Anda di halaman 1dari 15

BAB 4

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN ABAD PERTENGAHAN

Perkembangan pikiran dan praktik Pendidikan Agama Kristen selanjutnya, adalah pada
abad pertengahan (abad ke-6 s/d abad ke-14). Pada akhir abad ke-4, Kerajaan Romawi Barat
dikalahkan oleh bangsa barbar, dan keadaan ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan
manusia yang mengalami pergolakan dan anarki, dan peradaban hampir punah. Gereja ikut
merasakan pergolakan tersebut. Akan tetapi memasuki abad ke-7 atau ke-8, perubahan zaman
terjadi, di bawah kepemimpinan Charles Agung yang berhasil membangun kekaisaran kokoh dan
bersatu, tempat peradaban dan pengetahuan diberi kesempatan berkembang kembali (Lane,
2012:74). Perkembangan selanjutnya adalah pembelajaran teologi dilakukan pada biara-biara
dengan suasana ketekadan dan pengabdian, dan kehidupan yang diatur. Tujuannya adalah untuk
memperoleh ilmu yang dapat dimanfaatkan bagi pendidikan moral dan untuk berbakti.
Memasuki tahun 1000, keadaan semakin membaik, dan memperlihatkan perkembangan
kekristenan yang semakin pesat. Masa inilah yang dikenal sebagai masa kejayaan gereja dan
sekaligus masa kesuraman bagi warga gereja. Alasan pertama adalah hubungan negara dan
gereja yang sangat erat, membuka kesempatan yang cukup luas bagi gereja untuk
memperlihatkan kekuasaannya bukan hanya sebatas urusan rohani, tetapi juga urusan semua
kegiatan insani, termasuk urusan politik. Sementara itu, negara juga melakukan hal serupa,
bukan hanya mengurus urusan kepemerintahan dan kepentingan masyarakat, juga urusan rohani,
seperti: pemilihan dan pengangkatan uskup-uskup.
Selain itu, gereja dan negara memaksa setiap warganya untuk menjadi Kristen, agar
gereja bisa semakin memperkaya dirinya sendiri melalui aturan-aturan rohani yang dapat
diperjual-belikan. Salah satunya adalah surat penghapusan dosa. Kemudian, setiap imam dan
uskup tidak di’filter’ dalam hal pengajaran rohani yang mereka lakukan, selama itu tidak
melanggar aturan-aturan yang ditentukan oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi di dalam gereja.
Inilah kemerosotan gereja, tentu, terimplikasi pada kemerosotan moral dan sosial bangsa pada
zaman tersebut. Fungsi dan hakikat gereja menjadi tidak terlaksana sebagaimana mestinya, dan,
baik gereja maupun negara, keduanya memiliki kepentingan masing-masing. Keadaan
sedemikian terjadi dengan waktu yang cukup lama. Gereja terserap dengan korupsi,
kemunafikan, tahyul, dan ketidakmampuan melakukan tugasnya dalam hal apostolat, koinonia,
dan diakonia.
Ada dua sifat menonjol yang ditulis oleh Boelkhe pada abad pertengahan ini, yaitu (1)
ruang lingkup diarahkan kepada kebanyakan warga jemaat; (2) dimuarakan kepada warga
dengan jumlah yang secara nisbi sedikit sekali. Berdasarkan kedua sifat ini, maka perkembangan
pikiran dan praktik PAK pada abad pertengahan menekankan pembahasan pada (1) PAK melalui
bahasa dan rupa lambang; (2) Wadah-wadah PAK; dan (3) Beberapa pendidik besar.
Perkembangan sejarah gereja pada abad pertengahan telah menyuburkan perkembangan
simbol-simbol yang mendobrak hati warga jemaat. Ada enam jenis lambang yang memainkan
peranan dalam pendidikan agama Kristen, yaitu: pertama, gereja mendidik melalui Sakramen
Baptisan. Dalam hal ini, Gereja abad pertengahan mengembangkan tindakan yang cenderung
mengutamakan kesan atau perasaan dalam diri para warga ketimbang menambah sejumlah
pengetahuan, pengertian, dan pengabdian diri. Calon sidi, seperti pada gereja purba, disebut
dengan katekumen, dan peserta sidi bukanlah orang dewasa melainkan bayi. Alasan ini
didasarkan pada pemikiran Augustinus yang menjelaskan bahwa dosa asal yang membebani
semua orang dapat dihapuskan melalui perbuatan sakramental, sehingga seorang bayi merupakan
usia tepat untuk mengawalinya. Hal ini berakibat pada tidak terlaksananya pembinaan yang
mempersiapkan calon agar diperlengkapi dengan pengakuan iman secara bermakna, dan ritus
baptisan mencakup pertobatan dan pengakuan iman dijadikan sarana yang mewakilinya.
Mendidik melalui Sakramen Misa, sebagai poin kedua. Dalam Pelaksanaan Misa, tahap
pertama disebut dengan Misa Katekumenorum (sebagai tahap persiapan bagi para calon
baptisan), dan tahap kedua adalah Misa Fidelium (sebagai tahap penerimaan Roti Hidup yang
sebenarnya). Setiap Misa menggunakan panca indera untuk memahami makna simbolis dari
tindakan yang sedang berlangsung. Mereka melihat sang imam dengan baju jubah dan sampur
yang warnanya disesuaikan dengan masa tahun gereja. Maknanya: mereka akan menyadari
peristiwa-peristiwa paling penting dalam kehidupan dan pelayanan Yesus. Selain itu, mereka
juga menemukan dan melihat jendela gereja yang berwarna dan itu menunjuk pada sejumlah
peristiwa alkitabiah dan gerejawi, khususnya via dolorosa Tuhan Yesus. Mereka mencium asap
kemenyan yang sedang dibakar, suatu pengalaman yang mempertinggi perasaan misterinya.
Mereka mendengar suara paduan suara yang sedang mengisi ruang gereja dengan musik
gerejawi. Mereka juga merasakan potongan-potongan roti suci yang diletakkan imam pada lidah
mereka masing-masing. Maknanya bahwa mereka sedang merasa menerima Roti Hidup yang
sebenarnya.
Ketiga adalah mendidik melalui Drama Agamawi. Simbol ini diawali dengan penolakan
drama oleh gereja Purba, telah menimbulkan perdebatan di abad pertengahan yang cenderung
menyikapi keberadaan drama sebagai penyesatan atau tidak sesuai dengan pengajaran Kristen.
Namun, gereja abad pertengahan memiliki pandangan agak berbeda dengan gereja purba; bahwa
bentuk drama dekat dengan isi katekumenat yang dikembangkan oleh gereja Purba. Sementara
itu, drama bisa dijadikan sebagai sarana kerugma, isi proklamasi Injil, secara khusus, berporos
pada kesengsaraan dan kebangkitan Yesus. Kemudian, perkembangan drama dalam abad
pertengahan ini, bukan hanya mendramakan cerita-cerita Alkitab, tetapi juga drama moralitas,
seperti ‘si Kesabaran”, “si Kasih”, dsb., dan jenis drama Everyman yang dibuka oleh seorang
pembicara sambil menyatakan pokok utama yang akan dipentaskan, lalu melibatkan setiap orang
tentang pokok tersebut. Seperti drama “jalan ke salib”, setiap warga dapat mengikuti Yesus
selama Ia berjalan ke Golgota. Metode: Mendidik dalam bentuk drama merupakan bentuk
pedagogis yang tidak memerlukan kemampuan membaca para pelajar, dan mereka bukan hanya
sebagai penonton atau pendengar, tetapi juga dilibatkan berperan dalam drama agamawi tersebut.
Keempat adalah mendidik melalui Seni Lukis atau Patung dan Buku naskah yang
Berhiasan. Seni lukis atau patung pada abad pertengahan sangat signifikan sebagai wujud
pembelajaran iman Kristen. Lukisan paling laris adalah Gembala yang Baik – awalnya
dilukiskan wajah Yesus yang tidak berjanggut, lalu mengalami perkembangan sesuai dengan
konsep berpikir manusia pada abad ke-6, sehingga wajah Yesus dilukiskan berjanggut, dengan
alasan untuk memperlihatkan sosok dewasa yang bertanggung jawab dan berwibawa. Sementara
itu, para seniman juga tertarik untuk melukis Allah Bapa atau Roh Kudus, namun mereka
kesulitan untuk membayangkan wajahnya, selain daripada lambang kehadiran-Nya yang dapat
dilukis dalam bentuk manuscript (naskah berhias): YHWH (Yahweh). Penjelasan ini
menunjukkan bahwa para seniman mulai memperlihatkan rupa Trinitas melalui seni lukis – dan
pokok utama seni lukis tersebut adalah Allah Anak. Seni lukis berkaitan dengan pembuatan buku
naskah yang berhiasan – dipergunakan sebagai dasar pedagogis dengan menjadikannya sebagai
alat peraga yang amat menarik bagi para warga jemaat untuk mengomunikasikan Injil dan cerita-
cerita Alkitab lainnya.
Kelima, Mendidik melalui Seni Bangunan Gedung Gereja. Pelaksanaan PAK dalam
bentuk bahasa dan rupa lambang berikutnya adalah seni bangunan gedung gereja. Ada tiga
model gedung gereja yang berkembang pada masa itu, pertama disebut dengan gedung basilika
yang memiliki tempat khusus di naos (artinya: kapal) – dipahami sebagai tempat berkumpulnya
warga jemaat dalam sebuah kapal yang dibawa secara simbolis ke pelabuhan aman di surga
nanti. Di dalam naos, perhatian warga jemaat diarahkan pada mezbah di atas bima yang lebih
tinggi letaknya daripada lantai naos, tempat mereka berdiri – dari situlah mereka dibina dan
beribadah. Kedua, gedung Bizantin yang dikopi melalui model gedung Pantheon (tempat patung-
patung para dewa agama Roma), gedung yang berporos pada kubah di atas empat tiang. Gedung
gereja gaya Bizantin yang paling ternama mulai dibangun di Konstantinopel pada tahun 532M,
dan diselesaikan pada tahun 537M - disebut dengan Hagia Sophia (artinya: Hikmat Kudus).
Bangunan ini memperlihatkan persembahan suci kepada Tuhan sekaligus sebuah ‘kurikulum’
yang membina para warga Kristen “...tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara...”
mereka (bnd. Luk.1:1). Hal ini terlihat dengan penempatan mosaik-mosaik serba warna secara
tepat sebagai seni lukis yang menempatkan Yesus dan peristiwa-peristiwa lainnya yang bertabiat
ilahi. Model gedung ketiga disebut dengan gedung Gotik yang menyerupai bentuk salib, dengan
lengan salib dibangun kiri-kanan dari titik tengah denah panjangnya. Suasana yang menonjol di
dalam gedung Gotik ini adalah (1) keinginan menaklukkan diri kepada Tuhan sebagaimana
disaksikan oleh nabi Habakuk (Hab.2:20); dan (2) kegembiraan karena Tuhan telah menang
(bnd. Why.191b, 5b). Hal ini menjelaskan bahwa seni bangunan gedung Gotik mengembangkan
sikap ingin beribadah – karena pemandangan dramatis berlangsung di depan mezbah yang tidak
dihalangi oleh banyak tiang, sehingga waga jemaat mendapatkan pendidikan di dalam
penghayatan terhadap kisah dramatis tersebut untuk menerima kehidupan abadi karena Yesus
rela menyangkal diri dan memikul salib-Nya. Kehidupan kristiani berlangsung di bawah salib
Tuhan Yesus.
Selanjutnya, Boehlke menguraikan penjelasannya tentang perkembangan pikiran dan
praktik PAK pada gereja abad pertengahan, melalui wadah pedagogis yang dikembangkan,
antara lain sebagai berikut: (1) wadah jemaat sendiri sebagai wadah yang paling umum; (2)
sekolah katedral sebagai wadah pendidikan; (3) Universitas sebagai wadah pendidikan agama
Kristen; (4) kesatriaan sebagai wadah pendidikan agama Kristen; (5) sekolah yang
diselenggarakan biara.
Wadah pertama adalah Jemaat sendiri sebagai wadah paling umum terhadap pelaksanaan
PAK yang terwujud melalui tujuh sakramen sebagaimana diberlakukan secara khusus pada
gereja Roma Katolik, yang diawali dengan pembinaan warga jemaat. Kurikulum yang
disampaikan adalah isi Dasa Firman, ketujuh dosa yang berat (yaitu: keangkuhan, kerakusan,
kecemburuan, kemarahan, lahap (gemar dan rakus terhadap makanan-minuman), nafsu birahi,
dan kemalasan), ketujuh Kebajikan utama (kebijaksanaan, keadilan, kesederhanaan, ketabahan,
iman, pengharapan, dan kasih), Doa Bapa Kami, dan Pengakuan Kedua belas Iman Rasuli.
Wadah kedua adalah Sekolah Katedral sebagai wadah pendidikan – pembelajaran yang
berlangsung mirip dengan katekisasi, tetapi peserta didik diarahkan secara khusus kepada imam
muda, dengan materi pembelajaran adalah isi Alkitab, hukum gereja, dan keterampilan
menyanyi. Sekolah katedral ini bersifat penataran – isinya amat dasariah dengan penekanan
metode pengajaran: membaca, menulis dan menghafal – tidak heran, bisa mereka mampu
memimpin jemaat berdasarkan isi liturgi yang sudah dihafalkan lebih dahulu. Perkembangan
yang diharapkan terhadap wadah ini adalah peningkatan pada mutu pendidikan, sehingga sekolah
katedral perlu memikirkan perkembangan bahan ajar yang meliputi tata bahasa, retorika, logika,
ilmu hitung, dan musik. Selain itu, secara historis, dalam diri pribadi beberapa pengajar dan
pelajar dari sekolah katedral dijadikan sebagai bibit bertunas yang membentuk Universitas di
kemudian hari.
Wadah ketiga adalah Universitas sebagai wadah PAK; kata universitas berasal dari dua
akar kata bahasa Latin, yaitu unus, berarti satu; dan versum, berarti menjadikan; universitas
adalah menjadikan satu atau menjadikan satu keutuhan – bahwa universitas sebagai serikat
sekerja yang menjadikan mereka satu, dan mampu mempertahankan diri. Universitas merupakan
suatu stadium generale, yaitu kumpulan orang yang memanfaatkan tenaga demi kepentingan
pelayanan mengajar dan belajar. Pokok kuliah yang diberi para dosen berporos pada ketujuh
pokok seni liberal yang dijadikan sebagai kurikulum wajib, sedang mata kuliah PAK merupakan
kurikulum wajib berikutnya, terkhusus pada fakultas Teologi.
Pola mengajar dan belajar yang diperlihatkan pada wadah universitas adalah pertama,
biasanya seorang dosen berdiri di depan kelas membaca sebuah karangan dari masa purba
ataupun dari karangan bapa gereja; kedua, dosen memberi tanggapan terhadap isinya, dan ketiga,
dalil-dalil yang nampak dalam karangan tersebut diperdebatkan oleh para mahasiswa. Salah satu
metode tersirat dalam pola mengajar dan belajar ini adalah metode menulis yakni para
mahasiswa mencatat isi kuliah dan pikiran-pikiran yang paling meyakinkan yang timbul dalam
perdebatan tersebut.
Wadah keempat adalah Kesatriaan sebagai wadah PAK untuk mendidik kaum muda
dalam unsur-unsur iman Kristen, walaupun ruang lingkupnya terbatas. Hal ini didasarkan
pada kondisi yang terjadi pada abad tersebut yakni maraknya feodalisme yang
mengarahkan setiap tuan tanah wajib memiliki kaum ksatria yang dilatih untuk
mempertahankan kepentingan apapun dari tuan mereka, termasuk keamanan tanah
tertentu (field) yang digarap oleh penggarap. Seorang ksatria memiliki kebajikan dalam
hal keberanian, kekuatan, keterampilan, kesopanan dan kesetiaan. Berhubungan dengan
keberadaan gereja di tengah-tengah feodalisme ini, gereja-pun melakukan hal serupa
dengan memberikan pendidikan tentang intisari iman Kristen, sehingga ketika mereka
melakukan kekerasan, itu dinilai bukan kekerasan apabila dilaksanakan di bawah
prakarsa gereja atas nama Allah. Inilah yang menjadi pendorong kaum ksatria untuk turut
ambil bagian dalam perang salib pada abad ke-11 atau abad ke-12, sebagai usaha merebut
kembali Tanah Suci dari tangan Muslim - usaha yang membuat kehadiran gereja dan
umat kristen menjadi ‘buruk’ dipandang dunia.
Wadah terakhir adalah Sekolah yang diselenggarakan Biara sebagai paguyuban Kristen
yang amat berdisiplin, dengan usaha mewujudkan Injil Kristus dalam semua kegiatan mereka,
termasuk kewajiban belajar secara terus-menerus. Kualitas paguyuban biara terhadap
pendisiplinan ini sangat dipuji oleh Cantor sebagai contoh yang memengaruhi pendidikan di
Eropa Barat, dikutip oleh Boehlke demikian: “... tidak ada kekuatan terus-menerus yang sama
bermakna di bidang pendidikan, pengelolaan dan perbaikan sosial ketimbang kaum biarawan...
mereka adalah faktor paling dasariah dalam rangka membentuk peradaban yang berkembang
pada Abad Pertengahan.” Kurikulum yang dilakukan di dalam biara, umumnya, adalah empat
jam sehari melakukan orpus Dei (pekerjaan Ilahi), dalam arti kebaktian yang berlangsung di
kapel dan wajib dihadiri oleh setiap anggota secara jasmaniah dan ikut ambil bagian di
dalamnya. Empat jam selanjutnya disediakan khusus untuk berdoa dan bermeditasi secara
pribadi di samping berkesempatan mempelajari buku-buku rohani. Pada waktu makan sesuai
dengan gilirannya, salah seorang ditugaskan membaca dari kitab Mazmur. Kemudian, enam jam
berikutnya adalah pekerjaan sehari-hari, dan sepuluh jam lagi untuk makan dan tidur. Intinya:
segala kegiata dilakukan dalam suasana rohani yang turut membina iman dalam diri setiap
biarawan. Hal ini memperlihatkan bahwa semua kegiatan yang berlangsung di biara adalah
bersifat pedagogis, dan pola belajar sedemikian, hingga saat ini masih ditiru oleh sekolah-
sekolah katolik yang diasuh dan dibina langsung oleh suster dan brother, terkhusus sekolah yang
memiliki asrama.
Selanjutnya, perkembangan pikiran dan praktik PAK tersebut ini, tentu, berhubungan
dengan para pendidik besar yang memberikan sumbangsih pemikiran dan cukup memengaruhi
perkembangan PAK dari abad ke abad. Dalam buku ini, Boehlke memilih enam pendidik besar,
yaitu Karel Agung, Alfred Agung, Rabanus Maurus, Abelardus, Thomas Aquinas, dan Jean
Gerson; dengan alasan bahwa (1) negeri asalnya masing-masing, dan (2) pokok pedagogis yang
diutamakan serta itu tetap relevan bagi pelaksanaan pedagogis dalam gereja di Indonesia masa
kini.

Tokoh pendidik pertama adalah Karel Agung (742-814).


Ia menjadi raja menggantikan ayahnya dengan memiliki kekuasaan atas daerah: Prancis,
Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Austria, Italia dan Spanyol. Karel Agung sangat terkenal
dengan strategis berperang atau kemiliteran, kepemimpinan, gaya berdiplomatis, kesenian, gereja
dan pendidikan. Menurutnya, negara yang maju hanya terealisasi bila pendidikannya juga
mengalami kemajuan. Demikianlah Karel Agung selalu berusaha mendidik rakyatnya menjadi
warga yang saleh dan terdidik. Beliau yang memprakarsai tindakan mempertinggi kepentingan
pendidikan, terkhusus memperkaya sejarah PAK.
Menurut Karel Agung, ada tiga golongan pelajar, yaitu para imam, biarawan (awam), dan
kaum muda (yaitu: laki-laki). Kurikulumnya mencakup pokok-pokok iman Kristen dan moralitas
Kristen, seni membaca dan menulis yang mencakup penggunaan tata bahasa, kemampuan
berbicara dan menulis sesuai dengan kaidah tata bahasa yang benar. Pengkhususan kepada para
imam dan biarawan, Karel Agung menuntut tindakan-tindakan yang mempertinggi mutu semua
pelayan gereja, sehingga penerimaan imam dan biarawan pun harus menempuh ujian yang ketat,
baik pengetahuan maupun kemampuan menyampaikan gagasan secara jelas sesuai dengan mutu
akhlak mereka. Pentahbisan calon imam menjadi imam adalah hak uskup, bukan dilakukan oleh
seorang raja, sebagaimana itu telah terjadi pada abad sebelumnya. Sementara itu, pelajar yang
meliputi kaum muda (pengkhususan pada anak laki-laki), mencakup kurikulum pokok yang
bersifat formal, yaitu: membaca, menulis, tata bahasa, nyanyian, doa, Mazmur, dan tema-tema
dari iman kristen, seperti: kesalehan, kejujuran dan moralitas. Segala bentuk kemajuan yang
dilakukan oleh Karel Agung ini memperlihatkan bahwa kepentingan pendidikan formal dan
bukan formal dijunjung tinggi oleh contoh atau teladan dirinya sendiri bagi semua pemimpin
gereja dan negara, yang diteladani juga oleh warganya.

Tokoh pendidik PAK kedua adalah Alfred Agung (849-901).


Ia memiliki minat yang sama seperti Karel Agung, yakni kepentingan pendidikan. Alfred
Agung adalah seorang raja dari negara yang kecil, yaitu Sakson Barat. Ia adalah seorang sarjana
yang terpaksa ikut berperang demi kepentingan kemerdekaan bangsanya. Ada peribahasa yang
iajadikan sebagai komitmen dalam menjalankan kepemimpinannya, diungkapkan demikian
“Pena lebih kuat ketimbang pedang.” Alfred Agung ini dikenal sebagai raja yang selalu
merindukan hidup damai dengan negara tetangganya, yaitu Denmark – terpenuhi setelah
beberapa kali ia dikhianati, namun ia tetap percaya kepada Tuhan yang akan memberikan
kedamaian itu diwujudkan melalui dirinya. Hal ini terjadi, dan bahkan memberi dampak kepada
warga Denmark yang memberi diri menjadi Kristen setelah perdamaian terjadi.
Watak Alfred Agung sedemikian berakar dalam iman kekristenan, dan ini dinilai oleh
Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris pada waktu Perang Dunia II, dengan ungkapan
demikian: “Kekuatan mulia ini, ... memungkinkan Alfred... untuk tetap tenang entah dia kalah
atau menang untuk terus bertekun pada tujuannya... untuk menyambut baik dengan mata dingin
setiap keuntungan yang pulih kembali, untuk terus mempercayai sesamanya... pada akhirnya dia
sampai pada puncak keagungannya...” Alfred memprakarsai suatu crash program (rencana
darurat) untuk menerjemahkan sejumlah karya dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Sakson. Ia
juga mendemokrasikan pendidikan yang bukan hanya milik orang elit tetapi juga bagi setiap
anak yang sudah dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Demikianlah dia dikenal sebagai bintang
bercahaya, karena dia menjadi guru agung bagi bangsanya sendiri.

Pendidik ketiga adalah Rabanus Maurus (776-856).


Ia dikenal sebagai teolog pertama yang mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Dia adalah guru
pertama di Jerman yang menuliskan buku “Pendidikan Bagi Kaum Imam” dengan pokok utama
pembahasan adalah pentingnya artes liberales sebagai dasar untuk pendidikan teologi –
tujuannya: mendidik peserta didik mampu berpikir lebih kritis dan kreatif mengenai masalah-
masalah insani dalam terang abadi dari Alkitab. Kutipan Boelkhe dari pandangan Cully tentang
Maurus dituliskan demikian: “Pendidikan Bagi Kaum Awam merupakan... pendidikan tinggi
lanjutan... amat penting bagi gereja berpikir lebih mendalam tentang hubungan antara pendidikan
bagi kaum imam dengan disiplin-disiplin klasik...”
Kurikulum wajib yang diberlakukan oleh Maurus adalah Alkitab dan Pokok-pokok Seni
Liberal; dengan penekanan bahwa dasar, isi dan kesempurnaan semua hikmat adalah Alkitab
yang berasal dari Hikmat abadi yang tak pernah berubah (bnd. Ams.1:7). Kemudian, tujuh pokok
seni liberal yang dinyatakan sebagai materi ajar, adalah tata bahasa, retorika, dialektika, ilmu
hitung, ilmu ukur, musik, dan ilmu bintang. Ketujuh pokok seni liberal ini bermanfaat sebagai
penambahan pengetahuan peserta didik, integritas kehidupan yang diejawantahkan dalam akhlak
baik, kesopanan dalam bertutur kata, dan kedalaman penjelasan ajaran teologis.

Pendidik keempat adalah Petrus Abelardus (1079-1142).


Ia dikenal sebagai tokoh apologetika pertama, berasal dari Brittany, Barat Laut Paris.
Kisah hidup dan percintaannya dengan Heloise menjadi suatu refleksi bagi Abelardus
untuk menghidupkan kembali pemikiran Plato tentang filsafat idealisme, yang bermakna
bukanlah kasus tertentu melainkan gagasan tentang yang umum. Perkataan lain, bukan
seorang individu yang bermakna melainkan gagasan tentang kategori “manusia” saja. Hal
inilah yang memperlihatkan metode pengajaran Abelardus menggunakan pendekatan
dialektis dengan tujuan usaha menemukan kebenaran dengan jalan menentang salah satu
sebutan dengan mengemukakan kebalikannya.
Dalam isi dan praktik berpikir yang dialektis ini, Abelardus tuliskan dalam bukunya, “Ya
dan Tidak” dengan kesimpulan yang ia tuliskan sebagai berikut:
1. Bahwa kepercayaan berlandaskan akal, et contra (dan sebaliknya)
6. Bahwa Allah berupa tiga, (tripartite), et contra
8. Bahwa di dalam Trinitatis itu tidak dikatakan bahwa sudah terdapat Oknum lebih
banyak jumlahnya daripada satu yang abadi saja, et contra
14. Bahwa Putra itu tidak kunjung mempunyai titik permulaan, et contra
32. Bahwa bagi Allah segala sesuatu mungkin, et non (dan tidak)
56. Bahwa karena manusia berbuat dosa maka hilanglah kehendak bebasnya, et non
69. Bahwa Anak Allah dipilih demikian sebelum dunia dijadikan, et contra
79. Bahwa Kristuslah seorang penipu, et non
122. Bahwa hak menikah hendaknya dibuka kepada siapa saja, et contra.
Sekalipun Abelardus menuliskan seperti yang di atas, sejarah PAK mencatat bahwa dia adalah
seorang pendidik besar yang mengajar peserta didiknya tentang “kesucian, keragu-raguan
sebagai bukan tujuan yang terakhir, dan bukan pula karena menikmati ketidaktenangan
seseorang yang sudah lama merasa aman pada “sion” nya yang khas, melainkan sebagai tahap
kreatif untuk memperoleh pikiran lebih baik lagi. Inti pengajaran Abelardus, sesuai dengan
pendekatan dialektis yang ia kembangkan, dituliskan demikian “... dengan meragukan kita mulai
bertanya, dan dengan bertanya kita menangkap kebenaran.”

Pendidik kelima adalah Santo Thomas Aquinas (1225-1274).


Ia adalah seorang teolog yang mengembangkan filsafat empirisme (pemikiran
Aristoteles) dan menggunakan pendekatan induktif dalam isi dan praktik PAK yang ia
kembangkan. Pendekatan induktif, maksudnya berpikir dari kasus khusus agar menarik
kesimpulan umum yang disebut sebagai metode ilmiah. Thomas Aquinas terkenal sebagai
seorang teolog dan biarawan yang hidup dengan kesederhanaan sebagaimana ia mengimani
perkataan Alkitab pada Mat.14:37, demikian: “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih
daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Hal ini dilakukannya sebagai usaha untuk melepaskan diri
dari kehidupan bangsawan, karena ia lahir dari keluarga bangsawan.
Thomas Aquinas terkenal dengan bukunya “Summa Theologiae” yang dipilih menjadi
teologi resmi Gereja Roma Katolik. Isinya tentang usaha menyesuaikan sumbangan Aristoteles
dengan sumber iman Kristen. Perkataan lain, Thomas Aquinas berusaha untuk menyelaraskan
akal dengan pernyataan. Sumber tulisannya adalah karya-karya kaum Bapa Gereja Purba dan
refleksinya sendiri; dan seluk beluk isi bukunya adalah bagian dari ruang lingkup bidang
dogmatika. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa ada dua pendekatan utama yang terlibat dalam
proses memperoleh pengetahuan, yaitu (1) setiap pelajar dapat menggunakan pikirannya untuk
menemukan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya, dan (2) bergantung pada keahlian seorang
mentor yang memupuk bakat si pelajar.
Thomas Aquinas adalah seorang guru yang berporos pada keadaan peserta didiknya.
Tujuannya adalah untuk menolong mereka menghubungkan pengetahuan yang sudah ada dengan
masalah yang belum diketahui untuk membuktikan sejauh mana intinya memberlakukan asas-
asas yang dipegang pada saat itu ataupun sebaliknya, meniadakannya. Thomas Aquinas
mengajar untuk menolong peserta didiknya menjernihkan proses berpikirnya. Gaya mengajarnya
adalah gaya mengajar lisan yang ia awali dengan mengemukakan salah satu masalah kepada
peserta didiknya untuk diteliti dan diusahakan menemukan jawaban yang tepat atas kesulitan
tersebut. Dalam hal ini, ada empat persoalan yang Thomas Aquinas paparkan tentang ‘Sang
Guru’ (untuk buku lainnya yang cukup terkenal selain Summa Theologiae), yaitu (1) apakah
manusia mampu mengajar dan karena itu selayaknya ia dinamakan seorang guru, atau sebaliknya
gelar itu hanya berlaku bagi Allah saja? Pertanyaan ini berporos pada jabatan guru. (2) Apakah
dengan sendirinya siapa saja boleh digelari ‘guru?’ (3) Apakah manusia dapat diajar oleh
malaikat? Pertanyaan yang berporos pada kebenaran adalah terang untuk akal, dan apabila
manusia mengajar, maka ia menerangi akal dan Allah adalah sumber dari akal itu sendiri (bnd.
Yoh.1:9). (4) Apakah pengalaman mengajar itu merupakan kegiatan dari kehidupan aktif atau
sebaliknya, kehidupan bertafakur? Pertanyaan ini berporos pada konsep mengajar sebagai usaha
menanamkan pengetahuan dalam diri seorang lainnya.

Pendidik terakhir adalah Jean Charlie de Gerson (1363-1429).


Ia dikenal sebagai pendidik untuk anak-anak. Dia adalah seorang pendidik yang lebih
tertarik pada pribadi nyata yang bergembira, daripada berdebat tentang berada tidaknya mereka
tersebut. Perkataan lain, realita lebih penting daripada teori. Fokus utama adalah mendidik anak-
anak dengan alasan bahwa keterampilan di atas segala keterampilan ialah kemampuan membina
orang-orang, yang diawali dengan membina anak-anak. Hal ini ia landaskan pada perkataan
Tuhan Yesus dalam Mat.19:13-15, dengan penekanan utama pada “orang-orang seperti itulah
yang empunya Kerajaan Sorga.”
Gerson memfokuskan pendidikan untuk anak dan tindakan ini kerapkali dikecam oleh
para imam dan pengkritik lainnya. Namun, ia mengemukakan empat tuduhan utama kepada
mereka sebagai buah dari kritikan tersebut, yaitu (1) kelakuan anak didik berbeda dengan
kelakuannya. (2) Ketinggian martabatnya menuntut pelayanan lebih bermakna. (3) Tidak
sepatutnya ia memanfaatkan waktunya dan gedung gereja untuk maksud mengajar itu. (4)
Kecaman kepadanya karena tindakan mengajar anak-anak bukanlah dilakukan oleh seorang
imam. Keempat tuduhan ini, ia sanggah sesuai dengan pemahaman teologisnya yang
menghasilkan pemikiran bahwa PAK merupakan pengalaman rohani dan intelektual. Gerson
adalah seorang pemimpin gereja terkemuka yang mengamalkan keyakinannya bahwa tidak ada
jabatan gerejawi yang lebih tinggi daripada mendidik anak-anak dalam iman Kristen.
Pada tahun 1500, kekuasaan Paus atas umat Kristen kelihatannya semakin tak
tergoyahkan. Namun, ini bukan berarti warga gereja merasakan kedamaian – karena wewenang
yang dimiliki oleh Paus, tidak bisa disentuh oleh apapun untuk menggoyahkannya.
Perkembangan sejarah gereja berlanjut pada perkembangan pikiran dan praktik PAK dalam masa
menjelang reformasi. Perhatian khusus adalah masa lampau klasik dibangkitkan kembali dan
disebut dengan ‘humanisme’ – sebagai salah satu usaha pendidikan yang memanusiakan
manusia. Hal ini didasarkan pada kejenuhan manusia dengan lingkungan yang diciptakan pada
abad pertengahan melalui sistem feodalisme – penekanan utama perbedaan antara majikan atau
tuan dengan hamba atau pekerja begitu jelas terlihat.
Memasuki abad menjelang reformasi ini, tokoh humanisme yang bercorak Kristen
bernama Desiderius Erasmus, memengaruhi pemahaman tentang manusia yang diarahkan pada
potensi dan keahlian mereka masing-masing untuk berprestasi dan meningkatkan taraf hidupnya.
Ia tidak lagi ditentukan oleh status sosial yang diwariskan turun-temurun. Sementara itu,
pengalaman beragama yang cenderung tidak membangun keberimanan mereka, berdampak pada
sikap dan tindakan mereka yang lebih mengutamakan adat atau budaya dari negara atau
daerahnya daripada aturan agama.
Selain reformasi terhadap keberadaan manusia yang memiliki tingkatan sama di hadapan
Tuhan, ada juga reformasi pengetahuan; dan yang pertama kali melakukannya adalah
Kopernikus, seorang ahli ilmu bintang Polandia – menyimpulkan bahwa matahari-lah pusat alam
semesta dan bukan bumi, karena bumi berputar pada porosnya dan serentak berputar
mengelilingi matahari. Gaya berpikir Kopernikus yang amat mendalam merupakan awal bagian
dari suasana intelektual yang memungkinkan terjadinya reformasi pada abad ke-16.
Sementara itu, di Inggris, seorang pastor bernama Yohanes Wycliff (1330-1384),
menjelaskan pengharapannya akan terjadi reformasi di dalam gereja Katolik Roma, dengan
sistem hierarki yang cukup ketat – menyatakan bahwa sumber penyakit terparah dalam
kerohanian umat Kristen terletak pada lembaga kepausan. Wycliff cenderung mengutamakan
pokok pengalaman pribadi iman Kristen daripada unsur dogmatis – menurutnya, Alkitab
berkuasa mutlak dalam persekutuan Kristen dan bukan pada lembaga insani apapun.
Demikianlah ia mengecam kekuasaan kepausan itu sendiri.
Para tokoh yang menginginkan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik lagi,
memang, tidak sesederhana yang dituliskan dalam catatan sejarah. Karena mereka berani
berbicara sesuai dengan fakta dan penelitian yang mereka lakukan sekalipun mereka harus
diperhadapkan dengan konsekuensi yang cukup berat, demi memperkenalkan gagasan baru
tersebut, mereka tetap terima tanpa menyerah, termasuk hukuman mati – karena penentu setiap
pengetahuan itu adalah sesat atau tidak, bergantung pada kepausan bekerja sama dengan
pemerintah. Contoh: Yohanes Hus yang dibakar hidup-hidup karena kecamannya terhadap ajaran
dan praktik gereja yang berporoskan Roma. Demikian halnya dengan Savonarola di Firenze
dijatuhi hukuman gantung sampai mati karena menentang kekuasaan Paus, termasuk campur-
baur gereja dan politik demi memperlihatkan kedaualatan dan kekuasaan yang tak bisa
dielakkan. Keadaan demikian memperlihatkan bahwa pada dasarnya tokoh-tokoh pendidik dan
teolog yang menginginkan adanya transformasi dan reformasi dalam kehidupan itu sendiri,
terkhusus pada pengajaran iman Kristen, cukup banyak, dengan tujuan mengumandangkan
kerinduan dan harapan mereka terhadap gereja yang harus berperan sebagai gereja, dan tidak
melibatkan diri dengan urusan negara dan politik. Masa inilah dikenal sebagai Renaisans, berarti
kelahiran kembali. Tokoh yang memengaruhi pemikiran dan pengetahuan iman Kristen pada
aliran humanisme bernama Desiderius Erasmus (1466-1536), seorang biarawan pada ordo
Augustiniuan di Steyn (h.276). Erasmus adalah seorang cendikiawan yang yakin bahwa cara
terbaik untuk mengadakan pembaruan gereja adalah melalui kesarjanaan yang baik, yakni
melalui penyelidikan Alkitab dalam bahasa Ibrani dan Yunani, dan kembali mempelajari Bapa-
bapa gereja purba. Dalam buku ini, Boehlke menjelaskan Erasmus sebagai pendidik Oikumenis,
dan sebagai pendidik khusus, demikian:
Erasmus terkenal sebagai pendidik Oikumenis yang menjembatani dunia klasik Yunani-
Romawi dan dunia Kristen. Penekanan utama pengajarannya adalah meniru kelakuan
Yesus, khususnya kebajikan-Nya seperti rendah hati, lemah lembut, murah hati, kasih,
damai, kerelaan mengampuni dan berkorban demi keselamatan sesama-Nya. Baginya,
Yesus adalah sosok yang sangat rendah hati – yang mendorong kaum imam untuk
mengamalkan Injil daripada berpusat pada kekuatan sakramen-sakramen untuk
menyelamatkan.

Hal ini memperlihatkan bahwa Erasmus lebih menekankan tindakan atau aksi kepada
sesama daripada ritual ceremonial keagamaan yang sifatnya semu dan penuh dengan
kemunafikan. Demikianlah Erasmus mengingatkan kaum Kristen bahwa segala upacara gerejawi
bukanlah hal-hal yang maknanya mutlak, tetapi hanya sarana menuju penerimaan kenyataan
abadi. Erasmus juga mengecam tentang benda-benda tertentu yang dipandang keramat karena
adanya bahaya ketahyulan yang akan semakin memperlemah iman warga jemaat.
Kemudian, pemahamannya tentang pernikahan memperlihatkan unsur humanis yang
sangat jelas, bahwa pernikahan itu hak setiap orang untuk bebas memilih jodohnya berdasarkan
cinta-kasih timbal balik. Keadaan ini didasarkan pada keprihatinan Erasmus kepada ibunya yang
menjadi korban kebiasaan sosial dan peraturan gereja – karena ayahnya seorang imam, sehingga
ibunya tidak dinikahkan secara sah dalam peneguhan nikah di gereja. Selain itu, ia juga
mendukung perempuan untuk mendapatkan hak mereka melalui pendidikan, sebagaimana ia
tuliskan dalam karyanya “Colloquiorum” – memperlihatkan pentingnya seorang ibu atau
perempuan memiliki pendidikan yang memadai agar ia mampu mendidik anak-anak mereka
secara bijaksana. Hal ini untuk meminimalisasikan pemikiran sempit budaya saat itu yang
menganggap perempuan hanyalah mengurus rumah dan membesarkan anak-anak.
Boelhke menegaskan pernyataan Erasmus ini dalam kutipannya “...kebiasaan adalah
induk segala kelakuan buruk. Seyogyanya kita membiasakan diri dengan hal-hal apa saja yang
paling tinggi mutunya...apa yang belum biasa akan menjadi biasa...dan apa yang belum pantas
akan menjadi pantas.” Pergumulan terhadap keprihatinan Erasmus tentang kedudukan dan posisi
perempuan tersebut membuahkan karya yaitu menciptakan idealisme pernikahan bahwa dasar
pernikahan adalah alam, hukum dan iman (bnd. Mat.20:22 dan Mrk.10:39).
Peranan Erasmus sebagai pendidik Oikumenis adalah melalui usahanya memperoleh teks
Perjanjian Baru dalam Bahasa Yunani yang paling asli di samping menjelaskan maknanya bagi
para warga jemaat. Menurut Erasmus, pertama sekali yang harus diketahui oleh seorang teolog
adalah wajib mengetahui kata-kata yang paling sesuai dengan isi asli pengarang ayat tertentu dari
Perjanjian Baru terlepas dari masalah dogmatis apapun yang tersirat dalam bacaan asli tersebut.
Hal ini jelas ia kemukakan dalam pernyataan yang dikutip oleh Boelhke demikian “...adalah
tindakan jahat untuk memperbaiki isi naskah keempat Injil. Ucapan demikian lebih patut
didengar dari bibir seorang kusir ketimbang ahli teologi...sebenarnya, jalan satu-satunya untuk
menentukan bacaan benar untuk ayat tertentu ialah memeriksa naskah-naskah yang paling kuno.”
Erasmus memperkenalkan empat langkah eksegesenya, yaitu: (1) penafsir wajib
memahami arti historis yang dimaksudkan pengarang dan yang ditangkap oleh para pendengar
atau pembaca pertama. (2) Penafsir bertanya kepada dirinya sendiri tentang dampak moral dari
isi ayat atau perikop atas kelakuan orang. (3) Penafsir mencari arti yang menghiburkan. (4)
Penafsir menggali di bawah arti lahiriahnya untuk memperoleh arti rohani. Sekalipun demikian,
Erasmus tidak memenjarakan pemikirannya hanya berpatok pada empat langkah tersebut karena
ia pun terbuka dengan pendekatan lainnya dalam mengajarkan Alkitab.
Erasmus sebagai pendidik khusus, dalam artian penekanan pada tiga landasan pokok
pemikiran dan praktik PAK yang ia kemukakan, yaitu (1) pengalaman pahit di sekolah ‘dasar’
dan ‘SMP/SMA’ dulu; (2) pikiran Yunani-Romawi Klasik seperti Plato, Aritoteles, Quintilianes,
dan Plutarchus; (3) sumber tetulis Kristen, termasuk Alkitab dan karya bapa-bapa Gereja Purba.
Tujuan PAK yang Erasmus rumuskan adalah mengembangkan bakat alamiah dalam diri
setiap peserta yang belajar dalam lingkungan luas kasih yang berdisiplin agar ia mampu berpikir
sedalam dan sebebas mungkin, memperoleh keterampilan mengungkapkan pikiran sejelas
mungkin, baik lisan maupun tulisan, serta mengamalkan gaya hidup yang sesuai dengan Injil
dalam semua peranannya sebagai warga Kristen dalam masyarakat. Perkataan lain, pendidikan
adalah kebebasan atau pembebasan berdasarkan nilai-nilai Kristen. Gaya mengajar dan belajar
Erasmus adalah dengan menggunakan metode dialogis, dan metodologi yang dilakukan adalah
melalui pengembangan suasana ruang kelas yang memperlancar pengalaman belajar, dan
menolak metode dialektika yang hanya menghasilkan orang angkuh karena hasrat untuk
mengalahkan lawannya, padahal ia tidak memahami isi pokoknya sendiri. Kurikulumnya
menitikberatkan keterampilan membaca dan menulis dalam bahasa Latin dan dalam gaya
dialogis para peserta didik belajar menyampaikan pikiran sejelas mungkin, baik lisan maupun
tulisan, sesuai dengan kaidah tata bahasa Latin yang murni.
Erasmus adalah sosok pendidik humanis yang Injili bahwa pendidikan itu membebaskan
tetapi berporos pada kasih, kesabaran, kecerdasan, kesopanan sebagai alat pembaruan yang lebih
kuat untuk membuat mereka menjadi manusia yang beradab. Gerakan humanis yang
diproklamirkan oleh Erasmus ini membuka mata setiap orang terhadap pentingnya memelihara
kewibawaan Alkitab daripada kekuasaan gereja. Keadaan ini dikembangkan dalam masa
reformasi melalui pemikiran dan praktik PAK dari para tokoh reformator, antara lain: Martin
Luther, Johanes Calvin, dan Ignatius Loyola (tokoh yang mewakili Gereja Katolik Roma untuk
menentang Protestanisme), sebagai tiga tokoh pendidik yang memengaruhi perkembangan
pikiran dan pelaksanaan PAK dalam zaman tersebut.

Anda mungkin juga menyukai