Anda di halaman 1dari 13

ELEMEN ESENSIAL & ASAL USUL JIWA

ELEMEN ESENSIAL

Pemilihan sub judul di atas bukanlah tanpa alasan. Manusia memiliki ratusan – bahkan
ribuan – organ tubuh. Di luar organ material ini manusia juga memiliki banyak elemen lain,
misalnya perasaan, kehendak, pikiran, hati nurani, dsb. Bagaimanapun, semua ini terlalu
spesifik dan bukan merupakan elemen esensial manusia. Yang dimaksud dengan elemen
esensial adalah kategori yang lebih mendasar. Dalam hal ini kita membicarakan tentang
tubuh, jiwa dan/atau roh dalam diri manusia.
Ada berapa elemen dasar dalam diri manusia? Pertanyaan ini terus menjadi fokus
perdebatan. Tiga pandangan utama berkaitan dengan hal ini adalah monisme, trikotomi dan
dikotomi.

Monisme

Pandangan yang dipopulerkan oleh Berkouwer (Man: The Image of God, 194-233) ini
mengajarkan bahwa kemanusiaan di dalam Alkitab selalu dipahami dalam konteks relasi
(relationis) dan bukan keberadaan (entis). Bagi Berkouwer, perhatian Alkitab bukan terletak
pada elemen non-fisik (immaterial substantia) dalam diri manusia, tetapi dalam relasi
manusia dengan Tuhan. Alkitab selalu dan hanya melihat manusia sebagai suatu kesatuan
utuh di hadapan Tuhan. Karena itulah pandangan ini disebut monisme (dari kata Yunani
monos yang berarti “satu”).
Terhadap pendapat di atas kita pertama-tama harus mengakui bahwa Alkitab
memang menekankan totalitas hidup manusia di hadapan Tuhan. Kita juga setuju bahwa
pembedaan elemen-elemen dalam diri manusia dapat membawa resiko. Kita bisa terjebak
pada pemahaman bahwa elemen yang satu lebih penting daripada yang lain, padahal
pemahaman seperti bertentangan dengan ajaran Alkitab. Kita juga sependapat bahwa
pembedaan yang terlalu detil dan mendalam lebih bernuansa psikologis daripada teologis.
Bagaimanapun, monisme tetap bertentangan dengan ajaran Alkitab. Alkitab secara
jelas mengajarkan bahwa manusia memiliki elemen non-fisik yang dapat berfungsi untuk
berhubungan dengan Allah (band. 1Kor 14:14; Rom 8:16). Dari dua teks ini terlihat bahwa
elemen ini bekerja secara independen dari proses pemikiran manusia yang biasanya.
Di samping itu, keberatan utama terhadap monisme berhubungan dengan keadaan
manusia setelah kematian fisik. Ada banyak ayat Alkitab yang menjelaskan bahwa pada saat
kematian terjadi keterpisahan antara elemen fisik dan non-fisik. Pengkhotbah 12:7 “debu
kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakan”.
Stefanus berdoa agar rohnya diterima oleh Tuhan Yesus (Kis 7:59). Paulus mengontraskan
kematian dengan “tetap tinggal dalam daging” (Flp 1:24, terjemahan LAI:TB “di dunia” tidak
tepat karena kata Yunani yang dipakai adalah sarx). Dalam 2Korintus 5:8 kematian
digambarkan sebagai “beralih dari tubuh ini”.
Lebih jauh, beberapa teks menunjukkan bahwa hakekat kemanusiaan tetap ada
sekalipun tubuh terpisah dari elemen non-fisik. Kematian fisik adalah permulaan dari “hidup
bersama Tuhan” (Flp 1:23; 2Kor 5:8b). Jiwa-jiwa para martyr berada di surga dan masih dapat
berkomunikasi dengan Tuhan (Why 6:9, 10) dan memerintah bersama Dia (Why 20:4).
Perkataan Tuhan Yesus kepada seorang penyamun di sebelahnya “hari ini juga engkau
bersama dengan Aku di Firdaus” (Luk 23:43) mengindikasikan bahwa orang itu masih tetap
ada dan mampu berkomunikasi dengan Allah.

Trikotomi

Pandangan ini merupakan pandangan yang sangat populer di kalangan orang Kristen
awam, walaupun hanya sedikit teolog yang menganut pandangan ini. Trikotomi adalah
pandangan yang menganggap bahwa manusia terdiri dari tiga elemen esensial, yaitu tubuh,
jiwa dan roh. Para penganut trikotomi selanjutnya mendefinisikan “jiwa” sebagai elemen
yang terdiri dari pikiran (intelek), perasaan (emosi) dan kehendak. Semua manusia – baik
orang percaya maupun tidak - memiliki elemen ini. Yang membedakan orang percaya dari
orang lain adalah elemen roh. Roh adalah elemen yang lebih tinggi daripada jiwa. Bagian ini
menjadi hidup ketika seseorang percaya kepada Kristus (Rom 8:10 “Tetapi jika Kristus ada di
dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh
karena kebenaran”). Elemen inilah yang dipakai untuk menyembah atau berdoa kepada Allah
(Yoh 4:24; Flp 3:3).
Mereka yang memegang trikotomi memberikan beberapa argumen sebagai
dukungan. Pertama, 1Tesalonika 5:23. Dalam ayat ini Paulus secara eksplisit menyebut tiga
elemen, yaitu roh, jiwa dan tubuh. Karena ketiganya dipisahkan dengan kata sambung kai
(dalam teks Yunani “roh dan jiwa dan tubuh”), maka tiga elemen tersebut jelas merupakan
aspek yang berbeda.
Kedua, Ibrani 4:12. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa firman Allah sanggup memisahkan
jiwa dan roh. Kata sambung yang dipakai – sekali lagi – adalah kai, yang menunjukkan bahwa
keduanya berbeda. Selain itu, kalau keduanya dapat dipisahkan, bukankah itu menyiratkan
bahwa keduanya berbeda?
Ketiga, 1Korintus 2:14-3:4. Teks ini berbicara tentang tiga macam manusia: manusia
kedagingan (sarkinos, 3:1), manusia jiwani (yucikos, 2:14) dan manusia rohani (pneumatikos,
2:15). Pembedaan ini dianggap mewakili tiga macam manusia dalam relasi mereka dengan
Tuhan: orang non-Kristen yang hidup menurut hawa nafsu daging, orang Kristen yang tidak
rohani yang mengikuti keinginan jiwa saja dan orang Kristen yang dewasa dan rohani.
Keempat, 1Korintus 14:14. Di ayat ini Paulus menyatakan bahwa ketika dia berdoa
dengan bahasa roh, maka dia sedang berdoa dengan rohnya, sedangkan akal budinya diam.
Jika akal budi memang bagian dari jiwa, bukankah teks ini membuktikan bahwa roh dan jiwa
adalah dua elemen yang berbeda?
Kelima, 1Korintus 15:44. Ayat ini menyebutkan dua macam tubuh: yucikos (“jiwani”,
LAI:TB “alamiah”) dan pneumatikos (“rohani”). Jika tubuh dapat dibedakan ke dalam kategori
“jiwani” dan “rohani”, maka secara ontologis memang ada perbedaan antara jiwa dan roh.
Keenam, pengalaman rohani pribadi. Orang Kristen kadangkala dapat merasakan
kehadiran Allah secara nyata, padahal hal itu bukan berasal dari kemampuan indera (tubuh),
sekedar perasaan (emosi) maupun hasil pemikiran tertentu (intelek). Mereka juga sering
mendapatkan pencerahan rohani tentang suatu hal atau teks Alkitab yang muncul secara tiba-
tiba dan tidak diketahui mereka sebelumnya. Dua hal ini – kepekaan terhadap kehadiran Allah
dan persepsi spiritual – mengindikasikan bahwa ada elemen lain dalam diri manusia yang
terlibat dalam ibadah selain tubuh dan jiwa.
Ketujuh, perbedaan antara manusia dan binatang. Hampir semua orang setuju bahwa
binatang memiliki tubuh dan jiwa, walaupun kualitas jiwa mereka lebih rendah daripada
manusia. Semua orang juga setuju bahwa binatang tidak memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan Allah. Apa yang menyebabkan binatang tidak dapat menyembah Allah
padahal mereka memiliki jiwa? Menurut penagnut trikotomi, hal itu disebabkan binatang
tidak memiliki roh.
Terakhir, perubahan dalam roh manusia pada saat pertobatan. Dalam Roma 8:10
Paulus mengajarkan bahwa ketika Kristus ada dalam diri seseorang, maka roh orang itu hidup
karena kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa roh orang yang tidak percaya dalam keadaan
mati (pasif), sekalipun jiwa mereka tetap aktif. Pada saat pertobatan, roh yang pasif ini
dihidupkan sehingga orang itu dapat menyembah Allah.
Jika kita memperhatikan argumen yang diberikan di atas, sebenarnya tidak ada satu
argumen pun yang meyakinkan. Teks-teks yang dipakai telah salah ditafsirkan. Penganut
trikotomi juga tidak memperhatikan ajaran Alkitab di tempat lain yang bertentangan dengan
keyakinan mereka. Untuk lebih jelasnya, kita akan membahas masing-masing argumen yang
diberikan.
Pertama, 1Tesalonika 5:23. Pemunculan kata “seluruhnya” dan “sempurna”
memberikan indikasi bahwa penekanan ayat ini justru terletak pada totalitas hidup manusia.
Penyebutan “roh”, “jiwa” dan “tubuh” hanyalah gaya bahasa untuk memberikan penekanan
pada ide totalitas. Ide tentang totalitas ini akan semakin kentara jika kita menyadari bahwa
ayat 23a sejajar dengan ayat 23b: “menguduskan” sejajar dengan “terpelihara sempurna tak
bercacat”, sedangkan “seluruhnya” sejajar dengan “roh, jiwa dan tubuh”.
Ayat 23a menguduskan kamu seluruhnya
Ayat 23b roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat
Apakah penggunaan dua kata sambung kai di ayat tersebut membuktikan bahwa
ketiganya merupakan elemen yang berbeda? Tentu saja tidak! Para penulis Alkitab
sering memakai beberapa kata yang sinonim untuk penekanan. Contoh yang paling jelas
adalah perintah yang terbesar dalam Alkitab yang dicatat di Ulangan 6:5. Matius 22:37,
Markus 12:30 dan Lukas 10:27. Dalam 4 teks yang sejajar ini jumlah, jenis dan urutan elemen
yang disebutkan berbeda-beda, namun artinya semuanya tetap sama, yaitu mengasihi Tuhan
dengan totalitas hidup. Arti ini tersirat dalam pengulangan kata “segenap” di semua teks
tersebut. Perhatikan perbandingan berikut ini:
Ulangan 6:5 hati (kardia), jiwa (yuch), kekuatan (dunamis) -- LXX
Matius 22:37 hati (kardia), jiwa (yuch), akal budi (dianoia)
Markus 12:30 hati (kardia), jiwa (yuch), akal budi (dianoia), kekuatan (iscus)
Lukas 10:27 hati (kardia), jiwa (yuch), kekuatan (iscus), akal budi (dianoia)
Dari perbandingan ini kita dapat menarik beberapa poin penting: (1) jika penyebutan
elemen yang berbeda disertai kata sambung kai selalu menyiratkan ide pembedaan, maka
tuntutan kasih di Markus dan Lukas melebihi yang ada di Ulangan maupun Matius. Hal ini
tentu saja tidak masuk akal, karena semua teks itu bersumber dari Ulangan 6:5. (2) daftar
elemen yang ada berkontradiksi dengan pembagian elemen versi trikotomi. Dalam daftar di
atas terlihat bahwa baik hati (tempat perasaan atau kehendak) maupun akal budi (intelek)
harus dibedakan dari jiwa; (3) jika penganut trikotomi konsisten bahwa penyebutan elemen
yang berbeda menyiratkan ide pembedaan, maka mereka seharusnya membagi elemen
manusia menjadi lima (quintchotomy) atau enam (sexchotomy).
Kedua, Ibrani 4:12. Ayat ini seharusnya dipahami dengan cara yang sama dengan
1Tesalonika 5:23 dan banyak teks lain. Ayat ini sama sekali tidak mengajarkan bahwa jiwa dan
roh adalah dua elemen yang berbeda.
(1) Ungkapan yang dipakai bukan “memisahkan jiwa dari roh” atau “memisahkan antara jiwa
dan roh”, tetapi “memisahkan jiwa dan roh” (baik jiwa maupun roh dapat dipisahkan).
Jika penganut trikotomi konsisten, maka mereka seharusnya membagi jiwa dan roh
menjadi elemen-elemen yang lebih kecil lagi.
(2) Konteks mengarahkan kita untuk menafsirkan ayat ini secara figuratif. Pendapat ini sangat
dapat dibenarkan. Firman Allah tidak memisahkan sendi dan sum-sum dalam arti
hurufiah. Selain itu, apakah sendi dapat dipisahkan dari sum-sum? Bukankah keduanya
memang saling tidak berkaitan? Bukankah pasangan yang dipakai seharusnya “sendi dan
tulang”? Jika ayat ini memang figuratif, maka kita perlu menyelidiki apa maksud
penyebutan masing-masing kata di sini. Berdasarkan prinsip ini, kata “jiwa” dan “roh”
sebaiknya dipahami sebagai perwakilan dari bagian hidup manusia yang paling dalam
(inward parts of human being), sebagaimana kata-kata lain yang dipakai di ayat ini, yaitu
sendi-sumsum, pertimbangan hati-pikiran hati. F. F. Bruce menjelaskan ungkapan yang
dipakai dalam ayat ini sebagai “akumulasi retoris dari istilah-istilah untuk menyatakan
seluruh hakekat mental manusia dalam semua sisinya” (Commentary on the Epistle to the
Hebrews, 82). Ayat ini hanya mengajarkan bahwa kekuatan firman Tuhan sangat luar biasa
sampai mampu menembus bagian manusia yang tersembunyi.
(3) Pasangan kata yang terakhir – pikiran dan pertimbangan hati – tidak dapat dibedakan.
Baik kata enqumhsis (pikiran) maupun ennoia (pertimbangan) sama-sama merujuk pada
apa yang ada di pikiran kita (lihat Liddell-Scott Lexicon). Kalaupun harus dibedakan, maka
enqumhsis merujuk pada isi pikiran sedangkan ennoia pada cara berpikir (Louw-Nida
Lexicon). Pertanyaannya, apakah dua hal ini menunjukkan dua elemen yang berbeda?
Ketiga, 1Korintus 2:14-3:4. Penyebutan tiga macam manusia di sini – sarkinos, yucikos
dan pneumatikos – tidak membuktikan bahwa elemen manusia terdiri dari tiga bagian. Kunci
untuk memahami hal ini terletak pada analisa konteks dan arti dari masing-masing istilah yang
dipakai. Berdasarkan konteks yang ada, manusia pneumatikos di bagian ini merujuk pada
mereka yang pikirannya diterangi oleh Roh Kudus (2:10-13), sedangkan manusia yucikos
adalah orang-orang non-Kristen yang tidak mendapat penerangan ilahi sehingga mereka tidak
dapat mengerti hal-hal rohani (2:14). Di lain pihak, manusia sarkinos adalah orang percaya
yang masih mengikuti keinginan daging (3:3). Mereka memang sudah Kristen, tetapi belum
dewasa (3:1b). Jika penganut trikotomi mau konsisten, maka seharusnya yang paling parah di
antara tiga jenis manusia ini adalah manusia sarkinos. Kenyataannya, manusia sarkinos tetap
lebih baik daripada manusia yucikos.
Keempat, 1Korintus 14:14. Ayat ini sebenarnya hanya sekedar menyatakan bahwa
ketika Paulus berbahasa roh, dia tidak mengerti apa yang dia katakan. Paulus hanya
mengungkapkan bahwa ada elemen non-fisik dalam diri manusia yang dalam ibadah dapat
bekerja di luar kesadaran normal, namun tidak ada indikasi bahwa “roh” di sini merujuk pada
elemen non-fisik tertentu. Pandangan trikotomi terhadap ayat ini dipengaruhi oleh asumsi
mereka tentang definisi “roh” (elemen non-fisik untuk berkomunikasi dengan Allah) dan
“jiwa” (akal budi adalah salah satu bagian dari jiwa). Perkataan Paulus dalam bagian ini justru
meruntuhkan definisi trikotomi tentang “roh”, karena di ayat 15 Paulus juga berdoa dengan
akal budinya.
Kelima, 1Korintus 15:44. Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah konteks.
Ungkapan “tubuh yucikos“ tidak merujuk pada manusia yang memiliki tubuh dan jiwa saja,
tanpa roh. Dengan pula tubuh pneumatikos tidak merujuk pada orang Kristen yang memiliki
tubuh, jiwa dan roh. Konteks menunjukkan bahwa tubuh yucikos di sini berarti tubuh
material/fisik, sedangkan tubuh pneumatikos adalah tubuh kemuliaan yang non-material.
Semua orang Kristen memiliki tubuh yucikos dan tubuh jenis ini akan diubahkan menjadi
tubuh pneumatikos, karena apa yang dapat binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang
tidak dapat binasa (ayat 50, 53).
Kesulitan lain yang muncul dalam tafsiran trikotomi terhadap 1Korintus 15:44 adalah
subjek dari kata ditaburkan dan dibangkitkan. Subjek dari dua kata ini adalah sama, yaitu
“tubuh” (swma), hanya saja jenis tubuh yang dibicarakan berbeda. Paulus tidak sedang
membicarakan dua tubuh yang mengalami nasib berlainan. Tubuh yang dibahas cuma satu,
tetapi tubuh ini mengalami dua proses: ditaburkan dan dibangkitkan. Jika tubuh yucikos dan
tubuh pneumatikos memang secara konsisten dibedakan secara ontologis, maka tubuh yang
ditaburkan secara ontologis juga berbeda dengan yang dibangkitkan. Implikasi seperti ini jelas
bertentangan dengan teologi Paulus secara umum maupun konteks 1Korintus 15:35-58.
Keenam, pengalaman rohani pribadi. Kita mengakui bahwa ada kesadaran rohani
tertentu yang terpisah dari intelek atau emosi. 1Korintus 14:14 yang sudah kita bahas, Roma
8:16 dan Kisah Rasul 17:16 (LAI:TB “hati” seharusnya “roh”) mendukung hal ini.
Bagaimanapun, hal ini tidak memberi pembenaran bagi kita untuk menyebut elemen non-
fisik ini sebagai “roh”, sedangkan yang lain termasuk dalam kategori “jiwa”. Ketika Lidia
mendapat penerangan rohani, yang disentuh Tuhan adalah hatinya (Kis 16:14), bukan rohnya.
Alkitab di tempat lain mengajarkan bahwa jiwa manusia dapat pula dipakai untuk
menyembah Tuhan. Daud berkali-kali bermazmur “hai jiwaku, pujilah Tuhan” (Mzm 103:1-2;
104:1; 108:1; 146:1). Maria berkata “jiwaku memuliakan Tuhan” (Luk 1:46).
Ketujuh, perbedaan antara manusia dan binatang. Kita memang memiliki kemampuan
rohani yang membuat kita berbeda dari binatang. Kita dapat mengenal dan membangun
relasi dengan Tuhan. Pertanyaannya, apakah kemampuan rohani ini disebabkan oleh elemen
non-fisik dalam diri kita yang disebut “roh”? Alkitab menyatakan berkali-kali bahwa relasi
manusia dengan Tuhan tidak hanya dilakukan oleh apa yang disebut kaum trikotomi sebagai
“roh manusia”. Seluruh tubuh dan jiwa kita dipakai untuk mengasihi dan menyembah Tuhan.
Di samping itu, Alkitab juga mencatat bahwa binatang pun memiliki roh (TWOT,
electronic ed.). Pengkhotbah 3:21 “roh (ruah) manusia naik ke atas dan roh (ruah) binatang
turun ke bawah bumi”. (lihat KJV/ASV/NIV/RSV). Kejadian 7:15 “semua ciptaan yang memiliki
ruah hayah (roh kehidupan) di dalam mereka datang berpasang-pasangan kepada Nuh dan
memasuki bahtera”. Mazmur 104:29 “apabila Engkau mengambil roh (ruah) mereka, mereka
mati biansa” (yang dimaksud “mereka” di sini adalah para binatang laut di ayat 25-27). Teks-
teks seperti ini pasti menimbulkan kesulitan bagi penganut trikotomi, tetapi tidak demikian
dengan mereka yang memegang dikotomi. Kata ruah (roh) di dalam Alkitab memang memiliki
beragam arti, tidak sekedar elemen yang dipakai dalam relasi dengan Tuhan (seperti definisi
pihak trikotomi).
Kedelapan, perubahan dalam roh manusia pada saat pertobatan (Rom 8:10). Alkitab
memang mencatat bahwa pertobatan seseorang melibatkan perubahan supranatural dalam
dirinya, namun kita tidak dapat membatasi perubahan ini hanya terjadi pada elemen roh
(menurut definisi trikotomi). Hati manusia juga diubahkan (Kis 16:14). Keseluruhan hidup
manusia diciptakan kembali (2Kor 5:17), dilahirkan kembali (Yoh 1:12; 3:3, 7) atau dihidupkan
kembali (Ef 2:4-5; Kol 2:13). Semua teks ini justru mengajarkan bahwa perubahan terjadi pada
seluruh aspek non-fisik manusia tanpa membatasi apakah aspek itu adalah roh, hati atau
lainnya.
Apakah mereka yang tidak percaya memiliki roh yang mati (pasif) seperti diyakini oleh
penganut trikotomi? Alkitab memberikan bukti bahwa orang fasik pun memiliki roh yang aktif,
tetapi aktif untuk berdosa atau melawan Allah. Dalam Ulangan 2:30 diceritakan bahwa Tuhan
mengeraskan roh (ruah) Raja Sihon (terjemahan LAI:TB “membuat dia keras kepala” kurang
tepat, lihat semua versi Inggris). Nebukadnezar diturunkan dari tahtanya karena dia tinggi hati
dan keras kepala (Dan 5:20, lit. “rohnya [ruah] dikeraskan”).
Kini tiba saatnya kita membahas Roma 8:10 secara khusus. Yang ditekankan dalam
ayat ini bukanlah perubahan roh dari mati (pasif) menjadi hidup (aktif). Inti dari ayat ini adalah
untuk/kepada siapa roh ini aktif. Di Roma 6:11 Paulus menyatakan bahwa manusia yang mati
di dalam dosa dihidupkan untuk Allah. Orang yang mati dalam dosa jelas masih dapat hidup,
tetapi hidupnya hanya untuk melawan Allah (band. Ef 2:1-3).
Di samping sanggahan-sanggahan terhadap argumen trikotomi di atas, kita juga perlu
membicarakan potensi bahaya yang dapat muncul dari konsep ini. Sebagian penganut
trikotomi terjebak pada kecenderungan mengagungkan realitas spiritual di atas realitas fisik.
Bagi mereka yang paling penting adalah relasi dengan Allah melalui doa, puasa, perjumpaan
pribadi dengan Tuhan secara khusus, dsb. Kerohanian dipahami secara sempit dan hanya
mencakup praktik-praktik ibadah tertentu. Tubuh manusia dianggap kurang begitu penting.
Bahaya lain dari trikotomi adalah anti-intelektualisme. Konsep trikotomi yang
cenderung melihat roh lebih mulia daripada jiwa berpotensi meremehkan pentingnya
pengetahuan Alkitab. Kecenderungan ini jelas tidak alkitabiah. Alkitab menuntut kita untuk
mengasihi Allah dengan akal budi kita (Ul 6:5//Mat 22:37//Mar 12:30//Luk 10:27). Akal budi
kita harus diperbarui supaya mengetahui kehendak Allah (Rom 12:2). Kita juga perlu mengisi
pikiran kita dengan hal-hal yang mulia (Flp 4:8). Ada kaiatn yang erat antara pengetahuan dan
kesalehan (Tit 1:1, 9; 2Pet 1:5-8). Kepada jemaat yang sedang menghadapi ajaran sesat,
Petrus menasehati mereka agar bertumbuh dalam pengenalan tentang Tuhan (2Pet 3:18).

Dikotomi

Semua teolog Reformed memegang pandangan ini. Pengakuan Iman Westminster


menyatakan “tubuh manusia pada saat kematian kembali kepada debu...tetapi jiwa
mereka...langsung kembali kepada Allah...” (XXXII.1). Menurut para penganut dikotomi,
Alkitab hanya membagi elemen manusia menjadi dua: elemen fisik/material (tubuh) dan
elemen non-fisik (jiwa atau roh). Dalam Kejadian 2:7 dijelaskan bahwa manusia terdiri dari
elemen fisik (tanah) dan non-fisik (nafas Allah). Teks ini mengilhami Pengkhotbah untuk
mengatakan “debu kembali menjadi tanah seperti semula, tetapi roh kembali kepada Allah
yang mengaruniakannya” (12:7). Yesus mengatakan bahwa kita tidak perlu takut kepada
mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi tidak dapat membunuh jiwa (Mat 10:28).
Inti argumen dari dikotomi adalah data Alkitab yang menunjukkan bahwa kata “jiwa”
(Ibrani nepesh; Yunani yuch) dan “roh” (Ibrani ruah; Yunani pneuma) dipakai secara
bergantian. Dengan kata lain, keduanya adalah sinonim. Data ini ditemui secara konsisten
dalam seluruh Alkitab. Berikut ini adalah beberapa bukti penting yang menunjukkan
fenomena tersebut.
Di Yohanes 12:27 Yesus mengatakan bahwa “jiwaku (yuch) terganggu”, padahal di
pasal 13:21 disebutkan bahwa yang terganggu adalah roh (pneuma)-Nya. Maria berkata “jiwa
(yuch) ku memuliakan Tuhan dan roh (pneuma) ku bergembira di dalam Tuhan” (Luk 1:46-
47). Kesamaan makna antara yuch dan pneuma dalam ayat ini akan semakin terlihat jelas
apabila kita mengetahui bahwa ayat ini memakai gaya bahasa paralelisme Ibrani.
Bukti lain dapat dilihat dari sebutan yang dipakai Allah pada saat seseorang meninggal
dunia. Alkitab menjelaskan kematian sebagai peristiwa ketika jiwa atau roh berpisah tubuh.
Kejadian 35:18 “ketika ia hendak menghembuskan nafas” (lit. “ketika jiwa (nepesh)nya
pergi”). Ketika Elia mendoakan anak janda Sarfat yang telah mati, dia memohon agar jiwa
(nepesh) anak tersebut dikembalikan (1Raj 17:21). Yesaya 53:12 menubuatkan bahwa Yesus
akan menyerahkan jiwa (nepesh)-Nya kepada maut. Lukas 12:20 “hari ini juga jiwa (yuch)mu
akan diambil daripadamu”. Teks-teks lain menggambarkan kematian sebagai keterpisahan
antara roh dan tubuh. Saat kematian roh kembali kepada Allah (Pkt 12:7). Ketika Yesus akan
mati, Dia berseru, “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa (pneuma)-Ku” (Luk
23:46//Mzm 31:6; juga Yoh 19:30 “menyerahkan nyawa [pneuma]-Nya). Stefanus
mengatakan seruan yang sama ketika dia akan mati (Kis 7:59 “terimalah roh ku”).
Penganut trikotomi mungkin akan menjelaskan teks-teks di atas dengan menganggap
bahwa pada saat kematian ada dua elemen non-fisik yang pergi: roh dan jiwa. Anggapan ini
tidak memiliki bukti yang kuat. Jika anggapan ini benar, maka kita berharap Alkitab akan
memakai bahasa yang lebih eksplisit – misalnya “roh dan jiwa meninggalkan tubuh – untuk
memastikan bahwa tidak ada elemen non-fisik yang tertinggal (Grudem, Systematic Theology,
474).
Sinonim antara yuch dan pneuma juga dapat dilihat dari sebutan yang dipakai dalam
Alkitab untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Mereka kadangkala disebut roh-roh
(Ibr 12:23 “roh-roh orang benar yang sudah menjadi sempurna”) atau jiwa-jiwa (Why 6:9
“jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh karena firman Allah”; 20:4 “jiwa-jiwa mereka yang
telah dipenggal kepalanya”).
Bukti lain dapat ditemukan dalam beberapa teks yang menyatakan bahwa manusia
terdiri dari “tubuh-jiwa” atau “tubuh-roh”. Matius 10:28 yang sudah disebut sebelumnya
membagi manusia menjadi tubuh dan jiwa. Di tempat lain manusia juga dibagi menjadi tubuh
dan roh. 1Korintus 5:5 “supaya binasa tubuhnya, tetapi rohnya diselamatkan”. Tubuh tanpa
roh adalah mati (Yak 2:26). Paulus menjelaskan bahwa kekudusan harus mencakup tubuh dan
roh (1Kor 7:34; 2Kor 7:1). Jika jiwa dan roh memang berbeda, mengapa Paulus tidak menuntut
kekudusan jiwa juga?
Catatan Alkitab tentang keberdosaan jiwa atau roh juga mendukung sinonim antara
dua kata tersebut. Penganut trikotomi berpendapat bahwa roh adalah kudus dan tidak dapat
berdosa. Yang berdosa adalah jiwa, karena di dalamnya ada intelek, perasaan dan kehendak.
Alkitab ternyata memberi data sebaliknya. Jiwa memang dapat berdosa (Ef 4:17 “pikiran,
pengertian, hati, perasaan, diri [tubuh]”), namun hal yang sama juga terjadi pada roh. Yesaya
29:24a “orang-orang yang sesat pikiran (ruah) akan mendapat pengertian”. Roh harus
dikuasai (Ams 16:32 “menguasai diri [ruah]). Orang yang tidak percaya dapat berdosa dengan
roh mereka (Ul 2:30 “keras kepala seharusnya “mengeraskan rohnya”; Mzm 78:8 “tidak setia
jiwa” seharusnya “tidak setia rohnya”; Dan 5:20 “rohnya dikeraskan” ). Kesombongan
disamakan dengan tinggi roh (ruah, Ams 16:18; Pkt 7:8; LAI:TB “tinggi hati”).
Bagaimana dengan roh orang yang sudah percaya kepada Kristus? Alkitab
menyiratkan bahwa roh orang percaya tetap dapat berbuat dosa atau dicemarkan. Perintah
Paulus kepada jemaat Korintus supata mereka menjaga kekudusan tubuh dan roh mereka
(1Kor 7:34; 2Kor 7:1) menyiratkan bahwa ada kemungkinan roh dapat dinajiskan (berdosa).
Karena orang percaya jug amasih dapat “tinggi roh” (sombong), hal ini menyiratkan bahwa
seseorang dapat berdosa dengan rohnya.
Kesamaan antara jiwa dan roh juga terlihat dari fakta bahwa roh manusia dapat
melakukan hal-hal yang menurut definisi trikotomi menjadi tugas jiwa. Roh dapat merasakan
sesuatu (emosi). Roh Paulus terprovokasi ketika dia melihat penyembahan berhala di Atena
(Kis 17:1 “sangat sedih hatinya” secara hurufiah “rohnya terprovokasi”). Yesus juga pernah
mengalami roh-Nya terganggu (Yoh 12:27; 13:21). Semangat (ruah) yang patah dikontraskan
dengan hati yang gembira (Ams 17:22). Hal ini mengindikasikan bahwa roh dapat merasakan
kesedihan.
Roh juga dapat berpikir. Markus 2:8a “Yesus segera mengetahui dalam roh (pneuma)-
Nya”. Roh dapat mengetahui pikiran-pikiran seseorang (1Kor 2:11). Tuhan berjanji bahwa
orang yang telah sesat rohnya (LAI:TB “pikiran”) akan mendapat pengertian.
Data di atas tidak berarti bahwa jiwa dan roh sama-sama melakukan suatu tindakan
tertentu. Data tersebut mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan antara jiwa dan roh. Data
itu juga membuktikan bahwa definisi jiwa dan roh menurut trikotomi tidak dapat
dipertahankan. Kemampuan untuk berpikir, merasa dan berkehendak berasal dari elemen
non-fisik manusia.
Bukti terakhir tentang kesamaan antara jiwa dan roh adalah keterlibatan jiwa dalam
relasi dengan Tuhan. Pandangan trikotomi yang membedakan jiwa dan roh dengan cara
mendefinisikan roh sebagai elemen non-fisik untuk ibadah tidak dapat dipertahankan. Kita
dapat memuji Tuhan dengan jiwa kita (Mzm 25:1; 103:1; 146:1; Luk 1:46). Jiwa kita dapat
merindukan Tuhan (Mzm 62:1-2) dan berharap kepada-Nya (Mzm 42:5). Jiwa kita terlibat
dalam doa (1Sam 1:15 “isi hati” secara hurufiah “jiwa”). Kita mengasihi Allah dengan jiwa kita
(Ul 6:5//Mat 22:37//Mar 12:30//Luk 10:27). Jiwa kita mencintai firman Tuhan (Mzm 119:20,
167).

Konklusi

Dikotomi memiliki argumen Alkitab yang sangat kuat. Berbeda dengan monisme,
Alkitab menunjukkan bahwa elemen fisik dan non-fisik manusia memag dapat dibedakan,
terutama pada saat kematian. Berbeda dengan trikotomi, Alkitab mengajarkan bahwa jiwa
dan roh bukanlah dua elemen yang secara ontologis berbeda. Keduanya dipakai secara
bergantian untuk mewakili aspek non-fisik manusia.
Walaupun dikotomi jauh lebih alkitabiah, namun kita sebaiknya mewaspadai
beberapa potensi kesalahpahaman yang mungkin muncul. Pembedaan antara elemen fisik
dan non-fisik tidak berarti bahwa salah satu elemen ini ada yang lebih penting daripada yang
lain. Sejarah gereja memberi kesaksian bahwa sebagian orang Kristen cenderung memandang
rendah elemen fisik manusia. Tubuh dianggap sebagai sumber dosa yang harus dimatikan
semua keinginannya. Asketisisme yang sudah dimulai sejak abad permulaan merupakan bukti
konkrit tentang kesalahpahaman ini. Di sisi lain, sebagian orang yang meremehkan tubuh
justru melakukan apapun yang mereka mau dengan alasan bahwa apa yang dilakukan tubuh
tidak mempengaruhi aspek spiritual manusia.
Alkitab memang mengajarkan bahwa manusia tetap dapat eksis sekalipun tanpa
tubuh (Luk 23:43; Flp 1:23), tetapi hal itu tidak membuktikan bahwa tubuh kurang penting
dibandingkan dengan jiwa atau roh. Kita harus menyadari bahwa tubuh kita sangat dihargai
Allah. Allah memperhatikan kebutuhan fisik kita (Mat 6:25-35). Allah mau menjadi daging
(Yoh 1:14). Kristus menebus tubuh kita (1Kor 6:9), sehingga tubuh kita layak menjadi bait Roh
Kudus dan dipakai untuk memuliakan Dia (1Kor 6:20). Tubuh kita juga akan dibangkitkan dan
diubah menjadi tubuh kemuliaan (1Kor 15:35-58).
Perbedaan antara elemen fisik dan non-fisik tidak boleh dipahami sebagai pemisahan
aktivitas. Suatu tindakan dilakukan oleh seluruh diri manusia. Kita tidak dapat mengatakan
bahwa suatu tindakan hanya dilakukan oleh tubuh saja maupun oleh jiwa/roh saja. Semua
elemen terlibat dalam setiap tindakan. Ketika kita berpikir maka otak kita juga terlibat. Begitu
pula ketika kita merasakan emosi tertentu kita menggunakan otak dan syaraf-syaraf dalam
tubuh kita.
Seluruh aspek hidup kita juga harus kita pakai ketika membangun relasi dengan Tuhan.
Daud menggambarkan kerinduannya terhadap Allah dengan ungkapan “jiwaku haus
kepadamu, tubuhku rindu kepadamu” (Mzm 63:2). Hati dan daging Daud bersorak-sorai
kepada Allah (Mzm 84:3). Paulus berdoa dengan roh maupun akal budinya (1Kor 14:14).
Seluruh tubuh seringkali terlibat dalam ibadah, misalnya bertepuk tangan (Mzm 47:1),
mengangkat tangan (Mzm 28:2; 63:5; 134:2; 143:6), menari (Mzm 87:7; 149:3).

ASAL USUL JIWA

Jika jiwa memang dapat dibedakan dari tubuh, maka pertanyaan wajar yang muncul
adalah “dari mana asalnya jiwa?”. Apakah jiwa sudah ada sebelum tubuh? Apakah jiwa ada
bersamaan dengan tubuh? Kalaupun bersamaan, apakah keberadaan jiwa merupakan hal
yang alamiah (melalui proses biologis) atau supranatural (pemberian Allah)? Ada tiga
pandangan utama yang ditawarkan untuk menjawab pertanyaan ini.

Pra-eksistensi (pre-existentianisme)

Teori pra-eksistensi jiwa berasal dari filsafat Plato dengan konsep dualismenya. Di
amenganggap bahwa yang tidak terlihat (idea) adalah sempurna, sedangkan yang kelihatan
(form) adalah tidak sempurna. Di kalangan kekristenan awal, teori ni dipopulerkan oleh
Origen dan sebagian bapa gereja Timur yang memang cenderung dipengaruhi oleh filsafat
Yunani.
Menurut pandangan ini, jiwa manusia sudah ada sebelum terbentuknya tubuh. Allah
hanya membawa jiwa-jiwa itu ke dalam tubuh-tubub baru yang terbentuk melalui pertemuan
sperma dan ovum. Argumen yang kadangkala dipakai untuk mendukung adalah pra-
pengetahuan Allah tentang setiap manusia. Jika Allah sudah mengetahui detil hidup
seseorang sebelum dia lahir, hal ini berarti bahwa jiwa orang itu sebenarnya sudah ada. Dalam
konteks kekristenan, jika Allah telah memilih umat-Nya sebelum permulaan jaman (Ef 1:4;
2Tim 1:9), maka itu meunjukkan bahwa orang itu sudah ada sebelumnya.
Teori pra-eksistensi memiliki banyak kelemahan. Argumen yang diberikan pun tidak
mendasar.
(1) Pengetahuan Allah tidak dibatasi oleh ada atau tidaknya sesuatu. Allah dapat mengetahui
masa depan secara detil sekalipun semua itu belum ada (Yes 46:9-10).
(2) Teori ini mirip dengan konsep reinkarnasi (jiwa terus-menerus ada dan berada dalam
tubuh yang berbeda-beda)
(3) Teori ini menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak mungkin terjawab. Jika jiwa
memang sudah ada sebelum tubuh, di manakah jiwa-jiwa itu sekarang? Apa yang
dilakukan oleh jiwa-jiwa itu sekarang? Apakah jiwa-jiwa itu kekal (ada dengan sendirinya)?
Jika jiwa-jiwa itu diciptakan, mengapa mereka diciptakan lebih dahulu dan tidak
menunggu tubuh mereka?
(4) Teori ini berpotensi menghasilkan konsep yang rendah terhadap tubuh. Tubuh hanya
dianggap sebagai penjara bagi jiwa atau sekedar transisi ke dalam kehidupan berikutnya.

Traducianisme
Nama teori ini berasal dari kata Latin tradux, yang berarti “cabang” atau “tunas”.
Traducianisme dipegang oleh Martin Luther dan para teolog Lutheran. Teolog Reformed yang
menganut teori ini antara lain Jonathan Edward, A. H. Strong dan Robert L. Reymond. Para
perumus Pengakuan Iman Westminster tampaknya mengadopsi pandangan ini. Di pasal VI.3
disebutkan “mereka selaku akar dari semua manusia, pelanggaran dari dosa ini
diperhitungkan; dan kematian yang sama dalam dosa dan natur yang tercemar diteruskan
kepada seluruh anak cucu mereka yang diturunkan dari mereka melalui kelahiran yang
alamiah”.
Menurut teori ini, setiap jiwa manusia merupakan hasil proses biologis alamiah. Allah
hanya menciptakan jiwa secara langsung pada kasus Adam dan Hawa (Kej 2:7, 21-23), namun
setelah itu Allah memakai perbedaan kelamin yang Dia ciptakan sebagai alat untuk
menghadirkan jiwa-jiwa di dunia.
Para penganut teori ini mengemukakan beberapa argumen. Pertama, kapasitas
manusia sebagai gambar Allah (Kej 1:27) mencakup kemampuan untuk menciptakan manusia
lain. Sama seperti tumbuhan dan binatang yang berkembang biak menurut jenis mereka (Kej
1:11-12, 21, 24-25), manusia dapat berkembang biak menurut jenis mereka. Kejadian 5:3 “ia
memperanakkan seorang anak laki-laki menurut rupa dan gambarnya”. Perkembangbiakan
ini bukan hanya mencakup aspek fisik, tetapi aspek non-fisik juga, karena segambar dan
serupa dengan Adam bukan hanya masalah fisik. Jika ini benar, maka jiwa anak termasuk
elemen yang diciptakan oleh orang tua.
Kedua, keberdosaan seorang bayi (Kej 8:21; Mzm 51:7; Rom 5:12) dapat dijelaskan
secara lebih mudah dari perspektif traducianisme. Jika jiwa seorang anak berasal langsung
dari Allah, maka konsekuensinya adalah bahwa Allah terlibat langsung dalam keberadaan
dosa ini atau paling tidak Ia menciptakan jiwa yang cenderung pada dosa. Konsekuensi ini
tampak agak janggal jika dikaitkan dengan sifat kudus Allah. Sebaliknya, traducianisme
berhasil meminimalisasi permasalahan ini. Dosa termasuk dalam jiwa seorang anak yang
diturunkan dari orang tua.
Ketiga, traducianisme lebih sesuai dengan penemuan ilmu pengetahuan modern di
bidang medis, psikologi maupun sosiologi. Menurut disiplin ilmu ini, setiap suku memiliki
keunikan fisik, mental, sosial dan moral tertentu yang didapatkan dari faktor genetika
(keturunan). Jika setiap jiwa langsung berasal dari Allah, maka keunikan dalam satu keturunan
(suku) seperti ini tidak akan terjadi.
Keempat, Alkitab kadangkala menyatakan bahwa seorang keturunan berada di dalam
tubuh nenek moyangnya. Teks yang paling relevan adalah Ibrani 7:10 “ia (Lewi) masih berada
dalam tubuh bapa leluhurnya (Abraham)”. Ayat ini menyiratkan bahwa jiwa Lewi ada dalam
diri Abraham. Dengan kata lain, jiwanya berasal dari Abraham.
Terakhir, Alkitab menyatakan bahwa Allah telah berhenti dari segala karya
penciptaan-Nya setelah Dia selesai menciptakan manusia. Kejadian 2:2 “berhentilah Ia pada
hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu”. Allah tidak menciptakan
makhluk hidup lagi. Ia telah memberikan kemampuan pada makhluk hidup yang Dia ciptakan
untuk berkembang biak, baik tumbuh-tumbuhan (Kej 1:11-12), binatang (Kej 1:21, 24-25)
maupun manusia (Kej 1:28).
Apakah semua argumen di atas meyakinkan? Beberapa memang menuntut perhatian
lebih dari mereka yang menolak teori traducianisme, tetapi argumen yang lain tampaknya
tidak memiliki bobot yang kuat. Sekarang, mari kita selidiki semua argumen tersebut satu per
satu. Kemampuan Adam menciptakan anak laki-laki yang segambar dan serupa dengan dia
tidak selalu menyiratkan fakta bahwa jiwa anak itu berasal dari proses biologis alamiah.
Tanaman memiliki kemampuan berkembang-biak menurut jenis mereka (Kej 1:11-12), tetapi
perkembangbiakan ini tidak mencakup penurunan aspek non-fisik (tumbuhan tidak memiliki
aspek ini). Dalam kasus perkembangbiakan binatang, hal ini memang mencakup aspek fisik
dan non-fisik. Bagaimanapun, kita harus memperhitungkan bahwa kualitas jiwa binatang dan
manusia sangat berbeda. Binatang tidak dihembusi nafas Allah seperti manusia (Kej 2:7),
sehingga mereka tidak memiliki jiwa yang memampukan mereka untuk berkomunikasi
dengan Allah. Jika jiwa manusia bukan sekedar nyawa yang diperlukan untuk hidup tetapi juga
kapasitas rohani untuk mengenal Allah, penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa jiwa
ini bukan sekedar berasal dari proses alamiah.
Berkaitan dengan transmisi dosa dan natur yang rusak, hal ini sebenarnya tidak
bertentangan dengan prinsip kerja Allah. Semua tergantung pada cara pandang kita terhadap
batasan intervensi Allah dalam hal-hal yang berdosa. Ungkapan “Allah bukan pencipta dosa”
(Pengakuan Iman Westminster III.1) tidak boleh dianggap sebagai bukti bahwa antara Allah
dan dosa tidak ada hubungan sama sekali. Allah berdaulat atas segala sesuatu (termasuk
dosa) dan segala sesuatu pasti dalam taraf tertentu berkaitan dengan Allah, karena Dia adalah
Penyebab Pertama (First Cause) dari segala yang ada. Allah berkali-kali menyerahkan umat-
Nya kepada orang atau bangsa yang kejam (Hak 2:14; 4:2; Hab 1:6). Roh jahat yang
menghinggapi Saul maupun roh dusta yang ada di mulut para nabi palsu pun dalam taraf
tertentu berkaitan dengan Allah yang kudus (1Sam 16:14; 1Raj 22:20-23).
Berdasarkan penjelasan tersebut, tindakan Allah yang menciptakan jiwa manusia
dengan segala kecenderungan mereka pada dosa tidak bertentangan dengan sifat kudus
Allah. Allah melakukan ini sebagai konsekuensi dari keberdosaan Adam dalam kapasitasnya
sebagai wakil dari seluruh umat manusia (Rom 5:12-21). Di samping itu, Allah juga tidak
segan-segan menghukum beberapa keturunan karena dosa yang dilakukan nenek moyang
mereka (Kel 20:5).
Apakah keunikan suatu suku dalam hal fisik, mental, sosial dan moral membuktikan
kebenaran traducianisme? Belum tentu! Fenomena ini dapat dijelaskan dari beberapa sisi.
Kita perlu memahami bahwa Allah memiliki kedaulatan penuh dalam menciptakan suatu jiwa.
Dia berhak menciptakan jiwa yang dalam banyak hal sama dengan orang tua mereka. Dalam
hal kesamaan secara mental, sosial dan moral, semua ini bisa jadi bukanlah faktor hereditas
semata-mata. Anak-anak memang cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang di
sekeliling mereka. Cara hidup suatu masyarakat seringkali sangat mempengaruhi kepribadian
seseorang (1Kor 15:33).
Tentang Ibrani 7:10, teks ini sama sekali tidak mendukung traducianisme. Penafsiran
hurufiah dari penganut traducianisme terhadap ayat ini tidak dapat dipertahankan. Yang
dimaksud “dia” di sini bukan hanya jiwa Lewi saja, tetapi keseluruhan hidupnya. Jika mereka
mau konsisten, maka mereka seharusnya juga mengakui bahwa tubuh Lewi ada di dalam
Abraham. Hal ini jelas tidak masuk akal dan tidak memiliki dukungan Alkitab sama sekali. Jika
yang ada di tubuh Abraham adalah jiwa Lewi saja, hal ini tetap tidak masuk akal, karena hal
itu akan membuat Abraham memiliki dua macam jiwa. Bahkan jika penafsiran yang tidak
masuk akal ini tetap diterima, Ibrani 7:10 tetap tidak mendukung teori traducianisme.
Penafsiran seperti ini lebih mendukung teori pra-eksistensi.
Sebagai tambahan, kita harus memahami bahwa ayat di atas merupakan gaya bahasa
figuratif yang mengajarkan ide perwakilan. Sesuai konteks yang ada, penulis kitab Ibrani
sedang membuktikan bahwa ada satu prinsip keimaman yang terlepas (bahkan lebih tinggi)
dari keturunan Harun, yaitu keimaman Melkisedek. Untuk mendukung hal ini dia mengutip
tindakan Abraham yang memberi persembahan kepada imam Melkisedek. Jika Abraham
sebagai nenek moyang dan cikal bakal bangsa Israel (termasuk Lewi) saja memberikan
persembahan kepada Melkisedek, maka hal itu membuktikan bahwa Melkisedek lebih tinggi
daripada Abraham maupun semua keturunannya.
Sekarang tentang Kejadian 2:2. Teks ini tidak boleh dipahami bahwa sejak saat itu
Allah berhenti menciptakan apapun. Ayat ini hanya menyatakan bahwa Allah berhenti dari
segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya. Frase “yang telah dibuat-Nya” jelas merujuk pada
aktivitas penciptaan di Kejadian 1. Selain itu, kata kerja ‘asah yang dipakai dua kali di ayat ini
masih tetap muncul di bagian kitab Kejadian selanjutnya. Yang menarik, kata ini juga
dikenakan untuk Allah dalam kaitan dengan penciptaan manusia. Kejadian 6:6-7 “maka
menyesallah TUHAN bahwa Ia telah menjadikan (‘asah) manusia di bumi...bahwa Aku telah
menjadikan (‘asah) mereka”. Yang dimaksud “manusia” di sini jelas bukan Adam dan Hawa.
Bentuk tunggal “manusia” (ha ’adam) di ayat 6 dan 7 merupakan perwakilan dari seluruh
umat manusia. Dari sini terlihat bahwa semua manusia di Kejadian 6:5 dijadikan (‘asah) oleh
Allah. Dia tidak berhenti menciptakan manusia yang lain.

Creationisme

Pandangan ini merupakan pandangan yang populer di kalangan Katholik maupun


Reformed. John Calvin memegang teori ini. Sebagian teolog Reformed modern juga
mengadopsi teori ini, misalnya Louis Berkhof, Wayne Grudem.
Menurut teori ini, jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh Allah pada saat
sperma dan ovum bertemu atau selama proses kandungan. Keberadaan jiwa bukanlah
sekedar hasil reproduksi alamiah. Bukan hanya jiwa, seluruh keberadaan manusia – elemen
fisik maupun non-fisik – pun merupakan ciptaan Allah.
Argumen utama untuk creationisme adalah beberapa teks Alkitab yang secara
eksplisit mengajarkan bahwa jiwa atau nafas manusia berasal dari Allah. Pengkhotbah 12:7
“debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang
mengaruniakannya”. Tuhan berfirman “Akulah yang membuat nafas kehidupan” (Yes 57:16).
Tuhan menciptakan nafas dan nyawa kepada manusia (Yes 42:5). Zakaria 12:1 “...demikianlah
firman Tuhan...yang menciptakan roh dalam diri manusia”. Allah disebut sebagai “Bapa segala
roh” (Ibr 12:9) yang berarti Dia adalah sumber dari segala roh.
Alkitab tidak hanya menyatakan bahwa jiwa manusia berasal dari Dia. Seluruh hidup
manusia pun diciptakan oleh Dia. Daud mengakui bahwa Tuhanlah yang membentuk buah
pinggang dan menenun dia dalam kandungan (Mzm 139:13). Anak laki-laki – bukan hanya
jiwanya saja – merupakan milik dan pemberian dari Tuhan (Mzm 127:3). Ayub mengatakan
bahwa Tuhanlah yang membuat dia dan orang-orang lain dalam kandungan (Ay 31:15).
Argumen lain yang dipakai untuk mendukung creationisme adalah pola kerja Allah di
Kejadian 2:7. Dalam teks ini dijelaskan bahwa Allah terlibat dalam seluruh keberadaan
manusia. Dia membentuk tubuh manusia dari tanah liat. Dia juga yang menghembusi dengan
nafas-Nya. Pola seperti ini dapat kita jumpai dalam beragam teks yang lain, seperti sudah
dijelaskan sebelumnya. Jika teks ini adalah satu-satunya bagian Alkitab yang menjelaskan
secara eksplisit bagaimana manusia diciptakan, maka tidak salah jika kita menjadikan teks ini
sebagai rujukan penting, sekalipun penciptaan Adam adalah unik (dia memang tidak memiliki
orang tua).

Konklusi
Traducianisme dan creationisme sama-sama memiliki dukungan Alkitab. Keputusan
yang konklusif di antara dua alternatif ini sulit dicapai. Bagaimanapun, dari teks-teks yang
dipakai, creationisme tampak lebih kuat. Selain jumlah teks yang lebih banyak, teks-teks itu
juga lebih eksplisit dan secara langsung menjelaskan bagaimana seseorang dapat eksis di
dunia. Jika kita sudah memiliki teks-teks yang lebih eksplisit, kita sebaiknya tidak
mendasarkan pandangan pada teks-teks lain yang kurang eksplisit.
Walaupun creationisme tampak lebih alkitabiah, kita tidak boleh berpikir bahwa
ketika Allah menciptakan jiwa Dia tidak menggunakan instrumen apapun. Segala sesuatu
memang berasal dari dan oleh Allah (Rom 11:36), tetapi bukan berarti Allah secara langsung
terlibat dalam proses tersebut. Dia seringkali memakai pilihan dan tindakan manusia untuk
merealisasikan ketetapan-Nya. Di samping itu, kita juga perlu mengingat bahwa tanpa
hubungan seksual (pertemuan sperma dan ovum) tidak mungkin ada manusia (kecuali dalam
kasus khusus seperti Adam, Hawa dan Yesus).
Sikap yang paling bijaksana adalah mengakui karya Allah yang nyata dalam penciptaan
setiap manusia, tetapi hal ini dalam taraf tertentu sangat berkaitan dengan proses biologis
alamiah. Allah memakai sperma dan ovum sebagai instrumen untuk menciptakan manusia,
meskipun bukan proses ini yang secara otomatis menciptakan seorang manusia.

Anda mungkin juga menyukai