“Ekei paragenomenos anthropos esomai”: “ketika saya sampai di sana saya akan
menjadi manusia.”1 Demikian ucapan terkenal Ignasius dari Antiokia yang ditulisnya pada
malam menjelang ia dieksekusi. Kendati ditulis dalam konteks kemartiran, ucapan tersebut
kekristenan, kemanusiaan yang sesungguhnya baru bisa ditemukan dan dialami ketika
seseorang berada dalam kesatuan dengan Allah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
antropologi Kristen selalu bersifat teosentris. Integritas dan identitas sejati seorang manusia
hanya bisa dijelaskan dalam relasinya dengan Allah. Edward Schillebeeckx membuat hal ini
jelas ketika mengatakan bahwa “ketika seorang religius dan kristen berbicara tentang Allah
pada saat yang sama ia secara produktif dan kritis berbicara tentang manusia, dan ketika
seorang religius atau kristen berbicara tentang manusia, pada saat yang sama ia berbicara
tentang Alah.”2
Dalam diskursus filsafat, konsep antrolpologi kristen yang berpusat pada Allah itu
dikritik secara tajam terutama oleh para tokoh yang menganut ateisme, seperti Feurbach,
Karl Marx dan Sartre.3 Feurbach melihat paham Allah sebagai proyeksi manusia. Bukan Allah
yang menciptakan manusia, katanya, tetapi manusialah yang menciptkan Allah. Berangkat
dari pemikiran Feurbach, Karl Marx lebih jauh lagi menganjurkan penghapusan agama
karena ajara-ajaran agama tentang Allah dan surga adalah candu yang tidak membebaskan
1
Dikutip dari Edward Schillebeeckx, God among Us, New York: The Crossroad Publishing Company, 1982, hal. 161.
2
Ibid, 162
3
Uraian sistematis dan kritis tentang pandangan ketiga flisuf ateis ini dapat dilihat dalam Simon Petrus Lili Tjahjadi,
Manusia dalam Atieisme Modern, dalam J Sudarminta dan S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, Manusia, dan Tuhan,
Yogyakarta: Kanisius, 2008, hal. 145-165.
1
manusia, sebaliknya membuat manusia malas dan terlena dalam khyalan-khayalan surgawi.
Agama adalah bentuk alienasi manusia. Sementara itu, Sartre menolak Allah karena konsep
Kritik dan penolakan yang dilontarkan oleh penganut paham ateisme tentu saja
menantang keabsahan iman Kristiani. Sebagai orang Kristen kita ditantang untuk memiliki
konsep iman yang lebih dewasa dan mendalam. Kita sepatutunya bertanya kepada diri kita
sendiri, benarkah kekristenan menjadi candu yang meninabobokan kita? Apakah iman yang
kita hidupi sungguh berpengaruh pada proses transformasi diri? Apakah iman itu sungguh
menjadi daya yang membebaskan dan membantu kita untuk bertumbuh menjadi manusia
Kenyataan menunjukkan bahwa kekristenan, ketika dipahami dan dihayati secara benar
dan penuh komitmen, justru bisa menjadi daya emansipatoris atau daya yang
membebaskan manusia dari segala macam hal yang membuatnya terasing dari diri sendiri.
Tokoh-tokoh besar seperti Martin Luther King, Ibu Teresa, Paus Yohanes Paulus II, mampu
mengekspresikan jati diri mereka yang sesungguhnya dan memberi kontribusi bermakna
bagi kemanusian justru karena radikalitas dan totalitas iman mereka. Terbukti di sini bahwa
kekristenan pada hakekatnya bukanlah suatu bentuk alienasi. Kekristenan itu sendiri
bukanlah sebuah kesalahan. Kesalahan terletak dalam penghayatan yang menyimpang dari
prinsip-prinsip kristiani yang fundamental. Karena itu, yang perlu dianjurkan adalah
komitmen sejati dari setiap orang kristen dalam menghayati iman mereka.
Komitmen sejati sebagai seorang Kristen baru menjadi mungkin jika seseorang memiliki
sikap miskin di hadapan Allah. Yesus Kritus sendiri menekankan pentingnya sikap ini ketika
2
Ia menyampaikan sabda bahagia. “Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah yang
mempunyai kerajaan surga” (Luk. 6:20; Mat. 5:3). Salah satu tokoh Kristen yang secara
sempurna memahami dan menjadikan sikap ini sebagai aktus dalam hidupnya adalah Santo
Fransiskus dari Assisi. Ia sendiri dijuluki ill poverello atau ‘si miskin’ dari Assisi. Paus
Benediktus XVI, dalam ulasannya tentang sabda bahagia “berbahagialah kamu yang miskin
karena kamulah yang mempunyai kerajaan surga,” menyebut santo Fransiskus dari Assisi
sebagai ilustrasi yang paling hidup dari sabda bahagia ini. 4 Paus juga mengatakan, “janji
yang diberikan oleh sabda bahagia butir pertama mempengaruhi Fransiskus secara radikal,
pakain baru oleh Uskup, simbol kebaikan yang penuh kebapaan dari Allah…..Dengan melihat
Fransiskus dari Assisi kita bisa melihat dengan jelas makna Kerajaan Allah.” 5
Dalam diri Fransiskus kita menemukan bahwa kemiskinan adalah ketergantungan yang
total dan radikal kepada Allah. Ketergantungan yang total dan radikal pada Allah adalah
jalan menuju kepada kepenuhan atau jati diri yang sesungguhnya. Ketika seseorang memilih
untuk bergantung pada Allah, ketika itu pula ia masuk dan mengambil bagian dalam
kehidupan Allah sendiri. Keutamaan Allah lantas menjadi keutamaan hidupnya. Ketika
seseorang mengambil bagian dalam kehidupan Allah, ketika itu juga ia menjadi seperti apa
yang dimaksudkan ketika ia diciptakan, yaitu imago Dei (gambar Allah). Dan itulah titik
kepenuhan manusia sebagai manusia. Kery Walters, dengan merujuk pada perjalanan
spiritual Santo Fransiskus, mengatakan “kepenuhan teletak pada pengakuan batinah bahwa
4
Joseph Ratzinger Paus Benediktus XVI, Jesus of Nazareth, New York:Doubleday, 2007, hal. 78
5
Ibid, 78-79
3
kita diciptakan dalam keserupaan dengan Allah yang hidup dan bahwa tujuan kita yang
terakhir dalam hidup adalah menyelaraskan pikiran, kemauan, dan tubuh dengan gambar
itu.”6
Cukup jelas di sini bahwa menjadi gambar Allah adalah panggilan eksistensial sekaligus
puncak kepenuhan seorang manusia. Orang yang mengalami kepenuhan biasanya diliputi
kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan di sini tidak sama dengan kesenangan semu yang
distimulasi oleh hal-hal luaran. Kebahagiaan di sini perlu dimengerti dalam kategori
Aristoteles, yaitu situasi atau keadaan batin yang stabil.7 Orang yang mencapai tahap
kepenuhan mengalami kebahagiaan bahkan ketika sedang menderita. Selain itu, orang yang
mengalami kepenuhan juga diliputi kedamaian. Santo Agustinus mengakui hal itu ketika ia
mengatakan, “hatiku tidak tenang sampai aku beristirahat dalam Engkau ya Tuhan.”
manusia serta menolak untuk mengabsolutkan manusia dan segala hal yang menjadi buatan
karyanya. Kegagalan terbesar dari umat manusia adalah menganggap diri sama atau sejajar
dengan Allah. Sudah terbukti dalam sejarah bahwa ideologi yang menempatkan manusia
sebagai Allah justru telah mendatangkan petaka bagi hidup manusia. Semakin manusia
mengagungkan diri dan memutlakkan setiap karya yang dihasilkannya, seperti teknologi,
alam merajalela. Kenyataan-kenyataan ini memberi kita pesan yang jelas. Pesannya adalah
bahwa ketergantungan mutlak pada ideologi dan hal-hal yang diciptakan manusia justru
6
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, Cincinnati, Ohio: St. Anthony Messenger Press, 2002,
hal. 11.
7
Ibid., 9-10
4
menyebabkan rusaknya integritas dan identitas sejati diri manusia. Sebaliknya,
keketergantungan pada Allah membantu manusia menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Cara hidup berbasis kemiskinan seperti yang ditunjukkan oleh Fransiskus dari Assisi,
menjadi inspirasi utama bagi penulisan buku ini. Kemiskinan yang dianut dan dihidupi
Fransiskus itu telah secara sistematis dan komprehensif dialihkan menjadi pemikiran
teologis oleh Bonaventura8, salah satu pengikut Fransiskus dari Assisi sekaligus teolog besar
abad pertengahan. Karena itu, dalam penelitian kepustakaan dan pengerjaan buku ini,
banyak diacu untuk menjelaskan pengertian dan alasan mendasar bagi cara hidup berbasis
kemiskinan, serta model yang sepatututnya diikuti dalam mengembangkan cara hidup ini.
Tujuan final dari penulisan buku ini adalah memperlihatkan bahwa kemiskinan
merupakan jalan menuju kepada kepenuhan. Namun untuk menunjang maksud tersebut,
pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang kemiskinan menjadi syarat mutlak
untuk dimiliki. Dengan mempertimbangkan hal itu, buku ini sengaja dibagi dalam lima
pokok pembahasan. Bab satu menjelaskan tentang alasan mendasar bagi kemiskinan. Ada
dua alasan yang dikemukakan di sini, yaitu alasan ontologis dan alasan moral. Alasan
8
Bonaventura lahir di Bagnoregio, Italia tengah pada 1217. Sekitar 1234 Ia menjalankan studi di universitas Paris,
dimana ia mulai menjalin kontak dengan para Fransiskan. Bonaventura sendiri kemudian masuk Ordo Fransiskan
dan belajar teologi di bawah bimbingan guru besar Aleksander dari Hales. Setelah menyelesaikan lisensiat di
bidang studi Kitab Suci dan mengajar Kitab Suci, sekitar 1253 atau 1254 ia menjadi seorang master dalam teologi
dan mengambil alih kepemimpinan sekolah Fransiskan di Paris. Ia mengajar di sana sampai 1257 dan kemudian
terpilih sebagai Miniter General Ordo. Pada 1273 ia diangkat sebagai Kardinal Uskup Albano oleh Paus Gregorius X
dan membantu sang Paus dalam mempersiapkan konsili Lyion ke-2. Dalam konsili, ia memainkan peran besar bagi
reformasi gereja, mendamaikan imam dioses dengan ordo-ordo mendikan, terlibat dalam usaha mendamaikan
Gereja Yunani dengan Roma. Ia meninggal pada 15 Juli 1274, ketika konsili sedang berlangsung. Pada 14 April 1482
ia dikanonisasi dan diumumkan sebagai Doktor Gereja Universal oleh Paus Sixtus V dengan gelar Doktor
Seraphicus. Karya-karyanya, antara lain, adalah Breviloquium, Perjalanan Jiwa menuju Allah, Pohon Kehidupan,
Riwayat Hidup Santo Fransiskus, Pembelaan si Miskin. Disari dari Ewert Cousinn, Bonaventure, New Jersey: Pulist
Press, 1978, hal. 2-8.
5
ontologis terkait dengan eksistensi manusia sebagai ciptaan. Sementara alasan moral terkait
dengan kejatuhan manusia dalam dosa. Bab dua menjelaskan kemiskinan sebagai fundasi
dalam mengikuti Yesus. Yesus adalah model tunggal, sempurna dan abadi bagi setiap
manusia untuk sampai kepada Allah. Kemiskinan menjadi fundasi dalam mengikuti Yesus,
karena Yesus sendiri telah menempuh jalan kemiskinan untuk menunjukkan cinta-Nya
kepada manusia. Bab tiga berbicara tentang Fransiskus sebagai teladan sempurna dalam
mengikuti Yesus. Seperti Yesus, Fransiskus memilih hidup sebagai orang miskin di tengah
mereka yang miskin dan menderita. Bab empat berbicara tentang korelasi antara
kemiskinan dan kepenuhan jati diri seorang manusia. Kemiskinan, yang seringkali dianggap
sebagai kebodohan oleh dunia, pada hakekatnya adalah jalan yang bisa menghantar orang
6
I. Kemiskinan sebagai Fakta Ontologis dan Moral
Menurut Santo Fransiskus, kemiskinan sebagai cara hidup harus dilandaskan pada dua
pijakan utama. Pijakan pertama adalah pengakuan atau kesadaran bahwa segala sesuatu
yang baik berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Pijakan kedua adalah
pengakuan bahwa satu-satunya yang kita miliki hanyalah kelemahan dan dosa. Karena itu
kita perlu menghadirkan diri kita dihadapan sang tabib ilahi, satu-satunya pribadi yang
menyembuhkan kita.9
sebuah refleksi spekulatif. Kemiskinan, menurutnya, merupakan fakta ontologis dan fakta
moral.10 Kemiskinan oleh Bonaventura disebut sebagai fakta ontologis karena manusia
secara kodrati adalah ciptaan yang tergantung pada penciptanya. Kemiskinan dilihatnya
sebagai fakta moral karena setelah kejatuhannya, manusia -tidak bisa tidak- harus
menggantungkan dirinya pada rahmat Allah. Rahmat Allah adalah satu-satunya daya yang
bisa merestorasi diri manusia kembali menjadi Imago Dei. Pemikiran Bonaventura tentang
Menurut Bonaventura, secara azali manusia dapat dikatakan miskin. Hal ini disebabkan
karena sebagai ciptaan manusia ada bukan dari dirinya sendiri. Manusia ada karena
9
Thaddee Matura, OFM, Francis of Assisi. The Massage in His Writingss, New York: Franciscan Institute, 1997, hal.
170.
10
Penjelasan lengkap tentang dua fakta kemiskinan ini dapat dilihat dalam Timothy J Johnson, The Soul in Ascent:
Bonaventura on Poverty, Prayer, and Union with God, Quincy: Franciscan Press, 2000, hal. 9-22.
7
disebabkan oleh yang lain. Ia diciptakan dari ketiadaan oleh sang pencipta. Karena itu, sejak
semula ia berhutang (bergantung) pada yang lain. Bonaventura, seperti yang dikutip oleh
semua ciptaan dan, secara khusus, kemiskinan manusia. Semua ciptaan adalah miskin
karena mereka bergantung pada Allah. Allah adalah asal, penopang eksistensi, dan sekaligus
sebuah kemiskinan secara lebih spesifik. Ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa ia
dilengkapi dengan jiwa. Jiwa manusia itu memuat tiga kapasitas, yaitu memori, akal budi,
dan kemaun.12 Ketiga kapasitas ini mejadikan manusia sebagai gambar Allah Tritunggal. Jiwa
itu sejak semula dimaksudkan untuk menemukan kebahagiaan dalam penciptanya. Manusia
mengalami kebahagiaan yang penuh hanya ketika jiwa mencapai tujuan yang sudah
ditentukan untuknya.13
11
Ibid., hal.14.
12
Memori tidak hanya berperan sebagai kemampuan untuk mengingat masa lalu. Lebih dari itu, memori juga
meliputi keasadaran kita masa kini dan kemampuan kita untuk mengantisipasi masa depan. Intelektual atau akal
budi adalah kemampuan jiwa yang mengisi fungsi kognitif kita. Akal budi adalah kemampuan yang dengannya kita
memikirkan sesuatu secara logis, mengekspresikan ide kita kedalam bahasa, berpikir tentang ide-ide baru dan
menilai atau mengambil keputusan tentang hakekat dari segala sesuatu. Kemauan adalah kemampuan jiwa untuk
mengingini, melakukan sesuatu secara sengaja,dan membuat keputusan tentang keutamaan- seperti keutamaan
moral:apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah. Dawn M. Nothwehr, OSF, the Franciscan View of the
Human Person, New York: The Franciscan Institute, 2005, hal. 35-36.
13
Timoty J. Johson, op.cit., hal. 15
8
Karena secara ontologis manusia itu miskin, maka Bonaventura dengan penuh
keyakinan mengatakan bahwa dosa adalah penolakan untuk menjadi miskin; penolakan
untuk menjadi siapa dia sebenarnya di hadapan Allah. Ketimbang menerima dirinya sebagai
makhluk yang tergantung pada Allah, manusia ingin menjadikan dirinya setara dengan
Allah. Hanya ada satu pribadi yang setara dengan Allah yaitu Putra. Putra adalah satu-
satunya gambar sempurna dari Allah dan memiliki segaIa sesuatu yang dimiliki Allah. Karena
itu, dosa manusia pertama, menurut Bonaventura dapat juga dirincikan sebagai dosa
melawan Putra. Dengan menganggap dirinya setara dengan Allah manusia menganggap
dirinya setara dengan putra. Adalah sang Putera itu sendiri yang kemudian mengarahkan
manusia untuk kembali kepada citra asali mereka sebagai si miskin. Sang putera
bahwa seseorang hanya dapat memulai perjalanan menuju Allah kalau ia miskin dan
tergantung pada Allah. Pribadi yang miskin adalah pribadi yang menyadari kebutuhannya
akan Allah. Pribadi yang miskin adalah pribadi yang mengenal dan memahami jati dirinya.
Mengelaborasi refleksi Bonaventura, Ilia Delio, salah seorang pakar yang banyak menggeluti
14
Ilia Delio, OSF, Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of the Crucified Christ, Chicago: Franciscan Press, 1998,
hal. 92.
15
Dalam Bahasa Latin, karya Bonaventura ini diberi judul Itinerarium Mentis in Deum. Di sini penulis mengikuti
Ewert Cousins yang menterjemahkan karya ini sebagai ‘Perjalanan Jiwa menuju Allah’ dan bukan ‘Perjalanan
Pikiran Menuju Allah.’ Terjemahan istilah mentis seringkali mempunyai masalah. Secara etimologis, kata mentis
memang berarti pikiran. Tetapi bagi Bonaventura dan tradisi spiritual abad pertengahan secara umum, istilah
mentis tidak hanya terbatas pada konotasi intelektual. Istilah mentis mencakup tiga kapasitas, yaitu memori, akal
budi, dan kemauan. Tiga kapasitas ini secara bersama mebentuk jiwa manusia sebagai gambar Allah. Walaupun
tida ada satu kata pun yang bisa menampung secara tepat maksud dari istilah ini, Cousin lebih memilih istilah jiwa
ketimbang pikiran. Ewert Cousinn, op.cit., hal. 21.
9
tradisi intelektual fransikan, mengatakan, “ketika kita bertanya siapakah aku, kita sudah
mulai menjalani hidup dalam kemiskinan, karena jawaban dari pertanyaan itu menegaskan
ketergantungan kita yang radikal pada Allah. Kita bukanlah sumber dari kehidupan kita. Kita
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang kemiskinan sebagai sebuah kenyataan moral,
mari kita cermati salah satu tesis Bonaventura tentang dosa asal dan efeknya terhadap
taman eden manusia berdiri tegak dan mampu mengkontemplasikan terang kebijaksanaan
ilahi yang terpantul dari ciptaan tanpa adanya kesulitan. Walaupun tidak dapat memandang
esensi Allah secara langsung, manusia, melalui begitu banyak ciptaan di taman eden dapat
mengenali pancaran yang sejati dari Pencipta. Namun kontemplasi di taman eden menjadi
mungkin sejauh manusia tetap setia dengan kodrat asalinya. Diambil dari tanah, dibentuk
16
Ilia Delio, Franciscan Prayer, Cincinati Ohio: Anthony Messenger Press, 2004, hal. 79-80
17
Timothy J. Johnson, op.cit., hal. 9
10
dalam gambar Allah, dan dihembusi dengan rahmat ilahi, manusia dapat ‘berdiri tegak’
dihadapan Allah. ‘Berdiri tegak’ di sini megacu pada pengertian bahwa secara asali manusia
mempunyai keterarahan mendasar menuju Allah dan ia juga mempunyai panggilan yang
berkelanjutan untuk menyesuaikan diri dengan Allah. Manusia dapat ‘berdiri tegak’ kalau ia
setia mengorientasikan dirinya kepada Allah dan menjawab panggilan untuk selalu
Supaya bisa ‘berdiri tegak’ dihadapan Allah, sejak semula manusia sudah dilengkapi
dengan rahmat. Bonaventura mangklasifikasi rahmat ini menjadi dua. Rahmat pertama
disebut rahmat persiapan atau pembantu. Rahmat ini menerangi akal budi sehingga dapat
menyingkapkan kebenaran abadi yang sudah tertulis dalam kodrat manusia dan dunia
sekitar. Rahmat kedua disebut rahmat pengudusan. Rahmat ini memampukan manusia
untuk mencintai Penciptanya dan mencintai satu sama lain sesuai dengan kemauan ilahi.
mendasar menuju Allah, ia juga membawa dalam dirinya kemungkinan akan dosa. Menurut
Bonaventura, kemungkinan akan dosa ini terpatri di kedalaman kodrat manusia karena ia
diciptakan dari ketiadaan. Diciptakan dari ketiadaan, manusia memikul dalam struktur
ketiadaan ini merupakan karakteristik dari kejahatan dan termanifestasikan dalam dosa. Di
taman eden kemungkinan akan dosa yang terpatri dalam kodrat manusia menjadi sebuah
18
Ibid., hal. 15
19
Ibid., hal. 13-14
11
kenyataan. Dalam diri Adam dan Hawa manusia memilih dosa dengan memalingkan diri dari
Pencipta menuju kepada ketiadaan atau kehampaan hal-hal yang dapat binasa. 20
Kedatangan dosa menyebabkan manusia miskin dalam bentuk yang baru. Berpaling dari
Allah, pribadi manusia menjadi miskin karena kesalahannya sendiri. Kemiskinan dalam
dimensi ini bisa disebut dengan istilah kemiskinan karena dosa atau kemiskinan moral.
Dikaitkan dengan kemiskinan ontologis, kemiskinan moral merupakan akibat dari penolakan
Dosa mengakibatkan kehilangan rahmat yang menguduskan dan karena itu manusia
kehilangan daya untuk berdiri tegak di hadapan Allah. Tetapi walaupun demikian manusia
tidak pernah kehilangan kebenaran atau kesejatian dirinya sebagai gambar Allah yang
diperolehnya di taman eden. Bahkan dosa tidak dapat menghapus gambar Allah dalam jiwa
manusia. Walaupun ia tidak lagi berdiri tegak, manusia masih dapat merefleksikan gambar
berdiri tegak. Ia mempunyai kerinduan akan kebenaran yang ditemukan dalam penggunaan
kapasitas-kapasitasnya secara tepat. Tetapi ia tidak berdaya untuk melakukan hal itu karena
ia telah kehilangan bantuan rahmat pengudusan yang bisa mengarahkan dia kepada Allah
dan membentuk dia dalam keserupaan ilahi. Tanpa bantuan rahmat, gambar ilahi yang
(pengemis), sebuah kenyataan yang tentu saja menyedihkan dari ciptaan yang secara asali
20
Ibid., hal. 16
21
Ibid
22
Ibid., hal.18
12
berdiri tegak di taman eden. Manusia tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan sang
model terutama dalam hal penggunaan kapasitas memori, akal budi, dan kemauan secara
benar. Dari ketiga kapasitas ini, kebodohan akal budi dan nafsu dari kemauan merupakah
dua ekspresi utama dari kemiskinan moral. Ketimbang memandang Allah sebagai sumber
kebenaran, akal budi, terdorong oleh rasa keingintahuannya, mencari kebenaran di tempat
mengalami kebutaan spiritual. Karena pandangannya yang gelap, manusia tidak lagi
mengenal kehadiran ilahi dalam ciptaan. Dalam karnya yang berjudul Collations on the Six
Days, Bonaventura melukiskan ketidakmampuan untuk mengenal kehadiran ilahi ini sebagai
dirinya sedang berada di depan sebuah teks yang ditulis dalam bahasa asing; ciptaan
muncul hanya sebagai objek; objek tanpa signifikansi simbolik atau acuan transenden pada
pengarang ilahi.23
Seperti akal budi, kemauan juga mengalami kerusakan akibat dosa. Ia tidak lagi
berusaha menyesuaikan diri dengan Yang Tertinggi melalui cinta. Dipengaruhi oleh nafsu,
kemauan berbalik dari hal-hal ilahi kepada hal-hal temporal yang pada hakekatnya tidak
membawa kepuasan abadi. Dengan cemas manusia mencari hal yang abadi pada ciptaan
untuk mengganti sesuatu yang abadi yang sudah hilang. Tetapi hasrat manusia gagal karena
tidak ada suatu ciptaan pun yang dapat mengkonpensasi yang abadi yang sudah hilang itu.
Karena itu, manusia selalu ingin merengkuh, mencari dan tidak pernah berhenti. 24
23
Ibid., hal. 21
24
Menurut Bonaventura, ada tiga area dimana nafsu mencari keutamaan kekal dan ada tiga bentuk kesakitan
sebagai akibat dari pencarian itu. Area pertama sebagai tempat dimana nafsu itu mucul adalah keinginan akan
kenikmatan-kenikmatan daging yang mengakibatkan kebinasaan tubuh. Area kedua adalah pencarian kekayaan
13
1.3. Kesimpulan
Bonaventura menyajikan uraian yang sistematis dan komprehensif tentang motivasi dari
semagat kemiskinan. Dari uraiannya kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan
merupakan suatu bentuk ketergantungan yang total dan radikal pada Allah. Ketergantungan
yang total dan radikal pada Allah itu dilandaskan pada dua kenyataan. Pertama, kenyataan
bahwa manusia diciptakan dari ketiadaan oleh sang pencipta. Kenyataan ini menunjukkan
Pencipta ini menjadi struktur dasar bagi keberadaan seorang manusia. Karena itu, manusia
sebenarnya tercipta sebagai si miskin. Kemiskinan bukanlah faktor tambahan yang datang
dari luar, tetapi merupakan elemen fundamental yang sudah menjadi bagian inheren dari
keberadaan manusia itu sendiri. Kemiskinan dalam hal ini menjadi keharusan eksistensial
yang perlu diusahakan oleh setiap pribadi dalam rangka mengembangkan jati diri sebagai
manusia.
Kedua, kenyataan bahwa manusia jatuh dalam dosa. Kejatuhan dalam dosa merupakan
suatu kenyataan pahit dan tragis yang dialami oleh manusia. Sebelum jatuh dalam dosa,
manusia, dengan tiga kapasitas yang melekat pada jiwanya (memori, akal budi, dan
kemauan) mampu untuk ‘berdiri tegak’ di hadapan Allah. Artinya manusia mempunyai
keterarahan atau orientasi yang tetap pada Allah. Dosa kemudian membuat kapasitas-
kapasitas alamiah ini tak berdaya. Dosa menyebabkan manusia berpaling dari Pencipta
menuju kepada kehampaan hal-hal yang dapat binasa. Karena dosa, misalnya, akal budi
tidak lagi mampu melihat Allah sebagai sumber kebenaran dan malah mencari kebenaran
yang menyebabkan ketamakan. Area ketiga adalah kerinduan akan kehormatan yang menyebabkan ambisi. Ibid.,
hal. 20
14
pada pada hal-hal yang sifatnya terbatas dan sementara. Kejatuhannya pada dosa
yang dimilikinya telah dirusak oleh dosa kesombongannya sendiri. Untuk merestorasi
dirinya atau menegakkan dirinya dari kejatuhan, manusia -tidak bisa tidak- membutuhkan
daya ilahi. Karena itu, manusia bergantung sepenuhnya pada rahmat Allah. Tanpa rahmat
Allah mustahil untuk membayangkan adanya pembaruan dan keselamatan dalam diri
manusia. Demi keselamatan dirinya manusia harus menjadi pengemis di meja Tuhan. Ia
Kejatuhan manusia dalam dosa telah membawa efek yang sangat serius bagi hidup
manusia baik secara personal maupun universal. Menurut Bonaventura, seperti yang
dilukiskan oleh Dawn M. Nothwehr, OSF, pada level personal dosa telah mendistorsi
gambar Allah. Pribadi manusia menjadi tidak fokus, terpecah, dan tidak tertata. Dosa
membuat manusia bertindak dengan kesadaran yang palsu. Manusia lebih memilih
15
bergantung kepada diri mereka sendiri dan kepada pengetahuan, kekuatan, prestise yang
mereka miliki ketimbang percaya kepada rahmat dan cinta Allah yang tak terbatas. Pada
keretakan hubungan antara manusia dengan sesamanya, dengan dunia ciptaan, dan dengan
Allah.25
Tetapi dosa tentu saja bukan merupakan akhir dari cerita hidup manusia. Allah begitu
mencintai manusia sehingga melalui Putra-Nya Yesus Kristus, Allah masuk dalam sejarah
umat manusia, menjumpai manusia di tempat dan situasi dimana mereka merada: terbatas,
rapuh, miskin, penuh dengan dosa dan derita. Dalam peristiwa Yesus Kristus Allah memilih
untuk terlahir secara miskin, hidup sebagai orang miskin, dan mati secara hina dina di kayu
salib. Melalui Yesus yang miskin Allah menyediakan jalan bagi manusia untuk kembali
kepada-Nya dan menjadi manusia seutuhnya. Karena itu, meniru Kristus merupakan
Bab ini secara berturut-turut berbicara tentang (1) Kristus sebagai Model sempurna
untuk sampai kepada Allah; (2) Kemiskinan sebagai keutamaan yang wajib ada dalam usaha
Mengacu pada tulisan Bonaventura yang terdapat dalam beberapa buku seperti
Hayes menemukan kesadaran yang mendalam dari Bonaventura akan peran kemanusiaan
25
Dawn M. Nothwehr, OSF, op.cit., hal.39-40
16
Kristus sebagai model bagi semua ciptaan. Dalam Questions on Gospel Perfection, misalnya,
Peran Kristus sebagai model diklasifikasi oleh Bonaventura menjadi dua, yaitu model
abadi dan model temporal. “Karena Kristus adalah Sabda yang tak diciptakan dan sekaligus
terinkarnasi, di dalam Dia ditemukan dua rangkap model. Yang satu adalah abadi dan yang
Kristus sebagai Sabda yang tak diciptakan adalah model abadi. Melalui Dia segala
sesuatu diciptakan dan melalui Dia juga mereka dipanggil untuk kembali kepada Allah.
Kristus sebagai Sabda yang terinkarnasi adalah model temporal, cermin semua rahmat,
Sabda yang terinkarnasi (kemanusiaan Kristus) berada dalam relasi dialektis dengan
Sabda abadi. Relasi keduanya dijelaskan Bonaventura dengan analogi tentang pengetahuan
manusia. Sebagai manusia, kita mengetahui sesuatu dalam diri kita. Pengetahuan ini
merupakan kata yang tersembunyi di dalam diri kita. Kita mengekspresikan pengetahuan
kita secara eksternal dalam kata-kata yang terucap. Kata-kata itu, dengan demikian
merupakan ekspresi yang terucap dari kata yang tersembunyi. Demikian halnya, Sabda
Sedemikian intim dan sempurnanya kesatuan antara dua Sabda ini dalam diri Kristus
sehingga Bonaventura menyebut Kristus sebagai model yang tunggal dan tak terbagikan,
26
Zachary Hayes, OFM, The Hidden Center, New York: Franciscan Institute, 2000, hal. 130
27
Ibid., hal. 131
28
Ibid., hal. 132
17
memiliki sisi abadi dan temporal. Yang abadi bersinar melalui yang temporal dan melalui
yang temporal yang abadi menjadi transparan bagi mereka yang mendekati yang temporal
dengan iman.
Karena dalam diri Kristus kodrat kemanusiaan dipenetrasi oleh yang ilahi, sementara
kodrat kemanusiaan menjadi sebuah tanda kelihatan dari yang ilahi, maka dalam Kristus
fundamental dari kemanusiaan-Nya, maka kualitas-kualitas ini menjadi kunci untuk meniru
Kristus. Tujan akhir dari meniru Kristus adalah agar pribadi manusia bisa masuk dalam
gerakan kehidupan Allah tritunggal. Manusia bisa mengambil bagian dalam kehidupan Allah
Ada dua kulalitas dari hidup Kristus yang selalu mendapat tekanan lebih dalam tulisan
Bonaventura. Dua kualitas itu adalah kemiskinan dan kerendahan hati. Kemiskinan dan
mondial Yesus. Keduanya mengekspresikan kodrat Allah yang tersembunyi dari hidup
Yesus.30 Tentang hubungan antara kedua kualitas ini, Bonaventura kiranya dipengaruhi oleh
gurunya Fransiskus dari Assisi yang menyebut kemiskinan sebagai saudari dari kerendahan
hati.31 Keduanya menjadi fundasi yang tak terpisahkan dalam mengikuti Kristus. Dalam
kesatuan kedua kualitas ini, kerendahan hati dilihat sebagai penerimaan tulus terhadap
29
Ibid., hal. 133
30
Ilia Delio, the Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of th Crucified Christ, op.cit., hal. 91
31
Bdk. Salam Keutamaan-Keutamaan 2
18
situasi kemiskinan yang melekat pada manusia. Sebagai kenyataan ontologis, kemisknan itu
mesti diterima dengan rasa syukur. Sebagai kenyataan yang diakibatkan dosa, kemiskinan
mesti diterima sebagai kenyataan dengan rasa sedih.32 Karena itu, menyebut kemiskinan
selalu mengandaikan kerendahan hati. Begitu juga sebaliknya. Di bawah ini akan dielaborasi
secara lebih jauh tetang kemiskinan sebagai fundasi untuk mengikuti Kristus.
corak khas kedatangan Kristus ke dunia menyingkapkan secara konkrit Allah yang
mengosongkan diri-Nya dan memanggil kita untuk mengikuti Dia. 33 Kedatangan Kristus ke
dunia (inkarnasi) menyingkapkan gerakan cinta Allah. Cinta itu bukan saja merupakan
sebuah gerakan turun, tetapi sebuah gerakan peleburan atau penyatuan. Allah mengambil
bagian dalam realitas manusia secara serius dan karena itu Ia menyatukan dengan diri-Nya
sendiri realitas manusia yang penuh dengan penderitaan dan kesedihan. Yang kaya menjadi
miskin untuk kepentingan kita. Dalam tindakan peleburan atau penyatuan inilah martabat
Jadi, dalam misteri Allah sendiri, khususnya dalam misteri sang Putra, kita dapat
kemiskinan dan dengan menjadi figur telanjang di salib Dia mengundang kita untuk
mengikuti Dia dalam ‘ketelanjangan hati’ kita.35 Kristus yang tersalib, menurut Bonaventura,
32
Zachary Hayes, OFM, op.cit., hal. 141
33
Ilia Delio, Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of Crucified Christ, op.cit., hal. 91
34
Zachary Hayes, OFM, op.cit., hal. 136
35
Ibid., hal. 142
19
adalah model yang sempurna bagi kemiskinan. Misteri salib merupakan misteri kemiskinan,
karena dalam peristiwa ini Allah tidak mempertahankan untuk diri-Nya sendiri, tetapi secara
penuh mengkomunikasikan misteri cinta-Nya dalam keterbukaan yang radikal dan dengan
merangkul kemanusiaan.36
Tidak ada yang bisa menemukan Allah kecuali melalui kemiskinan salib. Ketika kita
menjumpai Yesus di salib, kita menemukan Allah dengan cinta-Nya yang tak terbatas; Allah
yang ingin membagikan cinta-Nya dengan diri kita yang tercipta dan terbatas. Salib menjadi
simbol kedekatan dan kesetiaan Allah kepada kita. Allah memberi seluruh diri-Nya kepada
kita dalam misteri Kristus yang tersalib. 37 Itulah alasannya mengapa dalam buku ‘Perjalanan
perjalanannya menuju Alah hanya melalui Kristus yang tersalib. Kemiskinan salib
merupakan jalan untuk kembali pada ketidakbercelaan asali karena kemiskinan merupakan
pemenuhan dari hukum yang baru. Hukum itu tidak menjanjikan hal-hal temporal tetapi
cinta. Kemiskinan Allah dalam diri Yesus yang tersalib merupakan luapan dari cinta Allah;
ekspresi dari bahasa cinta. Cinta itu telah menjadikan salib sebagai ekspresi yang sempurna
2.3. Kesimpulan
Uraian Bonaventura membantu kita untuk melihat bahwa Yesus Kristus adalah model
sempurna yang menyediakan jalan bagi setiap manusia untuk kembali kepada Allah. Dalam
36
Ilia Delio, The Prayer, op.cit., hal.81
37
Ibid., 82
38
Ibid., hal. 81
20
diri Yesus Kristus, Allah menjadi manusia dan dengan demikian Ia menyatukan dalam diri-
Nya dua sisi sekaligus yaitu sisi abadi dan temporal. Kehadiran Yesus secara temporal di
dunia ini telah menyingkapkan yang abadi, membuat yang abadi itu dapat dilihat secara
kasat mata dan dialami secara langsung sebagai pengalaman riil oleh manusia. Dengan
mengalami Peristiwa Yesus Kristus, manusia diharapkan untuk meniru Dia. Meniru Kristus
Dari sekian kualitas yang ditunjukan Yesus, Bonaventura memberi penekanan yang
sebagai Allah yang mengosongkan diri dan meleburkan diri-Nya dengan realita manusia
yang penuh dengan penderitaan. Itulah bentuk manifestasi kemiskinan Allah. Kemiskinan
Allah itu secara sempurna diungkapkan melalui peristiwa salib. Melalui salib Allah memberi
diri secara total dan penuh untuk ‘menegakkan’ kembali jati diri manusia yang sudah jatuh.
Salib adalah simbol cinta Allah yang meluap dan tak terbatas pada manusia. Memandang
salib, dengan demikian berarti memandang Dia yang menjadikan diri-Nya miskin untuk
membuat manusia kaya. Karena kemiskinan adalah jalan yang dipilih dan ditempuh Allah
untuk menunjukkan solidaritas-Nya pada manusia, maka jalan itu juga yang patut menjadi
jalan yang dipilih dan dilalui manusia dalam menempuh perjalanan menuju Allah.
21
III. Secara Miskin Mengikuti Yesus yang Miskin ( Fransiskus sebagai teladan dalam
Meniru Kristus)
Salah satu tokoh yang menjadi teladan sempurna dalam mengikuti kemiskinan Yesus
dalam mengikuti Kristus telah menjadi kesaksian yang nyata bagi kalangan publik.
Dalam merefleksikan peristwa Kristus, Fransiskus memiliki kekaguman yang luar biasa
pada peristiwa Allah menjadi manusia (inkarnasi) dan karena itu ia menjadikan peristiwa ini
sebagi model bagi hidupnya. Peristiwa inkarnasi direfleksikan oleh Fransiskus sebagai
tonggak kemiskinan dan perendahan diri Allah. Dalam diri Yesus Kristus, ia menemukan
sosok Allah seperti yang digambarkan oleh Santo Paulus, yaitu Allah yang mengosongkan
diri-Nya dan tidak menganggap ke-Allahan-Nya sebagai milik yang harus dipertahankan
(Fil.2:6). Gerakan pengosongan diri Allah dalam peristiwa inkarnasi menjadi inspirasi bagi
kesempurnaan, akan berbicara tentang Fransiskus sebagai pribadi yang telah menghadirkan
Kristus melalui kata-kata dan tindakannya. Bagian kedua, di bawah judul vivere sine
proprio, akan menguraikan pandangan dan sikap Fransiskus yang menganggap segala
sesuatu yang ada pada manusia berasal dari Allah dan digunakan untuk kemuliaan Allah dan
keselamatan umat manusia. Bagian ketiga, di bawah judul option with the poor, berbicara
tentang Fransiskus yang tidak hanya memilih untuk berpihak pada orang miskin, tetapi juga
Salah satu gaya berpikir (teologi) yang sangat popular pada abad pertengahan adalah
gaya berpikir yang disebut dengan ‘teologi cermin’. Dalam bukunya yang berjudul Finding
Perfect Joy with Saint Francis of Assisi, Kerry Walters mengemukakan beberapa argumen
utama dari teologi cermin.39 Menurutnya, cara berpikir yang semula dipopulerkan oleh
Agustinus ini mempunyai argumen bahwa walaupun selama hidup ini kita tidak pernah
bertatap muka secara langsung dengan Allah, kita masih dapat melihat pancara-pancaran
kesempurnaan ilahi di dunia ini jika kita tahu bagaimana menemukan pancaran-pancaran
itu. Ciptaan, dengan kata lain, merupakan cermin dari Pencipta, sebagaimana halnya sebuah
karya seni menjadi tanda unik dari sang artis. Karya tangan Allah dapat diasumsikan dari
hukum-hukum alam yang tertata, keindahan Allah dapat diasumsikan dari keagungan
ciptaan, dan kebaikan Allah dapat diasumsikan dari tindakan cinta kasih sang manusia.
39
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal 13-16.
23
Selain itu, teologi cermin juga melandaskan ajarannya pada iman orang Kristiani akan
penjelmaan diri Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Demi menunjukkan cinta-
Nya, Yesus Kristus menderita dan mati secara kejam dan mengerikan. Karena itu, salah satu
klaim utama dari teologi cermin adalah bahwa Allah juga dapat dikenal melalui wajah-wajah
manusia yang menderita. Pengemis di jalan, orang kusta di rumah sakit, pasien yang
sekarat, anak yang menjadi korban pelecehan bisa menjadi gambar dari Kristus yang
menderita. Masing-masing mereka adalah cermin dari Allah yang menjelma menjadi
manusia.
Walter juga menguraikan bahwa teologi cermin memandang para pria dan wanita kudus
sebagai cermin yang berkilau dan bercahaya dalam memancarkan kemulian Allah. Hidup
mereka, karena sudah disesuaikan dengan hidup Kristus, menjadi tanda yang menghadirkan
wajah Kristus bagi mereka yang mengamati tindakan mereka atau membaca perjalanan
mereka. Melalui mereka Allah hadir secara lebih dekat dengan kita.
Fransiskus adalah salah satu dari orang-orang suci itu. Bahkan selama masa hidupya,
yang ditulis Thomas dari Celano, Walter menemukan alasan mengapa dia digelar speculum
prefectionis. Thomas melukiskan bahwa Fransiskus secara terus menerus mambawa Yesus
merenungkan Kristus yang bersinar melalui dia. Itulah alasan utama mengapa ada begitu
40
Bdk. Thomas of Celano, The Life of Saint Francis II, 115
24
banyak orang berbondong-bondong datang kepada Fransiskus, si miskin dari Assisi. Mereka
Fransiskus, sang cermin, tidak hanya menjadi inspirasi bagi orang-orang sezamannya. Ia
adalah inspirasi bagi setiap orang di semua zaman. Menurut Walters, setidaknya dalam tiga
hal Fransiskus bisa menjadi cermin kesempurnaan bagi umat manusia. Pertama, hidupnya
mencerminkan kepada kita kerinduan hati manusia akan Allah. Kehidupan Fransiskus dapat
dilihat sebagai arketipe dari peziarahan spiritual jiwa manusia. Perjalanan itu diawali dengan
kebingungan dan sikap yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat. Perjalanan itu kemudian
bergerak maju menuju kepada kepastian dan kesadaran untuk menjadikan Allah sebagai
pusat.
Kedua, Fransiskus adalah cermin yang merefleksikan apa artinya menjadi manusia yang
penuh atau matang. Rahmat terbesar yang kita terima adalah potensi spiritual untuk
bertumbuh menjadi serupa dengan Allah. Sebagai pribadi, kita bisa saja menolak potensi ini
dan menenggelamkan diri kita pada keterasingan yang menyedihkan. Atau kita dapat
mengarahkan diri kita kepada tujuan sebagaimana yang dimaksudkan ketika kita diciptakan
dan berjuang untuk menghidupinya. Fransiskus memilih alternatif kedua. Ketika bercermin
padanya, kita menemukan refleksi tentang siapa diri kita saat ini dan hendak menjadi apa
kita kelak.
kebahagiaan yang sempurna. Kebahagiaan yang sempurna adalah keadaan dimana seorang
individu menjadi dirinya sendiri justru ketika ia menyesuaikan dirinya dengan Allah yang
hidup. Dengan kata lain, kebahagiaan yang sempurna dicapai ketika kemauan dan tindakan
25
kita sehaluan dengan kemauan dan tindakan Allah. Dalam keadaan seperti itu, layaknya
bentuk hidup yang sangat khas. Salah satu bentuk hidupnya yang khas adalah ‘hidup tanpa
milik’ (vivere sine proprio). Dalam petuah-petuahnya, frase ‘hidup tanpa milik’ sering kali
muncul. Ini membuktikan bahwa gagasan hidup tanpa milik menjadi gagasan spiritual yang
Apa yang dimaksudkannya dengan hidup tanpa milik? Untuk menguraikan secara detail
gagasan spiritual Santo Fransiskus tetang hidup tanpa milik, penulis banyak mengacu pada
Menurut Short, hidup tanpa milik pada dasarnya merupakan hidup sebagai seorang
murid; hidup yang didasarkan atas ajaran Sabda Bahagia. Mereka yang menjalani hidup
tanpa milik hidup dalam roh dan kerajaan surga menjadi milik mereka (Mat.5:3). Mereka
hidup menurut Roh. Lawan dari cara hidup ini adalah cara hidup yang mengklaim hal-hal
yang ada sebagai milik sendiri. Mereka yang memilih cara hidup ini hidup berdasarkan
daging.41
Mengamati petuah-petuah Santo Fransiskus, Short menemukan bahwa sikap tanpa milik
yang sangat radikal ini menyentuh setiap aspek hidup manusia. Gagasan ini bisa berkaitan
41
William J Short, OFM, Poverty and Joy, London: Darton, Longman and Todd Ltd, 1999, hal. 59.
26
dengan kemauan manusia. Gagasan ini juga bisa menyentuh pekerjaan-pekerjaan baik yang
kita lakukan. Ia, misalnya, menyebutkan bahwa jika kita berusaha mengklaim kemauan
sebagai milik kita, kita mengulangi dosa orang tua pertama kita. Ia juga menegaskan, tidak
ada salah seorang saudara pun yang menjadikan jabatan sebagai haknya. Mereka yang
kekayaan.42
menolak untuk mengklaim sesuatu sebagai miliknya. Alalasannya adalah hanya Allah sendiri
yang mampu berbicara dan melakukan segala sesuatu yang baik. Semua yang baik adalah
milik Yang Maha Tinggi dan karena itu, mengklaim sesuatu sebagai milik merupakan
tindakan yang terkutuk. Kita mengklaim apa yang menjadi kepunyaan Allah. Dengan kata
lain, bagi Fransiskus, segala sesuatu adalah pemberian. Menganggap segala sesuatu yang
contoh yand diberikan oleh Allah sendiri seperti yang terlihat dalam peristiwa Yesus. Dalam
Yesus Kristus, Allah tidak mempertahankan status dan kekuasaan. Ia memilih turun dan
tinggal di antara manusia dalam rupa yang sangat sederhana (Fil.2:5-11; 2 Kor. 8:9).
Kemiskinan yang dihayati Fransiskus merupakan suatu jawaban terhadap Yesus Kristus
yang tidak menganggap status ilahi-Nya sebagai milik yang harus dipertahankan, tetapi
meninggalkan status itu supaya bisa tinggal di antara manusia sebagai pelayan. Yesus yang
lahir dalam status yang rendah ini hidup sebagai orang miskin, dan mati di salib. Karena Ia
42
Bdk. Petuah Santo Fransiskus bab 7
27
adalah jalan, kebenaran, dan kehidupan (Yoh.14:6), maka, menurut Fransiskus, jalan kepada
Tanpa pemahaman kristologis seperti ini, menurut Short, kemiskinan lantas menjadi
sebuah praktek penitensial, sekedar instrumen bagi hidup asketis dan pembaruan pribadi
secara moral. Tanpa pemahaman kristologis seperti ini, kemiskinan hanya direduksi dalam
pengertian memiliki dalam jumlah kurang. Dengan mengacu pada Yesus yang walaupun
kaya telah menjadikan diri-Nya miskin bagi kepentingan umat manusia, kita dapat memiliki
miskin. Model bagi semangat ini adalah pemberian diri Allah secara sukarela seperti yang
Secara konkret kemiskinan dijalankan oleh Fransiskus dan para saudara pertama dengan
menjadi pengemis. Mengikuti Kristus yang miskin dan tidak mempunyai batu untuk
meletakkan kepala, Fransiskus dan para saudara pertama menghayati hidup sebagai
“peziarah dan orang asing”. Bersama dengan Kristus mereka hidup seperti umat Israel
selama masa eksodus. Seperti umat Israel mereka merayakan hidup mereka dalam
semangat paskah. Mereka menganggap hidup mereka sebagai perjalanan dari dunia ini
menuju kediaman Allah. Bagi mereka, kemiskinan merupakan jalan yang memimpin mereka
43
Ibid., hal. 61
44
Ibid., hal. 62.
28
kepada tanah terjanji. Itulah sebabnya mereka menghidupi cara hidup ini dengan penuh
yang ia bangun disebut dengan Ordo Saudara-Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum). 46 Ia
menjadi besar. Pangilan mereka mengajarkan mereka untuk tetap berada pada posisi yang
Eloi Leclerc, OFM, dalam bukunya Francis of Assisi: Return to the Gospel menjelaskan
signifikansi dari sebutan ini bagi Fransiskus dan para saudaranya. Walaupun diinspirasi oleh
kitab suci, sebutan dina (minores) pada zaman itu mengacu pada kategori sosial. Sebutan
minores merupakan lawan dari sebutan majores. Majores adalah sebutan yang digunakan
untuk para borjuis kaya raya yang memiliki kekuasaan baik ekonomi maupun politik.
Sedangkan minores adalah sebutan yang dipakai untuk memanggil para bawahan di
tempat-tempat kerja para majores dan orang-orang dari pedesaan. Juga termasuk dalam
kelompok minores adalah mereka yang tidak menduduki posisi-posisi tinggi dan mereka
Makna sosial dari sebutan minores tidak membuat Fransikus gentar. Sebaliknya dengan
47
Ibid., hal. 64
29
yang ia anjurkan untuk dihidupi bukanlah sekedar sikap batiniah. Sikap ini juga mempunyai
dimensi sosial. Para saudara tidak diizinkan untuk menerapkan pelbagai bentuk kekuasaan
Gambaran tentang cara hidup para saudara perdana ini dapat kita temukan secara jelas
dalam buku yang ditulis oleh Thomas dari Celano. Celano melukiskan bahwa para saudara
yang rendah, dan melakukan pekerjaan yang kelihatannya sangat berat (I Celano, 38). Jika
pekerjaan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka, mereka pergi
meminta-minta seperti para pengemis. Menurut Eloi, deskripsi ini cukup untuk menegaskan
bahwa para saudara perdana, melalui pekerjaan mereka, tempat mereka hidup, dan pakain
yang mereka pakai menjadi bagian dari kelompok kelas bawah; kelompok orang-orang yang
tidak mempunyai peran, otoritas, dan yang sering dianggap rendah dan yang hidupnya
penuh resiko.49
Kendati secara sosial mereka menjadi bagian dari kelompok kelas bawah, mereka
menjalani hidup mereka dengan bahagia karena mereka menyadari bahwa lingkungan dari
mereka yang miskin dan terbuang ini merupakan tanah yang istimewa untuk menaburkan
benih Kerajaan Allah. Orang miskin menikmati harapan yang dijanjikan kepada dunia.
Mereka secara spontan terbuka pada harapan dan pembebasan ini. Mereka tidak bermimpi
untuk menerapkan kekuasaan tetapi menatap ke depan kepada masyarakat yang lebih
48
Dalam Anggaran Dasar 1221, Fransiskus meminta para saudara yang pergi bekerja di dunia untuk tidak menerima
pekerjaan yang memberi kesempatan untuk berkuasa atas orang-orang lain. Hal ini dimaksud untuk menghindari
adanya kesamaan dengan kelompok yang berkuasa dan berpengaruh. Anggaran Dasar Tanpa Bula 7. Ibid.,
49
Ibid., hal. 65
30
bebas, lebih bersaudara dimana tidak ada lagi penguasa atau yang dikuasai. Dalam arti ini
3.3.2. Bela Rasa dengan Orang Miskin (Perjumpaan Fransiskus dengan Orang Kusta)
Bagi Santo Fransiskus, kemiskinan Injili bukan hanya menjadi tindakan asketis.
mereka yang paling miskin dan rendah. Kemiskinan adalah jalan untuk mengalami
persahabatan dengan mereka yang terluka, yang simbolnya ditemukan oleh Fransiskus
dan sejati dalam diri Fransiskus. Pengalaman perjumpaan ini menjadi salah satu
pengalaman sentral dan menentukan dalam hidup pertobatan santo Franiskus. 51 Dalam
merasakan kegembiraan yang luar biasa dan tak terlukiskan. “Apa yang sebelumnya terasa
pahit berubah menjadi kemanisan jiwa. 52 Dalam Anggara Dasar tahun 1221 ia juga
secara sosial terbuang, di antara orang-orang miskin dan tak berdaya, orang sakit dan kusta,
50
Ibid.,
51
Menarik untuk dikaji bahwa dalam banyak tulisannya, Fransiskus tidak berbicara tentang suara dari salib San
Damiano yang memanggi dia untuk memperbaiki gereja. Ia juga tidak pernah mengacu pada stigmata di tubuhnya,
yang oleh orang lain diasosiasikan sebagai cintanya yang mendalam terhadap penderitaan Kristus. Ia sebaliknya
berbicara tentang orang kusta sebagai konteks dari pertobatannya, pengalaman praktisberada dengan mereka.
William J. Short, op.cit., hal. 74-75
52
Bdk. Wasiat St. Fransiskus 3
53
Bdk. Anggaran Dasar Tanpa Bula 9
31
Merefleksikan pengalaman Fransiskus dengan orang kusta, Leonardo Boff melihat
Fransiskus sebagai model bagi pembebasan manusia. Bagi Boff, Fransiskus tidak hanya
hidup dengan orang miskin atau untuk mereka. Ia hidup sebagai orang miskin, di antara
orang-orang kusta dan mereka yang terlantar di sisih jalan pada zamannya. Kemampuannya
kelemahlembutan dan kekuatan yang keduanya bersumber pada Kristus, sang Allah yang
menderita.54
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan mendalam tentang makna dari
peristiwa perjumpaan Fransiskus dengan orang-orang kusta, ada baiknya kalau kita
mengetahui secara persis situasi yang mengenaskan yang menimpa orang-orang kusta pada
zaman Fransiskus hidup. Setelah mengetahui betapa tragisnya situasi yang menimpa orang-
orang kusta pada zaman Fransiskus, lebih jauh kita akan melihat bagaimana Fransiskus
dengan Allah, sang Cinta yang telah merendahkan diri dan menjadikan diri-Nya miskin.
Dokumen-dokumen yang dikumpulkan oleh Arnaldo Fortini, mantan mayor kota Assisi,
dapat membantu kita untuk mengetahui lebih detail tentang keadaan orang kusta pada
petugas, dengan didampingi oleh seorang imam, pergi dari rumah ke rumah untuk
memeriksa para penduduk terkait dengan tanda-tanda kusta. Jika tanda-tanda kusta
54
Refleksi ini ditulisnya dalam buku Saint Francis: a Model for Human Liberation. Ibid., hal. 79
55
Lihat Ibid.,hal. 72-73
32
ditemukan, maka pada waktu itu juga hidup mereka dianggap berakhir. Mereka harus
meninggalkan rumah, keluarga, harta milik, keamanan dan di ’karantina’ di rumah sakit
Santu Lazarus yang letaknya di luar kota, dekat kapel tua Porziuncula.
Para pria dan wanita yang terinfeksi, dari semua umur dan status sosial, berjalan dalam
lembah. Seorang imam merayakan untuk mereka semacam upacara penguburan untuk
mereka yang hidup di rumah sakit itu, mereciki mereka dengan debu yang diambil dari
tanah dekat kuburan. Ia mengumumumkan mereka ‘mati terhadap dunia’ sembari memberi
janji bahwa Allah akan berbelaskasihan kepada mereka dan cinta kasih para penduduk kota
Mereka harus memakai pakaian khusus yang dibuat dari kain yang warnanya
menyerupai debu dan memperingati orang lain akan kehadiran mereka dengan
membunyikan bel yang terbuat dari kayu seperti yang digunakan di gereja-gereja pada
perayaan jumaat agung. Mereka tidak pernah diperbolehkan menyentuh makanan yang
tidak ditempatkan dalam piring (mangkok) mereka. Mereka tidak pernah dizinkan menimba
air dari sungai, sumur atau mata air. Mereka tidak pernah diizinkan berbicara kepada orang
lain kecuali kalau mereka sendiri menempatkan diri mereka searah dengan arah angin.
Begitu besarnya ketakutan akan kejangkitan sehingga seorang kusta yang ditemukan di
dalam tembok kota setelah lonceng jam malam dibunyikan dapat dibunuh di tempat.
33
Kalau orang-orang kusta dianggap sebagai momok yang menakutkan dan memuakkan
seperti yang dilukiskan di atas, maka pertanyaan yang segera muncul adalah mengapa
Fransiskus, seperti yang ia lukiskan dalam wasiatnya, merasa gembira justru setelah ia
dirinya serupa dengan misteri yang agung, yaitu misteri putra Allah sendiri. Penyerupaan
inilah yang menjadi sumber kegembiraan bagi Fransiskus. Putra Allah yang Maha Tinggi
seorang manusia di antara manusia, miskin di antara orang miskin, dan bahkan berbelarasa
dengan mereka yang malang, orang-orang terlantar dan penjahat dengan mati di salib.
Putra Allah yang Maha Tinggi menceburkan dirinya secara mendalam dalam kemanusiaan
yang terluka.56
Fransiskus menemukan bahwa dalam Yesus, Allah meninggalkan hak milik, bahkan
status ilahi, mengandalkan sedekah dan perhatian orang lain. Dalam kelahirannya di antara
orang miskin, hidup dan perjalanannya di antara orang-orang yang tidak diperhitungkan,
dalam penderitaan dan kematian, telanjang, dan diacuhkan bahkan oleh sahabat-sahabat
dan sanak keluarganya Allah mengungkapkan dirinya sebagai sang cinta yang merendah dan
miskin. Orang-orang kusta adalah orang-orang khusus, karena mereka memikul arti dari
Allah yang adalah sang cinta yang merendah dan miskin. Bagi Fransiskus, berada di antara
56
Di sini, Allah yang menyatakan diri-Nya kepada Fransiskus tidak mempunyai kesamaan dengan gambaran Allah
yang penuh arogan dan berkuasa seperti yang digambarkan dalam perang salib. Di sini surga seperti kehilangan
semua kekuasaan, kutukan, intoleransi dan kekerasan. Tidak ada lagi orang-orang yang disisihkan atau yang
dihukum, karena Allah sendiri telah menjadi salah satu dari mereka. Ia telah menjadi saudara mereka. E loi Leclerc,
OFM, op.cit., hal. 72-73 .
34
orang-orang seperti itu berati berada dalam satu komunitas dengan Yesus. Dan inilah yang
menjadi alasan mengapa ia merasakan kegembiraan yang luar biasa setelah ia bertemu
dengan orang-orang kusta. Dalam Angaran Dasar Tanpa Bulla ia mengatakan, “para saudara
harus bersukacita apabila mereka hidup di tengah orang-orang jelata dan yang dipandang hina,
orang miskin dan lemah, orang sakit dan orang kusta serta pengemis di pinggir jalan…. (Tuhan Yesus
Kristus sendiri) menjadi miskin dan penumpang, dan hidup dari sedekah, baik Dia sendiri maupun
Di tengah penderitaan dasyat yang dialami oleh manusia, Fransiskus menemukan dan
merasakan kualitas kabar gembira yang tak terkirakan. Dia menemukannya dalam bentuk
yang sangat khusus, dalam bentuk yang paling mencengangkan dan berbau skandal. Allah
mau melibatkan diri-Nya dengan mereka yang hilang, mereka yang secara hukum bersalah,
pemungut pajak, dan pendosa. Ia bergaul dengan mereka, makan dengan mereka, dan
Penemuan yang mengagumkan akan cinta Allah kepada manusia ini menjadi pusat
pengalaman injili Fransiskus. Ini yang membuat kemiskinannya penuh arti. Fransiskus
menunjukkan bahwa berhadapan pernyataan agape dari Allah, tidak cukup bagi seseorang
untuk meninggalkan barang-barang material. Lebih dari itu, seseorang harus bisa
menanggalkan diri dari segala macam klaim dan berusaha untuk memahami kehampaan
asali dari setiap insan. Dalam suratnya kepada Seluruh Ordo, Fransiskus mengatakan,
57
Bdk. Angaran Dasar Tanpa Bula 9:3-6.
58
Eloi Leclerc, OFM, op.cit., hal.73.
35
“janganlah menahan sesuatu pun yang ada padamu bagi dirimu sendiri, agar kamu seutuh-utuhnya
Pengalaman dasariah akan kemiskinan ini dihidupi secara mendalam oleh si miskin dari
Assisi, dan ia tidak pernah berhenti menganjurkannya kepada para saudara. “Hendaklah kita
insafi sungguh-sungguh, bahwa tidak ada yang kita miliki selain cacat-cela dan dosa.” 60 Lebih
lanjut ia mengatakan, “marilah kita mengembalikan semuanya yang baik kepada Tuhan
Allah Yang Mahatinggi dan Mahaluhur dan mengakui bahwa semua yang baik adalah milik-
Nya. Marilah kita mengucap syukur kepada-Nya atas segala-galanya karena dari Dialah
berasal semua yang baik. Dia, Yang Mahatinggi dan Mahaluhur, satu-satunya Allah yang
benar, semoga Dia memiliki, dan hendaknya kepada-Nya dikembalikan, dan semoga la
sendiri menerima segala hormat dan bakti, segala pujaan dan pujian, segala syukur dan
kemuliaan; milik Dialah segalanya yang baik, Dia satu-satunya yang baik. 61
3.4. Kesimpulan
Fransiskus telah menjadi cermin kesempurnaan baik bagi orang-orang yang hidup
sezaman dengannya maupun bagi kita yang sedang berjuang di zaman sekarang. Melalui
hidupnya ia telah menghadirkan kristus dan membawa-Nya dekat dengan orang banyak.
Hidupnya telah menyingkapkan kerinduan hati setiap manusia untuk bertemu dengan Allah.
Hidupnya juga telah menyediakan jalan untuk mencapai kepenuhan dan kebahagian sejati.
59
Surat Kepada Seluruh Ordo, 29
60
Anggaran Dasar Tanpa Bula, 17:5-8
61
Bdk. Anggaran Dasar Tanpa Bula, 17:17-19
36
Kemiskinan adalah kunci untuk menjelaskan hidup Fransiskus dan kemiskinan inilah
yang telah mejadikan ia sebagai cermin kesempurnaan. Prinsip yang dianut Fransiskus
dalam menghayati kemiskinan adalah vivere sine proprio (hidup tanpa milik). Fransiskus
menolak untuk mengklaim sesuatu sebagai miliknya karena segala sesuatu berasal dari
Allah dan menjadi milik Allah. Mengklaim sesuatu sebagai milik adalah penghinaan
terhadap Allah. Penyangkalan terhadap kepemilikan ditimba Fransiskus dari Allah sendiri.
Allah tidak menganggap status keilahaian-Nya sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Ia
meninggalkan status itu untuk melebur dan menjadi bagian dari realitas manusia yang
Untuk mengikuti Allah yang meninggalkan diri-Nya itu, Fransiskus menjalankan hidup-
Nya dalam kedinaan. Ia dan para pengikutnya menjadi pengemis dan menggolongkan diri
mereka sebagai para bawahan yang tidak mempunyai previlese dan yang hidupnya kadang
terancam karena tidak mempunyai jaminan keamanan. Bagi mereka, kedinaan adalah
Mengikuti Allah yang meninggalkan diri-Nya dan masuk dalam sejarah manusia yang
penuh dengan dosa, kekerasan dan penderitaan, Fransiskus juga telah menghayati
kemiskinannya sebagai jalan untuk mengambil bagian dalam hidup mereka yang menderita,
yang simbolnya ia temukan dalam diri orang-orang kusta. Allah yang dialami oleh Fransiskus
bukanlah Alah yang pasif dan kehilangan empati terhadap penderitaan manusia. Allah yang
diimani oleh Fransiskus adalah Allah yang mengambil inisiatif untuk aktif dan terlibat dalam
solidaritas Allah itu, Fransikus menghayati kemiskinannya sebagai suatu dialog yang penuh
37
cinta dengan mereka yang miskin dan menderita. Pertemuan dan persahabatan dengan
mereka yang miskin dan menderita dialami Fransiskus sebagai pertemuan dan
38
Pertumbuhan dan perkembangan setiap individu terarah pada satu target, yaitu
kepenuhan atau kematangan. Dalam situasi dimana seorang individu mengalami kepenuhan
ia menemukan jati dirinya yang sesungguhnya sebagai manusia dan karena itu pula ia
mengalami apa yang disebut dengan kebahagiaan sejati. Seorang individu bahkan baru
dikatakan sukses sebagai manusia kalau ia mencapai tingkat kepenuhan dalam hidupnya.
Namun pertanyaannya adalah faktor apa yang menjadi penentu bagi tercapainya
Jawaban atas pertanyaan di atas tentu saja bisa beranekaragam. Mengacu pada
peristiwa Yesus Kristus dan pengalaman spiritual dari pengikut-Nya Santo Fransiskus, di sini
kemiskinan disodorkan sebagai jalan menuju kepada kepenuhan dan keotentikan. Mengapa
kemiskinan? Untuk memulai menjawab pertanyaan ini, mari kita kaji salah satu refleksi Eric
Doyle berkaitan dengan inkarnasi. Dia menyatakan, “inkarnasi menyingkapkan kepada kita
bahwa untuk menjadi manusia yang penuh dan otentik, seseorang harus menjadi miskin;
bebas dari kekuasaan ekonomi, filosofi, politik, dan religious. Kemiskinan material Yesus
adalah simbol dari pengabdian dan penyerahan yang total kepada Allah dan simbol dari
kemanusiaannya yang sejati. Kemiskinan inilah yang memimpin Dia kepada penyerahan
yang terakhir melalui kematian. Dalam peristiwa inkarnasi kita menemukan bahwa Yesus
Kristus, walaupun tanpa kekuasaan politik, penuh dengan kewibawaan; tanpa kekuasaan
ekonomi, memiliki harta yang tidak dapat dibeli dengan semua kekayaan di dunia; tanpa
kekuasaan filosofis, memiliki kebijaksanaan yang sejati; tanpa kekuasaan religius, menjadi
jalan kepada kepenuhan dan keotentikan karena kemiskinan dapat menjadi daya yang
membebaskan manusia. Pertanyaan selanjutnya adalah bebas dari apa dan bebas untuk
apa? Kemiskinan membebaskan manusia dari penjara nafsu kedagingan dan membebaskan
manusia untuk menjadi pelaku cinta. Nafsu kedagingan ibarat jeruji yang mengungkung dan
menghalangi manusia untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang utuh. Sedangkan
cinta merupakan faktor kunci yang menjadi ukuran atau syarat bagi tercapainya kepenuhan
diri manusia sebagai gambaran Allah. Untuk menjelaskan lebih jauh dan dalam tentang
dampak kemiskinan bagi kepenuhan dan keotentikan hidup manusia, di bawah ini akan
diuraikan dua topik. Pertama, kemiskinan dan penguasaan diri. Kedua, kemiskinan dan
cinta.
Tanpa pengontrolan diri atau penguasaan diri sangat sulit untuk membayangkan adanya
kepenuhan dalam hidup manusia. Sudah sejak zaman Yunani kuno pengontrolan diri atau
penguasaan diri dijunjung tinggi sebagai kemampuan esensial dalam usaha untuk
mengembangkan diri. Seperti yang diuraikan oleh Daniel Goleman, kata Yunani kuno untuk
kemampuan ini adalah sophroyne, “hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan;
keseimbangan dan kebijaksanaan yang terkendali.” Orang-orang Romawi dan kaum kristiani
40
berlebihan. Tujuannya adalah keseimbangan emosi, bukan menekan emosi, karena setiap
Dalam ajaran dan tradisi kristian, penguasaan diri hanya bisa terjadi melalui pergulatan
yang intens dan terus menerus dengan Yesus Kristus. Telah terbukti bahwa kemampuan
penguasaan diri, seperti yang ditunjukan oleh para tokoh suci, terbentuk atau terbina justru
ketika ada hubungan yang akrab dengan Yesus melalui doa, meditasi dan askese. Dalam
bukunya vita Antonii, Athanasius menggambarkan hidup asketis yang dijalani oleh Antonius
dan dampaknya yang mengagumkan pada hidup dan kepribadannya. Setelah selama dua
puluh tahun bertapa di padang gurun, Antonius, seperti yang digambarkan oleh Athanasius,
memiliki kondisi jiwa yang murni; ia tidak terbebani oleh kesedihan dan tidak juga lepas
banyak yang datang hendak menemui dirinya tanpa memperlihatkan kesiaa-siaan atau
kepongahan. Ia adalah sosok seseorang yang memiliki kendali penuh atas dirinya sendiri. 64
mengendalikan dorongan nafsu kedagingan yang cendrung destruktif. Dikatakan proses dan
perjuangan terus-menerus karena, seperti yang dilukiskan oleh Kerry Walters, manusia
ibaratnya makhluk amfibi, dengan satu kaki berada di dunia fisik dan satu kaki yang lain
berada di dunia spiritual. Inilah alasannya, demikian Walter, mengapa semua manusia-
63
Sudah di sadari sejak zaman itu bahwa kehidupan tanpa nafsu bagaikan padang pasir netralitas yang datar dan
membosankan, terputus dan terkucil dari kekayaan hidup itu sendiri. Apapila emosi terlampau ditekan, terciptalah
kebosanan dan jarak; bila emosi tidak dikendalikan, terlampau ekstrem dan terus-menerus, emosi akan menjadi
sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap, gangguan emosional yang
berlehihan (maniak). Bdk. Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional (Terj.), Jakarta:Gramedia, 1995, hal. 77.
64
Dikutip dari Jose Cristo Rey Garcia Paredes, CMF, Dari Asal Muasalnya Hingga ke Era kita Saat ini (terj.), Medan:
Penerbit Bina Media Perintis, 2008, hal. 7
41
bahkan mereka yang sudah mencapai keadaan jiwa penuh bahagia, bahkan para santo
seperti Santo Fransiskus sekalipun- bergerak dari waktu ke waktu, bergerak maju dan
karena dorongan-dorongan itu menjauhkan hati dari Allah dengan mendorongnya untuk
merangkul hal-hal yang pada hakikatnya lebih rendah dan sementara ketimbang hal-hal
yang utama dan ilahi. Akibat dari nafsu kedagingan adalah kebutaan spiritual yang
menghalangi lahirnya pertumbuhan pengetahuan diri yang merupakan syarat untuk sampai
petaka besar bagi setiap manusia, karena dengan demikian ia tidak pernah memulai
peran sentral dari hati manusia. Dia mengindikasikan bahwa hati manusia adalah kediaman
roh, yaitu energi atau kekuatan yang mempengaruhi aktivitas atau gerakan setiap individu.
Hati adalah tempat dimana Roh Tuhan bertempur dengan roh kedagingan. 67 Di sini
Fransiskus merefleksikan pemahaman St Paulus tentang daging dan roh. Dalam surat
pekerjaan-pekerjaan roh. Fransiskus melakukan hal yang sama dalam Anggaran Dasar. Ia
percaya bahwa individu manusia secara hakiki adalah baik, diciptakan serupa dengan Allah.
Namun bagaimanapun daging lemah dan menjadi baik musuh maupun penipu. Untuk
65
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal 93
66
Timoty J. Johson, op.cit., hal. 118
67
Ilia Delio, the Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of th Crucified Christ, op.cit., hal. 11
42
mengatasi roh kedagingan, ia menasihati para saudara untuk memiliki di atas segala-galanya
Hati sebagai tempat pertempuran antara roh Allah dan nafsu kedagingan juga menjadi
topik penting yang menarik perhatian Bonaventura. Dalam hati manusia ada manifestasi
belaskasihan Allah. Namun hati juga adalah tempat suci dimana Allah ditemui melalui
penerimaan rahmat ilahi. Untuk memajukan pertemuan dengan Allah ini, seseorang harus
belajar untuk menoleh ke dalam dan masuk dalam keheningan hati dimana ia dapat
memusatkan pikiran dan hati pada Allah. Untuk bisa masuk ke dalam hati dituntut adanya
semangat untuk meninggalkan segala cinta palsu yang ditandai oleh nafsu kedagingan.
Hanya dengan demikian hati akan menjadi bernyala-nyala dengan cinta Allah. 69
Ketenangan hati hanya bisa diperoleh oleh orang yang menyadari bahwa secara
ontologis kemanusiaan berakar pada kemiskinan, karena ia diciptakan oleh Allah dan karena
itu secara esensial bergantung pada Allah.70 Jadi, kemiskinan adalah kondisi utama yang
diperlukan untuk mendapatkan ketenagan hati. Orang yang miskin, seperti Yesus dan juga
pengikut-Nya Santo Fransiskus, adalah orang yang meyakini bahwa hanya keutamaan-
keutamaan ilahi, bukan hal hal temporal dan terbatas, yang membawa setiap insan kepada
Menurut Bonaventura, salah satu ekspresi terpenting dari kemiskinan yang bisa
membantu seseorang untuk memiliki ketenangan hati adalah doa yang tak kunjung padam.
68
Ibid., hal. 12
69
Timoty J. Johson, op.cit., hal. 123
70
Ilia Delio, the Crucified Lord, Bonaventure’s Mysticism of th Crucified Christ, op.cit., hal. 92.
43
Hanya dalam dialog yang intim dan terus menerus dengan Allah seseorang dapat
mengalahkan segala nafsu kedagingan yang destruktif, dan dengan demikian mampu
menguasai diri. Salah satu simbol yang digunakan Bonaventura untuk menggambarkan
hubungan antara doa dan ketenangan hati adalah Bait Allah. 71 Bait Allah dimasuki hanya
oleh mereka yang mau mengambil bagian dalam purifikasi dari kekuatan nafsu kedagingan.
Mengacu pada kisah tentang penyembuhan si lumpuh di kolam Bethzatha (Yohanes 5:1ff),
Bonaventura menegaskan bahwa untuk bisa masuk ke dalam Bait Allah (yaitu dalam doa
batiniah) dibutuhkan perjuangan melawan nafsu kedagingan dan usaha untuk memfasilitasi
perjumpaan dengan Kristus. Dalam kisah tersebut, orang yang tadinya lumpuh tidak dapat
meninggalkan orang banyak dan masuk dalam Bait Allah, Kristus menemukan Dia. Di sini
relasi dengan Tuhan. Kerumunan afeksi harus ditinggalkan di belakang sehingga Kristus
Refleksi Bonaventura di atas perlu dicerna dengan baik oleh mereka yang mencita-
citakan hidup tanpa alienasi. Hidup di bawah bayangan kerumunan afeksi mengaburkan
konsep sejati tentang identitas manusia. Ketika kerumunan afeksi- terhadap barang,
kenikmatan, kekuasaan, popularitas- mengental dalam diri seseorang, ketika itu pula terjadi
71
Masih ada dua simbol lain. Dua symbol yang lain itu adalah padang gurun dan gunung. Timoty J. Johson, op.cit.,
hal.123-127
72
Ibid., hal. 125
73
Uraian yang lengkap dan menarik tentang proses pengidentifikasian diri dan dampaknya terhadap eksistensi
manusia dapat dibaca dalam Echart Tolle, A New Earth, London:Penguin Books, 2005, hal. 25-56.
44
misalnya, orang-orang memiliki afeksi yang kuat dan mengental terhadap barang. Afeksi
yang kuat itu secara tak sadar mendorong mereka untuk mengidentifikasikan diri dengan
barang yang mereka miliki. Mereka mengidentifikasikan diri dengan pakaian yang mereka
pakai, mobil yang mereka kendarai, rumah yang mereka tinggal, dll. Masyarakat
konsumeristik seolah-olah hidup dengan diktum “saya memiliki maka saya ada.” Di sini
terjadi pereduksian terhadap identitas diri manusia. Manusia teralienasi dari jati dirinya
yang sesungguhnya. Proses penemuan kembali jati diri manusia ini hanya bisa ditempuh
kalau manusia sendiri, seperti yang diutarakan oleh Bonaventura, mau meninggalkan
Ketika kemiskinan membebaskan seorang individu dari perbudakan nafsu dan dosa,
ketika itu pula kemiskinan membebaskan individu yang sama untuk menjadi saksi cinta.
Nafsu-nafsu seperti ketamakan, egoisme, kesombongan, dan lain sebagainya ibarat jeruji
yang menghalangi seseorang untuk menjadi abdi cinta. Kemiskinan membebaskan orang
dari jeruji nafsu kedagingan dan membuka kemungkinan dan ruang bagi setiap orang untuk
secara bebas dan tanpa takut menjadi tanda dan sarana cinta Allah di dunia.
Cinta menjadi syarat atau ukuran mutlak bagi kepenuhan setiap insan. Cinta adalah
faktor inti yang menentukan jati diri manusia. Kerry Walter memberikan dasar argumentasi
yang sangat jelas bagi korelasi antara cinta dan kepenuhan manusia sebagai manusia. Ia
mangatakan tujuan dari diciptakannya setiap manusia adalah menjadi serupa dengan Allah.
Karena itu, secara kodrati, seorang manusia adalah gambar Allah. Semakin dekat kita
45
menerima dan mengakomodasi kodrat itu, semakin dekat kita mencapai kepenuhan. Karena
Allah adalah Cinta yang murni dan tak bernoda, maka sebagai konsekuensinya keserupaan
dengan Allah diukur dengan kriteria cinta. Semakin kita mencintai, semakin kita menjadi
serupa dengan Allah. Cinta, dengan demikian, bukan saja merupakan emosi perasaan yang
baik atau sentimentalisme romantis seperti yang ditunjukan oleh kebudayaan populer.
Cinta adalah sebuah pengakuan akan ‘ada’, suatu jawaban ‘ya’ yang agung kepada Allah,
suatu perayaan syukur atas ciptaan, suatu pengakuan bahwa rencana Allah sungguh
mengagumkan.74
Argumentasi Walter di atas sangat jelas. Karena Allah adalah cinta, maka manusia yang
adalah gambar Allah baru bisa mencapai kepenuhannya ketika ia dipenuhi olah cinta. Allah
yang adalah cinta menjadi model bagi kepenuhan yang mesti dicapai oleh setiap manusia.
Apa artinya kalau dikatakan bahwa Allah adalah cinta? Pertanyaan ini penting untuk
dijawab, karena dengan memiliki konsep dan refleksi yang baik tentang Allah yang adalah
cinta, kita bisa memiliki defenisi yang utuh dan konkret tentang cinta itu sendiri.
Uraian Bonaventura tentang Allah dan cinta merupakan salah satu uraian yang sangat
dalam menjelaskan apa artinya kalau dikatakan bahwa Allah itu cinta. Kedua pendekatan itu
74
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal 82.
46
Teologi Bonaventura tentang Trinitas dipengaruhi oleh dua penulis besar dalam tradisi,
yaitu Pseudo-Dionysius dan Richard dari St. Victor. Dari kedua tokoh ini Bonaventura
menemukan gagasan penting tentang kebaikan yang yang membagi diri (self diffusive) dan
cinta personal.75
Bonaventura menggunakan gagasan tentang kebaikan yang membagi diri dan cinta
personal itu untuk membedakan pribadi-pribadi Trinitas sebagai suatu persekutuan pribadi
dalam cinta. Menurutnya, Bapa adalah sumber kepenuhan dari kebaikan yang tertinggi
karena Bapa adalah yang pertama dan yang membagi diri. Pribadi Bapa adalah sumber dari
dua pribadi ilahi yang lain karena Bapa tidak mempunyai asal dan awal. 76 Ketika Bapa
membagi diri, Ia membagi diri dalam cara yang personal kepada pribadi lain yang personal.
Pribadi itu adalah Putra. Putra adalah ekspresi personal yang total dari Alah. Sang Putra
adalah gambaran yang sempurna dari Bapa. Karena Bapa dan Putra secara intim disatukan
satu sama lain, maka mereka menghembuskan cinta dalam kehendak yang satu yaitu cinta
Roh Kudus. Roh Kudus adalah kebebasan dalam cinta antara Bapa dan Putra yang membuat
lengkap cinta mereka dalam suatu kesatuan yang kudus dan abadi. 77
Uraian Bonaventura kiranya cukup untuk menerangkan bahwa pada hakekatnya Allah
adalah cinta dan bahwa cinta tidak pernah terisolasi. Di dalam Allah Tritunggal kita
75
Pseudo-Dysosius menyingkapkan bahwa dalam Perjanjian Baru Allah menyatakan diri-Nya sebagai “yang baik”:
tidak seorang pun yang baik selain Allah sendiri (Lukas 18:19). Mengikuti Pseudo-Dyonisius, Bonaventura
menidentifikasikan “kebaikan” sebagai nama Allah dan mengacu pada Pseudo Dyonisius dan dan Richard dari St.
Viktor, ia memahami Allah sebagai kebaikan yang paling tinggi. Menurut Pseudo-Dyonisius, kebaikan yang paling
tinggi cendrung membagi diri (self-diffusive) dan menjadi penyebab dari yang ada. Richard mengklaim bahwa
kebaikan yang tertinggi adalah cinta dan cinta itu bersifat personal dan komunikatif. Ilia Delio, the Humility of God.
A Franciscan Perspective, Chichago: Franciscan Press, 2005, hal. 39.
76
Nama Bapa, dengan demikian, tidak berarti bahwa Allah adalah pria atau orang Yahudi, karena nama itu
mengacu pada pribadi yang merupakan sumber tertinggi dari kebaikan. Ibid., hal. 40.
77
Ibid
47
menemukan bahwa cinta selalu berarti membagi diri atau memberi diri. Mengacu pada
uraian Bonaventura tersebut, Ilia Delio mengatakan “cinta itu tidak pernah terisolasi atau
individual; cinta butuh untuk dibagikan. Kodrat Allah adalah untuk membagi cinta dan
karena itu kata ‘Allah’ tidak dapat menjadi abstrak, kosong makna atau terindividualisasi
karena kata Allah selalu berarti relasi, persekutuan pribadi dalam cinta. Allah adalah
Trinitas.78
Sesuai dengan hakekatnya yang tidak terisolasi dan cendrung membagi diri, cinta tidak
hanya menjadi pengikat hubungan antara pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal. Cinta juga
menjadi kunci utama untuk menjelaskan hubungan antara Allah (sang pencipta) dan
ciptaan. Peristiwa inkarnasi, salah satu momen terpenting dalam sejarah keselamatan, bisa
menjadi rujukan untuk melihat seberapa besar perhatian cinta Allah pada ciptaan.
Dalam menafsirkan peristiwa inkarnasi, para teolog Fransiskan mengambil posisi yang
berbeda dengan Anselmus dari Canterbury. Melalui karya termasyurnya Why the God-man?
Anselmus mengatakan bahwa motif utama dari inkarnasi adalah penebusan dosa. Allah
menjadi manusia untuk menebus dosa manusia. Berbeda dengan Anselmus, para teolog
Fransiskan cendrung mengikuti pendapat Maksimus Pengaku Iman yang melihat inkarnasi
Bagi para teolog Fransiskan, kehidupan Yesus menyediakan suatu petunjuk ilahi
berkaitan dengan struktur dan arti bukan saja bagi manusia tetapi seluruh ciptaan. Filsuf
78
Ibid., hal. 41
79
Ibid., hal. 50
48
abad ke-13 Duns Scotus menyatakan bahwa inkarnasi merupakan misteri yang sangat agung
yang tidak bisa disederhanakan saja untuk menebus ketidaksempurnaan. Alasannya adalah
karena Allah itu cinta dan ingin untuk mencintai ciptaan yang dapat secara penuh
menjawab dalam cinta. Kristus akan datang, ia katakan, bahkan jika tidak ada dosa. Kristus
adalah yang pertama dalam intensi Allah untuk mencintai dan adalah karena Kristus
Menurut Ilia Delio, pemahaham bahwa inkarnasi terjadi karena cinta Allah merupakan
point penting, karena cara kita memandang inkarnasi akan membentuk hidup kita sebagai
orang-orang Kristen di dunia ini. Jika cinta adalah alasan untuk inkarnasi, maka hal itu juga
yang menjadi alasan bagi perendahan diri Allah. Cinta Allah adalah cinta yang merendah.
Cinta itu bergerak keluar dari dirinya sendiri kepada orang lain untuk kepentingan orang
lain. Ilia memperkuat refleksinya dengan mengacu pada khotbah Bonaventura tentang
kelahiran Tuhan. Bonaventura mengatakan, “Sabda menjadi manusia (Yohanes 1:14). Kata-
kata ini memberi ekspresi kepada misteri surgawi itu….. bahwa Allah yang adalah abadi
secara rendah telah membungkukkan diri dan mengangkat debu dari kodrat kita ke dalam
Allah yang membungkukkan diri untuk mengangkat kita. Perendahan diri berarti bahwa
Allah mengarahkan diri kepada kita persis seperti Bapa mengarahkan diri kepada sang Putra
dalam cinta. Karena kita adalah makhluk terbatas, maka Allah membungkuk dalam cinta
untuk memeluk kita. Allah membungkuk rendah sehingga Allah menemui kita persis dimana
kita berada: terbatas, rapuh, manusia yang tercipta. Allah menunduk rendah karena kita
80
Ibid
81
Ibid., hal. 51
49
kecil, terbatas, rapuh, serba tak menentu, khaos, dan kadang-kadang cendrung kekanak-
kanakan. Perendahan diri Allah berarti bahwa cinta Allah begitu melimpah sehingga Ia mau
masuk dalam kegelapan yang kita alami untuk membawa kita kepada kepenuhan hidup. 82
Dari peristiwa inkarnasi kiranya menjadi jelas bahwa cinta yang sejati dari Allah
mengandung unsur perendahan diri. Konsekuensinya bagi manusia juga jelas. Karena jalan
Allah adalah jalan perendahan diri, maka jalan ini pulalah yang seharusnya ditempuh
manusia dalam mencapai kepenuhannya sebagai gambar Allah. Hayes membuat poin ini
dengan mana gerakan ilahi yang tersembunyi menjadi tampak bagi mata iman. Kodrat Allah
adalah cinta (yang mengkomunikasikan diri). Kodrat itu menjadi tampak dalam perendahan
diri-Nya sebagai manusia. Karena kodrat Allah ditampakan, maka hukum bagi keberadaan
diri, maka jawaban manusia yang tepat untuk Allah adalah perendahan diri dan
kemiskinan.83
Penulis spiritual abad ke-20 Henry Nouwen menggambarkan perendahan diri Yesus
sebagai jalan “gerakan turun”. Masyarakat mengajarkan kita untuk berjuang menempuh
jalank naik- mendaki sebisa mungkin tangga kesuksesan. Dalam proses, tentunya, kita
menjadi egomaniak. Nouwen mengatakan gerakan turun adalah arah yang lebih baik.
Dalam gerakan turun, kita membuat diri kita kurang sehingga kita bisa membuat orang lain
lebih. Dalam gerakan turun kita membuka diri kita kepada keindahan dan kebijaksanaan
orang-orang lain karena kita tidak terobsesi dan dibutakan oleh diri kita sendiri. Dalam
82
Ibid., hal. 53
83
Zachary Hayes, OFM, op.cit., hal. 136
50
gerakan turun kita mengundang yang lain dan tentu saja semua ciptaan untuk menjadi diri
mereka sendiri ketimbang menjadi apa yang kita inginkan demi melayani kepentingan kita. 84
Menurut Kerry Walter, bukan tanpa kebetulan kata perendahan diri (humility) berasal
dari kata latin ‘humus’, yang berarti tanah. Siapapun yang mempraktekkan perendahan diri
menemukan akarnya yang sejati dan kembali ke dasar. Manusia tidak diciptakan untuk
menjadi orang yang suka menuntut, membanggakan diri, pendaki-pendaki gerakan naik.
Kita diciptakan seturut gambaran Allah yang adalah cinta, memberi diri, dan bela rasa.
Ketika kita mempraktekkan perendahan diri kita mengklaim kembali warisan azali kita. Dan
dengan melakukan itu kita mengafirmasi kembali bahwa perendahan diri adalah anugerah
dari Allah, yang secara gratis dianugerahkan kepada kita sehingga kita bisa bertumbuh
4.3. Kesimpulan
Korelasi antara kemiskinan dan kepenuhan hidup merupakan fokus utama dari seluruh
uraian dalam bab ini. Seorang manusia mencapai tingkat kepenuhan hidup ketika ia mampu
mengambil bagian dalam hidup Allah (menjadi gambar Allah). Tantangan yang dihadapi
oleh setiap manusia dalam proses mencapai kepenuhan adalah menguasai nafsu
kedagingan. Nafsu kedagingan cendrung membalikan arah perhatian manusia dari Allah
menuju kepada hal-hal fana yang dapat binasa. Karena itu, selama nafsu kedagingan
dibiarkan merajalela dan memegang kendali sepenuhnya atas hidup manusia, selama itu
84
Kerry Walters, Finding Perfect Joy with St. Francis of Assisi, op.cit., hal. 74
85
Ibid., hal. 75
51
pula sang manusia tidak pernah bisa memulai proses perjalanan menuju kepada
kepenuhan. Hanya sikap miskin di hadapan Allah yang bisa menyelamatkan manusia dari
itu pula terbuka kemungkinan bagi manusia untuk mengambil bagian dalam hidup Allah.
Allah adalah cinta. Maka, mengambil bagian dalam hidup Allah berarti mengambil bagian
dalam cinta Allah. Mengambil bagian dalam cinta Allah lalu bisa dikatakan sebagai syarat
mutlak bagi tercapainya kepenuhan. Allah sendiri menunjukkan diri-Nya sebagai sang cinta
melalui kehidupan trinitaris-Nya dan juga melalui peristiwa inkarnasi. Dalam kehidupan
Allah Tritunggal kita menemukan bahwa cinta yang sejati itu tidak pernah mengisolasi diri.
Cinta itu selalu mau memberi diri. Dalam peristiwa inkarnasi kita menemukan bahwa cinta
itu mengandaikan gerakan turun. Seperti Allah yang menundukkan diri untuk menyapa
manusia, begitu juga manusia dipanggil untuk merendahkan diri dan menjadi pelayan bagi
sesamanya.
52
Penutup
Sedikitnya ada dua konsep yang ekstrim dan sering kali keliru tetang kemiskinan. Konsep
pertama adalah konsep yang melihat kemiskinan sebagai gejala material murni. Konsep ini
memberi penekanan yang berat sebelah pada bentuk-bentuk askese lahiriah dan
mengabaikan pentingnya aspek batiniah. Padahal kemiskinan tidak pernah menjadi penuh
jika tidak diakarkan pada ketulusan dan kerendahan hati. Kemiskinan yang diartikan sebagai
gejala material murni dalam penghayatannya seringkali bersifat kaku, rigid, dan dalam
beberapa kasus justru menjadi penghalang bagi gerakan roh yang murni.
Konsep kedua adalah konsep yang menekankan kemiskinan sebagai tindakan spiritual
murni. Konsep ini mereduksi kemiskinan sebagai perkara hati saja. Kemiskinan tidak perlu
diekspresikan secara eksternal, karena kemiskinan adalah harta spiritual yang terpendam di
hati. Ekspresi eksternal dianggap sebagai kecongkakan spiritual. Bahaya dari konsep ini
Bentuk hidup yang dijalani oleh Fransiskus dan pandangan teologis Bonaventura tentang
kemiskinan banyak membantu kita untuk melihat kemiskinan secara integral. Kedua tokoh
ini menyodorkan suatu sinstesis bagi dua ketegangan di atas. Kemiskinan diartikan sebagai
ketergantungan manusia yang radikal dan total pada Allah. Dikatakan radikal dan total,
karena ketergantungan ini meliputi seluruh daya yang melekat pada jiwa manusia. Daya-
daya itu menentukan cara manusia berpikir, berefleksi, bertutur kata, dan bertindak.
Dengan demikian menjadi jelas di sini bahwa kemiskinan sebagai bentuk ketergantungan
manusia pada Allah berciri holistik. Tidak ada satu dimensi pun yang diabaikan. Kemiskinan
itu harus berdimensi spiritual, karena kemiskinan berakar dan bertumbuh dalam hati
manusia. Kemiskinan yang sama juga harus berwajah material, karena keterarahan hati
manusia baru menjadi penuh jika diaplikasikan menjadi sikap dan aksi nyata.
Kemiskinan yang berfifat holistik itu bukanlah kebajikan yang dianjurkan hanya kepada
orang-orang tertentu saja, misalnya kepada yang mengikrarkan kaul suci. Kemiskinan
merupakan kebajikan fundamental yang perlu dimiliki oleh setiap insan dalam membangun
relasinya dengan Allah dan semua ciptaan. Bonaventura menyebut kemiskinan sebagai
kenyataan ontologis dan moral. Sebagai kenyataan ontologis, kemiskinan lahir sebagai
fenomena yang tak bisa dipisahkan dari kodratnya sebagai ciptaan. Bersama dengan ciptaan
yang lain, manusia tidak bisa hidup tanpa sang Pencipta dan karena itu mereka bergantung
akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa. Dosa menggerogoti dan merusak kapasitas-
54
kapasitas alamiah yang diciptakan untuk membantunya menjadi gambar dan rupa Allah.
Hanya rahmat Allah yang bisa membantu mengangkat manusia dari kejatuhannya. Dalam
situasi inilah manusia menjadi si miskin yang terus berteriak dan meminta pertolongan dan
kemurahan hati Allah. Melalui penjelasan Bonaventura tentang kemiskinan sebagai fakta
ontologis maupun moral, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan merupakan
keharusan eksistensial bagi manusia yang sedang menempuh perjalanan pulang menuju
Allah. Dalam kemiskinan ada pengakuan total bahwa selain Allah tidak ada yang absolut dan
abadi. Karena itu, orang yang miskin mengorientasikan dirinya secara tetap bukan pada hal-
hal yang terbatas dan dapat binasa melainkan kepada Allah dan mengambil bagian dalam
kehidupan-Nya.
Kemiskinan sebagai jalan yang harus dipilih dan ditempuh manusia dipertegas melalui
peristiwa Yesus. Melalui kemanusiaan Yesus, Allah menyingkapkan bahwa jalan yang
ditempuh-Nya adalah jalan kemiskinan. Allah meninggalkan diri-Nya, masuk dalam sejarah
umat manusia, dan secara miskin meleburkan diri dengan manusia. Allah datang untuk
menjumpai manusia persis di tempat dan situasi di mana mereka berada: terbatas, penuh
dosa, menderita. Dengan mendatangi dan meleburkan diri-Nya secara historis dengan
manusia, Allah membiarkan diri-Nya dialami secara langsung sebagai Allah yang miskin dan
menderita. Karena kemiskinan adalah jalan yang dipilih dan ditempuh Allah, maka
kemiskinan kiranya menjadi jawaban iman yang tepat dari manusia kepada Allah.
Kemiskinan adalah fundasi dalam mengikuti Yesus Kristus, sang Allah yang menjadi
manusia.
55
Fransiskus dari Assisi adalah salah satu tokoh yang mampu memahami dengan baik
sebagai praksis hidup. Secara radikal ia menghayati kemiskinan sebagai hidup tanpa milik.
Menurutnya, segala sesuatu yang ada pada kita adalah milik Allah dan dipercayakan kepada
kita untuk tugas pelayanan. Mengklaim sesuatu sebagai milik kita adalah bentuk
penghinaan terhadap Allah. Praksis kemiskinan yang dihayati Fransiskus juga menentukan
identitas dia dalam kehidupan masyarakat. Secara sosial, Ia sendiri menggolongkan dirinya
sebagai bagian dari lapisan kelas bawah yang hidupnya serba berkekurangan, tidak
mempunyai previlese dan jaminan keamanan. Sembari menjadikan dirinya sendiri miskin, ia
juga menyatakan solidaritas dan perhatian yang luar biasa terhadap mereka yang miskin,
menderita, dan tersingkir, yang simbolnya ia temukan dalam diri orang kusta. Pengalaman
berbagi hidup dengan mereka dialaminya sebagai pengalaman berbagi hidup dengan Yesus
Kristus sendiri.
Akhirnya harus dikatakan bahwa kemiskinan, yang mungkin oleh orang kebanyakan
dianggap sebagai kebodohan dan kemunduran, justru bisa menjadi jalan yang membawa
manusia kepada kepenuhan. Kepenuhan manusia sebagai manusia tercapai ketika seorang
pribadi menjadi seperti yang dimaksudkan ketika ia diciptakan, yaitu menjadi serupa dengan
Allah. Kemiskinan dilihat sebagai jalan mencapai kepenuhan, karena di satu sisi, kemiskinan
mempunyai daya yang membebaskan manusia dari belenggu nafsu kedagingan yang
menghalanginya untuk mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Di sisi lain, kemiskinan
membebaskan manusia untuk menjadi saksi cinta Allah. Cinta adalah ukuran kunci bagi
keserupaan manusia dengan Allah, karena Allah sendiri adalah cinta yang
56
mengkomunikasikan diri-Nya. Kemiskinan, seperti yang dapat dilihat dalam hidup Yesus dan
pengikut-Nya Santo Fransiskus, memampukan manusia untuk memberi diri menjadi pelayan
bagi sesama, khususnya mereka yang miskin, menderita, dan tersingkir. Menjadi nyatalah
bahwa dalam kemiskinan sebenarnya tersimpan kekayaan cinta. Di sinilah letak paradoks
57