Anda di halaman 1dari 10

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF DALAM

PEMBELAJARAN UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA


DI SEKOLAH DASAR

Akbar Al Masjid
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
E-mail: almasjida@gmail.com

Abstract: Politeness language or commonly called the speech level in the society until now still
held fast by the user community. However, the younger generation are now starting to use the Java
language difficulties diverse of manners. This implies that the values of decency that became the
pride of the Java community today has become even more faded. Based on the authors provide
solutions in an effort to increase the upload-ungguh skills using the Java language through affective
learning strategies. The technique using the technique of habituation and modeling techniques.

Keyword: Affective learning strategy, Javanese language speech level

Kesopansantunan, bagi masyarakat Jawa adalah (ungguh-ungguh) dipersepsikan tidak membawa


hal yang sangat penting. Budaya Jawa sangat kemajuan untuk cita-cita masa depanya. Padahal
menjujung tinggi kesopanan atau adat ketimuran. sebenarnya alasan tersebut tidak bisa dibenarkan,
Sopan santun seseorang dapat dilihat dan dinilai karena sebagai anggota masyarakat Jawa, yang
dari tingkah laku (patrap) dan tutur katanya yang pertama kali dinilai dari seseorang apakah
(subasita/unggah-ungguhnya). Sehingga ada berakhlak atau mempunyai adab yang baik atau
pepatah mengatakan “Ajining raga tumata tidak adalah dari perbuatan dan tutur katanya.
ing busana, ajining dhiri gumantung kedaling Fenomena dan fakta dari seorang pakar peneliti
lathi”, ungkapan tersebut menyiratkan bahwa bahasa Jawa, Subroto (2008) telah menyimpulkan
baik tidaknya seseorang dapat dinilai dari cara dalam penelitiannya “Endengered Krama/Krama
berbusana dan tutur katanya. Inggil varieties in Young Javanese Generation”,
Seiring perkembangan zaman di era globalisasi bahwa generasi muda sudah mulai kesulitan
dewasa ini, terasa nilai-nilai budaya Jawa semakin menerapkan komunikasi menggunakan bahasa
terdegradasi. Pola pikir dan cara pandang manusia, Jawa ragam krama. Hal tersebut menyiratkan,
mulai dari gaya hidup hingga perilaku keseharian, bahwa nilai-nilai kesopanan yang menjadi
tidak terkecuali dengan tatacara dan adat istiadat kebanggaan masyarakat Jawa sekarang ini dirasa
Jawa sudah mulai termarginalkan oleh budaya pop semakin terpinggirkan. Tidak mengherankan bila
yang dibawa oleh budaya manca. suatu saat nanti orang Jawa lupa akan budayanya,
Perlahan tapi pasti perubahan pola pikir ini jati dirinya dan lupa akan adat istiadatnya sendiri.
telah merubah wajah tatanan masyarakat Jawa, Hal ini menjadikan suatu keprihatinan bagi
pergeseran itu bisa kita lihat dari cara berbahasa penulis sebagai seorang pecinta dan pemerhati
berbahasa Jawa generasi muda dewasa ini. Generasi bahasa dan budaya Jawa. Oleh karena itu, nilai-
muda yang enggan menerapkan unggah-ungguh nilai budaya Jawa sudah semestinya harus tetap
bahasa Jawa yang dianggap rumit, mereka juga ditanamkembangkan kembali pada generasi muda
kesulitan menggunakan bahasa yang sopan dan baik di sekolah, masyarakat dan keluarga. Namun
hormat (ragam krama). Alasanya adalah unggah- dalam praktiknya hal itu tidaklah mudah untuk
ungguh dinilai sulit sehingga mereka (khususnya dilaksanakan.
anak muda sekarang ini) takut apabila salah Fenomena dan fakta yang terjadi di lapangan
menerapkan unggah-ungguh yang benar, sehingga saat ini sangat memprihatinkan, karena anak-
justeru dianggap tidak punya sopan santun anak muda sekarang sering keliru menerapakan
atau sombong; alasan yang kedua bahasa Jawa unggah-ungguh bahasa Jawa yang benar. Berikut

9
10 Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 2, Nomor 2, Januari 2016, hlm. 9-18

data yang penulis sadap dari tuturan alami seorang Jawa di kelas juga lebih sering menggunakan
anak muda kepada orang tua di kota Klaten, baru- ragam ngoko sebagai bahasa pengantarnya. Selain
baru ini: itu metode yang digunakan oleh guru dalam
1) “Kula budhal saking dalem wau, ba’da pembelajaran bahasa Jawa kurang menarik,
Asyar.” (Klaten, 10 Januari 2016) kurang bervariatif dan inovatif, karena hanya
‘Saya berangkat dari rumah tadi menerapkan pembelajaran yang konvesional,
tadi sehabis Asyar.” yakni guru bercerita atau menerangkan, dan
2) “Kula le dhahar mangke kemawon, siswa hanya mendengarkan, sehingga siswa
Mbah. Taksih tuwuk ok.” (Klaten, 10 menjadi merasa bosan. Siswa tidak terlibat secara
Januari 2016) aktif, karena dalam pembelajaran ini guru hanya
‘Saya makannya nanti saja, Mbah. Masih menyampaikan informasi dan pengetahuan secara
kenyang.’ lisan. Akibatnya, pembelajaran menjadi teacher-
3) “Bapak mangan kaleh sayur bayem centered learning. Untuk mengatasi permasalahan
kersa?” tersebut perlu digunakan metode, strategi, dan
‘Bapak makan sama sayur bayam mau?’ teknik yang unggul di suatu kelas. Metode, strategi,
dan teknik yang unggul di suatu kelas belum tentu
Pada pembahasan ini peneliti menegaskan unggul di kelas lainnya.
bahwa pemakaian bahasa oleh anak-anak Untuk mengatasi permasalahan di atas, dalam
muda semakin memprihatinkan karena sering artikel ini, penulis mencoba menuangkan solusi
terjadi keliru dalam penerapan leksikon bahasa penyelesaian permasalahan tersebut. Penggunaan
Jawa. Lihat data 1 dan 2, leksikon krama inggil strategi pembelajaran yang tepat diharapkan
yang harusnya digunakan untuk orang lain/O3 dapat menjadi solusi meningkatkan keterampilan
(umumnya pada status sosial yang lebih tinggi) unggah-ungguh basa Jawa oleh siswa. Strategi
karena ketidakpahamannya justru dipakai untuk Pembelajaran Afektif (SPA) dalam hal ini
diri sendiri, akibatnya justru dianggap tidak sopan/ dipilih sebagai solusi untuk mengatasi tersebut.
sombong. Akan tetapi hal itu tidak disadari oleh SPA dinilai sebagai strategi yang tepat untuk
mereka karena menurutnya sudah menggunakan menyampaikan pembelajaran unggah-ungguh
bahasa krama yang halus, padahal sebenarnya bahasa Jawa, karena siswa dapat membiasakan
justeru keliru dan perlu dibina dan dibenarkan. menggunakan basaha Jawa ragam krama yang
Sebaliknya untuk orang lain yang harusnya baik dan benar sesuai unggah-ungguh bahasa
dihormati, justru menggunakan leksikon ngoko Jawa. Melalui strategi ini pula, para siswa dapat
(rasa hormat rendah), lihat pada data 3 di atas. mencontoh seorang vigur atau tokoh yaitu seorang
Dalam usaha merefleksi kembali nilai-nilai guru maupun dari teman sebaya yang sudah mahir
unggah ungguh basa Jawa pada generasi muda, menggunakan unggah-ungguh dengan benar,
maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa
memahami kebiasaan mereka, bahasa mereka dan dalam belajar unggah-ungguh bahasa Jawa.
apa saja yang bisa mempengaruhi keterbiasaan Selain strategi pembelajaran, rendahnya
mereka. Diharapkan dengan mengarahkan mereka motivasi siswa juga ikut mempengaruhi kemampuan
pada pencerminan nilai-nilai unggah-ungguh mempelajari bahasa Jawa khusunya mengenai
bahasa Jawa, kelak mereka dapat menerapkan unggah-ungguh. Adapun cara-cara meningkatkan
dalam kehidupan sehari-hari karena telah terbiasa. motivasi dalam SPA dapat dilakukan dengan cara
Terbiasa, itulah kata kuncinya, karena bahasa berikut. 1) Memberikan pernyataan penghargaan
tanpa dilatih dan dipraktikan secara istikomah secara verbal; 2) Menggunakan nilai ulangan
sangat mustahil dapat terampil menggunakannya. sebagai pemacu keberhasilan; 3) Memberi hadiah
Kendala dalam suatu pembelajaran bahasa di (reward) kepada siswa yang nilainya paling tinggi
sekolah/ kelas, pertama dilihat dari siswanya, dan selesai paling awal untuk memacu semangat
kemampuan berbicara siswa menggunakan siswa.
unggah-ungguh masih rendah dan sering kali Sehubungan dengan alternatif di atas,
terbolak-balik dalam menerapkan leksikon krama maka pembelajaran bahasa Jawa jangan sampai
inggil dan krama andhap. Siswa merasa kesulitan dibuat sulit. Pembelajaran bahasa Jawa harus
jika disuruh untuk berkomunikasi dengan unggah- dibuat mudah dan menyenagkan bagi siswa.
ungguh krama. Hal ini disebabkan latar belakang Dengan pembelajaran yang mudah, siswa merasa
siswa yang jarang menggunakan bahasa Jawa untuk senang, tidak menghindar, dan dapat fokus dalam
berkomunikasi pada kehidupan sehari-hari, hal itu belajar. Pembelajaran yang menyenangkan dapat
dapat diketahui dari komunikasi setiap harinya menstimulasi siswa menjadi aktif, tidak takut
yang cenderung sering menggunakan bahasa Jawa bertanya, menjadikan rasa ingin tahu tinggi
ragam ngoko. Faktor kendala yang kedua dari (kuroisitas meningkat), dan motivasi belajar pun
sisi guru atau pengajar, pembelajaran bahasa meningkat.
Akbar Al Masjid, Penerapan Strategi Pembelajaran Afektif 11

Berpijak dari latar belakang di atas maka Berdasarkan problematika serta identifikasi
dalam penelitian ini akan dipaparkan bagaimana masalah yang telah diungkapkan di atas, telaah
guru dapat meningkatkan prestasi belajar dan berikut ini mempunyai tujuan memaparkan
motivasi siswa dalam pembelajaran bahasa Jawa penerapan strategi pembelajaran afektif (SPA)
khususnya mengenai kemampuan menggunakan sebagai upaya meningkatkan keterampilan unggah-
unggah-ungguh. Penelitian ini akan memberi ungguh bahasa Jawa. Selain tujuan tersebut telaah
gambaran bagaimana strategi pembelajaran ini berfaat sebagai acuhan atau model dalam
afektif (SPA) diterapkan dalam pembelajaran pembelajaran bahasa Jawa untuk para pengajar
kompetensi berbicara (menerapkan unggah- bahasa Jawa, dapat meningkatkan keterampilan
ungguh). Masalah ini menarik untuk dipaparkan unggah-ungguh bahasa Jawa anak didik, sebagai
karena dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi pedoman dan kaidah unggah-ungguh bahasa Jawa
penyelenggara pendidikan pada umumnya dan yang benar serta mudah mudah dipahami oleh
praktisi pendidikan pada khususnya serta para guru dan peserta didik, disamping hal tersebut,
pengajar bahasa Jawa. hal terpenting dalam telaah ini yakni untuk lebih
Ada berbagai permasalahan yang perlu menekankan pada pembelajaran pada aspek afektif
segera mendapat pemecahan dalam pembelajaran (nilai-nilai dan sikap) sehingga sekaligus sebagai
kompetensi unggah-ungguh, di antaranya: (1) pendidikan karakter yang terinternalisisi dalam diri
minat dan motivasi siswa, (2) kreativitas guru peserta didik, di samping itu juga dapat melatih
dalam menggunakan pendekatan dan metode aspek psikomotorik yang selanjutnya diharapkan
pembelajaran, (3) materi pembelajaran yang dapat dapat terimplementasikan dalam kehidupan sosial
memberikan nilai kebermanfaatan bagi siswa, (4) sehari-hari.
penggunaan media yang tepat dan sesuai, dan (5)
sumber belajar yang memadai.
PEMBAHASAN
Minat dan motivasi merupakan faktor yang
sangat penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini A. Keterampilan Menggunakan Unggah-
guru perlu introspeksi, apakah dirinya telah dapat Ungguh Bahasa Jawa
memanfaatkan berbagai macam stimulus sehingga 1. Potret Penggunaan Bahasa Jawa Dewasa
siswa tertarik untuk mengikuti pembelajaran ini
unggah-ungguh bahasa Jawa. Jika hal tersebut telah
dilaksanakan oleh guru dengan sebaik-baiknya, Unggah-ungguh basa atau dalam bahasa Jawa
diharapkan para siswa akan merasa tertarik dan lazim disebut dengan tingkat tutur bahasa, dan
senang belajar bahasa Jawa yang pada akhirnya akan dikenal dengan speech level dalam bahasa Inggris,
dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan merupakan suatu kekayaan budaya yang dimiliki
menggunakan unggah-ungguh bahasa Jawa. oleh beberapa suku di Indonesia (Sasangka, 2007:
Pemilihan metode guru yang tak pernah 1). Unggah-ungguh bahasa adalah tingkatan-
berubah serta tidak inovatif juga merupakan tingkatan yang terdapat dalam bahasa yang dapat
permasalahan dalam pembelajaran unggah- mengandung kesopanan atau etika dan rasa
ungguh bahasa Jawa. Guru yang menggunakan hormat (honorefik) terhadap mitra bicara. Unggah
metode secara konvensional, tak pernah berubah ungguh basa merupakan adat sopan santun
akan membuat rasa jenuh bagi siswa dalam berbahasa Jawa. Adat sopan santun berbahasa
mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, Jawa ini mencerminkan perilaku kebahasaan
guru dituntut untuk bersifat kreatif dan inovatif yang sebenarnya merupakan cerminan perilaku
dalam menggunakan pendekatan, metode maupun masyarakatnya (Maryono, 2001: 2).
model pembelajaran. Untuk memotivasi siswa Bahasa Jawa sebagai sarana mewariskan
dalam mengikuti pembelajaran bahasa Jawa dan budaya Jawa kepada generasi muda, yang notabene
untuk memperoleh hasil yang maksimal perlu merupakan generasi penerus kebudayaan Jawa.
digunakan pendekatan pembelajaran yang tepat. Fenomena yang memprihatinkan adalah keadaan
Prinsip nilai kebermanfaatan dari apa generasi muda Jawa saat ini adalah semakin
yang mereka dapatkan dalam pembelajaran sedikitnya pengguna bahasa Jawa yang halus dan
juga memegang peranan yang penting. Dengan sopan di kalangan generasi muda Jawa. Alasnya,
memahami akan perlunya belajar unggah-ungguh, ada yang menganggap bahasa Jawa tidak moderen
siswa akan merasa termotivasi dan selanjutnya dan membawa kemajuan pada dirinya, bahkan
mereka akan mengikuti pembelajaran bahasa Jawa menganggap bahasa Jawa tidak mempunyai
dengan sungguh-sungguh. Penggunaan media prospek yang bagus untuk karirnya di masa depan.
yang tepat dan sumber belajar yang memadai dapat Kedua karena generasi muda Jawa sudah merasa
membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran kesulitan dalam menerapkan unggah-ungguh
dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan bahasa Jawa yang baik dan benar (laras tur
siswa dalam menggunakan unggah-ungguh. leres). Alhasil, generasi muda banyak yang takut
12 Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 2, Nomor 2, Januari 2016, hlm. 9-18

menggunakan bahasa Jawa (unggah-ungguh basa ini semakin lama semakin memprihatinkan.
Jawa) kepada orang yang lebih senior. Apabila Leksikon-leksikon krama inggil yang seharusnya
menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko (tidak dipergunakan untuk orang lain (O2 maupun O3)
hormat) takut dianggap tidak tahu sopan santun, yang seharusnya dihormati, justeru diterapkan
tata susila, subasita dan tata krama. Akan tetapi, untuk dirinya sendiri (O1). Kasus tersebut
apabila menggunakan bahasa ragam krama, anak- sebenarnya tidak hanya terjadi pada generasi muda,
anak muda takut salah dalam menerapkan justeru orang sudah dewasa pun juga masih sering terpelset
akan dianggap sombong. Sebagai contoh kasusnya seperti pada kasus di atas. Anehnya, oknum atau
dipaparkan berikut ini. orang berbicara menggunakan unggah-ungguh
a) OI (senior) : “Jenengan wau tindak tersebut tidak merasa bahwa sebenarnya dirinya
mriki jam pinten?” keliru dalam menerapkan unggah-ungguh bahasa
‘Anda tadi berangkat ke sini jam Jawa yang tepat dan benar.
berapa?’
O2 (anak muda): “Tindak jam wolu, 2. Faktor-Faktor Penyebab Sulitnya Unggah-
Pak.” Ungguh Bahasa Jawa pada Anak Didik
‘Berangkat pukul delapan, Pak’
b) O1 : “Saking pundi Jenengan kala Pertama, dikarenakan pembajaran bahasa
wau?” Jawa di kelas kurang mengena di hati para peserta
‘Dari mana Anda tadi?’ didik. Pertama pelajaran bahasa Jawa dirasakan
O2: “Kula saking dalem kok, Pak.” membosankan dan menjemukan.
‘Saya dari rumah, Pak.’ Kedua karena metode atau strategi
c) O1 : “Mangga, Nak, kula aturi dhahar pembelajaran bahasa Jawa yang digunakan oleh
sesarengan!” guru kurang menarik dan tidak inovatif. Akibatnya
‘Silakan, Nak, Saya persilakan makan gairah siswa untuk serius belajar bahasa Jawa
bersama!’ khususnya unggah-ungguh bahasa Jawa menjadi
O2: “Matur nuwun sanget, Pak. menurun bahkan hilang, akibatnya pelajaran
Kula wau sampun dhahar tidak bisa diserap oleh anak didik, dan bahkan
wonten dalem.” cenderung diabaikan.
‘Terima kasih, Pak. Saya tadi sudah Ketiga, unggah-ungguh bahasa Jawa yang
makan di rumah.’ diajarkan oleh guru terlalu berbelit-belit dan
d) O1 : “Kula dakkondur rumiyin nggih.” dirasa rumit. Ada beberapa guru yang masih
‘Saya pulang duluan ya.’ mengajarkan kaidah unggah-ungguh yang lama
yaitu memilah unggah-ungguh menjadi 13 macam
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh (tingkat tutur ngoko lugu, antyabasa, basaantya,
kasus lain penggunaan unggah-ungguh bahasa madyangoko, madyantara, madyakrama, mudha
Jawa seperti di atas. Dalam penggunaan bahasa krama, kramantara, wredha krama, krama desa,
Jawa (ragam krama) seperti di atas kiranya terlihat krama inggil, basa kedhaton, basa kasar). Dengan
halus, namun sebenarnya penggunaan unggah- banyaknya klasifikasi unggah-ungguh tersebut
ungguh tersebut tidak tepat, karena melanggar tidak membuat siswa paham justeru membuat
kaidah unggah-ungguh bahasa krama yang benar. siswa menjadi bingung karena terlalu banyakknya
Itulah potret penggunaan bahasa Jawa dewasa ini pemabagian unggah-ungguh yang terlalu rumit
yang membuat prihatin peneliti dan masyarakat dan tidak adanya ketentuan atau kaidah yang
pelestari baudaya dan bahsa Jawa. Pada contoh membedakan secara tegas antara jenis unggah-
kasus tersebut penutur menggunakan leksikon- ungguh yang satu dengan lainya (lihat UUBJ,
leksikon krama inggil (seperti pada kata tindak, Sasangka: 2007).
dalem kula, dhahar) untuk dirinya sendiri, dan hal Keempat, adalah karena kurangnya teladan
tersebut menjadikan justeru tidak sopan karena yang menjadi panutan siswa untuk belajar
mengunggulkan/ mengagungkan diri sendiri unggah-ungguh bahasa Jawa. Guru di kelas jarang
sehingga bisa dianggap sombong. Sesungguhnya, menggukan bahasa krama (unggah-ungguh basa
apabila kaidah unggah-ungguh bahasa Jawa yang tepat dan benar menurut kaidah tata bahasa
dikuasai dengan baik, kesalahan-kesalahan dan kaidah unggah-ungguh bahasa Jawa) kepada
seperti contoh di atas tidak akan terjadi. Kunci siswanya untuk memberikan teladan. Kelima,
utama terampil menggunakan unggah-ungguh faktor dari dalam diri siswa sendiri dan kuranganya
bahasa Jawa secara tepat dan benar, kemampunan dukungan dari orang tua dan masyarakat. Orang
memilih dan memilah kata-kata bahasa Jawa cenderung mengabaikan bahasa Jawa karena
secara cermat. menganggap bahasa Jawa tidak memberikan
Kenyataan telah membuktikan bahwa kemajuan dan menyokong keberhasilan masa
penggunaan unggah-ungguh bahasa Jawa dewasa depannya secara materi.
Akbar Al Masjid, Penerapan Strategi Pembelajaran Afektif 13

3. Solusi Mengatasi Kendala Sulitnya UUBJ itu ditandai dengan pemakaian bentuk imbuhan
pada Siswa ngoko (awalan: dak-,/tak-, kok-/ko-, di-), (sufiks
a. Pembelajaran bahasa Jawa harus : -ku, -mu, -e, dan –ake). Fungsi ragam ngoko
menerapkan metode, teknik, dan strategi lugu yakni untuk membangun komunikasi yang
pembelajaran yang menarik dan inovatif bersifat akrab atau digunakan oleh partisipan yang
sehingga siswa tergugah semangatnya sudah saling kenal, dipakai dalam situasi santai,
untuk belajar bahasa Jawa. Misalnya dan berfungsi untuk menyampaikan maksud yang
dengan menerapkan pendekatan mudah dipahami oleh mitra tuturnya.
pembelajaran kontekstual dengan strategi Ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh
pembelajaran afektif, seperti yang akan bahasa Jawa yang di dalamnya bukan hanya terdiri
dibahas pada pembahasan berikutnya. atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga
b. Perlunya teknik modelling dalam terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap
pembelajaran, yang dimaksud di sini dan krama (Sasangka, 2007: 107). Fungsi ragam
adalah guru harus menjadi teladan bagi ngoko alus yakni, yakni untuk memperhalus
para peserta didiknya. Pengajar perlu bahasa dan menghormati mitra tutur.
mencontohkan penggunaan bahasa Jawa Unggah-ungguh bentuk krama merupakan
dengan unggah-ungguh bahasa Jawa yang bahasa yang halus, bahasa yang dapat dipakai
baik dan benar sesuai dengan kaidah tata untuk menghormati lawan tuturnya. Ragam
bahasa Jawa dan kaidah unggah-ungguh krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa atau
bahasa Jawa. Misalnya menggunakan tingkat tutur bahasa Jawa yang berintikan leksikon
bahasa pengantar dalam mengajar krama, atau dengan kata lain yang menjadi unsur
menggunakan bahasa ragam krama, inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama
walau pun kepada siswa yang notabene (Sasangka, 2007: 113). Unggah-ungguh krama
status sosialnya lebih rendah. Hal tersebut terdiri dari krama lugu dan krama alus.
dimaksudkan untuk mengajarkan bahaja Ragam krama lugu dapat didefinisikan
Jawa krama yang baik dan benar kepada sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar
para siswa dan untuk membiasakan siswa kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika
menggunakan bahasa Jawa (unggah- dibandingkan dengan ragam ngoko alus, ragam
ungguh krama). Dengan maksud tersebut, krama lugu ini masih menunjukkan tingkat
siswa menjadi terbiasa dan diharapkan kadar kehulusan/kesopanan yang lebih tinggi.
terampil menggunakan unggah-ungguh Bentuk afiks yang sering muncul dalam krama
bahasa Jawa dengan baik dan benar. lugu ini justru berupa afiks ngoko (di-, -e, dan
c. Perlunya penyederhanaan unggah- –ake), dibandingkan dengan penggunaan afiks
ungguh bahasa Jawa, seperti yang krama (dipun-, -ipun, dan –aken). Selain afiks
dipaparkan di bawah ini sebagai berikut. ngoko, klitik madya mang- juga sering muncul
Dalam unggah-ungguh bahasa Jawa dikenal dalam ragam ini. Dalam penggunaan afiks ngoko,
ada beberapa tingkatan, yang secara garis besar leksikon ngoko, dan leksikon madya hanya untuk
dapat dibedakan menjadi tingkat tutur ngoko dan menurunkan derajat kehalusan. Fungsi ragam
tingkat tutur krama (Sasangka, 1994:38). Unggah- krama lugu yaitu, untuk menghormati lawan bicara
ungguh ngoko merupakan bahasa yang masih dengan menggunakan bahasa yang lebih halus dan
alami, yang merupakan dasar dari semua leksikon menunjukan rasa hormat kepada mitra tuturnya.
maupun tingkat tuturnya. Unggah-ungguh Dalam hal ini jika dibandingkang dengan ragam
ngoko ini biasanya digunakan oleh seseorang ngoko, maka ragam krama tetap lebih menunjukan
yang mempunyai hubungan sosial yang erat dan bentuk penghormatan dan kesopansantunan yang
akrab, sehingga menghilangkan kecanggungan lebih tinggi.
antara penutur dan lawan tuturnya. Ragam ngoko Krama alus adalah bentuk unggah-ungguh
menurut Sasangka, dibagi menjadi dua bentuk bahasa Jawa yang kesemua kosakatanya
varian yakni ngoko lugu dan ngoko alus. Ragam menggunakan leksikon krama bisa juga dengan
ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa krama inggil maupun krama andhap. (Sasangka,
yang berintikan leksikon ngoko, atau dengan 2007:120). Afiks yang digunakan dalam ragam
kata lain yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama alus ini selalu memakai bentuk afiks krama
ngoko adalah leksikon ngoko bukan lesikon yang (dipun-, -ipun, -aken). Fungsi ragam krama alus
lain (Sasangka, 2007: 103). yakni digunakan penutur untuk menghormati mitra
Ngoko lugu adalah bentuk unggah- tuturnya menggunakan bahasa yang mempunyai
ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya rasa hormat dan rasa kesopansantunan sangat
menggunkan leksikon ngoko dan netral, selain tinggi.
14 Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 2, Nomor 2, Januari 2016, hlm. 9-18

4. Kaidah Penggunaan Ungguh-Ungguh Ba- (Mengarahkan intreraksi siswa dengan sumber


hasa Jawa (UUBJ) belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan
Kaidah mengenai penggunaan UUBJ yang diharapkan. Dengan demikian jelas terlihat
disampaikan oleh Sumarlam (2012) adalah sebagai bahwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah,
berikut. yaitu guru dan peserta. Pembelajaran adalah suatu
a) Pilihlah leksikon-leksikon yang sesuai proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi
penerapanya. Leksikon ngoko, madya, krama lingkungan yang ada disekitar anak didik,
dan netral dapat digunakan untuk O1, O2, sehingga dapat menimbulkan dan mendorong
O3. Leksikon krama andhap hanya untuk O1. anak didik melakukan proses belajar. Menurut
Leksikon krama inggil untuk O2 dan O3. Hamalik (2002: 58) mengemukakan, pembelajaran
b) Gunakan leksikon krama inggil untuk mitra adalah aktivitas mengorganisasi atau mengatur
tutur (O2) dan orang yang dibicarakan (O3) lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan
yang dihormati. kesempatan bagi anak untuk melakukan proses
c) Gunakan leksikon krama dan atau krama belajar secara efektif.
andhap untuk diri sendiri. Dari pengertian pembelajaran di atas, dapatlah
d) Tidak boleh menggunakan bentuk leksikon disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu
krama inggil untuk diri sendiri. proses aktivitas menerima dan mentranformasikan
e) Jangan menggunakan leksikon ngoko, madya, ilmu atau pengetahuan secara resiprokal antara
krama, krama inggil untuk O2/O3, jikalau ada guru dengan siswa maupun antarsiswa itu sendiri
bentuk krama inggilnya. guna menambah pengetahuan dan mencapai suatu
tujuan belajar.

5. Keterampilan Menggunakan Unggah-Un-


gguh Bahasa Jawa 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemi-
lihan Strategi Pembelajaran
Dari pengertian di atas dapat ditarik simpulan
mengenai konsep keterampilan menggunakan Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat
unggah-ungguh bahasa Jawa adalah kecakapan dapat mewujudkan tujuan pembelajaran tercapai
seseorang untuk memakai bahasa (aspek berbicara) secara maksimal. Kesalahan dalam pemilihan
menggunakan unggah-ungguh/tingkat tutur yang strategi pembelajaran dapat berdampak buruk
menuntut kecakapan memilih kosakata yang tepat bagi peserta didik maupun terhadap pembelajaran
dan benar yang gramatikal secara tata bahasa Jawa itu sendiri. Oleh karena itu pemilihan startegi
dan sesuai kaidah unggah-ungguh yang benar, pemebelajaran merupakan faktor yang sangat
sebagai bentuk kesopan-santunan berbahasa penting dalam proses pembelajaran. Seorang
dan sarana menempatkan seseorang pada status pengajar dituntut mempunyai kepiawaian dalam
sosialnya atau sebagi bentuk penghormatan melilih pendekatan, strategi, metode dan teknik
kepada mitra tuturnya. mengajar yang benar-benar dibutuhkan oleh
peserta didik. Ada banyak faktor yang menjadi
pertimbangan pengajar dalam memilih strategi
B. Strategi Pembelajaran Afektif pembelajaran, diantaranya sebagai berikut.
1. Strategi a) Karakteristik peserta didik (mencakup
kematangan mental dan kecakapan
Strategi adalah garis-garis besar haluan untuk intelektual, kondisi fisik dan kecakapan
bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang psikomotorik, umur dan jenis kelamin).
telah ditentukan. Iskandarwassid mengemukakan b) Kompetensi dasar yang diharapkan
bahwa strategi merupakan taktik atau pola yang c) Bahan ajar (sesuai kriteria SK dan KD
dilakukan oleh seseorang pengajar dalam proses mapel, memberi motivasi, sistematis,
belajar bahasa, sehingga peserta didik dapat lebih praktis, menarik minat, saling terkait dan
leluasa dalam berpikir dan dapat mengembangkan terpadu)
kemampuan kognitifnya secara lebih mendalam d) Waktu yang tersedia (berapa tatap muka
dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar setiap semesternya, berapa jam mata
(Slamet, 2008: 3). Dari pengertian tersebut dapat pelajaran setiap minggunya, dan kapan
ditarik simpulan, bahawa strategi adalah suatu pembelajaran dilaksanakan apakah pada
taktik atau cara yang harus ditempuh dalam upaya pagi hari ketika masih fres, atau ketika
untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. sudah siang atau sehabis olaha raga
disaat semangat belajar siswa sudah
2. Pembelajaran terasa menurun.
e) Sarana dan prasarana
Pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar f) Kecakapan pengajar dalam memilih
dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya. dan menerapkan strategi pembelajaran
Akbar Al Masjid, Penerapan Strategi Pembelajaran Afektif 15

(Iskandarwassid dan Suhendar, 2011: (pengajar dan peserta didik) untuk bertindak dalam
174). usaha mencapai tujuan pembelajaran yang telah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal ditentukan.
3, menjelaskan bahwa pendidikan nasional Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
berfungsi mengembangkan kemampuan dan strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan
mengembangkan watak serta peradaban bangsa (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun
potensi peserta didik, agar menjadi manusia untuk mencapai tujuan tertentu.
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
a. Hakikat Strategi Pembelajaran Afektif
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Strategi pembelajaran afektif (SPA) adalah
Rumusan tujuan pendidikan di atas, sarat suatu metode dalam proses pembelajaran yang
akan pembentukan sikap, sehingga strategi menekankan pada nilai (baik dan tidak baik) dan
pembelajaran sangat berhubungan erat dengan sikap (sopan dan tidak sopan) yang diukur, oleh
pembentukan nilai dan sikap. Dalam hal ini karena itu menyangkut kesadaran seseorang yang
proses pembelajaran ditekankan pada aktivitas tumbuh dari dalam (Sanjaya, 2012). Strategi ini
dan keterampilan siswa sebagai subjek belajar. yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
Untuk itu makalah ini, akan membahas mengenai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan
strategi pembelajaran afektif penerapannya dalam untuk mencapai dimensi yang lainnya yaitu sikap
keterampilan menggunakan unggah-ungguh dan tindakan.Bertolak dari pengertian di atas dapat
bahasa Jawa. Strategi pembelajaran afektif, disimpulkan bahwa strategi pembelajaran afektif
selanjutnya disingkat (SPA) berhubungan dengan adalah proses penamaan nilai-nilai yang positif
nilai (value) perserta didik dengan sikap-sikapnya pada peserta didik.
dalam belajar. Dari pengertian tersebut strategi afektif yang
Sikap merupakan refleksi dari nilai yang diterapkan dalam pembelajaran unggah-ungguh
dimiliki seseorang. Oleh karena itu, pendidikan bahasa Jawa diharapkan pada peserta didik untuk
sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. bisa mempunyai kepribadian baik, berprilaku
Nilai adalah pandangan seseorang mengenai yang sopan yang sesuai dengan norma yang
baik dan buruk, indah dan tidak indah, adil dan telah ditetapkan serta dapat terampil menerapkan
tidak adil, dsb. Kesemuanya itu, berada dalam unggah-ungguh bahasa Jawa yang baik dan benar
pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, hanya (laras sarta leres).
dapat perilaku dari yang bersangkutan. Dengan
demikian, pendidikan nilai dapatlah diartikan b. Karakteristik Strategi Pembelajaran Afektif
sebagai proses penanaman nilai kepada peserta
didik yang diharapkan siswa dapat berperilaku Karakteristik afektif dalam SPA mencakup
sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan lima aspek penting, yaitu sikap, minat, konsep
tidak bertentangan dengan norma-norma yang diri, nilai, dan moral. Penjelasan mengenai kelima
berlaku. aspek karekteristik SPA tersebut, dijelaskan
Pada era globalisasi dewasa ini, seorang anak sebagai berikut.
akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk
yang mungkin dianggap baik. Pengikisan dan bertindak secara suka atau tidak suka terhadap
pertukaran nilai-nilai suatu masyarakat dewasa suatu objek, suatu kecenderungan untuk menerima
ini, akan sangat mungkin terjadi secara terbuka. atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang
Nilai-nilai budaya Jawa (khususnya unggah- dianggapnya baik atau tidak baik. Sikap dapat
ungguh bahasa Jawa) bukan tidak mungkin akan dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan
menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan
yang dianggapnya populer. serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap
dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan
yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi
4. Strategi Pembelajaran Afektif terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah
Oxford mendefinisikan strategi belajar penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap
merupakan tingkah laku atau tindakan yang peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi
dipakai oleh pembelajar agar pembelajaran lebih pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
berhasil, terarah dan menyenangkan. Sementara Minat atau keinginan adalah kecenderungan
itu Zaini dan Bahri (2003) mengemukakan strategi hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting
pembelajaran adalah suatu garis-garis besar haluan pada minat adalah intensitasnya. Secara umum
16 Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 2, Nomor 2, Januari 2016, hlm. 9-18

minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki ungguh bahasa Jawa yang pada tujuannya untuk
intensitas tinggi. Selanjutnya, konsep diri adalah menanamkan nilai-nilai kepribadian baik dan
evaluasi yang dilakukan individu terhadap sikap sopan santun siswa.
kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. 1) Belajar melalui teknik pembiasaan,
Nilai adalah suatu pandangan seseorang Teori ini awalnya diperkenalkan oleh
mengenai baik dan buruk, indah dan tidak indah, Skinner melalui teorinya operant conditioning.
layak dan tidak layak, adil dan tidak adil (Sanjaya, Pembentukan sikap yang dilakukan oleh
2012).Moral adalah suatu perasaan salah atau Skinner menekankan pada peneguhan respon
benar terhadap kebahagiaan orang lain atau anak. Setiap kali anak menunjukan prestasi
perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri yang baik diberikan penguatan (reinforcement)
sendiri. Moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan dengan cara memberikan hadiah atau
keyakinan seseorang. penghargaan. Kemudian pada pembelajaran
berikutnya sikap positif anak akan meningkat
atau semangat akan meningkatselanjutnya
c. Implementasi SPA
prestasi pun ikut meningkat.
Implementasi dari strategi pembelajaran Proses ini dapat diterapkan dengan
tersebut sebagai berikut: membiasakan komunikasi baik siswa maupun
1) Mengidentifikasi kualifikasi kepribadian guru ketika di kelas menggunakan bahasa
peserta didik, latar belakang siswa, Jawa krama. Dengan harapan siswa menjadi
kemampuan dasar siswa dalam pelajaran terbiasa menggunakan bahasa Jawa yang
bahasa Jawa khususnya mengenai baik dan benar baik ketika di sekolah, di
unggah-ungguh bahasa Jawa. masyarakat, maupun di lingkungan keluarga.
2) Memilih sistem pendekatan pembelajaran. Sehingga diharapkan siswa melalui strategi
Sistem pendekatan yang menarik dan pembelajaran afektif ini khususnya dengan
inovatif. teori pembiasaan ini dapat meningkatkan
3) Memilih dan menetapkan prosedur, sikap dan perhatian siswa terhadap pelajaran
metode, dan teknik pembelajaran yang bahasa Jawa. Out putnya diharapkan siswa
efektif. Dalam pembahasan kali ini meningkat sikap sopan santun kepada siapa
akan menerapkan strategi pembelajaran pun.
afektif untuk meningkatkan keterampilan 2) Melalui Modelling
unggah-ungguh bahasa Jawa pada peserta Proses pembentukan belajar yang kedua
didik. yakni melalui modelling, yaitu pembentukan sikap
4) Menetapkan batas minimal keberhasilan melalui proses asimilasi atau proses mencontoh.
atau kriteria standar keberhasilan guna Salah satu karakteristik anak didik yang sedang
menjadi umpan balik atau evaluasi untuk berkembang adalah perilaku mencontoh atau
pemebelajaran berikutnya. meniru perilaku idolanya. Prinsip peniruan inilah
yang disebut modelling. Pemodelan biasanya
d. Teknik Penerapan SPA dimulai dari persaan kagum terhadap sosok, sikap,
kepandaain, dan style tokoh yang diidolakan. Secara
Pola pembentukan sikap menurut Sanjaya perlahan perasaan kagum akan mempengaruhi
(2012) dapat dibagi menjadi dua, yakni melalui emosinya dan secara perlahan pula seorang anak
teknik pembiasaan dan modelling. Dalam hal akan meniru hal-hal yang dilakukan oleh tokoh
ini, untuk meningkatkan keterampilan unggah- yang diidolakan tersebut hingga menjadi sukses.
Proses pembentukan belajar yang mempengaruhi emosinya dan secara
kedua yakni melalui modelling, yaitu perlahan pula seorang anak akan meniru
pembentukan sikap melalui proses hal-hal yang dilakukan oleh tokoh yang
asimilasi atau proses mencontoh. Salah diidolakan tersebut hingga menjadi sukses.
satu karakteristik anak didik yang sedangAkbar Al Masjid, Penerapan Strategi Pembelajaran Afektif 17

Bagan 1. Penerapan Strategi Pembelajaran Afektif dalam Pembelajaran UUBJ


Bagan 1. Penerapan Strategi Pembelajaran Afektif dalam Pembelajaran UUBJ

Siswa Guru
Belajar Kegiatan Belajar Mengajar Mengajar

Kemampuan unggah-ungguh
bahasa Jawa siswa masih rendah

Strategi Pembelajaran Afektif


(SPA)

Pola Pembiasaan Pola Modelling

Keterampilan unggah-ungguh
bahasa Jawa Siswa meningkat

PenUTUP sopan santun dan adab pergaulan


Keterampilan berbicara merupakan
PENUTUP bermasyarakat.
penamaan nilai-nilaiDalam
yang pelajaran bahasa
positif pada peserta
suatu Keterampilan
kecakapan dalamberbicaramenyampaikan
merupakan suatu Jawa pun, strategi
didik. Melalui unggah-ungguh adalah
pembelajaran afektif yang
ide, gagasan,dalam
kecakapan perasaan maupun pesan
menyampaikan ide, dan
gagasan, diterapkan dalam pembelajaran
kompetensi pembelajaran yang paling unggah-ungguh
gagasan
perasaan yang
maupunsesuai
pesan dandengangagasan
yang yang bahasa Jawa diharapkan
subtantif, karena pada di peserta didik untuk
merupakan
bisa mempunyai kepribadian baik, berprilaku
diinginkan oleh yang
sesuai dengan lawan diinginkan
tuturnya melalui
oleh lawan karakteristik dan jati diri sebagai
tuturnya melalui bahasa lisan. Kiranya, tidak ada yang sopan yang sesuai dengan norma yang
bahasa lisan. Kiranya, tidak ada oarang masyarakat
telah ditetapkanJawa
sertadan
dapatsekaligus sebagai
terampil menerapkan
oarang yang terampil berbicara
yang terampil berbicara tanpa melalui tanpa melalui sarana riil komunikasi sehari-hari dalam
proses berlatih. Begitu juga dalam berbicara unggah-ungguh bahasa Jawa yang baik dan benar
proses berlatih. Begitu juga dalam kehidupan bermasyarakat.
(laras sarta leres) Keterampilan
baik di lingkungan keluarga,
menggunakan unggah-ungguh bahasa Jawa
berbicara pembiasaan yangunggah-ungguh
diperlukanmenggunakan terus menerus dalam masyarakat, dan unggah-ungguh
menggunakan sekolah. SPA yangbahasa dibahas
bahasa
situasiJawa diperlukan
apapun pembiasaanberunggah-
supaya kemampuan yang menerapkan dua teknik, yaitu
Jawa yang baik dan benar adalah melalui teknik
terus menerussemakin
ungguhnya dalam situasi
terampilapapun supaya
dan dapat diterima pembiasaan dan modellling.
kecakapan seseorang untuk memakai
Nilai-nilai kesopanan yang menjadi
kemampuan
baik dalam berunggah-ungguhnyasopan
masyarakat karena mempunyai bahasa (aspek berbicara) menggunakan
kebanggaan masyarakat Jawa dirasa semakin
santun dan adab pergaulan
semakin terampil dan dapat bermasyarakat.
diterima baik Dalam unggah-ungguh/tingkat tutur penerapan
yang
pelajaran bahasa Jawa pun, unggah-ungguh terpinggirkan. Banyaknya praktik
dalam masyarakat karena mempunyai menuntut
pembelajarankecakapan memilih yang
UUBJ (guru-siswa) kosakata
masih
adalah kompetensi pembelajaran yang paling
subtantif, karena di merupakan karakteristik dan salah menurut kaidah unggah-ungguh bahasa
jati diri sebagai masyarakat Jawa dan sekaligus Jawa, sehingga membuat keprihatinan tentang
sebagai sarana riil komunikasi sehari-hari keberlangsungan unggah-ungguh bahasa Jawa
dalam kehidupan bermasyarakat. Keterampilan sebagai salah satu warisan budaya Jawa yang luhur.
menggunakan unggah-ungguh bahasa Jawa yang Untuk melestarikan unggah-ungguh bahasa Jawa
baik dan benar adalah kecakapan seseorang untuk kepada generasi muda (di sekolah) perlu dilakukan
memakai bahasa (aspek berbicara) menggunakan perhatian serius khususnya dalam pembelajaran
unggah-ungguh/tingkat tutur yang menuntut bahasa Jawa. Untuk itu, perlu adanya suatu solusi
kecakapan memilih kosakata yang tepat dan benar untuk memecahkan masalah tersebut dengan
yang gramatikal secara tata bahasa Jawa dan memilih dan menerapkan strategi pembelajaran
sesuai kaidah unggah-ungguh yang benar, sebagai yang menyenangkan dan dapat menarik perhatian
bentuk kesopan-santunan berbahasa dan sarana dan minat siswa untuk belajar bahasa Jawa yakni
menempatkan seseorang pada status sosialnya atau dengan pembelajaran yang inovatif. Adapun setiap
sebagi bentuk penghormatan kepada mitra tuturnya. strategi pembelajaran pasti memiliki keungulan
Strategi Pembelajaran Afektif dalam pembelajaran dan kelemahan, oleh karena itu sebagai pengajar
unggah-ungguh bahasa Jawa merupakan proses harus pandai-pandai memilih dan menggunakan
18 Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 2, Nomor 2, Januari 2016, hlm. 9-18

strategi pembelajaran yang tepat dalam Variasai Krama dan Krama Inggil dalam
kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu Strategi Bahasa Jawa Terancam. Jurnal Linguistik
Pembelajaran Afektif (SPA) dalam makalah Indonesia. Nomor 1 tahun ke-26. Februari
ini bisa diberikan masukan yang membangun, 2008.
guna memantapkan dan menyempurkan strategi Oemar Hamalik. 2002 Psikologi Belajar dan
pembelajaran itu ke arah yang lebih baik, serta Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
dapat diterapkan di lingkunag sekolah dan lainya. Iskandarwassid dan Dadang Suhendar. 2011.
Sebagai pengajar dan pendidik, seorang guru Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung:
diharapkan mampu memberikan pembelajaran Rosda Karya.
afektif yang dapat menumbuhkan integritas anak Oxford, R. 1990. Language Learning Strategies.
didik kearah yang lebih baik. Agar anak didik yang What Every Teacher Should Know. New York:
terbentuk tidak hanya memiliki inteligensi tinggi Newbury House Publishers.
namun juga berkepribadian yang baik, dengan Suwandi, Sarwiji. 2006. Evaluasi dalam
kata lain sekolah janag hanya mementingkan Pembelajaran Bahasa. Surakarta: UNS
aspek kognitif saja, akan tetapi aspek afektif dan Pascasarjana.
psikomotorik justru yang harus diberi perhatian _______. 2011. Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
dan penangan yang serius. Sehingga diharapkan & Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Yuma
siswa mempunyai sikap atau nilai afektif yang Pustaka
mulia yang terinternalisasi dalam diri siswa dan Sanjaya, Wina 2004. Pembelajaran Berbasis CTL.
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jakarta: Rajawali.
Sasangka, Satriya Tjatur Wisnu . 2004. Unggah-
ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan
DAFTAR PUSTAKA
Paramalingua
Nurgiyantoro, Burhan. 2001 (ed. Ke-3). Penilaian Slamet. 2008. Dasar-Dasar Keterampilan
Dalam Pengajaran Bahasa Dan Sastra. Berbahasa Indonesia. Surakarta: LPPM UNS
Yogyakarta: BPFE. dan UNS Press
________.2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa _______. 2007. Dasar-dasar Keterampilan
Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE- Berbahasa Jawa. Edisi II. Surakarta: LPP
Yogyakarta UNS Bekerjasama dengan UNS Press
Dimyati dan Mudjiono.1999.Belajar dan Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan.
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Bandung: Alfabeta
Departemen Pendidikan Nasional. 2003a. Sumarlam. 2012. “Unggah-Ungguh Basa Jawi
Kurikulum 2004, Pedoman Khusus (Paugeraning Ngoko Alus lan Krama Alus)”.
Pengembangan Silabus dan Rencana Dalam buku Kajian Bahasa, Sastra, Budaya
Pelaksanaan Pembelajaran Sekolah Jawa. Penyunting Muhammad Rohmadi dan
Menengah Atas. Jakarta: Media Pustaka. Lili Hartono. Surakarta: JPBS FKIP UNS
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Triyanto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran
Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikdas Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana Prenada
Depdikbud. 2010. Kamus Besar Bahasa Jawa. Media Grup.
Jakarta : Balai Pustaka. Zaini Aswan dan Syaiful Bahri D. 2003. Strategi
Subroto, Edi. 2008. “Endengered Krama/Krama Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Inggil Varieties of the Javanese Language”.

Anda mungkin juga menyukai