Anda di halaman 1dari 10

TUGAS UTS LITURGI 2

Musik Liturgi dan Evangelilasi Baru

(Resume Buku Sacred Liturgy)

Oleh : Fransiskus Gilang Agcira Pradana

I. Pengantar

Musik liturgi merupakan salah satu kekayaan dalam liturgi Gereja demi terciptanya
pemaknaan yang agung dan indah dalam setiap perayaan atau upacaranya. Musik liturgi bukan
hanya sekedar musik yang mengiringi lagu-lagu dalam perayaan liturgi, namun hal ini perlu
merujuk pada penghayatan iman Gereja yang ikut ambil bagian dalam perayaan tersebut. Ada
ungkapan lama yang mengatakan "Fides ex auditu", yang berarti „iman berasal dari
pendengaran.“ Ungkapan tersebut ingin menyatakan bahwa iman bisa bertumbuh ketika umat
meyakini dan mempercayai apa yang mereka peroleh dari indera mereka. Demikian juga dalam
Injil Yohanes juga mengatakan: "Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya"
(Yoh. 20:29). Musik liturgi pun bisa dihayati sebagai karya agung Allah yang hadir melalui
perayaan liturgi ketika umat menangkapnya dengan indera mereka.

Secara umum musik selalu berfungsi untuk berkomunikasi atau menyampaikan pesan.
Oleh karena itu, tak perlu dikatakan lagi bahwa semua ritual dari budaya dan agama apa pun,
termasuk dalam lingkup sosial dan politik di masyarakat memiliki bentuk-bentuk komunikasi
melalui musik yang terus berkembang. Maka dari itu, dalam pembahasan ini kita akan
mendalami bagaimana penggunaan musik liturgi itu terus berkembang dalam sejarah Gereja.
Selain itu kita juga akan membahas bagaimana Gereja terus menekankan peran musik liturgi
ini, jenis musik yang berbeda dari musik profan, musik yang selalu kaya akan makna untuk
masuk dalam sebuah penghayatan liturgi yang luhur dan suci kepada semua orang. Hal ini bisa
dikatakan bahwa Gereja terus mengadakan Evangelisasi mengenai hal-hal mendasar tentang
musik liturgi ini. Tulisan ini merupakan sebuah rangkuman (resume) buku Sacred Liturgy
dengan tema Liturgical Music and the New Evangelization.

II. Melihat Sejarah Musik Liturgi hingga Masa Kini


Musik liturgi mengalami pertumbuhan pada milenium pertama Gereja yang berada
dalam ilham Roh Kudus. Musik liturgi yang menjadi ciri khas dalam Gereja Katolik kuno
hingga saat ini adalah musik Gregorian. Musik dan lagu-lagu Gregorian ini lahir dari teks-teks
Kitab Suci. Bisa dikatakan bahwa puji-pujian, maupun Sabda Tuhan yang tertulis dalam Kitab
Suci dikembangkan menjadi sebuah lagu Gregorian. Maka dari itu musik dan lagu-lagu
gregorian dianggap sebagai karya seni musik terbesar sepanjang zaman, yang tidak akan pernah
berakhir selama liturgi itu masih hidup.

Kemudian bagaimana proses Evangelisasi musik liturgi ini dilakukan pada masa Gereja
kuno? Perkembangan Gereja awali menjadi titik tolak proses awal dalam evangelisasi, dimana
pada saat itu orang hidup dalam berbagai budaya, khususnya dalam bermusik. Sejak awal,
Kekristenan hidup dengan sukacita dalam Kebangkitan. Perayaan Paskah adalah titik pusat
liturgi dan tahun Gereja. Dan justru musim Paskah yang agung ini dipenuhi dengan perintah-
perintah yang membahagiakan, "Bernyanyilah, bersukacitalah". Hal ini menandakan bahwa
musik yang meriah menjadi hal yang wajar untuk dinikmati dalam perayaan pesta. Ibadah-
ibadah ilahi dinyanyikan sebagai suatu hal yang prinsipil, seperti yang sudah ada pada zaman
orang Yahudi.

Nyanyian-nyanyian mazmur dan liturgis pada masa kekristenan awal ini tidak terbatas
pada pertemuan liturgi, tetapi juga hidup dalam rumah-rumah orang. Oleh karena itu, orang
Kristen sudah tahu bahwa musik rohani ekstra-liturgi harus memiliki hubungan tertentu dengan
penyembahan dan harus mengarah ke sana. Oleh karena itu, acara liturgi harus memancar ke
dalam rutinitas sehari-hari. Selama berabad-abad, Gereja perdana berupaya terus-menerus
untuk menetapkan tata cara liturgi yang mengikat secara umum di bawah kendali uskup
setempat dan dalam kesesuaian seluas mungkin dengan provinsi-provinsi gerejawi yang sedang
berkembang. Kepedulian akan bentuk liturgi dan cara menyanyikannya yang mengikat ini pada
gilirannya berasal dari kepedulian akan isi iman dan pendalaman umat Gereja perdana.

Perkembangan musik liturgi dalam Gereja setelah Gereja perdana terus mengalami
pasang surut karena situasi yang dialami dalam Gereja sendiri. Perubahan terus terjadi karena
melihat konteks budaya yang sangat majemuk dalam Gereja. Gereja tidak bisa begitu saja
menguniversalkan makna musik liturgi dengan hanya memandang sebelah mata kemajemukan
budaya yang ada di setiap daerah, yang juga mempunyai kekhasan musik daerahnya masing-
masing. Demikian juga mengenai pemaknaan dari musik liturgi yang terus mengalami
perubahan mendasar, mulai pada masa monastik yang menekankan nilai-nilai kesalehan dalam
menyanyikan ayat-ayat dalam kitab suci, kemudian pada masa abad pertengahan hingga pada
Reformasi Luther yang memberi pembatasan pada polifoni musik liturgi. Gereja sendiri juga
mengamati bahwa pada periode Reformasi, nyanyian rakyat sangat tidak cocok untuk musik
Liturgi Suci. Namun demikian, di Gereja-gereja masa kini dan budaya non-Kristen, para
misionaris sampai pertengahan abad kedua puluh berperilaku seperti yang dilakukan Gereja
mula-mula di zaman kuno: untuk menghindari risiko kesalahpahaman dogmatis yang
substansial, mereka lebih suka menggunakan nyanyian rohani Eropa yang relatif sederhana dan
nyanyian Gregorian sederhana.

Dari situasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Gereja banyak menemukan tantangan
dalam proses evangelisasi kepada semua orang mengenai peranan musik dalam Gereja,
khususnya mengenai musik liturgi. Tantangan evangelisasi ini menjadi gerak bagi Gereja untuk
terus menyusun hal-hal mendasar mengenai musik dalam liturgi Gereja. Maka dari itu Konsili
Vatikan II menjadi buah permenungan Gereja dalam menanggapi tuntutan zaman dan budaya
yang semakin majemuk. Buah permenungan ini mengarahkan Gereja dan orang lain untuk
memaknai dengan benar apa makna dan peran musik dalam liturgi Gereja. Gereja ingin
menekankan kualitas rohani dalam menghidupi musik liturgi. Kualitas rohani dan artistik tidak
mengambil arahnya berdasarkan permintaan populer yang sesuai dengan perkembangan
zaman, melainkan dari makna sentral dan kedalaman kebenaran Iman. Sesuatu bisa menjadi
indah dan baik hanya jika itu jelas-jelas selaras dengan kebenaran dan dengan kemampuan
artistik dalam liturgi.

III. Melihat Arahan dari Konsili Vatikan II

Pengalaman telah menunjukkan bahwa konsili-konsili hanya menghasilkan efek seratus


tahun kemudian; jika demikian, maka lima puluh tahun setelah Vatikan II, sudah saatnya untuk
memeriksa kembali arah yang telah dipetakan, karena arahan Konsili tentang musica sacra
tidak dimaksudkan sebagai bahan diskusi atau sebagai gambaran dari momen tertentu.

Evangelisasi Baru menjadi misi Gereja diharapkan mampu menebarkan ulang benih-
benih di banyak daerah. Secara umum, dalam semua inisiatif dan kegiatan Evangelisasi Baru,
kita harus bertanya pada diri kita sendiri: Siapa yang perlu diinjili kembali? Seseorang yang di
dunia sekarang ini, dengan segala macam kelompok ateistik, hedonistik dan heterodoksnya,
mengakui Iman Katolik Roma bukan karena kebiasaan atau karena dinamika kelompok tetapi
karena dia mencari? Dalam bukunya tentang Evangelisasi Baru di Tahun Iman, Uskup
Dominique Rey telah menyatakan tentang konsep Evangelisasi Baru: "Baru" berarti
"mengevaluasi kembali" praktik-praktik pastoral kita. Menghadapi tantangan eksternal
sekularisme, relativisme dan hilangnya ingatan Kristiani, Uskup Rey menganggap perlu bagi
Gereja untuk tanpa henti menemukan kembali identitas dan struktur misionernya sendiri.
Apabila dikaitkan dengan evangelisasi musik liturgi yang sesuai dengan kebijaksanaan
Gereja misioner sejak awal, proses ini berarti: tidak ada adopsi yang tidak kritis terhadap
bentuk-bentuk musik sekuler dan pola-pola suara, melainkan identitas yang berbeda dengan
musik khusus. Musik liturgi bukanlah ancilla liturgiæ dan Konsili dengan sengaja menghindari
ungkapan itu. Uskup Agung Rio de Janeiro telah menjelaskan bahwa musica sacra memiliki
fungsi "tambahan" atau subordinat hanya sehubungan dengan tindakannya ("quoad actionem"),
tetapi tidak sehubungan dengan sifatnya ("quoad naturam"). "Berdasarkan kodratnya, ia adalah
dan tetap merupakan komponen yang perlu dan integral dari liturgi yang agung dan suci.

Paus Pius X menyatakan bahwa selain nyanyian Gregorian, karya-karya yang disebut
polifoni klasik, karena di dalamnya keseimbangan yang diperlukan antara objektivitas bentuk
dan ekspresi subjektif yang hidup dapat dicapai, mungkin dengan cara yang tidak ditemukan
dalam jenis musik lain apa pun. Oleh karena itu, arahan-arahan musikal yang spesifik dari
Konsili tidak berarti dipahami hanya sebagai contoh-contoh ilustratif; Berulang kali mereka
menuntut seni sejati, yang (seperti yang diketahui semua orang) pertama-tama mengandaikan
bakat, dan kemudian tentu saja pelatihan, praksis, dan pengalaman! Mereka juga menekankan
bahwa musik liturgi merupakan "harta karun yang tak ternilai harganya" ("thesaurum . . . .
pretii inæstimabilis") yang "harus dipelihara dan dikembangkan dengan sangat hati-hati"
("summa cura servetur et foveatur"), seperti yang ditetapkan Konsili Vatikan II.

IV. Apa yang dapat kita tingkatkan?

Dalam pembahasan ini, kita akan mengacu pada pernyataan dari seorang uskup yang
mengatakan ada tiga kekurangan dalam mengupayakan pemaknaan musik, yakni komunikasi,
daya tarik dan kredibilitas.

Pertama, musik adalah komunikasi, yang dapat digunakan di media sosial, tanpa masalah
bahasa, secara ekumenis mempunyai makna dan dengan cara yang dapat diakses oleh semua
orang; yang paling penting meskipun di luar semua kata, musik adalah pembawa pesan misteri
Tuhan yang tak terlukiskan.

Kedua, karena mendengarkan atau bahkan memproduksi musik adalah pekerjaan favorit
kaum muda, seorang musikus yang mempunyai kompeten dapat serta menyampaikan kepada
mereka musik yang menarik dari kekayaan besar "harta karun musik sakral", sehingga
membuat paduan suara menjadi tempat perjumpaan yang nyata dengan Tuhan dalam perayaan
liturgi suci.
Ketiga, jika para penyanyi dan musisi menghayati iman mereka, musik yang dibawakan
bahkan oleh musisi yang tidak terlatih sekali pun dapat memiliki efek yang meyakinkan dan
mengharukan. Ketika paduan suara anak laki-laki masih dipimpin oleh imam-imam yang setia,
paduan suara tersebut merupakan sumber yang dapat diandalkan untuk panggilan imamat. Oleh
karena itu, paduan suara liturgi dan terutama paduan suara anak laki-laki membutuhkan
perhatian pastoral khusus.

Untuk melakukan hal itu, diperlukan inisiatif pendidikan baru dan peningkatan kesadaran
sehubungan dengan musik liturgi, terutama bagi semua yang bertanggung jawab atas liturgi,
terutama bagi para imam dan para religius. Landasan yang sangat diperlukan, bagaimanapun
juga, adalah ajaran dan undang-undang Gereja, seperti yang ditemukan dalam dokumen-
dokumen Konsili dan Tahta Suci. Tidaklah cukup untuk memusatkan inisiatif pendidikan ini
hanya pada materi musik dan pelatihan personel. Sebaliknya, wawasan musik harus diperluas
secara teologis, historis, akustik, etnologis, psikologis dan sosiologis. Melihat recana yang baik
ini, maka pada awalnya Gereja perlu untuk melatih para guru musik liturgi terlebih dahulu.
Sebelum rekomendasi struktural umum dapat dibuat dalam bidang ini, para uskup yang teliti
di tingkat keuskupan harus mendirikan kursus-kursus khusus yang terkoordinasi dalam mata
pelajaran di seminari-seminari utama mereka, di mana pada saat yang sama dua prinsip yang
sangat diperlukan harus diperhatikan: (1) para instruktur harus dalam setiap kasus memiliki
formasi akademis di bidangnya dan; (2) pada saat yang sama berakar pada praksis liturgi dan
memiliki bagian dalam tanggung jawab pastoral.

Nyanyian liturgi hampir selalu merupakan kegiatan misioner, sebagai ungkapan Iman,
pemahaman Iman Gereja. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyerahkan musik dalam liturgi
kepada orang yang tidak bertanggungjawab. Jika Liturgi Suci adalah fons et culmen vitæ et
missionis ecclesiæ (sumber dan puncak kehidupan dan misi Gereja), maka dapat disimpulkan
bahwa orang akan mengerti pentingnya musik dalam perayaan liturgi.

V. Kesimpulan

Dari rangkuman di atas, kita dapat melihat betapa pentingnya peran musik liturgi dalam
kehidupan Gereja dan juga penting untuk memberikan pemahaman itu kepada semua orang
melalui proses evangelisasi. Pemaknaan akan liturgi memang sudah ada sejak zaman Gereja
perdana melalui hidup bersama dan berdoa memuji Tuhan. Demikian juga musik liturgi sebagai
pengiring doa itu juga terus berkembang seiring berjalannya waktu. Akan tetapi Gereja terus
menemukan tantangan yang berat dalam melakukan evangelisasi kepada umat beriman
mengenai musik liturgi ini.

Akan tetapi Gereja tidak ambil diam, Gereja terus berupaya menyatakan kebenaran
tentang musik liturgi itu dengan mengeluarkan dokumen liturgi suci melalui Sacrosanctum
Concilium. Selain itu, Gereja juga terus mengupayakan pelayan pastoral, yakni imam sendiri
untuk mengupayakan pemahaman mendasar kepada para umat dan khususnya para calon imam
mengenai musik liturgi sebagai bekal pelayanan pastoral mereka di Gereja.

Lampiran

Pembinaan para Rohaniwan dan Rohaniwati dalam Musik Sakral

Consociatio Internationalis Musicæ Sacræ, 2007

I. Pendahuluan

Liturgi: Sebuah Pengalaman Keindahan

Konsili Vatikan II memberikan perhatian khusus pada bagaimana cara liturgi itu
dirayakan. Dalam Pengantar Konstitusi tentang Liturgi Suci dikatakan: Karena melalui liturgi,
terutama dalam kurban ilahi Ekaristi, "karya penebusan kita digenapi," dan melalui liturgi,
umat beriman dimampukan untuk mengungkapkan dalam hidup mereka dan memanifestasikan
kepada orang lain misteri Kristus dan hakikat sejati Gereja. Gereja pada hakikatnya adalah
manusiawi dan ilahi, yang kelihatan tetapi dikaruniai realitas yang tidak kelihatan, bersemangat
dalam tindakan dan membaktikan diri pada kontemplasi, hadir di dunia, tetapi sebagai peziarah
dibentuk sedemikian rupa sehingga di dalam dirinya manusiawi diarahkan kepada yang ilahi.
(SC 2)

Adapun pernyataan-pernyataan dasar yang dirumuskan dalam bab pertama Konstitusi


tentang Liturgi Konsili Vatikan II: Dalam liturgi duniawi, kita mengambil bagian dalam sebuah
rasa dari liturgi surgawi yang dirayakan di Kota Suci Yerusalem, yang kita tempuh sebagai
peziarah, di mana Kristus duduk di sebelah kanan Allah, pelayan tempat kudus dan tabernakel
sejati. Bersama semua tentara surgawi, kita menyanyikan pujian kemuliaan bagi Tuhan (SC 8).
Oleh karena itu, tampaknya cukup adil untuk menyimpulkan bahwa ruang lingkup ekspresif
liturgi, dalam aspek manusiawi dan kasatmata, yang pada hakikatnya dinobatkan untuk yang
ilahi.
Pengalaman liturgi menyangkut pada pencapaian kepenuhannya sendiri dan karenanya
secara khusus apa yang dapat didengar: "Fides ex auditu". ("Iman berasal dari pendengaran.")
Maksudnya adalah liturgi yang dinyanyikan dengan karakter "pneumatik" yang spesifik
(berasal dari Roh Kudus), yang dengannya kita mengambil bagian dalam liturgi surgawi.

Nyanyian liturgi dan musik liturgi terikat dalam kebenaran dan keindahan dengan orang-
orang yang bersama-sama merayakan liturgi – hal ini mendapat penghargaan oleh Konsili
Vatikan II dengan cara yang istimewa di atas semua seni lainnya. Tradisi musik Gereja
universal adalah harta karun yang tak ternilai harganya, bahkan lebih besar daripada seni-seni
lainnya. Alasan utama untuk keunggulan ini adalah bahwa nyanyian dalam liturgi suci yang
disatukan dengan kata-kata merupakan bagian penting dan integral dari liturgi yang khidmat
(bdk. Sacrosanctum Concilium, 112).

II. Landasan Teologis

Kardinal Joseph Ratzinger pada pembukaan Kongres Musik Gereja Internasional


Kedelapan di Roma pada tahun 1985, menyatakan bahwa: Musik liturgi adalah hasil dari
tuntutan dan dinamisme Penjelmaan Sabda, karena musik liturgi memberi arti bahwa sabda
tidak bisa hanya sekedar ucapan. Ini juga menjadi alasan mengapa perlu untuk meningkatkan
pemahaman dan tanggapan yang lebih dalam kepada umat mengenai musik liturgi.

Dalam perayaan liturgi, kita meyakini bahwa seluruh misteri Allah tercurah di dalamnya.
Demikian juga Sabda yang menjadi daging terus-menerus diwartakan dalam perayaan liturgi.
Maka dari itu melalui musik liturgi yang agung ini tentu menambah penghayatan seluruh umat
dalam merefleksikan Sabda yang menjadi Daging dalam perayaan liturgi Gereja. Ketika Sabda
menjadi musik, di satu sisi ada ilustrasi yang dapat dilihat, inkarnasi atau mengambil daging,
daya tarik kekuatan pra-rasional dan suprarasional, sebuah tarikan pada resonansi tersembunyi
dari ciptaan, sebuah penemuan lagu yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Dan dengan
demikian, musik ini sendiri merupakan titik balik dalam gerakan: tidak hanya melibatkan
Firman yang menjadi daging, tetapi secara bersamaan daging menjadi roh. Apa yang terjadi
adalah perwujudan atau penjelmaan dalam tubuh Logos yang menjadi manusia.

III. Tuntutan-tuntutan khusus Konsili Vatikan II

Dalam dokumen ini telah diterangkan mengenai persyaratan mendasar untuk pembinaan,
tidak hanya bagi para pemusik dalam pelayanan liturgi, tetapi juga bagi orang yang
bertanggung jawab atas liturgi, yaitu imam. Dengan demikian Konsili sendiri yang
menyusunnya demikian:

Pasal 116

Dalam pasal ini, Gereja menekankan bahwa nyanyian Gregorian merupakan nyanyian
liturgi yang khas dalam Liturgi Romawi. Hal ini juga menjadi tanggung jawab pastoral bagi
Gereja sendiri dalam menyerukan musik Gregorian sebagai musik yang utama. Nyanyian
Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara liturgi. Tentu saja hal ini merupakan
membutuhkan persyaratan pendidikan yang baik dan kompetensi pastoral yang tepat bagi
Gereja untuk dapat menyanyikan semua nyanyian Gregorian yang seharusnya dinyanyikan
oleh umat beriman, misalnya nyanyian Ordinarium Missæ (Ordinarium Misa Biasa).
Mengingat bahwa pasal 116 juga berkaitan dengan semua bentuk musik lain yang sesuai
dengan liturgi, imam perlu memiliki setidaknya pengetahuan dasar tentang Thesaurus Musicæ
Sacræ (perbendaharaan musik sakral) (art. 114).

Artikel 118

Lagu-lagu sakral populer yang bersejarah bisa sangat berbeda dari satu negara ke negara
lain. Oleh karena itu dalam pelayanan pastoralnya, imam perlu memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang warisan musik di berbagai tempat, dan harus memiliki penilaian yang baik
sehingga dapat membedakan antara apa yang baik dan apa yang kurang baik, antara lagu-lagu
yang mempunyai makna mendalam dan lagu-lagu yang tidak memiliki makna, antara seni
rakyat yang asli dan tiruan-tiruan artifisial, dan seterusnya.

Pasal 119

Dalam sebuah budaya tanpa tradisi kristiani, seorang imam perlu memiliki persiapan
khusus agar kompeten secara etnologis dalam hal musik, untuk menghindari kesalahpahaman
dogmatis yang serius: suatu jenis musik tertentu mungkin terkait erat dengan agama dan iman
lain sesuai dengan kemungkinan identifikasi psikologis dalam budaya diluar katolik.

Pasal 120

Untuk memahami instruksi Konsili yang jelas ketika berbicara secara eksplisit tentang
organ pipa, imam harus mengenal nilai artistik alat musik ini. Soeang imam harus belajar
membedakan antara kebenaran alat musik asli dan kepalsuan yang terdengar; ini adalah kriteria
lain untuk masuknya sebuah instrumen dalam liturgi. Seorang imam membutuhkan penilaian
dasar yang baik secara khusus mengenai nilai organ bersejarah. Hal yang sama juga berlaku
untuk lonceng gereja, dengan perbedaan khusus bahwa makna simbolis yang mendalam
dikaitkan dengan lonceng gereja. Apa yang telah dikatakan dalam artikel 118 dan 119, berlaku
juga untuk masuknya alat musik lain ke dalam liturgi.

Pasal 121

Siapa pun yang tertarik pada penciptaan dan pertunjukan komposisi baru harus
menyadari keadaan, kondisi, dan hak-hak yang dihasilkan darinya. Oleh karena itu, orientasi
dasar dalam aspek-aspek dalam musik liturgi tampaknya lebih dari yang dianjurkan.

Formasi Umum untuk Kebutuhan Pastoral

Dalam karangka teknis maupun pastoral, seseorang harus mempelajari dan


mempraktikkan penggunaan mikrofon yang tepat. Seseorang juga harus secara umum
mengenal ruang-ruang dimana musik tersebut dimainkan. Seseorang harus memperhitungkan
kualitas dan volume suara yang tepat agar suasana liturgi agung ini bisa tercipta di dalam
gedung gereja maupun di tempat-tempat lain.

Musik Suci dan Arsitektur

Bahkan mikrofon yang paling canggih pun tidak mampu menyelesaikan masalah yang
mungkin terjadi; sebaliknya, mikrofon sering kali memperburuknya. Arsitektur di tempat
pertama sudah menyiratkan pilihan musik yang sesuai. Tidak semua jenis musik dapat
dibawakan dengan baik di setiap latar, yang sangat penting adalah posisi sumber suara dalam
latar, terutama selebran, tetapi juga organ dan paduan suara.

Pedagogi Musik

Jika sekolah-sekolah dan pendidikan umum tidak menawarkan pelatihan musik dasar,
imam sendiri harus memiliki setidaknya rencana dasar, mungkin juga bisa mempercayakan
program tersebut kepada anggota umat beriman yang berkualitas dan dapat memberikan hasil
yang memadai, terutama dengan bekerja dengan kaum muda dan anak-anak.

Psikologi Paduan Suara

Untuk memelihara atau menciptakan paduan suara kelompok musik di paroki, orang
yang memiliki tanggung jawab pastoral membutuhkan tambahan "perasaan" tertentu. Ia harus
mengenal psikologi khusus dari paduan suara yang terdiri dari para amatir, yang tergantung
pada keseimbangan yang halus antara iman yang mendalam dan tanggapan musik yang bisa
diterima. Saran-saran ini harus dialami dan bukan hanya dibaca. Dibutuhkan penerapan
masing-masing, dan bukan hanya sesekali atau secara selektif, melainkan selama seluruh tahun
liturgi. Hanya pengalaman yang mengembangkan rasa estetika dan pemahaman yang
mendalam, dengan menciptakan kenangan liturgi yang tak terhapuskan.

Anda mungkin juga menyukai