Steve
Hendra. Surabaya: Momentum, 2000. 318 hal.
Vincent Tanzil
Tanggapan
Tepat dikatakan bahwa buku ini adalah yang terbaik mewakili pandangan apologetika
prasuposisional. Penguasaan Frame terhadap literatur Van Til sangat menolong untuk
mengklarifikasi dan mengoreksi banyak kesalahpahaman orang mengenai tokoh reformed ini.
Selain itu Frame mampu menjabarkan pandangan Van Til dengan jelas dan persuasif (mungkin
ketimbang Van Til sendiri, mengingat banyak orang yang salah tafsir terhadap Van Til). Tidak
hanya membeo pandangan Van Til, Frame juga memiliki kritik terhadap uraian Van Til mengenai
apologetika. Karena itulah untuk memahami Van Til beserta dengan revisinya buku ini sangat
direkomendasikan. Terlebih penting dari keakuratan Frame dengan pemikiran Van Til adalah
pertimbangan-pertimbangan Alkitabiah yang melimpah. Frame tidak bosan-bosan untuk
menunjukkan bahwa pandangannya ditarik dari Alkitab sebagai firman Allah, dan karenanya
menjadi norma bagi setiap orang percaya. Argumennya bahwa prasuposisi netral adalah
kemustahilan juga sangat penting dan memerlukan penghargaan besar. John Frame memang paling
layak untuk menjadi representasi pandangan prasuposisionalisme yang akurat dan
RESENSI BUKU: APOLOGETIKA BAGI KEMULIAAN ALLAH
komprehensif.1 Sekalipun demikian ada beberapa masukan dan evaluasi mengenai buku Frame
secara khusus, dan kepada pandangan prasuposisionalisme secara umum.
Frame berargumentasi bahwa Alkitab harus menjadi dasar utama (bukan tunggal) dalam seseorang
melakukan apologetika. Karena itu ia menjabarkan bahwa penggunaan bukti-bukti jangan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap konsep sola scriptura, malah harus dianggap sebagai aplikasi dari
prinsip tersebut (hal. 34). Menarik bahwa Frame meyakini bahwa orang non-Kristen seharusnya
menerima Alkitab, namun “tentu saja ia tidak menerima.” Bahkan ia mengatakan bahwa “hampir
setiap orang tidak percaya yang cerdas saat ini akan membubarkannya dengan mudah dengan jalan
menolak otoritas Alkitab yang menjadi dasarnya. Siklusnya terlalu sempit” (hal. 80-81). Karena
itulah ia menggunakan argumentasi yang biasa digunakan kaum tradisional, yakni berargumen
melalui bukti-bukti.
Permasalahan ini akan lebih kelihatan dalam menghadapi agama wahyu yang lain.2 Bagaimana
apabila prasuposisionalisme ini dipertemukan dengan agama wahyu lainnya (Yahudi, Islam).
Mereka juga memiliki dasar Allah berpribadi, tunggal, dan absolut. Mereka tentunya tidak bisa
dibantah dengan argumen transendental! Semua argumen yang disampaikan Frame, bahwa Allah
bermoral pasti menghendaki untuk menghadirkan perkara-Nya kepada manusia (hal. 157), bahwa
Alkitab PL adalah dokumen kovenan Allah dengan manusia (hal 162-163), bisa diaplikasikan
kepada agama Yahudi ataupun Islam (dengan dugaan bahwa kitab suci Yahudi dan Kristen salah
dan Quran adalah wahyu ilahi tentunya!). Sebab mereka adalah sesama pemeluk Allah yang
berfirman dalam bentuk tulisan. Argumen terakhir Frame adalah bahwa kita tidak akan dapat
mempercayai Alkitab apabila bukan karena penerangan Roh Kudus (hal. 175) dan pengertian
“secara benar” (hal. 179) yang juga merupakan karya Roh Kudus (hal. 190). Menurut saya ini jelas
bukan argumentasi yang kuat kepada Islam atau Yahudi, sebab mereka juga dapat melakukan
klaim yang serupa bahwa kitab suci mereka datang dari Allah yang mewahyukan diri-Nya dan
orang yang bisa percaya kepada kitab suci adalah yang ditolong oleh Allah. Memang Roh
Kuduslah yang mencelikkan mata seseorang untuk memegang Alkitab
1 Seperti yang dilakukannya dalam John M. Frame, “Presuppositional Apologetics” dalam Five
Views on Apologetics (ed. Steven B. Cowan; Grand Rapids: Zondervan, 2000) 207-231.
2 Frame menyadari bahwa ia tidak membahas perbedaan agama-agama wahyu ini secara panjang
lebar. Ia hanya mengklasifikasikan Islam dan Yahudi sebagai “distorsi dari berita Alkitab” lalu
menyatakan bahwa “memerlukan buku yang lebih panjang untuk memperdebatkan masalah-
masalah tersebut secara mendetail” (hal. 157). Padahal inilah yang menjadi permasalahan utama
apologetika prasuposisional, seperti yang dilihat juga oleh Habermas dalam kritiknya terhadap
pandangan Frame. Lih. Gary R. Habermas, “An Evidentialist Response” dalam
Five Views 244. Kegagalan menjawab permasalahan ini merupakan hal yang fatal untuk metode
ini.
CONSILIUM: JURNAL TEOLOGI DAN PELAYANAN
sebagai otoritas tertinggi, tetapi ini tidak menjelaskan pernyataan bahwa ada “bukti rasional” dalam
memegang otoritas Alkitab. Bagaimana pula apabila permasalahan yang timbul adalah soal
penafsiran dari teks-teks Alkitab yang berbeda (antara penafsiran Kristen dan Yudaisme terhadap
PL, misalnya). Frame tidak bisa berhenti dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah
dan karena itu tidak mungkin bersalah! Tampaknya Frame membingungkan antara argumentasi
rasional untuk sebuah proposisi kebenaran dengan proposisi kebenaran itu sendiri. Apologetika
adalah argumentasi untuk menunjukkan sebuah proposisi sebagai benar dan pernyataan bahwa
Alkitab adalah firman Allah itu menuntut penjabaran lebih lanjut—hal yang sudah dikerjakan oleh
para apologis tradisional, namun tidak dikerjakan oleh prasuposisionalisme.
Akhirnya, kritik Habermas bahwa metode Frame ini tidak lengkap saya kira sangat tepat.3
Diperlukan lebih dari sebuah prasuposisi Kristen—betapapun pentingnya hal itu—dalam
apologetika, dan itulah yang tidak ditemukan dalam tradisi prasuposisionalisme. Frame menyadari
hal ini, tapi ia mengatakan “so what?”4 Ia menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk
mempersatukan gereja Tuhan. Ia tidak ingin membuat faksi-faksi dalam kekristenan menjadi
bertambah banyak. Ia menyadari juga bahwa argumentasi-argumentasinya masih bisa dibantah.
Namun, apabila para apologis Kristen mulai mengaplikasikan sola scriptura dengan sungguh-
sungguh, maka tujuan gerakan prasuposisionalisme sudah tercapai. Itulah harapan Frame yang
terutama. Apakah Van Til dan Van Tilian lainnya akan setuju atau tidak itu masalah lain.