Anda di halaman 1dari 10

BANGGA MENJADI PPA

(PUTRA/PUTRI ALTAR)

DI ZAMAN NOW

PAROKI ST. FRANSISKUS DE SALES, KOKOLEH


MENGAPA KITA PERLU BANGGA?

1. Hanya di Katolik yang memiliki seorang pelayan dari alter


christus (Kristus yang lain) IMAM,USKUP, PAUS
(KAUM HIERARKI)

2. Telah ada berabad-abad tahun yang lalu.


3. Memiliki pelindungnya sendiri: St. TARSISIUS
SEJARAH PPA

• Sejak awal Gereja, para uskup dan imam yang merayakan ekaristi biasanya
dibantu oleh lektor dan akolitus. Mereka dipilih dan dilantik untuk membantu
imam dan diakon dalam menyiapkan altar dan bejana-bejana kudus (akolitus),
atau mewartakan bacaan-bacaan kudus selain Injil (lektor). Para lektor dan
akolitus adalah para calon imam yang sedang “berguru” pada sebuah gereja di
bawah bimbingan seorang pastor paroki. Tetapi sejak pembaruan pendidikan
seminari dalam Konsili Trente (1562-1563) yang mewajibkan para calon imam
yang telah dilantik sebagai lektor dan akolitus untuk menjalankan pendidikan di
seminari, muncullah kebutuhan memilih dan melantik umat Allah supaya bisa
menjalankan pelayanan ini.
• Sejak awal, pelayanan di seputar altar selama perayaan ekaristi dibatasi hanya
pada kaum laki-laki. Paus Benediktus XIV dalam ensikliknya berjudul Allatae Sint
(26 Juli 1755) bahkan mengecam para perempuan yang melayani imam selama
perayaan ekaristi. “Perempuan dilarang keras melayani altar; mereka juga
seharusnya bersama-sama menolak pelayanan ini,” demikian tegas Paus
Benediktus XIV (Pope Benedict XIV, Encyclical Allatae Sunt, July 26, 1755, art. 29).
[3]
• Sikap keras gereja ini akhirnya berubah menjelang dan setelah Konsili Vatican II. Di
Jerman, misalnya, pelayanan di sekitar altar sebagai putri altar sebenarnya sudah
diperkenalkan sejak tahun 1965. Melalui dokumen Liturgicae Instaurationes,[4]
Vatican berusaha melarang perempuan sebagai pelayan altar (Liturgicae
Instaurationes, Art. 12), dan menegaskan sekali lagi pelarangannya pada tahun
1980 melalui instruksi Inaestimabile donum (Inaestimabile donum, Art. 18)[5],
dampaknya sama sekali tidak efektif. Angin keterbukaan yang dihembuskan Konsili
Vatican II menyebabkan praktik ini semakin meluas di banyak paroki di dunia.
• Di balik seluruh perdebatan ini, kita belajar bahwa melayani di sekitar altar
bukanlah hak yang dapat dituntut setiap umat Allah. Pelayanan ini adalah
sebuah panggilan yang harus ditanggapi dengan sikap keterbukaan hati
kepada Allah yang memanggil. Kalau terjadi bahwa gereja lokal tertentu
belum mengizinkan perempuan sebagai pelayan altar, ini tetap harus
dihormati sebagai sebuah sikap pastoral yang bijak karena
mempertimbangkan tradisi panjang gereja lokal. Selain itu, jika pelayanan
sebagai putra altar semula dimaksudkan gereja juga sebagai kesempatan
memupuk panggilan imamat sejak dini, seharusnya itu juga terjadi pada putri
altar; bahwa mereka dapat memandang panggilan hidup dibaktikan sebagai
kesempatan untuk melayani Allah secara lebih eksklusif.
• Spiritualitas Putra-Putri Altar
• Sambil menegaskan bahwa menjadi putra-putri altaradalah
pelayanan suci sehingga harus ditanggapi dengan rasa
syukur dan terima kasih, Uskup Agung Jakarta, Mgr. I.
Suharyo juga melihat bahwa pelayanan ini menjadi
kesempatan untuk saling mengenal dan bertumbuh dalam
iman. Saling mengenal dan menjadi dekat satu sama lain,
menurut Mgr. Suharyo, akan menjadi pengalaman yang
sangat membekas dan akan dikenang seumur hidup. Itulah
semangat cinta persaudaraan di antara para putra dan putri
altar.
• . Pertama-tama mereka memaknakan pelayanan sucinya sebagai panggilan untuk berdoa
dan demi sebuah misi suci. Ini dikatakan Paus Fransiskus di hadapan 9 ribu putra-putri
altar dalam pertemuan dan doa di Vatican, tanggal 4 Agustus 2015.[10] Menjadi putra-
putri altar adalah jawaban atas panggilan dan keterbukaan diri untuk berada semakin
dekat dengan Tuhan, mengalami keterbukaan yang intim dengan Yesus, mengalami daya
dan kelembutan kehadiran-Nya”. Itu artinya, menjadi putra-putri altar juga harus diikuti
dengan pertobatan yang terus-menerus dan perbaikan diri yang kontinyu. Tanpa itu,
pelayanan putra-putri altar hanya akan direduksikan semata-mata sebagai “pembantu”
imam dalam perayaan ekaristi.
• Spiritualitas putra-putri altar juga nampak secara nyata dalam seluruh simbol yang
mereka tampakkan. Jubah putih, lilin, salib, bahkan sikap dan gerak tubuh, semuanya
melambangkan kedekatan dengan Allah yang mereka layani. Gerak tubuh yang harmonis
dan ritmik, sikap tubuh yang sopan, perhatian yang tak-terbagi pada jalannya perayaan
ekaristi, penguasaan atas bagian-bagian misa, akan menjadi tanda dan undangan bagi
umat Allah untuk semakin dekat dengan Tuhan. Dalam pelayanan, para putra-putri altar
mengangkat jiwa segenap umat ke surga ketika mereka mewakili para malaikat dalam
perjamuan kekal, di mana Yesus sendirilah yang menjadi imamnya.
SANTO TARSISIUS (PELINDUNG MISDINAR)

• Tarsisius adalah seorang pelayan altar (akolit) yang hidup di abad ketiga,
pada zaman pemerintahan Kaisar Valerianus. Ia tinggal di Roma, Italia.
Ketika berumur sepuluh tahun, ia bersama ibunya biasa mengikuti Misa
pagi. Masa itu masa penganiayaan bagi umat Kristiani; karena itu Misa
pagi dilakukan di tempat yang tersembunyi.  Setelah memastikan
sekelilingnya aman, Tarsisius mengetuk sebuah dinding batu. Itu adalah
pintu masuk menuju sebuah makam bawah tanah yang dijadikan kapel.
Tempat ini sering disebut katakombe. Mereka berjalan merangkak masuk,
dan di sana ditemukan begitu banyak umat Kristiani yang sedang berdoa.
• Tak lama kemudian, muncul seorang imam. Mereka bersama-sama
merayakan Perjamuan Tuhan. Tarsisius merasa amat bahagia bila
menerima Tubuh Kristus. Setiap kali mendengar imam berkata:
“Makanlah dan minumlah, inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku”, Tarsisius
merasa damai.
• Namun hari itu, setelah Misa selesai, pastor yang memimpin misa
(Tradisi lain menyebutkan : Paus yang memimpin misa) melihat
sekeliling. Ia berseru, “Kita sama seperti saudara-saudara kita yang
rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang
dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan ke tengah singa
lapar. Mereka hanya berharap agar sebelum mati di mulut singa-
singa lapar itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang
Mahakudus. Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?”

Anda mungkin juga menyukai