Anda di halaman 1dari 5

A.

Pendahuluan
Dalam sosiologi sastra sebuah karya sastra tidak dapat
dilepaskan dari situasi sosial yang melingkupinya, baik itu situasi
zamannya, pengarangnya, maupun berbagai sistem lingkungannya.
Karya sastra dipandang sebagai produk dan bagian dari dunia sosial
yang

lebih

besar.

Tradisi

eksistensialisme

Albert

Camus

sebagaimana yang terepresentasikan dalam karyanya, Orang Asing.


Dikatakan oleh Guerin et al bahwa dalam pandangan pendekatan
moral-filosofis, Albert Camus can be read profitably only if one
understands existensialism. Pokok eksistensialisme ini sebegitu
melekatnya pada Camus sehingga karya-karyanya akan sulit
dibicarakan tanpa merujuk pada pokok tersebut.
Orang Asing ini (Ltranger) adalah novel Albert Camus yang
diterbitkan pada tahun 1942. Tahun penerbitan ini menjadi penting
karena menjadi sumber acuan untuk latar belakang penulisan. Pada
periode pascaperang dunia kedua ini pemikiran eksistensialisme
sedang berkembang dengan maraknya di Eropa. Diawali dengan
tulisan Heidegger, Being and Time, yang terbit tahun 1927 timbul
pemikiran

bahwa

sistem

dan

institusi

kemasyarakatan

telah

membuat dimensi ontologis manusia ke luar dari dalam (hakikat)


kesadarannya.
Absurditas merupakan aliran pemikiran yang timbul di awal
abad ke-20 sebagai cabang dari eksistensialisme Sartre. Camus
adalah tokoh di balik pemikiran ini. Salah satu karyanya dengan
judul Orang Asing disinyalir merupakan pemaparan dari gagasan
absurditasnya. Buku ini terbit tahun 1942, berbarengan dengan
esainya tentang absurditas, Mite Sisifus. Keunikan buku ini adalah

bentuknya yang menyerupai catatan harian (yang sangat berbeda


dengan roman pada jaman itu). Karya ini dinilai penting pada
zamannya, sehingga

Sartre menerbitkan tulisan sebagai reaksi

buku ini. Tulisan tersebut diterbitkan dalam kumpulan esainya yang


berjudul Situation I pada tahun 1943.

B. Riwayat Hidup
Albert Camus lahir di Mondovi, Algeria, 7 November 1913, dari orang tua
keturunan Spanyol dan Prancis-Inggris. Dia dibesarkan di Afrika Utara oleh ibunya
seorang keturunan Spanyol di bawah keadaan yang menyedihkan, karena ayahnya
terbunuh ketika Camus baru berusia satu tahun. Pendidikan menjadi mahal dan
karenanya susah untuk diburu Camus. Dia bekerja apapun, salah satunya dengan
bermain sebagai kiper untuk tim sepakbola Aljazair dan karena mendapat beasiswa, ia
dapat meraih derajat master bidang Filsafat di Universitas Prancis untuk bekerja
sebagai seorang jurnalis. Dia aktif dalam gerakan perlawananan selama pendudukan
Jerman atas Prancis, di mana dia mengedit koran bawah tanah Combat. Dia dari awal
sudah menunjukkan sebagai seorang penulis yang jenius, ketika koran cetakannya
mengungkapkan kondisi gelandangan yang buruk di antara berbagai kelomopok
pribumi Aljazair membangkitkan reaksi-reaksi fanatik, namun menggerakkan
pemerintah Prancis untuk memperbaiki skandal sosial. Sebelum perang dia sudah
menulis sebuah drama, Caligula (1939), dan selama perang, tapi mendahului
komitmen dirinya terhadap perlawanan, dua bukunya membuat dia serta merta
menjadi terkenal: esai filsafat pertamanya, The Mythh of Sisyphus, novel pertamanya,
The Stranger, keduanya dalam tahun 1942. Tahun 1951 Camus dianugrahi Hadiah
Nobel bidang Sastra, orang paling muda (pada usia empat puluh tiga) yang menerima
hadiah sejak Rudyard Kipling terpilih tahun1907 pada usia empat puluh dua.
C. Pola Pemikiran

Pandangan-pandangan eksistensialisme Camus dapat kita telusuri melalui


karya-karyanya, terutama Mite Sisifus (Le Mythe de Sisyphe) yang terbit pada tahun
yang sama dengan Orang Asing (The Stranger) yang menjadi bahasan tulisan ini.
Selain itu, ada pula karya lainnya seperti The Fall dan The Rebel yang merupakan
bentuk pragmatis buah pikir eksistensialisme Camus. Eksistensialisme secara
sederhana oleh Fowler didefinisikan sebagai respons sastrawi dan falsafi terhadap
pengalaman ketanpaan (nothingness), anomie, dan absurditas yang berusaha
menemukan makna dari dan melalui pengalaman tersebut. Dengan demikian,
ketanpaan yang melewati batas rasio, kekuatan keinginan, keingintahuan,
produktivitas dan kemampuan teknologis menjadi elemen yang penting.
Dalam eksistensialisme, manusia seperti kata Heidegger dipandang sebagai
makhluk yang terlempar ke dunia yang absurd. Bakdi Soemanto membahasakannya
sebagai makhluk terbatas yang terlempar pada dunia tak terbatas (finite being tossed
out into the infinite). Kemudian, ia akan berusaha to discover purpose and order in
a world which steadfastly refuses to evidence either (Fowler, 1987:1). Terlihat ada
usaha pencarian hakikat dan makna hidup. Akan tetapi, betapa pun dunia itu berusaha
untuk didefinisikan, tetap saja terlihat adanya ketanpaan yang muncul menyertai
usahanya: ketanpamaknaan, ketanpatujuanan, ketanpaarahan, ketanpaaturanan; dunia
senantiasa menolak untuk dimaknai. Oleh karena itu, dunia tampak absurd. Upaya
untuk mendefinisikan dan memberi batasan pada dunia justru menciptakan sebuah
dunia yang takterbatas.
Absurditas Camus menekankan adanya kontradiksi antara hasrat individu
dengan realita. Situasi irasional ini ditemukan manusia di kehidupannya ketika
adanya keinginan dari dirinya yang tidak terbendung untuk mencari sebuah kejelasan
di antara ketidakjelasan dunia ini. Manusia sebagai sebuah eksistensi memiliki
kebebasan akan dirinya, tapi keadaan dunia membatasi kebebasannya sebagai seorang
manusia. Hubungan antara manusia dan kehidupan dinilai absurd oleh Camus.

Paradigma

inilah

yang

menyatakan

kesadaran

manusia

menggambarkan

penderitaannya.
D. Pemikiran dan kaitannya dengan Islam
Albert Camus menawarkan pemikiran tentang Tuhan dan agama dengan
cara yang agak berbeda. Ia berpendapat bahwa hakekat dunia ini adalah
absurditasnya. Artinya, dunia ini, beserta semua mahluk hidup di dalamnya, termasuk
manusia, tidaklah masuk akal. Manusia merencanakan segalanya, tetapi ia harus mati,
ketika rencananya tersebut belum terlesaikan. Penderitaan yang dialami manusia pun
sungguh absurd, jika dibandingkan keindahan serta keluruhan dunia ini sebagai
keseluruhan. Pengalaman manusia yang paling mendasar adalah pengalaman akan
penderitaan. Banyak dari penderitaan tersebut disebabkan oleh sikap manusia sendiri.
Kesadaran akan penderitaan membuat ia sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan
ini adalah absurd. Dengan kata lain, manusia harus menghadapi serta melawan
dengan optimis absurditas hidup tersebut. Dalam konteks atheisme, absurditas hidup
tersebut merupakan tanda bahwa Allah itu tidak ada. Jika Allah sungguh ada, maka
tidak mungkin hidup ini absurd. Jika Allah ada, maka mesti ada penjelasan di balik
semua penderitaan manusia, harusnya ada rasionalitas di baik irasionalitas yang
dialami manusia. Padahal, penjelasan dan rasionalitas tersebut, hemat Camus,
tidaklah ada. Oleh karena itu, tindak beriman kepada Allah sesungguhnya hanyalah
merupakan pelarian dari penderitaan dan absurditas hidup saja. Dengan begitu,
atheisme Camus merupakan akibat dari problem penderitaan dan kejahatan yang ada
di dalam dunia.
E. Kesimpulan
Filsafat eksistensialisme terkenal dengan teori yang menyangkut
eksistensi(keberadaan) mendahului essensi (isi). Bahwa keberadaan atau adanya
sesuatu hal akan mendahului makna didalamnya .para filsuf eksistensialisme
meyakini bahwa pembentukan manusia tercipta karena adanya wadah /eksistensi

(bentuk fisik manusia) yang kemudian melahirkan dan mengembangkan pemikiran


sehingga terbentuk Jiwa / essensi (isi). Dalam pandangan eksistensialisme makna
akan tercipta melalui pemikiran yang dimunculkan oleh sistem tubuh manusia secara
fisik tersebut. sehingga pendefinisian-pendefinisian yang dilakukan oleh manusia
akan melahirkan makna-makna dalam lingkungan dan dunia sekitarnya. Pencarian
makna manusia dipelajari dalam eksistensialisme, yang menyatakan tentang adakah
tuhan dan fungsi tuhan serta hubungatgnya dengan manusia. Namun filsuf tak mampu
menemukan atau mendefinisikan hubungan Tuhan dan manusia dalam kaitan makna
hidup. Ini menjadikan mereka tak memilih untuk mempercayai adanya Tuhan.
Albert Camus adalah salah satu Filsuf eksistensialisme yang menjabarkan
teori absurditas tentang makna hidup menjabarkan Bahwa hidup seseorang haruslah
absurd. Dalam hal ini hidup seseorang yang mampu melampaui (walking through)
masalah untuk menjadi diri yang autentik. Diri yang autentik adalah diri yang
sesungguhnya, diri yang mampu menemukan makna hidupnya. Upaya melampaui itu
dengan cara menjadi pemberontak terhadap hal-hal yang selama ini menghalangi
individu menjadi diri yang auntentik. Menjadi kreatif sebagai upaya meraih makna
diri.Menyingkap selubung atau tabir yang ada dalam diri individu. Menjadi
pemberontak dalam hidup artinya menjadi berani untuk menerima dan menghadapi
masalah yang ada. Seringkali, istilah pemberontak disalah artikan sebagai
pelanggaran norma-norma.

Anda mungkin juga menyukai