Anda di halaman 1dari 12

Tugas Makalah Kelompok

Agama Kaharingan

Disusun Oleh:

1. Elian Gina Hapsari (472013024)


2. Rachel Anggita Putri (202014066)
3. Yesiska Ratna Yulieta (202014028)
4. Yulina Larasati (202014075)
5. Rachmad Septiawan (172014003)
6. Rebeca Elva Rosalina (202014021)

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA


SALATIGA
2014
KATA PENGANTAR

Semoga berkah dan keselamatan tercurah kepada kita semua. Puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan berkat, rahmat, dan karunia-Nya, telah memberikan
kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan makalah ini.
Keperacayaan Adat di Indonesia sangat banyak sekitar 245 aliran kepercayaan yang
terdaftar, jumlah penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih. Namun kepercayaan adat ini terus
tergerus zaman bukan hanya karena dianggap kuno oleh generasi penerusnya namun juga karena
peraturan-peraturan negara yang sangat diskriminatif terhadap kepercayaan adat. Begitu pula
yang terjadi terhadap Agama Kaharingan, Agama asli Suku dayak di Kalimantan, dan oleh
karena itu kami mencoba membalasnya
Penulis berharap agar makalah ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang
berkaitan dengan Agama Kaharingan dan tantangan terhadap eksistensinya kepercayaan-
kepercayaan adat yang ada di Indonesia. Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan
observasi ini masih banyak kekurangan, sehingga penulis mengundang saran, kritik, serta
masukan dari pembaca sekalian.

Salatiga, 27 Oktober 2014.

Penulis.

Agama Kaharingan
1
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………….............................................. 3
B. Rumusan Masalah ……….. ......................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pembahasan………….....................................................................4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................10
B. Saran .............................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................11

Agama Kaharingan
2
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang

Sejak Indonesia merdeka, Indonesia telah mengakui keberadaan Kepercayaan


adat yang berada di Indonesia. Ini dibuktikan dengan pasal 29 ayat 2 UUD1945 : Negara
menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Namun meskipun begitu
perwujudan hak kebebasan beragama atau berkepercayaan belum seperti yang diharapkan.
Masih banyak peraturan pemerintah yang sangat diskriminatif terhadap pemeluk aliran
kepercayaan ini, hal ini pula yang dialami dan dirasakan oleh pemeluk agama kaharingan,
sebagai salah satu Agama tertua di Indonesia, sebagai agama yang dianut suku dayak di
Kalimantan, sebagai agama yang telah diangkat dan diperkenalkan oleh tjilik riwut pada
awal-awal kemerdekaan negeri ini. Hingga saat ini keberadaanya masih belum diakui secara
resmi oleh pemerintah republik ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Agama Kaharingan itu?


2. Apakah Negara berhak mengatur kehidupan beragama warganya?
3. Bagaimana pandangan Negara terhadap kepercayaan adat?
4. Apakah Negara mendiskriminasi warga yang berkepercayaan adat?

Agama Kaharingan
3
II. Pembahasan

1. Gambarkan Tentang Agama Kaharingan


Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan. Istilah
Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air
kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat
Dayak di Kalimantan
Kaharingan hanya dianut oleh masyarakat dayak maratus di kalimantan selatan,
dayak tunjung, benuaq di kalimantan timur, dayak ngaju di kalimantan tengah dayak
luangan ma’anyan, Tumon dan siang, sementara agama yang serupa dianut juga oleh
dayak Uud danum (Ot danum) di embalau dan serawai (kalbar) yang menggelar tiwah
(upacara penguburan kedua)

Gb. Balai Basarah

Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai
Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain,
seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan
Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Salah satu ibadah dalam Agama Kaharingan adalah Ibadah Basarah yang
diartikan “menyerahkan segala kepasrahan kita kepada Tuhan Ranying Hatalla”
membentuk lingkaran mengelilingi sangku (tambak raja) yang diletakkan di atas meja
dan simbol pohon batang haring (pohon kehidupan) yang diujungnya terdapat burung
Anggang (Enggang) masing-masing umat mengumpulkan uang di tempat dupa sebagai
simbol untuk memberikan rezeki dari uang yang mereka dapatkan selama seminggu
untuk kegiatan agama.

Gb. Ibadah Basarah

Selanjutnya mereka membaca Talatah Basarah (penuntun persembahyangan)


yang terdiri atas Kandayu: nyanyian suci umat kaharingan yang dinyanyikan secara
bersama dipimpin oleh seorang imam, Dolok yang berdiri di altar yang berlanjut
memberikan siraman rohani.
Persembahyangan ditutup dengan doa penutup Parawei Kahapus Basarah dengan
menutup mata dan menyalipkan kedua tangan. Lalu dua orang perempuan di antara umat
yang beribadah mememercikan air suci dan meletakkan beberapa butir beras ke kepala.
Beras merupakan simbol kehidupan bagi umat Kaharingan. Alat-alat yang disiapkan

Agama Kaharingan
4
untuk Basarah di antaranya: sangku, beras, bulu tinggang (enggang), sipa (daun sirih),
kambang (bunga), mata uang, behas hambaruan (beras terpilih) selain Basarah juga masih
banyak ibadah dan upacara lain
Sebagai agama peninggalan leluhur, kaharingan erat kaitanya dengan aktifitas
keseharian masyarakat stempat. Yakni merambah hutan, berburu serta pelaksaan upacara
adat. Akan tetapi seiring waktu berjalan kegiatan upacara keagamaan dan kebudayaan
masyarakat dayak telah mengalami pergeseran dan kehilangan makna, desakan teknologi
yang makin canggih dan merambah hingga ke pedalaman dimana warga dayak tinggal.
Mendorong generasi mudanya beranggapan bahwa pelaksaan upacara adat dipandang
sebagai hal yang “kuno”
Pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi
Hindu Kaharingan. Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk
menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab
itu, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu
Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April
1980, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam
melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya
Hingga kini penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, agar Kaharingan
sebagai kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun mereka diakui sebagai agama
di Indonesia. Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat
dayak yang menganut kaharingan. Ketika membuat E-KTP penganut Kaharingan harus
mengosongkan kolom agama. Sehingga berdampak semua pintu, mulai dari pintu politik,
pintu pernikahan, pendidikan, pekerjaan, hingga birokrasi pemerintah akan tertutup bagi
mereka.
Berdasarkan catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga
2003 mempunyai 60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang
sekarang berjumlah 3,6 juta jiwa. Di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), kepercayaan
Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai
masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun.

2. Faktor-faktor penyebab pemerintah tidak mengakui agama Kaharingan sebagai agama


resmi di Indonesia adalah Pemerintah Indonesia melihat Kaharingan hanya sebagai
“agama suku” atau “aliran kepercayaan atau salah satu aspek “adat” atau “kebudayaan”
karena itu kaharingan ditempatkan dibawah departemen pendidikan dan kebudayaan,
bukan di departemen agama, hal ini menyebabkan para penganut agama kaharingan
secara tidak langsung dianggap sebagai orang-orang yang belum beragama. Berbagai
usaha telah dilakukan agar Kaharingan dapat menjadi agama resmi yang diakui oleh
Negara. Namun usaha itu belum berhasil karena belum memenuhi persyarakat dari
pemerintah yaitu Monotheistik, mempunyai kitab suci, mempunyai nabi/penyebar dan
mempunyai komunitas internasional. Keadaan yang dialami pemeluk kaharingan ini
dapat menimbulkan konflik, misalnya pada tahun 60an dimana sentimen anti
PKI/komunis merebak, masyarakat dayak yang menganut Kaharingan ini bisa dianggap
komunis karena tidak beragama. Sehingga banyak penganut kaharingan memeluk agama
yang diakui pemerintah cuma sebagai formalitas keperdataan saja.

3. Diskriminisasi Terhadap Penganut Kepercayaan di Indonesia


a) Sampai sekarang, Departemen Dalam Negeri atau Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil hanya memberi pelayanan kepada 5 agama dalam pencantuman agama di KTP
dan Kartu Keluarga, dan di dalam pencatatan perwakilan di Kantor Catatan Sipil
hanya melayani pasangan empat agama (Kristen, Katolik, Hindu, Budha) Sistem

Agama Kaharingan
5
pencatatan sipil tersebut meneruskan diskriminasi dan pelanggaran HAM orang yang
bukan penganut salah satu dari agama yang resmi
b) Diterbitkannya SK Pelarangan dan Pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan
“Perjalanan” dengan No. SK-23/ PAKEM/1967 tanggal 23 Mei 1967, oleh Bakor “PAKEM”
Kejaksaan Negeri Kabupaten Sumedang, namun Organisasi yang bersangkutan tidak
menerima SK tersebut. Pengurus organisasi kepercayaan terasebut telah mengajukan
sanggahan dan penolakan atas pembubaran tersebut, serta memohon untuk pencairan kembali
keberadaan organisasi tersebut, namun pada bulan Juni 1993 pihak Kejaksaan Negeri
Sumedang telah memberi jawaban dan menyatakan bahwa Aliran Kebatinan Perjalanan
Kabupaten Sumedang tetap dilarang, dengan alasan “bahwa Aliraan Kebatinan Perjalanan
Kabupaten Sumedang merupakan penjelmaan dari partai PERMAI yang menurutnya telah
dilarang Pemerintah, serta pengikutnya berasal dari pemeluk agama Islam yang telah keluar
dari Islam.
c) Tanggal 29 April 1974, keluar larangan kegiatan dan pembubaran organisasi kepercayaan
Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Subang oleh Bakor PAKEM
Kejaksaan Negeri Subang tanpa proses peradilan, dengan alasan :
1.) tidak didukung masyarakat Kota Subang,
2.) ajarannya bertentangan dengan/dapat mengacaukan ajaran Islam dan
menimbulkan/dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Warga penghayat kepercayaan “Perjalanan” melalui Perwakilan Departemen Agama dan
Majelis Ulama Kabupaten Subang dibina (digiring) untuk memeluk agama Islam.
d) Keputusan Jaksa Agung no Kep-006/B/ 2/7/1976 tentang Pelarangan terhadap Aliran
Kepercayaan Manunggal. Kepercayaan Manunggal adalah bagian dari ajaran Kejawen yang
berintikan kearifan hidup orang Jawa dan menitik beratkan pada harmonisasi manusia dengan
alam dan sesamanya.
e) Keputusan Kejaksaan Tinggi Jateng no. Skep 002/ K.3/2/1979 tentang Larangan Kegiatan
Ajaran Agama Jowo Sanyoto (Kejawen).
f) Keputusan Kejaksaan Tinggi Jabar No. Kep 15/ K.23/2/12/1979 tentang larangan Aliran
Kepribadian (Kejawen),
g) SK Kejati Jabar No. Kep-44/K.2.3/8/1982 tanggal 25 Agustus 1985 yang membubarkan
Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). PACKU merupakan organisasi para
pengikut ajaran Pangeran Madrais yang didirikan oleh cucu Madrais, Pangeran Djatikusuma
pada tanggal 11 Juli 1981. Ajaran Madrais pun bagian dari rumpun agama Sunda Buhun.
h) Antara bulan Februari-April 1989 sebanyak 42 orang warga penghayat kepercayaan di
Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dibawa ke Koramil untuk diinterogasi, serta
mendapat perlakuan yang tidak manusiawi (disiksa, diancam dan sebagian ditahan), dengan
tuduhan menganut aliran sesat dan punya kaitan dengan PKI. Mereka diharuskan membuat
pernyataan masuk Islam dan melaksanakan syariatnya, serta kepatuhan dalam
pelaksanaannya dipantau oleh aparat desa dan masyarakat lainnya.
i) Pada 15 Nopember 1992 Direktorat Sospol Depdagri menerima SK Nomor:
02/Kep/PAKEM/1970, yang berisikan tentang larangan dan pembubaran Aliran Kebatinan
“Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Majalengka dengan alasan tidak jelas, namun
Kejaksaan Negeri Kabupaten Majalengka sendiri sangat terkejut dengan laporan adanya SK
tersebut di atas, karena di dalam catatan arsip/file tersebut tidak terdapat surat keputusan
tersebut.
j) Maret 2001 di Desa Cimulya, Kecamatan Lur Agung Kabupaten Kuningan, sepasang calon
pengantin warga penghayat PACKU berkonsultasi kepada Kepala desa untuk mengajukan
pernikahan, namun berdampak sebanyak 30 KK warga penghayat kepercayaan dipanggil ke
Balai Desa dan diinterograsi oleh aparat desa, ustadz dan warga desa selama 3 malam
berturut-turut, dan selanjutnya keluar keputusan kepala desa yang mengatasnamakan seluruh
warga desa Cimulya (keputusan tertulis tidak diberikan), yaitu Desa bersedia melaksanakan
pernikahan kedua calon pengantin, dengan ketentuan : mereka (30 orang yang dipanggil)
bersama keluarganya harus bersedia menandatangani surat pernyataan keluar dari organisasi
penghayat tersebut mereka diwajibkan menyatakan masuk Islam, serta akan tunduk dan taat
melaksanakan syariat Islam. Di Desa Cimulya tidak boleh ada lagi kegiatan/kehidupan
masyarakat Kepercayaan termasuk organisasinya.
k) Sardi, seorang warga penghayat Kecamatan Bantar Gebang-Bekasi yang sejak kecil bercita-
cita menjadi tentara. Terpaksa harus membuang jauh cita-citanya, karena ketika lulus SMA
dan bermaksud untuk melamar jadi calon Tantama, ketika mengurus surat-surat yang
diperlukan ke kantor Polisi, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan karena identitasnya
sebagai penghayat kepercayaan.

Agama Kaharingan
6
l) Sejak tanggal 2 Mei 2005 sampai saat ini warga Penghayat Parmalim di Kelurahan Binjai
Kota Medan, tidak dapat melanjutkan pembangunan Ruma Parsaktian Parmalim (tempat
saresehan/ritual). Warga penganut Parmalim pun sering mendapatkan kesulitan dalam
mengakses hak-hak sipil seperti pembuatan KTP dan KK. Parmalim adalah agama asli Batak
warisan dinasti Sisingamangaraja.
m) Tanggal 19 Mei 2006, sebanyak 12 orang warga penghayat di Kelurahan Wanareja
Kecamatan Cibogo Kabupaten Subang diundang (dipanggil untuk diintrograsi) oleh kepala
desa yang juga dihadiri oleh Ketua MUI , Camat, Kapolsek serta Danramil Kecamatan
Cibogo. Ke-12 warga penghayat tersebut kegiatannya dianggap telah meresahkan
masyarakat, karena suka mengadakan pertemuan/kliwonan dan yang hadir pakai ikat kepala
(iket Sunda), ucapan salamnya menggunakan kata-kata Sampurasun dan Rahayu, serta metik
kecapi.
n) Sepanjang periode tahun 1984 – 2006, di seluruh wilayah Republik Indonesia pernikahan
warga penghayat kepercayaan tidak dapat dicatatkan pernikahannya oleh Negara, dan
dianggap pernikahan tidak sah, kecuali mereka memeluk salah satu agama yang “diakui” oleh
Negara sesuai UU No.1 PNPS tahun 1965.
o) Dewi Kanti, putri Pangeran Djatikusuma dari PACKU gagal mendapatkan akta nikah karena
birokrasi catatan sipil tidak bersedia mencatatnya. Penyebabnya adalah pernikahan Dewi
Kanti yang menggunakan tata cara adat Sunda Wiwitan tidak diakui oleh catatan sipil
maupun KUA. Selain itu, tokoh adat PACKU, Kento Subarman juga tidak dapat mencatatkan
pernikahannya di Catatan Sipil karena konsistensinya dalam menggunakan tata cara
pernikahan Sunda Wiwitan. “Anak-anak kami yang lahir dari pernikahan adat, dianggap
sebagai anak haram karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil,”
ujar Kento Subarman.
p) Warga penganut Sunda Wiwitan di kampung Cirendeu, Cimahi sulit memperoleh hak-hak
sipilnya seperti KTP, KK dan urusan pernikahan hingga kini. Bukan hanya diskriminasi yang
dilakukan Negara, para penghayat kepercayaan atau penganut agama asli nusantara juga
kerap mendapatkan stigmatisasi, terror bahkan tindak kekerasan dari sekelompok masyarakat.
Kasus-kasus berikut menjadi gambaran nasib masyarakat adat :
 Penyerangan dan pembakaran Paseban milik warga PACKU di Cigugur
Kuningan oleh gerombolan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo
pada tahun 1950-an,
 Pembantaian warga penganut ajaran Perjalanan oleh gerombolan DI/TII di
Ciparay, Bandung tahun 1954,
 Pembantaian para Bissu (pemuka adat Bugis) oleh gerombolan DI/TII
pimpinan Kahar Muzakar tahun 1960-an,
 Stigmatisasi terhadap komunitas adat Sedulur Sikep di Jawa Tengah sebagai
orang-orang yang tidak tahu aturan dan tidak bertata krama. Komunitas
Sedulur Sikep merupakan para pengikut Samin Surosentiko yang menganut
kearifan lokal Jawa,
 Stigmatisasi terhadap komunitas Watu Telu Sasak (Lombok) yang sering
dicemooh sebagai warga Islam yang “tidak penuh”.
 Fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap komunitas adat Dayak
Losarang Indramayu. Komunitas Dayak Losarang adalah penganut ajaran
ngaji rasa alam semesta yang sama sekali tidak mengklaim diri sebagai
penganut Islam.
 Penyerangan terhadap aliran Kejawen Sapta Darma yang dilakukan Front
Pembela Islam (FPI) pada tahun 2007 di Yogyakarta,

4. Jelaskan apakah para pemeluk agama Kaharingan dapat dan berhak mendirikan rumah
ibadah di Indonesia? Apa kendala dan tantangan yang harus mereka hadapi untuk
mendirikan rumah ibadah?
Menurut kami dapat dan Berhak, karena menurut pasal 29 ayat 2 : Negara menjamin
kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya dan dalam Peraturan Bersama (Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri) mengeluarkan No. 9 Tahun 2006/ No. 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Telah diatur tentang pendirian rumah ibadat

Agama Kaharingan
7
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah
harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. - daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang
yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
kecamatan atau kabupaten/kota atau propinsi;
b. - dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan
oleh lurah/kepala desa;
c. - rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kapupaten/kota;
dan
d. - rekomendasi tertulis FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama, yaitu,
forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan).
Namun karena kaharingan belum sebagai agama resmi Negara maka perizinan akan sulit
karena pemeluk kaharingan belum memiliki KTP apalagi pemeluk kaharingan tidak
banyak pasti akan kesulitan dalam mendirikan rumah ibadah di tempat yang bukan
mayoritas mereka. Dan akan menimbulkan keresahan dan gejolak di masyarakat yang
bukan pemeluk agama mereka tersebut. Pemerintah harus turun tangan agar konflik
agama tidak terjadi lagi seperti konflik poso dan konflik ambon

5. pemerintah telah berusaha untuk mengakomodasi semua agama atau kepercayaan


tersebut dalam dunia pendidikan. Pemerintah pusat memberikan wewenang pemerintah
daerah setempat memberikan pelajaran-pelajaran tentang agama tersebut melalui muatan
lokal / kegiatan ekstrakurikuler / pelajaran tambahan. Karena tidak semua siswa bersuku
dayak yang tinggal di wilayah tersebut memeluk agama tersebut. (menurut sumber kami
mahasiswa fik-uksw yang berasal dari Kalimantan)

6. Menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah Negara berhak untuk :


a) mengakui atau tidak suatu agama
b) memutuskan mana agama resmi atau tidak resmi, atau
c) menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan, atau
d) memaksa orang sehingga terganggu kebebasanya untuk menganut/menetapkan
agama/kepercayaanya sesuai dengan pilihanya

 Indonesia bukan Negara sekuler yang netral dalam urusan keagamaan warganya,
Indonesia menganut pola pembedaan dan kerjasama antara Negara dan agama,
maksudnya Negara tidak memasukan aturan agama didalam aturan Negara, begitu pun
sebaliknya, Hak beragama dijamin pun dijamin, Negara dan agama menghalau
penyesatan agama, dll. Aturan Negara tentang agama pun selalu berkembang dinamis
sesuai perkembangan zaman, contohnya memasukan konghucu sebagai agama resmi di
Indonesia, dan baru-baru ini pada Juli 2014 menteri agama lukman saifudin mengakui
agama Baha'I sebagai agama resmi di Indonesia. (REPUBLIKA.CO.ID)
Negara tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama karena sifat agama
adalah universal tidak terbatas wilayah suatu Negara, agama-agama yang berkembang di
masyarakat indonesia yang tidak menyalahi asas ketuhanan yang maha esa dan tidak
menyesatkan agama yang lain berhak hidup dan berkembang di Indonesia.
 Namun menurut kami Negara berhak memutuskan mana agama yang diakui dan
menetapkan agama resmi Negara, karena Indonesia bukan Negara sekuler sehingga
Indonesia perlu mengakomodir perkembangan-perkembagan agama di masyarakat

Agama Kaharingan
8
sehingga Negara akan lebih mudah dalam urusan keperdataan. Meskipun jika ada
seseorang yang tidak beragama ataupun agamanya belum diakui Negara tidak akan
dikenakan sanksi hukum namun pasti ada sanksi moral/etis dari masyarakat lainya.
Permasalahan sejak Negara ini merdeka adalah Negara belum mampu dan seolah-olah
tidak serius dalam mengakomodir permasalahan tentang aliran kepercayaan/aliran
kebatinan/agama lokal yang sangat banyak hidup di Indonesia. Seakan-akan pemerintah
membiarkan agama-agama lokal tersebut mati dengan membuat peraturan yang sangat
diskriminatif, kami harap ada kebijakan baru dari pemerintahan yang akan datang.

KTP salah satu penganut kaharingan. Gb.1 kolom agama ditulis Hindu.K Gb.2 kolom agama ditulis Kaharingan
Gb. 3 kolom agama dikosongkan pada E-ktp

 Menurut kami tidak ada istilah agama induk dan agama sempalan karena setiap agama
kami yakin memiliki perbedaan-perbedaan yang membuat setiap agama tersebut berbeda.
Sangat diskriminatif dan miris mendengar istilah Hindu Kaharingan dll. Akan timbul
kecemburuan dan akan timbul disintegrasi bangsa yang tidak ingin kita alami. karena
Indonesia sering mengecap sebuah aliran sebagai agama sempalan yang harus kembali ke
agama induknya hanya untuk tujuan kekuasaan/politik. Sebaliknya, menurut para
penganut agama lokal, justru agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut
sebagai agama asli atau agama yang induk. Agama-agama yang telah diakui Negara saat
ini merupakan agama impor. Jauh sebelum kelima agama tersebut datang ke Indonesia,
agama dan kepercayaan yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun.

7. Kelompok kami sangat setuju ada kepercayaan adat yang hidup di indonesia karena kami
berpandangan kepercayaan adat adalah budaya luhur yang ada di masyarakat indonesia,
jika pemerintah mau melestarikan budaya Indonesia dan memajukan industri pariwisata
budaya indonesia, maka pemerintah harus pula menjamin dan mendukung eksistensi
kepercayaan adat ini, karena kepercayaan adat sangat erat hubunganya dengan adat
istiadat masyarakat setempat. Tidak hanya itu memeluk kepercayaan adalah hak kodrat
setiap orang di dunia, begitu pula masyarakat indonesia juga berhak akan hal ini, sangat
miris melihat dan membaca orang yang “menggadaikan” agama/kepercayaannya Cuma
agar diakui sebagai warga negara seutuhnya demi bisa dipermudah masalah
keperdataanya saja, mau bagaimana lagi mereka memang tidak punya pilihan, kebijakan-
kebijakan pemerintah selama ini mematikan kepercayaan adat, dan seolah ingin
menggiring pemeluknya untuk masuk ke agama lain perlu ditinjau kembali dan harus ada
pencabutan-pencabutan terhadap peraturan pemerintah yang diskriminatif, paling tidak
pemerintah memikirkan dahulu masalah keperdataan atau catatan sipil agar masyarakat
penganut kepercayaan tersebut bisa terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara. Perlu
peran aktif bagi kita semua dalam upaya melindungi kepercayaan adat ini dari
kepunahan, demi tercapainya indonesia yang lebih sejahtera

Agama Kaharingan
9
III. Penutup
1. Kesimpulan
Agama Kaharingan sampai sekarang masih dianut oleh suku dayak, meskipun
jumlahnya semakin sedikit , namun lewat tokoh-tokohnya umat kaharingan tetap berjuang demi
diakuinya Kaharingan sebagai agama resmi di Indonesia. Sebagai sebuah kepercayaan adat tentu
harus dilakukan peneliitian lebih agar kaharingan dapat dikatagorikan sebagai agama dan bukan
sebagai bagian budaya dayak saja
Bagi pemeluk kepercayaan adat ini, yang terpenting adalah pengakuan negara atas
eksistensi agama mereka sehingga hak-hak asasi mereka terlayani dan terlindungi oleh Negara
misal dalam catatan sipil, akses pendidikan, bantuan dana hingga pendirian tempat ibadah.

2. Saran
Sebagai umat beragama dan sebagai warga Negara yang menyadari kebhinekaan,
seharusnya kita prihatin atas kondisi saudara-saudara kita yang memeluk kepercayaan adat
tersebut. Kita harus mendorong pemerintah untuk mengakui eksistensi kepercayaan adat
tersebut, namun keputusan atau peraturan yang akan diterbitkan pemerintah harus dengan hati-
hati karena agar tidak menimbulkan dampak yang buruk yang lebih massif lagi bagi kehidupan
masyarakat tersebut. Semoga masalah keagamaan yang selalu menjadi persoalan yang tidak
pernah tuntas bisa ditemukan pemecahan persoalanya agar tujuan Negara untuk mensejahterakan
seluruh bangsa Indonesia bisa tercapai

Agama Kaharingan
10
Daftar pustaka
Kaharingan dinamika-Analisis : marko mahin. FISIP UI. 2009
http://www.wacananusantara.org/kaharingan-agama-leluhur-suku-daya/
http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000016571358/diskusi-mengapa-agama-asli-indonesia-
tidak-diakui-resmi-oleh-pemerintah-indonesia/6
http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_nicola_c_agama.pdf
id.wikipedia.com/kaharingan
http://www.suarapembaruan.com/home/kabar-gembira-dari-kemenag/64946
http://selviagnesia.wordpress.com/2013/03/03/ritual-ibadah-suku-dayak/

Agama Kaharingan
11

Anda mungkin juga menyukai