Sejarah Gereja telah mencatat berbagai macam bentuk ajaran sesat yang hadir dan mencoba
mempengaruhi kehidupan gereja sudah ada sejak abad permulaan. Pada masa sekarang ini,
ternyata beberapa ajaran tersebut tetap eksis namun dengan tampilan luar yang sama sekali
baru. Alibatnya, jika tidak waspada maka kita akan terjebak dan masuk ke dalamnya.
SAKSI YEHOVAH
Pemimpin bidaah ini bernama Charles Tase Russel yang menyebarkan doktrinnya
pada tahun 1872.
Saksi Yehovah sangat menitikberatkan pekerjaan literatur. Buku majalah “Menara
Pengawal” dan “Sadarlah” dijual dengan harga relatif murah dan mempunyai daya
tarik.
Saksi Yehovah tidak percaya Allah Tritunggal dan juga tidak percaya kemaha-hadiran
Allah. Mereka tidak mengakui Yesus Kristus dan Roh Kudus adalah Allah.
Tentang keselamatan yang terdapat di dalam Yesus Kristus tidak memberi hidup yang
kekal. Kematian Yesus Kristus di kayu salib tidak dapat menebus dosa umat manusia,
tetapi hanya menebus dosa Adam saja.
Tentang hari kiamat, mereka mengira bahwa kedatangan Yesus yang ke-2 kalinya
dapat diketahui dengan cara menghitung. Sebab itu mereka meramal bahwa dunia akan
kiamat pada tahun 1874, tetapi hal itu tidak terjadi. Kemudian mereka meralatnya
menjadi tahun 1914, 1918, 1920, 1925, 1972 dan terakhir 1999, dan seterusnya.
MORMON
Gerakan ini menyebut diri sebagai “Gereja Orang-orang Kudus pada Akhir Zaman”
(Church of Latter Day Saints). Didirikan pada tahun 1830 oleh Joseph Smith dari
Amerika.
Menurut mereka Allah itu adalah superman, mempunyai badan, dapat dilihat dan
diraba tetapi mempunyai kekuatan luar biasa. Allah itu adalah Adam yang sudah
dipermuliakan.
Yesus adalah Lucifer yang dilahirkan karena hubungan antara Allah (Adam yang
sudah dipermuliakan) dengan Maria. Yesus di Kana menikaah dengan Marta da
Mariam sehingga dapat melihat keturunannya sebelum disalibkan (Yes. 53:10).
Joseph Smith adalah keturunan dari Tuhan Yesus.
Menurut mereka, Roh Kudus itu semacam benda yang kekal keberadaannya yang
ddisalurkan dari atas dan menyebar ke berbagai tempat Roh Kudus dapat dikaruniakan
kepada seseorang melalui upacara-upacara yang dipimpin oleh pendeta Mormon. Roh
Kudus tidak dapat hadir lebih dari satu tempat.
Tentang keselamatan, kematian Yesus tidak dapat menyelamatkan orang lain, tetapi
hanya Adam saja. Keselamatan hanya diperoleh melalui ketaatan pada peraturan-
peraturan, sakramen-sakramen dari Mormon dan perbuatan baik.
Babtisan yang dilaksanakan pendeta Mormon dapat menghapus dosa. Dengan kata
lain baptisan merupakan syarat mutlak untuk mendapat keselamatan. Orang yang
sudah meninggal bisa diselamatkan yaitu dengan cara anak famili mereka yang masih
hidup, dapat menggantikan mereka untuk dibaptis.
Mormon mengajarkan praktek poligami dan berpendapat hubungan suami istri tidak
terbatas hanya di dunia ini, tetapi juga sampai di akhirat.
Mormon memiliki 3 buku ysng mempunyai otoritas: Kitab Mormon (The Book
Mormon), Doktrin dan Perjanjian (Doctrin and Covenants) dan Mutiara yang bernilai
(Pearl of Great Price).
CHILDREN OF GOD
Pendirinya adalah David Brant Berg, yang pada tahun 1978, aliran ini menyebut
dirinya “Family of Love”.
Senjata yang paling ampuh untuk mengembangkan dan menarik orang menjadi
anggota adalah seks.
Aliran ini tidak menerima ajaran Tritunggal, karena menurut mereka istilah ini tidak
terdapat dalam Alkitab. Mereka menganggap Allah yang dipercayai adalah Allah yang
seksi (Sexy God).
Mereka menyamakan kebenaran keselamatan di atas kayu salib dengan hubungan
seks. Menurut mereka keselamatan adalah kebenaran dari kutuk pakaian dan rasa malu
bertelanjang. Dengan melampiaskan nafsu seks untuk mencapai penyerahan roh yang
total kepada Allah.
Christian Science
Diskursus tentang pluralitas perbedaan bukan menjadi barang asing bagi kajian
filsafat. Multikulturalisme sebagai suatu paham (bercorak ideologis) yang mempunyai
perhatian khusus pada persoalan pluralitas, secara intensif mengkaji relasi antar subjek yang
mengandung berbagai dimensi perbedaan. Perbedaan antar subjek dalam masyarakat terdiri
dari perbedaan orientasi nilai, norma, gaya hidup, tradisi, korpus, pengetahuan, dan dalam
konteks yang lebih luas kita sebut sebagai perbedaan budaya. Multikulturalisme merupakan
paham (isme) yang berdiri pada posisi pro terhadap pluralitas. Pada tataran ini, kita
menganggap pluralitas sebagai faktisitas, karena akan berbeda makna jika kita terburu-buru
melekatkan ‘isme’ pada pluralitas (menjadi pluralisme). Pluralitas yang sudah menjadi
pluralisme akan kita pahami dari dimensi yang berbeda. Kita akan mengkaji bagaimana
polemik dan tantangan multikulturalisme di tengah-tengah heterogenitas masyarakat.
Pluralitas ke Pluralisme
Pluralitas merupakan faktisitas. Ia ada begitu saja dan langsung terkandung secara
niscaya di dalam masyarakat. Kita tidak dapat mengelak bahwa subjek lain mempunyai
perbedaan di berbagai sisi. Perbedaan tersebut hadir sebagai keterberian, bukan konstruksi
masyarakat. Begitulah kira-kira sifat pluralitas. Sementara pluralisme, ia merupakan paham
yang memperjuangkan pluralitas. Dalil-dalil dalam pluralisme mengacu pada persoalan
heterogenitas dalam pluralitas. Pluralisme merumuskan berbagai persoalan tersebut dalam
suatu pandangan yang bertujuan memelihara pluralitas dalam masyarakat. Pemeliharaan
tersebut dilakukan melalui diskursus toleransi dan komunikasi. Redefinisi dan penghayatan
aksistensi subjek digunakan oleh pluralisme dalam rangka memahami bahwa keunikan subjek
tetap harus diterima dalam masyarakat majemuk. Multikulturalisme, dengan sendirinya akan
dibarengi oleh konsep pluralisme. Perbedaan radikal dalam masyarakat tidak sepenuhnya
dapat dikomunikasikan menjadi konsensus rasional. Justru melalui tumpang tindih
perbedaan, multikulturalisme bersama pluralisme berusaha menciptakan kesadaran
masyarakat dialektis. Diskursus perbedaan merupakan ciri penting bagi perkembangan
masyarakat. Multikulturalisme memfasilitasinya agar diskursus tersebut tetap terpelihara
secara toleran, bukan malah dibendung secara paksa lewat konsensus universal dan menjadi
totalitarianisme orientasi.
Rekognisi, dapat kita artikan sebagai suatu mekanisme penerimaan dan penyesuaian
diri terhadap perbedaan (pluralitas). Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang mampu
tetap bertahan karena didalamnya terdapat mekanisme rekognisi. Produk hukum legitim yang
dihasilkan oleh masyarakat majemuk tidak serta merta ada, namun hadir melalui mekanisme
penyesuaian dan rekognisi, serta dialog komunikatif antar berbagai pihak yang
berkepentingan. Multikulturalisme tanpa rekognisi hanya akan menjadi sumber konflik dan
perang kepentingan. Rekognisi, adaptasi, toleransi, dan saling mengerti menjadi prinsip
utama dalam masyarakat multikultural.
The Other
Indonesia merupakan negara yang mengandung fakta pluralitas dan kaya perbedaan.
Karenanya, multikulturalisme menjadi wajib dipahami bagi masyarakatnya. Undang-undang
dan konstitusi Indonesia sudah mengarah pada perbedaan identitas, namun tetap pada satu
teleolos: Bhineka Tunggal Ika, Berbeda Tapi Tetap Satu. Yang dimaksud satu adalah
nasionalisme, yang dimaksud berbeda adalah multikulturalisme. Dengan demikian, paham
kebangsaan tetap dimungkinkan dapat berjalan walaupun berdiri diatas fondasi perbedaan.
Multikulturalisme mendapat peluang, dengan catatan tidak terjebak pada relativisme.
Sementara paham persatuan tidak dapat memaksakan kehendak mayoritas untuk tunduk
dalam doktrin totalitarian. Maka, multikulturalisme di Indonesia tetap harus disertai
rasionalitas dan dialog-dialog diskursif antar kepentingan.
Misalnya, FPI adalah salah satu hasil diskursus perbedaan. Namun, sebagai negara
multikultural, Indonesia harus kritis memandang eksistensi FPI: Apakah ia produk pluralitas
yang layak dan toleran, ataukah tidak. Fundamentalisme memang punya ruangnya sendiri,
namun harus dipahami bahwa fundamentalisme tidak selayaknya memaksa the other untuk
masuk dalam doktrin komprehensif prifatnya. Multikulturalisme harus mampu memfasilitasi
persoalan semacam itu melalui solusi-solusi emansipatoris yang toleran.