PENDAHULUAN
Latar Belakang
BAB 2
PEMBAHASAN
1
Russell Kelly, Should the Church Teach Tithing?: A Theologiany’s Conclusions about a Taboo Doctrine,
(Universe:2001) hal 1-6
Persembahan ini sifatnya adalah wajib bagi semua orang Yahudi, orang kaya maupun orang
miskin.2
Salah satu praktik pemberian persembahan yang menjadi tradisi adalah pemberian
persembahan di peti persembahan di Bait Allah. Tindakan memasukkan pemberian ke dalam peti
persembahan adalah tindakan yang da[at diketahui oleh banyak orang. Beberapa ahli menyatakan
bahwa peti persembahan yang tertulis di dalam teks ini, yang disebut dengan treasury
kemungkinan adalah salah satu tempat persembahan yang terdapat di Bait Allah di bagian yang
disebut Court of the Women. Howard Marshall menyatakan bahwa terdapat macam-macam
pemberian. Berkaitan dengan hal ini, bukti-bukti menunjukkan pemberian yang diberikan
memiliki tujuannya masing-masing, dan lebih khusus jika yang berhubungan dengan
sumpah/perjanjian maka pemberi harus mengumumkan jumlah pemberian dan tujuan
pemberiannya itu kepada imam yang bertugas.3
2
David Gooding, According to Luke: A New Expsition of the Third Gospel (Leicester: Inter-Varsity Press, 1987), hal
324-325.
3
Marshall Howard, The Gospel Of Luke: A Commentary on the Greek Text, (uMichigan:Paternoster Press, 1992), hal
751
Jadi jelas, semua prinsip persembahan lahiriah pada sistem ibadat Perjanjian Lama yang
kemudian dilakukan dalam Turat telah dilunaskan Yesus sebagai persembahan itu sendiri.
Karena itu, persembahan dalam Perjanjian Baru sifatnya sudah bukan lagui merupakan ritus dan
kewajiban keagamaan, tetapi merupakan buah kasih orang yang telah memperoleh karunia
keselamatan dalam Kristus.4
2. Persembahan Korban
Dalam ibadah PL, ada beberapa persembahan wajib yang disebut korban. Di antaranya:
a) KorbanBakaran
Olah (Ibrani) artinya kurban bakaran. Akar kata ini berhubungan denggan kata kerja yang
berarti “naik”, dan merujuk bahwa kurban “naik” melalui asap kepada Tuhan. Dalam
Kejadian 8:20 dan banyak ayat lain dengan ungkapan “mempersembahkan kurban
bakaran” berarti secara harafiah “mengakibatkan kurban bakaran naik”.5
b) Korban Sajian (makanan atau biji-bijian, tepung)
Minkhah (Ibrani) artinya korban sajian. Dalam keduniawian, kata ini dipakai pada
bermacam-macam hadaiah, misalhnya hadiah yang diberikan seorang raja kepada
seorang raja lain sebagai tanda penghormatan, terimakasih, tanda kesetiaan dan
persahabatan. Di bidang keagamaan kata minkhah pada aslinya dipakai tentang kurban,
baik dari ternak maupun dari hasil ladang.
4
Herlianto, Teologi Sukses, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2012), hal 200
5
Robert M. Peterson, Tafsiran Alkitab Kitab Imamat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal 31
c) Kurban Keselamatan (persekutuan atau pendamaian
Zebah Syelamim (Ibrani) artinya kurban keselamatan. Kata zebah berarti “apa yang
disembelih”, dan disamping kurban, kata itu bisa dipakai penyembelihan ternak untuk
makanan atau penyembelihan yang tidak bertanggung jawab. Penyembah yang dengan
senang hati menyelenggarakan upacara-upacara diingatkan bahwa Allah tidak hanya
menuntut persetujuan dan pengakuan melainkan juga perbuatan.6
d) Korban Penghapus Dosa dan Kurban Penebus Salah
Kata yang diterjemahkan sebagai kurban “kurban penghapus dosa” pada aslinya bukan
istilah tehnis di bidang agama/ibadah, sama seperti “kurban bakaran”, “kurban
keselamatan”. Kata Kurban penebus salah dalam bahasa Ibrani disebut dengan asyam,
terdapat dalam dokumen-dokumen pra-pembuangan, walaupun yang disinggung itu
bbukanlah penyembelihan binatang berupa kurban, melainkan symbol-simbol emas yang
ditaruh disamping tabut waktu orang Filistin mengembalikannya ke Israel.
Kurban-kurban persembahan ini diuraikan dalam kitab Imamat, dibagi dalam dua
kategori: (1) kurban yang dipersembahkan secara spntan pada Allah dalam pujian dan ucapan
syukur atas berbagai berkat dan kebaikan yang diperoleh, (2) kurban-kurban yang dituntut oleh
Yahweh pada saat ada dosa di dalam masyarakat Ibrani (misalnya kurban bakaran, kurban
penghapus dosa, kurban penebus salah). Kurban sajian dan kurban pendamaian adalah tanggapan
ucapan syukur atas kebaikan Allah, sementara kurban-kurban jenis lain sangat diperlukan untuk
menebus atau “menutupi” dosa yang dilakukan, untuk melaksanakan perdamaian dengan
Yahweh, dan mengembalikan orang yang berdosa yang sudah bertobat kepada persekutuan
dengan orang-orang yang lain dengan Allah. Jadi altar akan dibersihkan demi kepentingan
orang-orang yang membawa persembahan yang memiliki dosa atau najis yang secara ritual telah
menodainya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kesucian kehadiran Allah di tengah-
tengah mereka.7
3. Persembahan Persepuluhan
6
William Dyness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama, (Jawa Timur: Gandum Mas) hal 134
7
Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2013), hal 133-136
Ketika Israel ada di padang gurun, mereka memberontak kepada Tuhan dengan membuat
patung emas anak emas (Kel 32). Lalu Musa meminta siapapun yang berdiri di pihak TUHAN
bergabung dengan dia (ay.25-26). Lewi berada di pihak TUHAN. Lewi berbakti kepada TUHAN
(ay.29), menjadi suku khusus yang melayani TUHAN (bersama imam Harun dan keluarganya).
Pada saat pembagian tanah milik pusaka, suku-suku Israel mendapat tanah, tetapi Lewi tidak.
Suku-suku lain dapat mengerjakan tanah untuk mendapat nafkah kehidupan, sedangkan Lewi
tidak, karena Lewi bekerja melayani TUHAN dan menyelenggarakan ibadah kepada TUHAN
(Bil 3:12). Maka supaya mereka juga mendapat makanan, TUHAN menetapkan Lewi
mendapatkan persembahan persepuluhan dari suku-suku Israel (Bil 18:21). Para Lewi juga
harus memberikan persembahan kepada imam(Bil 18:25-28). Ini adalah kearifan ilahi - sebelas
suku Israel menghidupi satu suku Lewi, satu suku Lewi menghidupi satu kaum imam! Prinsip:
kesetaraan taraf kehidupan! Dalam perkembangan selanjutnya, persembahan persepuluhan
diperuntukkan bagi tiga kepentingan: para Lewi, orang miskin (orang asing, anak yatim dan
janda), dan perayaan (Ulangan 14:23, 26:12). Pada jaman setelah Hakim-Hakim sampai Nabi-
Nabi, persembahan persepuluhan tetap berlangsung dengan pengorganisasian yang lebih baik.
Ada rumah perbendaharaan di Bait Allah, sebagai tempat mengumpulkan persembahan (Neh
10:38; 12:44). Demikianlah ketika Maleakhi mengumumkan tegurannya (Mal 3:10). Sistem
diorganisir dengan baik, tujuan tetap sama.
8
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997) hal 28
oleh orang-orang Yahudi yang memberikan persembahan di Bait Allah, bermakna bahwa
semakin banyak dan sering seseorang memberi maka berkat bagi kehidupan mereka akan sangat
banyak. Dengan memberi, maka mereka akan mendapat. Memberikan persembahan di Bait Allah
dalam tradisi Yahudi pada Perjanjian Baru merupakan tuntutan dari para rabi atas nama Yahweh
dan Kitab Suci yang mereka tafsirkan. Persembahan ini sifatnya adalah wajib bagi semua orang
Yahudi; orang kaya maupun orang miskin.9
Pemberian peresembahan ini sudah bercampur dengan unsur politik dari nabi-nabi dan
imam-imam yang ada di Bait Allah, sehingga telah menjadi suatu kewajiban, bukan suatu
ketulusan lagi. Salah satu praktik pemberian persembahan menjadi tradisi adalah pemberian
persembahan di peti persembahan di Bait Allah. Tindakan memasukkan pemberian ke dalam peti
persembahan adalah tindakan yang dapat diketahui oleh banyak orang. Beberapa ahli
menyatakan bahwa peti persembahan yang tertulis di dalam teks ini, yang disebut dengan
treasury kemungkinan adalah salah satu tempat persembahan yang terdapat di Bait Allah di
bagian yang disebut court of the Women. Howard Marshall salah satunya menyatakan bahwa di
dalam bagian ini terdapat 13 koleksi peti-peti berbentuk terompet untuk macam-macam
pemberian. Berkaitan dengan hal ini, bukti-bukti menunjukkan pemberian yang diberikan
memiliki tujuannya masing-masing, dan lebih khusus jika berhubungan dengan
sumpah/perjanjian maka pemberi harus mengumumkan jumlah pemberian dan tujuan
pemberiannya itu kepada imam yang bertugas.10
9
David Gooding, According to Luke: A New Exposition of the Gospel (Loicoster; Inter-Varsity Press, 1987), hal. 324-
325
10
I. Howard Marhall, The Gospel of Luke: A Commentary on the Greek Text, (Eerdmans, 1978), hal. 7514
murid, khususnya dalam frasa “yang menelan rumah janda-janda” (20:47a). Tradisi mengungkap
bahwa telah menjadi tugas dari para imam untuk menjaga dan mengurusi janda-janda dan anak
yatim (kehidupan seorang janda dan anak yang dalam lingkup Perjanjian Baru bergantung dari
perlindungan dan pengurusan pihak lain yaitu Bait Allah dan golongan orang kaya), dengan
alasan kedua kaum ini tidak dan belum bisa menafkahi kehidupannya sendiri. Meskipun
demikian, para imam tidak menaruh kepedulian untuk melaksanakan tugas tersebut.
Mengenai hal ini Howard Marshall memberikan penafsiran cara “melahap” adalah
penyalahgunaan kekuasaan mereka terhadap janda-janda miskin, yaitu menuntut pembayaran
untuk nasihat yang diberikan, dan Marshall juga mengambil penafsiran dari T. W Manson dan J.
d. M Darret. Menurut Manson yang dimaksud dengan “melahap” adalah “salah kepengurusan”
properti dari para janda yang mengabdikan diri di bait Allah. Eksploitasi dijalankan salah
satunya dengan adanya tuntutan-tuntutan besar seperti memberikan suara dalam pemilihan
umum sekaligus mencari rombongan pemilih lainnya, dan harus menunjukkan kepada khalayak
betapa pentingnya orang yang digalakkan itu, serta berbagai-berbagai bantuan jasa lain.11
2. Narasi pemberian Persembahan untuk Meruntuhkan Paham yang Matrealistis
Intisari yang umumnya diserap dari Lukas 21:1-4 adalah Yesus membela pemberian
persembahan janda miskin dan menjatuhkan pemberian persembahan dari orang-orang kaya.
Dalam pandangan umum, justifikasi Yesus berdasar atas ketulusan dari janda miskin. Ayat yang
menjadi pemicu pemahaman ini adalah “lalu ia berkata: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu” (21:3). Pernyataan Yesus
diayat tiga merupakan sindiran yang didorong kritikan terhadap sikap umat yang jatuh dalam
paham materealistis. Di dalam narasi persembahan janda miskin, Lukas menempatkan Yesus di
sekitar Bait Allah, sedang memberikan pengajaran, dan situasi di sekitarNya menarik perhatian
Yesus. Lukas secara khusus mengangkat ketertarikan dan perhatian Yesus terhadap orang-orang
yang sedang memberikan persembahan mereka di peti-peti persembahan (ayat 1). Problematika
utamanya berdasar atas perhatian Yesus ini. Ayat 1 dan 2 menunjukkan dengan jelas perhatian
Yesus difokuskan kepada pertama, orang-orang kaya yang datang menaruh persembahan
mereka, dan kemudian kepada janda miskin yang menaruh persembahannya sebesar dua peser.
Kritik bahasa yang penulis lakukan terhadap kali ini mengungkap bahwa kata memperhatikan
11
Jhon Stambaugh dan David Blach, Dunia Sosial Kekristenan mula-mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hal
67-68
adalah kata kerja yang berarti melihat/memperhatikan. Melihat dan memperhatikan dalam
kaitannya dengan tindakan observasi/pengamatan, bukan suatu penglihatan dalam konteks
penglihatan “spiritual” yang mengungkap tulus tidaknya orang-orang yang saat itu sedang
menaruh persembahannya. 12
Sesuai dengan tradisi, pemberian persembahan di peti persembahan dilakukan dengan
menyebutkan jumlah pemberiaannya kepada imam yang bertugas, dan kecenderungan dari
orang-orang golongan kelas atas saat memberikan persembahan adalah mengucapkan dengan
lantang jumlah pemberian mereka agar didengar orang banyak. B.J Boland dan P.S Naipospos
menafsirkan sikap ini sebagai sikap yang menunjukkan ketamakan akan kekuasaan dan
kehormatan.13
12
Howard Marshall, The Gospel, hal. 752
13
B.J Bolland dan P.S Naipospos, Tafsiran Injil Alkitab: Kitab injil Lukas, (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), hal. 497
dilakukan bagi mereka, namun bukan dengan tujuan mengurangi kemiskinan, tetapi untuk
menambahkan jumlah orang Kristen.14
IMPLIKASI
1. Persembahan adalah ungkapan syukur dan pernyataan kebergantungan kita kepada
TUHAN. Memberikan persembahan adalah sebuah kehormatan untuk menyatakan diri
berada di bawah berkat TUHAN. Memberikan sedikit karena pelit tidak
memberikan benefit apapun. Memberikan dengan tidak rela sama saja dengan
menyatakan tidak percaya bahwa semua yang kita punya berasal dari TUHAN.
2. Persembahan korban penebus dosa/salah tidak diperlukan karena pengorbanan Kristus
telah menggenapinya. Bahkan kalau kita mau tetap mengikuti sistem PL dalam
penebusan dosa, kita tidak mungkin memenuhinya.
3. Perjanjian Baru tidak pernah menghapus jenis persembahan khusus dan
persepuluhan (Mat 23:23). Bahkan bila kita mau jujur, kualitasnya didorong sampai titik
tertinggi (keadilan, belas lkasih, kesetiaan). Surat Roma justru menegaskan bahwa bukan
hanya sepersepuluh, tetapi seluruh (Rom 12:1). Bait Allah disebut ‘rumah persembahan’
(the house of sacrifice – 2 Taw 7:12). Biarkan hidup kita jadi the house of sacrifice.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Pemberian persembahan menjadi refleksi teologis yang perlu dilaksanakan oleh segenap
jemaat Kristen di Indonesia berkenaan dengan usaha untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Pemahaman yang sempit dari jemaat terhadap praktik pemberian persembahan menjadi sebab
bahwa persembahan hanya diidentikkan dengan pemberian uang di gereja, ataupun untuk
program-program digereja. Pemahaman dan pemaknaan warga gereja di Indonesia terhadap
pemberian persembahan dalam bentuk uang adalah pemahaman dan pemaknaan yang tidak
esensial, karena pola pikir yang demikian dapat mengarahkan jemaat pada paham yang
materealistis. Sehingga dalam praktik nyata dalam rangka membantu orang lain yang tergolong
14
E. Gerrit Singgih, Iman dan Politik Dalam Era Reformasi Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hal. 103-
104
dalam kaum miskin, paham matrealistis tidak akan menjadi budaya hidup dari jemaat Kristen di
Indonesia.