Anda di halaman 1dari 12

Makalah Antropologi

“Kebudayaan Banten”

Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma

2018/2019
1. Asal-usul dan Sejarah

Kata Banten muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten.


Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan daerah
sekelilingnya yaitu Cibanten atau sungai Banten. Rujukan tertulis
pertama mengenai Banten dapat ditemukan pada naskah Sunda Kuno
Bujangga Manik yang menyebutkan nama-nama tempat di Banten dan
sekitarnya

Dataran lebih tinggi yang dilalui sungai ini disebut Cibanten


Girang atau disingkat Banten Girang. Berdasarkan riset yang dilakukan
di Banten Girang pada 1988 dalam program Franco-Indonesian
excavations, di daerah ini telah ada pemukiman sejak abad ke 11 sampai
12 (saat kerajaan Sunda). Berdasarkan riset ini juga diketahui bahwa
daerah ini berkembang pesat pada abad ke-16 saat Islam masuk pertama
kali di wilayah ini. Perkembangan pemukiman ini kemudian meluas
atau bergeser ke arah Serang dan ke arah pantai. Pada daerah pantai
inilah kemudian didirikan Kesultanan Banten oleh Sunan Gunung Jati.
Kesultanan ini seharusnya menguasai seluruh bekas Kerajaan Sunda di
Jawa Barat. Hanya saja SUnda Kalapa atau Batavia direbut oleh
Belanda sera Cirebon dan Parahyangan direbut oleh Mataram. Daerah
kesultanan ini kemudian diubah menjadi keresidenan pada zaman
penjajahan Belanda.

Orang asing kadang menyebut penduduk yang tinggal pada


bekas keresidenan ini sebagai Bantenese yang mempunyai arti "orang
Banten". Contohnya, Guillot Claude menulis pada halaman 35 bukunya
The Sultanate of Banten: "These estates, owned by Bantense of Chinese
origin, were concentrated around the village of Kelapadua."Dia
menyatakan bahwa keturunan Cina juga adalah Bantenese atau
penduduk Banten.
Hanya setelah dibentuknya Provinsi Banten, ada sebagian orang
menerjemahkan Bantenese menjadi suku Banten sebagai kesatuan etnik
dengan budaya yang unik.

Banten atau dahulu dikenal dengan nama Bantam pada masa


lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat
ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka, dan makmur. Banten
pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah
satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti
Cidanghiyang atau prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak
di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947, dan berisi 2 baris kalimat
berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti
tersebut mengagungkan keberanian Raja Purnawarman. Setelah
runtuhnya Kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini
akibat serangan Kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian barat Pulau
Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Sarayu dan Ci Pamali dilanjutkan
oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah
Portugis pada tahun 1513, Bantam menjadi salah satu pelabuhan
penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut,
Bantam adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan
Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.

2. Letak Geografi

Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan


dan 105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah
9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 154
kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.273 desa.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial,
Selat Sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis
karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan
Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand,
Malaysia, dan Singapura. Di samping itu Banten merupakan jalur
penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis,
dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang
raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang
Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi
wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten
juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai
antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di
Jakarta, dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain
Singapura.
3. Kebudayaan

a. Budaya dan Nilai

Sebagian besar anggota masyarakat memeluk agama Islam


dengan semangat religius yang tinggi, tetapi pemeluk agama lain
dapat hidup berdampingan dengan damai. Potensi dan kekhasan
budaya masyarakat Banten, antara lain Seni Bela Diri Pencak Silat,
Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari Cokek,
Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat
peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama,
Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.

Di Provinsi Banten terdapat Suku Baduy. Suku Baduy dalam


merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti
modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku
Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan
Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy
umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan
Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek
moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh
dirusak.

b. Bahasa
Penduduk asli yang hidup di Provinsi Banten berbicara
menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda
Kuno. Dialek tersebut dikelompokkan sebagai bahasa kasar dalam
bahasa Sunda modern, yang memiliki beberapa tingkatan dari
tingkat halus sampai tingkat kasar (informal), yang pertama tercipta
pada masa Kesultanan Mataram menguasai Priangan (bagian
tenggara Provinsi Jawa Barat). Namun demikian, di Wilayah Banten
Selatan Seperti Lebak dan Pandeglangmenggunakan Bahasa Sunda
Campuran, Sunda Kuno, Sunda Modern dan Bahasa Indonesia,
di Serang dan Cilegon, bahasa Jawa Banten digunakan oleh etnik
Jawa. Dan, di bagian utara Kota Tangerang, bahasa Indonesia
dengan dialek Betawi juga digunakan oleh pendatang beretnis
Betawi. Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa dan dialek Betawi,
bahasa Indonesia juga digunakan terutama oleh pendatang dari
bagian lain Indonesia.
c. Senjata Tradisional

Golok adalah pisau besar dan berat yang digunakan sebagai alat
berkebun sekaligus senjata yang jamak ditemui di Asia Tenggara.
Hingga saat ini kita juga bisa melihat golok digunakan sebagai
senjata dalam silat. Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi
tergantung dari pandai besi yang membuatnya. Golok memiliki
bentuk yang hampir serupa dengan machete tetapi golok cenderung
lebih pendek dan lebih berat, dan sering digunakan untuk memotong
semak dan dahan pohon. Golok biasanya dibuat dari besi baja
karbon yang lebih lunak daripada pisau besar lainnya di dunia. Ini
membuatnya mudah untuk diasah tetapi membutuhkan pengasahan
yang lebih sering.
d. Pakaian Adat

Pakaian adat Banten pada Pria mengenakan pakaian model baju


koko dengan lehernya yang tertutup. Serta pakaian
bawahnya dilengkapi celana panjang serta diikatkan dengan kain
batiknya. Pada bajunya dikenakan ikat pinggang dan diselipkan
sebilah parang di bagian depan. Serta di bahu diselempengkan
sehelai kain.

Sedangkan pakaian adat Banten pada wanitanya, memakai baju


adat kebaya serta kain batin sebagai bawahannya. Pakaian ini juga
diselempangkan sehelai kain di bahu dan dihiasi dengan bros
kerajinan tangan pada bagian depan kancing kebayanya. Pada
rambut di sanggul dan dihiasi dengan kembang goyang berwarna
keemasan.
e. Tarian Daerah: Tari Topeng

Tarian ini dilakukan oleh satu orang pria atau lebih sesuai
dengan kebutuhan. Gerakkan tari ini tempak gemulai.Tarian
topeng mengisahkan tentang seorang rasa yang balas dendam
karena cintanya yang ditolak.

f. Rumah Adat

Rumah adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan


daun atap dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang
dibelah-belah. Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik (gedek).
Untuk penyangga rumah panggung adalah batu yang sudah
dibuat sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya makin
mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk
beras. Rumah adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang
dihuni oleh orang Kanekes atau disebut juga orang Baduy.

Arsitektur rumah adat mengandung filosofi kehidupan


keluarga, aturan tabu, dan nilai-nilai privasi, yang dituangkan
dalam bentuk ruangan paralel dengan atap panggung, dan tiang-
tiang penyanggah tertentu. Filosofi itu telah berubah menjadi
keindahan fisik sehingga arsitekturnya hanya bermakna estetik.

g. Kebudayaan Debus

Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian


ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan
Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu kesenian yang
mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal
senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda
kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain.

Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang


terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk
sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai,
dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul
berkali kali oleh orang lain.
h. Kebudayaan Suku Baduy

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok


masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal
dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes
atau "orang Kanekes"
sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo

Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri


sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada
pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin
berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama
Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu
sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan
adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada
perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes
adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap
paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan
melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya
ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja
yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca
tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan
banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga
sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi
kegagalan pada panen.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan
menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain
itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih
rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi
kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal
tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy
dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak
mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka
berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang
untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula
hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata
uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-
buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan
hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang
Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya,
Cibengkung, dan Ciboleger.
4. Perubahan Kebudayaan
Masyarakat dan kebudayaan di manapun selalu dalam keadaan
berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi
jauh dari berbagai perhubungan dngan masyarakat yang lain. Perubahan
ini, selain karena jumlah penduduk dan komposisinya , juga karena
adanya difusi kebudayaan, penemuan- penemuan baru, khususnya
teknologi dan inovasi. Difusi kebudayaan adalah persebaran unsur-
unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi, yang
di bawa oleh kelompok- kelompok manusia yang bermigrasi.
Contohnya terjadi pada pemain debus di Banten. Dahulu kita
bisa menyaksikan atraksi debus ini dibanyak wilayah banten, tapi
sekarang atraksi debus hanya ada pada saat event – event tertentu. Jadi
tidak setiap hari kita dapat melihat atraksi ini. Warisan budaya, yang
makin lama makin tergerus oleh perubahan jaman. Masyarakat Banten
merupakan masyarakat yang mempunyai budaya ketimuran. Namun
saat ini sudah mulai bercampur dengan budaya barat, terutama cara
berpakaian pria dan wanitanya, juga mata pencaharian dan peralatan
sehari- hari yang mereka gunakan. Hal tersebut karena sudah
berkembangnya teknologi informasi di dunia, maka masyarakat banten
berusaha untuk tidak tertinggal oleh zaman.

Anda mungkin juga menyukai