membantu orang-orang percaya untuk melaksanakan mandate dari I Petrus 3:1516. Kita dapat mendefinisakannya sebagai ilmu yang mengajar orang Kristen
untuk memberi pertanggungan jawab tentang pengharapannya.
Ada tiga aspek dari apologetika yaitu: apologetika sebagai pembuktian;
apologetika sebagai pembelaan; dan apologetika sebagai penyerangan. Ketiga
jenis apologetika ini berhubungan. Dapat dikatakan jika salah satu dikerjakan
secara benar dan lengkap, akan mencakup dua aspek lainnya.
Seorang apologis haruslah orang yang percaya di dalam Kristus, dan
berkomitmen kepada Ketuhanan Kristus. Beberap ateolohg yang menyampaikan
apologetika hamper seolah-olah keberatan pada komitmen ini. Mereka
mengatakan bahwa waktu kita berargumentasi dengan orang yang tidak percaya,
kita harus berargumentasi berdasarkan kepada kriteria atau standar yang
ditentukan dalam Alkitab. Untuk menentang keharusan tersebut, mereka
mengatakan, hal itu akan menjadi berat sebelah. Kita seharusnya menyampaikan
kepada orang yang tidak percaya sebuah argumentasi yang tidak berat sebelah.
Kita seharusnya menyampaikan kepada orang yang tidak percaya sebuah
argumentasi yang tidak berat sebelah. Argumentasi yang tidak menghasilkan
asumsi religius yang pro atau kontra, melainkan argumentasi yang netral. Dalam
pandangan ini, kita harus menggunakan kriteria atau standar yang dapat diterima
oleh orang yang tidak percaya. Sehingga logika, fakta, pengalaman, alas an, dan
lain-lain menjadi sumber kebenaran. Wahyu Ilahi, terutama Alkitab, secara
sistematis dikesampingkan. Jhon M. Frame mengatakan bahwa pada poin yang
tepat mengenai pokok persoalan, pertanyaan tentang kenetralan, ia percaya bahwa
posisi tersebut tidak alkitabiah. Pemikiran Petrus dalam ayat Alkitab sangat
berbeda. Bagi Petrus, apologetika secara pasti bukan keberatan terhadap seluruh
komitmen kita kepada Ketuhanan Yesus; sebaliknya, situasi apologetika adalah
situasi dimana kita terutama harus menguduskan Kristus sebagai Tuhan, untuk
berbicara dan mendorong yang lain untuk berbicara dan bertindak serupa.
Untuk menyampaikan pada orang yang tidak percaya bahwa kita dapat
meyakinkan dia dengan basis yang netral adalah kebohongan, tetapi klaim
mungkin
dapat
membantu
untuk
menarik
perhatiannya.
Sesungguhnya,
berdaulat. Allah yang meyakinkan rasio dan hati yang tidak percaya. Tetapi ada
tempat bagi apologis. Ia membpunyai tempat sebagai pemberita Injil seperti yang
dinyatakan dalam Roma 10:14.
Apologetika dan pemberitaan Injil bukan merupakan dua hal yang
berbeda. Keduannya bertujuan untuk menarik orang yang tidak percaya kepada
Kristus. Pemeberitaan Injil adalah apologetika karena ia mengarahkan keyakinan.
Apologetika adalah pemberitaan Injil karena ia mengabarkan injil yang mengarah
pada perubahan dan pengudusan. Tetapi kedua aktifitas tersebut mempunyai
persuasif dan penekanan yang berbeda. Apologetika menekankan aspek rasional
dari keyakinan, sedangkan pemberitaan Injil menekankan usaha dari perubahan
ilahi dalam kehidupan manusia. Tetapi jika persuasi rasional adalah dari hati,
maka sama dengan perubahan yang bersifat Ilahi. Allah adalah sang pembuat
keyakinan pengubah tetapu Ia bekerja melalui kesaksian kita.
Roh Kudus adalah Oknum yang mengubah, tetapi secara normal Ia bekerja
melalui Firman. Iman yang dikerjakan oleh Roh Kudus adalah percaya pada berita
dan janji Allah. Roh Kudus adalah penting dan Ia bekerja melalui iluminasi dan
emyakinkan kita untuk mempercayai Firman Tuhan. Selain Roh Kudus,
pemeberita Injil-apologis juga penting. Pekerjaan pemberita Injil-apologis adalah
mengabarkan
Firman,
tidak
hanya
membacanya
saja,
tetapi
Naskah ini menunjukan kepada kita bahwa ada beberapa cara yang
berbeda untuk meringkas Alkitab, yang setidaknya masing-masing memiliki
penekanan-penekanan ini sebagai perspektif-perspektif. Perspektif pertama,
Kekristenan sebagai suatu filsafat; dan kedua, sebagai kabar baik.
Sebagai filsafat, kekristenan membicarakan metafisika (teori tentang sifat
dasar dari kenyataan), epistemology (teori tentang pengetahuan), dan nilai (etika,
estetika, ekonomi, dll).
Empat hal yang paling penting untuk diingat tentang pandang semesta
Kristen adalah: pertama, keabsolutan Pribadi Allah; kedua, perbedaan antara
Pencipta dan ciptaan; ketiga, kedaulatan Allah; dan yang keempat, Tritunggal.
allah adalah baik dan adil secara sempurna. Dia merupakan otoritas utama
diatas makhluk-makhluk ciptaanNya. Kita melihat bahwa Allah juga merupakan
standar utama dari kebenaran dan kebohongan. Melalui etika kita harus melihat
bahwa Allah juga merupakan standar utama dai baik dan jahat, benar dan salah.
Dan Ia telah menyatakan standarNya dalam FirmanNya kepada kita.
Kekristenan adanlah Injil, kabar baik. Penginjilan adalah bagian dari
apologetika. Apologis harus siap untuk menyampaikan Injil. Ia tidak boleh
terlalau terlibat dengan argumentasi, pembuktian, pembelaan dan kritik sehingga
ia lalai untuk memberi orang yang tidak percaya apa yang dibutuhkannya.
Kekristenan baik sebagai filsafat dan sebagai kabar baik, adalah alternative
bagi bijaksana konvensional. Keunikan kekristenan ini adalah keunikan dari
kepentingan apologetika itu sendiri. Keunikan itu sendirinya tidak membawa
kebenaran, tetapi ketika semua alternative lain dibandingkan, semua mengklaim
otonomi (maka menolak kedaulatan Allah), semua mengklaim menemukan yang
ultima bukan di dalam Tuhan tetapi di dalam ciptaan, semua menawarkan solusi
bagi kesulitan kita, tetapi tidak ada yang lebih berarti selain berbuat baik
sesungguhnya, tidak ada perbedaan yang berarti di antara ideology-ideologi
konvensional ini hal ini tentunya masuk akal untuk memberikan prioritas yang
tinggi untuk menyelidiki Kekristenan dan klaimnya. Sikap acuh tak acuh terhadap
keunikan demikian bukanlah sikap yang bijaksana.
Cornelius Van Til mengatakan bahwa ada bukti yang benar-benar pasti
bagi eksistensi Allah dan kebenaran Teisme Kristen. Apa yang dimaksud melalui
pembuktian dalam diskusi semacam ini? Contoh-contoh yang paling
kontroversi dari pembuktian adalah di dalam matematika, dimana proposisiproposisi diperoleh dari kesimpulan-kesimpulan yang logis secara ketat
dari
akan
menyampaikan
kebenaran
tanpa
kompromi,
dan
6)
akan
membawa pada suatu kesempatan untuk memberitakan Injil. Tetapi dalam teologi
frase tersebut mempunyai arti yang agak lebih bersifat teknis.
Bagaimana kita dapat mengatkan apakah seorang apologis sedang
menggunakan sebuah titik pertemuan yang benar atau yang salah? Ketika seorang
berargumentasi Penyebab, karena itu Allah, apakah ia sedang mengacu pada
dalih orang tidak percaya berkenaan dengan pengetahuannya yang bersifat
otonomi, atau apakah ia sedang berbicara pada pengetahuan tentang kebenaran
yang ditindas oleh orang yang tidak percaya? Tidak mudah untuk mengatakannya,
tanpa mengetahu lebih lanjut tentang pekerjaan apologis itu. Tentu saja jika ia
mengatakan kepada kita, maka kita tahu, asumsikan bahwa ia dapat dipercaya.
Jika kita tahu tentang sesuatu mengenai pandangan epismtemologinya, setidaknya
kita bisa membuat suatu perkiraan yang baik. Dapatkah kita mengatakannya
melalui apa yang ia katakana pada orang yang tidak percaya? Ya, jika ia
mengatakan kepada orang yang tidak percaya apa yang mjerupakan titik
pertemuannya. Tetapi mungkin ia tidak pernah melakukan hal itu.
Mungkin tidak lagi dapat dibedakan antara apologetika presuposisional
dangan apologetika tradisional hanya melalui hal-hal yang eksternal melalui
bentuk argumentasi, klaim secara eksplisit mengenai kepastian atau kemungkinan,
dll. Mungkin presuposisionalisme lebih merupakan suatu sikap hati, suatu kondisi
spiritual, daripada suatu yang dapat dideskripsikan dengan mudah, fenomena
empiris. Menyebutnya spiritual tentu saja tidak berarti mengataknnya tidak
penting sangat bertentangan. Kebutuhan kita yang tersebar dalam apologetika
selalu adalah spiritual pada pusatnya. Dan presuposisionalisme dari hati kita
bukan sesuatu yang samar-samar dan tidak dapat ditentukan. Presuposisionalisme
kita berbicara tentang (1) sebuah pengertian yang jelas tentang dimana kesetiankesetian tersebut mempengaruhi epistemology kita, (2) sebuah penentuan di atas
semua untuk menyampaikan ajaran Alkitab yang lengkap dalam apologetika tanpa
kompromi, dalam kemenarikannya dan dalam ketegasannya, (3) terutama suatu
penentuan untuk menyampaikan Tuhan sebagai yang berdaulat penuh, sebagai
sumber dari semua arti, kejelasan, kerasionalan, sebagai sebagai otoritas ultimat
bagi semua pemikiran manusia, dan (4) sebuah pemahaman tentang pengetahuan
berdoa. Dengan kata lain, mereka sesungguhnya seperti ateis, bukan seakan-akan
mereka berada di suatu posisi separuh jalan antara ateis dan teis.
Terdapat beberapa pengecualian. Saya sangat ingin membiarkan pintu
tetap terbuka untuk kasus-kasus ini dimana Roh Kudus memimpin seseorang
kepada
Kristus
yang
belum
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan
mereka tidak menambahkan banyak pada kesaksian Alkitab mengenai kejadiankejadian itu sendiri.
Jika eksistensi dan beberapa sifat Allah jelas terlihat dalam ciptaan,
berita Injil tidak Nampak di dunia seperti itu. Seorang pemberita Injil diperlukan
untuk memberitakan Injil.
Tentu saja ini tidak berarti bahwa kita semata-mata harus menerima
tanggung
jawab
Alkitabiah
dengan
iman
yang
buta.
Alkitab
sendiri