Anda di halaman 1dari 57

Pendahuluan

“Ekei paragenomenos anthropos esomai”: “ketika saya sampai di sana saya akan

menjadi manusia.”1 Demikian ucapan terkenal Ignasius dari Antiokia yang ditulisnya pada

malam menjelang ia dieksekusi. Kendati ditulis dalam konteks kemartiran, ucapan tersebut

dapat diterapkan untuk menjelaskan tentang antropologi Kristen. Dalam konsep

kekristenan, kemanusiaan yang sesungguhnya baru bisa ditemukan dan dialami ketika

seseorang berada dalam kesatuan dengan Allah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa

antropologi Kristen selalu bersifat teosentris. Integritas dan identitas sejati seorang manusia

hanya bisa dijelaskan dalam relasinya dengan Allah. Edward Schillebeeckx membuat hal ini

jelas ketika mengatakan bahwa “ketika seorang religius dan kristen berbicara tentang Allah

pada saat yang sama ia secara produktif dan kritis berbicara tentang manusia, dan ketika

seorang religius atau kristen berbicara tentang manusia, pada saat yang sama ia berbicara

tentang Alah.”2

Dalam diskursus filsafat, konsep antrolpologi kristen yang berpusat pada Allah itu

dikritik secara tajam terutama oleh para tokoh yang menganut ateisme, seperti Feurbach,

Karl Marx dan Sartre.3 Feurbach melihat paham Allah sebagai proyeksi manusia. Bukan Allah

yang menciptakan manusia, katanya, tetapi manusialah yang menciptkan Allah. Berangkat

dari pemikiran Feurbach, Karl Marx lebih jauh lagi menganjurkan penghapusan agama

karena ajara-ajaran agama tentang Allah dan surga adalah candu yang tidak membebaskan

1
Dikutip dari Edward Schillebeeckx, God among Us, New York: The Crossroad Publishing Company, 1982, hal. 161.
2
Ibid, 162
3
Uraian sistematis dan kritis tentang pandangan ketiga flisuf ateis ini dapat dilihat dalam Simon Petrus Lili Tjahjadi,
Manusia dalam Atieisme Modern, dalam J Sudarminta dan S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, Manusia, dan Tuhan,
Yogyakarta: Kanisius, 2008, hal. 145-165.
1
manusia, sebaliknya membuat manusia malas dan terlena dalam khyalan-khayalan surgawi.

Agama adalah bentuk alienasi manusia. Sementara itu, Sartre menolak Allah karena konsep

tentang Allah membunuh kebebasan mutlak manusia.

Kritik dan penolakan yang dilontarkan oleh penganut paham ateisme tentu saja

menantang keabsahan iman Kristiani. Sebagai orang Kristen kita ditantang untuk memiliki

konsep iman yang lebih dewasa dan mendalam. Kita sepatutunya bertanya kepada diri kita

sendiri, benarkah kekristenan menjadi candu yang meninabobokan kita? Apakah iman yang

kita hidupi sungguh berpengaruh pada proses transformasi diri? Apakah iman itu sungguh

menjadi daya yang membebaskan dan membantu kita untuk bertumbuh menjadi manusia

yang utuh dan sejati?

Kenyataan menunjukkan bahwa kekristenan, ketika dipahami dan dihayati secara benar

dan penuh komitmen, justru bisa menjadi daya emansipatoris atau daya yang

membebaskan manusia dari segala macam hal yang membuatnya terasing dari diri sendiri.

Tokoh-tokoh besar seperti Martin Luther King, Ibu Teresa, Paus Yohanes Paulus II, mampu

mengekspresikan jati diri mereka yang sesungguhnya dan memberi kontribusi bermakna

bagi kemanusian justru karena radikalitas dan totalitas iman mereka. Terbukti di sini bahwa

kekristenan pada hakekatnya bukanlah suatu bentuk alienasi. Kekristenan itu sendiri

bukanlah sebuah kesalahan. Kesalahan terletak dalam penghayatan yang menyimpang dari

prinsip-prinsip kristiani yang fundamental. Karena itu, yang perlu dianjurkan adalah

komitmen sejati dari setiap orang kristen dalam menghayati iman mereka.

Komitmen sejati sebagai seorang Kristen baru menjadi mungkin jika seseorang memiliki

sikap miskin di hadapan Allah. Yesus Kritus sendiri menekankan pentingnya sikap ini ketika
2
Ia menyampaikan sabda bahagia. “Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang

mempunyai kerajaan surga” (Luk. 6:20; Mat. 5:3). Salah satu tokoh Kristen yang secara

sempurna memahami dan menjadikan sikap ini sebagai aktus dalam hidupnya adalah Santo

Fransiskus dari Assisi. Ia sendiri dijuluki ill poverello atau ‘si miskin’ dari Assisi. Paus

Benediktus XVI, dalam ulasannya tentang sabda bahagia “berbahagialah kamu yang miskin

karena kamulah yang mempunyai kerajaan surga,” menyebut santo Fransiskus dari Assisi

sebagai ilustrasi yang paling hidup dari sabda bahagia ini. 4 Paus juga mengatakan, “janji

yang diberikan oleh sabda bahagia butir pertama mempengaruhi Fransiskus secara radikal,

sehingga bahkan ia menyerahkan pakaiannya dan membiarkan dirinya ditutupi dengan

pakain baru oleh Uskup, simbol kebaikan yang penuh kebapaan dari Allah…..Dengan melihat

Fransiskus dari Assisi kita bisa melihat dengan jelas makna Kerajaan Allah.” 5

Dalam diri Fransiskus kita menemukan bahwa kemiskinan adalah ketergantungan yang

total dan radikal kepada Allah. Ketergantungan yang total dan radikal pada Allah adalah

jalan menuju kepada kepenuhan atau jati diri yang sesungguhnya. Ketika seseorang memilih

untuk bergantung pada Allah, ketika itu pula ia masuk dan mengambil bagian dalam

kehidupan Allah sendiri. Keutamaan Allah lantas menjadi keutamaan hidupnya. Ketika

seseorang mengambil bagian dalam kehidupan Allah, ketika itu juga ia menjadi seperti apa

yang dimaksudkan ketika ia diciptakan, yaitu imago Dei (gambar Allah). Dan itulah titik

kepenuhan manusia sebagai manusia. Kery Walters, dengan merujuk pada perjalanan

spiritual Santo Fransiskus, mengatakan “kepenuhan teletak pada pengakuan batinah bahwa

4
Joseph Ratzinger Paus Benediktus XVI, Jesus of Nazareth, New York:Doubleday, 2007, hal. 78
5
Ibid, 78-79
3
kita diciptakan dalam keserupaan dengan Allah yang hidup dan bahwa tujuan kita yang

terakhir dalam hidup adalah menyelaraskan pikiran, kemauan, dan tubuh dengan gambar

itu.”6

Cukup jelas di sini bahwa menjadi gambar Allah adalah panggilan eksistensial sekaligus

puncak kepenuhan seorang manusia. Orang yang mengalami kepenuhan biasanya diliputi

kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan di sini tidak sama dengan kesenangan semu yang

distimulasi oleh hal-hal luaran. Kebahagiaan di sini perlu dimengerti dalam kategori

Aristoteles, yaitu situasi atau keadaan batin yang stabil.7 Orang yang mencapai tahap

kepenuhan mengalami kebahagiaan bahkan ketika sedang menderita. Selain itu, orang yang

mengalami kepenuhan juga diliputi kedamaian. Santo Agustinus mengakui hal itu ketika ia

mengatakan, “hatiku tidak tenang sampai aku beristirahat dalam Engkau ya Tuhan.”

Semangat kemiskinan menempatkan Allah sebagai satu-satunya pusat sejarah hidup

manusia serta menolak untuk mengabsolutkan manusia dan segala hal yang menjadi buatan

karyanya. Kegagalan terbesar dari umat manusia adalah menganggap diri sama atau sejajar

dengan Allah. Sudah terbukti dalam sejarah bahwa ideologi yang menempatkan manusia

sebagai Allah justru telah mendatangkan petaka bagi hidup manusia. Semakin manusia

mengagungkan diri dan memutlakkan setiap karya yang dihasilkannya, seperti teknologi,

semakin manusia mengalami keterpurukan moral. Kekerasan, ketidakadilan, eksploitasi

alam merajalela. Kenyataan-kenyataan ini memberi kita pesan yang jelas. Pesannya adalah

bahwa ketergantungan mutlak pada ideologi dan hal-hal yang diciptakan manusia justru

6
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 2002,
hal. 11.
7
Ibid., 9-10
4
menyebabkan rusaknya integritas dan identitas sejati diri manusia. Sebaliknya,

keketergantungan pada Allah membantu manusia menemukan jati diri yang sesungguhnya.

Cara hidup berbasis kemiskinan seperti yang ditunjukkan oleh Fransiskus dari Assisi,

menjadi inspirasi utama bagi penulisan buku ini. Kemiskinan yang dianut dan dihidupi

Fransiskus itu telah secara sistematis dan komprehensif dialihkan menjadi pemikiran

teologis oleh Bonaventura8, salah satu pengikut Fransiskus dari Assisi sekaligus teolog besar

abad pertengahan. Karena itu, dalam penelitian kepustakaan dan pengerjaan buku ini,

penulis banyak mengacu pada gagasan Bonaventura. Pemikiran Bonaventura khususnya

banyak diacu untuk menjelaskan pengertian dan alasan mendasar bagi cara hidup berbasis

kemiskinan, serta model yang sepatututnya diikuti dalam mengembangkan cara hidup ini.

Tujuan final dari penulisan buku ini adalah memperlihatkan bahwa kemiskinan

merupakan jalan menuju kepada kepenuhan. Namun untuk menunjang maksud tersebut,

pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang kemiskinan menjadi syarat mutlak

untuk dimiliki. Dengan mempertimbangkan hal itu, buku ini sengaja dibagi dalam lima

pokok pembahasan. Bab satu menjelaskan tentang alasan mendasar bagi kemiskinan. Ada

dua alasan yang dikemukakan di sini, yaitu alasan ontologis dan alasan moral. Alasan

8
Bonaventura lahir di Bagnoregio, Italia tengah pada 1217. Sekitar 1234 Ia menjalankan studi di universitas Paris,
dimana ia mulai menjalin kontak dengan para Fransiskan. Bonaventura sendiri kemudian masuk Ordo Fransiskan
dan belajar teologi di bawah bimbingan guru besar Aleksander dari Hales. Setelah menyelesaikan lisensiat di
bidang studi Kitab Suci dan mengajar Kitab Suci, sekitar 1253 atau 1254 ia menjadi seorang master dalam teologi
dan mengambil alih kepemimpinan sekolah Fransiskan di Paris. Ia mengajar di sana sampai 1257 dan kemudian
terpilih sebagai Miniter General Ordo. Pada 1273 ia diangkat sebagai Kardinal Uskup Albano oleh Paus Gregorius X
dan membantu sang Paus dalam mempersiapkan konsili Lyion ke-2. Dalam konsili, ia memainkan peran besar bagi
reformasi gereja, mendamaikan imam dioses dengan ordo-ordo mendikan, terlibat dalam usaha mendamaikan
Gereja Yunani dengan Roma. Ia meninggal pada 15 Juli 1274, ketika konsili sedang berlangsung. Pada 14 April 1482
ia dikanonisasi dan diumumkan sebagai Doktor Gereja Universal oleh Paus Sixtus V dengan gelar Doktor
Seraphicus. Karya-karyanya, antara lain, adalah Breviloquium, Perjalanan Jiwa menuju Allah, Pohon Kehidupan,
Riwayat Hidup Santo Fransiskus, Pembelaan si Miskin. Disari dari Ewert Cousinn, Bonaventure, New Jersey: Pulist
Press, 1978, hal. 2-8.
5
ontologis terkait dengan eksistensi manusia sebagai ciptaan. Sementara alasan moral terkait

dengan kejatuhan manusia dalam dosa. Bab dua menjelaskan kemiskinan sebagai fundasi

dalam mengikuti Yesus. Yesus adalah model tunggal, sempurna dan abadi bagi setiap

manusia untuk sampai kepada Allah. Kemiskinan menjadi fundasi dalam mengikuti Yesus,

karena Yesus sendiri telah menempuh jalan kemiskinan untuk menunjukkan cinta-Nya

kepada manusia. Bab tiga berbicara tentang Fransiskus sebagai teladan sempurna dalam

mengikuti Yesus. Seperti Yesus, Fransiskus memilih hidup sebagai orang miskin di tengah

mereka yang miskin dan menderita. Bab empat berbicara tentang korelasi antara

kemiskinan dan kepenuhan jati diri seorang manusia. Kemiskinan, yang seringkali dianggap

sebagai kebodohan oleh dunia, pada hakekatnya adalah jalan yang bisa menghantar orang

untuk sampai kepada kepenuhan diri sebagai gambar Allah.

6
I. Kemiskinan sebagai Fakta Ontologis dan Moral

Menurut Santo Fransiskus, kemiskinan sebagai cara hidup harus dilandaskan pada dua

pijakan utama. Pijakan pertama adalah pengakuan atau kesadaran bahwa segala sesuatu

yang baik berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Pijakan kedua adalah

pengakuan bahwa satu-satunya yang kita miliki hanyalah kelemahan dan dosa. Karena itu

kita perlu menghadirkan diri kita dihadapan sang tabib ilahi, satu-satunya pribadi yang

menyembuhkan kita.9

Oleh Bonaventura, pandangan Fransiskus seperti termaktub di atas dialihkan menjadi

sebuah refleksi spekulatif. Kemiskinan, menurutnya, merupakan fakta ontologis dan fakta

moral.10 Kemiskinan oleh Bonaventura disebut sebagai fakta ontologis karena manusia

secara kodrati adalah ciptaan yang tergantung pada penciptanya. Kemiskinan dilihatnya

sebagai fakta moral karena setelah kejatuhannya, manusia -tidak bisa tidak- harus

menggantungkan dirinya pada rahmat Allah. Rahmat Allah adalah satu-satunya daya yang

bisa merestorasi diri manusia kembali menjadi Imago Dei. Pemikiran Bonaventura tentang

dua jenis kemiskinan tersebut ini diuraikan dalam bab ini.

1.1. Kemiskinan sebagai Fakta Ontologis

Menurut Bonaventura, secara azali manusia dapat dikatakan miskin. Hal ini disebabkan

karena sebagai ciptaan manusia ada bukan dari dirinya sendiri. Manusia ada karena

9
Thaddee Matura, OFM, Francis of Assisi. The Massage in His Writingss, New York: Franciscan Institute, 1997, hal.
170.
10
Penjelasan lengkap tentang dua fakta kemiskinan ini dapat dilihat dalam Timothy J Johnson, The Soul in Ascent:
Bonaventura on Poverty, Prayer, and Union with God, Quincy: Franciscan Press, 2000, hal. 9-22.
7
disebabkan oleh yang lain. Ia diciptakan dari ketiadaan oleh sang pencipta. Karena itu, sejak

semula ia berhutang (bergantung) pada yang lain. Bonaventura, seperti yang dikutip oleh

Timotthy J. Johnson, mengatakan:

”…….prinsip pertama, dengan kemahakuasaan dan kemurahaan hatinya, membawa


ciptaan menjadi ada dari ketiadaan. Karena hal ini, dari dirinya sendiri ciptaan
mempunyai ketiadaan dan menerima ada dari sumber yang lain. Jadi ciptaan dibuat
supaya sesuai dengan kemiskinannya dapat selalu membutuhkan prinsip, dan prinsip
ini, sesuai dengan kemurahan hatinya, tidak pernah berhenti untuk menunjukkan
pengaruh pada ciptaan.”11

Ketergantungan ontologis pada pencipta menyingkapkan, secara umum, kemiskinan

semua ciptaan dan, secara khusus, kemiskinan manusia. Semua ciptaan adalah miskin

karena mereka bergantung pada Allah. Allah adalah asal, penopang eksistensi, dan sekaligus

kepenuhan akhir. Namun manusia, karena ia adalah makhluk rasional, memanifestasikan

sebuah kemiskinan secara lebih spesifik. Ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa ia

dilengkapi dengan jiwa. Jiwa manusia itu memuat tiga kapasitas, yaitu memori, akal budi,

dan kemaun.12 Ketiga kapasitas ini mejadikan manusia sebagai gambar Allah Tritunggal. Jiwa

itu sejak semula dimaksudkan untuk menemukan kebahagiaan dalam penciptanya. Manusia

mengalami kebahagiaan yang penuh hanya ketika jiwa mencapai tujuan yang sudah

ditentukan untuknya.13

11
Ibid., hal.14.
12
Memori tidak hanya berperan sebagai kemampuan untuk mengingat masa lalu. Lebih dari itu, memori juga
meliputi keasadaran kita masa kini dan kemampuan kita untuk mengantisipasi masa depan. Intelektual atau akal
budi adalah kemampuan jiwa yang mengisi fungsi kognitif kita. Akal budi adalah kemampuan yang dengannya kita
memikirkan sesuatu secara logis, mengekspresikan ide kita kedalam bahasa, berpikir tentang ide-ide baru dan
menilai atau mengambil keputusan tentang hakekat dari segala sesuatu. Kemauan adalah kemampuan jiwa untuk
mengingini, melakukan sesuatu secara sengaja,dan membuat keputusan tentang keutamaan- seperti keutamaan
moral:apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah. Dawn M. Nothwehr, OSF, the Franciscan View of the
Human Person, New York: The Franciscan Institute, 2005, hal. 35-36.
13
Timoty J. Johson, op.cit., hal. 15
8
Karena secara ontologis manusia itu miskin, maka Bonaventura dengan penuh

keyakinan mengatakan bahwa dosa adalah penolakan untuk menjadi miskin; penolakan

untuk menjadi siapa dia sebenarnya di hadapan Allah. Ketimbang menerima dirinya sebagai

makhluk yang tergantung pada Allah, manusia ingin menjadikan dirinya setara dengan

Allah. Hanya ada satu pribadi yang setara dengan Allah yaitu Putra. Putra adalah satu-

satunya gambar sempurna dari Allah dan memiliki segaIa sesuatu yang dimiliki Allah. Karena

itu, dosa manusia pertama, menurut Bonaventura dapat juga dirincikan sebagai dosa

melawan Putra. Dengan menganggap dirinya setara dengan Allah manusia menganggap

dirinya setara dengan putra. Adalah sang Putera itu sendiri yang kemudian mengarahkan

manusia untuk kembali kepada citra asali mereka sebagai si miskin. Sang putera

menunjukkan bahwa walaupun Ia setara dengan Allah, Ia tidak menanggap keseteraan-Nya

dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. 14

Melalui karyanya ‘perjalanan Jiwa Menuju Allah’, 15 Bonaventura mengingatkan kita

bahwa seseorang hanya dapat memulai perjalanan menuju Allah kalau ia miskin dan

tergantung pada Allah. Pribadi yang miskin adalah pribadi yang menyadari kebutuhannya

akan Allah. Pribadi yang miskin adalah pribadi yang mengenal dan memahami jati dirinya.

Mengelaborasi refleksi Bonaventura, Ilia Delio, salah seorang pakar yang banyak menggeluti

14
Ilia Delio, OSF, Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of the Crucified Christ, Chicago: Franciscan Press, 1998,
hal. 92.
15
Dalam Bahasa Latin, karya Bonaventura ini diberi judul Itinerarium Mentis in Deum. Di sini penulis mengikuti
Ewert Cousins yang menterjemahkan karya ini sebagai ‘Perjalanan Jiwa menuju Allah’ dan bukan ‘Perjalanan
Pikiran Menuju Allah.’ Terjemahan istilah mentis seringkali mempunyai masalah. Secara etimologis, kata mentis
memang berarti pikiran. Tetapi bagi Bonaventura dan tradisi spiritual abad pertengahan secara umum, istilah
mentis tidak hanya terbatas pada konotasi intelektual. Istilah mentis mencakup tiga kapasitas, yaitu memori, akal
budi, dan kemauan. Tiga kapasitas ini secara bersama mebentuk jiwa manusia sebagai gambar Allah. Walaupun
tida ada satu kata pun yang bisa menampung secara tepat maksud dari istilah ini, Cousin lebih memilih istilah jiwa
ketimbang pikiran. Ewert Cousinn, op.cit., hal. 21.
9
tradisi intelektual fransikan, mengatakan, “ketika kita bertanya siapakah aku, kita sudah

mulai menjalani hidup dalam kemiskinan, karena jawaban dari pertanyaan itu menegaskan

ketergantungan kita yang radikal pada Allah. Kita bukanlah sumber dari kehidupan kita. Kita

berasal dari Allah dan menjadi milik Allah.16

1.2. Kemiskinan Sebagai Fakta Moral

Sebelum menguraikan lebih jauh tentang kemiskinan sebagai sebuah kenyataan moral,

mari kita cermati salah satu tesis Bonaventura tentang dosa asal dan efeknya terhadap

keadaan manusia. Ia mengatakan:

“Berdasarkan keadaan asalinya sebagai ciptaan, manusia diciptakan dengan


kemampuan untuk kontemplasi dan dengan demikian Allah menempatkan dia dalam
surga kebahagiaan. Tetapi berbalik dari sang cahaya sejati kepada hal-hal yang
sementara, ia dan semua yang mengikuti, melalui kesalahannya dibelokan oleh dosa
asal yang mempegaruhi kodrat manusia dalam dua cara, yaitu akal budi dengan
kebodohan dan daging dengan nafsu. Dan karena itu, pribadi manusia, buta dan
tertunduk, duduk dalam kegelapan dan tidak melihat terang dari surga.” 17

Di sini Bonaventura mengutarakan adanya perubahan keadaan dalam diri manusia. Di

taman eden manusia berdiri tegak dan mampu mengkontemplasikan terang kebijaksanaan

ilahi yang terpantul dari ciptaan tanpa adanya kesulitan. Walaupun tidak dapat memandang

esensi Allah secara langsung, manusia, melalui begitu banyak ciptaan di taman eden dapat

mengenali pancaran yang sejati dari Pencipta. Namun kontemplasi di taman eden menjadi

mungkin sejauh manusia tetap setia dengan kodrat asalinya. Diambil dari tanah, dibentuk

16
Ilia Delio, Franciscan Prayer, Cincinati Ohio: Anthony Messenger Press, 2004, hal. 79-80
17
Timothy J. Johnson, op.cit., hal. 9
10
dalam gambar Allah, dan dihembusi dengan rahmat ilahi, manusia dapat ‘berdiri tegak’

dihadapan Allah. ‘Berdiri tegak’ di sini megacu pada pengertian bahwa secara asali manusia

mempunyai keterarahan mendasar menuju Allah dan ia juga mempunyai panggilan yang

berkelanjutan untuk menyesuaikan diri dengan Allah. Manusia dapat ‘berdiri tegak’ kalau ia

setia mengorientasikan dirinya kepada Allah dan menjawab panggilan untuk selalu

menyesuaikan dirinya dengan Allah.18.

Supaya bisa ‘berdiri tegak’ dihadapan Allah, sejak semula manusia sudah dilengkapi

dengan rahmat. Bonaventura mangklasifikasi rahmat ini menjadi dua. Rahmat pertama

disebut rahmat persiapan atau pembantu. Rahmat ini menerangi akal budi sehingga dapat

menyingkapkan kebenaran abadi yang sudah tertulis dalam kodrat manusia dan dunia

sekitar. Rahmat kedua disebut rahmat pengudusan. Rahmat ini memampukan manusia

untuk mencintai Penciptanya dan mencintai satu sama lain sesuai dengan kemauan ilahi.

Melalui rahmat pengudusan manusia mampu berdiri tegak di taman eden,

ditransformasikan dalam keserupaan dengan Allah Tritunggal. 19

Namun demikian, kendati secara eksistensial manusia mempunyai keterarahan

mendasar menuju Allah, ia juga membawa dalam dirinya kemungkinan akan dosa. Menurut

Bonaventura, kemungkinan akan dosa ini terpatri di kedalaman kodrat manusia karena ia

diciptakan dari ketiadaan. Diciptakan dari ketiadaan, manusia memikul dalam struktur

eksistensinya sebuah tendensi untuk kembali kepada ketiadaan. Keterarahan menuju

ketiadaan ini merupakan karakteristik dari kejahatan dan termanifestasikan dalam dosa. Di

taman eden kemungkinan akan dosa yang terpatri dalam kodrat manusia menjadi sebuah
18
Ibid., hal. 15
19
Ibid., hal. 13-14
11
kenyataan. Dalam diri Adam dan Hawa manusia memilih dosa dengan memalingkan diri dari

Pencipta menuju kepada ketiadaan atau kehampaan hal-hal yang dapat binasa. 20

Kedatangan dosa menyebabkan manusia miskin dalam bentuk yang baru. Berpaling dari

Allah, pribadi manusia menjadi miskin karena kesalahannya sendiri. Kemiskinan dalam

dimensi ini bisa disebut dengan istilah kemiskinan karena dosa atau kemiskinan moral.

Dikaitkan dengan kemiskinan ontologis, kemiskinan moral merupakan akibat dari penolakan

untuk menerima ketergantungan asali manusia sebagai ciptaan. 21

Dosa mengakibatkan kehilangan rahmat yang menguduskan dan karena itu manusia

kehilangan daya untuk berdiri tegak di hadapan Allah. Tetapi walaupun demikian manusia

tidak pernah kehilangan kebenaran atau kesejatian dirinya sebagai gambar Allah yang

diperolehnya di taman eden. Bahkan dosa tidak dapat menghapus gambar Allah dalam jiwa

manusia. Walaupun ia tidak lagi berdiri tegak, manusia masih dapat merefleksikan gambar

ilahi melalui kapasitas-kapasitas alamiah yang dimilikinya. Ia mempunyai kerinduan untuk

berdiri tegak. Ia mempunyai kerinduan akan kebenaran yang ditemukan dalam penggunaan

kapasitas-kapasitasnya secara tepat. Tetapi ia tidak berdaya untuk melakukan hal itu karena

ia telah kehilangan bantuan rahmat pengudusan yang bisa mengarahkan dia kepada Allah

dan membentuk dia dalam keserupaan ilahi. Tanpa bantuan rahmat, gambar ilahi yang

melekat pada manusia menjadi gambar ilahi yang terluka. 22

Kehilangan rahmat pengudusan mengakibatkan manusia menjadi mendicant

(pengemis), sebuah kenyataan yang tentu saja menyedihkan dari ciptaan yang secara asali

20
Ibid., hal. 16
21
Ibid
22
Ibid., hal.18
12
berdiri tegak di taman eden. Manusia tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan sang

model terutama dalam hal penggunaan kapasitas memori, akal budi, dan kemauan secara

benar. Dari ketiga kapasitas ini, kebodohan akal budi dan nafsu dari kemauan merupakah

dua ekspresi utama dari kemiskinan moral. Ketimbang memandang Allah sebagai sumber

kebenaran, akal budi, terdorong oleh rasa keingintahuannya, mencari kebenaran di tempat

lain dan tenggelam dalam kebodohan (ignorance),kekhawatiran dan keraguan. Manusia

mengalami kebutaan spiritual. Karena pandangannya yang gelap, manusia tidak lagi

mengenal kehadiran ilahi dalam ciptaan. Dalam karnya yang berjudul Collations on the Six

Days, Bonaventura melukiskan ketidakmampuan untuk mengenal kehadiran ilahi ini sebagai

kebodohan spiritual. Ia melukiskan, ketika manusia melihat Buku Ciptaan, ia menemukan

dirinya sedang berada di depan sebuah teks yang ditulis dalam bahasa asing; ciptaan

muncul hanya sebagai objek; objek tanpa signifikansi simbolik atau acuan transenden pada

pengarang ilahi.23

Seperti akal budi, kemauan juga mengalami kerusakan akibat dosa. Ia tidak lagi

berusaha menyesuaikan diri dengan Yang Tertinggi melalui cinta. Dipengaruhi oleh nafsu,

kemauan berbalik dari hal-hal ilahi kepada hal-hal temporal yang pada hakekatnya tidak

membawa kepuasan abadi. Dengan cemas manusia mencari hal yang abadi pada ciptaan

untuk mengganti sesuatu yang abadi yang sudah hilang. Tetapi hasrat manusia gagal karena

tidak ada suatu ciptaan pun yang dapat mengkonpensasi yang abadi yang sudah hilang itu.

Karena itu, manusia selalu ingin merengkuh, mencari dan tidak pernah berhenti. 24
23
Ibid., hal. 21
24
Menurut Bonaventura, ada tiga area dimana nafsu mencari keutamaan kekal dan ada tiga bentuk kesakitan
sebagai akibat dari pencarian itu. Area pertama sebagai tempat dimana nafsu itu mucul adalah keinginan akan
kenikmatan-kenikmatan daging yang mengakibatkan kebinasaan tubuh. Area kedua adalah pencarian kekayaan
13
1.3. Kesimpulan

Bonaventura menyajikan uraian yang sistematis dan komprehensif tentang motivasi dari

semagat kemiskinan. Dari uraiannya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan

merupakan suatu bentuk ketergantungan yang total dan radikal pada Allah. Ketergantungan

yang total dan radikal pada Allah itu dilandaskan pada dua kenyataan. Pertama, kenyataan

bahwa manusia diciptakan dari ketiadaan oleh sang pencipta. Kenyataan ini menunjukkan

bahwa secara kodrati manusia tergantung pada Penciptanya. Ketergantungan pada

Pencipta ini menjadi struktur dasar bagi keberadaan seorang manusia. Karena itu, manusia

sebenarnya tercipta sebagai si miskin. Kemiskinan bukanlah faktor tambahan yang datang

dari luar, tetapi merupakan elemen fundamental yang sudah menjadi bagian inheren dari

keberadaan manusia itu sendiri. Kemiskinan dalam hal ini menjadi keharusan eksistensial

yang perlu diusahakan oleh setiap pribadi dalam rangka mengembangkan jati diri sebagai

manusia.

Kedua, kenyataan bahwa manusia jatuh dalam dosa. Kejatuhan dalam dosa merupakan

suatu kenyataan pahit dan tragis yang dialami oleh manusia. Sebelum jatuh dalam dosa,

manusia, dengan tiga kapasitas yang melekat pada jiwanya (memori, akal budi, dan

kemauan) mampu untuk ‘berdiri tegak’ di hadapan Allah. Artinya manusia mempunyai

keterarahan atau orientasi yang tetap pada Allah. Dosa kemudian membuat kapasitas-

kapasitas alamiah ini tak berdaya. Dosa menyebabkan manusia berpaling dari Pencipta

menuju kepada kehampaan hal-hal yang dapat binasa. Karena dosa, misalnya, akal budi

tidak lagi mampu melihat Allah sebagai sumber kebenaran dan malah mencari kebenaran
yang menyebabkan ketamakan. Area ketiga adalah kerinduan akan kehormatan yang menyebabkan ambisi. Ibid.,
hal. 20
14
pada pada hal-hal yang sifatnya terbatas dan sementara. Kejatuhannya pada dosa

menjadikan manusia miskin dalam pengertian yang lain. Kemampuan-kemampuan alamiah

yang dimilikinya telah dirusak oleh dosa kesombongannya sendiri. Untuk merestorasi

dirinya atau menegakkan dirinya dari kejatuhan, manusia -tidak bisa tidak- membutuhkan

daya ilahi. Karena itu, manusia bergantung sepenuhnya pada rahmat Allah. Tanpa rahmat

Allah mustahil untuk membayangkan adanya pembaruan dan keselamatan dalam diri

manusia. Demi keselamatan dirinya manusia harus menjadi pengemis di meja Tuhan. Ia

menjadi pengemis rahmat Allah.

II. Kemiskinan sebagai fundasi dalam Meniru Kristus

Kejatuhan manusia dalam dosa telah membawa efek yang sangat serius bagi hidup

manusia baik secara personal maupun universal. Menurut Bonaventura, seperti yang

dilukiskan oleh Dawn M. Nothwehr, OSF, pada level personal dosa telah mendistorsi

gambar Allah. Pribadi manusia menjadi tidak fokus, terpecah, dan tidak tertata. Dosa

membuat manusia bertindak dengan kesadaran yang palsu. Manusia lebih memilih
15
bergantung kepada diri mereka sendiri dan kepada pengetahuan, kekuatan, prestise yang

mereka miliki ketimbang percaya kepada rahmat dan cinta Allah yang tak terbatas. Pada

dimensi universal, dosa menghancurkan tatanan dan harmoni semesta, menciptakan

keretakan hubungan antara manusia dengan sesamanya, dengan dunia ciptaan, dan dengan

Allah.25

Tetapi dosa tentu saja bukan merupakan akhir dari cerita hidup manusia. Allah begitu

mencintai manusia sehingga melalui Putra-Nya Yesus Kristus, Allah masuk dalam sejarah

umat manusia, menjumpai manusia di tempat dan situasi dimana mereka merada: terbatas,

rapuh, miskin, penuh dengan dosa dan derita. Dalam peristiwa Yesus Kristus Allah memilih

untuk terlahir secara miskin, hidup sebagai orang miskin, dan mati secara hina dina di kayu

salib. Melalui Yesus yang miskin Allah menyediakan jalan bagi manusia untuk kembali

kepada-Nya dan menjadi manusia seutuhnya. Karena itu, meniru Kristus merupakan

impetratif bagi perestorasian diri manusia.

Bab ini secara berturut-turut berbicara tentang (1) Kristus sebagai Model sempurna

untuk sampai kepada Allah; (2) Kemiskinan sebagai keutamaan yang wajib ada dalam usaha

untuk meniru Kristus.

2.1. Kristus sang Model Kesempurnaan

Mengacu pada tulisan Bonaventura yang terdapat dalam beberapa buku seperti

Sentence Comentary, Defense of Mendicants, dan Questions on Gospel Perfection, Zachary

Hayes menemukan kesadaran yang mendalam dari Bonaventura akan peran kemanusiaan

25
Dawn M. Nothwehr, OSF, op.cit., hal.39-40
16
Kristus sebagai model bagi semua ciptaan. Dalam Questions on Gospel Perfection, misalnya,

Bonaventura melukiskan, “dengan mengacu pada kodrat kemanusiaan-Nya, Kristus

merupakan contoh dari keutamaan dan semua kesempurnaan kristiani.” 26

Peran Kristus sebagai model diklasifikasi oleh Bonaventura menjadi dua, yaitu model

abadi dan model temporal. “Karena Kristus adalah Sabda yang tak diciptakan dan sekaligus

terinkarnasi, di dalam Dia ditemukan dua rangkap model. Yang satu adalah abadi dan yang

lain adalah temporal.”27

Kristus sebagai Sabda yang tak diciptakan adalah model abadi. Melalui Dia segala

sesuatu diciptakan dan melalui Dia juga mereka dipanggil untuk kembali kepada Allah.

Kristus sebagai Sabda yang terinkarnasi adalah model temporal, cermin semua rahmat,

keutamaan, dan nilai.

Sabda yang terinkarnasi (kemanusiaan Kristus) berada dalam relasi dialektis dengan

Sabda abadi. Relasi keduanya dijelaskan Bonaventura dengan analogi tentang pengetahuan

manusia. Sebagai manusia, kita mengetahui sesuatu dalam diri kita. Pengetahuan ini

merupakan kata yang tersembunyi di dalam diri kita. Kita mengekspresikan pengetahuan

kita secara eksternal dalam kata-kata yang terucap. Kata-kata itu, dengan demikian

merupakan ekspresi yang terucap dari kata yang tersembunyi. Demikian halnya, Sabda

temporal menjadi ekspresi sejati yang kelihatan dari Sabda abadi. 28

Sedemikian intim dan sempurnanya kesatuan antara dua Sabda ini dalam diri Kristus

sehingga Bonaventura menyebut Kristus sebagai model yang tunggal dan tak terbagikan,
26
Zachary Hayes, OFM, The Hidden Center, New York: Franciscan Institute, 2000, hal. 130
27
Ibid., hal. 131

28
Ibid., hal. 132
17
memiliki sisi abadi dan temporal. Yang abadi bersinar melalui yang temporal dan melalui

yang temporal yang abadi menjadi transparan bagi mereka yang mendekati yang temporal

dengan iman.

Karena dalam diri Kristus kodrat kemanusiaan dipenetrasi oleh yang ilahi, sementara

kodrat kemanusiaan menjadi sebuah tanda kelihatan dari yang ilahi, maka dalam Kristus

ditemukan kesempurnaan Injil. Mengacu pada Bonaventura, Hayes menjelaskan “karena

model temporal (Kristus historis) menyingkapkan model abadi melalui kualitas-kualitas

fundamental dari kemanusiaan-Nya, maka kualitas-kualitas ini menjadi kunci untuk meniru

Kristus. Tujan akhir dari meniru Kristus adalah agar pribadi manusia bisa masuk dalam

gerakan kehidupan Allah tritunggal. Manusia bisa mengambil bagian dalam kehidupan Allah

Tritunggal dengan masuk dalam kehidupan Putra, mempersonalisasikan nilai-nilai

fundamental dari hidup-Nya.”29

Ada dua kulalitas dari hidup Kristus yang selalu mendapat tekanan lebih dalam tulisan

Bonaventura. Dua kualitas itu adalah kemiskinan dan kerendahan hati. Kemiskinan dan

kerendahan hati, menurutnya, bukan merupakan kualitas aksidental dari kehidupan

mondial Yesus. Keduanya mengekspresikan kodrat Allah yang tersembunyi dari hidup

Yesus.30 Tentang hubungan antara kedua kualitas ini, Bonaventura kiranya dipengaruhi oleh

gurunya Fransiskus dari Assisi yang menyebut kemiskinan sebagai saudari dari kerendahan

hati.31 Keduanya menjadi fundasi yang tak terpisahkan dalam mengikuti Kristus. Dalam

kesatuan kedua kualitas ini, kerendahan hati dilihat sebagai penerimaan tulus terhadap

29
Ibid., hal. 133
30
Ilia Delio, the Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of th Crucified Christ, op.cit., hal. 91
31
Bdk. Salam Keutamaan-Keutamaan 2
18
situasi kemiskinan yang melekat pada manusia. Sebagai kenyataan ontologis, kemisknan itu

mesti diterima dengan rasa syukur. Sebagai kenyataan yang diakibatkan dosa, kemiskinan

mesti diterima sebagai kenyataan dengan rasa sedih.32 Karena itu, menyebut kemiskinan

selalu mengandaikan kerendahan hati. Begitu juga sebaliknya. Di bawah ini akan dielaborasi

secara lebih jauh tetang kemiskinan sebagai fundasi untuk mengikuti Kristus.

2.2. Kemiskinan:Fundasi untuk Meniru Kristus

Menurut Bonaventura, kemiskinan merupakan fundasi untuk meniru Kristus, karena

corak khas kedatangan Kristus ke dunia menyingkapkan secara konkrit Allah yang

mengosongkan diri-Nya dan memanggil kita untuk mengikuti Dia. 33 Kedatangan Kristus ke

dunia (inkarnasi) menyingkapkan gerakan cinta Allah. Cinta itu bukan saja merupakan

sebuah gerakan turun, tetapi sebuah gerakan peleburan atau penyatuan. Allah mengambil

bagian dalam realitas manusia secara serius dan karena itu Ia menyatukan dengan diri-Nya

sendiri realitas manusia yang penuh dengan penderitaan dan kesedihan. Yang kaya menjadi

miskin untuk kepentingan kita. Dalam tindakan peleburan atau penyatuan inilah martabat

dan kemuliaan Allah termanifestasikan.34

Jadi, dalam misteri Allah sendiri, khususnya dalam misteri sang Putra, kita dapat

menemukan makna kemiskinan. Melalui karya historis-Nya, sang Putra memanifestasikan

kemiskinan dan dengan menjadi figur telanjang di salib Dia mengundang kita untuk

mengikuti Dia dalam ‘ketelanjangan hati’ kita.35 Kristus yang tersalib, menurut Bonaventura,
32
Zachary Hayes, OFM, op.cit., hal. 141
33
Ilia Delio, Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of Crucified Christ, op.cit., hal. 91
34
Zachary Hayes, OFM, op.cit., hal. 136
35
Ibid., hal. 142
19
adalah model yang sempurna bagi kemiskinan. Misteri salib merupakan misteri kemiskinan,

karena dalam peristiwa ini Allah tidak mempertahankan untuk diri-Nya sendiri, tetapi secara

penuh mengkomunikasikan misteri cinta-Nya dalam keterbukaan yang radikal dan dengan

merangkul kemanusiaan.36

Tidak ada yang bisa menemukan Allah kecuali melalui kemiskinan salib. Ketika kita

menjumpai Yesus di salib, kita menemukan Allah dengan cinta-Nya yang tak terbatas; Allah

yang ingin membagikan cinta-Nya dengan diri kita yang tercipta dan terbatas. Salib menjadi

simbol kedekatan dan kesetiaan Allah kepada kita. Allah memberi seluruh diri-Nya kepada

kita dalam misteri Kristus yang tersalib. 37 Itulah alasannya mengapa dalam buku ‘Perjalanan

Jiwa menuju Allah’, Bonaventura mengklaim bahwa seseorang dapat memulai

perjalanannya menuju Alah hanya melalui Kristus yang tersalib. Kemiskinan salib

merupakan jalan untuk kembali pada ketidakbercelaan asali karena kemiskinan merupakan

pemenuhan dari hukum yang baru. Hukum itu tidak menjanjikan hal-hal temporal tetapi

cinta. Kemiskinan Allah dalam diri Yesus yang tersalib merupakan luapan dari cinta Allah;

ekspresi dari bahasa cinta. Cinta itu telah menjadikan salib sebagai ekspresi yang sempurna

dari kemiskinan Allah sendiri.38

2.3. Kesimpulan

Uraian Bonaventura membantu kita untuk melihat bahwa Yesus Kristus adalah model

sempurna yang menyediakan jalan bagi setiap manusia untuk kembali kepada Allah. Dalam

36
Ilia Delio, The Prayer, op.cit., hal.81
37
Ibid., 82
38
Ibid., hal. 81
20
diri Yesus Kristus, Allah menjadi manusia dan dengan demikian Ia menyatukan dalam diri-

Nya dua sisi sekaligus yaitu sisi abadi dan temporal. Kehadiran Yesus secara temporal di

dunia ini telah menyingkapkan yang abadi, membuat yang abadi itu dapat dilihat secara

kasat mata dan dialami secara langsung sebagai pengalaman riil oleh manusia. Dengan

mengalami Peristiwa Yesus Kristus, manusia diharapkan untuk meniru Dia. Meniru Kristus

berarti mempersonalisasikan kualitas-kualitas yang ditunjukkan Yesus. Hanya dengan

mempersonalisasikan kualitas-kualitas yang ditunjukkan Yesus, manusia bisa mengambil

bagian dalam kehidupan Allah Tritunggal.

Dari sekian kualitas yang ditunjukan Yesus, Bonaventura memberi penekanan yang

khusus pada kemiskinan. Kemiskinan dianggapnya sebagai kualitas fundamental dalam

meniru Kristus, karena melalui kedatangan-Nya ke dunia Allah menyingkapkan diri-Nya

sebagai Allah yang mengosongkan diri dan meleburkan diri-Nya dengan realita manusia

yang penuh dengan penderitaan. Itulah bentuk manifestasi kemiskinan Allah. Kemiskinan

Allah itu secara sempurna diungkapkan melalui peristiwa salib. Melalui salib Allah memberi

diri secara total dan penuh untuk ‘menegakkan’ kembali jati diri manusia yang sudah jatuh.

Salib adalah simbol cinta Allah yang meluap dan tak terbatas pada manusia. Memandang

salib, dengan demikian berarti memandang Dia yang menjadikan diri-Nya miskin untuk

membuat manusia kaya. Karena kemiskinan adalah jalan yang dipilih dan ditempuh Allah

untuk menunjukkan solidaritas-Nya pada manusia, maka jalan itu juga yang patut menjadi

jalan yang dipilih dan dilalui manusia dalam menempuh perjalanan menuju Allah.

21
III. Secara Miskin Mengikuti Yesus yang Miskin ( Fransiskus sebagai teladan dalam

Meniru Kristus)

Salah satu tokoh yang menjadi teladan sempurna dalam mengikuti kemiskinan Yesus

adalah santo Fransiskus. Gelar-gelar seperti Cermin Kesempurnaan, Alter-Christus, yang

diberikan kepadanya bahkan ketika ia masih hidup membuktikan bahwa radikalitasnya

dalam mengikuti Kristus telah menjadi kesaksian yang nyata bagi kalangan publik.

Dalam merefleksikan peristwa Kristus, Fransiskus memiliki kekaguman yang luar biasa

pada peristiwa Allah menjadi manusia (inkarnasi) dan karena itu ia menjadikan peristiwa ini

sebagi model bagi hidupnya. Peristiwa inkarnasi direfleksikan oleh Fransiskus sebagai

tonggak kemiskinan dan perendahan diri Allah. Dalam diri Yesus Kristus, ia menemukan

sosok Allah seperti yang digambarkan oleh Santo Paulus, yaitu Allah yang mengosongkan

diri-Nya dan tidak menganggap ke-Allahan-Nya sebagai milik yang harus dipertahankan

(Fil.2:6). Gerakan pengosongan diri Allah dalam peristiwa inkarnasi menjadi inspirasi bagi

Fransiskus untuk memilih kemiskinan sebagai fundasi spiritual bagi hidupnya.


22
Bab ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama, di bawah judul cermin

kesempurnaan, akan berbicara tentang Fransiskus sebagai pribadi yang telah menghadirkan

Kristus melalui kata-kata dan tindakannya. Bagian kedua, di bawah judul vivere sine

proprio, akan menguraikan pandangan dan sikap Fransiskus yang menganggap segala

sesuatu yang ada pada manusia berasal dari Allah dan digunakan untuk kemuliaan Allah dan

keselamatan umat manusia. Bagian ketiga, di bawah judul option with the poor, berbicara

tentang Fransiskus yang tidak hanya memilih untuk berpihak pada orang miskin, tetapi juga

memilih untuk menjadi miskin bersama orang-orang miskin pada zamannya.

3.1. Cermin Kesempurnaan (Speculum Perfectionis)

Salah satu gaya berpikir (teologi) yang sangat popular pada abad pertengahan adalah

gaya berpikir yang disebut dengan ‘teologi cermin’. Dalam bukunya yang berjudul Finding

Perfect Joy with Saint Francis of Assisi, Kerry Walters mengemukakan beberapa argumen

utama dari teologi cermin.39 Menurutnya, cara berpikir yang semula dipopulerkan oleh

Agustinus ini mempunyai argumen bahwa walaupun selama hidup ini kita tidak pernah

bertatap muka secara langsung dengan Allah, kita masih dapat melihat pancara-pancaran

kesempurnaan ilahi di dunia ini jika kita tahu bagaimana menemukan pancaran-pancaran

itu. Ciptaan, dengan kata lain, merupakan cermin dari Pencipta, sebagaimana halnya sebuah

karya seni menjadi tanda unik dari sang artis. Karya tangan Allah dapat diasumsikan dari

hukum-hukum alam yang tertata, keindahan Allah dapat diasumsikan dari keagungan

ciptaan, dan kebaikan Allah dapat diasumsikan dari tindakan cinta kasih sang manusia.

39
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal 13-16.
23
Selain itu, teologi cermin juga melandaskan ajarannya pada iman orang Kristiani akan

penjelmaan diri Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Demi menunjukkan cinta-

Nya, Yesus Kristus menderita dan mati secara kejam dan mengerikan. Karena itu, salah satu

klaim utama dari teologi cermin adalah bahwa Allah juga dapat dikenal melalui wajah-wajah

manusia yang menderita. Pengemis di jalan, orang kusta di rumah sakit, pasien yang

sekarat, anak yang menjadi korban pelecehan bisa menjadi gambar dari Kristus yang

menderita. Masing-masing mereka adalah cermin dari Allah yang menjelma menjadi

manusia.

Walter juga menguraikan bahwa teologi cermin memandang para pria dan wanita kudus

sebagai cermin yang berkilau dan bercahaya dalam memancarkan kemulian Allah. Hidup

mereka, karena sudah disesuaikan dengan hidup Kristus, menjadi tanda yang menghadirkan

wajah Kristus bagi mereka yang mengamati tindakan mereka atau membaca perjalanan

mereka. Melalui mereka Allah hadir secara lebih dekat dengan kita.

Fransiskus adalah salah satu dari orang-orang suci itu. Bahkan selama masa hidupya,

orang-orang sudah menganggap Fransiskus sebagai speculum perfectionis. Dalam biografi

yang ditulis Thomas dari Celano, Walter menemukan alasan mengapa dia digelar speculum

prefectionis. Thomas melukiskan bahwa Fransiskus secara terus menerus mambawa Yesus

di hatinya, di bibirnya, di telinganya, di matanya, di tangannya- Yesus kemana saja dia

pergi.40 Menyaksikan Fransiskus atau mendengar kata-katanya adalah menyaksikan dan

merenungkan Kristus yang bersinar melalui dia. Itulah alasan utama mengapa ada begitu

40
Bdk. Thomas of Celano, The Life of Saint Francis II, 115
24
banyak orang berbondong-bondong datang kepada Fransiskus, si miskin dari Assisi. Mereka

ingin mengikuti dia dalam kemiskinan, kesederhanaan, dan kerendaha hatinya.

Fransiskus, sang cermin, tidak hanya menjadi inspirasi bagi orang-orang sezamannya. Ia

adalah inspirasi bagi setiap orang di semua zaman. Menurut Walters, setidaknya dalam tiga

hal Fransiskus bisa menjadi cermin kesempurnaan bagi umat manusia. Pertama, hidupnya

mencerminkan kepada kita kerinduan hati manusia akan Allah. Kehidupan Fransiskus dapat

dilihat sebagai arketipe dari peziarahan spiritual jiwa manusia. Perjalanan itu diawali dengan

kebingungan dan sikap yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat. Perjalanan itu kemudian

bergerak maju menuju kepada kepastian dan kesadaran untuk menjadikan Allah sebagai

pusat.

Kedua, Fransiskus adalah cermin yang merefleksikan apa artinya menjadi manusia yang

penuh atau matang. Rahmat terbesar yang kita terima adalah potensi spiritual untuk

bertumbuh menjadi serupa dengan Allah. Sebagai pribadi, kita bisa saja menolak potensi ini

dan menenggelamkan diri kita pada keterasingan yang menyedihkan. Atau kita dapat

mengarahkan diri kita kepada tujuan sebagaimana yang dimaksudkan ketika kita diciptakan

dan berjuang untuk menghidupinya. Fransiskus memilih alternatif kedua. Ketika bercermin

padanya, kita menemukan refleksi tentang siapa diri kita saat ini dan hendak menjadi apa

kita kelak.

Ketiga, Fransiskus adalah cermin yang merefleksikan apa artinya mengalami

kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan yang sempurna adalah keadaan dimana seorang

individu menjadi dirinya sendiri justru ketika ia menyesuaikan dirinya dengan Allah yang

hidup. Dengan kata lain, kebahagiaan yang sempurna dicapai ketika kemauan dan tindakan
25
kita sehaluan dengan kemauan dan tindakan Allah. Dalam keadaan seperti itu, layaknya

Fransiskus, kita bisa menjadi cermin kesempurnaan.

3.2. Vivere Sine Proprio (Hidup tanpa Milik)

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kemiskinan menduduki tempat istimewa

dalam spiritualitas Santo Fransiskus. Spiritualitas ini diterjemahkannya melalui beberapa

bentuk hidup yang sangat khas. Salah satu bentuk hidupnya yang khas adalah ‘hidup tanpa

milik’ (vivere sine proprio). Dalam petuah-petuahnya, frase ‘hidup tanpa milik’ sering kali

muncul. Ini membuktikan bahwa gagasan hidup tanpa milik menjadi gagasan spiritual yang

sangat penting bagi Fransiskus dalam mepraktekkan semangat kemiskinan.

Apa yang dimaksudkannya dengan hidup tanpa milik? Untuk menguraikan secara detail

gagasan spiritual Santo Fransiskus tetang hidup tanpa milik, penulis banyak mengacu pada

uraian William J Short, OFM dalam bukunya Poverty and Joy.

Menurut Short, hidup tanpa milik pada dasarnya merupakan hidup sebagai seorang

murid; hidup yang didasarkan atas ajaran Sabda Bahagia. Mereka yang menjalani hidup

tanpa milik hidup dalam roh dan kerajaan surga menjadi milik mereka (Mat.5:3). Mereka

hidup menurut Roh. Lawan dari cara hidup ini adalah cara hidup yang mengklaim hal-hal

yang ada sebagai milik sendiri. Mereka yang memilih cara hidup ini hidup berdasarkan

daging.41

Mengamati petuah-petuah Santo Fransiskus, Short menemukan bahwa sikap tanpa milik

yang sangat radikal ini menyentuh setiap aspek hidup manusia. Gagasan ini bisa berkaitan

41
William J Short, OFM, Poverty and Joy, London: Darton, Longman and Todd Ltd, 1999, hal. 59.
26
dengan kemauan manusia. Gagasan ini juga bisa menyentuh pekerjaan-pekerjaan baik yang

kita lakukan. Ia, misalnya, menyebutkan bahwa jika kita berusaha mengklaim kemauan

sebagai milik kita, kita mengulangi dosa orang tua pertama kita. Ia juga menegaskan, tidak

ada salah seorang saudara pun yang menjadikan jabatan sebagai haknya. Mereka yang

belajar Kitab Suci tidak menggunakan pengetahuan mereka untuk mengakumulasi

kekayaan.42

Melalui petuah-petuahnya kita juga dapat menemukan alasan mengapa Fransiskus

menolak untuk mengklaim sesuatu sebagai miliknya. Alalasannya adalah hanya Allah sendiri

yang mampu berbicara dan melakukan segala sesuatu yang baik. Semua yang baik adalah

milik Yang Maha Tinggi dan karena itu, mengklaim sesuatu sebagai milik merupakan

tindakan yang terkutuk. Kita mengklaim apa yang menjadi kepunyaan Allah. Dengan kata

lain, bagi Fransiskus, segala sesuatu adalah pemberian. Menganggap segala sesuatu yang

kita punyai sebagai milik kita adalah penghinaan terhadap Allah.

Short kemudian menegaskan bahwa kemiskinan, bagi Fransiskus, dimulai dengan

contoh yand diberikan oleh Allah sendiri seperti yang terlihat dalam peristiwa Yesus. Dalam

Yesus Kristus, Allah tidak mempertahankan status dan kekuasaan. Ia memilih turun dan

tinggal di antara manusia dalam rupa yang sangat sederhana (Fil.2:5-11; 2 Kor. 8:9).

Kemiskinan yang dihayati Fransiskus merupakan suatu jawaban terhadap Yesus Kristus

yang tidak menganggap status ilahi-Nya sebagai milik yang harus dipertahankan, tetapi

meninggalkan status itu supaya bisa tinggal di antara manusia sebagai pelayan. Yesus yang

lahir dalam status yang rendah ini hidup sebagai orang miskin, dan mati di salib. Karena Ia

42
Bdk. Petuah Santo Fransiskus bab 7
27
adalah jalan, kebenaran, dan kehidupan (Yoh.14:6), maka, menurut Fransiskus, jalan kepada

Allah adalah jalan “meninggalkan”, tanpa mengklaim sesuatupun sebagai milik. 43

Tanpa pemahaman kristologis seperti ini, menurut Short, kemiskinan lantas menjadi

sebuah praktek penitensial, sekedar instrumen bagi hidup asketis dan pembaruan pribadi

secara moral. Tanpa pemahaman kristologis seperti ini, kemiskinan hanya direduksi dalam

pengertian memiliki dalam jumlah kurang. Dengan mengacu pada Yesus yang walaupun

kaya telah menjadikan diri-Nya miskin bagi kepentingan umat manusia, kita dapat memiliki

pemahaman yang integral tentang kemiskinan. Kemiskinan bukanlah merupakan sebuah

kebajikan moral. Kemiskinan merupakan semangat meninggalkan untuk kepentingan orang

miskin. Model bagi semangat ini adalah pemberian diri Allah secara sukarela seperti yang

terlihat dalam kelahiran, hidup, pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus. 44

3.3. Option with the Poor

3.3.1. Menjadi Dina

Secara konkret kemiskinan dijalankan oleh Fransiskus dan para saudara pertama dengan

menjadi pengemis. Mengikuti Kristus yang miskin dan tidak mempunyai batu untuk

meletakkan kepala, Fransiskus dan para saudara pertama menghayati hidup sebagai

“peziarah dan orang asing”. Bersama dengan Kristus mereka hidup seperti umat Israel

selama masa eksodus. Seperti umat Israel mereka merayakan hidup mereka dalam

semangat paskah. Mereka menganggap hidup mereka sebagai perjalanan dari dunia ini

menuju kediaman Allah. Bagi mereka, kemiskinan merupakan jalan yang memimpin mereka
43
Ibid., hal. 61
44
Ibid., hal. 62.
28
kepada tanah terjanji. Itulah sebabnya mereka menghidupi cara hidup ini dengan penuh

kegembiraan dan kebebasan. Dengan menghayati kemiskinan secara sukacita, Fransiskus

dan rekan-rekannya menunjukkan dimana letak kebebasan yang sejati. 45

Thomas dari Celano melaporkan bahhwa Fransiskus mengingingkan agar persaudaraan

yang ia bangun disebut dengan Ordo Saudara-Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum). 46 Ia

mengatkan, “saudara-saudaraku disebut dina (minors) supaya mereka tidak berusaha

menjadi besar. Pangilan mereka mengajarkan mereka untuk tetap berada pada posisi yang

rendah dan mengikuti jejak Kristus yang merendah.”

Eloi Leclerc, OFM, dalam bukunya Francis of Assisi: Return to the Gospel menjelaskan

signifikansi dari sebutan ini bagi Fransiskus dan para saudaranya. Walaupun diinspirasi oleh

kitab suci, sebutan dina (minores) pada zaman itu mengacu pada kategori sosial. Sebutan

minores merupakan lawan dari sebutan majores. Majores adalah sebutan yang digunakan

untuk para borjuis kaya raya yang memiliki kekuasaan baik ekonomi maupun politik.

Sedangkan minores adalah sebutan yang dipakai untuk memanggil para bawahan di

tempat-tempat kerja para majores dan orang-orang dari pedesaan. Juga termasuk dalam

kelompok minores adalah mereka yang tidak menduduki posisi-posisi tinggi dan mereka

yang sama sekali tidak mempunya posisi.47

Makna sosial dari sebutan minores tidak membuat Fransikus gentar. Sebaliknya dengan

memberi nama minores kepada saudara-saudaranya, ia sungguh mempunyai maksud

menggolongkan mereka secara sosial diantara orang-orang sederhana. Kerendahan hati


45
Eloi Leclerc, OFM, Francis of Assisi: Return to the Gospel, Quincy: Franciscan Press, 1981, hal. 60-61
46
Bdk. Thomas dari Celano, Riwayat Hidup St Fransiskus I, 38

47
Ibid., hal. 64
29
yang ia anjurkan untuk dihidupi bukanlah sekedar sikap batiniah. Sikap ini juga mempunyai

dimensi sosial. Para saudara tidak diizinkan untuk menerapkan pelbagai bentuk kekuasaan

baik di antara mereka sendiri maupun dalam masyarakat luas. 48

Gambaran tentang cara hidup para saudara perdana ini dapat kita temukan secara jelas

dalam buku yang ditulis oleh Thomas dari Celano. Celano melukiskan bahwa para saudara

sungguh menjadi saudara-saudara dina……tunduk kepada semua; mereka mencari tempat

yang rendah, dan melakukan pekerjaan yang kelihatannya sangat berat (I Celano, 38). Jika

pekerjaan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka, mereka pergi

meminta-minta seperti para pengemis. Menurut Eloi, deskripsi ini cukup untuk menegaskan

bahwa para saudara perdana, melalui pekerjaan mereka, tempat mereka hidup, dan pakain

yang mereka pakai menjadi bagian dari kelompok kelas bawah; kelompok orang-orang yang

tidak mempunyai peran, otoritas, dan yang sering dianggap rendah dan yang hidupnya

penuh resiko.49

Kendati secara sosial mereka menjadi bagian dari kelompok kelas bawah, mereka

menjalani hidup mereka dengan bahagia karena mereka menyadari bahwa lingkungan dari

mereka yang miskin dan terbuang ini merupakan tanah yang istimewa untuk menaburkan

benih Kerajaan Allah. Orang miskin menikmati harapan yang dijanjikan kepada dunia.

Mereka secara spontan terbuka pada harapan dan pembebasan ini. Mereka tidak bermimpi

untuk menerapkan kekuasaan tetapi menatap ke depan kepada masyarakat yang lebih

48
Dalam Anggaran Dasar 1221, Fransiskus meminta para saudara yang pergi bekerja di dunia untuk tidak menerima
pekerjaan yang memberi kesempatan untuk berkuasa atas orang-orang lain. Hal ini dimaksud untuk menghindari
adanya kesamaan dengan kelompok yang berkuasa dan berpengaruh. Anggaran Dasar Tanpa Bula 7. Ibid.,
49
Ibid., hal. 65
30
bebas, lebih bersaudara dimana tidak ada lagi penguasa atau yang dikuasai. Dalam arti ini

mereka menyuarakan kerinduan yang mendalam dari seluruh umat manusia. 50

3.3.2. Bela Rasa dengan Orang Miskin (Perjumpaan Fransiskus dengan Orang Kusta)

Bagi Santo Fransiskus, kemiskinan Injili bukan hanya menjadi tindakan asketis.

Mengikuti Kristus, Fransiskus menghayati kemiskinan sebagai sarana untuk mendekati

mereka yang paling miskin dan rendah. Kemiskinan adalah jalan untuk mengalami

persahabatan dengan mereka yang terluka, yang simbolnya ditemukan oleh Fransiskus

dalam diri orang kusta.

Pengalaman perjumpaan dengan orang kusta membawa kegembiraan yang mendalam

dan sejati dalam diri Fransiskus. Pengalaman perjumpaan ini menjadi salah satu

pengalaman sentral dan menentukan dalam hidup pertobatan santo Franiskus. 51 Dalam

wasiatnya, ia sendiri mengatakan bahwa setelah berjumpa dengan orang kusta, ia

merasakan kegembiraan yang luar biasa dan tak terlukiskan. “Apa yang sebelumnya terasa

pahit berubah menjadi kemanisan jiwa. 52 Dalam Anggara Dasar tahun 1221 ia juga

menyebutkan kegembiraan yang dirasakannya ketika hidup di antara orang-orang yang

secara sosial terbuang, di antara orang-orang miskin dan tak berdaya, orang sakit dan kusta,

dan mereka yang mengemis di pinggir jalan.53

50
Ibid.,
51
Menarik untuk dikaji bahwa dalam banyak tulisannya, Fransiskus tidak berbicara tentang suara dari salib San
Damiano yang memanggi dia untuk memperbaiki gereja. Ia juga tidak pernah mengacu pada stigmata di tubuhnya,
yang oleh orang lain diasosiasikan sebagai cintanya yang mendalam terhadap penderitaan Kristus. Ia sebaliknya
berbicara tentang orang kusta sebagai konteks dari pertobatannya, pengalaman praktisberada dengan mereka.
William J. Short, op.cit., hal. 74-75
52
Bdk. Wasiat St. Fransiskus 3
53
Bdk. Anggaran Dasar Tanpa Bula 9
31
Merefleksikan pengalaman Fransiskus dengan orang kusta, Leonardo Boff melihat

Fransiskus sebagai model bagi pembebasan manusia. Bagi Boff, Fransiskus tidak hanya

hidup dengan orang miskin atau untuk mereka. Ia hidup sebagai orang miskin, di antara

orang-orang kusta dan mereka yang terlantar di sisih jalan pada zamannya. Kemampuannya

untuk berbelarasa dengan mereka yang menderita mengisyaratkan adanya

kelemahlembutan dan kekuatan yang keduanya bersumber pada Kristus, sang Allah yang

menderita.54

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan mendalam tentang makna dari

peristiwa perjumpaan Fransiskus dengan orang-orang kusta, ada baiknya kalau kita

mengetahui secara persis situasi yang mengenaskan yang menimpa orang-orang kusta pada

zaman Fransiskus hidup. Setelah mengetahui betapa tragisnya situasi yang menimpa orang-

orang kusta pada zaman Fransiskus, lebih jauh kita akan melihat bagaimana Fransiskus

menghayati persahabatannya dengan orang-orang kusta sebagai ruang untuk bersatu

dengan Allah, sang Cinta yang telah merendahkan diri dan menjadikan diri-Nya miskin.

3.3.2.1. Orang-Orang Kusta di Zaman Fransiskus

Dokumen-dokumen yang dikumpulkan oleh Arnaldo Fortini, mantan mayor kota Assisi,

dapat membantu kita untuk mengetahui lebih detail tentang keadaan orang kusta pada

zaman Fransiskus.55 Dalam dokumen-dokumen tersebut, kita menemukan bahwa para

petugas, dengan didampingi oleh seorang imam, pergi dari rumah ke rumah untuk

memeriksa para penduduk terkait dengan tanda-tanda kusta. Jika tanda-tanda kusta
54
Refleksi ini ditulisnya dalam buku Saint Francis: a Model for Human Liberation. Ibid., hal. 79
55
Lihat Ibid.,hal. 72-73
32
ditemukan, maka pada waktu itu juga hidup mereka dianggap berakhir. Mereka harus

meninggalkan rumah, keluarga, harta milik, keamanan dan di ’karantina’ di rumah sakit

Santu Lazarus yang letaknya di luar kota, dekat kapel tua Porziuncula.

Para pria dan wanita yang terinfeksi, dari semua umur dan status sosial, berjalan dalam

prosesi seperti sebuah parade penguburan menuju ‘tempat peristirahatan’ mereka di

lembah. Seorang imam merayakan untuk mereka semacam upacara penguburan untuk

mereka yang hidup di rumah sakit itu, mereciki mereka dengan debu yang diambil dari

tanah dekat kuburan. Ia mengumumumkan mereka ‘mati terhadap dunia’ sembari memberi

janji bahwa Allah akan berbelaskasihan kepada mereka dan cinta kasih para penduduk kota

akan mendukung mereka.

Mereka harus memakai pakaian khusus yang dibuat dari kain yang warnanya

menyerupai debu dan memperingati orang lain akan kehadiran mereka dengan

membunyikan bel yang terbuat dari kayu seperti yang digunakan di gereja-gereja pada

perayaan jumaat agung. Mereka tidak pernah diperbolehkan menyentuh makanan yang

tidak ditempatkan dalam piring (mangkok) mereka. Mereka tidak pernah dizinkan menimba

air dari sungai, sumur atau mata air. Mereka tidak pernah diizinkan berbicara kepada orang

lain kecuali kalau mereka sendiri menempatkan diri mereka searah dengan arah angin.

Begitu besarnya ketakutan akan kejangkitan sehingga seorang kusta yang ditemukan di

dalam tembok kota setelah lonceng jam malam dibunyikan dapat dibunuh di tempat.

3.3.2.2. Menyerupai Allah yang Merendah dan Miskin

33
Kalau orang-orang kusta dianggap sebagai momok yang menakutkan dan memuakkan

seperti yang dilukiskan di atas, maka pertanyaan yang segera muncul adalah mengapa

Fransiskus, seperti yang ia lukiskan dalam wasiatnya, merasa gembira justru setelah ia

bertemu dengan orang-orang kusta? Dari mana kegembiraan ini datang?

Dalam perjumpaan dan persahabatan dengan orang-orang kusta Fransiskus merasakan

dirinya serupa dengan misteri yang agung, yaitu misteri putra Allah sendiri. Penyerupaan

inilah yang menjadi sumber kegembiraan bagi Fransiskus. Putra Allah yang Maha Tinggi

meninggalkan kemuliaan-Nya di surga, menyingkirkan segala kekuasaan dan menjadi

seorang manusia di antara manusia, miskin di antara orang miskin, dan bahkan berbelarasa

dengan mereka yang malang, orang-orang terlantar dan penjahat dengan mati di salib.

Putra Allah yang Maha Tinggi menceburkan dirinya secara mendalam dalam kemanusiaan

yang terluka.56

Fransiskus menemukan bahwa dalam Yesus, Allah meninggalkan hak milik, bahkan

status ilahi, mengandalkan sedekah dan perhatian orang lain. Dalam kelahirannya di antara

orang miskin, hidup dan perjalanannya di antara orang-orang yang tidak diperhitungkan,

dalam penderitaan dan kematian, telanjang, dan diacuhkan bahkan oleh sahabat-sahabat

dan sanak keluarganya Allah mengungkapkan dirinya sebagai sang cinta yang merendah dan

miskin. Orang-orang kusta adalah orang-orang khusus, karena mereka memikul arti dari

Allah yang adalah sang cinta yang merendah dan miskin. Bagi Fransiskus, berada di antara

56
Di sini, Allah yang menyatakan diri-Nya kepada Fransiskus tidak mempunyai kesamaan dengan gambaran Allah
yang penuh arogan dan berkuasa seperti yang digambarkan dalam perang salib. Di sini surga seperti kehilangan
semua kekuasaan, kutukan, intoleransi dan kekerasan. Tidak ada lagi orang-orang yang disisihkan atau yang
dihukum, karena Allah sendiri telah menjadi salah satu dari mereka. Ia telah menjadi saudara mereka. E loi Leclerc,
OFM, op.cit., hal. 72-73 .
34
orang-orang seperti itu berati berada dalam satu komunitas dengan Yesus. Dan inilah yang

menjadi alasan mengapa ia merasakan kegembiraan yang luar biasa setelah ia bertemu

dengan orang-orang kusta. Dalam Angaran Dasar Tanpa Bulla ia mengatakan, “para saudara

harus bersukacita apabila mereka hidup di tengah orang-orang jelata dan yang dipandang hina,

orang miskin dan lemah, orang sakit dan orang kusta serta pengemis di pinggir jalan…. (Tuhan Yesus

Kristus sendiri) menjadi miskin dan penumpang, dan hidup dari sedekah, baik Dia sendiri maupun

Santa Perawan Maria serta murid-murid-Nya. 57

Di tengah penderitaan dasyat yang dialami oleh manusia, Fransiskus menemukan dan

merasakan kualitas kabar gembira yang tak terkirakan. Dia menemukannya dalam bentuk

yang sangat khusus, dalam bentuk yang paling mencengangkan dan berbau skandal. Allah

mau melibatkan diri-Nya dengan mereka yang hilang, mereka yang secara hukum bersalah,

pemungut pajak, dan pendosa. Ia bergaul dengan mereka, makan dengan mereka, dan

akhirnya mati seperti mereka, mati sebagai orang yang tersisihkan. 58

Penemuan yang mengagumkan akan cinta Allah kepada manusia ini menjadi pusat

pengalaman injili Fransiskus. Ini yang membuat kemiskinannya penuh arti. Fransiskus

menunjukkan bahwa berhadapan pernyataan agape dari Allah, tidak cukup bagi seseorang

untuk meninggalkan barang-barang material. Lebih dari itu, seseorang harus bisa

menanggalkan diri dari segala macam klaim dan berusaha untuk memahami kehampaan

asali dari setiap insan. Dalam suratnya kepada Seluruh Ordo, Fransiskus mengatakan,

57
Bdk. Angaran Dasar Tanpa Bula 9:3-6.
58
Eloi Leclerc, OFM, op.cit., hal.73.
35
“janganlah menahan sesuatu pun yang ada padamu bagi dirimu sendiri, agar kamu seutuh-utuhnya

diterima oleh Dia, yang memberikan diri-Nya seutuhnya bagi kamu.” 59

Pengalaman dasariah akan kemiskinan ini dihidupi secara mendalam oleh si miskin dari

Assisi, dan ia tidak pernah berhenti menganjurkannya kepada para saudara. “Hendaklah kita

insafi sungguh-sungguh, bahwa tidak ada yang kita miliki selain cacat-cela dan dosa.” 60 Lebih

lanjut ia mengatakan, “marilah kita mengembalikan semuanya yang baik kepada Tuhan

Allah Yang Mahatinggi dan Mahaluhur dan mengakui bahwa semua yang baik adalah milik-

Nya. Marilah kita mengucap syukur kepada-Nya atas segala-galanya karena dari Dialah

berasal semua yang baik. Dia, Yang Mahatinggi dan Mahaluhur, satu-satunya Allah yang

benar, semoga Dia memiliki, dan hendaknya kepada-Nya dikembalikan, dan semoga la

sendiri menerima segala hormat dan bakti, segala pujaan dan pujian, segala syukur dan

kemuliaan; milik Dialah segalanya yang baik, Dia satu-satunya yang baik. 61

3.4. Kesimpulan

Fransiskus telah menjadi cermin kesempurnaan baik bagi orang-orang yang hidup

sezaman dengannya maupun bagi kita yang sedang berjuang di zaman sekarang. Melalui

hidupnya ia telah menghadirkan kristus dan membawa-Nya dekat dengan orang banyak.

Hidupnya telah menyingkapkan kerinduan hati setiap manusia untuk bertemu dengan Allah.

Hidupnya juga telah menyediakan jalan untuk mencapai kepenuhan dan kebahagian sejati.

59
Surat Kepada Seluruh Ordo, 29
60
Anggaran Dasar Tanpa Bula, 17:5-8
61
Bdk. Anggaran Dasar Tanpa Bula, 17:17-19
36
Kemiskinan adalah kunci untuk menjelaskan hidup Fransiskus dan kemiskinan inilah

yang telah mejadikan ia sebagai cermin kesempurnaan. Prinsip yang dianut Fransiskus

dalam menghayati kemiskinan adalah vivere sine proprio (hidup tanpa milik). Fransiskus

menolak untuk mengklaim sesuatu sebagai miliknya karena segala sesuatu berasal dari

Allah dan menjadi milik Allah. Mengklaim sesuatu sebagai milik adalah penghinaan

terhadap Allah. Penyangkalan terhadap kepemilikan ditimba Fransiskus dari Allah sendiri.

Allah tidak menganggap status keilahaian-Nya sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Ia

meninggalkan status itu untuk melebur dan menjadi bagian dari realitas manusia yang

penuh dengan keterbatasan dan penderitaan.

Untuk mengikuti Allah yang meninggalkan diri-Nya itu, Fransiskus menjalankan hidup-

Nya dalam kedinaan. Ia dan para pengikutnya menjadi pengemis dan menggolongkan diri

mereka sebagai para bawahan yang tidak mempunyai previlese dan yang hidupnya kadang

terancam karena tidak mempunyai jaminan keamanan. Bagi mereka, kedinaan adalah

ladang subur bagi pertumbuhan Kerajaan Allah.

Mengikuti Allah yang meninggalkan diri-Nya dan masuk dalam sejarah manusia yang

penuh dengan dosa, kekerasan dan penderitaan, Fransiskus juga telah menghayati

kemiskinannya sebagai jalan untuk mengambil bagian dalam hidup mereka yang menderita,

yang simbolnya ia temukan dalam diri orang-orang kusta. Allah yang dialami oleh Fransiskus

bukanlah Alah yang pasif dan kehilangan empati terhadap penderitaan manusia. Allah yang

diimani oleh Fransiskus adalah Allah yang mengambil inisiatif untuk aktif dan terlibat dalam

menyatakan solidaritas terhadap orang-orang miskin dan menderita. Mengikuti gerakan

solidaritas Allah itu, Fransikus menghayati kemiskinannya sebagai suatu dialog yang penuh
37
cinta dengan mereka yang miskin dan menderita. Pertemuan dan persahabatan dengan

mereka yang miskin dan menderita dialami Fransiskus sebagai pertemuan dan

persahabatan dengan Yesus Kristus sendiri.

IV. Kemiskinan sebagai Jalan Menggapai Kepenuhan

38
Pertumbuhan dan perkembangan setiap individu terarah pada satu target, yaitu

kepenuhan atau kematangan. Dalam situasi dimana seorang individu mengalami kepenuhan

ia menemukan jati dirinya yang sesungguhnya sebagai manusia dan karena itu pula ia

mengalami apa yang disebut dengan kebahagiaan sejati. Seorang individu bahkan baru

dikatakan sukses sebagai manusia kalau ia mencapai tingkat kepenuhan dalam hidupnya.

Namun pertanyaannya adalah faktor apa yang menjadi penentu bagi tercapainya

kepenuhan dalam diri setiap manusia?

Jawaban atas pertanyaan di atas tentu saja bisa beranekaragam. Mengacu pada

peristiwa Yesus Kristus dan pengalaman spiritual dari pengikut-Nya Santo Fransiskus, di sini

kemiskinan disodorkan sebagai jalan menuju kepada kepenuhan dan keotentikan. Mengapa

kemiskinan? Untuk memulai menjawab pertanyaan ini, mari kita kaji salah satu refleksi Eric

Doyle berkaitan dengan inkarnasi. Dia menyatakan, “inkarnasi menyingkapkan kepada kita

bahwa untuk menjadi manusia yang penuh dan otentik, seseorang harus menjadi miskin;

bebas dari kekuasaan ekonomi, filosofi, politik, dan religious. Kemiskinan material Yesus

adalah simbol dari pengabdian dan penyerahan yang total kepada Allah dan simbol dari

kemanusiaannya yang sejati. Kemiskinan inilah yang memimpin Dia kepada penyerahan

yang terakhir melalui kematian. Dalam peristiwa inkarnasi kita menemukan bahwa Yesus

Kristus, walaupun tanpa kekuasaan politik, penuh dengan kewibawaan; tanpa kekuasaan

ekonomi, memiliki harta yang tidak dapat dibeli dengan semua kekayaan di dunia; tanpa

kekuasaan filosofis, memiliki kebijaksanaan yang sejati; tanpa kekuasaan religius, menjadi

manusia yang paling suci dan integral yang pernah hidup.”62


62
Eric Doyle, Franciscan Life and Evangelical Cousels dalam Joesef Raischl, SFO dan Andre Cirino, OFM (Ed), My
Heart’s Quest, Canterbury: Franciscan International Study Centre, 2005, hal. 120.
39
Refleksi Eric Doyle membantu kita untuk melihat bahwa bahwa kemiskinan bisa menjadi

jalan kepada kepenuhan dan keotentikan karena kemiskinan dapat menjadi daya yang

membebaskan manusia. Pertanyaan selanjutnya adalah bebas dari apa dan bebas untuk

apa? Kemiskinan membebaskan manusia dari penjara nafsu kedagingan dan membebaskan

manusia untuk menjadi pelaku cinta. Nafsu kedagingan ibarat jeruji yang mengungkung dan

menghalangi manusia untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh. Sedangkan

cinta merupakan faktor kunci yang menjadi ukuran atau syarat bagi tercapainya kepenuhan

diri manusia sebagai gambaran Allah. Untuk menjelaskan lebih jauh dan dalam tentang

dampak kemiskinan bagi kepenuhan dan keotentikan hidup manusia, di bawah ini akan

diuraikan dua topik. Pertama, kemiskinan dan penguasaan diri. Kedua, kemiskinan dan

cinta.

4.1. Kemiskinan dan Penguasaan Diri

Tanpa pengontrolan diri atau penguasaan diri sangat sulit untuk membayangkan adanya

kepenuhan dalam hidup manusia. Sudah sejak zaman Yunani kuno pengontrolan diri atau

penguasaan diri dijunjung tinggi sebagai kemampuan esensial dalam usaha untuk

mengembangkan diri. Seperti yang diuraikan oleh Daniel Goleman, kata Yunani kuno untuk

kemampuan ini adalah sophroyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan;

keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali.” Orang-orang Romawi dan kaum kristiani

menyebutnya temperantia atau kendali diri, pengendalian tidakan emosional yang

40
berlebihan. Tujuannya adalah keseimbangan emosi, bukan menekan emosi, karena setiap

perasaan mempunyai nilai dan makna.63

Dalam ajaran dan tradisi kristian, penguasaan diri hanya bisa terjadi melalui pergulatan

yang intens dan terus menerus dengan Yesus Kristus. Telah terbukti bahwa kemampuan

penguasaan diri, seperti yang ditunjukan oleh para tokoh suci, terbentuk atau terbina justru

ketika ada hubungan yang akrab dengan Yesus melalui doa, meditasi dan askese. Dalam

bukunya vita Antonii, Athanasius menggambarkan hidup asketis yang dijalani oleh Antonius

dan dampaknya yang mengagumkan pada hidup dan kepribadannya. Setelah selama dua

puluh tahun bertapa di padang gurun, Antonius, seperti yang digambarkan oleh Athanasius,

memiliki kondisi jiwa yang murni; ia tidak terbebani oleh kesedihan dan tidak juga lepas

kontrol dalam upayanya menggapai kebahagiaan. Ia terlihat tenang di hadapan orang

banyak yang datang hendak menemui dirinya tanpa memperlihatkan kesiaa-siaan atau

kepongahan. Ia adalah sosok seseorang yang memiliki kendali penuh atas dirinya sendiri. 64

Penguasaan diri merupakan proses dan perjuangan terus-menerus untuk

mengendalikan dorongan nafsu kedagingan yang cendrung destruktif. Dikatakan proses dan

perjuangan terus-menerus karena, seperti yang dilukiskan oleh Kerry Walters, manusia

ibaratnya makhluk amfibi, dengan satu kaki berada di dunia fisik dan satu kaki yang lain

berada di dunia spiritual. Inilah alasannya, demikian Walter, mengapa semua manusia-

63
Sudah di sadari sejak zaman itu bahwa kehidupan tanpa nafsu bagaikan padang pasir netralitas yang datar dan
membosankan, terputus dan terkucil dari kekayaan hidup itu sendiri. Apapila emosi terlampau ditekan, terciptalah
kebosanan dan jarak; bila emosi tidak dikendalikan, terlampau ekstrem dan terus-menerus, emosi akan menjadi
sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap, gangguan emosional yang
berlehihan (maniak). Bdk. Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional (Terj.), Jakarta:Gramedia, 1995, hal. 77.
64
Dikutip dari Jose Cristo Rey Garcia Paredes, CMF, Dari Asal Muasalnya Hingga ke Era kita Saat ini (terj.), Medan:
Penerbit Bina Media Perintis, 2008, hal. 7
41
bahkan mereka yang sudah mencapai keadaan jiwa penuh bahagia, bahkan para santo

seperti Santo Fransiskus sekalipun- bergerak dari waktu ke waktu, bergerak maju dan

mundur antara episode terang dan gelap.65

Dalam perjuangan yang terus-menerus, dorongan nafsu kedagingan mesti dilawan

karena dorongan-dorongan itu menjauhkan hati dari Allah dengan mendorongnya untuk

merangkul hal-hal yang pada hakikatnya lebih rendah dan sementara ketimbang hal-hal

yang utama dan ilahi. Akibat dari nafsu kedagingan adalah kebutaan spiritual yang

menghalangi lahirnya pertumbuhan pengetahuan diri yang merupakan syarat untuk sampai

pada pengetahuan akan Allah.66 Kegagalalan mengendalikan nafsu kedagingan adalah

petaka besar bagi setiap manusia, karena dengan demikian ia tidak pernah memulai

perjalanan menuju kodratnya yang sejati sebagai gambar Allah.

Dalam perjuangan melawan nafsu kedagingan, St Fransiskus secara khusus menekankan

peran sentral dari hati manusia. Dia mengindikasikan bahwa hati manusia adalah kediaman

roh, yaitu energi atau kekuatan yang mempengaruhi aktivitas atau gerakan setiap individu.

Hati adalah tempat dimana Roh Tuhan bertempur dengan roh kedagingan. 67 Di sini

Fransiskus merefleksikan pemahaman St Paulus tentang daging dan roh. Dalam surat

kepada jemaat di Galatia, Paulus mempertentangkan pekerjaan-pekerjaan daging dan

pekerjaan-pekerjaan roh. Fransiskus melakukan hal yang sama dalam Anggaran Dasar. Ia

percaya bahwa individu manusia secara hakiki adalah baik, diciptakan serupa dengan Allah.

Namun bagaimanapun daging lemah dan menjadi baik musuh maupun penipu. Untuk

65
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal 93
66
Timoty J. Johson, op.cit., hal. 118
67
Ilia Delio, the Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of th Crucified Christ, op.cit., hal. 11
42
mengatasi roh kedagingan, ia menasihati para saudara untuk memiliki di atas segala-galanya

Roh Tuhan dan segala tindakan sucinya.68

Hati sebagai tempat pertempuran antara roh Allah dan nafsu kedagingan juga menjadi

topik penting yang menarik perhatian Bonaventura. Dalam hati manusia ada manifestasi

nafsu-nafsu kedagingan yang mendorong seorang individu untuk tidak merindukan

belaskasihan Allah. Namun hati juga adalah tempat suci dimana Allah ditemui melalui

penerimaan rahmat ilahi. Untuk memajukan pertemuan dengan Allah ini, seseorang harus

belajar untuk menoleh ke dalam dan masuk dalam keheningan hati dimana ia dapat

memusatkan pikiran dan hati pada Allah. Untuk bisa masuk ke dalam hati dituntut adanya

semangat untuk meninggalkan segala cinta palsu yang ditandai oleh nafsu kedagingan.

Hanya dengan demikian hati akan menjadi bernyala-nyala dengan cinta Allah. 69

Ketenangan hati hanya bisa diperoleh oleh orang yang menyadari bahwa secara

ontologis kemanusiaan berakar pada kemiskinan, karena ia diciptakan oleh Allah dan karena

itu secara esensial bergantung pada Allah.70 Jadi, kemiskinan adalah kondisi utama yang

diperlukan untuk mendapatkan ketenagan hati. Orang yang miskin, seperti Yesus dan juga

pengikut-Nya Santo Fransiskus, adalah orang yang meyakini bahwa hanya keutamaan-

keutamaan ilahi, bukan hal hal temporal dan terbatas, yang membawa setiap insan kepada

kepenuhan dan keotentikan diri sebagai manusia.

Menurut Bonaventura, salah satu ekspresi terpenting dari kemiskinan yang bisa

membantu seseorang untuk memiliki ketenangan hati adalah doa yang tak kunjung padam.

68
Ibid., hal. 12
69
Timoty J. Johson, op.cit., hal. 123
70
Ilia Delio, the Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of th Crucified Christ, op.cit., hal. 92.
43
Hanya dalam dialog yang intim dan terus menerus dengan Allah seseorang dapat

mengalahkan segala nafsu kedagingan yang destruktif, dan dengan demikian mampu

menguasai diri. Salah satu simbol yang digunakan Bonaventura untuk menggambarkan

hubungan antara doa dan ketenangan hati adalah Bait Allah. 71 Bait Allah dimasuki hanya

oleh mereka yang mau mengambil bagian dalam purifikasi dari kekuatan nafsu kedagingan.

Mengacu pada kisah tentang penyembuhan si lumpuh di kolam Bethzatha (Yohanes 5:1ff),

Bonaventura menegaskan bahwa untuk bisa masuk ke dalam Bait Allah (yaitu dalam doa

batiniah) dibutuhkan perjuangan melawan nafsu kedagingan dan usaha untuk memfasilitasi

perjumpaan dengan Kristus. Dalam kisah tersebut, orang yang tadinya lumpuh tidak dapat

menemukan Yesus selama ia berada dalam kerumunan orang banyak. Setelah

meninggalkan orang banyak dan masuk dalam Bait Allah, Kristus menemukan Dia. Di sini

kerumunan orang merepresentasikan kerumunan afeksi dan kejahatan yang menghalangi

relasi dengan Tuhan. Kerumunan afeksi harus ditinggalkan di belakang sehingga Kristus

dapat ditemui dalam Bait doa batiniah.72

Refleksi Bonaventura di atas perlu dicerna dengan baik oleh mereka yang mencita-

citakan hidup tanpa alienasi. Hidup di bawah bayangan kerumunan afeksi mengaburkan

konsep sejati tentang identitas manusia. Ketika kerumunan afeksi- terhadap barang,

kenikmatan, kekuasaan, popularitas- mengental dalam diri seseorang, ketika itu pula terjadi

proses penidentifikasian diri dengan objek afeksi. 73 Dalam masyarakat konsumeristik,

71
Masih ada dua simbol lain. Dua symbol yang lain itu adalah padang gurun dan gunung. Timoty J. Johson, op.cit.,
hal.123-127
72
Ibid., hal. 125
73
Uraian yang lengkap dan menarik tentang proses pengidentifikasian diri dan dampaknya terhadap eksistensi
manusia dapat dibaca dalam Echart Tolle, A New Earth, London:Penguin Books, 2005, hal. 25-56.
44
misalnya, orang-orang memiliki afeksi yang kuat dan mengental terhadap barang. Afeksi

yang kuat itu secara tak sadar mendorong mereka untuk mengidentifikasikan diri dengan

barang yang mereka miliki. Mereka mengidentifikasikan diri dengan pakaian yang mereka

pakai, mobil yang mereka kendarai, rumah yang mereka tinggal, dll. Masyarakat

konsumeristik seolah-olah hidup dengan diktum “saya memiliki maka saya ada.” Di sini

terjadi pereduksian terhadap identitas diri manusia. Manusia teralienasi dari jati dirinya

yang sesungguhnya. Proses penemuan kembali jati diri manusia ini hanya bisa ditempuh

kalau manusia sendiri, seperti yang diutarakan oleh Bonaventura, mau meninggalkan

kerumunan-kerumunan afeksi yang menghantuinya.

4.2. Menjadi Saksi Cinta

Ketika kemiskinan membebaskan seorang individu dari perbudakan nafsu dan dosa,

ketika itu pula kemiskinan membebaskan individu yang sama untuk menjadi saksi cinta.

Nafsu-nafsu seperti ketamakan, egoisme, kesombongan, dan lain sebagainya ibarat jeruji

yang menghalangi seseorang untuk menjadi abdi cinta. Kemiskinan membebaskan orang

dari jeruji nafsu kedagingan dan membuka kemungkinan dan ruang bagi setiap orang untuk

secara bebas dan tanpa takut menjadi tanda dan sarana cinta Allah di dunia.

Cinta menjadi syarat atau ukuran mutlak bagi kepenuhan setiap insan. Cinta adalah

faktor inti yang menentukan jati diri manusia. Kerry Walter memberikan dasar argumentasi

yang sangat jelas bagi korelasi antara cinta dan kepenuhan manusia sebagai manusia. Ia

mangatakan tujuan dari diciptakannya setiap manusia adalah menjadi serupa dengan Allah.

Karena itu, secara kodrati, seorang manusia adalah gambar Allah. Semakin dekat kita
45
menerima dan mengakomodasi kodrat itu, semakin dekat kita mencapai kepenuhan. Karena

Allah adalah Cinta yang murni dan tak bernoda, maka sebagai konsekuensinya keserupaan

dengan Allah diukur dengan kriteria cinta. Semakin kita mencintai, semakin kita menjadi

serupa dengan Allah. Cinta, dengan demikian, bukan saja merupakan emosi perasaan yang

baik atau sentimentalisme romantis seperti yang ditunjukan oleh kebudayaan populer.

Cinta adalah sebuah pengakuan akan ‘ada’, suatu jawaban ‘ya’ yang agung kepada Allah,

suatu perayaan syukur atas ciptaan, suatu pengakuan bahwa rencana Allah sungguh

mengagumkan.74

Argumentasi Walter di atas sangat jelas. Karena Allah adalah cinta, maka manusia yang

adalah gambar Allah baru bisa mencapai kepenuhannya ketika ia dipenuhi olah cinta. Allah

yang adalah cinta menjadi model bagi kepenuhan yang mesti dicapai oleh setiap manusia.

Apa artinya kalau dikatakan bahwa Allah adalah cinta? Pertanyaan ini penting untuk

dijawab, karena dengan memiliki konsep dan refleksi yang baik tentang Allah yang adalah

cinta, kita bisa memiliki defenisi yang utuh dan konkret tentang cinta itu sendiri.

Uraian Bonaventura tentang Allah dan cinta merupakan salah satu uraian yang sangat

menarik untuk dikaji. Bonaventura menggunakankan pendekatan trinitaris dan kristosentris

dalam menjelaskan apa artinya kalau dikatakan bahwa Allah itu cinta. Kedua pendekatan itu

dijelaskan lebih jauh di bawah ini.

4.2.1. Cinta dalam kehidupan Allah Tritunggal

74
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal 82.
46
Teologi Bonaventura tentang Trinitas dipengaruhi oleh dua penulis besar dalam tradisi,

yaitu Pseudo-Dionysius dan Richard dari St. Victor. Dari kedua tokoh ini Bonaventura

menemukan gagasan penting tentang kebaikan yang yang membagi diri (self diffusive) dan

cinta personal.75

Bonaventura menggunakan gagasan tentang kebaikan yang membagi diri dan cinta

personal itu untuk membedakan pribadi-pribadi Trinitas sebagai suatu persekutuan pribadi

dalam cinta. Menurutnya, Bapa adalah sumber kepenuhan dari kebaikan yang tertinggi

karena Bapa adalah yang pertama dan yang membagi diri. Pribadi Bapa adalah sumber dari

dua pribadi ilahi yang lain karena Bapa tidak mempunyai asal dan awal. 76 Ketika Bapa

membagi diri, Ia membagi diri dalam cara yang personal kepada pribadi lain yang personal.

Pribadi itu adalah Putra. Putra adalah ekspresi personal yang total dari Alah. Sang Putra

adalah gambaran yang sempurna dari Bapa. Karena Bapa dan Putra secara intim disatukan

satu sama lain, maka mereka menghembuskan cinta dalam kehendak yang satu yaitu cinta

Roh Kudus. Roh Kudus adalah kebebasan dalam cinta antara Bapa dan Putra yang membuat

lengkap cinta mereka dalam suatu kesatuan yang kudus dan abadi. 77

Uraian Bonaventura kiranya cukup untuk menerangkan bahwa pada hakekatnya Allah

adalah cinta dan bahwa cinta tidak pernah terisolasi. Di dalam Allah Tritunggal kita

75
Pseudo-Dysosius menyingkapkan bahwa dalam Perjanjian Baru Allah menyatakan diri-Nya sebagai “yang baik”:
tidak seorang pun yang baik selain Allah sendiri (Lukas 18:19). Mengikuti Pseudo-Dyonisius, Bonaventura
menidentifikasikan “kebaikan” sebagai nama Allah dan mengacu pada Pseudo Dyonisius dan dan Richard dari St.
Viktor, ia memahami Allah sebagai kebaikan yang paling tinggi. Menurut Pseudo-Dyonisius, kebaikan yang paling
tinggi cendrung membagi diri (self-diffusive) dan menjadi penyebab dari yang ada. Richard mengklaim bahwa
kebaikan yang tertinggi adalah cinta dan cinta itu bersifat personal dan komunikatif. Ilia Delio, the Humility of God.
A Franciscan Perspective, Chichago: Franciscan Press, 2005, hal. 39.
76
Nama Bapa, dengan demikian, tidak berarti bahwa Allah adalah pria atau orang Yahudi, karena nama itu
mengacu pada pribadi yang merupakan sumber tertinggi dari kebaikan. Ibid., hal. 40.
77
Ibid
47
menemukan bahwa cinta selalu berarti membagi diri atau memberi diri. Mengacu pada

uraian Bonaventura tersebut, Ilia Delio mengatakan “cinta itu tidak pernah terisolasi atau

individual; cinta butuh untuk dibagikan. Kodrat Allah adalah untuk membagi cinta dan

karena itu kata ‘Allah’ tidak dapat menjadi abstrak, kosong makna atau terindividualisasi

karena kata Allah selalu berarti relasi, persekutuan pribadi dalam cinta. Allah adalah

Trinitas.78

4.2.2. Yesus Kristus sebagai Manifestasi cinta Allah

Sesuai dengan hakekatnya yang tidak terisolasi dan cendrung membagi diri, cinta tidak

hanya menjadi pengikat hubungan antara pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal. Cinta juga

menjadi kunci utama untuk menjelaskan hubungan antara Allah (sang pencipta) dan

ciptaan. Peristiwa inkarnasi, salah satu momen terpenting dalam sejarah keselamatan, bisa

menjadi rujukan untuk melihat seberapa besar perhatian cinta Allah pada ciptaan.

Dalam menafsirkan peristiwa inkarnasi, para teolog Fransiskan mengambil posisi yang

berbeda dengan Anselmus dari Canterbury. Melalui karya termasyurnya Why the God-man?

Anselmus mengatakan bahwa motif utama dari inkarnasi adalah penebusan dosa. Allah

menjadi manusia untuk menebus dosa manusia. Berbeda dengan Anselmus, para teolog

Fransiskan cendrung mengikuti pendapat Maksimus Pengaku Iman yang melihat inkarnasi

lebih sebagai penggenapan kosmos ketimbang penebusan dosa.79

Bagi para teolog Fransiskan, kehidupan Yesus menyediakan suatu petunjuk ilahi

berkaitan dengan struktur dan arti bukan saja bagi manusia tetapi seluruh ciptaan. Filsuf
78
Ibid., hal. 41
79
Ibid., hal. 50
48
abad ke-13 Duns Scotus menyatakan bahwa inkarnasi merupakan misteri yang sangat agung

yang tidak bisa disederhanakan saja untuk menebus ketidaksempurnaan. Alasannya adalah

karena Allah itu cinta dan ingin untuk mencintai ciptaan yang dapat secara penuh

menjawab dalam cinta. Kristus akan datang, ia katakan, bahkan jika tidak ada dosa. Kristus

adalah yang pertama dalam intensi Allah untuk mencintai dan adalah karena Kristus

ciptaan mempunyai arti.80

Menurut Ilia Delio, pemahaham bahwa inkarnasi terjadi karena cinta Allah merupakan

point penting, karena cara kita memandang inkarnasi akan membentuk hidup kita sebagai

orang-orang Kristen di dunia ini. Jika cinta adalah alasan untuk inkarnasi, maka hal itu juga

yang menjadi alasan bagi perendahan diri Allah. Cinta Allah adalah cinta yang merendah.

Cinta itu bergerak keluar dari dirinya sendiri kepada orang lain untuk kepentingan orang

lain. Ilia memperkuat refleksinya dengan mengacu pada khotbah Bonaventura tentang

kelahiran Tuhan. Bonaventura mengatakan, “Sabda menjadi manusia (Yohanes 1:14). Kata-

kata ini memberi ekspresi kepada misteri surgawi itu….. bahwa Allah yang adalah abadi

secara rendah telah membungkukkan diri dan mengangkat debu dari kodrat kita ke dalam

persatuan dengan pribadi-Nya sendiri.”81 Bagi Bonaventura, inkarnasi mensignifikasikan

Allah yang membungkukkan diri untuk mengangkat kita. Perendahan diri berarti bahwa

Allah mengarahkan diri kepada kita persis seperti Bapa mengarahkan diri kepada sang Putra

dalam cinta. Karena kita adalah makhluk terbatas, maka Allah membungkuk dalam cinta

untuk memeluk kita. Allah membungkuk rendah sehingga Allah menemui kita persis dimana

kita berada: terbatas, rapuh, manusia yang tercipta. Allah menunduk rendah karena kita
80
Ibid
81
Ibid., hal. 51
49
kecil, terbatas, rapuh, serba tak menentu, khaos, dan kadang-kadang cendrung kekanak-

kanakan. Perendahan diri Allah berarti bahwa cinta Allah begitu melimpah sehingga Ia mau

masuk dalam kegelapan yang kita alami untuk membawa kita kepada kepenuhan hidup. 82

Dari peristiwa inkarnasi kiranya menjadi jelas bahwa cinta yang sejati dari Allah

mengandung unsur perendahan diri. Konsekuensinya bagi manusia juga jelas. Karena jalan

Allah adalah jalan perendahan diri, maka jalan ini pulalah yang seharusnya ditempuh

manusia dalam mencapai kepenuhannya sebagai gambar Allah. Hayes membuat poin ini

menjadi jelas ketika ia mengatakan bahwa “inkarnasi merupakan tindakan penyatuan

dengan mana gerakan ilahi yang tersembunyi menjadi tampak bagi mata iman. Kodrat Allah

adalah cinta (yang mengkomunikasikan diri). Kodrat itu menjadi tampak dalam perendahan

diri-Nya sebagai manusia. Karena kodrat Allah ditampakan, maka hukum bagi keberadaan

manusia juga dimanifestasikan. Karena Allah menyingkapkan diri-Nya melalui perendahan

diri, maka jawaban manusia yang tepat untuk Allah adalah perendahan diri dan

kemiskinan.83

Penulis spiritual abad ke-20 Henry Nouwen menggambarkan perendahan diri Yesus

sebagai jalan “gerakan turun”. Masyarakat mengajarkan kita untuk berjuang menempuh

jalank naik- mendaki sebisa mungkin tangga kesuksesan. Dalam proses, tentunya, kita

menjadi egomaniak. Nouwen mengatakan gerakan turun adalah arah yang lebih baik.

Dalam gerakan turun, kita membuat diri kita kurang sehingga kita bisa membuat orang lain

lebih. Dalam gerakan turun kita membuka diri kita kepada keindahan dan kebijaksanaan

orang-orang lain karena kita tidak terobsesi dan dibutakan oleh diri kita sendiri. Dalam
82
Ibid., hal. 53
83
Zachary Hayes, OFM, op.cit., hal. 136
50
gerakan turun kita mengundang yang lain dan tentu saja semua ciptaan untuk menjadi diri

mereka sendiri ketimbang menjadi apa yang kita inginkan demi melayani kepentingan kita. 84

Menurut Kerry Walter, bukan tanpa kebetulan kata perendahan diri (humility) berasal

dari kata latin ‘humus’, yang berarti tanah. Siapapun yang mempraktekkan perendahan diri

menemukan akarnya yang sejati dan kembali ke dasar. Manusia tidak diciptakan untuk

menjadi orang yang suka menuntut, membanggakan diri, pendaki-pendaki gerakan naik.

Kita diciptakan seturut gambaran Allah yang adalah cinta, memberi diri, dan bela rasa.

Ketika kita mempraktekkan perendahan diri kita mengklaim kembali warisan azali kita. Dan

dengan melakukan itu kita mengafirmasi kembali bahwa perendahan diri adalah anugerah

dari Allah, yang secara gratis dianugerahkan kepada kita sehingga kita bisa bertumbuh

menjadi siapa kita seharusnya.85

4.3. Kesimpulan

Korelasi antara kemiskinan dan kepenuhan hidup merupakan fokus utama dari seluruh

uraian dalam bab ini. Seorang manusia mencapai tingkat kepenuhan hidup ketika ia mampu

mengambil bagian dalam hidup Allah (menjadi gambar Allah). Tantangan yang dihadapi

oleh setiap manusia dalam proses mencapai kepenuhan adalah menguasai nafsu

kedagingan. Nafsu kedagingan cendrung membalikan arah perhatian manusia dari Allah

menuju kepada hal-hal fana yang dapat binasa. Karena itu, selama nafsu kedagingan

dibiarkan merajalela dan memegang kendali sepenuhnya atas hidup manusia, selama itu
84
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal. 74
85
Ibid., hal. 75
51
pula sang manusia tidak pernah bisa memulai proses perjalanan menuju kepada

kepenuhan. Hanya sikap miskin di hadapan Allah yang bisa menyelamatkan manusia dari

kungkungan nafsu kedagingan ini.

Ketika kemiskinan membebaskankan manusia dari kungkungan nafsu kedagingan ketika

itu pula terbuka kemungkinan bagi manusia untuk mengambil bagian dalam hidup Allah.

Allah adalah cinta. Maka, mengambil bagian dalam hidup Allah berarti mengambil bagian

dalam cinta Allah. Mengambil bagian dalam cinta Allah lalu bisa dikatakan sebagai syarat

mutlak bagi tercapainya kepenuhan. Allah sendiri menunjukkan diri-Nya sebagai sang cinta

melalui kehidupan trinitaris-Nya dan juga melalui peristiwa inkarnasi. Dalam kehidupan

Allah Tritunggal kita menemukan bahwa cinta yang sejati itu tidak pernah mengisolasi diri.

Cinta itu selalu mau memberi diri. Dalam peristiwa inkarnasi kita menemukan bahwa cinta

itu mengandaikan gerakan turun. Seperti Allah yang menundukkan diri untuk menyapa

manusia, begitu juga manusia dipanggil untuk merendahkan diri dan menjadi pelayan bagi

sesamanya.

52
Penutup

Sedikitnya ada dua konsep yang ekstrim dan sering kali keliru tetang kemiskinan. Konsep

pertama adalah konsep yang melihat kemiskinan sebagai gejala material murni. Konsep ini

memberi penekanan yang berat sebelah pada bentuk-bentuk askese lahiriah dan

mengabaikan pentingnya aspek batiniah. Padahal kemiskinan tidak pernah menjadi penuh

jika tidak diakarkan pada ketulusan dan kerendahan hati. Kemiskinan yang diartikan sebagai

gejala material murni dalam penghayatannya seringkali bersifat kaku, rigid, dan dalam

beberapa kasus justru menjadi penghalang bagi gerakan roh yang murni.

Konsep kedua adalah konsep yang menekankan kemiskinan sebagai tindakan spiritual

murni. Konsep ini mereduksi kemiskinan sebagai perkara hati saja. Kemiskinan tidak perlu

diekspresikan secara eksternal, karena kemiskinan adalah harta spiritual yang terpendam di

hati. Ekspresi eksternal dianggap sebagai kecongkakan spiritual. Bahaya dari konsep ini

adalah privatisasi kemiskinan. Kemiskinan direduksi sebagai persoalan pribadi. Padahal


53
kemiskinan yang sejati harus membantu memberi kesaksian tentang prioritas Allah atas hal-

hal temporal dan mendukung tercapainya keadilan sosial dalam masyarakat.

Bentuk hidup yang dijalani oleh Fransiskus dan pandangan teologis Bonaventura tentang

kemiskinan banyak membantu kita untuk melihat kemiskinan secara integral. Kedua tokoh

ini menyodorkan suatu sinstesis bagi dua ketegangan di atas. Kemiskinan diartikan sebagai

ketergantungan manusia yang radikal dan total pada Allah. Dikatakan radikal dan total,

karena ketergantungan ini meliputi seluruh daya yang melekat pada jiwa manusia. Daya-

daya itu menentukan cara manusia berpikir, berefleksi, bertutur kata, dan bertindak.

Dengan demikian menjadi jelas di sini bahwa kemiskinan sebagai bentuk ketergantungan

manusia pada Allah berciri holistik. Tidak ada satu dimensi pun yang diabaikan. Kemiskinan

itu harus berdimensi spiritual, karena kemiskinan berakar dan bertumbuh dalam hati

manusia. Kemiskinan yang sama juga harus berwajah material, karena keterarahan hati

manusia baru menjadi penuh jika diaplikasikan menjadi sikap dan aksi nyata.

Kemiskinan yang berfifat holistik itu bukanlah kebajikan yang dianjurkan hanya kepada

orang-orang tertentu saja, misalnya kepada yang mengikrarkan kaul suci. Kemiskinan

merupakan kebajikan fundamental yang perlu dimiliki oleh setiap insan dalam membangun

relasinya dengan Allah dan semua ciptaan. Bonaventura menyebut kemiskinan sebagai

kenyataan ontologis dan moral. Sebagai kenyataan ontologis, kemiskinan lahir sebagai

fenomena yang tak bisa dipisahkan dari kodratnya sebagai ciptaan. Bersama dengan ciptaan

yang lain, manusia tidak bisa hidup tanpa sang Pencipta dan karena itu mereka bergantung

sepenuhnya pada penyelenggaraan ilahi. Sebagai kenyataan moral, kemiskinan merupakan

akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa. Dosa menggerogoti dan merusak kapasitas-
54
kapasitas alamiah yang diciptakan untuk membantunya menjadi gambar dan rupa Allah.

Hanya rahmat Allah yang bisa membantu mengangkat manusia dari kejatuhannya. Dalam

situasi inilah manusia menjadi si miskin yang terus berteriak dan meminta pertolongan dan

kemurahan hati Allah. Melalui penjelasan Bonaventura tentang kemiskinan sebagai fakta

ontologis maupun moral, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan merupakan

keharusan eksistensial bagi manusia yang sedang menempuh perjalanan pulang menuju

Allah. Dalam kemiskinan ada pengakuan total bahwa selain Allah tidak ada yang absolut dan

abadi. Karena itu, orang yang miskin mengorientasikan dirinya secara tetap bukan pada hal-

hal yang terbatas dan dapat binasa melainkan kepada Allah dan mengambil bagian dalam

kehidupan-Nya.

Kemiskinan sebagai jalan yang harus dipilih dan ditempuh manusia dipertegas melalui

peristiwa Yesus. Melalui kemanusiaan Yesus, Allah menyingkapkan bahwa jalan yang

ditempuh-Nya adalah jalan kemiskinan. Allah meninggalkan diri-Nya, masuk dalam sejarah

umat manusia, dan secara miskin meleburkan diri dengan manusia. Allah datang untuk

menjumpai manusia persis di tempat dan situasi di mana mereka berada: terbatas, penuh

dosa, menderita. Dengan mendatangi dan meleburkan diri-Nya secara historis dengan

manusia, Allah membiarkan diri-Nya dialami secara langsung sebagai Allah yang miskin dan

menderita. Karena kemiskinan adalah jalan yang dipilih dan ditempuh Allah, maka

kemiskinan kiranya menjadi jawaban iman yang tepat dari manusia kepada Allah.

Kemiskinan adalah fundasi dalam mengikuti Yesus Kristus, sang Allah yang menjadi

manusia.

55
Fransiskus dari Assisi adalah salah satu tokoh yang mampu memahami dengan baik

bahwa kemiskinan adalah fundasi dalam mengikuti Kristus. Ia mewujudkan kemiskinan

sebagai praksis hidup. Secara radikal ia menghayati kemiskinan sebagai hidup tanpa milik.

Menurutnya, segala sesuatu yang ada pada kita adalah milik Allah dan dipercayakan kepada

kita untuk tugas pelayanan. Mengklaim sesuatu sebagai milik kita adalah bentuk

penghinaan terhadap Allah. Praksis kemiskinan yang dihayati Fransiskus juga menentukan

identitas dia dalam kehidupan masyarakat. Secara sosial, Ia sendiri menggolongkan dirinya

sebagai bagian dari lapisan kelas bawah yang hidupnya serba berkekurangan, tidak

mempunyai previlese dan jaminan keamanan. Sembari menjadikan dirinya sendiri miskin, ia

juga menyatakan solidaritas dan perhatian yang luar biasa terhadap mereka yang miskin,

menderita, dan tersingkir, yang simbolnya ia temukan dalam diri orang kusta. Pengalaman

berbagi hidup dengan mereka dialaminya sebagai pengalaman berbagi hidup dengan Yesus

Kristus sendiri.

Akhirnya harus dikatakan bahwa kemiskinan, yang mungkin oleh orang kebanyakan

dianggap sebagai kebodohan dan kemunduran, justru bisa menjadi jalan yang membawa

manusia kepada kepenuhan. Kepenuhan manusia sebagai manusia tercapai ketika seorang

pribadi menjadi seperti yang dimaksudkan ketika ia diciptakan, yaitu menjadi serupa dengan

Allah. Kemiskinan dilihat sebagai jalan mencapai kepenuhan, karena di satu sisi, kemiskinan

mempunyai daya yang membebaskan manusia dari belenggu nafsu kedagingan yang

menghalanginya untuk mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Di sisi lain, kemiskinan

membebaskan manusia untuk menjadi saksi cinta Allah. Cinta adalah ukuran kunci bagi

keserupaan manusia dengan Allah, karena Allah sendiri adalah cinta yang
56
mengkomunikasikan diri-Nya. Kemiskinan, seperti yang dapat dilihat dalam hidup Yesus dan

pengikut-Nya Santo Fransiskus, memampukan manusia untuk memberi diri menjadi pelayan

bagi sesama, khususnya mereka yang miskin, menderita, dan tersingkir. Menjadi nyatalah

bahwa dalam kemiskinan sebenarnya tersimpan kekayaan cinta. Di sinilah letak paradoks

kemiskinan. Semakin manusia mengosongkan dirinya dalam kemiskinan, semakin ia menjadi

penuh dalam cinta.

57

Anda mungkin juga menyukai