NIM :231010004
Prodi : Magister Filsafat
Tingkat :V
Semester : I (satu)
Mata Kuliah :Ekklesiologi
Nama Dosen :Bertolomeus N.A.P. Lic. S. Th
1. Pengantar
waktu. Mulai dari zaman para Rasul hingga post Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Gereja
Artinya, pemahaman tentang Gereja oleh manusia tidak akan pernah selesai. Yesus Kristus
sebagai pendiri utama Gereja meneruskan tongkat kegembalaan kepada para Rasul terkhusus
kepada Petrus Sang Batu Karang untuk memimpin saudara-saudaranya dalam perziarahan di
dunia. Estafet kepemimpinan Petrus tersebut kini diteruskan kepada Paus sebagai pengganti
Pada zaman patristik, pemahaman tentang Gereja pernah dicetuskan oleh beberapa tokoh
antara lain Ignasius dari Antiokhia, Yustinus Martir, Ireneus, Klemens dari Aleksandria,
Gregorius dari Nyssa, Yohanes Krisostomus, Agustinus dari Hippo, dan Dionisius dari
Areopagus. Agustinus dari Hippo mencetuskan Gereja sebagai Civitas Dei (Kota Allah). Civitas
1
Dei merupakan uraian analogis untuk melawan paham-paham yang salah tentang Gereja terutama
Uraian traktat ekklesiologi pada zaman patristik ini tidak dapat kita temukan. Karena para
bapa Gereja tidak pernah menulisnya secara sistematis. Mereka menggambarkan Gereja sebagai
bentuk perlawanan atas kaum bidaah yang menyampaikan ajaran sesat tentang Gereja. Secara
umum para bapa Gereja menulis ulasan-ulasan mengenai ketergantungan Gereja pada Allah,
tugas Gereja di dunia, hidup kristiani dan mistik. Para bapa Gereja memandang Gereja sebagai
misteri atau sakramen. Gereja dilihat sebagai ungkapan dan pelaksanaan nyata karya keselamatan
Yesus Kristus adalah wujud nyata karya keselamatan Allah yang telah dinubuatkan dalam
perjanjian lama. Yesus Kristus adalah kepala Gereja yang menjamin pelestarian karya
keselamatan di dunia. Yesus Kristus adalah misteri Allah. Dia adalah kebenaran wahyu Allah
yang merencanakan keselamatan bagi manusia. Rencana keselamatan tersebut dinyatakan dalam
tindakan penyelamatan yang historis dalam diri Yesus Kristus. Tindakan penyelamatan tersebut
saat ini diteruskan dan dihadirkan kembali oleh Gereja dalam liturgi yang terwujud dalam
Para bapa Gereja telah menyebutkan sifat-sifat Gereja dalam uraian-uraian apologetisnya.
Sifat-sifat Gereja tersebut antara lain: satu, kudus, katolik dan apostolik. Dalam didakhe, sifat
satu dilambangkan dalam roti ekaristi yang dikumpulkan dari butir-butir gandum dan dijadikan
satu menjadi satu roti. Sifat kudus terjadi berkat Roh Kudus yang menyatukan Gereja dengan
Tuhan. Berkat Roh Kudus pula para jemaat dipersatukan satu sama lain dalam diri kepala jemaat
1
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 227-228.
2
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika 2…, hlm. 228-231.
2
yang kelihatan yaitu uskup. Sifat katolik atau universal dalam Gereja terwujud dalam Gereja
yang tersebar di seluruh dunia sehingga karya keselamatan dapat dirasakan oleh semua orang.
Sifat apostolik Gereja tidak dapat dilepaskan dari kesatuan jemaat dengan uskupnya sebagai
Pada zaman patristik ini terjadi pergeseran dari Gereja yang menekankan persaudaraan ke
Gereja sebagai himpunan kultis. Himppunan kultis tersebut dilatarbelakangi oleh tampilnya
hierarki dalam Gereja. Gereja disebut sebagai “tubuh Kristus” karena dalam perayaan Ekaristi,
setiap orang yang menyambut komuni kudus ambil bagian dalam tubuh Kristus. Roti kudus
menjadi simbol ikatan antara Kristus dan kaum beriman sekaligus menjadi simbol kesatuan
Gereja. Kesatuan tersebut bukan hanya terjadi dalam perayaan Ekaristi, tetapi juga berlangsung
Agustinus dari Hippo adalah salah satu teolog yang terkenal dan terbesar hingga sekarang.
Dalam bidang ekklesiologi, Agustinus dari Hippo sangat berjasa dalam bentuk kegiatan maupun
dalam bentuk refleksi. Dalam bentuk kegiatan, Agustinus berjuang melawan bidaah Donatisme5
dan Pelagianisme6. Dalam bentuk refleksi dia menciptakan model Gereja sebagai Civitas Dei
3
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika 2…, hlm. 231-235.
4
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika 2…, hlm. 235-237.
5
Skisma atau bidaah ini berasal dari nama pemimpinnya, Donatus, seorang Uskup. Asal mula bidaah ini
dari aneka perselisihan antara uskup-uskup di Afrika Utara, menyangkut sikap Gereja terhadap orang yang murtad.
Pengikut Donatisme menuntut supaya sakramen dilakukan oleh uskup-uskup yang belum pernah berbuat dosa berat
(percabulan dan murtad), sehingga kesucian Gereja terjamin. Kelompok ini tidak mengakui sakramen Gereja.
Menurut mereka sakramen yang dilakukan oleh imam-imam yang sudah pernah berdosa berat tidak berkuasa dan
tidak berakibat apa-apa bagi yang menerimanya. Ajaran ini ditolak oleh Agustinus, alasannya karena bidaah atau
skisma ini hanya terdapat di Afrika, sehingga tidak mewakili Gereja Katolik. Cinta kasih Kristus yang terpenting,
sudah hilang dari kelompok ini dan kekudusan Gereja tidak bergantung dari kelakuan kaum pejabat dan anggota-
anggotanya. Gereja itu kudus, karena persekutuannya dibentuk oleh orang yang dikaruniai Tuhan dengan anugerah
yang kudus, yaitu SabdaNya dan sakramen. [Lihat P. van Diepen, Augustinus Tahanan Tuhan (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 128-129.]
6
Ajarannya disebarkan oleh seorang Rahib bernama Pellagius dari Inggris. Menurut Pellagius manusia
sendiri sanggup menyelamatkan diri dan manusia diciptakan bebas secara mutlak untuk melakukan yang baik dan
3
(Kota Allah). Gagasan civitas yang diterapkan pada Gereja ini bersifat analogi. Gagasan Civitas
Dei yang dicetuskan Agustinus bertitik tolak dari gagasan civitas yang ada pada umumnya.
Agustinus terlebih dahulu menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam civitas pada umumnya,
kemudian memperlihatkan bahwa semua unsur tersebut terdapat juga di dalam Civitas Dei,
meskipun mempunyai arti dan nilai yang berbeda. Istilah civitas yang digunakan oleh Agustinus
merupakan sinonim dari societas (masyarakat) dan populus (umat atau bangsa). Pembahasan
eklesiologis Agustinus tidak dituliskan secara sistematis, melainkan bersifat apologetis atau
pembelaan.
Setiap civitas atau societas berasal dari suatu kepentingan bersama dari antara mereka
yang menjadi anggotanya.7 Agustinus menyebut Gereja (umat Kristen) sebagai Civitas Dei, yang
diperbandingkan dengan civitas terrena. Civitas Dei dibentuk dari cinta kasih akan Allah,
sedangkan civitas terrena dibentuk dari cinta kasih akan makhluk hidup khususnya cinta kasih
akan diri sendiri. Dari kepentingan dasar tersebut terdapat perbedaan antara Civitas Dei dan
civitas terrena.
Berkaiatan dengan pemimpin, Civitas terrena dipimpin oleh iblis. Civitas terrena ini
disebut juga sebagai civitas diaboli. Iblis menjadi ciptaan yang pertama kali menolak cinta kasih
Allah dan memusatkannya pada diri sendiri. Ia juga membujuk malaikat dan orang lain untuk
berbuat hal yang sama. Sebaliknya, Civitas Dei ini dipimpin oleh Allah. Bukan karena Allah
yang paling dicintai, tetapi karena Allah yang paling mencintai. Mengenai anggota, anggota
civitas terrena adalah mereka yang terikat oleh cinta akan barang duniawi yang ekslusif.
menjauhkan yang jahat. Bidaah ini menyangkal pengangkatan manusia ke dalam tatanan adikodrati, dosa asal dan
perlunya rahmat Tuhan. [Lihat D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 211-212; bdk. Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), hlm.135-140.]
7
Definisi civitas atau populus adalah “coetus multitudinis…utilitatis communione sociatus”, yang berarti
kelompok orang yang berada bersama karena suatu kepentingan bersama.
4
Sebaliknya, anggota Civitas Dei adalah semua orang yang memilih Allah sebagai objek pertama
Berkaiatan dengan tempat tinggal, tempat tinggal definitif warga Civitas Dei adalah surga.
Sedangkan tempat tinggal definitif warga civitas terrena adalah neraka. Berkaiatan dengan
doktrin, warga civitas terrena tidak peduli mengenai kebenaran dan meremehkan doktrin apapun.
Sedangkan warga Civitas Dei siap sedia mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran dan
berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan doktrin Kristus yang suci. Berkaiatan dengan
nilai-nilai, kedua civitas mencari nilai-nilai yang sama yakni keadilan dan damai, tetapi pengetian
tentang nilai-nilai tersebut berbeda. Warga civitas terrena mencari keadilan dan damai duniawi
secara eksklusif, sedangkan warga Civitas Dei mencari keadilan dan damai surgawi. Berkaiatan
dengan ibadat, warga civitas terrena menyembah dewa-dewa yang dibuat dengan tangan
manusia, sedangkan warga Civitas Dei menyembah Allah yang telah menciptakan segala sesuatu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa terdapat berbedaan yang jelas antara
Civitas Dei dan civitas terrena. Tetapi dalam kenyataannya, di dunia ini kedua civitas tersebut
tidak dapat dipisahkan, terkait satu sama lain, yang satu tercampur di dalam yang lain. Hal ini
tampak dalam perumpamaan lalang di antara gandum (Mat. 13:24-30). Menurut Agustinus,
Gereja yang ada di dunia ini tidak sama dengan Civitas Dei yang berisi orang-orang kudus.
Gereja adalah societas yang di dalamnya terdapat orang bedosa dan orang kudus.
Model Gereja yang disusun Agustinus berdasarkan gambar Civitas Dei memang bagus,
tetapi model ini tidak mampu mengungkapkan seluruh misteri Gereja. Melalui model civitas
tersebut kita dapat melukiskan secara efektif apa yang membedakan Gereja dengan semua umat
atau bangsa lain. Kekurangan dari model ini adalah sulit menjelaskan hubungan antar sesama
anggota Gereja dan hubungan antara anggota Gereja dengan Kepalanya, yakni Yesus Kristus.
8
Ettore Malnati, Ecclesiologia. Sviluppo-Teologico (Lugano: EUPRESS FTL, 2007), hlm. 37.
5
Agustinus memakai model civitas untuk melawan orang-orang kafir. Sedangkan dalam melawan
4. Penutup
Pandangan tentang Gereja terus mengalami perkembangan sesuai dengan konteks dan
zamannya. Pemahaman tentang Gereja tetap menjadi misteri dan tidak akan pernah paripurna.
Gereja sebagai sakramen dan misteri menjadi pedoman dan pergumulan umat Allah dalam
memahami Gereja yang sesungguhnya. Gereja sebagai perwujudan cinta kasih Allah tetap
menjadi tanda dan sarana keselamatan Allah bagi manusia. Gambaran Gereja sebagai Civitas Dei
tetap menjadi harapan yang menguatkan umat beriman untuk senantiasa menantikannya.
DAFTAR PUSTAKA
9
B.S. Mardiatmadja, Eklesiologi: Makna dan sejarahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 104.
6
Diepen, P. van. Augustinus Tahanan Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Diester, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Lohse, Bernhard. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Malnati, Ettore. Ecclesiologia. Sviluppo-Teologico. Lugano: EUPRESS FTL, 2007.
Mardiatmadja, B.S. Eklesiologi: Makna dan sejarahnya . Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Wellem, D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993.