Anda di halaman 1dari 8

Nama : Imanuel Soleman Daud Boimau

NIM : 101611146
Dosen : Fandy Tanujaya, Th.M
Mata Kuliah : Dogmatika/Teologi Sistematika IV
Tugas : Laporan Baca, “Cole, Graham A. Engaging with the Holy Spirit: Six
Crucial Questions (Nottingham: Apollos, 2007)”.
Buku Engaging with the Holy Spirit: Six Crucial Questions ditulis oleh Graham A.
Cole dengan tujuan menghadapkan pembacanya dengan tantangan penting mengenai
relasi pembaca dengan Roh Kudus dan menunjukan kepada pembacanya praktek
teologi mereka di dalam kehidupan sehari-hari. Buku Ini terdiri dari enam bab, dimana
setiap bab dari buku ini menjawab pertanyaan-pertanyaan utama yang merupakan
judul setiap bab.

Ringkasan

Cole memulai buku ini dengan menjelaskan apa yang dimaksud menghujat Roh
Kudus?. Menghujat Roh Kudus adalah dosa yang tidak dapat diampuni (Matius 12:31).
Bruce Demarest menjelaskan bahwa “menghujat” adalah sebuah perkataan atau
tindakan menghina karakter Allah, kebenaran Kristen atau hal-hal yang suci. Menghujat
Roh Kudus merupakan sebuah dosa abadi karena tidak dapat diampuni. Menurut
Chrysostom dan Jerome, dosa ini hanya terjadi ketika Yesus berada di dunia, tetapi
setelah kenaikan, dosa ini tidak mungkin terjadi lagi. Arnold G. Fruchtenbaum
mengatakan bahwa bentuk penghujatan terhadap Roh Kudus merupakan penolakan
bangsa Israel kepada Ke-Mesias-an Yesus.

Louis Berkhof mengatakan bahwa dosa ini mungkin terjadi, tetapi tidak dalam
segala aspek. Sedangkan Edwin H. Palmer hanya mengatakan bahwa dosa ini mungkin
untuk terjadi. Salah satu contoh tindakan menghujat Roh Kudus adalah seperti yang
dilakukan oleh Ananias dan Safira. Di dalam Matius 12:22-37, Yesus memperingatkan
orang-orang Farisi mengenai dosa ini. Ketika Yesus mengusir setan, mereka
menganggap bahwa Yesus melakukannya dengan kuasa Beelzebul. Yesus kemudian di
ayat yang ke-32, dengan keras mengatakan bahwa tindakan menentang Roh Kudus
adalah tindakan yang tidak akan diampuni.

Cole kemudian menyimpulkan bahwa menghujat Roh Kudus merupakan sebuah


tindakan diri yang secara persisten menolak tawaran keselamatan dalam Kristus.
Menurut pandangannya, dosa ini adalah dosa dari orang-orang luar (bukan Kristen).

1
Apabila terdapat orang Kristen yang berpikir bahwa mereka telah melakukan dosa ini
(menghujat Roh Kudus), maka mereka perlu didorong untuk kembali memikirkan
apakah mereka sudah benar-benar menjadi Kristen. Alkitab tidak hanya berisi tentang
pengajaran, cinta dan harapan tetapi juga berisi tentang peringatan. Tindakan
menghujat Roh Kudus merupakan sebuah peringatan yang merupakan dosa yang
memiliki konsekuensi kekal. Ketika kita menolak Yesus kita menghujat Roh Kudus.

Di bab yang kedua, Cole kemudian menjabarkan tentang bagaimana mungkin


kita menolak Roh Kudus?. Perkataan Stefanus dalam Kisah Para Rasul 7 ayat 51,
mengindikasikan bahwa menolak Roh Kudus merupakan dosa sebuah bangsa (Israel)
yang terus dilakukan. Tindakan menolak Roh Kudus menurut kaum Remonstran
merupakan tindakan menolak anugerah Allah. Kata menolak dalam Kisah Para Rasul 7
ayat 51 berasal dari kata antipiptein yang berarti berjuang melawan atau menolak.
Bangsa Israel menolak Roh Kudus dengan tidak mengindahkan dan taat pada firman
Allah dalam perjanjian, hukum dan nabi-Nya. Roh Kudus di dalam Kisah para rasul
merupakan sumber utama dari firman Allah baik secara lisan maupun tulisan, juga
ditolak oleh para pendengarnya.

Menolak panggilan Allah dapat terjadi juga ketika itu hanya merupakan
panggilan eksternal. Hal ini dapat terjadi ketika Roh Kudus tidak membuatnya menjadi
bermakna. Menolak pengajaran rasul berarti menolak pengajaran Roh Kudus. Pada
masa kini, penolakan terhadap Roh Kudus dilakukan dengan menolak firman Allah yang
diinspirasikan oleh Roh Kudus.

Cole, di bab ketiga buku ini kembali menjawab sebuah pertanyaan mengenai
haruskah kita berdoa kepada Roh Kudus?. Pertanyaan haruskah kita berdoa kepada Roh
Kudus merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan “kewajiban”. Doa-doa yang
ditujukan secara khusus kepada Roh Kudus sulit ditemukan sebelum abad ke-10
(Leonard Hodgson). Orang Anglikan Kontemporer di dalam buku mereka, juga memiliki
doa kepada Roh Kudus. Di dalam Katolik Roma, Roh Kudus merupakan pribadi dari
Allah Tritunggal yang memampukan kita untuk berdoa. Aliran Karismatik dan
Pentakosta bahkan memohon Roh Kudus untuk menuntun mereka untuk menjalani
kehidupan yang murni. Hal ini menunjukan bahwa doa kepada Roh Kudus memiliki
kisah yang panjang dan ada dalam setiap tradisi Kristen yang berbeda-beda.

2
Doa merupakan hal yang penting di dalam hidup orang Kristen. Yesus juga
mengajarkan murid-muridNya untuk berdoa sebagai sebuah praktek hidup. Berbeda
dengan berdoa kepada Bapa dan kepada Yesus Kristus, berdoa kepada Roh kudus
secara khusus tidak dicatat di dalam Alkitab. Satu-satunya bagian yang rasanya cukup
untuk menjadi acuan adalah Yehezkiel 37:9. Tetapi di perjanjian baru, kita dapat
menemukan teks yang mengatakan tentang hubungan doa dengan Roh Kudus, Efesus
6:18 (berdoa di dalam Roh) dan Roma 8:26 (Roh Kudus berdoa untuk kita).

John Owen mengatakan bahwa karena Roh Kudus adalah Allah, maka semestinya
kita juga menyembah Roh Kudus dan berdoa kepadaNya. Karl Barth juga setuju dengan
pendapat John Owen. Berdoa kepada Roh Kudus bukanlah hal yang salah, tetapi jika
berdoa kepada Roh Kudus menggantikan doa kita kepada Allah Bapa melalui Allah Anak
dengan Roh Kudus, akan menimbulkan masalah yaitu ketidakseimbangan. Kita boleh
berdoa kepada Roh Kudus tetapi bukan untuk menutupi Kristus sebagai mediator.
Orang Kristen mungkin untuk berdoa kepada Roh Kudus. Tetapi tanpa teladan Alkitab
dan perintah eksplisit di dalam Alkitab, tidak ada kewajiban bagi orang Kristen untuk
berdoa kepada Roh Kudus.

Setelah membahas tentang haruskah kita berdoa kepada Roh Kudus, di bab
keempat ini Cole menjelaskan tentang bagaimana kita memadamkan Roh Kudus?. Di
dalam 1 Tesalonika 5:19, rasul Paulus mengingatkan jemaat Tesalonika untuk tidak
memadamkan Roh. Menurut John Calvin, kita memadamkan Roh Kudus ketika kita
mengabaikan rahmat-Nya. Selain itu, menurut Calvin ketika kita menolak pencerahan
dari Roh Kudus berarti kita memadamkan Roh Kudus. John Owen di dalam
pandangannya mengenai 1 Tesalonika 5:19, berpendapat bahwa Roh yang dimaksud
oleh Paulus bukanlah pribadi dari Roh Kudus tetapi emosi, tindakan dan pekerjaan-Nya.
Owen kemudian menggunakan analogi kayu basah yang dilemparkan ke dalam api
untuk menjelaskan bagaimana kita memadamkan Roh Kudus. Meniadakan atau
membatalkan pekerjaan Roh Kudus di dalam jemaat juga merupakan tindakan
memadamkan Roh Kudus.

Roh Kudus diberikan kepada kita untuk tujuan pengudusan hidup (1 Tesalonika
4:7-8). Untuk membedakan Roh Kudus, kita memiliki tiga kriteria yaitu pengujian
Alkitab, Kristologikal, dan sebuah moral. Kita tidak memadamkan Roh Kudus di dalam
kehidupan jemaat. Semestinya kita membuka telinga kita untuk Allah melalui

3
pengajaran kristen. Memadamkan Roh Kudus pada masa kini terjadi ketika kita
mengabaikan firman Tuhan atau melawan pelayanan yang diberikan kepada kita.

Bab lima buku ini, Cole membahas tentang bagaimana kita mendukakan Roh
Kudus?. Di dalam Efesus 4:30, Paulus memperingatkan pembacanya untuk tidak
mendukakan Roh Kudus. John Calvin mengatakan bahwa ketika kita tidak mengikuti
perintah Roh Kudus tetapi mencemari diri kita dengan nafsu-nafsu yang jahat, kita
mendukakan Roh Kudus. Menurut Calvin baik nabi maupun rasul , ketika berbicara
tentang mendukakan Roh Kudus, mereka menawarkan sebuah anthropomorphism
(menggunakan figur manusia untuk mendeskripsikan Allah). Dalam eksegesisnya
tentang Kejadian 6:6, yang mencatat bahwa Allah dipiluhkan hati-Nya, Luther
mengatakan bahwa kita seharusnya memahami “dipiluhkan” ini sebagai sesuatu yang
merujuk kepada efeknya, bukan pada esensi ilahinya. Sehingga John Owen kemudian
mengatakan bahwa berbicara tentang mendukakan Roh Kudus adalah berbicara
tentang bagaimana itu mempengaruhi kita.

Efesus 4:30 tidak dimaksudkan untuk menjelaskan secara jelas apa yang
dimaksud dengan mendukakan Roh Kudus. Tetapi menunjukan bagaimana seharusnya
sebagai manusia baru kita hidup. Sehingga mendukakan Roh Kudus terjadi ketika kita
berdusta, memberikan tempat untuk iblis, marah, kegeraman, pertikaian dan fitnah
(Efesus 4:25-31). Begitu juga sebaliknya, kita tidak mendukakan Roh Kudus ketika kita
tidak melakukan hal-hal yang diatas. Mendukakan Roh Kudus adalah ketika kita
menyinggung Roh Kudus dan kemudian berjalan tanpa Roh Kudus, pengertian ini
mungkin berkembang di gereja-gereja awal dan bukan dalam tulisan Paulus. Jika Roh
Kudus benar-benar bisa didukakan, maka Roh Kudus adalah Person, sementara di
bagian lainnya dijelaskan bahwa Roh Kudus itu impersonal (Markus 1:11, Yohanes 7:37-
39, dan lain-lain).

Kita juga mendukakan Roh Kudus ketika kita tidak bertindak sesuai dengan apa
yang kita percaya sebagai orang Kristen dan ketika kita tidak menerima satu sama lain
sebagai anggota tubuh Kristus. Bagaimanapun Allah dalam perspektif biblikal, tertarik
terhadap agen moral (2 Petrus 1), tindakan moral (Keluaran 20) dan akibat moral
(Amsal). Kita mendukakan Roh Kudus ketika terdapat perbedaan antara apa yang kita
katakan sebagai umat Allah dan apa yang kita lakukan. Bagaimana kita berelasi satu

4
dengan yang lain sebagai anggota tubuh Kristus dan dalam bait Roh Kudus sangat
penting bagi Allah.

Mengakhiri bukunya, Cole di bab yang keenam membahas tentang bagaimana


tindakan Roh Kudus memenuhi kita?. John Calvin mengatakan bahwa dipenuhi Roh
Kudus berarti dipenuhi dengan iman, takut akan Tuhan, dan sukacita. Sedangkan di
dalam pandangannya John Scott, setiap orang Kristen semestinya penuh dengan Roh
Kudus sebagai karakteristik hidup. Di mana Roh Kudus menuntun kita untuk terus
mengalami transformasi dalam Kristus. Hasil dari dipenuhi oleh Roh Kudus adalah
relasional, baik relasi kita kepada Allah dan kepada sesama. Dalam tafsirannya, Stott
mengemukakan bahwa ketika Paulus memerintahkan pembacanya untuk dipenuhi oleh
Roh Kudus, bentuk perintahnya adalah dalam bentuk present continiuous yang artinya
bahwa kita berada dalam kondisi dipenuhi ketika kita terus-menerus merasa lapar
untuk dipenuhi.

Kata dipenuhi oleh Roh Kudus, seringkali muncul diikuti dengan kata “dan”
(Lukas 1:11-16, Lukas 1:41-42, Lukas 1:67, Kisah Para Rasul 2:4, 4:31, dan 13:9-10).
Artinya bahwa dipenuhi dengan Roh Kudus selalu selaras dengan aspek dari karakter
atau kehidupan pribadi. Menurut Cole, sangatlah penting untuk membedakan antara
dipenuhi dengan Roh Kudus yang seringkali muncul dengan kata “dan” dengan apa yang
dimaksudkan oleh Paulus di dalam Efesus 5:18-21. Di dalam Efesus 5:18-21, Paulus
berbicara tentang kepenuhan jemaat, bukan individu tertentu di dalam relasi mereka
satu sama lain di dan relasi mereka dengan Allah (sesuai dengan tujuan Paulus yaitu
memberikan gambaran tentang perbedaan orang yang dipenuhi oleh anggur dan orang
yang dipenuhi oleh Roh). Perintah untuk dipenuhi oleh Roh Kudus ada dalam bentuk
pasif, tidak ada tindakan spesifik yang menjadi bagian kita untuk dipenuhi Roh Kudus.

Perintah untuk dipenuhi oleh Roh Kudus diberikan kepada jemaat bukan kepada
individu tertentu. Kehidupan jemaat adalah kehidupan tentang Allah dan jemaat satu
sama lain. Jemaat yang dipenuhi oleh Roh Kudus memiliki sikap (bersyukur dan
hormat) dan tindakan (berbicara, bernyanyi, dan kepatuhan). Ketika seseorang
dipenuhi oleh Roh Kudus, itu murni bukan karena dirinya.

Analisis Isi Buku

5
Setelah membaca keseluruhan isi buku ini, pembaca mendapati bahwa buku ini
merupakan sebuah buku ringkas yang sangat baik untuk memberikan pemahaman-
pemahaman yang baik mengenai relasi pembaca dengan Roh Kudus. Cole dengan pola
yang sama membahas setiap bab dari buku ini. Memulai setiap bab dengan
pendahuluan, membahasnya menurut pandangan masa lalu dan masa kini, pandangan
Alkitab, refleksi Teologi, dan penutup. Pola ini menolong pembaca secara teratur dapat
memahami cara berpikir Cole di dalam membahas buku ini.

Selain itu, menurut pembaca ada sedikit kekurangan yang menurut pembaca
terdapat di dalam buku ini yaitu, terlalu banyak menggunakan pendapat ahli sehingga
pendapat Cole sendiri kurang dikemukakan. Hampir di seluruh bab, Cole selalu
mengemukakan apa yang menjadi pendapat atau pandangan para ahli seperi John
Calvin dan John Scott. Pendapat Cole sendiri dikemukakan hampir di bagian akhir setiap
bab di dalam porsi yang menurut pembaca cukup singkat. Akan tetapi, dibalik apa yang
menurut pembaca menjadi sedikit kekurangan dari buku ini, pembaca merasa bahwa
ada hal positif dari buku ini. Kehadiran refleksi Teologi di setiap bab menjadi hal yang
menurut pembaca sangat baik, karena menolong pembaca untuk tidak hanya berhenti
pada pemahaman-pemahaman semata, tetapi lebih jauh lagi pembaca didorong untuk
melihat dan mencoba menerapkan pemahamannya di dalam kehidupannya sehari-hari,
secara khusus dalam kaitannya dengan relasi pembaca dengan Roh Kudus.

Selain adanya refleksi Teologi, salah satu hal yang menjadi bagian dari
pembahasan di setiap bab adalah pembahasan tentang pandangan Alkitab. Penggunaan
ayat-ayat yang merujuk kepada penjelasan mengenai bagaimana pendapat Alkitab
tentang apa yang dibahas di dalam bab tersebut membuat buku ini tidak hanya berisi
tentang berbagai pendapat ahli, tetapi juga bagaimana Alkitab berbicara tentang hal
tersebut. Penggunaan ayat-ayat Alkitab juga tidak hanya sekedar menggunakannya,
tetapi di dalam buku ini juga diberikan penjelasan singkat namun cukup untuk
menolong pembaca mengerti maksud dari ayat tersebut berkaitan dengan bab yang
sedang dibahas. Hal ini membuktikan bahwa Cole dengan sungguh-sungguh
memberikan sebuah pemaparan yang sangat baik untuk mencapai penjelasan yang baik
mengenai apa yang sedang dibahasnya.

Selain hal-hal di atas, satu hal yang menurut pembaca merupakan sebuah hal
menarik dari buku ini adalah bagaimana Cole mengurutkan atau menempatkan keenam

6
bab dari buku ini yang dibahasnya. Cole menempatkan pembahasan tentang haruskah
kita berdoa kepada Roh Kudus setelah di dua bab sebelumnya Cole membahas tentang
apa yang dimaksud dengan menghujat Roh Kudus? dan bagaimana kita menolak Roh
Kudus? Setelah itu Cole membahas tentang bagaimana kita memadamkan Roh Kudus?,
bagaimana kita mendukakan Roh Kudus? dan kemudian mengakhiri bukunya dengan
bagaimana Roh Kudus memenuhi kita?. Jika dipikirkan dengan baik, menurut pembaca
Cole seperti membagi enam bab ini ke dalam dua kelompok yaitu, bab satu hingga bab
ketiga dan kemudian bab keempat hingga bab kelima. Dimana setiap kelompok selalu
terdiri dari dua pertanyaan bernada negatif (bab satu, dua, empat dan lima) dan
diakhiri dengan pertanyaan bernada positif (bab tiga dan enam) .

Buku ini bukan hanya sebuah buku untuk memberikan sebuah pemahaman
tentang Roh Kudus, tetapi juga merupakan sebuah buku yang dapat menolong pembaca
untuk kembali melihat bagaimana hubungan pembaca dengan Roh Kudus dan
membantu pembaca untuk mengevaluasi hidup pembaca dan menerapkan praktek-
praktek kehidupan sebagai orang Kristen yang benar-benar hidup takut akan Tuhan.
Sama seperti tujuan buku ini yaitu menghadapkan pembacanya dengan tantangan
penting mengenai relasi pembaca dengan Roh Kudus dan menunjukan kepada
pembacanya praktek teologi mereka di dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga menurut
pembaca, buku ini dapat menjadi buku sistematika juga dapat menjadi buku praktika.

Pemahaman yang baik yang secara sederhana diberikan oleh Cole melalui buku
ini merupakan sebuah hal yang sangat baik yang menolong setiap pembacanya untuk
dapat memahami doktrin Roh Kudus (sekalipun tidak dalam sebuah cakupan yang
besar), mengingat bahwa pembahasan mengenai doktrin Roh Kudus seringkali
dipaparkan dalam penjelasan yang rumit sehingga seringkali sulit untuk dimengerti.
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab di dalam buku ini merupakan pertanyaan-
pertanyaan yang lebih mengacu kepada relasi dengan Roh Kudus yang juga mungkin
dipertanyakan oleh orang-orang Kristen. Adanya buku ini dapat menjadi sebuah hal
yang menolong setiap pembacanya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
mereka.

Refleksi Pribadi

7
Setelah membaca buku Engaging with the Holy Spirit: Six Crucial Questions ini,
pembaca menyadari bahwa seringkali tanpa sadar pembaca melakukan hal-hal yang
dijelaskan di bab-bab yang ada. Pemahaman yang sekedar sebuah pemahaman tanpa
direfleksikan atau diterapkan di dalam kehidupan pembaca membuat setiap
pemahaman yang ada berlalu begitu saja. Hal ini kemudian membuat pembaca tidak
mengalami sebuah relasi yang semakin baik dengan Roh Kudus seiring dengan
bertambahnya pemahaman pembaca tentang doktrin mengenai Roh Kudus.

Melalui buku ini, pembaca tidak hanya sekedar diperluas pemahamannya tetapi
juga didorong untuk melakukan praktek-praktek kehidupan rohani yang lebih baik di
dalam relasi pembaca dengan Roh Kudus. Sebagai Pribadi yang menolong,
menyempurnakan, dan menghibur, Roh Kudus seringkali terabaikan di dalam
kehidupan kerohanian pembaca. Roh Kudus yang ada di dalam diri pembaca tidak lagi
menjadi sesuatu yang penulis perhatikan. Seharusnya sebagai orang yang mengaku
percaya kepada Allah Tritunggal, keberadaan Roh Kudus di dalam diri pembaca
semestinya mendorong pembaca untuk bertindak layaknya orang yang percaya kepada
Allah Tritunggal.

Buku ini membuat pembaca meninjau kembali kehidupan kerohanian pembaca


selama ini. Hal ini membuat pembaca kembali bersemangat untuk hidup lebih baik lagi.
Roh Kudus yang juga adalah Roh Kristus menjadi penolong yang memampukan
pembaca untuk membangun kehidupan kerohanian yang lebih baik. Roh Kudus menjadi
penghibur yang menguatkan pembaca ketika pembaca terjatuh di dalam perjalanan
kehidupan kerohanian penulis. Roh Kudus juga adalah Allah. Kehidupan yang tidak
diarahkan atau bahkan mengabaikan Roh Kudus merupakan kehidupan yang tanpa
arah. Tidak ada tujuan akhir kehidupan yang dapat diraih. Roh Kudus menuntun
pembaca untuk menjalani kehidupan yang semestinya sebagai orang percaya. Tidak ada
manusia yang tidak berdosa, semua orang pernah melakukannya. Tetapi semestinya
setiap orang menyadari akan kebenaran ini bahwa hidup yang bersatu dengan Roh
Kudus menolong setiap orang berdosa untuk menemukan kebenaran yang
dianugerahkan oleh Allah Bapa melalui Tuhan Yesus Kristus.

Anda mungkin juga menyukai