Anda di halaman 1dari 17

Bab IV.

Faktor-faktor Perkembangan Dogma


Ada banyak sekali faktor yang mendukung, mempercepat dan mempengaruhi
perkembangan dogma. Namun sebelum semuanya itu, pertama-tama haruslah kita dalam
hal ini memperhitungkan karya Roh Kudus. Inilah sebab internal dari perkembangan
dogma itu sendiri. Roh Kudus akan menuntun Gereja sepanjang sejarah kepada seluruh
kebenaran. Yesus sendiri berkata tentang Roh Kudusini: “Tetapi Penghibur, yaitu Roh
Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala
sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan
kepadamu” (Yoh 14:26). Hal yang sama sudah terjadi ketika Petrus berada dalam
kebingungan melihat bahwa di Kaisarea Cornelius dan keluarganya dipenuhi oleh Roh
Kudus sebelum mereka menerima dia. Petrus mengakui bahwa dia diingatkan oleh Roh
Kudus akan ajaran Yesus (Kis 10:16). Itulah yang secara radikal mengubah pandangannya
tentang baptisan saat itu. Apa yang terjadi dalam awal Gereja ini, terjadi juga dalam
perjalanan Gereja selanjutnya. Oleh Roh Kudus pernyataan wahyu berkembang pula.

Selanjutnya kita bisa berbicara mengenai faktor-faktor fenomenal.Itulah faktor-faktor


perkembangan yang terdiri darifenomena-fenomena yang pengaruhnya sangat kuat dan
dalam perkembangan Gereja dapat diamati dengan jelas. Di bawah ini disebut lima sebab
yang diuraikan dengan baik sekali oleh Henri Rondet: 1) Heresi, 2) refleksi teologis, 3)
kesalehan orang beriman, 4) kehidupan liturgi dan 5) Kuasa magisterium Gereja.

1. Heresi/Bidaah

Tentang Heresi kita sudah diingatkan oleh Paulus: “Sebab di antara kamu harus ada
perpecahan, supaya nyata nanti siapakah di antara kamu yang tahan uji” (1Kor 11:19).
Kata-kata Paulus ini dikutip dalam suratnya bukan tanpa maksud. Dari konteks teks itu
membuka wawasan, bahwa kekeliruan-kekeliruan atau kesesatan memungkinkan
kebenaran untuk menjadi makin kokoh dan murni. Dengan kata lain, sekte-sekte sebagai
deviasi dari kebenaran itu dapat disamakan dengan bayangan yang terjadi karena sinar
menerangi lukisan seterang-terangnya.

Dalam konteks perkembangan dogma, teks ini juga dapat menerangkan bahwa kesesatan
seringkali merupakan penggerak dari sebuah kemajuan sebuah ajaran dogmatis. Kita
dapat melihat jejak-jejaknya misalnya dalam kumpulan keputusan ajarannya Denzinger.
Banyak keputusan muncul karena adanya ajaran sesat. Tapi dengan menerangkan
kesesatan ajaran itu, Gereja juga berefleksi untuk mencari yang benar.

Kesesatan merupakan teman seperjalanan tak terpisahkan dari kebenaran, begitu kata
Kardinal Mercier. Dalam segala jenis ilmu pengetahuan rasionalitas manusia berjalan
mencari kebenaran melalu jalan pertentangan-pertentangan pendapat.

Tapi ada dua macam kesesatan: kepada yang satu orang harus menaruh rasa hormat: ialah
kesalahan dari seorang teolog yang bermaksud memperdalam iman bersama dan
berusaha memahami pokok-pokok iman dalam suatu system yang saling bersinambungan,

1
namun dalam perjalanannya mengalami kesalahan di sana-sini. Namun ada juga sebuah
kesalahan jenis lain, yang dibuat oleh seseorang yang sendiri merasa bisa menjadi hakim
atas iman. Orang-orang ini sering kali berkeras pada sistemnya sendiri, dan sering kali
menganggap diri bisa menghakimi tradisi dan sensus fidelium. Seringkali dalam penilaian
mereka, mereka menutup diri terhadap penilaian Gereja dan akibatnya memisahkan diri
dari Gereja.

Di dalam peta di bawah ini kita bisa melihat gambaran diskusi iman di sekitar abad 2 M.
Ada aliran-aliran sesat seperti Doketisme dan Modalisme yang meragukan kesungguhan
dari inkarnasi Allah Putra. Persoalan itu menyebar di beberapa titik Gereja pada masa itu
dengan tokoh-tokoh tertentu.

Toh apapun kesalahan dan


kesesatan yang mungkin ada,
Gereja bisa mengambil
keuntungan untuk semakin
maju dalam ajaran-ajarannya.
Pembela-pembela iman
(Apologist) muncul juga dan
mengemukakan ajaran umat
beriman.

Sebagai contoh dari abad lain,


diberikan di sini perkembangan beberapa ajaran mengenai sakramen. Kita mengerti
sakramen sebagai tanda yang kelihatan dan berdayaguna dari rahmat. Kita mengakui
adanya tujuh sakramen Gereja. Tentangnya kita mengakui bahwa sakramen ini bekerja “ex
opere operato”, artinya berdaya guna berkat ritus yang dikerjakan atas nama Gereja, dan
dayanya bukan atas dasar sikap dari penerima maupun pemberinya. Pikirkanlah, berapa
banyak pikiran yang terkandung dan terrangkum dalam penghayatan sedemikian?
Bagaimana Gereja bisa berpendapat sampai sedemikian? Sesungguhnya sejarah dari
teologi sakramen merupakan sebuah bab yang terkaya dalam sejarah dogma. Kita akan
melihat beberapa episode.

Pada jaman Agustinus ada sebuah ajaran yang sangat menggelisahkan. Namanya
Donatismus. Ini adalah sebuah ajaran sesat yang berhubungan dengan ajaran mengenai
sakramen. Pada awal kontroversi muncul pertanyaan: haruskah orang mengakui
tindakan-tindakan (sakral) dari uskup-uskup yang pada masa pengejaran telah
menyerahkan Kitab Suci kepada orang-orang kafir? Apakah tahbisan imam yang diberikan
oleh para “pengkhianat” itu sah? Bagaimana dengan sakramen-sakramen lain? Persisnya
Donatisme menganggap diri sebagai “Komunitas para murni” dan menganggap hanya
dirinyalah sendiri Gereja yang sejati.Juga Agustinus berjuang untuk melawan ajaran
ini.Kesabarannya, ajaran-ajarannya dan dukungan dari saudara-saudara seimannya
akhirnya bisa mengungguli sekte ini.Namun konflik yang menyakitkan ini memberi
kesempatan pada Agustinus untuk memperjelas beberapa pokok tentang kebenaran
tentang sakramen.

2
Yang pertama: dalam Gereja hidup baik orang benar maupun pendosa. Baru pada akhir
jaman para malaikat Allah akan memisahkannya. Secara teologis kita masih menghidupi
ajaran Agustinus ini, meskipun dalam beberapa hal berbagai rumusannya perlu
disesuaikan lagi.

Kebenaran kedua: Sakramen-sakramen itu berdaya guna dan sah, juga jika yang
memberikan sakramen itu merupakan seorang pendosa. Dalam memberikan sakramen, Si
Pemberi tidak membagikan kesuciannya sendiri, atau jika ia pendosa, ia tidak membagikan
kedosaannya kepada si penerima, melainkan hanya Kristuslah asal dan dasar dari
sakramen-sakramen itu. Kristuslah yang bekerja. Dari dasar pengertian sakramen
semacam itulah pernyataan-pernyataan mengenai arti penerima dan pelayan (pemberi)
dalam hidup sakramental Gereja dibangun.

Contoh yang kedua. Pada jaman Konsili Trente Gereja menyatakan dengan meriah Dogma
tentang kehadiran sungguh-sungguh dari Kristus dan tentang transsubstantio. Dogma ini
juga mempunyai sejarah yang panjang.Santo Paulus dan juga Yohanes sudah menyatakan
secara jelas, bahwa Kristus memberikan diriNya sendiri kepada kita dalam ekaristi
suci.Santo Lukas juga memberitakan dalam Kisah Para Rasul bahwa Gereja perdana
berkumpul untuk pemecahan roti.Beratus-ratus tahun ekaristi telah dihidupi Gereja
sebagai korban dan sakramen. Namun tiba saatnya, dimana orang bertanya tentang
“bagaimananya” kehadiran Kristus itu.Para Bapa Gereja telah bertahan pada kenyataan
dari kehadiran itu. Sementara para teolog terombang-ambing antara pengertian kehadiran
yang “realistis” dan pengertian kehadiran yang lebih “rohani”.Pada abad ke 9 sudah ada
perdebatan tentang itu antara Ratramnus dan Radbertus.Demikian pula pada abad ke-11.
Sampai nanti, pada jaman Thomas Aquinas, pertanyaan tentang ekaristi dijawab dengan
cara yang memuaskan, hingga menjadi pedoman abad-abad selanjutnya.

Ketika Luther berbicara tentang ‘impanation’ yang meski mengakui kehadiran Kristus
tetap mengakui juga bahwa essensi dari roti tidak berubah, Gereja bereaksi keras. Dengan
alasan yang lebih kuat lagi, Gereja juga mengutuk ajaran sesat dari Calvin yang membuat
kehadiran real Kristus menjadi tergantung dari iman dari orang yang berpartisipasi dalam
perjamuan (DH ....) Pembaharuan protestan tidak diberi kesempatan untuk berkembang.
Penyangkalan karakter korban pada misa suci sebaliknya memberikan kesempatan untuk
sebuah dekrit tentang ekaristi yang luar biasa (DH ....). Dekret yang dihasilkan oleh
pertemuan ke-22 dari Konsili itu mengulas pertanyaan; bagaimana misa suci bisa
sungguh-sungguh merupakan korban, tanpa menghapuskan satu-satunya korban Kristus
di salib? Berkat penelitian dan studi yang seksama, bapa-bapa konsili dapat menemukan
formulasi yang tepat yang dapat menjawab persoalan ini.

Perlu diberi catatan: kalau disebut di atas formulasi yang tepat, bukan seolah-olah
dimaksud bahwa sejarah dogma itu semacam proses dari usaha mencari rumusan yang
baru, yang selalu harus disesuaikan sana sini. Lebih tepat sejarah dogma itu bagai mencari
yang baru dan yang tua dalam kekayaan Gereja (nova et vetera). Apa yang dicari adalah
apa yang baru dalam harta yang sudah dimiliki dalam tradisi yang tua). Iman Gereja itu
bagaikan sebuah usaha tanpa henti untuk menjaga kekayaan wahyu secara utuh dan awet.

3
Essensi dari wahyu itu tetap, hanya tidak semua terungkapkan. Barulah setelah terjadi
penyimpangan atau bahkan serangan terhadap kebenaran iman, perlulah Gereja
merenungkan kembali, menginterpretasikan kembali dan mengungkapkan dengan
formulasi yang tepat isi dari wahyu iman tersebut.

2. Refleksi teologis

Apakah mutlak harus ada perpecahan supaya ada perkembangan dogma? Artinya, apakah
hanya perpecahan sajalah yang membuat dogma berkembang?Tentu saja tidak. Ada faktor
lain yang sangat penting dalam sejarah perkembangan dogma, ialah refleksi teologis. Jika
di atas dikatakan bahwa kesesatan adalah teman seperjalanan dari kebenaran, maka itu
mau dikatakan bahwa kebenaran sendiri terus ada dalam perjalanan mengaktualisasikan
diri. Kebenaran akan selalu berusaha memunculkan hypothese-hypothese kerjanya untuk
kemudian memformulasikan diri dalam bahasa yang bisa dikenal dan dipahami. Itu terjadi
dalam kelompok peneliti, kelompok orang yang terdidik di sekolah atau di universitas,
yang menjadi maju antara lain dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dari segala
macam sudut pandangan.

Teologi merupakan sebuah ilmu dengan metodenya sendiri yang lengkap. Obyek
materialnya adalah wahyu, kitab suci dan tradisi. Dogma adalah semacam titik simpul di
antara pikiran-pikiran teologis yang holistik atau dalam konteks pertentangan melawan
sistem-sistem heretik. Dalam kenyataannya, kesimpulan-kesimpulan teologis bisa
memberikan titik-titik berangkat baru bagi sebuah jalan pikiran yang baru. Demikian pun
bila sebuah ajaran sudah disimpulkan, kesimpulan teologis masih bisa memberikan arah
bagi perkembangan ajaran tersebut.

Dalam sejarah teologi ada dua tipe/dua karakter dari cara orang berteologi. Yang satu
berkutat pada satu bagian saja dari persoalan yang sebenarnya lebih besar (eine Teilfrage).
Cara ini cenderung melupakan sudut-sudut pandang yang lain dan akibatnya
menimbulkan ketidak-seimbangan tertentu. Cara begini seringkali dengan kelihaian dan
ketajaman tertentu memaksa orang untuk mempertimbangkan seluruh sistem, supaya
orang dapat mempertemukan pemikiran tunggal itu dalam konteks keseluruhan
kebenaran yang sudah diterima umum. Berlawanan dengan cara ini, ada juga cara lain yang
berusaha membangun synthese. Mereka tidak berkeras pada teori-teori tunggal melainkan
membawa semua kemajuan jamannya itu secara bersama dan menyatukan mereka dalam
suatu cara pandang yang menyeluruh (Gesamtüberblick). Gereja biasanya menerima
pemikiran semacam ini. Hasil dari cara berteologi seperti ini bisa berupa katalog dari
sejarah ide yang merangkum pemikiran dalam suatu kerangka tertentu, baik pemikiran
yang benar, maupun yang keliru. Ada juga orang yang membentuk semacam buku
pelajaran teologi sebagaimana sebuah handbook untuk filsafat. Cara ini sering
memunculkan jenis sekolah teologi tertentu.

Ada juga bentuk yang umum: Katekismus, meskipun Katekismus bukanlah sebuah
ringkasan dari teologi. Yang diterangkan biasanya Credo dan biasanya diterangkan dengan

4
synthese-synthese teologis yang diterima Gereja. Kalau orang mau meneliti sejarah
katekismus, kiranya orang juga akan menemukan sejarah dogma di dalamnya.

Mari kita lihat intervensi-intervensi teologis dalam perkembangan dogma.

Pada abad kedua, tidak cukuplah bagi Ireneus dari Lyon hanya menolak Gnotisisme. Lebih
lagi ia membeberkan juga sinkretisme mereka yang berlawanan dengan iman Kristiani,
yang dia paparkan sebagai suatu keutuhan. Keutuhan iman kristiani menurut Ireneus
mempunyai dasarnya pada sejarah keselamatan. Karena itu dalam sebuah karya kecilnya
yang sangat berharga, Epidexis atau Demonstratio praedicationis evangelicae (Bukti
pewartaan oleh Injil) ia menguraikan seluruh sejarah kesalamatan itu. Dia
menggambarkan sejarah keselamatan itu dalam beberapa poin: penciptaan, dosa asal, janji
keselamatan, jalan bangsa yang terpilih, penantian akan mesias, kedatangan Anak Allah,
hidup dan penderitaannya, kematiannya, kebangkitannya, kenaikannya ke surga secara
mulia dan akhirnya kelahiran Gereja dan jalannya menuju keabadian. Juga dalam karya
lain “Adversus Haereses” (Lawan bidaah) Ireneus sekali lagi menguraikan iman Kristen itu
dalam suatu perspektif yang menyeluruh.

Di masa berikutnya kita bertemu dengan tipe yang sangat berbeda: Origenes dari
Alexandria. Menurut caranya sendiri dia membuat juga sebuah Synthese dari iman.
Dengan tegas dia membedakan norma-norma iman yang diimani bersama oleh kaum
beriman dengan pokok-pokok teologi, yang (masih) menjadi bahan diskusi dari para
pemikir. Karyanya “Peri Archon” (De principiis = tentang ajaran-ajaran utama).
Kedekatannya dengan Gnotisisme, meskipun ia menolak metode gnosis, membuat
Origenes menjadi tokoh yang kontroversial namun caranya mengolah teks-teks Kitab Suci,
caranya mencari arti rohani dari Kitab Suci (metode alegoris) merupakan sumbangan
penting yang tak terlupakan.

Pada abad ke 4 dan 5 ada pertentangan antara sekolah Alexandria dan sekolah Antiokhia.
Mereka menjadi rival satu sama lain dalam hal pokok-pokok penting iman. Diskusi-
diskusinya biarpun pada jaman itu bisa menjadi sangat panas, berguna bagi permenungan
tentang pokok-pokok iman itu sendiri (: tentang kodrat Kristus, dsb).

Dalam abad ke-5 muncul tokoh-tokoh trio Kapadokia: Basilius, Gregorius dari Nazianze,
dan Gregorius dari Nyssa. Basilius bersama dengan temannya Gregorius dari Nazianze
bekerja secara intensiv untuk menyakinkan orang bahwa Roh Kudus, pribadi ketiga dari
Trinitas, sehakekat dengan yang lain. Gregorius dari Nyssa, saudara dari Basilius,
menyumbangkan apa yang sangat penting. Katekesenya yang sederhana memberikan
ringkasan seorang Teolog yang terpelajar, yang didasarkan pada dasar-dasar iman
bersama. Dengan pengaruh Origenes, Gregorius dari Nyssa antara lain menerangkan asal-
usul dan tujuan dari alam semesta dan manusia, sebuah tema yang juga menarik pada
jaman kita sekarang.

Hal yang tentu menarik adalah juga tulisan dari Cyrillus dari Alexandria, seorang teolog
yang menyibukkan diri dengan Kesatuan dari Sabda yang menjadi daging. Persoalan yang
saat itu masih terbuka kemudian ditutup oleh keputusan dari Konsili Efesus dan
5
Kalkhedon. Masalah “homo assumptus” (yang dalam realitanya adalah kodrat
kemanusiaan Kristus yang diangkat oleh Sabda) menjadi masalah penting di sana. 1
Mengapa ditekankan di sana kesatuan pribadi Kristus, dan bukan ke-dua-an kodrat? Cyrill
dan Theodoretus meninggalkan sebuah karya yang bagus yang berusaha memberi
jawaban atas ini, meskipun tidak semuanya diterima sebagai benar. Nanti konsili Efesus
akan dilengkapi oleh Konsili Kalkhedon. Jelas dibutuhkan di sana refleksi teologis yang
mendalam. Pun pula kesimpulan yang dihasilkan oleh kedua konsili tersebut masih
membuka pintu baru untuk refleksi teologis lebih lanjut.

Tokoh lain yang excellent adalah Agustinus. Dia berjuang sepanjang hidupnya melawan
ajaran yang sesat, baik melalui pewartaannya, surat-suratnya maupun melalui refleksi-
refleksi pribadinya. Tiga karya besar dia hasilkan: Komentar atas Kitab Kejadian, Kota
Allah (yang bicara tentang asal-usul, jalan dan nasib akhir dari dua kota, yang satu yang
berasal dari cinta kasih dan yang lain dari egoismus), dan “De Trinitate” (Tentang Trinitas).
Karya yang terakhir ini boleh dikatakan sebagai karya terbesar, dikerjakan hampir selama
dua puluh tahun, terdiri dari 15 buku.Dengan konsili Konstantinopel dogma tentang
trinitas sudah ditetapkan. Agustinus berusaha merefleksikan dengan tenang arti ajaran
itu.Dalam Allah ada satu kodrat dan tiga pribadi (persona).Apakah artinya satu kodrat?
Apa artinya pribadi? Bagaimana istilah-istilah itu diterapkan pada keAllahan? Dasar dari
perenungan Agustinus adalah karya-karya para pendahulunya. Sejauh ia melihat
keterbatasan pemikiran Yunani di dalamnya, Agustinus berusaha menerangkan lebih jauh
lagi. Ia juga meneliti Kitab Suci dengan tekun. Hasil karyanya ini menjadi sumbangan yang
sangat penting.Tidak mungkinlah berbicara tentang trinitas tanpa menyinggung hasil
pemikirannya.

Abad pertengahan umumnya diwarnai oleh pemikiran Agustinus. Ia juga menghasilkan


semacam ringkasan/synthese dari pokok-pokok iman: Enchridion de fide, spe et caritate
(Buku pegangan mengenai iman, harapan dan cinta kasih). Terhitung sebagai murid-murid
pemikirannya antara lain Anselmus. Abas dari Bec ini tak hanya meniru, tetapi juga
mengembangkan pemikiran Agustinus atas caranya sendiri.Termasuk di dalamnya adalah
pertanyaan yang mengusik dari sebuah aliran Triteisme Roselin. Anselmus berusaha
menjawab, terutama untuk melayani para rahib di sekitarnya.Dasarnya cinta akan
kebenaran. Jika Agustinus berkata: “Intellectum valde ama” (cintailah pengertian dengan
sungguh-sungguh), Anselmus menulis rumusan “Fides quaerens intellectum” (Iman
mencari pengertian). Metodenya adalah metode dialektik yang diterapkan pada aneka
pertanyaan seperti problem dosa asal, rahmat dan “keluarnya” Roh Kudus. Terutama ia
membaktikan diri pada misteri penyelamatan.

Oleh Anselmus dasar-dasar Kitab Suci diterangkan lagi dalam berbagai metafora.Ia
menerangkan dogma penyelamatan dalam suatu bentuk yang dialektis dan padat.
Menurutnya, Allah itu disakiti oleh umat manusia.Akibat dari tindakan menyakiti hati Allah

1
Rumusan tradisional gerejani adalah “Verbum assumpsit hominem” (Sabda telah mengambil/mengangkat
manusia”. Maksudnya Sabda ilahi sudah mengambil kodrat manusia yang sungguh konkret. Jadi yang diambil
bukan seorang manusia, yang kira-kira sudah merupakan seorang pribadi.Yang diambil kodrat manusia.

6
itu sungguh besar dan menyentuh jati diri Allah sendiri. Sakit hatinya tak terbatas, tak
terkatakan.Siapakah dapat memberikan silih yang pantas? Hanya ada satu cara: Allah
harus menjadi manusia. Hanya dengan itu maka silih dari seorang manusia akan menjadi
silih yang punya arti yang tak terbatas. Itulah kira-kira ringkasan dari karyanya: Cur Deus
Homo (Mengapa Allah menjadi manusia). Pemikiran ini berkembang dalam abad
pertengahan, juga Thomas Aquinas menerimanya tanpa tentu saja menjadikannya titik
pusat dari pemikirannya. Ide tentang “Silih dosa yang dibuat oleh seorang wakil umat
manusia” ini cukup dominan dalam Konsili Vatikan I. Mungkin saja ide itu akan dinyatakan
secara mulia (didogmakan) seandainya Konsili tidak terhenti karena perang.

Masih ada diskusi-diskusi teologis yang lain tentang trinitas pada abad ke-12. Richard dari
St. Viktor misalnya, ia juga adalah murid dari pemikiran Agustinus, tetapi dengan
orisinalitasnya sendiri. Dikatakan umpamanya bahwa progresi dari Sabda ilahi terjadi
lewat ‘kelahiran’. Nah, dia bertanya, apakah ‘kelahiran’ ini terjadi melalui ‘pengenalan’
(pengetahuan) atau melalui ‘cinta’?Agustinus memihak progresi melalui ‘pengenalan’
(pengetahuan).Daya intelektual.Richard sebaliknya, ‘kelahiran’ itu terjadi melalui cinta
kasih.Karyanya De Trinitate juga memainkan peran penting dalam masa itu, maupun masa
sekarang, dimana banyak teolog masih merujuk ke dia. Ini menunjukkan bahwa
perkembangan ajaran trinitas masih jauh dari sempurna.

Dari abad pertengahan sampai sekarang masih ada banyak tokoh teolog yang cukup
penting: Duns Scotus, Thomas Aquinas misalnya. Thomas Aquinas dari ordo dominikan
merupakan tokoh sangat penting.Karyanya “Summa Theologica” sebenarnya awalnya
tidak dimaksud sebagai karya besar dan tidak dimaksudkan sebagai pegangan
pengajarannya.Ia tetap mengajar masih berpatokan pada Petrus Lombardus. Summa
Theologica sebaliknya malah dimaksud untuk orang yang baru belajar teologi. Maka
Summa ini memang belum selesai. Namun sejak abad 16, ketika para Dominikan dan Jesuit
mengambilnya sebagai pedoman, barulah summa menjadi semacam muster bagi
pengajaran teologi.Saat itu perkembangan teologi berjalan dalam diskusi-diskusi tentang
pertanyaan-pertanyaan tunggal dan terutama untuk melawan ajran-ajaran
sesat.Contohnya dilawan misalnya ajaran Baius dan Yansenisme. Ajaran-ajaran teologi lalu
dinilai berbeda-beda dan digolong-golongkan: golongan bidaah, dekat dengan bidaah,
yang dianggap menyakiti telinga orang saleh.

Refleksi teologis sungguh turut menyumbang dalam perkembangan ajaran.Konsili Trente


misalnya, dokumen-dokumennya merupakan hasil dari perkembangan teologi juga. Dalam
perkembangan teologi ini makin lama muncul pembedaan dan spesialisasi. Para bapa
konsili selain seorang gembala jiwa juga merupakan teolog-teolog. Apa yang dihasilkan
dalam sebuah konsili juga merupakan hasil pemikiran teologis.

3. Kesalehan orang beriman (Bagaimana orang beriman menghidupi iman dalam


tradisi)

Yang dimaksud adalah orang beriman yang biasa, sederhana. Mereka ini tidak berpikir
secara abstrak, sistematis dan kritis sebagaimana para teolog. Sering sekali dalam

7
perdebatan iman mereka hanya menyerahkan diri pada para gembala rohani saja. Namun
tidak berarti mereka tidak bersentuhan sama sekali dengan norma-norma iman.
Sebaliknya mereka menghidupinya, dan apa yang dihidupinya juga sedikit banyak
memberi mereka pengertian. Pendeknya dengan kehidupan mereka yang biasa, tumbuh
juga dalam diri mereka sensus fidelium, sebagaimana sensus fidelium Gereja.Mereka
terlibat dalam consensus fidelium juga.

Dalam sejarah perkembangan dogma, iman semacam ini memberi perimbangan yang
signifikan terhadap perdebatan-perdebatan teologis. Selain itu iman semacam ini juga
menjadi salah satu batu pijakan untuk mengetahui iman Gereja yang sejati.

Teologi bisa jatuh kepada sistem, dan kepada ide-ide yang terlalu spekulatif dan kurang
menyentuh pengalaman dan kenyataan beriman. Iman Populer dari umat beriman biasa
bisa melengkapi situasi ini. Tentu saja tidak mau dikatakan di sini bahwa semua iman
populer selalu merupakan iman yang benar. Kadang-kadang iman populer dapat jatuh ke
dalam konservatisme, atau ke dalam iman tahyul juga. Di sanalah diperlukan iman yang
didasarkan pada analisa kebenaran, yang kritis, sistematis dan juga koheren. Pendeknya
antara teologi dan iman populer saling mempengaruhi satu sama lain.

Sebagai contoh kita dapat melihat pertama-tama beberapa kasus dimana iman populer
perlu dikoreksi oleh teologi sistematis. Ketika Sabellius meyakini bahwa perbedaan antara
Bapa, Putra dan Roh Kudus sebagai perbedaan dari perbedaan titik pandang saja dari satu
Person tunggal yang satu dan sama, umat pada saat itu tidak bisa membedakan terlalu
banyak antara yang benar dan tidak. Umat Kristen memang menghidupi misteri baptisan
dan seruan terhadap tiga pribadi Allah yang menyertai pencurahan air. Namun mereka
tidak dapat menerangkan bagaimana hubungan antar pribadi itu. Mereka menyerahkan
masalah itu dan ikut saja pendapat gembala rohaninya. Namun mereka akan bereaksi
secara spontan bila keyakinan mereka akan ketuhanan Yesus diganggu. Dalam konteks itu
pengajaran-pengajaran sekolah-sekolah dari pusat katekese yang ada sangat diperlukan.

Pada jaman Agustinus terjadi juga bahwa iman populer saat itu lebih dekat ke
Pelagianismus dan semipelagianismus daripada kepada Agustinus dan keputusan Konsili
Orange. Saat itu permasalahannya adalah mengenai hubungan antara rahmat dan
kehendak bebas manusia, dimana pendapat bahwa kehendak bebas dan kemampuan
pribadi manusia untuk hidup suci, lebih ditekankan, lebih populer di antara umat.
Pendapat ini dikoreksi dan diluruskan oleh perenungan teologis Gereja saat itu.

Dua contoh itu tentulah tidak menghilangkan sumbangan signifikan dari kesalehanan
umat bagi perkembangan dogma.Sebagai contoh paling jelas adalah perkembangan dalam
ajaran mengenai Maria.Di kalangan umat Kristen awal penghormatan pada Maria memang
belumlah terlalu populer.2Toh titik terang penghayatan umat sudah ada: sudah masuk

2
Pada masa kemartiran ada semangat untuk menghormati Kristus dalam peristiwa salibNya.Martir adalah mereka
yang mengikuti Kristus dalam jalan salib, mereka dihormati secara lebih. Baru kemudian setelah jaman kemartiran
sudah lewat, orang mulai menghayati jalan salib secara lain. Mereka yang hidup dekat dengan Kristus mendapat

8
dalam pengakuan iman mereka bahwa Kristus dilahirkan oleh perawan Maria. Mulai abad
kedua, dengan tokohnya Yustinus Martir dan Ireneus, semakin diangkatlah peran Maria
dalam sejarah keselamatan. Ireneus (terkenal dengan paham Rekapitulasinya) melihat
Maria sebagai Hawa Baru, dari siapa lahir Adam Baru yang menyelamatkan seluruh umat
manusia.Setelah masa kemartiran, kira-kira abad keempat, berkembang dalam
Gerejapembaharuan penghormatan terhadap perawan yang penuh bakti ini.Perawan
Maria dipandang sebagai Symbol dari kemurnian mempelai Kristus. Sejak perdebatan
mengenai inkarnasi (penjelmaan) pada abad ke-5 kebundaan maria perawan menjadi batu
uji bagi iman yang benar. Maka berkembanglah kultus Marial baik di Timur maupun di
Barat. Dari Perayaan Maria yang pertama sekali, Pesta Maria Bunda Allah, bermunculanlah
hari-hari perayaan yang lain, untuk memperingati aspek-aspek misteri Maria lainnya. Ada
semacam situasi dimana orang ingin berlomba-lomba merayakannya.Hasilnya pun
tertuangsecara berlimpah dalam kotbah, devosi dan peribadatan-peribadatan.3Ketika
kemudian dogma Maria dikandung tanpa noda diwartakan secara mulia, orang dapat
merujuk iman ini ke penghayatan iman umat awal. Orang merasa tidak terlalu melebih-
lebihkan rumusan itu karena seolah-olah ajaran itu sudah dihayati dalam umat Kristen
Timur seribu lima ratus tahun sebelumnya.

Di Barat perkembangan ajaran ini berjalan agak lain. Agustinus misalnya menyatakan
bahwa semua orang berdosa.Juga Bunda Maria. Ini diungkapkannya saat ia melawan
ajaran Pelagius. Mau ditekankan di situ mutlak perlunya rahmat agar orang bisa hidup
tanpa dosa.Tanpa rahmat tak mungkinlah orang hidup suci. Nanti pandangan ini juga akan
diungkapkan dalam Konsili Trente. Yang dimaksudkan adalah dosa pribadi, bukan dosa
asal sebab ajaran dosa asal ini belum berkembang saat itu.Itulah yang diangkat oleh
Agustinus kemudian.Akibat dosa asal ini menyebabkan orang hidup dalam dosa, jatuh
dalam kesesatan, serta di bawah pengaruh concupiscentia (nafsu).Semua keturunan Adam
lahir dalam situasi dosa ini, termasuk juga Maria (meskipun Agustinus tak secara langsung
mengatakannya).Persoalan ini lama menjadi pokok pemikiran para teolog.Banyak yang
berusaha menerangkan bagaimana pandangan ini berlaku pada Maria. Diterangkan
misalnya bahwa Maria memang dilahirkan dalam dosa, namun sejak dalam kandungan ia
sudah dimurnikan dan bahwa ia segera dikuduskan hampir serentak dengan kehadirannya
di dunia.

Di sinilah terjadi benturan antara ajaran tadi dengan iman umat beriman. Reaksinya begitu
kuat, hingga seandainya disuruh memilih, umat akan spontan melepaskan ajaran
Agustinus dan menyatakan bahwa Maria sungguh kudus, dia tidak bersinggungan dengan
dosa dan kedosaan sejak awalnya. Semangat umat Kristen tidak mengijinkan bahwa dia
yang melahirkan penyelamat pernah berada di bawah kuasa dosa, biarpun sekejap saja.
Umat tidak tahu persis bagaimana menerangkan hal itu, namun begitulah pandangan itu

penghormatan sebagai orang-orang Kudus. Mereka juga mengikuti Kristus dalam jalan salib secara lain, tanpa
pertumpahan darah, tetapi dengan melaksankan sabdaNya.
3
Lihat Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi, khususnya hlm. 153 dst.

9
muncul serentak.Kesalehan rakyat sepertinya lebih kuat daripada logika orang-orang yang
terpelajar.

Tentu saja semua itu ada dalam proses. Orang mulai membedakan alasan-alasan sebuah
ajaran. Orang menyelidiki latar belakang Agustinus, misalnya dengan melihat bagaimana
ia mengerti cara dosa asal itu ‘diwariskan’. Misalnya disebut nafsu tak teratur sebagai
tanda-tanda dari cara pewarisan itu. Sementara itu cita rasa kesalehan umat tentu saja
tidak mengijinkan bahwa peristiwa dikandungnya Maria terjadi karena hukum manusiawi
ini, hukum yang dipengaruhi nafsu.Bagi cita rasa umat yang saleh Maria pastilah
dikandung secara khusus. Ada tokoh-tokoh yang berusaha membahas persoalan ini:
Anselmus, dan muridnya Eadmer. Tokoh lain adalah Duns Scotus, seorang fransiskan
(wafat 1308). Argumennya dapat diringkas dalam ungkapan ini: “Potuit, decuit, fecit”:
Allah dapat menciptakan bagi dirinya seorang Maria yang tak bernoda; Dia bahkan harus
memberikan kepadanya hak istimewa ini; dan memang Dia sudah membuat hal itu. Sejak
saat itu makin kuatlah iman akan Maria Dikandung tanpa noda ini. Ketika pada tanggal 8
Desember 1854 Paus Pius IX menetapkan dogma Maria dikandung tanpa noda, umat
beriman melihat bahwa iman mereka diteguhkan.

Hampir seratus tahun kemudian Paus yang lain mewartakan dogma Maria yang lain: Maria
diangkat ke surga. Juga dalam kasus ini iman/kesalehan umat memainkan peranan
penting.Perkembangan iman umat sebenarnya sudah ada sejak lama. Persetujuannya
berkembang secara perlahan-lahan, hampir tak kelihatan, disetujui baik oleh pikiran yang
sistematis maupun oleh umat beriman biasa: bahwa Maria, tanpa mengalami menjadi
busuk di kuburnya, seperti anaknya masuk ke surga dengan tubuh dan jiwanya. Memang
kalau ditelusuri ke belakang orang dapat melihat pembicaraan tentang hal ini setidaknya
sampai abad ke-4.Orang berbicara misalnya tentang peringatan Dormitio Mariae (tidurnya
Maria), lalu tentang peranannya sebagai Bunda Allah. Makin lama hiduplah kepercayaan
akan Maria Assumpta ini dalam hati para beriman. Duns Scotus termasuk tokoh pemberi
warna.Demikian juga Paus Yohanes XXII bersama dengan para teolog pada masanya.

Selain pokok iman yang berkaitan dengan Maria, kesalehan umat beriman juga menyentuh
pokok-pokok iman yang lain. Itulah yang hidup dalam tradisi, yang diturunkan sejak para
rasul.Namun harus dimaklumi bahwa sering iman populer ini lebih menyentuh pokok-
pokok yang lebih sederhana dibandingkan yang direnungkan oleh para teolog, katakanlah
tentang pokok pinggiran dalam kerangka iman.Misalnya saja orang berpikir tentang hal-
hal terakhir, tentang surga dan neraka, atau tentang keberadaan roh-roh atau mahluk-
mahluk yang tak kelihatan.Sebaliknya sedikit saja orang yang bicara tentang hidup dalam
Yesus, tentang tubuh Kristus, sebagaimana diungkapkan misalnya oleh Paulus dalam
surat-suratnya.

Singkatnya iman populer umat dan pemikiran sistematis teolog saling melengkapi. Dalam
banyak hal para teolog bisa menjadi pembimbing iman umat itu, tetapi dalam hal lain iman
umat bisa menjadi impuls yang baik juga untuk perenungan teologis lebih lanjut.

10
Sebagai contoh misalnya dapat disebut perkembangan ajaran mengenai tubuh mistik
Kristus. Sumbangan penting antara lain berasal dari P. Ramière SJ, seorang professor
teologi yang menulis sebuah karya bagi kelompok Kerasulan Doa berjudul “Pengilahian
orang Kristen” (“Die Vergöttlichung des Christen”). Juga P. Froget, seorang Dominikan,
dengan bukunya “Tempat Tinggal Roh Kudus” (Die Einwohnen des Heiligen Geistes).
Tulisan-tulisan ini menuntun roh jaman saat itu sedemikian, sehingga banyak teolog yang
tak mempunyai kuasa mengajar (magisterium) mulai menulis tentang Tubuh Mistik
Kristus. Tulisan Pater Émile Mersch SJ (1890–1940)Le Corps Mystique du Christ tahun 1933
misalnya menjadi sangat penting. P. Erich Przywara (1889-1972) juga menulis tahun 1940
buku berjudul Corpus Christi Mysticum. Dekat sebelum keluarnya Ensyklik seorang teolog
Jesuit yang lain, yang ikut dalam penyusunan ensyklik, Sebastian Tromp (1907-1975)
menerbitkan juga bukunya De Spiritu Sancto anima corporis mystici. Tak ketinggalan
seorang teolog terkenal Louis Jean Bouyer (1913-2004) dengan artikelnya Où en est la
théologie du Corps mystique?turut menunjukkan bahwa pada awal abad ke-duapuluh ada
kecenderungan kuat untuk memahami Gereja secara tidak hirarkis dan institusional lagi. 4

Situasi itu didukung lagi oleh kesalehan umat.Ada tulisan-tulisan yang menjadi bacaan-
bacaan rohani umat, seperti misalnya tulisan suster Elisabeth dari Trinitas.Tulisan dan
doanya yang trinitaris mempengaruhi banyak biarawati, biarawan, imam dan
awam.Bacaan-bacaan yang bernada mistik dan asketik berkembang pula pada peralihan
abad ke-20.Tak boleh dilupakan munculnya gerakan awam Aksi Katolik yang menghantar
orang pada sumber-sumber asali.Semua ini menuntun roh iman umat dan Gereja kepada
ajaran mengenai Tubuh Mistik Kristus yang makin matang.Pada tahun 1943 terbitlah
ensiklik yang berbicara tentang itu.

4. Kehidupan Liturgi

Faktor penting yang lain dalam perkembangan dogma adalah kehidupan liturgi. Namun
pertama-tama kita harus menghindari dua ekstrim yang ada dalam konteks ini: yang
pertama adalah kecenderungan yang melebih-lebihkan pentingnya liturgi dalam
perkembangan dogma, dan yang lain kecenderungan untuk menyepelekannya.

Yang pertama menganggap liturgi dan tradisi doa lebih penting daripada kebenaran iman.
Ungkapan umum berbunyi demikian: “Tidak perlu bertanya macam-macam tentang ini
dan itu, lakukan saja apa yang biasa dibuat.” Pastor Huvelin pernah berkata kepada Charles
de Foucauld suatu kali: “Berlututlah dan mengaku dosalah!” Jawabnya, “Aku kan tidak
percaya!” Jawab pastor saleh itu, “Kalau begitu mengaku dosalah!”

Ada banyak pengalaman seperti terungkap dalam teks ini yang terjadi dalam perjalanan
sejarah. Pernyataan itu mengungkapkan anggapan kurang lebih keliru, bahwa iman tidak
memperhitungkan kebenaran. Kalau mau percaya, tak perlu tahu kebenaran

4
Kenan B. Osborne. A Theology of the Church of the Third Millenium: A Fransischan Approach. Leiden, 2009 hlm.
67.

11
rasional.Pokoknya percaya saja dan lakukan liturgi dan ritual dengan baik. Sikap demikian
memandang liturgi dan doa-doa juga secara seperti itu.

Pendapat ini bahkan muncul juga dari kaum modernis, yang dalam kritiknya terhadap
agama menganggap bahwa agama hanyalah terdiri dari sikap-sikap, yang mau
menunjukkan perasaan ketergantungan jiwa pada sesuatu yang ilahi. Wakil-wakil dari
ilmu-ilmu perbandingan agama mengatakan, bahwa ritus itu mendahului mitos, atau
mendahului apa yang dipercaya oleh sebuah kelompok religius. Mereka juga berpendapat
bahwa dogma dan teologi merupakan hasil rekayasa, dengan tujuan untuk menerangkan
tindakan-tindakan yang diwariskan oleh tradisi sosiologis religius.

Pandangan ini tentu tak dapat diterima sepenuhnya. Sakramen-sakramen agama Kristen
bukanlah buah dari kebutuhan jiwa sebuah komunitas yang buta. Sakramen adalah
ungkapan dari kehendak Kristus. Juga bila kehendak ini kemudian dipertegas oleh Gereja,
tak lain disana mau dipertegas kehendak Kristus bagi para gembala dan umat beriman.

Hidup liturgi Gereja tentu berkaitan sekali ajaran Gereja, dimanateologi ilmiah termasuk
jugadisana sebagai perenungan atas ajaran itu. Hidup liturgi itu bahkan muncul dari ajaran
(: pengertian dogma dalam arti luas) dan karena itu liturgi mau mengungkapkan ajaran itu
dengan cara tertentu. Liturgi selalu mengandaikan kontak dengan keyakinan/ajaran dan
juga perenungan atasnya.Karena itu dalam kasus-kasus tertentu hidup liturgis dapat
mendukung perkembangan dogma pula. Ada kesaksian yang cukup dalam praksis dan
ajaran bapa-bapa Gereja dan para teolog tentang hal ini.

Sebagai contoh, kita menemukan kesaksian demikian dalam jaman Patristik. Dalam
katekese mereka, Santo Cyrillus, Ambrosius dan Agustinus menerangkan kepada para
baptisan baru arti sepenuhnya dari sakramen-sakramen, yang baru saja mereka terima.
Sakramen-sakramen itu merupakan sesuatu yang khusus yang menghantar mereka ke
dalam kekristenan. Para baptisan itu sudah sudah menerima pelajaran selama masa puasa,
yaitu dalam masa katekumenat mereka, namun mereka baru mengalami arti sepenuhnya
sakramen-sakramen itu pada Paskah pagi dan dalam katekese sesudahnya (: masa
mystagogi). Di sini nampak bagaimana pengalaman liturgi mendahului pengertian iman
mereka.

Contoh yang lebih penting lagi adalah argumen-argumen yang didiambil alih oleh
Agustinus, ketika dia mengambil praktek Gereja sebagai dasar untuk
mempertanggungjawabkan suatu ajaran, yang pada waktu itu banyak diserang oleh para
pengikut pelagianisme. Para pengikut Pelagian berpendapat bahwa anak kecil menerima
baptisan tidak demi tujuan membebaskan mereka dari dosa, melainkan agar mereka dapat
masuk dalam hidup dalam kerajaan surga. Agustinus – ketika membela ajarannya –
mengandalkan ritus-ritus Gereja, terutama exorzisme yang tidak hanya dibuat pada
baptisan dewasa saja melainkan juga pada baptisan anak-anak.

Nanti semipelagian juga mengakui perlunya rahmat, namun menerangkan bahwa dari
pihak manusia minimal perlu ada inisiatif iman; manusia harus seperti dikatakan Injil
‘minta, mencari dan mengetuk’. Menjawab itu Agustinus tidak mendasarkan diri pada
12
Kitab Suci, melainkan pada doa Gereja yang dipraktekkan pada saat itu. Dalam doa itu
Gereja minta pada Allah untuk membuka mata orang tak beriman, untuk membebaskan
para penyembah berhala dari kesesatan mereka, untuk mengambil selubung dari mata
orang Yahudi, yang menghalangi mereka untuk mengenal kebenaran, untuk
menganugerahkan kepada para bidaah iman yang benar dan kepada para skismatikus
cinta, kepada para pendosa sarana tobat yang menyelamatkan, dan akhirnya untuk
mengantar para Katekumen pada kelahiran baru. Cara pembuktian ini kemudian diambil
alih dalam pewartaan Gereja Roma (Indiculus des Papstes Coelestin). Doa-doa tersebut
sudah sering digunakan oleh Gereja. Gereja Barat hanya memakainya dalam liturgi Jumat
Agung. Arti dogmatis doa ini masih bertahan sampai sekarang.

Kasus lebih terkenal dalam konteks ini adalah bagaimana baptisan oleh para awam
confessor ditanggapi Gereja. Sehuubungan dengan itu pada jaman santo Cyprianus, kira-kira
pertengahan abad ke-3, muncul perdebatan mengenai bagaimana sikap Gereja terhadap
orang-orang heretik yang bertobat (Kaum Lapsis). Jadi ada dua masalah saat itu: masalah
baptisan dari awam dan masalah diterima atau tidaknya kaum lapsis kembali ke Gereja.
Waktu itu masalah ini termasuk hal yang sangat baru. Sayangnya muncul saat itu sebuah
sekte yang membingungkan iman Kristen (Novatian dan Fellician yang bertentangan:
rigorist vs laxist). Ada godaan besar untuk secara sederhana mengatakan bahwa baptisan
yang diterima di para confessor tidak sah. Mereka harus dibaptis ulang. Sebagai argumen
orang mengatakan bahwa mereka yang kembali ke Gereja induk tak menerima sebuah
pembaptisan baru, melainkan kepada mereka hanya diberikan apa yang belum mereka
terima (dari Gereja). Muncullah axioma terkenal dari santo Cyprianus “Extra ecclesiam nulla
salus” (Di luar Gereja tak ada keselamatan).

Santo Agustinus kemudian menerangkan dengan lebih persis (: ia membuktikan bahwa


pembaptisan yang diterima dalam Gereja skismatik atau heretik memang dapat sah. Hanya
saja ia menyangkal bahwa sakramen itu sudah ‘bekerja’). Dalam abad ketiga tema ini
belum berkembang. Paus Stefanus menjawab dengan rumusan yang terkenal: “Nihil
innovetur, nisi quod traditum est” (Diterjemahkan dengan macam-
macam: Tak ada yang baru, jika tidak merupakan tradisi. Tak ada yang
baru, jika kalian berpegang pada tradisi; Tak ada yang baru,
berpeganglah pada tradisi; apa yang baru itu sebenarnya sudah ada
dalam tradisi). Kalimat yang sulit diterjemahkan barangkali memberi
petunjuk akan adanya pembaharuan di Afrika. Atau mungkin ada dua
praktek. Yang satu dari Cyprianus dan temannya Firmilian dari Kaesaria
nampaknya logis. Namun yang kedua lebih pasti dalam soal bendanya daripada dalam soal
alasan yang mendasari perbuatan mereka. Praktek yang kedua ini berasal dari Roma.
Bahwa situasi ini menimbulkan perdebatan, itu juga menunjukkan bahwa Liturgi
mempengaruhi perkembangan dogma yang sungguh-sungguh.

Dalam perkembangan sejarah nampaknya Liturgi lebih mengendalikan dan mengarahkan


perkembangan dogma itu, daripada memicunya. Tentu itu sesuatu yang normal, karena
hidup liturgi tidak pernah mempunyai peran yang sama seperti Teologi, apalagi yang

13
berhubungan dengan heresi atau kesesatan. Peran liturgi kira-kira sama dengan kesalehan
hidup umat beriman. Dalam Ensiklik Mediator Dei, Paus Pius XII mencela sebuah
penyalahartian sebuah kalimat dasar: “Lex orandi, lex credendi.” Dia menunjukkan bahwa
praksis hidup itu tergantung pada ajaran, bukan sebaliknya. Apa yang didoakan tergantung
dari apa yang dipercaya, bukan sebaliknya apa yang dipercaya tergantung dari apa yang
didoakan.

Jadi, kalau disebut bahwa liturgi juga mempengaruhi perkembangan dogma, sebenarnya
harus diperhatikan bahwa peran bahwa Liturgi bukanlah pertama-tama sebagai daya picu
dari perkembangan dogma. Liturgi bukan asal dari sebuah ajaran. Liturgi sebaliknya
merupakan sarana pengungkapan dari sebuah iman yang hidup dalam Gereja dan dari
kesalehan umat beriman dan gembala utamanya.

Hal yang sama berlaku juga pada kesenian religius. Orang dapat
berpendapat salah dengan mengatakan bahwa para seniman
kristen dapat mempengaruhi perkembangan dogma dengan hasil-
hasil seni mereka, yaitu dengan mengungkapkan suatu kebenaran
ajaran atau kesalehan dengan gambar atau patung mereka. Pendapat ini keliru. Penelitian
dari Emile Mâle menunjukkan hal yang sebaliknya: para seniman selalu tergantung pada
sumber-sumber tertulis, atau teks tertentu yang berhubungan dengan teologi. Jika mereka
menciptakan sesuatu yang baru, maka hal itu terjadi hanya dalam hal-hal yang tidak
essensial. Seringkali mereka mengambil referensi pada tulisan apokrif, sebagaimana
sering terjadi dalam gambar atau patung santo Yosef, yang sering tidak mengungkapkan
ajaran essensial Gereja. Seni Kristen sebaliknya seringkali muncul
sebagai echo dari kebenaran-kebenaran Gereja yang diwartakan
dalam kurun waktu lama yang makin lama menjadi kuat. Contoh dalam
hal ini misalnya seni yang berhubungan dengan realpresence Kristus
dalam sakramen Ekaristi abad 17 dan 18 (meski dogma itu sudah
muncul pada abad 16, konsili Trente) dan dengan misteri Dikandung
tanpa noda dari Maria.

5. Kuasa Mengajar Gereja (Magisterium)

Diantara semua faktor perkembangan dogma, kuasa magisterium merupakan faktor yang
terpenting.Memang kuasa mengajar tidak harus merupakan inisiatif bagi perkembangan
dogma, namun kuasa mengajar mempunyai kuasa untuk mengawasi perkembangan
tersebut.Akhir-akhirnya kuasa mengajar adalah hakim yang menentukan entah suatu
ajaran dapat sungguh dipercaya.Kuasa mengajar bertanggungjawab menentukan apakah
sebuah pernyataan iman memang sungguh berasal dari wahyu Allah.Kuasa mengajar
adalah pengawas atas kekayaan wahyu itu, yang bertanggung jawab untuk melindunginya
sebagai kebenaran penuh kekayaan, yang hidup, yang bertahan sekaligus dynamis, yang
kokoh namun sekaligus mengandung daya.

Karena tugas kuasa mengajar adalah memelihara harta iman, kuasa mengajar harus
menghadapi dan meneliti ajaran-ajaran keliru dengan seksama pula.Tujuannya agar dapat

14
dengan tepat memahami penyimpangan-penyimpangan yang ada dan kemudian
mengamankan iman secara tepat pula.Misalnya berhadapan dengan saudara-saudara
Protestan yangbersikukuh bahwa mereka mendasarkan diri pada Kitab Suci.Itu tentu saja
benar.Namun bagaimana sekarang Kitab Suci ditafsirkan?Tak ada seorang uskup atau
teolog pun yang dengan sungguh yakin dapat mengatakan bahwa interpretasi pribadinya
merupakan pedoman bagi seluruh interpretasi Gereja.Sebaliknya, jika orang ingin mencari
semacam pedoman bagi penafsiran Kitab Suci maka orang harus mengakui tradisi dan
ajaran.Selain itu, siapa yang akan menjadi hakim bila ada perbedaan antara dua atau
lebihajaran? Sudahpada abad ke-16 Bellarminus mengemukakan perlunya ada “hakim
dalam masalah yang diperdebatkan”.Dengan begitu bisa dihindari bahaya liberalisme,
yang sering membuat umat bingung pada beberapa pokok iman.

Contoh yang lain berkaitan dengan saudara-saudara kita dari Gereja Timur yang terpisah
dari Gereja Katolik Roma. Mereka juga memegang teguh pokok-pokok dasar yang
diberikan oleh tradisi, kuasa mengajar dan dari kebenaran-kebenaran yang
dipromulgasikan secara mulia oleh konsili-konsili.Tetapi mereka tidak mengakui
perkembangan dogma sesudah abad 7 dan 8.Inilah tentu merupakan masalah
sendiri.Orang yang serius memikirkan perkembangan dogma, tentu akan menemukan
dengan sendirinya peranan ‘kepengantaraan’ dari kuasa mengajar, juga dalam pertanyaan-
pertanyaan yang muncul kemudian. Pada akhirnya, ia juga akan memahami ajaran
mengenai ketidak-sesatan Paus sebagai sebuah kesimpulan tak terhindarkan atas
perkembangan kesadaran diri Gereja dibawah pimpinan Gembala Utamanya yang sah.
Kepada Petrus dan penggantinya Kristus tidak hanya menyerahkan Primat (kuasa
kepemimpinan) tetapi juga tanggung jawab dan kehormatan, untuk menjaga kemurnian
kabar gembira, yang telah dipercayakanNya kepada para rasul.

Kita dapat melihat bagaimana Paus-Paus dalam masa awal Gereja mengerti tugas ini.Arius
misalnya; ia memang dihukum di Nizea melalui Konsili “tigaratus delapan belas Bapa”;
namun kuasa Paus hadir di sana dan bertindak.Di Efesus utusan paus mensuport tindakan
Cyrillus melawan Nestorius.Di Khalkedon perwakilan Paus Leo mengesahkan
pembicaraan-pembicaraan mengenai Kristologi. Sejak saat itu Gereja-gereja Timur yang
terpisah dari Roma masuk dalam proses yang membahayakan, yakni lama-kelamaan
menundukkan dirinya di bawah kekuasaan Kaisar. Sejarah menunjukkan bahwa Patriarkh
Konstantinopel pernah juga secara luar biasa menentang kekuasaan ini.Namun seringkali
terjadi bahwa politik campur tangan juga di dalam teologi. Untunglah bahwa berkat daya
Roh Kudus, Gereja-gereja tersebut yang tadinya tertutup dalam negara-negara tertentu
dengan pemimpinnya sendiri (autokephale) makin sadar akan pentingnya kesatuan Gereja
sebagaimana dikehendaki Kristus.

Tentu saja Gereja Baratpernah menghadapi masalah dan kesusahan juga.Sejak abad kelima
kuasa mengajar telah diterima umum sebagai hakim tertinggi dalam masalah-masalah
iman.Jalan perkembangan dogma sering ditandai dengan intervensi-intervensi dari
Roma.Tanpa ragu-ragu Roma telah membuat penegasan-penegasan terhadap
penyimpangan-penyimpangan, baik melalui pernyataan yang resmi dan mulia maupun

15
melalui pernyataan-pernyataan sikap.Bagai penunjuk jalan, kuasa mengajar ini dapat
menunjukkan jalan kepada mereka yang sedang mencari kebenaran namun kemudian
jatuh ke dalam arah yang salah.Kadang-kadang ketegasan ini terasa pedih, apalagi kalau
itu disertai sangsi atau hukuman.Namun tujuan sebenarnya baik; Penegasan tidak
dimaksudkan untuk memperlemah orang terpelajar yang mengembangkan pengertian
imannya, namun seringkali lebih muncul dari kepekaan iman dan tugasnya mengajarkan
kebenaran wahyu dan melindungi iman umat yang sederhana terhadap kebingungan dan
penyelewengan.

Kuasa mengajar tidak hanya bertugas memelihara iman dari kesesatan tetapi juga
mengajarkan iman yang benar (secara positip). Tidak hanya menunjukkan kesalahan,
tetapi juga menunjuk apa yang benar. Misalnya dalam konsili Trente, tidak hanya disebut
kesalahan Protestan, tetapi juga ditegaskan pandangan Gereja terhadap suatu
pokok.Termasuk di sini adalah dekrit mengenai pembenaran (Rechtfertigung,
justification) dan sakramen-sakramen yang penuh isi.

Adalah juga tugas mengajar untuk mengawasi kemurnian ajaran.Kuasa mengajar mesti
menjaga agar ajaran itu tetap hidup dan tetap relevan juga ketika berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan sejaman yang ada.Karena itu sejak paruh kedua abad ke-19 para
Paus sering mengeluarkan ensyklik, surat edaran bagi umat Kristen, yang mengajarkan
kebenaran-kebenaran iman atau menyampaikan ajaran-ajaran moral Kristen menghadapi
situasi jaman tertentu. Sebagai contoh dapat disebut surat Leo XIII atau Pius XI mengenai
perkawinan Kristen atau masalah sosial dan internasional. Memang ensyklik bukanlah
sebuah ‘keputusan ex cathedra’, tetapi surat semacam itu mempunyai bobot normatif dan
merupakan sumber yang penting untuk suatu perenungan teologis. Hal ini berlaku juga
bagi surat Leo XIII, Pius X dan Pius XII mengenai Mariologi. Surat-surat ini
mempromosikan praktek kesalehan marial, sambil menekankan secara khusus sejumlah
kebenaran mengenai inkarnasi dan penyelamatan.

Pernyataan-pernyataan dari Kuasa Mengajar tidak bermaksud untuk mengemukakan


kebenaran baru, seolah-olah dogma ketidak sesatan Paus selalu dipakai untuk
mewartakan segala pikiran tentang kebenaran yang terbersit dalam hati Paus.Bahkan bila
sebuah pernyataan Paus dilaksanakan dalam bentuk yang meriah, Paus biasanya juga
menjaga diri agar kebenaran itu sungguh-sungguh ‘aman’. Dia akan menanyai uskup-
uskup dan mengundang para teolog untuk turut bekerja sama. Dengan begitu apa yang
disampaikannya akan sungguh sejalan dengan apa yang diimani oleh Gereja semesta. Pius
XII berbuat demikian juga, sebelum dia memaklumkan dogma Maria Diangkat ke Surga.
Namun begitu, tidak boleh disimpulkan juga bahwa kuasa mengajar hanya merupakan
gema dari kesadaran iman Kristenpopuler saja. Sebaliknya juga tidak boleh disimpulkan
bahwa tindakan kuasa mengajar mengungkapkan sebuah wahyu yang sama sekali baru.

Selain Paus, juga uskup-uskup mempunyai kuasa mengajar ini dalam kollegialitasnya
dengan uskup-uskup yang lain dan uskup Roma sebagai pemimpin. Kuasa mengajar itu
dapat dilaksanakan antara lain melalui surat gembala paskah, atau dalam kesempatan-
kesempatan dimana Uskup bertindak sebagai penjaga iman dalam keuskupannya: baik

16
ketika memperingatkan orang akan ajaran yang keliru maupun ketika ia mengingatkan
kembali akan kebenaran-kebenaran lama. Pelaksanaan kuasa mengajar inilah yang
memberi sumbangan bagi perkembangan ajaran. Praktek kesalehan umat beriman akan
dirangkul dan diarahkan. Di keuskupan-keuskupan sering terjadi pertukaran pendapat
antara uskup dan umat beriman.Ini sesuatu yang sungguh menghidupkan, sebab Gereja
akhir-akhirnya adalah semuanya. Di sana Roh Kudus tinggal dan bekerja. Bila umat
beriman mendengarkan kata-kata uskupnya, mereka juga tidak mendengarkannya secara
pasif saja.“Menerima” mempunyai arti aktif.Mereka pun ikut ambil bagian dalam usaha
yang serius, seperti uskup dan yang lain, untuk hidup semakin sesuai dengan wahyu dan
hidup darinya.

Kalau kita melihat secara demikian, jelaslah dogma bukan hanya huruf-huruf dan
pernyataan yang kaku dan mati begitu saja. Siapa melihatnya secara demikian – artinya
hanya melihat dogma sebagai pernyataan-pernyataan atau kalimat-kalimat terlepas-lepas
– akan melupakan lingkaran kehidupan dalam Gereja itu sendiri. Dogma sesungguhnya
termasuk dalam proses sakramental dan kehidupan teologal Gereja seluruhnya, dimana
ada usaha terus-menerus untuk mengungkapkan kebenaran yang dihidupi umat beriman
dalam kata-kata yang tepat dan bermakna.

Dari sudut ini kita bisa mengerti perbedaan mendasar antara sejarah perkembangan
dogma dari sejarah ilmu pengetahuan yang lain, terutama dari sejarah filsafat. Sejarah
Perkembangan dogma memaparkan pada kita kesalingtergantungan rohani di antara
ajaran-ajaran, seringkali bahkan pertentangan-pertentangannya.Dalam bahasanya Hegel,
sejarah dogma berbicara mengenai dialektik, melalui mana roh manusia (dalam arti ini
juga manusia dalam persekutuan Gereja) sampai pada keyakinan dirinya sebagai yang
berhadapan dan menanggapi (memahami, meyakini, mengimani) wahyu
ilahi.Sebagaimana dikatakan sebelumnya, sejarah dogma berada dalam posisi tengah
antara sejarah perkembangan dan refleksi teologis.Sejarah Gereja berbicara mengenai
perkembangan peng-iya-an depositum fidei itu sebagaimana direfleksikan dan dinyatakan
dalam ajaran-ajaran Gereja.

17

Anda mungkin juga menyukai