Anda di halaman 1dari 13

Nama : Rocky Lewis Sumurung Silalahi

Tingkat/Jur : III-B/ Teologi

Mata Kuliah : Teologi Kontekstual dan kontemporer

Dosen : Dr. Rohny Pasu Sinaga UAS

Hospitalitas dan Meja Perjamuan Allah

I. Pembahasan
I.1. Hospitalitas
I.1.1. Pengertian Hospitalitas
Dalam Encyclopedia of Religion, hospitalitas yakni hospitality berasal dari
kata Latin ‘hospes’ yang berarti tamu.1 C. Lewis menambahkan pengertian dari
‘hospes’ dengan arti tuan rumah.2 Kata ‘hospes’ sendiri adalah gabungan dua kata
Latin lain, “hostis” dan “pets”. Kata “hostis” berarti “orang asing,” namun juga
memiliki konotasi “musuh”. Dalam pengertian tersebut kita dapat mengetahui
bahwa setiap orang memiliki resistensi untuk orang yang tidak dikenal (orang
asing). Hal itu dimungkinkan sebagai respon alamiah dari masing-masing
individu.
Selanjutnya, asosiasi makna “orang asing” dan “musuh” di dalam kata “hostis’
mungkin muncul karena kemenduaan atau ambiguitas dari orang asing itu sendiri.
Dari kata “hostis” itu dikenal kata dalam bahasa Inggris “hostile” dan “hostility”,
sedangkan kata “pets” (potis, potes, potentia) berarti “memiliki kuasa.” Dari
penggalian makna kata “hospes” dapat diartikan bahwa baik tuan rumah maupun
tamu memiliki kuasa yang sama. Keduanya layak diperlakukan sekaligus
memperlakukan hal-hal yang semestinya.3
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hospitalitas sama arti dan maknanya
dengan “keramahtamahan”. “Ramah” berarti “baik hati dan menarik budi
bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam
pergaulan.” Keramahan berarti “sifat ramah; kebaikan hati dalam keakraban.

1
Encyclopedia of Religion (Provo, Utah: Macmillan Publishing, 1953), 471.
2
C. Lewis, Elementary Latin Dictionary (Oxford: Oxford Univ. Press, 2000), 371.
3
Jesica Wrobleski, The Limits of Hospitality (Minnesota: Liturgical Press, 2012), 15.
Ramah-tamah berarti “amat ramah; pertemuan kekeluargaan (untuk perkenalan
dan sebagainya)” Keramahtamahan berarti “hal-hal yang ramah.”4
Hospitalitas dipengaruhi oleh kata Yunani philoxenia, yang terdiri dari dua
kata, philos atau philia (kasih persahabatan) dan xenos (orang asing). Kata
“xenos” menunjuk pada orang asing yang menerima sambutan atau tuan rumah
yang melakukan penyambutan terhadap orang lain. Dalam Encyclopedia of
Religion and Ethics dipakai kata xenodocheoֿ (xenos dan dechomai) yang berarti
“menerima orang asing”, “mengasihi orang asing sebagai sahabat” atau
“menyahabati orang asing”.5 Secara sederhana, bisa juga dikatakan bahwa
hospitalitas merupakan sikap inklusif yang ditunjukkan melalui tindakan kita
terhadap orang asing.
Dengan demikian, hospitalitas dapat diartikan sebagai sebuah perwujudan dari
ungkapan rasa kehangatan dalam menerima orang lain, rasa hormat, serta
persahabatan dan persaudaraan kepada orang lain, terutama kepada tamu yang
datang. Jadi, hospitalitas merupakan sikap membuka diri terhadap kehadiran
orang asing/ tamu atau kerelaan untuk menerima tamu. Ringkasnya, hospitalitas
adalah cinta yang diberikan seseorang kepada orang asing. 6 Secara sederhana,
hospitalitas adalah suatu proses yang melaluinya status orang asing diubah dari
orang asing menjadi tamu. Bahkan bukan hanya menjadi tamu saja, tetapi juga
dapat diubah menjadi sahabat. Sebagai bagian dari perintah sosial, hospitalitas
menyediakan makanan dan tempat tinggal kepada orang asing yang bisa saja
kawan menjadi lawan atau lawan menjadi kawan.7 Dapat dikatakan bahwa
hospitalitas adalah tindakan melawan sisi eksklusif dalam diri dengan
berlandaskan welas asih.
I.2. Meja Perjamuan Allah
Perjamuan sebagai identitas gereja awal adalah sebuah kegiatan sosial atau
perjamuan sosial. Perjamuan sosial tersebut dilakukan dalam pertemuan sosial.
Waktunya biasanya pada malam hari, sehingga seringkali disebut perjamuan
malam (cena). Rutinitas waktu tidak terlalu ketat, namun umumnya pada hari
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-IV (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama 2008), 1136, 1221.
5
James Hastings, Encyclopedia of Religion and Ethics Vol. VI (New York: Charles Scribner’s Sons, 1951),
808-820.
6
Michele Hershberger, Hospitalitas—Orang Asing; Teman atau Ancaman? (Jakarta: BPK Gunugn
Mulia, 2009), 10.
7
Joshua W. Jipp, Divine Visitation and Hospitality in Luke-Acts: An Intepretation of the Malta Episode
in Acts 28: 1-10 (Leiden: Brill, 2013), 19.
pertama (Sabtu senja) yang tidak selalu setiap pekan. Hal Taussig menuliskan
bahwa pertemuan-pertemuan Jemaat awal adalah beragam bentuk, tidak seragam
di beberapa tempat, namun ada unsur dan dasar serupa sebagaimana perjamuan
umumnya. Keberagaman bentuk pertemuan tersebut juga bergulir seiring‚ “Jesus
movement” di sekitar kekristenan generasi pertama di Israel, perkembangan
berikut di Syria dan Asia Kecil, dan generasi ketiga dan keempat pada 200 tahun
pertama sekitar Laut Tengah.8
Persekutuan Kristen sangat perdana sekitar tahun 30 terdiri dari orang-orang
Yahudi. Di dalam persekutuan itu dilaksanakan perjamuan. Perjamuan itu sendiri
mendapat pengaruh perjamuan Yahudi dan Greco-Roman.9 Menurut Taussig,
perjamuan awal itu merupakan eksperimentasi sosial paling cair, tanpa grand
design, di mana batasan, terutama social boundaries. Pembatasan social yang
lazim di dunia Greco-Roman justru ‚dilanggar demi memeroleh konsep baru
tentang komunitas sosial seturut kerajaan Allah yang kemudian menjadi identitas
Kristen.10 Wujud konkret persekutuan tersebut adalah pertemuan. Dalam
perjamuan persekutuan awal bukan hanya ada doa, nyanyi, pengajaran, diskusi,
dan makan,11 tetapi juga disertai dengan keindahan nyanyi, tawa, dan senda gurau.
Kisah perjamuan yang menonjol dalam Perjanjian Baru adalah kesaksian
Paulus tentang Jemaat Korintus di surat Korintus (1 Kor. 11: 20-22, 33-34) dan
Jemaat Antiokhia di surat Galatia (2: 11-14) dan kitab-kitab Injil. Catatan Paulus
dinilai lebih dahulu ketimbang catatan para Penginjil. Dengan catatan, info paling
awal, yakni surat-surat Paulus, itu pun baru lahir pada tahun 50-an, bukan tahun
30-an. Pada dua kelompok tersebut: Jemaat-jemaat Paulian dan Jemaat-jemaat
Penginjil, kita melihat praktek perjamuan gereja abad pertama.
Menurut Smith, dasar perjamuan Jemaat di Korintus dan Antiokhia memiliki
dasar yang sama sebagai ritus pertemuan sosial. Pemahaman perjamuan Paulus
atas Jemaat Antiokhia menjadi acuannya bagi Jemaat Korintus. Paulus menolak
sikap Petrus yang mengundurkan diri (Gal 2:11) dan meluruskan umat yang
makan lebih dahulu (1 Kor 11: 21). Maka, Smith menyimpulkan bahwa teologi
Paulus tentang perjamuan juga dikenakan pada Jemaat-jemaat asuhannya,
8
Hal Taussig, In the Beginning Was the Meal: Social Experimentation & Early Christian Identity,
(Minneapolis: Fortress Press, 2009), 14-15.
9
Dennis E. Smith, From Symposium to Eucharist: the Banquet in the Early Christian World
(Minneapolis: Fortress Press, 2003), 174.
10
Hal Taussig, In the Beginning Was the Meal: Social Experimentation & Early Christian Identity, 17.
11
Hal Taussig, In the Beginning Was the Meal: Social Experimentation & Early Christian Identity, 21.
termasuk Galatia dan Roma. Perjamuan Tuhan (1 Kor. 11: 20 κυριακόν δείπνον),
bagi Paulus, adalah perjamuan keberterimaan semua kalangan, social bonding,12
dalam realitas majemuk. Intinya, perjamuan seharusnya merupakan ritual
pertemuan sosial, bukan pembatasan sosial berdasarkan status, bangsa, etnis,
agama, usia, dsb.
Perjamuan yang dilakukan disebut perjamuan civil society (harafiah:
komunitas umum). Perjamuan civil society membutuhkan hospitalitas, yakni etika
dan penyambutan. Demi hospitalitas, Yesus melanggar dan membongkar
kebiasaan perjamuan social boundaries yang terbatas dan eksklusif. Kemudian,
Yesus membangun perjamuan social bonding dengan semua kalangan.13
Hospitalitas Kristen tidak lagi soal sesehari: menunggu semua orang berkumpul
untuk makan, melainkan hospitalitas satu Tubuh Kristus: nantikanlah dan sharing-
kanlahmakanan dengan semua orang, supaya jangan lagi terjadi sebagian orang
mabuk kekenyangan dan yang lain sakit kelaparan.14 Alih-alih melulu
menekankan pengampunan dosa yang eksklusif, perjamuan gereja adalah
perjamuan terbuka bagi orang miskin-kaya, anak-dewasa-lansia-perempuan-laki,
berbagai orientasi seksual, difabel-nondifabel, antar denominasi,danbahkan
antariman,untuk makan-minumdari dan pada satu rotidan satu cawan,15 baik
sebagai tuan rumah maupun sebagai tamuperjamuan dalam kesetaraan.
Perjamuan dalam bingkai teologis perjamuan Tuhan menyadarkan kita akan
masalah sosial, soal keadilan bagi yang lapar dan miskin, di sekitar kita. Bertolak
dari gestur berbagi roti dalam perjamuan awal, orang berbagi makanan kepada
orang lain demi keadilan. Mengutip Kristen Dempsey: “How can those who share
the bread of life in a holy meal deny food to the hungry?” Ritual merupakan lensa
bagi pelakunya dalam memandang dunia.16 Semakin jelas gestur dan materi,
semisal dengan roti besar, maka semakin jelas lensa ritual mengarahkan umat
melihat dunia di tengah kemajemukan.
I.3. Hospitalitas Dan Meja Perjamuan Allah
12
Dennis E. Smith, From Symposium to Eucharist: the Banquet in the Early Christian World, 174-175.
13
Hans Abdiel Harmakaputra, “Melepas Bingkai: Upaya Pencarian Jalan-jalan Lain yang Mengatasi
Kebuntuan Model Pendekatan Tipologi Tripolar dalam Diskursus Teologi Agama-agama Kontemporer (Jakarta:
Grafika Kreasindo, 2014), 61-62.
14
Bdk. George May, “The Lord’s Supper: Ritual or Relationship? Making a Meal of it in Corinth Part 2:
Meals at Corinth.” dalam The Reformed Theological Review, Vol. 61. (April 2002), 12.
15
Martin Stringer, Rethinking the Origins of the Eucharis (London: SCM Press, 2011), 33.
16
Kristen Dempsey, “Celebrating Justice: the Sacramental Connection,” dalam Journal of Theta Alpha
Kappa 33, No. 1. (New York: Spring Press, 2009), 55.
Paulus tidak berbicara dengan kata-kata lugas terhadap jemaat
Korintus. Tanpa hospitalitas, Perjamuan Tuhan tidak sungguh-sungguh terjadi.
Jika pembagian tidak menguntungkan semua anggota dan seluruh komunitas
tidak menghormati serta memelihara, maka perayaan meurut paulus, tidak
dapat menjadi peristiwa yang sama yang menyatakan dan mengenang
kematian.
Paulus mencoba mengajar jemaat korintus bahwa perjamuan Tuhan
lebih dari sekedar acara ritual. Didalam makanan dan hospitalitas yanng
dibangun di sekitarnya, jadilah riga peristiwa, yaitu runtuhnya tembokk
pemisah sosilal ekonomi, pengenalan atas hakikat sejati jemaat beriman, dan
kedatangan Kristus sebagai seorang tamu yang membawa, baik anugrah
maupun hukuman.
1. Keramahan Menambah Kekuatan Dengan Runtuhnya
Tembok Pemisah Sosial-Ekonomi.
Dalam jemaat Korintus, ada beberapa yanng memandang
rendah dan hina orang beriman lainnya. Mereka tidak menunggu
saudara-saudari mereka sebelum mereka makan. Paulus melihat
ahwa hal itu adalah suatu pekanggaran etiket yang berbahaya.
Paulus dengan tegas menentang hal tersebut sehingga ia
mengatakan bahwa beberapa orang telah meninggal karena tidak
bisa menunggu (1 Kor.11:30).
Dalam hal ini bahwa konflik tentan perjamun Tuhan adalah
koflik antara orang Kristen yang kaya dan orang kristen yang
miskin. Tapi rasul paulus melihat bahwa beberapa orang Kristen
yang percaya pada injil itu ternyata tidak terpengaruh pada
kedudukan sosial dan hak istimewa mereka yang menyertai posisi
lebih tinggi. Tentu saja ada pengecualian diantara orang kristen
yang kaya itu, dan ditempat lain paulus menghargai kemurahan hati
dan pelayanan mereka yang mau berbagi milik mereka. paullus
tidak menentang segala bentuk kekayaan. Ia hanya memperingtkan
tipu muslihat yang dapat dimainkan oleh kekayaan ndalam pikiran
hati. Salib yang mendsar ditunjukkan dalam perjamuan Tuhan juga
adalah salib sosial, kmatian dan kebangkitan, dimana yang rendah
daan lemah, yang dianggap kebodohan dalam dunia ini, menjadi
diangkat dan disejajarkan. Jadi setiap perjamuan Allah harus
melakukan yang demikian.
Dalam hospitalitas yang sejati, berbagai rintangan duniawi
berupa pembagian golonga dan kekayaan menjadi runtuh dan
luluh saat setiap anggota diperlakuka ndegan setara dan hromat.
Rasul paulus tidak menganjurkan jemaat untuk menyerhakann
seluruh keuntungan ekonomi mereka. jika mereka tidak ingin
berpesta dengan cara itu, maka hendaknya melakukan itu dirumah
mereka sendiri (1 Kor. 11:30). Namun, perjamuan Tuhan berbeda.
Ketika anggota yang miskin diperlakukan dengan pantas, mereka
akhirnya akan berpikir dengan cara yang terhormat. Perilaku
mempengaruhi sikap.
2. Derajat Hospitalitas Pada Perjamuan Tuhan Membawa
Pengakuan Dan Hukuman
3. Bergantung Pada Hospitalitas yang Telah Diberikan, Kristus
Datang Baik Sebagai Tamu yang Membawa Anugrah Maupun
sebagai Seorang Tamu Yang Membawa Hukuman.
I.4. Hospitalitas perjamuan Tuhan
Dalam acara ritual perjamuan Tuhan, tindakan hospitalitas secara fisik
paling jelas berhubungan dengan arti kerohaniannya. Banyak tema hospitalitas
dapat diindentifikasi dalam peristiwa ini. Di sinii Yesus tuan rumah
membawa tema utuh dari orang asing yang mengembara , orang asing yang
dikasihi dan dipelihara Allah. Tema-tema itu dapat diidentifikasi sebagai
berikut.
1. Peranan Tamu dan tuan rumah mengalir
2. Tamu membawa sebuah berkat
3. Menuju istilahh bersama degan orang asing didalam diri
4. Pelayanan penerimaan Hospitalitas
5. Melihat Yesus dalam mata Orang asing
6. Hospitalitas sebagai tindakan ibadah
7. Hospitalitas sebagai tanda kerjaan Allah
8. Hospitalitas dan kekuatan uang
9. Hospitalitas mematahkan berbagai rintangan
10. Mengingat identitas kita sendiri sebagai orang asing
I.5. Sebuah Transformasi Sosial Motif Terhadap Hospitalitas Yunani-
Romawi
Hospitalitas Yunani-Romawi adalah hospitalitas yang eksklusif karena
menempatkan tuan rumah sebagai dermawan dan orang asing sebagai penerima
kebaikan. Dalam kultur hospitalitas yang demikian tentu saja tidak ada tempat di
mana hospitalitas itu ditunjukkan oleh kalangan atas bagi kelompok marginal. 17
Konsep Yunani kuno mengenai hospitalitas tertuang dalam kata xenia. Dalam
kultur hospitalitas Mediterania, kekristenan memberikan warna tersendiri,
khususnya dalam motif, identitas dari tuan rumah, dan identitas dari tamu. Bagi
gereja perdana, hospitalitas adalah hal krusial menyangkut soal eksistensi,
identitas, dan pertumbuhan dirinya. Hospitalitas Kristen memperluas hospitalitas
Yahudi dan mentransformasi hospitalitas dari Yunani-Romawi. Sebagai contoh
dalam catatan Artebury, Lukas dalam tulisan-tulisannya menyebutkan bahwa
praktik mengenai hospitalitas kuno digemakan dan menjadi prisma yang nyata di
mana para murid Yesus memandang dirinya satu sama lain sebagai anak-anak
Allah.18
Dalam Perjanjian Baru, kisah murid-murid yang berjalan ke Emaus dalam Injil
Lukas menjadi contoh dialektika peran dari tamu dan tuan rumah (Luk. 24: 13-
35). Dialektika ini tampak dalam etimologi kata bahasa Yunani, xenos, yang
berarti tamu, tuan atau orang asing. Kata xenizein, perwakilan kata yang penting
untuk menjelaskan hospitalitas dan orang asing dalam konteks Perjanjian Baru.
Xenizein berarti menerima sebagai seorang tamu, namun juga berarti kejutan, yang
berarti menghadirkan seseorang atau sesuatu yang asing. Demikian juga istilah
philoxenia bukan hanya merujuk kasih akan orang asing, namun juga suatu
kesukaan dalam relasi yang penuh dari tamu-tuan rumah. Yesus digambarkan
sebagai tuan rumah yang penuh keramahan, menyambut anak-anak, pemungut
cukai, perempuan berdosa dan orang berdosa, dan karena itu melawan mereka
yang lebih suka untuk tidak menerima mereka dalam persekutuan. Yesus juga
digambarkan sebagai seorang tamu yang sangat rentan dan orang asing yang
sangat membutuhkan, yang datang kepada milik-Nya, namun milik kepunyaan-
Nya itu tidak menerima Dia (Yoh. 1:1). Pertukaran dari peran tamu dan tuan

17
Mariani Febriani, Hospitalitas: Suatu Kebajikan yang Terlupakan..., 76.
18
Andrew Arterbury, Entertaining Angels..., 25.
rumah dalam pribadi Yesus menjadikan kisah hospitalitas dalam tradisi Kristen
menjadi unik.19
Dalam kisah di Emaus, ada suatu pembalikan peran dari tuan rumah dan tamu,
yaitu hospitalitas para murid kepada orang asing menuntun kepada hospitalitas
orang asing kepada para murid. Dalam memecahkan roti, Yesus menjadi tuan
rumah. Richard juga menjelaskan bahwa dalam Injil Lukas, Yesus dipresentasikan
sebagai seorang pengembara tanpa rumah dan ada dalam kebutuhan hospitalitas,
namun Yesus juga adalah tuan rumah, menyambut orang asing ke dalam kerajaan
Allah (band. Luk. 15: 1-2). Mesias yang terpinggirkan menyambut mereka yang
terpinggirkan masuk ke dalam pesta (Luk. 14: 16-24), dan menerima hanya
mereka yang bertobat (Luk. 13; 24-30; 23: 43).20
Hospitalitas yang dicerminkan oleh kekristenan mula-mula nyata dapat kita
lihat dalam tulisan Lactantius yang menyebutkan bahwa, “hospitalitas adalah
kebajikan yang khusus, dan hospitalitas tidak membatasi dirinya kepada tamu-
tamu yang terhormat saja, melainkan justru membuka rumahnya juga kepada
orang miskin dan orang yang menderita.”21 Motif hospitalitas adalah suatu sikap
yang tanpa pamrih, dan dengan memberi secara bebas tanpa menuntut balasan
demi kemanusiaan itu sendiri serta bukan utnuk mencari pujian yang sia-sia.22
Karena itu, praktik hospitalitas Kristen dalam era perdana mentransformasi motif,
dan obyek dari hospitalitas pada masa itu, yang sebelumnya berorientasi kepada
keuntungan dan sekarang diubah menjadi hospitalitas yang tanpa pamrih. Dalam
hal ini, kekristenan membalikkan dasar penting dari hospitalitas Yunani-Romawi,
yang bisa dikatakan sangat diskriminatif, karena tamu dan orang asing itu
menentukan pilihan kepada siapa mereka harus melakukan tindakan ini agar
dengan tindakan mereka, mereka dapat meraih kembali keuntungan dari yang
dilayani.

I.6. Membangun teologi Hospitalitas di Tengah Kemajemukan


Gereja juga perlu mengembangkan dan menggemakan kembali apa yang
disebut dengan teologi keramahtamahan (hospitalitas). Hospitalitas atau
19
Cathy Ross, “Creating Space: Hospitality as a Metaphor for Mission,” dalam Anvil, Volume 25 No. 3
2008, 170.
20
Lucien Richard, Living the Hospitality of God, 27.
21
Lactantius, Divine Institution, terj. Anthony Bowen dan Peter Garnsey (Liverpool: University Press,
2003), 355-356.
22
Lactantius, Divine Institution, 357.
keramahtamahan berasal dari kata bahasa Yunani φιλοξενία (philoxenia) yang
terdiri dari dua kata yaitu, philos (kasih) dan xenos (orang asing, yang lain). Kata
tersebut secara literal berarti mencintai yang lain, mencintai orang asing. 23 Dari
istilah tersebut tampak bahwa hospitalitas terkait erat dengan kasih. Manusia
memang dapat memilih untuk mengasihi atau tidak mengasihi. Akan tetapi,
sesungguhnya kasih bukanlah pilihan. Ia menjadi kewajiban dari orang percaya.
Untuk itu, setiap orang percaya dituntut untuk menunjukkan keramahtamahan
sebagai sebuah tanggung jawab. Derrida dalam bukunya “all Adieu to Emmanuel
Levinas” sebagaimana dikutip Hent de Vries mengatakan bahwa hospitalitas
merupakan sebuah tanggung jawab, responsibility takes the form of hospitality, a
welcoming of the other as (the) totally other or, rather, Other. Such hospitality, he
shows, at once must and cannot both maintain its status as an unlimited, infinite,
or absolute demand and translate itself into concrete (empirical, ontic, positive)
laws, a duality that illuminates the structure and the paradoxical intelligibility of
experience in general.24
Hospitalitas pada dasarnya adalah suatu praktik yang harus dilakukan secara
sengaja. Artinya hospitalitas adalah bagian dari gaya hidup murid Yesus.
Berkaitan dengan ini, maka Gereja seharusnya menjadi promotor dalam
mengembangkan semangat hospitalitas. Menariknya, keadaan kemanusiaan itu
sebenarnya selalu bergerak dari orang asing-tamu kepada orang asing/tamu, dan
keduanya sebenarnya setara. Karena memang tidak ada posisi dalam hidup di
mana masing-masing kondisi itu permanen. Manusia selalu bergerak dari masuk
dan keluar dari situasi tersebut di mana kadang-kadang mereka menjadi tuan
rumah dan di waktu lain mereka dapat menjadi orang asing. Hospitalitas menjadi
sarana yang olehnya kewajiban moral yang sama ditunjukkan. Jikalau hospitalitas
Kristen yang transformatif dalam gereja perdana memberikan kontribusi penting
dalam kesaksian Kristen, maka hospitalitas tetap menjadi pengikat kesaksian
dalam gereja sepanjang masa terhadap dunia sekitarnya, termasuk dalam
kehidupan gereja pada hari ini. Mengutip Webber, Pohl menegaskan bahwa
apologetika Kristen yang relevan pada abad ke-21 adalah berkaitan dengan
kualitas hidup dan penyambutan dalam gereja. Suatu komunitas yang menyatukan

23
Jessica Wrobleski, The Limits of Hospitality (Minnesota: Liturgical Press, 2012), 15.
24
Hent de Vries, Religion and Violence: Philosophical Perspectives from Kant to Derrida (Baltimore:
The Johns Hopkins University, 2002), 293.
pengalaman kerajaan Allah akan menarik banyak orang pada dirinya, daripada
suatu komunitas yang miskin dengan praktik ini. Konteks zaman pada hari ini
menunjukkan bahwa menjadi orang percaya bukan lagi karena logika argumentasi
yang sangat persuasif semata, melainkan juga dibutuhkan suatu pengalaman
disambut Allah dalam suatu komunitas yang ramah dan penuh kasih.25
Hospitalitas dalam pengertian Kristen di tengah situasi hari ini adalah suatu
hospitalitas yang “counter-cultural.” Di tengah banyaknya hostilitas, para
pengungsi, kelompok marjinal, dan tuna wisma, maka perwujudan dari tindakan
hospitalitas kristiani dalam dunia kontemporer menjadi suatu tantangan tersendiri.
Itulah sebabnya, Derrida dan Levinas, sebagaimana dikutip oleh Shepherd,
menegaskan bahwa hospitalitas itu seharusnya menjadi bagian yang nyata dari
seorang manusia.26
Dengan kata lain, seharusnya praktik hospitalitas ini tidak menjauh dari
manusia karena tindakan hospitalitas menjadi unsur penting dalam membangun
kemanusiaan, karena tindakan hospitalitas menolak batasan-batasan yang dapat
membahayakan kehidupan manusia akibat pengasingan secara sosial. Justru
dengan tindakan menerima, maka visi dari suatu masyarakat secara menyeluruh
dinyatakan dalam membangun suatu masyarakat yang transformatif. Orang
Samaria yang murah hati bertindak dalam keramahannya dengan melewati batas
etnik, meskipun itu menyebabkan dia harus membayar harga dan
ketidaknyamanan diri demi terselamatnya suatu kehidupan. Kala manusia melihat
sesamanya yang lain, maka sebenarnya mereka melihat gambar Allah yang sama
dan kemanusiaan yang sama, yang menjadi dasar dalam martabat dan rasa hormat
serta tali silaturahmi untuk membangun kehidupan bersama. Peristiwa tersebut
menunjukkan bagaimana Yesus bersikap pluralis.27
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa praktik hospitalitas itu unik dalam
kekristenan, maka sudah sepantasnyalah hospitalitas itu tidak terkurung dalam
ruang ekslusif orang percaya, melainkan sebagai suatu misi yang dilaksanakan
oleh gereja dalam dunia. Hospitalitas dan misi itu saling bertalian karena di

25
Christine D. Pohl, Healthy Church: Embodying Hospitality, diakses dari
http://www.catalystresources.org/the-healthy-church-embodying-hospitality/, tanggal 13 Desember 2020
pukul 20.09 WIB.
26
Andrew Shepherd, The Gift of Other: Levinas, Derrida, and a Theology of Hospitality (Eugene, OR:
Wifp and Stock Publisher, 2014), xxv.
27
Samuel Benyamin Hakh, Merangkai Kehidupan Bersama yang Pluralis dan Rukun: Suatu
Pendekatan Biblis Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 47.
dalamnya ia menciptakan ruang penyambutan, sama seperti Allah menyambut dan
membuka ruang bagi kehidupan manusia.28 Urgensi dari sikap ini sangat perlu
diperhatikan di tengah dunia yang bertumbuh dalam suasana yang sangat defensif
dan berlaku kasar terhadap sesamanya. Sebagai bagian dari misi, maka kala gereja
mempraktikkan hospitalitas, maka sebenarnya gereja sedang mengambil bagian
dalam kerajaan Allah yang damai itu.
Perwujudan perilaku hospitalitas ini mencakup etnik, agama, kondisi ekonomi,
orientasi politik, status gender, pengalaman sosial, latar belakang pendidikan, dan
sebagainya, dengan menjadi terbuka dan menyambut sesama. Artinya lokasi dari
praktik hospitalitas ini pada dasarnya dikaitkan dengan rumah, gereja, institusi,
wilayah, ekonomi, dan politik.29 Tanpa komunitas yang ramah seperti ini, dunia
tentu saja tidak memiliki akses untuk mengenal bahwa seluruh ciptaan Allah itu
selayaknya hidup dalam damai.30 Karena itu, hospitalitas ini bukan sekadar
jamuan pribadi di rumah melainkan suatu cara hidup bersama dalam kehidupan
publik, di mana hospitalitas ini mencakup semua dimensi hidup, sehingga tubuh
Kristus itu menjadi nyata kepada dunia.31
Setiap orang Kristen seharusnya dapat memperlakukan orang lain sebagai
seorang teman, tanpa sikap membeda-bedakan. James L. Fredericks bahkan
menyebut persahabatan dengan orang non-Kristen sebagai a theological virtue.32
Hal ini tidak berlebihan sebab kemampuan untuk mengakui keberadaan yang lain
serta kesanggupan untuk menjalin persahabatan dengan yang lain, yang berbeda,
akan menghasilkan kerukunan hidup bersama. Meskipun untuk itu, seseorang
harus berani melawan rasa takutnya untuk membuka relasi dengan yang lain.
Dengan demikian setiap orang Kristen dapat belajar menikmati dan merayakan
hidup di tengah pluralitas masyarakat Indonesia.
Gereja perlu memiliki sikap proaktif di dalam meng-kampanyekan teologi
hospitalitas tersebut kepada setiap warga jemaat sehingga di dalam hati dan

28
Cathy Ross, “Creating Space: Hospitality as a Metaphor for Mission,” dalam Anvil, Volume 25 No. 3
2008, 167.
29
Christine D. Pohl, Making Room..., 39.
30
Roberth B. Kruschwitz, “Introduction,” dalam Hospitaliy: Christian Reflection: A Series in Faith in
Ethics (Waco: Baylor University, 2007), 8.
31
Elizabeth Newman, “Untamed Hospitality,” dalam Hospitality: Christian Reflection: A Series in Faith
in Ethics (Waco: Baylor University, 2007), 12.
32
James L. Fredericks, “Interreligious Friendship: A New Theological Virtue,” dalm Journal of
Ecumenical Studies 35:2 (1998): 159.
pikiran warga jemaat tertanam pemahaman –meminjam ungkapan yang sudah
sangat sering didengar (bahkan dalam konteks kampanye Pemilihan Umum di
Indonesia) –kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?
Selain itu, hal paling penting yang perlu diingat adalah hospitalitas itu sendiri
adalah cara yang Allah pakai dalam menyapa umat-Nya. Kristus hadir menjumpai
manusia dalam kepedulian, kelembutan, dan keramahtamahan. Hospitalitas yang
murni bersumber dari kasih Kristus yang melaluinya, orang Kristen dapat
membagikan kasih itu kepada yang lain, yang asing. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika Hershberger mengatakan bahwa hospitalitas merupakan
kehidupan yang penuh dengan panggilan untuk berjumpa dan melayani orang
yang membutuhkan demi mewartakan Injil. Bukan semata-mata untuk
mengkristenkan orang lain, melainkan untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan
yang memiliki misi bagi dunia.33
II. Kesimpulan
Pola pergaulan Yesus dipenuhi dengan tindakan hospitalitas. Hal ini terlihat
umpamanya dari pemilihan kedua belas murid-Nya. Semua murid itu pada
awalnya adalah pribadi yang tidak dikenal Yesus. Murid-murid Yesus dari latar
belakang berbeda-beda; baik ekonomi, status sosial, pendidikan dan kerohanian.
Murid-murid adalah orang-orang yang menerima hospitalitas dari Yesus. Yesus
membuka diri dan mau menerima keberadaan murid-murid-Nya. Demikian
sebaliknya, murid-murid mau menerima dan mengikuti Yesus. Hospitalitas Yesus
disambut hospitalitas para murid. Di sini, hospitalitas Allah datang kepada
manusia untuk menjadi kawan sekerja dalam misi Allah.
III. Daftar Pustaka

Andrew Shepherd, The Gift of Other: Levinas, Derrida, and a Theology of Hospitality
Eugene, OR: Wifp and Stock Publisher, 2014.
Bdk. George May, “The Lord’s Supper: Ritual or Relationship? Making a Meal of it in
Corinth Part 2: Meals at Corinth.” dalam The Reformed Theological Review, Vol. 61.
April 2002.
C. Lewis, Elementary Latin Dictionary Oxford: Oxford Univ. Press, 2000.
Cathy Ross, “Creating Space: Hospitality as a Metaphor for Mission,” dalam Anvil,
Volume 25 No. 3 2008.

33
Michele Hershberger, Hospitalitas: Orang Asing atau Ancaman?, 206.
Christine D. Pohl, Healthy Church: Embodying Hospitality, diakses dari
http://www.catalystresources.org/the-healthy-church-embodying-hospitality/, tanggal 13
Desember 2020 pukul 20.09 WIB.
Dennis E. Smith, From Symposium to Eucharist: the Banquet in the Early Christian
World (Minneapolis: Fortress Press, 2003.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-IV Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama 2008.
Elizabeth Newman, “Untamed Hospitality,” dalam Hospitality: Christian Reflection: A
Series in Faith in Ethics Waco: Baylor University, 2007.
Encyclopedia of Religion Provo, Utah: Macmillan Publishing, 1953.
Hal Taussig, In the Beginning Was the Meal: Social Experimentation & Early Christian
Identity, Minneapolis: Fortress Press, 2009.
Hans Abdiel Harmakaputra, “Melepas Bingkai: Upaya Pencarian Jalan-jalan Lain yang
Mengatasi Kebuntuan Model Pendekatan Tipologi Tripolar dalam Diskursus Teologi
Agama-agama Kontemporer Jakarta: Grafika Kreasindo, 2014.
Hent de Vries, Religion and Violence: Philosophical Perspectives from Kant to Derrida
Baltimore: The Johns Hopkins University, 2002.
James Hastings, Encyclopedia of Religion and Ethics Vol. VI New York: Charles
Scribner’s Sons, 1951.
James L. Fredericks, “Interreligious Friendship: A New Theological Virtue,” dalm
Journal of Ecumenical Studies 35:2 1998.
Jessica Wrobleski, The Limits of Hospitality Minnesota: Liturgical Press, 2012.
Joshua W. Jipp, Divine Visitation and Hospitality in Luke-Acts: An Intepretation of the
Malta Episode in Acts 28: 1-10 Leiden: Brill, 2013.
Kristen Dempsey, “Celebrating Justice: the Sacramental Connection,” dalam Journal of
Theta Alpha Kappa 33, No. 1. New York: Spring Press, 2009.
Martin Stringer, Rethinking the Origins of the Eucharis London: SCM Press, 2011.
Michele Hershberger, Hospitalitas—Orang Asing; Teman atau Ancaman? Jakarta: BPK
Gunugn Mulia, 2009.
Roberth B. Kruschwitz, “Introduction,” dalam Hospitaliy: Christian Reflection: A Series
in Faith in Ethics Waco: Baylor University, 2007.
Samuel Benyamin Hakh, Merangkai Kehidupan Bersama yang Pluralis dan Rukun:
Suatu Pendekatan Biblis Kontekstual Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.

Anda mungkin juga menyukai