakatan yang ada pada etnik Karo. Jumlah
lima nada yang dimainkan menggambarkan bahwa masyarakat Karo mempunyai
lima merga (Wawancara, 6 Juni 2012).
Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa sarune adalah
insrumen musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Menurut Rumengan,
musik adalah satu sumber daya bunyi. Bunyi merupakan akibat dari satu gesekan,
pukulan, tiupan (sarune), atau persentuhan antara satu benda dengan benda yang
lain. Karakter bunyi sangat ditentukian oleh jenis bahan dan cara bagaimana bahan
tersebut digunakan untuk menghasilkan bunyi yang dimaksud (Rumengan, 2010:
61). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa musik pada etnik Karo dapat
dikatakan sebagai sumber pengetahuan. Selain itu mungkin sebagai pelestarian
Gambar 7.4
Ritmis gendang singanaki pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Dengan menggunakan istilah musik Barat, notasi ini ditulis dalam garis
para nada tanpa tanda kunci karena ritmis pada gendang singanaki tidak besifat
melodis. Pada baris pertama tampak jelas bahwa
berjumlah lima atau delapan buah setiap birama yang sebenarnya mewakili lima
merga dan tutur siwaluh yang terdapat pada etnik Karo. Jika ditinjau lebih jauh
bagaimana cara memainkan tang pada gendang singanaki, yaitu seperti memukul
sesuatu dan ketika pukulan itu mengenai sesuatu itu, pemukulnya langsung
berpisah sehingga bunyi didengar lebih lama (reveb). Di pihak lain
yang
berbunyi ck, dipukul dengan melengketkan stik pada instrumen tersebut seperti
melengketkan sesuatu dan selalu berjumlah tiga dalam satu birama atau tiga nada
yang bergandengan. Inilah yang mewakili rakut sitelu pada sistem kekerabatan
etnik Karo.
Pada baris kedua melodi di atas, digambarkan bahwa pada etnik Karo
terutama pada sistem kekerabatannya terdapat variasi, seperti sub-sub yang ada
pada sembuyak, yaitu sipemeren, kalimbubu seperti puang kalimbubu dan anak
beru seperti anakberu minteri dapat tergambar dari baris kedua dan baris ketiga
melodi sarune di atas.
Gambar 7.5 menunjukkan ritmis yang terdapat pada gendang singindungi
dalam ensambel gendang lima sendalanen yang menjadi salah satu unsur pada
upacara gendang kematian etnik Karo. Variasi ritmis dalam gendang singindungi
digambarkan dan ditelaah sebagai berikut.
Gambar 7.5
Ritmis gendang singindungi pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Seperti yang diungkapkan oleh Darwan Tarigan bahwa ritmis gendang
singindungi berfungsi untuk mempertegas bagaimana pentingnya rakut sitelu pada
etnik Karo. Hal ini berarti bahwa apa yang dimainkan dalam gendang singindungi
ini merupakan variasi dari variasi kehidupan yang terdapat pada sangkep nggeluh
yang ada di masyarakat Karo (Wawancara, 26 juni 2013). Penjelasan tersebut
menunjukkan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada yang berjumlah dua belas.
Jadi, dari bunyi yang dimainkan atau didengar pada ensambel gendang lima
sendalanen, baik dari sisi melodi maupun sisi ritmis, merupakan
sistem
kekerabatan etnik Karo yang disebut sangkep nggeluh yaitu merga silima, rakut
sitelu, tutur siwaluh, dan perkade-kaden sepuluh sada tambah sada.
Gendang lima sendalanen adalah musik dan musik adalah seni. Menurut
Sumardjo, nilai seni adalah nilai yang dialami, baik intrinsik maupun nilai
ekstrinsiknya. Nilai itu hadir lewat medium intrinsiknya yang distruktur oleh nilai
ekstrinsik yang ingin disampaikan. Karena nilai seni dihayati secara konkret, maka
nilai seni tidak dapat direduksi lewat kesadaran rasional. Meskipun demikian,
kesadaran rasional dapat memperjelas nilai pengalaman seninya (Sumarjo, 2006:
96).
Terkait dengan pernyataan di atas meskipun penganak dan gung tidak
berperan sebagai pembawa ritmis variasi dalam ensambel gendang lima
sendalanen, mengandung nilai intrinsik melampaui instrumen yang lain dalam
ensambel tersebut. Melodi pada sarune, ritmis pada gendang singindungi dan
singanaki tidak akan ada manfaatnya jika tidak ada penganak dan gung. Penganak
dan gung berfungsi sebagai ritmis konstan dalam ensambel gendang lima
sendalanen. Gambar 7.6 menunjukkan ritmis yang diperani oleh penganak dan
gung. Setiap birama menujukkan jumlah bunyi penganak dimainkan, dan nilai
ketukan satu kali gung lebih besar nilai ketukannya dibandingkan dengan bunyi
penganak.
Gambar 7.6
Ritmis gung dan penganak pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar 7.6 adalah partitur bunyi dari suara penganak dan gung. Dalam
ensambel gendang lima sendalanen bunyi yang paling sedikit dimainkan adalah
bunyi penganak dan bunyi gung. Jika bunyi penganak dalam satu birama sebanyak
dua ketukan, maka gung hanya satu ketukan. Meskipun bunyi gung paling sedikit
terdengar dalam ensambel ini, gung dipercaya orang Karo sebagai keputusan akhir
dari sebuah kesepakatan. Hal ini, terwujud dari peribahasa atau kuan-kuan pada
etnik Karo,yaitu kata kalimbubu emekap kata gung (keputusan kalimbubu atau
Tuhan yang terlihat adalah keputusan yang harus dilaksanakan). Penjelasan di atas
adalah uraian kekerabatan pada masyarakat Karo yang ada pada upacara gendang
kematian.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa etnomusikologi mencurahkan
perhatiannya untuk mengumpulkan fakta-fakta kemudian mencari penyelesaian
masalah-masalah mendasar di dalam hubungan dengan studi tentang musik
sebagai bagian dari budaya manusia. Menurut Merriam, hal ini ditekankan di
dalam literatur etnomusikologi yang cenderung untuk mengarahkan perhatiannya
terhadap analisis suara-suara musik dan menghubungkan dengan matris
budayanya. Di samping itu, juga terhadap deskripsi fisik instrumen-instrumen
musik sebagai bentuk fisik dan mengadakan analisis tentang musik itu dan apa
peranannya di dalam masyarakat (Merriam, 1995: 91). Selanjutnya akan ditelaah
makna representasi spiritual melalui landek (menari).
Makna representasi spiritualitas etnik Karo melalui landek diawali dengan
makna landek dalam konteks guro-guro aron (upacara muda-mudi). Landek (tari)
merupakan seni tubuh berdasarkan irama, gerakan, dan isyarat yang saling
terhubung melalui pola dan gagasan musik. Menurut Danesi, tari memiliki lima
fungsi dalam kehidupan manusia. Pertama, tari dapat menjadi bentuk komunikasi
estetis, mengekspresikan emosi, suasana hati, atau gagasan, mengisahkan suatu
cerita. Balet Barat merupakan contoh tarian estetis. Kedua, tarian dapat menjadi
bagian ritual dan berfungsi komunal. Di Karo misalnya, tarian dalam upacra
gendang kematian. Ketiga, tari dapat menjadi sebentuk rekreasi dan memenuhi
berbagai kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial, atau hanya sekadar sebuah
pengalaman yang menyenangkan. Keempat, tari memainkan peran penting dalam
fungsi sosial. Setiap masyarakat memiliki bentuk tarian karakteristik, yang
dilangsungkan dalam acara-acara seremonial atau pada perkumpulan informal.
Seperti halnya makanan dan kostum tradisional, tarian membantu orang-orang
dalam sebuah bangsa atau kelompok etnis untuk memahami hubungan mereka satu
sama lain dan dengan leluhur mereka. Dengan menari bersama, para anggota
sebuah kelompok mengekspresikan perasaan adanya identitas bersama atau
keterlibatan. Kelima, tarian terutama penting selama masa pacaran dan inilah
alasannya mengapa tarian sangat populer di kalangan muda. Orang menari sebagai
cara menarik pasangan dengan menampilkan keindahan, keluwesan, dan vitalitas
mereka (Danesi, 2010: 87; Liembeng, 2009: 28).
Secara umum tari pada etnik Karo disebut landek. Dalam budaya Karo,
penyajian landek tergantung pada konteks atau bersifat kontekstual. Dengan kata
lain, keberadaan landek ditentukan oleh konteks penyajiannya. Selain itu, setiap
gerakan dalam landek pada etnik Karo juga berhubungan dengan simbol-simbol
dan makna-makna tertentu. Gambar 7.7 berikut menujukkan gerakan dalam landek
pada upacara guro-guro aron (pesta muda-mudi) dalam kerja tahun (pesta
tahunan) etnik Karo.
8
9
Gambar 7.7
Makna simbol-simbol landek dalam upacara gendang guro-guro aron
(Dokumen: Pulumun P. Ginting 23 Juni 2012)
Gambar 7.7 menunjukkan bahwa setiap gerakan landek yang ada pada
etnik Karo dimaknai sesuai dengan konteksnya. Menurut Kumalo Tarigan,
beberapa makna gerakan dalam landek pada masyarakat Karo adalah (1) gerakan
tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur
(berpikir) posisi landek seperti ini
memutuskan sesuatu; (2) gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke
bawah melambangkan sisampat-sampaten (tolong-menolong) maknanya adalah
saling menolong dan saling membantu; (3) gerakan tangan kiri ke kanan ke depan
melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tidak
boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau jangan dekat sebelum
tahu merga dan beru; (4) gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan
perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah
untuk mencapai mufakat; (5) gerakan tangan ke atas melambangkan ise pe la
banci ndeher, siapa pun tidak bisa mendekat dan berbuat sembarangan; (6) gerak
tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak
melambangkan beren rukur, yang bermakna menimbang-nimbang sebelum
memutuskan, pikir dahulu pendapatan, jangan menyesal kemudian; (7) gerak
tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras
simenahang ras mbabasa, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung
akibatnya, sebagai rasa sepenanggungan; (8) gerakan tangan di pinggang
melambangkan penuh tanggung jawab; dan (9) gerakan tangan kiri dan tangan
kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur
ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun dia apabila sudah
berkenalan akan diterima dengan senang hati (Wawancara, 23 Juni 2012).
Pola-pola dasar landek etnik Karo terbentuk atas tiga unsur, yakni endek
(gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole
(goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan landek
Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan cemet jari (lentik jari).
Endek merupakan salah satu unsur penting dalam landek Karo. Endek
dibentuk dengan gerakan menekuk lutut ke bawah dan kembali lagi ke atas.
Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak ke atas dan ke bawah secara
vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (ritmis gung
dan ritmis penganak dalam gendang lima sendalanen yang sedang mengiringi).
Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan
sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam landek pada etnik Karo.
Odak atau pengodak adalah gerakan penari, baik ketika melangkah maju
dan mundur maupun melangkah serong ke kiri atau ke kanan. Odak harus dimulai
dengan gerakan kaki kanan dan dilakukan pada saat gung (gong) berbunyi. Dalam
gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas
harus tetap
dilakukan.
Maksudnya, ketika
penari
melakukan odak
berbeda-beda.
Landek
pada
etnik
Karo
dalam
Gambar 7.8
Landek dalam upacara gendang kematian pada masyarakat Karo
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 23 Juli 2012)
Tari komunal menekankan bahwa nilai sosial lebih penting daripada seni
(keindahan, hiburan), sehingga untuk berpartisipasi dalam suatu peristiwa tari
komunal seseorang tidak dituntut untuk memiliki kemampuan menari yang bagus
(Dibia, 2005: 3). Gambar 7.8 menunjukkan bagaimana etnik Karo menari pada
upacara gendang kematian. Bagi kelompok sukut, tarian ini merupakan tarian
penyambutan atau penghormatan kepada kalimbubu (Tuhan yang kelihatan) dalam
upacara tersebut. Setiap kerabat yang diundang akan mendapat giliran menari
sambil memberikan kata penghiburan yang selalu berhadap-hadapan dengan pihak
sukut. Sebaliknya, bagi kelompok tamu, tarian ini merupakan aktivitas pembuka
sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasihat)
kepada keluarga yang memiliki hajatan.
Landek dalam konteks upacara gendang kematian merupakan sebuah tarian
komunal yang menjadi representasi spiritualitas etnik Karo dalam hal persamaan
derajat atau suatu kontak antara orang kaya dan orang miskin, orang kota dan
orang desa dari suatu garis keturunan atau kekerabatan. Landek dalam konteks ini
tidak ada kaitannya dengan keindahan tubuh seperti yang terjadi pada landek
dalam upacara gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi). Di samping itu,
landek juga dilakukan dalam konteks ritual, seperti memanggil roh perumah begu.
Pernyataan diatas didukung oleh Sumardjo, seni pramodern tidak
memperhitungkan bagus atau tidak bagusnya penampilan seninya, tetapi justru
selamat atau tidak selamatnya selama upacara pertunjukan. Seorang penari yang
keseleo bukan saja merusak estetika, tetapi yang lebih gawat dapat merusak
upacara yang berakibat ketidakselamatan (musibah kemudiannya). Kain upacara
yang sobek dapat membuat sipemakainya tidak dapat tidur berhari-hari, menebaknebak malapetaka yang akan menimpanya. (Sumarjo, 2006: 95).
satu objeklukisan bagus yang menggambarkan wajah yang jelek masih indah
dari segi estetika (Danesi, 2010: 89).
Di samping itu pada upacara gendang kematian etnik Karo tidak bisa terlepas dari
kata penghiburan atau petuah-petuah yang disebut dengan nuri-nuri. Etnik
merupakan sekelompok orang yang terorganisasi, hidup, dan bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan. Artinya, etnik memiliki organisasi dan aturan-aturan untuk
berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Etnik dan kebudayaan
tidak bisa dipisahkan. Keduanya merupakan konsep yang saling tergantung. Jadi,
etnik merupakan pendukung kebudayaan. Wujud kebudayaan yang berupa polapola aturan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat akan tampak pada
pelaksanaan adat istiadat atau tradisi mereka. Etnik yang menetap pada suatu
daerah akan secara otomatis membentuk atau memiliki norma-norma, sopan
santun, dan aturan.
Upacara gendang kematian etnik Karo tidak terlepas dari norma-norma dan
aturan pada pelaksanaan upacara tersebut. Nuri-nuri sebagai sebuah aturan untuk
berhubungan satu sama lain terwujud dari penyampaian kata-kata belasungkawa,
mengenang hubungannya selama ini dengan yang meninggal atau nasihat
meneguhkan hati pihak keluarga yang ditinggalkan almarhum.
Nuri-nuri diambil dari kata dasar turi. Prinst (2010: 677) menyatakan turi
(tentang peristiwa, hikayat) cerita, kata, kisah, uraian, nuri-nuri bercerita. Nurinuri adalah kata-kata atau kalimat yang diutarakan dengan dialek tertentu, yakni
berbentuk ratapan oleh pihak keluarga pada upacara gendang kematian yang
berisikan kata pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran, atau nasihat). Pada
proses ini diiringi oleh gendang yang bernanda sendu dan lemah gemulai serta
diikuti dengan menari.
Nuri-nuri dilakukan untuk menyampaikan dan menceritakan sesuatu hal
oleh pihak kerabat yang berduka, kadang-kadang sambil menangis, disampaikan
dengan iringan gendang lima sendalanen. Apabila diperhatikan, berbentuk syair
lagu, yakni syair kesedihan hati yang dalam pelaksanaannya dilakukan sambil
menari. Makna yang terkandung pada nuri-nuri yang diutarakan oleh sangkep
nggeluh pada dasarnya berisikan hal yang hampir sama. Nuri nuri adalah kata-kata
atau kalimat yang diutarakan pada upacara gendang kematian yang berisikan kata
pengapul (kalimat hiburan, kalimat ajaran atau nasihat). Pada proses ini akan
diiringi oleh gendang lima sendalanen sambil menari.
Makna spiritualitas etnik Karo melalui nuri-nuri dapat dipaparkan
sebagaimana sukut ketika mengungkapkan ungkapan yang disampaikan dengan
maksud supaya adanya saling menghormati antar seluruh kekerabatan pada
keluarga. Pihak sukut (yang mempunyai hajatan) kemudian nuri nuri seperti
Perpulungen si erceda ate, gia iluh ibas mata...kalimbubu sinihamati kami
sembuyak senina kami, bagaipe siningkelengi kami anak beru kami sada pe la
ketadingen. Jadi ibas paksa enda kita sangana erceda ate, ngerana ka aku
Artinya
saudara-saudari
yang
ikut
berduka
cita,
meskipun
air
mata
semua anak beru yang kami kasihi, hari ini kita semua berduka, atas meninggalnya
orang tua yang kami kasihi
Nuri-nuri
seorang sukut mau mengasihi kalimbubu dan anak beru dan menyapa dengan
hormat. Kata salam yang diucapkan oleh pihak sukut pada umumnya disampaikan
terdahulu kepada kalimbubu atau puang kalimbubu keluarga yang berduka,
kemudian kepada senina/sembuyak dari kalimbubu itu sendiri, selanjutnya kepada
anak beru, anak beru minteri, dan dilanjutkan kepada seluruh yang hadir.
Anak beru meminta kalimbubu dari sukut (yang mempunyai hajatan) nurinuri dengan tujuan ingin mencapai sesuatu dari anak beru-nya. Dalam hal ini
adalah meminta supaya anak beru (bere-bere) agar tidak pecah berai bersaudara,
mengutamakan diskusi untuk mengambil keputusan keluarga, dan sebagainya.
Ucapan
meminta ini tidak hanya ditujukan kepada yang masih hidup saja,
adalah perempuan (ibu) karena yang meninggal tidak lain adalah saudara
perempuan kalimbubu itu sendiri. Selain itu, ungkapan menyarankan pada
umumnya disampaikan oleh pihak puang kalimbubu. Hal ini dilakukan karena
posisi puang kalimbubu adalah posisi yang tugasnya hanya menyarankan tidak
sebagai pemberi keputusan.
Dalam nuri-nuri saran disampaikan tidak hanya kepada saudara yang
ditinggalkan, tetapi juga ditujukan untuk almarhum. Hal ini disebabkan oleh orang
Karo percaya ketika orang meninggal hanya badannya yang mati, sedangkan jiwa
atau rohnya tetap hidup dan ada di sekitar keluarga yang ditinggalkan.
Petuah dan saran dari kalimbubu bertujuan untuk memberi masukan
kepada anak beru. Petuah ini tidak hanya disampaikan kepada saudara yang
ditinggalkan almarhum, tetapi juga ditujukan kepada yang meninggal, juga
disampaikan kepada saudara orang yang meninggal terlebih kepada saudara
perempuan (apabila yang meninggal adalah perempuan). Hal ini penting karena
saudara perempuan yang ditinggalkan tersebut dituntut sebagai pengganti ibu bagi
anak yang ditinggalkan saudaranya.
Nuri-nuri yang diucapkan oleh kalimbubu kepada kalimbubunya (puang
kalimbubu oleh yang berduka) karena telah diberikan kesempatan berbicara dan
menyampaikan ucapan belasunggkawa kepada saudaranya. Petuah-petuah juga
disampaikan oleh kalimbubu karena kalimbubu adalah jabatan adat yang tertinggi.
Di pihak lain, jabatan yang dijabat oleh kalimbubu tersebut adalah jabatan yang
tidak tetap. Artinya, jabatan adat di acara adat di satu keluarga akan berbeda bila
dia menghadiri acara adat di keluarga yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh
hubungan kekeluargaan. Untuk memulai pembicaraan pada upacara gendang
kematian biasanya dimulai dengan ucapan terima kasih kepada Simada Tinuang
(Tuhan), dan kemudian kepada kalimbubu, sembuyak, dan anak beru. ucapan
berterima kasih juga akan kembali diucapkan pada saat mengakhiri penyampaian
nuri-nuri.
Nuri-nuri yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru pada
umumnya berisikan bahwa pihak kalimbubu juga ikut merasakan akan kehilangan
orang yang dikasihi tersebut. Hal ini akan sangat jelas tampak apabila yang
meninggal adalah perempuan (si ibu), karena ibu merupakan saudara perempuan
dari kalimbubu. Sehingga nuri-nuri akan berisi bahwa kalimbubu juga merasa
sangat kehilangan. Nuri-nuri ini disampaikan dengan maksud agar saudara yang
ditinggalkan tidak merasa bahwa hanya mereka yang kehilangan, tetapi pihak
kalimbubu pun merasa kehilangan. Ini diceritakan dengan makna bahwa adanya
keterikatan hati dan batin antara kalimbubu dengan saudara yang ditinggalkan
Nuri-nuri lainnya, yaitu memperingatkan. Nuri-nuri ini diucapkan oleh
kalimbubu dengan tujuan memperingatkan anak beru (yang berduka) supaya
bertindak benar dan tidak membuat kesalahan dalam hidupnya, yaitu
mengutamakan kebenaran dan mematuhi adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat Karo. Upaya mematuhi adat merupakan hal yang paling penting
karena adat merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi yang sangat
bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Nuri-nuri sebagai sebuah peringatan
dalam hal ini merupakan pemberian nasihat kepada anak beru supaya tidak terlalu
lama larut dalam kesedihan dan memperingatkan agar hidup seperti biasanya.
Selain itu, juga memperingatkan supaya bertindak yang bardasarkan aturan yang
berlaku.
Petuah-petuah yang disampaikan oleh kalimbubu kepada anak beru
berisikan bagaimana tentang kejadian yang di hadapi sebelum meninggalnya orang
yang dicintai. Dalam hal ini menjelaskan bahwa kejadian ditinggalkan orang tua
tidak hanya dialami mereka, tetapi dialami semua orang, hanya dibedakan oleh
waktu. Nuri-nuri ini mejelaskan bagaimana orang-orang yang mengasihi orang
yang meninggal dalam merawat dan menjagai sebelum akhirnya meninggal. Oleh
sebab itu, jasa-jasa yang menjagai tersebut haruslah dihargai dan menjadi sebuah
pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Dalam upacara gendang kematian etnik Karo, semua sangkep nggeluh akan
mendapat giliran waktu untuk nuri-nuri.
sebagai Dibata si idah (Tuhan yang kelihatan) menjadi fokus dalam nuri-nuri ini.
Oleh sebab itu dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa isi,
makna dan tujuan nuri-nuri pada dasarnya berupa kalimat untuk memberikan
keteguhan hati, yakni tuturan duka cita, menjelaskan, menyarankan, meminta, dan
memperingatkan.
Kalau nuri-nuri merupakan sebuah ujaran bagi sangkep nggeluh, maka
ngandung cenderung ditujukan kepada almarhum. Ngandung yang artinya
meratap berbeda dengan menangis seperti biasanya. Meratap dalam bahasa Karo
disebut ngandung. Ngandung ialah menangis sambil menceritakan hal-hal yang
dijalanai dengan sang almarhum, baik bentuk tindakan maupun percakapan yang
terakhir dilakukan.
Suatu hal yang tidak perlu diajarkan pada manusia adalah menangis,
sedangkan hal-hal lain seperti senyum atau tertawa memakan waktu yang relatif
lama.
ngandung. Ketika seseorang meninggal akan selalu ada yang ngandung sampai
mayat diantar ke kuburan. Dari pihak sukut yang ngandung dapat diketahui seperti
apa yang meninggal ketika masih hidup dan bagaimana dia bisa meninggal. Salah
satu makna ngandung dalam upacara gendang kematian adalah jika sebelumnya
persoalan dalam keluarga meskipun sudah lama berlalu, misalnya persoalan
saudara kandung, dapat berdamai ketika salah seorang ngandung dan meratap
dalam upacara tersebut.
Seperti yang diungkapkan Njenap Ginting, inti ngandung pada upacara
gendang kematian adalah hanya mempersatukan keluarga yang sebelumnya retak
dengan bantuan roh (pertendin) orang yang meninggal.
Aku enggo lawes nadingken kena nakku, bage nge nindu bapa. Lanai aku
man kep-kepen kena, lanai aku man sulangen ras man tunggahen kena,
aku nggo malem ateku bage nge nindu e bapa. Kelengi nande kena e, alu
ersada arih kena anak-anakku kerina, gia lit gel-gel perubaten sanga aku
nggeluh denga gundari nge paksana kam sialem-alemen kerina senina ras
turangndu e anakku bage nge nindu bapa
(Aku telah pergi meninggalkan kalian anakku, itu yang engkau ucapkan
bapak. Tidak perlu lagi kalian mengurus aku, tidak perlu menyuap dan
memberiku minum, sudah selasai pekerjaan dan tanggung jawabku, itu
penyanyi
ataupun vokalis (sirende), baik pria maupun wanita. Istilah yang digunakan pada
awalnya untuk vokalis tersebut adalah perende-rende, kemudian digunakan istilah
permangga-mangga yang populer sampai tahun 1930-an. Menurut Ngambat
Ginting, sekitar tahun 1950-an istilah permangga-mangga kembali berubah
menjadi perkolong-kolong. Kolong- kolong awalnya adalah sebuah judul lagu
(gendang) yang sangat sering ditampilkan dan dinyanyikan sehingga pada saat itu
sangat populer. Oleh sebab itulah, kemudian penyanyi (vokalis) pada masyarakat
diselenggarakan setahun sekali dengan gendang guro-guro aron (pesta mudamudi) yang melibatkan bapa aron (pemuda), nande aron (pemudi), pemusik, dan
perkolong-kolong sebagai hiburan bagi masyarakat. Perkolong-kolong adalah
penyanyi sekaligus penari yang berfungsi sebagai hiburan dalam upacara kerja
tahun tersebut. Mereka adalah seniman profesional (laki dan perempuan, yang
juga tidak boleh semarga) yang diundang dan dibayar masyarakat. Mereka
menyanyi (kadang sambil menari) mengiringi tarian adat guro-guro aron (mudamudi). Di situ, fungsi perkolong-kolong sama dengan pemusik dan mereka disebut
sierjabaten untuk menciptakan suasana agar aron atau siapa pun yang menari
merasa puas. Ketika perkolong-kolong menari, seolah ada kontes antara penyanyi
perempuan dan laki-laki (adu perkolong-kolong), penonton menilai penari yang
lebih bagus membawakan nyanyiannya. Ketika seorang perkolong-kolong tidak
bisa mengikuti lagi gerak/nyanyian dari pasangannya, penonton menyoraki.
Namun, demikian jika kedua penari sama pandainya, sama baiknya, penonton pun
menyukainya. Penilaian penonton kepada perkolong-kolong ditujukan pada aspek
teknik, keterampilan atau kelenturan tubuh, kualitas suara, dan kedalaman
kesenimanannya. Perkolong-kolong ini ditampilkan (adu) di atas pentas. Kadang
kala perkolong-kolong ini akan menampilkan bentuk dialog, bahkan juga sering
bercanda atau lawakan lewat pantun yang berisi sindiran (sitokoh-tokohen) yang
mengundang tawa penonton.
Dalam kerja tahun fungsi perkolong-kolong adalah sebagai hiburan bagi
orang yang hadir. Perkolong-kolong dipilih sesuai dengan hasil musyawarah dan
pilihan masyarakat. Kegiatan kerja tahun itu dilaksanakan di jambur. Jambur
adalah suatu wadah bagi masyarakat Karo sebagai tempat pertemuan dan tempat
pelaksanaan kegiatan-kegiatan, misalnya tempat upacara perkawinan, upacara
kematian, dan sebagainya. Perkolong-kolong ketika adu sangat berbeda dengan
landek simanteki kuta, bapa aron, nande aron, kalimbubu kuta, anak beru kuta,
pengurus kuta dan pulu aron. Dalam adu ini perkolong-kolong akan menunjukan
kebolehan, kelincahanya menari, menyanyi, melawak dan perkolong-kolong juga
harus dapat mengendalikan suasana yang sedih menjadi gembira sehingga orangorang tertawa.
Kemampuan kesenimanan inilah yang menjadi ukuran bagi masyarakat
untuk mengundang mereka. Akan tetapi, menentukan siapa yang menang atau
kalah bukanlah tujuan utama. Yang lebih penting adalah bagaimana pertunjukan
itu menjadi menarik dan menyenangkan. Tujuan perkolong-kolong pun tidak untuk
saling mengalahkan, tetapi untuk menghibur. Biasanya mereka berpura-pura kalah
untuk menyegarkan penonton. Jadi, pengertian kontes atau perlombaan di sini
berbeda sekali dengan lomba-lomba kesenian pada umumnya.
Berbeda perkolong-kolong dalam konteks upacara guro-guro aron mudamudi dengan konteks ritual seperti upacara gendang kematian. Perbedaan dalam
hal ini bukan orangnya atau penyanyinya. Perbedaannya terkait dengan repertoar
lagu yang dibawakannya. Yang termasuk dalam nuri-nuri adalah juga kata-kata
atau kalimat yang dilontarkan oleh perkolong-kolong (penyanyi yang disewa) pada
upacara gendang kematian, yaitu berbentuk ratapan. Berbeda halnya pada upacara
pernikahan. Kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong
disebut masu-masu (mendoakan ). Apabila diperhatikan, akan sama pada upacara
gendang kematian. Namun di sini bedanya adalah isi kata-kata atau kalimat yang
dinyanyikan. Pada upacara kematian kata-kata atau kalimat yang dinyanyikan
berbentuk ratapan/kesedihan akan ditinggalkan oleh yang meninggal serta nasehat
pada keluarga yang ditinggal. Di samping itu, juga sama halnya kata-kata yang
diutarakan oleh pihak keluarga pada upacara pernikahan disebut masu-masu
(pemberkatan/doa-doa).
Sesuai dengan apa yang diungkapkan Merriam bahwa wilayah perhatian
etnomusikologi adalah studi tentang teks nyanyian. Studi ini meliputi studi teks
sebagai peristiwa linguistik, hubungan antara linguistik dan suara musik, dan
masalah-masalah isi yang diungkapkan oleh teks tersebut. Masalah hubungan
antara teks dan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena
manfaatnya yang jelas. Teks nyayian mengungkapkan tingkah laku literer yang
dapat dianalisis dari segi struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung
mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian. Di samping itu, kadangkadang, seperti pada nama-nama pujian atau bahasa-bahasa signal kendang, teks
tersebut merupakan bahasa rahasia yang hanya diketahui oleh sekelompok
tertentu masyarakat. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih
lentur daripada bahasa harian. Bahasa tersebut juga tidak hanya mengungkapkan
proses kejiawaan seperti pengenduran tekanan, tetapi juga memuat informasi
tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan.
Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai
yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan
terpaksa di dalam ungkapan harian. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada
kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu budaya atau terhadap
suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman tentang tingkah laku ideal
dan nyata sering dapat
digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk
menanamkan nilai-nilai, dan cara untuk mebudayayakan generasi muda (Merriam,
1995: 100-101).
Atas dasar penjelasan di atas teks nyanyian pada upacara gendang
kematian masyarakat Karo dapat dinyatakan sebagai berikut.
dagei nande beru Ginting, apai nge kata lebe kubelasken ibas
penenahkenndu sangkep ngeeeluh si la erpudun e, belasken nakku beru
Karo, kataku man sambar gancihku e, bage nge nindu nande, adi aku nggo
me malem ateku lanai lit si mesuiku. Emaka ersada lah kerina arihndu
sambar gancihku e, mejuah-juah kam kerina kutadingken, sangap ras
ndeher rejikindu ngarak-ngarak kempuku sienterem e, bage nge nindu
nande
( Ibu beru Ginting, apa yang mesti aku nyanyikan, ibu undang kami tanpa
janji dan pemberitahuan, katakan anakku sekarang aku bahagia dan tidak
merasa mengalami sebuah penyakit dan juga tidak merasa sakit. Oleh
sebab itu, bersatulah kalian semua yang menggantikan aku, damai sejahtera
aku tinggalkan, murah rejeki dan semua cita-cita cucu yang aku tinggalkan
untuk
mendominasi,
menundukkan,
menguasai,
dan
musik Barat yaitu keyboard. Kepiawaiannya terbukti ketika dia mendesain nada
alat musik tradisi pada keyboard. Persis sekali, sehingga keyboard bisa mewakili
komponen alat musik tradisi. Dia juga mendesain tempo, timbre (warna suara)
setiap bagian dari repertoar musik tradisi gendang lima sendalanen sehingga tetap
bisa ditarikan sesuai dengan tuntutan tempo.
Kepraktisan keyboard dan kemudahan mempelajarinya membuat alat
musik ini semakin kokoh. Belum lagi dengan kemudahan memainkan berbagai
genre lagu dengan dibubuhi suara-suara alat musik dan tempo tradisi sehingga
banyak lagu terkesan menjadi lagu Karo. Keyboard makin populer tatkala
biayanya lebih murah daripada memanggil seperangkat alat musik tradisi. Seingat
penulis, beberapa tahun lalu masyarakat Karo masih sungkan menggunakan
keyboard dalam upacara gendang kematian, musik tradisi masih menjadi panutan.
Akan tetapi, kini orang Karo tidak peduli, mau pesta meriah ataupun upacara
kematian keyboard kerap jadi pilihan. Sebagian orang Karo mengakui biayanya
terlalu mahal jika harus menghadirkan alat musik tradisi dalam sebuah upacara
etnik Karo. Seri nge ras gendang lima sendalanen, regana ndauh murahen (sama
suaranya dengan gendang lima sendalanen), begitulah alasan mereka.
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa, musik tradisional etnik Karo
dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu, melodi, ritmis konstan, dan ritmis variasi.
Melodi biasanya terdiri atas satu buah lagu yang disajikan, baik dengan instrumen
maupun vokal. Di pihak lain, dalam ritmis variasi bebas artinya dapat bervariasi
terus-menerus. Gendang singanaki berpola untuk mengikuti tempo yang biasanya
digunakan untuk memertahankan ketukan. Gung dan penganak sebagai pola ritmis
tetap.
Pola ini bertahan ataupun tetap demikian di dalam semua repertoar musik
tradisional Karo yang terdapat dalam ensambel gendang lima sendalanen. Bila
diperhatikan,
dalam
repertoar
tersebut
terdapat
harmonisasi.
Pengertian
akrab dengan musik Barat kehadiran akord dalam penyajian musik tradisional
Karo memberikan nilai tambah dalam arti lebih memuaskan dirinya.
Demikian juga instrumen-instrumen musik tradisi Karo biasanya tidak
banyak menghasilkan nada. Artinya, dalam garapan melodi terbatas pada nadanada yang dapat diproduksi dari alat musik itu sendiri. Di sisi lain pengaruh
harmonisasi keyboad terhadap musik gendang lima sendalanen dapat dilihat
dengan pemilihan warna suara yang diinginkan. Biasanya suara gendang yang
dihasilkan musik Karo apabila pemain keliru bisa menghasilkan suara yang bukan
seperti semestinya. Artinya, keyboard merupakan alat yang mempermudah
sekaligus mengurangi biaya dibanding dengan alat musik tradisional Karo yang
asli. Dengan demikian, alat musik keyboard yang dikenal oleh masyarakat di luar
masyarakat Karo sendiri dengan sebutan kibod Karo menjadi sangat populer di
seluruh pelosok Sumatera Utara, bahkan keluar provinsi. Hal ini merupakan
representasi spiritualitas baru bagi masyarakat Karo dengan julukan gendang
kibot Karo.
Sekarang ini, seringkali manusia menyingkirkan benda-benda seni tua
karena tidak ada relevansinya lagi untuk hidupnya. Ini disebabkan cara membaca
benda seni mereka adalah cara baca masyarakat sekarang. Kalaupun ada bendabenda seni masa lampau yang masih punya daya tarik pada masa sekarang, maka
daya tarik itu lebih disebabkan karya-karya itu masih terbaca dalam cara manusia.
(Sumarjo, 2006: 2).
untuk
menunjukkan
identitas.
Dengan
kata
lain,
kehadiran
7.1.3
sosial-budaya lainnya, karena ia terkait secara erat dengan unsur terdalam (batin)
dari pengalaman manusia. Sekalipun begitu, penampakan praktiknya seringkali
begitu kasat mata, karena ia menjadi bagian ritual kehidupan sehari-hari. Karena
itu, kalau selama ini perbincanagan tentang agama, spiritual, atau spiritualitas
senantiasa dikaitkan dengan sesuatu yang diatas, sesuatu yang melampaui rasio
atau nalar, sesuatu yang dikaitkan dengan hal-hal yang adikodrati, sehinggga
dalam bahasa teologi sering disebut sebagai agama langit, maka sesungguhnya
praktik agama, spiritual, atau spiritualitas itu adalah sesuatu yang senantiasa hadir
di bumi, suatu fenomena yang dinamis sebagai realitas budaya dalam suatu
masyarakat (Subandi, 2007: 153).
Spiritualitas postmodern akan menciptakan sikap-sikap baru. Ia juga
berpikir tentang Tuhan dari pemikiran Abad Pertengahan dan modern awal. Bagi
kita yang tidak bisa melepaskan hubungan antara kata ini dengan citra rasa masa
lalu, kata Tuhan ini tidak perlu digunakan, paling tidak untuk sementara. Mungkin
yang lebih baik sebutan yang kita pakai adalah Realitas Suci. Realitas Suci adalah
Sang Pencipta kita, tetapi tidak dalam pengertian yang bersifat eksternal dan
sepihak. Realitas Suci ini merangsang kita dari dalam, mendorong kita untuk
menciptakan diri kita sendiri secara optimal. Realitas Suci menggerakkan kita
dengan memberi kita impian, bukan paksaan. Meniru Sang Realitas Suci ini
memberi orang lain berbagai pandangan yang dengannya mereka bisa
merealisasikan potensi-potensi mereka yang terdalam agara kreativitas mereka bisa
semakin meningkat. (Griffin, 2005: 194)
Meskipun
masyarakat
postmodern
masih
tetap
memiliki
dan
menunjukkan bahwa dalam semua relasi antar objek yang lebih mendasar adalah
sikap kerja sama, bukannya persaingan. Hubungan yang bersifat pemaksaan dan
persaingan memang ada, tetapi ini adalah sekunder. Memiliki kesadaran
postmodern adalah melihat dan merasakan keunggulan hubungan-hubungan kerja
sama, saling membantu, dan yang bukan pemaksaan. Suatu etika yang memiliki
wawasan tentang kesadaran semacam ini tidak akan melihat kekerasan sebagai
satu cara yang memuaskan demi tercapainya tujuan.
Untuk menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman yang mengalami
komodifikasi dan komersialisasi pada upacara gendang kematian etnik Karo
seperti saat ini, menurut Adlin yang kita butuhkan adalah ruang-ruang untuk
menghidupkan kembali kemampuan berkontemplasi dalam setiap aksi yang kita
lakukan. Karena dalam deraan masyarakat konsumer ini, betapa sering kebenaran
yang sederhana ini dilupakan, di mana manusia ingin melakukan kebaikan tanpa
terlebih dahulu menjadi manusia yang baik, ingin mengubah dunia tanpa terlebih
dahulu mengubah diri sendiri, memuji-muji aksi tetapi meremehkan kontemplasi.
(Adlin, 2007: 161).
Pernyataan di atas, terjadi pada upacara gendang kematian etnik Karo, di
mana unsur-unsur di dalamnya mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Suatu aspek mendasar dari spiritualitas
postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi kita, pandangan dunia kita,
secara pasti menentukan etika dan cara hidup kita. Oleh sebab itu, dari sudut
pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Kita tidak bisa mengatasi masalah yang ditimbulakan oleh cara-cara kita
mengatur kehidupan individu dan kelompok kita tanpa menolak pandangan dunia
yang mendasarinya.
Spiritualitas postmodern terus-menerus bersifat ekologis, dan memberikan
landasan filosofis dan teologis demi wawasan yang dipopulerkan oleh gerakan
ekologi. Ini sebenarnya menjadi landasan untuk suatu paradigma baru bagi kultur
kita, generasi-generasi kita dimasa depan akan tumbuh dengan suatu kesadaran
ekologis yang di dalamnya nilai dari semua objek dihargai dan saling keterkaitan
dari semuanya diakui. Kesadaran bahwa kita harus berjalan dengan hati-hati di
dunia, hanya memakai yang kita butuhkan saja, dan menjaga keseimbangan
ekologis demi sesama dan generasi-generasi masa depan, akan berupa akal sehat
(Griffin, 2005: 203).
Terkait dengan pernyataan di atas hendaknya etnik Karo dapat
merenungkan apa yang terjadi pada upacara gendang kematian saat ini. Tanpa
menyadari hakikat perenungan yang terus terancam dalam masyarakat konsumer
seperti saat ini, maka peneliti khawatir kebangkitan spiritualitas akan mudah
menjadi sekedar pendukung budaya konsumen, sehingga bisa jadi tidak banyak
membuahkan hasil yang bermanfaat bagi kemanusiaan, apalagi untuk menjawab
tantangan-tantanagan kemanusiaan di masa datang.
seni pada zaman modern dan postmodern ini lebih banyak berawal dari ekspresi
individu untuk menunjukkan identitas secara terbuka (Sugiartha, 2012: 297).
dari agama tradisi masyarakat Karo masih terasa kental sampai sekarang.
Sumardjo mengungkapkan bahwa dalam budaya tradisi pengalaman seni
merupakan pengalaman dengan daya-daya transenden yang dipercayainya. Dayadaya spiritual hadir dalam wujud medium simbol-simbol seni. Aktivitas
mendengarkan musik dapat berarti mengalami kehadiran yang transenden. Karena
yang transenden itu berasal dari luar pengalaman budaya, maka wujud seninya
juga tidak yang berasal dari budayanya. Namun, tanpa pengalaman budaya tak
mungkin yang transenden dapat dialami. Untuk itu, seni upacara menghasilkan
wujud paradoks antara yang dikenal dan tak diketahui dalam budaya suku supaya
yang transenden itu dapat dialami oleh manusia (Sumardjo, 2006: 97).
Selanjutnya menurut Sumardjo, spiritualitas tradisi adalah kesatuan
mikrokosmos dan makrokosmos, kesatuan yang imanen dengan yang transenden,
kesatuan dunia manusia dengan dunia roh dan dewa. Konsep kesatuan kosmos ini
hanya dapat diperoleh lewat sistem kepercayaan, dalam hal ini dapat dikatakan
agama asli Indonesia. Jadi, sumber pengetahuan manusia sekarang untuk
memahami estetika seni budaya mistis adalah pengetahuan tentang kepercayaan
asli yang kini masih tersisa, ditambah dengan metode perbandingan dan data
tertulis pada masa lampau (Sumardjo, 2000: 323).
Manusia ditentukan oleh hubungannya dengan lingkungan. Akan tetapi,
dari hubungan-hubungan ini setiap saat manusia menciptakan dirinya dalam hal
keinginan, tujuan, nilai, dan makna yang dimiliki singkatnya dari spiritualitas kita.
Karena unsur-unsur otonomi ini setiap individu tidak hanya dibentuk oleh
lingkungannya, tetapi juga membentuk lingkungannya sendiri. Modernitas adalah
media pembentuk yang saling berpengaruh dalam menentukan sikap sebuah
masyarakat.
Atas dasar penjelasan di atas Griffin mengungkapkan bahwa modernitas
menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri
individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang
utama dengan individu (yang sebagian saja otonom) sebagai produknya, tetapi
menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu bebas yang secara
sukarela bergabung dengan tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja modernitas harus
mengakui bahwa tetap ada hubungan tertentu, khususnya hubungan dengan orang
tua, yang sangat dasariah, tetapi hubungan semacam ini dianggap hanya sebagai
perkecualian. Penekanannya sekaligus cita-citanya adalah kebebasan dasariah
seseorang terhadap yang lain (Griffin, 2005: 18).
Modernisasi muncul sebagai produk dari interaksi dan proses sosial di
dalam masyarakat. Sebaliknya, modernisasi itu secara bertahap akan berangsurangsur mengubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat untuk terus-menerus
meningkatkan mutu kehidupan. Pengaruh modernisasi terhadap masyarakat
berlangsung melalui saluran-saluran sosial dan akhirnya memasuki semua segi
kehidupan yang ada.
Menurut
Piliang,
dunia
globalisasi
yang
dicirikan
oleh
sifat
sarana perubahan budaya yang ampuh sekaligus juga alternatif pilihan hiburan
yang lebih beragam bagi orang Karo. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak
tertarik lagi menikmati berbagai seni tradisional yang sebelumnya akrab dengan
kehidupan mereka. Kesenian tradisional Karo, seperti gendang lima sendalanen
yang dulunya digunakan dalam gendang guro-goro aron (pesta muda-mudi) kini
tidak diminati karena dianggap ketinggalan zaman. Hal ini sangat disayangkan
mengingat gendang lima sedalanen merupakan salah satu bentuk ensambel
tradisional Karo yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral (lihat 7.1.1). selain
itu, juga merupakan salah satu unsur penanaman nilai-nilai moral yang baik.
Menurut Sutrisnaatmaka, untuk mencapai habitus baru yang benar-benar
membawa manfaat untuk hidup yang lebih manusiawi, kita sedang menghadapi
sekian banyak tantangan pada zaman modern ini. Budaya yang timbul pada zaman
modern tidak serta merta semakin menguntungkan perkembangan kesejahteraan
objek
yang
orisinal
dan
mungkin
adiluhung
atau
memang
baik etnik, kelompok, agama, maupun budaya. Tujuan paham tersebut adalah
membangun suasana yang lebih egalitar, damai, toleran, dan saling menghargai
agar dapat hidup secara bersama dan rukun. Berdasarkan fenomena ini, Minawati
(2010: 280) menjelaskan bahwa seseorang ditentukan oleh kelompok sosialnya
sebagai tempat individu bergabung dan melakukan sesuatu yang menguntungkan
kelompoknya. Apabila dikaitkan dengan uraian ini, komunitas upacara gendang
kematian sebagai individu dan kelompok sosial memiliki keterkaitan dengan
komunitas lain. Mereka berbaur tidak berdasarkan upacara, tetapi juga berdasarkan
identitas sosialnya.
Masuknya agama-agama besar pada etnik Karo menjadi tantangan bagi
perkembangan dan pelestarian tradisinya. Di sinilah kemudian disadari atau tidak
oleh masyarakat telah terjadi penjajahan budaya. Budaya sangkep nggeluh dalam
adat telah terbingkai oleh perkembangan agama-agama besar lainnya, sehingga
konsep-konsep tradisi Karo banyak yang terkikis karena dianggap bertentangan
dengan agama baru. Kenyataanya, banyak budaya Karo yang terpinggirkan apabila
disejajarkan dengan paham keyakinan, seperti Kristen dan Islam. Berdasarkan
konsep agama tersebut, begitu banyak masyarakat Karo yang masuk dalam paham
kefanatikan agama sehingga ikut memangkas budaya Karo dan mengantikannya
dengan tata cara agama.
Sebagai contoh, kalau dulu untuk melakukan upacara perkawinan,
masyarakat Karo melihat hari baik (lihat, 4.1.6.3), untuk menentukan upacara
perkawinan, dan akan disepakati oleh sangkep nggeluh, tetapi sekarang sudah
berubah. Niktik wari (mencari hari baik) menurut tradisi Karo zaman dahulu telah
terabaikan oleh agama-agama sekarang. Waktu perkawinan cenderung ditentukan
oleh pastor ataupun pendeta. Dengan adanya kenyataan ini, secara disadari
maupun tidak, masyarakat telah dikuasai oleh ideologi agama besar tersebut.
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada etnik Karo, maka budaya Karo
dalam praktiknya telah banyak mengalami toleransi-toleransi. Dalam hal ini
kalimat toleransi merupakan satu hal yang tidak disadari meruntuhkan aturanaturan adat istiadat yang selama ini dijunjung sangat tinggi. Toleransi dan
kebebasan menjadi suatu hal yang berujung pada pengorupsian dan penghilangan
budaya Karo, yakni dari cabang sampai pada yang sangat substansial (akar).
Toleransi dalam hal ini apabila dicermati, telah sampai pada taraf kebablasan,
karena dalam paham tersebut kesepakatan dianggap memiliki posisi lebih tinggi
daripada adat istiadat. Artinya, dalam pelaksanaan adat yang menjadi titik sentral
adalah kesepakatan. Jika dicermati lebih jauh, ketika suatu kebiasaan dikikis,
tetapi disepakati maka berarti tidak ada persoalan. Kemudahan-kemudahan yang
menjadi alternatif dipedomani karena alasan waktu, ekonomi yang efektif dan
efesien meskipun hanya sebagai formalitas. Hal ini dapat disebut dengan istilah
hegemoni.
Gramsci menggunakan istilah hegemoni untuk menunjukkan hubungan
kekuasaan kelas dominan terhadap kelas subordinat. Lebih jauh dikatakan bahwa
hegemoni merupakan suatu kondisi kelas dominan mengatur dan mengarahkan
masyarakat melalui kepemimpinan moral intelektual. Hegemoni terjadi karena
adanya konsensus, yaitu kelas bawah atau subordinat mendukung atau menyetujui
nilai-nilai, ide, tujuan, dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka
pada struktur kekuasaan yang ada. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan
kelompok dominan relatif tidak ditentang karena ideologi yang ditanamkan sudah
diinternalisasi secara sukarela sehingga dipandang sebagai bagian kepentingan
kelompok subordinat (Patria dan Arief, 2003; Pujaastawa, 2011: 58).
Kesadaran-kesadaran ini apabila dikaitkan dengan pengakuan beberapa
orang tua yang sudah berusia enam puluh tahun ke atas, yakni dapat diyatakan
bahwa tradisi Karo telah mengalami erosi budaya. Njenap Ginting sebagai pakar
budaya Karo ikut mengamini dan mengatakan:
Sudah banyak sekali perubahan dalam adat istiadat kita. Hal ini dapat kita
lihat ketika dalam pelaksanaan upacara perkawinan, upacara kematian,
masuk rumah baru, dan lain-lain yang dilakukan berdasarkan adat istiadat,
tidak dilakukan lagi sebagaimana mestinya tata cara adat dalam tradisi
Karo (wawancara, 27 Mei 2012)
Dari ciri-ciri tersebut tergambar bahwa telah terjadi pengikisan terhadap budaya
Karo, baik secara etika maupun moral. Sepantasnya adat tidak dijalankan hanya
dalam waktu tertentu atau peristiwa-peristiwa khusus upacara adat, tetapi dijadikan
sebagai pegangan berperilaku di masyarakat Karo dalam menjalani kehidupannya.
Pelanggaran dan korupsi budaya akan mengerucut sehingga terjadinya erosi
budaya secara besar-besaran, yang tentunya dapat mengaburkan identitas Karo,
budaya Karo, dan etnis Karo. Menurut Rutherford (Minawati, 2010: 282),
menyebutkan masyarakat seharusnya menganalogikan identitas sebagai rumah
karena rumah merupakan tempat kembali dan tempat awal berasal.
Berdasarkan fenomena dan dinamika budaya yang terserap oleh masyarakat Karo,
khususnya para generasi muda, Njenap Ginting berpendapat seperti yang
dijelaskan berikut ini.
Generasi sekarang hanya meniru-niru yang mereka tidak mengerti, ke
mana akan dibawa, seperti menjalani hidup yang tidak terarah, seperti
burung cip-cip yang mengeramkan telur burung piso surit, setelah
menetas, ada yang aneh dengan anak tersebut karena berbeda dengan
yang semestinya. Dan akhirnya induknya pun bingung dalam
membimbing anaknya dalam kehidupan sehari-hari (wawancara, 27 Mei
2012).
Apa yang disampaikan Njenap Ginting cukup jelas bahwa budaya
merupakan warisan nenek moyang terdahulu, dalam hal ini budaya tersebut
memiliki nilai-nilai dan filosofi orang Karo. Di samping itu, perlu disadari bahwa
budaya Karo merupakan satu ikatan dan pegangan bagi etnis Karo yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti satu bangsa, satu
adat, satu kebudayaan, dan satu daerah Tanah Karo yang bertujuan menciptakan
suatu keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, lebih jauh dijelaskan oleh
Ropong Tarigan seperti berikut ini.
Adi masap pagi adat ta enda, uga nge pagi cibalna pergeluhta kupudi
wari? Kai pagi tanda-tandana pagi kita tubuh ibas daerah Tanah Karo
enda nari? Adi alu cara cakapta saja kuakap lanai bo cukup alasenta
maka kita kita Karo.
Kalau hilang nanti adat kita ini, bagaimana nanti keadaan kita di belakang
hari? Apa nanti tanda-tanda bahwa kita lahir di daerah Tanah Karo ini?
Kalau hanya berdasarkan bahasa saja, saya kira tidak cukup menjadi alasan
kita menjadi suku Karo (wawancara, 06 Mei 2012).
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa dalam etnik Karo, adat tidak berarti
membeda-bedakan manusia sebagai manusia ciptaan Tuhan, tetapi mengatur
posisinya dalam adat, seperti sembuyak, kalimbubu, dan anak beru. Dalam kaitan
ini, semua orang Karo masih mengakui dan mengetahui adat (budaya) Karo karena
mereka akan melakoninya secara bergantian. Di sanalah letak keadilan dan sikap
tidak membeda-bedakan yang dimaksud, sebagaimana yang disampaikan Njenap
Ginting di bawah ini.
Kalak Karo harus mehamat, mereha, mehangke, rebu, ula jagar-jagar,
ula meriah-meriah, biak irahasiakan, biak banci erterus terang, ras biak
tungkuken (jimpuh).
Orang Karo harus sopan, segan, serius, tidak boleh sembarangan, tidak
boleh bercanda gurau dengan pihak-pihak tertentu, ada hal yang pantas
dirahasiakan, ada juga yang harus diterusterangkan, dan ada juga yang
pantas di hormati (wawancara, 27 Mei 2012).
Adat istiadat berisikan peraturan dan larangan, hukum/kedisiplinan yang
mengatur kebiasaan kehidupan orang Karo, baik terhadap manusia, alam, maupun
Tuhan. Semua aturan dan tata cara yang diajarkan oleh nenek moyang terdahulu
adalah cara (bicaranya) atau pelaksanaan pengucapan rasa syukur, yang
merupakan bawaan dalam hidup untuk diwariskan tanpa diperkenankan untuk
merusaknya. Dalam hal ini, Hertz dan Gennep (Minawati, 2010: 285) menyatakan
bahwa makna adat harus diangkat dari struktur kongnitif. Berdasarkan uraian
tersebut, diketahui bahwa budaya yang tertuang dalam adat istiadat harus bersifat
fisikal atau teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat.
Terjadinya peperangan nilai antara budaya tradisional dan budaya global
memunculkan budaya baru sebagai kiblat budaya masyarakat saat ini. Menurut
Minawati (2010: 285), globalisasi dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya budaya
proyek
hegemoni
baru
terhadap
identitas-identitas
yang
ada,
keluar istilah kalak Karo ndayaken bana (orang Karo menjual dirinya). Berkaitan
dengan fenomena ini, peperangan budaya terjadi, yakni menurut Minawati (2010:
287) seperti di bawah ini.
Peperangan budaya adalah saat suatu kekuatan budaya, politik, atau
ekonomi (yang umumnya hegemonik) melakukan serangan atau teror halus
terhadap prinsip-prinsip dan unsur-unsur kebudayaan lain. Dalam hal ini,
bertujuan merealisasikan keinginannya dan menundukkan komunitas
budaya di bawah kendalinya.
Dari uraian ini diketahui terdapat peperangan ideologi, baik secara budaya
maupun agama (Islam dan Kristen) yang diyakini memiliki ideologi Barat yang
menyerap ke dalam budaya tradisi (lokal). Proses tersebut dekat juga dengan
praktik yang dikenal dengan imperialisme budaya. Menurut Minawati (2010: 288),
seperti berikut ini.
Berlangsung diam-diam tanpa menimbulkan kegaduhan atau menarik
perhatian. Perang kebudayaan melucuti keyakinan dirinya dengan berbagai
cara. Efek perang budaya dapat berlanjut dari generasi ke generasi, dan
umumnya berlangsung tanpa sadar, bahkan menyenangkan korbannya.
Apa yang disampaikan Khamenei tidak berbeda dengan konsep
hegemoni Gramsci. Sepatutnya generasi muda dapat menjadi tonggak estafet
dalam pengembangan dan pelestarian budaya Karo sehingga tidak perlu
dipertanyakan. Pernyataan lain disampaikan Njenap Ginting seperti di bawah ini.
Kalau dulu di setiap desa ada ketua adat. Fungsi ketua adat ini melakukan
pengontrolan dalam pelaksanaan adat di desa tersebut. Ketika ada pesta,
baik yang suka cita maupun duka cita ketua adat akan menjadi sangat
penting kedudukannya. Ketua adat dalam masyarakat Karo sangat
dihormati dan digurui, seperti pertua. Bila ada pelanggaran adat yang
dilakukan oleh warga, maka yang menjadi hakim adat dalam memberikan
keputusan sanksi, yang disaksikan oleh kepala desa dan warga. Sekarang
ketua adat tidak difungsikan lagi dalam struktur desa. Jadi, apa pun yang
terjadi tidak ada lagi yang mengontrolnya, mau ada yang di desa tersebut
selingkuh, kawin dengan semarga, dan perbuatan-perbuatan sumbang
lainnya, tidak ada mendapat sanksi. Sanksi/hukum yang berkembang hanya
dari aparat pemerintah seperti kepolisian. Artinya, tidak ada lagi kontrol
atau langkah preventif dari masyarakat (wawancara, 27 Mei 2012).
Dalam hal ini tampak koreksi Njenap Ginting tentang hilangnya kontrol
adat dalam masyarakat. Sebagaimana Jekmen Sinulingga juga sudah pesimis
dengan keberadaan budaya Karo yang sudah tercemar, dikatakannya berikut ini.
Kalau dahulu kita dengan mengorbankan harta benda, menghanguskan
bumi pertiwi, mengungsi dalam mengusir penjajah dan segala sifatsifatnya. Akan tetapi sekarang, kita tanpa melakukan perlawanan terhadap
sifat-sifat penjajah sudah meresap ke dalam darah daging, dan merongrong
generasi kita. Kita sekarang menjadi masyarakat yang konsumeristis
(Wawancara, 20 Juni 2012).
Fenomena erosi budaya dalam masyarakat Karo dikenali mulai tahun 1990,
yakni awal masuknya musik keyboard dalam ensambel tradisional Karo. Dalam
hal ini Ismail Bangun mengatakan sebagai berikut.
Nina tua-tuanta, anak-anakta sigundari enda, lanai bo erluhu, lanai eruga, lanai tehna mereha ras mehangke, lanai lit rebuna. Kutera pe enggo
banci, gelah sura-sura erdalen. Bagem gundari si jadi bas gendang
Karo. Banci mon-mon ras turangna pe ia landek.
Banyak orang tua berpendapat bahwa generasi muda yang sekarang ini
tidak beretika, tidak bermoral, tidak tahu malu, tidak ada yang tidak
pantas, bagaimanapun dijalankan asal keinginannya terpenuhi. Begitulah
sekarang yang terjadi dalam gendang Karo. Kadang-kadang mereka
menari dengan semarga tetapi tidak dipedulikan (wawancara, 10 Mei
2012).
Pemahaman adat yang sesungguhnya berarti berasal dari warisan turuntemurun. Dalam hal ini pentingnya adat dilaksanakan oleh orang Karo agar bisa
diterima dalam lingkungan adat dan sangkep nggeluh. Selanjutnya, apabila
disimak kata merga yang memiliki makna diberi harga atau semua masyarakat
Karo berharga tanpa membeda-bedakan kelas.
Salah satu budaya Karo yang ditinggalkan setelah masuknya agama
Kristen atau Islam adalah perumah begu yang dipimpin guru sibaso (lihat 4.1.6.1).
Hal ini tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Binneka Tunggal
Ika. Bahkan, dalam hal ini dikatakan bahwa wajib bagi setiap warga negara
melestarikan segala nilai budaya di samping nilai-nilai budaya lokal hendaknya
terefleksi dalam filosofis masyarakatnya, baik secara geografis, bahasa, seni,
budaya, maupun kepercayaan setempat. Adapun tujuannya adalah untuk
mengembalikan dan mewujudkan kembali identitas sosial masyarakat yang berada
di antara kebingungannya. Terkait dengan fenomena ini, Said (Minawati, 2010:
290)
menyatakan
bahwa
kebingungan
budaya
terjadi
karena
terdapat
budaya Karo, khususnya rakut si telu tercermin dalam adat istiadat, diyakini
bersumber dari leluhur orang Karo.
mengakibatkan gendang
kibod semakin eksis pada masyarakat Karo. Selain itu, banyaknya lagu populer
yang mudah dimainkan dengan gendang kibod juga semakin memojokkan
keberadaan gendang lima sendalanen.
Saat ini yang menjadi persoalan penting dalam kebudayaan Karo adalah
belum memadainya pengalaman manusia Karo tentang hakikat kebudayaan itu
standardisasi selalu diikat oleh aturan yang tanpa peraturan membatasi kreativitas
seniman. Aturan tanpa peraturan dimaksud di sini, seolah-olah keyboard sebagai
instrumen musik tunggal harus hadir dalam suatu ritual pada masyarakat Karo.
Hal ini menyebabkan, bukan saja kreativitas seniman terpangkas dalam hal
penciptaan, melainkan kreativitas berpikir pun terpangkas oleh fenomena ini.
Wujud terkikisnya kreativitas seniman dalam hal ini sangat erat terkait dengan
bagaimana seniman mengenal dirinya sendiri melalui budayanya. Menurut Jenda
Bangun, dengan hadirnya instrumen musik modern dalam kesenian tradisi
masyarakat Karo, yang sebelumnya dimainkan oleh lima orang dengan nilai-nilai
budaya yang tinggi mengakibatkan kreativitas seniman terpasung. Bagaimana
seniman dapat berkreativitas jika mereka meninggalkan nilai-nilai budaya yang
semestinya dipahami.
Ketidakpahaman akan nilai ini akan membentuk pola pikir sebuah tradisi masuk
ke sendi-sendi kehidupan sosialnya.
Demikian yang dialami oleh masyarakat, khususnya etnik Karo akibat
derasnya hantaman arus globalisasi. Globalisasi membentuk manusia untuk
memudahkan segala sesuatu akibat tuntutan zaman. Hal ini seperti yang diutarakan
oleh Njenap Ginting berikut.
Kalak Karo, ope denga sigundari emekap sangana kita kujuma denga kai
pe gel-gel lakon silit iras-rasken kerina ndungisa. Anak beru masa sie seh
kal nge jingkatna kerina. Senina ras kalimbubu pe labo lit ketadingen ibas
lakon e, terlebih-lebih ibas kalak mate. Adi gundari lanai bo sieteh kai
situhuna man ayakenta, sebab kai pe nggo banci itukur. Adi gel-gel igiling
denga ura-ura bengkau, adi gundari nggo banci tukur saja, adi gel-gel
kotak mayat pe anak beru erbahansa, gundari itukur saja. Labo e saja tapi
sierdahin pe nggo banci igalari, emaka anak beru si erdahin nggo banci
kundul saja erkiteken nggo lit sierdakan emekap ketring nina. Adi gel-gel I
pebetehken man siergendang lima seendalanen gundari nggo banci kibod
saja. Kai pe gundari banci iergai alu sen.
(Orang Karo, sebelum terkena pengaruh globalisasi, yaitu pada masa
agraris segala kegiatan dilakukan secara gotong royong. Anak beru sangat
bertanggung jawab atas semua jenis pekerjaan dalan kegiatan adat tersebut.
Senina dan kalimbubu melaksanakan tugasnya masing-masing, terutama
pada peristiwa kematian. Hari ini saya tidak mengerti apa yang sebenarnya
dikejar orang Karo. Kalau dulu bumbu makanan tidak perlu dibeli, masingmasing kerabat akan membawa dan mengolahnya bersama-sama. Peti
mayat yang seharusnya dikerjakan anak-beru sekarang hanya cukup
dengan memesannya saja. Anak beru yang semestinya mengerjakan segala
sesuatu, cukup duduk manis karena sudah ada catring yang menggantikan
posisinya dengan cukup membayarnya. Gendang lima sendalanen yang
dulunya dipanggil dengan sebutan kehormatan sebagai sierjabaten cukup
memesan sebuah keyboard untuk menggantikan posisinya. Segala
sesuatunya bisa dibeli dengan uang) (wawancara, 24 Desember 2012).
Jika diperhatikan perubahan upacara gendang kematian etnik Karo pada
era globalisasi, tidak dapat menunjuk pada sebuah faktor tunggal sebagai sumber
dari perubahan dalam upacara tersebut. Seperti yang diungkapkan Lubis, yang
lebih sering perubahan itu terjadi diakibatkan oleh serangkaian peristiwa. Salah
satu dari peristiwa tersebut yaitu inovasi. Inovasi adalah penemuan dan
pengungkapan tentang sesuatu yang baru seperti gagasan, proses, praktik, alat,
atau sarana (Lubis, 2006: 222).
Hal tersebut didukung oleh Jurgen Habermas, yang menjelaskan
bagaimana sistem (kuasa dan uang) telah menjajah dunia kehidupan (komunikasi
intersubjektif). Kita tidak pernah lagi duduk bersama bersepakat tentang apa yang
baik, indah, dan benar. Semuanya dipaksakan dari luar oleh kuasa dan uang yang
bekerja secara utilitaris (Adlin, 2007: 29).
Dalam upacara gendang kematian, masalah perubahan kehidupan sosial
yang timbul bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Hal ini terjadi di luar
kesadaran masyarakat Karo. Oleh sebab itulah, maka lebih tepat disebut sebagai
efek sampingan dari proses perubahan itu sendiri. Mengingat bahwa perubahan
kehidupan sosial merupakan fenomena yang saling mengait, maka tidak
mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek,
dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan
pada aspek lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian
dikategorikan ke dalam masalah perubahan kehidupan sosial.
Berbagai makna perubahan kehidupan sosial dari perubahan upacara
gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi memandang sistem sosial pada
dasarnya bersifat dinamis. Perubahan sosial sebagai proses yaitu suatu bentuk
orang hanya melihat apa saja unsur-unsur yang berubah dan mengikuti
perkembangan zaman seperti, peti mati, keyboard, ensambel tiup dan
bahkan hanya melihat properti yang digunakan. Budaya lama itu kuno
menurut mereka, segala sesuatu dipersingkat. Masyarakat kita sekarang
adalah masyarakat konsumer (Wawancara, 27 Desember 2013).
Pernyataan di atas, seperti yang diungkapkan Baudrillard bahwa
masyarakat konsumer adalah masyarakat yang mengalami kelelahan. Kelelahan ini
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kelelahan otot atau kelelahan
tenaga. Kelelahan ini tidak datang dari penggunaan tenaga fisik. Akan tetapi,
justru dari kelelahan nonfisik, yang menyebabkan masyarakat konsumer mutakhir
menjadi masyarakat stres, masyarakat yang tertekan karena kita digiring dalam
masyarakat persaingan menyeluruh, totaliter, yang bermain dalam semua
tingkatan, ekonomi, pengetahuan, keinginan, tubuh, tanda, dan dorongan (Subandi,
2007: 157).
Perubahan kehidupan sosial tidak terlepas dari agama wahyu yang
dipercaya sekarang. Kalau dulu, semua urusan dari awal hingga selesai dalam
upacara dilaksanakan oleh sangkep nggeluh. Akan tetapi, banyak perubahan akibat
agama sekarang memayungi upacara dari awal hingga selesai. Sebagai sebuah
lembaga besar dan terlegitimasi, dengan tidak susah mengubah pola-pola
kehidupan sosial yang ada seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Tidak semata-mata perubahan kehidupan sosial ini kearah negatif tetapi banyak
perubahan kehidupan sosial kearah yang positif.
Untuk itu menurut Subandi, menghadapi serbuan gaya hidup keberagaman
yang mengalami komodifikasi dan komersialisasi seperti saat ini, yang dibutuhkan
Mulai
dari internal
umumnya mempunyai lebih dari dua aspek intangible yang melekat padanya
(Sedyawati 2006: 161--162).
Warisan budaya intangible di luar yang terdapat pada benda konkret
tersebut, juga memerlukan upaya pelestarian, yaitu (1) sastra, yang dapat
digolongkan berdasarkan lisan atau tertulis, seperti mitos, legenda, dongeng,
kefilsafatan dan lain-lain, (2) musik, yang digolongkan atas vokal, instrumental,
dan gabungan, (3) tari, yaitu tari murni, tari bercerita , dan gabungan, (4)
olahraga tradisional, (5) teater, (6) tata upacara, dan (7) ilmu pengetahuan. Aspek
di atas hampir semua terdapat pada upacara gendang kematian etnik Karo yang
memerlukan pewarisan seperti, perekaman, maupun upaya untuk memupuk
kehidupannya agar tetap aktual, sama-sama penting untuk dilakukan, yaitu karena
diperlukan oleh peneliti maupun bagi pewaris sumber daya budaya itu sendiri.
Dari dua sisi kehidupan sumber daya budaya mempunyai kaidah-kaidah
pewarisannya sendiri, yaitu di satu sisi dokumentasi dan pengarsipan yang sebaikbaiknyauntuk kepentingan ilmiah, dan di sisi lain pengeya sebagai substansi
industri budaya untuk pemenuhan kebutuhan penikmatan serta pemihakan oleh
khalayak ramai. Upaya yang disebut terakhir itulah yang dewasa ini sangat
memerlukan perhatian dari semua pihak yang peduli terhadap mutu kebudayaan
bangsa, karena banyaknya warisan budaya tradisi takbenda yang terancam tergusur
selama-lamanya oleh industri budaya yang semata-mata berancangan komersial
(Sedyawati, 2006: 164).
terjadinya sebuah bencana budaya. Bencana jenis ini memang tak tampak secara
langsung karena bukan seperti bencana alam atau bencana pertikaian antarmanusia
yang langsung dapat dikenali dan dirasakan akibatnya pada saat terjadi. Bencana
budaya sangat potensial mengakibatkan bencana lainnya yang berakibat fatal pada
hilangnya identitas dan karakter bangsa, pemicu masalah sosial, bencana alam,
dan pertikaian antarmanusia, serta hancurnya peradaban dalam arti luas. Dalam
artian ini ketahanan budaya sangat signifikan dengan ketahanan bangsa dalam
berbagai bidang.
Selanjutnya menurut Pudentia, untuk melaksanakan hal tersebut, peran
masyarakat menjadi penting. Pemerintah meskipun diamanatkan oleh UUD 45,
pasal 32 sebagai badan yang memiliki kewenangan penuh untuk membuat
berbagai kebijakan dan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan upaya
memajukan kebudayaaan nasional, tidak mungkin dan tidak mampu bekerja
sendiri. Pemerintah dalam hal ini harus membangun sistem kemitraan berbasis
masyarakat yang tidak hanya terbatas pada hak dan kewajiban masyarakat untuk
turut menjaga warisan budayanya, tetapi juga dimunculkan karena kesadaran
bahwa sumber-sumber warisan budaya berada dalam pengelolaan masyarakatnya.
Masyarakat tempat pemilik warisan budaya yang bersangkutan juga yang paling
mengetahui bagaimana pengelolaan tersebut dapat dilaksanakan dan sejauh mana
mereka masih memerlukannya.
Tradisi lisan, sebagai bagian dari warisan budaya yang intangible, sadar
atau tidak telah berada dalam tahap penghancuran. Keberadaan tradisi lisan
purbakala, serta berbagai warisan buday intangible tidak lagi menjadi tanggung
jawab pemerintah dan dilepas ke khalayak ramai. Ini akan berdampak pada
kemunduran dan kepunahan warisan budaya milik etnik tertentu, yang secara
politis dan ekonomis tidak memiliki posisi tawar yang kuat (Sedyawati, 2008:
162).
Menurut Majid (2010: 139), Pemerintah sebagai pengemban amanat
undang-undang memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuh
kembangkan warisan budaya. Di tangan merekalah ekspos tradisi dapat
diwujudkan, selain karena ditunjang oleh segi finansial juga memiliki akses dalam
membuka dan memfasilitasi warisan tradisi dalam skala yang lebih besar. Media
massa, bagaimanapun juga, telah menjadi tumpuan untuk dujadikan medium
pengembangan budaya. tanpa peran pemerintah dan media massa, warisan budaya
tradisional tidak dapat berbuat banyak, apalagi menumbuhkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya peran dan fungsi kekayaan tradisi.
sebagai kelanjutan identitas Karo dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat
bertahan dalam menumbuhkan kemampuannya.
Menurut Keesing, revitalisasi adalah perubahan komunitas karena
kesadaran baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup
dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang
sudah lampau. Kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan
masyarakat yang sudah menyinggung dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat
berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap
mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap
mengikuti pola lama yang telah diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Keesing, 1999: 257).
Sibarani (2004: 30) bahwa revitalisasi kebudayaan adalah proses dan usaha
memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat
kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan harus menjadi bagian masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus
diusahakan
untuk
bermanfaat
dalam
kehidupan
manusia
untuk
lebih
menyejahterakan masyarakat.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa untuk melakukan revitalisasi
tradisi lisan dibutuhkan kepedulian kepedulian berbagai kalangan, baik dari
pemerintah daerah, pemerhati budaya, dan tentu saja masyarakat. Namun, yang
menjadi kunci utama dari revitalisasi tradisi lisan adalah sikap dari masyarakat
pendukungnya. Jekmen Sinulingga mengungkapkan sebagai berikut.
dengan berbagai kekuatan, seperti masyarakat, dan para pewaris upacara gendang
kematian tersebut. Tradisi lisan sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya,
merupakan wujud pencarian identitas bagi masyarakat atau etnik tertentu sehingga
dapat memahami keberadaannya di tengah-tengah kemajemukan masyarakat saat
ini. Identitas diperoleh, dikelola, dan ditrasformasikan melalui berbagai proses
sosial. Identitas sangat penting karena dia membentuk prilaku etnik. Tradisi lisan
mampu membentuk identitas etnik dan membedakannya dari etnik lain. perbedaan
perilaku etnik bertentangan dengan prinsip yang dianut masyarakat global.
Globalisasi
menjadikan
universalitas
sebagai
tujuan
utamanya
sehingga
globalisasi yang semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi
yang begitu gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya
lokal, maka perlu dimunculkan revitalisasi tradisi lisan/kearifan lokal. Seperti yang
diungkapkan Majid (2010: 21), revitalisasi menjadi hal yang sangat penting untuk
dilakukan dalam menangkal berbagai pengaruh globalisasi. Globalisasi yang
menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampak globalisasi adalah keengganan
untuk melanjutkan tradisi lama yang dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang
telah usang dan tidak sesuai lagi dengan masa kekinian, harus sesegera mungkin
disikapi dan ditindaklanjuti. Revitalisasi meniscayakan nilai-nilai budaya lokal
menjawab berbagai tantangan globalisasi.
Revitalisasi tradisi melingkupi kesadaran kolektif masyarakat lokal untuk
memperkokoh jati diri dan identitas bangsa dengan menumbuhkan kembali norma
dan nilai-nilai budaya lokal yang telah didefinisikan di masa lalu secara kolektif,
dan diwariskan secara turun temurun sehingga mampu memberikan arah pada
perkembangan budaya lokal yang mengandung nilai-nilain kebenaran.
Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya
lokal
sehingga
dapat
mengaktualisasikan
diri
dalam
konteks
global.
indicator yang menyangkut revitalisasi tradisi lisan, antara lain sebagai berikut. (1)
menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam
menghadapi derasnya arus globalisasi, (2) kesadaran untuk memnanamkan cara
hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya likal dalam memperkokoh
jati diri masyarakat lokal, (3) membangkitkan kembali atau pemberdayaan,
pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat, (4)
memulihkan dan membangklitlan kembali ingatan dan keadaran klektif
masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya, dan (5) dorongan untuk
menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada perkembangan
budaya lokal Majid (2010: 27--28).
Seharusnya ditengah perubahan masyarakat, tradisi lisan upacara gendang
kematian etnik Karo mampu menyesuaikan struktur dan fungsinya sehingga dapat
hadir dalam wujud yang serasi dengan perilaku manusia penggunanya. Namun,
kenyataan ini bertentangan dengan kondisi yang dialami saat ini, dimana
implementasi tradisi lisan upacara gendang kematian etnik Karo jauh melenceng
dari yang seharusnya. Tradisi lisan tidak lagi menjadi cerminan masyarakat
pendukungnya, bahkan makin menjauh dan tidak lagi memiliki daya pikat sesuai
dengan semestinya. Oleh sebab itu revitalisasi tradisi lisan ini harus dilakukan.
Revitalisasi tradisi lisan adalah proses dan usaha melestarikan kearifan
lokal dalam kehidupan masyarakat atau usaha membuat tradisi lisan menjadi suatu
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Merevitalisasi
tradisi lisan menurut Sibarani (2004: 33--34), (1) mendorong setiap tradisi lisan
suatu etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi. Agar semua tradisi di Indonesia
ini dapat hidup dan berkembang, kita harus menghindari dominasi kebudayaan
mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan penyeragaman kebudayaan, (2)
membuat tradisi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, bukan hanya sebagai
tontonan masyarakatnya. Hakikat tradisi lisan harus dicari, doformulasikan, dan
dimanfaatkan dalam rangka revitalisasinya, (3) kebudayaan bangsa (kebudayaan
nasional) kita merupakan keseluruhan kebudayaan etnik yang hidup dan
keseluruhan kebudayaan baru. Dalam pemikiran ini, tidak ada tradisi suatu etnik
yang lebih rendah daripada tradisi etnik lain, semuanya sama. Ini memungkinkan
dan
memotivasi
pemilik
tradisi
mensinergikan
kemampuannya
untuk
merevitalisasi dan menghargai tradisinya sendiri karena dia tidak akan bingung
mencari puncak-puncak kebudayaan daerah yang tidak berpuncak itu. Marilah kita
meratakan puncak-puncak itu supaya semua transfaran dan hidup berdampingan,
(4) membangun perkampungan budaya (culture village) pada setiap kabupaten.
Perkampungan budaya pada setiap wilayah etnik atau kabupaten sangat perlu
dibangun agar dapat dimanfaatkan sebagai wadah transfer budaya secara sosial,
sosialisasi kebudayaan, dan sebagai tujuan wisata budaya, (5) segala bentuk
pembangunan harus dilandasi oleh tradisi masyarakat setempat. Penyeragaman
pembangunan
selama
ini
terjadi
telah
terbukti
gagal
karena
tidak
Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan
jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup
dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan
keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi
begu menyiratkan bahwa kematian merupakan bagian dari kehidupan ketika
seseorang meninggal akan berakhir pada suatu ketiadaan. Namun, ketiadaan dalam
hal ini bukanlah ketiadaan yang banal karena setiap manusia berawal dari
ketiadaan fisik menuju ketiadaan fisik, itulah tendi jadi begu atau roh menjadi
hantu.
Ungkapan keseharian etnik Karo yang sering kali hadir dalam upacara
gendang kematian, seperti buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging
jadi taneh, tulan jadi batu,dan tendi jadi begu secara berurutan berarti rambut
menjadi ijuk, darah menjadi air, napas menjadi angin, daging menjadi tanah,
tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu. Kelima ungkapan tersebut
menggambarkan bahwa eksistensi etnik Karo adalah bagian integral dari
lingkungan mereka. Keseluruhan makna ungkapan tersebut apabila dilihat sebagai
satu kesatuan menunjukkan ketiadaan diri manusia adalah kemengadaan alam.
Manusia adalah bagian dari alam, bukan sebaliknya.
Kedua, ditemukan bahwa etnik Karo pada era globalisasi menganggap
dirinya tidak dipengaruhi oleh sesuatu dalam tumbuh kembangnya perubahan
unsur-unsur upacara gendang kematian yang sudah tergerus dari keasliannya.
Mereka menganggap perubahan itu bukan sebagai sebuah kekuasaan modern yang
kristenisasi, industri
antara
nilai
dan
harga.
Hantaman
spiritualitas
modern
7.6 Refleksi
Kondisi
perubahan
dengan
bertumbuhkembangnya
unsur-unsur
spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dan
semakin tergesernya sisi-sisi ritual dengan beralihnya nilai spiritualitas tradisi ke
modern, terkikisnya budaya Karo, serta menurunnya kreativitas seniman, maka
dianggap perlu strategi kebudayaan dalam menata upacara gendang kematian
untuk masa yang akan datang, jangan sampai di tinggalkan oleh generasi yang
berikutnya. Pola strategi budaya yang dibutuhkan dari warisan leluhur seperti
tradisi lisan masa lampau dengan adanya tafsiran-tafsiran baru khususnya terhadap
eksistensi upacara gendang kematian ke depan, dengan rasa kebanggaan,
kecintaan, dan kepercayaan terhadap upacara gendang kematian sebagai tradisi
yang unggul dan menjadi bagian penting dari identitas kekaroan.
Dalam melakukan strategi itu ada tiga hal yang mesti diperhatikan.
Pertama, upaya untuk menciptakan persepsi dan resepsi terhadap upacara gendang
kematian sebagai budaya yang komprehensif yang mempunyai peran dan cakupan
luas atas sendi-sendi kehidupan masyarakat pemilik dan pendukung upacara
gendang kematian tersebut. Tentu saja dilakukan dengan cara menjawab tantangan
kontestasi global yang deras. Tradisi suatu masyarakat merupakan faktor penentu
eksistensi masyarakat tersebut. Gendang kematian sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan urusan masa lalu tentu saja tidak sepaham dengan hakikat kebudayaan
yang dinamis bahwa kebudayaan selalu mengikuti perubahan masyarakat untuk
mencapai suatu kehidupan yang baik dari sebelumnya. Kedua, menjadikan upacara
gendang kematian sebagai media ampuh dalam menghadapi berbagai tantangan
globalisasi, perputaran waktu yang sangat cepat. Ketiga, upacara gendang
kematian sebagai ikon budaya Karo, jati diri, dan identitas kekaroan, harus
didekatkan pada falsafah pembudayaan yang diarahkan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat Karo.
Selain ketiga aspek di atas, diperlukan visi (tujuan) dan misi (rencana
program) yang sama dalam usaha pengembangan dan pelestarian upacara gendang
masyarakat
dan
bagaimana
peran
masyarakat
dalam
ini
penting
dijawab
sebagai
tantangan
komunitasnya.
Artinya,
menjadi angin) dan tendi jadi begu (roh menjadi hantu). Hal tersebut berarti
manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain, sedangkan manusia mati untuk
menghidupkan manusia lain. Tidak ada manusia yang tetap hidup, sampai saatnya
akan meninggal. Dengan demikian, ada rasa memiliki, dan menjadikan upacara
gendang kematian sebagai alat kontrol sosial dalam peradaban etnik Karo, baik
pada
masa
lampau,
dan
masa
kini,
maupun
masa
depan.
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumya mengenai
penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi
dapat dihasilkan temuan dan refleksi dalam penelitian ini. Adapun simpulan dalam
penelitian ini sebagai berikut.
Pertama, dalam paham tradisional etnik Karo menganggap ada
keterbatasan hidup manusia di dunia ini, tetapi dipahami juga bahwa ada
kehidupan setelah kematian. Ada hubungan yang berkelanjutan antara orang yang
hidup dan orang mati. Dengan denikian, dalam spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi
ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (nafas menjadi
angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang
menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi begu).
Spirituaitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi telah
mengalami proses historis yang panjang yang diawali dengan adanya gejala
perubahan ke dalam unsur-unsur upacara yang cenderung mengarah pada nilainilai upacara gendang kematian mengikuti pola-pola modern. Pergeseran dari
tradisi (gendang lima sendalanen) ke modern (keyboard/trompet) beserta unsurunsur yang lain dalam upacara gendang kematian kelihatan indah dinikmati dan
disaksikan, bahkan terasa menyatu, baik secara individu maupun bersama, tetapi
perlahan kesakralan akan terabaikan. Pemakaian keyboard dalam musik tradisi
Karo pada mulanya dalam konteks guro-guro aron yang dimainkan hanya pada
gendang patam-patam (repertoar lagu yang bertempo cepat dalam tarian aron
muda-mudi). Pemakaian keyboard pada lagu patam-patam hanya bersifat
memberikan aksen tertentu pada komposisi tersebut. Dengan melakukan
eksperimen pencarian bunyi gendang lima sendalanen dengan cara meniru
berbagai pola melodi sarune dan pola ritmis gendang singanaki, gendang
singindungi, penganak, dan gung. Lama-kelamaan tercipta sebuah pola musik
yang diprogram dalam keyboard sehingga menggantikan posisi gendang lima
sendalanen menjadi keyboard tunggal dalam ensambel musik Karo yang kemudian
digunakan pada upacara gendang kematian.
Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian
etnik Karo pada era globalisasi mencakup faktor intern dan faktor ekstern. Faktor
intern adalah faktor-faktor yang muncul dari konstruksi budaya lokal itu sendiri,
seperti adanya masyarakat pendukung, budayawan/seniman dengan kreativitasnya,
dan konstruksi identitas dalam lokalitasnya di tengah-tengah pusaran arus budaya
global. Sebaliknya, faktor ekstern adalah faktor yang cenderung mengarah kepada
faktor penguasaan, standardisasi, keseragaman budaya yang dapat melengserkan
budaya lokal yang plural dalam kekaroan. Bahkan, dapat menghilangkannya
apabila tidak memiliki strategi ketahanan budaya upacara gendang kematian.
Faktor ekstern yang memengaruhi spiritualitas gendang kematian etnik Karo pada
8.2 Saran
Sesuai dengan tujuan dan temuan penelitian spiritualitas upacara gendang
kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran dapat disampaikan sebagai
berikut.
Pertama, para peneliti yang tertarik dengan gendang kematian etnik Karo
atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil
penelitian ini terbuka untuk dikritik. Selain itu, juga terbuka untuk penelitian
lanjutan, untuk dikaji secara mendalam dan mendapatkan pemahaman yang lebih
kritis dan teoretis berbagai dimensi spiritualitas upacara gendang kematian etnik
Karo pada era globalisasi.
Kedua,
penelitian
ini
dapat
dijadikan
kontribusi
sebagai
bahan
praktisi
seni
dalam
memecahkan
berbagai
permasalahan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan dan Iqbal, Ibnu. 2008. (ed). Agama dan Kearifan Lokal dalam
Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Taufik. 1994. Sumatera Utara dalam Lintas Sejarah: Sejarah
Perkembangan Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.
Medan: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara.
Adlin, Alfahri (ed.). 2007. Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Jalasutra.
Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Akbar, Ali. 2011. Tradisi Lisan sebagai Sumber Pencarian dan Pengidentifikasian
dalam Jurnal ATL, Edisi April. Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi
Peneliti dan Tradisi Lisan. Hal. 42--47. Jakarta: ATL.
Alfian. 1986. Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional. Jakarta:
UI Press.
Astra, I Gde Semadi. 2004. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Upaya
Memperkokoh Jadi Diri Bangsa dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra
(ed.) Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Bali: Fakultas Sastra
Universitas Udayana dan Balimangsi Press.
Bakan, Michael B. 1999. Music of Death and New Creation, Experiences in the
World of Balinese Gamelan Beleganjur Chicago: University of Chicago.
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi, Filsafat tentang Kosmos sebagai
Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Bakker, SJ J.W.M. 2005. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Kanisius.
Banawiratma, J.B., S.J. 1990. Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan
Ekumenis. Yogyakarta: Kanisius.
Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indayu Press
Bangun, Tridah. 1990. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta:
Yayasan Merga Silima.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (terj. Nurhadi).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (terj. Nurhaidi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 2010. Imaji Musik Teks : Analisis Semiologi atas Fotografi,
Iklan, Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra. (terj.
Agustinus Hartono) Yogyakarta: Jalasurta.
Berry, Thomas. 2013. Kosmologi Kristen. (terj. Amelia Hendani). Maumere:
Ledalero.
Bevans, Stephen B. 2002. Model-Model Teologi Kontekstual. (terj. Yosef Maria
Florisan). Maumere: Ledalero.
Boskoff, Alvin. 1964. Recent Theories of Social Change dalam Werner J.
Cahnman dan Alvin Boskoff, Sosiology and History : Theory and Reserch.
London: The Free Press of Glencoe.
Budiarto, C. Teguh. 2001.
Tarawang Press.
Yogyakarta:
Bukit, M. 1994. Sejarah Kerajaan dan Adat-istiadat Karo Kabanjahe: Toko Bukit
Capra, Fritjof. 1999. Menyatu dengan Semesta: Menyikap Batas antara Sains dan
Spiritualitas (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Capra, Fritjof. 2002. Jaring-Jaring Kehidupan, Visi Baru Epistomologi dan
Kehidupan (terj. Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. (terj.
Laily Rahmawati) Yogyakarta: Niagara.
Cooley, Frank L. 1976. Tim Penelitian GBKP dan Staf Proyek Survei Menyeluruh
DGI, Benih Yang Tumbuh IV, Suatu Survei Mengenai Gereja Batak Karo
Protestan. Jakarta: LPGI.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Grafiri.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. (Terj. Setyarini dan Piantari).
Yogyakarta: Jalasutra.
Dharmojo. 2005 Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi
Driarkara). Yogyakarta: Kanisius.
Dibia,
Agama.
(terj.
Kelompok
Griffin, David Ray. 2005. Visi-Visi Postmodern Spiritualitas dan Masyarakat (terj.
Gunawan Admiranto). Yogyakarta: Kanisius.
Gultom, Ibrahim. 2010. Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara.
Hardjana, Suka. 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta:
Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan
Hardjana, Suka. 2004. Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Buku Kompas.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
https://groups.yahoo.com/neo/groups/gbkp/conversations/topics/13572
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Musik_Pop_Theodor_Adorno
http://pariwisatakaro.blogspot.com/
http:/wikipedia.org/wiki/kabupatenkaro
Ibrahim, Abd Syukur (ed.). 2006. Semiotik: Handbook of Semiotics (Advances in
Semiotics). Terj. Ibrahim dkk. Surabaya: Airlangga University Press.
Ibrahim, Idi Subandy. (ed.). 1997. Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Chaospirituality di Taman Kontemplasi Batin:
Refleksi atas Fenomena Spiritualitas Akhir-akhir ini dalam Adlin (ed.)
Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer Hal. 153-161
Yogyakarta: Jalasutra.
Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gondrang Simalungun Struktur dan Fungsi dalam
Masyarakat Simalungun. Medan: Bina Media.
John, Liku Ada. 2006. Dialog Antara Iman dan Budaya. Jakarta: Konferensi
Waligereja Indonesia.
Kaelan, M.S. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:
Paradigma.
Munro, Thomas. 2007. Estetika Timur: Sebuah Kajian bagi Pertemuan antara
Budaya Timur dan Barat. (terj. Heribertus B. Sutopo). Surakarta: Seni
Rupa UNS.
Murgiyanto, Sal. (ed). 2003. Mencermati Seni Pertunjukan I Perspektif
Kebudayaan, Ritual, Hukum. Surakarta: Ford Foundation dan Sekolah
Tinggi Seni Indonesia.
Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan Inovasi Beberapa Masalah Tari Di Indonesia.
Jakarta: Weda Tama Widia Sastra.
Nakagawa, Shin. 1999. Musik dan Kosmos Sebuah Pengantar Etnomusikologi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Neumann, J.H. 1972.
Bhratara.
Patria, Nezar dan Andi, Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pelly, Usman. 2010. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Wujud
Budaya Spiritual (Kata Pengantar). dalam Ibrahim Gultom. Agama
Malim di Tanah Batak. hal. v xvi. Jakarta: Bumi Aksara.
Perret, Daniel. 2010. Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera
Timur Laut (terj. Saraswati Wardhany) Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Peursen. C.A. van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi. Jakarta:
Mizan Publika.
Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial. (terj. Samanjaya). Bandung:
Ultimus.
Prinst, Darwan. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media.
Prinst, Darwin. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media.
Pudentia, MPSS (ed). 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL
Pujaastawa, Ida Bagus Gde. 2011. Komodifikasi Lingkungan dan Implikasinya
terhadap Sistem Sosiokultrural di Desa Taro. Disertasi Doktor (S3) Kajian
Budaya Universitas Udayana. Bali.
Purba, Rehngenana. 2000. Lembaga Musyawarah Adat (Runggu) dan Perdamaian
Desa sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di
Tanah Karo. Medan: Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas
Sumatera Utara.
Puspa, Ida Ayu Tari. 2014 Bali Dalam Perubahan Ritual: Komodifikasi Ngaben di
Era Globalisasi. Provinsi Bali: Buku Arti.
Putro, Brahma. 1981. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Yayasan Massa
Rahyono. F.X. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta : Wedatama Widya
Sastra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ried, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia.
(terj. Masri Maris). Jakarta: KITLV dan OBOR.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. (terj. Muhammad Taufik).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ruly Darmawan. 2007. Spiritualitasi dan Kontekstualisasi Objek Visual dalam
Alfathri Adlin (ed) Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer.
hal. 143--151 Yogyakarta: Jalasutra.
Rumengan, Perry. 2010. Hubungan Fungsional Struktur Musikal - Aspek
Ekstramusikal Musik Vokal Etnik Minahasa. Yogyakarta: Institut Seni
Indonesia.
Rusbiantoro, Dadang. 2001. Bahasa Dekonstruksi ala Foucauld dan Derrida.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Safari, Agus & Hermana, W. (peny.) 2008. Ketika Musik Bambu Dibicarakan.
Bandung: Balai Pengelolaan TBJB.
Sangti, Batara (Ompu Buntilan Simanuntak). 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl
Sianipar Company.
Santosa dkk. 2007. Etnomusikologi Nusantara Perspektif dan Masa Depannya.
Surakarta: ISI Press.
Santoso, Heri. 2009. Metode Dekonstruksi Jacques Derrida: Kritik atas Metafisika
dan Epistemologi Modern. Dalam Santosa, Listyono (ed.). Epistemologi
Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media. Hal. 247--259.
Santoso, Listyono (ed.). 2009. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Rizz Media.
Sinar, Luckman Tengku. 2005. The History of Medan In The Olden Times. Medan:
PERWIRA.
Singarimbun, Masri. 1960. Seribu Perumpamaan Karo. Medan Ulih Saber.
Singarimbun, Masri. 1975. Kinship, Descent and Alliance Among the Karo Batak.
USA: California University Press.
Sinuraya. P. 2000. Sejarah Pemukiman dan Rumah Sakit Kusta Lau Simomo. Suka
Makmur: BPPM GBKP.
Sitepu, Bujur. 1952. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarso, S.P. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni.
Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Sugiartha, I Gede Arya. 2012. Kreativitas Musik Bali Garapan Baru di Kota
Denpasar. Disertasi Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana.
Bali.
Sugiharto, Bambang. 2006. Kebudayaan Filsafat dan Seni dalam Alfahtri Adlin
(ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas.
hlm. 3--21.
Yogyakarta: Jalasutra.
Sugiharto, Bambang. (ed). 2013. Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari.
Sukerta, Pande Made. 2009. Gong Kebyar Buleleng: Perubahan dan
Keberlanjutan Tradisi Gong Kebyar. Surakarta: Program Pascasarjana ISI
dan ISI Press.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB
Sumardjo, Jakob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press STSI.
Supanggah, Rahayu. (Ed). 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Yayasan Benteng
Budaya dan MSPI.
Sutrisnaatmaka. A.M. 2006 Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Budaya
Suku-Suku. Dalam John Liku Ada, (Ed). Dialog Antara Iman dan
Budaya. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia. Hal 95--121.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed.). 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Frans Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Synnott, Anthony. 2007. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. (terj.
Pipit Maizier). Yogyakarta: Jalasutra.
Takwin, Bagus. 2006. Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya
Hidup dalam Alfahtri Adlin (ed.). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan
Realitas. hlm. 35--54. Yogyakarta: Jalasutra.
Takwin, Bagus. 2009. Akar-Akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi
dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Tamboen, P. 1952. Adat-Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.
Tarigan, Hendry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo. Jakarta: Yayasan Merga
Silima.
Tarigan, Hendry Guntur. 1994. Antusen Bilangen ibas Kalak Karo, Makna
Bilangan pada Masyarakat Karo. Bandung: FPBS IKIP.
Tarigan, Kumalo. 2006. Mangmang: Analisis dan Perbandingan Senikata dan
Melodi Nyanyian Ritual Karo di Sumatera Utara. Penang: Tesis S2,
Etnomusikologi Universitas Sains Malaysia.
Tarigan, Prikuten. 2004. Perubahan Alat Musik dalam Kesenian Karo Sumatera
Utara. Tesis S2 Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar.
Tinarbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.
Turner,
Sosiologi
Modernitas
Posmodernitas.
Lampiran 1
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Ngambat Ginting
: 86 Tahun
: Laki-laki
: SR
: Veteran/ Pemerhati Kebudayaan
: Kuta Mbaru
2. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Alamat
: Kebun Tarigan
: 84 Tahun
: Laki-laki
: Seniman/Penarune
: SR
: Jl. Luku, Padang Bulan, Medan
3. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Alamat
: Gantar Sembiring
: 72
: Laki-laki
: Pensiunan guru/ Singerunggui
: SPG
: Barus Jahe
4. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Njenap Ginting
: 71 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Pensiunan/ Tokoh Masyarakat
: Barus Jahe
5. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Amat Depari
: 68 Tahun
: Laki-laki
: SMP
: Penggual, Perajin alat musik
: Seberaya
6. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Norma Br Tarigan
: 65 Tahun
: Perempuan
: SD
: Perkolong-kolong/Penyanyi
: Seberaya
7. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Joker Barus
: 62 Tahun
: Laki-laki
: SD
: Guru (dukun)
: Barus Jahe
8. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Ismail Bangun
: 60 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Budayawan
: Batukarang
9. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
8. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Darwan Tarigan
: 58 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Penarune/ Seniman
: Kaban Jahe
9. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Sorensen Tarigan
: 55 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Seniman, Perajin alat musik
: Medan
10. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Jasa Tarigan
: 54 Tahun
: Laki-laki
: SMA
: Penarune, Perkulcapi/Seniman
: Lona Garden Medan
11. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Kumalo Tarigan
: 53 Tahun
: Laki-laki
: Sarjana
: Dosen Etnomusikologi/ Seniman Karo
: Tanjung Sari, Medan
12. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerajaan
Alamat
: Jenda Bangun
: 52 Tahun
: Laki-laki
: Sarjana
: Budayawan/ Seniman / Wartawan
: Delitua
13. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Jekmen Sinulingga
: 52 Tahun
: Laki-laki
: Magister
: Dosen USU/ Pemerhati kebudayaan
: Koserna, Medan
14. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
15. Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara untuk penelitian Spiritualitas Upacara Gendang
Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi diklasifikasikan berdasarkan rumusan
masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Klasifikasi yang dimaksud berdasarkan
(A) gambaran umum (B) rumusan masalah 1, (C) rumusan masalah 2, dan (D)
rumusan masalah 3. Sebagai pedoman wawancara, daftar pertanyaan ini disusun
menurut pokok-pokok kenyataan dan akan dikembangkan sesuai dengan
konteksnya di lapangan dan penyampaiannya disesuaikan dengan situasi, bahasa,
dan latar belakang para informan yang dipilih.
A. Gambaran umum
1. Bagaimanakah letak, sejarah georafis, penduduk, dan sosial masyarakatnya?
2. Bagaimanakah bentuk organisasi sosial?
3. Bagaimanakah adat istiadat etnik Karo?
4. Bagaimanakah asal usul gendang lima sendalanen dalam gendang kematian
etnik Karo?
5. Adakah cerita rakyat yang berkaitan dengan gendang kematian etnik Karo?
5. Apakah makna gendang lima sendalanen bagi budaya Karo dan masyarakat
Karo?
6. Apa makna gendang kematian bagi budaya Karo dan masyarakat Karo?
7. Usaha apa yang dilakukan masyarakat Karo dalam mempertahankan gendang
lima sendalanen sampai saat ini?
8. Apakah gendang lima sendalanen memiliki potensi untuk berdaya kembali?
Jelaskan!
9. Apakah makna landek (menari) pada upacara gendang kematian?
10. Adakah makna filosofi yang menjadi pegangan masyarakat Karo terkait
dengan upacara gendang kematian?
11. Unsur-unsur dalam upacara gendang kematian, salah satunya adalah gendang
lima sendalanen, apakah gendang mempunyai hubungan dengan sistem
kekerabatan pada masyarakat Karo?
12. Perubahan apa yang paling tampak pada etnik Karo terkait dengan upacara
gendang kematian?
13. Apakah masyarakat Karo masih berharap mewariskan gendang lima
sendalanen pada upacara gendang kematian kegenerasi berikut sebagai
warisan leluhur orang Karo. Jika tidak, mengapa? Jika ya, strategi apa yang
harus dilakukan terkait dengan pewarisan ini?
Lampiran 3
Pulau Sumatera
Kabupaten Karo
Sumatera Utara
Lampiran 4
Daftar Foto
Gambar L.4.1
Sang Istri meratapi suami yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.2
Kalimbubu simada dareh mem-bulangi anak beru-nya yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.3
Petuah dari Kalimbubu sebelum mayat dibawa ke losd/Jambur
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.4
Anak beru mengangkat peti mayat ke tempat upacara dilaksanakan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.5
Ucapan selamat jalan dari sukut saudara yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.6
Pihak sukut meratapi saudaranya yang meninggal
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.7
Anak beru mengiris pohon pisang untuk dijadikan persiapan makan siang
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.8
Anak beru mempersiapkan makan siang untuk keluarga dalam upacara
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.9
Anak beru mengucapkan selamat jalan kepada kalimbubu-nya
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.10
Pihak sukut sedang menari dalam acara upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.11
Anak beru, dari sukut menyerahkan utang adat kepada kalimbubu simada dareh
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.12
Kalimbubu simada dareh, erlebuh sambil
memanggil kembali seolah-olah mayat masih hidup
(Dokumen Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.13
Pihak sukut sedang menyelimuti mayat dengan dagangen kehormatan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.14
Cucu-cucu yang meninggal sedang membawa dagangen sebagai tanda kasih
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.15
Liturgi gereja sebelum mayat dibawa ke kuburan
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.16
Sebagai simbol, pengurus gereja melemparkan tanah ke dalam
kuburun yang akan diikuti oleh semua keluarga
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.17
Penaburan bunga oleh keluarga setelah selesai liturgi gereja
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.18
Penaburan bunga oleh sukut keluarga setelah selesai liturgi gereja
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2013)
Gambar L.4.19
Jip Sembiring sebagai Anak beru sedang memberikan petunjuk kepada perkolongkolong Sabarta Br Sitepu, tentang apa yang harus disampaikan dalam katonengkatoneng pada acara berikutnya.
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.20
Gendang Lima Sendalanen dalam gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.21
Wawancara dengan sierjabaten usai upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.22
Unsur-unsur instrumen musik yang terdapat dalam ensambel
gendang lima sendalanen pada upacara gendang kematian etnik Karo
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar L.4.23
Saat peneliti mewawancarai salah seorang penggual singindungi
pada upacara gendang kematian.
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2011)
Gambar L.4.24
Peneliti sedang memainkan gendang singindungi pada
upacara gendang kematian dalam rangka observasi
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.25
Suasana wawancara peneliti dengan seorang pemain keyboard
pada upacara gendang kematian etnik Karo.
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.26
Sarune dan Keyboard dalam upacara gendang kematian,
pemain keyboard terlihat diam karena bunyi untuk kebutuhan upacara
yang sebelumnya sudah diprogram
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.27
Organ tunggal/ Kibod pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.28
Wawancara dengan Seniman Karo Ismail Bangun, Yuanto Ginting dan Bangun
Tarigan usai latihan keteng-keteng di dinas Pariwisata Kab. Karo Berastagi
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)
Gambar L.4.29
Ensambel Tiup, yang dikenal pada etnik Karo dengan istilah
trompet pada upacara gendang kematian
(Dokumen: Pulumun P. Ginting, 2012)