Anda di halaman 1dari 12

1. A.

Inkulturasi menurut beberapa dokumen Gereja


- Landasan Biblis Inkulturasi
Kekristenan lahir dalam lingkungan budaya Yahudi. Peristiwa Pentakosta
(Kis. 2:1-41) dipandang sebagai hari kelahiran Gereja. Para penganut pertama
Kekristenan adalah orang-orang Yahudi. Tetapi selanjutnya Kekristenan mulai
berkembang di kalangan bangsa-bangsa lain, khususnya berkat kegiatan dua rasul
besar, Paulus dan Barnabas. Segera saja Gereja yang baru lahir itu digoncang oleh
sebuah persoalan besar. Persoalannya, apakah orang bukan-Yahudi yang menjadi
Kristen harus mengikuti adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa (budaya Yahudi)
atau tidak? Di sini terjadi pro-kontra yang tajam. Untuk membicarakan persoalan ini
diadakanlah Konsili para Rasul di Yerusalem (sekitar tahun 50 AD). Konsili ini
memutuskan, bahwa peraturan Yahudi tentang kenajisan, sunat dan larangan makanan
tertentu bagi orang Kristen keturunan bukan-Yahudi tidaklah diwajibkan (lih. Kis.
15:1-34).
Keputusan Konsili Yerusalem ini sangat penting bagi kehidupan dan
perkembangan Gereja selanjutnya. Keputusan ini menegaskan, bahwa Gereja tidak
terikat pada suatu budaya tertentu. Gereja dapat ber-inkarnasi dalam semua budaya
yang baik. Karena itu, seseorang dari budaya manapun, ketika menjadi Kristen, tidak
perlu meninggalkan budayanya, sejauh unsur budaya tersebut tidak bertentangan
dengan iman Kristiani.
Dapat dipahami bahwa permenungan teologis sekitar hal ini belum sangat
berkembang dalam Perjanjian Baru. Tetapi Kis. 17:16-34 memberikan landasan
teologis yang cukup jelas. Ketika berada di Atena, “Paulus pergi berdiri di atas
Areopagus dan berkata: ‘Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal
kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu
dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah
dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa
mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepadamu” (Kis. 17:22-23). Paulus
menemukan tanda kehadiran Allah secara tersembunyi dalam budaya-religius Yunani.
- Ajaran Gereja
Penemuan Paulus di atas menjadi salah satu pusat permenungan teologis pada
masa selanjutnya, di jaman para Bapa Gereja (abad ke-2 s/d ke-8). Yustinus
(meninggal sebagai martir antara 163-167 AD) dan Clemens dari Alexandria
(meninggal 215 atau 216 AD), misalnya, menemukan hadirnya “benih-benih Sabda”
dalam filsafat Yunani. Dan ini semua, menurut Eusebius dari Kaisarea, benar-benar
dapat melandaskan suatu “persiapan untuk Injil” (praeparatio evangelica).
Posisi para Bapa Gereja ini diambil alih dan dikembangkan secara matang
dengan menetapkannya pada semua budaya dan agama bukan-Kristiani oleh Konsili
Vatikan II (lih. LG,16 dan khususnya Deklarasi “Nostra Aetate” tentang Hubungan
Gereja dengan Agama-Agama Bukan-Kristiani, disingkat NA). Penegasan Konsili
Vatikan II sangat jelas, bahwa “rencana keselamatan (Allah) juga merangkum
mereka, yang mengakui Sang Pencipta; di antara mereka terdapat terutama kaum
Muslimin…Pun dari umat lain, yang mencari Allah yang tak mereka kenal dalam
bayangan dan gambaran, tidak jauhlah Allah, karena Ia memberi semua kehidupan
dan nafas dan segalanya (lih. Kis. 17:25-28), dan sebagai Penyelamat menghendaki
keselamatan semua orang (lih. 1 Tim. 2:4)… Penyelenggaraan ilahi tidak menolak
memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa
bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat
rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apa pun yang baik dan
benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai “persiapan Injil”
(LG, 16).
Atas dasar itu, Konsili Vatikan II mengetengahkan tema inkulturasi sebagai suatu
tugas bagi Gereja, khususnya Gereja-Gereja muda. “Gereja-Gereja itu meminjam dari
adat-istiadat dan tradisi-tradisi para bangsanya, dari kebijaksanaan dan ajaran mereka,
dari kesenian dan ilmu pengetahuan mereka, segala sesuatu, yang dapat merupakan
sumbangan untuk mengakui kemuliaan Sang Pencipta, untuk memperjelas rahmat
Sang Penebus, dan untuk mengatur hidup kristiani dengan saksama” (AG, 22).
Dengan demikian, “apa pun yang baik, yang terdapat tertaburkan dalam hati dan budi
orang-orang, atau dalam adat-kebiasaan serta kebudayaan-kebudayaan yang khas para
bangsa, bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan
disempurnakan demi kemuliaan Allah, untuk mempermalukan setan dan demi
kebahagiaan manusia” (AG, 9; lih. juga LG, 17; Agustinus, De Civitate Dei, 19,17:
PL 41,646).
Dalam Ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Des. 1975), Paus Paulus VI
kembali secara tegas menekankan lagi mandat inkulturasi ini dalam tugas pewartaan.
Namun, di lain pihak, dengan tidak kurang tegas mengingatkan agar tetap dijaga
kesetiaan kepada Injil. “Evangelisasi menghadapi risiko kehilangan kekuatannya dan
sekaligus lenyap apabila seseorang mengosongkan atau memalsukan isinya dengan
dalih menerjemahkannya” (EN, 63). Konsili Vatikan II sesungguhnya telah memberi
peringatan yang sama dalam kata-kata yang berbeda, yaitu agar dicegah “semua
bentuk sinkretisme (pencampu radukkan) dan partikularisme yang keliru” (AG, 22).

B. Contoh-contoh tantangan inkulturasi dalam taham penerjemahan :

1. Melakukan penerjamaham

Di mana Gereja, melalui para misionaris asing, berkontak dengan sebuah kebudayaan
baru, sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain. Walau
diupayakan penyesuaian-penyesuaian kecil, terjemahan dipersiapkan, Gereja toh mempunyai
pandangan asing, dan menjadi seorang Kristiani seringkali berarti meninggalkan budayanya
sendiri. Pada tahap pertama ini berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya
berbeda). Para misionaris dan umat Kristiani setempat mengasimilasikan unsur-unsur budaya
satu sama lain. Sejumlah cerita kecil aneh rada lucu, karena salah paham akibat perbedaan
budaya, muncul dari tahap awal ini. Misalnya, seorang anak pembantu pastoran suatu malam
bukan kepalang terperanjat ketika dimarahi oleh Pastor, saat beliau tiba kembali di pastoran
dari mengunjungi orang sakit. Dengan ramah anak pastoran itu menyambutnya dengan kata-
kata, “Dari mana, Pastor?” Pastor merasa tersinggung, karena sebagai orang Barat beliau
menganggap anak itu mau mencampuri urusannya. Padahal di daerah itu, sapaan tersebut
sama dengan ucapan “Selamat malam, Pastor”. Cerita lain, sementara mengajar di kelas
sebuah SD, seorang Pastor misionaris meneriaki seorang anak sebagai tolol. Beliau meminta
anak itu menunjukkan mana sisi kanan mana sisi kiri dari sebuah lukisan yang tergantung di
dinding. Anak itu menunjukkan sisi kanan dan sisi kiri persis terbalik dari yang dipikirkan
Pastor. Memang, orang Barat menentukan sisi kanan dan kiri berdasarkan subyek yang
memandang, sedang orang Timur berdasarkan obyek yang dipandang. Tidakkah di sini
terungkap perbedaan pandangan yang lebih mendalam menyangkut hubungan manusia dan
kosmos? Sementara orang Barat cenderung menganut paham antroposentrisme (manusia
merupakan pusat dari alam), pandangan asli Timur tidak melihat manusia sebagai pusat
melainkan bagian dari alam. Dan ini tentu mempunyai dampak luas dalam kehidupan sosio-
religius masyarakat Timur, yang berbeda dari masyarakat Barat.

2. Asimilasi

Ketika semakin banyak penduduk setempat menjadi anggota Gereja, dan khususnya
ketika para klerus atau imam pribumi makin berkembang, Gereja dengan sendirinya semakin
berasimilasi pada budaya masyarakat sekeliling. Pada tahap ini proses inkulturasi yang
sesungguhnya mulai, di mana para pelaku utama adalah mereka yang berasal dari budaya
setempat. Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur
dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, kesenian, simbol-simbol, dll) diambil
alih ke dalam kehidupan Gereja. Inilah tahap yang kritis. Di sini dibutuhkan kecermatan
memadai demi mencegah “setiap bentuk sinkretisme dan partikularisme yang keliru”,
sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Karena itu dibutuhkan pedoman umum praksis
berikut:

a. Metode Tiga Langkah

Dalam mengambil alih manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan


setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan
gerejawi, perlulah: (1) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi
tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; lalu (2) menerima yang baik atau yang
sudah dimurnikan; dan dengan demikian (3) memberi makna baru kepadanya, dengan
mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani.

Sebuah contoh klasik demi lebih menjelaskan metode tiga langkah ini, ialah
perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis
tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui. Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal
itu. Diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember itu aslinya dalam kekaisaran Romawi
dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama
Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau
menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan
Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus.
Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam
penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini
disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur
takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah
kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga).

b. Dibutuhkan Telaah Sosiologis-Antropologis dan Teologis

Jelaslah metode 3 langkah di atas harus didukung oleh refleksi teologis yang
andal. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa untuk mewujudkan inkulturasi secara
benar perlulah, “bahwa di setiap kawasan sosio-budaya yang luas, seperti dikatakan,
didoronglah refleksi teologis, untuk – dalam terang Tradisi Gereja semesta – meneliti
secara baru peristiwa-peristiwa maupun amanat sabda yang telah diwahyukan oleh
Allah, dicantumkan dalam Kitab Suci, dan diuraikan oleh para Bapa serta Wewenang
Mengajar Gereja. Demikianlah akan dimengerti lebih jelas, bagaimana iman –dengan
mengindahkan filsafah serta kebijaksanaan para bangsa – dapat mencari pengertian,
dan bagaimana adat-kebiasaan, cita-rasa kehidupan dan tertib sosial dapat diserasikan
dengan tata-susila yang kita terima berkat perwahyuan ilahi. Begitulah akan terbuka
jalan menuju penyesuaian lebih mendalam di seluruh lingkup hidup kristiani. Dengan
cara bertindak demikian segala kesan sinkretisme (pencampuradukkan) dan
partikularisme yang keliru akan dielakkan, hidup kristiani akan makin sesuai dengan
watak perangai serta sifat-sifat setiap kebudayaan, dan tradisi-tradisi khusus beserta
bakat-bawaan setiap keluarga bangsa-bangsa, berkat cahaya Injil, akan ditampung
dalam kesatuan Katolik. Akhirnya Gereja-Gereja khusus baru, disemarakkan dengan
tradisi-tradisi mereka, akan mendapat tempat mereka dalam persekutuan gerejawi,
sementara tetap utuhlah tempat utama Takhta Petrus, yang mengetuai segenap
paguyuban cinta kasih” (AG, 22).

Sebagaimana nyata dari kutipan di atas, refleksi teologis membutuhkan data


antropologis dan sosiologis setempat. Data itu terutama menyangkut apa makna asli
dari manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan yang ingin diambil alih ke dalam
kehidupan Gereja. Oleh karena itulah dibutuhkan penelaahan antropologis dan
sosiologis setempat, dalam kerjasama khususnya dengan tokoh-tokoh dan para ahli
adat setempat. Perlu jelas pula seberapa jauh nilai-nilai asli itu masih menjiwai hidup
masyarakat setempat sekarang ini, bagaimana melestarikannya dan membuatnya tetap
relevan di tengah arus perubahan dan perkembangan teknologis yang semakin cepat.
Dalam refleksi teologis, manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan, khususnya
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, harus ditafsirkan dalam terang Kitab Suci
dan tradisi Gereja.

c. Tahap Transformasi

Apabila proses asimilasi itu berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan
tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru pada
kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi, tahap
transformasi. Pada tahap ini kita akan menemukan terbentuknya sebuah komunitas
Kristiani baru; sebuah “communio” yang memiliki kekhasan dinamis, terus-menerus
berkembang, tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk
liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refeleksi iman (teologi) serta pada
bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas pengalaman
Kristiani ini pada gilirannya memperkaya, baik eksistensi budaya yang bersangkutan
sendiri, maupun Gereja Katolik semesta.

C. Dua segi inkulturasi dalam Gereja Katolik


1. Segi Intkulturasi Liturgi
Sebelum mulai membahas inkulturasi, perlu kita perhatikan hakikat liturgi.
Pada kenyataannya “liturgi adalah tempat utama orang-orng kristen berjumpa Allah
dan utusan-Nya, yakni Yesus Kristus. (Yoh 17:3) Liturgi adalah tindakan Kristus
Sang Imam dan sekaligus tindakan Gereja yaitu Tubuh-Nya. Untuk menyelesaikan
tugas-Nya memuliakan Allah dan menguduskan umat manusia, yang dicapai melalui
tanda-tanda yang kelihatan, Kristus selalu memadukan Diri-Nya dengan Gereja, yang
melalui
Dia dan dalam Roh Kudus, memberikan kepada Bapa penghormatan yang berkenan
pada- Nya.
Hakikat liturgi berkaitan erat dengan hakikat Gereja, lebihlebih karena di
dalam liturgi hakikat Gereja diungkapkan. Gereja mempunyai ciri-ciri khusus yang
membedakannya dari himpunan dan persekutuan lain. Gereja dikumpulkan bukan
karena keputusan manusia, melainkan karena dipanggil oleh Allah dalam Roh Kudus,
dan dalam iman menanggapi panggilan-Nya yang cuma-cuma (Ekklesia berasal dari
kata klesis yang berarti memanggil). Ciri khas Gereja ini dinyatakan dengan
berkumpulnya umat sebagai bangsa imami, khususnya pada hari Tuhan, dengan
Sabda Allah yang disampaikan kepadaumat, dan dengan pelayanan imam yang oleh
Sakramen Tahbisan bertindak atas nama Kristus, Sang Kepala.
Gereja adalah buah kurban Kristus. Karena itu, liturgi selalu merupakan
perayaan Misteri Paskah Kristus, pemuliaan Allah Bapa dan pengudusan umat
manusia oleh kekuatan Roh Kudus. Dengan demikian, ibadat kristen menemukan
ungkapannya yang paling dasariah, apabila setiap Minggu, di seluruh dunia, umat
kristen berkumpul di sekeliling altar di bawah pimpinan seorang imam, merayakan
Ekaristi, mendengarkan Sabda Allah, dan mengenang wafat serta kebangkitan Kristus,
sambil menantikan kedatanganNya dalam kemuliaan.49 Di sekitar Ekaristi sebagai
titik pusat,
Misteri Paskah dihadirkan dengan cara yang berbeda-beda, yaitu dalam perayaan
setiap Sakramen.

2. Segi Inkulturasi Ritus Romawi


Pada saat Gereja-Gereja lokal, lebih-lebih Gereja-Gereja muda, mendalami
warisan liturgi yang mereka terima dari Gereja Roma yang melahirkannya, mereka
akan dapat menemukan dalam warisan budaya mereka sendiri bentuk-bentuk yang
sesuai, yang dapat dipadukan dengan Ritus Romawi kalau dipandang berguna dan
perlu. Pendidikan liturgi untuk kaum beriman beserta kaum rohaniwan, yang dituntut
dalam Sacrosanctum Consilium, harus membantu mereka untuk memahami arti teks
dan ritus yang dimuat dalam buku-buku liturgi dewasa ini. Dengan cara ini seringkali
terbukti bahwa unsur-unsur yang datang dari Ritus Romawi tidak harus diubah atau
dihilangkan.
Dalam merencanakan atau melaksanakan inkulturasi Ritus Romawi beberapa
hal berikut harus diingat: 1. Tujuan inkulturasi; 2. Kesatuan hakiki Ritus Romawi; 3.
Kewibawaan yang berwenang. Tujuan inkulturasi Ritus Romawi adalah seperti yang
digariskan oleh Konsili Vatikan II sebagai dasar pemugaran umum liturgi: “dalam
pembaruan itu naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa sehingga
lebih jelas mengungkapkan halhal kudus yang dilambangkannya. Dengan demikian,
umat kristen, sedapat mungkin, menangkapnya dengan mudah, dan dapat ikut Lih.
KL, no. 14-19.36 Seri Dokumen Gerejawi No. 40 serta dalam perayaan secara penuh,
aktif, dan dengan cara yang khas bagi jemaat.”73 Tata perayaan juga perlu
“disesuaikan dengan daya tangkap umat dan jangan sampai memerlukan banyak
penjelasan.”74 Namun
demikian, hakikat liturgisnya harus selalu dicamkan, misalnya ciri biblis dan
tradisional dari kerangka perayaan serta cara khusus bagaimana ciri-ciri itu
diungkapkan (lih. no. 21-27). Proses inkulturasi harus “mempertahankan kesatuan
hakiki Ritus Romawi.”75 Kesatuan ini biasa diungkapkan dalam buku-buku liturgi
editio typica, yang diterbitkan dengan kewibawaan Bapa Suci, dan dalam buku-buku
liturgi yang disahkan oleh Konferensi Waligereja untuk wilayah yang bersangkutan
dan dikukuhkan oleh Takhta Suci.76 Karya inkulturasi tidak berarti menuntut
diciptakannya rumpun liturgi baru; inkulturasi menanggapi kebutuhan-kebutuhan
budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-penyesuaian yang masih tetap berada
dalam kesatuan dengan Ritus
Romawi.
2. A. Karakteristik awam ditinjau dari martabatnya
Sebagai seorang awah hendaknya memiliki kekuatan seperti yang di jelaskan dalam
dalam Dekrit “Apostolicam Actuositatem” tentang kerasulan awam pelayanan supaya
pengalaman cinta kasih itu selalu terluputkan dari segala kecaman dan menjadi nyata sebagai
amal kasih, hendaklah pada diri sesama dilihat citra Allah yang menjadi pola penciptaannya,
dan Kristus Tuhan – sungguh dipersembahkan kepada-Nya. Hendaknya diindahkan dengan
penuh perikemanusiaan kebebasan dan martabat pribadi yang menerima bantuan. Jangan
sampai kejernihan maksud dicemarkan oleh nafsu mencari keuntungan pribadi atau keinginan
untuk berkuasa. Pertama-tama hendaknya tuntutan-tuntutan keadilan dipenuhi, supaya apa
yang sudah harus diserahkan berdasarkan keadilan jangan diberikan sebagai hadiah cinta
kasih. Hendaknya yang ditiadakan jangan hanya akibat-akibat kemalangan, melainkan juga
sabab-sababnya. Hendaklah bantuan diatur sedemikian rupa, sehingga mereka yang
menerimanya lambat-laun makin bebas dari ketergantungan lahiriah dan mampu mencukupi
kebutuhan mereka sendiri. Maka dari itu hendaknya kaum awam sungguh menghargai dan
sekadar kemampuan menunjang amal cinta kasih serta usaha-usaha bantuan sosial yang
bersifat swasta
maupun umum, juga yang bersifat internasional. Sebab dengan kegiatan-kegiatan itu
diberikan pertolongan yang tepat guna kepada orang-orang perorangan dan bangsabangsa
yang menanggung penderitaan. Dalam hal itu hendaknya mereka bekerja sama dengan semua
orang yang berkehendak baik.
Segala sesuatu yang mewujudkan tata-dunia, yakni nilai-nilai hidup dan keluarga,
kebudayaan, urusan ekonomi, kesenian dan profesi, lembaga-lembaga negara, hubungan-
hubungan internasional dan lain sebagainya, beserta perkembangan dan kemajuannya, bukan
hanya merupakan bantuan untuk mencapai tujuan akhir manusia, melainkan mempunyai
nilainya sendiri juga, yang ditanam oleh Allah didalamnya, baik dipandang secara tersendiri,
maupun sebagai unsur-unsur seluruh tata dunia: “Dan Allah melihat segala sesuatu yang
diciptakan-Nya, dan itu semua sangat baik” (Kej 1:31). Kebaikan alamiah itu menerima
martabat khusus karena hubungannya dengan pribadi manusia, sebab semuanya memang
diciptakan untuk mengabdi kepadanya. Akhirnya Allah berkenan menghimpun segalanya,
baik yang kodrati maupun yang adukodrati, menjadi satu dalam Kristus Yesus, “supaya
dalam segala sesuatu Dialah yang terutama” (Kol 1:18). Tetapi arah-tujuan itu bukan hanya
tidak menyebabkan tata dunia kehilangan otonominya, tujuan atau sasarannya, hukum-
hukumnya, upaya-upayanya sendiri, makna dan nilainya bagi kesejahteraan manusia, justru
malahan menyempurnakannya dalam daya kekuatan serta keunggulannya, sekaligus
mengangkatnya sehingga setara dengan panggilan manusia seutuhnya di dunia ini.

B. Karakteristik awam ditinjau dari tanggung jawabnya


Seorang awam memiliki tangung jawab membatu para imam untuk tugas dan
pelayanan gereja adapun kerasulan awam mengenal pelbagai cara berhubungan dengan
Hirarki, sesuai
dengan pelbagai bentuk serta sasaran kerasulan itu. Sebab dalam gereja terdapat amat banyak
usaha kerasulan, yang terwujudkan atas pilihan bebas kaum awam, dan yang
kepemimpinannya berlangsung atas kebijaksanaan serta kearifan mereka. Berkat usaha-usaha
itu perutusan Gereja di berbagai situasi dapat terlaksana dengan lebih baik; maka tidak jarang
usaha-usaha itu di puji dan dianjurkan oleh Hirarki[37].
Tetapi suatu usaha hanya boleh menggunakan nama “katolik”, bila mendapat
persetujuan pimpinan Gereja yang sah. Berbagai bentuk kerasulan awam dengan berbagai
cara pula diakui secara eksplisit oleh Hirarki. Selain itu, untuk menanggapi tuntutan-tuntutan
kesejahteraan Gereja, Pimpinan Gereja dapat memilih bebrapa diantara persekutuan-
persekutuan dan usaha-usaha kerasulan yang secara langsung bertujuan rohani, secara
istimewa mengembangkannya, dan mengambil tanggung jawab khusus terhadapnya.
Begitulah Hirarki dengan aneka cara mengatur kerasulan untuk menanggapi berbagai
keadaan.
Bentuk-bentuk kerasulan tertentu dihubungkannya secara lebih erat dengan tugas
kerasulannya sendiri. Tetapi hakekat kerasulan masing-masing serta perbedaan antara
keduanya dipertahankan, dan karena itu kesempatan yang diperlukan oleh kaum awam untuk
bergerak secara suka rela tidak ditiadakan. Tindakan hirarki itu dalam berbagai dokumen
gereja disebut “mandat”. Kemudian Hirarki juga mempercayakan kepada kaum awam
berbagai tugas, yang lebih erat berhubungan dengan tugas-tugas para gembala, misalnya
dibidang pengajaran
kristiani, dalam berbagai upacara liturgi, dalam reksa pastoral. Berdasarkan perutusan itu
dalam pelaksanaan tugas mereka para awam wajib mematuhi sepenuhnya Pimpinan
Gereja yang lebih tinggi. Berkenaan dengan usaha-usaha dan lembaga-lembaga yang
menyelenggarakan usrusan-urusan duniawi, tugas Hirarki Gereja yakni mengajarkan dan
menafsirkan secara otentik kaidah-kaidah moral mengenai pelaksanaan hal-hal keduniawian
itu. Merupakan wewenang Hirarki juga: dengan mempertimbangkan segalanya masak-masak
dan memanfaatkan bantuan para pakar, menilai seberapa jauh usaha-usaha dan
lembagalembaga semacam itu sesuai dengan kaidah-kaidah moral, serta menetapkan
mengenai
semua apa yang diperlukan, untuk menjaga dan mengembangkan harta-kekayaan
adikodrati.
C. Karakteristik awam ditinjau dari keterlibatannya dalam tugas-tugas Gereja
Gereja diciptakan untuk menyebarluaskan kerajaan kristus di mana-mana demi
kemuliaan Allah Bapa, dan dengan demikian mengikut-sertakan semua orang dalam
penebusan yang membawa keselamatan, dan supaya melalui mereka seluruh dunia
sungguh-sungguh diarahkan kepada Kristus. Semua kegiatan Tubuh Mistik, yang
mengarah kepada tujuan itu, disebut kerasulan. Kerasulan itu dilaksanakan oleh Gereja
melalui semua anggotanya, dengan pelbagai cara.
Sebab panggilan kristiani menurut hakikatnya merupakan panggilan untuk merasul
juga. Seperti dalam tata-susunan tubuh yang hidup tidak satu pun anggota bersifat pasif
melulu, melainkan juga beserta kehidupan tubuh juga ikut menjalankan kegiatannya,
begitu pula dalam Tubuh Kristus, yakni Gereja, seluruh tubuh “menurut kadar pekerjaan
masing-masing anggotanya mengembangkan tubuh” (Ef 4:16). Bahkan sedemikian
rupalah dalam tubuh itu susunan serta penggabungan anggota-anggotanya (lih. Ef 4:16),
sehingga anggota, yang tidak berperan menurut kadarnya demi pertumbuhan tubuh, juga
harus dipandang tidak berguna bagi Gereja atau bagi dirinya sendiri.
Dalam Gereja terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan perutusan. Para Rasul
serta para pengganti mereka oleh Kristus diserahi tugas mengajar, menyucikan dan
memimpin atas nama dan kuasa-Nya. Sedangkan kaum awam ikut serta mengemban
tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan
segenap Umat Allah dalam gereja dan di dunia. Sesungguhnya mereka menjalankan
kerasulan awam dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian
sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata-dunia dengan semangat Injil,
sehingga dalam tata-hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus yang
jelas, dan mengabdi kepada keselamatan umat manusia. Karena ciri khas status hidup
awam yakni: hidup ditengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, maka mereka
dipanggil oleh Allah, untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan
mereka di dunia.
D. Karakteristik awam ditinjau dari tugas rajawi
Kaum awam menerima tugas serta haknya untuk merasul berdasarkan persatuan
mereka dengan Kristus Kepala. Sebab melalui Baptis mereka disaturagakan dalam tubuh
mistik
Kristus, melalui Penguatan mereka diteguhkan oleh kekuatan Roh Kudus, dan demikian
oleh Tuhan sendiri ditetapkan untuk merasul. Mereka ditakdiskan menjadi imamat rajawi
dan bangsa yang kudus (lih. 1Ptr 2:4-10), untuk melalui segala kegiatan mereka
mempersembahkan korban rohani, dan dimana pun juga memberi kesaksian akan
Kristus. Melalui sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, disalurkan dan dipupuklah
cinta kasih, yakni bagaikan jiwa seluruh kerasulan.
Kerasulan dijalankan dalam iman, harapan dan cinta kasih, yang dicurahkan oleh Roh
Kudus dalam hati semua anggota Gereja. Bahkan karena perintah cinta kasih, perintah
Tuhan yang utama, segenap umat beriman kristiani didesak untuk mengusahakan
kemuliaan Allah melalui kedatangan kerajaan-Nya dan mengikhtiarkan kehidupan kekal
bagi semua orang, supaya mereka mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus
Kristus yang diutus-Nya (lih. Yoh 17:3).
Maka semua orang beriman kristiani mengemban beban mulia, yakni berjerih-payah,
supaya Warta keselamatan ilahi dikenal dan diterima oleh semua orang di mana-mana. Untuk
melaksanakan kerasulan itu Roh Kudus, yang mengerjakan penyucian Umat
Allah melalui pelayanan dan sakramen-sakramen, menganugerahkan kurnia-kurnia
khusus juga kepada Umat beriman (lih. 1Kor 12:7), dan “membagikannya kepada
masingmasing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11), supaya “setiap orang menurut rahmat
yang diterimanya, melayani sesama”, sehingga mereka pun menjadi “bagaikan pengurus
yang baik bagi rahmat Allah yang beraneka” (1Ptr 4:10), demi pembangunan seluruh
tubuh dalam cinta kasih (lih. Ef 4:16). Berdasarkan penerimaan karisma-karisma itu, juga
yang bersifat lebih sederhana, setiap orang beriman mendapat hak dan tugas untuk
mengamalkannya demi kesejahteraan sesama dan pembangunan Gereja, dalam gereja dan
masyarakat, dalam kebebasan Roh Kudus, yang bertiup “seperti dikehendakinya” (Yoh
3:8), dan sekaligus dalam persekutuan dengan sesama saudara dalam Kristus, terutama
dengan para gembala mereka, yang tugasnya yakni memberi penilaian tentang tulennya
karisma-karisma itu dan tentang teraturnya pengamalannya, bukan untuk memadamkan
Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes
5:12, 19, 21)

Anda mungkin juga menyukai