Anda di halaman 1dari 10

Peran orang tua dalam pembinaan iman anak

Keluarga sedang “diserang”

Mungkin kalimat “keluarga sedang diserang” terlihat terlalu bombastis dan tidak realistis, karena ada
sebagian dari kita yang merasa bahwa keluarganya baik-baik saja. Namun, kalau kita mengetahui
hakekat dan tujuan keluarga Katolik yang sebenarnya, maka sudah seharusnya kita melihat bahwa
ancaman terhadap keluarga- keluarga Katolik adalah sesuatu yang nyata terjadi di sekitar kita. Terlebih
lagi, jika kita juga menyadari tanggung jawab orang tua dalam pendidikan iman anak, maka kita akan
semakin waspada akan ancaman ini, dan mengusahakan semampu kita agar jangan sampai kita jatuh
dan ‘menyerah’ pada keadaan.

Jika kita melihat dunia di sekitar kita, kita dapat dengan jujur melihat bahwa ada begitu banyak
perkawinan yang hancur. Kehancuran perkawinan ini bukan hanya menimpa teman atau kerabat yang
jauh, namun juga telah menimpa sahabat dan saudara yang dekat dengan kita. Berapa banyak dari kita
yang melihat bahwa anak-anak teman atau saudara kita yang kehidupannya berantakan, terjebak
narkoba dan seks bebas, bahkan sampai pernah dipenjara. Mungkin kita juga sering melihat ada begitu
banyak anak yang lahir dari keluarga Katolik, namun akhirnya berpindah ke gereja lain atau mungkin ke
agama lain, atau mungkin menjadi ateis. Inilah kondisi yang dialami oleh orang tua di zaman sekarang,
yang akarnya adalah karena orang tua tidak cukup melaksanakan pendidikan iman Kristiani kepada
anak- anak sejak sedini mungkin. Memang dapat dikatakan bahwa di jaman sekarang, membesarkan
anak-anak dan menanamkan iman Kristiani dalam diri mereka menjadi lebih sulit, karena kondisi dunia
sekarang memang sering bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Bahkan dinamika kehidupan di dalam
rumah kita sendiri sering menambah sulitnya penerapan nilai- nilai Kristiani. Kondisi macet, kesibukan
orang tua, pengaruh mass media, pola hidup konsumtif, mental ‘tidak mau repot’, adalah beberapa
contohnya, mengapa orang tua menghadapi tantangan yang besar untuk melaksanakan peran mereka
sebagai pendidik utama bagi anak- anak dalam keluarga, terutama dalam hal iman.

Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur.
Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup
untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja
sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua
ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan
mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri.
Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face
book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa
ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan
berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan
hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka
sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin
kurang menarik perhatian mereka.
Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, “Jaman
sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua
hanya dapat mendoakan…. ”

Ungkapan ini adalah suatu ironi, namun menyiratkan keputus asaan orang tua, atau penyesalan bahwa
segala sesuatunya sudah terlanjur. Kita harus mengusahakan sedapat mungkin agar jangan sampai anak-
anak kita bertumbuh menjadi semaunya dan ‘tak terkendali’, lalu kita hanya dapat menyesalinya. Selalu
ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah hal- hal yang buruk terjadi pada anak- anak kita, dan kita
dapat memulainya dengan langkah sederhana: yaitu dengan setia menanamkan iman kepada anak- anak
kita sejak mereka masih kecil. Harapannya ialah, setelah mereka tumbuh remaja dan dewasa, mereka
dapat menjadi pribadi- pribadi yang utuh, beriman dan bertanggungjawab.

Bagaimana melawan serangan dari luar dan membangun keluarga kristiani dari dalam?

Ibarat sebuah rumah, maka keluarga juga harus dibangun atas dasar yang kuat. Dan dasar pondasi yang
kuat itu adalah iman akan sabda Tuhan dan penerapannya di dalam perbuatan kita (lih. Mat 7:24-27).
Keluarga adalah tempat pertama bagi anak- anak untuk menerima pendidikan iman dan
mempraktekkannya. Dalam hal ini orang tua mengambil peran utama, yaitu untuk menampakkan kasih
Allah, dan mendidik anak- anak agar mengenal dan mengasihi Allah dan karena mengasihi Allah, mereka
dapat mengasihi sesama; dimulai dengan mengasihi orangtua, kakak dan adik, teman- teman di sekolah,
pembantu rumah tangga dan sopir, dst. Jadi adalah tugas orang tua, untuk membentuk karakter anak
sampai menjadikan mereka pribadi yang mengutamakan Allah dan perintah- perintah-Nya. Sejauh mana
hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar
waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi
dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari-
harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah
mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka
sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, agar ingat akan kehadiran Tuhan di dalam
hidup mereka, supaya anak- anak dapat dengan spontan bersyukur, memohon perlindungan dan
pertolongan kepada-Nya?

Agaknya perlu kita ingat bersama, mengapa semua hal ini menjadi penting dan harus kita lakukan. Ya,
karena kita semua, baik masing- masing maupun sebagai keluarga, kita harus mengingat bahwa tujuan
hidup kita yang terakhir adalah Surga. Kita percaya bahwa Tuhan menghendaki kita bersatu dengan Dia
di surga, maka kita harus berjuang bersama- sama untuk mencapainya, tentu dengan bantuan rahmat
Tuhan.

Tujuan utama pendidikan Kristiani

Dengan tujuan akhir manusia adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga, ((lih. Konsili Vatikan II,
Gravissimum Educationis, 1: “Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan
pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok
masyarakat, di mana ia sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil
bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.)) maka pendidikan anak secara umum harus
mengarah kepada pembentukan pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar
anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar
kelak mereka dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Jadi tugas orang tua adalah menghantar anak- anak
agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sudahkah para orang tua menyadari tugas yang mulia ini?

Selanjutnya, mungkin kita bertanya, jika tujuan pendidikan Kristiani adalah surga, bagaimanakah cara
untuk mencapainya? Gereja Katolik, melalui Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa anak- anak dapat
dihantar untuk mencapai surga, jika mereka diperkenalkan kepada misteri keselamatan, iman,
kekudusan agar siap memberikan kesaksian akan pengharapan imannya. Dan dalam hal ini, penerimaan
sakramen dan perayaan liturgi menjadi penting, karena di sanalah kita semua menerima rahmat Allah
yang menguduskan itu:
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan,
melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah
semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah
mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23),
terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai
manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan
demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Selain itu
hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian
tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut
tata-nilai Kristiani …” ((Ibid))

Di samping itu, orang tua juga harus mendidik anak- anak agar mengenal dan menerapkan nilai- nilai
yang paling esensial dalam hidup manusia, yaitu bahwa setiap manusia itu berharga di mata Tuhan,
tidak peduli apakah rasnya, agamanya, atau pekerjaannya. Dengan demikian, anak- anak diajar untuk
menghargai orang- orang di sekitarnya, terutama yang kurang beruntung dibandingkan dengan mereka.
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan demikian:

“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar
dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai-
nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang
kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang
sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada
karena apa yang dia miliki.” ((Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37))

Adalah suatu permenungan, sejauh manakah kita sebagai orang tua mengajarkan hal ini kepada anak-
anak? Jangan sampai anak- anak kita hanya menghargai orang berdasarkan penampilan, atau anak- anak
begitu tergiur dengan barang- barang yang mahal- mahal, sehingga tidak mampu lagi menghargai
kesederhanaan dan ketulusan.

Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak

Mengingat pentingnya tujuan pendidikan, dan bagaimana seharusnya dilaksanakan secara Kristiani,
maka penting digarisbawahi di sini peran orang tua sebagai pendidik utama anak- anak. Gereja Katolik
mengajarkan demikian:

“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat
serius untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang
pertama dan utama bagi anak- anak mereka” ((Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga
KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36)). Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi
anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah.
Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan
ataupun dialihkan kepada orang lain ((lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 36, 40)).

Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara
aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan iman anak- anaknya. Orang tua sendiri
harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam
kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya
untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri
membentuk keluarga di kemudian hari.Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam
proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk anak- anaknya.
Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang
mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya,
dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada
pembantu rumah tangga ataupun guru les.
Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang
mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les
pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter
anak dengan baik.

Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman,
maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun
guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan
tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat
dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua,
misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam,
membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya,
mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak
berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dan seterusnya.

Bagaimana menanamkan pendidikan iman pada anak- anak

1. Doa bersama sekeluarga dan mendampingi anak- anak menerima sakramen- sakramen

Doa adalah nafas iman. Maka jika kita ingin menanamkan iman kepada anak- anak, pertama- tama
adalah kita harus mengajari mereka berdoa, dan bukan hanya mengajari saja, kita perlu berdoa
bersama- sama dengan mereka. Dalam setiap keadaan, baik susah ataupun senang di dalam keluarga,
kita perlu berdoa. Dalam keadaan bersuka cita kita mengucap syukur kepada Tuhan; dan dalam keadaan
berduka, kesulitan, sakit, kita memohon pertolongan-Nya. Firman Tuhan mengajarkan, “… nyatakanlah
dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Flp
4:6) Selanjutnya, para orang tua juga perlu mempersiapkan anak- anak untuk menerima sakramen-
sakramen. Paus Paulus VI mengajarkan:

“Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan
para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan
Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan
Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa
rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…?
Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran
kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa
damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” ((Paus Paulus VI,
Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, Familiaris Consortio, 60))

Di samping penting bagi pertumbuhan iman anak, doa keluarga juga memegang peran yang penting
untuk mempersatukan keluarga. Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan hal yang serupa, dengan
mendorong keluarga- keluarga untuk bersama- sama membaca dan merenungkan Kitab suci,
mempersiapkan diri sebelum menerima sakramen- sakramen, melakukan doa pernyerahan keluarga
kepada Hati Kudus Yesus, doa penghormatan kepada Bunda Maria, doa sebelum dan sesudah makan
dan doa devosi lainnya. ((lih. Familiaris Consortio 61)). Mengulangi ajaran Paus Paulus VI, Paus Yohanes
Paulus II juga menyerukan pentingnya doa rosario bersama keluarga untuk memupuk kerukunan dan
menumbuhkan kehidupan rohani dalam keluarga. Doa bersama sekeluarga merupakan sesuatu yang
sangat penting, sebab dengan melaksakan hal ini, firman Allah digenapi dalam keluarga itu, “Jika dua
orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan
oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku
ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20) Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang
berdoa bersama akan tetap bersama.” ((Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26,
1985)).
Sayangnya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah keluarga tidak menyediakan waktu yang khusus
untuk berdoa apalagi merenungkan firman Tuhan bersama- sama. Padahal sejak usia dini, anak- anak
umumnya mempunyai kehausan untuk mengenal firman Tuhan. Ada banyak keingintahuan anak- anak
tentang banyak hal, terutama juga tentang Tuhan dan kisah- kisah di dalam Kitab Suci. Sebagai orang
tua, kita harus menanggapi kerinduan jiwa mereka untuk mengenal Tuhan. Orang tua adalah pewarta
Injil yang pertama bagi anak- anak mereka. ((lih. Familiaris Consortio 39)) Sekolah ataupun Bina Iman
dapat membantu, namun tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal ini.

Demikian pula, perhatian terhadap sakramen juga perlu ditingkatkan di dalam kehidupan keluarga.
Sebab nampaknya ada kecenderungan bahwa orang tua tidak memberi perhatian khusus untuk
mempersiapkan batin anak- anak sebelum mereka menerima sakramen- sakramen. Berapa banyak
orang tua yang membimbing anak- anaknya memeriksa batin sebelum menerima sakramen Pengakuan
Dosa? Banyak orang tua merayakan ulang tahun anak- anaknya, bahkan di hotel berbintang sekalipun,
namun berapa banyak orang tua yang merayakan ulang tahun anaknya dengan mengajukan ujud ucapan
syukur pada Misa Kudus? Atau merayakan Baptisan anak-anaknya, Komuni Pertama ataupun sakramen
Penguatan, walaupun hanya dengan doa sederhana di rumah? Padahal makna Baptisan jauh lebih
berharga dan bahkan tak bisa dibandingkan dengan makna perayaan ulang tahun. Karena Baptisan
menghantarkan ke kehidupan surgawi yang kekal, bukan hanya merayakan pertambahan tahun kita
hidup di dunia ini. Lalu, ada banyak orang tua mementingkan acara ‘berkeliling makan’ setiap
minggunya, di satu restoran ke restoran yang lain, mall yang satu ke mall yang lain, namun apakah orang
tua rajin mempersiapkan batin anak- anaknya, dan diri mereka sendiri, untuk mengikuti perayaan
Ekaristi? Misalnya dengan merenungkan bacaan Injil hari Minggu pada hari Sabtu malam ataupun
Minggu pagi sebelum ke gereja?

Dalam hal ini, peran ayah/ bapa cukup penting, yaitu sebagai imam di dalam keluarga. Para bapa
dipanggil untuk memimpin keluarganya untuk tetap tinggal di dalam Tuhan. Hal ini dapat diwujudkan
dengan cara- cara sederhana, misalnya; para bapa memimpin doa keluarga, entah pada pagi atau malam
hari; bapa memberkati anak- anaknya dengan tanda salib di dahi sebelum anak berangkat ke sekolah;
bapa membacakan kisah Kitab Suci kepada anak- anak dan menjelaskannya, bapa menyiapkan anak-
anak untuk menerima sakramen dengan penuh rasa syukur dan seterusnya. Tentu saja, ini
mensyaratkan bahwa para bapa (dan juga ibu) menghayati iman Katolik agar penghayatan ini dapat
dibagikan kepada anak- anak.

2. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih dan kebersamaan di rumah

Kasih orang tua merupakan elemen dasar dan sumber yang menentukan kualitas peran orang tua
sebagai pendidik ((lih. Familiaris Consortio, 36)). Suasana kasih harus ada di dalam rumah kita, agar kita
dapat mendidik anak- anak kita dengan baik. Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah
yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama -dalam hal ini para anggota keluarga di
rumah- sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan.
((lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3))

Selanjutnya, maksud bahwa kasih orang tua adalah dasar bagi pendidikan anak, adalah kasih itu harus
menjiwai semua prinsip pendidikan anak, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih
kasih, kesetiaan dan pengorbanan. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36)) Kasih yang rela
berkorban ini menjadi dasar yang menghidupi keluarga, sehingga keluarga menjadi gambaran akan
Gereja yang dihidupi oleh kasih pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah antara lain, yang menjadikan
keluarga menjadi Ecclesia domestica (Gereja kecil/ Gereja rumah tangga). ((lih. Familiaris Consortio, 49))
Atas prinsip ini, kita sebagai orang tua harus memikirkan apakah yang terbaik bagi anak menurut
kehendak Tuhan, dan bukan sekedar apakah yang disenangi anak. Sebab umumnya apa yang terbaik
bagi anak menuntut pengorbanan dari orang tua. Sebagai contohnya adalah bahwa orang tua perlu
meluangkan waktu bagi anak- anak, agar dapat mendengarkan dan berkomunikasi dengan mereka dari
hati ke hati.
Komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit
menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga.

Waktu kebersamaan ini memang idealnya dilakukan setiap hari, misalnya setiap makan malam, atau
sebelum doa malam. Namun juga pada waktu akhir pekan, pada hari Minggu, atau terutama juga pada
saat liburan sekolah, orang tua perlu menyediakan waktu untuk anak- anak, berlibur bersama anak-
anak. Tidak perlu di tempat yang mahal- mahal, namun perlu diusahakan waktu kebersamaan, di mana
anak- anak dapat bermain bersama orang tua, tertawa bersama, saling curhat dan mendengarkan satu
sama lain.

Dalam saat- saat seperti inilah umumnya, orang tua dapat sedikit demi sedikit ‘masuk’ dalam
memberikan pengajaran, entah dari kata- kata atau dari teladan, tentang kebaikan Tuhan, tentang
kehadiranNya dalam hidup kita, dan tentang pentingnya iman dalam kehidupan ini. Saat- saat inilah
orang tua dapat mengajarkan tentang kehadiran Allah dalam hal- hal yang sederhana, lewat alam
ciptaan di sekitar kita dan lewat orang- orang yang kita jumpai. Inilah kesempatan orang tua
mengajarkan kepada anak- anak untuk mengucap syukur, jika melihat pemandangan yang indah, jika
dapat makan makanan yang enak, jika dapat bermain dengan seru dengan teman- teman yang baru, dan
seterusnya. Jika anak- anak sudah dapat mengalami kehadiran Tuhan dalam hal- hal sederhana, maka
besar kemungkinan mereka akan mempunyai kepekaan untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan dan
berkeinginan untuk melaksanakan kehendak-Nya.

3. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani

Dalam suasana kasih inilah, keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai
dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat
salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan,
saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan
kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan seterusnya. Orang
tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan
perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui
teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.

Untuk menanamkan kebajikan Kristiani inilah orang tua mengambil bagian di dalam otoritas Allah Bapa
dan Kristus Sang Gembala; dan juga di dalam kasih keibuan Gereja. ((lih. Familiaris Consortio 38))
Artinya, orang tua tidak boleh enggan untuk memberi koreksi jika anak melakukan kesalahan, namun
tentu saja koreksi itu diberikan dengan motivasi kasih. Jadi dalam penerapannya adalah, orang tua boleh
tegas, tetapi jangan sampai kehilangan pengendalian diri pada waktu menegur anak kita. Selanjutnya,
setelah memberikan koreksi, dan anak telah menyadari kesalahannya; penting sekali anak itu kembali
dirangkul dan menerima peneguhan bahwa kita sebagai orang tua tetap mengasihinya. Maka tujuan
koreksi tersebut adalah pertama- tama bukan supaya mereka takut kepada kita orang tuanya, tetapi
supaya anak- anak dapat mengetahui bahwa perbuatan salahnya itu mendukakan hati Tuhan.

4. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam
hidup manusia.

1. Selanjutnya, dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di
dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II adalah:
2. keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan
yang paling membutuhkan bantuan;
3. hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita,
4. pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi
maupun jiwa; pendidikan tentang kemurnian (chastity);
5. pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertindak dengan penuh tanggungjawab. ((lih.
Familiaris Consortio 37)).
Maka, pertama- tama, orang tua perlu mengajarkan tentang prinsip keadilan yang menghormati setiap
orang, terutama mereka yang memerlukan perhatian dan bantuan kita secara khusus. Contohnya, anak-
anak yang lebih besar harus diajarkan untuk melindungi adik- adiknya atau anak- anak yang lebih kecil.
Atau anak- anak harus diajarkan untuk menghormati dan memberi perhatian kepada opa dan oma,
terutama jika opa dan oma sudah tua. Menggandeng tangan mereka, mengajak mereka bicara adalah
suatu contoh yang sederhana. Anak- anak juga harus diajarkan untuk bersikap sopan kepada orang-
orang yang lebih tua, termasuk juga pembantu rumah tangga dan sopir. Anak- anak juga perlu diajarkan
untuk bersikap peka untuk membantu orang- orang yang memerlukan bantuan, misalnya menghibur jika
ada anggota keluarga yang sakit, mendoakan orang- orang lain yang sedang kena bencana, memberi
sedekah kepada orang miskin dan seterusnya. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk menghargai
kehidupan manusia, dan bahwa manusia terbentuk sejak dalam kandungan ibu, sehingga kelak anak-
anak memahami bahwa bukan hak mereka untuk mengakhiri hidup manusia, entah melalui aborsi atau
euthanasia.

Kedua, orang tua perlu memberikan teladan kepada anak- anak, bahwa ‘memberi adalah suka cita’. Ini
sangat penting, untuk membentuk karakter anak agar murah hati dan tidak egois. Anak- anak perlu
diingatkan bahwa mereka bukan ‘pusat dunia’, atau king or queen of the universe. Anak- anak perlu
diajarkan agar senang berbagi, sebab segala yang dimilikinya adalah berkat ‘titipan’ Tuhan. Ingatkan
kepada anak- anak bahwa: “… Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Kor 9:7)
‘Memberi’ di sini, mempunyai arti luas, tidak hanya benda materi, namun juga suka cita, kasih, dan
pengampunan. ((lih. KGK 1657))

Ketiga, pendidikan seksualitas pada anak juga perlu mendapat perhatian, yang dapat disampaikan sesuai
dengan umur anak. Jangan sampai seksualitas dibatasi menjadi sensualitas; namun harus mencakup
keseluruhan pribadi seseorang, tubuh, jiwa maupun emosi. Penghayatan macam ini melihat bahwa
secara kodrati ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan, yang bukan saja berkaitan dengan jenis
kelaminnya, tetapi menyangkut keseluruhan pribadinya. Jadi sejak kecil anak- anak laki- laki harus
diajarkan untuk misalnya, tidak memukul perempuan, namun harus melindungi anak- anak perempuan.
Anak- anak harus diajarkan untuk menghormati “privacy“, menghormati tubuh dengan tidak
mempermainkan organ- organ seksual. Anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah,
tempat kediaman Roh Kudus, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Atau tidak tahukah kamu,
bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari
Allah, -dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas
dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:19-20, 3:16). Dalam hal ini anak- anak
perlu diingatkan bahwa tubuh mereka adalah milik Allah, jadi kita harus menghormati dan
menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah. Penghormatan terhadap tubuh ini menghantar kepada
prinsip berikutnya, yaitu tentang kemurnian.

Maka prinsip keempat tentang pendidikan tentang kemurnian/chastity berhubungan dengan


seksualitas. Jika anak- anak sudah diajarkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, selanjutnya anak- anak
perlu diingatkan untuk menjaga kekudusan tubuhnya sebagai bait Allah ini; dan selanjutnya juga untuk
menghormati kekudusan tubuh orang lain. Hal ini dapat dimulai dengan memberikan pengarahan
sederhana kepada anak- anak, terutama kepada anak- anak perempuan agar memakai pakaian yang
sopan, yang tidak serta merta mengikuti mode pakaian yang tidak mendukung anak untuk menjunjung
tinggi kemurnian. Dalam hal ini penting pendekatan ibu kepada anak- anak perempuan, dan bapa
kepada anak- anak laki- laki, agar mereka dapat diarahkan untuk memandang tubuh mereka sebagai
anugerah dari Tuhan yang harus mereka jaga kesuciannya sesuai dengan kehendak Tuhan yang
menciptakannya. Menjadi relevan di sini adalah jika kita mendorong mereka untuk mencontoh teladan
Bunda Maria dan Santo Yosef, yang menjaga kemurnian tubuh mereka, demi mempersembahkan yang
terbaik kepada Tuhan.Terakhir, orang tua perlu memberikan pengarahan tentang pendidikan moral
kepada anak- anak, supaya anak- anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Pegangan yang
paling praktis memang adalah kesepuluh perintah Allah, dan orang tua dapat membaca penjabarannya
dalam Katekismus Gereja Katolik, no. 2083- 2557.
Namun yang terpenting adalah, bagaimana menyampaikan intinya kepada anak- anak dengan bahasa
yang dapat dipahami oleh anak- anak, agar anak- anak dapat memahaminya dan menjadikannya sebagai
pegangan hidupnya. Selanjutnya tentang menanamkan tanggung jawab pada anak- anak, dapat dimulai
dari hal- hal yang sederhana, seperti merapikan tempat tidur sendiri, membawa piring kotor maupun
pakaian kotor ke tempat cuci, merapikan buku- buku ataupun mainan yang baru selesai dipakai, dst.
Anak- anak juga perlu dilatih untuk menerima konsekuensi atas perbuatan yang dilakukannya, terutama
jika mereka melakukan kesalahan. Konsekuensi ini bukan semata- mata untuk menghukum, tetapi untuk
menyadarkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan mempunyai
akibat, dan kita harus menanggungnya. Kesadaran ini akan membuat anak melakukan segala sesuatunya
dengan penuh tanggungjawab, karena sejak kecil anak terbiasa untuk berpikir jauh ke depan sebelum
bertindak. Contoh yang paling umum untuk menerapkan konsekuensi pada anak adalah menahan
‘privilege‘ mereka untuk sementara waktu; misalnya jika mereka berkata kurang ajar/ melawan orang
tua, maka konsekuensinya, mereka tidak mendapat uang jajan/ uang jajan dikurangi untuk beberapa
hari. Namun, sebelum diberikan sangsi, orang tua sudah harus memberitahukan ‘aturan main’ ini pada
anak, sehingga mereka tidak terkejut dan protes. Pada saat aturan ini diberlakukan, orang tua harus
tetap menunjukkan kasih kepada anak- anak, sehingga anak- anak tahu bahwa konsekuensi ini dilakukan
bukan karena orang tua membenci anak, tetapi karena orang tua sedang membentuknya untuk menjadi
orang yang lebih baik.

5. Pengajaran tentang iman dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik

Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi
anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik,
sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci
bergambar, atau sama-sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat
menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana
sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh
ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat
jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi,
sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ kerabat/ saudara yang
membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka.
Atau mengajak anak- anak bermain bersama, entah main monopoli, main kartu, atau main bulutangkis,
namun kemudian mengajarkan anak- anak untuk bersikap sportif; mengakui kelebihan orang lain -jika ia
kalah-, dan tidak boleh sombong dan meremehkan orang lain, jika ia menang.

Setelah anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan
lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan
tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan
pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk
menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa. Jika hal ini terus konsisten
dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.

6. Orang tua bertanggungjawab untuk membentengi anak terhadap pengaruh buruk lingkungan
sekitar

Menyadari akan kuatnya pengaruh negatif dari mass media maupun lingkungan pergaulan di sekitar
kita, orang tua harus mempunyai perhatian untuk turut menyeleksi hal- hal tersebut demi anak. Terlalu
banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV
tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi
jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang
secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan,
tidak mau mengalah, dst. Orang tua juga perlu menyeleksi bacaan/ majalah yang ada di rumah; misalnya
para bapa tidak membeli majalah/ bacaan kaum pria yang seolah menyajikan tubuh wanita sebagai
‘obyek’ sensualitas, dst.
Mungkin perlu juga mendapat perhatian, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak
dan remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun
untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak
terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi
tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang
dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet
dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi jika yang ditonton, atau yang
dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang-
orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV
dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini
yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.

7. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk mempersembahkan diri dan talenta yang dimilikinya
untuk membangun Gereja.

Adalah penting bagi orang tua untuk mengenali bakat dan kemampuan khusus anak- anaknya dan
mengarahkan mereka untuk mengembangkannya demi kemuliaan Tuhan. Maka jika anak berbakat
musik, entah menyanyi atau bermain alat musik, gabungkanlah mereka kepada kelompok koor di gereja.
Jika anak pandai berolah raga, gabungkanlah ia dalam grup olah raga anak- anak dan remaja; jika belum
ada di paroki anda, mulailah bersama dengan beberapa keluarga yang lain. Jika anak pandai menulis/
mengarang, doronglah anak untuk mengirimkan karangannya ke redaksi majalah di paroki. Jika anak
berminat untuk berorganisasi, gabungkan mereka dalam kegiatan organisasi paroki, seperti putra- putri
altar/ SEKAMI (Serikat Kepausan Anak dan remaja Misioner), Legio Mariae (mini), dst. Anak- anak perlu
diajarkan untuk mengenal, mencintai iman Katolik agar mereka dapat hidup sesuai dengan imannya,
mempertahankan imannya dan mewartakannya. ((lih. Familiaris Consortio, 54))

Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan
saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak
untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan,
ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di
dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Sedini mungkin mereka harus
menyadari bahwa selain menjadi anggota keluarganya sendiri, ia merupakan anggota keluarga Allah
yang lebih besar, yaitu Gereja. Sehingga jika ia aktif mendukung Gereja, artinya ia turut memuliakan
Allah yang mendirikannya.

8. Orang tua mengarahkan anak untuk menemukan panggilan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan
sejatinya

Akhirnya, penting bagi orang tua untuk membantu anak- anak menemukan panggilan hidupnya, entah
panggilan hidup berkeluarga maupun hidup selibat untuk Kerajaan Allah. Walaupun nampaknya masih
‘jauh’ ke depan, namun orang tua perlu mempersiapkan anak- anak tentang hal ini. Orang tua perlu
memiliki kelapangan hati untuk memperkenalkan panggilan hidup membiara kepada anak- anak; dan
memupuk hal tersebut, jika orang tua melihat adanya benih panggilan itu tumbuh dalam diri sang anak.
Katekismus jelas mengajarkan demikian, “…. Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan
perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib
memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani.” ((KGK 1656, lih.
Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 11,2)). Tentu dalam hal ini, kita orang tua perlu
memiliki sikap kemurahan hati, dan kesadaran bahwa anak- anak adalah titipan Tuhan, sehingga jangan
sampai kita berpandangan, “Semoga Tuhan memanggil banyak orang muda untuk menjadi imam, tetapi
jangan anak saya….” Mari kita memohon kepada Tuhan agar kita dimampukan untuk melihat segala
sesuatunya dari sudut pandang, manakah yang terbaik demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita
sekeluarga dan sekalian umat beriman. Sebab dengan demikian, kita akan mempunyai sikap yang lebih
terbuka dalam mengarahkan anak- anak menemukan panggilan hidup mereka; dan dengan lapang hati
dan suka cita, mendukung keputusan mereka, tanpa memaksakan kehendak kita sebagai orang tua.
Berbahagialah para orang tua yang mendukung anak- anaknya jika mereka terpanggil untuk
mempersembahkan diri seutuhnya untuk Kerajaan Allah; sebab sesungguhnya dengan demikian, orang
tua juga mempersembahkan yang terbaik, yaitu buah hati mereka, kepada Tuhan. Percayalah Tuhan
akan melipatgandakan suka cita dan kebahagiaan sejati bagi keluarga- keluarga tersebut, baik di dunia
ini maupun di Surga kelak.

Kesimpulan: Mari memohon rahmat Tuhan untuk melaksanakan tugas mulia ini

Sungguh besarlah peran orang tua dalam mendidik anak- anak, membentuk karakter dan membina iman
mereka, serta mengarahkan mereka kepada Kerajaan Surga. Namun kita percaya bahwa Tuhan tidak
pernah meninggalkan kita. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada kita melalui Gereja-Nya, yang secara
khusus kita terima di dalam sakramen- sakramen, dalam doa dan permenungan akan Sabda-Nya.
Dengan rahmat Tuhan inilah kita dimampukan untuk membangun keluarga kita atas dasar yang kuat.
Oleh kasih karunia-Nya, kita dimampukan untuk teguh di dalam iman dan melaksanakannya dengan
suka cita. Pengalaman akan kasih Allah dan mengasihi Allah inilah yang menjadi tali pengikat di dalam
keluarga, sehingga apapun serangan dari luar tidak akan menggoyahkannya.

Anda mungkin juga menyukai