Anda di halaman 1dari 23

Tugas Antropologi

“Kebudayaan Palangkaraya”

Disusun oleh :

Yindah Kristina

17518432

1PA25
PALANGKA RAYA

1. Asal –usul Palangkaraya

Kota Palangka Raya atau Palangkaraya adalah sebuah kota sekaligus merupakan ibu
kota Provinsi Kalimantan Tengah. Dahulu dikenal dengan Palangkaraja (1957-1972). Kota
ini memiliki luas wilayah 284.250 Ha dan berpenduduk sebanyak 220.962 jiwa dengan
kepadatan penduduk rata-rata 92.067 jiwa tiap km² (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).
Palangka Raya terdiri dari kata “Palangka dan Raya“. Palangka Raya Bulau berasal dari suatu
wadah Palangka (bagian muka dan belakang, melukiskan bentuk gambar Burung Elang) yang
menurut kepercayaan leluhur/nenek moyang suku dayak, dipakai oleh Mahatala Langit
(Tuhan Yang Maha Esa) untuk menurunkan manusia pertama ke atas dunia. Kota Palangka
Raya adalah kota dengan luas daerah terluas ke 1 di Indonesia. Dapat dilihat sebagai kota
yang memiliki 3 wajah; wajah perkotaan, wajah pedesaan dan wajah hutan.

Provinsi Kalimantan Tengah terbentuk melalui proses yang panjang. Sejarah


pembentukan Pemerintahan Kota Palangka Raya adalah bagian integral dari pembentukan
Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957,
lembaran Negara Nomor 53 berikut penjelasannya (Tambahan Lembaran Negara Nomor
1284) berlaku mulai tanggal 23 Mei 1957, yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1958, Parlemen Republik Indonesia tanggal 11 Mei 1959 mengesahkan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, yang menetapkan pembagian Provinsi Kalimantan
Tengah dan Palangka Raya sebagai Ibukotanya.
2. Letak Geografis Palangkaraya

Kota Palangka Raya secara geografis terletak pada 113˚30`- 114˚07` Bujur Timur dan
1˚35`- 2˚24` Lintang Selatan, dengan luas wilayah 2.678,51 Km2 (267.851 Ha) dengan
topografi

terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Secara administrasi
Kota Palangka Raya berbatasan dengan;

Sebelah Utara : Dengan Kabupaten Gunung Mas

Sebelah Timur : Dengan Kabupaten Pulang Pisau

Sebelah Selatan: Dengan Kabupaten Pulang Pisau

Sebelah Barat : Dengan Kabupaten Katingan

Curah hujan tahunan di wilayah Kota Palangka Raya selama 10 tahun terakhir (1997-
2006) berkisar dari 1.840—3.117 mm dengan rata-rata sebesar 2.490 mm. Kelembaban udara
berkisar antara 75—89% dengan kelembaban rata-rata tahunan sebesar 83,08%. Temperatur
rata-rata adalah 26,880 C, minimum 22,930 C dan maksimum 32,520 C. Sedangkan tanah-
tanah yang terdapat di wilayah Kota Palangka Raya dibedakan atas tanah mineral dan tanah
gambut (Histosols). Berdasarkan taksonomi tanah (soil survey staff, 1998) tanah–tanah
tersebut dibedakan menjadi 5 (lima) ordo yaitu histosol, inceptosol, entisol, spodosol dan
ultisol.

Luas wilayah Palangka Raya adalah 284.250 Ha. Wilayah Kota Palangka Raya terdiri
dari 5 (lima) Kecamatan yaitu Kecamatan Pahandut, Kecamatan Sabangau, Kecamatan Jekan
Raya, Kecamatan Bukit Batu dan Kecamatan Rakumpit. Untuk Kriteria Penataan Kota, Kota
Palangka Raya memiliki angka presentase tertinggi dipersepsikan oleh warganya memiliki
penataan kota yang baik, yaitu sebanyak 51 %. Kota Palangka Raya meskipun masih jauh
dari ukuran ideal, namun memiliki kondisi penataan kota yang cukup baik. Dari sudut
pandang lain dapat dikatakan kapasitas akomodasi ruang Kota Palangkaraya terhadap
pertumbuhan penduduk masih memadai. Sarana kota Palangka Raya sendiri, seperti sarana
pelayanan kesehatan kota Palangka Raya, data pada 2009; terdapat sejumlah Rumah sakit
(umum dan swasta) , Posyandu kurang lebih 128 Posyandu, Puskesmas (pembantu dan
keliling) berjumlah kurang lebih 68 Puskesmas, Apotek sejumlah 53 Apotek, dan terdapat
pula beberapa tempat Rumah Bersalin, Balai Pengobatan, Balai Praktek Dokter perorangan.

Prasarana jalan hingga tahun 2009 tercatat sepanjang 884,52 km, dengan jenis
permukaan aspal sepanjang 454,83 km, Bila dilihat dari kondisinya, jalan dengan kondisi
baik sepanjang 316,36 km, sedang 146,76 km, rusak 198,09 km dan rusak berat 223,32.
Sedangkan untuk kelas jalan, jalan kelas I sepanjang 60,36 km, kelas II 35,05 km, kelas IIIA
92,55 km, kelas IIIB 140,96, kelas IIIC 494,15 km, kelas tidak dirinci 61,45 km.Pada moda
transportasi udara, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan berbagai sarana, fasilitas,
dan pelayanan yang ada di Bandar Udara Tjilik Riwut, di antaranya yaitu dengan
memperbaiki fasilitas ruang tunggu (Penambahan Ruang Tunggu VIP) dan penambahan
panjang landasan pacu yang ada.

Sistem transportasi sungai adalah moda transportasi yang bersifat tradisionil dan sudah
dimanfaatkan oleh penduduk sejak dahulu, hal ini didukung oleh kondisi geografis wilayah
Kalimantan Tengah yang banyak dilalui sungai-sungai. Desa-desa yang menjadi bagian
wilayah Kota Palangka Raya sebagian berada di tepi sungai sehingga bila transportasi darat
mengalami gangguan akibat kondisi jalan yang kurang baik disaat musim hujan, maka
transportasi sungai menjadi pilihan oleh sebagian penduduk. Jika kita berbicara mengenai
perkembangan suatu kota, tentunya tidak terlepas dari kehidupan sosial dan budaya
masyarakatnya. Di Kota Palangka Raya, terdapat adat dan budaya khas seperti Upacara
keagamaan, Kontes Budaya, nyanyian adat, tarian, dan lainnya.

3. Kebudayaan di Palangkaraya

A. Tari Manasai

Tari Manasai adalah salah satu tarian penyambutan tamu yang datang ke kalimantan
tengah. Tarian ini biasa di sebut sebagai tarian selamat datang dari kalimantan tengah. Dalam
tarian ini melambangkan kegembiraan masyarakat dalam menyambut para tamu atau
wisatawan yang datang.

Dalam pertunjukan Tari Manasai biasanya di lakukan oleh pria dan wanita, dengan
barisan yang berselang seling dalam satu lingkaran. Tarian ini merupakan salah satu tarian
yang interaktif dengan mengajak para penonton ikut menari. Siapapun boleh bergabung
dalam tari tersebut, dari yang muda sampai yang tua boleh bergabung dalam lingkaran tari
tersebut. Dengan bergabungnya para penonton akan membuat lingkaran tersebut semakin
besar. Sehingga para penonton yang ikut menari akan hanyut dalam kemeriahan tarian
tersebut.

Gerakan dalam Tari Manasai sebenarnya sangat sederhana dan menyenangkan.


Pertama di mulai dengan mengahadap kedalam lingkaran, kemudian berputar ke arah kanan
sambil melakukan gerak maju dan berlawanan dengan arah jarum jam. Kemudian menghadap
ke luar lingkaran dan berputar lagi kea rah kiri sambil melakukan gerakan maju dan
berlawanan dengan arah jarum jam. Begitu seterusnya, para penari menari dengan lemah
gemulai dan indah sambil mengikuti irama lagu pengiring yaitu lagu manasai , lagu
tradisional kalimantan tengah.

Dalam pertunjukan Tari Manasai biasanya di lengkapi dengan baju adat dan penutup kepala
yang di sisipi bulu burung tingang. Selain itu penari juga di lengkapi dengan bahalai atau
selendang sebagai attribute menarinya. Dalam pertunjukan Tari Manasai biasanya juga
menggunakan guci sebagai media tambahan yang di kelilingi oleh barisan penari. Guci
tersebut biasanya di beri hiasan seperti bambu atau hiasan lain yang di ikat dengan selendang.

Tari Manasai sering di pentaskan untuk menyambut para pengujung atau tamu yang datang
ke kalimantan. Selain itu tarian ini bisa kita temukan di festival budaya sebagai tarian
pembuka.

B. Tari Kinyah Mandau

Tari kinyah mandau yang memiliki ciri khas unsur bela diri, seni teatrikal dan seni perang
dalam tariannya. Nama tarian ini diambil dari kata kinyah yang berarti tarian perang dengan
menggunakan senjata mandau. Dulunya, tarian adat Kalimantan Tengah ini digunakan dalam
persiapan membunuh dan memburu kepala musuh. Para pemuda Dayak dulu memang
berburu kepala dengan banyak alasan berbeda untuk setiap sub suku. Tarian kinyah ini
digunakan sebagai persiapan fisik sebelum perburuan akan dimulai.

C. Tari Mandau

Seperti namanya, tari mandau menggunakan properti mandau yang merupakan senjata
tradisional suku Dayak berupa pedang atau perang. Ketika dipertunjukkan, gerakan dalam
tarian akan terlihat sangat indah ketika para penari memainkan tameng dan mandau yang
dipegang. Beda dengan tari kinyah mandau yang lebih mengedepankan seni teatrikal dan seni
perang, dalam tari mandau ini seringkali terlihat adegan berbahaya seperti mengayunkan atau
menggigit mandau yang tentunya sangat tajam tersebut.

Akan tetapi, semua aman dilakukan penari karena sudah dilakukan ritual khusus agar semua
pertunjukan bisa berjalan dengan aman dan lancar yang tentunya juga hanya dilakukan para
penari terlatih.

D. Tiwah

Tiwah adalah upacara adat keagamaan yang merupakan bagian dari umat Hindu
Kaharingan , yaitu agama tertua di Kalimantan. Ritual ini merupakan prosesi menghantarkan
roh leluhur atau keluarga yang telah meninggal menuju alam baka. Dengan berbagai cara ,
yaitu menyucikan dan memindahkan jasad-jasad (tulang belulang) dari liang kubur ke suatu
tempat yang dinamakan dengan Sandung. Ritual ini juga dilengkapi dengan hewan yang
biasanya berupa kerbau. Oleh sebab itu , Tiwah sangat memerlukan biaya yang cukup mahal.

E. Festival Budaya Isen Mulang

Palangka Raya mempunyai Festival Seni dan Budaya tahunan yang dilaksanakan sebagai
wujud apresiasi pemerintah dan masyarakat kota Palangka Raya atas peninggalan adat
istiadat leluhur yang diadakan setiap bulan April. Festival ini menampilkan berbagai
perlombaan tradisional. Contohnya Tari Tradisional , Karungut , Malamang , Magenta ,
Masakan Tradisional , Menulis Ornament Dayak , Seni Bela Diri Lawang Sakepeng serta ada
Pemilihan Putra-Putri Pariwisata (PaPiPar).

F. Kontes Putra Putri Pariwisata

Kontes pemilihan Putra Putri Pariwisata ini merupakan perwakilan dari seluruh
wilayah kota Palangka Raya yang memiliki kemampuan lebih di bidang Pariwisata yang
mencakup pengetahuan tentang Pariwisata di daerahnya , Bahasa Inggris , public speaking ,
dan kepribadian. Kontestan yang terpilih akan ikut berperan aktif mempromosikan Pariwisata
kota Palangka Raya ke daerah lainnya.

F. Baju Upak Nyamu

Baju ini merupakan baju dibuat dari bahan yang sama dengan bahan pembuatan rompi
sangkarut khas pakaian adat Kalimantan Tengah, yakni dari kulit kayu nyamu. Pemakainya
juga akan menggunakan ewah atau cawat yang menutupi bagian kemalu*nnya. Yang
membedakan, baju nyamu ini tidak dihiasi dengan lukisan atau tempelan. Ia berupa rompi
polos tanpa lengan.

G. Baju Pawang

Sesuai namanya, baju pawang hanya dikenakan oleh dukun atau ulama dalam
kepercayaan Kaharingan saat memanjatkan doa. Dalam kepercayaan asli suku Dayak
tersebut, sang dukun diyakini dapat membantu mendatangkan hujan, melindungi diri dari roh
jahat, serta mengobati orang sakit. Baju pawang dibuat dari serat kayu dan dilengkapi dengan
umbai-umbaian atau manik-manik sebagai penghias.
H. Baju Tenunan

Masuknya beberapa suku bangsa lain, seperti suku Mandar atau Melayu membuat
masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah di masa silam mengenal seni menenun. Mereka
mulai belajar menenun kain dari bahan serat alami seperti serat nenas, serat nyamu, dan serat
tumbuhan lainnya. Kain tenunan ini juga dilengkapi dengan motif-motif khusus yang sangat
unik, seperti motif segitiga, motif flora, fauna, motif alam, dan lain sebagainya. Akan tetapi,
baju tenunan tersebut saat ini sudah punah.

I. Senjata Tradisional Kalimantan Tengah – Sumpit / Sipet

Sumpit atau dalam bahasa Kalimantan Tengah disebut Sipet ini merupakan senjata
tradisional yang dipergunakan dalam pertempuran, berburu, hingga sebagai senjata
pembunuh secara diam-diam. Jika disepertikan yaitu seperti sniper tetapi versi tradisionalnya,
hehe.

Cara menggunakan senjata ini yaitu dengan cara ditiup. Layaknya sniper, sumpit ini dapat
digunakan sebagai senjata jarak jauh dan memiliki akurasi tembak mencapai 200 meter.
Sumpit yang terdiri dari tabung bambu dan kayu yang panjangnya sekitar 1-3 m, dilengkapi
dengan anak sumpit sebagai peluru yang berbentuk bulat dengan diameter kira-kira 1 cm.
Anak sumoit atau damek ini bisa terbuat dari bambu yang salah satunya berbentuk
kerucut dan terbuat dari kayu yang massanya ringan (kayu pelawi) yang berfungsi agar anak
sumpit dapat melesat dengan lurus juga sebagai penyeimbang saat lepas ditiupkan buluh.

Sedangkan ujung lainnya berbentuk runcing dan diberikan racun yang mematikan
untuk berburu binatang buruan. Racunnya pun terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan hutan
yang hingga saat ini belum ada penawarnya. Serem juga ya senjata tradisional ini.

Karena cara kerjanya ditiup, untuk menentukan sejauh mana jarak anak sumpit itu
melesat, ditentukan dengan seberapa kuat tidaknya nafas saat ditiupkan. Mungkin kalau kita
yang meniupnya (pemula) hanya akan melesat 1 meter saja. Mau mencoba senjata tradisional
ini? Siapkan nafas yang kuat ya.

J. Senjata Tradisional Kalimantan Tengah – Duhung / Dohong

Duhung yang merupakan senjata tradisional suku dayak ini dipercaya merupakan
senjata tertua suku dayak. Pemilik awal senjata ini juga memang tidak sembarang orang,
hanya raja-raja dan leluhur orang dayak. Seperti Raja Sangiang, Raja Sangen, dan Raja Bunu.

Menurut legenda, ketiga raja tersebut mempunyai duhung yang berbeda. Duhung
milik Raja Sangiang dan Raja Sangen terbuat dari besi yang dapat mengapung. Sedangkan
duhung milik Raja Bunu terbuat dari besi yang tidak dapat mengapung. Duhung jenis ini
biasa disebut dengan leteng.

Duhung yang memiliki ukuran sekitar 50-75 cm ini pada jaman dahulu digunakan
sebagai alat untuk berburu dan bercocok tanam. Dalam perkembangannya, untuk saat ini
duhung tidak lagi berfungsi dan dipergunakan sebagai senjata, tetapi dijadikan sebagai benda
pusaka yang dipajang dan disimpan.
K. Senjata Tradisional Kalimantan Tengah – Mandau ( Suku Dayak )

Mandau merupakan senjata tradisional yang sudah dikenal sebagai senjata masyarakat
suku dayak dari Kalimantan. Mandau merupakan sejenis parang dengan panjang kira-kira 1/2
meter. Mandau sendiri berasal dari kata “Man”, yaitu salah satu suku di China bagian selatan
dan ‘Dao’ yang berarti golok dalam bahasa China. Senjata yang berasal dari Suku Dayak ini
rupanya dibuat oleh pandai besi yang mempunyai ilmu gaib.

Mandau juga mempunyai ciri khas, yaitu adanya ukiran-ukiran pada bagian bilahnya
yang tidak tajam. Banyak juga dijumpai ada tambahan lubang-lubang di bilahnya yang
ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud untuk memperindah bilah mandau.

Ternyata, mandau terdiri dari dua macam, yakni mandau tampilan dan mandau biasa.
Biasanya, mandau versi tampilan digunakan untuk perang dan upacara. Sedangkan mandau
biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari.

4. Bahasa

Bahasa yang digunakan masyarakat Kalimantan Tengah selain bahasa Indonesia adalah
Bahasa Melayu, Bahasa Banjar, Bahasa Ngaju, Bahasa Manyan, Bahasa Ot Danum, Bahasa
Katingan, Bahasa Bakumpai, Bahasa Tamuan, Bahasa Sampit. Ada pula bahasa lainnya yaitu
Bahasa Mentaya, Bahasa Pembuang, Bahasa Dusun Tawoyan, Bahasa Dusun Lawangan,
Bahasa Dayak Barean, Bahasa Kadoreh, Bahasa Waringin, dan Bahasa Kuhin.

5. Tataan adat menikah kalimantan tengah

Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 mendefenisikan bahwa


: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang maha Esa. Pernikahan disini dipahami sebagai persekutuan seluruh hidup,
maka suami istri mempunyai tanggung jawab untuk membina dan mengembangkan hidup
bersama. Upacara perkawinan merupakan salah satu bentuk upacara daur hidup dan akan
tetap ada pada setiap masyarakat, apalagi sebuah perkawinan bertujuan untuk membina
keluarga yang bahagia lahir batin.

Ritus perkawinan suku Dayak Ngaju bermula dari tradisi lisan yang berakar dari religi
Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu. Dalam ajaran agama Hindu
Kaharingan (Religi asli masyarakat Etnik Dayak Ngaju) ritual perkawinan mempunyai nilai
religius yang berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu peningkatan
nilai bardasarkan hukum agama yang sakral. Menurut konsep Panaturan bahwa perkawinan
diharapkan dapat melahirkan keturunan/anak yang dapat menyelamatkan orang tua dan
leluhur. Seorang anak jugalah yang nantinya akan melaksanakan upacara Tiwah bagi orang
tuanya. Selain itu perkawinan menurut Hindu Kaharingan berlangsung seumur hidup
(Nyamah Hentang Tulang Ije Sandung Mentang) dan tidak seorang pun yang boleh
memutuskan tali perkawinan itu kecuali kematian. Hal ini seperti yang dicontohkan pada
perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dengan Raja Garing Hatungtu, dimana untuk
mas kawinnya Nyai Endas Bulan Lisan Tingang tidak meminta harta benda melainkan
Banama Bulau Pahalendang Tanjung Ajung Rabia Pahalingei Lunuk, yang tidak lain adalah
berupa sebuah peti mati yang merupakan simbol kesetiaan sehidup semati. Sehingga jika istri
yang terlebih dahulu meninggal, maka pada saat upacara Tiwah sang suami lah yang akan
menggendong tulang istriya atau sebaliknya. Demikian juga halnya seperti yang dinyatakan
dalam Kitab Atharvaveda X. 85. 36 tentang kesetiaan yang harus dimiliki oleh sepasang
suami istri sebagai berikut :

Grbhnami te saubhagatvaya

Hastam, maya patya jaradastir yathasah

Artinya :

“Wahai mempelai wanita, kami genggam tanganmu bagi kemakmuran (kesuburan).


Semoga engkau hidup bersama kami sampai akhir kehidupan (akhir hayat). (Veda Sabda
Suci, 1996:396)

Secara dasariah ritual perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk dari beberapa
bagian yang sudah terpola dalam satu kesatuan secara keseluruhan yang terdiri dari
Hakumbang Auh (peminangan), Hisek (penentuan tanggal pelaksanaan perkawinan beserta
persyaratan/Jalan Hadat (jujuran) dan perjanjian perkawinan) dan Pelaksanaan Hasaki
Hapalas (Pengukuhan/Pemberkatan Perkawinan menurut tata cara yang sudah diwariskan
oleh leluhur suku Dayak Ngaju). Unsur religi utama yang terkandung dalam ritual
perkawinan masyarakat Dayak Ngaju khususnya bagi yang beragama Hindu Kaharingan
terdiri dari tiga bagian yaitu : Pelek Sinde Uju, Pelek Handue Uju dan Pelek Hantelu Uju.
Dimana Pelek Sinde Uju bermakna bahwa perkawinan dilaksanakan dengan dilandasi
keyakinan terhadap Ranying Hatalla/Tuhan yang Maha Esa yang merapakan awal segalanya.
Dimana perkawinan akan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan Pelek Indu Sangumang dan
Bapa Sangumang. Pada Pelek Sinde Uju inilah kedua mempelai mengucapkan Lima Sarahan
(Pengakuan iman umat Hindu kaharingan) serta sumpah janji dihadapan Ranying Hatalla
untuk sehidup semati, selalu bersama dalam suka dan duka Adapun Pelek Handue Uju yaitu
bahwa perkawinan dilaksanakan dengan melalui beberapa syarat yang lazim dikenal dengan
Jalan Hadat. Dimana Jalan Hadat perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat
umum sebagai jujuran adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi pada upacara perkawinan
yang berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. Pembayaran jujuran dilakukan oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pelek Hantelu Uju bahwa perkawinan dilaksanakan
dengan tujuan yakni terbentuknya suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera serta harmonis
yang dilandasi sradha dan bhakti kepada Ranying Hatalla/Hyang Widhi Wasa. Sehingga
proses perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju yang menjadi landasan
pelaksanaannya adalah agama atau kepercayaan. Seperti yang terdapat dalam Kitab
Panaturan pasal 30 yaitu tentang perkawinan “Kameluh Endas Bulau Lisan Tingang Matuh
kabaluma Belum, pada ayat 26 sebagai berikut :

RANYING HATALLA, hemben te mameteh; lalus awi ketun gawi akan Raja Garing
Hatungtu, hete ketun mamelek Sinde Uju tuntang AKU kereh atun hadurut manalih gawin te,
awi ie hajanji taharep AKU

Artinya :

Pada saat itu RANYING HATALLA berfirman : Laksanakan oleh kalian upacara itu (ritual
perkawinan) untuk Raja Garing Hatungku, disana kalian Mamelek Sinde Uju dan nanti AKU
akan datang pada upacara itu, karena mereka berdua berjanji dihadapanKu. (Panaturan, 2005
: 109)

Dengan memahami apa yang dijelaskan pada Panaturan pasal 30 ayat 26 di atas, kita dapat
mengetahui bahwa dasar pelaksanaan ritual perkawinan masyarakat Hindu Kaharingan suku
Dayak Ngaju adalah ajaran suci Ranying Hatalla yang termuat dalam Kitab Panaturan. Di
Panaturan dijelaskan bahwa pada intinya sumpah janji yang diucapkan oleh kedua mempelai
pada ritual perkawinan itu diiringi atau diberkati langsung oleh Ranying Hatalla/Hyang
Widhi Wasa
Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh umat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju tidak
terlepas dari sarana upakara, termasuk juga pada ritual perkawinannya. Sarana upakara ini
sarat dengan simbol-simbol yang mempunyai makna bagi yang melaksanakannya. Karena
simbol-simbol tersebut dipergunakan agar orang dapat memahami makna dibalik upacara itu.
Simbol-simbol tersebut mempunyai nilai religi/sakral yang suci.

Ditinjau dari pelaksanaannya, ritus perkawinan dikalangan masyarakat etnik Dayak Ngaju
dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu :

1. Hakumbang Auh

Hakumbang Auh adalah cara awal dari ritus perkawinan dengan maksud penyampaian
niat seorang pria kepada seorang gadis yang diinginkan menjadi isterinya. Dalam kebiasaan
masyarakat Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju, jika seorang pemuda berkehendak
mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai isterinya maka dia akan menyampaikan
maksudnya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Apabila disetujui maka selanjutnya orang
tuanya akan memilih seseorang sebagai perantara yang bertugas menghubungi keluarga si
gadis. Perantara ini disebut Uluh Helat atau biasa juga disebut Saruhan atau juga dapat
disebut Tatean Tupai. Maksud hati dan keinginannya disampaikan kepada keluarga si gadis
melalui perantara tersebut.

Sebagai bukti kesungguhan hati dan niat baiknya, maka pihak pria melalui Uluh Helat
menyampaikan mangkok berisi beras dan telor ayam yang dibungkus dengan kain kuning
atau sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang. Diterima atau tidaknya keinginan tersebut
tidaklah diberitahukan oleh orang tua si gadis pada saat itu juga. Jadi pihak pemuda harus
menunggu beberapa waktu dan kabar dari pihak si gadis akan disampaikan melalui perantara
tadi setelah pihak keluarga si gadis berunding. Maksud pemuda tersebut akan dibicarakan
dalam rapat keluarga dan sebagai buktinya diperlihatkan mangkok atau Duit Pangumbang
yang mereka terima dari keluarga si pemuda. Dalam rapat keluarga ini ayah dan ibu si gadis
meminta pendapat keluarga (paman, bibi, kakek, nenek dan saudara). Dalam rapat inilah
dibicarakan hal-hal penting mengenai :

Setuju atau tidak pihak keluarga si gadis apabila si gadis kawin dengan si pemuda
tersebut. Untuk menentukan diterima atau tidaknya maksud si pemuda maka pihak keluarga
si gadis akan membahas mengenai : bagaimana bibit, bebet, bobot si pemuda dan bagimana
silsilah keturunan si pemuda, apakah ada keterikatan dengan keluarga si gadis.

Waktu pertemuan antara keluarga si gadis dengan pihak pemuda apabila pihak
keluarga si gadis menerima maksud baik pihak keluarga si pemuda.

Apabila maksud baik dari pihak keluarga si pemuda ditolak, perantara akan dipanggil untuk
memberitahukan mengenai keputusan mereka dan alasan penolakan tersebut. Keputusan
tersebut tentunya disampaikan secara bijaksana agar tidak menyinggung perasaan pihak
keluarga si pemuda. Barang yang sudah diterima sebagai bukti Hakumbang Auh berupa
mangkok berisi beras dan telor ayam ataupun berupa uang akan dikembalikan kepada pihak
keluarga si pemuda melalui perantaranya. Apabila maksud baik si pemuda diterima, maka
perantaranya diberitahu bahwa pihak keluarga si gadis akan menerima dengan senang hati
kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk Mamanggul. Mengenai kapan pihak keluarga si
pemuda akan datang Mamanggul akan disampaikan oleh pihak keluarga si pemuda melalui
perantaranya pula.

2. Mamanggul

Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si gadis
secara resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka diterima
oleh pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan beberapa barang sebagai
bukti kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain berupa sebuah Balanga (guci asli
cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan
peminangan, yaitu Maja Misek. Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti
Mamanggul tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini
dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat
dalam bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis
kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak dikembalikan kepada pihak si
pemuda.

Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan


Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini cenderung
mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih
sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.

3. Maja Misek

Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja Misek
disini maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga si
gadis. Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang :

Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan

Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang harus dipenuhi oleh
pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik menurut Panaturan, hukum adat
serta tradisi yang berlaku dalam keluarga si gadis.

Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan

Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah ditanggung seluruhnya oleh
pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama.
Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan oleh salah satu
pihak.

Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian
Pisek. Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga dibicarakan
mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus :

Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan yang belum menikah,
maka ia harus membayar Palangkah atau Panangkalau kepada kakaknya karena ia
mendahului kakaknya.

Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh dalam garis
kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena keponakan dari si pemuda maka
mereka harus membayar denda dan melaksanakan upacara Tambalik Jela sebelum upacara
perkawinan dilaksanakan.

Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek (persayatan adat
dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada pihak perempuan
berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya berupa perlengkapan
pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan lainnya.

4. Mananggar Janji atau Mukut Rapin Tuak

Mananggar Janji berarti memastikan janji, yaitu kedua belah pihak bertemu lagi
secara khusus untuk memastikan kapan waktu pelaksanaan perkawinan. Jika pada saat Maja
Misek telah ditentukan perkiraan bulannya saja, maka pada saat mananggar janji ini
dibicarakan tanggal perkawinannya. Pada kesempatan ini pihak calon pengantin pria
menyerahkan biaya perkawinan, antara lain :

a. Biaya membuat minuman tuak (Rapin Tuak)

b.Biaya pesta yang disebut Bulau Ngandung atau Panginan Jandau

c. Jangkut Amak atau perlengkapan tidur dan isi kamar tidur.

Dalam menetukan hari atau tanggal perkawinan, ada beberapa hal yang harus diperhitungkan
dengan cermat agar mendapat hari dan bulan yang baik dan sedapat mungkin menghindari
adalah keadaan bulan seperti :
Bulan Lembut. Lembut artinya keluar atau timbul. Bulan lembut berarti pada saat permulaan
bulan terbit atau bulan baru muncul.

Bulan Tapas, yaitu bulan menjelang purnama penuh

Bulan Mahutus, yaitu saat-saat pergantian bulan

Bulan Kakah, yaitu seminggu setelah purnama (Tim Penyusun. 1998)

Setelah diserahkannya biaya perkawinan, maka pihak calon mempelai wanita dapat
melakukan persiapan perkawinan, demikian juga halnya dengan pihak mempelai pria.

5. Pelaksanaan Perkawinan

Pelaksanaan perkawinan yang dimaksud disini adalah upacara-upacara yang


dilaksanakan sejak dari rumah penganten pria sampai dengan peresmian perkawinan
mereka di rumah penganten wanita. Pada tahap pelaksanaan perkawinan ini upacara yang
dilaksanakan adalah :

a. Panganten Haguet

Panganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah penganten
wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka pada hari yang
telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat, ataupun juga
pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan sebelum keberangkatan
penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan. Pada saat sebelum keberangkatan para
kerabat berkumpul di rumah penganten pria. Tujuannya untuk bersama-sama mengantarkan
penganten pria ke rumah penganten wanita. Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan
acara syukuran. Waktu keberangkatan yang paling baik menurut keyakinan masyarakat
Hindu Kaharingan suku Dayak Ngaju adalah pagi hari atau sebelum jam dua belas siang.

b. Penganten Mandai

Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai atau
penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten wanita.
Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :

1). Mambuka Lawang Sakepeng


Lawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah daun kelapa yang
diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang dipasang bunga warna warni
agar indah dan nampak semarak. Penganten pria dan rombongannya tidak boleh masuk ke
halaman rumah sebelum membuka Lawang Sakepeng tersebut. Caranya adalah dengan
memutuskan benang-benang perintang oleh pesilat-pesilat yang dipilih mewakili masing-
masing pihak dengan diiringi tabuhan gendang dan gong. Ditampilkannya pesilat dari
keduabelah pihak mengandung makna bahwa dalam kehidupan rumah tangganya, kedua
mempelai akan bersama-sama mengatasi persoalan yang datang sehingga dapat hidup rukun,
saling membantu dan bekerjasama. Adapun makna dari upacara mambuka Lawang Sakepeng
ini adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa kedua
mempelai dalam membina rumah tangga.

2) Mamapas

Mamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar penganten,


rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan dapat bersih dari segala
yang tidak baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat
yang disebut Pali Endus Dahiang Baya. Bersamaan dengan upacara Mamapas ini, setelah tali
perintang Lawang Sakepeng putus maka penganten pria dan rombongannya dipersilahkan
memasuki halaman. Di depan pintu rumah mempelai pria akan diupacarai lagi dengan
taburan beras dan bunga rampai serta prosesi penginjakan telor ayam. Selanjutnya mempelai
laki-laki dan rombongan dipersilahkan masuk rumah. Bagi mereka disediakan tempat khusus
untuk beristirahat sambil menunggu acara selanjutnya.

c. Haluang Hapelek

Upacara Haluang Hapelek adalah semacam diaolog antara para wakil dari pihak
penganten pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih Jalan Hadat, yaitu
syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria
kepada penganten wanita. Masing-masing pihak membentuk kelompok tersendiri, sebagai
utusan yang bertindak sebagai Luang. Masing-masing pihak dapat menunjuk 5 (lima) atau 7
(tujuh) orang wakil sebagai utusan. Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut
dengan Tukang Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan
pihak penganten wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu pihak
yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya mondar-mandir
menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.
d. Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)

Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu
Kaharingan etnik Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasa tidak dilaksanakan oleh
masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun masih
melangsungan tata cara perkawinan sesuai tradisi leluhurnya. Upacara ini dipimpin oleh
seorang Basir. Manyaki berarti mengoleskan darah hewan korban ke beberapa bagian tubuh
kedua mempelai oleh Basir. Adapun istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles
dengan darah. Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil memegang
sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan dengan Dereh Uwei
(sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri sula). Jari telunjuk mereka
menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua bersaksi kepada Ranying Hatalla
Langit/Tuhan Yang Maha Esa. Kaki mereka menginjak jala dan batu asah sebagai tanda
bahwa mereka berdua juga bersaksi kepada penguasa alam bawah. Basir melakukan upacara
manyaki mamalas (mengoleskan darah hewan korban, minyak kelapa, tanah, air dan beras
serta tampung tawar. Beras Hambaruan diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai.
Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani
kehidupan berumahtangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh rejeki.

Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang disebut
Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa
mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Setelah selesai acara makan secara simbolis,
kedua mempelai lalu berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie
(pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka
pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara
perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.

Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian
kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-
sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan
para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli
waris dan disaksikan oleh hadirin.

Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai pulalah


rangkaian acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan acara penanaman pohon
Sawang. Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi para hadirin. Selain itu kedua
mempelai (biasa diberi ruang khusus) diberikan nasehat oleh para orang tua termasuk para
Luang, yang mana acara ini disebut dengan upacara Maningak Panganten.

Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi pasca
perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , yaitu :

1. Maruah Pali

Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi
yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda
berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan,
kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau
paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka
lakukan selama menjalani masa Pali adalah :

a. Melakukan hubungan suami istri

b. Mengadakan perjalanan jauh

Setelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua penganten yaitu
ditandai dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai ditampungtawari
oleh kedua orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke keluarga wanita.

2. Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)

Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya.
Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan
rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.

Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang merupakan
bagian dari Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini hanya disebutkan
tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja Manantu, maka selesailah
rangkaian upacara yang terkait dengan perkawinan.

Urutan tata cara perkawinan yang lengkap seperti di atas adalah tata cara perkawinan
yang ideal yang semestinya dilaksanakan oleh umat Hindu Kaharingan karena sudah
merupakan ajaran suci Ranying Hatalla yang terdapat dalam kitab suci Panaturan.

C. Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju Dalam Kajian Adat

Ritual perkawinan masyarakat Dayak tidak hanya mengandung nilai-nilai religi tetapi
juga mengandung aspek budaya karena kedua hal itu saling keterkaitan erat dan hampir tidak
dapat kita bedakan dikarenakan kultur masyarakat Dayak yang unik. Aspek budaya dalam
ritual perkawinan ini dapat kita lihat dari beberapa tahapan yang terdapat dalam prosesi
perkawinan masyarakat Dayak Ngaju seperti adanya proses Hakumbang Auh dan Maja
Misek (memupuh), dimana pada tahapan ini budaya musyawarah untuk mufakat sangat
kental terlihat selain itu menjadikan ikatan kekeluargaan semakin erat. Kemudian pada saat
hari perkawinan, sebelum mempelai laki-laki memasuki rumah pihak perempuan adanya
acara penyambutan berupa berbalas pantun, tari-tarian serta pencak silat daerah Kalimantan
Tengah untuk memutus halangan yang berupa Pantan atau yang lazim dikenal oleh
masyarakat Dayak dengan nama Lawang Sakepeng Dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju
pelaksanaan upacara perkawinan tidak mudah dan tidak bisa secepatnya untuk mengambil
suatu keputusan, tetapi harus dimusyawarahakan oleh keluarga besar, karena keluarga juga
merupakan penentu dalam pengambilan keputusan. Semua yang menyangkut tahapan dan
persyaratan perkawinan akan disesuaikan dengan aturan adat agar semua proses pelaksanaan
berjalan sesuai dengan rencana keluarga. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Dayak
Ngaju, adalah perkawinan dengan sistem meminang karena mempunyai rangkaian yang
sangat panjang. Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit
pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali
ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau
Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli
Kaharingan bukan sekedar adat atau kebiasaan. Selain itu jika kita melihat pemahaman masa
lalu masyarakat Dayak sebelum masuknya agama-agama ke tanah Dayak, maka kata adat
dipahami sebagai sebuah tradisi leluhurnya sebagai adat yang adi luhung sebagai penjaga
keharmonisan hidup yang harus dilaksanakan atau sebagai sebuah keyakinan. Sehingga
sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut
agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu
adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal
ini dapat kita lihat dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang telah beralih
keyakinan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, masih melaksanakan
sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan
dengan agama yang mereka anut. Dari kenyataan di lapangan kita bisa melihat batasan mana
pelaksanaan yang keterkaitan dengan ritus perkawinan suku Dayak Ngaju yang bermula dari
tradisi religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu dengan yang dianggap
adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang
Auh,mamanggul atau Maja Misek ,pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten
Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta
Haluang Hapelek, yang merupakan acara menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam
rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten
wanita juga dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama
membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan
yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan
dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani
oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin yang dilanjutkan dengan
upacara Tampung Tawar (Pemercikan air/tirta). Sedangkan untuk upacara Manyaki
Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai), yang merupakan inti upacara
perkawinan sebagai upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan
etnik Dayak Ngaju tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non
Hindu Kaharingan, namun pemberkatan atau pengukuhannya dilaksanakan menurut tata cara
agama yang dianutnya.

Prosesi makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi
sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri.
Yang dilanjutkan dengan kedua mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah untuk
melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu
adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa
mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat. Yang
dilanjutkan dengan prosesi penanaman pohon Sawang (Ponjon Andong). Beberapa urutan
acara tersebut tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non Hindu Kaharingan karena
tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.

Selain itu prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , seperti
Maruah Pali juga tidak dilaksanakan. Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali
berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang
dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena
setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa
berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka.
Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :

1. Melakukan hubungan suami istri


2. Mengadakan perjalanan jauh

Yang dilaksanaan hanya pada prosesi upacara Pakaja Manantu. Upacara ini merupakan
upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah
orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa
anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.

Beberapa bagian yang dihilangkan tersebutlah yang membedakan antara tata cara
perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang berasal dari tradisi asli agama Helu atau
Kaharingan yang dilaksanakan oleh umat Hindu kaharingan dengan tata cara perkawinan
yang dianggap adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak menganut
agama Hindu Kaharingan lagi.

6. Sistem Kekerabatan Suku Dayak

Bilateral/ambilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Sehingga sIstem
pewarisan tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.
Bentuk Kehidupan Keluarga :

1. Keluarga batih (nuclear family), wali/asbah (mewakili keluarga dalam kegiatan sosial
dan politik di lingkungan dan di luar keluarga) adalah anak laki-laki tertua,

2. Keluarga luas (extended family), wali/asbah adalah saudara laki-laki ibu dan saudara
laki-laki ayah.

Peran wali/asbah, misalnya dalam hal pernikahan, orang yang paling sibuk mengurus
masalah pernikahan sejak awal sampai akhir acara. Oleh karena itu, semua permasalahan dan
keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan wali/asbah. Penunjukan wali/asbah
berdasarkan kesepakatan keluarga.

Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling Dekat :

1. Antara saudara sepupu dua kali. Perkawinan antara gadis dan bujang bersaudara
sepupu derajat kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek yang bersaudara.

2. Sistem endogamI (perkawinan yang ideal), yaitu perkawinan dengan sesama suku dan
masih ada hubungan keluarga.

Perkawinan Yang Dilarang :

1. Incest / Salahoroi, anak dengan orangtua

2. Patri parallel – cousin, perkawinan antara dua sepupu yang ayah-ayahnya bersaudara
sekandung

3. Perkawinan antara generasi-generasi yang berbeda (contoh : tante + ponakan)

Pola Kehidupan Setelah Menikah :

1. Pola matrilokal, suami mengikuti pihak keluarga istri,

2. Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Ketika Huma Betang
(longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru harus menambah bilik pada sisi kanan atau
sisi kiri huma betang sebagai tempat tinggal mereka.

Anda mungkin juga menyukai