Anda di halaman 1dari 26

BAB II

YESUS KRISTUS, SANG ORANG ASING

Kristologi yang dikembangkan oleh umat Kristiani ditentukan oleh

kebudayaan dan tradisi religius tersendiri1 dan/ atau didorong oleh situasi tertentu

yang dihadapi dalam mengartikan, memahami, memaknai Yesus dalam dinamika

konteksnya.2 Hal ini telah dijelaskan dalam bab I, bahwa Kitab Suci mewartakan

Yesus Kristus sebagaimana dimaknai dalam berbagai gelar oleh umat Kristen

mula-mula dalam konteks tertentu. Hal yang sama dilakukan oleh orang Kristen

modern terhadap Yesus Kristus.

Gelar-gelar itu saling melengkapi. Tidak menjadi sebuah persoalan kalau

interpretasi yang bermacam-macam tidak dapat diperdamaikan satu sama lain.

Yang mempersatukan semua gelar-gelar itu bukanlah logika atau sistematika,

melainkan Yesus Kristus yang melampaui semua interpretasi manusiawi.3 Hal itu

berarti bahwa kemajemukan gelar bukanlah sebuah batu sandungan. Justru karena

Dia melampaui semua skema interpretasi yang sudah dikenal, sehingga orang

tidak mengungkapkan-Nya dalam suatu rumusan final.4 Dengan demikian, dapat

dipahami bahwa kristologi masih akan terus berlanjut selama manusia masih ada.

Bagaimana memahami Yesus Kristus sebagai Orang Asing? Pertanyaan

inilah yang melatari ziarah berpikir Penulis dalam kajian di Bab ini. Oleh karena

itu, pertama-tama, akan diuraikan pengertian tentang orang asing; kedua, Allah

1
Yewangoe, “Menurut Kamu Siapakah Aku ini?”, 280.
2
Cletus Groenen, “Kristologi dan Allah Tritunggal I”, 20.
3
Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, 292-293.
4
Boff, Yesus Kristus Pembebas,143.
Yang Asing; ketiga, Yesus Kristus Orang Asing Par Excellence – Ada pula dua

sub poin yang dibahas di sini, antara lain: Yesus sebagai Orang Asing Yang

Diasingkan, dan Yesus sebagai Orang Asing Dalam Perjalanan; dan keempat,

kesimpulan.

2.1. PENGERTIAN ORANG ASING

Kata “asing” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memperoleh banyak

pengertian, antara lain: aneh atau tidak biasa; belum biasa atau kaku; datang dari

luar (misalnya: negeri, daerah, lingkungan); tersendiri; terpisah sendiri; terpencil;

lain; berlainan; berbeda; tidak sesuai dengan yang diharapkan.5

The American Heritage Dictionry (1979), yang dikutip oleh Hersberger,

mendefinisikan orang asing (stranger) sebagai “seseorang yang bukan teman atau

kenalan.”6 Hersberger sendiri memahami, bahwa orang asing bukan hanya sosok

pribadi yang belum pernah bertemu sebelumnya, melainkan juga sosok pribadi

yang diketahui, tetapi dianggap sebagai orang luar. Anggota keluarga atau sahabat

orang-orang Kristen dalam jemaat setempat pun dapat menjadi orang asing bagi

kita.7

Hershberger kemudian menegaskan, bahwa orang asing pun menunjuk

pada mereka yang “diasingkan” dalam masyarakat (lih. Mat. 25:43). Demikian

ditegaskan, bahwa meskipun orang asing dicantumkan secara khusus, namun

setiap orang yang lapar, haus, sakit, telanjang, atau dalam penjara menjadi orang

5
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (KBBI Offline 1.5.1.).
6
Hersberger, Hospitalitas, 11. Kata asli dalam American Heritage Dictionry adalah “one who is
neither a frien nor an acquaintance.” https://ahdictionary.com/word/search.html?q=stranger%27s
7
Hershberger, Hospitalitas, 11.
asing dalam masyarakat.8 Mengapa? Karena mereka diasingkan dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa orang lain (the others atau

liyan) adalah asing bagi diri kita, sebaliknya, diri kita asing bagi orang lain.

Memandang orang lain sebagai orang asing itu berbeda dengan

mengasingkan orang lain. Memandang orang lain sebagai orang asing, ingin

mengundang seorang mengakui keunikan dari setiap pribadi yang memiliki ciri

tak terduga dan tak terkatakan dan tak dapat disentuh oleh orang lain, namun

sekaligus indah.9 Kita diundang untuk memberi tumpangan bagi mereka, yang

dalam khazanah teologi Kristen disebut sebagai ‘hospitalitas’ (bnd. Mat. 25:43);10

sebaliknya, mengasingkan orang lain justru merupakan penolakan terhadap

keunikan dan ketaktergantian setiap pribadi dan juga panggilan Allah untuk

“memberi tumpangan” kepada orang lain (baca: asing) yang ada di sekitar kita.

Selain itu, Joas Adiprasetya menegaskan, bahwa seorang yang beriman

lain dapat dilihat sebagai orang asing bagi kita, sebagaimana kita pun asing bagi

mereka. Adiprasetya bahkan menegaskan, bahwa di dalam diri masing-masing

pun ada “orang asing.” Ada sudut-sudut gelap dalam diri sendiri yang tidak kita

kenali sepenuhnya, asing bagi kita. Ia menegaskan, bahwa manusia tidak pernah

memiliki sebuah identitas yang tunggal dan tuntas. Ia ternyata harus bergumul

dengan identitas yang majemuk dan dinamis.11 Oleh karena itu, dapat dipahami

8
Hershberger, Hospitalitas, 86.
9
Adiprasetya, “Dialog”, 138.
10
Terjemahan langsung dari kata Yunani untuk hospitalitas adalah philoxenia, yang merupakan
gabungan dari dua kata Yunani lain, yaitu philia, yang berari kasih persaudaraan dan xenos yang
berarti orang asing (lih. Adiprasetya, 2014, 135). Jadi, dapat disimpulkan bahwa hospitalitas
berarti “mencintai orang asing” atau “memberi tumpangan kepada orang asing”. Phillips
sebagaimana dikutip oleh Pakpahan mengatakan, bahwa stranger love, adalah cinta yang diberikan
bagi dan untuk orang asing (Pakpahan, 2015, 129).
11
Adiprasetya, “Dialog”, 138-9.
bahwa kehadiran orang lain di hadapan kita ingin menolong kita mengenali orang

asing dalam diri sendiri.

2.2. ALLAH YANG ASING

Imajinasi imani dan teologis untuk memandang Allah sebagai “Ia Yang

Sepenuhnya Asing” bukanlah sesuatu yang baru sama sekali, melainkan selaras

dengan tradisi mistis (teologi negatif atau apofatik) di dalam kekristenan. 12 Tradisi

ini ingin menghargai Yang Ilahi sebagai yang senantiasa melampaui apa pun yang

mampu manusia bayangkan dan pahami, termasuk dengan mengabaikan

keyakinan-keyakinan dan pemahaman yang dimiliki sebelumnya tentang Yang

Ilahi.13 Allah itu Mahalain,14 Dia selalu melebih apa yang kita tahu.15 Dengan

demikian, mengakui Allah sebagai Dia Yang Sepenuhnya Asing adalah sebuah

penegasan bahwa Allah tidak akan pernah bisa diketahui (unknowable) dan juga

tidak akan pernah bisa dimengerti (incomprehensible) oleh ciptaan yang terbatas

pada dirinya.

Allah sebagai Ia Yang Sepenuhnya Asing atau tak dikenal (unknown),

bukan karena Allah memiliki kekurangan, namun justru karena kepenuhan

(fullness) atau kelebihan-Nya (excess) yang melampaui segala konseptualitas dan

prediksi yang dapat dibuat manusia.16 Memang, orang dapat berbicara tentang-

Nya dengan gambaran-gambaran yang dikenal dari dunia sehari-hari. Namun,

12
Adiprasetya, “Dialog”, 139.
13
Adiprasetya, “Dialog”, 139.
14
Nico Syukur, Teologi Trinitas Dalam Konteks Mistagogi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016),
54-55.
15
Paul Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), 65.
16
Haryo Tejo Bawono, Teologi Absensia: Sebuah Tawaran, dalam Melintas (23.3.2008), 440.
gambaran itu terbatas pada dirinya, sehingga tidak cukup menggambarkan Allah

yang melampaui segala konsepsi manusia.

Manusia tidak dapat mengetahui siapa Dia. Allah adalah sosok pribadi

yang tidak kita ketahui.17 Betapa tinggi, betapa lebar, dan betapa dalamnya misteri

itu. Leonardo Boff mengatakan, bahwa manusia hanya dapat tunduk dan sembah

dalam tafakur dan diam hening di depan misteri ini.18 Karena itu, manusia mesti

dengan rendah hati menerima keterbatasan bahasa atau gambaran mengenai Allah.

Misteri Trinitas tetaplah diimani sejauh Allah menyatakannya kepada kita di

dalam Yesus Kristus (revelatio verbum incarnatio).

Lebih dari pada itu, Edward Schillebeeckx, yang dikutip oleh

Kirchberger, mengutip dalam hal ini suatu aksioma Thomas Aquinas, bahwa

“manusia tidak bisa mengenal atau menangkap hakikat Allah, namun manusia

dapat mengetahui sesuatu tentang Allah melalui ciptaan yang merupakan

manifestasi diri Allah. Allah hanya bisa dikenal secara tidak langsung melalui

ciptaan.”19 Jadi, Allah Yang Sepenuhnya Asing ini hadir secara anonim di dalam

ciptaan. Karena itu manusia diundang untuk berjumpa dengan Dia di dalam

sesama (ciptaan).

Pada sisi yang lain, Anton Wessels menjelaskan dengan sangat apik

dalam karyanya: A Stranger is Calling, bahwa Allah Yang Asing ini adalah Allah

yang menyapa dan ramah terhadap orang-orang asing. Hal ini berakar pada tradisi

17
William Johnson, Teologi Mistik, Ilmu Cinta (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), 54.
18
Leonardo Boff, Allah Persekutuan, Ajaran Tentang Tritunggal (Maumere: Penerbit Ledalero,
2004), 93.
19
Georg Kirchberber, Memahami Iman Dalam Dunia Sekuler: Teologi Edward Schillebeeckx
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), 27.
Yahudi. Demikian Wessels menegaskan, bahwa dalam pertemuan-Nya dengan

Musa melalui nyala api semak belukar terlihat Allah adalah Allah yang menyapa

yang dihubungkan dengan pembebasan orang Israel di Mesir.20

Hal itu, kata Wessels, pada kemudian hari dalam perayaan hari

pembebasan orang Israel diingatkan bahwa mereka dahulu adalah orang asing

sehingga mereka menuturkannya dalam liturgi “Ayahku dahulu orang asing” (Ul.

26:5).21 Dengan itu, mereka diundang untuk mengingat bagaimana Allah

melimpahkan hospitalitas dan memelihara mereka sebagai orang-orang asing dan

pendatang. Ingatan ini kemudian membawa umat Israel sebagai umat Allah dalam

praktik solidaritas bersama mereka yang diasingkan.

Pengakuan dalam liturgi tersebut adalah sebuah afirmasi, bahwa

sebenarnya tidak ada orang asli tetapi semua merupakan orang asing. Israel dalam

sejarah leluhurnya, yaitu Abraham, Ishak dan Yakub, mereka tidak terlepas dari

pertemuan mereka dengan Allah yang asing dan pengalaman hidup mereka

sebagai orang asing. Puncaknya nampak dalam pertemuan Yakub dengan Allah

sebagai orang asing pada malam hari di sungai Yabok. Yakub yang kemudian

menjadi orang asing karena Esau, ia harus berlari dari rumah pada malam hari dan

kehadiran Allah baginya menegaskan pengakuan terhadap Allah yang ramah dan

menyatakan diri bagi orang asing.22

Hal yang sama ditemukan dalam pengalaman Elia yang terasing di

padang Horeb dengan Allah. Di Horeb, Allah menyatakan diri untuk terus

20
Anton Wessels, A Stranger Is Calling: Jews, Christians, And Muslims As Fellow Travellers
(Wipf & Stoch, 2017), 23.
21
Wessels, A Stranger Is Calling, 23.
22
Wessels, A Stranger Is Calling, 28.
bersama Elia. Elia terasing waktu itu, karena tidak ada orang lain yang memilih

untuk memiliki iman yang sama sebagaimana dirinya. Elia seorang diri dan benar-

benar sebagai orang asing dalam keadaan itu.23

Demikianlah Wessels menegaskan bahwa Allah Yang Asing adalah Allah

yang ramah bagi orang asing dan pejalan (orang yang sedang melakukan

perjalan). Allah selalu hadir sebagai terang dan sahabat bagi mereka. John

Switson bahkan mengatakan, bahwa “Allah berada di mana pun orang asing

berada.”24 Oleh karena itu, hospitalitas merupakan tindakan penting dari Allah

yang kemudian menjadi dasar perilaku orang Israel terhadap sesama.

Selain itu, Hersberger mengemukakan, bahwa sejarah umat Israel

dipenuhi dengan orang asing.25 Mereka pernah menjadi budak di Mesir. Sebagai

orang-orang asing, mereka disiksa dan dipaksa kerja keras oleh para majikan yang

bengis. Mereka adalah orang asing di negeri yang asing. Di tengah situasi yang

tampaknya tiada harapan itu, Allah mendengar jerit tangis mereka yang ingin

dibebaskan. Allah berkarya dan membebaskan orang-orang asing dan Allah pun

menyelamatkan mereka.26 Karena itu, umat Allah di mana pun mereka berada

bersedia menerima dan menyambut orang-orang asing.

Dalam kitab Imamat misalnya, diperintahkan agar orang asing

diperlakukan sama seperti orang Israel dan dikasihi sama seperti diri sendiri:

“Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli

dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing

23
Wessels, A Stranger Is Calling, 29.
24
Swinton, Dimensia, 351.
25
Hersberger, Hospitalitas, 219-220.
26
Hersberger, Hospitalitas, 252.
dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu” (Im. 19:34). Orang Israel pun

diingatkan agar tidak memperkosa hal orang miskin karena mereka juga pernah

menjadi budak dan orang asing di tanah Mesir (Ul. 24:18; Im. 19:34).27

Jadi, penyataan hospitalitas merupakan “perintah” dari Allah bagi

seluruh umat Israel. Allah senantiasa mengundang mereka untuk bersahabat

dengan orang asing dan/ atau mereka yang diasingkan (lih. Ul. 10:19). Allah

mengingatkan umat-Nya untuk menaruh empati dan kepedulian kepada orang

asing, karena mereka pun dahulu adalah orang asing. Hal senada dikemukakan

dalam Mazmur bahwa sikap hospitalitas umat Allah kepada orang asing adalah

sikap meneladani Allah sendiri (Mzm. 146:9). Lebih dari pada itu, identitas Israel

sebagai orang asing tetap melekat dalam diri mereka. Mereka meyakini bahwa

tanah Kanaan yang ditempati adalah milik Allah. Mereka hanyalah orang asing

yang menumpang di tanah milik Allah.28

2.3. YESUS KRISTUS, ORANG ASING PAR EXCELLENCE

Berdasarkan kesaksian Alkitab, gereja dalam kuasa Roh Kudus

mengakui, bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Gereja

menentang keras ajaran sesat yang hanya meletakkan penekanannya pada segi

kemanusiaan Yesus Kristus dan mengabaikan keallahan-Nya; dan juga

27
Alfons Jehadut, “Bersikap Ramah terhadap Tamu dan Orang Asing (5)”, dalam Unit Naskah &
Penerbitan Lembaga Biblika Indonesia. https://www.lbi.or.id/2017/10/18/bersikap-ramah-
terhadap-tamu-dan-orang-asing-5/
28
Sally Naomi Neparassi, “Hospitalitas Kekristenan Awal” dalam Kala dan Kalam (Maret 2018).
https://m.youtube.com/watch?v=2WaFWdVdVO4oU. Diakses April 2018.
sebaliknya, hanya menekankan keallahan Yesus Kristus dan mengabaikan

kemanusiaan-Nya. Jadi, Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati.29

Natur keallahan Yesus Kristus merupakan kristologi yang sangat

ditekankan oleh Injil Yohanes.30 Hal ini dapat dilihat dalam madah indah

pembukaan Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-

sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1). Dia sejak semula

bersama-sama dengan Allah dan Allah adanya. Dengan demikian, pengakuan

umat Kristiani bahwa Yesus Kristus adalah Allah menunjukkan Dia Sepenunya

Asing bagi manusia.

Hal senada ditegaskan oleh Kartika Diredja dalam Indonesian Journal of

Theology, bahwa pengakuan dalam Injil Yohanes pada khususnya, dan pengakuan

umat Kristiani pada umumnya, bahwa Yesus Kristus adalah Allah sebenarnya

merupakan suatu pengakuan bahwa Yesus adalah asing bagi manusia. Seorang

yang berbeda dengan manusia.31

Injil Yohanes pada saat yang sama menegaskan sebuah pergerakan

kosmis dari keadaan keallahan (divine state) ke keadaan kemanusiaan (human

state).32 Yesus, sang Logos, yang pada mulanya bersama Allah dan Allah adanya,

menjadi daging dan diam di antara umat-Nya (Yoh. 1:14; Flp. 2:6-7). Jadi, Yesus

29
Hadiwijono, Iman Kristen, 309-318; dan Bab I poin 1.2.
30
Kartika Diredja, “Yesus, Sang Orang Asing: Alternatif Kristologi Bagi Orang Indonesia-
Tionghoa-Kristen”, dalam Indonesian Journal of Theology 2/2 (Desember 2014), 126. Kristologi
ini adalah upaya Diredja untuk menguatkan iman orang Kristen Indonesia-Tionghoa yang
mengalami double minority, yakni sebagai orang Tionghoa yang merupakan minoritas di
Indonesia, dan juga sebagai orang Kristen di tengah mayoritas Islam di Indonesia.
31
Diredja, “Yesus”, 126.
32
Tupamahu, “Yesus”, 210.
Kristus adalah Allah yang menjadi menjadi manusia. Itulah sebabnya, Karl

Rahner, yang dikutip oleh Kirchberger, mengatakan bahwa:

“kalau dalam dunia sekuler seorang yang tidak sejak kecil dididik sebagai
orang Kristen, dan kemudian mendengar tentang iman Kristen, bahwa Yesus
adalah Allah yang telah menjadi manusia, maka ia akan menolak ajaran ini....
Adalah sebuah tugas utama Kristologi dewasa ini untuk merumuskan dogma
gereja, bahwa Allah telah menjadi manusia dan bahwa Allah yang menjelma
itu ialah Yesus Kristus.”33

Pengejewantahan Firman menjadi daging dikenal dengan istilah

inkarnasi dalam ajaran Kristiani. Inkarnasi dalam bahasa Latin disebut

“incarnatio” (in artinya: masuk ke dalam; “caro/carnis artinya: daging, Yunani:

sarx”), yang berarti (dari luar) menjadi daging atau keadaan kedagingan.34 Karena

itu, dapat dipahami bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah, yang dari luar, dari

atas, masuk ke dalam dunia manusia. Allah membungkuk begitu rendah sampai

menjadi salah satu makhluk merayap dan merangak, yang dalam bahasa Biblis-

teologi disebut kenosis;35 Ia mengosongkan diri-Nya sedemikian rupa menjadi

manusia sama seperti manusia yang lain dalam segala hal, kecuali dosa. Allah

yang begitu tinggi, dan tak terbatas kuasa-Nya, bersedia memasuki dan menjadi

bagian dari dunia yang terbatas; Ia yang berasal dari surga, turun ke bumi

mengambil rupa manusia, yang dikenal dengan inkarnasi. Itu berarti, bahwa

inkarnasi Allah menunjukkan bahwa Allah mengambil rupa “asing”, yaitu

manusia, sebab manusia adalah pribadi yang lain dari Allah.

Inkarnasi Allah pada saat yang sama menunjukkan suatu rahasia yang

melampui akal manusia. Ia tak terpahami. Bagaimana Allah menjadi manusia?

33
Kirchberger, Allah Menggugat, 215-216.
34
Niftrik & Boland, Dogmatika Masa Kini, 226-7.
35
Lintje H. Pellu, “Yesus Kristus adalah Tuhan: Kristus Paradoks Filipi 2:1-11” dalam Yuda D.
Hawu Haba (ed), 70 Tahun GMIT: GMIT Berhikmat dan Berteologi (Kandil Semesta, 2017), 37.
Tidak seorang pun yang dapat mengetahui cara Allah menjadi manusia. Ia hanya

dapat menggambarkan dengan bahasa yang terbatas. Menurut Niftrik dan Boland,

rahasia inkarnasi: “Yesus Kristus adalah Firman Allah, yang dari luar, dari atas,

masuk ke dalam dunia manusia,” dapat ditemukan di sekitar kelahiran Yesus

Kristus. Demikian ditegaskan bahwa “tanda yang menunjuk kepada rahasia ini, di

dalam Pengakuan Iman tertera bahwa Yesus Kristus ‘dikandung dari pada Roh

Kudus, lahir dari anak dara Maria.’”36

Alkitab tidak berbicara banyak tentang hal tersebut. Namun, kita

memperoleh petunjuk bahwa Roh Kudus yang memberkati dan mempersiapkan

Maria bagi tugas yang dikaruniakan kepadanya, sebagaimana dikisahkan oleh Injil

Lukas: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan

menaungi engkau....” (Luk. 1:35).37 Hal ini menandaskan, bahwa Yesus Kristus

bukanlah hasil persetubuhan biologis antara seorang perempuan dengan laki-laki

seperti halnya dialami oleh manusia yang lain (termasuk kita), melainkan

dilahirkan dari anak dara Maria. Karena itu, dapat dipahami bahwa kelahiran

Yesus Kristus adalah asing bagi manusia. Mengapa? Karena kelahiran Yesus

Kristus berbeda sama sekali dengan kelahiran manusia yang lain.

36
Niftrik & Boland, Dogmatika Masa Kini, 227
37
Hadiwijono, Iman Kristen, 329. Patut dicatat bahwa Alkitab tidak memberitahukan bahwa
Maria, ibu Yesus, tetap perawan. Namun, Alkitab mencatat bahwa Yesus memiliki saudara-
saudara kandung atau sedarah (lih. Mrk. 6:3 – kalimat dalam huruf miring ditambahkan oleh
Penulis). Kata Yunani untuk “saudara-saudara” yang digunakan dalam ayat ini adalah adelfoi.
Kata adelfoi tidak digunakan secara simbolik dalam teks ini. Karena itu, beberapa nama yang
disebutkan oleh Markus di atas merupakan saudara kandung Yesus (Parihala; 2017, 76; lih. pula
poin “Yesus Kristus, vere Deo et vere homo” pada Bab I, khusunya catatan kaki 27). Dengan
demikian, maka kita mesti menolak pemahaman bahwa Maria tetap perawan; dan hal itu tidak
mengurangi sama sekali ketidakberdosaan Yesus Kristus dan juga kemanusiaan-Nya. Malah
Alkitab mencatat bahwa Yesus Kristus mengambil seluruh tahapan kehidupan manusia, kecuali
dosa (Rm. 8:3).
Kelahiran Yesus dari anak dara adalah suatu kebenaran yang tidak

mungkin diselidiki oleh akal manusia. Ia hanya mungkin disujudi dan disembah.

Yang terang ialah bahwa kelahiran Kristus menunjuk pada kemakuasaan Tuhan

Allah, yang kuasa untuk memakai cara yang berbeda sama sekali dengan yang

biasa terjadi, jikalau ada manusia lain dilahirkan. Cara Tuhan Allah yang

demikian itu hanya dikenakan pada kelahiran Kristus saja, dan hal itu hanya dapat

dimengerti dari penyataan Tuhan Allah sendiri.38

Bavinck mengatakan bahwa Kristus adalah Anak Allah sejak kekekalan.

Ia sejak permulaan bersama dengan Allah: Ia adalah yang sulung dari semua

ciptaan. Ia tidak mungkin diprokreasi dan dilahirkan oleh kehendak manusia. Ia

sendiri adalah subjek yang bertindak yang melalui Roh Kudus mempersiapkan

sebuah tubuh bagi diri-Nya di dalam tubuh Maria.39 Hal senada oleh Hadiwijono,

bahwa Firman atau Logos telah ada sebelum Ia datang di dunia. Karena itu, ia

mengatakan bahwa manusia Yesus Kristus bukan dilahirkan karena kehendak

manusia, bukan dilahirkan karena persekutuan laki-laki dan perempuan, seperti

pada manusia yang lainnya. Ia, yang telah ada sebelum dilahirkan, hanya dapat

menjadi manusia dengan kelahiran daripada seorang anak dara. 40 Dengan

demikian, jelaslah bahwa keberbedaan kelahiran Yesus Kristus dan/ atau Yesus

Kristus yang lahir dari anak dara, memperlihatkan bahwa “Dia adalah orang

asing.”

38
Hadiwijono, Iman Kristen, 329
39
Herman Bavinck, Dogmatika Reformed, Jilid 3: Dosa dan Keselamatan di dalam Kristus
(Surabaya: Penerbit Momentum, 2016), 360.
40
Hadiwijono, Iman Kristen, 329
Namun, apakah karena kelahiran-Nya asing, Dia bukan lagi manusia

sejati? Tidak! sebab kita percaya bahwa di dalam Allah segala sesuatu menjadi

mungkin (bnd. Mrk. 10:27); Allah berkuasa menciptakan manusia Adam tanpa

laki-laki dan tanpa perempuan; Allah berkuasa menciptakan manusia Hawa hanya

dengan manusia laki-laki (Adam); Allah berkuasa menciptakan manusia pada

umumnya (termasuk kita) dengan menggunakan laki-laki dan perempuan.41

Bahwa Allah berkuasa menciptakan manusia dengan berbagai cara. Dengan

demikian, Dia tetaplah manusia sejati! dan pada saat yang sama, Dia adalah orang

asing, dan hal tersebut tampak melalui keberbedaan kelahiran-Nya dengan

manusia yang lain, yakni “lahir dari anak dara”. Kelahiran Yesus adalah misteri

yang tak tersibak sepenuhnya oleh manusia, asing bagi manusia. Manusia tidak

dapat melakukan hal lain, kecuali tunduk, sembah dan tafakur terhadap misteri ini,

yang dalam teologi dikenal dengan doxologi, sebab teologi kita adalah sebuah

puja-puji kepada Allah. Karena itu, dengan tidak ragu-ragu kita mengikrarkan:

“Dan kepada Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita; yang dikandung

dari Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria.”

Pada sisi yang lain, Ekaputera Tupamahu menegaskan, bahwa

keterasingan Yesus diekspresikan pula dalam pernyataan-Nya: “Kamu berasal

dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini” (Yoh.

8:23).42 Yesus adalah Ia yang datang dari atas, dari surga, dari Bapa, 43 sehingga

Yesus menjadi Orang Asing di dunia. Lebih lanjut, Tupamahu menegaskan bahwa

ungkapan Yesus, “Siapa yang datang dari atas adalah di atas semuanya; siapa

41
Muriwali Matalu, Dogmatika Kristiani, Dari Perspektif Reformed, (Malang: GKKR, 2017), 501
42
Tupamahu, “Yesus”, 210.
43
Diredja, “Yesus”, 126.
yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa

bumi. Siapa yang datang dari sorga adalah di atas semuanya” (Yoh. 3:31),

mengindikasikan sebuah proses pergerakan (movement) dari suatu tempat ke

tempat lain, sebuah gerakan dari surga ke bumi. Karena itu, Yesus adalah seorang

pendatang dari surga dan menjadi asing di bumi.44

Tupamahu kemudian memperkuat pemahaman ini dengan ayat-ayat lain

misalnya, Yesus sebagai roti dari surga; terang yang sesungguhnya yang datang

dari surga. Demikianlah, melalui gambaran-gambaran pergerakan spasial ini,

Tupamahu menunjukkan, bahwa “Yesus adalah perantau dari surga.”45 Yesus

adalah pribadi yang berpindah dari surga ke dunia. Itulah mengapa Yesus disebut

sebagai seorang asing di dunia; dan hal ini terjadi justru karena cinta-Nya yang

begitu besar (lih. Yoh. 3:16).

Selanjutnya, keasingan Yesus dapat pula dilihat melalui relasi Yesus

dengan orang-orang sezaman-Nya. Hal ini ditandai dengan hidup-Nya yang selalu

merupakan misteri bagi mereka, termasuk para murid: “siapa gerangan orang ini?”

(Mark. 4:41; Luk. 8:25; 9:9). Pertanyaan ini secara implisit menunjukkan, bahwa

Yesus adalah orang asing bagi mereka. Yesus memang hidup bersama-sama

dengan mereka, namun mereka tidak mengenali-Nya. Dia menjadi orang asing

bagi mereka, “sebab, sekarang kita melihat dalam cermin yang buram” (1 Kor.

13:12).

Pada saat yang sama, di dalam status keasingan ini, Yesus menunjukkan

cinta-Nya terhadap orang asing yakni orang Samaria, yang tentu merupakan

44
Tupamahu, “Yesus”, 210.
45
Tupamahu, “Yesus”, 210-211.
sebuah tindakan yang asing bagi seorang Yahudi. Bagi orang Yahudi, kelompok

yang layak disebut sebagai anak-anak Abraham hanyalah kelompok yang

termasuk prototipe Yahudi, dan orang Samaria tidak termasuk dalam kelompok

tersebut. Orang Samaria bukanlah Yahudi, tetapi juga bukan non-Yahudi. Mereka

diasingkan oleh orang Yahudi.46 Orang Yahudi bahkan menganggap orang-orang

asing sebagai yang di luar karya penyelamatan Allah. Namun, Yesus

menunjukkan hospitalitas kepada orang asing itu.

Sikap Yesus terhadap orang Samaria begitu revolusioner. Perumpamaan

“Orang Samaria yang Baik Hati” (Luk. 10:30-36) merupakan contoh sikap belas

kasihan dan murah hati terhadap orang asing. Orang asing (Samaria) yang

dipandang rendah oleh orang Yahudi, justru menjadi pahlawan dalam perumpaan

Yesus. Orang Samaria yang dianggap asing dan sesat itulah yang menunjukkan

arti mengasihi sesama kepada semua orang. Dengan demikian, dapat dipahami

bahwa melalui sikap-Nya terhadap orang Samaria, Yesus menunjukkan bahwa

Allah mencintai orang asing.47

Sikap Yesus yang asing dapat pula dilihat dalam kisah perjumpaan-Nya

dengan perempuan Samaria di sumur Yakub (Yoh. 4:4-42). Perempuan ini

awalnya bersikap tidak rama dengan menekankan identitas Yesus sebagai seorang

Yahudi (Yoh. 4:9). Namun, setelah Yesus berdialog dengan orang asing itu dan

bersikap ramah dengan menawarkan air kehidupan. Yesus merobohkan dinding

yang menghalangi dan memisahkan orang Yahudi dari orang asing (Samaria)

46
Diredja, “Yesus”, 128.
47
Diredja, “Yesus”, 129.
dengan menyatakan hospitalitas.48 Hal ini menunjukkan, bahwa Yesus tidak

mengasingkan orang lain (asing), tetapi kepada orang asing itulah hospitalitas

dinyatakan. Ia terbuka, bergaul, dan membangun persahabatan dengan orang-

orang (asing) di sekitar-Nya.

2.3.1. ORANG ASING YANG DIASINGKAN

Berabad-abad lamanya salib di Golgota itu merupakan batu

sandungan yang menyakitkan hati orang, sehingga tampak penolakan

terhadap salib. Aliran doketisme misalnya, mengatakan bahwa kematian

Yesus hanyalah semu dengan alasan bahwa Yesus Kristus bukan manusia

sejati, Dia hanyalah penjemaan Allah di dalam tubuh-semu. Sebagai

demikian, mereka menolak ajaran Kristen bahwa Yesus itu benar-benar

mati tersalib.49 Namun, gereja menolak ajaran yang demikian. Gereja,

selama berabad-abad pula, mengakui bahwa Kristus yang bangkit adalah

Dia yang benar-benar mati tersalib.

Penolakan Gereja terhadap ajaran semacam itu dapat pula dilihat

dalam Pengakuan Iman Rasuli. Demikian diikrarkan, bahwa Yesus

Kristus, Anak Allah yang tunggal, benar-benar: “menderita sengsara di

bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati, dan dikuburkan,

turun ke dalam kerajaan maut.” Di lain kata, melaui Pengakuan Iman ini

gereja hendak menekankan sekuat-kuatnya bahwa Kristus yang bangkit

48
Alfons Jehadut, “Bersikap Ramah terhadap Tamu dan Orang Asing (3)”, dalam Unit Naskah
& Penerbitan Lembaga Biblika Indonesia. https://www.lbi.or.id/2017/10/13/bersikap-ramah-
terhadap-tamu-dan-orang-asing-3/
49
Niftrik & Boland, 252
adalah Dia yang benar-benar mati tersalib. Yang hendak ditegaskan di

sini adalah bahwa keasingan Yesus tampak pula dalam persitiwa salib.50

Jurgen Moltmann, seorang teolog tersohor dari Jerman, yang

dikutip oleh Yewangoe, mengatakan bahwa iman Kristen berdiri dan

jatuh dengan pemahaman akan Kristus yang tersalib, dengan pemahaman

akan Allah di dalam Kristus yang tersalib. Ia mengemukakan, bahwa

kendati salib merupakan kehinaan dalam pemahaman dunia, tetapi telah

merupakan kekuatan Allah.51 Paulus berkata: “Sebab pemberitaan

tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,

tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan

Allah” (1 Kor. 1:18). Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa

pemberitaan tentang salib adalah pemberitaan yang asing bagi manusia,

karena itu dilihat sebagai sebuah kebodohan.

Salib bukan sekedar simbol, melainkan “jalan” bagi terciptanya

relasi baru antara manusia dengan Allah, tempat pendamaian sejati

dicapai. Relasi Allah dan manusia yang rusak oleh dosa kembali

dipulihkan.52 Yewangoe kemudian mengutip Marten Luther mengatakan,

bahwa hanya iman saja yang sungguh-sungguh dapat memahami karya

sejati (opus proprium) Allah pada salib, yang kelihatannya sebagai karya

asing (opus alienaum) dari Allah yang tersembunyi. Melalui iman,

50
Salib adalah alat untuk menghukum seseorang, yang terdiri dari dua potong kayu yang
disilangkan, yang satu lebih panjang dari yang lainnya. Yang panjang ditegakkan di tanah setelah
si terhukum dipakukan dan/ atau diikat di atas salib (Yewangoe; 2015, 206). Donald Kraybill,
dalam bukunya “Kerajaan Yang Sungsang” menegaskan bahwa salib adalah lambang Romawi,
tanda kasar kekuasaan negara untuk menghukum mati para penjahat (Kraybill; 2012, 249).
51
Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 208.
52
Yewangoe, Tidak ada Ghetto, 208.
manusia dapat melihat bahwa yang terjadi pada salib justru merupakan

pembenaran tehadap orang berdosa. Orang berdosa dijadikan benar

ketika Allah menjalani jalan kehinaan, jalan salib.53 Dengan demikian,

salib adalah karya Allah yang asing, yang tidak terpahami dan tersibak

sepenuhnya oleh manusia, namun sekaligus indah. Allah merengkuh

manusia yang terasing dari-Nya tanpa syarat dan tanpa batas di dalam

peristiwa salib.

Pada saat yang sama, peristiwa salib merupakan peristiwa di

mana Yesus mengalami “keterasingan terbesar”.54 Ia diasingkan oleh

manusia, bahkan Markus mengindikasikan bahwa Yesus pun tampak

diasingkan oleh Allah. Hal ini nyata melalui teriakan-Nya: “Allah-ku,

Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Yesus diasingkan oleh manusia adalah akibat kebengisan hati

manusia yang tidak menerima pelayanan Yesus yang asing, yang tampak

terutama karena alasan religisus, tetapi juga politis.55 Secara religius,

Yesus mewartakan Allah yang berbeda dan yang bertentangan dengan

Allah yang diwartakan agama institusional.56 Moltmann, sebagaimana

dikutip oleh Parihala, dengan sangat tepat mengatakan, bahwa sejak

permulaan kehidupan hingga kematiaan-Nya, Yesus menampilkan

gambaran Allah secara berbeda dari Allah dalam legalisme Yahudi.57

Allah yang diwartakan Yesus adalah Allah yang ramah terhadap orang

53
Yewangoe, Tidak ada Ghetto, 208-209.
54
Bnd. Irene Hoft, Anda Merasa Ditolak? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 63.
55
Bnd. Donald B. Kraybill, Kerajaan Yang Sungsang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 250.
56
Kirchberger, Allah Menggugat, 234.
57
Yohanes Parihala, Allah Yang Turut Tersalib (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017), 111.
asing, sementara orang Yahudi meyakini bahwa orang asing berada di

luar kasih dan kerahiman Allah. Dari segi politis, kematian Yesus

merupakan akibat dari hospitalitas yang diwartakan mengancam

kedudukan penguasa yang cenderung mengasingkan orang orang demi

kepentingan mereka (bnd. Mat. 17:25-26).58 Hal ini dipertegas lagi dalam

teriakan-Nya: “Aku haus,” yang menunjukkan Yesus mewakili umat

manunsia yang diasingkan, yang juga haus dan lapar, mengahadap sang

Bapa, sementara segelintir orang berpesta-pora tanpa peduli pada

sesamanya.59

Dengan demikian, jelaslah bahwa pengalaman Yesus

“diasingkan” oleh manusia yang berpuncak pada peristiwa salib

menunjukkan bahwa “Yesus Kristus adalah orang asing yang

diasingkan.” Tetapi, justru di dalam praktik hostilitas itulah, Allah

menunjukkan keramahan-Nya (God’s hospitality) melalui pengorbanan

Yesus, Anak Allah.60 Allah menelanjangi kekerasan hati manusia yang

cenderung mengasingkan orang lain dalam keseharian hidup; dan juga

sekaigus menunjukkan keberpihakan-Nya pada Yesus, Anak Allah, yang

terbukti melalui terbelahnya tabir Bait Allah.

Terbelahnya tabir Bait Allah menunjukkan, bahwa Allah

membenarkan tindakan Yesus. Karena itu, perasaan Yesus diasingkan

oleh Allah sebagaimana dikisahkan Markus, tidak boleh dimaknainya

58
Kirchberger, Allah Menggugat, 234.
59
Joas Adiprasetya, Tujuh Dosa yang Mematikan – Seven Deadly Sins, http://gkipi.org/tujuh-
dosa-yang-mematikan-seven-deadly-sins/
60
Parihala, Allah, 109.
secara harfiah. Sebab kalau demikian, maka dapat dikatakan bahwa Allah

adalah Allah yang apatis. Dalam hal ini, Parihala mengatakan bahwa

Allah yang dikisahkan Markus adalah Allah yang merengkuh salib

bersama Sang Anak. Itulah sebabnya, terjadi kegelapan selama tiga jam

yang menandakan kedukaan hati Allah. Lebih lanjut, ditegaskan bahwa

terbelahnya tabir Bait Allah menandakan bahwa Allah yang dipenjara

oleh doktrin Yudaisme di dalam tempat yang maha kudus itu telah

meninggalkannya dan turut berada bersama Yesus.61 Allah tidak

meninggalkan Yesus menderita seorang diri, melainkan turut mendertia

bersama-sama dengan Dia, di tengah manusia mengasingkan Dia, yang

berpuncak pada peristiwa salib.62

Lebih dari pada itu, Parihala menegaskan bahwa di dalam

peristiwa Yesus, Anak Allah, Allah Bapa turut menunjukkan hospitalitas-

Nya dengan manusia yang menderita,63 yakni mereka yang diasingkan

dalam masyarakat dan/ atau orang asing dalam masyarakat. Parihala

kemudian mengutip dari Anthony Clark, bahwa sesungguhnya Yesus

mengambil pengalaman historis teriakan manusia yang menderita untuk

menjadi pengalaman-Nya.64 Karena itu, dapat dipahami bahwa teriakan

Yesus adalah juga teriakan orang-orang asing. Yesus menunjukkan

kepeduliannya dengan mereka, bahkan menjadikan penderitaan mereka

menjadi milik-Nya menghadap Sang Bapa yang disapa sebagai Abba.

61
Parihala, Allah, 109.
62
Bnd. Drewes & Mojau, Apa itu Teologi?, 67.
63
Parihala, Allah, 146.
64
Parihala, Allah, 108.
Hal senada dikemukakan oleh Moltmann, yang juga dikutip oleh

Parihala, bahwa teriakan Yesus, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau

meninggalkan Aku”, menunjukkan sikap diam Allah. Di sanalah Allah

terdiam karena Allah turut menderita bersama dengan Yesus, yang juga

mengambil bentuk seluruh penderitaan korban penindasan dan

ketidakadilan. Allah ada di dalam salib Yesus, dan merengkuh salib itu

sebagai wujud solidaritas dengan seluruh manusia yang menderita, bukan

untuk mengekalkannya, melainkan untuk mentransformasikan

penderitaan itu ke dalam tanda kasih Allah yang turut menderita. 65 Itulah

sebabnya, dapat dipahami bahwa terbelahnya tabir Bait Allah sekaligus

merupakan sebuah penegaskan bahwa Allah tidak meningalkan orang

asing, melainkan turut menderita bersama-sama dengan orang asing.

Allah menyatakan hospitalitas dalam Kristus, Sang Orang Asing.

Dengan demikian, dalam peristiwa salib, kita dapat melihat

bahwa hati Allah terarah orang asing. Allah menyatakan hospitalitas dan

mengingatkan kepada kita di mana lokasi sosial Allah, tempat di mana

Allah berada. Allah ada bersama-sama dengan orang-orang asing dalam

Kristus, Sang Orang Asing. Pada saat yang sama, di dalam peristiwa

salib terdengar pengakuan dari kepala pasukan yang justru merupakan

sebuah penegasakan, bahwa Yesus Kristus adalah Ia Yang Sepenuhnya

Asing: “Sungguh, Orang ini adalah “Anak Allah”” (Mrk. 15:39).

65
Parihala, Allah, 111.
2.3.2. ORANG ASING DALAM PERJALANAN

Umat Kristen di segala waktu dan tempat percaya bahwa Kristus

yang tersalib itu telah bangkit! Oleh karena itu, mereka tidak ragu-ragu

mengikrarkan, bahwa Yesus Kristus, Anak Allah yang Tunggal, “pada

hari ketiga, ‘bangkit pula dari antara orang mati’; naik ke surga, duduk

di sebelah kanan Allah, Bapa yang Mahakuasa.” Sehingga kita tahu

bahwa salib bukanlah kekalahan melainkan kemenangan (Yoh. 12:32;

Flp. 2:9).

Peristiwa kebangkitan menandakan bahwa Allah Trinitas telah

mengatasi kondisi natural manusia itu. Allah mengangkat pribadi

manusia, menjadikannya manusia, mengatasi substansi/kondisi

naturalnya. Destinasi manusia sebagai pribadi bukan lagi kematian,

melainkan kehidupan di dalam komunitas bersama Allah.66 Paulus

berkata: “Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah

pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (I Kor. 15:14).

Itulah makna kebangkitan Kristus.

Kebangkitan Kristus yang tersalib pada saat yang sama

menunjukkan, bahwa Kristus hadir melampaui ruang dan waktu. Ia hadir

secara universal dalam berbagai dimensi kehidupan.67 Oleh karena itu

dapat dipahami, bahwa Ia dapat hadir sebagai seorang sahabat yang

66
Lan, “Allah Trinitaris”, 231.
67
Hal ini tidak berarti, bahwa Yesus Kristus sebelum kebangkitan, tidak hadir secara universal,
tetapi sungguh dimungkinkan karena kahadiran Roh Kudus yang bekerja dengan ekonomi
keselamatan yang menghadirkan partikularitas Yesus dari Nazaret ke beragam konteks universal
(lih. Adiprasetya, 2014, 263).
dikenal, tetapi juga sebagai orang asing yang tak dikenal. Kisah Emaus,

yang merupakan salah satu bukti bahwa Kristus telah bangkit, menurut

Gittins,68 menunjukkan Kristus mengidentifikasi diri-Nya dan berlaku

sebagai Orang Asing dalam perjalanan.

Gittins menegaskan, bahwa bagi dua murid (yang sedang berada

dalam perjalanan ke Emaus), Yesus tampak sebagai orang asing, tidak

akrab, dan tidak termasuk kelompok mereka. Lebih lanjut ditegaskan,

bahwa perjumpaan dikembangkan justru dari status keasingan itu.

Sebagai orang asing, Yesus bertanya kepada mereka (Luk. 24:17, 19),

mendengar kisah mereka (Luk. 24:19b-24), merespons kisah mereka

dengan cara yang mengejutkan (Luk. 24:25), dan menafsirkan ulang

kisah mereka (Luk. 24:26-27). Setelah itu Ia menemani mereka dan tidak

bersikap sebagai penentu perjalanan, melainkan dengan sikap yang sopan

Ia bersiap melanjutkan perjalanan-Nya ketika pada akhirnya Ia diundang

sebagai tamu mereka (Luk. 24:28-29). Pada saat itulah Orang Asing ini

berubah menjadi tamu, tetapi juga sekaligus sebagai tuan rumah yang

memecahkan roti dan mengucapkan berkat bagi kedua murid itu (Luk.

24:30).69

Pada saat yang sama, kisah Emaus ini memperlihatkan sikap

hospitalitas (mencintai/ menerima orang asing) dari dua orang murid

kepada Yesus yang hadir sebagai Orang Asing dalam perjalanan.

Hospitalitas merupakan sebuah keluhuran budaya yang memang berlaku

68
Dikutip oleh Kartika Diredja, “Yesus, Sang Orang Asing: Alternatif Kristologi Bagi Orang
Indonesia-Tionghoa-Kristen”, dalam Indonesian Journal of Theology 2/2 (Desember 2014).
69
Diredja, “Yesus”, 130-131.
di Israel, sehingga kedua murid itu tanpa takut menerima Orang Asing

itu. Tanpa diduga, Injil Lukas mencatat: “terbukalah mata mereka dan

mereka pun mengenal Dia” (Luk. 24: 31a).

Joas Adiprasetya, dalam salah satu karya mencatat beberapa hal

penting terkait hospitalitas dalam kisah Emaus ini.70 Pertama, demikian

kata Adiprasetya, kisah ini memperlihatkan bahwa hospitalitas

menghadirkan sang Ilahi menjadi dikenal. Kedua, pada ayat 31b

dikatakan, bahwa setelah mereka mengenai Dia, Yesus tiba-tiba

menghilang dari mereka. Menurut Adiprasetya, lenyapnya Yesus

ditengah-tengah mereka merupakan kesempatan yang diberikan oleh

Yesus untuk merespons hospitalitas-Nya yang ditunjukkan secara bebas

dan kreatif. Itulah sebabnya kedua murid itu pergi ke Yerusalem dan

memberikan kesaksian tentang hospitalitas ilahi yang mereka alami di

dalam Kristus (ay. 33-35).

2.4. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik.

Pertama, orang asing tidak hanya menunjuk pada orang lain (the other),

melainkan juga ada di dalam diri sendiri, dan menunjuk pada mereka yang

diasingkan dalam masyarakat. Hal ini bukanlah sebuah batu sandungan, tetapi

justru mau mengakui keunikan setiap pribadi, dan juga mengikuti undangan Allah

untuk mencintai orang asing (Mat. 25:43) yang kerap disebut hospitalitas.

70
Joas Adiprasetya, Hospitalitas: Wajah Sosial Gereja Masa Kini. http://gkipi.org/hospitalitas-
wajah-sosial-gerejamasa-kini/
Kedua, memandang Allah sebagai Dia Yang Sepenuhnya Asing selaras

dengan tradisi mistis dalam kekristenan. Pemahaman ini ingin menghargai Allah

yang melampaui setiap konsepsi manusia. Oleh sebab itu, manusia mesti

menyadari keterbatasan bahasa untuk menggambarkan Dia yang tidak terbatas.

Ketiga, Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Pengakuan

bahwa Yesus adalah Allah, sebagaimana dalam Injil Yohanes dan kepala pasukan

pada khususnya, dan pengakuan umat Kristiani pada umumnya, menunjukkan

betapa asingnya Dia bagi manusia. Keasingan Yesus itu tampak pula dalam

kelahiran-Nya dari anak dara sebagaimana tertera dalam Pengakuan Iman; dan

juga melalui hidup dan pelayanan-Nya yang unik dan penuh misteri. Kemudian

peristiwa salib memperlihatkan bahwa Yesus bukan hanya orang asing, tetapi juga

Orang Asing yang diasingkan dalam masyarakat akibat kebengisan hati manusia

yang berpuncak pada salib. Keasingan Yesus tampak pula dalam peristiwa

kebangkitan-Nya. Yesus tampil di hadapan kedua murid sebagai orang asing

dalam perjalanan, sebagaimana dalam kisah Emaus yang menceritakan

penampakkan Kristus yang bangkit.

Lebih dari pada itu, Yesus dalam status keasingan-Nya, Ia tidak pernah

mengasingkan orang asing, melainkan Ia merangkul dan mencintai orang asing.

Seluruh hidup Yesus adalah penyataan hospitalitas-Nya, sehingga dapat

dikatakan, bahwa karekter Yesus adalah hospitalitas. Di dalam Dia, Allah

mendamaikan manusia dosa dengan diri-Nya. Allah menyapa dan merangkul

orang-orang asing, bahkan melalui peristiwa salib, kita dapat melihat bahwa Allah

turut menderita bersama-sama dengan mereka. Hospitalitas ini menyata pula pada
peristiwa kebangkitan, sebagaimana dalam kisah Emaus. Yesus tampil sebagai

orang asing dan menyatakan hospitalitas bagi mereka, yang berpuncak pada

memecah roti bersama.

Hospitalitas adalah nilai luhur yang mesti diwujudkan di tengah zaman

yang semakin mengasingkan sesama. Hospitalitas menawarkan jalan masuk baru

untuk hidup bersama dalam berbagai dimesi kehidupan, termasuk isu kemiskinan.

Itulah sebabnya, gereja yang adalah tubuh Kristus dipanggil untuk menyatakan

hospitalitas sebagai upaya meneladani Kristus Tuhannya. Kristus senantiasa

memanggil gereja untuk mewujudkan hospitalitas dalam dunia sekarang ini.

Karena itu, hospitalitas mesti menjadi gaya hidup menggereja masa kini, sebagai

praksis dari pengenalan kita akan Kristus, Sang Orang Asing.

Anda mungkin juga menyukai