KESELAMATAN?
I) Keselamatan.
1. Karena manusia di luar Kristus itu sama sekali tidak bisa berbuat
baik.
Kita lahir sebagai orang yang berdosa, dan karena itu kita
mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa. Ini bisa terlihat
dari ayat-ayat di bawah ini:
Kej 6:5 - “Ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di
bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan
kejahatan semata-mata, ...”.
Kej 8:21b - “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia,
sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak
kecilnya”.
Illustrasi: Makhluk yang lahir sebagai monyet akan secara otomatis
melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh monyet. Demikian
juga makhluk yang dilahirkan sebagai orang berdosa akan secara
otomatis melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang
berdosa.
3) Kita bisa diselamatkan, karena ‘iman saja’ (Sola Fide / only faith), bukan
karena ‘perbuatan baik’ atau karena ‘iman + perbuatan baik’.
Bahwa Kitab Suci memang mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak
punya andil dalam keselamatan, terlihat dari ayat-ayat di bawah ini:
Gal 2:16 - “Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh
karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam
Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus,
supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh
karena melakukan hukum Taurat. Sebab: ‘tidak ada seorangpun yang
dibenarkan’ oleh karena melakukan hukum Taurat”.
Ro 9:30-32 - “(30) Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini:
bahwa bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran, telah
memperoleh kebenaran, yaitu kebenaran karena iman. (31) Tetapi: bahwa
Israel, sungguhpun mengejar hukum yang akan mendatangkan kebenaran,
tidaklah sampai kepada hukum itu. (32) Mengapa tidak? Karena Israel
mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan”.
Fil 3:7-9 - “(7) Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku,
sekarang kuanggap rugi karena Kristus. (8) Malahan segala sesuatu
kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih
mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan
semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh
Kristus, (9) dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri
karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena
kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan
berdasarkan kepercayaan”.
Karena iman itu sendiri adalah pemberian Allah (Fil 1:29), maka jelas
bahwa seluruh keselamatan merupakan anugerah. Dan karena itu kita
percaya bukan hanya kepada SOLA FIDE (= hanya iman), tetapi juga
kepada SOLA GRATIA (= hanya kasih karunia), karena kedua hal itu
berhubungan sangat dekat, dan sama-sama bertentangan dengan ajaran
yang mempercayai adanya andil manusia dalam memperoleh
keselamatan.
Ef 2:8-9 - “(8) Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman;
itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (9) itu bukan hasil
pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”.
Ro 3:24,27-28 - “(24) dan oleh kasih karunia Allah telah dibenarkan dengan
cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. ... (27) Jika demikian,
apa dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan perbuatan? Tidak,
melainkan berdasarkan iman! (28) Karena kami yakin, bahwa manusia
dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”.
Ro 4:2-5 - “(2) Sebab jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya,
maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah. (3)
Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? ‘Lalu percayalah Abraham kepada
Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.’
(4) Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai
hadiah, tetapi sebagai haknya. (5) Tetapi kalau ada orang yang tidak
bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka,
imannya diperhitungkan menjadi kebenaran”.
Illustrasi:
sakit obat sembuh olah raga / bekerja
dosa iman selamat taat / berbuat baik
Apa yang menyebabkan sembuh? Tentu saja obat, bukan olah raga /
bekerja. Olah raga / bekerja hanya merupakan bukti bahwa orang itu
sudah sembuh. Karena itu kalau seseorang berkata bahwa ia sudah
minum obat dan sudah sembuh, tetapi ia tetap tidak bisa berolah raga /
bekerja, maka pasti ada yang salah dengan obatnya.
Demikian juga dengan orang berdosa. Ia selamat karena iman, bukan
karena perbuatan baik. Tetapi kalau seseorang berkata bahwa ia sudah
beriman dan sudah selamat, tetapi dalam hidupnya sama sekali tidak ada
perbuatan baik / ketaatan, maka pasti ada yang salah dengan imannya.
Juga kalau kita melihat pada garis waktu, maka akan terlihat hal-hal
sebagai berikut:
a) Sejak lahir sampai seseorang percaya kepada Yesus, ia tak bisa
berbuat baik SAMA SEKALI (Ro 3:10-12 Ro 6:20).
Ro 3:10-12 - “(10) seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar,
seorangpun tidak. (11) Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak
ada seorangpun yang mencari Allah. (12) Semua orang telah
menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat
baik, seorangpun tidak.”.
Ro 6:20 - “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari
kebenaran.”.
b) Kalau pada suatu saat ia percaya kepada Yesus, maka pada saat itu
juga ia diselamatkan / mendapatkan keselamatan (Luk 19:9).
Luk 19:9 - “Kata Yesus kepadanya: ‘Hari ini telah terjadi keselamatan
kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.”.
c) Ia pasti pada saat itu juga mendapatkan Roh Kudus (Kis 2:38 Ef
1:13).
Kis 2:38 - “Jawab Petrus kepada mereka: ‘Bertobatlah dan hendaklah kamu
masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk
pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.”.
Ef 1:13 - “Di dalam Dia kamu juga - karena kamu telah mendengar firman
kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika kamu
percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikanNya itu.”.
d) Roh Kudus itu akan mengeluarkan buah Roh (Gal 5:22-23), sehingga
hidup orang itu secara sedikit demi sedikit akan dikuduskan.
Jadi terlihat dengan jelas bahwa imanlah, dan bukannya perbuatan baik,
dan juga bukannya iman + perbuatan baik, yang menyebabkan kita
diselamatkan, karena keselamatannya telah terjadi sebelum perbuatan
baik itu mulai muncul.
Kesimpulan dari bagian ini: keselamatan hanya karena iman, dan itu betul-
betul merupakan anugerah murni!
Pdt. Jusuf B. S.: “Kepastian keselamatan kita tergantung dari Allah dan
kita. Allah 100 % menghendaki keselamatan kita. Ia tidak pernah berubah
Ibr 13:8. Sebab itu sekarang hanya tergantung dari kita. Kalau kita
sungguh-sungguh, itu berarti kita akan tumbuh, tidak tinggal kanak-kanak
rohani, pasti naik, kita juga pasti tetap selamat. Jadi kepastian keselamatan
itu tergantung dari kesungguhan kita dengan kata lain tergantung dari
tingkat rohani kita” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 67.
Pdt. Jusuf B. S.: ‘Keselamatan itu bisa hilang tetapi orang beriman yang
mau tetap selamat, tidak akan kehilangan keselamatannya” - ‘Keselamatan
tidak bisa hilang?’, hal 73.
Louis Berkhof: “The denial of the doctrine of perseverance virtually makes the
salvation of man dependent on the human will rather than on the grace of God.
This consideration will, of course, have no effect on those who share the
Pelagian conception of salvation as autosoteric - and their number are great -
but certainly ought to cause those to pause who glory in being saved by grace”
(= Penyangkalan terhadap doktrin ketekunan sebenarnya membuat
keselamatan manusia tergantung pada kehendak manusia dan bukannya
pada kasih karunia Allah. Tentu saja pertimbangan ini tidak mempunyai
pengaruh pada mereka yang mempunyai konsep Pelagianisme tentang
keselamatan sebagai penyelamatan diri sendiri - dan jumlah mereka banyak
- tetapi pasti pertimbangan ini harus menyebabkan mereka, yang bermegah
dalam keselamatan karena kasih karunia, untuk berhenti sejenak) -
‘Systematic Theology’, hal 549.
Loraine Boettner: “If Arminianism were true, Christians would still be in very
dangerous positions, with their eternal destiny suspended upon the probability
that their weak, creaturely wills would continue to choose right. ... His
assurance is based largely on self-confidence. Others have failed, but he is
confident that he will not fail. But what a delusion is this when apllied to the
spiritual realm! What a pity that any one who is at all acquainted with his own
tendency to sin should base his assurance of salvation upon such grounds! His
system places the cause of his perseverance, not in the hands of an all-
powerful, never-changing God, but in the hands of weak sinful man” (=
Seandainya Arminianisme benar, orang-orang Kristen tetap ada dalam
posisi yang sangat berbahaya, dengan nasib / tujuan kekal digantungkan
pada kemungkinan dimana kehendak mereka yang lemah dan bersifat
makhluk ciptaan, akan terus memilih yang benar. ... Keyakinanannya secara
umum didasarkan pada keyakinan terhadap diri sendiri. Orang-orang lain
telah gagal, tetapi ia yakin bahwa ia tidak akan gagal. Tetapi kalau ini
diterapkan terhadap dunia rohani, itu betul-betul merupakan khayalan /
tipuan. Betul-betul menyedihkan bahwa ada orang yang mengenal
kecenderungannya sendiri ke dalam dosa, mendasarkan keyakinan
keselamatannya pada dasar seperti itu! Sistimnya meletakkan persoalan
ketekunannya, bukan dalam tangan Allah yang maha kuasa dan tak pernah
berubah, tetapi dalam tangan orang berdosa yang lemah) - ‘The Reformed
Doctrine of Predestination’, hal 193-194.
Keberatan:
1Yoh 3:15 - “Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang
pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh
yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya”.
Ayat ini menunjukkan bahwa orang bisa kehilangan hidup yang kekal,
yang tadinya telah ia miliki.
Jawaban saya:
Ayat ini berbicara dari sudut pandang manusia. Kalau kita melihat
seseorang mengaku percaya kepada Kristus, maka kita menganggap
orang itu sudah mendapat hidup yang kekal. Tetapi pada waktu kita
melihat orang itu tidak mempunyai kasih, dan bahkan membenci
saudaranya, maka kita tahu bahwa ia bukan orang kristen yang sejati, dan
lalu dikatakan bahwa ‘ia tidak tetap memiliki hidup yang kekal di dalam
dirinya’. Tetapi fakta sebenarnya adalah: ia tidak pernah betul-betul
percaya, dan tidak pernah betul-betul mendapatkan hidup yang kekal.
1Yoh 3:14-15: “(14) Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam
maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita.
Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. (15) Setiap orang yang
membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu,
bahwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal
di dalam dirinya”.
Jadi, ‘tidak tetap memiliki hidup yang kekal’ (ay 15b) adalah sama dengan
‘tetap di dalam maut’ (ay 14b), yang menunjukkan kalau orang itu tidak
pernah selamat!!
R. L. Dabney: “As all Christians agree, the sole ground of the acceptance of
believers is the justifying righteousness of Jesus Christ. ... this ground of
justification, this atonement for sin, this motive for the bestowal of divine love,
is perfect. Christians atonement surmounts the demerit of all possible sin or
ingratitude. His righteousness is a complete price to purchase the sinner’s
pardon and acceptance. See Heb. 9:12; 10:12 and 14; Jno. 5:24. ... Can one
who has been fully justified in Christ, whose sins have been all blotted out,
irrespective of their heinousness, by the perfect and efficacious price paid by
Jesus Christ, become again unjustified, and fall under condemnation without a
dishonour done to Christ’s righteousness?” (= Sebagaimana disetujui oleh
semua orang kristen, satu-satunya dasar dari penerimaan orang-orang
percaya adalah kebenaran yang membenarkan dari Yesus Kristus. ... dasar
dari pembenaran ini, penebusan dosa ini, motivasi untuk pemberian kasih
ilahi ini, adalah sempurna. Penebusan orang-orang Kristen mengatasi
kesalahan dari semua dosa atau rasa tidak tahu terima kasih yang
memungkinkan. KebenaranNya merupakan harga yang lengkap / sempurna
untuk membeli pengampunan dosa dan penerimaan orang-orang berdosa.
Lihat Ibr 9:12; 10:12 dan 14; Yoh 5:24. ... Bisakah seseorang yang telah
sepenuhnya dibenarkan dalam Kristus, yang dosa-dosanya telah
dihapuskan, terlepas dari kejahatan mereka, oleh harga yang sempurna dan
manjur yang dibayar oleh Yesus Kristus, lalu menjadi tidak benar lagi, dan
jatuh di bawah penghukuman, tanpa dilakukan suatu penghinaan terhadap
kebenaran Kristus?) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 691.
Loraine Boettner: “Paul teaches that believers are not under law, but under
grace, and that since they are not under the law they cannot be condemned for
having violated the law. ‘Ye are not under law but under grace,’ Rom. 6:14.
Further sin cannot possibly cause their downfall, for they are under a system of
grace and are not treated according to their deserts. ... The one who attempts to
earn even the smallest part of his salvation by works becomes ‘a debtor to do
the whole law’ (that is, to render perfect obedience in his own strength and thus
earn his salvation), Gal. 5:3. We are here dealing with two radically different
systems of salvation, two systems which, in fact, are diametrically opposed to
each other. ... Hence if any Christian fell away, it would be because God had
withdrawn His grace and changed His method of procedure - or, in other
words, because He had put the person back under a system of law” [= Paulus
mengajar bahwa orang-orang percaya tidak berada di bawah hukum
Taurat, tetapi di bawah kasih karunia, dan karena mereka tidak berada di
bawah hukum Taurat mereka tidak bisa dihukum karena melanggar hukum
Taurat. ‘kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih
karunia’, Ro 6:14. Dosa-dosa selanjutnya tidak mungkin bisa menyebabkan
kejatuhan mereka, karena mereka ada di bawah sistim dari kasih karunia
dan tidak diperlakukan sesuai dengan yang mereka layak dapatkan. ...
Seseorang yang berusaha untuk mendapatkan bahkan bagian terkecil dari
keselamatannya menjadi ‘seorang yang berhutang untuk melakukan seluruh
hukum Taurat’ (yaitu, memberikan ketaatan yang sempurna dengan
kekuatannya sendiri dan dengan demikian layak mendapatkan
keselamatannya), Gal 5:3. Di sini kita menangani 2 sistim keselamatan yang
sangat berbeda, 2 sistim yang dalam faktanya bertentangan satu sama
lain. ... Jadi, jika orang Kristen manapun jatuh / murtad, itu disebabkan
karena Allah telah menarik kasih karuniaNya dan mengubah metode
prosedurNya - atau, dengan kata lain, karena Ia telah meletakkan orang itu
kembali di bawah sistim dari hukum Taurat] - ‘The Reformed Doctrine of
Predestination’, hal 184,185.
Bdk. Mat 11:28-30 - “(28) Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan
berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. (29) Pikullah kuk
yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan
rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (30) Sebab kuk yang
Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan.’”. Bdk. 1Yoh 5:3b - ‘Perintah-
perintahNya itu tidak berat’.
Calvin mengatakan bahwa sebetulnya, yang diundang di sini bukanlah
seadanya orang yang letih lesu dan berbeban berat, tetapi orang yang
letih lesu dan berbeban berat karena dosa. Ia berusaha untuk hidup suci,
membuang dosa, dsb, tetapi ia tidak mampu. Ini menyebabkan ia tidak
yakin akan keselamatannya dan ia takut terhadap murka Allah, dan ini
yang menyebabkan ia merasakan beban yang berat. Contoh yang
menyolok tentang orang seperti ini adalah Martin Luther sebelum
pertobatannya. Yesus mengundang orang seperti ini untuk datang
kepadaNya. Dan Ia menjanjikan kelegaan / ketenangan, kuk yang enak,
dan beban yang ringan. Apakah kalau kita ikut Kristus bebannya betul-
betul ringan? Saya yakin tidak. Tetapi tetap disebut ‘ringan’ dalam
perbandingan dengan orang di luar Kristus. Yang di dalam Kristus
mengusahakan ketaatan dengan keyakinan bahwa dirinya sudah selamat,
yang di luar Kristus mengusahakan ketaatan supaya selamat. Itu yang
membedakan sehingga yang pertama merasakan bebannya ringan, yang
kedua merasakan bebannya berat.
Kalau kita menerima ajaran Arminian, bahwa orang kristen yang sejati
bisa kehilangan keselamatannya, maka janji Yesus ini harus dibuang.
Beban orang kristen sama beratnya dengan beban orang yang non
kristen, karena sama-sama tidak yakin nanti akan selamat atau tidak!
Dalam kedua janji di atas ini, yang saya yakin hanya berlaku untuk orang
kristen yang sejati, Allah berjanji untuk:
a) Memberikan yang baik bagi orang percaya.
b) Membatasi pencobaan sehingga tidak lebih dari kekuatan orang
percaya. Dan dalam 2Pet 2:9a dikatakan bahwa Tuhan tahu
bagaimana caranya menyelamatkan orang saleh / orang kristen dari
pencobaan.
2Pet 2:9a - “maka nyata, bahwa Tuhan tahu menyelamatkan orang-
orang saleh dari pencobaan”.
Kalau memang ada orang kristen yang sejati yang sudah diselamatkan
yang bisa murtad dan lalu terhilang selama-lamanya, maka perlu
dipertanyakan:
1. Mengapa Allah tidak memanggil ia pulang pada waktu ia ada dalam
keadaan selamat? Bukankah itu lebih baik baginya dari pada dibiarkan
hidup tetapi lalu murtad dan binasa?
2. Mengapa Allah tidak membatasi pencobaan yang dialami orang
tersebut? Dan mengapa Allah tidak tahu / tidak bisa menyelamatkan
orang kristen dari pencobaan?
Apakah 1Kor 10:13, dan juga Ro 8:28, tidak berlaku bagi orang itu?
Pdt. Jusuf B. S.: “Tentu Allah membatasi setan dalam usahanya ini, supaya
jangan manusia dicobai lebih dari kemampuannya (1Kor 10:13), kalau
tidak, semua manusia akan binasa” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal
19.
Kelihatannya ia menganggap bahwa 1Kor 10:13 ini berlaku untuk semua
orang. Allah membatasi pencobaan (secara umum), karena kalau tidak,
maka semua manusia akan binasa. Dengan dibatasi, maka sebagian
manusia saja yang binasa. Berarti pada orang-orang itu pencobaan terlalu
berat. Lalu mengapa ada yang dijaga sehingga pencobaannya tidak
terlalu berat dan ada yang dibiarkan dicobai secara terlalu berat?
Calvin (tentang 1Kor 10:13): “Now God helps us in two ways, that we may not
be overcome by the temptation; for he supplies us with strength, and he sets
limits to the temptation. It is of the second of these ways that the Apostle here
chiefly speaks. At the same time, he does not exclude the former - that God
alleviates temptations, that they may not overpower us by their weight. For he
knows the measure of our power, which he has himself conferred. According to
that, he regulates our temptations. The term ‘temptation’ I take here as
denoting, in a general way, everything that allures us” (= ).
7) Dasar dari keselamatan kita adalah kasih yang tidak berubah dari Allah.
Yer 31:3 - “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku
mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan
kasih setiaKu kepadamu”.
Calvin (tentang Yer 31:3): “It is, therefore, a doctrine especially useful, when
the Prophet shews, that whatever blessings God has at any time conferred on
his ancient people, they ought to be ascribed to his gratuitous covenant, and
that that covenant is eternal: and hence there is no doubt but that God is at this
day prepared to secure the salvation of all the godly; for he remains ever the
same, and never changes; and he would also have his fidelity and constancy to
shine forth in the covenant which he has made with his Church. Since, then,
the covenant of God is inviolable and cannot fail, even were heaven and earth
brought into confusion, we ought to feel assured that God will ever be a
deliverer to us: how so? because his covenant remains the same; and, therefore,
his power to deliver us will remain the same. This is the use we ought to make
of this clause” (= ).
R. L. Dabney: “The sovereign and unmerited love is the cause of the believer’s
effectual calling, Jer. 31:3; Rom. 8:30. Now, as the cause is unchangeable, the
effect is unchangeable. ... When He first bestowed that grace, He knew that the
sinner on whom He bestowed it was totally depraved, and wholly and only
hateful in himself to the divine holiness; and therefore no new instance of
ingratitude or unfaithfulness, of which the sinner may become guilty after his
conversion, can be any provocation to God, to change His mind, and wholly
withdraw His sustaining grace. God knew all this ingratitude before. He will
chastise it, by temporarily withdrawing His Holy Spirit, or His providential
mercies; but if He had not intended from the first to bear with it, and to forgive
it in Christ, He would not have called the sinner by His grace at first” (= Kasih
yang berdaulat dan tidak layak kita dapatkan, adalah penyebab dari
panggilan effektif terhadap orang percaya, Yer 31:3; Ro 8:30. Sekarang,
karena penyebabnya tidak bisa berubah, maka akibatnya juga tidak bisa
berubah. ... Pada saat Ia pertama kalinya memberikan kasih karunia itu, Ia
sudah tahu bahwa orang berdosa, kepada siapa Ia memberikan kasih
karunia itu, adalah bejad secara total dan hanya membangkitkan kebencian
dalam dirinya terhadap kekudusan ilahi; dan karena itu tidak ada contoh
baru dari rasa tidak tahu terima kasih atau ketidak-setiaan, tentang mana
orang berdosa itu bisa menjadi bersalah setelah pertobatan, bisa menjadi
sesuatu yang membuat Allah menjadi marah, mengubah pikiranNya, dan
menarik kembali kasih karuniaNya sepenuhnya. Allah tahu tentang semua
rasa tidak tahu terima kasih ini sebelumnya. Ia akan menghajarnya, dengan
secara sementara menarik Roh KudusNya, atau belas kasihan
providensiaNya; tetapi seandainya Ia dari semula tidak bermaksud untuk
menganggung semua itu dengan sabar, dan mengampuninya dalam Kristus,
maka Ia tidak akan memanggil orang berdosa itu dengan kasih karuniaNya
dari semula) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 690,691.
Kata-kata Dabney ini mungkin agak membingungkan bagi orang yang
tidak terbiasa dengan bahasa Theologia. Karena itu akan saya ulangi
dengan kata-kata saya sendiri sebagai berikut: Yang menyebabkan Allah
memanggil kita adalah kasih Allah. Kasih Allah ini tidak bisa berubah.
Karena itu panggilanNya juga tidak berubah. Pada saat Allah mau
menyelamatkan seseorang, Allah sudah tahu bahwa orang itu adalah
orang yang bejat secara total, sehingga yang bisa dilakukan orang itu
selalu adalah hal-hal yang menjengkelkan Dia, karena semua manusia
memang seperti itu. Karena itu, pada saat orang itu menjadi orang kristen,
tidak ada dosa apapun yang mengejutkan Allah, yang lalu menyebabkan
Allah membatalkan keselamatan orang itu. Kalau dari semula Ia memang
tidak bermaksud untuk terus menanggung dengan sabar dosa-dosa orang
itu dan mengampuninya melalui darah Kristus, maka dari semula Ia juga
tidak akan memanggil / menyelamatkan orang itu.
sampai sini
John Owen tentang Yer 32:40: “The security hereof depends not on anything
in ourselves. All that is in us is to be used as a means of the accomplishment of
this promise; but the event or issue depends absolutely on the faithfulness of
God. And the whole certainty and stability of the covenant depends on the
efficacy of the grace administered in it to preserve men from all such sins as
would disannul it” (= Kepastian / keamanan ini tidak tergantung pada
apapun dalam diri kita sendiri. Semua yang ada dalam kita digunakan
sebagai cara / jalan untuk mencapai janji ini; tetapi peristiwa atau hasilnya
tergantung secara mutlak pada kesetiaan Allah. Dan seluruh kepastian dan
kestabilan dari perjanjian tergantung pada kemujaraban dari kasih karunia
yang diberikan di dalamnya untuk menjaga manusia dari semua dosa-dosa
yang bisa membatalkannya) - ‘The Works of John Owen’, vol 6, hal 338.
Yer 32:40 - “Aku akan mengikat perjanjian kekal dengan mereka, bahwa Aku
tidak akan membelakangi mereka, melainkan akan berbuat baik kepada mereka;
Aku akan menaruh takut kepadaKu ke dalam hati mereka, supaya mereka jangan
menjauh dari padaKu”.
Loraine Boettner: “The more we think of these matters, the more thankful we
are that our perseverance in holiness and assurance of salvation is not
dependent on our own weak nature, but upon God’s constant sustaining power.
We can say with Isaiah, ‘Except Jehovah of hosts had left us a very small
remnant, we should have become as Sodom, we should have been like unto
Gomorrah.’ Arminianism denies this doctrine of Perseverance, because it is a
system, not of pure grace, but of grace and works; and in any such system the
person must prove himself at least partially worthy” (= ) - ‘The Reformed
Doctrine of Predestination’, hal 187.
Yes 1:9 - “Seandainya TUHAN semesta alam tidak meninggalkan pada kita
sedikit orang yang terlepas, kita sudah menjadi seperti Sodom, dan sama
seperti Gomora”.
Selain itu, bagian ini ada dalam kontext yang menunjukkan Yesus sebagai
Gembala yang baik.
Yoh 10:11 - “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan
nyawanya bagi domba-dombanya”.
Kalau ada domba yang sampai hilang, maka yang salah adalah
gembalanya. Sama seperti kalau seorang penjaga anak kecil, kehilangan
anak yang dijaganya. Yang disalahkan tidak mungkin anak itu; yang
disalahkan pasti penjaganya. Demikian juga dalam hal domba. Domba
memang bodoh dan tidak mempunyai alat pembelaan diri. Dan karena itu
ia membutuhkan gembala yang menjaganya dengan gada dan tongkat
(Maz 23:4) dan yang memimpinnya ke air yang tenang dan padang yang
berumput hijau (Maz 23:2). Kalau ada domba yang sangat nakal, kadang-
kadang gembala mematahkan satu kakinya, dan lalu membalutnya.
Selama kaki itu belum sembuh, domba itu akan selalu dekat dengan si
gembala, dan diberi makan dari tangan gembala. Nanti kalau kakinya
sudah sembuh, ia akan menjadi ‘domba teladan’. Karena itu kalau sampai
seorang gembala kehilangan domba, bukan dombanya yang salah, tetapi
gembala itu yang salah. Kecuali saudara berani mengatakan bahwa
Yesus adalah Gembala yang bodoh / ceroboh, janganlah percaya bahwa
orang kristen sejati bisa murtad dan kehilangan keselamatannya!
Jelas bahwa dalam text di atas ini Allah mengkontraskan diriNya sendiri
dengan gembala-gembala yang brengsek. Para gembala yang brengsek
itu, salah satu cirinya adalah ‘tidak mencari domba-domba yang terhilang /
tersesat’ (ay 4-6), sedangkan Allah sebagai Gembala yang baik justru
sebaliknya, yaitu mencari domba-domba yang hilang / tersesat,
menyelamatkan mereka dari segala tempat dan membawa mereka pulang
(ay 11-12,16)!
Kalau orang kristen yang sejati bisa kehilangan iman, itu menjadikan Allah
/ Yesus sebagai gembala yang sama brengseknya dengan gembala-
gembala yang Allah kecam dalam Yeh 34 ini!
Charles Hodge: “The Holy Spirit is itself ‘the earnest,’ i.e. at once the
foretaste and pledge of redemption. ... So certain, therefore, as the Spirit dwells
in us, so certain is our final salvation” (= Roh Kudus sendiri adalah
‘jaminan’, yaitu sekaligus merupakan cicipan dan jaminan / janji tentang
penebusan. ... Karena itu, sepasti seperti Roh Kudus tinggal di dalam kita,
demikianlah pastinya keselamatan akhir kita) - ‘I & II Corinthians’, hal 401.
12)Tuhan berjanji bahwa tidak ada apapun yang bisa memisahkan kita dari
kasih Kristus atau dari kasih Allah dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Ro 8:35-39 - “(35) Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih
Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan
atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? (36) Seperti ada tertulis:
‘Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami
telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.’ (37) Tetapi dalam
semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang
telah mengasihi kita. (38) Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun
hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang
ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, (39) baik yang
di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan
dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus,
Tuhan kita”.
Pdt. Jusuf B. S.: “Nama di dalam Buku Kehidupan masih dapat dihapus!
Selama kita hidup di dunia ini, masih dapat terjadi perubahan. Bukan satu
kali selamat tetap selamat. Sebab itu Tuhan menyuruh kita memelihara
keselamatan itu dengan hati-hati” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal
63.
Pdt. Jusuf B. S.: “Dalam Kel 32:33 nama-nama orang Israel akan dihapus
dari dalam Buku Kehidupan oleh sebab dosa-dosanya. Tuhan tidak akan
mengancam atau menindak dengan sesuatu dusta atau omong kosong. Sebab
itu penghapusan nama dari Buku Kehidupan itu ada, bisa terjadi! Musa
memintakan ampun sehingga hal itu ditunda” - ‘Keselamatan tidak bisa
hilang?’, hal 64.
Dan tentang Wah 3:5, ia berkata sebagai berikut: “Juga di sini Tuhan
menjanjikan pada orang yang menang bahwa namanya akan jadi permanen
di dalam Buku Kehidupan, sebab mereka menang. Tetapi orang-orang yang
selalu jatuh bangun dalam dosa itu dalam bahaya. Kalau mereka terus
menuruti daging dan hidup dalam dosa sampai mati, maka namanya yang
sudah tertulis di dalam Buku Kehidupan akan terhapus dari dalamnya dan
itu berarti tidak masuk dalam Kerajaan Surga” - ‘Keselamatan tidak bisa
hilang?’, hal 65.
Jawaban saya:
Calvin (tentang Maz 69:29): “the book of life being nothing else than the
eternal purpose of God, by which he has predestinated his own people to
salvation” (= kitab kehidupan bukan lain dari pada rencana kekal Allah,
dengan mana Ia telah mempredestinasikan umatNya kepada
keselamatan) - hal 73.
Calvin (tentang Kel 32:32): “By ‘the book,’ in which God is said to have
written His elect, must be understood, metaphorically, His decree” (=
Dengan kata ‘kitab’, dalam mana dikatakan Allah telah menuliskan
orang-orang pilihanNya, harus dimengerti, secara simbolis,
ketetapanNya) - hal 361-362.
Calvin (tentang Luk 10:20): “As it was the design of Christ to withdraw his
disciples from a transitory joy, that they might glory in eternal life, he leads
them to its origin and source, which is, that they were chosen by God and
adopted as his children. ... The metaphorical expression, ‘your names are
written in heaven,’ means, that they were acknowledged by God as His
children and heirs, as if they had been inscribed in a register” (= Karena
tujuan Kristus adalah untuk menarik murid-muridNya dari sukacita
yang fana / tidak kekal, supaya mereka bisa bermegah dalam kehidupan
yang kekal, Ia memimpin mereka kepada asal usul dan sumber dari
keselamatan itu, yaitu bahwa mereka telah dipilih oleh Allah dan
diadopsi menjadi anak-anakNya. ... Ungkapan yang bersifat simbolis
‘namamu tertulis di surga’ berarti bahwa mereka diakui oleh Allah
sebagai anak-anak dan pewaris-pewarisNya, seakan-akan mereka telah
dituliskan dalam sebuah daftar / catatan) - hal 34-35.
B. B. Warfield: “Book of life ..., which is certainly a symbol of Divine
appointment to eternal life revealed in and realized through Christ” (=
Kitab kehidupan ..., yang merupakan simbol dari penetapan pada
kehidupan kekal yang dinyatakan dalam Kristus dan diwujudkan
melalui Kristus) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 306.
John Owen: “This book of life is no other but the roll of God’s elect,
immutable designation of them unto grace and glory” (= Kitab Kehidupan
ini bukan lain dari daftar nama orang-orang pilihan Allah, penandaan
yang kekal terhadap mereka kepada kasih karunia dan kemuliaan) -
‘Hebrews’, vol 7, hal 341.
Tetapi orang Arminian akan berkata: ‘Itu janji bagi orang kristen
yang menang. Tetapi orang kristen yang kalah, namanya akan
dihapuskan dari kitab kehidupan’.
Pdt. Jusuf B. S.: “Juga di sini (dalam Wah 3:5) Tuhan menjanjikan
pada orang yang menang bahwa namanya akan jadi permanen di
dalam Buku Kehidupan, sebab mereka menang. Tetapi orang-orang
yang selalu jatuh bangun dalam dosa itu dalam bahaya. Kalau
mereka terus menuruti daging dan hidup dalam dosa sampai mati,
maka namanya yang sudah tertulis di dalam Buku Kehidupan akan
terhapus dari dalamnya dan itu berarti tidak masuk dalam Kerajaan
Surga” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 65.
Sekarang mari kita membahas lebih teliti kedua text tersebut di atas.
Beberapa penafsir seperti Adam Clarke, Albert Barnes, dan Keil &
Delitzsch, menafsirkan bahwa ayat ini artinya adalah bahwa Daud
berdoa supaya mereka dibunuh, dan tidak mendapat kehidupan yang
panjang yang dijanjikan Allah kepada pengikut-pengikutNya.
W. S. Plumer: “To ‘be blotted out of this book’ is the same thing as not to
‘be written with the righteous’. The clauses are parallel” (= Dihapuskan
dari kitab ini adalah sama dengan tidak ditulis dengan orang benar.
Kedua kalimat itu paralel) - ‘The Psalms’, hal 684.
Sama seperti dalam tafsirannya tentang Maz 69:29 di atas Calvin (hal
361-362) menganggap bahwa istilah ‘penghapusan nama’ dipakai
untuk menyesuaikan dengan pengertian manusia (semacam bahasa
antropomorphis). Tentu kita tidak bisa mengartikan bahwa bisa terjadi
perubahan dalam rencana kekal Allah. Istilah ‘penghapusan nama’ itu
hanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan akhirnya menyatakan bahwa
orang-orang reprobate, yang untuk sementara kelihatannya terhitung
bersama-sama dengan orang-orang pilihan, sebetulnya sama sekali
tidak termasuk di dalamnya.
Calvin: “In these words God adapt Himself to the comprehension of the
human mind, when He says, ‘Him will I blot out;’ for hypocrites make such
false profession of His name, that they are not accounted aliens, until God
openly renounces them: and hence their manifest rejection is called
erasure” (= Dalam kata-kata ini Allah menyesuaikan diriNya sendiri
dengan pengertian pikiran manusia, pada saat Ia berkata ‘Aku tidak
akan menghapuskannya’; karena orang-orang munafik membuat
pengakuan palsu tentang namaNya supaya mereka tidak dianggap
sebagai orang asing / non kristen, sampai Allah secara terbuka
menyangkal mereka sebagai anak: dan karena itu penolakan yang nyata
ini disebut penghapusan) - hal 362.
Juga dalam Kel 32:33 itu, mungkin sekali Tuhan menggunakan kata-
kata itu untuk menyesuaikan dengan kata-kata Musa dalam Kel 32:32.
2) Kitab Suci mengatakan bahwa orang benar yang berbalik ke dalam dosa
akan binasa.
Yeh 3:20 - “Jikalau seorang yang benar berbalik dari kebenarannya dan ia
berbuat curang, dan Aku meletakkan batu sandungan di hadapannya, ia
akan mati. Oleh karena engkau tidak memperingatkan dia, ia akan mati
dalam dosanya dan perbuatan-perbuatan kebenaran yang dikerjakannya
tidak akan diingat-ingat, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab
atas nyawanya dari padamu”.
Yeh 18:24 - “Jikalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan
melakukan kecurangan seperti segala kekejian yang dilakukan oleh orang
fasik - apakah ia akan hidup? Segala kebenaran yang dilakukannya tidak
akan diingat-ingat lagi. Ia harus mati karena ia berobah setia dan karena
dosa yang dilakukannya”.
Yeh 18:26 - “Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan
melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan
yang dilakukannya”.
Yeh 33:13 - “Kalau Aku berfirman kepada orang benar: Engkau pasti
hidup! - tetapi ia mengandalkan kebenarannya dan ia berbuat curang, segala
perbuatan-perbuatan kebenarannya tidak akan diperhitungkan, dan ia
harus mati dalam kecurangan yang diperbuatnya”.
Yeh 33:18 - “Jikalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan
melakukan kecurangan, ia harus mati karena itu”.
Inti dari penafsiran Arminian tentang text-text di atas adalah bahwa ‘orang
benar’ diartikan sebagai orang yang betul-betul percaya dan betul-betul
sudah dibenarkan. Jadi text-text tersebut di atas mereka artikan bahwa
orang kristen sejati bisa murtad sehingga lalu kehilangan
keselamatannya.
Pdt. Jusuf B. S.: “Orang yang sudah dibenarkan di dalam Kristus, tetapi
kemudian berbalik berbuat dosa, tidak mau bertobat, sampai mati tetap
hidup di dalam dosa, keselamatannya hilang, ia mati dalam dosa” -
‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 45.
Ia lalu mengutip Yeh 33:13 sebagai dasar.
Adam Clarke (tentang Yeh 3:20): “From these passages we see that a
righteous man may fall from grace, and perish everlastingly. Should it be said
that it means the self-righteous, I reply, this is absurd; for self-righteousness is
a fall itself, and the sooner a man falls from it the better for himself. Real,
genuine righteousness of heart and life is that which is meant. Let him that
standeth take heed lest he fall” (= Dari text-text ini kita melihat bahwa
seorang yang benar bisa jatuh dari kasih karunia, dan binasa secara kekal.
Jika dikatakan bahwa itu berarti kebenaran diri sendiri, saya menjawab
bahwa ini menggelikan; karena kebenaran diri sendiri itu sendiri
merupakan suatu kejatuhan, dan makin cepat seseorang jatuh dari padanya,
makin baik untuk dirinya sendiri. Kebenaran yang sungguh-sungguh dan
asli / sejati dari hati dan kehidupan adalah apa yang dimaksudkan di sini.
‘Sebab itu siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah
supaya ia jangan jatuh’) - hal 432.
Adam Clarke (tentang Yeh 18:24): “Can a man who was once holy and pure,
fall away so as to perish everlastingly? YES. For God says, ‘If he turn away
from his righteousness;’ not his self-righteousness, the gloss of theologians: for
God never speaks of turning away from that, for, in his eyes, that is a nonentity.
There is no righteousness or holiness but what himself infuses into the soul of
man, and as to self-righteousness, i.e., a man’s supposing himself to be
righteous when he has not the life of God in his soul, it is the delusion of a dark
and hardened heart; therefore it is the real righteous principle and righteous
practice that God speaks of here. And he tells us, that a man may so ‘turn away
from this,’ and so ‘commit iniquity,’ and ‘acts as the wicked man,’ that his
righteousness shall be no more mentioned to his account, ... So then, God
himself informs us that a righteous man may not only fall foully, but fall
finally” (= Bisakah seseorang yang pada suatu saat pernah kudus dan murni,
jatuh / murtad sehingga binasa secara kekal? YA. Karena Allah berkata:
‘Jika ia berbalik dari kebenarannya’; bukan kebenarannya sendiri,
komentar dari para ahli theologia: karena Allah tidak pernah mengatakan
tentang berbalik dari hal itu, karena di mataNya, hal itu tidak ada. Tidak
ada kebenaran atau kekudusan kecuali apa yang Ia sendiri masukkan ke
dalam jiwa manusia, dan berkenaan dengan kebenaran diri sendiri, yaitu
anggapan orang bahwa dirinya benar padahal ia tidak mempunyai
kehidupan Allah dalam jiwanya, itu merupakan suatu khayalan dari hati
yang gelap dan dikeraskan; karena itu adalah prinsip kebenaran dan
praktek kebenaran yang sejati yang Allah bicarakan di sini. Dan Ia
memberitahu kita, bahwa seseorang bisa ‘berbalik dari hal ini’ dan
‘melakukan kejahatan’, dan ‘bertindak seperti orang jahat’, sehingga
kebenarannya tidak akan diperhitungkan lagi, ... Maka demikianlah, Allah
sendiri menginformasikan kepada kita bahwa seorang yang benar bukan
hanya bisa jatuh secara buruk / jahat, tetapi juga jatuh pada akhirnya /
sampai akhir) - hal 471.
Jawaban saya:
Calvin tentang Yeh 18:24: “In fine, we see that the word ‘righteousness’
is referred to our senses, and not to God’s hidden judgment; so that the
Prophet does not teach anything but what we perceive daily” (=
Kesimpulannya, kita melihat bahwa kata ‘kebenaran’ dihubungkan
dengan panca indera kita, dan bukannya dengan penghakiman /
penilaian yang tersembunyi dari Allah; sehingga sang nabi tidak
mengajar apapun kecuali apa yang kita rasakan / mengerti sehari-hari) -
‘Commentary on Ezekiel’, hal 251.
Jawaban saya:
Sekalipun Tuhan sendiri yang berbicara, Ia tetap sering berbicara dari
sudut pandang manusia. Misalnya:
2. 2Raja 20:1-6 - “(1) Pada hari-hari itu Hizkia jatuh sakit dan hampir
mati. Lalu datanglah nabi Yesaya bin Amos, dan berkata kepadanya:
‘Beginilah firman TUHAN: Sampaikanlah pesan terakhir kepada
keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi.’ (2)
Lalu Hizkia memalingkan mukanya ke arah dinding dan ia berdoa
kepada TUHAN: (3) ‘Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah
hidup di hadapanMu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa
aku telah melakukan apa yang baik di mataMu.’ Kemudian
menangislah Hizkia dengan sangat. (4) Tetapi Yesaya belum lagi
keluar dari pelataran tengah, tiba-tiba datanglah firman TUHAN
kepadanya: (5) ‘Baliklah dan katakanlah kepada Hizkia, raja
umatKu: Beginilah firman TUHAN, Allah Daud, bapa leluhurmu:
Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu; sesungguhnya
Aku akan menyembuhkan engkau; pada hari yang ketiga engkau
akan pergi ke rumah TUHAN. (6) Aku akan memperpanjang
hidupmu lima belas tahun lagi dan Aku akan melepaskan engkau dan
kota ini dari tangan raja Asyur; Aku akan memagari kota ini oleh
karena Aku dan oleh karena Daud, hambaKu.’”.
Lagi-lagi di sini Tuhan bicara dari sudut pandang manusia, karena
kalau dari sudut pandang Allah kematian itu jelas sudah ditentukan
waktunya dan tidak bisa diubah, bahkan oleh Allah sendiri.
Jawaban saya:
a) Baik raja Saul maupun Yudas Iskariot dianggap oleh Pdt. Jusuf B. S.
sebagai orang-orang kristen sejati yang lalu murtad dan akhirnya
binasa. Pada waktu saya membaca buku Pdt. Jusuf B. S. yang
berjudul ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, saya menyimpulkan bahwa
salah satu problem terbesar dengannya adalah bahwa ia kelihatannya
menganggap semua orang kristen sebagai orang kristen yang sejati.
Dengan kata lain, ia kelihatannya tidak percaya adanya orang kristen
KTP. Sampai-sampai ‘tanah berbatu’ (Mat 13:5-6,20-21), Yudas
Iskariot, raja Saul, orang-orang dalam Mat 7:21-23, lima anak dara
yang bodoh (Mat 25:1-13) semuanya dianggap sebagai orang kristen
yang sejati yang lalu murtad. Padahal Kitab Suci sering berbicara
tentang orang kristen KTP, seperti dalam:
1. Perumpamaan lalang di antara gandum (Mat 13:24-30,36-43),
dimana lalang jelas menggambarkan orang kristen KTP.
2. Aalegori pokok anggur dan ranting-rantingnya (Yoh 15:1-8), dimana
ranting yang tidak berbuah jelas menggembarkan orang kristen
KTP.
3. Tanah berbatu dan tanah bersemak duri (Mat 13:5-7,20-22) yang
jelas menggambarkan orang kristen KTP karena mereka tidak
berbuah.
John Calvin: “Christ says that ‘no one perished but the son of perdition’
(John 17:12); this is indeed an inexact expression but not at all obscure; for
he was counted among Christ’s sheep not because he truly was one but
because he occupied the place of one. The Lord’s assertion in another
passage that he was chosen by him with the apostles is made only with
reference to the ministry. ‘I have chosen twelve,’ he said, ‘and one of them
is a devil.’ (John 6:70 p.) That is, he had chosen him for the apostolic
office. But when he speaks of election unto salvation, he banishes him far
from the number of the elect: ‘I am not speaking of you all; I know whom I
have chosen’ (John 13:18). If anyone confuses the word ‘election’ in the
two passages, he will miserably entangle himself; if he notes their
difference, nothing is plainer” [= Kristus berkata bahwa ‘tidak
seorangpun yang binasa, kecuali anak kebinasaan’ (Yoh 17:12); ini
memang merupakan ungkapan yang tidak tepat / akurat tetapi bukannya
sama sekali kabur; karena ia terhitung di antara domba-domba Kristus
bukan karena ia betul-betul adalah domba tetapi karena ia menempati
tempat dari domba. Penegasan Tuhan dalam text yang lain bahwa ia
dipilih olehNya dengan rasul-rasul hanya dibuat berhubungan dengan
pelayanan. ‘Aku sendiri yang memilih kamu yang dua belas ini’,
kataNya, ‘tetapi satu di antara mereka adalah Iblis’ (Yoh 6:70). Yaitu, Ia
telah memilihnya untuk jabatan rasul. Tetapi pada waktu Ia berbicara
tentang pemilihan kepada keselamatan, Ia membuangnya (Yudas) jauh-
jauh dari orang-orang pilihan: ‘Bukan tentang kamu semua Aku
berkata. Aku tahu, siapa yang telah Kupilih’ (Yoh 13:18). Jika ada orang
yang mencampuradukkan kata ‘pemilihan’ dalam kedua text itu, ia akan
bingung sendiri; jika ia memperhatikan perbedaannya, tidak ada yang
lebih jelas] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter
XXIV, no 9.
Juga raja Saul, sekalipun dikatakan penuh dengan Roh Kudus, tidak
bisa dianggap sebagai orang kristen yang sejati, karena peranan /
fungsi Roh Kudus pada jaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
berbeda. Pada jaman Perjanjian Baru memang orang yang sudah
memiliki Roh Kudus pasti adalah orang kristen yang sejati. Tetapi pada
jaman Perjanjian Lama Roh Kudus diberikan hanya supaya orang
yang bersangkutan bisa melakukan pelayanan / tanggung jawabnya.
Bdk. Kel 28:3 Kel 35:30-36:2 Bil 11:17 Bil 11:25-27. Karena Saul
diangkat menjadi raja, maka Tuhan memberikan Roh Kudus supaya ia
bisa melakukan tanggung jawabnya. Tetapi setelah Saul jatuh ke
dalam dosa dan lalu ditolak oleh Tuhan sebagai raja, maka Roh Kudus
itupun ditarik kembali. Hal seperti ini (penarikan Roh Kudus) tidak
mungkin terjadi dalam jaman Perjanjian Baru, karena adanya janji
Tuhan seperti dalam Yoh 14:16 Ibr 13:5.
Bahwa Saul bukanlah raja yang dikehendaki Tuhan, dan diberikan
untuk menghajar Israel yang memaksa meminta raja, terlihat dari
Hos 13:11 - “Aku memberikan engkau seorang raja dalam murkaKu
dan mengambilnya dalam gemasKu”.
Jawaban saya:
Kata-kata terakhir dari ayat ini, yaitu ‘masakan sia-sia!’ justru
menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi! Dan Paulus menuliskan
surat Galatia dengan tujuan supaya kemurtadan mereka tidak terjadi.
Kalau toh ada yang betul-betul murtad dari jemaat Galatia, itu pasti orang
kristen KTP, karena orang kristen yang sejati tidak mungkin murtad (1Yoh
2:19).
Jawaban ini juga berlaku untuk ayat-ayat lain dalam surat Galatia, yang
seakan-akan menunjukkan bahwa mereka murtad (Gal 1:6 4:9-11 5:2-
4,7).
Pdt. Jusuf B. S.: “Ini orang-orang yang benar, yang sudah percaya dan
selamat, sebab:
1. Ini sambungan dari ayat 21 dan 22, yaitu tentang orang-orang yang
sudah percaya, sudah menyeru nama Tuhan, sebab itu sudah selamat (Rom
10:10). ...
2. Dari buah-buah pelayanan yang disebutkan di sini, kita melihat dengan
jelas bahwa ini adalah orang-orang yang percaya, sudah lahir baru, sudah
selamat. Semua dilakukan di dalam nama Yesus dengan sungguh-sungguh.
3. Mereka membuang setan dengan nama Tuhan Yesus. Kalau seseorang
hanya dengan main-main memakai nama Yesus untuk mengusir setan, pasti
gagal seperti Kis 19:13. Jadi mereka ini adalah orang-orang yang sungguh-
sungguh percaya.
4. Mereka membuat mujizat dengan nama Tuhan, ini orang-orang yang
betul. Andaikata mereka tidak satu golongan dengan kita, mereka tetap
diakui Tuhan (Mrk 9:38-40/ Luk 9:49-50). Jadi orang-orang yang disebut di
sini, pastilah orang-orang yang sudah percaya (sudah selamat), sudah
pernah sungguh-sungguh ikut Tuhan.
5. Lima Anak Dara yang Bodoh.
Mat 25:11-13 Kemudian daripada itu datang pula anak dara yang lain itu
sambil berkata: Ya Tuan, ya Tuan, bukakanlah kiranya kami pintu. Tetapi
ia menjawab serta berkata: Sesungguhnya aku berkata kepadamu: Tiada
aku kenal kamu. Sebab itu hendaklah kamu berjaga-jaga, karena tiada
kamu ketahui akan hari atau waktunya.
Jawaban Tuhan bagi 5 anak dara ini sama seperti jawaban Tuhan dalam
Mat 7:23. Jawaban ini diberikan kepada 5 anak dara yang bodoh. Siapakah
5 anak dara yang bodoh ini? Apakah mereka orang yang belum percaya
pada Tuhan Yesus? Mustahil! Mereka sudah bersama-sama dengan yang
lain pergi menyambut pengantin Laki-laki, mereka berpakaian sama seperti
5 anak dara yang pintar. Mereka juga mempunyai minyak dalam pelitanya
yang sama-sama menyala dengan teman-temannya yang pandai, sebab itu
tidak mungkin mengartikan 5 anak dara yang bodoh ini sebagai orang yang
belum percaya, tidak mungkin! Lima anak dara ini adalah orang-orang yang
sudah percaya pada Tuhan Yesus, sudah mempunyai pelita = pelayanan
yang tertentu (Wah 2:5), sudah bersinar, sudah penuh Roh Kudus, sudah
dimeteraikan dan mempunyai pakaian yang sama, tetapi mereka ditolak
dari Kerajaan Sorga seperti Matius 7:23. Mereka inilah orang-orang yang
mulai dengan Roh, tetapi mengakhirinya dengan kedagingan, mulai bersinar
tetapi sesudah itu menjadi gelap” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal
87-89.
Pdt. Jusuf B. S.: “Kesimpulan: Mat 7:23 ini bukan tentang orang-orang
yang tidak pernah diselamatkan, tetapi justru tentang orang-orang yang
pernah selamat bahkan dipakai Tuhan dengan heran, tetapi tidak berjaga-
jaga, akhirnya undur dalam dosa dan kejahatannya sampai mati, sehingga
mereka masuk dalam kebinasaan kekal” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’,
hal 91.
Jawaban saya:
c) Lima anak dara yang bodoh dalam Mat 25:1-13 itu jelas juga
menggambarkan orang kristen KTP. Orang kristen yang sejati tidak
biasanya disebut ‘bodoh’ dalam Kitab Suci. Disamping itu, lima anak
dara yang bodoh itu hanya kelihatannya saja siap menyambut
mempelai laki-laki. Bahwa mereka tidak membaca cadangan minyak,
menunjukkan bahwa persiapan mereka sama sekali tidak memadai.
Juga bahwa mereka tadinya mempunyai minyak dalam pelita / lampu
mereka, tidak boleh dialegorikan sebagai Roh Kudus, karena kalau
minyak itu diartikan sebagai Roh Kudus, lalu apa artinya ‘cadangan
minyak’ / ‘minyak dalam buli-buli’ (ay 4) yang dibawa oleh lima gadis
yang bijaksana? Juga apa artinya ‘membeli minyak’ dan ‘penjual
minyak’ (ay 9-10a)?
Jawaban saya:
1. Jemaat Sardis itu tidak dikatakan ‘tidak pernah mencemarkan
pakaiannya’, tetapi ‘tidak mencemarkan pakaiannya’. Pdt. Jusuf B.
S. menambahkan kata ‘pernah’ dalam penafsiran / penjelasannya.
Ia seharusnya memperhatikan ancaman dalam Wah 22:18-19 bagi
orang-orang yang mengurangi atau menambahi Kitab Suci.
2. Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa Allah lupa akan dosa-
dosa yang sudah diampuni. Kitab Suci mengatakan ‘tidak
mengingat-ingat’ (Yes 43:25 Yer 31:34 Ibr 10:17) dan ini berbeda
dengan ‘lupa’. ‘Tidak mengingat’ merupakan suatu tindakan
sengaja dan berada di dalam kontrol si pelaku, dan ini berbeda
dengan ‘lupa’, yang merupakan tindakan yang tidak disengaja dan
berada di luar kontrol si pelaku.
3. Bahwa Allah ‘tidak mengingat’ dosa kita, tidak bisa dikatakan
bahwa Ia ‘tidak pernah mengetahui’ dosa kita. Ia tahu, tetapi tidak
mau mengingat-ingat dosa-dosa itu. Ini berbeda dengan Mat 7:23
yang secara jelas mengatakan ‘tidak pernah mengenal’.
Jawaban saya:
a) Orang kristen yang sejati pasti akan bertahan sampai akhir, karena:
penulis surat Ibrani mengatakan dalam Ibr 10:38-39 - “(38) Tetapi
orangKu yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia
mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.’ (39)
Tetapi kita (orang kristen yang sejati) bukanlah orang-orang yang
mengundurkan diri dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan
yang beroleh hidup”. Ini menunjukkan bahwa orang kristen yang
sejati pasti akan bertahan sampai akhir.
1Yoh 2:19 - “Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi
mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika
mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap
bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi
nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada
kita”. Ini jelas menunjukkan bahwa yang murtad itu pasti orang
kristen KTP.
Jadi, cerita Kitab Suci ini menunjukkan bahwa Allah mengirim malaikat
yang memberikan Firman Tuhan yang menjamin keselamatan
(jasmani) semua mereka, kecuali kapalnya (ay 23-24). Dan Paulus
percaya penuh akan Firman Tuhan yang telah ia terima itu
(ay 22,25,34b), tetapi itu tidak menyebabkan Paulus hanya berdiam
diri, beriman, berdoa saja! Sekalipun ada Firman Tuhan yang
menjamin keselamatan mereka, tetapi Paulus tetap memberikan
nasehat supaya Firman Tuhan / janji Tuhan itu terjadi.
1. Ay 26: Paulus menasehati mereka untuk mendamparkan kapal di
salah 1 pulau. Perhatikan kata ‘namun’ dan ‘harus’ (ay 26).
2. Ay 31: Paulus menasehati perwira dan prajurit untuk tidak membi-
arkan anak-anak kapal melarikan diri. Perhatikan kata-kata ‘Jika ...,
kamu tidak mungkin selamat’ (ay 31).
3. Ay 33-34: Paulus menasehati mereka untuk makan. Perhatikan
bahwa sekalipun ia yakin akan keselamatan mereka (ay 34b), ia
tetap berkata ‘ini perlu untuk keselamatanmu’ (ay 34a).
Jadi, sekalipun ada janji Tuhan dan kita percaya janji itu, itu tidak
berarti bahwa kita tidak perlu berusaha supaya janji itu tergenapi!
Contoh:
Janji bahwa Allah akan mencukupi hidup kita (Mat 6:25-34) tidak
berarti bahwa kita tidak perlu bekerja untuk mencari nafkah (bdk.
2Tes 3:10b) ataupun mengatur pengeluaran kita dengan bijaksana.
Janji bahwa orang kristen tidak akan kehilangan keselamatannya
(Yoh 10:27-29 Ro 5:9-10 1Kor 1:8-9 2Kor 1:21-22 Fil 1:6 1Yoh
2:18-19), tidak berarti bahwa kita tidak perlu berusaha untuk setia,
untuk memelihara keselamatan dan menjauhi hal-hal yang
membinasakan (bdk. Wah 2:10b Mat 24:13).
Jawaban saya:
8) Ibr 10:38-39 - “(38) Tetapi orangKu yang benar akan hidup oleh iman, dan
apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.’ (39)
Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa,
tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup”.
Pdt. Jusuf B. S. (hal 47-48) menggunakan text ini untuk menunjukkan
adanya orang-orang yang mengundurkan diri sehingga binasa.
Jawaban saya:
Jawaban saya:
Bagian ini jelas sekali berbicara tentang orang kristen KTP, karena:
a) Kontext dari 2Pet 2 itu berbicara tentang nabi-nabi palsu (bacalah 2Pet
2 itu mulai dari ay 1nya). Dan pembicaraan tentang nabi-nabi palsu itu
terus berlangsung sampai akhir dari 2Pet 2 itu, yaitu ay 20-22.
Dengan menafsirkan orang-orang ini sebagai orang kristen yang sejati,
lagi-lagi Pdt. Jusuf B. S. menafsirkan tanpa mempedulikan kontextnya.
b) Mereka tetap disebut sebagai ‘anjing’ dan ‘babi’ (ay 22). Sebutan ini
tidak pernah digunakan untuk menunjuk kepada orang kristen yang
sejati.
Pdt. Jusuf B. S.: “Dalam ayat-ayat ini terlihat jelas bahwa dengan kuasa
Allah hati orang itu sudah dibersihkan. Ini berarti ia sudah masuk Kerajaan
Allah dan selamat. Lukas 11:20 Tetapi jika Aku mengusir setan dengan
kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu
(sudah masuk kerajaan Allah!). Tetapi orang-orang seperti ini masih bisa
undur kembali sehingga hatinya penuh dengan 8 setan. Orang seperti ini,
kalau sampai mati tidak bertobat, binasa; hilang keselamatannya.” -
‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 48.
Jawaban saya:
Rumah itu dikatakan ‘kosong’ karena tidak adanya Roh Kudus dalam
orang itu, dan ini menunjukkan bahwa ia bukanlah orang kristen yang
sejati. Kata-kata ‘bersih tersapu dan rapih teratur’ maksudnya adalah
‘bersih tersapu dan rapih teratur bagi setan’. Jadi maksudnya adalah:
kehidupan orang itu adalah sedemikian rupa (tidak belajar Firman Tuhan,
tidak pernah berdoa / berbakti dsb), sehingga hatinya menjadi tempat
yang cocok / menyenangkan bagi setan. Jelas ini tidak mungkin
menggambarkan orang kristen yang sejati!
Jawaban saya:
a) Di surga nanti kita juga tidak bisa berbuat dosa; apakah itu berarti free
will hilang?
Loraine Boettner: “No one denies that the redeemed in heaven will be
preserved in holiness. Yet if God is able to preserve His saints in heaven
without violating their free agency, may He not also preserve His saints on
earth without violating their free agency?” (= Tak seorangpun menyangkal
bahwa orang-orang yang ditebus di surga akan dijaga dalam kekudusan.
Kalau Allah mampu untuk menjaga / memelihara orang-orang
kudusNya di surga tanpa melanggar kebebasan mereka, tidak bisakah Ia
juga menjaga / memelihara orang-orang kudusNya di bumi tanpa
melanggar kebebasan mereka?) - Loraine Boettner, ‘The Reformed
Doctrine of Predestination’, hal 184.
e) Kalau seseorang mempunyai anak, dan anak itu mau bunuh diri, atau
menggunakan narkoba, atau melakukan sesuatu yang lain apapun
yang sangat buruk, tidakkah orang tua yang baik akan mencegah
tindakan itu kalau mereka bisa melakukannya? Lalu mengapa kita
harus percaya bahwa Allah, demi ‘free will’, harus membiarkan anak-
anakNya yang mau murtad?
Pdt. Jusuf B. S.: “Teori Calvin dapat memberi kesimpulan: Tidak perlu
pikul salib, tetap selamat! ... Kalau berbuat dosa tidak apa-apa, tetap
selamat, hanya pahalanya hilang (menurut teori Calvin, bukan menurut
Firman Tuhan!) dengan mudah salib ditinggalkan. Buat apa pikul salib?
Sebab itu orang-orang Calvinis ini akan lebih mudah memilih melazatkan
daging, nikmat untuk daging ... Bagi orang Kristen yang cinta daging dan
dunia, teori Calvin dapat menenangkan perasaan hati, bahkan dapat
menghanguskannya, sehingga walau berdosa berlapis-lapis senang juga
hatinya (Ams 14:16) sebab toh selamat. ... Teori ini seperti candu, merusak
habis-habisan sampai binasa dan orangnya tidak merasa, tahu-tahu sesudah
mati berada di Neraka!” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 32,33,34.
Jawaban saya:
a) Injil itu sendiri, yang mengatakan bahwa semua dosa kita telah dibayar
oleh Kristus, juga bisa menyebabkan orang-orang tertentu untuk lalu
sengaja berbuat dosa. Dalam hal ini, yang salah bukan ajarannya,
tetapi oknumnya!
Jawaban saya:
Pandangan seperti itu salah, karena ayat ini terletak dalam kontex yang
berbicara tentang pertandingan lari, dan yang dipersoalkan adalah
hadiah / mahkota / pahala.
1Kor 9:24-27 - “(24) Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang
pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang
saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu
memperolehnya! (25) Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam
pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat
demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk
memperoleh suatu mahkota yang abadi. (26) Sebab itu aku tidak berlari
tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. (27)
Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah
memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”.
Karena itu, yang ditakutkan oleh Paulus dalam ayat ini bukanlah
kehilangan keselamatannya, tetapi kehilangan pahalanya!
Karena itu maka NIV menterjemahkan sebagai berikut: “No, I beat my
body and make it my slave so that after I have preached to others, I
myself will not be disqualified for the prize” (= Tidak, aku menguasai
tubuhku dan membuatnya hambaku supaya setelah aku berkhotbah
kepada orang-orang lain, aku sendiri tidak didiskwalifikasi untuk
hadiahnya).
Harus diakui bahwa dalam bahasa aslinya, kata-kata ‘for the prize’ itu
tidak ada. Tetapi, kontexnya membenarkan penafsiran seperti itu!
14)Kalau keselamatan tidak bisa hilang maka setan tidak akan menyerang
manusia mati-matian.
Pdt. Jusuf B. S.: “Kalau keselamatan tidak bisa hilang, kalau semua orang
sudah ditentukan selamat atau binasa secara sepihak oleh Allah, maka Iblis
dan kawan-kawannya tidak perlu ngotot mencari mangsa, sia-sia! ... Tetapi
bagaimana dalam kenyataannya? Iblis berusaha mati-matian hendak
menjatuhkan semua orang, istimewanya yang penting-penting” -
‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 26-27.
Ia lalu mengutip Luk 22:31-32 - “(31) Simon, Simon, lihat, Iblis telah
menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, (32) tetapi Aku telah
berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau
engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.’”.
Pdt. Jusuf B. S.: “Jadi secara tidak langsung, dari sikap dan cara kerja ilbis
dan kawan-kawannya kita dapat menyimpulkan bahwa tidaklah betul kalau
Allah secara sepihak menentukan lebih dahulu keselamatan setiap orang.
Orang-orang beriman masih mungkin hilang keselamatannya dan
kemungkinan inilah yang dipakai Iblis baik-baik” - ‘Keselamatan tidak bisa
hilang?’, hal 27.
Jawaban saya:
a) Iblis itu tekun, Tuhan Yesus saja terus dicobai (bdk. Luk 4:13).
b) Yang menjadi tekanan dari dosa Salomo dalam 1Raja 11 ini bukanlah
banyak istri, tetapi ‘banyak istri asing’. Ini bertentangan dengan
larangan Tuhan dalam ay 2a: “padahal tentang bangsa-bangsa itu
TUHAN telah berfirman kepada orang Israel: ‘Janganlah kamu bergaul
dengan mereka dan merekapun janganlah bergaul dengan kamu, sebab
sesungguhnya mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah
mereka.’”. Bdk. Kel 34:12-16 Ul 7:1-5.
c) Mentoleransi penyembahan berhala oleh para istri asing tersebut di
negaranya.
Salomo memang ikut membangun kuil, dan itu jelas salah, tetapi ia
tidak pernah betul-betul ikut menyembah berhala. Perhatikan
1Raja 11:7-8, yang menunjukkan bahwa Salomo hanya
membangun kuilnya, tetapi para istri asing itulah yang
mempersembahkan korban kepada berhala / dewa mereka.
Pulpit Commentary: “It was not actual idolatry. True, Solomon built
altars, but he built them for his wives (vers. 7,8).” [= Itu bukan betul-
betul penyembahan berhala. Memang benar bahwa Salomo
membangun altar-altar / mezbah-mezbah, tetapi ia membangun
altar-altar / mezbah-mezbah itu untuk istri-istrinya (ay 7,8)] - hal
223.
Pulpit Commentary: “the distinction, so far as the sin is concerned,
between this and actual idolatry is a fine one. It is not implied, however,
that Solomon ever discarded the worship of Jehovah” (= Mengenai dosa
yang dipersoalkan, perbedaan antara dosanya ini dan penyembahan
berhala yang sungguh-sungguh, merupakan perbedaan yang tipis.
Tetapi bagaimanapun text itu tidak menunjukkan bahwa Salomo
pernah membuang penyembahan kepada Yehovah) - hal 222.
Adam Clarke: “Reader, let him that standeth take heed lest he fall;
not only foully but finally. Certainly, unconditional final
perseverance will find little support in the case of Solomon. He was
once most incontrovertibly in grace. He lost that grace and sinned
most grievously against God. He was found in this state in his old
age. He died, as far as the Scripture informs us, without repentance.
Even the doubtfulness in which the bare letter of the Scripture
leaves the eternal state of this man, is a blast of lightning to the
syren song of ‘Once in grace, and still in grace;’ ‘Once a child, and
a child for ever.’” (= Pembaca, siapa yang menyangka, bahwa ia
teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh; bukan hanya
jatuh secara buruk, tetapi jatuh pada akhirnya / sampai akhir.
Jelas bahwa ketekunan akhir yang tidak bersyarat tidak
menemukan dukungan dalam kasus Salomo. Bahwa ia pernah
berada dalam kasih karunia merupakan sesuatu yang tidak dapat
dibantah. Ia kehilangan kasih karunia itu dan berdosa secara
sangat menyedihkan terhadap Allah. Ia didapati dalam keadaan
ini pada masa tuanya. Ia mati, sejauh yang Kitab Suci
informasikan kepada kita, tanpa pertobatan. Bahkan keragu-
raguan dimana huruf-huruf telanjang dari Kitab Suci
menyerahkan keadaan kekal dari orang ini, merupakan suatu
ledakan petir bagi nyanyian ... (?) ‘Sekali dalam kasih karunia,
dan tetap dalam kasih karunia’; ‘Sekali seorang anak, dan
seorang anak selama-lamanya’.) - hal 434.
Keil & Delitzsch: “It is very obvious, from all the separate details of
this promise, that it related primarily to Solomon, and had a certain
fulfilment in him and his reign. ... But in his old age Solomon
sinned against the Lord by falling into idolatry; and as a punishment
for this, after his death his kingdom was rent from his son, not
indeed entirely, as one portion was still preserved to the family for
David’s sake (1Kings 11:9 sqq.). Thus the Lord punished him with
rods of men, but did not withdraw from him His grace” [= Adalah
sangat jelas, dari semua detail-detail yang terpisah dari janji ini,
bahwa itu secara terutama berhubungan dengan Salomo, dan
mempunyai penggenapan tertentu dalam dia dan
pemerintahannya. ... Tetapi pada masa tuanya Salomo berdosa
terhadap Tuhan dengan jatuh ke dalam penyembahan berhala;
dan sebagai hukuman untuk ini, setelah kematiannya kerajaannya
disobek dari anaknya, memang tidak seluruhnya, karena satu
bagian masih ada pada keluarga tersebut demi Daud (1Raja
11:9dst). Demikianlah Tuhan menghukumnya dengan rotan dari
manusia, tetapi tidak menarik kasih karuniaNya darinya] - hal
346.
Rupanya Pdt. Jusuf B. S. juga menyadari akan adanya begitu banyak ayat
Kitab Suci yang menunjukkan bahwa keselamatan tidak bisa hilang. Lalu
bagaimana ia menafsirkan semua ini? Ada beberapa hal yang ia berikan
‘untuk mengatasi’ hal ini:
Tanggapan saya:
Pdt. Jusuf B. S. berkata: ‘Jangan mau dituduh iblis. ... Jangan mau ditipu
dan dituduh setan!’. Saya pikir kata-katanya ini aneh. Bukankah yang
dalam sepanjang bukunya mengatakan bahwa keselamatan bisa hilang
itu adalah dia sendiri? Mengapa sekarang menyalahkan setan / iblis?
Saya pikir dialah setan / ilbisnya yang membuat orang kristen ragu-ragu
akan keselamatannya!
2) Ia membagi orang kristen menjadi 3 bagian, sesuai dengan bagian-bagian
Kemah Suci / Bait Allah, yang ia alegorikan:
a) Orang kristen halaman.
Pdt. Jusuf B. S.: “Kristen Halaman adalah orang Kristen yang tetap
tinggal kanak-kanak, tidak tumbuh, terus jatuh bangun dalam dosa.
Inilah orang Kristen duniawi, yang tidak sungguh-sungguh bertobat atau
suam. ... Orang Kristen Halaman itu terus berubah-ubah, sebentar
dingin sebentar panas. Ia terus tertuduh oleh dosa-dosanya, yang tidak
kunjung lepas, sebab itu juga kepastian keselamatannya itu masih goyah,
kadang-kadang yakin sudah selamat, kadang-kadang tertuduh dan ragu-
ragu. Memang Roh Kudus tidak bisa meyakinkan dengan kuat
keselamatannya kalau hidupnya melawan Roh. Sebab itu orang-orang
Kristen yang terus tinggal di Halaman seringkali keyakinannya goyah.
Tetapi kalau ia tumbuh terus, biasanya keyakinan akan tetap mantap. ...
Golongan Halaman ini memang rawan, seperti Israel yang terus beredar-
edar di padang gurun sebab keras hati, bersungut-sungut, tinggal dalam
dosa, tinggal kanak-kanak rohani. Kanak-kanak rohani ini memang
mudah terpengaruh ajaran sesat Ef 4:14, mudah kena godaan dunia,
sering berkelahi seperti 1Kor 3:3, mudah terpancing sehingga
ditewaskan oleh kejahatan. Jadi masa depan orang-orang Halaman itu
tidak tentu. Sulit mengatakan tentang orang-orang Halaman, apakah
mereka bisa setia sampai ke akhir, sedangkan ‘hari ini’ saja hatinya
masih bercabang. Sebab itu jangan tinggal kanak-kanak rohani, tetapi
meningkatlah lebih tinggi” - ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal
68,69.
b) Orang kristen Ruangan Suci.
Pdt. Jusuf B. S.: “Kristen Ruangan Suci adalah orang-orang Kristen
yang sungguh-sungguh seperti carang yang terus tinggal di dalam pokok
yang benar (Yoh 15:1-8) yang selalu hidup dengan Allah, dipimpin Roh
senantiasa. ... Orang-orang yang sudah lahir baru, penuh dan dipimpin
Roh itu lebih stabil. Dalam tingkatan ini (Ruangan Suci), keyakinan
selamat orang-orang ini kokoh, pada umumnya mereka pasti selamat.
Biasanya orang-orang ini bisa berkata bahwa ia pasti selamat, kapan saja
ia dipanggil Tuhan, ... Orang yang di dalam Ruangan Suci masih bisa
turun kembali ke Halaman, tetapi lebih tinggi ia meningkat, lebih kecil
kemungkinan berbalik, sekalipun kemungkinan itu masih tetap ada” -
‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 68,69,70.
c) Orang kristen Ruangan Maha Suci.
Pdt. Jusuf B. S.: “Kristen Ruangan Maha Suci adalah orang-orang
Kristen yang sempurna, yang mutlak tidak lagi bisa berbuat dosa.
Orang-orang ini langsung naik ke tahta Allah” - ‘Keselamatan tidak bisa
hilang?’, hal 68.
Tanggapan saya:
1. Penafsiran alegoris seperti itu salah sama sekali, dan hanya bisa
muncul dari orang yang tidak mengerti Hermeneutics (ilmu penafsiran
alkitab). Apa dasarnya untuk mengatakan bahwa bagian-bagian
Kemah Suci itu menyimbolkan 3 golongan orang kristen?
2. Bagi saya, yang ia sebut orang kristen halaman itu kelihatannya
adalah orang kristen KTP, yang tentu saja belum selamat.
3. Dimana ada orang kristen yang sempurna, yang mutlak tidak lagi
berbuat dosa, yang ia gambarkan sebagai orang kristen Ruangan
Maha Suci itu? Apakah ia memaksudkan dirinya sendiri? Siapapun
yang ia anggap sebagai orang kristen sempurna itu, jelas
bertentangan dengan:
a. 1Yoh 1:10 - “Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa,
maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firmanNya tidak ada
di dalam kita”.
b. Fakta yang menunjukkan bahwa Paulus sendiri menyadari bahwa
dirinya masih terus berbuat dosa (Ro 7:15-23).
Dan karena golongan ketiga ini tidak pernah ada dalam hidup ini,
maka jelas bahwa orang-orang Arminian tidak mempunyai keyakinan
keselamatan. Setiap saat mereka bisa saja mundur, tersesat dan lalu
binasa selama-lamanya di dalam neraka.
Tanggapan saya:
Saya heran bagaimana seorang manusia yang berakal bisa
mengeluarkan 2 pernyataan yang bertentangan seperti ini. Kalau setiap
orang kristen bisa berkata: ‘Keselamatan saya tidak dapat hilang’,
bukankah semua itu menuju pada suatu pernyataan ‘keselamatan tidak
dapat hilang’ yang berlaku secara umum / untuk semua orang kristen?
1) Kalau semua janji Tuhan dalam Injil diberi persyaratan ‘asal orang
percaya itu tidak mundur / murtad’, maka janji itu menjadi tidak ada
harganya.
Dabney lalu menambahkan: “And when such a condition is thrust into such
a promise as that of Jno. 10:27: ‘None shall pluck them out of My hand,’
provided they do not choose to let themselves be plucked away; are we to
suppose that Christ did not know that common Bible truth, that the only way
any spiritual danger can assail any soul successfully, is by persuasion: that
unless the adversary can get the consent of the believer’s free will, he cannot
harm him? ... Surely Jesus knew this; and if this supposed condition is to be
understood, then this precious promise would be but a worthless and pompous
truism. ‘Your soul shall never be destroyed, unless in a given way,’ and that
way, the only and the common way, in which souls are ever destroyed. ‘You
shall never fall, as long as you stand up.’” (= Dan pada saat persyaratan
seperti itu dimasukkan ke dalam suatu janji seperti Yoh 10:27: ‘seorangpun
tidak akan merebut mereka dari tanganKu’, asalkan mereka tidak memilih
untuk membiarkan diri mereka direbut; apakah kita menganggap bahwa
Kristus tidak tahu akan kebenaran umum dari Alkitab, bahwa satu-satunya
jalan melalui mana bahaya rohani bisa menyerang jiwa dengan sukses,
adalah melalui bujukan: bahwa kecuali sang musuh / setan bisa
mendapatkan persetujuan dari kehendak bebas orang percaya, ia tidak bisa
menyakiti / merugikannya? ... Jelas Yesus mengetahui hal ini; dan jika
syarat ini ada dalam janji itu, maka janji yang berharga itu menjadi tak
berharga dan hanya merupakan suatu kebenaran yang dibesar-besarkan.
‘Jiwamu tidak akan pernah dihancurkan, kecuali dengan cara tertentu’, dan
cara itu adalah satu-satunya cara dan merupakan cara yang umum, melalui
mana jiwa-jiwa dihancurkan. ‘Engkau tidak akan pernah jatuh, selama
engkau berdiri’) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 694.
Catatan: ayat yang dimaksud sebetulnya bukan Yoh 10:27 tetapi Yoh
10:28.
Mungkin kata-kata Dabney ini agak mbulet dan sukar dimengerti oleh
orang kristen yang tidak terbiasa dengan bahasa theologia. Karena itu
saya mencoba untuk menjelaskannya dengan kata-kata saya sendiri di
bawah ini.
Kejatuhan manusia selalu terjadi karena adanya bujukan setan yang lalu
dituruti oleh manusia. Jadi ini merupakan jalan yang umum untuk jatuh.
Yesus sendiri pasti mengetahui hal ini. Dan karena itu Ia tidak mungkin
memberikan janji sebagai berikut: ‘seorangpun tidak akan merebut mereka
dari tanganKu, asalkan mereka tidak menyerah pada bujukan setan’.
Mengapa? Karena perkecualian yang Ia berikan justru merupakan jalan
yang umum bagi manusia untuk jatuh. Dengan memberikan perkecualian
seperti ini, maka janji itu menjadi tidak ada harganya.
Illustrasi:
ada seseorang yang berlatih angkat besi dengan maksud mengikuti
suatu kejuaraan angkat besi. Lalu ada seorang pelatih angkat besi
yang melatihnya, dan memberinya jaminan sebagai berikut: ‘Saya
menjamin engkau pasti menang, asalkan waktu mengangkat barbel,
engkau bertekun sehingga barbel itu naik ke atas’. Bukankah ini suatu
lelucon? Semua lifter gagal dalam kejuaraan angkat besi, karena
mereka tidak berhasil mengangkat barbelnya. Dengan demikian
jaminan yang ia berikan merupakan jaminan yang kosong.
ada seorang pelatih sirkus yang melatih orang untuk berjalan di atas
tali. Dan ia memberikan jaminan kepada orang yang ia latih dengan
kata-kata sebagai berikut: ‘Saya menjamin engkau pasti bisa sampai
ke seberang, asal engkau tidak kehilangan keseimbanganmu’. Semua
orang tahu bahwa seorang yang berjalan di atas tali akan gagal
sampai ke seberang kalau ia kehilangan keseimbangannya. Itu jalan
yang umum yang menyebabkan seseorang tidak sampai ke seberang.
Kalau pelatih itu memberikan jaminan, dengan hal itu sebagai
perkecualian, maka jaminan yang ia berikan menjadi tidak ada
harganya!
Demikian juga adanya perkecualian / persyaratan yang diberikan oleh
orang Arminian terhadap janji-janji dari Injil, menyebabkan janji-janji Injil
itu kosong dan tak berguna.
Dabney menambahkan lagi: “the promise in Jer. 32:40, ... most expressly
engages God to preserve believers from this very thing - their own backsliding.
Not only does He engage that He will not depart from them, but ‘He will put
His fear in their heart, so that they shall not depart from Him.’” (= janji dalam
Yer 32:40, ... dengan cara yang paling jelas mengikat Allah dengan janji
untuk menjaga orang-orang percaya justru dari hal yang satu ini -
kemunduran mereka sendiri. Ia bukan hanya berjanji bahwa Ia tidak akan
meninggalkan mereka, tetapi ‘Ia akan menaruh rasa takutNya dalam hati
mereka, sehingga mereka tidak akan meninggalkan Dia’) - ‘Lectures in
Systematic Theology’, hal 694.
Yer 32:40 - “Aku akan mengikat perjanjian kekal dengan mereka, bahwa
Aku tidak akan membelakangi mereka, melainkan akan berbuat baik
kepada mereka; Aku akan menaruh takut kepadaKu ke dalam hati mereka,
supaya mereka jangan menjauh dari padaKu”.
Loraine Boettner:
“A consistent Arminian, with his doctrine of free will and of falling from grace,
can never in this life be certain of his eternal salvation. He may, indeed, have
the assurance of his present salvation, but he can have only a hope of his final
salvation. He may regard his final salvation as highly probable, but he cannot
know it as a certainty. He has seen many of his fellow Christians backslide and
perish after making a good start. Why may not he do the same thing?” (=
Seorang Arminian yang konsisten, dengan doktrinnya tentang kehendak
bebas dan kemurtadan, tidak akan pernah dalam hidup ini mempunyai
keyakinan akan keselamatan yang kekal. Ia memang bisa mempunyai
keyakinan untuk keselamatannya saat ini, tetapi ia hanya bisa mempunyai
pengharapan tentang keselamatan akhirnya. Ia bisa menganggap
keselamatan akhirnya sebagai sangat memungkinkan, tetapi ia tidak bisa
mengetahuinya sebagai suatu kepastian. Ia telah melihat banyak sesama
Kristennya mundur dan binasa setelah melakukan permulaan yang baik.
Mengapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama?) - ‘The Reformed
Doctrine of Predestination’, hal 193.
Loraine Boettner:
“The assurance that Christians can never be separated from the love of God is
one of the greatest comforts of the Christian life. To deny this doctrine is to
destroy the grounds for any rejoicing among the saints on earth; for what kind
of rejoicing can those have who believe that they may at any time be deceived
and led astray? ... It is not until we duly appreciate this wonderful truth, that
our salvation is not suspended on our weak and wavering love to God, but
rather upon His eternal and unchangeable love to us, that we can have peace
and certainty in the Christian life” (= Kepastian bahwa orang-orang Kristen
tidak pernah bisa dipisahkan dari kasih Allah adalah salah satu
penghiburan terbesar dari kehidupan Kristen. Menyangkal doktrin ini sama
dengan menghancurkan dasar untuk sukacita apapun di antara orang-orang
kudus di bumi; karena jenis sukacita apa yang bisa mereka miliki jika
mereka percaya bahwa pada setiap saat mereka bisa ditipu dan
disesatkan? ... Hanya kalau kita menghargai dengan seharusnya kebenaran
yang hebat ini, bahwa keselamatan tidak tergantung pada kasih kita yang
lemah dan berubah-ubah kepada Allah, tetapi pada kasihNya yang kekal
dan tak berubah kepada kita, maka kita bisa mendapatkan damai dan
kepastian dalam kehidupan Kristen) - Loraine Boettner, ‘The Reformed
Doctrine of Predestination’, hal 194-195.
Kesimpulan / penutup.
Loraine Boettner: “The saints in heaven are happier but no more secure than are true
believers here in this world” (= Orang-orang kudus di surga lebih bahagia, tetapi
tidak lebih aman, dari pada orang-orang percaya yang sejati di sini di dunia ini) -
‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 183.
-o0o-
BISAKAH
ORANG KRISTEN
KEHILANGAN
KESELAMATAN
???
Oleh:
I) Keselamatan...................................................................................................................1
1) Setiap orang membutuhkan keselamatan....................................................................1
2) Yesus memberikan jalan keselamatan.........................................................................2
3) Kita diselamatkan karena iman saja (SOLA FIDE).......................................................2
4) Iman yang sejati pasti menghasilkan perbuatan baik...................................................3
Kesimpulan / penutup.....................................................................................................67
-o0o-
Pdt. Jusuf B. S.: “5. Selamat tidak dapat hilang. Artinya: bahwa orang yang sudah
ditakdirkan akan selamat, tak mungkin binasa, sebab Allah pasti berhasil dalam
penentuan atau rencanaNya. Biarpun ia berdosa, akhirnya pasti tetap selamat, sebab
Allah akan mengejar dia, bila perlu sampai dibunuh supaya berhenti berdosa” -
‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 22.
Ini fitnahan!
Hal 9 - ditambahi keberatan - 1Yoh 3:15
hal 67 dst point V - banyak perubahan dan penambahan.
hal 11 - ditambahi 1Yoh 5:4a
hal 68-69 - ilustrasi ditambahi.
Charles Hodge (tentang 2Kor 6:1): “Others say that the apostle here exhorts his readers to
guard against ‘falling from grace;’ that having been graciously pardoned they should not, by
a relapse into sin, forfeit the grace or favor which they had received. This is a very common
interpretation. Olshausen says, ‘It is undeniable that the apostle assumes that grace when
once received may be lost; the Scriptures know nothing of the dangerous error of the
advocates of predestination, that grace cannot be lost; and experience stamps it as a lie.’ But
in the first place, it is no argument in favor of this interpretation that the apostle uses the
infinitive aorist (decasqai), ‘have received,’ because the aorist infinitive is very commonly
used for the present after verbs signifying to command or exhort. See Romans 12:1; 15:20; 2
Corinthians 2:8; Ephesians 4:1. Winer’s Idioms of the New Testament, p. 386. In the second
place, the ‘grace of God,’ here spoken of, does not mean the actual forgiveness of sin, nor the
renewing, sanctifying influence of the Spirit, but the favor of which the apostle spoke in the
preceding chapter. It is the infinite grace or favor of having made his Son sin for us, so that
we may become the righteousness of God in him. This is the grace of God of which the
apostle speaks. He exhorted men not to let it be in vain, as it regarded them, that a
satisfaction for sin sufficient for all, and appropriate to all, had been made and offered to all
who hear the gospel. In precisely the same sense he says, Galatians 2:21, ‘I do not frustrate
the grace of God.’ That is, ‘I do not, by trusting to the works of the law, make it in vain that
God has provided a gratuitous method of salvation.’ That great grace or favor he did not
make a thing of naught. In Galatians 5:4, he says, ‘Whosoever of you are justified by the law,
are fallen from grace.’ That is, ‘ye have renounced the gratuitous method of salvation, and
are debtors to do the whole law.’ So in Romans 6:14, it is said, ‘We are not under the law,
but under grace.’ In no one of these cases does ‘grace’ mean either the actual pardon of sin,
or inward divine influence. It means the favor of God, and in this connection the great favor
of redemption. The Lord Jesus Christ having died for our sins and procured eternal
redemption for us, the apostle was most earnest in exhorting men not to allow this great
favor, as regards them, to be in vain. It is the more evident that such is the meaning of the
passage because it is not so much a direct exhortation to the Corinthians, as a declaration of
the method in which the apostle preached. He announced the fact that God had made Christ
who knew no sin to be sin for us, and he exhorted all men not to receive the grace of God in
vain, that is, not to reject this great salvation. And finally, this interpretation is required by
the following verse. ‘Behold, now is the accepted time; now is the day of salvation.’ This is
appropriate as a motive to receive the offer of pardon and acceptance with God, but it is not
appropriate as a reason why a renewed and pardoned sinner should not fall from grace. There
is therefore no necessity to assume, contrary to the whole analogy of Scripture, that the
apostle here teaches that those who have once made their peace with God and experienced
his renewing grace can fall away into perdition. If reconciled by the death of his Son, much
more shall they be saved by his life. Nothing can ever separate them from the love of God
which is in Christ Jesus. Whom he calls, them he also glorifies. They are kept by the mighty
power of God through faith unto salvation” (= ) - ‘I & II Corinthians’, hal 529-530.