Anda di halaman 1dari 5

BAB 5

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN MENJELANG REFORMASI

Pada tahun 1500 kekuasaan Paus atas umat Kristen kelihatannya semakin tak
tergoyahkan. Namun, ini bukan berarti warga gereja merasakan kedamaian – karena
wewenang yang dimiliki oleh Paus, tidak bisa disentuh oleh apapun untuk
menggoyahkannya. Perkembangan sejarah gereja berlanjut pada perkembangan pikiran
dan praktik PAK dalam masa menjelang reformasi. Perhatian khusus adalah masa lampau
klasik dibangkitkan kembali dan disebut dengan ‘humanisme’ – sebagai salah satu usaha
pendidikan yang memanusiakan manusia. Hal ini didasarkan pada kejenuhan manusia
dengan lingkungan yang diciptakan pada abad pertengahan melalui sistim feodalisme –
penekanan utama perbedaan antara majikan atau tuan dengan hamba atau pekerja begitu
jelas terlihat.
Memasuki abad menjelang reformasi ini, tokoh humanisme yang bercorak Kristen
bernama Desiderius Erasmus, memengaruhi pemahaman tentang manusia yang diarahkan
pada potensi dan keahlian mereka masing-masing untuk berprestasi dan meningkatkan
taraf hidupnya. Ia tidak lagi ditentukan oleh status sosial yang diwariskan turun-temurun.
Sementara itu, pengalaman beragama yang cenderung tidak membangun keberimanan
mereka berdampak pada sikap dan tindakan mereka yang lebih mengutamakan adat atau
budaya dari negara atau daerahnya daripada aturan agama.
Selain reformasi terhadap keberadaan manusia yang memiliki tingkatan sama di
hadapan Tuhan, ada juga reformasi pengetahuan; dan yang pertama kali melakukannya
adalah Kopernikus, seorang ahli ilmu bintang Polandia – menyimpulkan bahwa
mataharilah pusat alam semesta dan bukan bumi, karena bumi berputar pada porosnya
dan serentak berputar mengelilingi matahari. Gaya berpikir Kopernikus yang amat
mendalam merupakan awal bagian dari suasana intelektual yang memungkinkan
terjadinya reformasi pada abad ke-16.
Sementara itu, di Inggris, seorang pastor bernama Yohanes Wycliff (1330-1384),
memperlihatkan pengharapannya akan terjadi reformasi di dalam gereja Katolik Roma,
dengan sistim hierarki yang cukup ketat – menyatakan bahwa sumber penyakit terparah
dalam kerohanian umat kristen terletak pada lembaga kepausan. Wycliff cenderung
mengutamakan pokok pengalaman pribadi iman kristen daripada unsur dogmatis –
menurutnya, Alkitab berkuasa mutlak dalam persekutuan kristen dan bukan pada
lembaga insani apapun. Demikianlah ia mengecam kekuasaan kepausan itu sendiri.
Para tokoh yang menginginkan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik lagi,
memang, tidak sesederhana yang dituliskan dalam catatan sejarah. Karena mereka berani
berbicara sesuai dengan fakta dan penelitian yang mereka lakukan sekalipun mereka
harus diperhadapkan dengan konsekuensi yang cukup berat, demi memperkenalkan
gagasan baru tersebut, mereka tetap terima tanpa menyerah, termasuk hukuman mati –
karena penentu setiap pengetahuan itu adalah sesat atau tidak bergantung pada kepausan
bekerja sama dengan pemerintah. Contoh: Yohanes Hus yang dibakar hidup-hidup karena
kecamannya terhadap ajaran dan praktek gereja yang berporoskan Roma. Demikian
halnya dengan Savonarola di Firenze dijatuhi hukuman gantung sampai mati karena
menentang kekuasaan Paus termasuk campur-baur gereja dan politik demi
memperlihatkan kedaualatan dan kekuasaan yang tak bisa dielakkan. Keadaan demikian
memperlihatkan bahwa pada dasarnya tokoh-tokoh pendidik dan teolog yang
menginginkan adanya transformasi dan reformasi dalam kehidupan itu sendiri, terkhusus
pada pengajaran iman kristen, cukup banyak, dengan tujuan mengumandangkan
kerinduan dan harapan mereka terhadap gereja yang harus berperan sebagai gereja, dan
tidak melibatkan diri dengan urusan negara dan politik.
Masa inilah dikenal sebagai Renaisans, berarti kelahiran kembali. Tokoh yang
memengaruhi pemikiran dan pengetahuan iman kristen pada aliran humanisme bernama
Desiderius Erasmus (1466-1536), seorang biarawan pada ordo Augustinian di Steyn.
Erasmus adalah seorang cendikiawan yang yakin bahwa cara terbaik untuk mengadakan
pembaruan gereja adalah melalui kesarjanaan yang baik, yakni melalui penyelidikan
Alkitab dalam bahasa Ibrani dan Yunani, dan kembali mempelajari Bapa-bapa gereja
purba. Dalam buku ini, Boehlke menjelaskan Erasmus sebagai pendidik Oikumenis, dan
sebagai pendidik khusus, demikian:
Erasmus terkenal sebagai pendidik Oikumenis yang menjembatani dunia klasik
Yunani-Romawi dan dunia Kristen. Penekanan utama pengajarannya adalah meniru
kelakuan Yesus, khususnya kebajikan-Nya seperti rendah hati, lemah lembut, murah hati,
kasih, damai, kerelaan mengampuni dan berkorban demi keselamatan sesama-Nya.
Baginya, Yesus adalah sosok yang sangat rendah hati – yang mendorong kaum imam
untuk mengamalkan Injil daripada berpusat pada kekuatan sakramen-sakramen untuk
menyelamatkan. Hal ini memperlihatkan bahwa Erasmus lebih menekankan tindakan
atau aksi kepada sesama daripada ritual ceremonial keagamaan yang sifatnya semu dan
penuh dengan kemunafikan. Demikianlah ia mengingatkan kaum kristen bahwa segala
upacara gerejawi bukanlah hal-hal yang maknanya mutlak, tetapi hanya sarana menuju
penerimaan kenyataan abadi. Erasmus juga mengecam tentang benda-benda tertentu yang
dipandang keramat karena adanya bahaya ketahyulan yang akan semakin memperlemah
iman warga jemaat.
Kemudian, pemahamannya tentang pernikahan memperlihatkan unsur humanis
yang sangat jelas, bahwa pernikahan itu hak setiap orang untuk bebas memilih jodohnya
berdasarkan cinta-kasih timbal balik. Keadaan ini didasarkan pada keprihatinan Erasmus
kepada ibunya yang menjadi korban kebiasaan sosial dan peraturan gereja – karena
ayahnya seorang imam, sehingga ibunya tidak dinikahkan secara sah dalam peneguhan
nikah di gereja. Selain itu, ia juga mendukung perempuan untuk mendapatkan hak
mereka melalui pendidikan, sebagaimana ia tuliskan dalam karyanya “Colloquiorum” –
memperlihatkan pentingnya seorang ibu atau perempuan memiliki pendidikan yang
memadai agar ia mampu mendidik anak-anak mereka secara bijaksana. Hal ini untuk
meminimalisasikan pemikiran sempit budaya saat itu yang menganggap perempuan
hanyalah mengurus rumah dan membesarkan anak-anak. Boelhke menegaskan
pernyataan Erasmus ini dalam kutipannya “...kebiasaan adalah induk segala kelakuan
buruk. Seyogyanya kita membiasakan diri dengan hal-hal apa saja yang paling tinggi
mutunya...apa yang belum biasa akan menjadi biasa...dan apa yang belum pantas akan
menjadi pantas.” Pergumulan terhadap keprihatinan Erasmus tentang kedudukan dan
posisi perempuan tersebut membuahkan karya yaitu menciptakan idealisme pernikahan
bahwa dasar pernikahan adalah alam, hukum dan iman (bnd. Mat.20:22 dan Mrk.10:39).
Peranan Erasmus sebagai pendidik Oikumenis adalah melalui usahanya
memperoleh teks Perjanjian Baru dalam Bahasa Yunani yang paling asli di samping
menjelaskan maknanya bagi para warga jemaat. Menurut Erasmus, pertama sekali yang
harus diketahui oleh seorang teolog adalah wajib mengetahui kata-kata yang paling
sesuai dengan isi asli pengarang ayat tertentu dari Perjanjian Baru terlepas dari masalah
dogmatis apapun yang tersirat dalam bacaan asli tersebut. Hal ini jelas ia kemukakan
dalam pernyataan yang dikutip oleh Boelhke demikian “...adalah tindakan jahat untuk
memperbaiki isi naskah keempat Injil. Ucapan demikian lebih patut didengar dari bibir
seorang kusir ketimbang ahli teologi...sebenarnya, jalan satu-satunya untuk menentukan
bacaan benar untuk ayat tertentu ialah memeriksa naskah-naskah yang paling kuno.”
Erasmus memperkenalkan empat langkah eksegesenya, yaitu: (1) penafsir wajib
memahami arti historis yang dimaksudkan pengarang dan yang ditangkap oleh para
pendengar atau pembaca pertama; (2) penafsir bertanya kepada dirinya sendiri tentang
dampak moral dari isi ayat atau perikop atas kelakuan orang; (3) penafsir mencari arti
yang menghiburkan; (4) penafsir menggali di bawah arti lahiriahnya untuk memperoleh
arti rohani. Sekalipun demikian, Erasmus tidak memenjarakan pemikirannya hanya
berpatok pada empat langkah tersebut karena ia pun terbuka dengan pendekatan lainnya
dalam mengajarkan Alkitab .
Erasmus sebagai pendidik khusus, dalam artian penekanan pada tiga landasan
pokok pemikiran dan praktik PAK yang ia kemukakan, yaitu (1) pengalaman pahit di
sekolah ‘dasar’ dan ‘SMP/SMA’ dulu; (2) pikiran Yunani-Romawi Klasik seperti Plato,
Aritoteles, Quintilianes, dan Plutarchus; (3) sumber tetulis kristen termasuk Alkitab dan
karya bapa-bapa Gereja Purba.
Tujuan PAK yang Erasmus rumuskan adalah mengembangkan bakat alamiah
dalam diri setiap peserta yang belajar dalam lingkungan luas kasih yang berdisiplin agar
ia mampu berpikir sedalam dan sebebas mungkin, memperoleh keterampilan
mengungkapkan pikiran sejelas mungkin, baik lisan maupun tulisan, serta mengamalkan
gaya hidup yang sesuai dengan Injil dalam semua peranannya sebagai warga kristen
dalam masyarakat. Perkataan lain, pendidikan adalah kebebasan atau pembebasan
berdasarkan nilai-nilai kristen. Gaya mengajar dan belajar Erasmus adalah dengan
menggunakan metode dialogis dan metodologi yang dilakukan adalah melalui
pengembangan suasana ruang kelas yang memperlancar pengalaman belajar, dan
menolak metode dialektika yang hanya menghasilkan orang angkuh karena hasrat untuk
mengalahkan lawannya, padahal ia tidak memahami isi pokoknya sendiri. Kurikulumnya
menitikberatkan keterampilan membaca dan menulis dalam bahasa Latin dan dalam gaya
dialogis para peserta didik belajar menyampaikan pikiran sejelas mungkin, baik lisan
maupun tulisan, sesuai dengan kaidah tata bahasa Latin yang murini. Erasmus adalah
sosok pendidik humanis yang Injili bahwa pendidikan itu membebaskan tetapi berporos
pada kasih, kesabaran, kecerdasan, kesopanan sebagai alat pembaruan yang lebih kuat
untuk membuat mereka menjadi manusia yang beradab.
Gerakan humanis yang diproklamirkan oleh Erasmus ini membuka mata setiap
orang terhadap pentingnya memelihara kewibawaan Alkitab daripada kekuasaan gereja.
Keadaan ini dikembangkan dalam masa reformasi melalui pemikiran dan praktik PAK
dari para tokoh reformator, antara lain: Martin Luther, Johanes Calvin, dan Ignatius
Loyola (tokoh yang mewakili Gereja Katolik Roma untuk menentang Protestanisme),
sebagai tiga tokoh pendidik yang mempengaruhi perkembangan pikiran dan pelaksanaan
PAK dalam zaman tersebut.

Anda mungkin juga menyukai