MANUSIA?
Mzm 8
Manusia hina sebagai makhluk mulia
8:4 apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah
anak manusia , sehingga Engkau mengindahkannya? 8:5 Namun
Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan
telah memahkotainya dengan kemuliaan dan
hormat. 8:6 Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-
Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: 8:7
kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-
binatang di padang; 8:8 burung-burung di udara dan ikan-ikan
di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. 8:9 Ya TUHAN,
Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!
Cicero: “Homo solus particeps rationis et cogitationis”.
Artinya hanya manusia yg mampu ambil bagian dalam nalar dan
pikir, atau kata lain,
hanya manusia yang mampu menggunakan nalar dan pikiran.
Rene Descartes: “cogito ergo sum” : aku berpikir, maka aku ada.
• Berbicara tentang manusia, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa manusia terdiri
dari jiwa dan badan. Manusia adalah suatu kesatuan, tetapi kesatuan itu
menampakkan adanya keduaan (jiwa dan badan). Akan tetapi realitas jiwa dan badan
ini sering dipandang sebagai saling bertentangan.
• Sokrates, jiwa merupakan azas hidup manusia.
• Jiwa adalah intisari manusia dan oleh karenanya manusia wajib mengutamakan
kebahagiaan jiwanya melebihi kebahagiaan badannya sendiri.
• Plato, jiwa dan badan berbeda dan saling bertentangan.
• Jiwa berasal dari dunia atas (idea-idea) sedangkan tubuh berasal dari dunia bawah
(materi). Dualisme Plato ini jiwa dipandang lebih tinggi daripada badan, karena
bersifat adikodrati dan kekal. Sebaliknya, badan dilihat sebagai penjara bagi jiwa
dan bersifat fana.
• Bagi Aristoteles, materi adalah azas yang paling akhir.
• Materi tidak bisa dipisahkan dari segala bentuk. Materi tanpa bentuk
tidak memiliki kenyataan. Namun itu tidak berarti bahwa materi
adalah hal yang “tidak ada” sama sekali, melainkan ia merupakan
kenyataan yang masih belum mewujud. Ia bisa mewujud dalam
kesatuannya dengan bentuk.
• Secara singkat dapat dikatakan bahwa menurut Aritoteles, materi
dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat berada tanpa
bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap
ada yang dapat diamati tersusun dari materi dan bentuk. Pada
kesimpulannya, Aristoteles berpendapat bahwa baik jiwa maupun
badan keduanya bersifat fana. Tak ada jiwa yang tidak dapat mati.
• Badan manusia mengambil bagian pada martabat keberadaan
"menurut citra Allah“.
• "Manusia, yang satu jiwa maupun raganya, melalui kondisi
badaniahnya sendiri menghimpun unsur-unsur dunia jasmani dalam
dirinya, sehingga melalui dia unsur-unsur itu mencapai tarafnya
tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas
memuliakan Sang Pencipta. Oleh karena itu manusia tidak boleh
meremehkan hidup jasmaninya; tetapi sebaliknya, ia wajib
memandang baik serta layak dihormati badan-nya sendiri, yang
diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir"
(GS 14,1).
• Seluruh aspek interior manusia (perasaan, pikiran, kehendak, dsb) tidak hanya
terpendam di dalam batin manusia, tetapi terungkap ke luar melalui tubuh.
• Tubuh mengekspresikan seluruh diri manusia (jasmani dan rohani),
• Tubuh manusia merupakan pengungkapan sekaligus penghadiran simbolis
dari seluruh kemanusiaannya,
• Tubuh manusia juga merupakan jembatan yang mengkomunikasikan
pribadi manusia dengan sesama, alam dan Tuhan.
• “Tidak ada aku ‘an sich’. Tak mungkin memikirkan suatu cara berada
manusia yang tidak sekaligus suatu cara berada di dunia”.
• Nilai tubuh didasarkan pada iman bahwa Allah-lah yang menciptakan tubuh
manusia. Allah menciptakan manusia (jiwa dan tubuh) sebagai citranya dan
memberikan kepada manusia martabat yang lebih tinggi daripada makhluk
ciptaan lainnya.
Manusia: Pria dan Wanita
• Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan
yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam
kepriaan dan kewanitaannya.
• "Kepriaan" dan "kewanitaan" adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah:
keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang
diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya.
• Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama "menurut citra Allah". Dalam
kepriaan dan kewanitaan mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan
Pencipta.
• Allah sendiri sama sekali tidaklah menurut citra manusia. Ia bukan pria,
bukan juga wanita. Allah adalah Roh murni, pada-Nya tidak bisa ada
perbedaan jenis kelamin. Namun dalam "kesempurnaan-kesempurnaan" pria
dan wanita tercermin sesuatu dari kesempurnaan Allah yang tidak terbatas.
Kejadian
2:18, 21-13
• 2:18 TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
• 2:21 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia
tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu
menutup tempat itu dengan daging.
• 2:22 Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu,
dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
• Pria dan wanita diciptakan "satu untuk yang lain“
• Bukan seakan-akan Allah membuat mereka sebagai manusia
setengah-setengah dan tidak lengkap,
• la menciptakan mereka untuk satu persekutuan pribadi, sehingga
kedua orang itu dapat menjadi "penolong" satu untuk yang lain,
• di satu pihak mereka itu sama sebagai pribadi ("tulang dari
tulangku"),
• di lain pihak mereka saling melengkapi dalam kepriaan dan
kewanitaannya.
• Dalam perkawinan, Allah mempersatukan mereka sedemikian erat,
sehingga mereka "menjadi satu daging" dan dapat meneruskan kehidupan
manusia.
• Dengan meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya, pria dan wanita
sebagai suami isteri dan orang-tua bekerja sama dengan karya
Pencipta atas cara yang sangat khusus.
• Diciptakan menurut citra Allah, yang "mengasihi segala yang ada“, pria
dan wanita terpanggil untuk mengambil bagian dalam penyelenggaraan
ilahi untuk makhluk-makhluk lain.
• Mereka bertanggungjawab untuk dunia yang dipercayakan Allah
kepada mereka.
• Dalam dokumen Gaudium et Spes para Bapa Konsili Vatikan II mengatakan
bahwa semua orang diciptakan dalam citra Allah.
• Mereka memiliki kodrat dan asal-usul yang sama. Mereka memiliki kesetaraan
dasariah. Kesetaraan tersebut harus semakin diakui. Oleh karenanya, “segala bentuk
diskriminasi yang menyangkut hak-hak asasi manusia, entah yang bersifat sosial atau
budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau
agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan rencana Allah”
(GS, 29).
• Kendati terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar antara laki-laki dan
perempuan, namun martabat mereka yang sama sebagai pribadi menuntut agar
kita berusaha untuk mewujudkan kondisi hidup lebih manusiawi.
• Kesenjangan ekonomi dan sosial yang berlebihan antara individu dan bangsa-
bangsa merupakan sumber skandal dan bertentangan dengan keadilan sosial,
keadilan, martabat manusia, serta perdamaian sosial dan internasional.
• Bila kaum perempuan masih belum diakui wewenangnya untuk
dengan bebas memilih suaminya, menentukan jalan hidupnya,
atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan
seperti yang mereka inginkan (GS, 29), wajarlah kalau “Kaum
perempuan menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki
berdasarkan hukum dan keadilan (equity) maupun dalam
kenyataan, bila kesetaraan itu belum mereka peroleh” (GS, 9).
• Yohanes Paulus II
• Perempuan memiliki martabat yang sederajat dengan laki-laki.
Kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan ini dilandaskan pada
kenyataan bahwa mereka diciptakan oleh Allah sendiri menurut citra
dan keserupaan dengan diri-Nya (FC 22). Berbeda dengan pandangan
Aristoteles (384/3-322 sebelum Masehi) yang meyakini bahwa perempuan
adalah seorang “pria yang tidak sempurna” yang keberadaannya hanya
dibutuhkan demi membantu laki-laki untuk melahirkan anak-anak.
• Berdasarkan kesetaraan martabat sebagai citra Allah ini, baik perempuan
maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan
aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
• Yohanes Paulus II
• “kesetaraan martabat” tidak identik dengan “kesamaan dengan”
laki-laki. Kesetaraan martabat ini akan mencapai kepenuhannya
ketika perempuan dan laki-laki mampu untuk hidup dalam
komunio dengan satu sama lain, dengan saling menerima dan saling
memberikan diri, dengan saling membantu dan bekerjasama untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh ciptaan Allah.
• Dengan penciptaan laki-laki dan perempuan menurut citra dan
keserupaan dengan Allah mereka dipanggil untuk secara timbal
balik hidup bagi satu sama lain. Yohanes Paulus II menegaskan
bahwa dalam diri perempuan, laki-laki memperoleh mitra,
dengannya ia dapat berdialog dalam kesetaraan yang lengkap.
Kesimpulan
• Manusia diciptakan menurut gambar Allah
• Manusia diciptakan menurut gambar Allah sebagai kesatuan badan dan jiwa
• Manusia diciptakan menurut gambar Allah sebagai makhluk bebas
• Manusia diciptakan menurut gambar Allah sebagai makhluk sejarah
• Manusia diciptakan menurut gambar Allah sebagai makhluk sosial
(communio)
• Manusia diciptakan menurut gambar Allah sebagai makhluk seksual
• Manusia diciptakan menurut gambar Allah dihadapan dunia ciptaan dan
pekerjaan
• Martabat manusia sebagai pribadi (persona)