Anda di halaman 1dari 2

Hospitality dalam Alkitab terutama perjanjian baru dipahami dengan kata philoxenia

(philia dan xenos). Sehingga dalam Alkitab hospitalitas dapat dipahami sebagai Tindakan
mengasihi atau bersahabat dengan orang asing. Kata xenodocheo dipakai juga beberapa kali
dalam alkitab yang berarti menreima orang asing sebagai sahabat atau saudara. 1 Dengan
demikian dapat dipahami bahwa peristiwa hospitalitas ada dan terjadi dalam Alkitab dan
teologi Kristen terbuka kepada proses pemahaman yang demikian, yaitu proses menjadikan
orang asing menjadi saudara atau tamu. Tidak hanya menjadikan orang asing sebagai saudara
dan tamu tetapi lebih dari itu menjadi sahabat. Joshua W Jipp dalam bukunya mengatakan
bahwa hospitalitas dalam Kristen adalah perintah sosial yang tidak hanya menerima mereka
sebagai saudara, tetapi juga menyediakan makanan dan tempat tinggal.2

Dengan pemahaman diatas dan dibandingkan dengan ayat alkitab berikut ini:

“Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu
memberikan tumpangan (philoxenia)! (Rm. 12:13)”
“Peliharalah kasih persaudaraan (philadelphia)! Jangan kamu lupa memberi tumpangan
kepada orang (philoxenias), sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak
diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat. (Ibr. 13:1-2)”
“dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi
tumpangan (xenodocheō), membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang
hidup dalam kesesakan—pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan
untuk berbuat baik. (1Tim. 5:10)”

Tiga teks perjanjian baru diatas menunjukkan bagaimana alkitab menunjukkan bahwa
hospitalitas sebagai bentuk penerimaan kepada orang asing dan orang lain tidak hanya dalam
bentuk perkataan tetapi juga dalam tindakan nyata. Tidak hanya dalam Perjanjian Baru,
dalam Perjanjian Lama juga disebutkan bagaimana umat Tuhan menerima orang asing dalam
rumahnya, misalnya ketika Abraham menerima orang asing dalam kejadian 18 sebagai model
hospitalitas dalam alkitab. Dengan landasan tersebut, maka akan sampai kepada pemahaman
bahwa hospitalitas berarti membentuk ruang bebas bagi diri manusia sehingga orang yang
dianggap asing atau lawan bisa menjadi saudara. Dalam kerangka berpikir demikian bukan
berarti hospotalitas bermaksud untuk mengubah orang lain, tetapi menawarkan orang lain
(asing) suatu ruang sebagai tempat kesempatan untuk berubah. Oleh karena itu hospitalitas
bukan sebagai bentuk intimidasi atau pemaksaan terhadap orang asing melainkan sebagai
bentuk pembebasan terhadap hati yang sebelumnya penuh dengan rasa takut terhadap orang

1
Yohanes K. Susanta, Hospitalitas Sebagai Upaya Mencegah Kekerasan dan Memelihara Kerukunan dalam
Relasi Islam-Kristen di Indonesia. Artikel Ilmiah Online. https://www.researchgate.net/publication
2
Joshua W Jipp, Divine Visitation and Hospitality in Luke-Acts: An Intepretation of the Malta Episode in Acts
28:1-10 (Leiden: Brill, 2013), hlm 19.
lain, dimana rasa takut menciptakan batasan, sehingga hospitalitas akan membuka
kesempatan untuk berjumpa dengan sesama manusia.
Melihat point 2.1 tentang kesepahaman berbagai agama terhadap hospitalitas, yaitu
keterbukaan dan keramahan terhadap orang lain selain dirinya sendiri. Dengan demikian
pengajaran hospitalitas yang ada pada setiap agama akan mendorong setiap penganut agama
untuk mendemonstrasikan kasih saying terhadap orang lain (Orang asing). Orang asing tidak
dibatasi dengan pengertian pada tetangga dekat atau sekitar rumah tetapi orang yang lebih
jauh lagi bahkan orang yang tidak kita kenal.

Dalam iman Kristen kita bisa melihat contoh dalam injil Lukas 10 25-37 tentang
orang samaria yang baik hati. Orang samaria selalu digambarkan sebagai orang yang
berselisih dengan orang Yahudi. Tetapi melalui peristiwa dalam injil Lukas kita bisa melihat
bahwa orang samaria tersebut bisa menjadi saudara, bagi orang asing yang sedang
membuthukan pertolongan. Dia tidak hanya sedang menjadi penolong. Tetapi Yesus
menegaskan bahwa dialah yang disebut sebagai saudara, karena membuka batasan
kebudayaan (pertikaian, perselisihan) antara orang Yahudi dan samaria, membuka diri
terhadap orang lain itu, hingga tiba pada suatu Tindakan kasih untuk menolong lebih baik
daripada saudara. Tindakan ini adalah expresi kasih dari Allah kepada manusia. Sehingga
manusia juga perlu didorong untuk memberikan Tindakan kasih seperti Allah kepada
manusia.3

3
Darrel L. Block, “A Theology of Luke and Acts” (Michigan:Zondervan,2011) hlm 171

Anda mungkin juga menyukai