1. Melakukan penerjamaham
Di mana Gereja, melalui para misionaris asing, berkontak dengan sebuah kebudayaan
baru, sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani dalam wujud budaya lain. Walau
diupayakan penyesuaian-penyesuaian kecil, terjemahan dipersiapkan, Gereja toh mempunyai
pandangan asing, dan menjadi seorang Kristiani seringkali berarti meninggalkan budayanya
sendiri. Pada tahap pertama ini berlangsung proses akulturasi (perjumpaan dua budaya
berbeda). Para misionaris dan umat Kristiani setempat mengasimilasikan unsur-unsur budaya
satu sama lain. Sejumlah cerita kecil aneh rada lucu, karena salah paham akibat perbedaan
budaya, muncul dari tahap awal ini. Misalnya, seorang anak pembantu pastoran suatu malam
bukan kepalang terperanjat ketika dimarahi oleh Pastor, saat beliau tiba kembali di pastoran
dari mengunjungi orang sakit. Dengan ramah anak pastoran itu menyambutnya dengan kata-
kata, “Dari mana, Pastor?” Pastor merasa tersinggung, karena sebagai orang Barat beliau
menganggap anak itu mau mencampuri urusannya. Padahal di daerah itu, sapaan tersebut
sama dengan ucapan “Selamat malam, Pastor”. Cerita lain, sementara mengajar di kelas
sebuah SD, seorang Pastor misionaris meneriaki seorang anak sebagai tolol. Beliau meminta
anak itu menunjukkan mana sisi kanan mana sisi kiri dari sebuah lukisan yang tergantung di
dinding. Anak itu menunjukkan sisi kanan dan sisi kiri persis terbalik dari yang dipikirkan
Pastor. Memang, orang Barat menentukan sisi kanan dan kiri berdasarkan subyek yang
memandang, sedang orang Timur berdasarkan obyek yang dipandang. Tidakkah di sini
terungkap perbedaan pandangan yang lebih mendalam menyangkut hubungan manusia dan
kosmos? Sementara orang Barat cenderung menganut paham antroposentrisme (manusia
merupakan pusat dari alam), pandangan asli Timur tidak melihat manusia sebagai pusat
melainkan bagian dari alam. Dan ini tentu mempunyai dampak luas dalam kehidupan sosio-
religius masyarakat Timur, yang berbeda dari masyarakat Barat.
2. Asimilasi
Ketika semakin banyak penduduk setempat menjadi anggota Gereja, dan khususnya
ketika para klerus atau imam pribumi makin berkembang, Gereja dengan sendirinya semakin
berasimilasi pada budaya masyarakat sekeliling. Pada tahap ini proses inkulturasi yang
sesungguhnya mulai, di mana para pelaku utama adalah mereka yang berasal dari budaya
setempat. Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur
dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, kesenian, simbol-simbol, dll) diambil
alih ke dalam kehidupan Gereja. Inilah tahap yang kritis. Di sini dibutuhkan kecermatan
memadai demi mencegah “setiap bentuk sinkretisme dan partikularisme yang keliru”,
sebagaimana sudah dikemukakan di atas. Karena itu dibutuhkan pedoman umum praksis
berikut:
Sebuah contoh klasik demi lebih menjelaskan metode tiga langkah ini, ialah
perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis
tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui. Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal
itu. Diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember itu aslinya dalam kekaisaran Romawi
dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama
Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau
menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan
Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus.
Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam
penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia, kini
disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur
takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah
kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga).
Jelaslah metode 3 langkah di atas harus didukung oleh refleksi teologis yang
andal. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa untuk mewujudkan inkulturasi secara
benar perlulah, “bahwa di setiap kawasan sosio-budaya yang luas, seperti dikatakan,
didoronglah refleksi teologis, untuk – dalam terang Tradisi Gereja semesta – meneliti
secara baru peristiwa-peristiwa maupun amanat sabda yang telah diwahyukan oleh
Allah, dicantumkan dalam Kitab Suci, dan diuraikan oleh para Bapa serta Wewenang
Mengajar Gereja. Demikianlah akan dimengerti lebih jelas, bagaimana iman –dengan
mengindahkan filsafah serta kebijaksanaan para bangsa – dapat mencari pengertian,
dan bagaimana adat-kebiasaan, cita-rasa kehidupan dan tertib sosial dapat diserasikan
dengan tata-susila yang kita terima berkat perwahyuan ilahi. Begitulah akan terbuka
jalan menuju penyesuaian lebih mendalam di seluruh lingkup hidup kristiani. Dengan
cara bertindak demikian segala kesan sinkretisme (pencampuradukkan) dan
partikularisme yang keliru akan dielakkan, hidup kristiani akan makin sesuai dengan
watak perangai serta sifat-sifat setiap kebudayaan, dan tradisi-tradisi khusus beserta
bakat-bawaan setiap keluarga bangsa-bangsa, berkat cahaya Injil, akan ditampung
dalam kesatuan Katolik. Akhirnya Gereja-Gereja khusus baru, disemarakkan dengan
tradisi-tradisi mereka, akan mendapat tempat mereka dalam persekutuan gerejawi,
sementara tetap utuhlah tempat utama Takhta Petrus, yang mengetuai segenap
paguyuban cinta kasih” (AG, 22).
c. Tahap Transformasi
Apabila proses asimilasi itu berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan
tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru pada
kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi, tahap
transformasi. Pada tahap ini kita akan menemukan terbentuknya sebuah komunitas
Kristiani baru; sebuah “communio” yang memiliki kekhasan dinamis, terus-menerus
berkembang, tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk
liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refeleksi iman (teologi) serta pada
bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas pengalaman
Kristiani ini pada gilirannya memperkaya, baik eksistensi budaya yang bersangkutan
sendiri, maupun Gereja Katolik semesta.