Perkembangan pikiran dan praktik Pendidikan Agama Kristen selanjutnya, adalah pada
abad pertengahan (abad ke-6 s/d abad ke-14). Pada akhir abad ke-4, Kerajaan Romawi Barat
dikalahkan oleh bangsa barbar, dan keadaan ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan
manusia yang mengalami pergolakan dan anarki, dan peradaban hampir punah. Gereja ikut
merasakan pergolakan tersebut. Akan tetapi memasuki abad ke-7 atau ke-8, perubahan zaman
terjadi, di bawah kepemimpinan Charles Agung yang berhasil membangun kekaisaran kokoh dan
bersatu, tempat peradaban dan pengetahuan diberi kesempatan berkembang kembali (Lane,
2012:74). Perkembangan selanjutnya adalah pembelajaran teologi dilakukan pada biara-biara
dengan suasana ketekadan dan pengabdian, dan kehidupan yang diatur. Tujuannya adalah untuk
memperoleh ilmu yang dapat dimanfaatkan bagi pendidikan moral dan untuk berbakti.
Memasuki tahun 1000, keadaan semakin membaik, dan memperlihatkan perkembangan
kekristenan yang semakin pesat. Masa inilah yang dikenal sebagai masa kejayaan gereja dan
sekaligus masa kesuraman bagi warga gereja. Alasan pertama adalah hubungan negara dan
gereja yang sangat erat, membuka kesempatan yang cukup luas bagi gereja untuk
memperlihatkan kekuasaannya bukan hanya sebatas urusan rohani, tetapi juga urusan semua
kegiatan insani, termasuk urusan politik. Sementara itu, negara juga melakukan hal serupa,
bukan hanya mengurus urusan kepemerintahan dan kepentingan masyarakat, juga urusan rohani,
seperti: pemilihan dan pengangkatan uskup-uskup.
Selain itu, gereja dan negara memaksa setiap warganya untuk menjadi Kristen, agar
gereja bisa semakin memperkaya dirinya sendiri melalui aturan-aturan rohani yang dapat
diperjual-belikan. Salah satunya adalah surat penghapusan dosa. Kemudian, setiap imam dan
uskup tidak di’filter’ dalam hal pengajaran rohani yang mereka lakukan, selama itu tidak
melanggar aturan-aturan yang ditentukan oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi di dalam gereja.
Inilah kemerosotan gereja, tentu, terimplikasi pada kemerosotan moral dan sosial bangsa pada
zaman tersebut. Fungsi dan hakikat gereja menjadi tidak terlaksana sebagaimana mestinya, dan,
baik gereja maupun negara, keduanya memiliki kepentingan masing-masing. Keadaan
sedemikian terjadi dengan waktu yang cukup lama. Gereja terserap dengan korupsi,
kemunafikan, tahyul, dan ketidakmampuan melakukan tugasnya dalam hal apostolat, koinonia,
dan diakonia.
Ada dua sifat menonjol yang ditulis oleh Boelkhe pada abad pertengahan ini, yaitu (1)
ruang lingkup diarahkan kepada kebanyakan warga jemaat; (2) dimuarakan kepada warga
dengan jumlah yang secara nisbi sedikit sekali. Berdasarkan kedua sifat ini, maka perkembangan
pikiran dan praktik PAK pada abad pertengahan menekankan pembahasan pada (1) PAK melalui
bahasa dan rupa lambang; (2) Wadah-wadah PAK; dan (3) Beberapa pendidik besar.
Perkembangan sejarah gereja pada abad pertengahan telah menyuburkan perkembangan
simbol-simbol yang mendobrak hati warga jemaat. Ada enam jenis lambang yang memainkan
peranan dalam pendidikan agama Kristen, yaitu: pertama, gereja mendidik melalui Sakramen
Baptisan. Dalam hal ini, Gereja abad pertengahan mengembangkan tindakan yang cenderung
mengutamakan kesan atau perasaan dalam diri para warga ketimbang menambah sejumlah
pengetahuan, pengertian, dan pengabdian diri. Calon sidi, seperti pada gereja purba, disebut
dengan katekumen, dan peserta sidi bukanlah orang dewasa melainkan bayi. Alasan ini
didasarkan pada pemikiran Augustinus yang menjelaskan bahwa dosa asal yang membebani
semua orang dapat dihapuskan melalui perbuatan sakramental, sehingga seorang bayi merupakan
usia tepat untuk mengawalinya. Hal ini berakibat pada tidak terlaksananya pembinaan yang
mempersiapkan calon agar diperlengkapi dengan pengakuan iman secara bermakna, dan ritus
baptisan mencakup pertobatan dan pengakuan iman dijadikan sarana yang mewakilinya.
Mendidik melalui Sakramen Misa, sebagai poin kedua. Dalam Pelaksanaan Misa, tahap
pertama disebut dengan Misa Katekumenorum (sebagai tahap persiapan bagi para calon
baptisan), dan tahap kedua adalah Misa Fidelium (sebagai tahap penerimaan Roti Hidup yang
sebenarnya). Setiap Misa menggunakan panca indera untuk memahami makna simbolis dari
tindakan yang sedang berlangsung. Mereka melihat sang imam dengan baju jubah dan sampur
yang warnanya disesuaikan dengan masa tahun gereja. Maknanya: mereka akan menyadari
peristiwa-peristiwa paling penting dalam kehidupan dan pelayanan Yesus. Selain itu, mereka
juga menemukan dan melihat jendela gereja yang berwarna dan itu menunjuk pada sejumlah
peristiwa alkitabiah dan gerejawi, khususnya via dolorosa Tuhan Yesus. Mereka mencium asap
kemenyan yang sedang dibakar, suatu pengalaman yang mempertinggi perasaan misterinya.
Mereka mendengar suara paduan suara yang sedang mengisi ruang gereja dengan musik
gerejawi. Mereka juga merasakan potongan-potongan roti suci yang diletakkan imam pada lidah
mereka masing-masing. Maknanya bahwa mereka sedang merasa menerima Roti Hidup yang
sebenarnya.
Ketiga adalah mendidik melalui Drama Agamawi. Simbol ini diawali dengan penolakan
drama oleh gereja Purba, telah menimbulkan perdebatan di abad pertengahan yang cenderung
menyikapi keberadaan drama sebagai penyesatan atau tidak sesuai dengan pengajaran Kristen.
Namun, gereja abad pertengahan memiliki pandangan agak berbeda dengan gereja purba; bahwa
bentuk drama dekat dengan isi katekumenat yang dikembangkan oleh gereja Purba. Sementara
itu, drama bisa dijadikan sebagai sarana kerugma, isi proklamasi Injil, secara khusus, berporos
pada kesengsaraan dan kebangkitan Yesus. Kemudian, perkembangan drama dalam abad
pertengahan ini, bukan hanya mendramakan cerita-cerita Alkitab, tetapi juga drama moralitas,
seperti ‘si Kesabaran”, “si Kasih”, dsb., dan jenis drama Everyman yang dibuka oleh seorang
pembicara sambil menyatakan pokok utama yang akan dipentaskan, lalu melibatkan setiap orang
tentang pokok tersebut. Seperti drama “jalan ke salib”, setiap warga dapat mengikuti Yesus
selama Ia berjalan ke Golgota. Metode: Mendidik dalam bentuk drama merupakan bentuk
pedagogis yang tidak memerlukan kemampuan membaca para pelajar, dan mereka bukan hanya
sebagai penonton atau pendengar, tetapi juga dilibatkan berperan dalam drama agamawi tersebut.
Keempat adalah mendidik melalui Seni Lukis atau Patung dan Buku naskah yang
Berhiasan. Seni lukis atau patung pada abad pertengahan sangat signifikan sebagai wujud
pembelajaran iman Kristen. Lukisan paling laris adalah Gembala yang Baik – awalnya
dilukiskan wajah Yesus yang tidak berjanggut, lalu mengalami perkembangan sesuai dengan
konsep berpikir manusia pada abad ke-6, sehingga wajah Yesus dilukiskan berjanggut, dengan
alasan untuk memperlihatkan sosok dewasa yang bertanggung jawab dan berwibawa. Sementara
itu, para seniman juga tertarik untuk melukis Allah Bapa atau Roh Kudus, namun mereka
kesulitan untuk membayangkan wajahnya, selain daripada lambang kehadiran-Nya yang dapat
dilukis dalam bentuk manuscript (naskah berhias): YHWH (Yahweh). Penjelasan ini
menunjukkan bahwa para seniman mulai memperlihatkan rupa Trinitas melalui seni lukis – dan
pokok utama seni lukis tersebut adalah Allah Anak. Seni lukis berkaitan dengan pembuatan buku
naskah yang berhiasan – dipergunakan sebagai dasar pedagogis dengan menjadikannya sebagai
alat peraga yang amat menarik bagi para warga jemaat untuk mengomunikasikan Injil dan cerita-
cerita Alkitab lainnya.
Kelima, Mendidik melalui Seni Bangunan Gedung Gereja. Pelaksanaan PAK dalam
bentuk bahasa dan rupa lambang berikutnya adalah seni bangunan gedung gereja. Ada tiga
model gedung gereja yang berkembang pada masa itu, pertama disebut dengan gedung basilika
yang memiliki tempat khusus di naos (artinya: kapal) – dipahami sebagai tempat berkumpulnya
warga jemaat dalam sebuah kapal yang dibawa secara simbolis ke pelabuhan aman di surga
nanti. Di dalam naos, perhatian warga jemaat diarahkan pada mezbah di atas bima yang lebih
tinggi letaknya daripada lantai naos, tempat mereka berdiri – dari situlah mereka dibina dan
beribadah. Kedua, gedung Bizantin yang dikopi melalui model gedung Pantheon (tempat patung-
patung para dewa agama Roma), gedung yang berporos pada kubah di atas empat tiang. Gedung
gereja gaya Bizantin yang paling ternama mulai dibangun di Konstantinopel pada tahun 532M,
dan diselesaikan pada tahun 537M - disebut dengan Hagia Sophia (artinya: Hikmat Kudus).
Bangunan ini memperlihatkan persembahan suci kepada Tuhan sekaligus sebuah ‘kurikulum’
yang membina para warga Kristen “...tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara...”
mereka (bnd. Luk.1:1). Hal ini terlihat dengan penempatan mosaik-mosaik serba warna secara
tepat sebagai seni lukis yang menempatkan Yesus dan peristiwa-peristiwa lainnya yang bertabiat
ilahi. Model gedung ketiga disebut dengan gedung Gotik yang menyerupai bentuk salib, dengan
lengan salib dibangun kiri-kanan dari titik tengah denah panjangnya. Suasana yang menonjol di
dalam gedung Gotik ini adalah (1) keinginan menaklukkan diri kepada Tuhan sebagaimana
disaksikan oleh nabi Habakuk (Hab.2:20); dan (2) kegembiraan karena Tuhan telah menang
(bnd. Why.191b, 5b). Hal ini menjelaskan bahwa seni bangunan gedung Gotik mengembangkan
sikap ingin beribadah – karena pemandangan dramatis berlangsung di depan mezbah yang tidak
dihalangi oleh banyak tiang, sehingga waga jemaat mendapatkan pendidikan di dalam
penghayatan terhadap kisah dramatis tersebut untuk menerima kehidupan abadi karena Yesus
rela menyangkal diri dan memikul salib-Nya. Kehidupan kristiani berlangsung di bawah salib
Tuhan Yesus.
Selanjutnya, Boehlke menguraikan penjelasannya tentang perkembangan pikiran dan
praktik PAK pada gereja abad pertengahan, melalui wadah pedagogis yang dikembangkan,
antara lain sebagai berikut: (1) wadah jemaat sendiri sebagai wadah yang paling umum; (2)
sekolah katedral sebagai wadah pendidikan; (3) Universitas sebagai wadah pendidikan agama
Kristen; (4) kesatriaan sebagai wadah pendidikan agama Kristen; (5) sekolah yang
diselenggarakan biara.
Wadah pertama adalah Jemaat sendiri sebagai wadah paling umum terhadap pelaksanaan
PAK yang terwujud melalui tujuh sakramen sebagaimana diberlakukan secara khusus pada
gereja Roma Katolik, yang diawali dengan pembinaan warga jemaat. Kurikulum yang
disampaikan adalah isi Dasa Firman, ketujuh dosa yang berat (yaitu: keangkuhan, kerakusan,
kecemburuan, kemarahan, lahap (gemar dan rakus terhadap makanan-minuman), nafsu birahi,
dan kemalasan), ketujuh Kebajikan utama (kebijaksanaan, keadilan, kesederhanaan, ketabahan,
iman, pengharapan, dan kasih), Doa Bapa Kami, dan Pengakuan Kedua belas Iman Rasuli.
Wadah kedua adalah Sekolah Katedral sebagai wadah pendidikan – pembelajaran yang
berlangsung mirip dengan katekisasi, tetapi peserta didik diarahkan secara khusus kepada imam
muda, dengan materi pembelajaran adalah isi Alkitab, hukum gereja, dan keterampilan
menyanyi. Sekolah katedral ini bersifat penataran – isinya amat dasariah dengan penekanan
metode pengajaran: membaca, menulis dan menghafal – tidak heran, bisa mereka mampu
memimpin jemaat berdasarkan isi liturgi yang sudah dihafalkan lebih dahulu. Perkembangan
yang diharapkan terhadap wadah ini adalah peningkatan pada mutu pendidikan, sehingga sekolah
katedral perlu memikirkan perkembangan bahan ajar yang meliputi tata bahasa, retorika, logika,
ilmu hitung, dan musik. Selain itu, secara historis, dalam diri pribadi beberapa pengajar dan
pelajar dari sekolah katedral dijadikan sebagai bibit bertunas yang membentuk Universitas di
kemudian hari.
Wadah ketiga adalah Universitas sebagai wadah PAK; kata universitas berasal dari dua
akar kata bahasa Latin, yaitu unus, berarti satu; dan versum, berarti menjadikan; universitas
adalah menjadikan satu atau menjadikan satu keutuhan – bahwa universitas sebagai serikat
sekerja yang menjadikan mereka satu, dan mampu mempertahankan diri. Universitas merupakan
suatu stadium generale, yaitu kumpulan orang yang memanfaatkan tenaga demi kepentingan
pelayanan mengajar dan belajar. Pokok kuliah yang diberi para dosen berporos pada ketujuh
pokok seni liberal yang dijadikan sebagai kurikulum wajib, sedang mata kuliah PAK merupakan
kurikulum wajib berikutnya, terkhusus pada fakultas Teologi.
Pola mengajar dan belajar yang diperlihatkan pada wadah universitas adalah pertama,
biasanya seorang dosen berdiri di depan kelas membaca sebuah karangan dari masa purba
ataupun dari karangan bapa gereja; kedua, dosen memberi tanggapan terhadap isinya, dan ketiga,
dalil-dalil yang nampak dalam karangan tersebut diperdebatkan oleh para mahasiswa. Salah satu
metode tersirat dalam pola mengajar dan belajar ini adalah metode menulis yakni para
mahasiswa mencatat isi kuliah dan pikiran-pikiran yang paling meyakinkan yang timbul dalam
perdebatan tersebut.
Wadah keempat adalah Kesatriaan sebagai wadah PAK untuk mendidik kaum muda
dalam unsur-unsur iman Kristen, walaupun ruang lingkupnya terbatas. Hal ini didasarkan
pada kondisi yang terjadi pada abad tersebut yakni maraknya feodalisme yang
mengarahkan setiap tuan tanah wajib memiliki kaum ksatria yang dilatih untuk
mempertahankan kepentingan apapun dari tuan mereka, termasuk keamanan tanah
tertentu (field) yang digarap oleh penggarap. Seorang ksatria memiliki kebajikan dalam
hal keberanian, kekuatan, keterampilan, kesopanan dan kesetiaan. Berhubungan dengan
keberadaan gereja di tengah-tengah feodalisme ini, gereja-pun melakukan hal serupa
dengan memberikan pendidikan tentang intisari iman Kristen, sehingga ketika mereka
melakukan kekerasan, itu dinilai bukan kekerasan apabila dilaksanakan di bawah
prakarsa gereja atas nama Allah. Inilah yang menjadi pendorong kaum ksatria untuk turut
ambil bagian dalam perang salib pada abad ke-11 atau abad ke-12, sebagai usaha merebut
kembali Tanah Suci dari tangan Muslim - usaha yang membuat kehadiran gereja dan
umat kristen menjadi ‘buruk’ dipandang dunia.
Wadah terakhir adalah Sekolah yang diselenggarakan Biara sebagai paguyuban Kristen
yang amat berdisiplin, dengan usaha mewujudkan Injil Kristus dalam semua kegiatan mereka,
termasuk kewajiban belajar secara terus-menerus. Kualitas paguyuban biara terhadap
pendisiplinan ini sangat dipuji oleh Cantor sebagai contoh yang memengaruhi pendidikan di
Eropa Barat, dikutip oleh Boehlke demikian: “... tidak ada kekuatan terus-menerus yang sama
bermakna di bidang pendidikan, pengelolaan dan perbaikan sosial ketimbang kaum biarawan...
mereka adalah faktor paling dasariah dalam rangka membentuk peradaban yang berkembang
pada Abad Pertengahan.” Kurikulum yang dilakukan di dalam biara, umumnya, adalah empat
jam sehari melakukan orpus Dei (pekerjaan Ilahi), dalam arti kebaktian yang berlangsung di
kapel dan wajib dihadiri oleh setiap anggota secara jasmaniah dan ikut ambil bagian di
dalamnya. Empat jam selanjutnya disediakan khusus untuk berdoa dan bermeditasi secara
pribadi di samping berkesempatan mempelajari buku-buku rohani. Pada waktu makan sesuai
dengan gilirannya, salah seorang ditugaskan membaca dari kitab Mazmur. Kemudian, enam jam
berikutnya adalah pekerjaan sehari-hari, dan sepuluh jam lagi untuk makan dan tidur. Intinya:
segala kegiata dilakukan dalam suasana rohani yang turut membina iman dalam diri setiap
biarawan. Hal ini memperlihatkan bahwa semua kegiatan yang berlangsung di biara adalah
bersifat pedagogis, dan pola belajar sedemikian, hingga saat ini masih ditiru oleh sekolah-
sekolah katolik yang diasuh dan dibina langsung oleh suster dan brother, terkhusus sekolah yang
memiliki asrama.
Selanjutnya, perkembangan pikiran dan praktik PAK tersebut ini, tentu, berhubungan
dengan para pendidik besar yang memberikan sumbangsih pemikiran dan cukup memengaruhi
perkembangan PAK dari abad ke abad. Dalam buku ini, Boehlke memilih enam pendidik besar,
yaitu Karel Agung, Alfred Agung, Rabanus Maurus, Abelardus, Thomas Aquinas, dan Jean
Gerson; dengan alasan bahwa (1) negeri asalnya masing-masing, dan (2) pokok pedagogis yang
diutamakan serta itu tetap relevan bagi pelaksanaan pedagogis dalam gereja di Indonesia masa
kini.
Hal ini memperlihatkan bahwa Erasmus lebih menekankan tindakan atau aksi kepada
sesama daripada ritual ceremonial keagamaan yang sifatnya semu dan penuh dengan
kemunafikan. Demikianlah Erasmus mengingatkan kaum Kristen bahwa segala upacara gerejawi
bukanlah hal-hal yang maknanya mutlak, tetapi hanya sarana menuju penerimaan kenyataan
abadi. Erasmus juga mengecam tentang benda-benda tertentu yang dipandang keramat karena
adanya bahaya ketahyulan yang akan semakin memperlemah iman warga jemaat.
Kemudian, pemahamannya tentang pernikahan memperlihatkan unsur humanis yang
sangat jelas, bahwa pernikahan itu hak setiap orang untuk bebas memilih jodohnya berdasarkan
cinta-kasih timbal balik. Keadaan ini didasarkan pada keprihatinan Erasmus kepada ibunya yang
menjadi korban kebiasaan sosial dan peraturan gereja – karena ayahnya seorang imam, sehingga
ibunya tidak dinikahkan secara sah dalam peneguhan nikah di gereja. Selain itu, ia juga
mendukung perempuan untuk mendapatkan hak mereka melalui pendidikan, sebagaimana ia
tuliskan dalam karyanya “Colloquiorum” – memperlihatkan pentingnya seorang ibu atau
perempuan memiliki pendidikan yang memadai agar ia mampu mendidik anak-anak mereka
secara bijaksana. Hal ini untuk meminimalisasikan pemikiran sempit budaya saat itu yang
menganggap perempuan hanyalah mengurus rumah dan membesarkan anak-anak.
Boelhke menegaskan pernyataan Erasmus ini dalam kutipannya “...kebiasaan adalah
induk segala kelakuan buruk. Seyogyanya kita membiasakan diri dengan hal-hal apa saja yang
paling tinggi mutunya...apa yang belum biasa akan menjadi biasa...dan apa yang belum pantas
akan menjadi pantas.” Pergumulan terhadap keprihatinan Erasmus tentang kedudukan dan posisi
perempuan tersebut membuahkan karya yaitu menciptakan idealisme pernikahan bahwa dasar
pernikahan adalah alam, hukum dan iman (bnd. Mat.20:22 dan Mrk.10:39).
Peranan Erasmus sebagai pendidik Oikumenis adalah melalui usahanya memperoleh teks
Perjanjian Baru dalam Bahasa Yunani yang paling asli di samping menjelaskan maknanya bagi
para warga jemaat. Menurut Erasmus, pertama sekali yang harus diketahui oleh seorang teolog
adalah wajib mengetahui kata-kata yang paling sesuai dengan isi asli pengarang ayat tertentu dari
Perjanjian Baru terlepas dari masalah dogmatis apapun yang tersirat dalam bacaan asli tersebut.
Hal ini jelas ia kemukakan dalam pernyataan yang dikutip oleh Boelhke demikian “...adalah
tindakan jahat untuk memperbaiki isi naskah keempat Injil. Ucapan demikian lebih patut
didengar dari bibir seorang kusir ketimbang ahli teologi...sebenarnya, jalan satu-satunya untuk
menentukan bacaan benar untuk ayat tertentu ialah memeriksa naskah-naskah yang paling kuno.”
Erasmus memperkenalkan empat langkah eksegesenya, yaitu: (1) penafsir wajib
memahami arti historis yang dimaksudkan pengarang dan yang ditangkap oleh para pendengar
atau pembaca pertama. (2) Penafsir bertanya kepada dirinya sendiri tentang dampak moral dari
isi ayat atau perikop atas kelakuan orang. (3) Penafsir mencari arti yang menghiburkan. (4)
Penafsir menggali di bawah arti lahiriahnya untuk memperoleh arti rohani. Sekalipun demikian,
Erasmus tidak memenjarakan pemikirannya hanya berpatok pada empat langkah tersebut karena
ia pun terbuka dengan pendekatan lainnya dalam mengajarkan Alkitab.
Erasmus sebagai pendidik khusus, dalam artian penekanan pada tiga landasan pokok
pemikiran dan praktik PAK yang ia kemukakan, yaitu (1) pengalaman pahit di sekolah ‘dasar’
dan ‘SMP/SMA’ dulu; (2) pikiran Yunani-Romawi Klasik seperti Plato, Aritoteles, Quintilianes,
dan Plutarchus; (3) sumber tetulis Kristen, termasuk Alkitab dan karya bapa-bapa Gereja Purba.
Tujuan PAK yang Erasmus rumuskan adalah mengembangkan bakat alamiah dalam diri
setiap peserta yang belajar dalam lingkungan luas kasih yang berdisiplin agar ia mampu berpikir
sedalam dan sebebas mungkin, memperoleh keterampilan mengungkapkan pikiran sejelas
mungkin, baik lisan maupun tulisan, serta mengamalkan gaya hidup yang sesuai dengan Injil
dalam semua peranannya sebagai warga Kristen dalam masyarakat. Perkataan lain, pendidikan
adalah kebebasan atau pembebasan berdasarkan nilai-nilai Kristen. Gaya mengajar dan belajar
Erasmus adalah dengan menggunakan metode dialogis, dan metodologi yang dilakukan adalah
melalui pengembangan suasana ruang kelas yang memperlancar pengalaman belajar, dan
menolak metode dialektika yang hanya menghasilkan orang angkuh karena hasrat untuk
mengalahkan lawannya, padahal ia tidak memahami isi pokoknya sendiri. Kurikulumnya
menitikberatkan keterampilan membaca dan menulis dalam bahasa Latin dan dalam gaya
dialogis para peserta didik belajar menyampaikan pikiran sejelas mungkin, baik lisan maupun
tulisan, sesuai dengan kaidah tata bahasa Latin yang murni.
Erasmus adalah sosok pendidik humanis yang Injili bahwa pendidikan itu membebaskan
tetapi berporos pada kasih, kesabaran, kecerdasan, kesopanan sebagai alat pembaruan yang lebih
kuat untuk membuat mereka menjadi manusia yang beradab. Gerakan humanis yang
diproklamirkan oleh Erasmus ini membuka mata setiap orang terhadap pentingnya memelihara
kewibawaan Alkitab daripada kekuasaan gereja. Keadaan ini dikembangkan dalam masa
reformasi melalui pemikiran dan praktik PAK dari para tokoh reformator, antara lain: Martin
Luther, Johanes Calvin, dan Ignatius Loyola (tokoh yang mewakili Gereja Katolik Roma untuk
menentang Protestanisme), sebagai tiga tokoh pendidik yang memengaruhi perkembangan
pikiran dan pelaksanaan PAK dalam zaman tersebut.