Anda di halaman 1dari 13

Nama : Bednadetus Aprilyanto

NIM : 231010004

Semester : II (Program Magister)

M. Kuliah : Filsafat Nusantara dan Kearifan Lokal

Dosen : Dr. Yustinus Slamet Antono

RITUAL SESAJI ORANG OGAN KATOLIK DALAM PERSPEKTIF


EKSISTENSIALISME ABSURDITAS ALBERT CAMUS

Abstrak

Manusia merupakan makhluk yang sangat kompleks dengan segala kekhasannya. Sebagai bagian dari
dunia, manusia tidak dapat melepaskan diri untuk bereksistensi di dalamnya. Eksistensi menjadi
keharusan bagi manusia jika ia ingin mempertahankan kehidupannya. Dalam proses bereksistensi
tersebut, manusia dihadapkan pada faktisitas-faktisitas yang terkadang didapat dipahami secara
sempurna atau faktisitas-faktisitas absurd. Oleh sebab itu, manusia terdorong untuk memahami
faktisitas-faktisitas tersebut dengan mengerahkan akal budinya berdasarkan stock of knowledge -nya.
Hal tersebut juga dialami oleh orang Ogan Katolik yang ada di Batuputih. Perjumpaan dengan
lingkungan menimbulkan pertanyaan besar dalam dirinya tentang segala sesuatu yang menimpa hidup
manusia. Manusia berontak atas kenyataan tersebut dan menginginkan jawabannya. Manusia berusaha
mencari jawaban agar menemukan kedamaian. Pencarian tersebut mengantar manusia pada
pengalaman religios saat bersentuhan dengan alam. Hingga akhirnya pengalaman tersebut melahirkan
ritual-ritual khusus seperti ritual sesaji sebagai “final” pencarian manusia. Dengan demikian,
kehidupan yang dijalani oleh orang Ogan Katolik menjadi bermakna.

Key word: orang Ogan, ritual sesaji, eksistensi, absurd, eksitensialisme absurditas.

1. Pengantar

Manusia kerapkali hidup dalam lingkungan yang tidak dapat diketahui dan dipahami
secara sempurna. Dalam ketidaktahuan dan ketidakpahaman tersebut, manusia senantiasa
berusaha menyelami lingkungannya agar lingkungan tersebut tidak terasa asing baginya. Oleh

1
sebab itu manusia berusaha menciptakan kebudayaan agar dapat merealisasikan diri pada
lingkungan tempat tinggalnya.1

Usaha manusia dalam mengenal lingkungan atau dunianya tidak membuat manusia
melebur dengan lingkungan. Manusia tetap berdistansi sebab ia menjadi sentral dalam dialog
antara lingkungan dengan manusia. Sebagai pribadi yang memiliki eksistensialisme diri,
manusia selalu dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang tidak masuk akal bahkan
mustahil (absurd).2

2. Filsafat Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme termasuk dalam kategori filsafat modern yang dipelopori oleh
Sooren Kierkegaard dan Friedrich Wilhelm Nietze sekitar abad ke 19 dan dipopulerkan
kembali pada abad ke 20 oleh Martin Buber, Karl Jasper, dan Jean Paul Sertre. Kata eksistensi
berasal dari bahasa Latin existere yang artinya muncul, ada, timbul, memilih keberadaan yang
aktual. Eksistensi adalah apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, dan segala sesuatu yang
membuat sesuatu itu ada. Jika kata eksistensi dikenakan pada manusia maka eksistensi dapat
dipahami sebagai cara berada manusia yang khas, kesadaran bahwa ia adalah mahluk yang
bertindak, memilih, menciptakan dan mengekspresikan identitas diri dalam proses bertindak
dan memilih secara bertanggungjawab. 3

Tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme antara lain: Sooren Kierkegard, Jean-Paul


Sartre, Friedrich Wilhelm Nietzsche, Martin Buber, Karl Jasper, Albert Camus, dan Martin
Heidegger. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pemikirannya masing-masing berkaitan dengan
eksistensialisme. Salah satu tokoh yang hendak didalami oleh penulis dalam uraian ini adalah
Albert Camus. Dalam filsafatnya, Albert Camus menegaskan bahwa manusia hidup dalam
keabsurdan dimana segala sesuatu tidak memiliki kepastian. Oleh sebab itu manusia memiliki
kebebasan untuk memberikan makna pribadi atas segala sesuatu yang ia alami untuk
menemukan kebahagiaan.

1
J.W.M. Bekker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung
Mulia, 1984), hlm. 14-15.

2
J.W.M. Bekker, Filsafat Kebudayaan …, hlm. 17.

3
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2005), hlm. 183.

2
3. Eksistensialisme Absurditas Albert Camus4

Absurditas berasal dari kata “absurd” yang berarti mustahil, tidak masuk akal,
menggelikan, dan menertawakan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia karangan Jhon Echols and
Hasan Shadily kata absurditas atau “absurdity” berarti kemustahilan, keadaannya yang bukan-
bukan. Absurditas dapat dipahami sebagai persoalan hidup manusia yang menjulang pada
alam kesadaran tentang ada atau keberadaan.5

Manusia adalah makhluk yang hidup, berada, bereksistensi di dalam dunia. Hal
tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan daripadanya. Sebagai homo vivens, manusia
membedakan dirinya dari makhluk hidup lainnya dengan akal budi yang dimilikinya. Dengan
akal budi yang khas memampukan manusia untuk berefleksi. Ia menjadi subjek yang bertanya
dan sekaligus menjadi objek yang dipertanyakan. Manusia menjadi makhluk yang terus-
menerus mencari kebenaran dirinya. Ia setiap saat menguji dan mengkaji secara cermat
seluruh eksistensinya.6

Sebagai homo vivens, manusia dihadapkan pada dirinya sendiri untuk membuat
keputusan atas peristiwa hidup yang dialaminya. Dalam setiap pilihan yang tersedia, manusia
dipanggil untuk menjadi pribadi yang autentik. Manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan
hidup. Ia dapat memilih untuk membuka diri atau menutup diri. Ia dapat mencari makna dan
memberi makna pada hidupnya. Ia juga dapat memilih untuk menyerah dan bersikap apatis
terhadap dunia yang terlalu absurd. Berangkat dari aneka macam pilihan tersebut, Albert
Camus menekankan pentingnya menjadi pribadi yang autentik atau autentisitas diri.7

4
Albert Camus lahir pada tanggal 07 November 1913 di Mondovi (Algeria). Terlahir dari pasangan Ibu
yang berketurunan darah Spanyol dan Ayah berdarah Perancis. Albert Camus adalah salah satu dari penulis
besar di dunia sastra Barat Modern. Ia banyak menulis buku seperti: L‟Etranger (Orang Asing), La Peste
(Sampar), L’Envers et L'Endroit, The Myth of Sisyphus, The Stranger dan masih banyak lagi. Pada tahun 1957
Albert Camus dianugerahi Nobel Sastra. Atas karya-karya serta dedikasinya, Camus dianugerahi salah satu
penghargaan sangat bergengsi di dunia, yaitu Nobel buat jenis sastra. Karya-karya Albert Camus dinilai sangat
berkontribusi atas timbulnya aliran baru dalam filsafat yaitu Absurdisme. Pada 4 Januari 1960, Camus wafat
dalam suatu musibah mobil. [Lihat Albert Camus, Mitos Sisifus (Yogyakarta: Circa, 2020), hlm. 165.]

5
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 5.

6
Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks, dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius,
2004), hlm. 13; bdk. Bartolomeus Samho, “Humanisme Yunani Klasik dan Abad Pertengahan,” dalam Bambang
Sugiharto (ed.), Humanisme dan Humaniora (Bandung: Pustaka Matahari, 2013), hlm. 34.

7
Agustinus Widyawan Purnomo Putra, “Autentisitas Manusia menurut Albert Camus” dalam jurnal
Fokus Vol. 1, No. 1 (2020), hlm. 1-6.

3
Menurut Camus, manusia absurd merupakan manusia yang berada dalam fakta bahwa
ia tidak membuat tuntutan buat dirinya dan dunianya, ia merasa tidak bermakna tanpa Tuhan.
Sastrapratedja melengkapinya dengan menggambarkan absurditas sebagai kontradiksi-
kontradiksi antara dunia yang irrasional dengan keinginan manusia akan kepastian atau
kejelasan. Keadaan tersebut sulit diterangkan, sehingga manusia terus-menerus mencari
keterangan tentang kemalangan, bencana dan tujuan hidup manusia.8

Dalam menghadapi absurditas, manusia harus menentukan sikapnya. Sikap yang


diambil Camus terhadap absurditas adalah pemberontakan (La ravolte). Menurutnya
pemberontakan merupakan eksistensi subjektivitas dan kebebasan. Menghadapi kehidupan
“absurd”, manusia mengalami kesendirian dalam kecemasan dan kegagalannya.
Keterbatasannya dalam mengambil tindakan dan keputusan-keputusan yang selalu menemui
kegagalan pada akhirnya melahirkan keterasingan. Jaspers menyatakan bahwa penderitaan
merupakan suatu misteri besar dalam hidup manusia. Manusia harus menghindarkan dirinya
dari penderitaan sehingga tidak membiarkan dirinya tumbuh dalam penderitaan.9

Albert Camus memiliki alasan mengapa ia membicarakan perasaan absurd ini.


Menurutnya absurditas tidak semacam mayoritas mutu dunia dan bukan suatu yang inheren di
alam ini. Menurut Camus, perasaan absurditas ini timbul dari pertemuan antara alam dengan
benak manusia. Absurditas bergantung pada benak manusia sebagaimana dia bergantung pada
keadaan alam. Perasaan absurditas ini timbul karena manusia mencari uraian yang lengkap
tentang segala sesuatu yang menimpa dunia yang tidak bisa dimengerti. Manusia senantiasa
merindukan kebenaran umum sedangkan dunia cuma menampilkan kebenaran yang
terpenggal. Manusia mencari kejernihan sedangkan dunia masih saja teka- teki. 10 Oleh sebab
itu, perasaan absurditas merupakan suatu yang berhubungan dengan dunia serta pikiran
manusia.11

8
M. Sastrapratedja, Manusia Multidimensional (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 23.

9
Didi Yulistio, “Model Kajian Absurditas Eksistensialisme Manusia dalam Novel Sampar Albert
Camus”, dalam Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB (2015), hlm. 37-54.

10
Albert Camus, Mite Sisifus (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 25.

11
Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme Kierkegaard, Sartre, Camus (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), hlm. 56.

4
Albert Camus mengatakan bahwa manusia yang absurd merupakan manusia yang
paham makna absurditas itu, ia tidak lari dari absurditas namun senantiasa menjaganya di
dalam kesadarannya. Menurutnya inilah manusia yang menantang, manusia pemberontak
yang senantiasa hidup dalam keabsurdannya. Dalam pemberontakannya, manusia senantiasa
tertarik pada kenyataan yang membuatnya penasaran sebab dia tidak dapat memahaminya.
Dia berdiri menantang, berjuang meskipun dunia yang ingin diketahuinya tidak dapat
dimengerti dengan sempurna. Pemberontakan itu pada akhirnya memberikan nilai pada
kehidupannya.12

4. Kepercayaan Orang Ogan Katolik

Pada mulanya, sistem kepercayaan orang Ogan bersifat animisme-dinamisme.


Manifestasi dari sistem kepercayaan ini merujuk pada Roh Yang Mahatinggi, roh-roh halus
yang jumlahnya banyak dan roh para leluhur. Orang Ogan meyakini roh-roh tersebut
memiliki hubungan dengannya dan lingkungan alam. Keberadaan roh-roh tersebut mampu
mencelakakan seseorang dan sekaligus melindunginya. Berhadapan dengan keberadaan roh-
roh tersebut orang Ogan memiliki rasa hormat dan sekaligus rasa takut. 13 Rasa hormat dan
rasa takut yang dialami oleh leluhur orang Ogan merupakan bentuk pengalaman
ketidakpastian. Manusia mengalami hal-hal yang irrasional. Atas pengalaman tersebut,
leluhur orang Ogan berusaha menemukan kebenaran agar ia tidak tinggal dalam penderitaan. 14

Kepercayaan tentang Puyang yang terdapat dalam Orang Ogan Katolik merupakan
simbol konstitutif yang menjadi dasar dan inti perilaku keagamaan. Orang Ogan Katolik
mempercayai bahwa leluhur mereka yang telah meninggal dunia atau Puyang, masih ada dan
hidup berdampingan dengan manusia. Puyang tersebut hidup di alam yang berbeda dengan
manusia. Bentuk ekspresi kepercayaan Orang Ogan Katolik terhadap Puyang diwujudkan
dalam bentuk Ritual Sesaji. Ungkapan ekspresi tersebut merupakan tujuan masyarakat untuk
berdamai dengan Puyang.15

12
Albert Camus, Mite Sisifus …, hlm. 76; bdk. Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme …, hlm. 56.

13
Husni Thamrin, Antropologi Melayu (Yogyakarta: Kalimedia, 2018), hlm. 176.

14
Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme …, hlm. 56.

15
Malcolm Waters, Modern Sociological Theory (London: Sage Publications, 1994), hlm. 142-151.

5
Nenek moyang orang Ogan mengalami kehidupan yang kerapkali bersentuhan dengan
kekuatan supranatural. Kekuatan tersebut menakutkan sekaligus menarik untuk diketahui.
Perasaan takut menggerakkan manusia untuk membangun perdamaian dengan kekuatan
supranatural. Perasaan takut tersebut juga mendorong orang Ogan untuk berlaku sopan dan
mengucapkan permisi apabila bersinggungan dengan kekuatan tersebut. Salah satu wujud
perdamaian dengan kekuatan supranatural itu adalah Ritual Sesaji. 16 Ritual sesaji sebagai hasil
pencarian manusia merupakan hasil pertemuan manusia dengan alamnya.17

4.1 Ritual Sesaji Orang Ogan Katolik

Ritual Sesaji merupakan aktivitas manusia yang melakukan pemujaan kepada roh-roh
leluhur. Manusia menganggap roh-roh leluhur sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang
berpengaruh bagi hidup manusia. Manusia meyakini bahwa orang-orang yang telah
meninggal mampu membantu hidup manusia terutama keluarganya. Manusia juga meyakini
bahwa roh-roh tersebut menguasai tempat-tempat tertentu dan kehadirannya menuntut
penghormatan dari manusia. Oleh sebab itu, manusia harus menenangkan mereka dengan
memberikan Sesaji.18

Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat merupakan bagian dari tata peribadatan
sistem kepercayaan. Ritual Sesaji tersebut merupakan fenomena religi yang terdapat di
berbagai suku bangsa di Indonesia. Ritual Sesaji yang terdapat dalam masyarakat terbentuk
dari pengalaman hidup manusia yang berhadapan dengan suatu kekuatan yang melampaui
hidupnya. Dalam realitas hidupnya, manusia juga mengalami masalah-masalah yang sulit
untuk dimengerti dengan akal budinya. Manusia meminta bantuan pada kekuatan yang
melampaui dirinya untuk memecahkan masalah tersebut. 19 Pengalaman orang Ogan Katolik
yang berhadapan dengan dunia para roh merupakan pengalaman absurd atau pengalaman
yang penuh ketidakpastian. Atas pengalaman tersebut manusia berusaha memahaminya.20

16
Yustinus Slamet Antono dan Bednadetus Aprilyanto, Ritual Sesaji dalam Dinamika Hidup Beragama
(Medan: Bina Media Perintis, 2023), hlm. 60.

17
Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme …, hlm. 56.

18
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 79-82.

19
Bernard Raho, Sosiologi Agama (Maumere: Ledalero, 2019), hlm. 52-56.

20
Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme …, hlm. 56.

6
Ritual Sesaji yang dilakukan oleh orang Ogan Katolik merupakan bentuk
pengungkapan diri dari kepercayaan yang diyakini oleh penganutnya. Ritual Sesaji tersebut
tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan keagamaan tetapi juga berkaitan dengan
pengalaman keagamaan. Usaha manusia tersebut merupakan wujud pemberontakan manusia
atas dunia yang absurd. Manusia senantiasa memberontak atas dunia absurdnya agar ia
menemukan kebenaran. Atas pemberontakan tersebut, orang Ogan Katolik menemukan cara
untuk berdamai dengan dunianya dengan melakukan Ritual Sesaji. Meskipun demikian,
tindakan tersebut bukanlah final dari pencarian manusia.21

4.2 Pelaksanaan Ritual Sesaji

Pengalaman hidup manusia seringkali bersentuhan dengan kekuatan-kekuatan yang


melampaui dirinya. Berhadapan dengan kekuatan tersebut, manusia mengalami ketakutan dan
ketertarikan. Manusia mencoba membangun relasi dengan kekuatan tersebut sebagai bentuk
keinginan untuk berdamai melalui ritual-ritual khusus. Pelaksanaan ritual tersebut
membutuhkan tempat khusus, waktu khusus, tata laku yang terstruktur dan berbagai peralatan
ritus yang bersifat sakral. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan cara manusia untuk
mengungkapkan hubungan atau perjumpaan dengan kekuatan yang bersifat khusus dan
istimewa. Hal tersebut merupakan hasil refleksi para leluhur terhadap kekuatan yang
mengatasi kekuatannya.22

Manusia menyadari bahwa ada perbedaan antara sela-sela dari waktu suci dan waktu
biasa. Waktu suci menjadi tempat bagi manusia untuk melaksanakan kegiatan ritual
keagamaan dan kesempatan untuk mencari berkah. Ketika waktu suci tiba, manusia akan
lebih menghayatinya dengan menjaga sikap, perilaku, perkataan, dan perbuatan agar tidak
menodai waktu suci tersebut sehingga mereka tidak kehilangan berkah. Sedangkan waktu
biasa menjadi tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa hidup tanpa arti religious yang
khusus. Pada waktu biasa ini, mereka akan beraktivitas seperti biasa dalam hidup sehari-hari
tanpa adanya tuntutan lebih untuk menjaga sikap dan perilaku. Kedua waktu tersebut menjadi
kesatuan yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia. 23 Pemilihan waktu ritual merupakan

21
Didi Yulistio, “Model Kajian Absurditas Eksistensialisme …, hlm. 37-54; bdk. Vincent Martin,
Filsafat Eksistensialisme …, hlm. 56.

22
Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 31.

23
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 111-114.

7
“final” pencarian manusia atas dunia yang dialaminya. Manusia merasa bahwa waktu-waktu
tersebut memberikan jawaban atas ketidakpastian yang dialaminya.24

Dalam setiap agama terdapat tempat-tempat yang dianggap sakral. Penganut agama
tertentu memisahkan tempat-tempat tersebut dari dunia profan. Dunia sakral berkaitan dengan
Yang Ilahi, roh-roh leluhur dan makhluk-makhluk gaib. Pada tempat yang disakralkan
tersebut, manusia harus menjaga sikapnya dengan menunjukkan sikap kemurnian dan sikap
hormat. Manusia meyakini bahwa di tempat yang disakralkan tersebut bersemayam Yang
Ilahi, dewa dan roh-roh leluhur. Pemilihan waktu dan tempat merupakan hasil pengalaman
yang didapatkan oleh para leluhur dan diwariskan kepada generasi penerusnya.25

Orang Ogan Katolik di desa Batuputih melakukan Ritual Sesaji karena memiliki
manfaat bagi dirinya. Mereka melakukan Ritual Sesaji untuk menjalin komunikasi dengan
suatu kekuatan yang melampaui kekuatan manusia pada umumnya. Selain untuk membangun
relasi, melalui Ritual Sesaji manusia mengusahakan diri agar segala pekerjaannya dapat
berjalan lancar. Ritual Sesaji sebagai hasil kebudayaan manusia menjadi alat yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Yang Ilahi, roh-roh leluhur dan roh-roh yang menguasai
tempat atau benda tertentu. 26

Ritual Sesaji yang terdapat dalam Orang Ogan Katolik merupakan salah satu dari
ritual-ritual keagamaan tradisional. Selain sebagai sarana untuk melestarikan tradisi leluhur,
Ritual Sesaji juga berfungsi sebagai upaya pendamaian antara manusia dengan kekuatan
supranatural. Tujuannya adalah agar makhluk-makhluk supranatural tersebut tidak
mengganggu dan mengancam kehidupan manusia. Selain itu, Ritual Sesaji juga merupakan
bentuk ungkapan terimakasih kepada leluhur yang telah menolong dan menjaga hidup
manusia.27

4.3 Kegiatan Ritual Sesaji

24
Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme …, hlm. 56; bdk. M. Sastrapratedja, Manusia
Multidimensional …, hlm. 23.

25
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama …, hlm. 106-110.

26
Yustinus Slamet Antono dan Bednadetus Aprilyanto, Ritual Sesaji dalam Dinamika …, hlm. 58.

27
Yustinus Slamet Antono dan Bednadetus Aprilyanto, Ritual Sesaji dalam Dinamika …, hlm. 59.

8
Pengalaman hidup orang Ogan yang senantiasa bersentuhan dengan alam masih
menjadi misteri meninggalkan pertanyaan besar dalam diri manusia. Berhadapan dengan alam
tersebut, manusia mengalami sesuatu yang tidak dapat dinalar secara sempurna. Terkadang
kehidupan mereka dihadapkan pada masalah-masalah seperti bencana alam, sakit
berkepanjangan, kecelakaan, dan lain sebagainya. Atas situasi tersebut, manusia berusaha
mencari penyebabnya. Dalam usaha pencarian tersebut, tidak jarang pemikiran mereka
sampai pada bentuk personifikasi atas penyebab yang mereka alami. Bentuk persofifikasi
tersebut dapat ditemukan dalam diri orang Ogan Katolik yang masih mempercayai adanya
puyang, hantu, penunggu, dan lain sebagainya.28

Pencarian penyebab yang mengusik hidup manusia melahirkan ritual-ritual dalam diri
orang Ogan Katolik. Ritual-ritual tersebut antara lain: Ziarah Makam, Perkawinan,
Pembangunan Rumah, Ritual Mohon Kesembuhan, Ritual Pendamaian atau Rekonsiliasi,
Pembukaan atau Pengelolahan Ladang, Ritual Mohon Ilmu Kesaktian dan Kekayaan Instan,
Ritual Kematian. Ritual-ritual tersebut lahir dari pengalaman hidup manusia. Dengan
demikian, manusia menjadi sentral dalam menciptakan kebudayaannya.29

Ritual Sesaji yang bertujuan untuk berekonsiliasi dengan Puyang dan memohon
kesembuhan karena gangguan roh halus biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang
memiliki kaitan langsung dengan Puyang atau roh halus tersebut, seperti makam atau
petilasan Puyang, batu besar, persimpangan jalan dan pohon besar.

Ritual Sesaji untuk pembukaan ladang baru atau mengelola ladang menjadi perlu
diadakan apabila selama proses pengolahan lahan sering mengalami gangguan dari hal-hal
yang tidak rasional. Contohnya: gagal panen yang terus-menerus atau kecelakaan kerja yang
aneh. Dalam hal ini pelaksanaan Ritual Sesaji harus dilaksanakan di ladang yang berkaitan.
Tujuan dari Ritual Sesaji ini adalah agar orang-orang yang mengerjakan tanah atau ladang
tersebut tidak diganggu lagi oleh roh-roh halus yang menunggu ladang. Ritual Sesaji tersebut
biasanya melibatkan jeme pacakh.

Sedangkan Ritual Sesaji yang bertujuan untuk memohon ilmu kesaktian atau mencari
kekayaan dengan cara instan biasanya dilaksanakan pada tempat-tempat keramat seperti

28
Yustinus Slamet Antono dan Bednadetus Aprilyanto, Ritual Sesaji dalam Dinamika …, hlm. 6.

29
J.W.M. Bekker, Filsafat Kebudayaan …, hlm. 17.

9
makam atau petilasan Puyang. Masyarakat Suku Ogan meyakini bahwa tempat tersebut
memiliki aura dan kekuatan yang besar. Dalam melakukan ritual tersebut terdapat
perlengkapan yang perlu disediakan. Perlengkapan Sesaji tersebut berupa kue apam (apem),
kopi, teh, lauk-pauk, nasi, rokok, perlengkapan sirih, kemenyan, candu dan bunga-bungaan.

Ritual Sesaji dalam proses perkawinan atau ngunduh mantu dalam Orang Ogan
Katolik dimulai setelah tahapan ngukus atau masak-memasak dan sebelum tahapan payuan
atau sedekahan. Keluarga yang hendak menikahkan anak biasanya meletakkan sesaji di
tempat yang aman dari jangkauan anak-anak dan binatang seperti kamar tidur. Sesaji yang
diletakkan di dalam kamar tersebut diperuntukkan bagi Puyang atau kerabat yang sudah
meninggal. Orang Ogan Katolik di desa Batuputih melakukan Ritual Sesaji dalam pesta
perkawinan dengan tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat berlangsungnya
acara yang disebabkan oleh leluhur mereka.30

Dalam proses pembangunan rumah, Orang Ogan Katolik terlebih dahulu


mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan sebagai sesaji. Mereka membuat sesaji
tersebut untuk memohon kepada Puyang agar proses pembangunan dapat berjalan lancar dan
tidak mengalami banyak kekurangan material. Selain sesaji untuk mohon keselamatan dan
kelancaran dalam proses pembangunan rumah, Orang Ogan Katolik juga menyediakan sesaji
tertentu yang menyimbolkan harapan pemilik rumah. Bahan-bahan sesaji tersebut berupa
kendi, air, uang dan kelapa yang bertunas. Air dan uang tersebut dimasukkan ke dalam kendi
dan digantungkan bersama kelapa yang bertunas pada kerangka atap bangunan. Setiap bahan-
bahan tersebut menggambarkan harapan dari pemilik rumah.

Orang Ogan Katolik memberikan sesajen berupa kue apem atau apam untuk anggota
keluarga yang sakit parah. Sesaji apem juga diberikan kepada anggota keluarga yang
mengalami sakit akibat gangguan roh-roh jahat. Jika si sakit tidak kunjung sembuh, mereka
akan menjumpai jeme pacakh untuk mencari sebab tentang penyakit tersebut. Sebagai
manusia, kehidupannya seringkali bersentuhan dengan kekuatan-kekuatan supranatural.
Kekuatan supranatural tersebut memiliki kemampuan mengganggu kehidupan manusia.
Karena itu, manusia berusaha menyeimbangkan diri dengan kekuatan-kekuatan tersebut
dengan cara membangun komunikasi.31

30
Yustinus Slamet Antono dan Bednadetus Aprilyanto, Ritual Sesaji dalam Dinamika …, hlm. 75.

31
Nur Fitriana, Fenomenologi Agama: Suatu Pengantar (Palembang: NoerFikri, 2012), hlm. 16-17.

10
Manusia berusaha membangun dunianya agar sesuai dengan kebutuhannya. Manusia
bereksistensi untuk menciptakan keseimbangan dalam dunia. Dalam bereksistensi, manusia
berusaha menempatkan dan merealisasikan kehidupannya dalam dunia yang dibangunnya.
Ritual Sesaji yang digunakan untuk ritual pendamaian dengan Puyang yang marah merupakan
usaha orang Ogan untuk menciptakan keseimbangan dalam dunianya.

Dalam pencarian tentang makna hidup manusia, orang Ogan juga menyadari
kehidupan setelah kematian. Bagi mereka, kematian bukan akhir dari seluruh hidup manusia.
Mereka meyakini ada kehidupan setelah kematian. Oleh sebab itu, mereka memberikan sesaji
kepada saudara-saudari yang telah meninggal. Dalam peringatan tersebut, mereka membuat
dan memberikan sesaji kepada leluhur yang telah meninggal dalam rupa makanan dan
minuman. Tujuan dari pemberian sesaji tersebut adalah untuk mengingatkan kembali
kenangan-kenangan leluhur yang sudah meninggal. Pemberian sesaji tersebut bukan bentuk
pemujaan terhadap orang yang sudah mati.

Selain sebagai bentuk pengenangan kembali pada leluhur atau keluarga yang telah
meninggal, Ritual Sesaji yang diberikan dalam peringatan kematian bertujuan untuk
menghormati eksistensi mereka di alam tak kasat mata. Orang Ogan Katolik memberikan
sesaji dengan harapan agar roh leluhur tidak mengganggu hidup manusia seperti merusak atau
membasikan seluruh makanan yang akan dihidangkan kepada tamu undangan yang datang.
Sesaji tersebut biasanya diletakkan di kamar tertentu dan dikasih lampu teplok atau lilin.

Ritual-ritual sesaji yang dilakukan oleh orang Ogan Katolik di desa Batuputih
merupakan bentuk pemberontakan manusia atas segala sesuatu yang tidak dapat
dimengertinya. Manusia berusaha menerima kenyataan-kenyataan dunia, berusaha mencari
dan memberikan makna atas pengalaman yang ia dapatkan dari kebersentuhannya dengan
alam.32 Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual sesaji merupakan bentuk
pencarian manusia yang senantiasa mencari kebenaran yang sempurna. Kendati demikian hal
tersebut masih menjadi kebenaran yang semu dan terpenggal.33

5. Penutup

32
Agustinus Widyawan Purnomo Putra, “Autentisitas Manusia …, hlm. 1-6.

33
Albert Camus, Mite Sisifus …, hlm. 25.

11
Pemberontakan orang Ogan atas dunia yang dialaminya membuat mereka bertahan
dalam dinamika kehidupan. Mereka berusaha mewujudkan eksistensi dirinya pada dunia yang
tidak dapat dipahaminya secara sempurna. Pemberontakan tersebut pada akhirnya mengantar
orang Ogan pada autensitas diri. Dengan demikian, hidup yang dihidupi oleh orang Ogan
Katolik memiliki makna.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Antono
, Yustinus Slamet dan Bednadetus Aprilyanto. Ritual Sesaji dalam Dinamika Hidup
Beragama. Medan: Bina Media Perintis, 2023.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.
Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pusat. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

12
Bekker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius dan BPK
Gunung Mulia, 1984.
Camus, Albert. Mite Sisifus. Jakarta: Gramedia, 1999.
—. Mitos Sisifus. Yogyakarta: Circa, 2020.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Fitriana, Nur. Fenomenologi Agama: Suatu Pengantar. Palembang: NoerFikri, 2012.
Martin, Vincent. Filsafat Eksistensialisme Kierkegaard, Sartre, Camus. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Putra, Agustinus Widyawan Purnomo. "Autentisitas Manusia Menurut Albert Camus." Fokus
Vol. 1, No. 1, 2020: 1-6.
Raho, Bernard. Sosiologi Agama. Maumere: Ledalero, 2019.
Sastrapratedja, M. Manusia Multidimensional. Jakarta: Gramedia, 1982.
Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat: Manusia, Paradoks, dan Seruan. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
Sugiharto, Bambang (ed.). Humanisme dan Humaniora. Bandung: Pustaka Matahari, 2013.
Thamrin, Husni. Antropologi Melayu. Yogyakarta: Kalimedia, 2018.
Waters, Malcolm. Modern Sociological Theory. London: Sage Publications, 1994.
Yulistio, Didi. "Model Kajian Absurditas Eksistensialisme Manusia dalam Novel Sampar
Albert Camus." Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB, 2015: 37-54.

13

Anda mungkin juga menyukai