Anda di halaman 1dari 9

Nama : Imanuel Soleman Daud Boimau

NIM : 1011611146
Dosen : Lotnatigor Sihombing
Mata Kuliah : Etika Kristen
Tugas : Laporan Baca; Norman L. Geisler. Etika Kristen: Pilihan dan Isu, terj.
Wardani Mumpuni, Rahmiati Tanudjaja (Malang: Literatur SAAT,
2002).
Bagian 1: Pilihan-pilihan Etika

Bab 1: Pilihan-pilihan yang Ada. Etika berkaitan dengan apa yang secara moral
benar dan salah. Etika Kristen berkaitan dengan apa yang secara moral benar dan salah
bagi seorang Kristen. Akan tetapi, ada berbagai pandangan yang berbeda dengan
pandangan Kristen mengenai kebenaran dan moralitas. Berbagai pandangan tersebut
seperti, Might is Right, Moral adalah Adat Istiadat, Manusia Merupakan Dasar
Kebenaran, Kebenaran adalah Sebuah Keseimbangan, Kebenaran adalah Kebaikan yang
Terbesar bagi Orang yang Terbanyak, Kebenaran adalah Apa yang Dikehendaki untuk
Kebaikannya Sendiri, Kebenaran Tidak Dapat Ditentukan. Semua pandangan mengenai
moralitas dan kebenaran ini memiliki kelamahannya masing-masing, misalnya
pandangan tentang Kebenaran adalah Kebaikan yang Terbesar bagi Orang yang
Terbanyak. Kelemahan pandangan ini adalah munculnya pertanyaan tentang apa yang
dimaksud dengan “baik” itu sendiri dan tidak adanya kesepakatan mengenai bagaimana
kebaikan itu dipahami (secara kuantitatif atau kualitatif). Sedangkan apa yang menjadi
karakteristik Etika Kristen yaitu, Etika Kristen Berdasarkan Kehendak Allah, Bersifat
Mutlak, Berdasarkan Wahyu Allah, Bersifat Menentukan, dan Deontologis (berpusat
pada kewajiban). Berdasarkan karakteristik yang ada, Etika Kristen sesungguhnya
diberikan oleh Allah sesuai dengan karakter Moral-Nya yang bertujuan untuk
membentuk moral manusia.

Bab 2: Antinomianisme. Antinomianisme berarti menentang atau sebagai


pengganti hukum. Menurut pandangan ini, tidak ada hukum moral yang mengikat dan
segala sesuatu itu bersifat relatif. Antinomianisme dipengaruhi oleh Prosesisme (Setiap
nilai etis berubah seiring dengan situasi), Hedonisme (Adanya nilai relativitas termasuk
mengenai moral), dan Skeptisisme (Tidak ada yang benar atau salah secara mutlak).
Antinomianisme hadir di berbagai abad misalnya di abad pertengahan: Intensionalisme,
Voluntarisme, dan Nominalisme; Dunia Modern: Utilitarinisme, Eksistensialisme,
Evolusionalisme; Dunia sekarang: Emotivisme, Nihilisme, Situsionisme.

1
Antinomianisme muncul atas dasar bahwa tidak ada hukum moral yang
ditentukan Allah, yang objektif, dan hukum yang menentang hukum. Sekalipun
merupakan sebuah pandangan yang salah, tetapi pandangan ini memiliki nilai positif
yaitu Penekanan terhadap tanggung jawab pribadi, Mengakui unsur Emotif,
Menekankan hubungan pribadi dan penekanan terhadap keterbatasan dimensi Etika.
Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga berbagai kelemahan dari pandangan
ini seperti, penyangkalan terhadap seluruh nilai moral itu mengalahkan diri sendiri,
tidak semua pernyataan etis itu bersifat subjektif, setiap individu menjadi berotoritas
tanpa sebuah batasan, tidak dapat menyelesaikan konflik karena tidak adanya hukum
moral yang objektif, dan pandangan ini bersifat irasional.

Bab 3: Situasionisme. Situasionisme hanya mengakui satu norma yang bersifat


absolut yaitu kasih. Kasih menjadi satu-satunya norma yang bersifat absolut adalah
karena hanya kasih yang tunggal itu yang cukup luas untuk diaplikasikan pada seluruh
keadaan dan konteks. Situasionime memiliki empat prinsip dasar yaitu pragmatisisme,
relativisme, positivisme dan personalisme. Menurut pandangan Situasionisme, hanya
kasih yang secara intrinsik baik, kasih adalah norma yang mengatur keputusan Kristen,
kasih dan keadilan itu sama, kasih menghendaki kebaikan sesama, tujuan
membenarkan cara, keputusan kasih dibuat secara situasional. Salah satu cara dapat
digunakan untuk menerapkan kasih yaitu mendahulukan kepentingan orang lain.

Situasionisme di dalam berbagai kelemahannya, memiliki beberapa manfaat


yaitu merupakan suatu posisi normatif, merupakan sebuah absolutisme, memutuskan
masalah norma-norma yang bertentangan, memberikan nilai untuk keadaan yang
berbeda, dan menekankan kasih serta nilai dari manusia. Akan tetapi pandangan ini
juga memiliki kelemahan yaitu suatu norma itu terlalu umum, kasih tidak ditentukan
oleh situasi, kemungkinan tentang banyak norma yang universal, etika banyak-norma
itu dapat membela diri dan pada akhirnya di dalam prakteknya Situasionisme (kasih
adalah norma yang absolut) sebenarnya tidaklah lebih baik daripada tidak ada hukum
moral yang absolut.

Bab 4: Generalisme. Generalisme meyakini bahwa ada beberapa prinsip moral


yang mengikat namun tidak ada yang benar-benar mutlak. Ada tiga nilai generalisme
yang berhubungan dengan pendekatan normatif terhadap etika yang diambil oleh
orang-orang Kristen. Pertama, generalisme merekfleksikan suatu kebutuhan akan

2
norma-norma. Kedua, generalisme menawarkan sebuah solusi yang mungkin dalam
norma-norma yang bertentangan. Ketiga, beberapa generlis mengusulkan norma-
norma “yang tidak dapat dipatahkan”. Akan tetapi, ada beberapa kekurangan dari
pandangan ini yaitu tujuan tidak membenarkan cara, generalisme tidak memiliki
norma-norma yang universal, tindakan-tindakan utilitarian tidak memiliki nilai
intrinsik, perlunya norma yang mutlak, tujuan merupakan istilah yang rancu
(berdasarkan pada etika yang dianut yaitu pada apa yang membawa hasil yang paling
baik), dan perlunya norma-norma etis.

Bab 5: Absolutisme Total. Alasan dasar dari pandangan ini adalah bahwa seluruh
konflik moral itu hanya kelihatannya saja konflik tetapi sebenarnya tidak. Empat tokoh
yang memegang pandangan ini adalah Augustine, Kant, Murray, dan Charles Hodge.
Augustine dalam argumentasinya melawan kebohongan mengatakan bahwa seseorang
dinilai melakukan kebohongan atau tidak dilihat dari tujuannya. Sedangkan Kant dalam
pandangannya tentang absolutisme total menyampaikan tentang sebuah kewajiban
moral yang universal merupakan sebuah imperative kategorikal, contohnya adalah
menyatakan kebenaran. Berbeda dengan Augustine dan Kant, Murray dianggap sebagai
contoh yang paling baik dari absolutisme. Menurut Murray, kebenaran merupakan
sesuatu yang harus dipertahankan bahkan jika keadaan memungkinkan bahwa
kebohongan dapat dibenarkan. Ada dua alasan untuk pandangannya ini yaitu Allah itu
mutlak dan kebenaran merupakan esensi dari Allah.

Providensia Allah merupakan sesuatu yang tersirat dari paham ini. Hal-hal
positif dari pandangan ini adalah didasarkan pada natur Allah yang tidak berubah,
menekankan peraturan atas hasil, keyakinan pada providensia Allah, dan selalu ada
jalan untuk menghindari dosa. Tetapi ada juga hal negatif dari pandangan ini yaitu,
presuposisi-presuposisi yang tidak perlu dan yang tidak dapat dibenarkan dipegang
oleh beberapa pendukung pandangan ini, misalnya apakah dosa-dosa jiwa itu lebih
besar dan lain-lain. Selain itu, beberapa kualifikasi dari pandangan ini tidak berhasil
seperti pengandalan kepada intervensi Allah, tidak selalu ada alternatif ketiga,
ketidakkonsistenan dasar, jatuh dalam dosa kelalaian dan lain-lain.

Bab 6: Absolutisme Konflik. Asumsi dari pandangan ini adalah bahwa kita hidup
di dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, sehingga konflik-konflik moral yang riil
memang terjadi dengan sebuah dasar pikiran bahwa ketika dua kewajiban

3
bertentangan, secara moral manusia bertanggung jawab terhadap keduanya.
Pandangan ini berakar pada dunia Yunani yang disesuaikan dengan pemikiran
Reformasi. Tokoh yang paling terkenal dari pandangan ini adalah Helmut Thielicke.
Prinsip-prinsip dasar dari pandangan ini adalah hukum moral Allah itu mutlak, konflik
moral tidak dapat dihindarkan. Hal positif dari pandangan ini adalah mempertahankan
kemutlakan moral, mempunyai realisme moral, melihat konflik moral sebagai dampak
dosa, dan merupakan sebuah solusi tanpa pengecualian. Tetapi kekurangan dari
pandangan ini adalah tugas moral untuk berbuat dosa secara moral tidak masuk akal,
tidak dapat dielakkan berarti secara moral tidak bersalah, Yesus pastilah sudah berdosa
karena Yesus juga dicobai dan pasti juga mengalami dan menghadapi konflik moral
dalam diri-Nya. Sekalipun ada wawasan-wawasan dari pandangan ini yang sangat
membantu, pandangan ini nampaknya tidak memiliki dasar yang teguh mengenai di
atas mana pandangan ini berdiri.

Bab 7: Absolutisme Bertingkat. Absolutisme Bertingkat seringkali dikaitkan


dengan tradisi Reformed. Augustine dan Charels Hodge merupakan dua tokoh dari
pandangan ini. Pandangan ini meyakini hal-hal moral yang mutlak, dan bersifat mutlak
di dalam urutan prioritas mereka ketika ada satu konflik. Pandangan ini menganggap
bahwa ada kewajiban moral yang lebih tinggi dan yang lebih rendah., ada konflik moral
yang tidak dapat dielakkan, tidak ada kesalahan yang disalahkan untuk yang tidak dapat
dielakkan dan absolutisme bertingkat itu benar. Karena ada tingkatan, maka mengasihi
Allah lebih dari mengasihi manusia, menaati Allah melebihi pemerintah, dan belas
kasihan melebihi kejujura. Akan tetapi pandangan ini memiliki kelemahan seperti
apakah konflik moral diciptakan sendiri oleh manusia, adakah satu hirarki di dalam
Allah, dan lain-lain. Pandangan ini menghindari relativisme, berhasil menjawab konflik-
konflik moral, dan salib menjadi masuk akal.

Bagian 2: Isu-isu Etika

Bab 8: Aborsi. Aborsi merupakan salah satu masalah tentang kehidupan. Ada tiga
kelompok yang memiliki pandangan mengenai aborsi yaitu mereka yang mendukung
atas dasar permintaan (melihat janin sebagai bagian dari tubuh manusia), mereka yang
menentang (melihat janin sebagai benar-benar manusia), dan yang mendukung untuk
situasi tertentu (melihat janin sebagai sesuatu yang berpotensi menjadi manusia).
Mereka yang mendukung aborsi, melihat pada Kejadian 2:7 dan pada alasan tertentu

4
misalnya karena berpengaruh terhadap kesehatan sang ibu. Mereka yang sesekali
mendukung aborsi, melihat pada Keluaran 21:22-23 dan pada pemahaman mengenai
analogi dengan makhluk hidup lainnya. Sedangkan merek yang menolak aborsi melihat
pada pemahaman Alkitab bahwa Alkitab tidak menyisakan keraguan bahwa anak yang
belum dilahirkan sama seperti seseorang di dalam gambaran Allah sebagaimana
seorang anak kecil atau orang dewasa dan bukti ilmiah bahwa bayi yang belum lahir itu
manusia. Masing-masing pandangan ini memiliki kekurangan yang kemudian
ditanggapi oleh Gisler.

Bab 9: Eutanasia. Eutanasia berarti kematian yang baik (atau yang


menyenangkan). Adadua macam Eutanasia yaitu aktif dan pasif. Eutanasia yang aktif
berarti mencabut kehidupan untuk menghindari penderitaan sedangkan Eutanasia pasif
berarti membiarkan kematian terjadi untuk menghindari penderitaan. Eutanasia aktif
dilandaskan pada pemahaman bahwa ada hak moral untuk mati dengan bermartabat,
kematian yang bermartabat termasuk di dalam konstitusional kebebasan pribadi,
tindakan kasih kepada orang dan keluarga yang menderita, meringankan keluarga dari
ketegangan finansial yang berat, meringankan masyarakat dari beban sosial yang besar
dan hal kasih sayang untuk dilakukan. Tanggapan untuk alasan-alasan ini adalah bahwa
tidak ada hak moral untuk membunuh, membunuh orang yang menderita bukanlah
sikap yang murah hati, dan manusia bukanlah binatang.

Eutanasia pasif terbagi menjadi dua yaitu yang wajar dan yang tidak.
Meninggalkan alat pendukung hidup yang wajar (makanan dan minuman) untuk
“mengizinkan kematian” adalah Eutanasia pasif yang tidak wajar, sedangkan
meninggalkan alat pendukung hidup yang tidak wajar (alat kesehatan) disebut
Eutanasia pasif yang tidak wajar. Pada prinsipnya, Eutanasia pasif bertentangan dengan
kedaulatan Allah atas kehidupan, bertentangan dengan kekudusan hidup manusia,
didasarkan pada etika humanistik dan menurunkan nilai hidup manusia.

Bab 10: Isu-isu Biomedis. Masalah-masalah Biomedis merupakan sebuah wadah


dimana garis-garis batasan antara perspektif humanis sekuler dan Kristen jelas terlihat.
Kelompok Humanis sekuler menolak adanya Allah yang mengontrol dan menganggap
bahwa nilai-nilai moral bersumber dari pengalaman manusia. Kelompok ini memiliki
pemahaman bahwa manusia bertanggung jawab terhadap kualitas hidup, memiliki
kedaulatan atas hidup mereka sendiri, memiliki tugas untuk menciptakan sebuah ras

5
yang superior dan bertujuan membenarkan alat. Untuk menyanggah pandangan
kelompok ini, maka pemahaman bahwa manusia tidak berdaulat atas hidup menjadi
salah satu tanggapan yang diberikan kepada pandangan ini. Berbeda dengan kelompok
Humanis sekuler, perspektif Kristen melihat etika-etika biomedis sebagai sarana
melayani Allah. Sehingga campur tangan medis haruslah bersifat memperbaiki bukan
menciptakan. Akan tetapi kekurangan dari pemahaman ini adalah etika ini menahan
perkembangan Ilmu pengetahuan dan meniadakan belas kasihan yang sebenarnya
untuk orang-orang yang menderita.

Bab 11: Hukuman Mati. Ada tiga pandangan dasar mengenai hukuman mati yang
dianut oleh orang-orang Kristen: rehabilitasionisme, rekonstruksionisme, dan
retribusionisme. Rehabilitasionisme menentang hukuman mati untuk alasan apapun.
Rekonstruksionisme menuntut hukuman mati untuk semua kejahatan. Sedangkan
Retribusionisme menganjurkan hukuman mati untuk beberapa kejahatan (besar).
Masing-masing pandangan ini memiliki argumentasi Alkitab dan moral yang juga
ditanggapi berdasarkan dua aspek yang ada. Rehabilitasionisme, mengajukan salah satu
argumentasi Alkitabiah bahwa tujuan dari keadilan adalah untuk memperbaiki bukan
untuk membunuh dan salah satu argumentasi moralnya adalah hukuman mati
diterapkan dengan tidak adil. Evaluasi untuk dua argumentasi ini adalah tujuan utama
dari keadilan bukanlah rehabilitasi dan keadilan yang tidak seimbang tidak meniadakan
perlunya keadilan. Rekonstruksionisme mengajukan salah satu argumentasi Alkitabiah
bahwa hukum Allah mencerminkan karakter-Nya yang tidak berubah. Pendapat ini
dievaluasi dengan pemahaman bahwa tidak semua hukum Musa diharuskan oleh
karakter Allah. Sedangkan secara sosial, kritik terhadap pandangan ini dilakukan
karena sudah pernah dicoba dan ternyata gagal. Retribusionisme mengajukan pendapat
dengan argumentasi tentang perlunya hukuman mati yang terkandung dalam natur
manusia. Menanggapi akan hal ini, kritik yang diajukan adalah bahwa hukuman mati
berlawanan dengan konsep pengampunan. Akan tetapi ada hal-hal yang dianggap
merupakan dampak positif dari Retribusionisme yaitu didasarkan pada pandangan
yang tinggi tentang manusia, memperlakukan penjahat dengan respek, membedah
pandangan yang benar tentang keadilan, menghalangi kejahatan, dan melindungi orang-
orang yang tidak bersalah.

6
Bab 12: Perang. Ada tiga pandangan dasar tentang perang: aktivisme, pasifisme,
dan selektivisme. Aktivisme menyatakan bahwa selalu benar untuk berpartisipasi
dalam perang. Pasifisme justru sebaliknya sedangkan Selektivisme mengizinkannya
untuk hal-hal tertentu. Aktivisme melihat pada bagaimana data Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru mengenai Allah dan pemerintahan. Selain itu argumen filsafat juga
digunakan untuk mendukung paham ini yaitu pemerintah sebagai orangtua bagi
manusia, pemerintah adalah pendidik manusia dan lain-lain. Pasifisme melihat bahwa
membunuh itu selalu salah, melawan kejahatan dengan kekuatan itu keliru, perang
didasarkan pada ketamakan, berakibat di dalam banyak kejahatan, dan mengembiakkan
perang. Selektivisme melihat bahwa perlu untuk juga turut dalam perang untuk
beberapa kasus seperti di dalam Kejadian 14 dan sebagai upaya mempertahankan diri.
Perbedaan pemahaman ini menimbulkan sebuah pembahasan tentang perang yang
bersifat adil. Perang yang adil yaitu dalam rangka membela yang tidak bersalah, untuk
menjalankan keadilan, dilawan oleh suatu pemerintah dan dilawan dengan adil. Di
antara ketiganya, selektivisme menjadi yang paling baik dengan menunjuk pada
perlunya menempatkan Allah di atas pemerintah dan mendorong ketaatan kepada
pemerintah tetapi mempertahankan kebenaran hati nurani untuk menolak perintah-
perintah yang menindas atau salah.

Bab 13: Ketidaktaatan terhadap Pemerintah. Ada tiga posisi dasar mengenai
ketidaktaatan terhadap pemerintah yaitu, anarkisme (selalu benar), radikal patriotisme
(tidak pernah benar), dan submisionisme alkitabiah (kadangkala benar). Radikal
patriotisme berangkat dari argumen-argumen seperti, pemerintah dilantik Allah, Allah
mengharakan ketaatan terhadap pemerintahan manusia, ketaatan itu perlu bahkan
kepada pemerintah yang jahat. Menyanggah argumentasi paham ini, diajukan argumen
bahwa Allah melantik pemerintah , tetapi bukan kejahatannya dan ketaatan kepada
pemerintah tidak bersifat total. Submisionisme alkitabiah, ketidaktaatan kepada
pemerintah dibenarkan jika pemerintah menetapkan hukum-hukum yang tidak
Alkitabiah dan memaksa kita untuk berbuat jahat. Beberapa pandangan juga diajukan
untuk mengevaluasi pandangan yang menolak pemberontakan sama sekali misalnya,
kitab suci menyetujui pemberontakan, tanpa pemberontakan tirani berkuasa, dan
pemberontakan merupakan ketaatan kepada pemerintahan de Yure.

7
Bab 14: Homoseksualitas. Allah menetapkan bahwa seks harus dilakukan di
dalam konteks heteroseksual yang monogami. Dengan demikian, tindakan homoseksual
merupkan tindakan yang salah. Akan tetapi berbagai argumentasi disampaikan oleh
kaum Homoseksual untuk membela diri mereka misalnya, berdasarkan argumentasi
Alkitabiah dosa Sodom bukanlah dosa Homoseksualitas, hukum Imamat tidak lagi
berlaku, homoseksualitas dihubungkan dengan penyembahan berhala, Daud dan
Yonatan adalah Homoseksual. Argumentasi lainnya adalah semestinya tidak ada
batasan seksual di antara orang-orang dewasa yang setuju untuk melakukannya,
homoseksual memiliki hak sipil juga, dan banyak binatang menyusui lainnya juga
homoseksual. Argumentasi lain kemudian digunakan untuk menyanggah argumentasi
dari orang-orang yang menyetujui Homoseksual. Dosa Sodom adalah dosa
Homoseksual, Homoseksualitas merupakan kejahatan, dosa Homoseksual bertentangan
dengan alam, Dauda dan Yonatan bukan Homoseksual, hubungan antara orang dewasa
tidak selalu benar, tidak ada hak-hak homoseksual, tingkah laku hewan bukan norma
bagi manusia, praktik Homoseksual merupakan ancaman bagi kehidupan. Pada
akhirnya sebagai orang Kristen kita harus mengasihi mereka walaupun kita membenci
dosa mereka dan memenangkan mereka bagi Kristus.

Bab 15: Pernikahan dan Perceraian. Pernikahan merupakan suatu komitmen


kekal antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang melibatkan hak-hak seksual
secara timbal-balik. Tiga unsur penting dalam pernikahan: terjadi antara seorang pria
dan seorang wanita, melibatkan kesatuan seksual, dan melibatkan satu perjanjian di
hadapan Allah. Pernikahan merupakan satu komitmen sepanjang hidup dan tidak
bersifat kekal (tidak meluas sampai kekekalan). Di dalam pernikahan seringkali ditemui
kasus perceraian. Pandangan Kristen tentang perceraian adalah bukan sesuatu yang
ideal bagi Allah, tidak diperbolehkan karena setiap alasan, dan menciptakan masalah-
masalah. Akan tetapi, keKristenan tidak menyetujui perceraian karena tidak ada dasar
untuk perceraian, bahkan karena perzinahan.

Bab 16: Ekologi. Terdapat tiga paham yang perlu untuk diperhatikan ketika kita
berbicara tentang Ekologi yaitu, Materialis, Panteis dan Orang Kristen. Paham materialis
melihat lingkungan sebagai sumber energi yang tidak terbatas yang perlu dieksploitasi
untuk digunakan oleh manusia dalam rangka menguasai bumi di sekitar mereka. Paham
ini berangkat dari pemahaman bahwa alam begitu saja ada di sana, energi itu tidak

8
terbatas, teknologi hampir dapat memecahkan semua masalah, manusia menderita
karena distibusi yang tidak merata (maldistribusi), dan pendidikan global dapat
memperbaiki maldistribusi. Argumen-argumen ini dievaluasi dengan pernyataan bahwa
dunia itu tidaklah kekal, energi itu terbatas adanya, teknologi tidak dapat memecahkan
masalah kita, maldistribusi bukanlah akar permasalahannya sehingga pendidikan
bukan solusinya.

Berbanding dengan paham materialis, Panteis justru melindungi alam dari


campur tangan teknologi karena menganggap alam sebagai sesuatu yang ilahi yang
layak dipuja-puja. Panteis beranggapan bahwa alam adalah organisme yang hidup,
spesies-spesies di dalamnya adalah manifestasi-manifestasi dari Allah, manusia adalah
satu dengan alam, dan manusia adalah pengurus alam. Paham ini juga dievaluasi karena
natur itu bukan Allah, alam itu tidak hidup, spesies-spesies bukanlah manifestasi dari
Allah, dan manusia bukanlah satu dengan alam.

KeKristenan sendiri melihat bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah
pemelihara bumi dengan tugas menjaga dan memeliharanya. Beberapa unsur penting
dari pemahaman ini adalah dunia adalah ciptaan Allah, milik Allah, sebuah refleksi dari
Allah, ditopang dan diselenggarkan oleh Allah, di bawah kovenan Allah, dan manusia
adalah penjaga lingkungan. Dengan demikian, setiap orang Kristen semestinya
menyadari bahwa ini adalah bumi saya dan saudara yang perlu dijaga.

Anda mungkin juga menyukai