Anda di halaman 1dari 3

Refleksi Tahbisan Imam

“MARI IKUTLAH AKU, AKU AKAN MENJADIKAN KAMU


PENJALA MANUSIA” (Mrk. 1:17)
Oleh: Diakon Viktorinus Sesarius Gebo, O. Carm

Panggilan mengikuti Yesus secara lebih intim adalah sebuah panggilan yang penuh
misteri. Kemisterian panggilan tidak dapat diselami oleh pemikiran rasional semata tetapi
bersumber dan berakar dari suatu refleksi yang sangat mendalam. Pengalaman panggilan ini
akhirnya dialami oleh saya yang sekarang sedang mempersiapkan diri untuk menerima tahbisan
imam. Perjalanan formasi panggilan sebagai seorang karmelit membuka mata hati saya untuk
memahami kehadiran Yesus yang memilih dan memanggil. Melalui motto tahbisan, “Mari
ikutlah Aku, Aku akan menjadikan Kamu Penjala Manusia” (Markus 1:17) sebagai fondasi
utama dalam menapaki jalan panggilan yang akhirnya menuntun saya semakin setia dan komit
terhadap cita-cita untuk menjadi imam karmel.
Panggilan mengikuti Yesus Kristus sebagai imam Karmel bukanlah suatu hal yang
gampang dan mudah. Suatu proses yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam
menghadapi berbagai macam tantangan dan cobaan. Tantangan yang datang dari luar maupun
dari dalam diri menjadi jembatan untuk mencapai puncak harapan akan kesetiaan pada kehendak
Tuhan. Tantangan dari luar berkaitan dengan keberadaan bersama dengan orang lain dan
kemampuan intelektual di bangku perkuliahan. Sedangkan tantangan dari dalam berkaitan
dengan kehendak bebas. Tantangan-tantangan ini jika tidak dihadapi dengan baik dan sungguh-
sungguh maka akan begitu sulit untuk memahami arti sebuah panggilan. Sebab panggilan pada
dasarnya adalah sebuah pengorbanan. Hidup adalah sebuah pengorbanan untuk mencapai
kesempurnaan. Maka, proses formasi dalam Ordo karmel adalah proses pembentukan diri untuk
menjadikan para karmelit semakin hidup sesuai dengan semangatnya, yakni hidup dalam doa,
persaudaraan dan pelayanan. Untuk mencapai semuanya mesti ada pengorbanan dan pemberian
diri yang total dimana memberi diri seutuhnya kepada Tuhan.
Bertolak dari motto Tahbisan Imam mengantar saya pada sebuah refleksi bahwa
sesungguhnya Tuhan telah memilih dan memanggil saya untuk menjadi penjala manusia, murid-
Nya yang terkasih. Refleksi ini juga didasari oleh pengalaman perjalanan hidup selama masa

1
formatio yang mana segala sesuatu yang dihadapi dapat diselesaikan. Perkataan Yesus “Mari
ikutlah” merupakan suatu ajakan dari Yesus untuk mengikuti Dia. Yesus yang mengajak saya
untuk meninggalkan pekerjaan saya dan mengikuti Dia lewat bisikan rahmat-Nya yang
meluluhkan hati saya sehingga dengan tanpa bertanya-tanya, tanpa mempersiapkan diri sebaik
mungkin saya akhirnya meninggalkan rutinitas saya sebagai penjala ikan dan masuk biara
Karmel. Yesus sendiri yang memulai serta berinisiatif dalam memilih dan menentukan siapa
yang menjadi murid-Nya. Maka respon yang kita tunjukan bukan lagi menjadi respon dan
kehendak pribadi tetapi merupakan tanggapan atas kemauan Tuhan, “bukan lagi kamu yang
memilih Aku tapi Akulah yang memilih kamu”. Saya berefleksi bahwa apabila kita memahami
panggilan ini sebagaimana Tuhan sendiri yang memanggil tanpa mengandalkan kekuatan kita
maka sudah pasti panggilan ini murni panggilan Tuhan, karena segala sesuatu kita mengandalkan
Tuhan sebagai Sang empunya panggilan.
Perihal selanjutnya, Yesus tidak hanya mengajak “mari” lalu membiarkannya akan tetapi
Yesus mempunyai tujuan berikutnya dari maksud panggilan-Nya. Yesus telah mengajak saya,
dan saya telah menjawab ya atas ajakan-Nya. Tujuan selanjutnya dari panggilan Yesus adalah
hendak menjadikan saya pengikutnya. Kata “menjadikan” sesungguhnya memiliki arti yang
sangat luas, namun dalam konteks pangilan imamat ini lebih pada pembentukan diri menjadi
pribadi yang khusus yang dipakai oleh Tuhan untuk mewartakan kerajaan Allah di tengah dunia.
Akhirnya, saya berefleksi bahwa ketidaksiapan saya ketika menjawabi panggilannya di sana Ia
telah mempersiapkan segala sesuatu untuk saya. Yesus sendirilah yang kemudian membentuk
dan menjadikan saya sebagai karmelit lewat proses formasi yang begitu panjang. Proses di mana
Yesus hadir dalam diri dan menguatkan saya, memberikan pencerahan sistem berpikir saya,
meluluhkan keegoisan dan kesombongan dan menyadarkan saya untuk menjadi pribadi yang
rendah hati. Segala sesuatu yang saya alami dalam Ordo Karmel yang menjadi bahtera hidup
saya sebenarnya adalah bahtera yang telah dipersiapkan Tuhan untuk saya, yakni Dia
menggantikan bahtera duniawi yang menjadi rutinitas saya sebelumnya. Inilah tempat kerja saya
yang dipindahkan Tuhan bukan lagi menjadi penjala ikan tetapi penjala manusia. Melalui bahtera
Karmel ini Tuhan menunjukan dan memberikan tugas kepada saya untuk mengarungi samudera
luas yang penuh tantangan dan cobaan dengan menghidupi dan menumbuhkembangkan
semangat kekarmelitan demi kebahagian dan keselamatan semua orang. Pertanyaan refleksinya,

2
Bagaimana bahtera ini bisa bertahan apabila nahkoda dan awaknya tidak tahu arah kemana harus
berlayar?
Yesus yang memanggil telah menjadikan saya bukan lagi sebagai penjala ikan tetapi
penjala manusia, “Aku akan menjadikan kamu penjala Manusia”. Penjala ikan adalah suatu
pekerjaan yang mana berusaha untuk menjaring ikan demi kelangsungan hidup manusia. Dengan
menggunakan jala sebagai alat tangkap untuk menjerat ikan si penjala berusaha sedemikian rupa
agar ikan-ikan tersebut dapat tertangkap dan masuk dalam jala. Jala mesti harus kuat agar tidak
koyak oleh amukan ikan yang begitu banyak. Di sini saya kemudian berefleksi bahwa ketika
saya dijadikan oleh Dia bukan lagi sebagai penjala ikan maka yang perlu saya siapkan saat ini
kekokohan diri saya untuk menjadi penjala manusia. Jala sebagai sabda Tuhan digunakan untuk
mengumpulkan, menyadarkan, dan menobatkan semua orang bukan lagi demi kebutuhan
manusia semata melainkan demi kerajaan Allah. Sabda Tuhan mesti benar-benar tertanam di
dalam diri agar dapat membentengi diri dari segala macam tantangan yang datang setiap saat.
Oleh karena itu, sebagai refleksi akhir saya dalam menapaki jalan panggilan menjadi
imam Tuhan di dalam Ordo Karmel ini adalah soal kesiapan dan kesetian untuk mewartakan
kerajaan Allah di tengah dunia yang semakin berubah ini. Menjadi imam bukan hanya soal status
tetapi bagaimana saya menjadi seorang imam yang baik dan rendah hati serta mau berkorban
demi orang-orang kecil dan tertindas. Maka, sebagai imam karmel di dalam pelayanannya mesti
menampilkan kekhasan kekarmelitan, yakni sebagai imam yang berdoa, bersaudara dan melayani
dengan menghayati kaul-kaul kebiaraan. Dengan demikian panggilan menjadi penjala manusia
benar-benar terwujud oleh karena karya Tuhan sendiri yang hidup di dalam diri saya.

Anda mungkin juga menyukai