Anda di halaman 1dari 4

Sakramen Krisma

Sakramen Krisma: “Menjadi saksi Kristus”

Melalui penumpangan tangan dan pengurapan dengan minyak di dahi, seorang jemaat Kristen
mendapatkan segala hak dan kewajibannya sebagai anggota jemaat, bukan hanya sebagai
pribadi. Roh Kudus memampukan dia untuk menunaikan tugasnya, yaitu mengaktualkan
keselamatan di dalam jemaat, membina diri bersama sebagai jemaat. Hal ini menyangkut tugas
misioner seluruh jemaat; ia ikut serta dalam imamat Kristus (imamat umum).

Dari segi makna, sakramen Krisma secara tegas dan eksplisit membuat Roh
Kudus menjadi semakin tampak sebagai kekuatan Gereja. Seorang penerima
Krisma, berkat Roh Kudus ikut ambil bagian dalam tugas misioner aktif dan publik –
sebagai tugas perutusan Yesus sendiri. “Kalau Roh Kudus turun atasmu, kamu akan menjadi
saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea, dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8).

Oleh sakramen Krisma, seseorang diangkat dan ditugaskan dengan kekuatan Roh Kudus menjadi
bagi Kristus sebagai Mesias. Seseorang menerima tugas kewajiban membangun dunia menuju
penyelesaiannya, yaitu Kerajaan Allah sendiri. Maka, sakramen Krisma menggarisbawahi aspek
sosial dari sakramen inisiasi.

Kristus adalah Sakramen


Kristus adalah sakramen karena di dalam Kristus Allah Sang Penyelamat hadir dan
kelihatan, di dalam Dia Allah mewujudkan dan melaksanakan karya penyelamatan-Nya bagi
semua orang. Yesus Kristus adalah pribadi yang berciri sakramental, karena Dia adalah benar-
benar manusia yang pernah hidup dan dalam Yesus Kristus kita dapat berjumpa dan mengalami
Allah sendiri. “Barang siapa telah melihat aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9).
Kristus adalah Sakramen Induk: Yesus Kristus dengan seluruh pribadi dan karya-Nya
menjadi tanda dan sekaligus menghadirkan secara utuh Allah sendiri. Yesus tidak hanya
mewartakan Allah, Bapa yang penuh belas kasih dan bahwa Kerajaan-Nya sudah dekat, tetapi
Yesus juga mengidentifikasikan diri dan pewartaan-Nya dengan Allah sendiri. Mengajar sebagai
orang yang berkuasa dengan berkata “Aku berkata kepadamu ....” (Mrk 1:22; Mat 7:29), “Akulah
jalan kebenaran dan hidup....Barangsiapa melihat Aku melihat Bapa” (Yoh 14:6-7), sikap-Nya
menunjukkan kehadiran dan kedekatan Allah sendiri pada manusia dengan mengampuni dosa
(Mat 9:6), “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa” (Yoh 10:37-38). Dan bahwa “Dia
adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar Allah” (Ibr 1:1-3).
Memampukan orang menjadi saksi Kristus

Dalam teologi, orang yang telah mengalami inisiasi itu diberi karunia Roh Kudus. Roh Kudus
inilah yang akan memampukan orang menjadi saksi Kristus, artinya menjadi orang
Kristen yang penuh, sungguh-sungguh dan dewasa.
Ia tidak lagi menjadi anggota Gereja yang hanya pasif menerima rahmat Kristus, melainkan ia
aktif berperan dalam seluruh kehidupan Gereja, termasuk misi Gereja untuk meneruskan
keselamatan Kristus.

B. Tentang Krisma

Istilah “Krisma”

Sakramen Penguatan juga biasa disebut dengan Krisma. Kedua istilah ini digunakan
dalam dokumen resmi Gereja. “Penguatan” merupakan terjemahan dari kata Latin “confirmatio”,
sedangkan “Krisma” berasal dari kata Yunani “chrisma” atau “krima” (pengurapan), yang kata
kerjanya adalah “chrio” atau “chriein” (mengurapi)1.

Data tulisan Perjanjian Baru yang pada masa kemudian menjadi semacam dasar teologi
dan liturgi Penguatan atau Krisma2

 Pertama, Perjanjian Baru menghubungkan penerimaan karunia Roh Kudus dengan


pengurapan minyak. Karunia Roh (Allah) yang dihubungkan dengan tindakan
pengurapan ini sudah ada sejak Perjanjian Lama (bdk. 1 Sam 16:13; Yes 61:1). Dengan
diurapi berarti orang Kristen beroleh bagian dalam pengurapan Roh Allah pada diri
Yesus Kristus (bdk. 2 Kor 1:21-22; 1 Yoh 2:20,27). Yang menarik, pengurapan Roh
Kudus atas diri orang Kristen ini dalam Perjanjian Baru tidak tampil sebagai suatu
tindakan ritual atau upacara yang dilakukan dalam rangka ibadat. Sedangkan dalam
Gereja abad-abad pertama, ritus pengurapan dengan dengan minyak masih dihubungkan
secara erat dengan baptisan.
 Kedua, Perjanjian Baru juga mengenal tindakan penumpangan tangan yang
dihubungkan dengan tindakan pencurahan Roh Kudus (Kis 8:14-17; 19:1-7). Teks-teks
tersebut berkaitan dengan makna Gereja Apostolik sebagai karya Roh Kudus. Artinya,
seseorang baru benar-benar masuk dalam Gereja yang benar jika sudah berada dan masuk
ke dalam kepemimpinan Gereja (induk) di Yerusalem.
 Dari data Perjanjian Baru itu dapat disimpulkan bahwa ritus inisiasi pada mulanya
merupakan satu kesatuan sebagaimana dipraktekkan dalam baptisan. Jelaslah pada masa
itu belum ada suatu ritus atau upacara sakramen Krisma, sebagaimana kita pahami
sekarang.

1
Ibid., hlm. 245.
2
Ibid., hlm. 245-247.
Tiga dimensi Sakramen Penguatan3

1. Dimensi antropologis: sesuai dengan kebutuhan dasar manusia


Materia sakramen Penguatan adalah minyak. Ternyata minyak itu merupakan simbolisasi
yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari.hari. Di samping itu, simbolisasi
penumpangan tangan juga biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, simbol-simbol pokok sakramen Penguatan berhubungan dengan kehidupan dan
kebutuhan dasar hidup manusia.
2. Dimensi sakramental-ekklesiologis: partisipasi dalam tugas Gereja
Penguatan atau Krisma bukan saja memberikan kekuatan dalam melawan kuasa
kejahatan, tetapi juga melantik dan dan memampukan seseorang untuk memikul tugas
dan tanggung jawab Gereja. Penguatan atau Krisma menunjuk dengan baik segi
tanggungjawab masing-masing pribadi itu bagi tugas misioner Gereja.
3. Dimensi kristologis: saksi Kristus
Kalau sakramen Penguatan disebut sakramen Roh Kudus, maka itu sama sekali bukan
berarti bahwa dalam Baptis karunia Roh Kudus belum dicurahkan. Gereja selalu
memahami bahwa dalam Baptis karunia Roh Kudus sudah dicurahkan. Roh Kudus yang
sama hadir dalam kedua sakramen, bahkan juga semua sakramen. Yang berbeda
hanya pada fungsi atau peranan Roh Kudus dalam masing-masing sakramen. Roh
kudus dalam Baptis lebih ber-fungsi menguduskan seseorang, mengampuni dosa orang,
membuat orang tersebut menjadi anak-anak Allah dan mempersekutukan dia dengan
Allah melalui Kristus dan dengan semua warga Gereja. Sedangkan Roh Kudus dalam
Krisma lebih memampukan seseorang untuk menjadi saksi Kristus, serta secara penuh
berpartisipasi dalam dalam satu-satunya imamat Perjanjian Baru, yakni imamat Kristus.
Dengan Krisma seseorang diikutsertakan secara penuh dalam imamat umum umat
beriman. Maka, Konsili Vatikan II juga mengajarkan bahwa “sakramen Penguatan
memberi daya kekuatan kepada orang beriman untuk menjadi saksi Kristus” (LG, art.
11).

Refleksi sistematis: suatu teologi Penguatan4

1. Realisasi iman berkat daya Roh Kudus


Iman personal tentu merupakan karunia dan pemberian Allah. Allah
memungkinkan manusia untuk beriman. Melalui Sakramen Penguatan, Roh
Kudus memampukan seseorang secara eksplisit dan resmi sebagai murid
Kristus dan konsekuensinya: menjadi saksi Kristus. Inilah sebabnya, Gereja
Barat masih memandang perlu agar praktek pemberian Krisma dilakukan
hanya kepada orang-orang yang sudah dapat menggunakan akal budi dan
dapat bertanggungjawab terhadap tugas dan kewajiban.
2. Menghayati Roh Kudus sebagai jiwa dan prinsip hidup Gereja
Penguatan merupakan sakramen yang secara khusus merayakan karunia Roh
Kudus bagi pembangunan atau pembentukan Gereja. Penguatan juga
membantu orang untuk ikut terlibat dalam tugas dan peranan Gereja dalam
rangka sejarah keselamatan Allah; dan Roh kudus adalah jiwa dan prinsip
hidup Gereja. Hal ini merupakan keyakinan tradisional Gereja, seperti sudah
dikatakan oleh Agustinus, para Paus, dan juga dalam Dokumen Konsili
Vatikan II (LG, art. 7). Pencurahan Roh Kudus atas jemaat pada hari
Pentakosta (Kis 2) dalam arti tertentu merupakan pencurahan Roh Kudus
yang terjadi pada diri Yesus (Luk 4). Maka, pencurahan Roh Kudus bagi
Gereja boleh dikatakan sebagai pengembangan dan konkretisasi karya
keselamatan eskatologis yang sudah terlaksana dalam Kristus pada dimensi
historis dan jemaat konkret sepanjang sejarah Gereja (LG, art. 4). Melalui
Krisma, Roh Kudus meng-galang dan memimpin Gereja melalui pribadi
yang menyediakan diri menjadi saksi Kristus bagi dunia.

3. Gereja tidak hadir untuk dirinya sendiri, tetapi bagi dunia.


Gereja dipanggil bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi
saksi Kristus yang membawa keselamatan dunia. Konsili Vatikan II
menyadari dengan baik tugas perutusannya: “Kepada para bangsa Gereja
diutus oleh Allah untuk menjadi sakramen universal keselamatan” (AG, art.
1). Gereja sebagai sakramen keselamatan Allah bagi dunia berarti bahwa
Gereja menjadi simbol real dari keselamatan Allah yang terlaksana dalam
Kristus. “Untuk melaksanakan itu, Kristus mengutus Roh Kudus dari Bapa,
supaya Ia mengerjakan karya penyelamatan-Nya dalam jiwa manusia, dan
menggerakkan Gereja untuk memperluas diri” (AG, art. 4).

Anda mungkin juga menyukai