Anda di halaman 1dari 7

John M. Frame, Apologetika bagi Kemuliaan Allah. Terj. R. BG.

Steve
Hendra. Surabaya: Momentum, 2000. 318 hal.
Vincent Tanzil

Bab I—Apologetika: Dasar-dasar.


John M. Frame membuka bukunya dengan memberikan definisi dan dasar bagi pengantarnya
terhadap disiplin apologetika. Menurutnya apologetika adalah “ilmu yang mengajarkan orang
Kristen bagaimana memberi pertanggungan jawab bagi pengharapannya.” Ia membagi apologetika
menjadi pembelaan, pembuktian, dan penyerangan, di mana masing- masing merupakan satu
kesatuan yang dipandang menurut perspektif yang berbeda. Pembagian ini juga menjadi subtema
besar dalam pengulasannya kemudian. Setelah itu, Frame berargumen bahwa prasuposisi yang
netral merupakan sebuah kemustahilan; karena itu seorang apologis Kristen wajib memegang
prasuposisi Kristen baik dalam stan yang diambilnya ataupun argumentasi yang diberikan.
Proposisi ini bukanlah sesuatu yang tidak adil ataupun memutus dialog antara orang percaya dan
tidak percaya, demikian klaimnya. Apologetika juga merupakan bagian dari penginjilan, hanya saja
penekanan yang diberikan berbeda. Ia menjelaskan bahwa prinsip sola scriptura yang menjadi
prasuposisinya tidak meniadakan kepentingan wahyu umum dalam argumentasi, malahan
menggunakan bukti-bukti merupakan “pelaksanaan” dari prinsip tersebut. Terakhir, ia memberikan
beberapa “bahaya” dari melakukan apologetika, yakni kecenderungan untuk melenceng dari
ortodoksi ataupun menjadi sombong.

Bab II—Berita yang Dibawa oleh Apologis


Dalam bagian ini Frame memajukan kekristenan sebagai suatu filsafat dan kabar baik. Maksudnya
sebagai filsafat adalah bahwa kekristenan memiliki cara pandang terhadap dunia secara
menyeluruh. Dengan kata lain, kekristenan juga berbicara mengenai metafisika, epistemologi, dan
nilai-nilai seperti yang ditawarkan oleh pandangan-pandangan dunia lainnya. Metafisika Kristen
menganut bahwa Allah adalah pribadi yang absolut, perbedaan antara Pencipta dan ciptaan,
kedaulatan Allah, dan tritunggal. Uraian berikutnya adalah pemaparan dari Alkitab dan
penyerangan terhadap wawasan dunia lain yang bertentangan dengan kekristenan. Ia ingin
menyatakan bahwa semua bidat dan agama-agama dunia sebenarnya sedikit banyak merupakan
penyimpangan dari asumsi wawasan dunia Kristen yang benar ini. Kritiknya adalah apabila
wawasan dunia lain tidak meninggalkan “otonomi” pemikiran mereka dan kembali pulang kepada
wawasan dunia Kristen, maka mereka tidak akan sanggup membangun sebuah wawasan dunia
yang konsisten dan koheren.
Di akhir bab, Frame mengusung bahwa kekristenan bukan sekadar filsafat yang harus
dipertahankan dan diajukan kebenarannya, namun sebuah solusi bagi permasalahan dunia ini.
Kekristenan menawarkan keselamatan. Seorang apologis Kristen, menurut Frame, tidak boleh
melupakan aspek penting dari kekristenan ini sehingga lupa menyampaikannya dalam bentangan
argumen pembuktian, pembelaan, dan penyerangan yang sedang diupayakannya. Kekristenan tidak
hanya unik dan masuk akal, tetapi juga menyelamatkan.

Bab III—Apologetika Sebagai Pembuktian: Beberapa Pertimbangan Metodologis


Bab ini berbicara mengenai bukti-bukti yang ada bagi kekristenan dan metodologi penggunaannya.
Frame percaya bahwa kekristenan memiliki bukti yang kuat dan kokoh, namun tidak selalu
persuasif bagi mereka yang mendengarkannya. Karena itulah ia mengusung bahwa setiap apologis
harus mempertimbangkan “variabel pribadi” dari orang yang ingin mereka berikan pertanggungan
jawab. Berikutnya Frame mengupas argumentasi transendental dari Van Til untuk meletakkannya
sejajar dengan argumentasi bagi kekristenan tradisional. Bagian penting ini adalah upaya Frame
untuk menjembatani perdebatan tajam mengenai metodologi apologetika kontemporer. Akhirnya,
Frame menyimpulkan bahwa prasuposisionalisme merupakan masalah sikap hati, apabila
didefinisikan seperti yang dilakukannya dalam buku ini. Perbedaan apologetika tradisional dan
prasuposisional tidaklah harus setajam yang nampak.

Bab IV—Apologetika Sebagai Pembuktian: Eksistensi Allah


Bagian ini merupakan demonstrasi Frame dari argumen-argumen tradisional mengenai keberadaan
Allah dari perspektif prasuposisionalisme. Ia menyatakan bahwa tidak ada satu argumentasi
tradisional yang dapat berdiri sendiri untuk membuktikan keberadaan Allah. Ia lebih condong
untuk menumpuk argumentasi yang ada dengan sebuah prasuposisi Kristen, sehingga argumen-
argumen tersebut terkumpul menjadi susunan balok rancang bangun wawasan dunia Kristen.
Frame memulai dengan mendefinisikan secara tepat mengenai agnostisisme, sehingga jalannya
argumen yang ia sampaikan dapat mendarat dengan aman di kawasan pemikiran ateisme. Segera
setelah itu ia memaparkan argumen-argumen tradisional tersebut.
sambil memperlihatkan keterkaitan satu argumen dengan argumen yang lainnya. Akhirnya, ia
menyimpulkan bahwa argumen-argumen yang ada bermanfaat sejauh mereka dikaitkan dengan
argumen-argumen lainnya dan prasuposisi Kristen.

Bab V—Apologetika Sebagai Pembuktian: Membuktikan Injil


Setelah memaparkan pembuktian eksistensi Allah, Frame melanjutkan dengan memberikan
pembuktian bagi Injil, atau lebih tepatnya keseluruhan Alkitab. Frame berangkat dari doktrin
Alkitab adalah firman Allah yang mengimplikasikan setiap pernyataan Alkitab adalah ucapan
Allah yang jelas dan berotoritas. Titik tolak Frame adalah Allah berpribadi absolut tersebut
menyatakan kehendak-Nya secara jelas kepada umat-Nya, supaya umat-Nya mampu untuk
memahami dan melakukan kehendak-Nya. Tempat penyataan Allah tersebut juga tidak diharapkan
“kabur atau diperdebatkan di antara umat Allah.” Tempat tersebut adalah Alkitab yang adalah
firman Allah. Frame menekankan bahwa bukan hanya kita harus percaya kepada Kristus, namun
juga percaya kepada Alkitab. Berikutnya ia menguraikan pandangan- pandangan yang bertentangan
dengan klaim yang dibuatnya. Ia membahas kritikisme Alkitab yang bersumber dari prasuposisi
yang tidak Alkitabiah, lalu merangkai argumentasi positifnya mengenai nubuat dan mukjizat
Alkitab. Kesimpulannya sama dengan asumsinya, hanya saja lingkaran prasuposisi tersebut telah
diperluas dengan argumen-argumen lainnya. Bukti yang ada sudah jelas dari firman Allah, namun
mereka yang sanggup mempercayainya hanyalah yang hati dan pikirannya dicelikkan oleh Roh
Kudus.

Bab VI & VII—Apologetika Sebagai Pembelaan: Problem Kejahatan, I & II


Bagian ini dimulai Frame dengan menegaskan bahwa problem kejahatan tidak akan memiliki
jawaban yang sempurna pada masa sekarang ini. Memang jawaban terhadap permasalahan ini tetap
penting, yakni untuk memastikan bahwa kita tidak sedang menyembah Allah yang salah, namun
Allah yang benar yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Tetapi, menurut Frame, banyak jawaban yang
diberikan orang Kristen untuk permasalahan ini tidak cukup menjawab, malahan dapat
menimbulkan anggapan yang salah. Frame mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan jawaban
yang ada selama ini, beserta dengan kritik pribadinya untuk setiap pandangan pada bab VI. Dari
bunga rampai jawaban yang ada ia menemukan bahwa
argumen ad hominem merupakan jawaban yang Alkitabiah, meskipun belum memenuhi kriteria
sebuah jawaban yang cukup.
Bab VII merupakan argumentasi positif Frame yang berangkat dari teologi reformed. Ia
menekankan berulang-ulang bahwa Allah tidak pernah berhutang kepada kita sebuah penjelasan
komplit untuk tindakan-tindakan-Nya, termasuk masalah kejahatan. Keraguan dan kebingungan
mengenai masalah kejahatan bukanlah dosa, namun ketika seseorang mulai berbalik dan menuduh
Allah, maka itu bisa dikatakan sebagai dosa pemberontakan. Penjelasan yang dapat diberikan
Frame dari Alkitab adalah bahwa Allah berkuasa atas sejarah dan kejahatan bukanlah finalitas dari
sejarah dunia ini. Memang jawaban ini tidak menyelesaikan permasalahan seperti genosida dan
kelaparan, namun Alkitab menawarkan sebuah kisah bahwa semua kejahatan yang sulit diterima
tersebut akan diselesaikan oleh Allah dengan hikmat-Nya yang luar biasa. Tawaran pastoral Allah
kepada mereka yang menderita adalah untuk taat dan percaya kepada kedaulatan Allah. Frame
melanjutkan dengan menyatakan bahwa kejahatan selalu memiliki tujuan kebaikan yang lebih
besar, yakni tujuan Allah itu sendiri. Jawaban-jawaban yang ditawarkan selama ini terlalu
humanistis dan tidak Alkitabiah, menurut Frame, sebab mereka tidak mengasumsikan bahwa tujuan
dunia ini diciptakan dan berlangsung adalah untuk menunjukkan kemuliaan Allah. Akhirnya,
Frame menggariskan perubahan hati sebagai langkah yang Tuhan berikan untuk menuju sebuah
teodise.

Bab VIII—Apologetika Sebagai Serangan: Kritik Terhadap Ketidakpercayaan


Apakah yang akan diusung oleh orang yang tidak percaya apabila mereka tidak memegang
kekristenan? Bagi Frame mereka hanya memiliki dua opsi, yakni ateisme dan pemberhalaan.
Kedua-duanya adalah bentuk dari otonomi dan penolakan wahyu Allah dan Frame berupaya
membantah kedua alternatif ini melalui bab ini. Dua alternatif ini dijabarkan menjadi tiga model
yakni relativisme ateis, rasionalisme pemberhalaan, dan pemberhalaan ateistis. Setelah selesai
menjabarkan ketiganya, Frame menutup dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang perlu diajukan
ketika menemukan orang-orang yang menganut ketiga macam ketidakpercayaan ini.
CONSILIUM: JURNAL TEOLOGI DAN PELAYANAN

Bab IX—Berbicara Dengan Orang Yang Tidak Dikenal; Lampiran A & B


Bagian ini tidak memaparkan suatu hal yang baru dari apologetika prasuposisional, namun lebih
merupakan pengaplikasian apa yang sudah dibahas di sepanjang buku ini. Secara umum tidak ada
yang perlu dirangkum dari bab ini.
Apendiks yang diberikan berupaya untuk menjawab kritik terhadap prasuposisionalisme, secara
khusus melalui buku Classical Apologetics dari John Gerstner, R.C. Sproul, dan Arthur Lindsley.
Selain evaluasi buku ini ada respons dari Jay Adams, namun tidak terlalu signifikan secara
keseluruhan. Secara umum problem yang diusung oleh apologetika Ligonier (begitu Frame
menyebut mereka) sudah dijawab pada bab III, tetapi bagian ini lebih komprehensif dalam
pembahasan sumber-sumber dari Van Til. Frame akhirnya menemukan bahwa apologetika
Ligonier dan Van Tillian memiliki kedekatan yang sangat. Sayangnya, menurut Frame, Ligonier
harus bersikap tidak konsisten dalam menggunakan metode mereka, sementara Van Til tidak.
Perbedaan ini didasari oleh bagaimana seseorang mengaplikasikan konsep otonomi dalam
membangun argumentasi apologetika. Masalah lainnya adalah mengenai kekonsistenan metode
yang satu dengan yang lainnya dengan asumsi-asumsi Calvinistik yang dibawa oleh kedua metode
yang mengaku berdasar dari iman reformed ini.

Tanggapan
Tepat dikatakan bahwa buku ini adalah yang terbaik mewakili pandangan apologetika
prasuposisional. Penguasaan Frame terhadap literatur Van Til sangat menolong untuk
mengklarifikasi dan mengoreksi banyak kesalahpahaman orang mengenai tokoh reformed ini.
Selain itu Frame mampu menjabarkan pandangan Van Til dengan jelas dan persuasif (mungkin
ketimbang Van Til sendiri, mengingat banyak orang yang salah tafsir terhadap Van Til). Tidak
hanya membeo pandangan Van Til, Frame juga memiliki kritik terhadap uraian Van Til mengenai
apologetika. Karena itulah untuk memahami Van Til beserta dengan revisinya buku ini sangat
direkomendasikan. Terlebih penting dari keakuratan Frame dengan pemikiran Van Til adalah
pertimbangan-pertimbangan Alkitabiah yang melimpah. Frame tidak bosan-bosan untuk
menunjukkan bahwa pandangannya ditarik dari Alkitab sebagai firman Allah, dan karenanya
menjadi norma bagi setiap orang percaya. Argumennya bahwa prasuposisi netral adalah
kemustahilan juga sangat penting dan memerlukan penghargaan besar. John Frame memang paling
layak untuk menjadi representasi pandangan prasuposisionalisme yang akurat dan
RESENSI BUKU: APOLOGETIKA BAGI KEMULIAAN ALLAH

komprehensif.1 Sekalipun demikian ada beberapa masukan dan evaluasi mengenai buku Frame
secara khusus, dan kepada pandangan prasuposisionalisme secara umum.
Frame berargumentasi bahwa Alkitab harus menjadi dasar utama (bukan tunggal) dalam seseorang
melakukan apologetika. Karena itu ia menjabarkan bahwa penggunaan bukti-bukti jangan dianggap
sebagai pelanggaran terhadap konsep sola scriptura, malah harus dianggap sebagai aplikasi dari
prinsip tersebut (hal. 34). Menarik bahwa Frame meyakini bahwa orang non-Kristen seharusnya
menerima Alkitab, namun “tentu saja ia tidak menerima.” Bahkan ia mengatakan bahwa “hampir
setiap orang tidak percaya yang cerdas saat ini akan membubarkannya dengan mudah dengan jalan
menolak otoritas Alkitab yang menjadi dasarnya. Siklusnya terlalu sempit” (hal. 80-81). Karena
itulah ia menggunakan argumentasi yang biasa digunakan kaum tradisional, yakni berargumen
melalui bukti-bukti.
Permasalahan ini akan lebih kelihatan dalam menghadapi agama wahyu yang lain.2 Bagaimana
apabila prasuposisionalisme ini dipertemukan dengan agama wahyu lainnya (Yahudi, Islam).
Mereka juga memiliki dasar Allah berpribadi, tunggal, dan absolut. Mereka tentunya tidak bisa
dibantah dengan argumen transendental! Semua argumen yang disampaikan Frame, bahwa Allah
bermoral pasti menghendaki untuk menghadirkan perkara-Nya kepada manusia (hal. 157), bahwa
Alkitab PL adalah dokumen kovenan Allah dengan manusia (hal 162-163), bisa diaplikasikan
kepada agama Yahudi ataupun Islam (dengan dugaan bahwa kitab suci Yahudi dan Kristen salah
dan Quran adalah wahyu ilahi tentunya!). Sebab mereka adalah sesama pemeluk Allah yang
berfirman dalam bentuk tulisan. Argumen terakhir Frame adalah bahwa kita tidak akan dapat
mempercayai Alkitab apabila bukan karena penerangan Roh Kudus (hal. 175) dan pengertian
“secara benar” (hal. 179) yang juga merupakan karya Roh Kudus (hal. 190). Menurut saya ini jelas
bukan argumentasi yang kuat kepada Islam atau Yahudi, sebab mereka juga dapat melakukan
klaim yang serupa bahwa kitab suci mereka datang dari Allah yang mewahyukan diri-Nya dan
orang yang bisa percaya kepada kitab suci adalah yang ditolong oleh Allah. Memang Roh
Kuduslah yang mencelikkan mata seseorang untuk memegang Alkitab
1 Seperti yang dilakukannya dalam John M. Frame, “Presuppositional Apologetics” dalam Five
Views on Apologetics (ed. Steven B. Cowan; Grand Rapids: Zondervan, 2000) 207-231.
2 Frame menyadari bahwa ia tidak membahas perbedaan agama-agama wahyu ini secara panjang
lebar. Ia hanya mengklasifikasikan Islam dan Yahudi sebagai “distorsi dari berita Alkitab” lalu
menyatakan bahwa “memerlukan buku yang lebih panjang untuk memperdebatkan masalah-
masalah tersebut secara mendetail” (hal. 157). Padahal inilah yang menjadi permasalahan utama
apologetika prasuposisional, seperti yang dilihat juga oleh Habermas dalam kritiknya terhadap
pandangan Frame. Lih. Gary R. Habermas, “An Evidentialist Response” dalam
Five Views 244. Kegagalan menjawab permasalahan ini merupakan hal yang fatal untuk metode
ini.
CONSILIUM: JURNAL TEOLOGI DAN PELAYANAN

sebagai otoritas tertinggi, tetapi ini tidak menjelaskan pernyataan bahwa ada “bukti rasional” dalam
memegang otoritas Alkitab. Bagaimana pula apabila permasalahan yang timbul adalah soal
penafsiran dari teks-teks Alkitab yang berbeda (antara penafsiran Kristen dan Yudaisme terhadap
PL, misalnya). Frame tidak bisa berhenti dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah firman Allah
dan karena itu tidak mungkin bersalah! Tampaknya Frame membingungkan antara argumentasi
rasional untuk sebuah proposisi kebenaran dengan proposisi kebenaran itu sendiri. Apologetika
adalah argumentasi untuk menunjukkan sebuah proposisi sebagai benar dan pernyataan bahwa
Alkitab adalah firman Allah itu menuntut penjabaran lebih lanjut—hal yang sudah dikerjakan oleh
para apologis tradisional, namun tidak dikerjakan oleh prasuposisionalisme.
Akhirnya, kritik Habermas bahwa metode Frame ini tidak lengkap saya kira sangat tepat.3
Diperlukan lebih dari sebuah prasuposisi Kristen—betapapun pentingnya hal itu—dalam
apologetika, dan itulah yang tidak ditemukan dalam tradisi prasuposisionalisme. Frame menyadari
hal ini, tapi ia mengatakan “so what?”4 Ia menyatakan bahwa tujuan utamanya adalah untuk
mempersatukan gereja Tuhan. Ia tidak ingin membuat faksi-faksi dalam kekristenan menjadi
bertambah banyak. Ia menyadari juga bahwa argumentasi-argumentasinya masih bisa dibantah.
Namun, apabila para apologis Kristen mulai mengaplikasikan sola scriptura dengan sungguh-
sungguh, maka tujuan gerakan prasuposisionalisme sudah tercapai. Itulah harapan Frame yang
terutama. Apakah Van Til dan Van Tilian lainnya akan setuju atau tidak itu masalah lain.

3 Lih. Habermas “An Evidentialist Response” 236-248.


4 Frame, “A Presuppositional Apologist’s Closing Remarks” dalam Five Views 358.

Anda mungkin juga menyukai