Anda di halaman 1dari 5

Agama Kaharingan: ‘Dirangkul’

Pemerintah, Belum Siap


Diterima Masyarakat
by Retno Maulida Hanum
 
 Minggu, 12 April 2020
 
in Perspektif, Wacana
 0

Agama Kaharingan, salah satu di antara agama lokal di Indonesia, belum seutuhnya memperoleh pengakuan dari
pemerintah/Ilustrasi via Pxhere

Share on FacebookShare on Twitter

Ekspresionline.com–Sebagai pembuka tulisan, saya ingin menyampaikan


satu kejadian yang dialami Ndoli, seorang pemuda asal Brebes. Hanya karena KTP
Ndoli bertuliskan “penghayat” pada kolom agama, saudaranya tidak dapat
dimakamkan di tempat pemakaman umum. Mau tidak mau, ia harus mengubur
sendiri saudaranya di pekarangan rumahnya.
Kisah yang dialami Ndoli hanya satu dari beragam diskriminasi terhadap penganut
agama lokal di Indonesia. Perbincangan mengenai diskriminasi penganut agama
lokal tak kunjung menemui titik penyelesaian. Padahal, agama lokal sudah ada
sejak lama, bahkan sebelum enam agama resmi diakui di Indonesia.

Secara administratif, mereka belum sepenuhnya dianggap ada oleh negara.


Mereka masih luput dari keadilan regulasi pemerintah. Salah satu regulasi itu ialah
Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1978, berisi tentang pengalihan kebijakan
yang semula agama penganut dibawahi oleh Kementerian Agama, dialihkan ke
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak selesai sampai di situ, ternyata mereka hidup tanpa keabsahan identitas
sebagai warga negara. Namun, pada  2007 akhirnya pemerintah mengeluarkan
kebijakan melalui Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 5 UU Administrasi Penduduk.
Karena terbitnya kebijakan tersebut, mereka bisa memiliki KTP/ KK, namun tetap
saja bagian kolom agama dikosongkan. Mereka beragama, tapi tidak
diperbolehkan mencantumkan agamanya sendiri.

Kasus yang dialami Ndoli dan sejumlah regulasi yang dibuat pemerintah bertolak
belakang dengan UUD 1945 Pasal 28I ayat 2. Di ayat tersebut, tertulis bahwa
setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun, dan
berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif dari siapa pun.
Harusnya, pemerintah dapat memberikan jaminan atas hak yang sama pada
setiap warga negaranya.

Diskriminasi terhadap Agama Kaharingan


Dari sejumlah agama lokal yang berada di berbagai sudut wilayah Indonesia, salah
satunya ada agama Kaharingan. Penganut Kaharingan, sayangnya, juga tak lepas
dari diskriminasi.

Agama Kaharingan atau yang sekarang dikenal dengan Hindu Kaharingan


merupakan salah satu agama lokal yang berasal dari kesukuan Dayak di daerah
Kalimantan. Kaharingan diperkirakan sudah ada sejak manusia pertama di
Nusantara. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penemuan sandung
(tempat yang terbuat dari kayu ulin penyimpanan tulang) pada upacara yang
biasanya dilakukan oleh penganut Kaharingan (Sugiyarto, 2016). Agama
Kaharingan berkembang pada tahun 1957 di perkampungan suku Dayak,
Kalimantan. Mayoritas penganut Kaharingan menghuni daerah Kabupaten
Palangkaraya.

Penganut Kaharingan, seperti penganut agama-agama lokal lain, kerap kesulitan


mengurus hal-hal terkait administrasi. Etika (2018) menyatakan, dengan adanya
Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 5 UU Administrasi Penduduk, ternyata masih
banyak peraturan perundang-undangan dalam proses pengimplementasiannya
mengalami kendala. Penganut Kaharingan, misalnya, mereka masih merasakan
sulitnya menembus instansi perguruan tinggi, bahkan untuk menjadi pegawai
negeri juga sulit.

Penganut Kaharingan memperjuangkan jati diri sejak 1950, hingga pada 30 tahun
kemudian, yaitu pada 1980 masa Orde Baru, keluarlah Surat Keputusan (SK)
Nomor: T.M. 49/I/3. Mereka resmi bergabung dengan kelompok agama Hindu,
maka disebutlah Hindu Kaharingan. Sebenarnya, SK ini problematik sebab Hindu
dan Kaharingan adalah dua eksistensi agama yang berbeda.

SK problematik ini lantas memunculkan masalah baru. Ternyata, setelah


bergabung dengan Hindu, banyak keresahan yang dialami para pemeluk
Kaharingan. Penyebabnya, tentu saja dikarenakan perbedaan antara dua agama
tersebut. Walaupun ada sedikit kesamaan, yaitu sama-sama memiliki dewa dan
menggunakan dupa saat beribadah. Perbedaannya lebih beragam. Mulai dari apa
yang menjadi anutan, kitab suci, tempat ibadah, bahkan perbedaan juga terlihat
pada saat melaksanakan upacara kematian. Bahkan, pemuka agama Hindu
mengungkapkan bahwa ia tidak bisa melaksanakan ritual upacara Kaharingan,
begitu pula sebaliknya.
Piagam Palangkaraya 2000, menjadi saksi bisu perjuangan penganut Kaharingan
untuk memperoleh pengakuan dari negara. Piagam ini diberikan di era reformasi
ketika Abdurahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai presiden di Indonesia.
Adanya piagam ini dilatarbelakangi oleh upaya Majelis Besar Agama Hindu
Kaharingan (MBAHK) mengajukan tuntutan agar Kaharingan dapat diakui sebagai
agama sendiri dan terpisah dari agama Hindu.
Dalam proses panjang perjuangan tersebut, akhirnya pemerintah memberikan
tanggapan melalui putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016  yang kemudian
ditindaklanjuti dengan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017, mengenai
pemberlakuan pencantuman agama kepercayaan dalam kolom e-KTP. Adanya
keputusan tersebut seolah-olah masyarakat sedikit mendapatkan harapan baru
mengenai jawaban atas tuntutan masa lalu yang belum menemui titik temu.

Akan tetapi, jika dilihat perkembangannya lebih jauh, sebenarnya pemerintah


belum benar-benar memiliki rancangan ataupun langkah-langkah yang terstruktur
menuju pemberlakuan pengakuan yang sesungguhnya terhadap agama-agama
lokal di Indonesia.

Masyarakat Belum Siap
Kebijakan pemerintah yang terbilang masih abu-abu untuk mengakui penganut
Kaharingan ternyata bukan satu-satunya persoalan. Stigma masyarakat juga
kadang menjadi belenggu untuk merasa aman dalam menjalankan keyakinan
sebagai penganut Kaharingan, selain menjadi warga negara sebagaimana
mestinya.

Masyarakat beranggapan bahwa agama Kaharingan merupakan aliran


kepercayaan. Penganutnya masih dianggap tidak memiliki agama, sehingga
menyulitkan mereka untuk melamar pekerjaan.

Pada Oktober 2018, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Majelis Agama
Kaharingan Indonesia (MAKI) menyampaikan keluhannya kepada komnas HAM
dan komnas Perempuan di Jakarta. Juru bicara MAKI saat itu, Nesiwati
menyampaikan bahwa terdapat tekanan yang dialami oleh anak- anak pemeluk
agama leluhur Kaharingan. Mereka dipaksa untuk belajar agama Hindu. Selain itu,
juga terjadi ketidakadilan yang dialami oleh guru yang bersedia mengajar agama
Kaharingan. Ia malah dipecat karena dianggap tidak taat kepada peraturan
sekolah yang telah mewajibkan pengajaran agama Hindu untuk murid didik
pemeluk agama Kaharingan.
Agama Kaharingan juga dijadikan alat untuk menunjang popularitas dalam dunia
politik, serta masih mengalami distorsi oleh beberapa golongan masyarakat.
Misalnya, melalui penolakan berbagai bentuk ritual keagamaan; mereka
menyebutkan bahwa Kaharingan merupakan suatu kepercayaan yang
beribadahnya adalah dengan memuja berhala. Anggapan seperti ini membuat
penganut Kaharingan merasa dikucilkan oleh segelintir golongan masyarakat.
Karena ketidakefektifan administrasi, ditambah ada stigma dari masyarakat,
agama Kaharingan mengalami penurunan penganut setiap tahunnya.
Menurut data statistik Kalimantan Tengah, melalui registrasi penduduk, penganut
Agama Kaharingan pada  2011 masih berjumlah 7.142 penganut, namun pada
2018 menjadi 1.992 penganut.
Dari permasalahan tersebut, sebenarnya yang menjadi akar permasalahan
diskriminasi terletak kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum benar-
benar siap. Dikatakan demikian karena hanya memaparkan soal teknisnya saja,
padahal kebijakan tersebut malahan memberi pengaruh minor lainnya dalam skala
besar.

Produk hukum yang dikeluarkan melalui SK di atas tidak memiliki pijakan kuat
untuk dijadikan produk hukum yang mengikat. Agama Kaharingan memang
dirangkul melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, namun hanya melalui aturan
administrasi penduduk saja, bukan hak-hak keberagaman penuh sebagai warga
negara di Indonesia.

Referensi:
Etika, T. 2018. Perjuangan Kritis Agama Kaharingan di Indoneisa: Tantangan Berat dan Masa Depan
Agama Asli Suku Dayak. Jurnal Studi Kultural, Palangkaraya: Vol.  IV. No. 1:1-12.
Sugiyarto, W. 2016. Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya Kalimantan
Tengah. Harmoni: Multikultural & Multireligius. Vol.15 No. 3.

Anda mungkin juga menyukai