Anda di halaman 1dari 62

PELAYANAN MULTIDIMENSIONAL GEREJA

by Jerry Elim » Mon Mar 30, 2015 9:50 pm

Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat
mencapai garis akhir
dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku
untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.
(Kisah Para Rasul 20:24)

=~PENDAHULUAN~=

PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR

Gereja (ekklesia) berarti persekutuan segala orang percaya dari segala tempat dan
segala abad yang adalah merupakan tubuh Kristus (Kol. 1:18); sering disebut juga “the
invisible church / gereja yang tidak kelihatan secara fisik” (Matius 16:18); jemaat yang
berkumpul di suatu kota (KPR. 5:11); jemaat yang berkumpul disebuah rumah (Roma
16:5).

Pelayanan multidimensional adalah pelayanan gereja pada semua strata/level/lapisan


kehidupan masyarakat dan dalam semua bidang/dimensi/ruang/aspek/lapangan
pekerjaan dengan tidak lagi melihat latar belakang ataupun perbedaan-perbedaan yang
terdapat dalam obyek pelayanan tersebut. Atau dengan lain perkataan, pelayanan yang
berdimensi banyak yang tentunya melibatkan banyak gereja (secara keseluruhan) guna
mencapai hasil akhir yang melimpah dalam menuai jiwa-jiwa baru/para petobat baru.

Optimalisasi misi penuaian, adalah mendayagunakan dan memaksimalkan potensi


pelayanan misi yang terdapat dalam gereja secara organisatoris/kelembagaan maupun
secara organis/pribadi. Gereja harus proaktif, inovatif, kreatif untuk terus menerus
melepaskan/ mengutus para misionaris kedalam ladang pelayanan pekerjaan Tuhan.
Gereja haruslah “all out’ berapa pun harga yang harus dibayar sebagai imbalan untuk
kepentingan kerajaan Allah. Total mobilisasi jemaat dan para pelayan/hamba-hamba
Tuhan merupakan kekuatan pamungkas yang dahsyat dalam hal ini.

Eksistensi kehidupan kristiani akhir zaman yang syarat tantangan, semakin diuji kualitas
kasih & imannya. Khususnya di Indonesia, yang hampir dapat disebut sebagai “biang
konflik horisontal” baik dalam bidang sosial, ekonomi & politik, sangat berpengaruh
terhadap kehidupan bergereja. Masalah HAM, bentrok antar etnis/suku, isue SARA sudah
“menjalar” bak “kanker ganas” stadium akhir yang memporak-poranda sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat hampir di seluruh tanah air. Pemberantasan KKN hanyalah
slogan para penguasa yang tidak pernah jemu-jemu menipu rakyat. Mereka yang
menyebut dirinya “pakar” pun tidak mampu mempersempit jurang antara si kaya & si
miskin (konglomerat & “kolongmelarat”) yang semakin menganga. Lilitan hutang luar
negeri menjadikan Indonesia tercinta ini seperti “mumi Firaun” yang diawetkan dalam
krisis moneter. Daftar panjang penderitaan anak bangsa semakin lengkap dengan
hadirnya “OTDA” – Otonomi Daerah. Berbagai komponen bangsa mulai “menggeliat”
berusaha bangkit & melepaskan diri dari situasi yang semacam ini. Tokoh-tokoh
masyarakat & agama bersikukuh merajut kembali pilar-pilar persatuan bangsa yang
terkoyak hampir ambruk.

Kehidupan kekristenan pun semakin tertantang untuk tetap menebar kasih Kristus
kepada semua orang di tengah-tengah tekanan & bahkan aniaya yang sementara
berlangsung. (Roma 12:14-20; Lukas 6:27-28). Bahkan ditengah-tengah himpitan dan
keadaan yang serba tidak menentu inilah gereja Tuhan diberi visi & misi untuk
mengubahnya menjadi ladang penuaian. Tuhan Yesus berkata :”Lihatlah sekelilingmu
dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai”.
(Yohanes 4:34b). Dan lagi Ia (Yesus) berkata : “Aku mengutus kamu untuk menuai apa
yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil
usaha mereka” (Yohanes 4:38). Kristus yang kita sembah adalah TUHAN yang jauh lebih
besar dari masalah & tekanan yang kita hadapi. Yesus Kristus sanggup mengubah
tekanan menjadi sukacita penuaian bagi para penuai. Gereja Tuhan akhir zaman sangat
diharapkan peran sertanya untuk mengubah “ladang permasalahan” menjadi “ladang
penuaian global” melalui jawatan-jawatan pelayanan (5 jawatan pelayanan) yang
diberikan Tuhan. Ke 5 (lima) jawatan tersebut adalah Rasul, Nabi, Penginjil, Gembala,
Guru (Efesus 4:11). Jawatan-jawatan ini saling melengkapi & tidak terpisahkan dalam
pelayanan tubuh Kristus (Efesus 4:12-16).

Gereja-gereja (secara utuh tanpa membedakan merk/denominasi) haruslah sehati-sepikir


dalam mengemban misi Kristus lewat mega-proyek, penuian global. Gereja-gereja
haruslah memiliki kesamaan visi penuaian jiwa-jiwa baru dan bukan saling melihat
kebenaran diri sendiri sambil menuding kekurangan yang lain. Gereja seringkali
kehilangan warna pelayanan kasih karena sibuk menyepelekan hal-hal yang prinsip dan
menjadikan suatu prinsip hal-hal yang sepele. Kerapkali Gereja dengan sangat gigih
memperjuangkan kebenaran dogmanya daripada mempertahankan doktrin Alkitabiah.
Kini saatnya, gereja-gereja Tuhan (para pemimpin gereja) menghilangkan “akar
kepahitan” yang hanya ingin “menang sendiri” dan bersatupadu dalam kasih Kristus
untuk menyongsong tuaian global akhir zaman (Yohanes 17:21). Gereja haruslah bisa
memproduksi tenaga-tenaga penuai yang handal dalam kebun anggurnya Kristus
(Yohanes 15:5). Para penuai, lebih khusus lagi hamba-hamba Tuhan (mereka yang
terpanggil untuk menerima jawatan-jawatan pelayanan), belumlah cukup bila hanya
membekali diri dengan pelajaran Teologi tetapi haruslah juga memperlengkapinya
dengan ilmu pengetahuan & teknologi plus ketrampilan-ketrampilan umum (mis. bahasa
Inggris, Komputer, Pertukangan, Kerajinan Tangan, dll), sehingga dapat survive dan
menjadi daya tarik tersendiri dalam pelayanan.

Ke 5 jawatan tersebut di atas haruslah mendapat bagian yang seimbang dalam


pelayanan jemaat dan masyarakat. Dalam artian luas, janganlah fokus pelayanan hanya
bertumpu pada jawatan gembala. Beberapa Sekolah Teologia ataupun Sekolah Alkitab
hanya dapat menghasilkan tenaga-tenaga penggembalaan tanpa dapat mem-filternya
untuk di share kepada 4 jawatan lainnya. Sepertinya setiap siswa Sekolah Alkitab /
mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia secara terus-menerus dibentuk untuk menjadi
pendeta atau gembala yang baik. Akibatnya sering terjadi “timbunan” gembala tanpa
“domba” (jemaat-red) yang kerjanya suka “nyelonong” ke ladang penggembalaan orang
lain. Marilah, kita semua (terutama pihak sekolah Alkitab/Sekolah Tinggi Teologia) lebih
jeli melihat panggilan pelayanan yang diberikan Tuhan. Untuk mereka, yang sementara
dipersiapkan menjadi penuai, bertanyakanlah senantiasa kepada Kristus yang adalah
Kepala Gereja Agung, jawatan apakah yang diberikan kepada saya ? Sebagai hamba-
hamba/pelayan-pelayan Tuhan ataupun mereka yang sementara dididik di sekolah-
sekolah Alkitab & sekolah-sekolah Teologia, marilah kita senantiasa taat melaksanakan
fungsi jawatan yang Tuhan berikan dan bukan yang kita inginkan (1 Korintus 12:28-
29a). Janganlah “memaksakan diri” mengemban jawatan yang sebenarnya bukan
dikaruniakan kepada kita (tidak terpanggil/dikaruniakan jawatan sebagai seorang
“Gembala”, tetapi memaksakan diri untuk mengemban tugas penggembalaan dalam
jemaat).

Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi dan media informasi yang memasuki pasar
bebas tahun 2003 sudah menimbulkan tendensi pesimisitis tersendiri bila dibandingkan
dengan peranan gereja dalam mempersiapkan jemaat, lebih khusus lagi para Penuai.
Bahkan bila dicermati secara logis, bukan hanya tantangan spritual tetapi tantangan
intelektual/rasionil yang harus lebih diantisipasi/disikapi. Iman kristiani bukan hanya
digunakan untuk membentengi serangan musuh yaitu si Iblis terhadap hati manusia
(Efesus 6:16), tetapi harus juga digunakan untuk mengerti dalam akal budi, strategi
pelayanan pekerjaan Tuhan (I Petrus 1:13). Terkadang para penuai Kristen hanya bisa
“mengais” sisa-sisa penuaian dari orang lain karena kalah bersaing dalam IPTEK dan
ketrampilan penunjang lainnya (Efesus 5:17).

Bila diamati secara fisik, bukan cuma gedung2 tempat ibadah yang menebar pesona
penuh asesoris & pernak-pernik kemegahan, Persekutuan-persekutuan Doa berlabel
oikumene yang independen pun telah bertumbuh subur bagai “jamur” musim hujan plus
Yayasan-yayasan Pelayanan Kristen dengan jadwal kegiatan Pelayanan Penginjilan dan
Diakonia yang sangat padat. Mereka “melihat”/menganggap bahwa gereja dan
dogmanya sudah “ketinggalan zaman karena terlalu liturgis tradisionil”. Memang, dari
satu segi, kehadiran Persekutuan Doa & Yayasan Pelayanan Kristen sangat membantu
gereja dalam menjaring jiwa-jiwa baru, tetapi di sisi yang lainnya menjadi “bumerang”
bagi denominasi gereja karena “ditinggalkan” jemaat yang “harus” berpindah tempat
ibadah dengan berbagai alasan antara lain, tata cara beribadah yang kaku dan “mati”,
tidak ada urapan & kehadiran Tuhan bila beribadah dalam gedung gereja, kurang
bahkan tidak terbuka terhadap pekerjaan & karya Roh Kudus lewat nubuatan,
penglihatan-penglihatan dan mimpi sebagai suatu karunia ilahi. Dengan lain perkataan,
gereja yang selama ini cenderung untuk mempertahankan dan memperjuangkan
penyebarluasan dogma & doktrin organisasi gereja, telah dianggap sangat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan rohani individu bahkan jemaat.

Ajaran-ajaran baru hasil tafsiran Alkitab yang rasanya belum pernah di “sodorkan”
organisasi gereja, menjadi “kesukaan” jemaat dalam Persekutuan/Yayasan Pelayanan
Kristen. Gereja nampaknya sangat “kelelahan” untuk secara mendadak menata kembali
kekurangan-kekurangan karena tidak ingin terus-menerus menderita “kerugian”
kehilangan jemaat yang ber-nomaden ke Persekutuan/Yayasan Pelayanan Kristen.
Akibatnya, ada sebagian/beberapa organisasi/denominasi gereja yang “terpaksa” harus
mengadopsi dogma/doktrin Persekutuan/Yayasan Pelayanan Kristen tanpa melalui suatu
proses filterisasi doktrin yang Alkitabiah.
Jika tidak dapat dikatakan secara umum, gereja sementara dan telah kehilangan visi dan
misi pelayanan adikodrati sehingga menjadi “mandul” dalam menjaring jiwa-jiwa baru,
maka dapat diperlunak dengan ungkapan hasil pengamatan lapangan bahwa gereja
hanya “efektif” secara intern yakni dengan menempatkan diri sebagai “pesaing utama”
untuk saling “memenangkan” mereka yang notabene adalah juga para pemercaya yang
berbeda denominasi/merk saja. “Kebablasan”, mungkin itulah istilah yang tepat bagi
gereja yang berupaya mengantisipasi “kepergian” jemaatnya.

Memang harus diakui bahwa penerapan penafsiran ayat-ayat Firman Tuhan dalam
Persekutuan Oikumene ada juga yang alkitabiah sehingga dapat menjadi tambahan
referensi teologis yang membangun iman. Tetapi beberapa diantara yang lainnya telah
terjadi kesalahan penafsiran yang “fatal” dan sangat merisaukan. Satu diantaranya
adalah kesalahan penerapan penafsiran ayat-ayat dalam KPR/Yoel seperti yang terkutip
di atas.
Orang Kristen yang penuh dengan Roh Kudus belum tentu kebal terhadap tipuan Iblis.
Jadi, penting sekali untuk selalu waspada, mencari informasi tentang strategi musuh, dan
selalu mengikuti jalannya peperangan. Ini berarti mewaspadai teologi-teologi yang
populer saat ini, dan menelaahnya berdasarkan Kitab Suci. Kalau itu kita lakukan,
mungkin kita akan terkejut bila mendapatkan begitu banyak teologi populer yang
ternyata kurang sesuai dengan kaidah Alkitab

Pada awalnya, iman kristiani yang kering dan mati dikobarkan oleh pesan yang berapi-
api bahwa Yesus adalah Tuhan, bahwa Roh Kudus akan memberi kekuatan kepada orang
yang percaya untuk hidup tunduk kepada Dia sebagai Tuhan, dan bahwa karunia-karunia
Roh dibutuhkan dan dapat diperoleh pada hari ini juga. Kebenaran-kebenaran ini telah
terwujud dalam kehidupan amat banyak orang. Pada kenyataannya Roh Allah yang
penuh kuasa bekerja tanpa mengenal bentuk dan batasan.

Akan tetapi, beberapa pemimpin gereja/rohani begitu terhanyut dalam momentum ini,
sehingga berusaha keras untuk mencegah mengendurnya semangat dengan berbicara
tentang wahyu baru. Kata mereka, Allah mempunyai pesan baru untuk saat ini.

Wahyu-wahyu baru apakah yang sekarang telah menjadi gerakan (movement)? Tidak
lain adalah apa yang “memuaskan keinginan telinga manusia” (2 Tim. 4:3-5) – formula
yang pasti untuk memperoleh kesehatan, kekayaan, keberhasilan, kebahagiaan dan
kepuasan diri sendiri. Bagaimanapun juga tidak banyak orang yang tertarik pada apa
yang dikatakan Yesus bahwa mengikuti Dia berarti pengorbanan. Dan pengorbanan ini
meliputi penganiayaan, penderitaan, dan kerugian pribadi.

Waspadalah, kita membutuhkan ajaran yang benar, prinsip-prinsip alkitabiah yang


diterapkan pada dilema kehidupan saat ini. Dan tidak ada salahnya bila kita mengagumi
pertunjukkan kuasa Allah. Akan tetapi, jika hal ini disalahgunakan sehingga Kristus
tersisihkan, semuanya itu akan menjadi perangkap iblis. Dalam usaha kita untuk
menerapkan prinsip-prinsip alkitabiah pada kebutuhan khusus manusia, pusat perhatian
utama kita haruslah pada Dia – Kristus yang hidup dan dinamis. Oleh karenanya, melalui
tulisan ini saya menghimbau kepada Gembala Sidang, Guru-guru Sekolah Alkitab, para
Pemimpin Gereja bahkan Usahawan-usahawan/Profesi Kristen yang telah diberkati &
diurapi Tuhan, kiranya pro-aktif dalam memfilterisasi jawatan pelayanan pekerjaan
Tuhan agar semuanya dapat terakomodasi dengan baik bagi terwujudnya tuaian global
di akhir zaman ini.

=~PEMBAHASAN~=

I. VISI TUHAN BAGI GEREJA

Membangunkan “GENERASI VISIONER”


(suatu visi dari generasi yang dinamis dan produktif)

Alkitab memberitahukan pada kita semua bahwa TUHAN, Allah yang Mahakuasa saja
tidak asal bekerja atau Ia tidak akan melaksanakan misi ilahi-Nya tanpa adanya visi yang
memotivasi dan memberi-Nya fokus tindakan. Contohnya, misi penebusan dan
penyelamatan umat manusia oleh Yesus Kristus tidaklah hasil “abakadbra” ala sang
ilusionis tetapi sesungguhnya TUHAN, Allah telah memiliki visi pemulihan dan
penyelamatan manusia seperti yang tergambar dalam kitab Kejadian
3:15,”….keturunannya akan meremukkan kepalamu,…” (para teolog sepakat menyebut
ayat ini sebagai “proto-evangelium” atau “injil yang pertama”). Kutipan ayat ini memberi
pemahaman soteriologis (keselamatan, red) bahwa di kemudian hari sang Mesias, Yesus
Kristus akan terlahir dari keturunan perempuan untuk membebaskan umat pilihan-Nya
dari perbudakan dosa dan ancaman kematian kekal karena dosa itu. Allah dalam usaha
merealisasikan visi tersebut mulai menyusun rencana dan kemudian memberi misi
kepada Yesus Kristus (baca Yohanes 6:38-40). TUHAN sendiri telah menyampaikan visi
ilahi-Nya mengenai umat pilihan-Nya, “pada akhir zaman, orang-orang muda akan
mendapat visi dan para orang tua bermimpi” (Yoel 2:28, KPR. 2:17). Hal ini
menunjukkan bahwa visi ini dimulai dan datangnya dari TUHAN. Dan bila TUHAN punya
visi akan adanya generasi Visioner akhir zaman maka itu berarti TUHAN telah
menetapkan fokus perhatian untuk mewujudnyatakannya. Visi itu telah menjadi nyata
melalui misi. Jadi, Allah adalah “Visioner” kekal dan juga menjadi sumber visi bagi anak-
anakNya.

Yesus Kristus, sang Anak pun memiliki visi pelayanan, “menjadikan semua bangsa murid-
Nya” sehingga sebelum naik ke surga Dia memberi misi atau lebih dikenal sebagai Misi
Agung atau Perintah Agung Yesus Kristus kepada para murid, juga gereja (baca kembali
Matius 28:19).

Tetapi beberapa hal berubah dalam pelayanan gereja, kadang, karena alasan yang
bagus, kadang tidak. Para pemimpin gereja sadar bahwa revolusi visi terjadi di kalangan
masyarakat secara besar-besaran, dimulai dari membaca buku-buku dengan topik itu,
kemudian dibicarakan dalam seminar-seminar dan diusulkan kepada para jemaat bahwa
sebuah pernyataan visi dibutuhkan. Selain keinginan baik itu, beberapa gereja
membenamkan diri mereka dalam proses pengembangan visi sejati yang menghasilkan
sebuah visi dan pernyataan visi berkaitan yang asli dari Tuhan.

Pada kenyataannya, ada permasalahan serius dalam pemusatan kasus demi kasus, hasil
dari usaha pengembangan visi adalah hasil dari penjelasan dari visi manusia dan bukan
Tuhan.
Bila dilihat dari mana datangnya maka sebuah visi dapat datang atau keluar dari 3 (tiga)
sumber yakni visi yang sumber utamanya dari TUHAN, dari pribadi sendiri dan dari Iblis.

Berikut adalah pengertian visi dan mimpi secara etimologi (asal-usul kata) dan
terminologi (definisi).
Penglihatan berasal dari bahasa Ibrani : hāzōn, Yunani : horama, Inggris : vision, sight, a
spectacle, appearance, yang hampir selalu menandakan suatu arti pewahyuan ilahi.
Pertama, kata hāzōn menunjuk pada pengertian dari “visi kenabian/profetik” dimana
pesan-pesan ilahi di komunikasikan (Yehezkiel 12:21-22). Kedua, kata ini juga berarti
menampilkan kembali pesan yang diterima melalui penglihatan profetik (Amsal 29:18).
Ketiga, arti kata hāzōn yang lainnya adalah menyajikan/menampilkan kembali secara
keseluruhan dari pesan kenabian/nabi, seperti yang tercatat dalam Yesaya 1:1. Jadi, kata
hāzōn menunjuk pada hubungan antara isi fokus komunikasi ilahi dengan pengertian-
pengertian dari pesan-pesan tersebut yang tidak dapat dipisahkan.

Mimpi berasal dari kata halôm (bhs. Ibrani), onar/enupnion (bhs. Greek), dream (bhs.
Inggris), yang berarti mimpi yang biasa dialami seseorang dalam ketidurannya (Ayub
7:14; Mat. 2:19-22) tetapi arti terpenting dalam penggunaan kata ini adalah
menunjuk/mengarah pada “mimpi nabi” dan/atau “visi nabi”. Dan ini berarti bahwa
sebuah mimpi adalah juga sebuah penyataan ataupun penampakkan (Kejadian 20:3;
Matius 27:19).

Penglihatan adalah salah satu cara Allah dalam menyampaikan maksud ataupun
rencana-rencanaNya kepada seseorang yang dipilihNya dalam keadaan sadar diri (tidak
sedang tidur) mengenai orang lain, kelompok orang, suku ataupun bangsa. Orang yang
dipilih Allah tersebut di beri karunia nabi atau diangkat sebagai nabi oleh Allah sendiri
dan Allah juga memberi pengertian untuk menafsirkan penglihatan tersebut. Biasanya,
penglihatan berhubungan erat dengan proses penyampaian pesan-pesan nubuatan.

Mimpi adalah pembentukan imajinasi alam bawah sadar dalam bentuk gambaran yang
bergerak seperti film yang dialami/dilihat seseorang ketika sedang tertidur. Mimpi bisa
terjadi sebagai suatu bentuk pengulangan kegiatan seseorang yang pernah dilakukannya
dalam alam sadar atau dengan lain perkataan, mimpi itu terbentuk dari “rekayasa”
pikiran dan perasaan dibawah kontrol alam tak sadar seseorang sehingga membuatnya
seperti hidup dan melakukan segala sesuatu di alam mimpi itu.

Tetapi mimpi, bisa merupakan suatu gambaran bergerak yang di karuniakan Tuhan Allah
kepada seseorang sebagai bentuk komunikasi antara Allah dengannya ketika orang
tersebut sedang tertidur dengan maksud-maksud tertentu seperti “memberi
peringatan/menegur, dorongan, memulihkan, memberi petunjuk ataupun pengajaran”.
Dan biasanya mimpi yang diberikan Tuhan kepada seseorang dapat ditafsirkan langsung
oleh orang tersebut atau Tuhan memakai orang lain untuk memberitahukan/
menafsirkan arti mimpi tersebut (baca, Bilangan 12:6; Kejadian 40 & 41; Daniel 1:17).

Dua kata ini - penglihatan dan mimpi -, biasanya saling berhubungan atau erat
kaitannya. Beberapa penulis Kepemimpinan sering menggabungkan mimpi ke dalam
pengertian visi (penglihatan) karena di dalam mimpi-mimpi tersebut bisa timbul visi
mengenai suatu hal yang akan menjadi fokus perhatian untuk pencapaiannya kelak.

Visi bukanlah indera ke enam, tetapi suatu kemampuan yang melampaui indera ragawi
yakni mata dalam hal “melihat” atau mengimpikan sesuatu keadaan tertentu yang lebih
baik dari sekarang dan menjadikannya target pencapaian pada beberapa tahun
kemudian. Ini bukan suatu nubuatan (walau seringkali TUHAN menggunakan cara ini
untuk menyampaikan nubuatan melalui para nabi) atau prediksi mistik paranormal. Ini
berbicara tentang harapan masa depan yang harus ditetapkan sekarang supaya individu
bisa terfokus atau berkonsentrasi penuh untuk mencapai, mengapai, meraih apa yang
menjadi impiannya. Visi bukanlah sebuah imajinasi/khayalan kosong pengisi waktu
lowong yang tak mampu memberi semangat atau daya dorong pada individu untuk
bertindak. Visi yang dimaksudkan disini sangat logik sehingga dapat dinalar dengan akal
sehat dan dapat direalisasikan (diwujudnyatakan).

Visi biasanya terdapat dalam lingkungan para pemimpin atau seharusnya dimiliki seorang
pemimpin yang punya pengikut (orang-orang yang dipimpin). Bila seorang pemimpin
tidak memiliki visi bagi orang-orang yang dipimpinnya maka ia sudah kalah sebelum
berperang atau pensiun sebelum berkarya. Tetapi visi pun bisa dimiliki oleh tiap pribadi
karena pemimpin dalam artian paling sederhana adalah memimpin diri sendiri dulu
sebelum memimpin orang lain.

Seorang pemimpin gereja besar mengatakan bahwa visi adalah “melihat yang tidak
terlihat dan membuatnya menjadi terlihat.” Yang lain mengatakan visi adalah “jembatan
yang dibangun dari masa sekarang sampai dengan masa depan.” Menurut Bill Hybels,
“visi adalah sebuah gambaran masa depan yang menimbulkan kegairahan.” Hampir
senada dengan Bill Hybels, George Barna memberikan definisi visi sebagai “gambaran
jiwa yang jelas dari sebuah masa depan yang lebih baik yang diberikan oleh Tuhan
kepada pelayan pilihan-Nya dan didasarkan pada pengertian yang lebih akurat tentang
Tuhan, diri sendiri dan keadaan.”

Selanjutnya, George Barna menggambarkan secara ringkas komponen-komponen visi


tersebut sbb:
*-* Sebuah Gambaran Jiwa yang jelas

Visi adalah sebuah gambaran yang dipegang oleh mata pikiran Anda tentang hal-hal
yang dapat atau seharusnya terjadi di hari-hari depan. Visi berkonotasi dengan sebuah
pandangan yang nyata (visual reality), sebuah gambaran tentang kondisi yang tidak ada
pada saat ini. Gambaran ini sangat personal dan khusu. Ini bukanlah gambaran masa
depan orangn lain, tetapi sebuah gambaran unik yang hanya milik Anda. Pada akhirnya,
Anda harus melukiskan gambaran jiwa itu bagi orang lain, jika Anda menginginkan
gambara itu untuk menjadi nyata di gereja Anda. Sama seperti Anda menggunakan
imajinasi Anda untuk meciptakan gambara masa depan ini, Anda harus memimpin orang
lain untuk menangkap visi yang sama agar mereka juga dapat saling berbagi dalam
pelaksanaan dan dampaknya. Oleh karena itu, memiliki gambaran yang jelas dalam
pikiran adalah hal yang penting. Sebuah perspektif yang tidak jelas bukanlah sebuah visi.

*-* Sebuah Perubahan yang Diharapkan

Ada pendapat bahwa visi berhubungan dengan apa yang disukai; tapi sebenarnya visi
bukanlah sekedar apa yang disukai. Visi harus membawa perubahan. Visi itu tidak
pernah tentang mempertahankan status quo. Visi itu tentang menarik kenyataan hingga
di luar keadaan yang ada. Oleh karenanya, visi itu dibutuhkan bahkan ketika gereja
berada pada posisi yang bagus; visi itu tidak hanya bagi gereja-gereja yang bergulat
dengan keadaan sekarang. Untuk menciptakan situasi yang lebih baik dalam elayanan,
Anda bisa bergantung baik kepada situasi yang acak dan berharap hasilnya lebih dari
yang telah ada atau Anda bisa mengendalikan lingkungan Anda, berdasarkan bimbingan
dan arahan Tuhan, dan menciptakan masa depan yang lebih baik.

*-* Sebuah Fokus Masa Depan

Visi berkonsentrasi pada masa depan. Dia berfokus pada pemikiran ke depan daripada
terus berkutat atau mengganti masa lampau. Berapa banyak gereja yang Anda ketahui
meratapi keadaannya pada saat ini dan menginginkan hari-hari kejayaan di masa
lampau? Tak satu pun dari gereja-gereja tersebut yang akan melepaskan diri mereka
sendiri dari kelesuan atau penurunan yang mereka alami.

Cara untuk sukses dalam pelayanan adalah berfokus kepada Tuhan dan berkomitmen
penuh pada Visi-Nya tentang pelayanan Anda dan pada apa yang akan Dia lakukan pada
Anda dan melalui Anda di masa depan.

*-* Sebuah Pemberian dari Tuhan

Visi pada pelayanan adalah sebuah refleksi pada apa yang Tuhan inginkan agar tercapai
melalui Anda untuk membangun kerajaan-Nya. Daripada bergantung pada kemampuan
manusia untuk membuat sebuah pandangan dan perencanaan pada masa depan, Tuhan
menyampaikan pandangan-Nya akan masa depan itu kepada seorang pemimpin. Jangan
sampai salah : Pemimin visioner menerima visi pelayanan mereka dari Tuhan.

Visi adalah inti dari kepemimpinan dan senjata paling ampuh bagi perubahan dunia.
Rengutlah visi dari seorang pemimpin maka berarti Anda telah membunuhnya. Visi
adalah bahan bakar yang membuat pemimpin dapat bertahan. Visi adalah energi yang
menciptakan tindakan. Ia adalah api yang menyalakan gairah para pengikut. Ia adalah
panggilan jelas yang menopang usaha yang terfokus tahun demi tahun, dekade demi
dekade, saat orang-orang menawarkan pelayanan yang konsisten dan rela berkorban
kepada Allah.

Untuk memahami visi serta bagaimana visi itu menjadi bagian dari hidup seseorang,
perhatikanlah beberapa hal berikut :

a. Visi Itu Keluar Dari Dalam Diri Sendiri.


Kita tidak dapat membeli, mengemis atau meminjam visi. Visi harus datang dari dalam
pribadi yang bersangkutan.
Keluarkanlah karunia-karunia alami serta hasrat-hasrat Anda. Pelajarilah panggilan Anda
jika ada. Dan jika Anda masih juga belum mendapatkan visi sendiri, pertimbangkanlah
kemungkinan untuk bekerjasama dengan seorang pemimpin yang visinya bisa
memotivasi Anda.

b. Visi Bisa Muncul Dari Pengalaman Pribadi


Visi bukanlah suatu kualitas mistik yang muncul dari suatu kekosongan, seperti yang
nampaknya jadi trend keyakinan beberapa orang saat ini. Visi muncul dari pengalaman
masa lalu seseorang terhadap sesuatu. Anda bisa bertanya kepada pemimpin manapun,
maka rasanya Anda akan menemukan peristiwa-peristiwa kunci di masa lalunya yang
sangat penting dalam menimbulkan visinya.

c. Visi Memberi Nilai Tambah Kepada Orang Lain


Visi sejati benar luas ruang lingkup dan jangkauannya. Visi melampaui yang dapat
dicapai seorang individu. Dan bila visi itu bernilai tinggi maka akan lebih dari sekedar
melibatkan orang lain; visi yang diperoleh itu akan memberikan nilai tambah kepada
orang lain dalam artian dapat dipakai untuk memenuhui kebutuhan orang lain. Jadi, jika
Anda memiliki visi yang tidak melayani orang lain, mungkin visi Anda terlalu kecil.

d. Visi Membantumu Mengumpulkan Sumber-sumber Daya.


Visi bersifat magnetis - menarik, menantang dan mempersatukan orang. Itulah salah
satu keuntungan paling berharga bila Anda memilikinya. Visi dapat juga menarik dana
serta sumber-sumber daya lainnya. Semakin besar visinya, semakin banyak pemenang
yang akan tertarik kepadanya. Semakin menantang visinya, semakin keras para
partisipannya berjuang untuk menggapainya. Pendiri Polaroid, Edwin Land pernah
menasihati stafnya, “Hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah mengajar orang yang
bersangkutan untuk merasa bahwa visi itu sangat penting dan hampir tidak mungkin. Itu
akan menarik dorong dalam diri para pemenang”.

Bagaimana Anda dapat mendeteksi denyut nadi visi dalam diri Anda seperti yang sering
dilakukan oleh para pemimpin besar ? Jawabannya adalah, dengarkan suara hati Anda
sendiri. Inilah yang dimaksud dengan, visi dimulai dari dalam. Tahukah Anda apa misi
hidup Anda? Apakah yang menggugah hati Anda? Apakah yang Anda impikan? Jika yang
sedang Anda kejar dalam hidup ini bukan berasal dari hasrat hati nurani - keluar dari
kedalaman keberadaan Anda dan apa yang Anda yakini - Anda tidak akan pernah dapat
mencapainya.

Sekarang, marilah ke lapangan kehidupan. Fakta seringkali mengecewakan karena


berbenturan dengan idealisme positif. Banyak orang yang sangat giat bekerja dalam
berbagai bentuk usaha atau jenis pekerjaan tapi tanpa visi yang jelas bahkan tidak
memilikinya sama sekali sehingga tidak terjadi perubahan berarti dalam hidupnya.
Dedikasi, kejujuran, etos kerja yang tinggi dan loyalitas adalah energi besar yang
terbuang sia-sia bila tidak punya visi.

Visioner akan digerakkan secara sistematik oleh visinya ketika memulai suatu bentuk
pekerjaan hingga tercapainya visi tersebut. Visi selalu mengarah pada perubahan, dalam
bentuk dan lingkup kehidupan apa pun.

Misalkan, hari ini Anda adalah pedagang emperan toko (pedagang kaki lima). Anda akan
tetap di sana seumur hidup tanpa visi yang jelas untuk memiliki sebuah toko atau tempat
usaha yang lebih baik dan menguntungkan secara bisnis. Jika Anda dapat menemukan
dan mengeluarkan visi terpendam maka Anda akan fokuskan seluruh perhatian dan
energi demi meraih impian Anda. Dan Anda bisa pastikan dalam target waktu tertentu
kehidupan finansial Anda akan lebih baik dan itu akan merubah gaya hidup atau pun
meningkatkan tingkat pergaulan sekitar Anda dan beberapa perubahan yang diharapkan
lainnya.
Para Visioner sejati tidak hanya terpola atau terbentur dengan satu visi tetapi sangat
variatif; tergantung posisi dan keadaan ataupun lingkup bisnis dan jenis pekerjaan yang
ditekuni. Sebab itu, usahakanlah untuk memiliki dan tetap berada dalam visi agar Anda
tahu kapan memulai dan menyelesaikan suatu misi secara teroganisir demi masa depan
yang lebih baik.

Your vision should be an inspiration to change your life-style in the future. It’s starts
from now (Visi Anda akan menjadi suatu inspirasi yang mengubah gaya hidup Anda di
masa depan).

II. OPTIMALISASI MISI PELAYANAN MULTIDIMENSIONAL

A. KOMPONEN-KOMPONEN PENDUKUNG

A.1. MULTI VISI (Berbagai Penglihatan Supranatural Dalam Pelayanan)

Gereja yang bergerak dalam pelayanan multidimensi harus digerakkan oleh visi yang
Alkitabiah. Tanpa visi, gereja menjadi buta dan kehilangan arah, tidak efektif, tidak
efisien dan hanya menghabiskan begitu banyak energi dalam pelayanan dengan hasil
yang sangat tidak memuaskan bahkan dapat dikatakan tidak akan pernah mencapai
target pelayanan.

Visi yang digunakan sebagai motor penggerak inipun bermacam-macam (multi visi)
sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pelayanan gereja.

Ada berbagai cara Allah berbicara kepada kita yang secara umum termasuk dalam
kategori penglihatan. Dalam skala pewahyuan profetik, secara umum penglihatan
merupakan pewahyuan yang lebih tinggi dari impresi/kesan sebab sifatnya lebih obyektif.

A.1.a. Penglihatan-penglihatan sekilas dalam Roh.

Ini merupakan jenis penglihatan yang paling rendah dan merupakan gambar internal
yang kita terima dari Tuhan yang berlalu dengan cepat. Penglihatan-penglihatan sekilas
ini biasanya bersifat simbolik. Misalnya, pada saat kita berdoa untuk orang lain, Tuhan
memberi penglihatan sekilas di dalam roh kita yang mungkin pada awalnya tidak
dimengerti. Tetapi kita harus berdoa untuk mendapatkan intepretasi supaya dapat
mengerti apa yang sedang Allah katakan. Biasanya, jenis penglihatan ini muncul ketika
kita sedang berdoa dalam pengurapan Roh Kudus (Yudas 20).

A.1.b. Penglihatan internal.


Penglihatan-penglihatan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan penglihatan sekilas.
Penglihatan ini lebih dari sekedar gambar; ia memiliki “alur cerita” dari kejadian-kejadian
yang transparan dengan tingkat pewahyuan yang lebih tinggi. Penglihatan jenis ini dapat
diinterupsi oleh berbagai gangguan sehingga diperlukan fokus yang baik untuk
mencegahnya agar tidak hilang.

A.1.c. Penglihatan-penglihatan terbuka.

Jenis penglihatan ini diterima ketika mata kita terbuka dan tidak berhenti oleh karena
gangguan-gangguan. Penglihatan ini dapat mulai dan berlanjut bahkan ketika kita
terlibat di dalam aktivitas yang menyita perhatian. Hampir sama dengan melihat sebuah
pemandangan yang diterjemahkan secara fisik seperti di dalam pemandangan sebuah
film (Keluaran 3:3).

A.2. MULTI JAWATAN (Kelengkapan Pelayanan Dalam Tubuh Kristus)

Ini adalah bentuk pelayanan lima jawatan yang disingkapkan di dalam Efesus 4:11, yakni
Rasul, Nabi, Penginjil, Gembala dan Guru. Kelima karunia itu pada hakikatnya bukan
karunia-karunia Roh Kudus sendiri, tetapi perpanjangan pelayanan Kristus kepada Gereja
sebagai kepala. Pelayanan dan fungsi utama mereka adalah mengajar, melatih,
mengaktifkan dan men-dewasakan orang-orang kudus supaya pelayanan-pelayanan
mereka berhasil (Ef 4:12-13).

A.2.a. Rasul

Rasul mendirikan gereja-gereja baru (baca perjalanan misi Paulus), mengoreksi


kesalahan dengan menegakkan tatanan dan struktur yang tepat (baca I Korintus), dan
bertindak sebagai penilik, yaitu pelayanan sebagai bapa pelayanan-pelayanan lain (I Kor.
4:15; 2 Kor. 11:28). Rasul mendapat urapan wahyu (Efesus 3:5).

A.2.b. Nabi

Nabi adalah hamba Allah yang menerima karunia “nabi” (Efesus 4:11; I Kor. 12:28;
14:29; KPR. 11:27; 13:1). Nabi adalah pelayan yang sudah diurapi yang mempunyai
karunia untuk melihat dan mengucapkan pikiran khusus Kristus kepada pribadi-pribadi,
gereja-gereja, bisnis-bisnis dan bangsa-bangsa. Seorang nabi datang untuk meluruskan
hal-hal yang menyimpang. Tugasnya adalah memanggil mereka yang memberontak
untuk kembali taat! Ia tidak disukai karena ia menentang mereka yang populer dalam
moralitas dan kerohanian. Dalam masa para politikus yang tidak memiliki karakter yang
baik dan pengkhotbah yang tidak bersuara, tidak ada kebutuhan bangsa yang lebih
mendesak dibanding seruan kita kepada Allah untuk mengirimkan seorang nabi! Fungsi
seorang nabi, seperti yang pernah dikatakan oleh Austin Sparks, “Hampir selalu untuk
pemulihan.”
A.2.c. Penginjil

Pandangan tradisional tentang seorang penginjil adalah orang yang membawa “Kabar
Baik”. Penginjil menyatakan Injil kepada dunia yang tidak percaya dan tersesat (KPR
8:5), bergerak dalam mujizat (KPR. 8:6), membebaskan orang dari setan-setan (KPR
8:7), menerima perintah-perintah dari malaikat (KPR 8:26) dan mempunyai hikmat
wahyu (KPR 8:29).

A.2.d. Gembala

Gembala ditugaskan untuk menggembalakan “kawanan domba” atau jemaat, memberi


makan dan memelihara kawanan itu, memberi nasihat atau memberikan pelayanan
konseling guna pertumbuhan dan perkembangan jemaat. Gembala bukan hanya
melakukan hal-hal yang berhubungan dengan penggembalaan, melainkan juga bergerak
dalam anugerah-anugerah dan karunia-karunia adikodrati dari Allah (bernubuat,
mengucapkan marifat/pengetahuan, menyembuhkan), menerima visi dan kesediaan
untuk mengembangkan jemaat dalam karunia-karunia dan panggilan-panggilan mereka.

A.2.e. Guru

Seorang instruktur kebenaran (baca 2 Tim. 3:16). Guru tidak hanya mengajarkan hukum
tertulis, tetapi juga melayani dengan kehidupan ilahi dan urapan Roh Kudus (2 Kor. 3:6).
Ia menunjukkan pendalaman spiritual yang tajam dan wawasan ilahi terhadap Firman
Allah dan penerapan pribadinya kepada orang-orang percaya.

A.3. MULTI PERSON (Para Penuai/Pekerja Dalam Ladang TUHAN)

Penerapan pelayanan multidimensional tidak akan mungkin dijalankan/dilaksanakan oleh


satu orang (one man show) (Kel. 18:17-18). Gereja harus bisa mengkoordinir dan
mengakomodasikan talenta, skil/keahlian, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
oleh setiap anggota jemaat ataupun diantara sesama pelayan (Yoh. 9:4; 2 Tim. 2:2).
Pendelegasian tugas dan wewenang pada pribadi-pribadi yang berpotensi disesuaikan
dengan bidang-bidang pelayanan yang akan dimasuki sangat menunjang pelayanan
multidimensional gerejawi. Dapat dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya gereja dalam
menerapkan pelayanan multidimensi ditentukan oleh seberapa besar keterlibatan
anggota-anggota jemaat atau pelayan-pelayan didalamnya. Gereja harus terus menerus
merekrut anggota, mendidik/melatih dan memobilisasinya secara maksimal untuk
memperoleh para penuai yang handal Disini sangat dibutuhkan solidaritas tim (I Kor.
1:10).

A.4. MULTI STRATEGI (Berbagai Teknik/Kiat Pelayanan)

Gereja akan kehilangan efektifitas pelayanan jika tidak memiliki strategi-strategi (teknik-
teknik/kiat-kiat) yang akurat untuk pencapaian target maksimal. Sekali lagi, disini
diperlukan kebersamaan individu-individu dalam tim kerja yang solid untuk
menyumbangkan ide-ide, ataupun pikiran-pikiran yang kreatif dan inovatif secara terus-
menerus berdasarkan motivasi dan semangat juang alkitabiah (Roma 12:11; Amsal
20:18; Kel. 31:3).Gereja sedang berada ditengah-tengah dekadensi moral yang sangat
memprihatinkan sebagai akibat negatif dari semakin canggihnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern secara universal dan di Indonesia pada khususnya.
Dari sudut pandang positif, perkembangan pola kehidupan modern berteknologi tinggi ini
membantu gereja dalam pelayanan misi untuk menjangkau jiwa-jiwa yang belum pernah
mendengar berita keselamatan (Injil Yesus Kristus) yakni hanya melalui media informasi
audio visual/elektronik dan media cetak. Tetapi disisi lainnya, gereja terbuai dan
cenderung menjadi “malas” untuk secara maksimal mengolah dan menggunakan seluruh
potensi pelayanan internal dalam bidang koinonia, marturia dan diakonia. Apalagi
menghadapi konflik horizontal antar etnis dan umat beragama yang semakin meluas
hampir tak terkendali.
Walau tidak dapat dikatakan secara keseluruhan, gereja sepertinya “enggan” untuk
mengutus para misionarisnya ke daerah-daerah yang rawan konflik. Gereja lebih memilih
jalur “aman” (statis), dengan teguh mempertahankan status quo sambil menunggu masa
pencerahan dari iklim politik dan ekonomi Dalam Negeri yang sedang diliputi kabut krisis
yang seakan tiada berakhir ini. Memang secara merk organisasi gereja nampaknya
bertambah dan bentuk fisik bangunan gerejapun tetap eksis walau harus terus-menerus
diperbaiki ataupun membangunnya dari awal akibat amukan massa. Namun jika
diteliti/dicermati secara lebih obyektif, pertambahan denominasi/merk gereja dan atau
pertambahan jumlah anggota jemaat pada sebuah denominasi yang sudah ada,
hanyalah merupakan bentuk “nomaden” atau migrasi anggota jemaat dari satu gereja
lokal ke gereja lokal lainnya yang berbeda merk. Hal inilah yang disebut sebagai "rotasi
jemaat dalam orbit denominasi" dan bukanlah tuaian jiwa-jiwa baru sebagaimana misi
agung yang diperintahkan oleh kepala gereja Tuhan Yesus Kristus (baca Matius 28:18-
20).

Kini saatnya gereja bangkit dan bergerak secara optimal untuk menjaring jiwa-jiwa baru
dengan cara memberdayakan seluruh potensi internal gereja melalui jawatan-jawatan
pelayanan seperti yang dikaruniakan Kristus. Gereja harus mengadakan terobosan
pelayanan ke setiap lini kehidupan masyarakat sekitar. Transformasi rohani dapat
menembus setiap strata, perorangan ataupun kelompok orang bila secara proaktif gereja
menyikapinya. Gereja tidak boleh statis dan merasa puas diri dengan jumlah anggota
jemaat atau bentuk-bentuk pelayanan yang sudah ada.

Masa anugerah akan segera berakhir. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya
penggenapan nubuatan dan tanda-tanda zaman seperti yang tertulis dalam Alkitab. Bila
ditinjau dari perjalanan zaman (peta zaman), maka posisi gereja saat ini berada dalam
"masa kerja 1 jam terakhir" menjelang malam/kegelapan/kesukaran besar dimana Injil
Kerajaan Allah akan di angkat (baca Matius 20:6,12a; Yohanes 9:4, band. Pengkhotbah
9:10; Matius 24:14).
Perlu dipahami secara benar bahwa pelayanan misi penuaian saat ini bukan lagi milik
seseorang atau sekelompok orang yang menyebut diri ataupun menerima predikat
“Gembala, Ketua Jemaat, Bishop, Pastor, Penatua, Syamas, Penginjil ataupun sebutan
sejenis lainnya” dalam artian yang sangat sempit, tetapi misi ini milik setiap pribadi yang
percaya kepada Yesus Kristus sebagai TUHAN. Gereja harus “all out” (mobilisasi total)
dalam menerapkan strategi pelayanan terakhir sebelum kedatangan Gembala Agung
segala domba yaitu Tuhan Yesus Kristus. Gereja harus masuk dan bergerak dalam lini
pelayanan multidimensional jika ingin mencapai target penuaian akbar bagi Kerajaan
Allah. Tidak ada pilihan lain, gereja harus menggalang persatuan internal jemaat lokal
dan antar denominasi untuk memperoleh kekuatan penuh guna melaksanakan tugas
akhir yaitu “merampas mereka yang sementara menuju ke dalam api neraka” (Yudas
1:23a).

B. LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN MISI PELAYANAN MULTIDIMENSIONAL

B.1. PERUBAHAN PARADIGMA (KERANGKA SISTEM) KEPEMIMPINAN

Lebih banyak perubahan yang dijejalkan dalam kehidupan kita setiap harinya di
bandingkan dengan yang dialami para pendahulu (founding fathers) kita puluhan atau
bahkan ratusan tahun sebelumnya. Berbagai macam perubahan ekonomi, sosial,
kebudayaan, teknologi, politik, agama terjadi pada suatu tingkat akselerasi/percepatan
yang tinggi. Di dalam beberapa bidang bukan hanya berakselerasi tetapi meledak.
Agar mampu "menunggangi" gelombang-gelombang perubahan ini, gereja perlu memiliki
strategi yang jelas supaya dapat membantu rencana tindakan yang bertujuan
membangun bagi masa depan. Segala sesuatu yang dibangun pada hari ini harus
memiliki pandangan budaya dan lingkungan masa depan agar yang dibangun tersebut
tetap memiliki relevansi dan berguna. Gereja yang statis dan stagnan adalah gereja yang
selalu kembali membangun bentuk bangunan masa lalu, sementara dunia yang
diusahakan untuk dicapai sedang berubah secara drastis. Itu berarti bahwa gereja
berada dalam posisi kebutaan rohani yang bergerak jauh dari kenyataan. Gereja akan
menjadi korban, bukannya pemenang.

Pemimpin perintis yang baru sedang dibentuk dan dilatih kembali oleh Allah dewasa ini,
memahami bahwa perubahan merupakan aturan permainan. Jenis pemimpin yang baru
ini dan gerejanya menarik manfaat dari perubahan. Perubahan tidak lagi menguasai
kehidupan dan pelayanannya, tetapi hanyalah sebagai aturan. Mereka telah belajar
bagaimana membuat perubahan-perubahan tersebut bekerja bagi mereka, bukannya
menentang perubahan-perubahan tersebut.

Jelas diperlukan adanya perubahan-perubahan paradigma kepemimpinan. Lingkungan


dan budaya dimana kita dipanggil untuk melayani berubah dengan cepat. Didalam
perubahan lingkungan inilah sungguh-sungguh diperlukan suatu dimensi baru
kepemimpinan. Diperlukan suatu kepemimpinan yang tidak dapat didominasi dan
dibentuk oleh lingkungan. Orang-orang ini, baik pria maupun wanita tidak boleh berasal
dari lingkungan tersebut, tetapi merupakan bejana yang dibuat dan dibentuk oleh kasih
karunia kuasa Allah (KPR. 6:3).
Kepemimpinan yang muncul ini diperbaharui dengan pola pemikiran Kerajaan. Konsep-
konsep dan nilai-nilai Kerajaan merupakan sumber kekuatan mereka dalam menjalani
kehidupan setiap hari. Karena alasan inilah mereka tidak dimanipulasi oleh manusia atau
dilumpuhkan oleh ketakutan akan kegagalan atau kekalahan dalam perebutan kekuasaan
dan jabatan organisasi (band. Kel. 18:21).

Jenis kepemimpinan ini menarik sumber daya rohaninya dari sorga dan hidup oleh kasih
karunia Allah, mematahkan segala keterbatasan karena kekurangan dan kelemahan
mereka. Gaya mereka dalam urapan kepemimpinan berpusatkan kepada profetik,
apostolik dan penggembalaan. Mereka bersifat profetik dalam perspektif dan tujuan.
Mereka bersifat apostolik dalam pengajaran, fungsi dan dalam pemerintahan gereja.
Mereka bersifat pastoral dalam melayani kebutuhan orang-orang dan dalam belas
kasihan mereka kepada jiwa-jiwa. Mereka juga bersifat penginjilan.

B.2. MENGEMBANGKAN PROFIL (WAJAH/BENTUK PELAYANAN) GEREJA

Terapi penyembuhan yang efektif sangat tergantung pada diagnosa yang akurat. Tidak
pernah ada suatu obat mujarab yang dapat menyembuhkan semua “jenis penyakit”.
Obat yang cocok bagi satu orang dapat menjadi racun bagi orang lain. Sebelum
memasuki pelayanan multidimensi, gereja perlu mengadakan survey lapangan untuk
mendapatkan diagnosa yang akurat. Gereja harus membuat analisa data lapangan dan
menyusun program kerja yang paling sesuai dengan kebutuhan lapangan agar mobilisasi
pelayanan bisa maksimal.
Gereja yang dinamis progresif haruslah bisa mengembangkan profil/kerangka/wajah
pelayanan yang efektif dari hasil diagnosa yang tepat. Walau memiliki visi dan pemimpin
yang kharismatik, tetapi jika tidak ditunjang bentuk profil yang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan, maka misi penuaian akbar menjadi tersendat-sendat dan tidak maksimal.

Profil (wajah pelayanan) gereja digunakan untuk :

a). membantu gereja menemukan faktor kritis untuk misi penuaian dan situasinya yang
terkini.
b). Berfokus pada sumber daya yang terbatas (manusia, keuangan, dll) pada saat yang
menentukan.
c). Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan gereja.
d). Menghemat waktu dan mengurangi resiko karena analisa yang tidak akurat.
e). Menolong kita melihat gereja sendiri dari perspektif luar (mengadakan komparasi/
perbandingan pelayanan misi) dibandingkan dengan gereja-gereja lain.
B.3. MENYUSUN DAN MEMANFAATKAN SUMBER DAYA (FILTERISASI PARA PENUAI)

Gereja tidak boleh asal-asalan mengutus orang-orang yang tidak kompeten dalam bidang
pelayanan yang akan dimasuki. Misi penuaian akan memperoleh hasil minimal bahkan
bisa tidak menghasilkan apa-apa, jika para penuainya tidak disusun dan disaring/seleksi
(diadakan proses filterisasi) terlebih dahulu. Para penuai harus bekerja sesuai dengan
potensi/talenta, karunia, skill/keahlian dan pengalaman juga kerelaan hati (komitmen
dan konsistensi) untuk terus-menerus terlibat dalam pelayanan banyak dimensi ini
(Hakim-hakim 7:2-4). Tentunya hal ini tidak terlepas dari kepekaan, pengamatan,
ketelitian dan kebijakan keputusan pemimpin ataupun para pelayan senior gereja. Apa
yang ada pada masing-masing pribadi sebagai anggota jemaat dan pelayan dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan penuaian (baca Kel. 4:1-12; Rom. 6:13).

B.4. MOBILISASI PARA PENUAI (PENGUTUSAN PARA MISIONARIS)

Gereja harus bisa mendapati/merekrut lebih banyak orang yang mau terlibat aktif dalam
pekerjaan gereja (misi pelayanan). Hal inilah yang sering disebut sebagai
menggerakkan/ memobilisasi massa (para penuai). Jika para penuai dapat menangkap
visi yang berarti dan menggairahkan, mereka pasti lebih mudah digerakkan/dimobilisir
untuk melaksanakan misi dari visi tersebut. Allah memang telah mempersiapkan setiap
orang untuk ikut terlibat dalam hal yang semacam itu, dengan mengaruniakan kepada
setiap individu bakat-bakat dan kesanggupan-kesanggupan yang dapat dipakai dalam
melaksanakan penuaian akbar di akhir zaman ini (Luk. 10:2; Pengkhotbah 9:10; I Kor.
15:58; 2 Tim. 4:1-5; Luk. 9:1-2).

=~PENUTUP~=

Sampai hari ini, tugas mulia yang dipesankan Tuhan Yesus belum selesai dikerjakan,
belum tuntas, bahkan masih banyak lagi yang harus dicapai.

Pemberitaan Injil dan pemuridan merupakan mandat ilahi kepada gereja mulai dari
tingkat lokal, nasional sampai pada taraf global, dengan visi jangkauan amat luas yakni
untuk mencapai semua kaum, seluruh suku bangsa, segala bahasa dan seluruh bangsa
yang berdiam di planet bumi ini.
Ini berarti setiap orang Kristen yang telah dewasa rohani memiliki tanggung-
jawab/beban moral untuk melibatkan diri dalam bentuk apa pun demi penjangkauan
jiwa-jiwa yang belum dengar “kabar baik” (Injil kasih karunia). Karena tugas akbar nan
mulia ini belum rampung, maka seluruh aktivitas (fokus pelayanan) gerejawi harus
diarahkan kepada tujuan yang luhur ini.
Namun ada 2 hal yang harus benar-benar diperhatikan oleh gereja dalam melakukan
pelayanan multidimensi ini. Pertama, PEMBEKALAN/PEMURIDAN; misi apa pun
bentuknya bila para misionarisnya tidak dibekali dengan pengetahuan Alkitab yang
memadai maka tiada gunanya atau akan beresiko pada pengorbanan sia-sia tanpa hasil.

Alkitab berkata, “umat-Ku binasa karena tidak berpengetahuan” (Hosea 4:6); “Tanpa
pengetahuan kerajinan pun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah.”
(Amsal 19:2); “Sebab itu siapkanlah akal budimu” (1 Pet. 1:13). Kedua, PERLENGKAPAN;
Yesus telah membekali murid2Nya selama lebih-kurang 3,5 tahun. Namun ketika Ia
memberikan Misi Agung kepada mereka, Yesus berpesan dengan sungguh-sungguh
untuk menunggu sampai mereka “DIPERLENGKAPI” dengan kuasa dari tempat tinggi.
Perhatikan bagaimana Yesus memandang serius akan hal “perlengkapan rohani” ini :

“….kamu HARUS tinggal di dalam kota ini sampai kamu DIPERLENGKAPI dengan
kekuasaan dari tempat tinggi." Bahkan ketika Yesus melatih para muridNya untuk pergi
beritakan Injil, Yesus tak lupa untuk selalu memperlengkapi mereka dengan otoritas
ilahi/kuasa Roh Kudus. Yesus berkata, “Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa
kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan
kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu.” (Lukas 10:19).

Hal ini berarti bahwa Pengutusan tanpa “pembekalan” adalah usaha menjaring angin dan
pembekalan tanpa “perlengkapan” adalah bunuh diri dan omong kosong belaka. Itulah
sebabnya, rasul Paulus menasihatkan kepada jemaat di Efesus :

6:11 Kenakanlah seluruh PERLENGKAPAN senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan
melawan tipu muslihat Iblis;
6:12 karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan
pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu
dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.
6:13 Sebab itu ambillah seluruh PERLENGKAPAN senjata Allah, supaya kamu dapat
mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu
menyelesaikan segala sesuatu.

Akhirnya, perkenankanlah saya menaruh kalimat ini dalam pikiran & hati Anda :
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~=@=~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~
Jadikanlah setiap pijakan kakimu sebagai orientasi misimu karena kamu adalah anggota
“KORPS PASUKAN KRISTUS [KOPASUS]”.
Sebab itu, Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus.

“Selamatkanlah mereka dengan jalan merampas mereka dari api.”


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~=@=~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~

REFERENSI

American Bible Society. Good News Bible, The Bible Society, Australia,1988.
Barna, George. Memasarkan Gereja, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1993.
Barna, George.Tanpa Visi Gereja Hancur, Gandum Mas, Malang, 2009.
Bosch, David J. Transformasi Kristen, PT. BPK GUNUNG MULIA, Jakarta, 2001.
Bulle, Florence. Berbagai Tipuan Dalam Pelayanan, Gandum Mas, Malang, 2000.
Comiskey, Joel. Ledakan Kelompok Sel, Yayasan Media Buana Indonesia, Jakarta, 2002.
Cooke, Graham. Mengembangkan Karunia Bernubuat, Nafiri Gabriel, Jakarta, 1999.
David, Jonathan. Jemaat Yang Mengalami Terobosan Strategi-strategi Apostolik, Nafiri
Gabriel, Jakarta, 2000.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini (A-L). Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2002.
Fitzpatrick, Graham. Mimpi dan Penglihatan, Nafiri Gabriel, Jakarta, 2001.
Hamon, Dr. Bill. Apostolic dan Prophetic Reformation 1 & 2, Metanoia Publishing, Jakarta,
2002.
Hybels, Bill. Courageous Leadership (Kepemimpinan Yang Berani), Gospel Press, 2004.
Mcelrath, W.N. dan Billy Mathias. Ensiklopedia Alkitab Praktis, Edisi kedua, Penerbit
Lembaga Literatur Baptis-Bandung.
Salim, MA, Drs. Peter. The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English
Press, Jakarta, 1996.
Salim, MA, Drs. Peter, Yenny Salim, B.Sc. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,
Modern English Press, Jakarta, 1991.
Schwarz, Christian A., Christoph Schalk. Pertumbuhan Gereja Alamiah, Metanoia
Publishing, Jakarta, 2002.
Soedarmo, Dr. R. Kamus Istilah Teologi, PT. BPK GUNUNG MULIA, Jakarta, 1996.
Sparks, T. Austin. Pelayanan Nubuatan, Yayasan Pekabaran Injil Imanuel, Jakarta, 2002.
Strauch, Alexander. Diaken dalam Gereja, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2008
The Gideons International. Holy Bible, National Publishing Company, USA, 1978.
Thompson, Steve. Semua Boleh Bernubuat, Nafiri Gabriel, Jakarta, 2000.
Vine, W.E., Merrill F. Unger, William White,Jr. VINE’S, Complete Expository Dictionary of
Old and New Testament Words, Thomas Nelson Publishers, Nashville Camden, New York,
1985.

MARINGAN LUMBAN TOBING


Mata Kuliah : Studi PL

TABUT SUCI DAN PENGAMPUNAN DOSA

I. PENDAHULUAN
Kehadiran Tabut Suci atau Tabut Perjanjian dalam kitab Perjanjian Lama menggambarkan kehadiran
Allah di tengah-tengah umat Israel, sebagai bangsa pilihan Allah. Alkitab menjelaskan keberadaan
Tabut Suci itu adalah atas kehendak Allah dan Dia sendirilah yang membuat perjanjian dengan
umatNya bahwa Dia akan benar-benar hadir di dalam kehidupan mereka untuk menyertai dan
memimpin mereka menghadapi berbagai pergumulan hidup dalam Perjajian Lama.
Alkitab juga menguraikan secara panjang lebar bagaimana Allah yang Mahakudus, penuh kasih itu
tidak menghendaki umatNya hidup menderita oleh karena perbuatan dosa mereka. Allah sangat
membenci dosa, tetapi Dia tidak menghendaki umatNya binasa akibat perbuatan dosa mereka terhadap
Allah sendiri. Oleh karena Allah yang begitu mengasihi manusia ciptaanNya, walaupun mereka telah
melanggar perintahNya, Dia rela mengorbankan anakNya yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus untuk
menebus mereka dari maut dan kematian. Karena upah dosa adalah maut (Rom 6: 23).
Dalam pembahasan ini kita akan menyajikan pengertian, latar belakang dan makna dari masing-masing
pokok bahasan Tabut Suci dan Pengampunan Dosa, serta hubungan kedua-duanya sesuai kehendak
Allah bagi umat manusia ciptaanNya..

II. PEMBAHASAN

Dalam tulisan ini penulis menguraikan pengertian dan makna Tabut Suci atau Tabut Perjanjian dalam
Kitab Perjanjian Lama. Bagaimana pembuatannya, dimana tempatnya dan apa fungsinya dalam
kehidupan bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Selian itu juga diuraikan tentang pengertian dan
makna serta penerapan pengampunan dosa bagi kehidupan bangsa Israel dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, dikaitkan dengan Tabut Suci atau Tabut Perjanjian dimana tutup tabut disebut tutup
pendamaian atau tempat pengampunan dosa.

1. TABUT SUCI

a) Pengertian :

Tabut Suci adalah peti suci yang dibuat oleh Musa zaman dulu sesuai perintah Allah. Allah sendirilah
yang merancang Tabut itu. Tabut berisi “kesaksian”, yaitu sepuluh perintah yang ditulis pada dua
lempengan batu (Kel 25: 8-10, 16; 31:18).
Bentuk dan rancangan Tabut itu adalah: panjangnya 2,5 hasta, lebarnya 1,5 hasta, dan tingginya 1,5
hasta .(Kel 37: 1-9) Tabut ini terbuat dari kayu penaga, bagian dalam dan luarnya dilapis emas. Di
sekeliling bagian atsnya terdapat bingkai yang cantik. Pada penutup Tabut, terdapat dua kerub emas di
kedua ujungnya.. Penutup itu terbuat dari emas. Kedua kerub itu sedang berhadapan dan sedang
membungkuk dengan muka menghadap penutup itu. Sayap-sayap mereka terbentang keatas,
menaungi penutup itu. Tabut ini memiliki empat gelang emas di atas keempat kakinya. Kayu penaga
berlapis emas dimasukkan ke gelang-gelang itu dan dipakai untu mengangkat Tabut itu (Kel 25: 10-21 :
37:6-9).
Tabut Suci ini awalnya disimpan di ruang Maha kudus di tabernakel. Tabernakel adalah kemah untuk
ibadah yang dapat dipindah-pindahkan, yang dibuat bersamaan dengan Tabut Suci. Ruang Mahakudus
dibatasi dengan suatu tirai agar tidak terlihat oleh para imam dan orang-orang (Kel 40: 3, 21). Hanya
imam besar yang bisa masuk ke ruangan ini. Dia melakukannya hanya pada Hari Pendamaian setiap
tahun. Pada saat itulah dia melihat Tabut Suci (Im 16:2: Ibr 9:7). Belakangan, Tabut dipindahkan ke
ruang Maha kudus di bait Salomo (1 Raj 6:14, 19). Tujuan Tabut dipakai untuk menyimpan benda-
benda suci yang mengingatkan orang Israel akan perjanjian yang Allah buat dengan mereka di Gunung
Sinai. Tabut ini dipakai pada Hari Pendamaian (Im 16:3, 13-17). Tabut ini berisi 2 lempeng batu yang
bertuliskan Sepuluh Perintah pertama disimpan di dalam Tabut (Kel 40:20). Kemudian wadah emas
berisi manna dan “tongkat Harun yang berkuncup” juga dimasukkan ke dalam Tabut (Ibr 9:4; Kel 16: 33-
34; Bil 17:10) Kelihatannya, wadah dan tongkat itu belakangan dikeluarkan karena kedua benda itu
tidak ada di dalam Tabut ketika Tabut itu dipindahkan ke bait (1 Raj 8:9). Tabut itu harus dibawa orang
Lewi, mereka membawanya dengan cara memikul tongkat kayu penaga yang ada di bawah Tabut itu
(Bil 7:9; 1 Taw 15:15. Kedua tongkat kayu ini selalu terpasang pada Tabut, jadi orang Lewi tidak pernah
menyentuh Tabut (Kel 25:12-16). “Tirai Penyekat” yang memisahkan Ruang Kudus dan Ruang
Mahakudus dipakai menutupi Tabut sewaktu Tabut itu sedang dibawa (Bil 4:5,6).
Menurut H.H. Rowley, mungkin sekali tabut Yahweh berasal dari zaman Musa. Riwayat yang mendetail
sekali tentang pembuatan tabut itu dalam Kitab Keluaran 37:1 berasal dari dokumen mazhab Imamat,
serta termasuk proyeksi Bait Allah ke dalam masa lampau. Selain Ke 37, tidak ada riwayat lagi
(diseluruh Kitab Keluaran) tentang pembuatan tabut, serta mengatakan kesan bahwa tabut memang
berasal dari zaman Musa.(Bil 10: 33, 35). Kitab Ulangan juga mencerminkan tradisi bahwa Musalah
yang menciptakan tabut itu (Ul 10: 1, 3); maka justru kesaksian Kitab Ulangan ada lebih awal
dibandingkan dengan dokumen mazhab Imamat. Ada ketidak sesuaian antara kesaksian Ulangan
dengan kesaksian Imamat dalam hal, bahwa mazhab Im menyebutkan Bezabel sebagai pembuat tabut,
sedangkan nama itu tidak disebut dalam Kitab Ulangan. Dalam meninjau sejarah Israel, Kitab Ulangan
ternyata sering bergantung kepada sumber-sumber Y dan E, dalam soal pembuatan tabut juga bias
bahwa dulu riwayat pembuatan itu termuat dalam Y dan E, dan bahwa dalam proses peredaksian
kemudian, riwayat menurut sumber Y dan E itu dibuang, diganti dengan riwayat menurut mazhab
Imamat karena tabut memang disinggung dalam dokumen-dokumen kuno. Khasiat tabut itu
menghasilkan kemenangan Israel atas musuh-musuh mereka (Bil 10:35). Tabut itu berisi kedua loh batu
yang ditulisi dengan Dasa Titah (Kel 40:20,; 32: 15; 34:29) dan disimpan dalam sebuah kemah. [1] H.H.
Rowley, Ibadat Israel Kuno, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, hal. 41-42.
Lebih lanjut Rowley mengatakan bahwa makna Tabut itu melambangkan kehadiran Tuhan sendiri di
tengah-tengah kehidupan bangsa Israel, terutama dalam menghadapi peperangan melawan musuh.
Fragmen syair tentang tabut yang disebut dalam kehidupan Israel merupakan sumber yang paling kuno
menceritakan tabut itu, maka kesaksian fragmen tersebut tentang peranan tabut itu dalam perang,
didukung oleh ayat-ayat lain. Misalnya dalam pertempuran, saat Israel dikalahkan oleh orang Amalek
dan orang Kanaani karena Israel bertempur tanpa izin Musa, tercatat bahwa sekali itu tabut tidak mau
dibawa ikut ke medan peperangan (Bil 14: 44). Juga dalam penyerbuan terhadap kota Yerikho ternyata
bahwa pawai ritual yang dipimpin oleh tabut itu memainkan peranan yang penting (Yos 3). Sudah
barang tentu bahwa sebutan itu (“Allah telah datang ke dalam perkemahan mereka “ 1 Sam 4:5)
mencerminkan kepercayaan orang Israel, bahwa tabut itu merupakan lambang kehadiran Tuhan sendiri
(1 Sam 4:7). Semua ayat membuktikan bahwa tabut itu termasuk benda yang kuno, dan bahwa sejak
dulu sekali ada kaitannya dengan perang. Karena menurut anggapan orang Israel pada zaman itu,
perang merupakan suatu usaha sakral yang membebankan kewajiban-kewajiban ritual kepada para
pejuang. [2] Ibid, hal. 43.

b) Sejarah Tabut Suci.


Pada tahun 1513 SM, Tabut itu dibuat oleh Bezalel (namun menurut Kitab Ul 10: 1, 3 Musalah yang
membuatnya) dan orang-orang lainnya dengan menggunakan bahan-bahan yang disumbangkan oleh
bangsa Israel (Kel 25: 1, 2 ; 37: 1). Dalam ulangan 10;1-5 disebutkan Allah menyuruh Musa untuk
memahat dua buah loh batu tempat menulis kesepuluh firman dan membuat tabut dari kayu penanga
sebagai tempat kedua loh batu itu.
Pada tahun 1512 SM Tabut itu diresmikan oleh Musa bersama dengan Tabernakel dan keimanan (Kel
0: 1-3, 9, 20, 21) Pada tahun 1512 SM Tabut itu dipindahkan ke beberapa lokasi (Yos 18:1: Hak 20: 26,
27; 1 Sam 1: 24; 3; 6: 11-14; 7: 1-2)
Setelah tahun 1070 SM Tabut itu dibawa ke Yerusalem oel Raja Daud ( 2 Sam 6: 12) Pada tahun 1026
SM Tabut itu dipindahkan ke bait Salomo di Yerusalem ( 1 Raj 8: 1- 6). Pada tahun 642 SM Tabut itu
dikembalikan ke bait oleh Raja Josia (2 Taw 35: 3).
Pada tahun 607 SM kelihatannya Tabut itu sudah dipindah dari bait ( 2Raj 25: 13-37; Ezr 1: 7-11)
Tabut itu termasuk barang rampasan ketika Yerusalem dihancurkan oleh Babel pada tahun 586 SM.

c) Lambang :

Tabut ini menggambarkan kehadiran Allah dan perkenanNya atas Perjanjian Baru. Orang yang
menyimpan Tabut ini tidak selalu terbebas dari masalah. Misalnya, ketika orang Israel berperang
melawan penduduk kota Ai, Tabut Suci ada di perkemahan mereka. Tapi, mereka kalah karena dosa
yang dilakukan oleh salah satu orang Israel (Yos 7:1-6). Belakangan, mereka yang kalah sewaktu
berperang melawan orang Filistin meskipun mereka membawa Tabut Suci ke medan perang.
Kekalahan mereka disebabkan oleh dosa yang dilakukan oleh dua orang imam Israel, Hofni dan
Pinehas (1 Sam 2:12; 4: 1-11). Dalam pertempuran itu, orang Filistin berhasil membawa pergi Tabut,
tetapi Allah menghukum mereka dengan berbagai kesulitan sampai mereka mengembalikan Tabut itu
kepada bangsa Israel (1 Sam 5:11 ; 6:5).
Tabut dihubungkan dengan kehadiran Allah. Misalnya awan yang muncul di atas Tabut Suci dalam
Ruang Mahakudus dan yang di perkemahan orang Israel adalah tanda kehadiran dan berkat Yehuwa
(Im 16:2; Bil 10: 33-36). Alkitab juga berkata bahwa Yahuwa duduk diatas kerubin yang memaksudkan
dua kerub di penutup Tabut. (1 Sam 4:4;Maz 80:11). Jadi kerub-kerub ini “menggambarkan kereta”
Yehuwa (1Taw 28:18) karena Tabut melambangkan kehadiran Allah. Raja Daud bisa menulis bahwa
Yehuwa “tinggal di Zion” setelah Tabut dipindahkan kesana (Maz 9:11).

d) Fungsi :

Alkitab menggunakan beberapa istilah untuk peti yang suci ini, misalnya “ Tabut Allah” (1 Sam 3:3),
Tabut Kekuatan Tuhan” (2 Taw 6: 41; Maz 132: 8), “Tabut Perjanjian Tuhan” (Bil 10: 33), “Tabut Hukum”
(Kel: 30: 6; Bil 7: 89). Penutup Tabut disebut “tutup perdamain” atau tempat “pengampuan dosa” (1 Taw
28:11; Kel 25 ; 10- 22) Istilah ini menunjukkan fungsi khusus dari penutup itu pada Hari Pendamaian.
Pada hari itu, imam besar Israel memercikkan darah binatang korban di depan penutup Tabut. Tindakan
imam besar ini menutup dosa demi kepentingan dirinya sendiri dan demi kepentingan keluarganya dan
demi kepentingan seluruh jemaat Israel (Im 16:11-17). Apakah Tabut Suci masih ada sekarang?
Kelihatannya Tabut itu sudah tidak ada. Alkitab berkata bahwa Tabut Suci itu sudah tidak lagi diperlukan
karena perjanjian yang berhubungan dengan Tabut itu telah diganti dengan “Perjanjian Baru”, yang
didasarkan atas korban tebusan Yesus (Yer 31:31-33; Ibr 8:13; 12:24). Ini sesuai dengan nubuat Alkitab
bahwa di masa depan, Tabut Suci tidak akan ada lagi, namun umat Allah tidak akan merasa kehilangan
(Yer 3:16). Dalam sebuah penglihatan yang diberikan kepada Rasul , setelah Perjanjian Baru
diberlakukan, sang Rasul melihat Tabut Suci itu disurga (Wah 11:15, 19).

2. PENGAMPUNAN DOSA
a) Pengertian

Perjanjian Baru memakai beberapa kata Yunani untuk melukiskan berbagai aspek dosa. Yang paling
penting adalah : [a] Hamartia yang berarti “pelanggaran”, “perbuatan salah” atau “berdosa kepada
Allah” (Yoh 9: 41), [b] Adikia yang artinya “kejahatan”, “kelaliman” atau “ketidakadilan” (Rom 1:18: 1 Yoh
5: 17). Kata ini dapat dilukiskan sebagai kekurangan kasih karena semua pelanggaran bersumber dari
kegagalan untuk mengasihi (Mat 22: 37-40): luk 10: 27-37) Adikia juga merupakan suatu kuasa pribadi
yang dapat memperbudak dan menipu (Rom 5: 12; Ibr 3: 13), [c] Anomia yang artinya “kedurhakaan”,
“pelanggaran hukum” dan “menentang hukum Allah” (ay 19; 1 Yoh 3: 4), [d] Apistia yang artinya
“ketidakpercayaan” atau ketidaksetiaan” (Rom 3: 3; Ibr 3: 12).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa hakikat dosa adalah sifat mementingkan diri, yaitu
menginginkan hal-hal dan kesenangan untuk diri sendiri tanpa menghiraukan kesejahteraan orang lain
atau perintah Allah. Sikap ini mengakibatkan kekejaman kepada orang lain dan pemberontakan
terhadap Allah dan hukumNya. Akhirnya dosa menjadi penolakan untuk tunduk kepada Allah dan
FirmanNya (Rom 1: 18-25; 8: 7) Dosa adalah perseteruan dengan Allah (Rom 5: 10; 8: 7; Kol 1: 21) dan
ketidaktaatan kepadaNya (Rom 11: 32; Ef 2:2; 5:6). Dosa juga menjadi kerusakan moral di dalam
manusia yang menentang semua kemauan yang lebih baik dalam manusia. Dosa menyebabkan kita
senang melakukan ketidakadilan dan juga menyenangi tindakan jahat orang lain (Rom 1: 21-32; bd Kej
6:5). Dosa juga merupakan kuasa yang memperbudak dan merusak (Rom 3: 9; 6: 12; 7: 14; Gal 3: 22)
Dosa berakar dalam keinginan manusia (Yak 1: 14; 4: 1-2). Dosa memasuki umat manusia melalui
Adam (Rom 5: 12), mempengaruhi semua orang, mengakibatkan hukuman illahi (Rom 1: 18)
mendatangkan kematian jasmani dan rohaniah (ay 23; Kej 2: 17), dan hanya dapat dilenyapkan
sebagai suatu kekuatan oleh iman kepada Kristus dan karya penebusanNya (Rom 5:8-11; Gal 3:3; Ef 4:
20-24; Why 1: 5).[2] Donald C. Stamps, (ed.), Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang,
Gandum Mas, 1888, hal. 1846.
Dalam kitab Kejadian 3:4-5 disebutkan bagaimana awalnya manusia itu jatuh ke dalam dosa, oleh
karena perkataan bohong iblis yang menggoda Hawa. Iblis melalui ular membohongi Hawa tentang
kebenaran firman Allah: Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu “Sekali-kali kamu tidak akan mati,
tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan
menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” Kebohongan iblis yang pertama
menyangkal hukuman mati untuk dosa dan kemurtadan, serta menggoda manusia agar percaya
kepada iblis bahwa mereka bisa menjadi seperti Allah dan menentukan sendiri apa yang baik dan apa
yang jahat, sehingga tidak taat dan tidak lagi bergantung kepada Allah.
Dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini disebutkan “Karena mereka penuh dosa dan selalu berbuat dosa,
maka mereka memerlukan pendamaian dan penyucian bagi dosa dan segala kecemaran mereka.[4]
Dennis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, Malang, Gandum Mas, 1992, hal 35.
Istilah ‘Khatta’t’ dalam korban penghapus dosa menunjuk kepada korban anak domba jantan yang tak
bercacat/cela sebagai pengganti manusia yang harus mati akibat dosa terhadap Tuhan. Dalam Im 4:1-4
Tuhan berfirman kepada Musa: “Katakanlah kepada orang Israel: Apabila seseorang tidak dengan
sengaja berbuat dosa dalam sesuatu hal yang dilarang Tuhan dan ia memang melakukan salah satu
dari padanya, maka jikalau yang berbuat dosa itu imam yang diurapi, sehingga bangsanya turut
bersalah, haruslah ia mempersembahkan kepada Tuhan karena dosa yang telah diperbuatnya ini
seekor lembu jantan muda yang tidak bercela sebagai korban penghapus dosa. Ia harus membawa
lembu itu ke pintu Kemah Pertemuan ke hadapan Tuhan, lalu ia harus meletakkan tangannya ke atas
kepala lembu itu, dan menyembelih lembu itu di hadapan Tuhan”.
Untuk memimpin ibadat dan mempersembahkan korban penghapus dosa bagi bangsa Yahudi, harus
imam besar yang melakukan ritualnya, imam besar bertindak sebagai perantara bagi mereka kepada
Allah. Menurut peraturan Yahudi, hanya imam besar yang diperbolehkan masuk ke dalam ruang maha
suci di Bait Suci, yakni satu tahun sekali pada hari raya Penebusan (kata Ibrani ‘Yom Kippur’). Di dalam
ruang ruang maha suci itu, imam besar melakukan ritual pengurbanan darah domba sebagai ganti dosa
seluruh rakyat Yahudi di hadapan Allah. [5] Bart D, Ehrman, The New Testament: A Historical
Introduction to the Early Christian Writings, New York, Oxford University Press, 2004, hal. 37
V.M. Siringoringo, dalam bukunya “Theologi Perjanjian Lama” menguraikan dalam penghapusan dosa
bagi bangsa Israel diangkat imam Harun yang bertugas mempersembahkan korban penghapus dosa.
Nama Harun dipakai sebagai sebutan untuk para imam yang melayani pendamaian, yaitu penghapus
dosa. Jadi keimaman dengan nama keturunan Harun dipilih dan ditahbiskan pada waktu penyataan di
gunung Sinai. Mereka ditahbiskan dengan upacara berdarah, yaitu mempersembahkan korban
penghapus dosa, dan setelah mereka meletakkan tangan diatas kepala korban dan darah perjanjian
disiramkan maka mereka menjadi imam bagi Tuhan yang bertugas sebagai pengantara antara Allah
dan umatNya. [6] V.M.Siringo-ringo, Theologi Perjanjian Lama, hal. 70
Dengan demikian Harun bertugas sebagai imam untuk mengadakan korban pendamaian atas dirinya,
keluarganya dan seluruh umat Israel (Im 16: 1-25). Dan sebagai Imam besar, dia juga memercikkan
darah korban penghapus dosa di depan tabir tempat kudus dan tanduk-tanduk mezbah (Im 4: 3-21).

b) Korban Penghapus Dosa.


Pada Perjanjian Lama, korban penghapus dosa berupa penyembelihan binatang hanya merupakan
tebusan sementara untuk dosa dan tidak pernah dapat menjadikan manusia yang
mempersembahkannya itu sempurna, dan mereka harus melakukannya setiap tahun seperti yang
diaturkan oleh Musa kepada bangsa Israel. Perjanjian Baru menjelaskan bahwa darah perdamaian dari
binatang yang dikorbankan, hanyalah ‘bayangan saja dari keselamatan yang akan datang’ ( Ibr 10:1)
dan menunjuk kepada Kristus sebagai korban penghapus dosa yang dipersembahkan satu kali untuk
selama-lamanya (Ibr 9: 12 ). Perintah untuk hidup kudus dapat dicapai sepenuhnya oleh orang percaya
melalui darah Kristus (1 Pet 1:15). [7] Guthrie, D (ed), Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian – Este r,
YKBK, Jakarta, 2005, hal 188.
Lebih lanjut dikatakan W.S.. Lasor bahwa “Dalam Perjanjian Baru kurban berupa kambing dan domba
dianggap lambang saja, “sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan
menghapuskan dosa (Ibr 10:4). Sedangkan darah Kristus yang dipersembahkan sekali untuk selama-
lamanya merupakan kurban yang sempurna”.[8] W.S. Lasor, Pengantar Perjanjian Lama I (Taurat dan
Sejarah), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008, hal 220.
Demikianlah oleh darah anak domba Allah yang tersembelih orang Israel luput dari hukuman yang
menimpa seluruh anak sulung Mesir. Allah memerintahkan tanda darah itu bukan karena Ia tidak bias
membedakan orang Israel dari orang Mesir, tetapi karena Ia ingin mengajar umatNya tentang
pentingnya ketaatan dan penebusan dengan darah, dan dengan demikian mempersiapkan bagi “Anak
Domba Allah” yang sekian abad kemudian akan menghapus dosa dunia (Yoh 1: 29) [9] Donald C.
Stamps ed., Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Penerbit Gandum Mas, Malang, 1994 hal. 112.
Sejalan dengan uraian diatas, V.M. Siringo-ringo mengutip Ibrani 9:22 yang menyatakan: “Dan hampir
segala sesuatu disucikan menuju hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada
pengampunan”. Binatang yang hidup sebagai persembahan menunjuk kepada Kristus yang akan mati
dan menghapus dosa manusia. [10] V.M. Siringoringo, Delapan Pokok Theologi Perjanjian Lama,
STTSU Medan, 2016, hal 75.

b) Makna Pengampunan

Jadi bagi bangsa Israel , sejak perisiwa di Mesir itu, paskah merupakan “ketetapan untuk selamanya”
(Kel 12:14), yang dirayakan senantiasa setiap musim semi dan juga pada zaman Perjanjian Baru.
Sementara bagi orang Kristen, Paskah merupakan lambang yang bersifat nubuat menunjuk kepada
pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib untuk pengampunan dosa manusia, semuanya ini hanyalah
bayangan dari apa yang harus dating sedang wujudnya ialah Kristus (Kol 2:17). Oleh sebab itu,
pengampunan bermakna pembebasan yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia dari segala
hukuman dan kutuk yang menimpa diri mereka akibat pelanggara terhadap perintahNya. Pemberian
pengampunan itu adalah atas kehendak Allah dan bukan oleh karena mereka layak atau atas usaha
mereka sendiri, tetapi karena Ia mengasihi mereka dan setia kepada perjanjianNya (Ul 7:7-10)
Demikian juga keselamatan yang kita terima dari Kristus sampai kepada kita melalui kasih karunia Allah
yang menakjubkan (Ef 2:8-10; Tit 3:3-5) [11] Donald C. Stams ed., Op.cit., hal 112- 113.
Di zaman Perjanjian Lama, berlaku tahun penghapusan utang yaitu disebut pada tahun ketujuh (Ul
15:1-4, 9) , dan memerdekakan budak Ibrani setelah bekerja pada majikannya selama enam tahun
maka pada tahun ketujuh tuannya melepaskan dia sebagai orang merdeka (Ul 15:12-14). Maka dapat
ditegaskan, bahwa pemberian pengampunan dosa atau penghapusan utang bagi seseorang adalah
atas kehendak dan otoritas sipemberi penggampunan itu, yaitu Allah sendiri, dan apabila seseorang itu
telah menerima pengampunan dia telah dibebaskan dari segala tuntutan yang ditetapkan kepadanya,
sehingga dia bebas dan menjadi orang yang merdeka.
Mazmur 32:1-2 berkata “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi.
Berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan, dan yang tidak berjiwa penipu”
Orang-orang yang sungguh-sungguh berbahagia adalah mereka yang telah menerima pengampunan
dosa dari Allah , sehingga kesalahan dan pelanggaran mereka tidak membebani hati, pikiran, dan hati
nurani mereka. Kebahagiaan semacam ini tersedia bagi semua orang berdosa yang datang kepada
Tuhan (Mat 11:28-29). Pemazmur melukiskan Pengampunan Allah dengan tiga cara : [1] Dia
mengampuni dosa, [2] Dia menutupi dosa itu, yaitu menyingkirkannya, [3] Dosa itu tidak diperhitungkan
kepada orang berdosa itu (ay 2), yaitu kesalahan itu dihapus. Rom 4:6-8 mengutip ay 1-2 untuk
menunjukkan bahwa Allah memperlakukan orang berdosa yang sungguh bertobat sebagai orang benar,
bukan karena kebenaran itu telah diterima melalui perbuatan baik, tetapi sebaliknya diterima sebagai
karunia ketika mereka mengakui dosa mereka dan percaya kepada Tuhan (bd ay 5) [12] Ibid, hal 845.
Dalam Perjanjian Lama (Im 1-7) diutarakan akibat dari perbuatan dosa itu, maka manusia memerlukan
pendamaian dan penyucian agar hubungan yang telah terputus antara manusia dengan Allah dapat
dipulihkan kembali. Karena mereka penuh dosa dan selalu berbuat dosa, maka mereka memerlukan
pendamaian dan penyucian bagi dosa dan segala kecemaran mereka. [13] Dennis Green, Pengenalan
Perjanjian Lama, Malang, Gandum Mas, 1992, hal 35.
Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi. Berbahagialah manusia,
yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan, dan yang tidak berjiwa penipu (Mazmur 32:1-2) Jadi
jelas bahwa berbahagia orang yang dibenarkan Allah bukan berdasarkan perbuatannya, karena Allah
membenarkan Abraham oleh karena percaya dengan iman kepada Allah sehingga imannya
diperhitungkan menjadi kebenaran.
Kitab Mateus 26:28 berkata “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak
orang untuk pengampunan dosa”. Pengampunan dosa itu perlu, karena kita sudah berbuat dosa,
merusak hubungan kita dengan Allah, sehingga dengan demikian harus dihukum (Rom 1:18-32).
Pengampunan merupakan cara untuk memulihkan hubungan yang rusak itu (Ef 1:17; Kol 2:3). [1] Kata
Ibrani untuk pengampunan mengandung arti “menutupi”, “mengampuni”, “membatalkan”, “mengusir”.
Pengampunan Allah meliputi hal tidak memperhitungkan lagi dosa yang telah diperbuat (Mark 2:5; Yoh
8:11) menyelamatkan orang berdosa dari hukuman kekal (Rom 5:9; 1 Tes 1:10) menerima mereka
kembali (Luk 15: 20-24), membebaskan mereka dari kuasa dosa dan memindahkan mereka dalam
kerajaan Kristus (Kol 1:13), serta memperbaharui seluruh kepribadian orang tersebut dan memberinya
hidup kekal (Luk 23: 43; Yoh 14:19b)
[2] Agar dapat menerima pengampunan dosa, seseorang harus bertobat, beriman serta mengakui
dosanya (Luk 17: 3-4; Kis 2: 38; 5:31; 20;21; 1 Yoh 1:9). Diperlukan penumpahan darah supaya Allah
dapat mengampuni dosa (Ibr 9:22). Oleh karena itu, pengampunan dosa didasarkan pada kematian
Kristus di salib (ay. 28; Yoh 1:29: 3:16; Rom 8:32) Pengampunan dari Allah merupakan sesuatu yang
senantiasa dibutuhkan oleh orang percaya supaya dapat memelihara hubungan keselamatan kita
dengan Allah (6:12, 14-15; 1 Yoh 1:9). [14] Donald C. Stamps ed., Op.cit., hal. 1564.
Dengan berulang-ulang menempuh jalan kita sendiri, dengan berulang-ulang menutup mata kita
kepada Allah dan menutup telinga kita untuk mendengarkannya, maka kita akan tiba pada suatu tahap
ketika kita tidak dapat mengenal Dia walaupun kita melihatNya, ketika kejahatan bagi kita merupakan
kebaikan dan kebaikan berubah menjadi kejahatan. Itulah yang terjadi pada ahli-ahli Taurat dan orang-
orang Farisi. Mereka begitu membutakan mata dan menulikan telinga mereka kepadaNya sehingga
ketika Ia datang mereka menyebut Dia iblis.
Mengapa dosa yang tidak terampuni ? Oleh karena dalam keadaan yang seperti itu pertobatan adalah
tidak mungkin. Apabila seseorang tidak lagi mengakui bahwa is berdosa, apabila kebaikan tidak
berbicara apa-apa lagi kepadanya, maka ia tidak dapat bertobat. Bukan Allah yang menutup
kemungkinan bertobat baginya, dengan penolakannya yang berulang-ulang maka ia telah menutup
dirinya sendiri kepada pintu pertobatan. [15] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Injil
Lukas, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999, hal. 234-235.
Jadi jelaslah bahwa pengampunan dosa oleh kasih karunia Allah diperoleh manusia melalui iman
percaya kepada Yesus dalam pertobatan yang sungguh-sungguh. Karena itu sadarlah dan bertobatlah
supaya dosamu dihapuskan. (Kis 3:19)

c) Hubungan Tabut Suci dengan Pengampunan Dosa

Dari penjelasan di atas, dapat dinyatakan bahwa Tabut Suci selain melambangkan kehadiran Tuhan di
tengah-tengah kehidupan bangsa Israel, juga menggambarkan pengampunan dosa, dimana tutup
pendamaian adalah tutup perjanjian. Di atas tutup ini imam besar memercikkan darah korban yang
dipersembahkan untuk mengadakan pendamaian karena dosa. Tindakan ini melambangkan
kemurahan Allah yang memberi pengampunan (Im 16:14-5; 17: 11; Rom 3:25). Jadi tutup pendamaian
dan darah melambangkan pengampunan yang tersedia untuk umat berdosa melalui korban
pendamaian Kristus (Rom 3: 21-25; Ibr 4: 14-16) [16] Donald C. Stamps ed., Op.cit, hal. 140.
Perlunya pendamaian timbul dari kenyataan bahwa dosa-dosa Israel (Im 16:30) apabila tidak
didamaikan, akan menjadikan mereka sasaran murka Allah (bd Rom 1:18; Kol 3: 5; 1 Tes 2: 16).
Korban-korban yang dipersembahkan pada hari Pendamaian menyediakan sebuah “tutup” bagi dosa,
bukan menghapus dosa. Akan tetapi darah Kristus yang tercurah di salib, adalah pendamaian Allah
yang sempurna bagi umat manusia yang menghapus dosa untuk selama-lamanya (bd Ibr 10: 4, 10-11).
Kristus sebagai korban sempurna (Ibr 9: 26; 10: 5-10) menanggung hukuman dosa kita sepenuhnya
(Rom 3: 25-26; 6: 23; Gal 3: 13; 2 Kor 5: 21) dan mengerjakan korban pendamaian yang mengalihkan
murka Allah, mendamaikan manusia dengan Dia dan memperbaharui persekutuan kita denganNya
( Rom 5: 6 – 11; 2 Kor 5: 18 – 19; 1 Pet 1: 18-19; 1 Yoh 2: 2). [19] Ibid., 194 – 195.
Tabut suci menggambarkan kehadiran Allah Yang Mahakudus yang menghendaki umatNya hidup
kudus, tetapi karena manusia telah berdosa maka hubungannya dengan Allah terputus. Dan manusia
dengan ketidak berdayaannya tidak akan mampu untuk membebaskan dirinya dari cengkraman
hukuman dosa. Untuk memulihkan hubungan itu, maka Allah atas kehendakNya sendiri,
memerintahkan umatNya untuk mempersembahkan korban anak domba jantan sebagai ganti mereka,
yang disembelih dan darahnya dipercikkan di atas tutup perdamaian (tutup Tabut Suci). Demikianlah,
Allah memerintahkan umat Israel melakukan perintahNya karena Ia ingin mengajar umatNya tentang
pentingnya ketaatan dan penebusan dengan darah, dan dengan demikian mempersiapkan bagi “Anak
Domba Allah” yang sekian abad kemudian akan menghapus dosa dunia, yang sesungguhnya
dinyatakan dalam pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib sebagai korban yang sempurna dan sekali
untuk selama-lamanya. Seperti tertulis dalam Ibrani 9:22 : “Dan hampir segala sesuatu disucikan
menuju hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan”. Jadi,
binatang yang hidup sebagai persembahan menunjuk kepada Kristus yang akan mati dan menghapus
dosa manusia.

III. KESIMPULAN

Dalam Perjanjian Lama, keberadaan Tabut Suci bagi bangsa Israel adalah sangat penting dan
merupakan lambang kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan mereka. Allah sendirilah yang
memerintahkan Musa untuk membuatnya, didalamnya ditaruhi kedua loh batu bertuliskan Kesepuluh
Hukum yang diterima Musa di Gunung Sinai. Tabut itu disebut sebagai tempat pendamaian atau tempat
“penghapus dosa”, sedangkan anak domba yang dikorbankan dan darahnya dipercikkan di atas tutup
perjanjian itu bersifat sementara, dan menunjuk kepada pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib untuk
menebus umat manusia dari hukuman maut akibat dosa.
Pengampunan dosa merupakan kehendak dan tindakan Allah untuk menyucikan manusia dari dosa,
menutupi dosa yaitu menyingkirkan dosa, dan dosanya tidak lagi diperhitungkan, dihapus dari catatan
(Maz 32: 1-2), ditebus artinya dibayar dengan harga tunai dari perbudakan dosa dengan darah Kristus,
sehingga bebas dari kekuasaan iblis dan dosa serta dibenarkan yang berarti dijadikan benar (Rom 5:
18-19) dan bukan sekedar pernyataan tidak bersalah secara hukum, tetapi menunjukkan hubungan
yang benar dengan Allah. Pembenaran itu adalah kasih karunia Allah karena penebusan di dalam
Yesus Kristus (Rom 3: 22-24).
Untuk mengembalikan umat yang berdosa itu dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Mahakudus,
umat harus menguduskan diri dengan mempersembahkan korban penghapus dosa dan korban-korban
lain, sebagaimana diatur dalam kitab Imamat 1-7 . Korban-korban itu bermaksud untuk memperbaiki
kembali hubungan dengan Tuhan Yang Mahakudus dan untuk menebus umat dari dosa-dosanya.
Korban penghapus dosa ini terutama dipersembahkan pada hari raya Pendamaian Besar untuk
menebus dosa para imam dan segenap umat Israel.
Pada zaman Perjanjian Baru, pengampunan dosa manusia itu telah diwujudkan melalui pengorbanan
Kristus di kayu salib. Pada zaman sekarang ini, bagi orang Kristen pengampunan dosa manusia itu
adalah oleh anugrah Allah melalui iman percaya di dalam Yesus yang disertai pertobatan yang
sungguh-sungguh.

DAFTAR PUSTAKA

Bart D, Ehrman, The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings , New York,
Oxford University Press, 2004.

Dennis Green, Pengenalan Perjanjian Lama, Malang, Gandum Mas, 1992.

Guthrie, D. (ed), Tafsiran Alkitab Masa Kini I Kejadian – Ester, Jakarta, YKBK, 2005.

William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Injil Lukas, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999.

Lasor, W.S (dkk)., Pengantar Perjanjian Lama 1 Taurat dan Sejarah, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1995

Lasor, W.S., Pengantar Perjanjian Lama I (Taurat dan Sejarah), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008.

Rowley, H.H., Ibadat Israel Kuno, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004

Stamps, Donald C. (ed), Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang, Penerbit Gandum Mas, 1994

Stephen, J. Lang, Pedoman Lengkap Janji-Janji Alkitab, Bandung, Kalam Kudus, 2001

V.M. Siringoringo, Theologi Perjanjian Lama, Yokyakarta, ANDI, 2013

V.M. Siringoringo, Delapan Pokok Theologi Perjanjian Lama, Medan, STTSU, 2016.

MARINGAN LUMBAN TOBING


Mata Kuliah : Studi PL

KEHIDUPAN (BUDAYA) MASYARAKAT PERJANJIAN LAMA

I. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan adalah mahluk sosial yang berinteraksi
dengan sesamanya dan sebagai akibat interaksi itu terjadilah asimilasi baik dalam dirinya
sendiri maupun terhadap temannya berinteraksi tadi. Manusia membutuhkan seseorang
untuk berkomunikasi, bergaul dan saling membutuhkan, maka seseorang tidak akan dapat
bertahan hidup dalam kesendiriannya tetapi membutuhkan orang lain untuk dapat bertahan
hidup.
Sebagai mahluk sosial, manusia hidup bersama, saling bergaul sehingga menimbulkan suatu
ikatan rasa identitas bersama dalam suatu rentang waktu yang lama dan berkesinambungan
sehingga terbentuklah suatu kelompok masyarakat yang menghasilkan kebudayaan.
Kehidupan .(budaya) masyarakat yang akan dijelaskan dalam tulisan ini, dibatasi hanya
menjelaskan kehidupan masyarakat Perjanjian Lama dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan yang tercantum dalam kitab Perjanjian Lama. Dengan mengetahui kehidupan budaya
masyarakat Perjanjian Lama, terutama yang berkaitan dengan kehidupan budaya bangsa
Israel, maka akan dapat membantu pemahaman kita dalam mempelajari arti-arti dan maksud-
maksud nats-nats kitab Perjanjian Lama karena sejarah kehidupan mereka tidak terlepas
dari perkembangan budaya dari zaman para bapa leluhur, zaman Musa sampai pada zaman
para nabi dalam Perjanjian Lama.
.

II. PEMBAHASAN

1. Pengertian :

a) Kehidupan (Budaya)
Manusia sebagai mahluk hidup ciptaan Tuhan memancarkan sifat-sifat seperti yang ada
didalam diriNya. Tuhan telah menciptakan manusia dengan unsur-unsur rohani yang
merefleksikan sifat kemuliaanNya secara terbatas, karena manusia sebagai mahluk
ciptaanNya tidak mungkin menyamai Dia, serta tidak dapat hidup diluar persekutuan dengan
PenciptaNya.
Sebagai mahluk yang diberikan kebebasan, maka manusia dirangsang untuk memberikan
respon terhadap Tuhan untuk dapat berkomunikasi denganNya dalam bentuk pujian, ucapan
syukur, keluhan, kemarahan, dan lain-lain, serta sebagai mahluk sosial berkomunikasi
dengan sesama manusia. Sifat yang dimiliki manusia seperti sifat kultural dan agama
merupakan dua unsur yang memberi kekuatan besar di dalam hidup manusia. Kedua sifat
yang menyatu dalam diri manusia inilah yang membentuk manusia menjadi seseorang yang
memberikan respon akan kebesaran Tuhan. Kedua sifat ini saling mempengaruhi dan
melahirkan berbagai bentuk kebudayaan di dalam kehidupan manusia.

Menurut Havighurt dan Neugarten (dalam Thoib Hasan, 2009) , kebudayaan itu meliputi etika,
bahasa, makanan, kepercayaan terhadap agama, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai yang
merupakan hasil karya manuasia seperti halnya bermacam-macam benda termasuk
didalamnya alat-alat teknologi. Tentang dimasukkannya agama dalam kebudayaan, tidak
sepenuhnya dapat diterima, karena agama bersumber dari Tuhan yang dalam banyak hal
nilai-nilai yang terdapat didalamnya merupakan kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh
rasio manusia. Jadi agama bukan hasil karya manusia yang dengan sendirinya tidak dapat
dimasukkan dalam unsur kebudayaan. [1] Tholib Kasan, Dasar-Dasar Pendidikian, Studia
Press, Jakarta, 2009, hal. 110-111.

Sementara itu, H. Richard Nierbuhr dalam bukunya “Kristus dan Kebudayaan” menguraikan
bahwa kebudayaan adalah “jumlah keseluruhan dari semua yang timbul secara spontan guna
kemajuan kehidupan material dan sebagai suatu ekspresi dari kehidupan spiritual dan moril
– semua pergaulan social, tehnologi, seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan
adalah bidang yang berbeda, bebas, tidak harus universal, dari semua hal yang tak dapat
menuntut untuk dorongan kekuasaan. Kebudayaan adalah lingkungan buatan, lingkungan
kedua yang ditumpukkan di atas yang alami. Kebudayaan meliputi bahasa, kebiasaan, ide,
kepercayaan, adat istiadat, organisasi sosial, hasil buatan manusia yang diwariskan, proses-
proses teknis dan nilai-nilai. Jadi jelas bahwa kebudayaan itu terjalin erat dengan manusia
dalam masyarakat, Jadi ada pengorganisasian manusia ke dalam kelompok-kelompok tetap.
Setiap pribadi dapat menggunakan kebudayaan dalam caranya sendiri, mereka dapat
mengubah unsur-unsur dalam kebudayaannya, namun apa yang mereka gunakan atau ubah
bersifat kemasyarakatan. Kebudayaan itu adalah warisan sosial yang mereka terima dan
teruskan.[2] H. Richard Nierbuhr, Kristus dan Kebudayaan, Petra Jaya, Jakarta, 1949, hal
36-37.

Menurut Kevin J. Vanhoozer, kebudayaan adalah objektifikasi ekpresi dalam bentuk kata dan
kerja, “roh” masyarakat yang hidup dalam waktu dan tempat tertentu. Roh atau semangat
zaman (zweitgeist) tidak kelihatan, tetapi selalu mengekspresikan diri dalam bentuk-bentuk
nyata. Kebudayaan adalah usaha roh manusia untuk mengekspresikan diri dengan cara
mewujudkan kepercayaan dan nilai-nilai dalam bentuk-bentuk nyata. Kebudayaan adalah
pementasan kepercayaan dan nilai-nilai tertinggi manusia atau agama dalam bentuk nyata.[3]
Kevin J. Vanhoozer, God and Culture, Ed.: D.A. Carson & John D Woodbridge, Momentum,
2002, hal.6

Didalam standard penciptaan, maka manusia diberi suatu tugas atau mandat oleh Tuhan,
seperti yang tercatat dalam Kejadian 2;15 Lalu Tuhan menempatkan manusia itu di taman
Eden dan menugaskannya untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (Then the Lord
place the mam in the Garden of Eden to cultivate it and guard it)
Istilah “cultivate” berasal dari kata “culture” yang berarti kebudayaan. Jadi dapat diartikan,
bahwa perintah untuk mengusahakan dan memelihara alam semesta merupakan “mandate
budaya” yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan mandate tersebut manusia
ditugaskan untuk membangun suatu kehidupan bersama, dimana didalam segala aspeknya
akan memancarkan kemuliaan Tuhan. [4] Henry J. Silalahi, Pandangan Injil Terhadap
Upacara Adat Batak,, PMK, Medan, 2005, hal. 27
Jadi segala proses yang dilakukan manusia didalam melaksanakan mandat kultural itu telah
melahirkan berbagai bentuk kebudayaan manusia di dunia. Karena itu kebudayaan harus
dipandang sebagai sesuatu proses yang dinamis, yang terus menerus berlangsung di
sepanjang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis,
tetapi bersifat dinamis.

b) Masyarakat

Aristoteles mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk monodualisme. Artinya,


setiap manusia memiliki dua naluri pokok yang bertentangan. Yang pertama adalah keinginan
untuk berhubungan dengan Khaliknya (sebagai makhluk individu), dan yang kedua adalah
keinginan untuk berhubungan dengan individu lain dalam konteks masyarakat (sebagai makhluk
sosial). Begitu juga dengan kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan nyata yang selamanya merupakan dwi tunggal, yang mana tidak ada
masyarakat tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat.
Sedangkan menurut Paul B. Horton, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara
relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu,
memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu.
Pada bagian lain Horton mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu organisasi manusia
yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Menurut Ralf Linton sebagaimana dikutip Harsoyo (1977), masyarakat adalah sekelompok
manusia yang telah lama hidup dan bekerjasama sehingga mereka itu mengorganisasikan
dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas
tertentu. [5] I. Gede A.B. Wiranata, Antropologi Budaya, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2011,
hal.69.
..
Sementara itu Soekamto (1978) mengatakan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan. [6] Ibid, hal.67. Lebih lanjut E. Hellen (1947)
menyebutkan, “A society is a people leading an integrated life by means of the culture”. [7]
Ibid, hal. 67

Selanjutnya, A.A Sitompul mengemukakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk
menjadi ciptaan yang hidup (Ke 2:7).Pengertian manusia bukan saja sebagai individu atau
pribadi, tetapi sebagai kolektif atau suatu persekutuan.Hal itu dikuatkan lagi bahwa Allah
mencipta lelaki dan perempuan (Ke 1:27) . Lelaki itu diciptakan sebagai suatu “komplemen”
atau pelengkap terhadap perempuan, demikian sebaliknya. Hanya kasih cinta yang dapat
mengikat kelengkapan tersebut di antara dua jenis sehingga mereka dapat hidup bersama,
saling tergantung dan membantu. Selanjutnya, manusia mendapat fungsi untuk berkembang
biak, hidup bersama, saling tergantung dan membantu. untuk membangun suatu peradaban,
dengan kemampuan khusus dan diberi wewenang untuk mengelola alam. [8] A.A. Sitompul,
Manusia dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997,hal.374.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian diatas, adalah manusia satu yang bersatu
dengan manusia lainnya dalam suatu wilayah tertentu akan membentuk sebuah masyarakat.
Masyarakat memang merupakan sekumpulan manusia setidaknya terdiri atas lebih dari satu
orang dan saling bergaul sehingga menimbulkan sesuatu ikatan rasa identitas bersama
dalam waktu lama dan berkelanjutan. Dari beberapa pengertian tersebut, juga dapat diambil
kesamaan unsur/ciri tentang masyarakat, yakni :
1. Masyarakat adalah sekumpulan manusia
2. Kesatuan manusia itu bergaul dan hidup bersama dalam jangka waktu yang relatif
cukup lama
3. Adanya kesadaran tentang identitas kesatuan hidup bersama
4. Kesatuan hidup bersama ini menghasilkan sesuatu “kebudayaan” (berkait dengan
konsep, perilaku, dan wujud nyata dari tatanan kebersamaan)

Dari masyarakat inilah akan lahir nilai-nilai bermasyarakat yang berkembang menjadi
kebudayaan. Kebudayaan masyarakat di daerah tertentu akan berbeda dengan kebudayaan
masyarakat di daerah lain. Karena setiap kelompok masyarakat memiliki aspek nilai yang
berbeda. Dan kebudayaan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa, keadaan geografis dan
kepercayan. Selanjutnya, kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang super organik, karena
kebudayaan itu tetap ada secara turun temurun dari generasi ke generasi yang seterusnya
tetap terus hidup walaupun anggota masyarakatnya telah berganti karena kematian ataupun
kelahiran.

2. Perjanjian Lama :
Perjanjian Lama adalah bagian pertama dari Alkitab Kristen, yang utamanya berdasarkan
pada Alkitab Ibrani, berisikan suatu kumpulan tulisan keagamaan karya bangsa Israel kuno.
Bagian ini merupakan pasangan dari Perjanjian Baru, bagian kedua dari Alkitab Kristen.
Kalangan Protestan hanya menerima kitab-kitab yang terdapat dalam kanon Alkitab Ibrani,
yang mana terdiri dari 39 kitab, sedangkan kalangan Katolik Roma, Ortodoks Timur dan
Ortodoks Oriental menerima sekumpulan tulisan dengan jumlah yang lebih banyak. [9] John
Barton, Introduction to the Old Testament, Oxford University Press, London, 2001, hal 3.
Perjanjian Lama menekankan hubungan khusus antara Allah dengan bangsa pilihanNya yaitu
bangsa Israel, namun mencakup petunjuk-petunjuk bagi kaum proselit juga. Hubungan ini
diungkapkan dalam perjanjian antara keduanya, yang mana diterima oleh Musa. Hukum-
hukum dalam kitab seperti Keluaran dan terutama Ulangan merupakan istilah-istilah dari
perjanjian itu sendiri: bangsa Israel bersumpah setia kepada Allah, dan Allah bersumpah
untuk menjadi pendukung dan pelindung khusus bangsa Israel. [10] Ibid, hal 9
Secara umum, kitab-kitab Perjanjian Lama dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yakni :
1. Kelima kitab pertama atau Taurat (Pentateukh, Torah): Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan, Ulangan
2. Kitab sejarah yang menceriteakan sejarah bangsa Israelsejak penaklukan Kanaan
sampai pembuangan ke Babilonia :Yosua, Hakim-hakim, Rut,1 & 2 Samuel, 1 & 2
Raja-Raja, 1 & 2 Tawarikh, Ezra, Nehemia, Ester.
3. Kitab puisi dan hikmat yang dalam beragam bentuknya berhubungan dengan
masalah kebaikan dan kejahatan di dunia ini: Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkotbah,
Kidung Agung.
4. Kitab nubuat atau para nabi yang berisi peringatan-peringatan terkait konsekuensi
jika berpaling dari Allah: Yesaya, Yeremia, Ratapan, Yehezkiel, Daniel, Hosea, Joel,
Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.
Ditinjau dari sudut budaya, pembahasan tentang kehidupan masyarakat dalam Perjanjian
Lama, khususnya Israel kuno bukanlah hal yang mudah, terutama pada masa
perkembangannya dari mulai zaman Adam sampai ke zaman para nabi, baik karena luasnya
cakupan pengertian maupun latar belakangnya, disebabkan daerah asal, tempat bermukim,
dan pengalaman kebudayaan masyarakatnya berkembang terus dari zaman ke zaman.
Kehidupan pada masa nenek moyang (patrarchat) Israel adalah kehidupan pengembaraan
(nomaden). Manusia berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Hal ini
disebabkan mata pencaharian mereka adalah ternak dimana mereka menggembala ternak,
mencari padang rumput yang luas dan sumber mata air untuk kebutuhan ternaknya, yaitu
tempat-tempat yang aman dari gangguan binatang buas dan gunung batu yang curam.
Mereka tidak menetap di tempat-tempat tertentu, dari tempat yang jauh mereka dating dan
pergi ke tempat yang lain ke daerah yang adat istiadatnya sebagai suku marga yang
berlainan sekali. [11] Op.cit,.hal 311.
Dalam kitab Ulangan 26:5 digambarkan bahwa dahulu pada awalnya nenek moyang Israel
adalah pengembara. “Bapaku dahulu seorang Aram pengembara, ia pergi ke Mesir dengan
saya dan tinggal di sana sebagai orang penumpang, tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa
besar, kuat dan banyak jumlahnya. Namun dalam Kej 18: 6-8 diberitakan bahwa Abraham
melayani tamunya dengan roti dadar, daging anak lembu dan minuman susu. Jadi
sebenarnya Abraham, Ishak dan Yakub tidak dapat lagi digolongkan sebagai masyarakat
pengembara karena mereka selain menggembalakan ternak juga bercocok tanam walaupun
masih berdiam di kemah, maka mereka dapat digolongkan kepada golongan semi-
pengembara.
Pada masa ini manusia secara perorangan sudah melakukan penyembahan secara teratur
bersekutu dengan Tuhan dan mendirikan mezbah bagiNya dan korban berupa ternak dan
hasil tanaman. Menurut Donald C. Stamps dalam V.M. Siringoringo mengatakan, baru setelah
peristiwa keluaran, ketika kemah suci didirikan, ibadah yang umum diperoleh bentuknya.
Setelah itu, korban-korban yang tetap dipersembahkan setiap hari dan secara khusus pada
hari sabat. Ibadah kemudian dipusatkan di di Bait Allah di Yerusalem. Ketika Bait Allah
dibinasakan tahun 586 SM, orang Yahudi membangun sinagoga (rumah ibadah) sebagai
tempat pendidikan dan ibadah, sementara umat berada dalam pembuangan dan dimana pun
umat tinggal. Bangunan-bangunan ini masih dipakai sebagai tempat ibadah, bahkan setelah
Bait Allah yang kedua dibangun di bawah pimpinan Zerubabel (Ezr 3-6). Lebih lanjut R.J
Thomson dalam V.M.Siringoringo menyebutkan, ‘mezbah’ para bapa leluhur sering dilukiskan
(Kej 12: 6-8), tetapi kurang menyebutkan jenis korbannya. Menurut Maag, ‘korban’ itu adalah
makanan persekutuan (zevakh). Th.C.Vriezen menganggap ‘ola’ lebih mungkin. Adapun motif
korban pada zaman ini adalah untuk memuliakan Allah dan pengucapan syukur atas
kebaikanNya. Baik Nuh maupun Yakub juga mempersembahkan korban (zevakh) bersifat
pertobatan atau pengampunan dosa. [12] V.M. Siringoringo, Delapan Pokok Theologi
Perjanjian Lama, Prodi Theologi STTSU, Medan, 2016, hal 73- 74, 81.
Pada masa Kain dan Habel tidak ada pengaruh ibadah agama lain karena pada zaman itu
belum ada manusia asing di sekitar mereka. Demikian juga mengenai ibadah para bapa
leluhur, walaupun ada ahli menduga ditiru dari cara beribadah dari dunia sekitarnya, mereka
melakukan ibadah dengan coraknya sendiri dan tidak ada unsur-unsur lain mempengaruhi
ibadah mereka., Namun menurut H.H Rowley ada pengaruh agama sekitar terutama orang
Kanaan terhadap korban Israel. Dengan tegas H.H. Rowley mengatakan ada dan begitu kuat
pengaruh korban agama sekitar, terutama orang Kanaan. Ini ia dasarkan, karena ada
persamaan-persamaan anatar korban Israel dan korban orang Kanaan. Dan ini terjadi setelah
orang Israel memasuki tanah Kanaan. Bahkan ia katakan, pengaruh korban orang Kanaan
begitu kuat mempengaruhi korban Israel.[13] Ibid, hal 91

Pada zaman kerajaan, pola peribadatan di Israel mengalami perobahan sampai ke masa
pembuangan (tahun 1043-586 SM). Pada masa itu peribadatan dipusatkan pada suatu
tempat sentral untuk mempersembahkan korban dan dilakukan mengikuti prosedur yang
telah ditetapkan oleh Taurat Musa. Pada masa pemerintahan Daud sudah direncanakan
mendirikan Bait Suci di Yerusalem, tetapi rencana itu baru terwujud ketika Salomo menjadi
raja, selain membangun Bait Suci juga menjadikan kota Yerusalem sebagai ibukota
pemerintahan. Dalam melaksanakan peribadatan, ada music, sorak-sorai, tari-tarian diiringi
peralatan musik seperti rebana.Informasi dari kitab Raja-Raja lebih menyatakan peranan raja
(bd 2 Raj 12:10ff) ketimbang peranan rakyat. Persembahan harian berjalan terus ( 2 Raj
12:16) . Para nabi tidak begitu keras menentang upacara persembahan, tetapi menentang
ide-ide yang melibatkan peranan sihir yang diambil dari upacara kesuburan (Am 4:4-5; Yes
1:11-16) dan penyembahan berhala serta pengorbanan anak (Yer 19:4: Yeh 16:21) Ibid., hal
82
Untuk menjelaskan pokok-pokok masalah kehidupan budaya yang berkaitan dengan sejarah
Perjanjian Lama, beberapa ciri khas pandangan dan sikap mental masyarakatnya, diutarakan
dalam uraian berikut ini, seperti : Struktur Masyarakat PL, Kehidupan Ibadah, Sistem
Pendidikan dan Hubungan Agama dengan Kebudayaan.
a) STRUKTUR MASYARAKAT PERJANJIAN LAMA
KELUARGA adalah unit utama dalam struktur masyarakat Perjanjian Lama, karena memang
sejak dari semula Allah memulai rencana penebusan-Nya melalui satu keluarga, yaitu
keluarga Abraham. Dan melalui keluarga Abraham inilah Allah memanggil keluar umat-Nya
untuk membina suatu hubungan yang istimewa dengan Dia, yang dikokohkan dengan
membuat suatu Perjanjian. Itu sebabnya anggota yang termasuk dalam Perjanjian ini adalah
mereka yang disebut sebagai keturunan Abraham, termasuk keturunan Ishak dan Yakub (Im.
26:42,45). Konsep "keturunan" secara fisik ini sangat penting orang Israel, karena disitulah
ikatan keanggotaan dalam Perjanjian didasarkan. Oleh sebab itu tidak heran jika banyak
sekali ditemui catatan silsilah dalam Alkitab, dan jika seseorang termasuk dalam silsilah itu
maka ia memiliki hak sebagai anggota masyarakat yang terikat dalam hubungan Perjanjian
dengan Allah.

Sistem kekeluargaan dalam kehidupan masyarakat Perjanjian Lama mendapat perhatian dan
sangat dijunjung tinggi oleh bangsa Israel. Hal ini dapat terpantau dalam hal
mempertahankan garis keturunan dengan sistim patrilinear (garis keturunan lelaki/ayah) di
lingkungan mereka, sebagai contoh : apabila seorang lelaki Israel meninggal tanpa
mempunyai seorang anak, maka saudaranya wajib menikahi janda saudaranya yang telah
meninggal itu demi untuk mempertahankan nama silelaki itu dalam kekerabatannya..
Terkait dengan hal tersebut diatas, Paul Joyce mengatakan apabila kita membicarakan
moralitas, hukum dan agama dalam PL, sering satuan yang penting bukanlah individu
melainkan kelompok di mana ia menjadi anggotanya. Orang Israel berpaling kepada
keluarganya untuk mendapat bantuan dan perlindungan, khususnya apabila miliknya dan
kelanjutan namanya terancam. Misalnya, ketika seorang lelaki meninggal dan meninggalkan
jandanya yang tidak mempunyai anak, saudara lelakinya diharapkan akan menikahi bekas
istrinya, dan anak pertama dari perkawinan itu akan meneruskan nama saudara yang telah
meninggal itu, “sehingga namanya tidak akan lenyap dari Israel” (Ul 25:6). Atau lagi, apabila
seorang miskin terpaksa menjual tanahnya atau bahkan dirinya sendiri menjadi budak,
seorang sanak keluarga dekat diharapkan bertindak sebagai goel atau penebus, dan
menebus sanak yang miskin itu, agar hak miliknya atau orang itu sendiri tetap berada di
tengah keluarganya (Im 25:26, bnd. Ay. 39-43) [14] John Rogerson, Studi Perjanjian Lama
bagi Pemula, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hal. 78.
Dalam Kej 2 Allah sendirilah yang meletakkan dasar pelembagaan keluarga itu, sebagai
kesatuan ikatan yang permanen antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Istilah
Ibrani yang dipakai untuk keluarga adalah 'misphahah' dan 'bayit' yang arti harafiahnya
adalah "rumah" (bhs. Inggris 'household' atau dalam bhs. Indonesia lebih tepat "rumah
tangga") yaitu diartikan sebagai mereka yang tinggal dalam satu atap rumah. Namun
demikian, dalam Perjanjian Lama sering kali keluarga bukan hanya terdiri dari suami, istri dan
anak-anak, karena (tergantung dari konteksnya) yang dimaksud keluarga dalam Perjanjian
Lama lebih cenderung sebagai perluasan keluarga, yaitu suami, istri, anak-anak (sampai
dua/tiga generasi), budak-budaknya dan termasuk juga keluarga dekat lain yang tinggal
bersama, bahkan kadang seluruh suku juga disebut sebagai satu keluarga (1 Taw.13:14).
Dalam perkawinan yang ditetapkan oleh Allah sebelum kejatuhan Adam dan Hawa dalam
dosa (Ke 1:26-27), ikatan kesatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu
bersifat permanen. Maka perkawinan dalam Perjanjian Lama diterima sebagai suatu norma
umum. Namun, hubungan permanen perkawinan yang diciptakan oleh Allah ini rusak setelah
manusia jatuh dalam dosa. Dan sejak itu, institusi pernikahan menjadi kabur dan akibatnya
manusia lebih cenderung untuk merusak daripada mempertahankannya. Di dalam Perjanjian
Lama terdapat beberapa bentuk penyelewengan pernikahan yang dilakukan oleh nenek
moyang bangsa Israel, misalnya dalam praktek-praktek poligami, perkawinan campuran dan
perceraian. Dalam pernikahan, ada larangan untuk mengambil isteri di luar dari bangsa
Israel. Larangan ini hendak menekankan bahwa adat dan kekayaan kaum kafir mudah
menjadi jerat sehingga umat itu melupakan utang budinya terhadap Tuhan serta
meninggalkan ketaatannya.[15] Robert M. Peterson, Tafsiran Kitab Imamat, PT BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2008, hal. 14.
Seperti tertulis dalam Ulangan 7:3 dikatakan “Janganlah juga engkau kawin mengawin
dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kau berikan kepada anak laki-laki mereka,
ataupun anak perempuan mereka jangan kau ambil bagi anakmu laki-laki”. Sementara itu
dalam kitab Ezra 10:10 memberitahukan bahwa kawin dengan bangsa-bangsa asing itu sama
dengan “ketidaksetiaan” dan menambah “kesalahan” kepada perintah Tuhan. Kata yang
diterjemahkan dengan ”kesalahan” adalah “ashmah” yang diterjemahkan dengan
“wrongdoing” dan “guiltiness” yang artinya tindakan yang salah, atau “pelanggaran” dan
“kesalahan”. Artinya tindakan itu juga adalah penghinaan terhadap Tuhan atau
ketidaksetiaan kepada perintah Tuhan. [16] Cliens, The New Century Bible Commentary, Ezra,
Nehemiah, Esther (Marsall, Morgan & Scott Publ. LTD, London, 1992, hal 134.

Selain itu, dalam masyarakat Perjanjian Lama, kedudukan suami disebut sebagai "tuan" yang
memerintah atas istri dan anak-anak dan keluarga anak- anaknya, juga seluruh anggota
keluarga yang lain dan budak- budaknya. Suami juga berperan sebagai penanggungjawab
atas semua tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya. Oleh karena itu tidak
jarang kepala keluarga akan menanggung beban atau hukuman atas tindakan yang diperbuat
oleh anak-anaknya. Selain itu, suami mempunyai tanggungjawab untuk mencarikan
istri/suami bagi anak- anaknya. Untuk itu ia harus paham betul hal-hal apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan sehubungan dengan pernikahan menurut hukum bangsa Israel (Im. 18;
Ul. 7; 20). Silsilah keluarga Perjanjian Lama diurutkan dengan mengikuti keturunan dari
suami (patrilinear), karena suamilah yang memberi identitas dan nama bagi keluarganya. Itu
sebabnya dalam hukum Israel disebutkan berbagai peraturan untuk melindungi
kelangsungan keluarga (Im. 25:47-49; Yer. 32:68), termasuk fungsinya sebagai imam bagi
keluarganya dan memimpin keluarganya dalam perayaan-perayaan keagamaan bangsanya.
Mengenai tanggungjawab pendidikan anak-anak, khususnya anaknya laki-laki juga berada di
tangan seorang suami.
Sementara itu, tanggungjawab istri Perjanjian Lama juga tak kalah penting. Dalam kitab
Amsal 31:10-22 disebutkan tugas-tugas seorang istri yang berbudi dan cakap. Selain
melahirkan anak bagi suaminya disebutkan, tugas utama istri adalah untuk memelihara anak-
anak dan keluarga. Alkitab pada dasarnya memberikan tanggung-jawab yang besar bagi istri
Perjanjian Lama untuk menguasai bidang bidang lain di luar rumahnya, seperti mencari bulu
domba dan rami, dan mengusahai ladangnya, membuat permadani, lenan halus dan kain
ungu pakaiannya. Dalam hal perkawinan, istri dengan kerelaan menundukkan diri di bawah
suaminya (bd. Kej 3: 16) dan mengambil kedudukan sebagai "penolong" (Kej, 2:18).

Bagi keluarga Israel, anak-anak adalah berkat dari Tuhan, sebagai buah kasih dari
perkawinan. Keluarga Perjanjian Lama selalu mengharapkan sebuah keluarga yang besar,
maka suatu keluarga besar dianggap suatu berkat. Suatu keluarga akan merasa sedih dan aib
bagi keluarga Perjanjian Lama apabila tidak dikaruniai anak, seperti yang menimpa Sara dan
Hana. Sebaliknya banyak puji-pujian yang ditujukan bagi wanita yang melahirkan anak-anak
bagi suaminya (Maz. 128; Kej 30: 1-24). Pendidikan anak sampai usia balita adalah tanggung
jawab ibu, namun kemudian anak laki-laki akan dididik oleh ayahnya, sedangkan anak
perempuan akan diajar oleh ibunya bagaimana menjadi seorang istri dan ibu yang cakap ;
dalam Ul 6 :7 disebutkan tugas orang tua memberi asuhan dan pendidikan kepada anak mereka agar
hidup berkenan kepada Tuhan, juga secara spesifik ibu Hanna mendidik anaknya Samuel dengan
sungguh-sungguh dan komitmen untuk melayani Tuhan sehingga dari sejak kecil sudah diserahkan
kepada Imam Eli untuk mendidiknya (1 Sam 1: 27-28; 2:19)
Anak dalam Perjanjian Lama diterima sebagai anggota masyarakat Israel secara penuh. Oleh
karena itu tanggungjawab memelihara dan mendidik mereka adalah juga tanggungjawab
masyarakat, selain tentu saja keluarganya. Ul. 6:4-9 merupakan perintah langsung dari Tuhan
akan pentingnya pendidikan anak, untuk itu yang harus diperhatikan adalah:
Anak-anak harus diajar meneladani kehidupan orangtuanya, firman Tuhan harus menjadi
percakapan utama dalam keluarga supaya tertanam dalam diri anak-anaknya. Anak laki-laki
dalam keluarga adalah tumpuan harapan bagi pemeliharaan masa tua orang tuanya. Anak
sulung dalam keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat tempat yang istimewa.
Sepanjang hidupnya ia akan dituntut untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar atas
tindakannya dan tindakan saudara- saudaranya yang lain. Dalam hal pernikahan anak-anak,
biasanya ayahnya yang memilih calon isteri/suami anak-anaknya, seperti yang dilakukan
Hagar untuk Ismail (Kej 21:21) dan Yehuda untuk Er (Kej 38:6). Kadang-kadang sipemuda
yang memilih, dan orangtuanya membicarakan pernikahan seperti Sikhem (Kej 34:4, 8) dan
Simson (Hak 14:2). Jarang seorang pemuda menikah diluar kehendak orangtuanya, seperti
yang dilakukan Esau (Kej 26: 34-35) [17] Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II, OMF, Jakarta,
2004, hal 155. Apabila karena sesuatu hal suaminya mati, maka ia akan dinikahkan dengan
saudara laki-laki dari suaminya untuk menyelamatkan garis keturunan keluarganya. Namun
jika suaminya tidak memiliki saudara laki-laki lain yang dapat menikahinya, maka seringkali ia
akan kembali ke rumah ayahnya lagi seperti peristiwa Ruth dalam keluarga Naomi (Rut 3: 1-
5)

b) Strata Dalam Masyarakat Perjanjian Lama


Sekalipun tidak ditonjolkan, ada perbedaan klas-klas dalam masyarakat Perjanjian Lama,
khususnya setelah zaman kerajaan terbentuk. Perbedaan antara mereka yang kaya dan
miskin menjadi sangat nyata. Beberapa orang mendapat penghasilan dari tanah yang
berlebihan dan akhirnya menjadi kaya. Tapi ada juga yang karena melakukan praktik- praktik
yang tidak adil sehingga menekan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan, sehingga
mereka yang tidak diuntungkan menjadi miskin. ini adalah perbedaan strata dalam
masyarakat Perjanjian Lama secara umum, yakni: kelompok masyarakat yang berpengaruh
(Hak 3-9), para tua-tua agama (Im 21 :1; Bil 3: 3-5) dan kepala rumah tangga, kelompok yang
disebut sebagai para pemuka yaitu pembantu-pembantu raja (Hak 8: 14-15) dan juga para
pahlawan (Hak 8:28), kelompok penduduk asli setempat, pemiliki tanah dan tinggal sebagai
penduduk asli di Palestina, penduduk asing (Im 19: 33-34), pendatang dan orang bebas
(bukan budak) tetapi tidak memiliki hak penuh sebagai warganegara Palestina, pekerja
upahan, pedagang yaitu orang-orang asing yang datang untuk berdagang dan budak-budak
(Im. 25: 35-55; Ul 24:14-15; Ul 15:12-18)
Mereka bukan hanya orang Israel saja (yang miskin), tetapi juga pendatang asing yang hidup
sebagai tawanan perang. Perbudakan adalah salah satu kebiasaan cara hidup pada masa
Perjanjian Lama.
c) Sistem Ibadah Perjanjian Lama
Israel dikelilingi oleh bangsa-bangsa tetangga yang tidak mengenal Allah (kafir). Itu sebabnya
Allah berkali,-kali harus mengingatkan bangsa Israel untuk tidak mengikuti kebiasaan
peribadahan bangsa- bangsa tsb. Namun demikian telah berulang kali terjadi bangsa Israel
tidak taat dan selalu jatuh pada dosa yang sangat dibenci Allah yaitu menyembah kepada ilah
yang lain. Tidak jarang Tuhan menghukum mereka, bahkan dengan menyerahkan mereka
untuk dikalahkan dan dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Cara-cara beribadah bagaimanakah
yang diikuti bangsa Israel sehingga membuat Allah murka dan menghukum mereka?
Bentuk penyembahan yang dilakukan oleh bangsa Israel kepada Allah, sebenarnya
mempunyai cara-cara ritual yang telah dipelihara sejak masa Adam dan Hawa; juga Kain dan
Habel. Alkitab tidak menjelaskan mengapa mereka harus memberikan korban persembahan,
tapi dari konteks Kejadian 4, terlihat bahwa persembahan itu diberikan sebagai ucapan
syukur atas pemeliharaan Tuhan yang disertai dengan harapan bahwa Allah akan senantiasa
memelihara mereka di hari-hari kemudian. Tetapi Kitab Perjanjian Lama juga tidak
menjelaskan mengapa Allah menerima persembahan Habel tetapi Kain tidak. Pandangan
yang menyebutkan bahwa Habel mempersembahkan korban yang terbaik dan paling
berharga, didukung oleh Yun Sun Park mengapa korban Habel diterima oleh Allah. Ini karena
Habel mempersembahkan korban persembahan dengan iman (Ibr 11:4). Iman itu terbentuk
dengan mempersembahkan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Allah. Allah telah
menentukan binatang yang hidup sebagai persembahan sejak zaman purbakaka (Ibr 9:22)
“Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa
penumpahan darah tidak ada pengampunan.Binatang yang hidup sebagai persembahan
melambangkan Kristus yang akan mati dan menghapus dosa manusia. [18] Ibid, hal 75.
Tapi inilah pertama kali disebutkan dalam Alkitab korban persembahan memakai binatang.
Dan sejak itu persembahan binatang dipakai sebagai korban bakaran untuk menjadi salah
satu tata upacara yang dilakukan bangsa Israel dalam ibadah. Nuh, setelah keluar dari
bahtera air bah, juga melakukan persembahan syukur yang berbau harum berupa tujuh
binatang yang tidak najis dipelihara dalam bahtera sesuai aturan Im 11, maka Allah berjanji
tidak akan mendatangkan air bah lagi.
Para bapa leluhur melakukan ibadah perorangan dan mempersembahkan korban di atas
mezbah yang mereka dirikan sendiri, bukan dalam kultus resmi secara umum (Kej 12:8;
35:7).
Pada masa Musa penyembahan kepada Allah tidak lagi dilakukan di tanah terbuka, tapi di
kemah pertemuan Bait Suci, sedangkan penjelasan secara lengkap diberikan dalam Kel. 27:1-
3, sesuai perintah yang diterima Musa dari Allah, dan Musa sendiri bertindak sebagai imam,
menjadi perantara antara Allah dan umat Israel (Kel 33: 7-9). Pada masa iman-iman, bangsa
Israel telah memiliki kelompok imam yang dipilih dari keturunan keluarga Harun dan suku
Lewi, yang bertugas untuk mengatur tata ibadah kepada Allah. Kitab Imamat mencatat
berbagai macam peraturan tata ibadah bagi bangsa Israel. Namun, bangsa Israel tidak selalu
melakukan ibadah yang benar, karena ibadah yang sejati bukanlah semata-mata tergantung
dari tempat dan tata caranya tetapi dari sikap hati yang benar.
Pada masa kerajaan pola peribadatan Israel mengalami perobahan sampai ke masa
pembuangan (tahun 1043-586 SM). Pada masa kerajaan peribadatan dipusatkan pada suatu
tempat sentral untuk mempersembahkan korban dan dilakukan mengikuti prosedur yang
telah ditetapkan oleh Taurat Musa. Ketika Daud menjadi raja di Israel, dia menetapkan lokasi
Bait Kerajaan di Yerusalem sekaligus menetapkan kota itu menjadi ibukota, tetapi
pembanguan itu baru terlaksana oleh anaknya Salomo. Dalam kalender tahunan Yahudi,
perayaan Paskah dan menghormati hari Pendamaian merupakan hal yang penting, sehingga
selalu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tidak pernah diabaikan dalam kehidupan
bangsa Israel. Selain imam, Allah masih memiliki juru bicara, yaitu nabi yang bertugas
memberi nasehat kepada raja (1 Raj 12) dan juga berbicara kepad umat Yahudi di tempat-
tempat ibadah. [19] Ibid, hal 78-79.
Ketika bangsa Israel berada di tanah pembuangan mereka tidak dapat lagi pergi beribadah ke
Yerusalem (apalagi Bait Allah di Yerusalem telah dihancurkan musuh), maka didirikanlah
tempat ibadah sinagoga di tanah pembuangan Babel (Yeh 8:1; 14:1; 20:1). Di sinilah akhirnya
agama Yudaisme lahir dan berkembang. Sekalipun di sinagoga mereka tidak lagi memberikan
korban bakaran seperti di Bait Suci, namun di sinagoga ini bangsa Israel belajar Taurat Tuhan
dengan teliti dan tradisi nenek moyang mereka terpelihara dengan baik sampai dengan masa
Perjanjian baru.(Neh 8: 1-8; Luk 4:16)
d) Sistem Pendidikan Perjanjian Lama
Keluarga menjadi pusat dimana pendidikan diberikan pada masa Perjanjian Lama, khususnya
oleh mereka yang telah berumur, biasanya orang Israel menggunakan sinagoga sebagai
tempat beribadah, balai pertemuan dan sekolah. Sumber bijaksana dan pengetahuan,
dipercaya oleh bangsa Israel, didapatkan dari pertambahan umur seseorang. Oleh karena itu
orang-orang muda akan belajar segala sesuatu dari orang-orang tua yang ada di sekitar
mereka. Keluarga memiliki tanggung jawab penuh bagi pendidikan anak-anaknya, khususnya
pendidikan rohani. Tidak ada pilihan untuk mereka menyerahkan pendidikan ini kepada
orang lain karena alasan kesibukan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, anak-anak Israel pada usia balita dididik oleh ibu
mereka. Ketika anak laki-laki cukup besar maka ayah akan memperkenalkan mereka pada
pekerjaannya sehari-hari, dan sejak itu anak akan terus mendengar didikan ayahnya sambil
bekerja. Sedangkan ibu akan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak perempuannya,
untuk menjadikannya istri dan ibu yang baik. Setiap makan malam orang tua akan
menggunakan waktu berkumpul dengan keluarganya dan mengajarkan nilai-nilai luhur ajaran
nenek moyang mereka, dengan meminta anak-anak yang terkecil dalam keluarga untuk
menanyakan apa saja yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Jika seorang anak Yahudi mendapat didikan dari orang lain selain ayahnya sendiri, maka ia
juga akan memanggilnya "ayah". Hal pertama yang diajarkan kepada mereka adalah
pelajaran tentang sejarah bangsa Israel, dalam bentuk kredo-kredo dimana inti sari sejarah
Israel telah diformulakan. Dan untuk itu anak harus menghafal luar kepala selama satu
tahun. Namun demikian pada dasarnya tidak ada sekolah formal pada masa Perjanjian Lama.
Anak belajar bersama dengan orang tuanya dan orang dewasa yang lain dengan terlibat
dalam urusan kehidupan sehari-hari. Mereka bertanya dan belajar sepanjang kehidupan
mereka melalui setiap kesempatan yang datang, dan orang tua akan selalu siap memberikan
penjelasan.
.
e) Hubungan Agama dan Kebudayaan
Dalam menjalankan agama, setiap orang dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaanya
dimana seseorang itu bertempat tinggal. Richard L. Pratt, Jr dalam bukunya: Ia Berikan Kita
Kisah-Nya mengatakan, Agama adalah pengaruh primer pada setiap masyarakat. Dalam
banyak hal, kebudayaan dan agama sulit dipisahkan: Disepanjang sejarah manusia agama
dan kebudayaan terkait erat. Belum pernah ada agama besar yang tidak diekspresikan dalam
kebudayaan yang besar. Belum pernah ada suatu kebudayaan besar yang tidak berakar kuat
dalam agama.[20] Richard L. Pratt, Jr dalam bukunya: Ia Berikan Kita Kisah-Nya, Surabaya,
Momentum, 1998, hal 403-403
Banyak orang Israel ingin turut serta dalam perkembangan-perkembangan kebudayaan yang
terjadi pada zaman itu, dan tidak mau diikat dengan larangan-larangan dan kebiasaan-
kebiasaan kuno. Kebudayaan dan agama begitu erat hubungannya, sehingga orang Israel
tidak mungkin mengambil kebudayaan dan menolak agama, atau sebaliknya. Misalnya
peraturan-peraturan mengenai makanan haram dan halal, mengadakan pemisahan antara
orang Yahudi dengan non-Yahudi. Peraturan-peraturan seperti itu tidak dapat dipatuhi secara
penuh jika orang Yahudi sudah menerima kebudayaan Hellenisme. Itu berarti bahwa dengan
mengambil alih kebudayaan tersebut, Torah dikesampingkan dan dengan demikian agama
Yahudi ditolak, karena pada waktu itu “kepercayaan” dan ketaatan kepada Torah sudah
hampir-hampir menjadi identik (hidup di bawah kekuasaan Torah).[21] Vriezen C, Agama
Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009, hal. 293.
Torah sudah menjadi kanon pada zaman Ezra atau tidak lama kemudian, sehingga kaum
Yahudi meyakini bahwa Torah tersebut merupakan penyataan Yahweh dalam bentuk tertulis.
Mulai saat itu tidak satupun dalam Torah yang boleh ditambahkan, diubah, atau dikurangi,
karena kitab itu dengan sendirinya merupakan firman Allah yang mutlak dan utuh. Orang
terdorong mentaati Torah terutama karena rasa takut bahwa Allah akan menghukum individu
maupun masyarakat kalau mereka melanggar. Jadi, ketaatan kepada seluk-beluk Torah
menjadi norma kehidupan di Israel. Tiap aspek hidup keagamaan dan kemasyarakatan Israel
dijaga ketat, supaya jangan ada unsur baru, jangan ada unsur non-Yahudi yang masuk
kedalamnya. Tidak dapat disangkal bahwa ketaatan pada Torah yang begitu ketat itu
membantu menyelamatkan dan mengawetkan masyarakatnya.
Pada masa Kain dan Habel (Kej 4:3-4) mereka secara bersamaan mengadakan ibadah, tetapi
secara terasing dan masing-masing untuk dirinya sendiri. Menurut Walter Lempp, mulai saat ini
persekutuan dengan Allah digantikan dengan agama, kepatuhan oleh korban persembahan
(persekutuan sama sendirinya oleh persaingan, bd. Yer 6:20; 7:22-23: Am 5:22-25; Hos 6:6)
Persembahan mereka sesuai pekerjaan mereka masing-masing. Kain (petani) mempersembahkan
hasil tanah, dan Habel (peternak) mempersembahkan anak sulung kambing dombanya: kultur
(kebudayaan) dan kultus (pemujaan, penyembahan) berhubungan erat. Tiap-tiap kebudayaan
menciptakan bentuk dan cara pemujaan dan agamanya. [22] Op.cit., hal 74

III. KESIMPULAN

Kehidupan (budaya) masyarakat Perjanjian Lama, dalam hal ini bangsa Israel memiliki tata aturan dan
adat kebiasaan yang unik terutama dalam Struktur Masyarakat Perjanjian Lama, Kehidupan Ibadah,
Sistem Pendidikan dan Hubungan Agama dengan Kebudayaan.
Dalam struktur masyarakatnya, keberadaan keluarga sangat dijunjung tinggi, sehingga
kesatuan anggota keluarga (suami, isteri dan anak) mendapat perhatian penting.
Dalam menjalankan ibadah bagi masyarakat PL, terdapat aturan-aturan keras mengenai
larangan-larangan beserta sanksi hukuman bila terjadi pelanggaran.
Masalah pendidikan merupakan pokok penting dalam kehidupan keluarga mereka, peran
orangtua (ayah dan ibu) sangat didambakan mendidik anak-anaknya di bidang ilmu sekuler
maupun kerohanian.
Dapat dikatakan bahwa hubungan agama dengan kebudayaan adalah erat, kedua-duanya
saling mempengaruhi.
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Sitompul, Manusia dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997,hal.374.
Cliens, The New Century Bible Commentary, Ezra, Nehemiah, Esther (Marsall, Morgan & Scott
Publ. LTD, London, 1992, hal 134
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid II, OMF, Jakarta, 2004, hal 155.
Henry J. Silalahi, Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak,, PMK, Medan, 2005, hal. 27

H. Richard Nierbuhr, Kristus dan Kebudayaan, Petra Jaya, Jakarta, 1949, hal 36-37.

I. Gede A.B. Wiranata, Antropologi Budaya, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2011, hal.69.

John Barton, Introduction to the Old Testament, Oxford University Press, London, 2001, hal
3.

Kevin J. Vanhoozer, God and Culture, Ed.: D.A. Carson & John D Woodbridge, Momentum,
2002, hal.6

Robert M. Peterson, Tafsiran Kitab Imamat, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008, hal. 14.

Tholib Kasan, Dasar-Dasar Pendidikian, Studia Press, Jakarta, 2009, hal. 110-111.

V riezen C, Agama Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009, hal. 293.

MARINGAN LUMBAN TOBING


RESENSI BUKU:

STUDI PERJANJIAN LAMA BAGI PEMULA

Buku Studi Perjanjian Lama Bagi Pemula ini merupakan hasil terjemahan Stephen Suleeman,
Penerjemahan Buku-buku Teologi STT Jakarta tahun 1997 dengan judul asli Beginning of the
Old Testament Study yang disunting oleh John Rogerson. Penulis memberikan masukan
dalam buku ini dengan beberapa variasi, seperti dari kalangan akademisi, religus, pengajar
dan kaum awan dari berbagai denominasi.
Kesembilan topik pembahasan yang disampaikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
satu sama lainnya, sehingga topik-topik ini dirangkai menjadi sebuah buku yang berguna para
peminat studi PL. Tulisan-tulisan dalam buku ini bukan dimaksudkan sebagai pengantar
kepada isi PL, melainkan lebih merupakan pembimbing tentang bagaimana menghampiri
studi PL seara ilmiah.
Dalam kata pengantarnya disebutkan bahwa PL adalah sebuah kumpulan kitab yang luar
biasa, yang dihasilkan oleh sekolompok orang yang luar biasa pula. Menurut John Rogerson,
bangsa Israel bukanlah suatu bangsa yang mengandalkan kekuatan militer atau politik, walau
mereka pernah berkuasa atas bangsa-bangsa di sekitarnya dalam periode tertentu.
Menurutnya, walaupun PL mengandung kisah menakjubkan, jujur dalam mengungkapkan
keraguan dan penderitaaan, serta merupakan kitab pengharapan, namun minat para
mahasiswa untuk menggeluti mata kuliah PL di perguruan tinggi sangatlah rendah. Salah
satu penyebabnya katanya adalah ketidaktahuan akan isi PL itu.
Dalam bab pertama dibahas catatan singkat tentang sejarah studi PL, untuk menolong
pemula agar lebih siap menyadari sifat pendekatan-pendekatan ilmiah dibandingkan dengan
pendekatan-pendekatan lainnya. Memang harus diakui bahwa dalam studi PL banyak
kesulitan yang harus dihadapi, sementara pengetahuan PL diperoleh hanya dari gereja atau
sekolah.
Dalam bab kedua diuraikan metode-metode dalam studi PL, tetapi dasar penafsiran kita
haruslah dialaskan pada teks seperti yang kita punyai sekarang. Secara garis besar ada dua
metode yang ditawarkan oleh Clines untuk memahami PL yakni pertama, metode-metode
tingkat pertama yang tujuan utamanya adalah mendapatkan pemahaman dan kedua,
metode-metode yang selain untuk menafsirkan teks Alkitab, juga dimaksudkan memberi
sumbangan berharga bagi penafsiran. Jadi bab ini tidaklah hanya bersifat deskriptif (sekedar
melukiskan) tentang metode-metode yang dipergunakan dalam studi-studi PL, tetapi juga
bersifat preskriptif (memberikan anjuran).
Dalam bab ketiga diuraikan tradisi-tradisi sejarah dalam PL, seperti maksud tradisi-tradisi ini,
perbandingannya dengan rekonsturuksi ilmiah para ahli terhadap sejarah Israel kuno, dan
bila diperlukan “perbaikan” laporan yang disajikan dalam PL. Menurut Regerson, bahwa ada
reaksi negatif dari pihak-pihak tertentu yang mendasarkan pertimbangannya ingin membela
PL, bukan karena alasan doktriner tertentu, melainkan karena kesetiaan kepada sebuah
lembaga tertentu. Ditambahkannya, PL tidak hanya mengandung sejarah Israel purba, tetapi
juga mengandung tradisi historis yang mengungkapkan iman para pengarang PL bahwa Allah
terlibat dalam peristiwa sejarah bangsa Israel.
Selanjutnya dalam bab keempat, Rogerson melukiskan secara singkat perbedaan-perbedaan
budaya antara dunia PL dan dunia sekarang ini. Kita hanya dapat memahami PL apabila kita
membacanya dengan sebuah kaca mata budaya yang khusus. Dalam bab ini, dibahas alam,
magi, mujizat, kurban dan organisasi sosial. Pengalaman Israel tentang alam sangat
dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan tanah dan iklim yang ditemukan di dunia Israel
kuno, dimana Allah terlibat dalam semua proses alam. Juga dibicarakan mengenai kurban
dalam PL yang merupakan cara Israel bersyukur kepada Allah atas penebusanNya yang
penuh anugerah dan pemeliharaanNya yang berkelanjutan atas bangsa itu.
Menurut Rogerson ada empat periode untuk melihat organisasi sosial ini yakni: periode para
Leluhur, periode para Hakim, periode kerajaan dan periode komunitas pasca-pembuangan.
Para Leluhur dilukiskan sebagai keluarga-keluarga besar, yang beternak kambing, domba, dan
kemungkinan juga unta, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (yang disebut
semi-nomad). Pada periode Hakim, Israel kuno digambarkan sebagai sebuah suku. Pada
periode Pasca-Pembuangan (kitab Ezra dan Nehemia), para anggota komunitas pasca-
pembuangan menyebut diri mereka sebagai anggota keluarga atau desa-desa tertentu.
Selanjutnya dalam bab kelima Joyce mengutarakan bahwa komunitas Israel sangat
mengandalkan ibadah kepada satu Allah. Setelah pembuangan nampak bahwa ibadah
menjadi ikatan hakiki yang mempersatukan bangsa Israel. Lebih jauh Joyce mengatakan
bahwa di kalangan Israel kuno komunitas, entah itu keluarga dekat, keluarga besar, suku atau
bangsa itu sendiri, amatlah penting dan ada suatu kaitan yang erat antara kehidupan
peribadahan Israel dan rasa komunitas yang kuat ini. Joyce mengatakan, bahwa kita tidak
mungkin berbicara mengenai “Pemikiran Israel” sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkan atau
dilukiskan secara persis, karena Israel adalah suatu keberadaan yang demikian
beranekaragam, yang membentang melalui beratus-ratus tahun dan semakin menyebar di
banyak negeri, serta menghasilkan literatur keagamaan yang begitu bervariasi.
Dalam bab keenam ini, Barton membagi bahasannya dalam 8 bagian, dimana setiap bagian
menekankan beberapa hal yang berkaitan dengan teologi PL. Ulasannya cukup padat dan
terinci tentang topik yang digumulinya, antara lain: pemahaman orang tentang Allah Israel
dan bagaimana orang memulai studi-studi mengenai PL, karena PL adalah sumber informasi
langsung mengenai Allah yang harus dipercayai oleh orang Kristen. Disebutkanya bahwa
“Teologi PL” adalah suatu usaha menggali kebenaran-kebenaran ada di dalam PL.
Menurut Barton, tugas teologi PL adalah untuk menemukan suatu cara untuk menjembatani
jurang antara keinginan para ahli akan informasi mengenai apa yang dipercayai Israel, dan
keinginan orang percaya modern akan informasi seperti apakah Allah itu sebenarnya.
Dijelaskannya, tujuan teologi PL itu adalah untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang
akan menolong kita dalam membaca dan menggunakan PL, termasuk untuk mengerti
kumpulan karya sastranya. Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan theologi PL, pertama adalah
memberikan kita segala jenis informasi latar belakang yang akan menolong kita memahami
tradisi religius yang termasuk di dalamnya tulisan-tulisan PL. Kedua, dapat kita gunakan
untuk menghampiri masalah dan berusaha menganalisis pernyataan-pernyataan teologis
yang sesungguhnya yang dibuat dalam berbagai kitab PL dan mencari cara-cara untuk
menggambarkan suasanan teologisnya atau implikasinya dan bahkan menyampaikan
“pengajaran”.
Dalam bab ketujuh ini dibicarakan tentang nilai-nilai etika PL yang banyak dan beraneka
ragam, diantaranya: Pertama, etika PL yang berarti studi mengenai perkembangan historis
ide-ide tentang moralitas, atau tentang perilaku moral yang sesungguhnya dan bersifat
historis, di kalangan Israel kuno. Kedua, adalah dengan menganggap PL secara hakiki sebagai
kitab yang merupakan bagian dari Kitab Suci orang Kristen.
Menurut Barton, orang Israel tidak memiliki dasar etika yang pasti dan baku. Israel kuno tak
memiliki sesuatu yang dapat digambarkan sebagai “filsafat moral”, tak ada usaha untuk
menyusun secara sistematis dasar etika, dan memperjelas mengapa kewajiban-kewajiban
atau norma-norma mempunyai sifat mengikat. Bagi orang Israel perilaku moral dalam PL
adalah: sebagian memandang ke masa depan, sebagian memandang ke masa lampau, dan
sebagian memandang ke masa kini.
Dari berbagai kasus-kasus yang ditemukan di dalam PL, maka dapat dikatakan bahwa prinsip-
prinsip moral yang disepakati kitab-kitab PL mempunyai tingkat generalitas yang cukup
tinggi. Kategori dasar etika dalam PL adalah “hukum. Cara terbaik untuk menghampiri sistem
etika PL sebagai “Torah” adalah mengingat bahwa maksud PL yang terutama ialah untuk
memberikan bahan-bahan yang akan memberikan kesan tentang pola atau bentuk cara
kehidupan yang dijalankan di hadapan Allah.
Selanjutnya dalam bab ketujuh ini dikemukakan, bahwa terdapat hubungan yang erat
diantara PL dan PB, namum di dalamnya ada banyak masalah yang timbul yang harus disikapi
oleh orang Kristen. Baik PL maupun PB sama-sama berakar dalam sejarah. Yang jelas, kedua
perjanjian itu memiliki kebhinekaan, dan peristiwa-peristiwa dalam PB menggenapi kata-
kata PL lebih tersirat ketimbang tersurat. Joyce mengungkapkan hubungan antara PL dan PB
pada dasarnya terdapat dalam kesinambungan besar tradisi keagamaan. PL memberikan
kosakata teologis yang dipakai oleh para penulis PB untuk mengungkapkan pemahaman
mereka tentang kegiatan Allah di dalam Yesus.
Dalam bab kedelapan ini diuraikan pendapat Rogerson tentang hal-hal yang dibutuhkan
untuk penggunaan PL dalam Gereja yaitu: pengetahuan tentang isinya; (b) pengakuan akan
kebhinekaannya; (c) kesiapan untuk menghindari rumusan-rumusan yang terlalu sederhana;
(d) kerelaan untuk melihatnya sebagai kesaksian bagi iman suatu bangsa; (e) kesiapan untuk
mempelajari segala sesuatu dari pendekatan keilmuan akademis dan kritis.
Ditambahkannya, bahwa penggunaan PL dalam soal-soal sosial dan moral bukanlah sekedar
persoalan mengutip teks dan menerapkannya terhadap situasi-situasi modern.
Metode penafsiran dalam studi PL yang dipaparkan David J.A. Clines secara umum bagi
pemula studi PL memang sudah cukup lumayan. Namun untuk studi lanjutan tentang topik
ini masih ada lagi pendekatan lain oleh para ahli, misalnya mengenai: penyatuan semua
langkah studi PL itu, mulai dari kritik sejarah hingga kepada kritik bentuk dan pemanfaatan
hasil-hasil penafsiran Alkitab. Hubungan PL dan PB yang diuraikan oleh Joyce, memang benar
masih banyak kesulitan-kesulitannya, dan para theolog Alkitab memiliki pemahaman yang
berbeda, namun yang jelas PL hanya dapat dipahami dari kehidupan Kristus. Walau
pembahasan Rogerson mengenai penggunaan PL masih bersifat umum, tetapi terpenting
adalah penggunaan PL ini secara benar dalam kehidupan dan budaya kita masing-masing.

MARINGAN LUMBAN TOBING


RESENSI BUKU :

DELAPAN POKOK THEOLOGI PERJANJIAN LAMA

Buku Delapan Pokok Theologi PL ini membahas tentang perkembangan Theologi PL dan pengertiannya
dikaitkan dengan .hubungannya dengan ilmu theologi lainnya, Juga membahas perkembangan Theologi PL
dan pokok-pokok dasar Theologi PL untuk menggambarkan perkembangan Theologi PL dalam sejarah
guna membantu para pembaca menyelidiki kitab-kitab PL.
Pembahasan dimulai dari istilah dan pengertian theologi yang dikaitkan dengan pendapat para ahli theologi
PL. Titik sentral pembahasan Theologi PL disebutkan adalah ajaran tentang Allah Israel yaitu Allah dalam PL
yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus.
Theologi PL sebagai ajaran tentang Allah sebagaimana terdapat dalam PL, mencakup ajaran tentang dunia
dan manusia, hidup dan mati, asal usul, nasib dan ketertujuan segala sesuatu yang ada. Theologi PL
merupakan inti berita, inti kepercayaan dan inti kesaksian PL. Ilmu Theologi diibaratkan sebagai bengkel
atau gudang perlengkapan bagi umat Kristen , tempat mengganti yang hilang,mencari yang perlu,
memperbaiki yang rusak, mengubah yang salah, menguji yang salah dan yang baru.
Dalam menyusun Theolgi PL perlu dilihat hubungannya dengan Theologi PL, yaitu dengan memperhatikan
kesatuannya dengan tafsir PL yang sebenarnya, juga dengan Theologi Sistematika yang memberi
bimbingan supaya dalam menyusun inti pemberitaan PL tidak sewenang-wenang melepaskan patokan pada
pemberitaan gereja dan terkhir dengan Theologi Praktis yang memberikan pertolongan dalam rangka
menyusun inti PL untuk umat Kristen.
Pada zaman Reformasi (abad 16) oleh M. Luther penelitian Alkitab mengalami kemajuan dalam bentuk tafsir
dimana ‘Alkitab menafsir Alkitab’ bersifat dogmatic. Theologi Alkitab muncul pada abad 17 (tahun 1629) oleh
Wolfgang Yacob Christman. Pada abad 18 diupayakan Theologi Alkitab terpisah dari Theologi Sistematika
oleh Gotthilf Traugott Zacharin, namun secara resmi baru oleh Yohan Philipp Gabler dalam ceramahnya di
University of Alsdoft 30 Maret 1787. Pada abad ini juga muncul Theologi PL oleh George Lorenz Bauer dan
pada abad 19 Theologi PL diajarkan di fakultas-fakultas sebagai mata kuliah.
Sejarah Theologi PL berkembang terus dari abad pertama sampai sekarang dan para theolog PL masi
berbeda pendapat tentang apa sebenarnya inti Theologi PL itu. Ada yang mengatakan agama PL dalam arti
agama Israel, ada yang menyusunnya dengan sistem ajaran PL sesuai dengan kepercayaan mengenai:
Allah dan dunia Israel dan bangsa-bangsa, dosa dan penebusan, hidup dan mati, dst. Ada yang
menyusunnya dengan tema Yahwe, Allah orang Israel, perjanjian Allah, Israel umat Allah. Sementara
Geshad von Rad mengatakan inti Theologi PL adalah perbuatan-perbuatan Allah di medan sejarah yang
mencakup 9 pokok maki dari penciptaan sampai pengutusan para nabi.
Istilah perjanjian yang awalnya berlatarbelakang sosial dalam hubungan kehidupan masyarakat terutama
dalam alam pengembaraan, dipergunakan menjadi istilah theologi untuk menyatakan hubungan istimewa
antara Allah dengan umatNya. Perjanjian mengungkapkan perjanjian dua pihak yang berbeda status, yaitu
pihak Allah yang jauh lebih tinggi derajatnya dengan manusia sebagai pihak yang paling rendah. Istilah
perjanjian dalam bahasa Ibrani ‘brit’ pertama kali muncul dala Kej 6:18 yang dinyatakan kepada Nuh.
Perjanjian dalam PL adalah bersifat ‘suzerain treaty/covenant’ yaitu suatu perjanjian yang diikat oleh dua
pihak yang tidak setara, maksudnya pihak yang kedudukannya lebih tinggi dengan kedudukannya lebih
rendah. Jenis-jenis perjanjian ada enam, yaitu : perjanjian Allah dengan Adam, perjanjian Allah dengan Nuh,
perjanjian Allah dengan Abraham, perjanjian Allah dengan Israel, perjanjian Allah dengan Daud dan
perjanjian Allah yang baru.
Dijelaskan, kehidupan umat Yehuda pada masa nabi Yeremia sangat memprihatinkan di bidang keagamaan,
politik dan keadilan sosial. Mereka jatuh dalam penyembahan berhala sejak zaman raja Manasye sampai ke
zaman raja Yosia, meskipun dinasehati nabi Yeremia mereka tetap memberontak, terjadi penindasan
terhadap orang miskin, janda dan yatim piatu. Pada zaman Zedekia, Babel menghancurkan Yerusalem, bait
Allah dibakar dan umat Yehuda dibuang ke Babel, mereka menderita dan putusasa. Namun pada waktunya,
sesuai nubuat nabi Yeremia sisa umat Israel dikembalikan ke tanah Palestina (keselamatan eskhatologis)
bersifat Mesianis, artinya Raja Mesianis dari keturunan Daud akan menjadi Raja yang disebut “Tuhan
keadilan kita”.
Mengenai kehidupan di India yang sebagian besar dalam kemiskinan, kelaparan dan penyakit epidemic
merupakan gambaran ketidakadilan, dimana selain dipengaruhi oleh faktor alam juga disebabkan masih
berlakunya sistem kasta, perbedaan strata di masyarakat dan ketimpangan hidup antara si kaya dengan si
miskin. Dari segi teknologi mereka lebih maju dibanding dengan sebagian negara-negara tetangga, tetapi
dalam hal pemerataan India yang dikenal bangsa yang sangat religius masih tertinggal dengan negara-
negara lain. Untuk itu, gereja perlu tampil sebagai pendobrak masalah ini agar tidak terus berkelanjutan,
yaitu melibatkan diri dalam gerakan menuju suatu tatanan baru. Penderitaan kemiskinan di India adalah
masalah bersama (massal) seperti yang pernah dialami oleh bangsa Israel ketika berada pada masa
penindasan di Mesir, juga penderitaan hamba Tuhan seperti tercatat dalam kitab Yesaya. Allah melalui
kehadiran gereja di India menolong orang-orang tertindas dan miskin.
Sementara itu Jepang dengan kekuatan ekonomi mapan dan didukung kemajuan teknologi yang pesat,
berambisi menaklukkan dan menguasai Asia, serta dipandang menimbulkan banyak penderitaan. Walau
demikian, Jepang tidak terlepas dari masalah penderitaan kemiskinan oleh faktor sosial ekonomi, terutama
dialami para petani miskin, pekerja dan orang pendatang – menderita dalam kekuasaan, hak-hak pemilikan
tanah dan pekerjaan. Sehingga membuat keberadaan mereka amat kaku dan bersifat birokrasi serta
pudarnya rasa komunitas.
Pengaruh tradisi Buddhisme sangat terasa bagi kehidupan bangsa Jepang, walaupun mereka memiliki
agama Shinto. Oleh tradisi doktrin ‘dukkha’ kehidupan manusia dikuasai oleh lingkaran kelahiran, kematian
dan kembali ke kelahiran, yaitu ‘suatu proses lingkaran tanpa akhir’. Tetapi untuk mengakhiri ‘ dukkhi’ dapat
ditempuh dengan ‘nirvana’ yaitu terhapusnya penderitaan
Peran orang Kristen Jepang berpengaruh sebagai sumbangan besar bagi kemajuan sosial dan
perkembangan kerohanian mereka. Maka orang-orang Kristen diminta sikap mereka terhadap invasi
kekuatan imperialis dan invasi terhadap tetangga-tetangga, termasuk sikap penegakan persaudaraan untuk
kemakmuran bersama. Penderitaan merupakan intisari injil di Jepang sesuai dengan tesis utama Kitamori
yaitu penderitaan ialah hakekat Allah seperti dalam kitab Yeremia 31: 20. Maksudnya Allah yang menderita
adalah Allah yang memecahkan penderitaan manusia melalui penderitaanNya sendiri, dan melalui
penderitaan ini maka orang Jepang mulai mencari Allah (Ayub 7: 11 – 21; Yes 63: 15). Penderitaan hamba
Tuhan sebagai lambing dari penderitaan Allah dalam Yesus Kristus yang membebaskan manusia dari
penderitaannya.
Selanjutnya istilah Minjung, dari huruf China, berarti mereka yang tertindas secara politik, dihisap secara
ekonomi, terasing secara sosiologis dan secara budaya dan intelektual, yang mempunyai konotasi historis
yang lebih pribadi dan luas. Korea walau sudah maju secara ekonomi, masih hidup dalam konflik
penderitaan (Korea Utara dan Korea Selatan) oleh penindasan akibat konflik dengan pemerintahan mereka
sendiri sehingg penderitaan rakyat tidak hanya suatu masalah politis tetepi juga sesuatu mengenai
kebudayaan rakyat.
Peristiwa keluaran dalam PL memperoleh makna penting dalam Theologi Minjung dan dipandang sebagai
penegasan kedudukan Minjung (yakni bangsa Israel yang tertindas) sebagai subjek berdasarkan keadilan
Allah sebagai Tuhan sejarah yaitu TUHAN (YHWH) ada kesamaan penderitaan dan penindasan yang
dialami Minjung peristiwa Keluaran (bangsa Israel) dan Minjung Korea khususnya dalam hubungan Minjung
dengan kelas yang berkuasa. Peristiwa Keluaran dianggap bukan hanya sebagai objek pembebasan, tetapi
juga sebagai objek berkat dalam ciptaan (Kel 1: 28-30).
Saran, apabila ada kisah seperti Minjung Korea di masyarakat kita, maka perlu disertakan dalam topik
pembahasan ini untuk mempermudah pemahaman pembaca tentang PL sesuai dengan konsep budaya
masing-masing. Penderitaan dan kemiskinan perlu dipahami dari sudut budaya dan agama asli setiap
bangsa, termasuk upaya pembebasan dari penderitaan dan kemiskinan itu. Jadi setiap bangsa (India,
Jepang, Korea) membangun theologi mereka berdasarkan konteks yang mereka alami, artinya peristiwa
yang terjadi dalam PL mereka kontekstualisasikan berdasarkan pengalaman mereka akan penderitaan dan
kemiskinan tersebut.
Selanjutnya ibadah sebagai pelayanan, merupakan ungkapan iman yang dinyatakan melalui penyataan diri
secara lahiriah yang mengandung arti simbolis, dan haruslah menyatakan ibadah batiniah. Melalui ibadah
dibuka jalan yang telah terputus oleh dosa melalui pendamaian dan penebusan yang merupakan inti ibadah
PL.
Ibadah oleh Adam dan Hawa telah dimulai sejak awal penciptaan, kemudian ibadah yang disertai dengan
persembahan korban dilakukan oleh Kain dan Habel. Kemudian oleh Nuh dan para bapa leluhur tetapi
masih bersifat perorangan. Baru setelah Israel keluar dari Mesir, ibadah dengan persembahan korban pada
mezbah berlangsung di kemah pertemuan, dan pelaksanaannya harus melalui imam yang berfungsi
mengadakan pendamaian pada hari raya pendamaian sekali setahun. Ibadah dipusatkan di satu tempat dan
pada zaman raja-raja dipusatkan di Yerusalem.
Persembahan korban sudah dilaksanakan sejak awal oleh Kain dan Habel, oleh Nuh dan para bapa leluhur.
Setelah bangsa Israel memasuki tanah Kanaan, terutama pada zaman Hakim-hakim mempersembahkan
korban adalah hal yang lazim, terutama korban Paskah. Jenis-jenis korban yang telah ditetapkan oleh Allah
adalah: korban Paskah, korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban ujukan dan korban
khusus serta korban penghapus dosa dan penebusan salah.
Menurut H.H. Rowley, pengaruh agama sekitar terhadap ‘ibadah’ dan ‘korban’ di Israel, terutama pengaruh
Kanaan
tidak ada, tetapi mengenai pengaruh agama sekitar, terutama orang Kanaan terhadap korban Israel
ditegaskannya memang ada dan terlihat begitu kuat. Hal ini dapat dilihat dari adanya persamaan-persamaan
antara korban Israel dan korban orang Kanaan.
Selanjutnya adalah pembahasa mengenai kata ruakh (‘roh, angin, nafas, kemauan, kefanaan dan watak’),
nefesy (‘nafas, hidup, keinginan, menjadi segar kembali’) dan khaya (‘hidup, tetap hidup’) dalam PL. Ketiga
istilah tersebut memiliki persamaan dan perbedaan arti, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena
memiliki hubungan yang erat, termasuk dalam penggunaannya. Penggunaan kata itu kepada manusia,
menunjukkan bahwa manusia itu adalah unsur-unsur dari ketiganya. Dengan kata lain, bahwa ketiga unsur
itu yang berasal dari Allah yang adalah Roh, harus ada dalam diri manusia untuk membuat manusia itu
menjadi ‘mahluk yang hidup’.
Selanjutnya Roh Allah, adalah Pribadi Ketiga dari Ketuhanan, dan sebagai Pribadi Allah Tri-Tunggal
merupakan kekuatan dan kuasa untuk mencipta, memimpin bertindak dan yang lain. Oleh Roh Allah itu
menyanggupkan seseorang yang dipakai Allah untuk mewujudkan rencanaNya. Sedangkan roh-roh jahat
yang disebut dengan ‘setan atau iblis’ adalah Lusifer yang pada awalnya melayani Allah, tetapi oleh karena
kesombongan ia dengan para pengikutnya memberontak terhadap Allah penciptanya sehingga dilemparkan
ke bumi. Meskipun roh-roh jahat ini terlibat untuk menghancurkan hasil pekerjaan Allah sendiri, roh-roh jahat
ini ada dalam kuasa dari Allah sendiri.Mengenai roh-roh jahat ini, kurang dikenal dengan luas oleh orang
Israel, ini terlihat dari nats-nats PL yang sangat minim jumlahnya.
Menurut hemat saya, memang sangat diperlukan kutipan-kutipan para ahli untuk mendukung dan
memperjelas pendapat penulis tentang suatu topik yang sedang diperbincangkan. Oleh sebab itu,
penempatan kutipan pendapat para ahli dalam buku ini, hendaknya terpisah dari penjelasan penulis supaya
memudahkan para pembaca memahami mana kalimat kutipan dan mana kalimat penjelasan dari penulis.
Dalam pembahasan pokok-pokok buku ini, banyak juga dijumpai istilah-istilah baru terutama bagi para
pemula. Untuk itu perlu tambahan penjelasan mengenai pengertiannya sehingga para pembaca lebih mudah
memahami makna dan alur pembahasannya. Usaha ini juga akan memberi dorongan bagi para pembaca
untuk menggeluti kitab PL yang banyak mengandung makna tersirat dan memerlukan buku-buku referensi
untuk memperdalam pengetahuan tentang PL itu sendiri.
Dapat ditambahkan, bahwa buku ini telah mampu membantu para pemula mempelajari Alkitab PL lebih
mendalam, walau pokok-pokoknya masih terbatas dan belum mengupas setiap topik secara luas dan
mendalam. Apabila memungkinkan untuk edisi-edisi berikutnya, perlu dibuatkan semacam pertanyaan untuk
mendapatkan jawaban atau tanggapan sejauh mana para pembaca mengerti tentang buku ini.
RAMLI SELAMAT NATAL HARAHAP
Posted by: ramlyharahap | April 13, 2009
LAPORAN BUKU STUDI PERJANJIAN LAMA BAGI PEMULA oleh JOHN ROGERSON
(Penyunting) BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1997

PENDAHULUAN

Buku ini merupakan hasil terjemahan Stephen Suleeman (Tim Pelaksana) Panitia Penerjemahan
Buku-buku Teologi STT Jakarta dari buku hasil penyuntingan John Rogerson dengan judul aslinya
Beginning of the Old Testament Study yang diterbitkan BPK Gunung Mulia tahun 1997 setebal
175 halaman. Karena merupakan buku suntingan, maka penulis yang memberikan masukan dalam
buku ini bervariasai yakni dari kalangan akademisi, religus, pengajar dan kaum awan dari
berbagai denominasi. Para penulisnya adalah: John Rogerson (4 essay), John Barton (2 essay),
David J.A.Clines (1 essay), Paul Joyce (2 essay).

Dari 9 topik-topik yang disampaikan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu sama
lainnya sehingga topik-topik ini dirangkai menjadi sebuah buku yang berguna bagi para peminat
studi Perjanjian Lama (PL). Dari beberapa tulisan mereka ini banyak hal yang memudahkan kita
untuk memasuki studi PL. Untuk memudahkan kita mengetahui isi ringkas buku ini, di bawah ini
disajikan sebuah Laporan Buku: “STUDI PERJANJIAN LAMA BAGI PEMULA”.

PENGANTAR[1]

Dari kata pengantarnya saja, buku ini sudah menantang para pembacanya karena ungkapannya
yang mengatakan bahwa PL adalah sebuah kumpulan kitab yang luar biasa, yang dihasilkan oleh
sekolompok orang yang luar biasa pula. Dalam benak penyunting buku ini, bangsa Israel bukanlah
kekuatan militer atau politik yang harus diperhitungkan kendati pun bangsa Israel pernah berkuasa
atas bangsa-bangsa di sekitarnya, itu pun dalam waktu yang sangat singkat.

Salah satu cara yang penyunting tuturkan untuk melukiskan PL adalah dengan menyebutnya
sebagai kisah perjuangan antara Allah Israel dan Allah PL. Allah Israel adalah allah yang
dikehendaki masyarakat demi kesejahteraan mereka sendiri – allah yang memberikan mereka
kemenangan dalam peperangan, menyembuhkan penyakit dan menjaga kemakmuran mereka. Di
samping itu juga, kisah bangsa Israel disampaikan secara kritis oleh mereka yang memberitakan
maksud-maksud Allah yang lebih luas bagi umat manusia. Lebih jauh mereka berpendapat bahwa
dalam banyak hal, PL adalah kitab yang luar biasa kontemporer karena para penulisnya akrab
dengan gelombang peperangan yang melintasi sebuah benua.

Menurut Rogerson, kendati pun PL mengandung kisah menakjubkan, jujur dalam mengungkapkan
keraguan dan penderitaaan, merupakan kitab pengharapan, namun minat para mahasiswa/i untuk
menggeluti mata kuliah PL di sekolah tinggi dan universitas sangatlah rendah. Salah satu
penyebabnya katanya adalah ketidaktahuan akan isi PL.

Rogerson juga mengatakan bahwa tulisan-tulisan dalam buku ini bukan dimaksudkan sebagai
pengantar kepada isi PL, melainkan lebih merupakan pembimbing tentang bagaimana
menghampiri studi PL seara ilmiah. Buku ini dapat disamakan dengan sebuh petunjuk wisata
artinya buku ini menerangi arti studi PL secara ilmiah, sehingga baik studi maupun PL itu sendiri
akan lebih dihargai.

BAB 1

GARIS-GARIS BESAR SEJARAH STUDI PERJANJIAN LAMA

John Rogerson[2]

Bahasan ini memberikan suatu catatan singkat tentang sejarah studi PL, hingga menolong pemula
agar lebih siap menyadari sifat pendekatan-pendekatan ilmiah dibandingkan dengan pendekatan-
pendekatan lainnya.

Menurut Rogerson, bahwa kita tidak berkuasa atas situasi-situasi budaya dan sejarah di mana kita
berada sebelum kita mencapai usia dewasa, namun kita belajar hidup dengan situasi itu dan
menyesuaikan diri kita. Namun ada perbedaan antara bagaimana kita dipengaruhi oleh situasi-
situasi umum pada saat kita dibesarkan, dan bagaimana kita menghadapi situasi disiplin ilmiah
ketika kita memasukinya. Kita tidak dapat dengan mudah melarikan diri dari situasi-situasi umum
kehidupan kita.

Memang harus diakui bahwa dalam studi PL banyak kesulitan yang harus dihadapi. Hal ini
dirasakan Rogerson di mana menurutnya sering pengetahuan PL kemungkinan bear diperoleh dari
gereja atau sekolah. Itupun diajarkan hanya untuk menerima segala sesuatu yang dikatakan PL
begitu saja. Atau bahkan PL dianggap sebagai catatan usaha manusia mencari Allah sebelum
datangnya Yesus Kristus.

Maksud judul ini ditulis Rogerson adalah: Pertama, memperlihatkan bahwa dalam pengertian kata
kritis, keilmuan PL telah selamanya kritis. Kedua, mencoba memperlihatkan faktor manakah yang
benar-benar baru yang muncul bersama kritik sejarah pada akhir abad ke-18. Dan ketiga, mencoba
menempatkan fundamentalisme modern dalam konteks sketsa sejarah singkat, dan mencoba
menjelaskan mengapa di antara fundamentalisme dan keilmuan kritis masih terjadi pertikaian.

Dalam garis-garis besar studi PL ini, Rogerson membahas: (a) keilmuan kritis sebelum reformasi,
(b) dari reformasi sampai 1750, (c) unsur baru dalam studi kritis sejak 1750, (d) dari 1750 sampai
sekarang, (e) konservatisme modern dan kritik biblika.

Pertama, keilmuan kritis sebelum reformasi[3]. Menurut Rogerson bahwa keilmuan kritis pada
abad pertama sudah menampilkan perananannya yang berusaha menolong menetapkan teks PL
yang lebih tepat. Sebab jika teks PL yang dikutip di dalam PB tidak bersesuaian, maka hal ini akan
merisaukan para ilmuwan Kristen purba.[4] Dengan melihat kenyataan seperti itu, maka Origenes
(185-243M) menyusun Hexapla dalam usaha memberikan informasi yang kelak menjadi dasar
guna menetapkan teks PL yang benar. Disamping Origenes, ada lagi ilmuwan kritis pada abad ke-
4 yaitu: pertama, Eusebius yang menyusun sebuah Onomasticon (=daftar nama), yang merupakan
usaha untuk mengidentifikasikan tempat-tempat yang disebutkan dalam Alkitab. Kedua,
Hieronimus, yang menerjemahkan PL dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Latin dan menulis
tafsiran dan risalat-risalat tentang PL.

Keilmuan kritis yang sejauh ini dibicarakan hanya menunjukkan keinginan untuk menetapkan
sejauh mungkin teks PL yang paling benar dan niat untuk menguasai bahasa utama yang
digunakan untuk menulisnya. Keilmuan kritis mula-mula juga menghadapi pertanyaan-pertanyaan
yang menurut dugaan kita tidak diperbincangkan sebelum zaman ilmiah modern. Misalnya dalam
Kota Allah (City of God, 426M), Augustinus memberikan jawaban tentang beberapa pertanyaan
yang timbul pada saat itu terutama mengenai apa yang tertulis dalam Kejadian 1. Demikian juga
pada abad ke-12, Maimondes (1138-1204), memberikan jawaban tentang pertanyaan mengenai
fungsi alam yang kelihatan dan dia juga mengajarkan bahwa Allah tidak bertubuh.[5]

Kedua, dari reformasi sampai 1750[6]. Menurut Rogerson, Reformasi di Eropa pada bagian
pertama abad ke-16 berkaitan erat dengan kebangkitan kembali dari studi-studi alkitabiah pada
abad ke-15. Terjadi pula kebangkitan kembali studi-studi Ibrani di kalangan para sarjana Kristen.
Misalnya Luther (1483-1546) yang selalu mencari bagian manakah dalam PL yang sentral dan
mana yang tidak. Dalam diri Luther, kita sudah menemukan antisipasi posisi-posisi kritis modern
mengenai kepengarangan kitab-kitab di dalam Alkitab. Luther berpendapat bahwa meskipun
Pentateukh bersifat Musa, tidak dengan sendirinya seluruh bagiannya pasti ditulis oleh Musa.
Calvin menerima posisi-posisi yang lebih kritis ketimbang sejumlah posisi konservatif yang
diterima pada abad ke-19 atau pun ke-20.

Pada masa setelah Reformasi, muncullah skolatisisme Protestan. Pandangan-pandangan mengenai


pengilhaman alkitabiah dikukuhkan para penulis Alkitab hingga sedikit lebih tinggi daripada
sekadar alat yang Allah gunakan untuk mendiktekan firmanNya. Berlawanan dengan Gereja
Purba, mereka tidak mempunyai atau menaruh sedikit sekali perhatian terhadap kritik teks.
Sebelum Reformasi, orang pun sepakat bahwa aturan iman Gereja adalah dasar bagi penafsiran
Alkitab. Sementara dalam ortodoksi Protestan paca-Reformasi, orang juga percaya bahwa posisi
doktriner ini sepenuhnya konsisten dengan Alkitab dan pada akhirnya Alkitab saja sudah cukup.
Lebih dalam Rogerson berpendapat bahwa cukup adil apabila kita mengatakan bahwa dalam
periode ini, sikap kritis terhadap PL lebih dibatasi ketimbang pada masa-masa sebelumnya dalam
sejarah Gereja.
Menjelang akhir abad ke-17, langkah-langkah pertama yang kelak menghasilkan pendekatan kritis
modern terhadap PL diambil dari kalangan Gereja Katolik Roma (GKR) seperti Richard Simon
yang berusaha memperlihatkan kekeliruan orang Protestan dengan menyerang dasar iman
Protestan yakni, kepercayan bahwa Alkitab saja sudah cukup. Ada dua serangannya kepada
golongan Prostestan yaitu: pertama, ia menegaskan bahwa pada kenyataannya kita tidak dapat
yakin dengan mutlak akan apa yang dikandung oleh teks Alkitab yang asli. Kedua, ia menuduh
bahwa kaum Protestan telah mengacaukan kewibaan dengan keaslian.

Gerakan penting lainnya pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 adalah Deisme yang
menerima nalar sebagai prinsip pembimbing yang cukup. Tokoh yang terkenal dari golongan ini
adalah J.S.Semler yang menekankan pengalaman pribadi, khususnya pengalaman pertobatan.

Ketiga, unsur baru dalam studi kritis sejak 1750[7]. Menurut Rogerson, unsur yang baru setelah
1750 adalah bahwa penelitian kritis mempunyai keterbukaan. Perbedaan antara situasi sebelum
1750 dan sesudahnya adalah; sebelum 1750 keilmuan kritis pada akhirnya adalah pembelaan
terhadap tipe ortodoksi apapun yang diterima oleh seorang ahli. Sedangkan setelah 1750,
keilmuan kritis lebih siap membiarkan kelimuan alkitabiah mereka menentang ortodoksi mereka
sendiri. Keilmuan mereka lebih merupakan usaha pencarian yang terbuka terhadap kebenaran,
ketimbang pencarian kebenaran yang dibatasi oleh penerimaan akan suatu ortodoksi.

Keempat, dari 1750 sampai sekarang[8]. Perkembangan selanjutnya dipaparkan Rogerson adalah
bahwa studi PL itu semakin bergerak maju di berbagai negara. Di Jerman perhatian khusus
diberikan terhadap ketiga bidang studi yang bertumpang tindih yakni sumber-sumber Pentateukh,
sejarah Israel dan perkembangan agama Israel. Di Inggris, metode kritis diimport dari Jerman
pada awal abad ke-19, namum kemajuannya agak lambat. Dan terakhir di Amerika Serikat sendiri
pada awal abad ke-19 metode kritis telah mapan dan didukung oleh berbagai terjemahan karya-
karya kritis dari Jerman.

Kelima, konservatisme modern dan kritik biblika[9]. Perkembangan terakhir yang disampaikan
Rogerson ialah bahwa konservatisme modern dan kritik Biblika tidak hanya dilakukan di
universitas saja melainkan bisa saja dilakukan di sekolah-sekolah tinggi teologi atau seminari serta
sekolah-sekolah Alkitab dan pendidikan misionaris. Pada sekolah-sekolah ini PL dipelajari secara
kritis yang walaupun pada umumnya dalam batas-batas tujuan khusus sekolahnya.

BAB 2

METODE-METODE DALAM STUDI PERJANJIAN LAMA

David J.A.Clines[10]
Pada bab 2 ini, Clines berupaya menjelaskan metode-metode dalam studi PL. Selama lebih dari
dua ratus tahun, para ahli telah menyelidiki berbagai sumber yang mungkin dipergunakan oleh
para penulis Alkitab dan cara bagaimana sumber-sumber ini digabungkan. Namun demikian pada
akhirnya dasar penafsiran kita haruslah dialaskan pada teks seperti yang kita punyai sekarang.

Clines secara gamblang memberikan petunjuk-petunjuk baik untuk menafsirkan sastra PL maupun
untuk menghubungkan berbagai metode sastra demi maksud di atas. Secara garis besar ada dua
metode yang ditawarkan Clines untuk memahami PL yakni pertama, metode-metode tingkat
pertama yang tujuan utamanya adalah mendapatkan pemahaman dan kedua, metode-metode
tingkat kedua, yang tidak terutama dimaksudkan untuk menafsirkan teks Alkitab, namun sering
mempunyai sumbangan yang berharga bagi penafsiran.

A. METODE-METODE TINGKAT PERTAMA[11]

Metode-metode tingkat pertama ini akan mengulas: pertama, metode-metode tradisional dalam
keilmuan biblika. Metode ini terdiri dari: (a) Eksegese grammatika-historis, (b) kritik teks, (c) dan
kritik redaksi. Eksegese grammatika-historis, adalah usaha untuk menafsirkan bagian manapun
sesuai dengan makna kata-katanya yang alamiah (“gramatika”) dan sesuai dengan kemungkinan
maksud si pengarang pada zamannya (“historis”). Kritik teks adalah disiplin yang berusaha
mencari di balik naskah-naskah Abad Pertengahan mengungkapan kata yang tepat dari kitab-kitab
dalam Alkitab. Dan kritik redaksi adalah pengumpulan dan penyuntingan sumber-sumber Alkitab.
Dalam pengertian yang paling sempit, studi ini adalah studi tentang bagaimana si pengarang
menggunakan sumber-sumbernya.

Kedua, Metode kritik sastra. Metode ini terdiri dari: (a) membaca dengan cermat, (b) gagasan
tentang “karya seni sastra”, dan (c) keterlibatan. Membaca dengan cermat (close reading) adalah
penelitian yang sangat hati-hati dan terinci terhadap semua aspek dari teks: bahasa, gaya,
metafora, image, dan hubungannya satu sama lain. Gagasan tentang “karya seni sastra”. Frasa ini
memiliki dua penekanan yang berbeda: (i) bahwa karya sastra haruslah pertama-tama dipandang
sebagai suatu keseluruhan; (ii) bahwa karya sastra harus dipelajari sesuai dengan apa yang
dikandungnya. Dan keterlibatan artinya si penafsir mempunyai keprihatinan dengan masalah
kebenaran dari teks dan rela serta bergigih untuk mencapai suatu penilaian pribadi.

B. METODE-METODE TINGKAT KEDUA[12]

Metode ini pada prinsipnya adalah menggunakan teks Alkitab untuk maksud-maksud lain,
ketimbang untuk memahami teks. Dalam bagian ini Clines mengupas studi PL dengan: (a) kritik
sejarah, (b) kritik sumber, dan (c) kritik bentuk. Kritik sejarah adalah suatu usaha merekonstruksi
peristiwa-peristiwa yang ada di balik kisah-kisah Alkitab. Kritik sumber adalah yang berusaha
merekonstruksikan sumber-sumber yang ada di balik isinya. Secara umum tujuan kritik sumber
adalah sumber itu sendiri, isinya, konteks sejarahnya, maksud-maksud dan kesalingterkaitannya.
Dan kritik bentuk merupakan usaha untuk menemukan pemberitaan Kristen awal di mana kisah-
kisah tentang ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Yesus diceritakan dan mengambil
bentuknya yang tetap.

Secara keseluruhan bab ini tidaklah sepenuhnya bersifat deskriptif (sekedar melukiskan) tentang
metode-metode yang dipergunakan dalam studi-studi PL, melainkan juga telah berusaha untuk
pada tingkat tertentu bersifat preskriptif (memberikan anjuran).

BAB 3

SEJARAH PERJANJIAN LAMA DAN SEJARAH ISRAEL

John Rogerson[13]

Pada bab 3 ini, kita akan melihat mengenai tradisi-tradisi sejarah dalam PL. Apakah maksud
tradisi-tradisi ini, bagaimanakah apabila kita membandingkannya dengan rekonsturuksi ilmiah
para ahli terhadap sejarah Israel kuno, dan apa yang terjadi apabila sang ahli modern itu merasa
perlu “memperbaiki” laporan yang disajikan dalam PL? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang utama
di sini.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Regerson memaparkan bahwa ada reaksi negatif dari
pihak-pihak lain yang agaknya didasarkan pada pertimbangan: Pertama, kita barangkali merasa
ingin membela PL, bukan karena alasan doktriner tertentu apapun, melainkan karena kesetiaan
kepada sebuah lembaga yang tua hingga kita tidak ingin melihatnya diperkosa. Kedua, keberatan
kita barangkali mempunyai dasar-dasar moral atau teologis. Namun masih ada keberatan yang
mencolok bahwa keilmuan kritis pada kenyataannya menuduh Allah atau para pengarang Alkitab
yang manusiawi itu melakukan kesalahan atau tidak jujur.

Rogerson mengatakan bahwa usaha singkat ini untuk mempertimbangkan sumber-sumber sejarah
apakah yang tersedia bagi para penulis Alkitab dan bagaimana agakya mereka memanfaatkannya,
dapat menolong kita dalam dua hal. Pertama, usaha ini dapat menolong kita menghargai bahwa
sejarah-sejarah dalam PL ditulis dalam cara yang amat serupa seperti semua sejarah lainnya.
Kedua, usaha ini menolong kita menjembatani jurang kebudayaan yang ada di antara kita sendiri
dan periode PL.

Adalah keliru apabila kita mengira bahwa semua tulisan sejarah dalam PL berkaitan erat dengan
kesaksian kenabian sebagaimana kaitan antara kejatuhan Yerusalem dengan Yeremia. Dengan kata
lain, studi historis modern PL bukanlah sebuah serangan terhadap intergritas para penulis Alkitab.
PL tidak hanya mengandung sejarah Israel purba. Ia juga mengandung tradisi-tradisi historis dan
bentuk-bentuk seperti cerita yang maksud utamanya adalah mengungkapkan iman para pengarang
PL bahwa Allah terlibat dalam peristiwa-peristiwa sejarah bangsa Israel.

BAB 4
PANDANGAN DUNIA PERJANJIAN LAMA

John Rogerson[14]

Pada bab 4 ini, Rogerson melukiskan secara singkat perbedaan-perbedaan budaya antara dunia PL
dan dunia sekarang ini. Perbedaan-perbedaan itu tidaklah begitu besar hingga akibatnya kita hanya
dapat memahami PL apabila kita membacanya dengan sebuah kaca mata budaya yang khusus. Di
pihak lain, pada beberapa kesempatan kita akan dapat lebih menghargainya apabila kita
melakukan sejumlah penyesuaian budaya terhadap pendekatan kita.

Dalam bab ini, Rogerson membahas alam, magi, mujizat, kurban dan organisasi sosial. Pertama
alam. Pengalaman Israel tentang alam sangat dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan tanah dan
iklim yang ditemukan di dunia Israel kuno. Barangkali ketika Israel merenungkan alam, mereka
menjadi sadar akan hal yang luhur: tentang apa yang begitu dimuliakan atau mengesankan
sehingga timbullah dalam diri mereka rasa takjub dan heran. Beberapa bagian dalam PL, misalnya
Mazmur 104, tampaknya memberikan kesan bahwa bangsa Israel melihat Allah terlibat dalam
semua proses alam.

Kedua magi. Magi sering dianggap sebagai indikasi sebuah pandangan dunia yang primitif dan
tidak ilmiah. Magi datang ke dalam situasinya sendiri ketika batas-batas dilanggar atau menjadi
kabur. Rogerson memandang baik posisi dan kedudukan magi ini. Dia mengatakan bahwa mereka
yang ikut serta dalam upacara-upacara magis-religius tak boleh dianggap sekedar berusaha
memanipulasi kenyataan dalam sebuah cara yang pseudo-ilmiah. Karena pada gilirannya hal ini
membebaskan mereka dari rasa cemas, dan menolong mereka lebih efektif dalam menjalankan
usaha. Alasan lain dikatakan Rogerson ialah bahwa magi tidak menunjukkan pandangan tentang
dunia yang kacau. Sebaliknya, ia berfungsi dalam tatanan yang tercipta oleh banyak perbatasan
dan hanya dapat disingkirkan oleh kehancuran total batas-batas tersebut serta pembentukan batas-
batas alternatif.

Ketiga mujizat. Menurut Rogerson, ada dua hal yang harus dipertimbangakan dalam bagian ini.
Pertama, ialah apakah bangsa Israel kuno begitu bodoh tentang sebab-sebab ilmiah sehingga
mereka menyebut Allah sebagai penyebab dari apa yang dijelaskan dalam pengertian-pengertian
“alamiah”. Kedua, ialah apakah memang lebih mudah bagi mereka daripada bagi kita untuk
percaya bahwa peristiwa-peristiwa luar biasa memang terjadi. Bila kontras antara kita dan bangsa
Israel kuno dilukiskan dengan tepat, kita dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, ialah bahwa
laporan-laporan PL mengenai peristiwa-peristiwa luar biasa sebagai tindakan-tindakan khusus
Allah tidak boleh kita percayai, karena mereka berasal dari suatu bangsa yang pemahamannya
tentang realitas adalah pra-ilmiah. Kedua, ialah bahwa bangsa Israel mempunyai kelebihan dari
kita bahwa mereka dapat dengan lebih mudah ketimbang kita melihat Allah bekerja dalam
berbagai peristiwa.

Keempat kurban. Rogerson berpendapat bahwa barangkali kita menganggap bahan-bahan yang
berkaitan dengan kurban ini tidaklah penting paling tidak karena dua alasan. Pertama, kita percaya
bahwa kematian Yesus telah menghapuskan kebutuhan akan sistim kurban seperti dalam PL.
Kedua, bahwa kurban paling tidak bukanlah bagian utama agama PL. Kenyataannya tak ada
gerakan pembaharuan dari dalam agama PL yang berhasil menghapuskan sistim kurban dan ini
disebabkan oleh alasan sederhana bahwa kurban adalah bagian dari suatu sistim yang jauh lebih
kompleks yang menarik garis batas dan mempertahankannya di kalangan Israel kuno. Kurban itu
sendiri diakhiri oleh pergolakan-pergolakan besar dari luar. Pertama, ketika Bait Suci dihancurkan
oleh bangsa Babel pada tahun 587 sM, kurban sementara berhenti (namun setelah Bait Suci
dibangun kembali, maka kurban dilanjutkan kembali pada tahun 516 sM). Kedua, ketika bangsa
Romawi menghancurkan Biat Suci pada tahun 70M, mengakhiri untuk selamanya sistim kurban.
Kurban dalam PL adalah bentuk perilaku simbolis yang memungkinkan seseorang melintasi
perbatasan, dan yang memungkinkan perbatasan dipulihkan setelah dilanggar. Degan demikian
kurban adalah bagian dari cara Israel menjawab dalam syukur kepada Allah atas penebusanNya
yang penuh anugerah dan pemeliharaanNya yang berkelanjutan atas bangsa itu.

Dan kelima organisasi sosial. Menurut Rogerson ada empat periode untuk melihat organisasi
sosial ini yakni: periode para Leluhur, periode para Hakim, periode kerajaan dan periode
komunitas pasca-pembuangan. Para Leluhur dilukiskan sebagai keluarga-keluarga besar, yang
beternak kambing, domba, dan kemungkinan juga unta, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain (yang disebut semi-namad). Pada periode Hakim, Israel kuno digambarkan sebagai
sebuah konfederasi suku. Kata “suku” untuk melukiskan begitu banyak jenis organisasi
kemasyarakatan sehingga ia tidak lagi berarti atau bahkan menyesatkan. Pada periode
pembuangan, yang menyebabkan kelas orang-orang kaya dan berkuasa disingkirkan ke Babel,
tentunya mempunyai dampak yang mendalam terhadap organisasi kemasyarakatan Israel kuno.
Pada periode Pasca-Pembuangan, dari informasi dalam kitab Ezra dan Nehemia, para anggota
komunitas pasca-pembuangan menyebut diri mereka sebagai anggota keluarga atau desa-desa
tertentu.

BAB 5

INDIVIDUAL DAN KOMUNITAS

Paul Joyce[15]

Dalam bagian ini, Joyce memperingatkan agar kita tidak membuat kesimpulan-kesimpulan umum,
mengenai bangsa Israel kuno, khususnya tentang cara berpikir mereka. Dengan tepat ia menunjuk
pada kepelbagaian yang dijumpai dalam PL. Di kalangan Israel kuno kelompok sosial atau
komunitas mendapat tempat yang penting. Di samping keluarga dekat atau anggota
rumahtangganya, orang Israel kuno biasanya menganggap dirinya sebagai bagian dari sebuah
keluarga besar yaitu salah satu suku Israel dan akhirnya salah satu dari “Anak-anak Israel”, umat
Yahweh. Yahweh pertama-tama dan terutama sekali adalah Allah bangsa Israel; orang dapat
mengatakan bahwa Dialah satu-satunya Allah bagi seorang individu Israel sejauh individu itu ikut
serta dalam bangsa Israel.

Komunitas Israel sangat mengandalkan ibadah kepada satu Allah, Yahweh, sebagai prinsip
pemersatu utama kehidupannya. Setelah pembuangan nampaklah bahwa ibadahlah yang menjadi
ikatan hakiki yang mempersatukan bangsa Israel. Lebih jauh Joyce mengatakan bahwa di
kalangan Israel kuno komunitas, entah itu keluarga dekat, keluarga besar, suku atau bangsa itu
sendiri, amatlah penting dan ada suatu kaitan yang erat antara kehidupan peribabadahan Israel dan
rasa komunitas yang kuat ini. Namun pendapat lain seperti H.Wheeler Robinson[16], mengatakan
bahwa di kalangan Israel kuno batas-batas kepribadian seorang individu tidak ditentukan dengan
jelas dan kebanyakan bagian PL harus dipahami dalam terang kenyataan yang dikemukakan oleh
pendapat itu bahwa individu bahkan tidak dibedakan dari kelompoknya. Kelompok, kata
Robinson, dapat dianggap seolah-olah mempunyai “Kepribadian Kelompok” misalnya kasus
Akhan dalam Yosua 7 yang akhirnya kelompok Akhan dibunuh setelah terbukti kesalahannya.
Namun menurut Joyce, pendapat Robinson tentang “Kepribadian Kelompok” ini kadang-kadang
kabur dan membingungkan, bahkan dalam tulisan Robinson sendiri.

Pemahaman lain yang amat luas dianut mengenai PL ialah pandangan yang mengatakan bahwa
ada suatu perkembangan yang teratur dan dapat ditelusuri dalam cara berpikir Israel dari
penekanan yang kuat terhadap komunitas menuju kepada penekanan yang semakin kuat terhadap
individu. Namun demikian dasar pemahaman ini sama sekali tidaklah sekuat apa yang biasanya
diduga.

Jika kita meneliti hubungan individu dengan komunitas Israel yang berkembang itu di dalam
PL[17], maka kita dapat menyimpulkan bahwa teori perkembangan yang berkaitan dengan
gagasan-gagasan mengenai tanggung jawab di Israel haruslah ditanggapi dengan penuh hati-hati.

Pada akhirnya, Joyce menyimpulkan bahwa kita tidak mungkin berbicaran mengenai “Pemikiran
Israel” sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkan atau dilukiskan secara persis, karena Israel adalah
suatu keberadaan yang demikian beranekaragam, yang membentang melalui beratus-ratus tahun
dan semakin menyebar di banyak negeri, serta menghasilkan literatur keagmaan yang begitu
bervariasi.

BAB 6

TEOLOGI PERJANJIAN LAMA

John Barton[18]

Dalam bab ini, Barton membagi bahasannya dalam 8 bagian. Setiap bagian menekankan beberapa
hal yang berkaitan dengan teologi PL. Ulasannya cukup padat dan jelimat tentang topik yang
digumulinya.
Bagian pertama, ini merupakan pendahuluan. Dalam pendahulua ini, Barton menjelaskan
pemahaman orang tentang Allah Israel dan bagaimana orang memulai studi-studi mengenai PL,
karena PL adalah sumber informasi langsung mengenai Allah yang harus dipercayai oleh orang
Kristen. Secara sederhana dikatakan bahwa “Teologi PL” adalah suatu usaha menggali kebenaran-
kebenaran ada di dalam PL.

Bagian kedua, ini Barton menerangkan bahwa apabila dikaji secara kritis ada satu kemungkinan
untuk kemungkinan mempersatukan kembali PL dengan teologi Kristen. Hal ini terlihat dari
penyusunan sylabus studi-studi Alkitab dengan sebuah pendekatan “pencarian yang berliku”.
Selanjutnya yang sering terjadi juga adalah “pencarian religius” terhadap Israel kuno disajikan
sebagai suatu perkembangan bertahap menuju kebenaran. Menurut Barton, ada sejumlah
keberatan yang dapat diajukan pada pendekatan ini, bahkan pula pada tingkat historis semata-
mata. Bahkan pada pandangan “pencarian yang berliku” ini ada banyak jalan pintas dalam iman
dan praktek PL sehingga kita sulit memperdebatkannya sebagai prakondisi-prakondisi yang perlu
bagi Yudaisme dan Kekristenan yang muncul kemudian.

Bagian ketiga, Barton mengupas secara tajam “Teologi Perjanjian Lama” itu dengan mengatakan
bahwa teologi PL harus dibedakan secara tajam dari bentuk “sejarah pemikiran keagamaan Israel”
karena: pertama-tama, jangan mengabaikan kesamaan keluarga yang membentuk PL. Kesamaan
itu tidak harus memiliki koherensi (keutuhan) dari satu koleksi tulisan oleh seorang pengarang.
Kedua, harus ada asumsi bersama, yang barangkali lebih mudah ditemukan oleh para pembaca
yang asing dengan agama Israel ketimbang mereka yang tenggelam di dalam penelitiannya.

Bagian keempat, Barton memaparkan pendapat dua teolog PL yang terkenal yakni: Walter
Eichrodt (Theology of the Old Testament) dan Gerhard von Rad (Old Testament Theology).
Kedua teolog ini memiliki kemiripan dalam konsentrasi pada kesamaan keluarga dari teks-teks
PL. Mereka sama-sama berusaha menyajikan iman Israel, kumpulan keyakinan yang dipegang
teguh oleh semua yang mengaku sebagai umat Allah dalam masa PL. Bahkan lebih jauh Barton
mengatakan, bahwa studi mengenai pernyataan-pernyataan sesungguhnya yang dibuat PL tentang
Allah, dan mengenai kesamaan keluarga antara semuanya, tampaknya telah mencapai batas
kemungkinan-kemungkinannya dalam karya besar kedua ahli ini.

Bagian kelima ini, Barton menjelaskan perkembangan studi teologi PL itu dengan munculnya
babakan baru bagi “Gerakan Teologi Bibilika”. Gerakan ini mencoba memahami PL dan
kemustahakannya bagi pembaca Kristen yang melihat apa yang ada di belakang teks dan berusaha
menangkap gagasan-gagasan dasar dan kategori-kategori yang dipergunakan bangsa Israel.
Artinya orang Kristen diajak belajar bagaimana “berpikir secara Ibrani”. Gerakan ini sendiri pada
umumnya sudah mati, tetapi pengaruhnya hidup terus dalam segala cara yang tersembunyi.

Bagian keenam, Barton mencoba mengembangkan “teologi biblika”. Menurutnya salah satu ciri
yang memberikan sastra PL adalah kesan bahwa ia merupakan bagian dari sebuah tradisi tunggal.
Dengan demikian “teologi biblika” cenderung menunjukkan bahwa asumsi-asumsi itu terletak
pada tingkat yang amat dalam, dan lebih kurang tidak disadari. Hanya dalam pengertian yang amat
luas dapat dikatakan bahwa kita “belajar tentang” keberadaan Allah dengan jalan membuka PL.
Tak ada bagian dalam PL yang menegaskan, sebagai sepotong informasi baru, bahwa Allah itu
ada.

Bahkan lebih tajam dikatakan bahwa amatlah sulit apabila kita ingin menemukan bagian-bagian
dalam PL yang dimaksudkan untuk menyampaikan informasi bahwa Allah itu adalah Pencipta
dunia. Dengan demikian menurut Barton, adalah merupakan tugas teologi PL untuk menemukan
suatu cara untuk menjembatani jurang antara keinginan para ahli akan informasi mengenai apa
yang dipercayai Israel, dan keinginan orang percaya modern akan informasi seperti apakah Allah
itu sebenarnya.

Bagian ketujuh, Barton memasuki tahapan yang lebih menjelaskan tujuan teologi PL itu sendiri.
Tujuan teologi PL adalah usaha untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang akan menolong
kita dalam membaca dan menggunakan PL dengan pemahaman yang lebih mendalam. Peranan
teologi PL adalah menolong kita mengerti kumpulan karya sastra yang khusus dengan
menjelaskan berbagai konsep yang digunakannya.

Bagian kedelapan ini, Barton menjelaskan lebih mendalam lagi tujuan yang dapat dilayani sebuah
buku “Teologi Perjanjian Lama”. Pertama, adalah memberikan kita segala jenis informasi latar
belakang yang akan menolong kita memahami tradisi religius yang termasuk di dalamnya tulisan-
tulisan PL. Kedua, dapat kita gunakan untuk menghampiri masalah dan berusaha menganalisis
pernyataan-pernyataan teologis yang sesungguhnya yang dibuat dalam berbagai kitab PL dan
mencari cara-cara untuk menggambarkan suasanan teologisnya atau implikasinya dan bahkan
menyampaikan “pengajaran”.

BAB 7

BERBAGAI PENDEKATAN ETIKA DALAM PERJANJIAN LAMA

John Barton[19]

Ternyata PL juga memiliki nilai-nilai etika yang luar biasa. Itulah yang akan dicoba dikupas
Barton dalam bab ini dalam empat bagian bahasannya. Terasa sulit memang jika berbicara
mengenai etika ini karena selalu berkata antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Namun bagaimanakah konsep
etika dalam PL? Mari kita melihat dari berbagai pendekatan yang berikut ini.

Bagian pertama, Barton mencoba mengutip 1Samuel 15:32-33 sebagai salah satu contoh kasus
dalam PL yang merepresentasikan pendekatan etika dalam PL. Salah satu maksud bab ini memang
memberikan kesan bahwa PL menyimpan titik pandang etika yang begitu beraneka dan bahwa ada
banyak ‘etika Perjanjian Lama’.

Bagian kedua ini, Barton mengemukakan bahwa “Etika Perjanjian Lama” dapat mengacu pada
dua hal. Pertama, kadang-kadang “etika PL” berarti studi mengenai perkembangan historis ide-ide
tentang moralitas, atau tentang perilaku moral yang sesungguhnya, di kalangan Israel kuno. Studi
semacam ini tidak harus historis ‘melulu’, namum demikian harus bersifat historis, karena harus
merekonstruksikan bukti-bukti yang diberikan oleh teks PL. Kedua, adalah dengan menganggap
PL secara hakiki sebagai kitab yang merupakan bagian dari Kitab Suci orang Kristen.

Bagian ketiga, Barton membicarakan etika di Israel kuno. Etika di Israel kuno ini akan diuji dalam
tiga hal yang memuat indikasi-indikasi bahwa ada banyak pandangan dan tradisi yang berbeda di
Israel. Pertama, norma-norma moral. Norma-norma perilaku yang diterima di kalangan Israel
kuno sangat bervariasi. Hal ini disebabkan dua faktor variabel yaitu: (a) waktu; dan (b) kelompok
sosial. Kedua, dasar etika. Menurut Barton, orang Israel tidak memiliki dasar etika yang pasti dan
baku. Israel kuno tak memiliki sesuatu yang dapat digambarkan sebagai “filsafat moral”, tak ada
usaha untuk menyusun secara sistematis dasar etika, dan memperjelas mengapa kewajiban-
kewajiban atau norma-norma mempunyai sifat mengikat. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa
semua dasar etika Israel tidak sama, karena moralitas dapat bersifat religius dalam lebih dari satu
cara. Ketiga, motif dan dorongan bagi perilaku moral. Secara kasar dapat digolongkan dorongan
bagi perilaku moral dalam PL adalah: (a) sebagian memandang ke masa depan, (b) sebagian
memandang ke masa lampau, dan (c) sebagian memandang ke masa kini.

Bagian terakhir, dalam ulasan Barton ini adalah mengenai etika PL. Etika PL ini mencoba melihat
keberadaan norma-norma moral dan dasar moralitas dari sudut PL. Oleh karena itu kita akan
melihat etika PL dari dua pandangan yaitu: pertama, norma-norma moral. Dari berbagai kasus-
kasus yang ditemukan di dalam PL, maka dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip moral yang
disepakati kitab-kitab PL mempunyai tingkat generalitas yang cukup tinggi. Dalam banyak hal
prinsip-prinsip itu juga ditemukan di antara sistem-sistem keagamaan Semit di masa dahulu
maupun modern. Kedua, dasar etika. Kategori dasar etika dalam PL adalah “hukum”.[20] Cara
terbaik untuk menghampiri sistem etika PL sebagai “Torah” adalah mengingat bahwa maksud PL
yang terutama ialah untuk memberikan bahan-bahan yang akan memberikan kesan tentang pola
atau bentuk cara kehidupan yang dijalankan di hadapan Allah. Jadi, untuk bentuk akhir PL,
perilaku moral praktis berkaitan erat dengan “spiritualitas”: masalah gaya hidup.

BAB 8

PERJANJIAN LAMA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERJANJIAN BARU

Paul Joyce[21]

Menurut Joyce, hubungan PL dan PB memiliki hubungan yang sangat erat, namum di dalamnya
ada banyak masalah yang timbul yang harus disikapi oleh orang Kristen. Baik PL maupun PB
sama-sama berakar dalam sejarah – inilah bagian dari kekuatan mereka. Masing-masing
dihasilkan dalam seluruh rentangan latar belakang budaya, membahas masalah-masalah dari latar
belakang itu, dipengaruhi oleh atau bereaksi terhadap ide-ide dari masa itu. Akan ada bagian-
bagian PL maupun PB yang kita rasakan tidak membangun atau relevan. Misalnya bagian penutup
Mazmur 137 yang penuh dendam, atau barangkali, sebagian pernyataan Paulus tentang perempuan
atau budak. Harus kita aku bahwa kedua perjanjian itu memiliki kebhinekaan, tak bisa lagi ada
dikotomi hitam dan putih antara PL dan PB. PL, seperti halnya PB, dihargai dan dihormati karena
kekayaan yang dikandungnya. Kemudian Joyce mengatakan pemahaman bahwa peristiwa-
peristiwa dalam PB menggenapi kata-kata PL lebih tersirat ketimbang tersurat.

Dalam ulasannya ini, Joyce mengungkapkan hubungan antara PL dan PB dalam cara yang positif.
Yang terbaik hubungannya dapat dibayangkan pada dasarnya terdapat dalam kesinambungan besar
tradisi keagamaan. Dengan demikian, umumnya PL yang memberikan kosakata teologis yang
dipakai oleh para penulis PB untuk mengungkapkan pemahaman mereka tentang kegiatan Allah di
dalam Yesus.

BAB 9

EPILOG: MENGGUNAKAN PERJANJIAN LAMA

John Rogerson[22]

Menurut Rogerson, bahwa banyak orang yang mempelajari PL tidak mau merasa puas dengan
mengetahuinya dari sudut pandangan sastra dan kritik sejarah saja namun mereka ingin sekali
menggunakannya dalam hidup mereka sehari-hari. Namun bagaimanakah penggunaan PL dalam
kehidupan sehari-hari? Rogerson memberikan beberapa cara menggunakannya misalnya: pertama,
penggunaan PL di Gereja. Dalam kebaktian-kebaktian Gereja PL biasanya diberikan peranan
sekunder setelah PB. Akhirnya PL tidak begitu dikenal di kalangan jemaat. Karena kebhinekaan
ada dalam PL, maka inilah yang menjadi titik tolak bagi penggunaan PL di Gereja. Namun
kenyataannya, PL pemakaian PL di Gereja harus menjalani proses yang panjang sekali. Secara
ringkas Rogerson menjelaskan penggunaan PL dalam Gereja menuntut hal-hal berikut: (a)
pengetahuan mengenai keseluruhan isinya; (b) pengakuan akan kebhinekaannya; (c) kesiapan
untuk menghindari rumusan-rumusan yang terlalu sederhana seperti rumusan murka Allah; (d)
kerelaan untuk melihatnya sebagai kesaksian bagi iman suatu bangsa yang hidup; (e) kesiapan
untuk mempelajari segala sesuatu yang mungkin dari pendekatan keilmuan akademis dan kritis.

Kedua, menggunakan PL dalam persoalan-persoalan sosial dan moral. Setelah memaparkan


beberapa kasus-kasus sosial dan moral di dalam PL, maka Rogerson menarik sebuah kesimpulan
bahwa kita dapat mengatakan bahwa penggunaan PL dalam soal-soal sosial dan moral bukanlah
sekedar persoalan mengutip teks dan menerapkannya terhadap situasi-situasi modern. PL tidaklah
dimaksudkan untuk menjadi buku tentang aturan-aturan yang diterapkan dalam situasi manapun
juga. PL adalah catatan tentang kepekaan yang semakin meningkat terhadap tuntutan-tuntutan
sosial dan moral yang tersirat dalam penebusan Allah yang penuh belas kasih.

TANGGAPAN BUKU
Memang benarlah apa yang dikatakan Rogerson dalam kata pengantarnya, bahwa tulisan-tulisan
dalam buku ini bukan dimaksudkan sebagai pengantar kepada isi PL, melainkan lebih merupakan
pembimbing tentang bagaimana menghampiri studi PL seara ilmiah. Dan harus diakui agak jarang
buku-buku yang diterbitkan yang bersifat seperti ini dalam bahasa Indonesia. Bukan berarti tidak
ada. Berkaitan dengan ini, buku lain yang bisa membantu para pemula dalam studi PL ini
misalnya: Perjanjian Lama dan Indonesia yang Sedang Membangun[23], Teologi Perjanjian
Lama[24], Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama[25], Bunga Rampai Teologi Perjanjian
Lama[26], Memahami Perjanjian Lama: Tiga Pertanyaan Penting[27], Satu Alkitab Dua
Perjanjian[28], dan lain-lain.

Metode penafsiran dalam studi PL yang dipaparkan David J.A.Clines secara umum untuk bagi
pemula studi PL memang sudah cukup lumayan. Namun untuk studi lanjutan tentang topik ini,
John H.Hayes dan Carl R.Holladay[29] lebih mendalam menjelajahi dunia PL. Disamping yang
disampaikan Clines masih ada lagi pendekatan yang lebih tajam diuraikan mereka misalnya
mengenai: penyatuan semua langkah studi PL itu, mulai dari kritik sejarah hingga kepada kritik
bentuk dan pemanfaatan hasil-hasil penafsiran Alkitab. Artinya studi PL itu tidak hanya sebatas
studi saja melainkan harus membawa hasil tertentu baik bagi pribadi maupun orang lain.

Hubungan PL dan PB yang diuraikan oleh Joyce, memang benar masih banyak kesulitan-
kesulitannya sama seperti pemahaman Hasel.[30] Menurut Hasel, Rudolf Bultmanlah yang berjasa
mencari kaitan antara kedua Perjanjian itu dalam kurun sejarah faktual Israel. Bultman
mengatakan PL merupakan prakiraan tentang PB tidak lebih tidak kurang. Dia menyokong
pendapat tentang tidak adanya hubungan teologis samasekali antara PL dan PB. Hubungan antara
kedua Perjanjian “samasekali tidak relevan secara teologis”. Sementara Klaus Schwarzwaller
berpendapat bahwa PL berkaitan dengan PB dipandang dari segi rumusan tentang “rangkaian
bukti dan hasil”. PL hanya dapat dipahami dari Kristus karena PL menunjukkan ke depan kepada
Dia. “Peristiwa Kristus mencakup sejarah perjanjian lama dan menunjuk kembali kepada
kesaksian-kesaksiannya”[31]

Kupasan Rogerson mengenai bagaimana menggunakan PL, masih bersifat umum. Namun yang
lebih penting sebenarnya adalah bagaimana menggunakan PL ini secara dalam kehidupan dan
budaya kita masing-masing. Misalnya, Peranan PL dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan
sosial[32], peranan PL dalam proses interaksi antara teologi Kristen dan teologi Islam[33],
pentingnya PL dalam dialog Kristen-Muslim[34]. Demikian juga Longman III, dia mencoba
mengupas bagaimana orang Kristen mengaplikasikan PL dalam kehidupan ini

Anda mungkin juga menyukai