Anda di halaman 1dari 11

DARI ANTI KRISTUS, 666 SAMPAI COVID-19

Emanuel Gerrit Singgih

Pendahuluan singkat

Surat I Yohanes sama seperti surat II dan III Yohanes ditulis oleh Yohanes, tetapi apakah Yohanes di
sini sama seperti Yohanes di Injil Yohanes, dan Yohanes di kitab Wahyu, masih dapat dipertanyakan.
Kelihatannya sama-sama bernama Yohanes, namun yang di Injil Yohanes dan di kitab Wahyu adalah
rasul yang bahasa Yunaninya adalah apostolos, sedangkan yang di surat-surat Yohanes adalah
penatua atau dalam bahasa Yunaninya presbuteros (lihat II Yoh. 1:1). Rasul jelas lebih tinggi daripada
presbiter, jadi rasanya tidak mungkin Yohanes rasul mau menyebut dirinya presbiter. Jadi dia adalah
Yohanes presbiter, namun dia amat rajin belajar mengenai iman dari rasul Yohanes, dan hal itu
tampak dari sifat surat-suratnya yang hakikatnya merupakan refleksi dia terhadap Injil Yohanes.
Penulis surat ini adalah penatua yang mengajar jemaat mengenai makna Injil Yohanes. Nanti kita
lihat bagaimana refleksinya berhubungan dengan Injil Yohanes. Injil Yohanes, surat I-III Yohanes dan
kitab Wahyu disebut sebagai tulisan-tulisan Yohanin, berarti dianggap berasal dari satu sumber yang
sama. Ada juga yang menganggap bahwa kitab Wahyu tidak ditulis oleh Rasul Yohanes, melainkan
oleh Yohanes sang Pelihat. Tetapi saya tetap menganggap Rasul Yohanes sebagai penulis kitab
Wahyu. Jadi Yohanes Rasul adalah sekaligus Yohanes Pelihat. Tidak semua hal dapat saya kemukakan
dari kekayaan sumber ini, tetapi saya memilih beberapa pokok untuk kita dalami.

I Yohanes

a. Firman Hidup

Pasal 1:1-4 merupakan refleksi terhadap pendahuluan Injil Yohanes di Yoh. 1:1-14. Makanya di ayat
1 terdapat ungkapan “Firman Hidup”, oleh karena di pendahuluan Injil Yohanes disebutkan
mengenai Sang Firman atau Logos yang telah datang ke dunia. Logos itu telah menjadi manusia, dan
itulah yang disebut sebagai “inkarnasi Allah”. Supaya jemaat jangan salah paham bahwa Firman itu
ya tulisan, maka sang penatua menyebutkannya sebagai “Firman Hidup”, yaitu Yesus Kristus sendiri.

b. Perintah baru

Di Yoh. 15:9-17 Gusti Yesus memberikan perintah baru kepada murid-muridNya. Perintahnya adalah
supaya murid-murid saling mengasihi (ayat 12). Contoh kasih itu adalah kerelaan memberi nyawa
untuk sahabat-sahabat (ayat 13), dan siapa yang disebut sahabat Yesus, yaitu jika murid-murid
berbuat apa yang telah diperintahkan oleh Yesus kepada mereka, yaitu amanat kasih ini (ayat 14).
Perintah baru dari Gusti Yesus itulah yang direfleksikan oleh penatua Yohanes di I Yoh. 2:7-17. Tetapi
dia sadar bahwa amanat kasih itu sudah diberikan sebelumnya, maka dia mengatakan “bukan
perintah baru yang kutuliskan kepadamu”. Perintah itu sudah diketahui oleh jemaat (ayat 7), namun
demikian, bagi penatua Yohanes, itu tetap sesuatu yang baru, karena dia telah melihat dampak dari
amanat kasih yang baru itu, yaitu bahwa kegelapan sedang lenyap. Belum lenyap, tetapi sedang
lenyap, seperti kegelapan malam mulai dikurangi oleh sinar fajar. Justru karena sudah ngefek, maka
di dalam jemaat jangan lagi ada yang membenci satu sama lain. Penatua Yohanes sekaligus memberi
pendampingan pastoral kepada anak-anak (ayat 12,14), orang muda (ayat 14) dan bapak-bapak (ayat
13,14) supaya menghayati amanat kasih ini secara konkret. Tetapi kok dia nggak menyapa ibu-ibu
ya? Mungkin waktu itu di jemaat sang penatua, ibu-ibu tidak aktif. Kita tidak tahu. Maka salah satu
kelebihan jemaat GPIB MM Ygy dari jemaat penatua Yohanes adalah bahwa di jemaat kita, ibu-ibu
amat aktif hehehe

Di I Yoh 3:11-18 amanat kasih ini ditekankan lagi: kamu harus saling mengasihi, jangan seperti Kain
dari Perjanjian Lama, yang membunuh adiknya. Mengapa dia tega membunuh adiknya sendiri?
Karena dia jahat sedangkan adiknya benar, menurut sang penatua. Tetapi di ayat 15 ada alasan
konkret, yaitu kebencian. Kain membenci saudaranya dan kebencian memang bisa melahirkan
pembunuhan. hal itu bukan saja dapat kita baca dalam kisah Kain dan Habel, tetapi juga dapat kita
saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah di jemaat penatua Yohanes ada pembunuhan? Kita
tidak tahu, tidak dilaporkan. Di surat Yakobus 4:2 ada sedikit petunjuk bahwa jemaat gereja perdana
tidak selalu lebih baik daripada kita sekarang, mereka bisa bikin pusing kepala, sehingga perlu
dibuatkan surat penggembalaan. Di ayat 16 kembali kita lihat sang penatua yang merefleksikan
kembali Yoh. 15:13 mengenai kasih, yaitu memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya. Yesus
telah menyerahkan nyawanya untuk kita, jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa untuk saudara-
saudara kita. Mengasihi secara konkret, bukan cuma omong saja (ayat 18).

Di I Yoh. 4:7-21, sang penatua Yohanes memberikan refleksi yang indah mengenai Allah yang adalah
kasih. Kita harus saling mengasihi,karena kasih berasal dari Allah. Siapa tidak mengasihi, tidak
berasal dari Allah. Jadi menurut penatua Yohanes, sebenarnya ada sih ukuran untuk menilai iman
atau kesungguhan kita kepada Allah, yaitu apakah kita menjalankan kasih atau tidak. Jadi kasih
jangan dilihat sebagai sesuatu yang humanis, dan hanya berkaitan dengan hubungan dengan sesama
manusia, tetapi justru sesuatu yang ilahi dan berkaitan dengan Tuhan Allah sendiri. Sebelum orang
mengomentari dia, sang penatua cepat-cepat menyambung: kalau u bilang saya tidak punya bakat
untuk mengasihi, u salah, karena bukan dirimu yang menyebabkan kamu mengasihi, tetapi karena
Allah terlebih dulu mengasihi kamu (ayat 10-11). Allah adalah kasih, dan satu-satunya ukuran bahwa
kita berada di dalam perimeter Allah adalah kasih. Siapa berada di dalam kasih, ia berada di dalam
kasih, dan Allah di dalam dia.

Karena kasih berasal dari Allah, maka di dalam kasih tidak ada ketakutan (ayat 18). Jika ada orang
yang takut, maka dia takut pada penghukuman (ayat 18). Padahal di banyak ajaran agama, orang
diajari supaya takut pada Tuhan dan pada hukuman Tuhan. Teologi hukuman berfungsi sebagai cara
yang manjur untuk membuat orang tinggal di dalam agama. Tetapi itu bukan teologi dari sang
penatua, teologinya adalah teologi kasih. Allah bukan tokoh yang hobbynya menghukum melainkan
hakikatnya adalah kasih. Siapa tidak mengasihi saudara yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi
Allah, yang tidak dilihatnya. Pola pendidikan Kristen seharusnya berangkat dari teologi kasih,
sehingga orang belajar agama bukan karena takut dihukum oleh Tuhan, tetapi justru karena
disayang oleh Tuhan.

c. Anti Kristus
Salah satu masalah yang diangkat oleh penatua Yohanes di I Yoh. 18-27 adalah Anti Kristus. Jadi di
satu pihak ada Kristus, di lain pihak ada antinya juga, yaitu Anti Kristus. Sekarang ada banyak
antikristus, kata sang penatua (ayat 18). Mereka berasal dari jemaat, tetapi kemudian menjadi
berbeda dari jemaat oleh karena menurut penatua Yohanes, mereka “menyangkal bahwa Yesus
adalah Kristus” (ayat 22), bahkan “menyangkal baik Bapak mau pun Anak” (ayat 22). Roh disebut di I
Yoh. 5:6-12. Allah Tritunggal disebut, namun kalau kita melihat ayat 7-8 dari I Yoh. 5, maka ayat-ayat
itu diberi tanda kurung. Itu berarti bahwa teksnya tidak terlalu diyakini apakah memang begitu,
ataukah tambahan pada zaman lebih kemudian, ketika rumusan teologi mengenai Allah Tritunggal
sudah selesai. Tidak masalah karena secara implisit kita bisa membayangkan bahwa di sini ada
golongan tertentu yang tidak menerima teologi Tritunggal. Yang juga perlu kita perhatikan adalah
bahwa Anti Kristus itu menyangkal bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Maka
menurut sang penatua, siapa yang mengaku bahwa Yesus Kristus datang sebagai manusia, ia berasal
dari Allah (I Yoh. 4:2). Mayoritas umat beragama di Indonesia menghormati Yesus sebagai nabi Isa.
Tetapi mereka membantah bahwa dia adalah Anak Allah. Maka kecenderungan kita orang Kristen
Indonesia adalah meng-counter hal ini: Yesus bukan manusia, Dia adalah Allah! Saya bisa memahami
mengapa kita menjawabnya demikian, tetapi maaf ya, Injil Yohanes menyatakan bahwa Firman
telah menjadi manusia, dan menurut penatua Yohanes, Yesus Kristus telah datang sebagai manusia.
Itulah kekayaan dari ajaran inkarnasi yang sering kita abaikan dalam kehidupan Kristen. Yesus Kristus
adalah Allah dan manusia, inilah ajaran yang benar menurut tulisan-tulisan Yohanin. Di I Yoh. 4:1-6
kalangan anti Kristus ini dinamakan nabi-nabi palsu, Yunaninya pseudo profetes. Daya tarik mereka
menurut penatua Yohanes terletak dalam pembicaraan tentang hal-hal duniawi, dan dunia
mendengarkan mereka (ayat 5). Jadi meskipun kalangan anti Kristus ini memberitakan Kristus yang
hanya bersifat ilahi dan tidak bersifat manusiawi, penerapan ajaran mereka kok tidak spiritual, malah
sangat duniawi dan ujung-ujungnya duniawi banget. Ada memang ajaran spiritual seperti itu,
spiritualitas dilihat sebagai kemampuan untuk menguasai orang lain, untuk mendapat keuntungan
bisnis yang besar, untuk gampang cari jodoh, untuk menang pemilu atau pilkada hehehe
Waspadalah terhadap spiritualitas yang ujungnya duniawi tersebut!

d. Tidak berdosa lagi?

Salah satu masalah yang juga ditangani oleh penatua Yohanes adalah golongan tertentu, yang
berpendapat kalau mereka sudah percaya kepada Yesus Kristus, maka mereka tidak berdosa lagi.
Untuk gampangnya kita sebut saja golongan ini “kaum perfeksionis”. Maka di I Yoh. 1:8-10 dia
mengatakan, kalau kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri; jika kita
mengaku dosa, maka Tuhan yang adalah Setia dan Adil akan mengampuni dosa kita; dan kalau kita
mengatakan kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta. Di gereja
Calvinis (GPIB adalah gereja Calvinis), hal itu dirumuskan dalam ajaran bahwa kita adalah orang
berdosa yang dibenarkan.

Sebenarnya ajaran ini bukan dari Calvin tetapi dari Luther, tetapi Calvin mengambil alih ajaran Luther
mengenai orang beriman sebagai pendosa yang dibenarkan. Cuma kok di I Yoh. 3:9, penatua
Yohanes tiba-tiba menyebutkan bahwa “setiap orang yang berasal dari Allah, tidak berdosa lagi;
sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah”.
Apakah warga jemaat ujung-ujungnya juga harus menjadi sama seperti golongan perfeksionis di
atas? Ada bedanya: jemaat menjadi perfek oleh karena lahir dari Allah, dari benih ilahi.. Perfek di sini
bukan karena diri mereka sudah perfek, tetapi karena bisa dan sudah mengasihi sesama saudara.
Golongan yang dikritisi oleh penatua Yohanes dianggapnya lahir dari Iblis dan melakukan perbuatan
dosa, padahal perbuatan dosa adalah dari Iblis (I Yoh. 8:8-10). Perbuatan dosa adalah tidak
mengasihi saudara, padahal golongan perfeksionis di atas tidak bisa membuktikan bahwa mereka
mengasihi saudara, bahkan mereka membedakan diri dari jemaat, menjadi “jemaat di dalam
jemaat”.

e. Iman yang mengalahkan dunia

Di I Yoh. 5:4, mereka yang lahir dari Allah, maksudnya mereka yang melaksanakan amanat kasih
terhadap saudara, telah mengalahkan dunia. Dan kemenangan yang mengalahkan dunia itu adalah
“iman kita”. Di sini penatua Yohanes merefleksikan kembali Yoh. 16:33, “… kuatkanlah hatimu, Aku
telah mengalahkan dunia”. Konteksnya adalah perpisahan Gusti Yesus dengan murid-muridNya.
Suasananya murung, karena murid-murid tahu, bahwa sebentar lagi Guru mereka akan pergi
menunaikan tugas dan panggilan Bapa. Tetapi Gusti Yesus menggambarkan situasi murung ini
sebagai situasi ibu yang sedang sakit bersalin. Sekarang sakit, tetapi setelah anak lahir, yang ada
ialah sukacita, sakitnya sudah tidak diingat lagi. Kematian Tuhan di salib sudah merupakan
kemenangan Tuhan terhadap dunia. Jemaat ikut ambil bagian dalam kemenangan Tuhan. Namun
perhatikanlah ungkapan “iman kita”. Penatua Yohanes tidak berbicara mengenai imanku atau
imanmu, melainkan iman kita, iman dari jemaat dari gereja sebagai keseluruhan dan sebagai
kesatuan, itulah yang telah menang atas dunia. Iman ini, yaitu percaya bahwa Yesus adalah Anak
Allah (ayat 5) tidak bisa dipisahkan dari amanat kasih yang menjadi perintah baru. Maka ayat ini
tidak bisa dimaknai sebagai bermakna triumfalistik, dalam arti sekarang kita bisa merasakan
kemenangan terhadap dunia, melainkan bermakna perjuangan. Kita sebagai jemaat Tuhan, berjuang
mewujudkan amanat kasih, dan kita yakin bahwa akhirnya iman kita akan menang terhadap dunia.

II Yohanes

Berbeda dengan surat I Yohanes, surat II Yohanes pendek banget, cuma satu pasal. Rupanya surat ini
merupakan penegasan kembali dari penatua Yohanes mengenai golongan Anti Kristus. Di I Yohanes
golongan ini disebutnya “nabi palsu”, di sini disebutnya “penyesat”. Penyesat ini pergi kemana-
mana, dan tidak mengaku bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Jadi intinya menurut II
Yohanes, Anti Kristus adalah mereka yang menolak ajaran inkarnasi. Penatua senang bahwa jemaat
melaksanakan ajaran kasih. Tidak semua, cuma separuh (ayat 4), tetapi hal itu sudah membuat
senang hati penatua Yohanes. Tetapi saking kuatirnya mengenai pengaruh dari penyesat-penyesat di
atas, dia mengatakan kepada jemaat agar jangan menerima golongan ini di rumahmu, bahkan
jangan memberi salam kepadanya (ayat 10-11). Dicuekin aja! Siapa memberi salam kepadanya,
berarti ambil bagian dalam perbuatannya yang jahat. Apakah di sini bukannya saran penatua kita
malah tidak cocok dengan amanat kasih Gusti Yesus mengenai mengasihi bahkan musuh sekali pun?
Dari pengalaman-pengalaman masa kini berinteraksi dengan kalangan-kalangan tertentu yang suka
mendatangi rumah kita dan membujuk kita untuk ikut alirannya, memang di satu pihak ada rasa
jengkel sih, tetapi saya ingat almarhumah ibu saya , yang selalu menerima orang-orang ini di rumah
kami di Makassar. Ada seorang dari antara mereka, sudah ibu-ibu dan naik sepeda. Ibu saya
menerima dia, memberi minum teh, mendengar ajarannya, sampai akhirnya ibu itu pergi. Tetapi ibu
saya tidak menjadi pengikutnya. Tetap GPIB sampai akhir hayatnya. Bagaimana kalau dalam hal ini,
kita ikut ibu saya aja dan tidak ikut penatua Yohanes, meskipun kita sangat menghargainya?
Di ayat 1 dan 5, penatua kita menyebut “Ibu”. Siapa ibu ini? Nampaknya “Ibu” di sini merupakan
sebutan dia untuk jemaat, untuk Gereja. Kita memang jarang berbicara mengenai Gereja sebagai
Ibu, tetapi saudara-saudari kita dari Gereja Katolik sudah agak biasa dengan istilah ini. Allah adalah
Bapa, Yesus Kristus adalah Kepala Gereja, namun Gereja adalah Ibu kita. Pengaruh dari citra Maria
sebagai ibu Yesus juga kuat, sehingga mereka biasa juga menyapa Maria sebagai lambang dari
Gereja. Kita tidak harus mengikuti saudara-saudari Katolik yang memuliakan bunda Maria,, namun
baiklah dicatat bahwa Yohanes Calvin, cakal bakal dari gereja Calvinis juga menyebut Gereja sebagai
Ibu. Maksudnya jelas, kalau kita berbicara mengenai Gereja, jangan terlalu dominan berbicara
mengenai Gereja sebagai organisasi dan birokrasi. Memang semuanya itu perlu, tetapi Gereja ujung-
ujungnya bukan hanya organisasi dan birokrasi. Presbiter adalah pejabat, tetapi ujung-ujungnya
bukan pejabat melainkan “organ”, dan kalau kita berbicara mengenai “organ”, maka maksudnya
adalah “organ yang hidup”. Jemaat adalah persekutuan orang beriman yang merupakan Ibu yang
sejati, yang keibuan terhadap semuanya. Bisakah kita menghayati keibuan kita itu, daripada
menampakkan wajah garang dari malaikat penjaga taman Eden? Dalam rangka semangat keibuan
itu, maka penatua Yohanes, meskipun menulis tiga surat, satu surat panjang, dua surat pendek, lebih
mementingkan perkunjungan (ayat 12): “Tetapi aku berharap datang sendiri kepadamu dan
berbicara berhadapan muka dengan kamu, supaya sempurnalah sukacita kita”.

Kitab Wahyu

Ada tiga sikap terhadap kitab Wahyu: yang pertama merasakan kitab Wahyu terlalu ribet, akhirnya
malas membacanya. Yang kedua karena hobbynya meramal masa depan, membaca dengan teliti
kitab ini sampai ke detail-detailnya, dan menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwa masa kini
seperti perang Iraq-Syria, kerusakan ekologi, munculnya ISIS dan terakhir, munculnya wabah Covid
19. Akhirnya kebablasan meramal akhir dunia (Awas, dunia mo kiamat!) dan akhirnya malu sebab
ramalannya gagal (atau diberi alasan: akhir jaman ditunda). Sebaiknya kita mengambil sikap ketiga,
yaitu menghargai kitab Wahyu sebagai bagian dari pewarisan firman Allah dalam PB kepada kita, dan
secara bijaksana menerapkannya bagi perkembangan iman kita di masa kini, dalam menghadapi
tantangan-tantangan dunia. Judul kitab dalam bahasa Yunani adalah apokalupsis Yoannou,
“apokalipsis dari Yohanes”. Apa artinya “apokalupsis”? Sederhana saja, yaitu “penyingkapan”, bukan
wahyu! Penyingkapan mengenai apa? Mengenai peristiwa-peristiwa yang menantang kehidupan
jemaat rasul Yohanes, bagaimana jemaat harus menghadapi tantangan-tantangan ini, dan akhirnya
harapan bagi jemaat. Kata “Wahyu” sih boleh-boleh saja dipakai, tetapi bisa disalahpahami seakan-
akan ada wahyu tersendiri di sini, yang berbeda dari pewahyuan diri Tuhan Yesus Kristus dalam PB.
Gusti Yesus adalah wahyu kita, bukan kitab Wahyu. Sama halnya dengan surat I Yohanes, di sini saya
memilih beberapa topik saja, yang menurut saya penting untuk direnungkan oleh kita sekalian.

a. Wahyu 1-3: evaluasi terhadap ketujuh jemaat

Di bagian pertama kitab Wahyu kita membaca mengenai penglihatan yang diterima oleh rasul
Yohanes yang sedang dikucilkan oleh pemerintah Romawi di pulau Patmos, salah satu dari
kepulauan Yunani, dekat pantai Turki sekarang (Why. 1:9). Jemaat yang berada di Asia Kecil (Turki
sekarang) pada waktu itu, yaitu di abad 1 Masehi, berada dalam suasana penganiayaan yang berat.
Maka dia mengirim surat (sebenarnya kitab wahyu ini surat, bukan kitab, tetapi karena di Why. 1:11
penglihatan ini harus ditulis di sebuah kitab, maka kita sebut kitab) ini yang berisi kesaksiannya
melalui seseorang yang tidak kita ketahui. Orang inilah yang memberitahukan kepada kita mengenai
“wahyu” Yesus Kristus kepada Yohanes (Why. 1:1-8). Dengan kata lain, dialah “sekertaris” dari rasul
Yohanes. Di Patmos, Yohanes mendapat penglihatan mengenai kehadiran Gusti Yesus Kristus, yang
adalah Alfa dan Omega, yang awal dan yang akhir (Why. 1:17). Gusti Yesus mau berkomunikasi
dengan jemaat melalui Yohanes, dan karena itu Yohanes harus menuliskan penglihatan yang
diterimanya (Why. 1:19).

Di Asia Kecil terdapat tujuh jemaat: Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan
Laodikea. Ketujuh jemaat ini berada di Asia Kecil, yang merupakan daerah koloni dari imperium
Romawi yang berpusat di kota Roma, Italia. Kaisar yang berkuasa di waktu itu, Domitianus, secara
sporadik melakukan pembersihan agama, berupa penganiayaan terhadap kelompok-kelompok yang
tidak diakui sebagai agama. Waktu itu agama Yahudi diakui, agama Kristen tidak. Nah, pejabat di
daerah koloni biasanya lebih keras daripada yang di pusat. Maka kita melihat di pasal 1-3 dampak
dari penganiayaan sistematis terhadap jemaat-jemaat. Konteksnya adalah konteks penganiayaan.
Jemaat di Efesus dipuji karena waspada terhadap kesesatan, namun dicela karena “meninggalkan
kasih yang semula” (Why. 2:4). Tidak diberitahu konkretnya apa itu. Saya bayangkan dalam suasana
krisis, jemaat berhenti saling kontak, mungkin karena kuatir akan ikut teraniaya. Orang yang
teraniaya atau yang bakal dianiaya, biasanya ditinggalkan sendirian oleh yang lain. Istilah sekarang
“mencari zona aman”. Di jemaat Smirna ada jemaat Yahudi, yang menggunakan kesempatan untuk
memfitnah jemaat Kristen, karena menganggapnya sebagai saingan (Why. 2:9). Yohanes
menyebutnya “jemaat Iblis”. Beberapa jemaat akan dipenjarakan selama sepuluh hari, tetapi mereka
diminta untuk “setia sampai mati” (Why. 2:10). Di Pergamus jemaat tetap setia, bahkan juga ketika
ada warga yang bernama Antipas, yang dibunuh di hadapan jemaat (Why. 2:13). Tetapi jemaat juga
dikritik karena tidak teliti, makan dari makanan yang diberikan kepada berhala, dan berzinah. Selain
itu ada juga yang menganut ajaran Nikolaus.

Tetapi seperti apa itu, kita tidak tahu. Jemaat Tiatira dinilai baik, namun mereka membiarkan diri
diatur oleh seorang nabiah, yaitu nabi perempuan, yang mengajarkan ajaran sesat, sehingga orang
berzinah dan makan persembahan kepada berhala. Yohanes rupanya benci kepada perempuan ini
dan menyebutnya Izebel, yaitu nama dari ratu Izebel, istri raja Ahab dari Israel di jaman PL. Tidak
dijelaskan kepada kita dalam hal apa jemaat berzinah. Mengenai makanan yang dipersembahkan
pada berhala, kita tahu nasihat rasul Paulus bahwa makan aja apa yang ada padamu dengan hati
nurani yang tenang, apalagi kalau u tidak tahu bahwa daging itu adalah daging yang sudah didoakan
di kuil (I Kor. 10:27). Mungkin jemaat yang disoroti oleh Yohanes mengikuti saran Paulus. Berarti
dalam hal tertentu, Yohanes tidak setuju dengan Paulus, dan bisa lebih keras daripada Paulus.

Di Sardis secara keseluruhan jemaat berada dalam keadaan kacau. Jemaatnya dapat dikatakan
hampir mati. Tetapi ada beberapa yang setia, dan mereka akan diberi pakaian putih. Nanti kita akan
melihat bahwa pakaian putih merupakan pakaian orang yang setia sampai mati dalam iman. Berarti
jemaat yang mati atau hampir mati menunjukkan mereka yang tidak tahan dalam penganiayaan, dan
menyangkal iman mereka. Jemaat Filadelfia sebaliknya, mereka secara fisik lemah, namun mereka
tidak menyangkali nama Yesus. Sama seperti jemaat Smirna, mereka juga diganggu oleh jemaat
Yahudi. Yohanes lagi-lagi menyebutnya “jemaat Iblis”. Bisa dipahami mengapa dia bersikap
demikian. Suasananya adalah jemaat Kristen yang mengalami penganiayaan, dan ada jemaat saingan
yang menangguk di air keruh. Tetapi saran saya dalam suasana kehidupan kerukunan beragama di
Indonesia, kita jangan menyebut jemaat saingan atau dari agama lain sebagai “jemaat Iblis”.
Yohanes mendapat penglihatan dari Tuhan, kita tidak, dan kita bukan Yohanes hehehe Jemaat yang
terakhir Laodikea dikecam sebagai jemaat yang tidak dingin, tetapi juga tidak panas, suam-suam
kuku. Tetapi dalam arti apa, kita tidak tahu. Apakah jemaat ini bersikap pragmatis, lihat-lihat situasi?
Gusti Yesus melalui Yohanes rupanya tidak suka pada orang pragmatis, Beliau menyukai orang yang
mengambil keputusan radikal dalam konteks penganiayaan. Bagaimana kita mau menilai jemaat-
jemaat ini? Ya kita refleksikan saja evaluasi terhadap ketujuh jemaat ini tanpa menghakimi. Kita GPIB
‘kan tidak berada di jaman penganiayaan. Kita baru bisa menghakimi ketujuh jemaat ini kalau kita
juga sama-sama sedang mengalami penganiayaan.

b. Wahyu 4-11: kuda-kuda warna warni dan macam-macam malapetaka

Di Wahyu 5 diperlihatkan penglihatan mengenai Anak Domba yang Tersembelih, yaitu Gusti Yesus
yang telah disalib, dan bangkit serta naik ke surga. Namun tetap digambarkan sebagai korban yang
tersembelih. Ke-24 tetua Israel yang disebutkan di pasal 4 bersama mahluk-mahluk surgawi
tersungkur dan menyembahNya. Kemudian Anak Domba itu membuka gulungan kitab yang ditutup
dengan tujuh meterai. Satu persatu meterai itu dibuka. Meterai yang pertama menandakan
kedatangan kuda putih dengan penunggangnya yang adalah pemanah. Kemudian meterai kedua
dibuka, yang menandakan datangnya kuda merah. Penunggangnya memegang pedang besar.
Pembukaan meterai ketiga menandakan kedatangan kuda hitam dengan penunggang yang
memegang timbangan. Pembukaan meterai keempat menandakan kedatangan kuda yang berwarna
hijau-kuning dan penunggangnya adalah Sang Maut. Keempat penunggang kuda ini diberi ijin untuk
membunuh di seperempat luas bumi ini. Pembukaan meterai kelima tidak lagi menandakan
datangnya kuda dan penunggang, melainkan jiwa-jiwa mereka yang telah teraniaya dan dibunuh
oleh karena kesaksian mereka. Mereka bertanya sampai berapa lama lagikah ini, dan mengapa
Tuhan tidak membalaskan darah kami kepada mereka itu? Mereka disuruh bersabar. Ketika meterai
keenam dibuka, terjadilah gempa bumi yang dahsyat dan gerhana matahari plus gerhana bulan.
Bintang-bintang di langit berjatuhan ke bumi. Semua penguasa dan pengikut mereka lari
bersembunyi di celah-celah gunung, dan minta agar gunung-gunung itu runtuh menimpa mereka,
tetapi sekaligus menyembunyikan mereka dari murka Ilahi. Sama aja, ketimpa gunung ya mati.

Di Wahyu 7 ternyata mereka yang menang amat banyak dibandingkan dengan kesan sebelumnya.
Mereka adalah orang-orang yang telah mati sahid, para martir, yang beroleh air kehidupan, dan
mereka mengenakan jubah putih yang adalah jubah kemenangan. Ketika meterai ketujuh dibuka,
suasana menjadi sunyi sepi setengah jam lamanya, lalu ada seorang malaekat yang melakukan
ibadah korban dupa yang mirip seperti di Bait Suci PL, cuma sekarang terjadi di surga. Malaekat itu
memegang pedupaan, mengisinya dengan api dari mezbah dan melemparkannya ke bumi. Terjadilah
cuaca buruk yang bergemuruh dengan guntur dan kilat disertai dengan gempa bumi. Mungkin ini
bukan gempa baru, tetapi gempa hebat yang disebutkan sebelumnya. Cuma sekarang dijelaskan
sumbernya.Lalu ada malaekat yang meniup sangkakala pertama: terjadi hujan es dan api bercampur
darah, sepertiga bumi dan sepertiga pohon terbakar, dan semua rumput hijau menjadi hangus.
Tiupan kedua: sebuah gunung besar dibuang ke laut, lalu sepertiga laut menjadi darah, sepertiga dari
mahluk laut mati, dan sepertiga dari kapal-kapal hancur. Tiupan ketiga: sebuah bintang besar,
Apsintus, jatuh dari langit dan bernyala-nyala, menimpa sungai-sungai dan mata-mata air. Sepertiga
dari air menjadi apsintus, zat yang pahit, yang menyebabkan air tidak bisa diminum dan karenanya
banyak orang mati kehausan. Tiupan keempat: lagi-lagi gerhana matahari dan bulan. Tiupan kelima:
ada bintang jatuh ke bumi dan membuat lobang besar, yang disebut “lobang jurang maut” (Why.
9:1). Dari lobang itu keluarlah pasukan belalang raksasa dengan sengat kalajengking, tetapi mereka
menggunakan baju zirah dan mukanya seperti muka manusia. Rajanya bernama Abadon (Ibr) atau
Apolion (Yun). Mereka diperkenankan menyiksa manusia selama 5 bulan. Saking hebatnya siksaan
itu, orang-orang minta supaya mati saja, tetapi “maut lari dari mereka”. Tiupan keenam: keempat
penunggang kuda yang sudah disebut di Wahyu 6, sekarang mulai merajalela, banyak sekali manusia
yang dibunuhnya. Tetapi anehnya, yang tidak mati oleh bencana-bencana ini, tetap tidak bertobat.

c. Sang Perempuan dan Si Naga

Pasal 10 dan 11 menggambarkan persiapan besar di sorga untuk penghakiman terakhir. Kemudian
pasal 12-15 menggambarkan penghakiman terhadap si naga, yang sebenarnya merupakan
penghakiman terhadap Imperium Roma sebagai lembaga negara. Di langit nampak dua tanda, yaitu
sang perempuan yang berpakaian matahari (TB-BIS), beralaskan kaki bulan dan bermahkota 12
bintang, berarti ukurannya besar alias kosmik, berhadapan dengan naga raksasa yang merah padam,
berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan mengenakan tujuh mahkota. Perempuan ini
melambangkan bunda Maria, namun bunda Maria sebagai wakil Gereja atau Jemaat. Di surat II
Yohanes di atas kita telah melihat penatua Yohanes menyapa jemaat sebagai Ibu. Perempuan ini
berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam perang, karena ia siap untuk bersalin. Maka
kesempatan ini dipergunakan oleh si naga untuk menghantam bintang-bintang, kemudian dia
bersiap untuk menelan Anak yang telah dilahirkan. Tetapi Anak ini diselamatkan oleh malaekat
Mikhael dan dilarikan ke hadapan tahta Allah. Kemudian Mikhael yang adalah Panglima balatentara
surga bertempur hebat melawan si naga yang juga punya pasukan malaekat, dan akibatnya si naga
kalah. Dia sekarang disebut “ular tua” (Why. 12:9), yaitu ular yang dulu di Taman Eden menggoda
Sang Perempuan lain, yaitu Ibu Hawa.

Si naga yang kalah dihukum dengan jalan melemparkannya ke bumi bersama malaekat-malaekatnya.
Ada nyanyian kemenangan di sorga, tetapi sukacita di sorga membawa celaka bagi mereka yang
berada di bumi, oleh karena sekarang bumi didatangi oleh si Iblis (Why. 12:12). Si naga belum kalah
total, dia masih bisa mengejar sang perempuan yang bersembunyi di gurun, tetapi lagi-lagi dia gagal,
karena perempuan itu mendapat sayap yang memampukan dia terbang. Si naga lalu membuka
mulut menyemburkan air sebesar sungai ke arah perempuan itu, namun bumi menolong perempuan
itu dengan menelan sungai tersebut. Si naga yang kesel lalu melampiaskan kekesalannya kepada
keturunan-keturunan dari perempuan ini, yang setia kepada Tuhan. Beginilah caranya Rasul Yohanes
menerangkan mengapa jemaat-jemaatnya bisa mengalami penganiayaan, padahal Gusti Yesus sudah
menang terhadap maut pada hari Paskah: karena si ular tua itu meskipun sudah kalah, belum kalah
total dan masih bisa berwujud negara totaliter yang angkara murka alias zalim.

Maka di Wahyu pasal 13 negara digambarkannya sebagai mahluk dahsyat atau monster yang keluar
dari dalam laut. Siapa yang rajin membaca Alkitab tentu tahu bahwa visi Yohanes di sini meminjam
dari visi Daniel di PL, Daniel 7:1-28. Di situ ada 4 binatang yang keluar dari laut: yang pertama seperti
singa, yang kedua seperti beruang, yang ketiga seperti macan tutul, yang keempat yang paling
dahsyat yang tidak bisa digambarkan seperti binatang apa, maka saya namakan “Godzilla” aja,
seperti di film Godzilla hehehe. Oleh Yohanes ketiga binatang yang sebelumnya dilebur masuk ke
dalam binatang keempat yaitu si Godzilla ini, sehingga dalam Wahyu 13 hanya satu binatang yang
keluar dari laut. Di atas kita sudah melihat monster si Naga, yang mewakili Setan-Iblis. Kalau begitu si
Godzilla mewakili siapa? Ya mewakili imperium Roma yang berpusat di kota Roma. Tetapi di Why.
13:11 dst masih ada lagi monster yang keluar dari bumi, yang bertanduk seperti domba. Kita
namakan saja dia “si Tanduk” atau “si Wedhus”. Jadi ada 3 monster: si Naga, si Godzilla dan si
Tanduk. Yang terakhir ini mewakili pemerintah dari koloni Roma di Asia Kecil, yang di atas saya
katakan bisa lebih kejam daripada pemerintah pusat. Mereka menerapkan sistem totaliter di Asia
Kecil. Semua harus menggunakan tanda tertentu yang disebut kharagma, sebagai tanda tunduk dan
menyembah Kaisar (Why. 13:13).

Ada patung besar dari Kaisar Domitianus di Efesus dan di Laodikea, dan dari waktu ke waktu ada
ibadah berupa appel kesetiaan di depan patung-patung tersebut. Kharagma ini bukan hanya tanda
religius, tetapi juga tanda politis. Penyembahan Kaisar menggabungkan agama dan politik. Bukan
hanya itu saja, kharagma sekaligus adalah lisensi atau ijin resmi dari negara untuk berjual-beli alias
berbisnis (Why. 13:17). Jadi bayangkanlah nasib orang yang tidak memiliki kharagma, dia nggak bisa
apa-apa! Bahwa semua gambaran mengerikan mengenai “apa yang akan datang” ini harus dilihat
dalam konteks pergumulan jemaat Yohanes sendiri pada jaman mereka, dapat dilihat pada anjuran
Yohanes agar jemaat memerhatikan tanda itu yang ada bilangannya, yaitu “666” (Wah 13:18).
Bilangan “666” ini biasanya dimaknai sebagai menunjuk pada kaisar Nero (dan siapa saja dalam
sejarah yang pas lagi dibenci, sehingga Sadam Hussein dari Irak pun pernah diramalkan oleh mereka
yang hobby meramal kitab Wahyu).. Bagaimana caranya sampai bisa ketemu Nero? Nah, dalam
bahasa Latin, Kaisar Nero adalah Nero Caesar. Karena masih banyak jemaat yang berasal dari
keturunan Yahudi dan bisa berbahasa Ibrani, maka frasa itu harus diibranikan dalam tulisan Ibrani,
tetapi saya sederhanakan saja dalam huruf Latin: NRON QSR. Sama seperti abjad Latin, abjad Ibrani
sekaligus merupakan angka. Jadi N = 50; R = 200; 0 = 6; N = 50; Q = 100; S = 60; R = 200. Jumlahnya
666!

Jadi meskipun kitab Wahyu pada akhirnya meramalkan akhir dari penganiayaan dan kemenangan
jemaat, dalam banyak hal kitab ini sebenarnya menerangkan situasi jemaat secara tersamar.
Meskipun kita kagum pada penafsiran “666” sebagai menunjuk ke Nero, kalau kita tetap berada
dalam konteks kitab Wahyu yaitu pergumulan jemaat-jemaat di Asia Kecil, maka “666” ini menunjuk
pada penguasa Asia Kecil sebagai wakil Roma, yang disebut Asiarkh (saya mengandalkan pada
pendapat sejarawan Allen Brent, A Political History of Early Christianity, termasuk pandangan
mengenai kharagma. Waktu itu kaisar di Roma adalah Domitianus atau Decius pada tahun 90an
Masehi). Nero (memerintah di tahun 60an) sudah lama meninggal, tetapi kekejamannya ketika dia
hidup dan penganiayaannya terhadap orang Kristen menyebabkan dia di ingat terus dan dilihat
sebagai simbol kejahatan. Angka 7 dalam pemahaman orang Yahudi adalah sempurna, angka 6
sebaliknya, adalah lawan dari sempurna. Kalau 6 sampai tiga kali, yaitu 666, itu tandanya amat
sangat tidak sempurna alias jahat sejahat-jahatnya. Asiarkh yang ada di Asia Kecil adalah antek Nero.
Apakah 666 juga menunjuk pada wabah Covid 19 sekarang? Perhatikanlah bahwa 666 selalu
menunjuk tokoh, bukan bencana atau wabah. Memang dalam bagian-bagian sebelumnya kita
membaca mengenai bencana alam dan hama belalang dsb, tetapi mereka tidak masuk dalam
kategori 666. Jadi untuk keperluan jemaat kita sekarang, menurut saya keliru kalau kita
mengidentikkan 666 dengan wabah covid 19.
Konspirasi negara/pemerintah-bisnis-agama yang maha kuat dan totaliter seperti digambarkan
dalam Wahyu 13 tidak dimaksudkan supaya diikuti, melainkan supaya ditentang dan dilawan dengan
sikap iman yang teguh dan setia sampai mati. Wahyu pasal 13 memang merupakan contoh kapan
orang beriman harus mengambil sikap anti negara, berbeda dari Roma pasal 13 yang merupakan
contoh kapan orang beriman harus mengambil sikap pro negara. Tetapi tentunya terserah kepada
kita sekarang, sikap mana yang kita ambil. Saran saya pelajari dulu situasi dan kondisi dari konteks
kita secara mendalam, baru mengambil sikap.

d. Perempuan melawan Perempuan

Di Wahyu pasal 6 digambarkan lagi tujuh malapetaka, yang berpuncak pada hari peperangan yang
luar biasa, yang terjadi di “Harmagedon” (dipopulerkan menjadi “Armageddon”). Sebenarnya di PL,
Harmagedon adalah sebuah tempat di luar kota Yerusalem, yang menjadi tempat pembuangan
segala jenis benda yang dianggap najis atau kotor, kalau menurut istilah sekarang “TPA” (tempat
pembuangan sampah). Tetapi oleh rasul Yohanes dipakai sebagai simbol pelaksanaan kehancuran
Babel. Seperti diketahui di PB, Babel sudah lama musnah, jadi nama itu dipakai untuk menunjuk
kepada imperium Romawi, khususnya pemerintah koloni Asia Kecil. Kehancuran imperium ini
merupakan wujud keadilan Ilahi, sebagai balasan terhadap penganiayaan terhadap jemaat (Why.
16:6). Pasal 17-19 semuanya menggambarkan kehancuran Babel, yang digambarkan sebagai seorang
perempuan, tetapi perempuan yang sangat jelek, “Pelacur Besar” (Why. 19:2), berbeda dari
perempuan di pasal 12 yang mewakili jemaat-jemaat. Gambaran Babel sebagai perempuan jelek ini
diambil oleh rasul Yohanes dari Yesaya pasal 48, yang menggambarkan kerajaan Babel sebagai
perempuan cantik tetapi jelek kelakuannya.

e. Kemenangan akhir

Setelah Babel kalah dan hancur, tibalah kemenangan akhir. Di pasal 20 disebutkan mengenai
“Kerajaan 1000 tahun” dari Sang Kristus. Pemerintah kolonial di Asia Kecil dibayangkan hancur dan
digantikan oleh pemerintahan langsung dari Gusti Yesus. Si Iblis atau si ular tua dilemparkan ke
dalam jurang maut di pasal 9, tempat keluarnya pasukan belalang-kalajengking, jurangnya ditutup
dan dimeteraikan. Tetapi kok setelah 1000 tahun, iblisnya lepas lagi? Untung setelah itu dia
ditangkap lagi, kemudian dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang bersama pengikut-
pengikutnya, dan mereka akan terus menerus menerima siksaan dari kekal sampai kekal. Tetapi
apakah dia akhirnya binasa? Tidak disebutkan dalam kitab Wahyu. Berarti jemaat yang sudah
menang tidak boleh lengah, sebab bisa saja, entah bagaimana, kejahatan terus saja mengancam
kebaikan. Yang penting adalah melihat di sini harapan yang diberikan oleh Yohanes, bahwa masa
depan ada di tangan Tuhan, bukan di tangan Iblis.

Di pasal 21 ada gambaran mengenai langit baru dan bumi baru, kota Yerusalem yang baru yang
turun dari sorga menggantikan langit lama dan bumi lama yang telah hancur akibat penghakiman
Ilahi. Masa depan yang baru ini digambarkan sangat idealistik, tidak ada lagi perkabungan dan air
mata. Semua berlangsung dalam kerangka kedatangan Tuhan Yesus, yang adalah Awal dan Akhir,
Alfa dan Omega. Relevansinya bagi jemaat Yohanes jelas, tempatkanlah deritamu dalam jalur Alfa
dan Omega, sehingga u tidak kehilangan arah menghadapi tantangan dunia yang seberat apa pun.
Bagi kita di masa kini pun hiburannya tetap sama: setelah Ahok kalah di Pilkada Jakarta, jangan
bingung dan kacau. Tempatkanlah frustrasimu terhadap wabah covid 19 dalam jalur Alfa dan
Omega. Gambaran mengenai pembalasan Ilahi terhadap penganiayaan di kitab Wahyu bisa kita
salahpahami dengan membayangkan kehancuran negara dan masyarakat yang sudah berlaku tidak
adil terhadap kita, bahkan kehancuran dunia, kecuali kita. Dengan kata lain, mendoakan kiamat. Itu
sudah bertentangan dengan inti ajaran tulisan-tulisan Yohanes sendiri, yaitu amanat kasih dari Yesus
Kristus. Jadi bacalah kitab Wahyu dari kaca mata amanat kasih, jangan dari kaca mata keinginan
membalas dendam. Tuhan menyertai kita.

*“Bahan Pembinaan Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta

I - III Yohanes, kitab Wahyu”

Wisma “Labuang Baji”,

Yogyakarta, 4 April 2020 (gubahan kembali dari bahan pembinaan 21 April 2017, menyesuaikannya
dengan situasi galau akibat ancaman wabah covid 19).

Ilustrasi: Christus Victor. Mosaik di basemen Kapel Sistine, Roma. Tulisan di kitab terbuka brrarti:
Sesungguhnya Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup.

KAWAN-KAWAN YANG MAU, SILAKAN SHARE

Anda mungkin juga menyukai