kebudayaan dan tradisi religius tersendiri1 dan/ atau didorong oleh situasi tertentu
konteksnya.2 Hal ini telah dijelaskan dalam bab I, bahwa Kitab Suci mewartakan
Yesus Kristus sebagaimana dimaknai dalam berbagai gelar oleh umat Kristen
mula-mula dalam konteks tertentu. Hal yang sama dilakukan oleh orang Kristen
melainkan Yesus Kristus yang melampaui semua interpretasi manusiawi.3 Hal itu
berarti bahwa kemajemukan gelar bukanlah sebuah batu sandungan. Justru karena
Dia melampaui semua skema interpretasi yang sudah dikenal, sehingga orang
dipahami bahwa kristologi masih akan terus berlanjut selama manusia masih ada.
inilah yang melatari ziarah berpikir Penulis dalam kajian di Bab ini. Oleh karena
itu, pertama-tama, akan diuraikan pengertian tentang orang asing; kedua, Allah
1
Yewangoe, “Menurut Kamu Siapakah Aku ini?”, 280.
2
Cletus Groenen, “Kristologi dan Allah Tritunggal I”, 20.
3
Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 292-293.
4
Boff, Yesus Kristus Pembebas,143.
Yang Asing; ketiga, Yesus Kristus Orang Asing Par Excellence – Ada pula dua
sub poin yang dibahas di sini, antara lain: Yesus sebagai Orang Asing Yang
Diasingkan, dan Yesus sebagai Orang Asing Dalam Perjalanan; dan keempat,
kesimpulan.
pengertian, antara lain: aneh atau tidak biasa; belum biasa atau kaku; datang dari
mendefinisikan orang asing (stranger) sebagai “seseorang yang bukan teman atau
kenalan.”6 Hersberger sendiri memahami, bahwa orang asing bukan hanya sosok
pribadi yang belum pernah bertemu sebelumnya, melainkan juga sosok pribadi
yang diketahui, tetapi dianggap sebagai orang luar. Anggota keluarga atau sahabat
orang-orang Kristen dalam jemaat setempat pun dapat menjadi orang asing bagi
kita.7
pada mereka yang “diasingkan” dalam masyarakat (lih. Mat. 25:43). Demikian
setiap orang yang lapar, haus, sakit, telanjang, atau dalam penjara menjadi orang
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (KBBI Offline 1.5.1.).
6
Hersberger, Hospitalitas, 11. Kata asli dalam American Heritage Dictionry adalah “one who is
neither a frien nor an acquaintance.” https://ahdictionary.com/word/search.html?q=stranger%27s
7
Hershberger, Hospitalitas, 11.
asing dalam masyarakat.8 Mengapa? Karena mereka diasingkan dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa orang lain (the others atau
liyan) adalah asing bagi diri kita, sebaliknya, diri kita asing bagi orang lain.
mengasingkan orang lain. Memandang orang lain sebagai orang asing, ingin
mengundang seorang mengakui keunikan dari setiap pribadi yang memiliki ciri
tak terduga dan tak terkatakan dan tak dapat disentuh oleh orang lain, namun
sekaligus indah.9 Kita diundang untuk memberi tumpangan bagi mereka, yang
dalam khazanah teologi Kristen disebut sebagai ‘hospitalitas’ (bnd. Mat. 25:43);10
keunikan dan ketaktergantian setiap pribadi dan juga panggilan Allah untuk
“memberi tumpangan” kepada orang lain (baca: asing) yang ada di sekitar kita.
lain dapat dilihat sebagai orang asing bagi kita, sebagaimana kita pun asing bagi
pun ada “orang asing.” Ada sudut-sudut gelap dalam diri sendiri yang tidak kita
kenali sepenuhnya, asing bagi kita. Ia menegaskan, bahwa manusia tidak pernah
memiliki sebuah identitas yang tunggal dan tuntas. Ia ternyata harus bergumul
dengan identitas yang majemuk dan dinamis.11 Oleh karena itu, dapat dipahami
8
Hershberger, Hospitalitas, 86.
9
Adiprasetya, “Dialog”, 138.
10
Terjemahan langsung dari kata Yunani untuk hospitalitas adalah philoxenia, yang merupakan
gabungan dari dua kata Yunani lain, yaitu philia, yang berari kasih persaudaraan dan xenos yang
berarti orang asing (lih. Adiprasetya, 2014, 135). Jadi, dapat disimpulkan bahwa hospitalitas
berarti “mencintai orang asing” atau “memberi tumpangan kepada orang asing”. Phillips
sebagaimana dikutip oleh Pakpahan mengatakan, bahwa stranger love, adalah cinta yang diberikan
bagi dan untuk orang asing (Pakpahan, 2015, 129).
11
Adiprasetya, “Dialog”, 138-9.
bahwa kehadiran orang lain di hadapan kita ingin menolong kita mengenali orang
Imajinasi imani dan teologis untuk memandang Allah sebagai “Ia Yang
Sepenuhnya Asing” bukanlah sesuatu yang baru sama sekali, melainkan selaras
dengan tradisi mistis (teologi negatif atau apofatik) di dalam kekristenan. 12 Tradisi
ini ingin menghargai Yang Ilahi sebagai yang senantiasa melampaui apa pun yang
Ilahi.13 Allah itu Mahalain,14 Dia selalu melebih apa yang kita tahu.15 Dengan
demikian, mengakui Allah sebagai Dia Yang Sepenuhnya Asing adalah sebuah
penegasan bahwa Allah tidak akan pernah bisa diketahui (unknowable) dan juga
tidak akan pernah bisa dimengerti (incomprehensible) oleh ciptaan yang terbatas
pada dirinya.
prediksi yang dapat dibuat manusia.16 Memang, orang dapat berbicara tentang-
12
Adiprasetya, “Dialog”, 139.
13
Adiprasetya, “Dialog”, 139.
14
Nico Syukur, Teologi Trinitas Dalam Konteks Mistagogi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016),
54-55.
15
Paul Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), 65.
16
Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia: Sebuah Tawaran, dalam Melintas (23.3.2008), 440.
gambaran itu terbatas pada dirinya, sehingga tidak cukup menggambarkan Allah
Manusia tidak dapat mengetahui siapa Dia. Allah adalah sosok pribadi
yang tidak kita ketahui.17 Betapa tinggi, betapa lebar, dan betapa dalamnya misteri
itu. Leonardo Boff mengatakan, bahwa manusia hanya dapat tunduk dan sembah
dalam tafakur dan diam hening di depan misteri ini.18 Karena itu, manusia mesti
dengan rendah hati menerima keterbatasan bahasa atau gambaran mengenai Allah.
Kirchberger, mengutip dalam hal ini suatu aksioma Thomas Aquinas, bahwa
“manusia tidak bisa mengenal atau menangkap hakikat Allah, namun manusia
manifestasi diri Allah. Allah hanya bisa dikenal secara tidak langsung melalui
ciptaan.”19 Jadi, Allah Yang Sepenuhnya Asing ini hadir secara anonim di dalam
ciptaan. Karena itu manusia diundang untuk berjumpa dengan Dia di dalam
sesama (ciptaan).
Pada sisi yang lain, Anton Wessels menjelaskan dengan sangat apik
dalam karyanya: A Stranger is Calling, bahwa Allah Yang Asing ini adalah Allah
yang menyapa dan ramah terhadap orang-orang asing. Hal ini berakar pada tradisi
17
William Johnson, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), 54.
18
Leonardo Boff, Allah Persekutuan, Ajaran Tentang Tritunggal (Maumere: Penerbit Ledalero,
2004), 93.
19
Georg Kirchberber, Memahami Iman Dalam Dunia Sekuler: Teologi Edward Schillebeeckx
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), 27.
Yahudi. Demikian Wessels menegaskan, bahwa dalam pertemuan-Nya dengan
Musa melalui nyala api semak belukar terlihat Allah adalah Allah yang menyapa
Hal itu, kata Wessels, pada kemudian hari dalam perayaan hari
pembebasan orang Israel diingatkan bahwa mereka dahulu adalah orang asing
sehingga mereka menuturkannya dalam liturgi “Ayahku dahulu orang asing” (Ul.
pendatang. Ingatan ini kemudian membawa umat Israel sebagai umat Allah dalam
sebenarnya tidak ada orang asli tetapi semua merupakan orang asing. Israel dalam
sejarah leluhurnya, yaitu Abraham, Ishak dan Yakub, mereka tidak terlepas dari
pertemuan mereka dengan Allah yang asing dan pengalaman hidup mereka
sebagai orang asing. Puncaknya nampak dalam pertemuan Yakub dengan Allah
sebagai orang asing pada malam hari di sungai Yabok. Yakub yang kemudian
menjadi orang asing karena Esau, ia harus berlari dari rumah pada malam hari dan
kehadiran Allah baginya menegaskan pengakuan terhadap Allah yang ramah dan
padang Horeb dengan Allah. Di Horeb, Allah menyatakan diri untuk terus
20
Anton Wessels, A Stranger Is Calling: Jews, Christians, And Muslims As Fellow Travellers
(Wipf & Stoch, 2017), 23.
21
Wessels, A Stranger Is Calling, 23.
22
Wessels, A Stranger Is Calling, 28.
bersama Elia. Elia terasing waktu itu, karena tidak ada orang lain yang memilih
untuk memiliki iman yang sama sebagaimana dirinya. Elia seorang diri dan benar-
yang ramah bagi orang asing dan pejalan (orang yang sedang melakukan
perjalan). Allah selalu hadir sebagai terang dan sahabat bagi mereka. John
Switson bahkan mengatakan, bahwa “Allah berada di mana pun orang asing
berada.”24 Oleh karena itu, hospitalitas merupakan tindakan penting dari Allah
dipenuhi dengan orang asing.25 Mereka pernah menjadi budak di Mesir. Sebagai
orang-orang asing, mereka disiksa dan dipaksa kerja keras oleh para majikan yang
bengis. Mereka adalah orang asing di negeri yang asing. Di tengah situasi yang
tampaknya tiada harapan itu, Allah mendengar jerit tangis mereka yang ingin
dibebaskan. Allah berkarya dan membebaskan orang-orang asing dan Allah pun
menyelamatkan mereka.26 Karena itu, umat Allah di mana pun mereka berada
diperlakukan sama seperti orang Israel dan dikasihi sama seperti diri sendiri:
“Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli
dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing
23
Wessels, A Stranger Is Calling, 29.
24
Swinton, Dimensia, 351.
25
Hersberger, Hospitalitas, 219-220.
26
Hersberger, Hospitalitas, 252.
dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu” (Im. 19:34). Orang Israel pun
diingatkan agar tidak memperkosa hal orang miskin karena mereka juga pernah
menjadi budak dan orang asing di tanah Mesir (Ul. 24:18; Im. 19:34).27
dengan orang asing dan/ atau mereka yang diasingkan (lih. Ul. 10:19). Allah
asing, karena mereka pun dahulu adalah orang asing. Hal senada dikemukakan
dalam Mazmur bahwa sikap hospitalitas umat Allah kepada orang asing adalah
sikap meneladani Allah sendiri (Mzm. 146:9). Lebih dari pada itu, identitas Israel
sebagai orang asing tetap melekat dalam diri mereka. Mereka meyakini bahwa
tanah Kanaan yang ditempati adalah milik Allah. Mereka hanyalah orang asing
mengakui, bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Gereja
menentang keras ajaran sesat yang hanya meletakkan penekanannya pada segi
27
Alfons Jehadut, “Bersikap Ramah terhadap Tamu dan Orang Asing (5)”, dalam Unit Naskah &
Penerbitan Lembaga Biblika Indonesia. https://www.lbi.or.id/2017/10/18/bersikap-ramah-
terhadap-tamu-dan-orang-asing-5/
28
Sally Naomi Neparassi, “Hospitalitas Kekristenan Awal” dalam Kala dan Kalam (Maret 2018).
https://m.youtube.com/watch?v=2WaFWdVdVO4oU. Diakses April 2018.
sebaliknya, hanya menekankan keallahan Yesus Kristus dan mengabaikan
kemanusiaan-Nya. Jadi, Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati.29
ditekankan oleh Injil Yohanes.30 Hal ini dapat dilihat dalam madah indah
pembukaan Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-
sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1). Dia sejak semula
umat Kristiani bahwa Yesus Kristus adalah Allah menunjukkan Dia Sepenunya
Theology, bahwa pengakuan dalam Injil Yohanes pada khususnya, dan pengakuan
umat Kristiani pada umumnya, bahwa Yesus Kristus adalah Allah sebenarnya
merupakan suatu pengakuan bahwa Yesus adalah asing bagi manusia. Seorang
state).32 Yesus, sang Logos, yang pada mulanya bersama Allah dan Allah adanya,
menjadi daging dan diam di antara umat-Nya (Yoh. 1:14; Flp. 2:6-7). Jadi, Yesus
29
Hadiwijono, Iman Kristen, 309-318; dan Bab I poin 1.2.
30
Kartika Diredja, “Yesus, Sang Orang Asing: Alternatif Kristologi Bagi Orang Indonesia-
Tionghoa-Kristen”, dalam Indonesian Journal of Theology 2/2 (Desember 2014), 126. Kristologi
ini adalah upaya Diredja untuk menguatkan iman orang Kristen Indonesia-Tionghoa yang
mengalami double minority, yakni sebagai orang Tionghoa yang merupakan minoritas di
Indonesia, dan juga sebagai orang Kristen di tengah mayoritas Islam di Indonesia.
31
Diredja, “Yesus”, 126.
32
Tupamahu, “Yesus”, 210.
Kristus adalah Allah yang menjadi menjadi manusia. Itulah sebabnya, Karl
“kalau dalam dunia sekuler seorang yang tidak sejak kecil dididik sebagai
orang Kristen, dan kemudian mendengar tentang iman Kristen, bahwa Yesus
adalah Allah yang telah menjadi manusia, maka ia akan menolak ajaran ini....
Adalah sebuah tugas utama Kristologi dewasa ini untuk merumuskan dogma
gereja, bahwa Allah telah menjadi manusia dan bahwa Allah yang menjelma
itu ialah Yesus Kristus.”33
sarx”), yang berarti (dari luar) menjadi daging atau keadaan kedagingan.34 Karena
itu, dapat dipahami bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah, yang dari luar, dari
atas, masuk ke dalam dunia manusia. Allah membungkuk begitu rendah sampai
menjadi salah satu makhluk merayap dan merangak, yang dalam bahasa Biblis-
manusia sama seperti manusia yang lain dalam segala hal, kecuali dosa. Allah
yang begitu tinggi, dan tak terbatas kuasa-Nya, bersedia memasuki dan menjadi
bagian dari dunia yang terbatas; Ia yang berasal dari surga, turun ke bumi
mengambil rupa manusia, yang dikenal dengan inkarnasi. Itu berarti, bahwa
Inkarnasi Allah pada saat yang sama menunjukkan suatu rahasia yang
33
Kirchberger, Allah Menggugat, 215-216.
34
Niftrik & Boland, Dogmatika Masa Kini, 226-7.
35
Lintje H. Pellu, “Yesus Kristus adalah Tuhan: Kristus Paradoks Filipi 2:1-11” dalam Yuda D.
Hawu Haba (ed), 70 Tahun GMIT: GMIT Berhikmat dan Berteologi (Kandil Semesta, 2017), 37.
Tidak seorang pun yang dapat mengetahui cara Allah menjadi manusia. Ia hanya
dapat menggambarkan dengan bahasa yang terbatas. Menurut Niftrik dan Boland,
rahasia inkarnasi: “Yesus Kristus adalah Firman Allah, yang dari luar, dari atas,
Kristus. Demikian ditegaskan bahwa “tanda yang menunjuk kepada rahasia ini, di
dalam Pengakuan Iman tertera bahwa Yesus Kristus ‘dikandung dari pada Roh
Maria bagi tugas yang dikaruniakan kepadanya, sebagaimana dikisahkan oleh Injil
Lukas: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan
menaungi engkau....” (Luk. 1:35).37 Hal ini menandaskan, bahwa Yesus Kristus
seperti halnya dialami oleh manusia yang lain (termasuk kita), melainkan
dilahirkan dari anak dara Maria. Karena itu, dapat dipahami bahwa kelahiran
Yesus Kristus adalah asing bagi manusia. Mengapa? Karena kelahiran Yesus
36
Niftrik & Boland, Dogmatika Masa Kini, 227
37
Hadiwijono, Iman Kristen, 329. Patut dicatat bahwa Alkitab tidak memberitahukan bahwa
Maria, ibu Yesus, tetap perawan. Namun, Alkitab mencatat bahwa Yesus memiliki saudara-
saudara kandung atau sedarah (lih. Mrk. 6:3 – kalimat dalam huruf miring ditambahkan oleh
Penulis). Kata Yunani untuk “saudara-saudara” yang digunakan dalam ayat ini adalah adelfoi.
Kata adelfoi tidak digunakan secara simbolik dalam teks ini. Karena itu, beberapa nama yang
disebutkan oleh Markus di atas merupakan saudara kandung Yesus (Parihala; 2017, 76; lih. pula
poin “Yesus Kristus, vere Deo et vere homo” pada Bab I, khusunya catatan kaki 27). Dengan
demikian, maka kita mesti menolak pemahaman bahwa Maria tetap perawan; dan hal itu tidak
mengurangi sama sekali ketidakberdosaan Yesus Kristus dan juga kemanusiaan-Nya. Malah
Alkitab mencatat bahwa Yesus Kristus mengambil seluruh tahapan kehidupan manusia, kecuali
dosa (Rm. 8:3).
Kelahiran Yesus dari anak dara adalah suatu kebenaran yang tidak
mungkin diselidiki oleh akal manusia. Ia hanya mungkin disujudi dan disembah.
Yang terang ialah bahwa kelahiran Kristus menunjuk pada kemakuasaan Tuhan
Allah, yang kuasa untuk memakai cara yang berbeda sama sekali dengan yang
biasa terjadi, jikalau ada manusia lain dilahirkan. Cara Tuhan Allah yang
demikian itu hanya dikenakan pada kelahiran Kristus saja, dan hal itu hanya dapat
Ia sejak permulaan bersama dengan Allah: Ia adalah yang sulung dari semua
sendiri adalah subjek yang bertindak yang melalui Roh Kudus mempersiapkan
sebuah tubuh bagi diri-Nya di dalam tubuh Maria.39 Hal senada oleh Hadiwijono,
bahwa Firman atau Logos telah ada sebelum Ia datang di dunia. Karena itu, ia
pada manusia yang lainnya. Ia, yang telah ada sebelum dilahirkan, hanya dapat
demikian, jelaslah bahwa keberbedaan kelahiran Yesus Kristus dan/ atau Yesus
Kristus yang lahir dari anak dara, memperlihatkan bahwa “Dia adalah orang
asing.”
38
Hadiwijono, Iman Kristen, 329
39
Herman Bavinck, Dogmatika Reformed, Jilid 3: Dosa dan Keselamatan di dalam Kristus
(Surabaya: Penerbit Momentum, 2016), 360.
40
Hadiwijono, Iman Kristen, 329
Namun, apakah karena kelahiran-Nya asing, Dia bukan lagi manusia
sejati? Tidak! sebab kita percaya bahwa di dalam Allah segala sesuatu menjadi
mungkin (bnd. Mrk. 10:27); Allah berkuasa menciptakan manusia Adam tanpa
laki-laki dan tanpa perempuan; Allah berkuasa menciptakan manusia Hawa hanya
demikian, Dia tetaplah manusia sejati! dan pada saat yang sama, Dia adalah orang
manusia yang lain, yakni “lahir dari anak dara”. Kelahiran Yesus adalah misteri
yang tak tersibak sepenuhnya oleh manusia, asing bagi manusia. Manusia tidak
dapat melakukan hal lain, kecuali tunduk, sembah dan tafakur terhadap misteri ini,
yang dalam teologi dikenal dengan doxologi, sebab teologi kita adalah sebuah
puja-puji kepada Allah. Karena itu, dengan tidak ragu-ragu kita mengikrarkan:
“Dan kepada Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita; yang dikandung
dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini” (Yoh.
8:23).42 Yesus adalah Ia yang datang dari atas, dari surga, dari Bapa, 43 sehingga
Yesus menjadi Orang Asing di dunia. Lebih lanjut, Tupamahu menegaskan bahwa
ungkapan Yesus, “Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa
41
Muriwali Matalu, Dogmatika Kristiani, Dari Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2017), 501
42
Tupamahu, “Yesus”, 210.
43
Diredja, “Yesus”, 126.
yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa
bumi. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya” (Yoh. 3:31),
tempat lain, sebuah gerakan dari surga ke bumi. Karena itu, Yesus adalah seorang
misalnya, Yesus sebagai roti dari surga; terang yang sesungguhnya yang datang
adalah pribadi yang berpindah dari surga ke dunia. Itulah mengapa Yesus disebut
sebagai seorang asing di dunia; dan hal ini terjadi justru karena cinta-Nya yang
dengan orang-orang sezaman-Nya. Hal ini ditandai dengan hidup-Nya yang selalu
merupakan misteri bagi mereka, termasuk para murid: “siapa gerangan orang ini?”
(Mark. 4:41; Luk. 8:25; 9:9). Pertanyaan ini secara implisit menunjukkan, bahwa
Yesus adalah orang asing bagi mereka. Yesus memang hidup bersama-sama
dengan mereka, namun mereka tidak mengenali-Nya. Dia menjadi orang asing
bagi mereka, “sebab, sekarang kita melihat dalam cermin yang buram” (1 Kor.
13:12).
Pada saat yang sama, di dalam status keasingan ini, Yesus menunjukkan
cinta-Nya terhadap orang asing yakni orang Samaria, yang tentu merupakan
44
Tupamahu, “Yesus”, 210.
45
Tupamahu, “Yesus”, 210-211.
sebuah tindakan yang asing bagi seorang Yahudi. Bagi orang Yahudi, kelompok
termasuk prototipe Yahudi, dan orang Samaria tidak termasuk dalam kelompok
tersebut. Orang Samaria bukanlah Yahudi, tetapi juga bukan non-Yahudi. Mereka
“Orang Samaria yang Baik Hati” (Luk. 10:30-36) merupakan contoh sikap belas
kasihan dan murah hati terhadap orang asing. Orang asing (Samaria) yang
dipandang rendah oleh orang Yahudi, justru menjadi pahlawan dalam perumpaan
Yesus. Orang Samaria yang dianggap asing dan sesat itulah yang menunjukkan
arti mengasihi sesama kepada semua orang. Dengan demikian, dapat dipahami
Sikap Yesus yang asing dapat pula dilihat dalam kisah perjumpaan-Nya
awalnya bersikap tidak rama dengan menekankan identitas Yesus sebagai seorang
Yahudi (Yoh. 4:9). Namun, setelah Yesus berdialog dengan orang asing itu dan
yang menghalangi dan memisahkan orang Yahudi dari orang asing (Samaria)
46
Diredja, “Yesus”, 128.
47
Diredja, “Yesus”, 129.
dengan menyatakan hospitalitas.48 Hal ini menunjukkan, bahwa Yesus tidak
mengasingkan orang lain (asing), tetapi kepada orang asing itulah hospitalitas
Yesus hanyalah semu dengan alasan bahwa Yesus Kristus bukan manusia
turun ke dalam kerajaan maut.” Di lain kata, melaui Pengakuan Iman ini
48
Alfons Jehadut, “Bersikap Ramah terhadap Tamu dan Orang Asing (3)”, dalam Unit Naskah
& Penerbitan Lembaga Biblika Indonesia. https://www.lbi.or.id/2017/10/13/bersikap-ramah-
terhadap-tamu-dan-orang-asing-3/
49
Niftrik & Boland, 252
adalah Dia yang benar-benar mati tersalib. Yang hendak ditegaskan di
sini adalah bahwa keasingan Yesus tampak pula dalam persitiwa salib.50
tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,
dicapai. Relasi Allah dan manusia yang rusak oleh dosa kembali
sejati (opus proprium) Allah pada salib, yang kelihatannya sebagai karya
50
Salib adalah alat untuk menghukum seseorang, yang terdiri dari dua potong kayu yang
disilangkan, yang satu lebih panjang dari yang lainnya. Yang panjang ditegakkan di tanah setelah
si terhukum dipakukan dan/ atau diikat di atas salib (Yewangoe; 2015, 206). Donald Kraybill,
dalam bukunya “Kerajaan Yang Sungsang” menegaskan bahwa salib adalah lambang Romawi,
tanda kasar kekuasaan negara untuk menghukum mati para penjahat (Kraybill; 2012, 249).
51
Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 208.
52
Yewangoe, Tidak ada Ghetto, 208.
manusia dapat melihat bahwa yang terjadi pada salib justru merupakan
salib adalah karya Allah yang asing, yang tidak terpahami dan tersibak
manusia yang terasing dari-Nya tanpa syarat dan tanpa batas di dalam
peristiwa salib.
manusia yang tidak menerima pelayanan Yesus yang asing, yang tampak
Allah yang diwartakan Yesus adalah Allah yang ramah terhadap orang
53
Yewangoe, Tidak ada Ghetto, 208-209.
54
Bnd. Irene Hoft, Anda Merasa Ditolak? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 63.
55
Bnd. Donald B. Kraybill, Kerajaan Yang Sungsang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 250.
56
Kirchberger, Allah Menggugat, 234.
57
Yohanes Parihala, Allah Yang Turut Tersalib (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017), 111.
asing, sementara orang Yahudi meyakini bahwa orang asing berada di
luar kasih dan kerahiman Allah. Dari segi politis, kematian Yesus
kepentingan mereka (bnd. Mat. 17:25-26).58 Hal ini dipertegas lagi dalam
manunsia yang diasingkan, yang juga haus dan lapar, mengahadap sang
sesamanya.59
58
Kirchberger, Allah Menggugat, 234.
59
Joas Adiprasetya, Tujuh Dosa yang Mematikan – Seven Deadly Sins, http://gkipi.org/tujuh-
dosa-yang-mematikan-seven-deadly-sins/
60
Parihala, Allah, 109.
secara harfiah. Sebab kalau demikian, maka dapat dikatakan bahwa Allah
adalah Allah yang apatis. Dalam hal ini, Parihala mengatakan bahwa
bersama Sang Anak. Itulah sebabnya, terjadi kegelapan selama tiga jam
oleh doktrin Yudaisme di dalam tempat yang maha kudus itu telah
61
Parihala, Allah, 109.
62
Bnd. Drewes & Mojau, Apa itu Teologi?, 67.
63
Parihala, Allah, 146.
64
Parihala, Allah, 108.
Hal senada dikemukakan oleh Moltmann, yang juga dikutip oleh
terdiam karena Allah turut menderita bersama dengan Yesus, yang juga
ketidakadilan. Allah ada di dalam salib Yesus, dan merengkuh salib itu
penderitaan itu ke dalam tanda kasih Allah yang turut menderita. 65 Itulah
bahwa hati Allah terarah orang asing. Allah menyatakan hospitalitas dan
Kristus, Sang Orang Asing. Pada saat yang sama, di dalam peristiwa
65
Parihala, Allah, 111.
2.3.2. ORANG ASING DALAM PERJALANAN
yang tersalib itu telah bangkit! Oleh karena itu, mereka tidak ragu-ragu
hari ketiga, ‘bangkit pula dari antara orang mati’; naik ke surga, duduk
Flp. 2:9).
66
Lan, “Allah Trinitaris”, 231.
67
Hal ini tidak berarti, bahwa Yesus Kristus sebelum kebangkitan, tidak hadir secara universal,
tetapi sungguh dimungkinkan karena kahadiran Roh Kudus yang bekerja dengan ekonomi
keselamatan yang menghadirkan partikularitas Yesus dari Nazaret ke beragam konteks universal
(lih. Adiprasetya, 2014, 263).
dikenal, tetapi juga sebagai orang asing yang tak dikenal. Kisah Emaus,
yang merupakan salah satu bukti bahwa Kristus telah bangkit, menurut
Sebagai orang asing, Yesus bertanya kepada mereka (Luk. 24:17, 19),
kisah mereka (Luk. 24:26-27). Setelah itu Ia menemani mereka dan tidak
sebagai tamu mereka (Luk. 24:28-29). Pada saat itulah Orang Asing ini
berubah menjadi tamu, tetapi juga sekaligus sebagai tuan rumah yang
memecahkan roti dan mengucapkan berkat bagi kedua murid itu (Luk.
24:30).69
68
Dikutip oleh Kartika Diredja, “Yesus, Sang Orang Asing: Alternatif Kristologi Bagi Orang
Indonesia-Tionghoa-Kristen”, dalam Indonesian Journal of Theology 2/2 (Desember 2014).
69
Diredja, “Yesus”, 130-131.
di Israel, sehingga kedua murid itu tanpa takut menerima Orang Asing
itu. Tanpa diduga, Injil Lukas mencatat: “terbukalah mata mereka dan
dan kreatif. Itulah sebabnya kedua murid itu pergi ke Yerusalem dan
2.4. KESIMPULAN
Pertama, orang asing tidak hanya menunjuk pada orang lain (the other),
melainkan juga ada di dalam diri sendiri, dan menunjuk pada mereka yang
diasingkan dalam masyarakat. Hal ini bukanlah sebuah batu sandungan, tetapi
justru mau mengakui keunikan setiap pribadi, dan juga mengikuti undangan Allah
untuk mencintai orang asing (Mat. 25:43) yang kerap disebut hospitalitas.
70
Joas Adiprasetya, Hospitalitas: Wajah Sosial Gereja Masa Kini. http://gkipi.org/hospitalitas-
wajah-sosial-gerejamasa-kini/
Kedua, memandang Allah sebagai Dia Yang Sepenuhnya Asing selaras
dengan tradisi mistis dalam kekristenan. Pemahaman ini ingin menghargai Allah
yang melampaui setiap konsepsi manusia. Oleh sebab itu, manusia mesti
Ketiga, Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Pengakuan
bahwa Yesus adalah Allah, sebagaimana dalam Injil Yohanes dan kepala pasukan
betapa asingnya Dia bagi manusia. Keasingan Yesus itu tampak pula dalam
kelahiran-Nya dari anak dara sebagaimana tertera dalam Pengakuan Iman; dan
juga melalui hidup dan pelayanan-Nya yang unik dan penuh misteri. Kemudian
peristiwa salib memperlihatkan bahwa Yesus bukan hanya orang asing, tetapi juga
Orang Asing yang diasingkan dalam masyarakat akibat kebengisan hati manusia
yang berpuncak pada salib. Keasingan Yesus tampak pula dalam peristiwa
Lebih dari pada itu, Yesus dalam status keasingan-Nya, Ia tidak pernah
orang-orang asing, bahkan melalui peristiwa salib, kita dapat melihat bahwa Allah
turut menderita bersama-sama dengan mereka. Hospitalitas ini menyata pula pada
peristiwa kebangkitan, sebagaimana dalam kisah Emaus. Yesus tampil sebagai
orang asing dan menyatakan hospitalitas bagi mereka, yang berpuncak pada
untuk hidup bersama dalam berbagai dimesi kehidupan, termasuk isu kemiskinan.
Itulah sebabnya, gereja yang adalah tubuh Kristus dipanggil untuk menyatakan
Karena itu, hospitalitas mesti menjadi gaya hidup menggereja masa kini, sebagai