Anda di halaman 1dari 17

1

Nama : Base Masseana Waruwu

Dewi Rolita Br. Tarigan S. Th

Dosen Pembimbing : Jaharianson Saragih S.Th. MSc, PhD

Mata Kuliah : Psikologi Pastoral

HOMOSEXUALITY DAN LESBIANISME

I. PENDAHULUAN

Terminologi atau disebut juga istilah. Istilah lain dari homoseksual yaitu
homophobia, sama-sex, lesbian (sebutan untuk perempuan homoseks), gay (sebutan untuk
laki-laki homoseks), biseksual, transeksual, dan perilaku homoseksual yang paling populer
akhir-akhir ini banyak sekali, salah satunya adalah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan
Transsexual). Homoseksual adalah prilaku seksual yang sifatnya sangat bertolakan dari
normalnya yakni heteroseksual. Dalam hal ini orang yang homoseksual menyukai orang yang
memiliki jenis kelamin yang sama dengan dirinya sendiri misalnya laki-laki suka pada laki-
laki dan perempuan menyukai perempuan.1 Berikut ini penjelasan singkat.

II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Homoseksualitas dan Lesbianisme

Homoseksual berasal dari kata Yunani “homoios” berarti sama. Praktek homoseksual
biasanya diawali dengan “homofilia” (jatuh cinta kepada sesama jenis).2 Menurut KBBI,
homoseksual adalah keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama sedangkan
homoseksualitas adalah kecenderungan untuk tertarik kepada orang lain yang sejenis.3
Homoseksualitas adalah salah satu penyimpangan yang paling umum atau disorientasi aliran
utama perkembangan heteroseksualitas. Hal itu bukanlah bawaan seseorang sejak lahir,
melainkan disorientasi atau penyimpangan seksualitas yang terjadi bila aliran
heteroseksualitas rancangan Allah itu terhambat. Homoseksualitas bukanlah suatu seksualitas
alternatif atau orientasi seksual, tetapi suatu disorientasi emosional yang disebabkan oleh
terhambatnya perkembangan emosi dalam aliran heteroseksualitas. Homoseksualitas adalah

1
Lanang Priaga, Menebus Kaum Gay, (Jakarta: Andi Tandur, 2003),8-9
2
Herlianto, AIDS dan Perilaku Seksual (Bandung: Yayasan Kalam hidup, 1995), 41
3
W. J. S. Poerwaderminta, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), 387
2

relasi seks dengan jenis kelamin yang sama; atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang
sama.

Ekspresi homoseksual ada tiga,4 yaitu: Laten: penampilan wajar-wajar saja, berkencan
dan menikah serta punya anak, tetapi mempunyai kecenderungan homoseksual. Kelainan
yang dialami seringkali tidak disadari dan dapat diambil dan dapat tampil dalam minat yang
kurang terhadap lawan jenis; pasif: biasanya hanya berperan sebagai pasangan yang pasif.
Umumnya penderita mampu melakukan hubungan heteroseksual, menikah dan memiliki
anak; aktif: secara langsung terlibat dalam perlakuan homoseksual. Penderita seringkali
menolak hubungan dengan jenis kelamin yang berlainan, suka mengenakan pakaian untuk
jenis kelamin yang berlainan, bahkan ada yang mengganti nama.

Gay merupakan kata ganti untuk menyebut perilaku homoseksual, yaitu rasa cinta
terhadap sesama jenis laki-laki, sedangkan hubungan perempuan dengan perempuan sering
disebut dengan istilah lesbian. Homoseksualitas pada laki-laki (gay) lebih tampak dalam
masyarakat dibandingkan dengan homoseksualitas pada perempuan (lesbian). Hal ini
disebabkan karena homoseksualitas laki-laki lebih terbuka, lebih berani secara terang-
terangan tampil dalam masyarakat.5

Dalam KBBI dikatakan Lesbianisme adalah “perihal cinta berahi antara sesama
wanita; perihal perilaku hubungan seksual sesama wanita”. Pada 1972, Charlotte Bunch
menulis artikel “Lesbians in Revolt” diharian feminis The Furies, yang terbit di Washington
DC. Artikel itu kemudian dibukukan oleh Diana Press pada tahun 1975 dengan tema:
Lesbianism and the Women’s Movement. Menurut Charlotte Bunch, lesbianisme lebih dari
sekedar pilihan dari sebuah orientasi seksual. Ia adalah ekspresi melawan ketidakadilan
gender. Sebab bagi gerakan feminisme, lesbian mempunyai arti politis, yaitu: (1) sebagai
landasan untuk membebaskan perempuan (liberation of women); (2) wujud pemberontakan
terhadap otoritas laki-laki yang selalu mengatur perempuan bagaimana seharusnya
berperangai, merasakan, melihat dan hidup di dunianya; (3) wujud kecintaan perempuan
terhadap dirinya sendiri, karena dalam budaya Barat khususnya, mereka sering
dinomorduakan. Selanjutnya, (4) lesbianisme juga merupakan simbol penolakan dominasi
seksual dan politik laki-laki. Dengan lesbianisme, perempuan menantang dunia laki-laki,
organisasi sosialnya, ideologinya dan anggapannya tentang perempuan sebagai makhluk

4
Farida L Subardja, Ensiklopedi Nasinal Indonsia (Jakarta: Delta Pamungkas, 1997), 468
5
Herlianto, AIDS dan Perilaku Seksual, 42
3

lemah. Tindak lesbian bukan sebatas pilihan seksual, tetapi merupakan pilihan politik. Sebab
hubungan laki-laki dan perempuan pada intinya adalah hubungan politis yang melibatkan
kekuasaan dan dominasi. 5) lesbianisme mengutamakan perempuan di saat dunia menyatakan
supremasi laki-laki. 6) sebagai usaha untuk menghancurkan sistem yang seksis, rasis,
kapitalis dan imperialis.6

2.2. Pendapat Para Ahli Mengenai Homoseksualitas dan Lesbianisme

Beberapa pendapat para ahli mengenai homoseksualita:7 1) Baron Richard von Krafft
Ebing (1840-1902), seorang Neurolog Jerman; menurut hasil penyelidikan berpendapat
bahwa orang dapat menjadi homoseksual itu diperoleh setelah dilahirkan atau karena
pengaruh dari luar. 2) Eustace Chresser berpendapat bahwa homoseksualitas adalah
percintaan antara orang-orang yang berkelamin sama, tidak selalu disebabkan oleh cacat yang
fundamental. Mereka semua atau sebagian dari mereka bukan dilahirkan sebagai
homoseksual. Mereka menjadi demikian disebabkan oleh pengalaman-pengalaman dalam
kehidupan, oleh sebab kejadian-kejadian yang tidak dapat dikuasai. Memang dari keadaan
jiwa atau badan, boleh jadi sudah ada kecenderungan ke arah homoseksual. Namun hanya
dapat menjadi kenyataan karena pengaruh pengalaman dalam kehidupan dan kejadian-
kejadian tertentu. 3) FrankS. Caprio, seorang sexologist terkenal dalam bukunya sexology
mengatakan bahwa anggapan yang menyatakan: homoseksualitas adalah semacam tingkah
laku seksual yang terjadi oleh sebab psikis bukan sebab fisik. Homoseksualitas bukanlah
diwarisi dan bukan pula suatu penyakit. 4) Victor Robinson berpendapat bahwa masalah
lesbianisme bukanlah mutlak disebabkan karena persoalan kelenjer endoktrin sebab beribu-
ribu lesbian tidak mempunyai gangguan kelenjer endoktrin bukanlah lesbian. Bersadarkan
pendapat para ahli, homoseksual adalah salah satu penyimpangan seksual yaitu percintaan
antara orang-orang yang berkelamin sejenis, yang disebabkan oleh faktor psikologis.

Selain pendapat para ahli, pendapat riset dalam Journal Of the Mount Sinai Hospital
dalam tema “The Bisexuality of Man” (1942), dinyatakan bahwa dalam penyelidikan A.
Myerson dan R. Neustadt terhadap 102 lak-laki homoseksual, hasilnya: ada sangkut pautnya
antara sifat dan pembawaan seseorang yang homoseksual dan hormon-hormon seks:

6
https://insists.id/lesbianisme-dan-kesetaraan-gender/, Diakses 18 Mei 2019.
7
H. Soekahar, Homoseksual: Tinjauan Singkat Berdasarkan Iman Kristiani (Yogyakarta: Andi, 1987),
12-14
4

androgen dan ekstrogen dalam darah orang itu. Dalam penyelidikan dengan miskroskop
ditemukan adanya sel wanita dalam testes homoseksual dan ada sel laki-laki dalam ovarium
lesbian. Menurut mereka, sistem glandularlah yang menyebabkan seseorang menjadi
homoseksual.8

Namun pada akhir-akhir ini hasil riset yang disponsori oleh “The Nasional Institute of
mental health of the national institute of health, public servis” menyatakan bahwa hanya ada
kemungkinan kecil atau samasekali tidak ada hubungan antara kesalahan fungsi glandular
dalam darah dan homoseksualitas. Hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa fungsi glandular
mempengaruhi “kekuatan seksual” bukan mempengaruhi “arah seksual”. “Arah seksual”
menurut penyelidikan ilmiah dari riset tersebut, pada dasarnya disebabkan oleh faktor
psikologis.9

2.3. Homoseksualitas dan Lesbianisme dalam Perspektif Alkitab

homoseksualitas merajalela di zaman Alkitab dan telah begitu tetap di Timur Tengah
hingga saat ini. mungkin tidak seumum yunani, tetapi adat-istiadat rakyat tentu tidak
menganggapnya sebagai ketidak setujuan. Demikian dengan fakta dalam Alkitab juga.10
Tentunya dalam Alkitab homoseksualitas dan lesbianisme bukanlah satu bagian dari karya
penciptaan. Tentu saja bukan. Karena pada dasarnya Allah mencipkan manusia monogami
dan heteroseksual.11

Pengertian homoseksual secara Alkitabiah, terbagi dalam dua perjanjian yaitu dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

2.3.1. Perjanjian Lama

Secara hurufiah, kata homoseksual dan homoseksualitas tidak ada tertulis dalam PL,
tetapi praktek homoseksual itu sudah ada sejak dalam PL. Dalam kisah Sodom dan Gomora
(Kejadian 19:1-3, 5; Hak. 19:22). Ini menerangkan bahwa pada zaman Lot di kota Sodom
sudah ada permasalahan homoseksualitas.

8
Ibid, hlm. 14
9
Ibid, hlm. 14
10
Tom Horner, Jhonathan loved David-Homosexuality in Biblical Times, (Philadelphia: Westminster
Press, 1999), 15.
11
Mark A. Yarhouse, Homosexuality and the Christian, (Mineapolis: Bethany House Publishers,
2010), 200.
5

Dalam imamat 18:22, hubungan seksual atau homoseksual dengan sesama jenis
dianggap sebagai kekejian, baik dari sudut agama maupun dari sudut moral. Kata yang sama
dipakai dalam ayat 22,26,27, 29,20:13.12 Dalam ayat-29 dikatakan bahwa orang itu harus
dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya; yaitu orang yang tidak bisa dianggap lagi sebagai
anggota umat Allah. Ahli tafsir berpendapat bahwa orang itu hanya diusir dari keluarga dan
masyarakat, tetapi dalam keluaran 31:14 memperlihatkan bahwa ungkapan yang biasa ini
menunjuk kepada hukuman mati.13 Undang-undang Alkitabiah mengharamkan hubungan
homoseksual dan memutuskan hukuman mati bagi kedua belah pihak (Im.18:22; 20:13).14
Dalam PB, praktek homo orang Sodom dikritik juga dalam Yudas 7, sebagai sumber
penghukuman Allah. Praktek homoseksual rupanya telah menjadi sesuatu yang terbiasa di
lingkungan masyarakat Kanaan. Dari praktek yang dilakukan orang Sodom itu, muncul
istilah sodomi (salah satu cara kaum homoseksual melakukan hubungan seksual, yaitu
melalui anus).15

Dalam konteks PL, dapat dipahami alasan larangan itu sebagai bagian dari upaya
menghindarkan diri dari pengaruh praktek buruk dalam agama Kanaan, seperti praktek
prostitusi, bastialis, dan penyimpangan seksual lainnya (Im. 18:21-29; band.Ul. 23:17-18).
Praktek homoseksual telah menjadi kebiasaan dilingkungan masyarakat Kanaan. Larangan
praktek homoseksual terkait dengan penyembahan berhala.16

2.3.2. Perjanjian Baru

Secara hurufiah juga, kata homoseksual dan homoseksualitas juga tidak ada tertulis
dalam PB, tetapi dalam surat Rasul Paulus secara tidak langsung ada menyinggung masalah
homoseksualitas tersebut. Dalam 1 Kor.6:9-10 ada tertulis: “...pemburit...tidak akan
mendapat bagian dalam kerajaan Allah.” Yang diterjemahkan “pemburit” dalam bahasa
Yunani αρσενοκοίται (arsenokoitai). Kata αρσενοκοίται ini berasal dari kata αρσεν yang
berarti hal yang bersangkut paut dengan jenis seks laki-laki dan κοίται (berarti: hubungan
seksual; tempat tidur). Jadi αρσενοκοίται berarti “orang yang berbaring-baring melakukan
hubungan seksualitas antara laki-laki dengan laki-laki atau sodomi” (1 Kor. 5:9; 1 Tim. 1:10)

12
Robert M. Paterson, Kitab Imamat (Jakarta: BPK-GM, 1997), 251-252
13
Ibid, 103
14
Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (Jakarta: BPK-GM, 2010)
67.
15
Robert P. Borong, Etika Seksual Kontemporer, (Bandung: Ink Media, 2006), 79
16
Ibid, hlm. 80
6

termasuk dalam hubungan homoseksual baik itu hubungan gay maupun lesbian (I Kor. 1:27;
Im. 18:22; 20:13).17

Dari penjelasan diatas dapat dibuat beberapa bagian alkitab yang dijadikan referensi
untuk melihat betapa berdosanya dan tidak disenangi oleh Allah orang-orang yang
melakukan Tindakan homoseksualitas dan lesbianisme.

 Kejadian 1-2
 Kejadian 19:1-9
 Imamat 18:22, 20:13
 Roma 1:24-27
 1 Koristus 6:9
 1 Timotius 1:10

Bagian-bagian inilah yang menunjukkan kepada kita bahwa kegiatan homoseksual


adalah dosa, jelaskan bahwa itu bukan dosa yang unik. Itu adalah salah satu contoh dari apa
yang salah dengan kita semua. Menjelaskan juga bahwa Hasrat homoseksual bukanlah apa
yang awalnya dimaksudkan oleh Allah. Karena itu merupakan keinginan kita yang
menyimpang dan menjadi tanda bahwa kita telah berpaling dari Tuhan. Dosa homoseksual itu
serius, tidak unik dan kadang tidak bisa dihindari.18

2.4. Penyebabab Homoseksualitas dan Lesbianisme

Teori-teori mengenai asal-usul homoseksual dan hateroseksual terpecah menjadi dua


bagian yang luas, yaitu: bidang biologi dan bidang sosial. Teori yang menganggap asal
mulanya secara biologis, mencari perbedaan secara fisiological dan fisik antara para
homoseksual dan heteroseksual, dan cenderung menganggap adanya unsur keturunan.
Sedangkan teori sosial mengatakan bahwa homoseksualitas lebih merupakan ketakutan akan
jenis kelamin dari lawan jenis daripada kesukaan akan jenis kelamin sendiri. Tingkah laku

17
H. Soekahar, Homoseksual: Tinjauan Singkat Berdasarkan Iman Kristen, (Yogyakarta:Andi, 1987
), 49
18
Justin R. Cannon, The Bible, Chriostianity and Homosexuality, (Los Angeles: Incusive Ortodoxy,
2005), 8.
7

homoseksual kadang-kadang lebih disebabkan oleh kekuatan keadaan,seperti tidak


tersedianya jenis kelamin yang berlawanan, daripada dihasilkan oleh disposisi batin.19

Sedangkan menurut pakar psikoanalisa, Sigmund Freud yang dikutip oleh Jhon H.
Crook mengatakan penyimpangan perkembangan psikoseksual bisa disebabkan oleh tiga
faktor: 1) konstitusi biologis, yaitu kemungkinan kelainan hormonal bawaan lahir. Penderita
homoseksual bisa saja menderita kelainan pada faktor konstitusi biologis, yang berarti
penampilan fisik maskulin, namun dominasi peran fisiologis fungsi hormon perempuan
terjadi dalam tubuh laki-laki tersebut secara congenital.20 2) kecelakaan oleh lingkungan,
misalnya pernah mengalami pelecehan seksual oleh teman atau kerabat dari lingkungan
dimana seseorang berasal. 3) pengalaman internal asadar, yang dipenuh trauma-trauma
psikologis pada masa lalu dan mempengaruhi dinamika intrapsikisnya. Faktor internal-asadar
merupakan salah satu komponen intrapsikis yang terkait dengan presdisposisi.21

Kondisi mental berhubungan dengan figur otoritas anak, dalam hal membentuk
mental anak, figur orangtua memiliki peranan yang sangat penting dalam proses identifikasi
dalam perkembangan identitas seksual dan identitas jenis kelamin yang sesuai dengan seks-
biologis laki-laki menjadi laki-laki sejati secara biopsikososial atau anak perempuan dengan
karakter seks-biologis perempuan menjadi perempuan sejati secara biopsikososial sehingga
tampak keserasian kondisi fisik dengan perilaku kesehariannya. Melalui figur orangtua,
orangtua mampu menolong anak menemukan jati dirinya yang benar dalam proses
perkembangannya yang nampak melalui perilakunya.

Perilaku adalah produk akhir dari sistem interaksi yang berubah sepanjang masa.
Sistem interaksi tersebut adalah sistem biopsikososial, sedangkan perkembangan perilaku
tergantung pada faktor ikonstitusional, pengaruh lingkungan, dan kejadian yang tidak
diinginkan (accident), termasuk masalah-masalah yang bersifat traumatik. Dapat dipahami
bahwa perkembangan perilaku seksual pada masa dewasa berawal dari potensi-potensi yang
tidak terdiferensi yang justru terjadi sejak masa anak-anak sebagai suatu proses
perkembangan yang kompleks.

19
John H.Crook, EnsiklopediPsikologi dalam Homosexuality andLesbianism, (ed.) Danuyasa
Asihwardji (Jakarta: Arcan,1996), 154
20
Congenital adalah bawaan sejak lahir,seseorang yang lahir telah membawa sesuatu yang sifatnya
diwariskan, misalnya kelainan cacat yang dibawa sejak lahir, faktor keturunan. Sodarsono, Kamus Konseling
(Jakarta: Rineke Cipta, 1997), 38
21
Presdiposisi adalah kecenderungan atau cikal bakan yang ada mendahului suatu fungsi, sering
digunakan dalam mendefenisikan sumber-sumber abstrak dari fungsi psikis. AndiMappiare A.T, Kamus Istilah
konseling dan terapi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 250
8

Pada masa pubertas, kelenjar atau hormon seksual berkembang membuat dorongan
seksual menjadi lebih kuat sehingga sering mengancam keutuhan fungsi ego seseorang. Bila
oedipus complex22 tidak teratasi, maka remaja akan selalu dihadapkan pada keterikatan
seksual dengan orangtua dari jenis kelamin yang berbeda, remaja laki-laki terhadap ibunya
dan remaja perempuan terhadap ayahnya sehingga remaja tersebut mengalami kesulitan
dalam menjalin relasi heterososial dengan kelompok sebayanya. Kondisi demikian
merupakan pangkal dari peluang perkembangan disfungsi dan deviasi seksual pada masa
dewasanya kelak. Peluang untuk berkembang menjadi biseksual, homoseksual, atau
penyimpangan-penyimpangan seksual lain akan manisfestasi.23

Elizabeth R. Moberly yang dikutipoleh Michael Keeling, menegaskan bahwa


homoseksual lebih banyak berhubungan dengan luka-luka emosi dan psikologis yang
menyebabkan seseorang merasa kehilangan, kosong, tidak terpuaskan, dan tidak sempurna.
Orientasi homoseksual tidak tergantung dari sesuatu disposisi genetik, ketidakseimbangan
hormonal, atau proses belajar yang abnormal. Oleh karena itu, homoseksualitas sama sekali
bukanlah masalah seksual yang dipengaruhi oleh gen. Homoseksualitas hanya berkaitan
dengan seks dalam hubungannya dengan kebutuhan akan keakraban yang dilambangkan oleh
seksualitas.24

Menurut William Consiglio dalam bukunya “tidak lagi homo”, menuliskan ada
beberapa tahapan perkembangan terjadinya homoseksual, yaitu:

a. Perasaan harga diri rendah

Perasaan harga diri rendah timbul dari suatu bentuk gangguan fungsional dalam latar
belakang keluarga. Hal ini berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang untuk menerima
dirinya sendiri secara emosional. Apabila emosi-emosi dan perasaan-perasaan seseorang
dapat dinyatakan, dimengerti, diterima, dan ditanggapi, hal ini akan membuat diri atau harga
diri seseorang anak kecil dapat dan cukup diterima. Harga diri adalah pengertian mengenai

22
Nama Oedipus diambil dari nama seorang raja dalam dongeng Yunani Kuno, yang jatuh cinta kepada
ibu kandungnya sendiri. Ia membunuh ayah kandungnya sendiri dan menikahi ibunya. Sigmund Freud mulanya
menekankan adanya ikatan kuat diantara ibu dengan anaknya yang tidak hanya menyangkut kasih sayang ibu
saja, tetapi juga menyangkut kompenen seksual secara tak sadar semakin menguat. Anak laki-laki menjadi iri
akan kedudukan ayahnya diatas pengaruh benci serta permusuhan terhadap ayahnya. Dengan demikian dalih
yang jelas mungkin mendesak secara sadar, yang mana menyebabkan perasaan-perasaan benci tak menentukan
setidaknya sampai anak itu berkembang,menikahi orang lain dan meninggalkan rasa hormat terhadap ayahnya.
A Budiardjo, Kamus Psikologi (Semarang:Dahara Prize, 1987), 235
23
Sawitri Supardi, Pernak-Pernik Hubungan Orangtua-Remaja; Anak Bertingkah Orangtua
Mengekang (Jakarta: Kompas, 2005), 3
24
Elizabeth R. Moberly, Homosexuality: A New Christian Ethic, Cambridge: England, 1983, hlm. 11
9

bagaimana perasaan saya mengenai diri saya, pentingnya diri saya, betapa berartinya saya,
kemampuan untuk dikasihi, perasaan memadai, dan lain-lain. Hal ini merupakan bagian
interitas emosional yang utama atau keberhasilan bagi setiap anak dalam daur hidup
mengenai kesadaran akan diri, merasa diri berarti, atau penting. Jika tidak tercapai kesadaran
yang memadai mengenai diri-sendiri, maka terjadilah harga diri yang rendah.25

Akar-akar harga diri rendah mulai terbentuk sejak lahir. Inilah sebabnya mengapa ada
sebagian homoseks merasa bahwa mereka telah menjadi homoseks sejak mula-mula, pernah
mengalami trauma biologis primitif pada harga diri mereka, seperti misalnya, bila orangtua
menginginkan anak dari jenis kelamin yang berlawanan atau bila kehadiran anak memang
tidak diinginkan sama sekali.

Selain itu, perasaan harga diri rendah biasanya juga terjadi akibat lingkungan
keluarga yang mengalami gangguan fungsional, ketidakstabilan keluarga dan orangtua pada
periode awal kehidupan ini.26

b. Kebingungan Identitas Kelamin

Bila ada dasar harga diri renda, anak itu mudah terpengaruh secara emosinal dalam
berbagai hal. Bila seorang ayah memanggil anak laki-lakinya dengan sebutan banci,
menolaknya, dan tidak mau mengakuinya, bila teman-teman laki-laki sebayanya mengejek
atau menertawakan seorang anak yang memiliki harga diri rendah, atau ia tidak berhasil
dalam kegiatan-kegiatan kaum pria dan mengembangkan rasa takut terhadap agresivitas
kaum pria, terjadilah kebingungan identitas kelamin. Proses dari identifikasi jenis kelamin
kadang kala menjadi serba salah, Irving Bieber peneliti terkemuka, mengamati bahwa anak
laki-laki prahomoseksual kadang kala merupakan korban dari hubungan pernikahan orangtua
yang tidak bahagia. Disaat ibu dan ayah bertengkar, satu cara agar ayah dapat ‘balas
dendam’ kepada ibu adalah cara emosi mengbaikan putra atau putri mereka. Dan sebagian
ayah yang menyibukkan diri untuk kariernya sehingga tidak ada waktu untuk anaknya.
Bahkan ada ayah yang mengatakan dengan tegas sebelum kelahiran bayinya, bahwa dia tidak
suka dengan anak laki-laki, menolak dengan sepenuhnya dan mengabaikan putranya serta
memanjakan putrinya.27 Kebigungan identitas kelamin ialah ketidakpastian atau kebingungan
mengenai identitas kelaminnya. Karena ia dipermalukan, mengalami intimidasi, ketakutan,

25
William Consiglio, Tidak Lagi Homo (Bandung:Yayasan Kalam Hidup, 1998), 63
26
Ibid, hlm. 67
27
James Dobson, Mendidik Putra Anda (Jakarta: Immanuel, 2001), 154
10

kecemasan, perasaan malu, aib, menerima kritikan, diperhadapkan kepada model atau teladan
yang buruk atau kurang memadai, kurangnya kesempatan untuk mengalami keberhasilan,
penerimaan pengakuan dari orangtua sejenis dan teman-teman sebayanya; maka terjadilah
kebingungan atau ketidakpastian mengenai identitas kelaminnya. Kesemuanya ini
membentuk suatu kompleks perasaan yang menyebabkan penolakan diri atau kurangnya
keakraban dengan dirinya sebagai seorang laki-laki.

c. Daya tarik terhadap sejenis

Seseorang yang mengalami kebingungan identitas kelamin memiliki perasaan-


perasaan emosional yang kuat terhadap anak-anak laki-laki lain. Ia merasakan suatu
ketergantungan emosional yang ditandai dengan kecemburuan, perasaan tersinggung,
membanding-bandingkan, kedekatan yang kuat, jatuh cinta, dan rangsangan emosional. Ia
ingin agar anak laki-laki lain mencintainya, mengistimewakannya dari yang lain, dan
menjadikannya sebagai objek atau sasaran perhatian dan kasih sayangnya. Kebutuhan akan
keintiman dan ketertarikan emosional ini menjadi alasan dasar utama dari pikiran-pikiran
homoseksual.28

d. Daya Tarik Seksual

Harga diri rendah mengarah kepada kebigungan identitas kelamin , dan kebingungan
identitas kelamin mengarah pada daya tarik sejenis. Sekarang pada masa remaja daya tarik
terhadap sejenis dengan mudah beralih menjadi daya tarik seksual. Daya tarik seksual
meliputi bangkitnya perasaan-perasaan berahi berkenaan dengan hal-hal yang sangat
diinginkannya dan ia menginginkan adanya keintiman serta sentuhan.29 Karena keakraban
emosional dan identitas dengan sesama jenisnya ditahan, dihilangkan, disangkali, dan tidak
dipenuhi oleh orangtua danteman sebaya yang sejenis, anak laki-laki yang mengalami
kebingungan mengenai identitas kelamin dan daya tarik terhadap sejenis menjadi tertarik
secara seksual terhadap kawan sejenisnya.

e. Penguatan Perilaku Homoseksual

Ia mulai melakukan masturbasi dengan khayalan-khayalan tentang laki-laki atau yang


bersifat homoseksual, ia membeli benda-benda yang bersifat pornografi, ia menjadi

28
Herlianto, AIDS dan Perilaku Seksual, 65
29
William Consiglio, Tidak Lagi Homo, Ibid., hlm 65
11

pencandu dorongan-dorongan visual, yaitu mencari pria-pria yang ganteng dan menarik
kemanapun dia pergi.

f. Identitas Sebagai Homoseks

Ia mulai membenarkan gaya hidupnya dalam perilaku homoseksual dan membentuk suatu
identitas sebagai seorang homoseks. Dan ia menjadi sangat defensif mengenai pilihannya dan
tidak akan membiarkan siapapun (keluarga; gembala sidang, teman-teman) untuk
meyakinkan dirinya mengenai perlunya suatu perubahan dalam identitasnya.

2.5. Pandangan Etika Kristen terhadap Homoseksulias serta Lesbianisme

Dalam lingkungan agama Kristen ternyata ada perbedaan dalam menyingkapi


eksistensi kaum LGBT. Ada sebagian gereja yang secara tegas menolak kaum LGBT karena
mereka dianggap makhluk yang sangat berdosa. Namun ada juga gereja-gereja yang memiliki
sikap yang tidak tegas terhadap kaum LGBT yaitu menerima kaum LGBT dengan syarat-
syarat tertentu. Selain itu, ada gereja yang secara terang-terangan mengakui dan menerima
eksistensi kaum LGBT bahkan melayani pernikahan kaum LGBT. Namun secara umum
gereja-gereja di Indonesia masih menolak keberadaan kaum LGBT, bahkan ada gereja-gereja
yang cenderung bersikap kejam terhadap kaum LGBT. Ada gereja-gereja yang mengucilkan
bahkan menghukum mereka yang ketahuan LGBT. Hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan
oleh gereja. Gereja justru seharusnya terpanggil untuk merangkul mereka dalam kasih Kristus
dan memeberikan pendampingan pastoral kepada kaum LGBT sehingga mereka akan dapat
menyadari kekeliruan mereka dan berbalik arah kembali kepada prilaku seksual yang benar
sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan.

Gereja terpanggil untuk menolong mereka agar mengalami pemulihan melalui karya
Kristus dan Roh Kudus. Gereja harus membawa kaum LGBT untuk mengenal kasih Kristus
dan karya keselamatanNya yang membawa kepada perubahan hidup yang radikal termasuk
perubahan dari gaya hidup LGBT. Oleh sebab itu, gereja harus memberikan pelayanan
pendampingan pastoral yang memadai dan konprehensif bagi kaum LGBT agar mereka
dapat memperoleh pertolongan yang sangat mereka butuhkan. Gereja perlu membuka pintu
lebar-lebar bagi kaum LGBT untuk masuk dan mendapatkan sentuhan kasih Kristus melalui
pelayanan pendampingan pastoral yang ditujukan oleh hamba Tuhan, majelis dan jemaat
12

gereja yang menyadari bahwa mereka dulu pernah mengalami sentuhan kasih ketika masih
berdosa dan bertemu dengan Tuhan dalam komunitas gereja.

Disatu sisi, perilaku homoseksual adalah pertentangan apa yang sudah ditetapkan
oleh Allah bahwa seksual seharusnya heteroseksual antara laki-laki dan perempuan, bukan
hubungan sesama jenis. Perilaku homoseksual memiliki hubungan seks tidak wajar dan
menyimpang dari seharusnya, seperti yang dikatakan oleh Robert dalam bukunya “bahwa
hubungan seksualitas dengan cara homoseksualitas dipandang bagian dari penyimpangan
hubungan perkawinan sebab pernikahan yang dikehendaki Allah ialah antara laki-laki dan
perempuan (heteroseksual)”.30 Keberatan kita terhadap kaum ini yang menganggap bahwa
kita tidak dapat mengasihi orang berdosa dan masih membenci dosanya. Tidak ada alasan
kita tidak dapat mengasihi seorang pecandu alkohol tetapi membenci alkoholisme. Demikian
pula, kita dapat mengasihi homoseksual dan membenci homoseksualitas. Tidak dapat
disangkal, tidak semua orang Kristen secara konsisten melakukan perbedaan ini. Banyak
orang menolak bahkan anak-anak mereka sendiri ketika mereka “menyatakan keadaan
mereka yang sebenarnya.” Ini adalah kesalahan yang tragis. Hal ini tidak mencerminkan
kekristenan karena ini bukan Roh Kristus yang melayani para pemungut cukai dan orang-
orang berdosa. Demikian juga tidak seorangpun dapat berharap untuk memenangkan mereka
dengan menolak mereka.31 Tentu saja, jika mereka mengaku sebagai orang-orang percaya
dan anggota dari sebiah gereja, orang yang masih mempraktikkan homoseksualitas dan tidak
bertobat harus diberikan disiplin gereja (bnd. 1 Kor. 5). Tetapi, ini tidak berarti bahwa kita
tidak mendekati mereka dalam kasih sebagai kawan dan sanak saudara untuk menolong
mereka. Penolakan total terhadap mereka sebagai manusia hanya membuat mereka semakin
jauh ke dalam dosa mereka. Kasih mencapai orang-orang, bahkan mereka yang berdosa;
kasih tidak menolak mereka. Orang-orang hmoseksual membutuhkan belas kasihan, bukan
penolakan.

2.6. Pendampingan Pastoral

Tidak dqapat dipungkiri bahwa Homoseksualitas dan Lesbianisme ini adalah salah
satu akibat dari “third-party reproduction industry” yang menghasilkan beberapa revolusi,
termaksud revolusi seksual. Kita tidak bisa mempungkiri hal ini, lalu bagaimanakah

30
Robert P. Borong, Etika Seksual Kontemporer, Ibid, hlm. 79
31
Norman L. Geister, Etika Kristen,(Malang: SAAT, 2001), 351
13

mendampingi mereka dan bersama-sama dengan mereka yang katanya “dikucilkan” di


kalangan masyarakat ini? apakah kita anti atau “menerima” mereka?.32 Homoseksualitas
adalah produk budaya modern Barat melalui revolusi seksual tahun 1960-an, di mana semua
orang mendefinisikan ulang adat-istiadat seksual masyarakat. Dan tentu ini membawa
dampak bagi pembentukan eskpresi seksualitas seseorang di kemudian hari.33 Maka perlu
beberapa cara yang bisa dilakuakn termaksud pendampingan pastoral.

2.6.1. Pendampingan Pastoral Bagi Kaum LGBT

Dalam melakukan pendampingan pastoral bagi kaum LGBT maka ada beberapa
prinsip penting yang harus diperhatikan oleh gereja dan hamba Tuhan.

1. Gereja harus menerima dan mengakui bahwa setiap manusia diciptakan menurut
gambar Allah yang memiliki harkat dan martabat, termasuk kaum LGBT
walaupun mereka melalukan penyimpangan dalam hidupnya. Sikap seperti itu
perlu ditunjukkan kepada kaum LGBT agar mereka tidak takut untuk menerima
pendampingan pastoral yang disediakan oleh gereja.
2. Gereja harus memberi pengharapan bagi kaum LGBT untuk mendapatkan
pemulihan hidup dengan pemahaman bahwa penyucian hidup merupakan sebuah
proses dan keutuhan hidup merupakan perjalanan seumur hidup. Hal ini akan
memotivasi kaum LGBT untuk tidak putus asa dalam menghadapi pergumulan
hidup.
3. Gereja harus menolong dan membimbing kaum LGBT agar dapat
bertanggungjawab dalam menjaga kekudusan hidup dan memiliki pola pikir baru
yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sikap seperti ini akan membuat kaum LGBT
lebih berhati-hati dalam menjalani hidup mereka.
4. Gereja juga harus mendidik jemaat untuk dapat membedakan antara penderitaan
karena dosa yang membawa kepada pertobatan dengan rasa malu yang
ditimbulkan oleh penolakan dari jemaat terhadap kaum LGBT. Melalui
pemahaman ini jemaat lebih berhati-hati dalam merespon kehadiran kaum LGBT
di tengah-tengah gereja.
5. Kaum LGBT harus ditolong untuk meyakini bahwa dibawah kuasa kebangkitan
Kristus, Tuhan memberikan kekuatan kepada mereka untuk dapat mematahkan

32
Ignatius, Living the Truth in Love, (San Fransisko: Ignatius Press, 2015), np.
33
Williard M Swartley, Homosexuality. Biblical Interpretation and Moral Discernment, (Scottdale,
Pennsylvania: Herald Press, 2003), 19.
14

kuasa dosa dan perilaku dosa yang mereka lakukan yang disebabkan karena
adanya penyimpangan seksual. Keyakinan ini akan dapat memotivasi kaum LGBT
untuk dapat menjalani proses pemulihan dengan penuh pengharapan.
6. Gereja juga harus menolong kaum LGBT untuk dapat mengatasi kemarahan
kepada Tuhan, keluarga, atau masyarakat yang dianggap telah melukai mereka
melalui bimbingan intensif. Melalui proses ini kaum LGBT ditolong untuk
mengalami pemulihan dari luka-luka batin yang pernah dialami.
7. Kaum LGBT harus dilibatkan dalam ibadah yang berpusat pada Tuhan yang
penuh sukacita dan pengharapan, sehingga dapat menolong mereka mengalami
proses pemulihan secara cepat, karena hati yang gembira adalah obat yang manjur
bagi pemulihan hidup seseorang (Ams. 17:22).
8. Gereja perlu menyediakan kelompok-kelompok kecil yang di dalamnya ada
dukungan doa bagi pemulihan dan pengakuan dosa bagi kaum LGBT. Melalui
kelompok ini kaum LGBT berani berbagi dan mendapat dukungan yang positif
yang akan menolong proses pemulihan bagi mereka.

2.6.2. Pendampingan pastoral Bagi Keluarga Kaum LGBT

Keluarga menjadi faktor penyebab yang cukup signifikan bagi munculnya perilaku
LGBT. Ketidak-harmonisan serta kehancuran keluarga seringkali menjadi faktor penyebab
eksistensi kaum LGBT. Kekuarangan penerimaan serta perhatian orangtua terhadap anak
juga merupakan faktor pemicu seorang anak memiliki kecenderungan menjadi LGBT.
Melihat fakta ini maka gereja terpanggil untuk mempromosikan pernikahan yang baik dan
kehidupan keluarga yang sehat dimana tercipta hubungan yang indah antara suami dan istri
dan relasi antara orangtua dan anak-anak sehingga penyebab psikologis yang dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan seksual yang dialami oleh kaum LGBT dapat
dikurangi seminimal mungkin. Gereja harus mengingatkan dan menganjurkan orangtua untuk
segera mencari konselor Kristen ketika mereka melihat tanda-tanda penyimpangan seksual
yang terjadi pada anak-anak mereka sehingga anak-anak dapat segera ditolong untuk tidak
menjadi LGBT yang akan membutuhkan penanganan yang cukup kompleks. Jadi mencegah
lebih baik daripada mengobati. Gereja juga harus memberikan perhatian yang serius kepada
keluarga-keluarga yang memiliki anggota yang mengalami penyimpangan seksualitas yang
terlibat dalam gaya hidup LGBT. Hal ini disebabkan karena dampak dari LGBT tidak hanya
terjadi bagi individu yang mengalami penyimpangan seksual tetapi juga kepada anggota
15

keluarga lainnya dari kaum LGBT. Orangtua, saudara, dan pasangan dari kaum LGBT akan
mengalami krisis emosional secara mendalam ketika mereka tahu bahwa anggota
keluarganya adalah LGBT. Keuarga kaum LGBT akan menghadapi rasa malu ketika
dihadapkan dengan realitas bahwa anggota keluarganya mengalami penyimpangan seksual
dan menjadi LGBT. Akibatnya mereka akan mengalami perasaan terpukul, penolakan,
kemarahan, menyalahkan, kesedihan, sakit hati, dan depresi yang sangat mendalam, apalagi
aib ini sudah tersebar di dalam gereja. Perjalanan dari keluarga kaum LGBT akan terasa
panjang dan mereka akan mengalami kepenatan apabila beban mereka tidak dapat dibagikan
kepada oranglain.

Jadi gereja terpanggil untuk memberi perhatian yang serius kepada keluarga kaum
LGBT yang dilingkupi oleh perasaan malu dan cemas karena anggota keluarganya
mengalami penyimpangan seksual. Gereja harus mampu memberi wadah bagi mereka untuk
dapat berbagi atas beban yang mereka tanggung. Gereja juga perlu memberi dukungan moral
bagi mereka dalam menghadapi realita memalukan dan menyesakkan yang mereka hadapi.
Dalam hal ini pendampingan pastoral bagi keluarga kaum LGBT tidak bisa diabaikan oleh
gereja dan hamba-hamba Tuhan.

2.7. Refleksi Teologis

Daud dan Yonatan adalah homoseksual. Dalam 1 Samuel 18:20 mencatat tentang
kasih yang hebat antara Daud dan Yonatan. Beberapa orang melihat bagian ini sebagai satu
indikasi bahwa mereka itu homoseksual, sambil menunjuk bahwa Yonatan “mengasihi” Daud
(18:3), bahwa Yonatan telanjang di hadapan Daud (18:4), bahwa mereka bercium-ciuman
(20:41) dan bahwa mereka “melampaui batas” (20:41), satu istilah yang diambil yang
mempunyai arti ejakulasi. Kurang berhasilnya hubungan Daud dengan banyak wanita juga
diambil untuk menunjukkan kecenderungan-kecenderungan homoseksualnya. Pada saat
semua faktor ini dipertimbangkan bersama-sama, diperdebatkan, bahwa Daud dan Yonatan
itu homoseksual.34Namun, dilain pihak, menerangkan tidak ada indikasi di dalam kitab suci
bahwa Daud dan Yonatan adalah homoseksual. Ketertarikan Daud kepada Batsyeba (2 Sam.
11) mengungkapkan bahwa orientasi seksualnya adalah heteroseksual, bukan homoseksual.
Sebenarnya, dengan menilai jumlah istri-istri yang dia miliki, Daud nampaknya
memilikibanyak heteroseksualitas! “Kasih” Daud kepada Yonatan bukan seksual (erotik)
tetapi kasih persahabatan (philia). Yonatan tidak membuka semua pakaiannya dihadapan

34
Ibid, hlm.331
16

Daud, tetapi hanya baju perang dan jubahnya (1 Sam. 18:4). “ciuman” merupakan budaya
bersamanan yang lazim bagi pria-pria pada zaman itu. Lebih jauh, ciuman itu tidak dilakukan
ketika Yonatan memberi Daud pakaiannya, ciuman itu muncul dalam pasal selanjutnya
(20:41). Akhirnya, emosi yang mereka ungkapkan adalah menanggis (ayat 41), bukan
orgasme. Bagian tersebut berkata, “mereka bercium-ciuman dan bertangis-tangisan”.
Akhirnya Daud dapat menahan diri (20: 41).35 Cerita ini mengajarkan kita, jangan cepat
menilai seseorang, tanpa terlebih dahulu kita mengetahui latarbelakangnya.

III. KESIMIPULAN

Kaum LGBT ada di mana-mana termasuk di dalam gereja Tuhan. Mereka bukan
makhluk asing yang berbahaya dan perlu dimusuhi bahkan dimusnahkan secara tidak
manusiawi. Mereka juga manusia ciptaan Tuhan seperti manusia yang lain, hanya mereka
mengalami kelainan dan penyimpangan karena dosa. Oleh sebab itu, kaum LGBT harus
dirangkul dan diterima dengan tulus sebagai saudara di dalam Tuhan.

LGBT dapat disembuhkan. Kaum LGBT membutuhkan uluran tangan kasih dari
gereja dengan memberikan pelayanan pendampingan pastoral bagi pemulihan mereka. Proses
pendampingan pastoral terhadap kaum LGBT perlu dilakukan secara berhati-hati dan serius
agar mereka merasa nyaman untuk menjalani pendampingan pastoral secara kondusif dan
produktif. Gereja memiliki peran yang sangat penting sebagai agen perubahan bagi orang-
orang yang berdosa termasuk LGBT. Oleh sebab itu, gereja jangan hanya sibuk dengan
perdebatan pro-kontra terhadap eksistensi kaum LGBT, namun gereja seharusnya berperan
secara aktif falam memberikan pelayanan kepada kaum LGBT yang membutuhkan perhatian
dan pertolongan dalam menghadapi pergumulan hidup. Dengan demikian maka gereja akan
menggenapi dan mewujudkan tujuan kedatangan Tuhan Yesus yaitu mencari dan
menyelamatkan yang hilang.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Borong, Robert P., Etika Seksual Kontemporer, Bandung: Ink Media, 2006
Budiardjo, A, Kamus Psikologi, Semarang:Dahara Prize, 1987

35
Ibid, hlm. 338
17

Cannon Justin R., The Bible, Chriostianity and Homosexuality, (Los Angeles: Incusive
Ortodoxy, 2005), 8.
Consiglio, William, Tidak Lagi Homo, Bandung:Yayasan Kalam Hidup, 1998
Crook, John H., EnsiklopediPsikologi dalam Homosexuality andLesbianism, (ed.) Danuyasa
Asihwardji, Jakarta: Arcan,1996
Dobson, James, Mendidik Putra Anda, Jakarta: Immanuel, 2001
Geister, Norman L., Etika Kristen,Malang: SAAT, 2001
Herlianto, AIDS dan Perilaku Seksual, Bandung: Yayasan Kalam hidup, 1995
Horner Tom, Jhonathan loved David-Homosexuality in Biblical Times, (Philadelphia:
Westminster Press, 1999
Ignatius, Living the Truth in Love, (San Fransisko: Ignatius Press, 2015
King, Philip J. & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, Jakarta: BPK-
GM, 2010
Mappiare, Andi A.T, Kamus Istilah konseling dan terapi, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2006
Moberly, Elizabeth R., Homosexuality: A New Christian Ethic, Cambridge: England, 1983
Paterson, Robert M., Kitab Imamat, Jakarta: BPK-GM, 1997
Poerwaderminta, W. J. S., KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 1987
Priaga, Lanang, Menebus Kaum Gay, Jakarta: Andi Tandur, 2003
Sodarsono, Kamus Konseling, Jakarta: Rineke Cipta, 1997
Soekahar, H., Homoseksual: Tinjauan Singkat Berdasarkan Iman Kristen,
Yogyakarta:Andi, 1987
Soekahar, H., Homoseksual: Tinjauan Singkat Berdasarkan Iman Kristiani, Yogyakarta:
Andi, 1987
Subardja, Farida L, Ensiklopedi Nasinal Indonsia, Jakarta: Delta Pamungkas, 1997
Supardi, Sawitri, Pernak-pernik Hubungan Orangtua-Remaja; Anak Bertingkah Orangtua
Mengekang, Jakarta: Kompas,2005
Swartley M Williard, Homosexuality. Biblical Interpretation and Moral Discernment,
(Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2003), 19.
Yarhouse Mark A., Homosexuality and the Christian, (Mineapolis: Bethany House
Publishers, 2010), 200.

Pendampingan Pastoral bagi kaum LGBT. Sttaletheia.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai