Anda di halaman 1dari 3

FORMATIO IMAN DALAM KELUARGA

Di antara tugas yang paling penting dalam pembinaan iman


di abad 21 ini adalah menciptakan sebuah ekosistem yang baik
(osmosis) dan sistem di seluruh rentang kehidupan secara
keseluruhan. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan ekosistem
iman itu? Ekosistem sendiri diartikan sebagai suatu sistem yang
dibentuk oleh interaksi antar organisme yang hidup saling terkait
satu sama lain dalam satu lingkungan. Jika itu menyangkut
ekosistem hidup beriman, maka sistem atau jaringan
interkoneksinya adalah soal iman dan segala macamnya.
Kita menyadari bahwa selama lebih dari 70 tahun di
Keuskupan Agung Semarang (KAS), telah memiliki ekosistem yang
begitu terintegrasi. Itu terdiri dari praktek iman multigenerasi dari
keluarga, kelompok jemaat dan segala partisipasinya, baik dalam
Perayaan Mingguan, Pelajaran/Katekese Inisiasi, Katekese lanjut
untuk anak-anak dan pemuda; dan kelompok-kelompok yang
terpisah lainya dari kaum muda, anak-anak, tua dan orang dewasa.
Saat inipun, KAS telah menyadarinya dengan Formatio Iman
Berjenjang, satu kesadaran baru yang akan terus dikembangkan
oleh Keuskupan dalam rangka mewujudkan iman mendalam dan tangguh. Proses formatio iman yang
dimaksudkan merupakan usaha pendampingan dan pendalaman demi kepentingan meningkatkan mutu
hidup beriman seseorang. Upaya tersebut diusahakan dengan aneka metode, situasi, dan suasana, agar
orang merasa ditumbuhkembangkan baik pengetahuan maupun sikap hidupnya.
Satu hal yang akhirnya perlu disadari, bahwa formatio iman itu akan berhasil jika
memperhitungkan salah satu elemen pentingnya adalah tradisi keimanan dalam keluarga. Tradisi
keimanan dalam keluarga merupakan salah satu unsur penting untuk menciptakan ekosistem hidup
beriman itu (osmosis). Banyak tradisi Kristen sangat bergantung pada tradisi iman etnisitas atau
tradisi kekristenan yang telah dibawa dari akarnya, yaitu keluarga. Intinya, sangat disadari bahwa tradisi
keimanan dalam keluarga secara eksplisit maupun implisit mendukung sistem nilai dan praktek
Kekristenan. Dan, akhrinya kita menyadari juga bahwa ekosistem iman itu telah terkikis selama
beberapa dekade terakhir karena semua perubahan dalam budaya dan masyarakat, keluarga, teknologi
dan komunikasi, serta berbagai pengaruh lainnya. Lingkungan telah berubah, dan hubungan antara
pembinaan iman jemaat dan lingkungannya telah berubah. Kita perlu dan membutuhkan upaya re-
ekosistem pembinaan iman yang mencerminkan konteks perubahan itu.
Bagaimana kita dapat semakin memperdalam identitas Kristen dan komitmen untuk
berpartisipasi aktif dalam komunitas iman Katolik yang mengembangkan formatio iman yang utuh.
Pertama, pentingnya memperkuat hubungan atau koneksi lintas generasi; meningkatkan rasa memiliki
dalam komunitas iman; dan memberikan model bagaimana peran orangtua atau orang dewasa berharga
untuk anak-anak dan remaja. Diperlukan dukungan keluarga dengan lingkungan sekitar, serta komunitas
iman mereka dengan melibatkan seluruh keluarga untuk membentuk pengalaman bersama-sama
(merawat hubungan, merayakan, belajar, berdoa, melayani, dll). Kedua, memberikan orangtua
kesempatan belajar mempraktekkan iman mereka dan membesarkan anak-anak mereka dengan tradisi
kekristenan yang setia. Ketiga, mencoba memperkuat kemampuan (kepercayaan diri dan kompetensi)
dari orangtua dan kakek-nenek (enlarged family) untuk mempromosikan pendidikan iman di rumah
dengan menjadi panutan serta terlibat dalam praktek iman dan senantiasa mengembangkan hubungan
yang hangat, tanpa syarat untuk mendukung hubungan yang mendalam antara orang tua, kakek-nenek
dan anak-anak, remaja, dan orang muda.
Formatio iman dalam keluarga tentu harus melibatkan seluruh keluarga, bersama-sama dalam
proses pembinaan iman dalam kehidupan mereka sehari-hari. Formatio iman dalam keluarga haruslah
menghubungkan semua orang dalam hidup keluarga sebagai sebuah keluarga termasuk, orang tua/
wali, kakek-nenek, orang muda, anak-anak, atau siapa pun. Bagaimana hal itu, mulai kita pikirkan. Apa

1
saja yang perlu diperhatikan untuk dikembangkan. Ada beberapa catatan yang perlu menjadi refleksi
kita bersama, yaitu:

1. Merawat dan mengembangkan iman berbasis keluarga


Kita perlu terus menerus, tanpa henti, untuk senantiasa memelihara iman orangtua dan keluarga.
Senantiasa meningkatkan partisipasi mereka dalam kehidupan gereja dengan mengupayakan
berbagai proses pembinaan antargenerasi yang berbasis keluarga, sehingga semakin
mengembangkan tradisi, praktik, dan cara hidup Kristen yang ideal. Partisipasi iman antargenerasi
dengan basis keluarga, akan menciptakan kebersamaan, sehingga didalamnya dikembangkan
hubungan belajar bersama, berbagi iman, berdoa bersama, melayani, dan merayakan ritual dan
tradisi. Dan, tentu saja akhirnya, hal itu akan serta-merta membantu mengembangkan iman
orangtua dan kakek-nenek untuk meningkatkan kepercayaan dan kompetensi mereka untuk
semakin terlibat dalam praktek iman di rumah.
Kita perlu mengusahakan formatio iman keluarga melalui berbagai kegiatan dan sumber daya,
melalui perayaan moment-moment liturgi, perayaan berbagai ritual dan tradisi, doa dan rekoleksi.
Jika kita lihat, ada yang menarik bisa kita kembangkan, yaitu dengan mengajak keluarga senantiasa
menyadari saat-saat berarti (moments of meaning) di dalam keluarga sebagai pusat
pendidikan iman. Setiap hari, keluarga mengalami apa yang kita sebut "Saat-saat yang berarti" yang
memiliki potensi menjadi pendidikan keimanan yang tak tergantikan. John Shea pernah menuliskan,
bahwa di dalam setiap keluarga selalu terjadi saat-saat berarti itu, meskipun mereka tidak begitu
menyadarinya, namun biasanya berdampak lebih dalam. Misalnya, saat-saat berarti (moments of
meaning) di dalam keluarga, peristiwa kematian orangtua kita, atau sanak keluarga lainnya,
peristiwa yang menyentuh, jatuhcinta, pengkhianatan, dan lain sebagainya, sebagai sesuatu yang tak
terduga, apapun itu sebagai kedatangan berkat, atau tiba-tiba sebagai tragedi. Tapi apa pun itu, kita
merasakan kita memiliki pengalaman yang menyentuh dan biasanya selalu hadir dalam
hubungannya dengan Allah dan eksistensi hidup kita.
Akibat dari peristiwa itu, entah memiliki dampak; tetapi senantiasa membuat kita berpikir sesuatu
yang lebih dalam. Maka, pengalaman itu, perlu disaring melalui lensa iman dan spiritualitas, untuk
semakin menyadari kehadiran Tuhan. Tentu juga, hal itu akan mengembangkan iman dengan satu
dan lainnya, walaupun hubungannya informal, namun senantiasa menumbuhkan iman. Selain saat-
saat yang luar biasa itu, banyak juga saat-saat biasa yang mungkin tak terdeteksi, namun itu
nantinya akan menjadi saat berarti, jika dibingkai dalam terang iman.
2. Mengupayakan secara terus menerus asuhan iman (parenting)
Kita perlu terus mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan dari setiap orangtua
(dan kakek-nenek) dengan memanfaatkan paham dan dasar-dasar soal pengasuhan yang efektif,
termasuk seberapa dekat, hangat, dan bagaimana gaya orangtua memfasilitasi transmisi iman.
Ada pendeta Lutheran dan pendiri Faith Inkubators bernama Dr Kaya Melheim, mempraktekan apa
yang disebutnya Faith5. Faith5 adalah lima langkah sederhana yang harus dilakukan oleh setiap
orangtua setiap malamnya kepada anak-anaknya yang berusia 5-8 tahun sebelum mereka tidur. 5
Langkah itu sebagai berikut:
a. Langkah 1: Berikanlah harapan dan sesuatu yang membangun kepada anak-anak kita.
Arahkanlah anak-anak kita kepada hal-hal positif, harapan dan kebanggaan. Jauhkanlah dari
keputusasaan dan bantulah mereka melihat bahwa tidak ada hari yang semuanya buruk. Selalu
ada sesuatu untuk memuji Tuhan. Untuk anak-anak yang cenderung pesimis atau bahkan
depresi, ini adalah kesempatan bagi keluarga untuk membantu mereka belajar untuk
membingkai ulang pikiran negatif menjadi positif, solusi penuh harapan. Begitu juga, ajaklah
anak-anak mengakui kesalahan dan berusaha menjadi penyembuh luka dan rekonsiliasi
kesalahan hari ini.
b. Langkah 2: Baca satu ayat Alkitab atau ceritakanlah suatu kisah dari Alkitab atau buku-buku
iman anak. Cerita dan ayat akan menjadi kenangan paling manis sebelum mereka tidur.

2
c. Langkah 3: Kemudian, bicarakan bagaimana ayat atau kisah-kisah Alkitab itu artinya.
Pembicaraan, tidak harus dengan pengetahuan iman yang mendalam, cukup dengan arti dan
makna paling inti, sederhana saja dan simpel.
d. Langkah 4: Ajaklah berdoa. Dalam hal ini, orangtua memiliki kesempatan untuk mengajarkan
anak-anak mereka berefleksi secara sederhana. Melheim mendesak orangtua mengajak anak
untuk meletakkan masalah mereka di hadapan Tuhan dalam doa. Doa dapat bersifat doa pendek,
menawarkan terima kasih atas hari, dan meminta bantuan Tuhan untuk mereka agar senantiasa
bersikap rendah hati. Doa dapat dipadukan dengan doa Bapa Kami dan doa Salam Maria.
e. Langkah 5: Berikanlah berkat dan kecupan manis kepada anak-anak kita. Melalui berkat, kita
sebagai orangtua memberikan kado hari yang indah. Tetapi yang lebih penting, anak-anak
semakin memahami bahwa sebelum mereka pergi tidur, ada berkat dan peneguhan dari
orangtuanya, yang mencintai mereka. Dan, hal ini tentu sangat mempengaruhi memori jangka
panjang mereka. Melheim mendesak, intinya, untuk memberikan anak-anak pengingat bahwa
mereka milik Allah yang mengagumkan, mereka dicintai dan tidak akan pernah meninggalkan
mereka. Kita juga diajak untuk menggunakan kutipan seperti Yeremia 29:11 atau Mazmur 121: 7-
8, atau hanya mengatakan sesuatu seperti ini: Ibu dan Bapak akan selalu mencintaimu, dan Yesus
akan selalu mencintaimu. Tidak akan ada yang pernah bisa menghilangkan cinta Yesus dan cinta
Bapak Ibu.
3. Memperkuat pendampingan iman keluarga
Kita perlu meningkatkan formatio iman dengan juga fokus kepada pendampingan kehidupan
keluarga. Formatio iman tidak dapat dilepaskan dari pendampingan dan penguatan hidup
berkeluarga yang baik. Dalam sebuah penelitian di Amerika, ada kualitas kunci atau aset, yang
membantu semua keluarga menjadi kuat, yaitu:
a. Memelihara secara terus menerus hubungan (Nurturing relationships) : menciptakan komunikasi
yang positif, memelihara hubungan kasih sayang, menciptakan keterbukaan emosional, dan
senantiasa mendorong untuk mengejar kemajuan kualitas hidup berkeluarga.
b. Memelihara kegiatan rutinitas (Establishing routines): makan bersama dalam keluarga, kegiatan
bersama, mengupayakan tradisi yang bermakna (liburan, ritual, perayaan).
c. Selalu mengajak melihat harapan (Maintaining expectations): keterbukaan tentang topik yang
sulit, membicarakan aturan yang adil, menetukan batas-batas bersama, melihat harapan yang
jelas, senantiasa berkontribusi untuk keluarga.
d. Beradaptasi dengan tantangan (Adapting to challenges): mengelola senantiasa komitmen harian,
berbicara dan menyelesaikan masalah bersama, mengambil keputusan secara bersama.
e. Senantiasa berhubungan dengan masyarakat-relasi sosial (Connecting to the community):
hubungan dengan lingkungan, hubungan dengan orang lain dalam masyarakat, berpartisipasi
dalam memperkaya berbagai kegiatan kemasyarakatan, mendukung dan berkontribusi dalam
masyarakat

Purwono Nugroho Adhi


Komkat KAS 2015

Disarikan dari Family Faith Formation, Life Long Journal

Anda mungkin juga menyukai