Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

BAB 2
PEMBAHASAN

A. KONSEP PERSEMBAHAN DALAM ALKITAB


Apakah yang dimaksud dengan persepuluhan? Kata ini sangat umum diantara orang
Kristen yang semua orang berfikir bahwa ia tahu persis apa artinya. Namun, masalah serius
dengan pemahaman persepuluhan muncul dibagian awal buku ini karena dari serius perselisihan
tentang defenisi “persepuluhan”. Ibrani dan kata Yunani untuk “persepuluhan” baik hanya berarti
“sepersepuluh”. Persepuluhan secara umum adalah sebagai “kesepuluh bagian dari memproduksi
atau pendapatan lain, dibayar secara sukarela atau di bawah tekanan hukum untuk kepentingan
dari lembaga keagamaan, dukungan dari para imam dan pendeta, dan bantuan dari mereka yang
membutuhkan. Definisi ini tidak membedakan antara gerejawi persepuluhan dari gereja hukum,
pribadi persepuluhan dari perdagangan dan pertanian persepuluhan.1
Persembahan bukanlah dasar atau prasyarat untuk kasih Allah, tetapi merupakan jawaban
manusia atas kasih Allah yang diterimanya melalui karya keselamatan Kristus. Memberi dengan
sukacita dan sukarela, sebagai respon atau reaksi terhadap pemberian kasih Allah yang begitu
besar itu, adalah motivasi utama orang-orang Kristen yang ikut dalam aksi pengumpulan
sumbangan itu. Pada dasarnya kurban dan persembahan usaha untuk menjalin kembali hubungan
dengan Tuhan, sebagai persembahan yang berbaur harum pengakuan dosa dan kesalah, dan
untuk menyenangkan hati Allah. Persepuluhan dikaitkan bukan saja dengan jabatan keimaman
tetapi juga dengan rumah Tuhan.
Memberikan persembahan di Bait Allah dalam tradisi Yahudi pada Perjanjian Baru
merupakan tuntutan dari para Rabi atas nama Yahweh dan Kitab Suci yang mereka tafsirkan.

1
Russell Kelly, Should the Church Teach Tithing?: A Theologiany’s Conclusions about a Taboo Doctrine,
(Universe:2001) hal 1-6
Persembahan ini sifatnya adalah wajib bagi semua orang Yahudi, orang kaya maupun orang
miskin.2
Salah satu praktik pemberian persembahan yang menjadi tradisi adalah pemberian
persembahan di peti persembahan di Bait Allah. Tindakan memasukkan pemberian ke dalam peti
persembahan adalah tindakan yang da[at diketahui oleh banyak orang. Beberapa ahli menyatakan
bahwa peti persembahan yang tertulis di dalam teks ini, yang disebut dengan treasury
kemungkinan adalah salah satu tempat persembahan yang terdapat di Bait Allah di bagian yang
disebut Court of the Women. Howard Marshall menyatakan bahwa terdapat macam-macam
pemberian. Berkaitan dengan hal ini, bukti-bukti menunjukkan pemberian yang diberikan
memiliki tujuannya masing-masing, dan lebih khusus jika yang berhubungan dengan
sumpah/perjanjian maka pemberi harus mengumumkan jumlah pemberian dan tujuan
pemberiannya itu kepada imam yang bertugas.3

B. PENGERTIAN PERSEMBAHAN dalam PERJANJIAN BARU


Dalam Lukas 21 dapat dilihat bagaimana tanggapan Tuhan Yesus tentang nilai dan arti
sebuah persembahan. Ketika Tuhan Yesus melihat orang kaya memasukkan persembahannya ke
dalam peti persembahan dalam jumlah yang besar dari sisi uang mereka. Kemudian Tuhan Yesus
melihat seorang janda miskin memberikan persembahannya sebanyak dua peser. Melihat hal ini,
Yesus memberikan pengajaran kepada muridNya, juga semua orang yang ada saat itu dan Yesus
mengatakan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin itu memberikan lebih banyak
dari pada semua oarng yang memasukkan uang ke dalam persembahan, sebab mereka semua
memberi dari kelimpahannya, tetapi janda unu memberi dari kekurangannya, semua yang ada
padanya yaitu seluruh nafkanya” (Lukas 21:3-4)
Hal yang dimaksudkan Tuhan Yesus karena si handa itu memberikan persembahan yang
paling berharga yaitu hidupnya. Ia tidak ragu soal makan atau tidak nantinya, sedangkan orang
kaya itu memberi dari kelimpahannya. Di sinilah manusia ingin melihat bahwa Tuhan Yesus
menginginkan persembahan itu adalah yang terbaik.

2
David Gooding, According to Luke: A New Expsition of the Third Gospel (Leicester: Inter-Varsity Press, 1987), hal
324-325.
3
Marshall Howard, The Gospel Of Luke: A Commentary on the Greek Text, (uMichigan:Paternoster Press, 1992), hal
751
Jadi jelas, semua prinsip persembahan lahiriah pada sistem ibadat Perjanjian Lama yang
kemudian dilakukan dalam Turat telah dilunaskan Yesus sebagai persembahan itu sendiri.
Karena itu, persembahan dalam Perjanjian Baru sifatnya sudah bukan lagui merupakan ritus dan
kewajiban keagamaan, tetapi merupakan buah kasih orang yang telah memperoleh karunia
keselamatan dalam Kristus.4

C. TIGA JENIS PERSEMBAHAN


1. Persembahan Khusus
Ketika Musa mendapat perintah TUHAN untuk mendirikan Tabernakel (Kemah Suci),
TUHAN meminta umat Israel untuk memberikan persembahan khusus (Kel 25:1-7; 35:4-19,20-
29). Persembahan khusus ini dipungut, tetapi diberikan menurut dorongan hati masing-masing.
Persembahan ini juga disebut persembahan sukarela. Persembahan ini diberikan untuk tujuan-
tujuan khusus yang TUHAN tetapkan. Merupakan ‘senyawa’ dari kewajiban-sukarela.

2. Persembahan Korban
Dalam ibadah PL, ada beberapa persembahan wajib yang disebut korban. Di antaranya:
a) KorbanBakaran
Olah (Ibrani) artinya kurban bakaran. Akar kata ini berhubungan denggan kata kerja yang
berarti “naik”, dan merujuk bahwa kurban “naik” melalui asap kepada Tuhan. Dalam
Kejadian 8:20 dan banyak ayat lain dengan ungkapan “mempersembahkan kurban
bakaran” berarti secara harafiah “mengakibatkan kurban bakaran naik”.5
b) Korban Sajian (makanan atau biji-bijian, tepung)
Minkhah (Ibrani) artinya korban sajian. Dalam keduniawian, kata ini dipakai pada
bermacam-macam hadaiah, misalhnya hadiah yang diberikan seorang raja kepada
seorang raja lain sebagai tanda penghormatan, terimakasih, tanda kesetiaan dan
persahabatan. Di bidang keagamaan kata minkhah pada aslinya dipakai tentang kurban,
baik dari ternak maupun dari hasil ladang.

4
Herlianto, Teologi Sukses, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2012), hal 200
5
Robert M. Peterson, Tafsiran Alkitab Kitab Imamat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal 31
c) Kurban Keselamatan (persekutuan atau pendamaian
Zebah Syelamim (Ibrani) artinya kurban keselamatan. Kata zebah berarti “apa yang
disembelih”, dan disamping kurban, kata itu bisa dipakai penyembelihan ternak untuk
makanan atau penyembelihan yang tidak bertanggung jawab. Penyembah yang dengan
senang hati menyelenggarakan upacara-upacara diingatkan bahwa Allah tidak hanya
menuntut persetujuan dan pengakuan melainkan juga perbuatan.6
d) Korban Penghapus Dosa dan Kurban Penebus Salah
Kata yang diterjemahkan sebagai kurban “kurban penghapus dosa” pada aslinya bukan
istilah tehnis di bidang agama/ibadah, sama seperti “kurban bakaran”, “kurban
keselamatan”. Kata Kurban penebus salah dalam bahasa Ibrani disebut dengan asyam,
terdapat dalam dokumen-dokumen pra-pembuangan, walaupun yang disinggung itu
bbukanlah penyembelihan binatang berupa kurban, melainkan symbol-simbol emas yang
ditaruh disamping tabut waktu orang Filistin mengembalikannya ke Israel.

Kurban-kurban persembahan ini diuraikan dalam kitab Imamat, dibagi dalam dua
kategori: (1) kurban yang dipersembahkan secara spntan pada Allah dalam pujian dan ucapan
syukur atas berbagai berkat dan kebaikan yang diperoleh, (2) kurban-kurban yang dituntut oleh
Yahweh pada saat ada dosa di dalam masyarakat Ibrani (misalnya kurban bakaran, kurban
penghapus dosa, kurban penebus salah). Kurban sajian dan kurban pendamaian adalah tanggapan
ucapan syukur atas kebaikan Allah, sementara kurban-kurban jenis lain sangat diperlukan untuk
menebus atau “menutupi” dosa yang dilakukan, untuk melaksanakan perdamaian dengan
Yahweh, dan mengembalikan orang yang berdosa yang sudah bertobat kepada persekutuan
dengan orang-orang yang lain dengan Allah. Jadi altar akan dibersihkan demi kepentingan
orang-orang yang membawa persembahan yang memiliki dosa atau najis yang secara ritual telah
menodainya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kesucian kehadiran Allah di tengah-
tengah mereka.7

3. Persembahan Persepuluhan

6
William Dyness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama, (Jawa Timur: Gandum Mas) hal 134
7
Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2013), hal 133-136
Ketika Israel ada di padang gurun, mereka memberontak kepada Tuhan dengan membuat
patung emas anak emas (Kel 32). Lalu Musa meminta siapapun yang berdiri di pihak TUHAN
bergabung dengan dia (ay.25-26). Lewi berada di pihak TUHAN. Lewi berbakti kepada TUHAN
(ay.29), menjadi suku khusus yang melayani TUHAN (bersama imam Harun dan keluarganya).
Pada saat pembagian tanah milik pusaka, suku-suku Israel mendapat tanah, tetapi Lewi tidak.
Suku-suku lain dapat mengerjakan tanah untuk mendapat nafkah kehidupan, sedangkan Lewi
tidak, karena Lewi bekerja melayani TUHAN dan menyelenggarakan ibadah kepada TUHAN
(Bil 3:12). Maka supaya mereka juga mendapat makanan, TUHAN menetapkan Lewi
mendapatkan persembahan persepuluhan dari suku-suku Israel (Bil 18:21). Para Lewi juga
harus memberikan persembahan kepada imam(Bil 18:25-28). Ini adalah kearifan ilahi - sebelas
suku Israel menghidupi satu suku Lewi, satu suku Lewi menghidupi satu kaum imam! Prinsip:
kesetaraan taraf kehidupan! Dalam perkembangan selanjutnya, persembahan persepuluhan
diperuntukkan bagi tiga kepentingan: para Lewi, orang miskin (orang asing, anak yatim dan
janda), dan perayaan (Ulangan 14:23, 26:12). Pada jaman setelah Hakim-Hakim sampai Nabi-
Nabi, persembahan persepuluhan tetap berlangsung dengan pengorganisasian yang lebih baik.
Ada rumah perbendaharaan di Bait Allah, sebagai tempat mengumpulkan persembahan (Neh
10:38; 12:44). Demikianlah ketika Maleakhi mengumumkan tegurannya (Mal 3:10). Sistem
diorganisir dengan baik, tujuan tetap sama.

3.1. Persepuluhan dalam Kitab Perjanjian Baru


Persepuluhan disebutkan hanya dalam tiga kali kesempatan dan bukan untuk
menganjurkannya. Yang pertama, persepuluhan disebutkan ketika Tuhan Yesus mengecam ahli-
ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang mementingkan persepuluhan tetapi mengabaikan hal
yang lebih penting (Mat 23:23; Luk 11:42). Perkataan Tuhan Yesus dalam Mat 23:23b yakni
“Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”, menunjukkan sikap yang
konsisten mendukung sistem agama Yahudi yang berlaku saat itu, namun bukan untuk
menyatakan bahwa hukum persepuluhan itu berlaku atas pengikut-Nya. Tuhan Yesus dalam
beberapa kesempatan juga misalnya menyuruh orang yang disembuhkan-Nya memperlihatkan
diri kepada Imam sesuai Taurat, namun bukan berarti perintah itu dimaksudkan untuk dilakukan
oleh pengikut-Nya. Yang kedua, merupakan kecaman Kristus kepada orang Farisi yang merasa
benar karena melakukan hukum-hukum termasuk persepuluhan (Luk 18:12). Dalam hal inipun
tidak tersirat bahwa Kristus menghendaki pengikut-Nya supaya tetap menaati hukum
persepuluhan. Yang ketiga (Ibr 7) adalah untuk menunjukkan keutamaan Kristus sebagai Imam
Besar menurut aturan Melkisedek, yang lebih tinggi dari imam Lewi, karena Abraham “bapak”
imam-imam Lewipun memberi persepuluhan kepada-Nya. Dalam hal inipun tidak ada perintah
bagi pengikut Kristus supaya tetap melakukan hukum persepuluhan.
Jadi dari semua bagian Kitab Perjanjian Baru yang menyinggung persepuluhan, tidak ada
hal yang menunjukkan secara tersurat maupun tersirat bahwa hukum persepuluhan itu tetap
berlaku untuk pengikut Kristus. Bahkan dalam kitab Kisah Para Rasul pasal 15 diceritakan
tentang adanya beberapa orang dari golongan Farisi yang menjadi Kristen berpendapat bahwa
orang-orang bukan Yahudi harus diwajibkan menuruti hukum Musa, namun Roh Kudus
menolong mereka memutuskan untuk menolaknya (Kis 15:28).
Hal ini adalah sesuai dengan ajaran Kitab Perjanjian Baru tentang hal memberi yakni
bukan lagi berdasarkan hukum yang tertulis dalam Taurat, melainkan berdasarkan hukum Tuhan
yang tertulis dalam hati orang percaya dan dengan dipimpin oleh Roh Kudus yang sudah tinggal
dalam orang percaya itu 24/7 (24 jam sehari 7 hari seminggu).
Persembahan umat perjanjian baru yang dilakukan dengan hati baru yang senang
melakukan kehendak Allah dan dengan dipimpin oleh Roh Kudus, lebih unggul dibandingkan
dengan persembahan persepuluhan yang diwajibkan sebagai hukum agamawi. Hati baru
yang mengasihi Yesus Kristus adalah hati yang senang memberi kepada Tuhan dengan tidak
menggunakan hitung-hitungan karena kemampuan dan kesempatan memberi itu adalah kasih
karunia Tuhan juga. Jadi satu-satunya yang diperlukan hanyalah konfirmasi sorgawi bahwa
Tuhan menghendaki pemberian itu. Untuk itulah diperlukan pimpinan Roh Kudus yang jelas
sehingga pemberian itu bukan dipimpin “daging” berdasarkan hukum Taurat melainkan dipimpin
Roh berdasarkan kehendak Tuhan.

D. PRAKTIK PEMBERIAN PERSEMBAHAN DALAM AGAMA YAHUDI


Pemberian peresembahan di Bait Allah di Yerusalem di yakini sebagai suatu cara yang
akan mendatangkan berkat bagi orang-orang Israel. Terlebih kusus dalam situasi bangsa Yahudi
saat itu yang mengalami kekalahan dan kejatuhan besar, dan sedang menunggu kedatangan
kemenangan mereka melalui Mesias yang dikirimkan oleh Yahweh.8 Dasar pemikiran seperti ini

8
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997) hal 28
oleh orang-orang Yahudi yang memberikan persembahan di Bait Allah, bermakna bahwa
semakin banyak dan sering seseorang memberi maka berkat bagi kehidupan mereka akan sangat
banyak. Dengan memberi, maka mereka akan mendapat. Memberikan persembahan di Bait Allah
dalam tradisi Yahudi pada Perjanjian Baru merupakan tuntutan dari para rabi atas nama Yahweh
dan Kitab Suci yang mereka tafsirkan. Persembahan ini sifatnya adalah wajib bagi semua orang
Yahudi; orang kaya maupun orang miskin.9
Pemberian peresembahan ini sudah bercampur dengan unsur politik dari nabi-nabi dan
imam-imam yang ada di Bait Allah, sehingga telah menjadi suatu kewajiban, bukan suatu
ketulusan lagi. Salah satu praktik pemberian persembahan menjadi tradisi adalah pemberian
persembahan di peti persembahan di Bait Allah. Tindakan memasukkan pemberian ke dalam peti
persembahan adalah tindakan yang dapat diketahui oleh banyak orang. Beberapa ahli
menyatakan bahwa peti persembahan yang tertulis di dalam teks ini, yang disebut dengan
treasury kemungkinan adalah salah satu tempat persembahan yang terdapat di Bait Allah di
bagian yang disebut court of the Women. Howard Marshall salah satunya menyatakan bahwa di
dalam bagian ini terdapat 13 koleksi peti-peti berbentuk terompet untuk macam-macam
pemberian. Berkaitan dengan hal ini, bukti-bukti menunjukkan pemberian yang diberikan
memiliki tujuannya masing-masing, dan lebih khusus jika berhubungan dengan
sumpah/perjanjian maka pemberi harus mengumumkan jumlah pemberian dan tujuan
pemberiannya itu kepada imam yang bertugas.10

E. AJARAN YESUS TENTANG PERSEMBAHAN DALAM LUKAS 21: 1-4


Melalui proses hermeneutik dan pengkajian konteks sosio-historis Injil Lukas yang telah
dilakukan di bagian dua, penulis mendapatkan setidaknya dua pokok utama yang dapat diungkap
dari Lukas 21:1-4 berkaitan dengan ajaran dengan ajaran tentang pemberian persembahan.
1. Mengkritisi Eksploitasi Terhadap Orang Miskin
Sebelum dapat memahami teks yang digumuli perlu untuk melihat konteks dari teks ini
yaitu Lukas 20:45-47, Lukas 20:45-47 menjadi awalan serangan Yesus berkaitan dengan
eksploitasi kekuasaan terhadap orang-orang miskin. Serangan ini terlihat jelas meski
disampaikan secara ekslisit pada pasal 20:46-47 dalam kontekss Yesus berkata kepada murid-

9
David Gooding, According to Luke: A New Exposition of the Gospel (Loicoster; Inter-Varsity Press, 1987), hal. 324-
325
10
I. Howard Marhall, The Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text, (Eerdmans, 1978), hal. 7514
murid, khususnya dalam frasa “yang menelan rumah janda-janda” (20:47a). Tradisi mengungkap
bahwa telah menjadi tugas dari para imam untuk menjaga dan mengurusi janda-janda dan anak
yatim (kehidupan seorang janda dan anak yang dalam lingkup Perjanjian Baru bergantung dari
perlindungan dan pengurusan pihak lain yaitu Bait Allah dan golongan orang kaya), dengan
alasan kedua kaum ini tidak dan belum bisa menafkahi kehidupannya sendiri. Meskipun
demikian, para imam tidak menaruh kepedulian untuk melaksanakan tugas tersebut.
Mengenai hal ini Howard Marshall memberikan penafsiran cara “melahap” adalah
penyalahgunaan kekuasaan mereka terhadap janda-janda miskin, yaitu menuntut pembayaran
untuk nasihat yang diberikan, dan Marshall juga mengambil penafsiran dari T. W Manson dan J.
d. M Darret. Menurut Manson yang dimaksud dengan “melahap” adalah “salah kepengurusan”
properti dari para janda yang mengabdikan diri di bait Allah. Eksploitasi dijalankan salah
satunya dengan adanya tuntutan-tuntutan besar seperti memberikan suara dalam pemilihan
umum sekaligus mencari rombongan pemilih lainnya, dan harus menunjukkan kepada khalayak
betapa pentingnya orang yang digalakkan itu, serta berbagai-berbagai bantuan jasa lain.11
2. Narasi pemberian Persembahan untuk Meruntuhkan Paham yang Matrealistis
Intisari yang umumnya diserap dari Lukas 21:1-4 adalah Yesus membela pemberian
persembahan janda miskin dan menjatuhkan pemberian persembahan dari orang-orang kaya.
Dalam pandangan umum, justifikasi Yesus berdasar atas ketulusan dari janda miskin. Ayat yang
menjadi pemicu pemahaman ini adalah “lalu ia berkata: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu” (21:3). Pernyataan Yesus
diayat tiga merupakan sindiran yang didorong kritikan terhadap sikap umat yang jatuh dalam
paham materealistis. Di dalam narasi persembahan janda miskin, Lukas menempatkan Yesus di
sekitar Bait Allah, sedang memberikan pengajaran, dan situasi di sekitarNya menarik perhatian
Yesus. Lukas secara khusus mengangkat ketertarikan dan perhatian Yesus terhadap orang-orang
yang sedang memberikan persembahan mereka di peti-peti persembahan (ayat 1). Problematika
utamanya berdasar atas perhatian Yesus ini. Ayat 1 dan 2 menunjukkan dengan jelas perhatian
Yesus difokuskan kepada pertama, orang-orang kaya yang datang menaruh persembahan
mereka, dan kemudian kepada janda miskin yang menaruh persembahannya sebesar dua peser.
Kritik bahasa yang penulis lakukan terhadap kali ini mengungkap bahwa kata memperhatikan

11
Jhon Stambaugh dan David Blach, Dunia Sosial Kekristenan mula-mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hal
67-68
adalah kata kerja yang berarti melihat/memperhatikan. Melihat dan memperhatikan dalam
kaitannya dengan tindakan observasi/pengamatan, bukan suatu penglihatan dalam konteks
penglihatan “spiritual” yang mengungkap tulus tidaknya orang-orang yang saat itu sedang
menaruh persembahannya. 12
Sesuai dengan tradisi, pemberian persembahan di peti persembahan dilakukan dengan
menyebutkan jumlah pemberiaannya kepada imam yang bertugas, dan kecenderungan dari
orang-orang golongan kelas atas saat memberikan persembahan adalah mengucapkan dengan
lantang jumlah pemberian mereka agar didengar orang banyak. B.J Boland dan P.S Naipospos
menafsirkan sikap ini sebagai sikap yang menunjukkan ketamakan akan kekuasaan dan
kehormatan.13

RELEVANSI PERSEMBAHAN dari KITAB LUK. 21:1-4


Keterlibatan untuk Membantu Orang Miskin
Didalam setiap gereja di Indonesia tentunya memiliki anggota jemaat yang berada di
garis “kurang mampu” atau biasa disebut dengan orang miskin. Faktanya, banyak orang Kristen
berada dalam kemiskinan. Secara umum gereja-gereja memiliki program diakonia yang
dicanangkan untuk memberikan bantuan khususnya bagi jemaat yang berada dalam kategori
miskin ini. Permasalahannya, bantuan-bantuan ini secara faktual diberikan sesuai “musim”
misalnya dalam rangka hari Raya Natal, Paskah, ataupun Ulang Tahun Gereja, untuk beberapa
orang yang terpilih sebagai kategori paling miskin, bukan orang miskin secara umum. Singgih
mengungkapkan bahwa sebagian warga gereja adalah orang miskin dan kurangnya kesadaran
gereja untuk melihat realita ini. Program diakonia yang yang ada di gereja memiliki daftar
singkat, dan makin dipersempit lagi dalam kategori “janda dan anak yatim piatu”, malah
terkadang pendeta atau janda pendeta dimasukkan dalam kategori ini meskipun tidak miskin.
Menurut Singgih, Gereja tidak merasa relevan untuk meneliti tentang kemiskinan, karena
tugasnya tidak mencakup hal itu, tetapi pada hal yang spiritual. Kenyataan pada saat ini adalah
orang miskin dalam gereja tidak disadari, tetapi yang diluar gereja yang bukan Kristen sangat di
sadari (agama Islam). Orang-orang miskin dari luar gereja yang bukan agama Kristen dijadikan
alat oleh gereja untuk menambah jumlah anggota jemaat Kristen. Pelayanan sosial yang

12
Howard Marshall, The Gospel, hal. 752
13
B.J Bolland dan P.S Naipospos, Tafsiran Injil Alkitab: Kitab injil Lukas, (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), hal. 497
dilakukan bagi mereka, namun bukan dengan tujuan mengurangi kemiskinan, tetapi untuk
menambahkan jumlah orang Kristen.14

IMPLIKASI
1. Persembahan adalah ungkapan syukur dan pernyataan kebergantungan kita kepada
TUHAN. Memberikan persembahan adalah sebuah kehormatan untuk menyatakan diri
berada di bawah berkat TUHAN. Memberikan sedikit karena pelit tidak
memberikan benefit apapun. Memberikan dengan tidak rela sama saja dengan
menyatakan tidak percaya bahwa semua yang kita punya berasal dari TUHAN.
2. Persembahan korban penebus dosa/salah tidak diperlukan karena pengorbanan Kristus
telah menggenapinya. Bahkan kalau kita mau tetap mengikuti sistem PL dalam
penebusan dosa, kita tidak mungkin memenuhinya.
3. Perjanjian Baru tidak pernah menghapus jenis persembahan khusus dan
persepuluhan (Mat 23:23). Bahkan bila kita mau jujur, kualitasnya didorong sampai titik
tertinggi (keadilan, belas lkasih, kesetiaan). Surat Roma justru menegaskan bahwa bukan
hanya sepersepuluh, tetapi seluruh (Rom 12:1). Bait Allah disebut ‘rumah persembahan’
(the house of sacrifice – 2 Taw 7:12). Biarkan hidup kita jadi the house of sacrifice.

BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Pemberian persembahan menjadi refleksi teologis yang perlu dilaksanakan oleh segenap
jemaat Kristen di Indonesia berkenaan dengan usaha untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Pemahaman yang sempit dari jemaat terhadap praktik pemberian persembahan menjadi sebab
bahwa persembahan hanya diidentikkan dengan pemberian uang di gereja, ataupun untuk
program-program digereja. Pemahaman dan pemaknaan warga gereja di Indonesia terhadap
pemberian persembahan dalam bentuk uang adalah pemahaman dan pemaknaan yang tidak
esensial, karena pola pikir yang demikian dapat mengarahkan jemaat pada paham yang
materealistis. Sehingga dalam praktik nyata dalam rangka membantu orang lain yang tergolong

14
E. Gerrit Singgih, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 103-
104
dalam kaum miskin, paham matrealistis tidak akan menjadi budaya hidup dari jemaat Kristen di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai