Anda di halaman 1dari 132

TEOLOGI AGAMA-AGAMA

PENGERTIAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA

Teologi Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology of Religions, dalam bahasa Latin
Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu teologi yang membahas bagaimana
kekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas
agama di luar dirinya. Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat
Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang
positif antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi. Salah satu
pionir di dalam teologi agama-agama adalah teolog Inggris yang bernama Alan Race
(Eksklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme)

Pengertian Teologia Agama-agama (Theologia Religionum)

Th. Sumartana - mengatakan bahwa tantangan keagamaan yang mendasar yang kita
hadapi sekarang ini bisa kita ungkap dengan satu kata, yaitu pluralisme. Tidak ada maksud
mengatakan bahwa pluralisme merupakan satu-satunya tantangan akan tetapi bila
tantangan itu tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka agama-agama akan
kehilangan persepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat sekarang. Pluralisme telah
menjadi ciri esensial dari dunia masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan
menjadi kampung kecil di mana umat manusia hidup bersama di dalamnya.

1. Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas


keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut
tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon terhadap
persoalan pluralisme.
2. Theologia religionum tak lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan
pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan. Theologia religionum harus
mempunyai pijakan pada realitas

1
3. Theologia religionum merupakan usaha untuk mencari makna teologis dari
pluralisme agama-agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama adalah membuat
dirinya relevan dengan keadaan, theologia religionum merupakan respon kita
terhadap keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-agama. Masa depan
menjadi masa depan bersama.
4. Dalam theologia religionum kita diarahkan pada bagaimana kita tetap menjaga
identitas keagamaan kita tanpa meremehkan dan bahkan bisa menghargai identitas
keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain. Perumusan theologia
religionum dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam
proses bukan menganggap orang lain tersebut absent atau bahkan non-exist. Jadi
ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal.

Theologia religionum harus benar-benar berpijak pada kenyataan, dikontrol,


dan diawasi sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan
membuahkan hasil yang positif. Jadi sekarang pluralisme telah dianggap sebagai nilai
dan sikap eksklusif dianggap sebagai problem.
Theologia religionum bertujuan untuk membangun suatu jembatan
kerjasama, perspektifnya adalah mengarah pada kesimpulan yang bukan hanya
prinsipal dan teoritis, melainkan menyangkut langkah nyata. Jadi theologia religionum
bermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antar agama.
Theologia religionum bukan dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antar
agama, melainkan hanya memberi makna positif terhadap agama-agama tersebut
sehingga keperbedaan tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah
dan anugerah Tuhan. Jadi theologia religionum di Indonesia bertujuan agar gereja-gereja
secara teologis merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya dan rasa senasib
sepenanggungan untuk mengahadapi persoalan bersama pada masa depan serta bisa
menjalin kerjasama yang erat antara semua orang beriman dan membentuk kerjasama
yang produktif

2
METODE

Di dalam teologi agama-agama, seseorang harus mulai dengan pemahaman


yang setia sekaligus kritis terhadap tradisi Kristen sendiri, lalu berupaya melihat
agama yang lain di dalam terang iman Kristen. Pemahaman tersebut dapat tercapai
melalui metode yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti metode empiris, historis-
kritis, filologis, fenomenologis, dan lain-lain.

Metode-metode tersebut dipakai untuk melihat tradisi Kristen dengan lebih kritis
maupun realitas kemajemukan agama, serta mendialogkan keduanya sehingga
tercapai perspektif tertentu dalam memandang agama-agama lain.

PLURALISME AGAMA-AGAMA

David Breslaur

Perbedaan-perbedaan antara agama-agama adalah bukan pada masalah kebenaran


dan ketakbenaran, tetapi tentang perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini
berarti bahwa berbicara tentang kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau
salah adalah tidak diperkenankan. Kepercayaan keagamaan adalah masalah pribadi.
Setiap orang berhak untuk mempercayai iman masing-masing. Inilah pluralism
keagamaan.

Kebenaran Kristen adalah sama dengan kebenaran agama lain. Jadi semua agama
mengimani obyek atau realitas ilahi yang sama. Karena itu secara otomatis semua agama
sekalipun memiliki kebenaran yang berbeda, namun substansinya adalah sama yaitu
tentang realitas ilahi.

IDE TENTANG PLURALISME AGAMA-AGAMA


Ide tentang Pluralisme bermula dari pemikiran Bapa gereja yang mula-mula
yang mengalami penyimpangan, yaitu Clement dan Origens. Clement mengatakan
bahwa pengenalan akan Allah bagi orang Yahudi adalah melalui Taurat, sedangkan

3
bagi orang Yunani melalui filsafat dalam inspirasi Logos (Kristus). Sedangkan
Origens mengatakan bahwa pada akhirnya, semua mahluk akan diselamatkan
termasuk setan.
Pernyataan ini merupakan akar dari universalisme sekaligus sebagai akar dari
Pluralisme. Pandangan Universal ini akhirnya berkembang di Amerika, dan tokoh
yang paling terkenal berkenaan dengan ini yaitu Friedrich Schleiermacher (1768-1834).
Ia merupakan Bapak Theologi Liberal modern yang menolak pengajaran Alkitab
mengenai doktrin-doktrin yang sudah baku. Ia tidak mengakui penebusan bagi
keseluruhan manusia dan agama Kristen hanyalah salah satu agama yang memiliki
keselamatan sebagaimana agama yang lain juga.
Seiring dengan itu dunia teologi mengalami perkembangan negatif.
Kemunculan dan perkembangan universalisme akhirnya memunculkan teologi
pembebasan dan teologi kemajemukan. Munculnya gerakan untuk memberantas
penderitaan manusia dan bangkitnya kembali agama-agama tradisional juga membawa
pengaruh besar bagi dunia Theologi.
Salah satu tokoh yang membawa ide utama tentang Pluralisme agama-agama
adalah Ernst Troeltsch. Ernst Troeltsch yang hidup di Jerman antara 1865-1923 adalah
seorang teolog yang boleh dikata sangat memberi inspirasi bagi perkembangan teologi
kekinian yang berbicara tentang Pluralisme. Melalui tulisannya ia mengembangkan
intisari konsep mengenai

Pluralisme agama biasa dipahami dalam tiga kategori yaitu :

1. Kategori sosial
Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti “semua agama berhak untuk ada
dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan
menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya.
2. Kategori etika atau moral
Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa “semua pandangan moral dari
masing-masing agama bersifat relative dan sah”. Jika kita menganut pluralisme
agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut

4
agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu
penikahan, aborsi, hukuman gantung, euthanasia,dll
3. Kategori teologi-filosofi
Secara sederhana berarti “agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama
benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum
adalah “banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya
jalannya yang berbeda-beda. Selanjutnya, setiap kali kita menyebut pluralisme
agama, yang dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi
ini.

Teologi agama ke dalam beberapa pendekatan :


1. Pendekatan Kritisisme, yaitu keyakinan bahwa pertimbangan atau keputusan
pada waktu seseorang memikirkan tentang sejarah masa lalu ia harus
melakukannya dengan pendekatan benar atau salah. Maksudnya, tidak ada
penelitian sejarah yang dapat menetapkan segala sesuatu melampaui garis yang
disebut garis probabilitas. Yang dapat terjadi secara maksimal adalah suatu
probabilitas yang lebih besar atau yang lebih kecil, tetapi itu adalah tetap
probabilitas bukan keabsolutan.
2. Pendekatan Analogi, yaitu pendekatan-pendekatan yang berdasarkan pada
keyakinan akan garis probabilitas di atas di mana ia melihat bahwa pengalaman
yang dialami sekarang inipun secara radikal tidak berbeda dari pengalaman orang-
orang di masa lampau. Alasannya, sejarah keagamaan yang ada di mana-mana
selalu berada pada satu garis lurus yang sama, sebagai akibatnya, semua
doktrin atau ajaran yang paling esensial dalam kekristenan pun pasti
memiliki padanan atau analoginya di dalam agama-agama lain, artinya vis-a-
vis berbanding lurus, berelasi dengan agama lain.
3. Pendekatan Korelasi, yaitu keyakinan Troeltsch bahwa fenomena dari
kehidupan sejarah manusia dapat dikatakan memiliki relasi dan
interdependensi satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada perubahan
radikal yang berlangsung pada titik sejarah tanpa memberikan efek
perubahan pada sejarah manusia di sekitarnya. Dengan demikian, dalam rangka

5
menjelaskan tentang sejarah (termasuk sejarah iman atau keagamaan), seseorang
juga harus menjelaskan tentang sejarah yang berlangsung sebelum dan sesudahnya
beserta dengan segala keterisolasian dari ruang dan waktu yang terkondisi oleh
sejarah disekitarnya.
4. Pendekatan Universalisme, yaitu pendekatan yang menekankan kasih kepada
sesama manusia selain kasih kepada Allah. Kasih kepada manusia adalah esensial
karena hal itu adalah suatu pemikiran yang mengandung unsur revolusioner dan
bersifat murni keagamaan. Yang dimaksud dengan revolusioner adalah bahwa
kasih kepada manusia akan secara universal merembes kedalam masyarakat
serta mempengaruhi kehidupan komunitas manusia, kebudayaan, bahkan
keluarga, yaitu unit terkecil di populasi. Karena konsep universal yang satu
inilah, kekristenan menjadi satu agama yang berbeda. Walaupun demikian
kekristenan harus mengakui adanya kemungkinan timbulnya kasih yang
universal itu di antara keyakinan iman yang lain.
5. Pendekatan akomodasi, yaitu upaya adaptasi dan kompromi yang dilakukan oleh
gereja sepanjang sejarah mula-mula sampai hari ini. Tipologi gereja (church type)
yang dimaksud adalah satu jenis adaptasi yang selalu dilakukan oleh gereja
dalam rangka menyesuaikan keberadaan dan misinya di dalam dunia.
Menurut Troeltsch, tipologi gereja yang melakukan akomodasi terindentifikasikan
pada ajaran dan misiologi dari rasul Paulus. Gereja dalam tipologi ini walaupun
berada pada posisi konservatif dalam hal etika sosial, namun demikian gereja yang
diwakili mulai dari rasul Paulus ini senantiasa menerima atau merangkul sebanyak
mungkin strata-strata sosial yang sekuler.

MAKNA ISTILAH PLURALISME DAN IMPLIKASINYA KEPADA PERSEPSI TENTANG


KEPELBAGAIAN AGAMA

Pada dasarnya pluralism memang berasal dari bahasa inggris (plural) yang
merujuki kepada suatu yang bersifat jamak atau lebih dari satu. Dalam konteks falsafah
klasik Greek lawan bagi plualisme adalah menisme dan keduanya merujuk kepada falsafah
metafisik perdebatan antara kedua aliran pemikian tentang unsur kewujudan alam. Dalam

6
konteks falsafah modern, William James adalah sarjana yang awal menaplikasikan istilah
plural dalam karya akademiknya yang bertajuk The Pluralistic Universe. Bermula dari
penggunaan itulah, maka istilah pluralism digunakan dalam konteks politik, budaya, etika,
moral dan agama.

Secara umumnya, falsafah ini merujuk kepada kewujudan pelbagai agama dan
ajaran terhadap kebenaran yang diajukan oleh setiap agama (religious truth claim). Lawan
bagi pluralism agama ialah ekslusivisme yang mendukung faam bahwa hanya terdapat satu
agama saja yang membawa kebenaran mutlak sedangkan agama-agama lain adalah palsu.
Ada juga satu istilah yang biasa dipopulerkan sebagai jalan tengah diantara pluralism dan
eksklusivisme yaitu inklusivisme yang menganut faham bahwa hanya ada satu agama yang
mutlak dan agama-agama lain hanyalah sebagian dari kebenaran mutlak itu. Secara khusus
falsafah pluralism aama menganjurkan bahwa setiap agama mempunyai pandangan,
persepsi dan respon yang berbeda-beda terhadap Tuhan/kebenaran yang mutlak
(God/The Absolute Truth). Dengan munculnya pandangan seperti ini, maka timbul
persoalan tentang ajaran manakah yang paling tepat dan benar? Mengapa setiap agama
memberikan pendapat yang bertentangan tentang Tuhan atau kebenaran yang mutlak?
Pluralisme agama mencoba menjustifikasikan bahwa setiap kebenaran itu adalah relative
dan bukan mutlak. Dengan demikian falsafah ini menganjurkan agar pemahaman bukan
saja diberikan kepada perwujudan pelbagai agama tetapi juga ajaran yang mutlak yang
dipegang oleh setiap agama.

Dalam kerangka faham relativisme ini, nilai dan pandangan hidup adalah relative
dan tertakluk kepada konteks relevan yang sahaja. Oleh yang demikian, sesuatu yang
dianggap benar dan baik oleh sesuatu golongan mungkin sebaliknya bagi golongan yang
lain. John Hick dalam mengaplikasikan faham relativisme ini kepada falsafah pluralism
agama yang didukunginya menyebutkan bahwa setiap agama/tradisi mengungkapkan
Tuhan/Kebenaran Mutlak dalam pelbagai perkataan seperti Triniti untuk agama Kristian,
Yahweh untuk Yahudi, Brahman untuk agama Hindu dan Dharmakaya untuk agama
Buddha.

7
Perkaitan diantara falsafah pluralism agama dan relativisme ini diuraikan
dengan lebih lanjut lagi oleh Peter Byrne yang menyimpulkan tiga premis utama
falsafah ini yaitu :

1. Semua agama/tradisi adalah sama. Dalam merujuk kepada Tuhan/Kebenaran


Mutlak. Karena itu seorang itu mungkin menganut agama Hindu karena dia
dilahirkn di India, mungkin juga Islam sekiranya dilahirkan di Mesir, mungkin
juga menganut agama Buddha sekiranya dilahirkan di Sri Lanka, dan mungkin
juga Kristen sekiranya lahir di Inggris.
2. Semua agama adalah sama dalam menjanjikan keselamatan kepada
pengikutnya. Oleh karena itu frasa bahwa “tiada keselamatan di luar gereja”
atau “keselamatan hanya melalui Yesus” ada terbatal. Bahkan, sarjana barat
mencadangkan agar terwujudkan reformasi dalam teologi seperti Wilfred Cantwell
Smith mencadangkan revolusi Kopernikan dalam teologi dan Paul F Knitter
mencadangkan “Pembebasan Teologi” dengan harapan hanya ada satu teologi saja
yang boleh diaplikasikan dalam mengkaji dan memahami semua agama-agama yang
ada di dunia ini.
3. Semua agama mempunyai maklumat terhadap Tuhan/Kebenaran Mutlak.
Oleh yang demikian, tiada agama yang layak menafikan agama lain maupun
mendakwa bahwa agamanya sajalah yang mutlak. Smith contohnya
berpendapat teologi Islam tidak sepatuhnya digunakan untuk menilai agama. Hindu
maupun agama-agama lain. John Hick pula berpendapat seseorang perlu
membebaskan diri dari pada kerangka agamanya sekiaranya mau menilai agama
lain. Bahkan Paul F Knitter menegaskan tidak ada satu pun teologi agama yang
sempurna dan berhak membuat penilaian atas satu sama lain

PANDANGAN PARA AHLI TEOLOGI AGAMA-AGAMA

PAUL F. KNITTER

Paul F. Knitter (lahir di Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1939) adalah seorang
teolog Katolik Roma yang berperan dalam mengembangkan diskursus teologi agama-

8
agama. Ia dikenal sebagai salah seorang pendukung posisi pluralisme bersama
dengan para teolog lain, seperti Alan Race dan John Hick. Knitter juga merupakan pegiat
dialog antar-iman.

Pada tahun 1985, Knitter menerbitkan buku berjudul No Other Name? yang
merupakan pemetaan terhadap pemikiran-pemikiran Kristen yang berkembang saat itu
mengenai agama-agama lain. Pendekatan Knitter, baik metode, fokus, serta kesimpulan
dari buku tersebut memiliki banyak kemiripan dengan buku Alan Race yang dipandang
sebagai awal dari diskursus teologi agama-agama. Bedanya, jika Alan Race menggagas
tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, Knitter menyebut ada empat model
dalam tipologinya. Keempat model tersebut adalah sebagai berikut :

1. Model Konservatif-Injili, di mana hanya ada satu agama yang benar yakni
agama Kristen. Menurut Knitter, salah seorang pendukung model ini adalah Karl
Barth.
2. Model Protestan Arus-Utama, yang memandang bahwa keselamatan hanya ada
di dalam Kristus. Pendekatan-pendekatan yang termasuk di dalam model ini
menyatakan bahwa penyataan Allah memang dapat ditemukan di banyak
agama, namun keselamatan hanya ada dalam Kristus. Beberapa teolog yang
dimasukkan oleh Knitter ke dalam model ini adalah Paul Althaus, Emil Brunner, dan
Wolfhart Pannenberg.
3. Model Katolik, yang menyatakan bahwa ada banyak jalan menuju Allah tetapi
Kristus berfungsi secara normatif atau menentukan di dalam kepelbagaian
jalan tersebut. Knitter menyebutkan Hans Kung dan Karl Rahner sebagai contoh
pemikir model ini.
4. Model Teosentris, yang mana merupakan posisi yang dianut Knitter sendiri. Model
teosentris percaya bahwa ada banyak jalan menuju pusat yang satu, yaitu
Allah sendiri. Dengan demikian, peran agama-agama non-Kristen sebagai jalan
keselamatan diafirmasi oleh pendukung dari model ini. Selain Knitter, beberapa
teolog lain yang diposisikan di dalam model ini adalah John Hick, Raimundo
Panikkar, dan Stanley Samartha.

9
Posisi Knitter yakni posisi teosentris, memiliki kesejajaran dengan model pluralisme
yang dianut oleh Alan Race. Selain menegaskan posisinya, Knitter juga menganjurkan
perlunya penafsiran ulang atas doktrin keunikan Yesus. Menurutnya, selama ini
kekristenan merasa superior terhadap agama-agama lain karena doktrin tersebut.
Untuk itu, supaya dapat terwujud dialog antar-iman maka doktrin tersebut perlu ditinjau
kembali

Knitter dan Posisi Soteriosentrisme

Di dalam buku selanjutnya, 'Satu Bumi Banyak Agama', Knitter menyatakan bahwa
tipologi yang ia gunakan pada buku sebelumnya kurang tepat. Menurutnya, tipologi
eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme yang diajukan Alan Race lebih tepat. Knitter
sebelumnya menyatakan bahwa dirinya menganut posisi pluralisme yang
menyatakan bahwa agama-agama merupakan jalan-jalan yang berbeda menuju satu
tujuan, yang dalam bahasa Kristen disebut Allah. Akan tetapi, Knitter menyatakan
bahwa dirinya telah melampaui posisi pluralisme yang teosentris yang dianut
sebelumnya, yakni dengan posisi soteriosentrisme.

Definisi Soteriosentrisme

Soteriosentrisme berasal dari kata bahasa Yunani soter yang berarti


keselamatan. Dengan demikian, soteriosentris secara etimologis berarti 'berpusat
pada keselamatan'. Jikalau pendekatan pluralisme menjadikan Satu Realitas Ilahi (disebut
The Real oleh John Hick) atau Tuhan dalam bahasa agama Abrahamik, maka
soteriosentrisme menjadikan konteks penderitaan umat manusia dan penderitaan
alam (krisis ekologis) sebagai pusat. Penderitaan yang dialami umat manusia dan
kerusakan alam haruslah menjadi fokus perhatian dan sasaran dari agama-agama
yang ada. Manusia dan alam yang menderita perlu mendapatkan keselamatan yakni
terbebas dari derita yang mereka alami. Di sini, paham keselamatan dalam kekristenan
diberikan pemaknaan baru oleh Knitter.

10
Dengan demikian, Knitter mengkritik pendekatan pluralisme yang langsung
menyatakan bahwa agama-agama adalah jalan menuju Tuhan. Menurut Knitter,
agama-agama yang ada di dunia perlu dinilai kebenarannya melalui kriteria
soteriosentris tersebut, yakni seberapa besar agama-agama mau berfokus dan
berjuang bagi keselamatan umat manusia dan bumi yang sedang menderita
(Penderitaan Global)

Knitter melihat bahwa kekristenan akan mengalami perkembangan yang evolutif, yakni
dari : Eklesiosentrisme (berpusat pada gereja), melalui kristosentrisme (berpusat
pada Kristus), hingga ke teosentrisme (berpusat pada Allah), dan selanjutnya adalah
soteriosentrisme.

Posisi soteriosentris tersebut dianut oleh Knitter setelah ia dipengaruhi Teologi


Pembebasan Amerika Latin. Teologi Pembebasan berfokus pada pembebasan
manusia-manusia yang tertindas dari para penindasnya maupun situasi yang
menekan, khususnya kemiskinan struktural. Minat Knitter terhadap Teologi
Pembebasan sudah terlihat dari tulisan sebelumnya di dalam buku 'Mitos Keunikan Agama
Kristen'

Pemetaan Baru terhadap Teologi Agama-Agama

Beberapa tahun kemudian, yakni tahun 2002, Knitter menerbitkan sebuah buku
yang berisi pemetaan baru terhadap pendekatan-pendekatan di dalam diskursus teologi
agama-agama. Di sini, Knitter tidak lagi menggunakan tipologi eksklusivisme-
inklusivisme-pluralisme sebagaimana disarankan oleh Alan Race, melainkan
memaknai ulang model-model tersebut dan menambah satu model lagi, yaitu :

1. Model Penggantian, yang terbagi menjadi dua yaitu :

 Penggantian Total yang menganggap hanya agama Kristen yang memiliki


kebenaran dan menjadi jalan keselamatan, dan

11
 Penggantian Parsial yang menganggap bahwa Allah menyatakan atau
mewahyukan diri-Nya di dalam agama-agama non-Kristen tetapi
keselamatan hanya ada di dalam agama Kristen
2. Model Pemenuhan berintikan gagasan bahwa Allah hadir di dalam agama-
agama non-Kristen, namun kekristenan yang memiliki Yesus Kristus berperan
menyempurnakan agama-agama yang lain. Contoh dari model ini adalah
pandangan Gereja Katolik Roma pasca-Konsili Vatikan II yang menyatakan
bahwa ada 'sinar kebenaran' di dalam agama-agama non-Kristen namun
kepenuhan penyataan Allah hanya ada melalui gereja yang mengenal Yesus
Kristus. Contoh lainnya adalah teolog Katolik Karl Rahner dengan konsep 'Kristen
Anonim'
3. Model Mutualitas prinsipnya menyatakan bahwa seluruh agama yang ada
berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam beberapa hal, yang
mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual. Ada tiga
jembatan yang dikemukakan oleh Knitter adalah :
1. Jembatan filosofis-historis yang menyatakan bahwa ada satu kenyataan
Ilahi di balik dan di dalam semua agama.
2. Jembatan religius-mistik yang memercayai bahwa yang Ilahi itu hadir
dalam pengalaman mistik semua agama.
3. Jembatan etis-praktis yang mengatakan bahwa ada keprihatinan dan
fokus bersama dari semua agama yakni situasi dunia masa kini yang
dipenuhi kemiskinan dan penderitaan.
4. Model Penerimaan merupakan pemetaan Knitter terhadap model-model teologi
agama-agama yang berkembang pada dasawarsa terakhir abad ke-20. Pendekatan-
pendekatan di dalamnya berusaha mengembangkan posisi di mana identitas
(partikularitas) Kristen maupun agama-agama lain dapat dihargai
sepenuhnya, namun ada keterbukaan dan relasi dengan agama-agama
lainnya. Ada tiga pendekatan yang dimasukkan Knitter ke dalam model ini, yakni
(1) teologi pasca-liberal, (2) teologi komparatif, dan (3) pandangan teologis S. Mark
Heim.

12
JOHN HARWOOD HICK

John Harwood Hick (lahir di Yorkshire, Inggris tahun 1922) adalah seorang Teolog
yang mendapatkan pendidikan teologi di Edinburg dan Oxford. John Hick adalah tokoh
yang terkenal dengan pluralime, dialog antar agama-agama.

Pemikirannya

John Hick seorang teolog Inggris dan juga seorang filsuf. Hick mempunyai
pengalaman belajar dan hidup bersama dengan komunitas yang beragama lain di
kota kelahirannya Birmingham. Dari kehidupannya ia menyadari banyak rahmat.
Hick melihat ke abad-abad sebelumnya dalam hal keseganan gereja menghadapi
perubahan dalam teologi agama-agama Kristen. Hick menyapa Tuhan bukan dengan nama
Allah melainkan dengan sebutan ‘Yang Nyata’. Ia tidak mencari nama melainkan penunjuk,
ia berusaha mencari istilah bukan untuk menjelaskan apa yang ada di pusat melainkan ada
satu pusat walaupun manusia tidak tahu dengan jelas dan benar apa isinya. Semua agama
sama efektifnya, atau sama tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para
pengikutnya mengubah haluan kehidupan mereka dari ingat diri sendiri ke ingat
akan Yang Lain. Mengenai nama Allah, Hick ingin menunjukkan banyaknya perbedaan dan
untuk saling melengkapi. Ketika banyak agama saling memperdebatkan hal yang lebih baik,
maka jawabannya akan dijawab secara eskatologis. Oleh karena itu, apa yang hanya bisa
diketahui pada akhir zaman tidak perlu mengganggu perjalanan.

John Hick mengatakan bahwa kebenaran yang sesungguhnya terletak di


depan fenomena semua agama. Yesus adalah jalan untuk kekristenan, tetapi Taurat
untuk orang-orang Yahudi, dan hukum Islam berdasar pada teks dari Muhamad, Al-
Quran untuk umat Muslim, dll. Melangkah lebih jauh, semua agama mengajarkan
kebenaran dan keadilan, itulah cara beriman yang paling benar untuk semua orang
percaya. Hick mendapatkan pengaruh dari filsuf yang ternama, Imanuel Kant yang
tidak mengarahkan pikirannya mengenai hal-hal besar, seperti kekristenan, Islam
atau Yahudi. Kant lebih mengarahkan pikirannya kepada teks-teks kuno dan tradisi.

13
Dengan demikian pemahaman lama Hick mengenai Yesus adalah keselamatan satu-
satu, diperbarui dan menghasilkan dialog antar agama.

Kristologi - John Hick

Yesus merupakan satu-satunya penghubung antara Tuhan dan manusia. Oleh


karena itu orang-orang Kristen tidak meninggalkan keyakinan mengenai inkarnasi dan
Yesus sebagai anak Allah Dalam pernyataan ini dapat dilihat adanya unsur puitis, simbolis
dan metafora. Pernyataan bahwa Yesus adalah anak Allah menunjukkan sikap, perasaan,
keyakinan dan perasaan. Pernyataan ini lahir karena orang-orang Kristen sudah
merasakan Allah berbicara kepada mereka, menyentuh mereka, memberi inspirasi kepada
mereka melalui Yesus.

Untuk memahami Yesus sebagai anak Allah dalam bahasa simbolis, Hick
menyarankan agar menggunakan kristologi Roh untuk memahami hal ini. Di dalam
Kristologi Roh, Yesus dikenal sebagai ilahi bukan karena Allah secara harafiah turun dari
surga dan secara harafiah juga menghamili ibu Yesus, tetapi karena Yesus memang
dipenuhi Roh yang diberikan kepada semua orang dan memberi respon total terhadap roh
itu.

Hick meringkaskan pemahamannya mengenai keunikan Yesus dalam bahasa


Latin, umat Kristen dihadapan sesama umat Kristen dan agama lain harus
menyaksikan bahwa Yesus adalah totus Deus - Tuhan seutuhnya. Namun mereka
tidak bisa beranggapan bahwa Ia adalah totum Dei - Tuhan keseluruhan.

Siapa Yesus itu, semua yang ia lakukan dan yang ia katakan diperoleh dari, dan
dinyatakan oleh, Roh Ilahi. Namun, siapa Roh Ilahi itu dan apa yang dilakukan tidak
hanya terbatas pada Yesus, atau kepada inkarnasi Ilahi manusia siapa pun.

Teologi Pluralis John Hick

Dalam buku God Has Many Names karya John Hick pada bab ke empat barangkali
merupakan yang paling krusial diantara bab-bab lainnya. Bab itu diberi judul ‘Whatever
Path Men Choose is Mine’, yang di akhir uraiannya dijelaskan bahwa ungkapan itu

14
dikutipnya dari Bhagavad Gita yang diterjemahkan oleh R. C. Zaehner. Dalam bab ini, John
Hick meletakkan dasar-dasar pemikiran yang mendasari bangunan pluralisme miliknya
sendiri.

Hick memulai uraiannya dengan mengungkapkan pandangannya terhadap


dunia Barat-Kristen tempat ia hidup dan pandangannya terhadap umat beragama
lainnya. Menurutnya, masyarakat Barat telah hidup dalam batas-batas budaya
Kekristenan (the cultural borders of Christendom) dan batas-batas kerohanian yang
dibuat oleh Gereja (the ecclesiastical borders of the Church).

Dari sini, Barat-Kristen mengirimkan misionarisnya ke seluruh penjuru dunia untuk


mengkristenkan dunia yang kurang beruntung (karena belum dikristenkan)

Akan tetapi, lanjutnya, masyarakat Barat juga sudah mulai menyadari hal lain
seiring meluasnya pergaulan di dunia internasional. Sementara populasi umat
Kristen di Eropa terus bertambah, prosentase umat Kristen di dunia justru terus
menurun. Ini terjadi karena ledakan jumlah penduduk yang lebih banyak terjadi di luar
peradaban Barat-Kristen daripada di dalamnya. Hal ini membuat Hick bertanya-tanya :
apa benar Tuhan berkehendak agar seluruh umat manusia menjadi Kristen?

John Hick melanjutkan uraiannya pada sebuah fakta lain. Menurutnya, sebagian
besar (menurut Hick adalah sebesar 98 atau 99 %) manusia memeluk agama sesuai
dengan tempat kelahirannya.

‘Jika seseorang lahir dari orang tua Muslim di Mesir atau Pakistan, maka
kemungkinan besar ia akan menjadi Muslim hingga akhir hayatnya. Demikian juga
jika seseorang lahir dari orang tua yang beragama Budha di Sri Lanka atau Burma,
maka besar kemungkinan ia akan terus menjadi umat Budha. Menurut Hick, para
teolog (pemuka agama) di masa lalu gagal memahami fenomena ini sehingga
berpendapat bahwa keselamatan yang diberikan oleh Tuhan hanya terdapat dalam
satu untaian saja dalam hidup manusia, yaitu sebagaimana yang tertulis dalam kitab
suci umat Kristiani’

15
Hal paling penting yang seharusnya membuka mata peradaban Barat-Kristen, menurut
Hick, adalah imigrasi besar-besaran bangsa Asia ke Inggris yang terjadi sejak tahun
1950-an. India, Pakistan dan Bangladesh telah berkontribusi menambah populasi
umat Islam, Hindu dan Sikh, sehingga Yahudi tidak lagi menjadi umat non-Kristen
satu-satunya di benua Eropa. Hick mengajukan beberapa pertanyaan kepada rekan-
rekannya sesama warga Barat-Kristen :

 Haruskah kita menolong umat Muslim, Sikh dan Hindu untuk mencari tempat untuk
mereka beribadah?
 Perlukah kita menjual gedung-gedung gereja yang tak terpakai kepada mereka?
Apakah siaran-siaran keagamaan lokal harus menyertakan mereka, atau tidak?
 Haruskah kita memaksa setiap siswa untuk mengikuti pelajaran agama Kristen,
tanpa mempedulikan agama yang mereka dan orangtuanya anut?
John Hick kemudian mengatakan bahwa di dalam rumah-rumah peribadatan
agama-agama selain Kristen sebenarnya terjadi hal yang sama dengan yang biasa
terjadi di Gereja. Pada prinsipnya, di rumah-rumah peribadatan itu, manusia
berkumpul bersama untuk membuka pikiran mereka terhadap sebuah realitas yang
lebih tinggi (human beings are coming together to open their minds to a higher
reality). “Higher reality” yang dimaksud di sini adalah Sang Pencipta dan Penguasa
alam semesta, dan yang menuntut nilai-nilai moral tertentu dalam hidup manusia.

Menurut pendapat Hick, perbedaannya memang bisa terlihat, namun tidak esensial.

Di gereja, orang mengenakan sepatu dan tanpa topi, sedangkan di masjid, gurudwara
dan kuil, orang boleh mengenakan topi namun tidak boleh mengenakan sepatu. Di
sinagoga, keduanya tak boleh dikenakan. Di suatu rumah ibadah kita duduk di kursi,
di rumah ibadah yang lain kita duduk di lantai. Ibadah yang satu dilakukan dengan
bernyanyi, yang lain tidak. Yang satu menggunakan alat musik, yang lain tidak. Dan
yang paling penting, yang mereka sembah itu disebut Tuhan (God) di dalam gereja
Kristen, disebut Adonai di dalam sinagoga Yahudi, disebut Allah di dalam masjid
Muslim, disebut Ekoamkar di dalam gurudwara Sikh, dan disebut Rama atau Krishna

16
di dalam kuil Hindu. Namun lagi-lagi, menurut John Hick, peribadatan mereka secara
esensial sama saja.

Hick kemudian mengajukan sebuah pertanyaan penting setelah melihat ‘sekian banyak
kesamaan’ di antara agama-agama tersebut : apakah orang-orang di gereja, sinagoga,
masjid, gurudwara dan kuil itu menyembah tuhan yang berbeda-beda atau Tuhan
yang sama? Apakah God, Adonai, Allah, Ekoamkar, Rama dan Krishna itu adalah tuhan
yang berbeda-beda, ataukah semuanya itu hanya nama-nama yang berbeda untuk satu
Dzat yang sama?

Terhadap pertanyaan ini, Hick mengajukan tiga kemungkinan yang sangat penting untuk
dibahas adalah :

1) Ada banyak tuhan di alam semesta. Namun pendapat ini terbantahkan, karena
tuhan dari masing-masing agama mengaku sebagai pencipta alam semesta ini.
2) Satu agama menyembah Tuhan, sedangkan yang lain menyembah sesuatu
yang hanya ada dalam imajinasi mereka saja. Menurut Hick, pendapat ini pun
keliru, karena dalam agama Kristen sendiri terdapat banyak image Tuhan,
misalnya sebagai Tuhan yang Maha Tegas dan Maha Perkasa, berlawanan
dengan image Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan
demikian, umat Kristen sendiri menyembah Tuhan melalui image yang ada
dalam benak mereka masing-masing.
3) Hanya ada satu Tuhan, yang wujud-Nya secara keseluruhan tak dapat
dijangkau oleh akal manusia, sedangkan semua agama besar di dunia ini
sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, namun dengan konsep dan image
yang berbeda-beda terhadap-Nya. Menurut Hick, inilah pendapat yang benar.
Dengan demikian, doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada
keselamatan) pastilah keliru. Begitu juga keputusan Konsili Florence 1438-1445 yang
menyatakan bahwa tak seorang pun yang berada di luar Gereja Katolik – baik pagan,
Yahudi, orang-orang kafir dan yang memisahkan diri dari Gereja Katolik – yang bisa
mendapatkan hidup abadi; semuanya akan masuk ke neraka selamanya. Klaim

17
Protestan masih lebih baik, karena mereka mengatakan bahwa tak ada keselamatan di luar
Kristen.

Congress on World Mission di Chicago pada tahun 1960 mengatakan bahwa sejak
Perang Dunia II, lebih dari satu milyar jiwa melayang dan lebih dari setengahnya
masuk neraka tanpa pernah mendengar nama Yesus Kristus, mengenali pribadinya,
atau mengapa ia meninggal di tiang salib. Demikianlah cara pandang umat Kristen di
masa lalu yang ditentang keras oleh John Hick. Meski demikian, Hick pesimis Gereja
akan meralat dogma-dogmanya. Sebab dogma tak bisa diralat, namun bisa
diinterpretasikan kembali, demi menyelamatkan muka.

John Hick kemudian mengajukan seperangkat istilah baru, yaitu :

 Iman yang eksplisit dan iman yang implisit (explicit and implicit faith),
 Pembaptisan dengan keinginan dan pembaptisan literal (baptism by desire and
literal baptism),
 Gereja laten dan Gereja yang termanifestasi (latent Church and manifest Church),
 Orang-orang yang bertemu Tuhan melalui Yesus Kristus dan orang-orang yang baru
akan bertemu dengannya di kehidupan akhirat.
Dengan bangunan pemikiran ini, Hick berpendapat bahwa umat Muslim, Hindu, Sikh
atau Yahudi yang taat pada agamanya bisa dianggap sebagai Kristen anonim
(anonymous Christian). Hick mengutip Hans Kung yang mengatakan bahwa manusia akan
diselamatkan oleh agama yang dimungkinkan baginya dalam situasi historis di masa
hidupnya (a man is to be saved within the religion that is made available to him in his
historical situation). Kung berpendapat bahwa jalan keselamatan yang ditawarkan oleh
Kristen adalah jalan keselamatan yang istimewa (extraordinary way of salvation),
sedangkan yang ditawarkan oleh agama-agama lain adalah jalan keselamatan yang biasa
(ordinary way of salvation). Namun Hick mengkritik Kung karena ia mengatakan bahwa
jalan keselamatan yang biasa adalah sebuah ‘jalan sementara’ sebelum – cepat atau lambat
– mereka menerima keimanan Kristen. Ibaratnya seperti Inggris yang memberi amnesti
kepada imigran gelap, Tuhan pun akan menerima semua umat beragama jika cepat atau
lambat mereka menjadi Kristen sejati dengan pembaptisan yang resmi.
18
Kita telah melihat bagaimana para teolog Kristen di dunia Barat memformulasikan
cara untuk menemukan ruang keselamatan bagi kaum Non-Kristen, namun tetap
menggunakan dogma lama. Hanya orang Kristen yang mendapatkan keselamatan; karena
itu mereka mengatakan bahwa umat non-Kristen yang taat sebenarnya adalah orang
Kristen juga atau akan menjadi Kristen (Christians-to-be), bahkan tanpa mereka
menyadarinya.

Pandangan ini, menurut John Hick, bisa berfungsi sebagai jembatan psikologis untuk
menyeberang dari sudut pandang lama ke sudut pandang yang baru (yaitu yang menerima
adanya keselamatan di luar agama Kristen). Akan tetapi, tegas Hick, cepat atau lambat kita
harus keluar dari jembatan itu dan melangkah lebih jauh lagi.

Umat manusia pada jaman dahulu menganut teori ‘Ptolemeus’ yang mengatakan
bahwa Bumi adalah pusat tata surya, sedangkan benda-benda langit lainnya
bergerak mengelilinginya.

Prinsip yang menyatakan bahwa tak ada keselamatan di luar Kristen, dalam
analogi Hick, adalah prinsip teologi yang ptolemaik (Theologically Ptolemaic).
Kristen dianggap sebagai pusat dari ‘alam semesta keyakinan’ (the Universe of
Faiths). Semua agama selain Kristen berputar mengelilinginya dan dinilai
berdasarkan jarak darinya

Sebagaimana teori Ptolemeus dapat dikembangkan tidak hanya dari sudut


pandang penduduk Bumi, teologi ptolemaik juga dapat dikembangkan dari sudut
pandang lainnya. Misalnya, orang Hindu akan berpendapat umat Kristen adalah
umat Hindu yang implisit (implicit Hindus), demikian juga umat lainnya membuat
klaim yang serupa terhadap agama-agama lainnya. Cara pandang ptolemaik bisa
dipakai oleh semua orang, dan bermanfaat untuk ‘mempersiapkan’ akal kita untuk
menerima revolusi Copernicus. Demikianlah menurut John Hick.

Copernicus adalah ilmuwan pertama yang menyatakan bahwa matahari, dan


bukan Bumi, yang merupakan pusat dari tata surya. John Hick kemudian
19
menggunakannya sebagai analogi untuk mengajukan teori bahwa seluruh alam semesta
keyakinan bergerak mengitari Tuhan, dan bukan agama Kristen atau agama-agama
lainnya. Dia adalah mataharinya, sumber asli dari cahaya dan kehidupan, yang
semua agama bercermin pada-Nya dengan cara-cara mereka yang berbeda-beda (He
is the sun, the originative source of light and life, whom all the religions reflect in their own
different ways). Pada titik ini, Hick mengajak kita untuk beralih dari Religion-
centredness kepada God-centredness.

John Hick berpendapat bahwa masing-masing agama adalah alat untuk menurunkan
wahyu kepada berbagai aliran peradaban manusia.

Penjelasan ini sejalan dengan yang ditemukan Hick dalam bahasan-bahasan sejarah agama-
agama. Pada periode awal peradaban manusia, agama yang dianut adalah agama
natural yang melakukan pemujaan terhadap roh, nenek moyang, dewa-dewa alam,
dan kadang juga kepercayaan kebangsaan yang haus darah. Pada periode
berikutnya muncullah agama-agama yang lebih maju di pusat-pusat peradaban
manusia. Pada periode ini lahir agama Yahudi, Zoroaster, Konfusianisme, Budha dan
sebagainya. Pada periode setelah itu barulah lahir agama Kristen dan Islam.

Pada periode kedua, sekitar dua ribu lima ratus tahun yang lalu, komunikasi
antarbenua dan peradaban di Bumi berlangsung sangat lambat, sehingga manusia
praktis hidup dalam kebudayaan-kebudayaan dunia yang berbeda. Maka yang terjadi
adalah pewahyuan yang terpisah (separate revelations) kepada umat-umat yang
berbeda dalam sejarah manusia. Maka Tuhan pun dikenali dengan cara yang
berbeda-beda oleh masing-masing peradaban manusia, sedangkan tradisi-tradisi
keagamaan dipengaruhi oleh sejarah, kebudayaan, bahasa, iklim dan keadaan-
keadaan lainnya yang mempengaruhi hidup manusia. Dengan demikian, bentuk
kultural dan filosofis dari masing-masing agama memiliki karakter yang berbeda-
beda, namun Hick meyakinkan semua orang bahwa di segala tempat ada Dzat yang bekerja
untuk terus berhubungan dengan manusia.

20
John Hick menyadari bahwa pemahaman ini akan menimbulkan banyak pertanyaan
di tengah-tengah umat Kristen. Bagaimana dengan klaim Yesus Kristus sebagai pihak kedua
dari Trinitas Suci yang menjadi manusia, Logos abadi yang memiliki daging manusia? Hick
mengatakan bahwa klaim ini pun sekarang sedang diguncang hebat, karena para ahli di
Barat mulai mengkritisi Perjanjian Baru dan meragukan klaim bahwa kitab ini seratus
persen benar. Bahkan para ahli tidak menemukan klaim dalam Bibel yang menyatakan
bahwa Yesus Kristus adalah satu dengan Tuhan. Pada akhirnya, Hick mempertanyakan :
apakah klaim ketuhanan yang menyangkut Yesus adalah sebuah pernyataan yang
berdasarkan fakta, ataukah itu hanya ungkapan puitis, simbolik, bahkan mitologis? Hick
memilih pendapat yang terakhir.

Hick memperbandingkan Yesus – yang merupakan anak Tuhan yang memiliki ibu
Sang Perawan Maria – dengan tokoh mitologi Hercules, yang ayahnya adalah dewa Zeus
dan ibunya adalah seorang manusia. Bagaimanapun, teori semacam ini tak pernah
didiskusikan serius untuk menggambarkan konsep ketuhanan Yesus. Dalam sejarah
Kristen, setiap kali ada yang berusaha menjabarkan konsep ini dengan istilah-istilah yang
literal dan faktual, hasilnya adalah vonis kekafiran (heresy). Sebab Gereja tidak mau
menerima penafsiran yang menggambarkan Yesus sebagai bukan sepenuhnya manusia
atau bukan sepenuhnya Tuhan. Sebaliknya, Gereja sendiri gagal menjabarkan konsep
Trinitas dengan cara yang memuaskan akal manusia, karena Yesus adalah sepenuhnya
Tuhan dan sepenuhnya manusia, bukan setengah-setengah.

Karena itu, John Hick memandang konsep ketuhanan Yesus sebagai kisah
yang murni puitis-mitologis. Yesus, menurutnya, adalah sarana manusia untuk
melakukan kontak dengan Tuhan. Karena ia adalah sebenar-benarnya pelayan
Tuhan, maka menjadi pengikutnya adalah sama dengan menjadi pengikut Tuhan
yang sebenar-benarnya juga. Itulah sebabnya ia disebut sebagai anak Tuhan.

Dengan cara ini, menurut Hick, kita bisa memuji keimanan Kristen tanpa harus
mencela keimanan agama lain. Kita juga dapat mengatakan bahwa terdapat
keselamatan di jalan Kristus tanpa harus mengatakan bahwa tidak ada keselamatan
selain dari jalan Kristus.
21
Pengamatan Hick yang murni historis mengantarkannya pada kesimpulan bahwa
agama-agama dunia sebenarnya senantiasa mengalami perubahan, meskipun hampir
selalu mengklaim dirinya tak memiliki kesalahan atau ajarannya abadi. Masing-masing
agama mengalami masa-masa terjadinya perubahan yang sangat besar, ekspansi besar-
besaran, skisma (perpecahan), reformasi dan pencerahan, dan juga periode yang relatif
stabil. John Hick mengakui bahwa Islam adalah agama yang paling sedikit berubah
dibanding agama-agama lainnya, sedangkan Hindu adalah agama yang paling siap untuk
berubah dan menerima pengaruh dari luar. Pada prinsipnya, tegas Hick, tak ada batas dari
perkembangan selanjutnya.

Menurut ramalan Hick, pada periode-periode berikutnya akan terjadi interaksi


antaragama yang cukup intens. Masa depan Kristen akan dibentuk salah satunya
dengan pengaruh Hindu, Budha dan Islam, dan demikian juga sebaliknya. Hubungan
antaragama bersifat mutual. Selain menerima pengaruh dari agama lain, juga ada
pengaruh dari peradaban sekuler.

Hick kemudian memformulasikan ramalannya tentang bentuk agama manusia di


masa depan. Menurut Hick, religiusitas manusia adalah bawaan lahirnya (innate) dan
agama akan lestari dalam suatu bentuk selama sifat asal manusia masih sama. Tapi seperti
apa bentuk agama di masa depan itu? Di masa kini, persamaan diantara semua agama itu
nampaknya lebih dipandang penting daripada perbedaan-perbedaannya. Berdasarkan
trend tersebut, Hick berpendapat bahwa di masa depan manusia akan bersepakat dalam
komitmen terhadap keimanan yang berlandaskan persaudaraan, sementara perbedaan-
perbedaan diantara tradisi-tradisi agama menjadi kurang signifikan artinya.

John Hick membayangkan agama-agama di dunia ini kelak akan seperti sekte-sekte
Kristen yang saling bersahabat satu sama lainnya. Manusia bisa mengunjungi
peribadatan umat lain tanpa rasa sungkan, bahkan bisa juga berbagi tempat ibadah,
bekerja sama dalam segala hal, para pemuka agamanya terbiasa berdiskusi satu
sama lainnya dan seterusnya.

22
Bagaimanapun, Hick melihat bahwa bersatunya agama-agama itu adalah suatu hal
yang terlalu muluk. Hanya saja, ia berharap tradisi-tradisi keagamaan dapat memandang
satu sama lainnya bukan sebagai rival. Menurut Hick, selama masih ada berbagai
macam manusia, akan selalu ada berbagai macam cara peribadatan dan pendekatan
teologi. Akan tetapi, sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya, Tuhan yang
disembah oleh umat Kristen adalah sama dengan Tuhan yang disembah oleh umat
Islam, Yahudi, Budha, Hindu dan sebagainya. Hick mengakhiri uraiannya dengan
kutipan dari kitab Bhagavad Gita, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kurang
lebih sebagai berikut : “Howsoever men may approach me, even so do I accept them; for, on
all sides, whatever path they may choose is mine.”

John Hick menutup uraiannya dengan menjelaskan bahwa setiap agama di dunia ini
pernah dan akan mengalami perubahan. Dengan terbukanya komunikasi
antarbenua dan antaragama, maka masing-masing agama akan saling
mempengaruhi, bahkan agama pun akan terpengaruh oleh ideologi-ideologi seperti
sekularisme.

TH. SUMARTANA

Th. Sumartana adalah salahsatu Teolog Teologi Agama-agama di Indonesia. Menurut


Th. Sumartana : tantangan keagamaan yang mendasar yang kita hadapi sekarang ini
bisa kita ungkap dengan satu kata, yaitu pluralisme. Tidak ada maksud mengatakan
bahwa pluralisme merupakan satu-satunya tantangan akan tetapi bila tantangan itu tidak
diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka agama-agama akan kehilangan persepsi yang
benar tentang dunia dan masyarakat sekarang. Pluralisme telah menjadi ciri esensial
dari dunia masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi kampung kecil di
mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Selain itu ada beberapa pengertian dai
teologi agama-agama.

1) Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas


keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut

23
tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon terhadap
persoalan pluralisme.
2) Theologia religionum merupakan usaha untuk mencari makna teologis dari
pluralisme agama-agama tersebut. Dan tugas esensial dari agama adalah
membuat dirinya relevan dengan keadaan, theologia religionum merupakan
respon kita terhadap keseluruhan masa depan masyarakat maupun agama-
agama. Masa depan menjadi masa depan bersama.
3) Dalam theologia religionum kita diarahkan pada bagaimana kita tetap menjaga
identitas keagamaan kita tanpa meremehkan dan bahkan bisa menghargai
identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain.
4) Perumusan theologia religionum dilakukan dengan mengandaikan kehadiran
orang lain tersebut dalam proses bukan menganggap orang lain tersebut
absent atau bahkan non-exist. Jadi ada suatu “dialog” yang terjadi secara internal
Theologia religionum bertujuan untuk membangun suatu jembatan kerjasama,
perspektifnya adalah mengarah pada kesimpulan yang bukan hanya prinsipal dan
teoritis, melainkan menyangkut langkah nyata. Jadi theologia religionum bermuara
pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antar agama. Theologia religionum bukan
dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antar agama, melainkan hanya memberi
makna positif terhadap agama-agama tersebut sehingga keperbedaan tersebut
benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan.
Jadi theologia religionum di Indonesia bertujuan agar gereja-gereja secara
teologis merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya dan rasa senasib
sepenanggungan untuk mengahadapi persoalan bersama pada masa depan serta
bisa menjalin kerjasama yang erat antara semua orang beriman dan membentuk
kerjasama yang produktif

PERBEDAAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA DENGAN STUDI AGAMA-AGAMA

Teologi Agama-Agama dan Sosiologi Agama

Studi sosiologi agama-agama merupakan studi tentang hubungan-hubungan antara


agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi. Hal-hal yang
24
menjadi perhatian dari studi ini adalah bagaimana kepercayaan-kepercayaan agama
tertentu memengaruhi suatu masyarakat, atau bagaimana kepercayaan agama
tertentu memengaruhi pola hubungan dengan umat beragama lain. Dalam bidang ini,
yang menjadi obyek penelitian adalah aspek manusiawi (imanen), yang mana aspek
Ilahi (transendensi) diwujudkan di dalam perilaku manusia sehari-hari. Akan tetapi,
hal-hal yang transenden tidak terlalu diperhatikan atau dikesampingkan di dalam
studi ini.

Teologi agama-agama juga mempelajari aspek manusiawi dan aspek Ilahi di dalam
agama-agama. Akan tetapi, teologi agama-agama justru lebih tertarik untuk
mempelajari aspek Ilahi yang memengaruhi perilaku sehari-hari, dalam hal ini antara
umat Kristen terhadap umat beragama yang lain

Teologi Agama-Agama dan Filsafat Agama

Filsafat agama merupakan refleksi filosofis mengenai agama dengan menggunakan


metode filsafat secara sistematis dalam menganalisis isi pokok suatu agama, seperti
konsep Tuhan, Yang Suci, Keselamatan, Ibadah, Kurban, Doa, dan sebagainya. Filsafat
agama berupaya mencari pembenaran rasional dari gerakan agama tertentu, serta
memberi penilaian terhadapnya sehingga bersifat normatif.

Teologi agama-agama juga memberikan penilaian seperti filsafat, tetapi di dalam


terang iman Kristen yang berupaya menilai agama-agama yang lain, bukan
berdasarkan rasionalitas seperti filsafat agama melainkan penyataan Allah.

Teologi Agama-Agama Fenomenologi Agama

Fenomenologi agama adalah bidang studi yang berupaya melihat kepelbagaian


agama secara fenomenologis. Fenomenologis artinya bagaimana pemeluk agama-
agama berbicara tentang apa yang mereka yakini dan percayai sejauh dapat diamati
(fenomena). Di sini, penilaian oleh pengamat dihindari dan keunikan tiap agama berusaha
dipertahankan. Gejala-gejala yang diperbandingkan hanya untuk memperdalam pengertian
dari gejala-gejala religius yang dipelajari.
25
Di dalam teologi agama-agama, penilaian terhadap agama lain dari perspektif
kekristenan tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi, semangat yang mendasarinya
bukan semangat konfrontatif, melainkan justru bagaimana umat Kristen dan umat
beragama lainnya dapat hidup bersama secara harmonis di dalam konteks
kemajemukan agama.

TANTANGAN TEOLOGI AGAMA-AGAMA

a. Intern dan Ekstern


Respon Terhadap Tantangan Pluralisme pada tataran intern gerejawi, Theologia
Religionum merupakan upaya untuk mencari makna teologis dari pluralisme
agama-agama tersebut. Ini sebenarnya merupakan tugas esensial dari upaya setiap
kelompok agama untuk membuat dirinya relevan dengan keadaan, dengan kata lain ia
merupakan wujud dari apa yang selama ini disebut sebagai teologi kontekstual. Selain
itu ada beberapa faktor internal dalam gereja yang menjadi tantang Teologi agama-
agama :
 Teologi warisan zending (bertolak dari pemhaman yang Eksklusivisme)
 Teologi fundamentalis kharismatik (yang berorientasi pada penyelamatan jiwa)

b. Persoalan Kebenaran
Kebenaran itu menjadi benang merah dari kehadiran agama-agama tersebut,
ia tidak bisa diputuskan dan harus tetap terpelihara. Ia bukan merupakan tema yang
baru akan dirumuskan, tetapi merupakan tema lama yang akan dirumuskan ulang dalam
konteks yang baru.
 Klaim kebenaran absolut dari tiap agama-agama
 Keunikan Yesus Kristus (Kristologi John Hick)
Perumusan Theologia Religionum

a. Apresiasi Aktif

Suatu pemahaman yang sungguh-sungguh tentang makna pluralisme hanya bisa


diselenggarakan dari dalam. Oleh sebab itu, tak bisa tidak, ia menuntut sebuah pendekatan

26
teologis. Kita perlu memulainya dengan kesadaran tentang kekurangan dan
keterbatasan yang ada pada diri kita sendiri dalam seluruh tradisi yang kita kenal
selama ini guna merumuskan makna teologis dari agama-agama dan agama kita
sendiri. Kita terpanggil untuk mengambil inisiatif untuk melakukan suatu "apresiasi
aktif" terhadap agama-agama lain.

b. Titik Tolak Trinitas

Dalam rangka ajaran Kristen tentu kita akan segera bertemu dengan ajaran
trinitaris, yaitu bagaimana kita mengungkapkan relevansi dari ajaran tentang Tuhan
Bapa, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus itu dalam menilai harga agama-agama
non-kristen.

Soalnya adalah, bagaimana kita menafsirkan kristologi secara baru sehingga mampu
memberi tempat kepada agama-agama? Secara umum bisa kita katakan, bahwa kristologi
yang ada tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama seperti yang
sekarang ini. Mungkin, di sinilah tepatnya kita mengatakan bahwa yang kita
butuhkan adalah teologi agama-agama dan bukan kristologi agama-agama. Sebab,
tekanan yang hendak kita berikan adalah universalitas itu.

Yang kita butuhkan adalah, bagaimana kita mengerjakan kristologi atau teologi
atau pneumatologi, sehingga menjadi "christology of religions" atau "theology of religions"
atau "pneumatology of religions". Apapun namanya, semua itu harus merupakan
langkah apresiasi terhadap pluralisme agama-agama. Menciptakan ruang untuk
menghargai agama lain untuk menghormati agama lain. Semuanya harus dilakukan
untuk tidak mengulangi kesalahan dan indeferensi yang lama. Mungkin bagi pemikir
teologi Kristen, cukup untuk mengatakan bahwa theologia religionum yang baik dan
memadai adalah yang bercorak trinitaris.

27
c. Soteriologi

Soteriologi berasal dari kata soteria yang artinya keselamatan. Dengan kata
lain soteriologi adalah cabang ilmu teologi yang membahas ajaran tentang
keselamatan di dalam tradisi teologi Kristen. Secara singkat soteriology dapat diartikan
sebagai ajaran tentang keselamatan. Pengertian lain dari soteriologi mengikti kasih dan
anugerah Allah. Soteriology secara sederhana dapat diartikan sebagai ajaran tentang
keselamatan menurut agama Kristen. Atau penyelamatan. Dengan demikian soterioloi
mengarahkan kita kedalam pembahasan tentang keselamatan melalui Yesus Kristus.
Atau dengan kata lain soteriology adalah ilmu yang mempelajari tentang prinsip-
prinsip keselamatan dalam Yesus Kristus.

Di sini kita bergumul dengan kemungkinan untuk menerobos bentuk-bentuk


teologi dan kristologi yang kaku dan memberikan ruang yang bebas dan positif
untuk mengakui kehadiran dan nilai agama-agama itu dalam pemahaman
soteriologi kita. Dan pemikiran kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan
dengan soal soteriologi ini. Mungkin, jikalau pneumatologi ini sudah kita kaitkan
dengan soteriologi, maka kristologi dan teologi akan bisa diatasi dengan baik.
Sehingga, kita tidak berbicara tentang teologi atau kristologi agama-agama,
melainkan pneumatologi agama-agama, di mana di dalamnya dan melalui
pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku kehadiran Roh yang
menyelamatkan.

Soal dogmatis dan kebenaran bukan tidak penting, tetapi justru sebaliknya, yang
hendak dituju adalah ungkapan praksis dari hubungan antar-agama itu. Kebenaran
telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging. Antara creed dan deed
antara doktrin dan tingkah laku, antara teori dan praksis, antara iman dan buah-buahnya,
antara ortodoksi dan ortopraksis, telah dipersatukan. Demikian juga perlu dipikirkan
untuk menciptakan suatu pemikiran yang lebih utuh tentang hubungan antara wahyu
(revelation) di satu pihak dengan soteriologi di pihak lain. Pengabsahan akan
berlakunya pernyataan Tuhan (revelation) akan memberikan implikasi yang positif
pula kepada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama.

28
Soteriosentrisme

Soteriosentrisme berasal dari kata bahasa Yunani soter yang berarti


keselamatan. Dengan demikian, soteriosentris secara etimologis berarti 'berpusat
pada keselamatan'. Jikalau pendekatan pluralisme menjadikan Satu Realitas Ilahi (disebut
The Real oleh John Hick) atau Tuhan dalam bahasa agama Abrahamik, maka
soteriosentrisme menjadikan konteks penderitaan umat manusia dan penderitaan
alam (krisis ekologis) sebagai pusat. Penderitaan yang dialami umat manusia dan
kerusakan alam haruslah menjadi fokus perhatian dan sasaran dari agama-agama
yang ada. Manusia dan alam yang menderita perlu mendapatkan keselamatan yakni
terbebas dari derita yang mereka alami. Di sini, paham keselamatan dalam kekristenan
diberikan pemaknaan baru oleh Paul Knitter.

Dengan demikian, Knitter mengkritik pendekatan pluralisme yang langsung


menyatakan bahwa agama-agama adalah jalan menuju Tuhan. Menurut Knitter,
agama-agama yang ada di dunia perlu dinilai kebenarannya melalui kriteria
soteriosentris tersebut, yakni seberapa besar agama-agama mau berfokus dan
berjuang bagi keselamatan umat manusia dan bumi yang sedang menderita
(Penderitaan Global)

Knitter melihat bahwa kekristenan akan mengalami perkembangan yang evolutif, yakni
dari : Eklesiosentrisme (berpusat pada gereja), melalui kristosentrisme (berpusat
pada Kristus), hingga ke teosentrisme (berpusat pada Allah), dan selanjutnya adalah
soteriosentrisme.

d. "Self Understanding"

Ia berfungsi ke dalam umatnya sendiri, dan berfungsi sebagai jembatan untuk


melangkah keluar yang menghubungkan umat sesuatu agama dengan umat
beragama lain yang punya tradisi pemikiran keagamaan yang berbeda. Ia
melakukan penyempurnaan dan koreksi terhadap stereotip yang lama yang
cenderung menciptakan konflik yang sia-sia.

29
Tantangan Peradaban, Respons Gerejawi

Konsentrasi kita memang pada pluralisme. Kita diperhadapkan dengan soal


keperbedaan, kemungkinan lain serta alternatif yang lain yang ditawarkan begitu banyak.
Dan kita harus memberi respon yang memadai. Kita bukan hanya akan mengubah,
tetapi juga diubah oleh perubahan yang sedang terjadi. Dan, ini merupakan tantangan
kita untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kedatangan milenium yang ketiga itu.

a. Tantangan Milenium Ketiga


1. Yaitu masa intoleransi dan masa inkuisisi (persecution/penganiayaan) yang amat
panjang dan amat "sadis" dalam sejarah kemanusiaan. Ada banyak kematian yang
terjadi, akan tetapi terutama "theological killing" menjadi corak utama dari ribuan
tahun yang kedua dari sejarah manusia beragama.
2. Dalam milenium ketiga kita menghadapi sesuatu yang lain, tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana kita tetap menjaga identitas kita tanpa
meremehkan, dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain
dan integritas agama orang lain. Sebagai contoh, sinode Dutch Reformed Church
di Belanda masih memuat dalam keputusan sinodenya tahun 1986 yang
mengatakan "agama Islam adalah agama sesat (palsu) dan berbahaya
mengancam secara serius terhadap kekristenan dan kemanusiaan". Tantangan
yang lain di Indonesia berkembang teologi fundamentalis kharimatik yang
berorientasi pada penyelamatan jiwa.

b. Tantangan Eksklusifisme (Barth, Kraemer)


Tokoh-tokoh lama seperti Barth dan Kraemer, dan memberikan suatu pijakan
pemikiran yang yelas-jelas dalam pemikiran teologi Kraemer, kristologinya
merupakan suatu "bentuk imperialisme keagamaan" (fasilitas agama). Yang
menunjukkan arogansi dan sikap yang sangat partikularistis, dan hal itu
dengan efektif ditembus oleh orang seperti Smith dan John Hick yang
mengatakan bahwa ada suatu "revolusi berpikir" dalam masyarakat

30
pluralistis ini, yaitu dari "geosentrisme" (baca: kristosentrisme) kepada
"heliosentrisme" (baca: theosentrisme). Paradigmanya berubah dari
eksklusivisme ke arah pluralisme.
Kristologi semacam itu tidak bisa lagi dipakai untuk menilai secara positif
agama-agama lain. Upaya mencari kebenaran menjadi upaya penghakiman
agama yang memutuskan hubungan. Smith menunjuk, bahwa yang penting
adalah keimanan kepada Tuhan, dan bukan kepada Kristus yang juga beriman
kepada Tuhan. Jadi sumbangan pemikiran teologi Smith saya kira secara
efektif telah mampu mengoreksi kelemahan dan keterbatasan dari teologi
krisis atau neo-orthodoksi, atau teologi dialektisnya Barth dan Kraemer.
Semua itu dikemukakan oleh antara lain George Chemparaty dalam artikelnya
"Dialectical Theology and Non-Christian religions", kritik yang tajam kepada
teologi dialektik yang bercorak negatif terhadap agama lain, berdasarkan
kristosentrisme yang berlebihan. Kita harus mencari kemungkinan lain,
kemungkinan yang berbeda dari posisi seperti itu. Pandangan tersebut, sekarang
ini berinkarnasi pada fundamentalisme Kristen yang muncul dalam
bentuknya yang lebih buruk dan lebih dangkal, yang menilai agama-agama
hanya sebagai "anak-anak setan" yang menuju neraka. Karena itu, tak ada
pengertian kontinuitas dan tak ada "point of contact" antara agama Kristen dan
agama-agama non-Kristen.
Pandangan tentang wahyu juga memberikan pemahaman yang amat
sempit mengenai soteriologi, dan cenderung terperangkap dalam mentalitas
ghetto dalam kehidupan agama. Oleh sebab itu, menurut hemat saya teologi
dialektik harus ditolak sebagai pilihan yang tidak relevan dengan tatanan dunia
plural sekarang, dan harus diganti dengan sesuatu yang baru, yang lebih berakar
kepada pergumulan mengenai pluralisme agama.
Teologi krisis berhadapan dengan masalah totalitarianisme ideologi naziisme.
Dan mengaplikasikannya kepada dunia agama-agama, dan dengan semboyan: "sola
fide et solo christo". Dan anehnya, semua itu dilakukan tanpa pengetahuan
secukupnya tentang agama-agama non-Kristen. Sehingga, terjadi ketimpangan yang
mencolok dalam memahami agama-agama tersebut. Konteks dari teologi krisis
31
tidak relevan lagi untuk diterapkan pada situasi yang sekarang, di mana
prinsip emansipasi justru menempatkan semua kelompok masyarakat untuk
mengambil bagian dalam pergaulan yang beradab dari umat manusia.

TEOLOGI AGAMA DAN AGAMA TRANSFORMATIF

Dalam bentuk semacam itu maka agama akan menjadi agama transformatif yang
bisa memberikan ilham bagi semua orang. Memberikan harapan, moral yang tinggi dan
kesadaran yang mendalam kepada warga masyarakat. Di situ, agama menjadi agama yang
mempunyai kekuatan transformatif dan kreatif bagi masyarakat. Ini merupakan bagian inti
profetik agama-agama menjadi potensi agama-agama mampu tampil bersama-sama selaku
pemberi alternatif dan selaku penerang bagi masalah kemanusiaan sekarang ini.

Yang dibutuhkan bukan pandangan eksplisit saja, akan tetapi juga aplikasi dari
doktrin keagamaan dalam kenyataan kontemporer sekarang ini. Penjabaran dari doktrin
keagamaan dalam praksis politik, ekonomi dan kebudayaan dan segenap bidang hidup
itulah yang akan memberikan corak transformatif dari kehadiran agama.

Teologi tidak bisa dirumuskan sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi


penghalang untuk menghargai iman orang lain. Pernyataan negatif dan yang sudah
menyatu dengan seluruh sistem dogmatik kita yang bercorak polemis-apologetis.
Baik yang termuat dalam kitab-kitab pelajaran agama, dalam kidung-kidung pujian,
dalam liturgi, maupun dalam ajaran-ajaran gerejawi yang memberikan keterangan
negatif tentang iman kepercayaan orang lain. Yang pada dasarnya memang
merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama yang lain, atau yang
dianggap suci oleh agama lain. Dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang, hal
tersebut telah menyerang kehormatan dan integritas orang lain.

Masalah Kemajemukan dan Dialog Agama


Salah satu faktor lain yang menghasilkan konsep Pluralisme adalah masalah
kemajemukan agama. Fakta tentang keberagaman agama dan kemajemukannya adalah
satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun juga. Dan secara otomatis tiap-tiap

32
agamapun akan bersentuhan dengan agama-agama yang lain. Hans Kung seorang teolog
katolik yang radikal dalam tulisan Pinnock mengemukakan, ”Untuk pertama kali dalam
sejarah dunia adalah sesuatu yang mustahil bagi satu agama untuk eksis dalam
isolasi yang sangat baik dan mengabaikan yang lain.” Kesadaran akan kemajemukan itu
tidak hanya sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga dituntut
untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih luas.
Amerika Serikat sendiri karena pengaruh arus urbanisasi membuat semakin
banyak pengaruh agama-agama yang lain yang masuk bersamaan dengan arus
imigrasi bangsa lain ke Amerika. Masuknya agama lain itu memberi corak yang beragam
bagi bangsa Amerika. Imigran dari Cina dan Jepang, membawa serta agama-agama ke
Amerika. Gereja Ortodoks dan Yudaisme memasuki kancah-kancah agama-agama di
Amerika bersamaan dengan masuknya imigran dari Eropa Timur dan Israel.
Diantara tahun 1880-1900 lebih dari setengah juta orang Yahudi memasuki Amerika.
Demikian pula, pada akhir abad ke-19 itu telah ada agama-agama lain seperti Bahai,
Hinduisme dan agama timur lainnya.
Kemajemukan itu sendiri oleh karena klaim-klaim keabsolutan akhirnya mau
tidak mau akan saling berbenturan satu dengan yang lain, dan hal itu bukanlah
sesuatu yang mudah untuk dihadapi. Indonesia sendiri yang mempunyai keragaman
agama telah sering kali mengalami hal yang tragis yang berhubungan dengan hal itu.
Toleransi agama yang ada tidak cukup lagi bagi pemikiran sebagian orang, apalagi
setiap agama masing-masing punya misi yang tersendiri. Akhirnya berbagai dialog
semakin gencar dilakukan, apalagi dengan adanya konflik membuat masing-masing
pemimpin agama bersatu dan bukan lagi hanya sekedar dialog tetapi juga akhirnya
mencapai doa bersama.
Menyadari hal itu akhirnya kaum Pluralis mulai mengembangkan sistem
Theologia mereka. Paul Knitter, salah satu penggagas utama Pluralisme
mengemukakan, “Suatu model pluralistis menggambarkan perubahan baru-apa yang
disebut sebagai “pergeseran paradigma”- dalam usaha teolog Kristen, baik dimasa
lalu maupun sekarang, untuk memahami dunia berbagai agama lain dan tempat
agama Kristen dalam dunia tersebut. Sampai kepada akhirnya ia dengan yakin

33
mengusulkan agar gereja Kristen dalam menghadapi dunia Pluralisme agama mengadakan
dialog yang lebih luas sehingga memungkinkan terjadinya suatu transformasi diri.
Sementara itu tiga orang teolog Pluralis Asia yaitu Raimundo Panikkar, Stanley
Samartha, dan Choan Seng Song adalah orang yang menyetujui konsep dialog
sebagai misi utama semua agama, terutama kekristenan. Mereka mendefinisikan
pendekatan mereka yang dialogis ialah "membiarkan pembahasan teologi kita dipengaruhi
teologi agama lain, sehingga kita terpaksa makin jujur dan lebih memperdalam rohani kita.
1) Song dan Panikkar setuju bahwa dialog adalah,” perjumpaan yang sejati dengan
orang lain kepercayaan dan ideology lain dan menemukan bahwa ada jalan
lain untuk mengenal kebenaran dari pada yang kita telah pelajari.”
2) Song mengusulkan adanya pertobatan dialogis, yaitu : “ berbalik dari memakai
dialog sebagai alat untuk mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah
masuk kedalam kehidupan mitra-mitra dialog.”
3) Stanley Samartha berpendapat bahwa, “Seorang Kristen harus mendekati dialog
atas dasar Teosentris dan bukan atas dasar Kristosentris. Hal ini
membebaskan orang Kristen dari anggapan diri sebagai pemilik wahyu dan
kebenaran satu-satunya”. Ia mempermasalahkan sikap terbukanya orang Kristen
yang bersifat netral. Dengan dasar konsep inkarnasi, ia mendorong supaya orang
Kristen untuk berani berdialog. Karena itu ia mengartikan bahwa dialog
adalah,”Upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya
dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan
warisan rohani tetangga-tetangga.”
4) Raimundo Panikkar meyatakan bahwa, “melalui dialog-dialog pengalaman-
pengalaman partikular mengenai kebenaran-Kristus bagi orang Kristen, Veda
bagi orang Hindu dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap
pengalaman-pengalaman particular mengenai kebenaran. Melalui dialog akan
terjadi perluasan dan pendalaman setiap pengalaman particular mengenai
kebenaran ilahi.”

34
PERSOALAN TEOLOGIS DALAM PLURALITAS IMAN

Paul F. Knitter dalam bukunya ‘SATU BUMI BANYAK AGAMA’ mengatakan bahwa para
teolog teologi agama-agama telah memutuskan untuk “menyeberangi sungai Rubicon”
untuk memegang prinsip pluralistik dalam memandang agama-agama lain.
Knitter menjelaskan bahwa kebanyakan sejarah Kristen didominasi oleh dua
pendekatan mendasar :

1) Pendekatan Eksklusivisme Konservatif yang menemukan keselamatan di


dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, walaupun ada, nilai ditempat
lainnya,
2) Inklusif Liberal yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman
yang lain, tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil karya yang
telah dipenuhi dalam Kristus
Kemudian Knitter melanjutkan dalam mendefinisikan perubahan paradigma yang
diusulkan, didukung oleh sebelas rekannya yang ia sebut sebagai posisi pluralis. Definisi
tersebut adalah, Upaya melangkah meninggalkan penekanan pada superiotas atau
finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri dalam
jalan-jalan lain. Hal itu kemudian digambarkan para peserta dalam proyek kami (tokoh
pluralis) sebagai usaha menyeberangi jembatan teologis Rubicon. Oleh sebab itu mereka
membangun tiga jembatan penyeberangan untuk melampaui eksklusivisme dan
inklusivisme, yang akhirnya semua jembatan itu disimpulkan oleh Tom Driver.

1. Jembatan Historis – Kultur : Relativitas


Tiga pemikir yang menyeberangi melalui jembatan ini adalah Gordon
Kauffman, John Hick dan Langdon Gilkey. Hal yang disorot pada bagian ini
adalah masalah relativitas. Keyakinan utama yang diketengahkan adalah
bagaimana kaum Pluralis menyadari keterbatasan semua pengetahuan dan
keyakinan religius, sehingga tidaklah mungkin kita menilai klaim kebenaran
budaya atau keyakinan yang lain atas dasar keyakinan sekarang atau
pemahaman kita

35
Gordon Kauffman dalam tulisannya menjelaskan bahwa dengan argumentasi
bahwa ancaman awan jamur, memaksa semua agama untuk berdialog dan
bekerjasama dimana lebih lanjut ia mengemukakan bahwa sebagai syarat yang
perlu untuk dialog semacam itu, ia mengusulkan agar para pemeluk agama
mengalami RELATIVITAS HISTORY semua bentuk keagamaan dan dengan
demikian menanggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama “satu-
satunya” atau bentuk yang “tertinggi”. Argumentasi yang dikemukakan oleh
Kaufman adalah masalah keutuhan persatuan manusia. Bahwa injil Kristen tidak
dapat menyediakan pusat persatuan dengan klaim-klaim yang ada padanya oleh
sebab itu dengan “kesadaran sejarah modern” meminta supaya orang Kristen
untuk melepaskan klaim atas keunikan Kristus, dan mengakui bahwa
pandangan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa seperti semua pandangan
manusia, adalah ditentukan oleh kebudayaan.

Bagian selanjutnya dalam tulisan John Hick memberikan argumen yang


lebih jauh tentang relativitas historis. Ia menyatakan bahwa bila suatu agama
ingin mengklaim dirinya yang paling tinggi, ia harus melakukannya
berdasarkan “pengujian terhadap fakta-faktanya” – yakni suatu bentuk data
empiris atau berdasarkan pengalaman yang terbuka bagi semua pihak. Data
semacam itu mestinya harus ditemukan dalam agama yang memiliki kemampuan
lebih baik, dibandingkan dengan agama-agama lain, yang menyangkut
kesejahteraan umat manusia. John Hick menyimpulkan :

Tampaknya kita tidak mungkin membuat penilaian global bahwa suatu


tradisi keagamaan yang satu lebih banyak menyumbangkan kebaikan atau
lebih sedikit keseluruhan dari pada yang lain, atau bahwa satu tradisi
memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kebaikan dan kejahatan
daripada tradisi lain. Sebagai totalitas yang amat besar dan kompleks, tradisi-
tradisi dunia tampaknya lebih kurang setara satu sama lain. Tak satupun
dapat diselamatkan secara khusus sebagai yang sungguh-sungguh labih
unggul.

36
Penulis lain dalam jembatan relativitas ini, Longdon Gilkey memberi kesan
lebih banyak tentang masalah relativitas. Dalam tulisannya tentang relativitas ini,
kita sama sekali tidak mempunyai dasar untuk berbicara tentang keselamatan.
Gilkey menawarkan dukungan yang lebih hati-hati dan dialektis terhadap kesadaran
historis. Menurutnya Pluralisme mempunyai sisi bayangan gerakan-gerakan
demonis yang beroperasi dibawah nama-nama agama atau agama semu
nasionalisme (dalam hal ini Gilkey lebih melihat ke masalah relativitas total
daripada relativitas historis). Kita harus menentang ini semua, tetapi supaya dapat
melakukan yang demikian kita harus mempunyai suatu tempat untuk berdiri.
Karena itu berarti kita harus mempunyai komitmen kepada suatu kepercayaan
tidak hanya tentang apa yang secara pribadi kita impikan (nilai-nilai kita) tetapi
tentang apa permasalahan itu sebenarnya. Melawan Hitler, hanya komitmen mutlak
dari penandatanganan pengakuan Barmen yang dapat menyusun pahlawan yang
riil. Disana harus ada komitmen mutlak kalau kita akan bertindak secara efektif
melawan kekuasaan-kekuasaan demonis.

Dengan demikian tulis Gilkey, “secara paradoksal, kemajemukan tepatnya


oleh arti keduanya sendiri, mengimplikasikan baik relativitas maupun kemutlakan,
suatu kesejajaran atau sintesis dari yang relative dan yang mutlak yang secara
intelektual mengecewakan, dan sementara itu secara praktis adalah perlu. Gilkey
menyelesaikan dilemma ini dengan mengorbankan diri pada apa yang disebutnya
tradisi pragmatisme Amerika yang perlu dihargai. Ia balik kembali kepada John
Dewey dan William James : “Kita harus bertindak atau, kalau tidak menyesuaikan
diri. Untuk tujuan itu kita membutuhkan sesuatu yang mutlak, tetapi kita harus
melihat bahwa pendirian kita hanyalah relative, sebaliknya kemutlakan kita akan
menjadi sumber yang lain dari demonstrasi dan penindasan”

2. Jembatan Teologis – Mistis : Misteri


Jembatan yang kedua ini ingin berbicara mengenai persoalan misteri –
keyakinan yang dipegang oleh para penulisnya adalah persepsi yang religious yang
secara historis relativ itu memutuskan perhatian isi dari pengalaman religious yang
otentik, yaitu pada yang tak terbatas. Misteri melampaui segala bentuk keagamaan

37
Bagian yang pertama ditulis oleh W.C. Smith, menggunakan pemahaman
tentang penyembahan berhala yang telah lama dipegang dalam tradisi agama
untuk mengungkapkan alasan mengapa kekristenan membutuhkan sikap
baru terhadap kepercayaan-kepercayaan lain. Lebih lanjut ia menegaskan
bahwa penyembahan berhala tidak menggambarkan agama-agama lain, tetapi juga
agama Kristen telah menyerah pada pencobaan untuk menyamakan agama mereka
dengan Allah, dengan memutlakkannya dan membuatnya final. Padahal menurutnya
bahwa semua agama mempunyai suatu pengalaman akan Allah yang
transenden sebagai intinya; bahwa apakah kita berbicara tentang patung-
patung yang dibuat dari kayu atau batu atau khayalan yang dilihat dalam
pikiran, atau bahkan cerita manusia seperti Yesus, semuanya secara sama
merupakan sarana-sarana yang dipakai oleh yang transenden untuk
membuat dirinya hadir bagi kita manusia.

Untuk mengklaim keunikan bagi satu bentuk khusus tentang kontak


yang transenden ini adalah tidak masuk akal, tetapi juga merupakan
penghujatan. Lebih gampang menerima kebenaran-kebenaran yang secara indah
dinyatakan dalam Bhagavad Gita dan Teologi Ramanuja, bahwa Allah adalah
sedemikian pemurah sehingga ia menerima setiap orang yang menyembah apapun
bentuknya, yang melaluinya persembahan atau ibadah itu disampaikan. Oleh sebab
itu menurut Smith, klaim apa saja untuk keunikan yang dibuat untuk satu konsep
tentang yang transenden, contohnya klaim orang Kristen bahwa yang transenden
hadir dalam kepenuhannya dalam Yesus harus dianggap sama sekali tidak diterima.
Betapa absurdnya kata Cantwell Smith, untuk percaya dalam Yesus, Allah secara
pribadi hadir. Ia hadir dimana-mana seperti music Bach dalam ekaristi.

Raimundo Panikkar dan Stanley Samartha mengambil sikap


berdasarkan pengalaman Hindu mereka untuk meletakan dasar mistik
terhadap isyarat Smith mengenai pemberhalaan. Bagi mereka misteri tertinggi itu
tidak digambarkan serta riil. Semua agama dapat ikut serta dalam misteri ini
serta mencerminkannya; tak satupun yang dapat dimilikinya. Samartha
mengusulkan kristologi teosentris India dan dengan demikian, memperlihatkan

38
bahwa orang Kristen pun bahkan dapat membuat berhala berdasarkan Yesus
Kristus. Dalam bergerak meninggalkan eksklusifitas dan inklusifitas, orang
Kristen harus tiba pada pemahaman yang lebih jelas mengenai keunikan
Yesus.

Ciri khas Yesus tidak terletak dalam klaim bahwa “Yesus Kristus adalah
Allah”. Hal ini sama saja dengan menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah
dewa-dewa orang Kristen yang dipertentangkan dengan dewa-dewa orang
lain. Mengangkat Yesus ke dalam status Allah atau membatasi Kristus kepada Yesus
dari Nazaret adalah pencobaan-pencobaan yang harus dihindari. Yang pertama
mengandung resiko “Yesusologi” yang dimiskinkan dan yang belakangan
menjadi “Kristosomonisme” yang sempit.

Menurut Samartha : “Kristologis Teosentris menghindari bahaya-bahaya


ini dan menjadi lebih menolong dalam membangun hubungan-hubungan baru
dengan sesama kita yang beriman lain”. Lebih lanjut Samartha mengemukakan :
Teosentrisme memungkinkan pencarian yang terus berkembang terhadap
makna Yesus Kristus yang di dalamnya kepercayaan-kepercayaan lain juga
dapat ikut serta, sebagaimana yang sesungguhnya telah mereka lakukan.
Dengan demikian membukakan bagi orang Kristen beragam kemungkinan
yang tak termimpikan untuk memperkaya yang lain dan diperkaya oleh
mereka.

Bagian ketiga jembatan kedua ini, Raimundo Panikkar khususnya


menekankan keterbatasan penalaran dan dengan demikian ia berada dalam
ketegangan tertentu dengan beberapa usul lainnya. Baginya yang tertinggi bukan
hanya niscaya tak tergambarkan melainkan juga secara radikal pluralistik. Demikian
pula halnya dengan seluruh realitas. Raimundo Panikkar memberi kesan bahwa
rekan-rekannya yang mendukung pluralisme baru dan terjun menyeberangi
Rubicon tidak benar-benar mengetahui apa artinya ini. Pluralisme menyatakan
kepada kita bahwa tidak ada “satu” yang dapat dipaksakan terhadap yang
“banyak”. Yang banyak itu akan selalu ada; perbedaan dan ketidaksepakatan

39
akan selalu ada. Penikkar memperingatkan Pluralisme tidak memungkinkan suatu
system universal. Suatu system Pluralisme akan merupakan kontradiksi dalam
istilahnya. Pada kenyataannya, sistem-sistem yang tertinggi itu tidak dapat diukur
atau dibandingkan bersama-sama satu dengan yang lainnya. Ketidaksesuaian ini
bukan kejahatan kecil, melainkan pernyataan tentang realita itu sendiri.

Bagian yang terakhir ditutup oleh Saici Yagi dengan menawarkan sebuah esai
yang dalam pengertian tertentu menjadi unik. Ia menggunakan sebuah contoh
konkrit tentang Kristen – Buddhis untuk meletakan dasar-dasar bagi teologi Pluralis
tentang agama-agama. Bersadarkan perspektif Buddhis, namun juga memanfaatkan
keilmuan Perjanjian Baru, ia juga mengajukan penafsiran kembali terhadap
“aku” Yesus, yang memungkinkan orang Kristen bergerak melampaui
pemahaman yang eksklusivitas maupun inklusifitas mengenai keunikan
Kristus. Kristologi yang demikian itu menurutnya melestarikan keunikan
Yesus maupun Buddha.

3. Jembatan Etis – Praktis : Keadilan


Pada jembatan ketiga ini, menyoroti bahwa persoalan Pluralisme bukan
sekedar masalah yang menyangkut kesadaran akan relativisme historis
ataupun misteri yang absolut, namun juga berhadapan langsung dengan
penderitaan umat manusia dan dibutuhkannya sebuah teologi pembebasan
agama-agama

Bagian pertama Rosemary Ruether dan Marjorie Suchocki menjelaskan


bagaimana pemahaman-pemahaman tradisional tentang agama Kristen
sebagai pengemban penyataan satu-satunya satu penyataan tertinggi telah
menuntut chauvinism keagamaan yang membangkitkan kemarahan dan ab-
surd. Sungguh mengejutkan bahwa kaum Liberal dan radikal Kristen gagal untuk
sungguh-sungguh mempertanyakan asumsi ini. menjunjung agama Kristen atau
Kristus sebagai norma bagi semua agama sama eksploitatifnya dengan usaha
sakisme untuk menjadikan pengalaman laki-laki sebagai norma universal
bagi seluruh manusia (Keadilan). Pada bagian yang ketiga Aloysius Pieris

40
menjelajahi implikasi-implikasi pendekatan Liberal itu terhadap Kristologi. Setelah
menelusuri persamaan-persamaan dan konflik-konflik yang timbul yang dari klaim-
klaim yang mutlak yang telah dibuat baik dalam Kristologi maupun Buddhalogi ia
mengusulkan bahwa bila orang-orang Buddha dan Kristen bertemu pada jalan
pembebasan tunggal, Buddha dan Kristus dapat saling melengkapi, bukan
saling bersaing.

Kemudian jembatan yang ketiga ini ditutup oleh Paul F. Knitter dengan
menambahkan beberapa alasan bagi sikap baru terhadap kepercayaan-kepercayaan
yang lain, bukan hanya untuk mencegah ketidakadilan, melainkan untuk
mempromosikan keadilan-keadilan. Paul F. Knitter menyatakan bahwa
pembebasan ekonomi, politik dan khususnya bencana nuklir adalah tugas
yang terlalu besar bagi suatu bangsa, budaya, atau agama mana pun suatu
gerakan pembebasan sedunia membutuhkan dialog antar agama sedunia.

Oleh sebab itu, ia berkata : Misi utama Gereja bukanlah melakukan


“Bisnis Keselamatan” (Mengkristenkan orang-orang sehingga mereka dapat
diselamatkan), tetapi bertugas untuk melayani dan mengembangkan kerajaan
keadilan dan cinta kasih, dengan menjadi tanda dan hamba, dimana pun
kerajaan itu mewujud. Dengan maksud mengembangkan kerajaan itu, orang-
orang Kristen harus menyaksikan Kristus. Semua bangsa, semua agama harus
mengenalnya supaya memahami sepenuhnya isi dari kehadiran Allah di dalam
sejarah. Keperluan ini adalah bagian dari tujuan dan motifasi pergi keujung dunia.
Tetapi didalam ajaran baru tentang Gereja (Eklesiologi Baru) dan didalam model
baru kebenaran, orang juga mengakui bahwa semua orang harus mengenal Buddha,
Muhammad, Krisna (bukankah “orang menegaskan” lebih sesuai dari apa yang
dimaksudkan daripada orang mengakui” ?). Hal inipun adalah bagian dari tujuan
dan semangat bagi pekerjaan misi : ini harus disaksikan, supaya orang-orang
Kristen dapat memperdalam dan memperluas pemahaman mereka sendiri tentang
kehadiran dan tujuan Allah dalam dunia ini. melalui kesaksian dan pertumbuhan
timbal balik ini, maka kiprah mewujudkan Kerajaan Allah berjalan terus.

41
Tom F Driver dalam catatan penutupnya, menyampaikan beberapa peringatan terakhir dan
memberikan beberapa pedoman yang dibutuhkan untuk penjajakan-penjajakan teologis
pluralis tentang agama-agama. Ada bahaya kenaifan dalam perjuangan demi pluralisme
dengan adanya keputusan dan tidak berkesinambungan antara tradisi-tradisi agama
tidaklah mungkin dan sungguh imprialistis bila orang Kristen menempatkan agama-agama
dibawah kategori-kategori universal. Ia menuliskan : Allah mempunyai “hakikat-
hakikat” yang berbeda-beda. Dalam perspektif pluralis, bukan hanya bahwa Allah
mempunyai satu hakikat yang secara beraneka ragama dan secara tidak mencukupi
dinyatakan oleh tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Itu berarti bahwa ada
perbedaan-perbedaan yang riil dan asli didalam keilahian itu sendiri, bergantung
pada macam-macam keterlibatan yang sudah dilakukan Allah dengan masyarakat-
masyarakat manusia yang sangat bermacam-macam.

FAKTOR INTERNAL - AGAMA

Ketika agama berfusi dengan aspek-aspek kehidupan lain, tidak jarang agama
menjadi alat legitimasi kekerasan. Untuk memicu kekerasan, identitas agama
individu menjelma menjadi homogenisasi komunal. Agama akan menjadi kekuatan
dalam membangkitkan identitas emosional keagamaan, dibanding dengan identitas sosial
lainnya. Dalam konteks inilah, analisis bahwa agama membawa konflik antar kelompok
dengan intensitas emosi yang lebih besar dan motivasi pemaksaan yang lebih mendalam
dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap identitas etnis lainnya, menemukan
relevansinya.1
Dalam konteks ini pula, perlu dimajukan tesis Beuken dan Kuschel2 yang
berkesimpulan bahwa kekerasan atas nama agama bisa dilihat dari dua perspektif,
yakni :
1. Pembacaan agama mengenai hubungan sosial, di mana agama merupakan
legitimasi tersendiri bagi keabsahan perilaku kekerasan, karena memiliki
fungsinya sebagai ideology

1
Sudhir Kakar, The Colors of Violence Cultural Identities, Religion and Conflict (Chicago: University of Chicago
Press, 1996), Hal 192
2
Beuken dan Kuschel, et al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, ter. Iman Baehaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003) H. xiv-xxv

42
2. Agama sebagai faktor budaya identitas.
Beberapa kasus kekerasan bernuansa agama, seperti konflik Suku Hutu dan Tutsi di
Rwanda; kekerasan agama di Sri Lanka, di mana Kerajaan Singhalese dengan konsep
nasionalisme Budhisnya, berperan aktif dalam pentas politik; kekerasan agama di Bosnia,
yang merupakan representasi perang etnis dan budaya.
Konflik dan kekerasan dimaksud, adalah bukti konkret betapa agama
memiliki akar dan legitimasinya terhadap keabsahan perilaku kekerasan. Beberapa
warisan kekerasan atas nama agama, bisa disimak dalam beberapa kasus sejarah
keislaman maupun kekristenan. Dalam sejarah Islam misalnya, kasus al-Hallaj yang
dihukum mati, Ibnu Rushd dihukum di depan masjid Kordoba, atau dalam konteks
Indonesia adalah Shaykh Siti Jenar yang dihukum pancung akibat menyalahi pola
keberagamaan mainstream.Dalam sejarah Kristiani misalnya, juga bisa dilihat kasus
Priscillian yang dihukum mati dan lainlain.
Kendati berbau agama, namun sebenarnya tragedi kekerasan di atas tidak
murni agama, tetapi juga terdapat faktor lain seperti politik, sosial dan bahkan
interpretasi teologis. Terdapat beberapa pijakan teologis tentang “perang suci atas
nama agama” (holy war), yang interpretasinya sarat dan identik dengan kekerasan. Ini
karena, dalam tradisi agama-agama, fenomena ini seakan memiliki legitimasi
teologis tersendiri bagi survivalitas dan keberlangungan doktrin tersebut. Dengan
demikian, terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa kekerasan agama terjadi
karena pembelokan makna teks-teks keagamaan, karena pada dasarnya tidak bisa
dipungkiri bahwa ajaran agama memiliki unsur kekerasan. Hal ini juga bisa dilihat
pada fakta penyebaran agama-agama, yang sarat dengan kekerasan. Belum lagi doktrin-
doktrin keagamaan yang potensial menjadi pemicu kekerasan, seperti :
 Konsep perang suci yang dimaknai sebagai perang fisik, sehingga muncul
identitas kawan dan lawan,
 Isu-isu teologis yang seringkali memicu ekspresi kekerasan agama.
 Sumbangan kelompok Islam dan Kristen fundamentalis dalam menghadirkan
fenomena kekerasan agama (misalnya; fundamentalis kharimatik yang
orientasinya adalah penyelamatan jiwa)

43
Simbol-simbol keagamaan yang merupakan representasi masyarakat, seperti
etnosentrisme agama Yahudi, agama Mormon di AS dan Sikh di India, dan lain lain
demikian kental sifat komunalnya.3 Sehingga, melalui simbol-simbol inilah,
komunalisme agama sering menjadi pemandangan dalam relasi agama-agama.
Dengan semangat dan identitas komunalisme yang kuat, maka rentan memicu
terjadinya kekerasan agama. Sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu atau
dengan identitas tertentu, baik suku, etnis, ras maupun agama, memiliki ikatan emosional
yang kuat satu dengan yang lain. Sehingga ketika identitas mereka yang diekspresikan
melalui simbol-simbol tertentu merasa terusik atau dilecehkan orang lain, dengan sangat
cepat semangat komunalisme ini timbul.
Pendangkalan agama dalam transformasi masyarakat tradisional ke modern
yang mengakibatkan hilangnya akar-akar psikologis dan kultural juga menjadi
sebab lain dari merebaknya komunalisme agama-agama. Bercampur-baurnya agama
dengan politik padahal keduanya adalah entitas yang berbeda, sehingga yang terjadi adalah
politisasi agama, juga merupakan faktor yang tidak kalah menariknya bagi pembacaan
kekerasan agama.
Riyanto4 menyatakan bahwa kekerasan agama lebih disebabkan oleh sikap :
 Keagamaan yang fanatik (fanatisme),
 Paham keagamaan yang fundamentalistis (fundamentalisme) dan
 Integralisme.
Dengan demikian, eksklusivisme sering dekat dengan konflik, pertikaian, dan
kekerasan. Orang beragama yang menghadirkan kekerasan, disebabkan level
keagamaannya yang jargonsentrisme, memperlihatkan keimanan yang logoistis,
memiliki kekuatan bahasa yang provokatif, sempit dan rigid. Sehingga penghayatan
yang kurang terhadap hakikat agama (being religious) menjadi sebab merebaknya
komunalisme. Hal ini karena agama merupakan entitas yang secara sosio-psikologis
bertautan langsung dengan dimensi emosionalitas dan spiritualitas manusia.

3
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), Hal 18
4
Armada Riyanto, “Genesis Terorisme”, dalam Harian Umum Kompas, 22 Oktober 2002.“Membongkar
Eksklusivisme Hidup Beragama”, dalam Agama Kekerasan, Hal 16-34

44
Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat
dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat.
Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat
beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat dan hal ini
telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Dengan keanekaragaman agama yang ada di
Indonesia membuat masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang berbeda-beda sesuai
dengan yang diajarkan oleh agamanya masing-masing. Perbedaan ini timbul karena adanya
doktrin-doktrin dari agama-agama, suku, ras, perbedaan kebudayaan, dan dari kelompok
minoritas dan mayoritas.
Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar masyarakat beragama
khususnya yang terjadi di Maluku, adalah sebagai berikut :
 Perbedaan Doktrin
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-
masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab
dari benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran
tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan,
memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala
penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan,
sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Agama Islam dan Kristen di
Maluku, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk
dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari
Tuhan.
 Perbedaan Suku dan Ras
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar
jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan
perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.
 Perbedaan Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan
perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Tempat-tempat terjadinya
45
konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen, perbedaan antara dua
kelompok yang konflik. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang
sederhana atau tradisional : sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang
lebih maju atau modern. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang
berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor
pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok
agama.

 Masalah Mayoritas dan Minoritas


Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam
masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan
minoritas golongan agama. Masalah mayoritas dan minoritas ini timbul
dikarenakan kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar kelompok moyoritas
dari pada kelompok minoritas sehingga timbul konflik yang tak terelakan.
Dikarenakan saling menunjukan pembenaran masing-masing pemahaman
dari doktrin-doktirn yang di berikan dalam kelompok mayoritas dan
minoritas. Mengakibatkan timbulnya konflik dari kelompok mayoritas dengan
kelompok minoritas

PANDANGAN KEKRISTENAN TERHADAP AGAMA-AGAMA LAIN

MENURUT JOHN HICK : SEJARAH PLURALISME


Menurut Hick, dalam sejarah gereja ada tiga fase sikap kekristenan terhadap agama-agama
lain :
1. Sikap Penolakan Total
Sikap ini terlihat melalui dogma yang mengatakan bahwa semua orang
non-Kristen akan dikirim ke neraka. Pandangan ini pernah menjadi
pandangan yang dominan di antara orang-orang Kristen Katolik dan
Protestan. Gereja Roma Katolik yang pada abad pertengahan menganut
pandangan ini, kini tidak lagi menganutnya. Namun di kalangan Protestan,

46
terutama evangelikal-fundamentalis, pandangan ini masih dianut. Ada yang
menganutnya karena ketidaktahuan mereka tentang agama-agama lain.
Tetapi ada juga yang disebabkan oleh dogma yang membutakan mereka
sehingga tidak melihat kebaikan dalam agama lain. Kelemahan pandangan ini
terletak pada doktrin Allahnya. Jika Allah adalah Allah yang kasih, mengapa banyak
orang yang tidak mengenal Kristus dikirim ke neraka. Hick mengatakan : “To say
that such an appalling situation is divinely ordained is to deny the Christian
understanding of God as gracious and holy love, and of Christ as the divine love
incarnate”
2. Fase Epicycles Awal
Fase ini muncul dari kontak antara teolog-teolog Roma Katolik dan
penganut agama lain. Mula-mula dengan orang Protestan, kemudian juga
dengan orang-orang non-Kristen, sampai akhirnya mereka menarik
kesimpulan bahwa iman yang sejati juga ada di dalam agama-agama lain. Pada
fase ini rumusan tradisional, yaitu hanya Katolik yang dapat menyelamatkan, tetap
dipertahankan. Tetapi aplikasinya diperluas dengan menyatakan bahwa ada lebih
banyak orang Katolik daripada yang disadari oleh gereja. Mereka adalah penganut
Katolik secara metafisik bukan empiris. Mereka menganalogikannya dengan
pandangan Katolik mengenai Perjamuan Kudus. Sementara roti dan anggur tetap
seperti bentuk semula namun secara metafisik mereka berubah menjadi tubuh dan
darah Kristus. Mereka adalah anggota gereja yang tidak kelihatan, bukan anggota
gereja yang kelihatan. Hick menyebut tambahan tersebut sebagai epicycles, karena
kemiripannya dengan epicycles yang ditambahkan kepada pandangan Ptolemeus
tentang alam semesta. Epicycles ini ditambahkan untuk mengakomodasi anomali
gerakan planet-planet. Untuk menjelaskan keanehan (anomali) ini maka
ditambahkan lingkaran — yang disebut epicycles — kepada sistem Ptolemeus.
Memang mungkin untuk mengadakan penambahan seperti ini di dalam teori. Tetapi
lama kelamaan teori ini menjadi sangat kompleks sehingga diperlukan suatu
revolusi teori yaitu teori Kopernikus yang lebih sederhana. Menurut Hick,
pandangan Roma Katolik ini secara logis memang mungkin. Akan tetapi,

47
menambahkan epicycles demi epicyles untuk mempertahankan teori ini menuntut
biaya intelektual yang mahal sehingga lebih pantas untuk ditinggalkan.
3. Fase ketiga adalah epicycles terakhir, yang terdapat di gereja Roma Katolik Vatikan
II hingga sekarang. Ada dua proposisi yang dipegang pada fase ini yaitu :
 Proposisi pertama mengatakan bahwa di luar kekristenan tidak ada
keselamatan, sedangkan
 yang kedua mengatakan bahwa di luar kekristenan ada keselamatan.
Proposisi kedua dipegang sebagai suatu fakta yang telah terbukti. Alasannya,
jika konsep keselamatan dimuati dengan muatan yang bersifat pengalaman,
seperti pembebasan dan pembaharuan manusia, maka harus diakui bahwa
hal-hal tersebut juga terdapat di luar kekristenan. Dari perspektif ini maka
proposisi pertama harus didefinisikan ulang dengan mengubah makna menjadi
orang Kristen. Pada fase ini Hick menggunakan Hans Kung sebagai contoh. Kung,
menurut Hick, memperluas epicycle-nya sedemikian luas sehingga berada dalam
bahaya terpental dari kerangka pandang Ptolemeus. Golongan lain yang berada
pada fase ini adalah Protestan Liberal yang menyatakan bahwa semua orang, cepat
atau lambat akan menerima Kristus. Jika tidak pada kehidupan sekarang maka itu
pasti terjadi setelah kehidupan ini. Hick mendapati bahwa solusi epicycle tersebut
tidak memuaskan. Ia mengatakan bahwa banyak teolog Kristen yang telah
kehilangan kepercayaan mereka kepada epicycle teologis tersebut dan telah matang
untuk “menyeberangi perbatasan” hingga sampai pada revolusi Kopernikus.
Revolusi Kopernikus di dalam teologi berarti transformasi radikal terhadap
pemahaman kita mengenai dunia agama dan menempatkan tradisi agama kita
sendiri di dalamnya. Ia mengatakan : “It must involve a shift from the dogma that
Christianity at the center to the thought that it is God who is at the center and that all
the religions of mankind, including our own, serve and revolve around him”
Pembahasan berikut akan membawa kita masuk ke dalam pandangan pluralisme
sebagai suatu revolusi Kopernikan.

48
PROBLEM TEOLOGI KRISTEN

Paul F. Knitter dalam bukunya ‘SATU BUMI BANYAK AGAMA’ mengatakan bahwa
para teolog teologi agama-agama telah memutuskan untuk “menyeberangi sungai Rubicon”
untuk memegang prinsip pluralistik dalam memandang agama-agama lain. Knitter
menjelaskan bahwa kebanyakan sejarah Kristen didominasi oleh dua pendekatan
mendasar :

3) Pendekatan Eksklusivisme Konservatif yang menemukan keselamatan di


dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, walaupun ada, nilai ditempat
lainnya,
4) Inklusif Liberal yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman
yang lain tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil karya yang telah
dipenuhi dalam Kristus
Kemudian Knitter melanjutkan dalam mendefinisikan perubahan paradigma yang
diusulkan, didukung oleh sebelas rekannya yang ia sebut sebagai posisi pluralis. Definisi
tersebut adalah, Upaya melangkah meninggalkan penekanan pada superiotas atau
finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri dalam
jalan-jalan lain. Hal itu kemudian digambarkan para peserta dalam proyek kami (tokoh
pluralis) sebagai usaha menyeberangi jembatan teologis Rubicon. Oleh sebab itu mereka
membangun tiga jembatan penyeberangan untuk melampaui eksklusivisme dan
inklusivisme, yang akhirnya semua jembatan itu disimpulkan oleh Tom Driver.

1. Jembatan Historis – Kultur : Relativitas

Tiga pemikir yang menyeberangi melalui jembatan ini adalah Gordon


Kauffman, John Hick dan Langdon Gilkey. Hal yang disorot pada bagian ini
adalah masalah relativitas. Keyakinan utama yang diketengahkan adalah
bagaimana kaum Pluralis menyadari keterbatasan semua pengetahuan dan
keyakinan religius, sehingga tidaklah mungkin kita menilai klaim kebenaran
budaya atau keyakinan yang lain atas dasar keyakinan sekarang atau
pemahaman kita

49
Gordon Kauffman dalam tulisannya menjelaskan bahwa dengan argumentasi
bahwa ancaman awan jamur, memaksa semua agama untuk berdialog dan
bekerjasama dimana lebih lanjut ia mengemukakan bahwa sebagai syarat yang
perlu untuk dialog semacam itu, ia mengusulkan agar para pemeluk agama
mengalami RELATIVITAS HISTORY semua bentuk keagamaan dan dengan
demikian menanggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama “satu-
satunya” atau bentuk yang “tertinggi”. Argumentasi yang dikemukakan oleh
Kaufman adalah masalah keutuhan persatuan manusia. Bahwa injil Kristen tidak
dapat menyediakan pusat persatuan dengan klaim-klaim yang ada padanya oleh
sebab itu dengan “kesadaran sejarah modern” meminta supaya orang Kristen
untuk melepaskan klaim atas keunikan Kristus, dan mengakui bahwa
pandangan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa seperti semua pandangan
manusia, adalah ditentukan oleh kebudayaan.

Bagian selanjutnya dalam tulisan John Hick memberikan argumen yang


lebih jauh tentang relativitas historis. Ia menyatakan bahwa bila suatu agama
ingin mengklaim dirinya yang paling tinggi, ia harus melakukannya
berdasarkan “pengujian terhadap fakta-faktanya” – yakni suatu bentuk data
empiris atau berdasarkan pengalaman yang terbuka bagi semua pihak. Data
semacam itu mestinya harus ditemukan dalam agama yang memiliki kemampuan
lebih baik, dibandingkan dengan agama-agama lain, yang menyangkut
kesejahteraan umat manusia. John Hick menyimpulkan :

Tampaknya kita tidak mungkin membuat penilaian global bahwa suatu


tradisi keagamaan yang satu lebih banyak menyumbangkan kebaikan atau
lebih sedikit keseluruhan dari pada yang lain, atau bahwa satu tradisi
memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kebaikan dan kejahatan
daripada tradisi lain. Sebagai totalitas yang amat besar dan kompleks, tradisi-
tradisi dunia tampaknya lebih kurang setara satu sama lain. Tak satupun
dapat diselamatkan secara khusus sebagai yang sungguh-sungguh labih
unggul.

50
Penulis lain dalam jembatan relativitas ini, Longdon Gilkey memberi kesan
lebih banyak tentang masalah relativitas. Dalam tulisannya tentang relativitas ini,
kita sama sekali tidak mempunyai dasar untuk berbicara tentang keselamatan.
Gilkey menawarkan dukungan yang lebih hati-hati dan dialektis terhadap kesadaran
historis. Menurutnya Pluralisme mempunyai sisi bayangan gerakan-gerakan
demonis yang beroperasi dibawah nama-nama agama atau agama semu
nasionalisme (dalam hal ini Gilkey lebih melihat ke masalah relativitas total
daripada relativitas historis). Kita harus menentang ini semua, tetapi supaya dapat
melakukan yang demikian kita harus mempunyai suatu tempat untuk berdiri.
Karena itu berarti kita harus mempunyai komitmen kepada suatu kepercayaan
tidak hanya tentang apa yang secara pribadi kita impikan (nilai-nilai kita) tetapi
tentang apa permasalahan itu sebenarnya. Melawan Hitler, hanya komitmen mutlak
dari penandatanganan pengakuan Barmen yang dapat menyusun pahlawan yang
riil. Disana harus ada komitmen mutlak kalau kita akan bertindak secara efektif
melawan kekuasaan-kekuasaan demonis.

Dengan demikian tulis Gilkey, “secara paradoksal, kemajemukan tepatnya


oleh arti keduanya sendiri, mengimplikasikan baik relativitas maupun kemutlakan,
suatu kesejajaran atau sintesis dari yang relative dan yang mutlak yang secara
intelektual mengecewakan, dan sementara itu secara praktis adalah perlu. Gilkey
menyelesaikan dilemma ini dengan mengorbankan diri pada apa yang disebutnya
tradisi pragmatisme Amerika yang perlu dihargai. Ia balik kembali kepada John
Dewey dan William James : “Kita harus bertindak atau, kalau tidak menyesuaikan
diri. Untuk tujuan itu kita membutuhkan sesuatu yang mutlak, tetapi kita harus
melihat bahwa pendirian kita hanyalah relative, sebaliknya kemutlakan kita akan
menjadi sumber yang lain dari demonstrasi dan penindasan”

2. Jembatan Teologis – Mistis : Misteri

Jembatan yang kedua ini ingin berbicara mengenai persoalan misteri –


keyakinan yang dipegang oleh para penulisnya adalah persepsi yang religious yang

51
secara historis relativ itu memutuskan perhatian isi dari pengalaman religious yang
otentik, yaitu pada yang tak terbatas. Misteri melampaui segala bentuk keagamaan

Bagian yang pertama ditulis oleh W.C. Smith, menggunakan pemahaman


tentang penyembahan berhala yang telah lama dipegang dalam tradisi agama
untuk mengungkapkan alasan mengapa kekristenan membutuhkan sikap
baru terhadap kepercayaan-kepercayaan lain. Lebih lanjut ia menegaskan
bahwa penyembahan berhala tidak menggambarkan agama-agama lain, tetapi juga
agama Kristen telah menyerah pada pencobaan untuk menyamakan agama mereka
dengan Allah, dengan memutlakkannya dan membuatnya final. Padahal menurutnya
bahwa semua agama mempunyai suatu pengalaman akan Allah yang
transenden sebagai intinya; bahwa apakah kita berbicara tentang patung-
patung yang dibuat dari kayu atau batu atau khayalan yang dilihat dalam
pikiran, atau bahkan cerita manusia seperti Yesus, semuanya secara sama
merupakan sarana-sarana yang dipakai oleh yang transenden untuk
membuat dirinya hadir bagi kita manusia.

Untuk mengklaim keunikan bagi satu bentuk khusus tentang kontak


yang transenden ini adalah tidak masuk akal, tetapi juga merupakan
penghujatan. Lebih gampang menerima kebenaran-kebenaran yang secara indah
dinyatakan dalam Bhagavad Gita dan Teologi Ramanuja, bahwa Allah adalah
sedemikian pemurah sehingga ia menerima setiap orang yang menyembah apapun
bentuknya, yang melaluinya persembahan atau ibadah itu disampaikan. Oleh sebab
itu menurut Smith, klaim apa saja untuk keunikan yang dibuat untuk satu konsep
tentang yang transenden, contohnya klaim orang Kristen bahwa yang transenden
hadir dalam kepenuhannya dalam Yesus harus dianggap sama sekali tidak diterima.
Betapa absurdnya kata Cantwell Smith, untuk percaya dalam Yesus, Allah secara
pribadi hadir. Ia hadir dimana-mana seperti music Bach dalam ekaristi.

Raimundo Panikkar dan Stanley Samartha mengambil sikap


berdasarkan pengalaman Hindu mereka untuk meletakan dasar mistik
terhadap isyarat Smith mengenai pemberhalaan. Bagi mereka misteri tertinggi itu

52
tidak digambarkan serta riil. Semua agama dapat ikut serta dalam misteri ini
serta mencerminkannya; tak satupun yang dapat dimilikinya. Samartha
mengusulkan kristologi teosentris India dan dengan demikian, memperlihatkan
bahwa orang Kristen pun bahkan dapat membuat berhala berdasarkan Yesus
Kristus. Dalam bergerak meninggalkan eksklusifitas dan inklusifitas, orang
Kristen harus tiba pada pemahaman yang lebih jelas mengenai keunikan
Yesus.

Ciri khas Yesus tidak terletak dalam klaim bahwa “Yesus Kristus adalah
Allah”. Hal ini sama saja dengan menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah
dewa-dewa orang Kristen yang dipertentangkan dengan dewa-dewa orang
lain. Mengangkat Yesus ke dalam status Allah atau membatasi Kristus kepada Yesus
dari Nazaret adalah pencobaan-pencobaan yang harus dihindari. Yang pertama
mengandung resiko “Yesusologi” yang dimiskinkan dan yang belakangan
menjadi “Kristosomonisme” yang sempit.

Menurut Samartha : “Kristologis Teosentris menghindari bahaya-bahaya


ini dan menjadi lebih menolong dalam membangun hubungan-hubungan baru
dengan sesama kita yang beriman lain”. Lebih lanjut Samartha mengemukakan :
Teosentrisme memungkinkan pencarian yang terus berkembang terhadap
makna Yesus Kristus yang di dalamnya kepercayaan-kepercayaan lain juga
dapat ikut serta, sebagaimana yang sesungguhnya telah mereka lakukan.
Dengan demikian membukakan bagi orang Kristen beragam kemungkinan
yang tak termimpikan untuk memperkaya yang lain dan diperkaya oleh
mereka.

Bagian ketiga jembatan kedua ini, Raimundo Panikkar khususnya


menekankan keterbatasan penalaran dan dengan demikian ia berada dalam
ketegangan tertentu dengan beberapa usul lainnya. Baginya yang tertinggi bukan
hanya niscaya tak tergambarkan melainkan juga secara radikal pluralistik. Demikian
pula halnya dengan seluruh realitas. Raimundo Panikkar memberi kesan bahwa
rekan-rekannya yang mendukung pluralisme baru dan terjun menyeberangi

53
Rubicon tidak benar-benar mengetahui apa artinya ini. Pluralisme menyatakan
kepada kita bahwa tidak ada “satu” yang dapat dipaksakan terhadap yang
“banyak”. Yang banyak itu akan selalu ada; perbedaan dan ketidaksepakatan
akan selalu ada. Penikkar memperingatkan Pluralisme tidak memungkinkan suatu
system universal. Suatu system Pluralisme akan merupakan kontradiksi dalam
istilahnya. Pada kenyataannya, sistem-sistem yang tertinggi itu tidak dapat diukur
atau dibandingkan bersama-sama satu dengan yang lainnya. Ketidaksesuaian ini
bukan kejahatan kecil, melainkan pernyataan tentang realita itu sendiri.

Bagian yang terakhir ditutup oleh Saici Yagi dengan menawarkan sebuah esai
yang dalam pengertian tertentu menjadi unik. Ia menggunakan sebuah contoh
konkrit tentang Kristen – Buddhis untuk meletakan dasar-dasar bagi teologi Pluralis
tentang agama-agama. Bersadarkan perspektif Buddhis, namun juga memanfaatkan
keilmuan Perjanjian Baru, ia juga mengajukan penafsiran kembali terhadap
“aku” Yesus, yang memungkinkan orang Kristen bergerak melampaui
pemahaman yang eksklusivitas maupun inklusifitas mengenai keunikan
Kristus. Kristologi yang demikian itu menurutnya melestarikan keunikan
Yesus maupun Buddha.

3. Jembatan Etis – Praktis : Keadilan

Pada jembatan ketiga ini, menyoroti bahwa persoalan Pluralisme bukan


sekedar masalah yang menyangkut kesadaran akan relativisme historis
ataupun misteri yang absolut, namun juga berhadapan langsung dengan
penderitaan umat manusia dan dibutuhkannya sebuah teologi pembebasan
agama-agama

Bagian pertama Rosemary Ruether dan Marjorie Suchocki menjelaskan


bagaimana pemahaman-pemahaman tradisional tentang agama Kristen
sebagai pengemban penyataan satu-satunya satu penyataan tertinggi telah
menuntut chauvinism keagamaan yang membangkitkan kemarahan dan ab-
surd. Sungguh mengejutkan bahwa kaum Liberal dan radikal Kristen gagal untuk
sungguh-sungguh mempertanyakan asumsi ini. menjunjung agama Kristen atau

54
Kristus sebagai norma bagi semua agama sama eksploitatifnya dengan usaha
sakisme untuk menjadikan pengalaman laki-laki sebagai norma universal
bagi seluruh manusia (Keadilan). Pada bagian yang ketiga Aloysius Pieris
menjelajahi implikasi-implikasi pendekatan Liberal itu terhadap Kristologi. Setelah
menelusuri persamaan-persamaan dan konflik-konflik yang timbul yang dari klaim-
klaim yang mutlak yang telah dibuat baik dalam Kristologi maupun Buddhalogi ia
mengusulkan bahwa bila orang-orang Buddha dan Kristen bertemu pada jalan
pembebasan tunggal, Buddha dan Kristus dapat saling melengkapi, bukan
saling bersaing.

Kemudian jembatan yang ketiga ini ditutup oleh Paul F. Knitter dengan
menambahkan beberapa alasan bagi sikap baru terhadap kepercayaan-kepercayaan
yang lain, bukan hanya untuk mencegah ketidakadilan, melainkan untuk
mempromosikan keadilan-keadilan. Paul F. Knitter menyatakan bahwa
pembebasan ekonomi, politik dan khususnya bencana nuklir adalah tugas
yang terlalu besar bagi suatu bangsa, budaya, atau agama mana pun suatu
gerakan pembebasan sedunia membutuhkan dialog antar agama sedunia.

Oleh sebab itu, ia berkata : Misi utama Gereja bukanlah melakukan


“Bisnis Keselamatan” (Mengkristenkan orang-orang sehingga mereka dapat
diselamatkan), tetapi bertugas untuk melayani dan mengembangkan kerajaan
keadilan dan cinta kasih, dengan menjadi tanda dan hamba, dimana pun
kerajaan itu mewujud. Dengan maksud mengembangkan kerajaan itu, orang-
orang Kristen harus menyaksikan Kristus. Semua bangsa, semua agama harus
mengenalnya supaya memahami sepenuhnya isi dari kehadiran Allah di dalam
sejarah. Keperluan ini adalah bagian dari tujuan dan motifasi pergi keujung dunia.
Tetapi didalam ajaran baru tentang Gereja (Eklesiologi Baru) dan didalam model
baru kebenaran, orang juga mengakui bahwa semua orang harus mengenal Buddha,
Muhammad, Krisna (bukankah “orang menegaskan” lebih sesuai dari apa yang
dimaksudkan daripada orang mengakui” ?). Hal inipun adalah bagian dari tujuan
dan semangat bagi pekerjaan misi : ini harus disaksikan, supaya orang-orang
Kristen dapat memperdalam dan memperluas pemahaman mereka sendiri tentang

55
kehadiran dan tujuan Allah dalam dunia ini. melalui kesaksian dan pertumbuhan
timbal balik ini, maka kiprah mewujudkan Kerajaan Allah berjalan terus.

Tom F Driver dalam catatan penutupnya, menyampaikan beberapa peringatan terakhir dan
memberikan beberapa pedoman yang dibutuhkan untuk penjajakan-penjajakan teologis
pluralis tentang agama-agama. Ada bahaya kenaifan dalam perjuangan demi pluralisme
dengan adanya keputusan dan tidak berkesinambungan antara tradisi-tradisi agama
tidaklah mungkin dan sungguh imprialistis bila orang Kristen menempatkan agama-agama
dibawah kategori-kategori universal. Ia menuliskan : Allah mempunyai “hakikat-
hakikat” yang berbeda-beda. Dalam perspektif pluralis, bukan hanya bahwa Allah
mempunyai satu hakikat yang secara beraneka ragama dan secara tidak mencukupi
dinyatakan oleh tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda-beda. Itu berarti bahwa ada
perbedaan-perbedaan yang riil dan asli didalam keilahian itu sendiri, bergantung
pada macam-macam keterlibatan yang sudah dilakukan Allah dengan masyarakat-
masyarakat manusia yang sangat bermacam-macam.

EKSLUSIVISME AGAMA – ABRAHAMIK

Pengaruh Keyahudian bukan hanya terdapat dalam Kekristenan. Thomas


Cahill memasukkan bangsa-bangsa Barat dan non-Barat yang telah dipengaruhi oleh
Keyahudian ini sebagai the gifts of the Jews, hadiah bangsa Yahudi.5 Ini tidak
sepenuhnya salah karena ada benarnya juga. Sayangnya, termasuk dalam hadiah itu
adalah eksklusivisme ini.
Alat analisis yang baik untuk hal ini adalah analisis sosio-historis.6 Asumsi di
balik analisis ini adalah bahwa segala sesuatu yang historik, pasti ada asal-usulnya.
Dia tidak jatuh begitu saja dari langit. Melalui pendekatan ini diusahakan mendekatkan
teks ke konteks sejarahnya untuk mengkaji dinamika sosial, politik dan ekonomi yang
terjadi di seputar teks itu.

5
Thomas Cahill, The Gifts of the Jews: How a Tribe of Desert Nomads Changed the Way Everyone Thinks
and Feels (Oxford: Lion Publishing, 1998), 250-1.
6
Norman K.Gottwald, TheTribes of Yahweh: A Sociology of the Religion of Liberated Israel, 1250-1050 B.C.
E. (Maryknoll-New York: Orbis Books, 1979), 4-12.

56
Ada dua konsep dalam Keyahudian yang menyebabkan mereka menjadi
eksklusif menurut hemat saya.7 Dua konsep tersebut yaitu :
1. Israel Alkitab, adalah bangsa pilihan yang diberkati, dan
2. Israel Alkitab adalah bangsa kudus. Konsep keterpilihan dan diberkati ini
terdapat dalam cerita Abraham (Kej 12), yang berlanjut dengan keturunannya.
Sejalan dengan konsep terpilih, juga berkembang konsep diberkati. Melalui
Abraham semua bangsa diberkati (Kej 12: 3). Tentang kudus, terdapat dalam rumusan
karena TUHAN mereka kudus (Im. 19: 2; 20: 2, 8, dsbnya) mereka juga harus kudus.

Umat Pilihan dan Yang Diberkati


Konsep ini untuk pertama kali nampak dalam pemilihan Abraham leluhur
Israel, yang diikuti dengan cerita tentang Ishak dan Yakub. Masalahnya, apakah cerita
para leluhur ini suatu yang historik? Bagi Gottwald, tradisi para leluhur termasuk
dalam tradisi yang ditulis dengan tema “seperti sejarah” (history-like themes),
karena kesejarahan cerita itu perlu dikaji lagi.8 Yang diduga ada sejak semula hanya
dua tradisi, yaitu tradisi tentang

Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir : Musa


Penaklukan tanah perjanjian : Josua

Dari dua tradisi pokok ini barulah dikembangkan tema-tema tentang Yakub yang
merupakan leluhur dari suku-suku di Utara, dan Abraham dan Ishak yang
merupakan leluhur dari suku-suku di Selatan. Perkembangannya lalu menjadi
Para Leluhur :
Janji kepada Abraham
Janji kepada Ishak
Janji kepada Yakub

7
Israel Alkitab disini saya maksudkan sebagai Israel sebagaimana disaksikan dalam Alkitab Perjanjian Lama, bukan
Israel yang negaranya dibentuk tahun 1948. Karenanya, Perjanjian Lama pun akan lebih baik didekati apabila dilihat
sebagai Alkitab Ibrani (Hebrew Bible). Sedangkan Yahudi digunakan untuk menunjuk kepada Israel Alkitab
sesudah terjadinya pembuangan ke Babylonia tahun 586 BCE.
8
Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1985),
144-7.

57
Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir : Musa
Penaklukan tanah perjanjian : Josua
Sesudah itu tradisinya berkembang dengan sebab-sebab mereka tiba di Mesir,
sehingga tradisinya lalu menjadi
Para Leluhur :
Janji kepada Abraham
Janji kepada Ishak
Janji kepada Yakub
Turun ke Mesir : Yusuf
Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir : Musa
Penaklukan tanah perjanjian : Josua.
Perkembangan tradisinya bertambah dengan tema perjalanan di pandang gurun,
sehingga tradisinya lalu menjadi
Para Leluhur :
Janji kepada Abraham
Janji kepada Ishak
Janji kepada Yakub
Turun ke Mesir : Yusuf
Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir : Musa
Bimbingan di padang belantara : Musa (dari Mesir ke Sinai)
Bimbingan di padanggurun : Musa (dari Sinai ke Moab)
Penaklukan tanah perjanjian : Josua.

Penambahan terakhir adalah mengenai pemberian hukum di Sinai, sejarah awal


kemanusiaan, dan konsolidasi penaklukan. Dengan proses perkembangan tradisi
seperti itu, akhirnya tersusunlah suatu tradisi yang utuh sebagai berikut :

Awal Sejarah : Dari Penciptaan sampai Abraham


Para Leluhur :
Janji kepada Abraham
Janji kepada Ishak
58
Janji kepada Yakub
Turun ke Mesir : Yusuf
Perbudakan dan Pembebasan dari Mesir : Musa
Bimbingan di padang belantara : Musa (dari Mesir ke Sinai)
Hukum dan Perjanjian di Sinai/Horeb : Musa
Bimbingan di padang gurun : Musa (dari Sinai ke Moab)
Penaklukan tanah perjanjian : Yoshua
Konsolidasi penaklukan : Hakim-Hakim.

Jadi, kalau kesejarahan tokoh Abraham adalah sesuatu yang harus kita pikirkan ulang, lalu
apa fungsi cerita itu, terutama yang berhubungan dengan keterpilihan dan yang diberkati
itu? Untuk memahaminya, maka teks tentang Abraham itu harus dicari sumbernya.
Berdasarkan analisis para ahli, bagian cerita itu berasal dari sumber Y, yaitu
suatu sejarah pertama kerajaan Israel yang ditulis ketika Daud menjadi raja di
Kerajaan Israel (Bersatu).9 Cerita ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 980an szb
(sebelum jaman bersama). Tulisan itu sekarang tersebar dalam kitab-kitab
Kejadian, Keluaran, Imamat dan Bilangan. Tulisan ini dimulai dengan cerita penciptaan
dalam Kejadian 2: 4b dan berakhir dengan Bilangan 24 ketika Bileam memberkati
Israel, dan bukannya mengutuki seperti yang dimintakan darinya oleh Balak.
Robert Coote dan Ord mengatakan bahwa Mesir sebagai negara adi-kuasa pada
waktu itu adalah ancaman yang serius bagi kerajaan Daud yang masih baru itu.10
Karenanya, Daud harus mengambil langkah-langkah untuk meyakinkan rakyatnya
(suku-suku), terutama para pemimpin mereka (syeikhs), agar tidak khawatir
terhadap ancaman tersebut. Untuk itulah dikembangkan cerita seperti ini
sedemikian rupa, sehingga Mesir harus berada dalam posisi yang dikutuk sedangkan
Israel berada pada pihak yang diberkati. Hal itu dimulai sejak cerita Kain dan Habel.
Itulah sebabnya mengapa Kain harus menjadi orang yang dikutuk, sedangkan Habel

9
Robert B. Coote and David Robert Ord, The Bible’s First History: From Eden to the Court of David with the
Yahwist (Philadelphia: Fortress Press, 1989). Bandingkan juga Gottwald, The Hebrew…, 151-3. Disebut sumber
Y, karena nama yang digunakan untuk Allah dalam sumber ini adalah Yahweh. Penulisnya lalu disebut Yahiwst,
dan ceritanya disebut Sumber Y.
10
Coote dan Ord, Ibid., 28-9.

59
adalah orang yang diberkati. Dari kedua orang ini tersusunlah silsilah para leluhur
sampai ke Israelnya Daud. Dalam silsilah itu Mesir berada di jalur silsilah Kain yang
dikutuki, sedangkan Abraham, Ishak dan Yakub dan terakhir Israel berada di jalur
silsilah yang diberkati.11
Hal ini dimaksudkan agar rakyatnya, terutama para elitnya tidak perlu takut dengan
Mesir yang menjadi ancaman itu. Ancaman itu kemudian terbukti dengan dipakainya
Jerobeam (Raja pertama Israel Utara – setelah Israel pecah menjadi Israel Utara dan
Selatan) oleh Mesir untuk menghancurkan kerajaan Israel itu setelah matinya Salomo.
Dengan demikian tema terpilih dan diberkati adalah upaya yang dibuat Daud lewat
para penulis sejarahnya untuk membesarkan hati rakyatnya agar tetap berada
dalam kerajaan Daud yang masih baru itu. Demikianlah akar sejarah dan sosial dari
konsep umat pilihan yang diberkati.

Konsep Bangsa yang Kudus


Karena banyaknya ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep kekudusan ini
terdapat dalam kitab Imamat, termasuk yang disebut para ahli sebagai Holiness Code,
yaitu kumpulan konsep tentang kekudusan dan Imamat 17–25, dapat diduga dengan
segera bahwa konsep ini berasal dari sumber P.12 Sumber ini ditulis setelah orang-
orang Yahudi dibawa kembali oleh raja Koresy dari Persia dan diijinkan untuk
memerintah sendiri secara terbatas (otonomi terbatas) sebagai propinsi, karena
sudah tidak bisa lagi menjadi kerajaan setelah jatuhnya Jerusalem tahun 586 szb.
Pemerintahan sendiri ini dimaksudkan agar tercipta suatu ketertiban di wilayah tersebut,
karena luasnya daerah kekuasaan Persia yang terbentang mulai dari Yunani sekarang
sampai ke sungai Indus di India.13
Untuk maksud itulah, mereka diijinkan pula membangun Bait Allah lagi (Bait
Allah II). Melalui kegiatan ibadah yang dihidupkan kembali dan yang berpusat di
Bait Allah II, ketertiban diharapkan dapat tercipta. Karenanya, dapat dipahami kalau

11
Ibid., 76-7.
12
Gottwald, The Hebrew..., 103-4. Cf. Robert B. Coote and David Robert Ord, In The Beginning: Creation and
the Priestly History (Minneapolis: Fortress Press, 1991), 39. Sumber ini disebut P, karena diduga penulisnya adalah
para imam (Priests) yang memerintah bangsa Yahudi setelah hancurnya kerajaan Yehuda.
13
Gottwald, The Hebrew..., 428-438.

60
kehidupan orang-orang Yahudi pada waktu itu “diperintah” oleh para imam. Yang
dilakukan oleh para imam dalam rangka terciptanya ketertiban itu adalah
dibakukannya suatu kumpulan tulisan yang merupakan sejarah dan hukum bagi
bangsa Yahudi, yang dalam prosesnya kemudian menjadi Torah (hukum). Bagi orang-
orang Yahudi hukum itu menjamin terciptanya pemurnian kembali orang-orang
Yahudi dalam kepercayaan mereka terhadap TUHAN, sedangkan bagi Persia,
tegaknya hukum di Jerusalem mengakibatkan terciptanya ketertiban dalam
kehidupan masyarakat, sehingga Persia tidak repot mengurus wilayah kekuasaannya
yang maha luas itu. Itulah proses yang kita temukan dalam kitab Ezra dan Nehemya.
Dengan demikian lahirnya Torah sedikit banyaknya juga adalah jasa Raja Koresy.
Tindakan mengkompilasi Torah itulah yang menjadi cikal bakal terjadi Alkitab Ibrani.14
Torah dengan demikian bukanlah kitab yang turun dari langit. Kumpulan tulisan yang
menjadi Torah ini yang bersama kitab-kitab para nabi dan mazmur serta karya
lainnya, yang kemudian dikanonkan tahun 90 CE di Jamnia oleh para rabi (orang
Parisi) yang selamat dari penghancuran Bait Allah II tahun 70 zb oleh kekaisaran
Romawi, dalam bentuk Torah, Neviim dan Kethuvim (TaNaK) atau Alkitab Ibrani.
Dalam melakukan kanonisasi hukum (Torah) itulah, konsep kekudusan
masuk di dalamnya yang sekarang ditemukan terutama dalam kitab Imamat, dan
juga kitab-kitab Kejadian, Keluaran dan Bilangan. Proses penetapan konsep kudus ini
berhubungan dengan dikembangkannya konsep eskatologi sebagai cara orang-
orang Yahudi menyikapi kenyataan terjajahnya mereka setelah kehancuran
Jerusalem dan pembuangan, serta ketidakmampuan mereka mengusir para penjajah itu.
Melalui konsep eskatologi, TUHAN diharapkan melakukan intervensi dan menghukum
para penjajah dan mengukuhkan kembali kemuliaannya di Zion serta memulihkan
umatnya lagi.15 Dalam eskatologi jaman penjajahan ini, bangsa-bangsa penjajah akan
dihukum TUHAN, sedangkan orang-orang Yahudi bisa selamat, apabila mereka
menjaga kekudusan mereka. Untuk menjaga kekudusan orang Yahudi, dibakukanlah
diantaranya kewajiban bagi setiap orang Yahudi :
 Diwajibkan makan makanan yang halal

14
Ibid., 437.
15
John Bright, A History of Israel. Third Edition (Philadelphia: Westminster Press, 1981), 453-5.

61
 Bersunat dan
 Memelihara Sabbath.16
Kalau ini dilakukan, maka orang-orang Yahudi nantinya tidak sama dengan bangsa
penjajah mereka. Untuk itulah para imam memberikan dasar “teologis” dari
kewajiban yang menjadi hukum (Torah) ini. Dasar teologis untuk makan makanan halal
adalah perjanjian TUHAN dengan Nuh yang ditandai oleh busur (pelangi) sebagai
peringatan agar orang Yahudi tidak lagi menumpahkan darah. Busur adalah alat
untuk menumpahkan darah. Karena sudah terjadi banyak pertumpahan darah,
maka bumi harus dibersihkan. Banjir besar jaman Nuh itu adalah pembersihannya.
Sesudah banjir, TUHAN mengadakan perjanjian dengan Nuh agar orang-orang
Yahudi diingatkan untuk tidak lagi menumpahkan darah, termasuk makan makanan
yang masih berdarah, sesuatu yang haram. Dari situlah timbulnya berbagai aturan
yang menjaga kekudusan orang Yahudi dengan makan makanan yang halal saja.17
Sunat ditetapkan juga sebagai cara untuk menjaga kekudusan orang Yahudi, karena
sunat merupakan cara menjamin loyalitas seseorang terhadap klennya. Dalam
kondisi ketika orang Yahudi sedang dijajah, maka hal seperti ini sangatlah penting dijaga
agar orang Yahudi tetap dapat menjaga loyalitas dan identitas mereka sebagai orang
Yahudi.18 Hal ini disisipkan ke dalam cerita sumber Y tentang perjanjian yang
dilakukan TUHAN dengan Abaraham. Sedangkan untuk Sabbath, dasarnya dilakukan
dengan perjanjian TUHAN dengan Musa di Sinai setelah hukum itu diberikan. Semua
konsep kekudusan ini oleh Sumber P sebenarnya sudah dimulai dalam cerita penciptaan
seperti yang terdapat dalam Kej. 1: 1–2: 4a. Dalam cerita itu, TUHAN dikatakan
menciptakan dunia dan isinya dalam waktu enam hari dan pada hari ketujuh Ia
berhenti dan menguduskannya. Yang hendak dikatakan adalah pentingnya hari
ketujuh itu, agar Sabbath bisa ditegakkan. Kalau TUHAN saja menguduskannya,
apalagi orang Yahudi.19
Ini semua yang termasuk dalam konsep kekudusan yang dikembangkan oleh
para imam pasca-pembuangan. Hubungannya dengan konsep eskatologi jelas, yaitu

16
Ibid., 430.
17
Robert B. Coote and David Robert Ord, In The Beginning...., 57-66.
18
Ibid., 67-75.
19
Ibid., 85

62
ketika hari TUHAN tiba dan TUHAN mengadakan penghakiman, mereka yang
melaksanakan konsep kekudusan ini akan diselamatkan (Yer 46:27-28; Yes 52:1-12),
sedangkan yang tidak melakukannya, yaitu para penjajah itu akan di hancurkan (yes 63:1-
6). Karena itulah orang-orang Yahudi sangatlah ketat dengan konsep kekudusan ini.
Hal ini terjadi bukannya karena memang mereka adalah bangsa yang kudus, akan
tetapi di balik semua ketetapan itu adalah latar belakang sejarah dan sosialnya,
yaitu merupakan upaya untuk mengatasi ketidakberdayaan mereka menghadapi
para penjajahnya. Harapan tentang hari TUHAN itu masih berlangsung terus sampai
ketika negara Israel modern dibentuk tahun 1948 zb, yang sekarang masih penuh dengan
pergumulan.20
Dengan demikian menjadi jelas bahwa eksklusivisme Israel (Yahudi) yang
telah kita warisi sampai sekarang dalam perilaku beragama kita ada latar belakang
sosial dan historiknya, karena ditulis dan digumuli oleh manusia dalam suatu situasi
tertentu. Situasi itu adalah situasi kekhawatiran Daud dan keinginan para imam
Yahudi dalam suatu kerangka pergumulan tertentu. Sayangnya, kita sering melupakan
hal ini, dan lebih melihat bentuk spiritualnya sebagai yang diperintahkan oleh TUHAN,
padahal sebenarnya hal-hal itu dibuat manusia. Itulah yang Gottwald sebut sebagai “dual-
causality principle” dalam Alkitab.21 Akibat dari kecenderungan kita membaca Alkitab yang
melihat hanya sisi TUHAN saja, dan mengabaikan sisi manusianya, menyebabkan kita
memproyeksikan suatu kehidupan beragama yang tidak realistik.
Tentu sebagai suatu yang ideal, hal-hal itu baik saja.22 Akan tetapi ketika yang
ideal itu sudah dimutlakkan, karena dianggap paling benar, paling kudus, paling
diberkati dan paling diselamatkan sedangkan yang lainnya tidak benar, tidak kudus,
tidak diberkati dan tidak diselamatkan, sehingga mengakibatkan diskriminasi,
maka di situ ada masalah. Sayangnya, tidak kita sadari bahwa akibat dari sikap

20
Shaul Shaked mengatakan bahwa gagasan eskatologi ini diambil para Imam (sumber P) dari agama Zoroaster
(Persia) yang merupakan negara adikuasa waktu itu dengan Koresy sebagai raja utamanya. Cf. Shaul Shaked,
‘Zoroastrianism and Judaism,’ dalam Pheroza J. Godrej & Firoza Punthakey Mistree (ed), A Zoroastrian Tapestry:
Art Religion & Culture (Ahmedabad: Mapin Publishing, 2002), 206.
21
Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel (Louisville-Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001),
252.
22
Sesuatu yang ideal itu dapat berupa utopia atau ideologi. Keduanya baik saja bagi kehidupan manusia, karena
memberikan suatu acuan yang positif dan kreatif sebagai suatu imajinasi sosial dan kultural. Cf. Paul Ricouer,
Lectures on Ideology and Utopia. Edited by George H. Taylor (New York: Columbia University Press, 1986), 1.

63
pemutlakkan yang demikian itu, kita telah menghancurkan kemanusiaan sesama
kita, karena atas nama pemutlakkan itu sering kita merasa berwenang untuk
bertindak sewenang-wenang terhadap sesama kita, termasuk meniadakan
keberadaan mereka, melalui pemusnahan, pembunuhan, pencekalan, dsbnya. Kita
telah melanggar HAM seseorang atas nama kemutlakan Tuhan itu. Dengan mengetahui
sebab lain yang bersifat kemanusiaan, saya merasa kita memperoleh suatu pintu yang
terbuka untuk mengembangkan pemahaman tentang keberadaan kita secara bebas.
Kalau TUHAN oleh orang-orang Yahudi itu dianggap bisa berbuat seperti itu
bagi mereka, mengapa kita tidak bisa juga beranggapan bahwa Tuhan bisa berbuat
demikian juga bagi kita sebagai bangsa Indonesia? Kita sendiri sajalah yang telah
memenjarakan diri kita ke dalam ideal orang Yahudi itu, sehingga tidak bebas untuk
berteologi secara mandiri lagi. Padahal, kalau hal itu bisa kita capai, maka dalam sejarah
kehidupan kita, kita dapat juga melihat bagaimana Tuhan itu juga telah berkarya dan
menyatakan kehendakNya kepada kita sebagai bangsa.
Jadi, kalau Cahill menyebutnya sebagai the gift of the Jews, dalam hal ini
menurut hemat saya itu adalah the trap of the Jews (perangkap Yahudi). Bangsa ini
juga memiliki sejarah yang penting yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan
pengalaman bangsa Yahudi sebagaimana digambarkan di atas. Mungkin pengalaman
bangsa kita itulah yang perlu kita kaji lebih lanjut dalam kehidupan berbangsa, agar tidak
terperangkap terus dengan pengalaman bangsa Yahudi.

PLURALISME AGAMA DI INDONESIA SEBAGAI FAKTA

Clifford Geertz dalam sebuah bukunya, menyebut Indonesia sebagai A New State Of
Old Societies, “Sebuah negara baru yang terdiri dari masyarakat-masyarakat yang
lama”. Persoalan baru pun muncul, ikatan atau loyalitas orang kepada “masyarakat”-
nya yang lama dengan sendirinya jauh lebih dalam ketimbang ikatan atau loyalitas
kepada negaranya yang baru, sehingga tidak jarang timbul konflik, demikian tambah Eka
Darmaputera. Yang perlu adalah “Nation Building” yaitu pembinaan rasa kesatuan

64
bangsa yang melampaui loyalitas kelompok dan mungkin juga agama masing-
masing.23
Tidak banyak negeri yang dalam kehidupan keagamaan seperti masyarakat
Indonesia.24 Di negeri kita hidup dan berkembang berbagai agama besar di dunia. Agama
Islam berkembang merata di seantero Nusantara sebagai anutan mayoritas rakyat
Indonesia. Agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, datang secara lebih
terorganisasikan yang sekaligus memperkenalkan sistem organisasi modern pada
masyarakat Indonesia. Agama Hindu yang mula pertama kali datang
memperkenalkan kehidupan Berpemerintahan melalui Sistem Kerajaan yang
melampaui batas-batas lokal. Adapun agama Budha meninggalkan berbagai warisan
monumental antara lain Candi Borobudur yang merupakan salah satu keajaiban di
dunia. Kedatangan orang-orang Cina membawa agama Khong Hu Cu yang sekarang ini
dianut oleh sebagian keturunan Tionghoa dan juga walaupun tidak banyak, beberapa
penduduk asli. Pada zaman penjajahan terdapat pula penganut agama Yahudi yang ditandai
oleh sinagoge salah satunya di Surabaya denagn beberapa orang penganutnya yang masih
ada sampai sekarang. Patut pula dicatat bahwa sejak zaman Belanda berkembang dengan
sangat terbatas agama Bahai yang pada zaman Orde Lama organisasinya dilarang bersama
beberapa organisasi seperti Liga Demokrasi dan Rotary Club dengan alasan karena “tidak
sesuai dengen revolusi”.
Selain agama-agama yang berasal dari luar di atas juga masih ada agama-
agama asli. Di Kalimantan dikenal juga agama Kaharingan yang dianut oleh suku

23 Bangsa Indonesia mempunyai kemajemukan masyarakat yang komplek, yakni majemuk dalam bidang adat dan
budaya, majemuk dalam bidang pola pikir (pandangan hidup), majemuk kesukuan, dan majemuk dalam bidang
keberagamaan. Belum lagi ditambah dengan letak geografisnya yang saling berjauhan yang tidak disatukan dalam
satu wilayah, sebab negara Indonesia terdiri dawri beribu-ribu pulau ( 13.000 pulau besar dan kecil) yang tersebar
di Nusantara ini. Penduduk Indonesia mengandung 350 suku bangsa dan lebih dari 67 bahasa daerah. Sejumlah etnis
seperti Melayu, Cina, Arab, India, dan Negrito berkumpul dalam pagar kesatuan politik Republik Indonesia (RI).
Indonesia juga mengandung keanekaragaman agama, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu.
Jenis kepercayaan yang lain seperti Kong Hu Cu, Kejawen, dan kepercayaan masyarakat-masyarakat terasing seperti
Badui, Tengger, Samin, Dayak, dan sejumlah suku di Kepulauan Papua. Lih. Hendardi, Keanekaragaman Dan
Keindonesiaan, dalam, Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama. Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2001, hlm. 95
24 Dalam konteks Indonesia, secara sosiologis-antropologis pluralisme dan etnis adalah fakta yang harus kita terima.

Dari berbagai studi kesejarahan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamis. Agama
dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah memainkan peranan yang sangat
penting. Djohan Effendi, Pluralitas Keagamaan Di Indonesia, dalam, Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof.
Dr. Olaf H. Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 456

65
Dayak yang demi memperoleh pengakuan formal dari Pemerintah para
penganutnya terpaksa menerima peng-Hindu-an menjadi agama Hindu Kaharingan.
Pada tahun 70-an penganut agama Parmalim di daerah Batak berusaha diakui sebagai
agama.25
Ketika awal-awal peradaban Nusantara, Hindu dan kemudian Budha telah
diterima sebagai sumber referensi kebudayaan, kemasyarakatan dan juga
pemerintahan.
Walter Bonar Sidjabat mengatakan bahwa pluralitas agama-agama di Indonesia
hendaknya dipandang perlu bagi usaha memelihara tolerasnsi beragama serta menjamin
hak-hak yang sama bagi pemeluk tiap-tiap agama. Ia mengatakan bahwa pemahaman yang
lebih baik bagi isu toleransi beragama haruslah didekati dari dua sudut pandang, yakni
sudut pandang teologis dan sudut pandang sosial. Orang-orang Kristen hendaknya
mewujudkan toleransi beragama tanpa menjadi korban relativisme, skeptisisme, dan
sinkretisme.26

Pancasila : Teologi Religionum yang Kontekstual


Darius Dubut mengatakan bahwa pancasila ibarat rumah bersama yang
dihuni oleh orang-orang yang bersaudara. Persoalan sekarang adalah bagaimana pada
penghuni rumah itu mengisi dan menata kehidupan bersama dan menjadi sebuah rumah
yang bukan hanya indah, namun juga nyaman dan sebab itu menyenangkan untuk dihuni.
Dalam rumah bersama itu harus ada ketentuan untuk mengatur dan membatasi apa
yang “benar” dan apa yang “salah”, apa yang “pantas” dan yang “tidak pantas”
dilakukan oleh semua penghuninya. Hal ini mesti diupayakan oleh semua penghuni
rumah itu secara bersama-sama dan bukannya sebagai penguasa.27

25
Binsar Nainggolan, Pandangan Kritis Terhadap Kerukunan Antar Umat Beragama Di Indonesia, dalam
N.M. Simanjuntak, dkk (Peny), Kritis Berpikir Santun Berkarya, Bunga Rampai Ucapan Syukur 50 Tahun Pdt.
Midian Sirait, M.Th, HKBP Distrik X Medan-Aceh
26
Hal ini mengacu pada pendapat Eka Darmaputera, yang menegaskan bahwa saripati Pancasila itu adalah kesatuan,
keseimbangan dan keserasian dan upaya untuk mewujudkannya haruslah memakai pendekatan yang “bukan-ini-
bukan-itu”. Lih. Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Moderenitas, Jakarta: BPK-GM, 1987, hlm. 133-134
27
Darius Dubut, Agama-agama Dalam Masyarakat Bangsa Indonesia Yang Majemuk, dalam, Panitia
Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf H. Schumann, Balitbang PGI (Peny), Agama Dalam Dialog, Jakarta:
BPK-GM, 1999, hlm. 345

66
Pancasila bukanlah kesepakatan bersama atau consensus nilai-nilai itu sendiri,
tetapi asas atau dasar yang di atasnya semua kelompok di dalam masyarakat Indonesia
melalui proses dialog yang terus-menerus dimungkinkan untuk mencapai kesepakatan
demi kesepakatan dalam mengatasi masalah bersama.28
Sila I dari Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 mengandung makna bahwa
negara mengakui eksistensi agama-agama. Itu juga berarti bahwa negara mengakui
realita kemajemukan agama yang ada. Sebab tidak ada satupun agama yang
mempunyai kedudukan lebih ataupun kurang.29 Sebab itu, tidak boleh pula ada agama
yang diistimewakan atau merasa dirinya istimewa, meskipun dianut oleh sebagian besar
masyarakat dan tidak boleh ada agama yang dianaktirikan atau merasa sebagai anak tiri
karena ia dianut oleh sebagian kecil masyarakat. Pancasila itu bukan negara-agama tetapi
juga bukan negara sekular. Itu berarti bahwa negara Pancasila itu tidak mengenal
pemisahan mutlak antara negara dan agama.
Olaf Schumann mengatakan bahwa rumusan Pancasila tidak mempunyai
teologi sendiri namun mengundang tafsiran menurut setiap agama dan membuat
teologianya sendiri di bawah atap yang disediakan oleh negara.30 Dan Eka
Darmaputera mengatakan bahwa Pancasila merupakan alternatif terbaik bagi kesatuan
dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Pancasila itu tidak sempurna.
Pancasila menjadi alternatif terbaik karena, masyarakat kita adalah masyarakat majemuk.
Tanpa Pancasila maka tidak akan ada kesatuan, tanpa Pancasila tidak akan ada Bhineka
Tunggal Ika. Tanpa Pancasila, kita akan hidup dalam perpecahan atau paling sedikit
ketegangan antar-suku terus-menerus.
Dan karena kita ingin menjadi bangsa yang maju pada satu sisi dan pada sisi
yang lain kita ingin menjadi bangsa yang tetap mempunyai kepribdian, karena
dalam Pancasila kita menemukan identitas nasional dan melalui pengalamannya
kita mencapai modernitas kita. Tanpa Pancasila, kita akan tetap menjadi negara yang
maju, akan tetapi tidak berkepribadian, atau berkepribadian tapi terbelakang. Jadi

28
Bnd. Eka Darmaputera, Pergumulan dan Peran Gereja Dalam Masyarakat dan Negara Pancasila, dalam J.M.
Pattiasina dan Weinata Sairin (peny.), Tegar Mekar di Bumi Pancasila, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm.310
29
Olaf Schumann, Kehidupan Bersama Umat Kristiani Dan Umat Muslim di Indonesia Pada Masa Depan,
dalam, Tim Balitbang PGI (Peny.), Meretas Jalan Teologia Agama-Agama di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007,
hlm. 82
30
Eka Darmaputera, Op.Cit, hlm. 280-282

67
Pancasila seharusnya mendapat posisi yang sangat center, agar tercipta kerukunan dan
persatuan di negara Pancasila ini. Dari Pancasila ini dapat kita pahami bahwa panggilan
Kristen tidak hanya sebatas evanglisasi tapi juga menghadirkan Shalom dan kerajaan Allah
di tengah kemajemukan yang ada di Indonesia ini, karena evanglisasi bukan tugas satu-
satunya bagi kekristenan.
PLURALISME AGAMA SEBAGAI FAKTA DI INDONESIA

Realitas dunia ini adalah Plural. Realitas dunia ini berwujud dalam bentuk budaya,
suku, agama dan lainnya. Kesadaran manusia akan realitas dunia yang plural ini terus
berkembang seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri. Realitas dunia yang plural
ini berkembang menjadi Pluralisme, sebuah paham yang mengakui adanya kemajemukan.
Dalam konteks agama-agama kajian Pluralisme Agama menjadi sangat relevan.
Pluralisme agama dapat didefinisikan ke dalam tiga cara :
1. Dapat menunjuk kepada fakta kemajemukan agama yaitu fakta berbagai macam
agama di sepanjang sejarah manusia dalam berbagai kebudayaan. Pluralisme agama
dalam pengertian ini adalah sebuah pernyataan tentang fenomena obyektif
kemajemukan agama-agama.
2. Pluralisme agama menunjuk kepada fakta kemajemukan agama dan kesadaran
terhadap fakta tersebut. Kesadaran yang membawa kepada persetujuan dan
pengakuan bahwa kemajemukan agama merupakan sesuatu yang baik.
3. Pluralisme agama dapat juga berarti “an interpretative theory about how one should
handle the many competing truth-claims made by the various religions” (Daniel B.
Clendenin, Many Gods, Many Lords [Grand Rapids: Baker, 1995] 12).
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa
kelompok-kelompok yang menunjukan rasa saling menghormati dan toleransi satau sama
lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralitas dan Pluralisme berasal dari kata dasar yang sama, yaitu pluralis (bah.
Latin = Jamak; bah. Inggris = plural). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah
pluralitas tidak ada; yang ada hanya “pluralism” yang dijelaskan sebagai “Hal yang
mengutamakan jamak atau tidak satu”, sedangkan “pluralis” diartikan bersifat jamak

68
(banyak). Istilah Pluralisme secara singkat didefinisikan sebagai keadaan masyarakat
yang majemuk (berkenaan dengan sistim sosial dan politiknya).

Secara agama, David Breslaur menyebut pluralisme sebagai : Suatu situasi


dimana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai
dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda. Sedangkan Walter dan
Douglas menyebutkan: the recognition of the right of various religious groups e.g. Jews,
Muslim, and Christians to be allowed to function lawfully in a society. Oleh sebab itu
Newbigin memberikan pendapatnya yaitu :

“Perbedaan-perbedaan antara agama-agama adalah bukan pada masalah kebenaran


dan ketakbenaran, tetapi tentang perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini
berarti bahwa berbicara tentang kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai
benar atau salah adalah tidak diperkenankan. Kepercayaan keagamaan adalah
masalah pribadi. Setiap orang berhak untuk mempercayai iman masing-masing.
Inilah pluralism keagamaan”.
Dari definisi diatas tampak bahwa pluralisme tidak menolak perbedaan tetapi
menerimanya, malah menolak konsep yang membedakan khususnya eksklusivisme yang
dapat mengganggu kesatuan yang mereka inginkan, bahkan melampaui taraf inklusif.
Pluralisme mengusulkan agar para pemeluk agama mengakui kebenaran dari semua
bentuk keagamaan dan meninggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama
yang “satusatunya” atau yang tertinggi. Pluralisme memberikan satu format
keagamaan yang baru, yaitu satu kebenaran dari tiap-tiap agama. Frithjof Shcuon
menggambarkannya dengan bentuk esoterisme dan eksoterisme. Bahwa agama
secara esoteris sama (horizontal), hanya berbeda secara eksoteris (vertikal).
Kebenaran Kristen adalah sama dengan kebenaran agama lain. Jadi semua agama
mengimani obyek atau realitas ilahi yang sama.
Gnanakan mengemukanan bahwa : pluralism ialah posisi yang menolak keunikan,
atau finalitas atau klaim-klaim yang menentukan pernyataan Allah didalam Kristus Yesus.
Raymond Panikar mengatakan : Orang Hindu yang baik dan bonafide diselamatkan oleh
Kristus dan bukan oleh hiduisme, tetapi melaui sakramen-sakramen Hinduisme melalui
mysterium yang tiba kepadanya. Melalui Hinduisme Kristus menyelamatkan orang Hindu

69
secara normal. George Khidr berbicara tentang Kristus dalam tradisi agama lain. “Kristus
bersembunyi dimana-mana dalam misteri kerendahanNya. Setiap bacaan kepada
agama-agama adalah bacaan kepada Kristus, hanya Kristus saja yang diterima
sebagai terang ketika anugerah mengunjungi seorang Brahmin, seorang Budhis atau
seorang Muslim yang sedang membaca kitab suci mereka masing-masing”. Sedangkan
John Hick mengatakan : “Allah adalah matahari sumber asli terang dan kehidupan,
dimana semua agama merefleksikannya dalam cara-cara mereka yang berbeda-
beda”. Dengan kata lain bahwa semua agama adalah sama, menuju Allah yang sama, yang
pada akhirnya akan menuju satu agama dunia yaitu agama global.

Oleh karena itu, Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori :

1. Katergori Sosial - Dalam pengertian ini, pluralism agama berarti “Semua agama
berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan
bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya.
2. Kategori Etika dan Moral - Dalam hal ini pluralism agama berarti bahwa “Semua
pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relative dan sah”. Jika
kita menganut pluralism agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak
menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda,
misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, uetanasia, dll.
3. Kategori Teologi-Filosofi - Secara sederhana berarti “Agama-agama pada
hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Semua
agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Selanjutnya, dalam
tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralism agama, yang dimaksudkan adalah
pluralism agama dalam kategori teologi-filosofi ini.
Secara khusus falsafah pluralism agama menganjurkan bahwa setiap agama mempunyai
pandangan, persepsi dan respon yang berbeda-beda terhadap Tuhan atau kebenaran yang
mutlak (God / The Absolute Truth). Dengan munculnya pandangan seperti ini, maka timbul
persoalan tentang ajaran manakah yang paling tepat dan benar ? Mengapa setiap agama
memberikan pendapat yang bertentangan tentang Tuhan atau kebenaran yang mutlak ?
Pluralisme agama mencoba menjustifikasikan bahwa setiap kebenaran itu adalah
relative dan bukan mutlak, sesuatu yang dianggap benar dan baik oleh sesuatu golongan

70
mungkin sebaliknya bagi golongan yang lain. John Hick dalam mengaplikasikan faham
relativisme ini kepada falsafah pluralism agama, menyebutkan bahwa “Setiap
agama/tradisi mengungkapkan Tuhan/Kebenaran Mutlak dalam berbagai
perkataan seperti Trinitas untuk agama Kristen, Yahweh untuk Yahudi, Brahman
untuk agama Hindu dan Dharmakaya untuk agama Buddha”.

KEBERAGAMAAN INDONESIA : TONGGAK PENTING DALAM SEJARAH AGAMA-AGAMA


Dalam sejarah bangsa Indonesia, sudah ada satu peristiwa penting yang memiliki
dampak luas terhadap hubungan antar agama. Peristwa itu telah tertuang secara tegas
dalam konstitusi bangsa yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya peristiwa penting
itu mulai diabaikan generasi penerusnya, sehingga terancam hilang dengan dampak yang
sangat besar terhadap kelanjutan kehidupan bangsa ini.
Yang saya maksudkan adalah perasaan keberagamaan yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan implikasinya terhadap batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu dapat dilihat dari perubahan yang terjadi tanggal 18
Agustus 1945 ketika tujuh kata dari Piagam Jakarta dihilangkan dengan perubahan-
perubahan yang dibuat para pendiri bangsa ini. Ini semua terjadi dalam Sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indoensia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah
proklamasi kemerdekaan Indonesia.31

Perubahan-perubahan tersebut adalah :


1. Kata Mukadimah bagi preambul Undang-Undang diganti dengan kata Pembukaan.
2. Rumusan dalam alinea keempat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang
Maha Esa....”
3. Perubahan rumusan pasal 6 “Presiden ialah orang Indonesia asli beragama Islam,”
diubah menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli.”

31
Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting), Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, dengan Kata Pengantar oleh Taufik Abdullah (Jakarta:
Sekretariat Negara R.I., 1995), 413-420.

71
4. Rumusan pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara berdasarkan ke-Tuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” diganti menjadi
“Negara Berdasarkan Ketuhanan yang maha esa….”
5. Rumusan alinea ketiga pembukaan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”
diganti menjadi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa….”
Yang menarik untuk dibahas disini adalah pergantian kata Allah dengan kata Tuhan. Hal ini
dilakukan atas usul anggota PPKII Gusti Ktut Pudja dari Bali yang beragama Hindu. 32
Perubahan itu menyebabkan kalimat lengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Atas berkat
Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.”
Pertanyaan yang patut dikemukakan disini adalah, apa maknanya? Pertama, bahwa
kemerdekaan itu oleh rakyat Indonesia dipahami karena rahmat dan berkat Tuhan yang
Maha Kuasa. Ini refleksi imaniah, bukan pernyataan berdasarkan sejarah, karena dalam
sejarahnya bangsa Indonesia berjuang keras untuk memperoleh kemerdekaan. Kedua,
yang membuat pernyataan ini adalah rakyat Indonesia seluruhnya sebagaimana
disebutkan dalam kalimat di atas, bukan hanya Sukarno-Hatta saja sebagaimana
diproklamasikan sehari sebelumnya.
Pertanyaan yang patut dikemukakan kini adalah siapa rakyat Indonesia itu
dan apa agama mereka? Jawabannya, adalah rakyat Indonesia adalah mereka yang
tersebar dari Sabang sampai ke Maluku dengan agama mereka masing-masing, yaitu
Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, juga
Kaharingan, Aluk ta dolo, Perbegu, Marapu, dsbnya. Dalam refleksi imaniah mereka itu,
yang Maha Kuasa dipahami sebagai Tuhan saja. Refleksi itu tidak persoalkan makna kata
Tuhan bagi masing-masing pemeluk agama itu. Akan tetapi bersama-sama dengan bahasa
nasional mereka, yaitu Bahasa Indonesia, mereka mengakui bahwa ada suatu kekuatan
yang melampaui keberadaan mereka (transendental) dan bersama-sama mereka menyapa
Dia sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, itulah yang telah memungkinkan mereka
memproklamsikan kemerdekaan mereka. Tuhan ini adalah nama bangsa Indonesia

32
Ibid., 419.

72
untuk yang ilahi itu. Ini sah saja seperti yang dikatakan John Hick.33 Bahwa dalam
persepsi keberagamaan Yahudi Dia disebut Yahweh, dan Islam disebut Allah s.w.t,
Kristen disebut Allah Tritunggal, dan Konghucu disebut Thian, dan Aluk ta dolo dari
Toraja disebut Puang Matua, itu semua menurut Hick adalah pemahaman secara
budayawi. Sudah tentu Yang Maha Kuasa (Yang Mutlak) itu sendiri tidak bernama seperti
yang dipahami oleh orang dengan latar belakang budaya yang beragam itu. Nama-nama itu
adalah nama-nama yang dibuat oleh orang-orang tersebut karena latar belakang
budayanya masing-masing. Karenanya, dapat dipahami kalau penamaan itu lalu
menghasilkan berbagai bentuk eksklusivisme agama.
Penamaan Tuhan dalam refleksi ini adalah karya bangsa Indonesia yang sangat
egalitarian. Tidak dibedakan-bedakan satu dengan yang lainnya entah karena masalah
suku atau agama atau ras atau golongan. Semua rakyat Indonesia dalam refleksi ini
sama di hadapan Tuhan itu. Tidak ada satu yang secara khusus lebih istimewa dari
pada yang lainnya, sehingga siapa pun boleh menjadi presiden. Inilah religiositas
bangsa Indonesia yang patut mendapat perhatian kita semua, terutama gereja-gereja di
Indonesia. Kalau warisan yang kita terima dari Keyahudian adalah eksklusivisme,
maka dengan hadirnya kenyataan bangsa dan negara Indonesia tahun 1945 dengan
religiositasnya itu, hadir suatu bentuk keberagamaan yang tidak eksklusif.
Keberagamaan Indonesia ini membuka kesempatan untuk melepaskan diri dari
eksklusivisme agama. Kalau orang-orang Yahudi boleh memiliki pemahaman keagamaan
mereka sendiri, mengapa orang-orang Indonesia tak boleh memiliki pemahaman
keagamaan mereka sendiri?
Pernyataan reflektif bangsa Indonesia seperti ini akan membuat gereja-gereja di
Indonesia bisa lebih bebas berteologi dalam kehidupan berbangsanya dan melepaskan
dirinya dari ikatan intelektual serta emosional yang terlalu kuat dengan perangkap Yahudi
tadi. Hanya ketika hal itu terjadi barulah ada peluang dihilangkannya eksklsusivisme
agama yang pada gilirannya dapat menghasilkan penghargaan terhadap HAM dalam
kehidupan bernegara, apalagi kalau pemahaman ini sudah terumuskan dalam Pembukaan

33
John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: Westminster Press, 1982), 53.

73
Undang-Undang Dasar 1945. Karenanya, yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan untuk
mengimplementasikan kesepakatan para pendiri bangsa itu.
Sayangnya, generasi penerus bangsa ini sudah mulai melupakan apa yang
dirumuskan para pendiri bangsa ini sehingga berbagai amandemen telah dilakukan
terhadap undang-undang dasar itu, bahkan ada yang ingin sekali menggantikan kesepkatan
tanggal 18 Agustus 1945 itu dan membawa kembali ke adaan sebelum tanggal tersebut.
Dalam kenyatan memang harus diakui bahwa kesepakatan itu sudah diingkari. Ketika
naskah Undang-Undang Dasar 1945 itu diundangkan dalam Berita Repoeblik Indonesia
tanggal 15 Febroeari tahun 1946, kabinet yang mengundangkannya telah melakukan
pengingkaran terhadap kesepakatan para pendiri bangsa, yaitu dengan tetap menggunakan
kata Allah dalam alinea ketiga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.34 Ini bukan
sekedar pengingkaran terhadap kesepakatan para pendiri bangsa, akan tetapi sekaligus
menghilangkan warisan nilai yang terindah bangsa Indonesia, yaitu penghargaan
kemanusiaan yang luhur, yang tidak eksklusif. Ini berarti telah meruntuhkan hakikat
Keindonesiaan itu sendiri. Dasar yang indah dan kokoh bagi bangunan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) telah dikhianati oleh Kabinet Febroeari 1946 itu.
Kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila jika
ditempatkan dalam konteks sejarah, maka Pancasila adalah sintesa atau jawaban atas
permasalahan keragaman di negeri ini. Karena dasar-dasar historis itulah nilai-nilai
dalam Pancasila begitu universal. Pengalaman sebagai bangsa terjajah telah menjadikan
bangsa Indonesia hilang kemanusiaannya karena diperlakukan tidak adil. Oleh karena itu
untuk memulihkan kemanusiaan dan keadilan, kemerdekaan menjadi satu-satunya jalan.
Dan untuk mempertahankan kemanusiaan dan keadilan dalam mengisi
kemerdekaan itulah nilai-nilai yang egalitarian perlu dirumuskan sebagai dasar negara
(Pancasila). Jika religiositas bangsa Indonesia, sebagaimana telah dipaparkan dalam
Pancasila, yakni : Ketuhanan, perikemanusiaan, serta keadilan yang menjadi nilai-
nilai utamanya, maka setiap manusia dan agama yang berbeda-beda di bumi
Indonesia mempunyai kedudukan yang sederajat. Itu berarti dalam kesadaran
teologis orang Indonesia, tidak ada yang menjajah dan dijajah, semuanya setara.

34
Saafroedin Bahar, Ibid., 639.

74
Dengan demikian, sistem nilai dalam Pancasila sudah sangat Injili secara teologis bagi umat
Kristen,35dan sudah sangat Islami bagi umat Islam, dan seterusnya.

PLURALISME : MASALAH DAN TANTANGAN

Sadar atau tidak, saat ini kita hidup dan berkarya di tengah semangat pemikiran
pluralisme. Jika dibandingkan dengan sejarah masa lalu, hampir semua pemikiran
“besar” saat itu telah di kuasai oleh pemikiran tunggal dari agama, khususnya agama
Kristen. Selama milenium pertama dan kedua dimana pemikiran tunggal dikuasai oleh
pemikiran kristen. Sejarah telah mencatat bahwa pada masa millennium pertama
maupun kedua telah terjadi suatu masa yang sadis, banyak kematian yang terjadi
demi mempertahankan suatu pemikiran tunggal, yang oleh Sumartana disebut
“Theological killing”36.
Akan tetapi dengan datangnya milenium ketiga ini, semangat pemikiran pluralis,
semakin bergema dimana-mana dan dapat dirasakan bahwa kebenaran-kebenaran
tunggal dalam agama Kristen sudah mulai kehilangan kekuatan dan pengaruhnya.
Semangat pluralisme ini mula-mula disadari dan digalakkan oleh para pemikir kristen
sendiri seperti Hans Kung, John Hick dan Paul F. Knitter.
Sebenarnya semangat pemikiran pluralisme bukanlah hal yang baru, bagi gereja
atau jika kita mau melihat lebih jauh kebelakang, maka semangat pluralisme itu kita akan
segera temukan juga di dalam kelahiran agama Yahudi.37 Sedangkan kalau kita berbicara
tentang kehadiran agama Kristen di Indoneia, memang agama kristen hadir di tengah-
tengah agama lainnya. Sebab realitas Indonesia sejak awalnya memang terdiri dari
kemajemukan dalam banyak hal. Hal tersebut kita semua tahu manakala para
pendiri negeri kita sudah mendeklarasikan keberagaman itu, dalam suatu kalimat
yang pendek: “Bhineka Tunggal Ika”. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
pemikiran tersebut mengalami berbagai kebekuan dan bahkan terkesan kecenderungan
untuk dilupakan.

35
John Titaley, “Dekonstruksi dan Rekonstruksi Teologi Menuju Teologi Indonesia yang Kontekstual”...190
36
Th. Sumartana, “Theologia Religionum” dalam Tim Litbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama- Agama di
Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) Hal. 26.
37
Andrew D. Claeke dan Bruce W. Winter, Satu Allah Satu Tuhan: Tinauan Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama,
(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) Hal. 15 - 19

75
Akar-akar pemikiran pluralisme dalam tradisi pemikiran Yunani kuno. Pada
jaman pra Sokrates misalnya, gagasan pemikiran pluralisme sudah dirintis oleh Protagoras
:
1. Slogannya yang terkenal “Manusia adalah satu-satunya ukuran bagi segala
sesuatu”(Man is the measure of all things).38 Dari pernyataan Protagoras tersebut
telah terlihat dengan jelas semangat dan benih pluralism. Tetapi kalau kita mundur
sedikit ke belakang sebelum Protagoras, di sana kita menemukan Herakletus, filosof
dari Efesus, ia sudah menggagas ide awal dari pemikiran pluralism.
2. Filsafat Herakletus sering disebut dengan nama “filsafat menjadi”. Artinya
segala sesuatu di alam semesta ini sedang menjadi dan selalu berada di dalam
perubahan, tidak ada yang tetap, semuanya mengalir. “Panta Rei Uden Menei”
yang artinya bahwa segala sesuatu mengalir tidak ada yang tinggal diam”.39 Ia
mengakui bahwa realitas itu satu tetapi pada saat yang sama ia banyak dan itu
bukan soal aksidental melainkan essensial.
Dalam perjalanannya, pemikiran pluralis kurang memperoleh tempat dalam
kancah perdebatan filosofis. Sokrates sendiri adalah penentang utama aliran berpikir
pluralis. Pemikiran pluralis semakin hilang pengaruhnya ketika dunia peradaban
filsafat dikuasai oleh pemikiran filsafat dan teologi Kristen. Dalam era filsafat dan
teologi Kristen, semua faham pemikiran politeisme Yunani dihapus dan diganti
dengan pemikiran monoteisme Kristen. Selama masa tersebut, pemikiran pluralism
boleh dikatakan hilang kekuatannya dalam berbagai diskusi filsafat. Dalam tidur
panjangnya, kemudian lahirlah jaman Renaisanse yang menempatkan manusia
sebagai pusat pemikiran segala filsafat. Selama era ini pemikiran pluralis kembali
bergema dan menjadi pokok diskusi para filosof, terutama para pemikir dari aliran
empirisme. Pemikiran-pemikiran dengan aliran pluralism terus bergulir sejak era modern
dan boleh dikatakan telah mencapai puncaknya di era postmodern ini.
Semangat postmodern dan demokratisasi telah membuka peluang yang
sangat besar bagi hadirnya pluralism di tengah-tengah kehidupan umat manusia.

38
Fredrick Copleston, A History of Philosophy : Volume I Grece & Rome, Part 1, ( New York: Image
Books, 1962) hal 108. Lihat juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. ( Yogyakarta:
Kanisius, 1980) hal 33
39
Soegeng Hardiyanto, (ed) Agama dalam Dialog ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) h. 309

76
Memang harus diakui bahwa pluralism itu merupakan bagian integral dari kehidupan umat
manusia, akan tetapi pada masa sebelum era kita hari ini, gerak pluralism itu masih sangat
lambat dan hanya dapat hidup dan bertahan secara lokal. Namun dengan datangnya era
pasca modern ini, maka kekuatan pluralism semakin tampil mengemuka di mana-
mana. Hampir dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada lagi batas-batas antara berbagai
bagian dari kehidupan ini. Semangat pluralism telah menghapus semua pemikiran
tunggal dan menggantikannya dengan pemikiran pluralism. Dalam bahasa
Nietzsche, kebenaran adalah selalu bersifat perspektifal. Artinya kebenaran selalu
berada dalam perspektif-perspektif tertentu.
Di sini terlihat dengan jelas semangat pluralism yang berujung kepada
semangat relativisme, kekosongan dan kehampaan. Ekses-ekses seperti inilah yang
memunculkan berbagai reaksi terhadap pemikiran-pemikiran pluralism. Pluralisme telah
memecah keseragaman berpikir dalam kelompok, misalnya para teolog dari gereja-
gereja Timur lebih senang dengan pluralisme, sedangkan teolog dari gereja-gereja
barat lebih cenderung menolak pimikiran pluralisme.40

APA ITU PLURALISME


Memahami pluralisme
Dari percakapan sebelumnya kita sudah melihat sekilas mengenai akar-akar
pemikiran pluralisme dari pemikiran filsafat, tetapi apakah pluralisme itu? Ada baiknya,
sebelum kita pahami bersama apa itu pluralisme, dijelaskan lebih dahulu istilah pluralitas
dan pluralisme yang
kedua istilah itu berasal dari akar kata yang sama.
1. PLURALITAS : diterjemahkah dari kata “plurality” yang termaknai sebagai
keberagaman, kemajemukkan, kejamakkan. Kata pluralitas itu hampir sama
maknanya dengan kata “kebhinekaan”. Kebhinekaan atau keberagaman seperti itu,
memang adalah suatu realitas universal yang kita dapat temui di mana-mana di
seluruh dunia. Di Indonesia saja, kejamakkan sebagai realitas sosial adalah
merupakan suatu kenyataan, misalnya kemajemukan suku, bahasa, budaya, adat

40
Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989) h. 53

77
istiadat, agama. Jadi pluralitas adalah suatu deskripsi objektif atas atau
terhadap realitas manusia dan alam yang terdiri dari banyak hal yang
beragam. Istilah pluralitas lebih menunjuk kepada jumlah atau banyaknya agama,
bahasa, budaya dari pada perbedaan yang satu dengan yang lainnya.
2. PLURALISME sering diartikan sebagai sebuah paham (isme) suatu perspektif
ideologis-filosofis dalam memahami realitas. Pluralisme bukan sekedar soal
kepelbagaian, bukan hanya soal jumlah, banyak atau sedikit, majemuk atau tunggal,
melainkan ia merupakan suatu paham (isme.) Pluralism sebagai paham, mencoba
untuk merangkul realitas pluralis dalam suatu kesetaraan. Terhadap
pluralisme agama atau keselamatan yang disediakan agama, pluralisme
berkeyakinan bahwa ada banyak jalan menuju ke keselamatan. Tekanannya
ada pada Allah sebagai pusat, atau realitas tertinggi dan realitas tersebut dapat
dipahami melalui berbagai persepsi yang berhubungan dengan kebenaran.41
Upaya-upaya semacam ini dilakukan dengan maksud untuk
menghilangkan berbagai pergesekan dan perbedaan yang sering kali terjadi
dan memicu berbagai konflik sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu paham
pluralism mencoba untuk mencari solusi terhadap berbagai konflik dengan
meniadakan klaim-klaim kebenaran. Pluralisme memberi tekanan pada kualitas
keberagaman sebagai realitas. Dengan paham pluralism, maka setiap keunikkan
yang terdapat pada suatu pandangan atau agama, direlatifkan makna dan
kebenarannya. Paham pluralis mencoba untuk menghapus kebenaran kebenaran
tunggal dan menggantikannya dengan kebenaran-kebenaran pluralis-relatif.

Pemikiran semacam ini kita dapat melihatnya di dalam pandangan dari Knitter.42
Dari perspektif tersebut di atas, maka pluralism yang dibicarakan bukan lagi
penyajian suatu data deskriptif terhadap realitas, melainkan suatu sikap pandang
dalam memahami dan memaknai realitas yang majemuk. Sikap pandang terhadap
realitas tersebut didorong oleh berbagai peristiwa berdarah yang terjadi belakangan ini.

41
E. G. Singgih, “Eeuwout Klootwijk” dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994,
h.123
42
Sia Hok Gwan, “Paul Knitter” dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994, h. 138

78
Dalam berbagai analisis, terutama analisis sosiolgis, ditemukan bahwa berbagai konflik
sosial dan peristiwa berdarah yang terjadi di berbagai tempat telah dipicu oleh klaim-klaim
kebenaran.43 Klaim-klaim kebenaran itu misalnya budaya, adat istiadat dan terutama klaim
kebenaran agama. Lahirnya ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk
melenyapkan klaim kebenaran yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap
ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas
nama agama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatas namakan
agama baru akan bisa sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap
agamanya yang paling benar. Maka para penganut semangat pluralism mengajukan
solusi yaitu harus dihapuskannya berbagai klaim kebenaran, maka di situ akan
tercipta kehidupan yang rukun dan damai. Sebenarnya pluralisme itu sendiri masih
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu :
1. Pluralism Tradisional - Mengenai pluralisme tradisional ini Wahono44
menyebutnya sebagai tahap Ignorant, dimana masing-masing penganut agama
tahu bahwa ada agama lain di sampaing agama saya, tetapi masing-masing
penganut agama berjalan sendiri-sendiri. Tidak saling mengganggu dan tidak
saling mempedulikan satu sama lain. Mereka menerima saja perbedaanperbedaan
tersebut sebagai sesuatu yang bersifat alamiah.
2. Pluralism Terbatas - dimana masing-masing penganut agama berjuang untuk
menemukan kebenaran menurut agamanya sendiri yang bersifat eksklusif. Di
sinilah sebenarnya awal mula klaim-klaim kebenaran muncul kepermukaan.
3. Pluralisme “Ekstrim”

Skeptisisme. Sekilas, banyak orang mempunyai anggapan bahwa pluralism sama artinya
dengan skeptisisme atau sebaliknya. Namun kalau kita perhatikan dengan lebih teliti, kita
akan segera tahu bahwa kedua istilah tersebut tidaklah sama artinya. Skeptisisme adalah
sebuah paham yang mengatakan bahwa manusia dengan akal budinya tidak akan
pernah mencapai kebenaran sejati. Maka kebenaran satu-satunya ialah meragukan

43
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) h. 151-152
44
S. Wismoady Wahono, Pro Eksistensi ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001) h. 5

79
semua kebenaran.45 Skeptisisme mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui
persesuaian antara pengetahuan dengan kenyataan. Budi manusia tidak dapat mengenal
realitas seperti dalam dirinya sendiri. Skeptisisme semacam ini muncul dalam bentuk
relativisme dan individualisme.46
Bagi penganut skeptisisme mereka mengatakan bahwa segala kebenaran
hanya berlaku bagi subjek tertentu dalam situasi tertentu pula. Jadi ada perbedaan
yang mendasar antara pluralisme dan skeptisisme. Di dalam pluralisme kita masih bisa
menemukan kebenaran, meskipun menurut paham ini, kebenaran itu terbatas, tidak
lengkap. Sedangkan di dalam skeptisisme kita tidak akan pernah menemukan
kebenaran, karena pencari kebenaran itu sendiri pada dasarnya adalah terbatas.
Memang ada beberapa pemikir seperti Alan Race yang menggolongkan pluralisme ke
dalam varian relativisme, tetapi beberapa pengamat lain lagi seperti Knitter melihat bahwa
pluralisme dan relativisme sebagai dua cara pandang yang berbeda, meskipun kadang
berdekatan.47
Pluralisme sebagaimana dijelaskan di atas, sebenarnya bukanlah pluralisme yang
mengalir dari pemikiran filsafat, melainan lahir dari realitas sosial yang memang plural dan
keadaan itu terus berkembang dengan begitu cepat di era kita ini, serta membawa
beberapa dampak negatif seperti konflik-konflik sosial. Maka pluralisme ini sebenarnya
merupakan suatu usaha untuk meredam berbagai konflik sosial. Pluralisme
semacam ini juga merupakan kelanjutan dari sikap-sikap masyarakat agama
terhadap realitas plural.

Beberapa Sikap Terhadap Pluralisme


Setelah kita melihat apa itu pluralisme, kini kita mencoba lagi untuk melihat
beberapa sikap terhadap pemikiran pluralisme. Secara deskriptif dapat diklasifikasikan
menjadi tiga sikap utama adalah :
1. Paradigma Eksklusive Paradigma eksklusivisme merupakan pandangan yang
dominan di sepanjang sejarah agama-agama dan tetap dianut pemeluk agama

45
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1981) h. 17
46
Adelbert Snijders, Manusia Kebenaran, ( Yogyakarta: Kanisius, 2006) h. 133-134.
47
Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersasama: Etika Global Dalam kajian Postmodernisme dan
Pluralisme Agama, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 74

80
sampai saat ini. Inti pandangan eksklusivisme ialah bahwa agama yang dianut
seseorang adalah satusatunya jalan yang sah, benar menuju keselamatan dan
Sorga. Pandangan ini menyebar di semua agama wahyu didunia ini. Dalam
pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, pandangan ini akan
termanifestasi dalam beberapa sikap lagi yaitu :
 Sikap pertama dari paradigma eksklusif adalah sikap menarik diri. Dari
segi sosiologis, apabila dalam suatu komunitas dimana penganut agama
tertentu merasa dirinya lebih kecil dari segi jumlah dan pengaruh, maka ia
akan lebih cenderung menarik diri dari realitas sosial yang majemuk dan
membentuk komunitas eksklusif, tertutup dalam pergaulan. Dalam keadaan
tertentu, mereka cenderung “menjauhkan diri dari pengaruh mayoritas ke
daerah yang terpencil”
 Sikap kedua dari paradigma eksklusif ialah sikap menyangkal kehadiran
agama lain dengan melakukan tindakan depresif. Lagi-lagi dari segi
sosiologis, apabila dalam suatu wilayah tertentu dan terdapat suatu
golongan agama tertentu yang merasa lebih besar dalam jumlah
maupun pengaruh maka ia akan melakukan protes-protes terbuka
terhadap kelompok agama lainnya yang menurut golongan tersebut
agama merekalah yang benar dan agama lainnya adalah salah bahkan
sesat. Kelompok mayorits menciptakan suatu mitos bahwa merekalah yang
dipanggil untuk berkuasa dan menentukan jalannya masyarakat. Semua
minoritas harus ditundukkan kepada keinginan mayoritas.48 Oleh karena itu
agama dengan penganut minoritas harus dikuasai dan ditaklukkan, baik
dengan secara paksa maupun dengan cara-cara yang lebih halus.
2. Paradigma “Inklusivisme”. Paradigma ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa
semua agama dengan segala ajarannya, mampu menyediakan jalan
keselamatan yang dapat menyelamatkan umatnya sejauh mereka (umat)
hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Paradigma ini membedakan
antara kehadiran penyelamatan dan aktivitas Allah dalam tradisi agama-

48
Hendropuspito, Sosiologi Agama, ...h. 167

81
agama lain. Maka di dalam perjumpaan antar umat beragama yang bebeda-beda,
hampir kurang terjadi konflik sosial, karena masing-masing mengakui dan
menghargai perbedaan agama. Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah
masyarakat, pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap yaitu :
 Sikap pertama dari paradigma inklusif ialah sikap akomodatif. Sikap
akomodatif ini lebih mementingkan keselamatan di dalam tiap-tiap
agama. Oleh karena itu kebersamaan dan kerukunan menjadi pusat
perhatian mereka dan tidak mempersoalkan ajaran-ajaran agama
dimana terdapat perbedaan-perbedaan. Agama, dengan segala ajarannya
itu urusan interen agama masing-masing orang atau soal agama itu adalah
urusan hati tiap orang dengan Tuhan. maka biarlah urusan masing-masing
orang dengan Tuhan dan biarlah Tuhan yang tahu. Terkadang sikap ini jatuh
kepada sinkritisme.
 Sikap kedua dari paradiga inklusif ialah inklusif kritis. Model ini sadar akan
perbedaan ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu masing-masing
umat penganut agama tertentu, berusaha untuk berpegang teguh pada ajaran
agamanya. Ciri pokok dari semangat inklusif kritis ialah: Hadir di tengah
masyarakat pluralis, melihat, menimbang, memutuskan dan bertindak.
Pandangan inklusif kritis bisa juga disebut sebagai inklusif
transformatif. Ia hadir di tengah pluralitas agama dan berjuang untuk
membawa transformasi atau perubahan terhadap kehidupan sosial
masyarakat. Ada semacam kesadaran bahwa sebagai sesama umat
manusia, kita harus hidup dan saling menghidupkan di antara sesama
umat beragama sehingga tercipta suatu masyarakat damai sejahtera.
Jadi inklusif kritis mengembangkan sikap saling menghargai kepelbagaian
masing-masing penganut umat beragama dengan semangat saling
menghormati dan saling memberdayakan menuju masyarakat sejahtera.
3. Pandangan Pluralisme. Pandangan ini mengatakan bahwa setiap agama
mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itulah semua klaim
bahwa hanya agamanyalah adalah satu-satunya yang sah dan benar, harus
ditinggalkan. Dengan kata lain pluralisme agama menghendaki agar setiap
82
pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui perbedaan dan hak agama lain, tetapi
harus terlibat di dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-
tengah masyarakat, pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap yaitu :
 Sikap Pluralisme Eksistensial. Gerakan ini berjuang untuk menyadarkan
semua umat beragama bahwa secara kodrati realitas itu plural. Artinya
kita harus mengakui dan menerima bahwa realitas kosmos ini memang
banyak ragamnya dan untuk itu tidak perlu dipertentangkan satu sama
lainnya. Contoh dari pandangan ini ialah pelangi. Pelangi itu indah, menarik
bahkan mempesona kita, karena keragaman warnanya.
 Pluralisme Relativisme. Pandangan ini bergerak dari asumsi bahwa
realitas mutlak itu adalah relatif. Tidak ada suatu kebenaran apapun di
dalam apapun. Ini pengaruh dari filsafat Kant yang meradikalkan
perbedaan antara fenomena dan noumena. Semua agama sedang dalam
pencaharian akan kebenaran dan kita hanya menangkap fenomenanya saja
sedangkan yang sesungguhnya tidak seorangpun yang tahu. Sikap semacam
ini sangat melemahkan kebenaran yang diakui dan diyakini oleh setiap
agama selama ini. Apabila kebenaran yang diyakini oleh tiap agama
direlatifkan, maka kemanakah kita harus mencari dan membangun lagi
kebenaran?

BEBERAPA PROBLEM UMUM DARI PLURALISME


Para penganut pluralisme berupaya untuk mendorong kekristenan bergerak keluar
sehubungan dengan agama-agama lain di dunia. Akan tetapi upaya tersebut telah
menjumpai perlawanan yang tidak kecil jumlahnya, sebagian berasal dari luar dan
sebagian lagi berada di dalam diri kita sendiri.49 Kita tidak akan membicarakan semua
masalah pluralisme, ada beberapa masalah umum dari Pluralisme dalam hubungan
dengan Pastoral :

49
Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993) h. 221

83
a. Pluralisme Sebagai Problem Sosiologis (keluarga)
Jika kita ikuti alur pemikiran dari kaum pluralisme, maka pluralism diusung
sebagai solusi terhadap berbagai konflik dan kekacauan dalam masyarakat. Secara
teoritis, maksud baik tersebut dapat meredam berbagai konflik sosial dalam masyarakat,
namun dalam kenyataan empiris, kita justru melihat bahwa dengan hadirnya
pluralisme tersebut justru menghadirkan sekaligus persoalan dalam keluarga. Yang
dimaksud dengan pluralisme sebagai problem sosiologis atau keluarga ialah bahwa
pluralisme selalu mengadung potensi konflik sosial atau kekaburan identitas.
Pluralisme oikumenis yang bersifat denominasional dengan keterbukaan pikiran dan
pendapat, justru menyebabkan kebingungan. Sulit bagi kita untuk melihat dan menperoleh
kepastian, sebab banyak pilihan dan banyak alternative. Dalam konteks di Indonesia,
persoalan seperti sering jarang kita jumpai bahwa dalam sebuah keluarga, anggota
keluarganya memiliki atau menganut sekaligus beberapa agama. Dikalangan agama
Kristen sendiri, tidak jarang kita temui bahwa dalam satu keluarga anggota
keluarganya menganut berbagai aliran denominasi gereja. Keberadaan mereka dalam
sebuah keluarga dengan bermacam-macam denominasi gereja mengandung potensi
konflik dalam keluarga. Dalam keluarga dengan kepelbagaian denominasi gereja, akan
melahirkan pluralisme behavioristik.
Menurut para ahli sosiologi, pluralism behavioristik merupakan inti
permasalahan sosiologis. Permasalahan itu berawal dari keyakinan atau hasrat
dengan nama dogma yang berbeda, aturan dan keinginan yang berbeda pula.
Padahal keluarga sebagai persekutuan yang paling asli, yang membentuk seluruh
keyakinan dan kewajiban moral. Pluralisme behavioristik bisa menjadi pokok
permasalahan, hal tersebut bisa terjadi karena tiap-tiap aliran denominasi gereja
memberi tekanan tertentu pada satu pokok ajaran atau doktrin. Dengan memberi
tekanan hanya pada satu pokok ajaran, hal itu adalah suatu bentuk kekaburan identitas
sebagai orang kristen.

b. Pluralisme Sebagai Problem Psikologis


Dalam sebuah keluarga perlu ada sistim tata nilai yang harus dianut bersama.
Sistim tata nilai tersebut sebagai batasan dan bila mana batasan-batasan itu
84
dilanggar maka di situ akan menimbulkan berbagai kesulitan dalam keluarga. Sistim
tata nilai tersebut perlu diinternalisasikan ke dalam anggota keluarga sedini mungkin,
sehingga anggota keluarga mempunyai batasan yang jelas.
Apabila dalam sebuah keluarga dengan semangat pluralism perbedaan kepercayaan
agama dan aliran denominasi gereja dan tentu dengan sendirinya sudah berlaku nilai-nilai
pluralis, maka hal tersebut akan segera menimbulkan kebingungan di antara anggota
keluarga. Keluarga akan terpecah-pecah oleh pandangan yang saling berbeda dan bahkan
saling bertentangan, terutama mengenai hal-hal yang berkenaan dengan ajaran iman
bersifat prinsip.
Maka dari pandangan psikologis, Potensi kekaburan jati diri keluarga akan memicu
lahirnya stress personal maupun komunal. Komunikasi akan menjadi terhambat, dan
suasana kebersamaan dalam keluarga akan menjadi sangat terganggu. Di sini akan
tercipta suatu pola baru yang disebut sebagai “budaya bisu” dalam keluarga, dimana
komunikasi tidak akan berjalan dengan sehat. Mempertahankan diri dalam
ketertutupan tanpa komunikasi akan menyengsarakan diri sendiri. Keluarga yang hidup
bersama dengan tanpa komunikasi yang sehat, akan menimbulkan rasa frustrasi dan
jengkel di dalam jiwa anggota keluarga.50

c. Pluralisme Sebagai Masalah Teologi Pastoral


Problem pastoral di sini ialah potensi akomodatif / sinkritisme dan bahaya
dogmatism. Para pelayan pastoral dalam mensikapi pluralism selalu ada kecenderungan
untuk memilih satu sikap ektrim dari dua kemungkinan. Sikap ekstrim pertama ialah
menyambut dengan semangat
pandangan-pandangan pluralis tanpa sikap kritis dan menolak dengan tegas-tegas apa-apa
yang dimilikinya selama ini tanpa suatu pertimbangan yang matang. Barangkali ada
keluarga yang menganut paham akomodatif akan mencoba untuk menetralisir semua
pandangan yang dianut dalam keluarga untuk saling menerima dan mengakui dan bisa
menciptakan suatu suasana yang harmonis. Namun kalau usaha tersebut tidak dilakukan

50
Y. Bambang Mulyono, Mengatasi Kenakalan remaja, Pendekatan: Sosiologis, Psikologis, Teologis,
(Yogyakarta: Yayasan Andi, 1986) h. 45

85
dengan sikap kritis, maka usaha itu akan segera menghantar keluarga tersebut kepada
sikap sinkritsme. Jadi upaya untuk menyelamatkan
keluarga dengan semangat pluralis akan jatuh ke dalam bahaya sinkritisme. Ini juga sangat
berbahaya. Bagi keluarga yang mengambil sikap tersebut, “Segala suatu dianggap seperti
“mode” yang diciptakan menurut selera musim, lantas disingkirkan untuk diganti dengan
mode yang lain”.51
Sikap semacam ini sangat terbuka peluang untuk jatuh ke dalam bahaya sinkritisme.
Sinkritisme yang saya maksud ialah bukan soal-soal yang hanya semata-mata berhubungan
dengan hal-hal mistis atau penyembahan berhala, melainkan penggunaan istilah-istilah
dari disiplin ilmu sosial misalnya soal dosa disamakan begitu saja dengan istilah “id” dari
psikoanalisa Freud. Penyamaan istilah-istilah teologi dengan istilah-istilah non teologi
adalah suatu bentuk sikritisme baru, karena setiap disiplin ilmu, ia mempunyai istilah-
istilah yang khas dengan makna yang khas pula dan tidak bisa disamakan begitu saja.
Ketercabutan dari akar tradisi pastoral gereja. Dalam pelayanan pastoral, referensi yang
dipakai adalah referensi ilmu-ilmu social seperti psikologi, sosiologi atau ilmu kedokteran,
dll. meskipun para pelayan pastoral itu tidak memiliki pengetahuan dasar yang memadai
untuk bidang yang direfrensi tersebut. Pola-pola tradisi dari pastoral telah ditinggalkan.
Pola-pola tradisi yang saya maksud ialah Alkitab, sejarah pelayanan pastoral dari gereja di
masa lampau, teologi pastoral dan sejenisnya. Tradisi tersebut sudah ditinggalkan oleh
para pelayan pastoral hari ini. Meninggalkan Alkitab. Hal tersebut dapat kita saksikan di
dalam berbagai khotbah dewasa ini. Dalam sebuah khotbah bukan lagi pesan Alkitab yang
mau disampaikan tetapi para pelayan pastoral mengembangkan cerita-cerita pengalaman
dari berbagai macam suku dan budaya maupun pengalaman dirinya sendiri. Pembiasaan
seperti ini sadar atau tidak sadar akan segera membentuk suatu persepsi baru yaitu bahwa
cerita-cerita besar dari berbagai suku bangsa tersebut, sama nilainya dengan cerita-cerita
besar dalam Alkitab. Jika hal ini yang terjadi, maka gereja telah menjadi agen untuk paham
pluralism, yaitu menghapus metanarasi dan menggantikannya dengan cerita-cerita rakyat
dari berbagai budaya dan agama. Tanpa disadari bahwa dengan cara tersebut para pelayan
pastoral telah menciptakan “Alkitab baru” yang penuh dengan kisah-kisah pengalaman dari

51
Tjaard G. Hommes & E. Gerrit Singgih, (ed) Teologi dan.... h. 163

86
masing-masing individu. Sikap ekstrim lainnya ialah bahaya dogmatisme. Berseberangan
dengan kelompok akomodatif ialah kelompok yang mencoba menutup diri dengan nama
dogma. Bagi kelompok ini bila berhadapan dengan paham pluralisme, mereka segera
“menutup diri, membuat kepompong baja, seraya memperkuat sikap mengagung-agungkan
serta memutlakkan apa yang dipunyai dan merelatifkan apa yang tidak dipunyai”. Hal
tersebut dapat dipahami oleh karena keyakinan agama selalu bersifat dogmatis yang tidak
pernah memberi tempat pada keraguan dan pertanyaan.

FENOMENA HUBUNGAN AGAMA-AGAMA


AGAMA DAN KEKERASAN, AGAMA DAN PERUBAHAN MASYARAKAT

AGAMA DAN KEKERASAN


Kekerasan merupakan fenomena politik dan sosiologis yang bersifat universal. Ia
dapat berlangsung pada level individual, kolektif, institusi, maupun sistem secara
keseluruhan.52 Kekerasan bisa berlangsung secara horisontal pada masing-masing level,
tetapi bisa juga berlangsung secara vertikal atau kombinasi di antara keduanya.53
Kekerasan juga bisa berlangsung secara terbuka, tetapi juga bisa bersifat tertutup.
Rautekspresi kekerasan pun sangat bervariasi, mulai dari kekerasan yang bersifat simbolik
hingga pada kekerasan fisik; dari kekerasan verbal hingga peperangan antar bangsa atau
negara. Metode yang dilibatkan dalam kekerasan juga sangat bervariasi. Akan tetapi di
antara variasi metode yang dipakai, terdapat kesamaan watak yakni eksploitasi energy
anarkhis baik yang inherent dalam nature manusia sebagai ”makluk”, maupun
energi anarkhis yang merupakan produk karya peradaban manusia, seperti senjata
dan sistem persenjataan.54
Menurut Jack D. Douglas dan F.C. Waksler istilah kekerasan digunakan untuk
menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang
bersifat menyerang (offensif) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan

52
Tamrin Amal Tamagola, Republik Kapling. Yogyakarta: Resist Book, 2006, h 34.
53
Cornelis Lay, Antara Anarki dan Demokrasi. Jakarta: Pensil, 2004, h 32.
54
Ariel Haryanto, State Terrorism and Political Indentity in Indonesia: Fatally Belonging, London: Routledge,
2006, p 52.

87
kekuatan kepada orang lain.55 Dari pendapat tersebut dapat diidentifikasi adanya empat
jenis kekerasan :
1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian
2. Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung,
seperti mengancam
3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk
mendapatkan sesuatu, seperti perampokan; dll
4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup.

Persoalan Kekerasan Agama


Kekerasan agama bisa dijelaskan prosedurnya sebagai berikut :
1. Kekerasan bukan merupakan fenomena monolitik dan mandiri.
Ekspresi dan perilaku kekerasan bisa jadi terkait dengan faktor-faktor
internal maupun eksternal manusia, namun juga bisa karena internal dan eksternal
agama. Secara internal kemanusiaan, meminjam teori Fromm,56 bahwa
sesungguhnya kekerasan merupakan bentuk penyaluran naluri destruktif
yang ada dalam diri manusia. Jika kecenderungan manusia untuk tumbuh
dihalangi, energi yang terhalang itu mengalami proses perubahan dan
menjadi energy yang jahat dan merusak. Dengan demikian, kondisi individual
dan sosial yang menghalangi energi yang memajukan kehidupan manusia,
akan menghasilkan sifat perusakan, dan bisa menjadi sumber kekerasan.
Temuan psikologi terkini menyatakan bahwa naluri dominasi dan agresivitas
adalah bawaan manusia sejak lahir. Bahkan John Stuart Mill, sebagaimana disitir
Fromm, menyatakan bahwa pelajaran pertama dari peradaban adalah pelajaran
tentang kepatuhan. Manusia memiliki dua kecondongan, yakni hasrat untuk
menggunakan kekuasaan atas orang lain; dan ketidakinginan menggunakan

55
Thomas Susanto (ed.), Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra, 2002, hal.
64.
56
Eric Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, ter. Imam Muttaqin (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), Hal 227

88
kekuasaan atas diri mereka sendiri”.57 Kuatnya hasrat dan gairah untuk
mematuhi dan diatur sebenarnya sama unggulnya dengan kehendak untuk
berkuasa. Tampaknya dalam konteks politik hal tersebut lebih relevan. Berlawanan
dengan Fromm, Arendt58 menunjukkan penolakannya terhadap teori agresivitas
sebagai bawaan manusia.
Hasil-hasil riset dalam ilmu sosial maupun alam cenderung untuk
membuat perilaku kekerasan lebih sebagai reaksi alamiah. Dalam konteks ini,
dapat diterima teori agresivitas sebagai sebuah dorongan naluriah yang memainkan
peran fungsional yang sama dengan naluri-naluri nutritif dan seksual dalam proses
kehidupan manusia. Namun, agresivitas selalu memerlukan provokasi dan faktor
eksternal untuk membangkitkannya.59 Kekerasan yang mengatasnamakan
agama, seringkali terjadi tidak hanya karena faktor internal agama, namun
justru karena faktor eksternal. Dengan stimuli eksternal, potensi internal
kekerasan agama akan dengan mudah tersulut.
2. Kekerasan muncul sebagai fenomena sosio-politik.
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap kegagalan atau
tatanan sosio-politik yang ada. Kelompok pelaku kekerasan berupaya agar
ideologi mereka menjadi satu-satunya alternatif yang dapat menggantikan
tatanan yang ada. Harapannya adalah dapat mengentaskan manusia dari
modernitas yang membuatnya keluar dari nilai-nilai agama. Amarah yang
diekspresikan dengan kekerasan adalah reaksi terhadap kondisi-kondisi sosial
tertentu yang diketahui dapat diubah menjadi lebih baik, namun tidak dilakukan
perubahan untuk itu.60 Oleh karena itu, muncullah ideologi “dunia ketiga”.
Dalam konteks gerakan Islam “radikal”, ideologi penyatuan dunia Islam dalam
naungan khilafah islamiyah, sesungguhnya juga muncul sebagai respons
terhadap ideologi-ideologi modern yang tidak mampu menyelesaikan
permasalahan hidup manusia
3. Kekerasan terjadi karena kondisi internal penganut agama.

57
Hannah Arendt, Teori Kekerasan, ter. Ghafna Raiza W. (Yogyakarta: LPIP, 2003), Hal 35
58
Ibid,.Hal 40
59
Ibid,. Hal 59
60
Ibid,. Hal 61

89
Secara internal agama, fenomena kekerasan agama bisa jadi karena
merupakan respons terhadap penyimpangan ajaran agama yang dilakukan
oleh sekelompok orang. Karena itu, dalam perspektif kelompok tertentu,
jalan kekerasan harus dilakukan dalam rangka melakukan pemurnian
kembali agama yang telah terasuki. Sebagai salahsatu contoh misalnya :
Perjuangan gerakan pemurnian Wahhabi yang dimotori oleh Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab di Saudi Arabia yang berkolaborasi dengan penguasa, gerakan purifikasi
yang dilakukan Shah Waliy Allah di India melawan Islam sinkretik, gerakan
purifikasi dalam Perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol, adalah di antara
bukti bahwa kondisi internal agama bisa menjadi pemicu yang begitu kuat
melahirkan kekerasan.
4. Kekerasan memerlukan soliditas dan militansi kelompok.
Soliditas dan militansi gerakan kekerasan sangat tinggi. Dukungan
keyakinan agama yang telah menjadi ideologi menjadikan kelompok ini
sering melahirkan kekerasan terhadap kelompok lain yang diklaim salah
karena berbeda ideologi. Praktek kekerasan mengikat manusia bersama sebagai
sebuah keseluruhan, karena setiap individu membentuk sebuah jalinan kekerasan
dalam rantai besar, sebuah bagan dari organisme besar yang telah menyeruak ke
permukaan. Kelompok pelaku kekerasan agama, misalnya, tidak akan pernah
diperhatikan kecuali mereka terlibat dalam berbagai aksi dan provokasi. Oleh
karena itu, dapat dipahami ketika para pelaku pengeboman maupun teror
bom mengaku bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar mendapat perhatian publik bahwa eksistensi mereka
harus “diakui” dan bisa menjadi oposan jika keinginan-keinginan ideologis
mereka tidak dilaksanakan pihak penguasa.61
5. Kekerasan memiliki basis sistemik dalam sejarah survivalitas agama.
Kekerasan agama dapat berbasis pada motivasi spiritual dan makna
religius. Ritual pengorbanan dan persembahan anak sebagaimana yang pernah

61
Fromm, Akar Kekerasan, Hal. 244.

90
dilakukan Abraham merupakan salah satu contohnya.62 Motivasi religius dalam
konteks ini terlihat lebih kuat dibanding dengan kecintaan terhadap anak.
Manusia yang dalam kondisi demikian akan sangat taat terhadap sistem
religinya. Karenanya dia tidak bisa disebut kejam, kendati orang lain di luar
penganut sistem religi tersebut menganggapnya demikian. Dengan demikian,
kepercayaan dan ketaatan terhadap doktrin agamanya semakin
memperkokoh dan melegitimasi kekerasan yang dilakukannya.
Perjuangan kelompok radikalisme keagamaan, misalnya, dilakukan
juga karena untuk memperoleh kebebasan dari cengkraman dan hegemoni
kapitalisme, modernisme dan sekulerisme. Mereka meyakini bahwa agamanya
adalah satu-satunya ideologi alternatif yang membebaskan. Misalnya: Islam yang
lengkap (shumul) akan mampu menjawab semua problem kehidupan. Sehingga
dengan demikian, perjuangan melalui kekerasan tersebut ditujukan demi
keberlangsungan dan menjaga citra Islam dan kaum Muslimin (‘izz al-Islam wa
almuslimin).
6. Kekerasan terkait dengan perasaan superioritas diri atas pihak lain.
Kekerasan bisa terjadi sebagai akibat terlukainya perasaan narsistik,
yakni sikap mengagumi diri karena penilaian subyektif terhadap
kesempurnaan, keunggulan, dan keluarbiasaannya, baik dalam konteks
kebangsaan maupun keagamaan. Narsisisme bisa muncul dalam identitas
individu maupun kelompok. Narsisisme kelompok ini bisa dipahami pada keyakinan
gerakan kekerasan, yang dalam konteks agama Islam misalnya, yang mengagumi
dan meyakini bahwa Islam adalah agama yang shumul dan sempurna,
sehingga agama-agama atau ideologi lain harus dikalahkan demi
terlaksananya ke-shumul-an Islam. Begitu juga dengan paradigma
Eksklusivisme yang dikembangan kekristenan awal, yang menganggap bahwa
diluar gereja tidak ada keselamatan (eklesiologisentris). Sikap ini bisa
mengakibatkan eksklusivitas yang karenannya pihak lain tidak perlu
dihargai, bahkan jika perlu diperangi dan dihancurkan. Narsisisme kelompok

62
Ibid,. Hal. 281

91
akan berfungsi memperkuat solidaritas dan keterpaduan kelompok. Sehingga
mereka akan bereaksi keras terhadap segala bentuk pelecehan, baik yang
nyata maupun yang samar, yang tertuju pada kelompoknya. Ketika simbol-
simbol agamanya dilecehkan, maka dengan narsisismenya sebuah kelompok
akan bereaksi keras dan radikal.
7. Kekerasan merupakan ekspresi ketaatan terhadap Tuhan.
Manusia memiliki fitrah (sifat dasar) yang menjadi esensinya. Untuk
itu, ia membutuhkan kerangka orientasi fitrinya pada obyek ketaatan penuh
sebagai titik pusat dari segala upaya dan landasan bagi semua nilai yang
diyakininya. Dalam konteks ini, ketaatan bisa diarahkan pada dua pilihan,
untuk kemajuan atau kehancuran. Kedua sindrom ini bisa berkembang karena
manusia adalah makhluk yang “belum sempurna” diciptakan, bukan hanya karena
otaknya yang belum berkembang, namun juga karena ketidakseimbangan yang
menjadikan dirinya mengalami proses yang tak berujung dan tak berakhir.
Kekerasan yang dilakukan oleh sebuah gerakan, karena mereka
meyakini ada perintah untuk melakukannya dan berkewajiban menaatinya.
Ketaatan tersebut bisa kepada Tuhan, teks agama, elit agama dan bahkan
doktrin agama. Oleh karena itu, dalam teologi-teologi agama, dipahami bahwa
sesungguhnya relasi manusia dengan Tuhan merupakan relasi sederhana perintah
dan kepatuhan. Pemahaman literal terhadap teks keagamaan juga bisa
melahirkan ketaatan secara taken for granted untuk melakukan agresi dan
kekerasan terhadap pihak lain.
8. Kekerasan terkait dengan persepsi tentang Tuhan dalam tradisi agama.
Tuhan dalam gambaran masing-masing agama atau pola keberagamaan
mengalami “kekerasan” karena masing-masing memiliki konsepsi dan
gambaran Tuhan yang berbeda-beda. Gambaran Tuhan yang sadis dan perang
akan berlawanan dengan gambaran Tuhan Pengasih dan Penyayang. Hal ini bisa
mengakibatkan munculnya ekspresi keberagamaan sesuai dengan bagaimana
gambaran mereka tentang Tuhannya

92
9. Kekerasan memerlukan legitimasi teologis.
Ekspresi kekerasan agama dalam konteks ini, misalnya, dapat dilihat pada
gerakan zionisme, yang oleh kelompok Yahudi ortodoks diyakini bahwa
penegakan dan perwujudan negara Israel sesungguhnya lebih dimotivasi oleh
ekspresi ketaatan mereka terhadap keyakinan bahwa Israel adalah negara
yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Dengan demikian, mereka akan dapat
merealisasikan hukum Taurat yang selama ini tidak bisa diimplementasikan
dalam diaspora, di bawah rezim-rezim dan ideologi yang sama sekali tidak
memberikan kebebasan kepada kelompok Yahudi untuk “bernafas” dalam konteks
ke-Yahudiannya.63 Dengan demikian, ia merupakan perang suci yang harus
dikobarkan melawan semua pihak yang menentangnya. Dalam konteks ini
adalah Arab Palestina yang diklaim sebagai perampas hak Yahudi. Perang suci
ini menewaskan ribuan martir dari kedua belah pihak sebagai “ongkos” sosio-
teologis yang terlalu mahal untuk sebuah keyakinan ideologis. Dengan
demikian, identitas ke-Yahudian dibangun di atas kekerasan yang
mengatasnamakan “perintah dan ketaatan terhadap Tuhan”.
Dalam konteks Kristen Barat yang berkeyakinan bahwa mereka adalah
umat pilihan Tuhan, selama kurun perang Salib di abad XI-XII memikul tugas
dan tanggung jawab yang tidak bisa dilakukan oleh Yahudi. Teologi
keterpilihan ini, dalam semangat kaum Calvinis Amerika diyakini bahwa
mereka sebangsa dengan Tuhan. Ekspresi kekerasan kelompok ini sering kali
muncul dalam situasi kerawanan politik ketika mereka dihantui oleh
ketakutan akan kehancuran diri.64

Ketika agama berfusi dengan aspek-aspek kehidupan lain, tidak jarang agama
menjadi alat legitimasi kekerasan. Untuk memicu kekerasan, identitas agama individu
menjelma menjadi homogenisasi komunal. Agama akan menjadi kekuatan dalam
membangkitkan identitas emosional keagamaan, dibanding dengan identitas sosial

63
Armstrong, Karen, the Battle for God, Fundamentalism in Judaism, Cristianity and islam, (London: Harper
Collins Publisher, 2003. p 233-234
64
Amstrong Karen, Sejarah Tuhan. Hal 90

93
lainnya. Dalam konteks inilah, analisis bahwa agama membawa konflik antar kelompok
dengan intensitas emosi yang lebih besar dan motivasi pemaksaan yang lebih mendalam
dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap identitas etnis lainnya, menemukan
relevansinya.65
Dalam konteks ini pula, perlu dimajukan tesis Beuken dan Kuschel66 yang
berkesimpulan bahwa kekerasan atas nama agama bisa dilihat dari dua perspektif,
yakni :
1) Pembacaan agama mengenai hubungan sosial, di mana agama merupakan legitimasi
tersendiri bagi keabsahan perilaku kekerasan, karena memiliki fungsinya sebagai
ideologi.
2) Agama sebagai faktor budaya identitas.
Beberapa kasus kekerasan bernuansa agama, seperti konflik Suku Hutu dan Tutsi di
Rwanda; kekerasan agama di Sri Lanka, di mana Kerajaan Singhalese dengan konsep
nasionalisme Budhisnya, berperan aktif dalam pentas politik; kekerasan agama di Bosnia,
yang merupakan representasi perang etnis dan budaya.
Konflik dan kekerasan dimaksud, adalah bukti konkret betapa agama
memiliki akar dan legitimasinya terhadap keabsahan perilaku kekerasan. Beberapa
warisan kekerasan atas nama agama, bisa disimak dalam beberapa kasus sejarah
keislaman maupun kekristenan. Dalam sejarah Islam misalnya, kasus al-Hallaj yang
dihukum mati, Ibnu Rushd dihukum di depan masjid Kordoba, atau dalam konteks
Indonesia adalah Shaykh Siti Jenar yang dihukum pancung akibat menyalahi pola
keberagamaan mainstream. Dalam sejarah Kristiani misalnya, juga bisa dilihat kasus
Priscillian yang dihukum mati, dll.
Disisi lain pendangkalan agama dalam transformasi masyarakat tradisional
ke masyarakat modern yang mengakibatkan hilangnya akar-akar psikologis dan
kultural juga menjadi sebab lain dari merebaknya komunalisme agama-agama.
Bercampur-baurnya agama dengan politik padahal keduanya adalah entitas yang
berbeda, sehingga yang terjadi adalah politisasi agama, juga merupakan faktor yang dapat

65
Sudhir Kakar, The Colors of Violence Cultural Identities, Religion and Conflict (Chicago: University of Chicago
Press, 1996), Hal 192
66
Beuken dan Kuschel, et al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, ter. Iman Baehaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003) H. xiv-xxv

94
mempengaruhi kekerasan agama. Riyanto67 menyatakan bahwa kekerasan agama lebih
disebabkan oleh sikap :
 Keagamaan yang fanatik (fanatisme),
 Paham keagamaan yang fundamentalistis (fundamentalisme) dan
 Integralisme.
Dengan demikian, eksklusivisme sering dekat dengan konflik, pertikaian, dan
kekerasan. Orang beragama yang menghadirkan kekerasan, disebabkan level
keagamaannya yang jargonsentrisme, memperlihatkan keimanan yang logoistis,
memiliki kekuatan bahasa yang provokatif dan sempit. Sehingga penghayatan yang
kurang terhadap hakikat agama (being religious) menjadi sebab merebaknya
komunalisme. Hal ini karena agama merupakan entitas yang secara sosio-psikologis
bertautan langsung dengan dimensi emosionalitas dan spiritualitas manusia.

Bentuk Kekerasan Agama di Indonesia


Dalam beberapa tahun terakhir ini Indonesia menjadi salahsatu kawasan di dunia
yang paling banyak terjadi peristiwa kekerasan atas nama agama. Beberapa kasus selektif
berikut ini akan memberikan gambaran yang cukup menyeluruh mengenai isu ini, berikut
variasinya :
1. Kekerasan yang berlangsung dalam ranah agama yang sama. Ditinjau dari sudut
aktor yang terlibat, terdapat variasi-variasi, antara lain :
 Kekerasan yang melibatkan Organisasi Masyarakat (Ormas) dalam
komunitas agama yang sama.
 Kekerasan yang melibatkan negara yang bertindak atas nama agama resmi
dalam merepresi ”aliran sesat” dalam satu agama.
 Kekerasan yang melibatkan komunitas dari agama yang sama.
 Kekerasan yang melibatkan institusi pemegang otoritas agama atas warga
dari komunitas agama yang sama.
2. Kekerasan yang melibatkan agama yang berbeda. Dari sudut aktor, terdapat juga
variasi pola, antara lain :

67
Armada Riyanto, “Genesis Terorisme”, dalam Harian Umum Kompas, 22 Oktober 2002.“Membongkar
Eksklusivisme Hidup Beragama”, dalam Agama Kekerasan, Hal 16-34

95
 Kekerasan yang melibatkan Ormas satu agama atas komunitas dari agama
lain.
 Kekerasan yang melibatkan Ormas dari komunitas agama yang berbeda.
Khusus yang satu ini, lebih menampakkan diri dalam raut kekerasan verbal
atau simbolik.
 Kekerasan atas kelompok agama yang melibatkan negara melalui pengaturan
tertentu.
 Konflik agama dibeberapa daerah di Indonesia
3. Kekerasan satu kelompok agama atas kelompok lain yang melakukan aktivitas yang
dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama. Variasi pola juga ditemukan di sini antara
lain berupa :
 Kekerasan dilakukan oleh Ormas agama atas aktivitas-aktivitas yang
dianggap sebagai simbol kemaksiatan, dan sejenisnya.
 Kekerasan atas nama agama oleh kelompok masyarakat yang ditujukan pada
aktivitas-aktivitas yang didakwa sebagai simbol kemaksiatan, dan sejenisnya.

AGAMA DAN PERUBAHAN MASYARAKAT


Weber dan kaum Weberian (dalam Sanderson,1995) menyatakan fenomena
munculnya konflik tidak sekedar disebabkan oleh ketimpangan sumber daya ekonomi atau
produksi saja sebagaimana yang disinyalir oleh berbagai pihak selama ini. Dalam hal ini
Weber menekankan bahwa konflik terjadi dengan cara jauh lebih luas dari hal-hal tersebut.
Walaupun demikian ia juga mengakui bahwa sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar
kehidupan sosial. Weber melihat banyak tipe-tipe konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam hal ini
ia membedakan dua tipe konflik.
1. Konflik dalam arena politik. Konflik ini tidak hanya didorong oleh nafsu untuk
memperoleh kekuasaan atau keuntungan ekonomi oleh sebagian individu atau
kelompok. Dikatakan Weber konflik tipe ini tidak hanya terjadi pada organisasi
politik formal, tetapi juga dalam setiap tipe kelompok, organisasi keagamaan dan
pendidikan.

96
2. Konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. Konflik tipe ini ditekankan pada individu
atau kelompok yang tertantang untuk memperoleh dominasi dalam pandangan
dunia mereka, baik yang menyangkut doktrin agama, doktrin nilai budaya, filsafat
sosial, ataupun konsepsi gaya hidup kultural. Dengan demikian di samping
kesenjangan ekonomi masih banyak faktor lain yang bisa menyebabkan terjadinya
konflik dalam masyarakat.

Pendapat ini ditegaskan oleh Dhurkhem (dalam Johnson, 1986) yang mengatakan
sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat pada dasarnya berkembang dari
heterogenitas dan individualitas yang semakin besar. Heterogenitas yang tinggi ini
dapat mengendorkan ikatan bersama yang mempersatukan warga masyarakat.
Dalam hal ini individu mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang
lebih terbatas dalam masyarakat, seperti kelompok pekerjaan, profesi, etnis, ras dan
agama. Ketika setiap orang atau kelompok mengejar kepentingannya sendiri entah itu
agama, etnis, ras dengan merugikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, maka
kemungkinan terjadi konflik akan lebih besar (Johnson, 1986:169). Dalam setiap konflik
mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan sosial. Masyarakat terpecah-pecah dalam
kelompok-kelompok atau golongan-golongan yang mengancam kehidupan bersama.
Dalam konteks Indonesia konflik yang melanda kehidupan umat beragama,
khususnya di Maluku pada tahun 1999 telah menciptakan segregasi sosial dalam
masyarakat Maluku. Telah terjadi perubahan-perubahan dalam Masyarakat Maluku
pasca konflik. Salahsatu diantaranya adalah terciptanya segregasi sosio-keagamaan
dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat hidup terpisah berdasarkan segregasi
geografi berdasarkan agama. Perubahan-perubahan ini kemudian menciptakan
kebekuan agama-agama di Maluku. Selaian itu juga pengaruh perkembangan zaman
modern dan disertai dengan konflik sosial yang berkepanjangan kemudian membuat
kearifan lokal di Maluku perlahan mulai hilang dalam masyarakat.
Hilangnya kearifan lokal membuat potensi konflik anarkisme agama semakin
membesar karena masyarakat tidak memiliki filter kultural dalam menjaga marwah

97
ikatan sosial mereka.68 Benturan sosial yang terjadi dalam masyarakat multietnik
pasca otoritarian memunculkan adanya fenomena stres sosial, kepedihan
(bitterness), disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh musnahnya aneka aset-
aset material dan non-material. Yang dimaksudkan dari aset material sendiri adalah
tuntutan pemenuhan kebutuhan minimal pokok demi menjaga kelangsungan
kehidupan masyarakat dan aset non material atau post-material sendiri adalah
munculnya dekapitalisasi modal sosial dalam kearifan lokal seperti hilangnya rasa
saling percaya (trust) diantara sesama anggota masyarakat, rusaknya jaringan
(networking), serta tegerusnya rasa patuh terhadap tata aturan norma dan tatanan
sosial yang selama ini disepakati bersama.69
Oleh karena itulah, peta konflik keagamaan di Indonesia pasca 1999 sendiri
mengalami transformasi dari semula materialisme (ketidakadilan kebutuhan
ekonomi) menuju kepada post-materialisme yang kemudian di tandai dengan
pemenuhan kebutuhan akan pengakuan atas eksistensi ideology baru atau arus
pemikiran baru dalam sistem kehidupan sosio-politik nasional maupun lokal.
Adanya transformasi tersebut menyulut adanya sikap chauvinisme agama yang melahirkan
adanya aksi anarkisme agama maupun penistaan terhadap umat agama lainnya.
Namun demikian, di saat bersamaan kebutuhan akan menghidupkan ruang
diskursif maupun dialogis antar umat beragama juga muncul. Adalah
multikulturalisme dan pluralitas agama sebagai bagian dari postmaterialisme tersebut
yang sekiranya menjadi patron konsepsi dalam membidani kearifan lokal untuk
direvitalisasi di tengah iklim konflik yang bisa meletus setiap saat.
John Haba dalam studinya yang berjudul “Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi
Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso” melihat lima peran vital kearifan lokal
sebagai media resolusi konflik keagamaan70 adalah sebagai berikut :

68
69
Arya Hadi Dharmawan, “Konflik Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosial Budaya,” makalah dipresentasikan
dalam seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan Perkebunan Wilayah Perbatasan Kalimantan, dengan tema
“Pembangunan Sabuk Perkebunan Wilayah Perbatasan Guna Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Pertahanan
Nasional,” Pontianak, Januari 2007, hal 2-8.
70
John Haba, “Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso,” dalam
Irwan Abdullah, dkk. (ed.), Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hal 334-335.

98
1. Kearifan lokal sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Identitas tersebut
menunjukkan bahwa komunitas tersebut memiliki budaya perdamaian yang
berarti menunjukkan komunitas tersebut merupakan komunitas yang
beradab. Hal ini dikarenakan konflik merupakan simbolisasi kultur barbarian.
Tentunya dengan memiliki kearifan lokal, komunitas tersebut ingin mencitrakan
dirinya sebagai komunitas yang cinta damai.
2. Kearifan lokal sendiri menyediakan adanya aspek kohesif berupa elemen perekat
lintas agama, lintas warga, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, kearifan lokal
dapat diartikan sebagai ruang maupun arena dialogis untuk melunturkan
segala jenis esklusivitas politik identitas yang melekat di antara berbagai
kelompok. Adanya upaya menjembatani berbagai lintas kepentingan tersebut
adalah upaya untuk membangun inklusivitas dalam meredam potensi konflik yang
lebih besar lagi.
3. Berbeda halnya dengan penerapan hukum positif sebagai media resolusi
konflik yang selama ini jamak dilakukan oleh para penegak hukum kita yang
kesannya “memaksa”. Hal inilah yang menjadikan reoslusi konflik dengan hukum
positif sendiri justru sifatnya arti- fisal dan temporer meskipun memiliki kekuatan
hukum tetap. Banyak diantara kasus anarkisme agama yang diselesaikan melalui
pendekatan hukum positif seperti halnya SKB Tiga Menteri justu banyak
dilanggar. Kearifan lokal sebagai bagian dari resolusi konflik alternatf justu
lebih ke arah mengajak semua pihak untuk berunding dengan memanfaatkan
kedekatan emosi maupun kultural.
4. Kearifan lokal memberi warna kebersamaan bagi sebuah komunitas dan dapat
berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus
sebagai sebuah mekanisme bersama menepis berbagai kemungkinan yang
dapat meredusir, bahkan merusak solidaritas komunal, yang dipercaya berasal
dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas yang terintegrasi.
5. Kearifan lokal akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu
dan kelompok, dengan meletakkan di atas kebudayaan yang dimiliki. Maka
bisa dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan bentuk sintesa dari unsur sosio-
kultural dan sosio-keagamaan yang tujuannya adalah merekatakan kembali
99
hubungan antar sesama masyarakat yang tereduksi perebutan kepentingan politik
maupun ekonomi.71

PARADIGMA TEOLOGI KRISTEN TERHADAP PLURALISME AGAMA

Dalam menghadapi tantangan pluralism agama, gereja tidak berdiam diri. Gereja
berusaha menggali kekayaan tradisi, doktrin dan bahkan mengambil inspirasi dari
kekayaan tradisi agama lain serta dari persoalan sosial yang muncul di tengah masyarakat.
Sikap reflektif gereja telah memberikan kekayaan berteologi yang bisa kita pelajari
bersama-sama. Ada beberapa paradigma pandangan Kristen terhadap agama lain.
Yang paling dikenal adalah paradigm yang dikembangkan ALAN RACE. Ia
menggunakan kategori :

1. EKSKLUSIVISME
2. INKLUSIVISME
3. PLURALISME
 Konservatif Evangelical
 Protestan Arus Utama
EKSKLUSIVISME  Eklesiosentris
 Kristus bertentangan dengan agama-agama
lain

 Protestan Arus Utama


 Katolik Roma
INKLUSIVISME  Kristosentris
 Kristus dalam Agama-agama
 Kristus diatas Agama-agama
 Teosentris
PLURALISME  Kristus bersama Agama-agama

71
Nurma Ali Ridwan,”Landasan Keilmuan Kearifan Lokal.” Ibd,. Vol.5, No.1, 2007, hal 31.

100
I. EKSKLUSIVISME

Dalam pandangan seorang yang eksklusif, agama lain adalah kegelapan. Umat
agama lain harus bertobat. Bila tidak mereka harus diperkecil atau dimusnakan. Tidak ada
jalan dialog dengan mereka.

Karl Barth

Sikap Eksklusivisme dianut terutama oleh KARL BARTH. Dalam pemikiran


Barth, semua agama, termasuk Kekristenan, adalah upaya sia-sia manusia untuk
mencapai keselamatan. Namun, agama Kristen memiliki sedikit kelebihan karena
ada Kristus. Memang pendekatan Bart bersifat KRISTOSENTRIK, bahkan militansi
terhadap agamanya.

Kekurangannya ? ia menciptakan konflik antar umat beragama. Ia


menciptakan sikap dikotomi : KAMI vs MEREKA, TERANG vs GELAP, BAIK vs JAHAT.
Pokoknya diluar Kristus (juga Kristen) sesat, pengikut setan, dan masuk neraka. Sikap ini
yang mendorong Marcopolo membantai puluhan ribu Indian yang menolak Injil Kristus.

Secara langsung kita dapat melihat bahwa paradigma atau model ini mewakili
pandangan dominan umat Kristen. Umat Kristen seringkali melihat agama lain
sebagai agama yang tidak baik seperti agama Kristen. Karena kabanyakan para
pemikir Kristen mengandalkan karya Allah yang nyata hanya lewat realitas History
Jesus. Dengan demikian, keselamatan hanya ada di dalam Kristen. Inilah yang menjadi
pemikiran fundamental agama Kristen. Jadi bagi penganut Eksklusivisme, pengakuan
terhadap kebenaran atau penyelamatan dari agama atau tokoh agama lain merupakan
suatu tamparan terhadap muka Allah; suatu pencemaran terhadap apa yang dilakukan
Allah dalam Yesus. Konsep ini sering dipahami sebagai doalog yang membuat orang
dapat bertobat.

II. INKLUSIVISME

Sikap ini dianut oleh gereja Katolik. Konsili Vatikan II merupakan lompatan
besar dalam teologi agama-agama gereja Katolik. Sebelumnya, gereja Katolik bersikap

101
EKKLESIOSENTRIK yang berpendapat ‘Tidak ada keselamatan diluar gereja’. Dalam
perkembangannya Ekklesiosentrik bergeser pada KRISTOSENTRIK yang menempatkan
Kristus sebagai ukuran satu-satunya dalam keselamatan. Tetapi Kristo-sentrik disini tidak
seperti Kristosentrik model Karl Barth. Disini Kristosentrik lebih Inklusif.

Karl Rahner

Dalam Konsili Vatikan II, gereja Katolik bersikap lebih positif tentang
kebenaran dan nilai-nilai agama lain. Karl Rahner yang meletakan dasar positif Gereja
Katolik terhadap agama-agama lain. Rahner berpendapat bahwa orang Kristen bukan
hanya bisa tetapi bahkan harus menganggap agama-agama lain sebagai ‘sah’ dan
juga merupakan ‘jalan keselamatan’. Rahner melihat betapa banyaknya umat beragama
lain yang baik hati dan penuh kasih.

Menurut Rahner mereka ini adalah ‘Kristen Anonim’ atau Kristen tanpa nama.
Meski mereka Hindu, Buddha atau Islam tetapi sebenarnya mereka adalah orang
‘Kristen’. Bagi Rahner mereka yang bukan Kristen diselamatkan oleh kehadiran
Kristus yang bekerja secara terselubung dalam agama-agama mereka. Jadi pekerjaan
Kristus tidak bisa dibatasi oleh Kekristenan. Kristus juga bekerja dalam agama-agama lain,
meski terselubung. Kristus inilah yang bisa membuat umat lain memperoleh keselamatan.

Kelebihan sikap Inklusif adalah sikapnya yang positif terhadap agama-agama


lain. Kekurangannya adalah anggapan bahwa keselamatan umat lain bukan berasal
dari agamanya sendiri tetapi dari Kristus yang bekerja dalam agama-agama
tersebut. Dengan demikian, sikap positif Rahner terhadap agama lain muncul karena
hakekat dan eksistensi agama lain itu telah ia ganti denan isi yang baru yaitu Kristus.
Eksistensi agama lain di degradasi. Diturunkan posisinya di bawa kekristenan.

Inklusivisme agama hadir dengan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih
longgar dan terkesan flesibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya. Tidak kaku dan
memberi jalan kepada selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka. Ada dua kategori
yaitu :

1. Kategori tradisional Inklusivisme

102
Asumsi dasar Inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran
hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan
bagi mereka yang berlainan keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka
juga benar.

2. Kategori yang kedua adalah Relative Inklusivisme


yaitu anggapan kebenaran yang hanya terdapat di dalam agama
sendiri, tetapi juga mengakui bahwa tidak ada kebenaran yang absolut yang
betul-betul benar sehingga semua agama kelihatannya menuju kebenaran
absolut.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan TEOLOGI INKLUSIF dalam
pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal
atau simbol-simbol yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling
benar, tetapi tidak menyalahkan agama lain dalam artian membiarkan mereka
untuk mengakui bahwa agama mereka benar, sehingga tidak memandang yang lain
murtad, kafir dan sejenisnya. Dalam keadaan yang demikian maka timbul proses tidak
saling menyalahkan dan mengkafirkan, timbul adanya dialog dan keterbukaan yang
memunculkan adanya saling menghargai antar umat beragama.

Untuk mewujudkan paradigma keberagamaan yang inklusif seperti yang


dijelaskan diatas, salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan adalah
pendekatan TEOLOGIS-DIALOGIS, yaitu metode pendekatan agama melalui dialog
nilai-nilai normatif masing-masing aliran atau agama. dalam proses dialog, dibutuhkan
keterbukaan antara satu sama lain, agar tumbuh saling pengertian dan pemahaman.

III. PLURALISME

Kaum Pluralis dalam taksonomi Alan Race lebih cenderung menggunakan


pendekatan “Theosentris”. Asumsinya semua agama hasil dari Allah yang satu. Tetapi
sebenarnya kaum pluralis tidak satu. Dalam arti ada juga yang melihat persoalan
bersama umat manusia atau kemanusiaan itu sendiri sebagai dasar utama dalam
kerjasama antar umat beragama. Sesuai dengan namanya kelompok pluralis ini bersifat

103
plural. Anselm Min menyebutkan bahwa paling sedikit ada enam paradigma yang
dianut kaum Pluralis. Pendekatan-pendekatan itu adalah sebagai berikut :

1. The Phenomenalist Pluralism (John Hick dan Paul Knitter)


Dalam pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon
yang berbeda terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan
ini lebih Theosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa
dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman
agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman
interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam konteks
historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena
itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama
dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam
berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang tidak diperhitungkan adalah
bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya Buddha.
John Hick mengatakan bahwa kebenaran yang sesungguhnya terletak di
depan fenomena semua agama. Yesus adalah jalan untuk kekristenan, tetapi
taurat untuk orang Yahudi, dan hukum Islam berdasarkan pada teks dari
Muhamad, Al-Quran untuk umat Muslim.

2. The Universalist Pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian


Smart, dsb).
Leonard Swidler merupakan pendukung gagasan ‘a universal theology
of religion’. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan a universal theology
of religion adalah gagasan sistematis dan rasional tentang keyakinan terhadap
agama atau ideology yang dipegang oleh umat manusia. Universal Theology
menunjuk pada semua jenis pandangan agama atau ideology yang mencoba
menjelaskan makna kehidupan dan bagaimana hidup sesuai dengan
pandangannya itu – apakah itu menyebut ‘Tuhan’ atau tidak. Apa yang
menjadikan universal adalah bahwa ketegori-kategori refleksi tersebut adalah
sesuatu yang dapat dimengerti dan dipeluk oleh semua orang pemeluk agama atau

104
idiologi, yang memiliki berbagai ‘sacred books’ apakah Bible, Qur’an, Veda, atau Das
Kapital.
Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan
dibuatnya satu teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah
agama-agama. Kelemahannya adalah pendekatan ini terlalu menekankan
universalitas yang bisa mengorbankan partikularis atau kekhasan setiap
agama. Pendekatan ini bisa terlalu menakankan persamaan sehingga
mengabaikan adanya perbedaan.

3. Soterosentrik Pluralism (Rosemary Reuther, Suchocki, Tom Driver dan Paul


Knitter)
Pendekatan ini menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis
bersama umat berbagai agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong
untuk bekerjasama secara fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik
demi kemaslahatan bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia
menghindar umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma
dan doktrin agama.

Menurut mereka persoalan Pluralisme bukan sekedar masalah yang


menyangkut kesadaran akan relativisme historis ataupun misteri yang
absolut, namun juga berhadapan langsung dengan penderitaan umat manusia
dan dibutuhkannya sebuah teologi pembebasan agama-agama

Bagian pertama Rosemary Ruether dan Marjorie Suchocki menjelaskan


bagaimana pemahaman-pemahaman tradisional tentang agama Kristen
sebagai pengemban penyataan satu-satunya satu penyataan tertinggi telah
menuntut chauvinism keagamaan yang membangkitkan kemarahan dan ab-
surd. Sungguh mengejutkan bahwa kaum Liberal dan radikal Kristen gagal untuk
sungguh-sungguh mempertanyakan asumsi ini. menjunjung agama Kristen atau
Kristus sebagai norma bagi semua agama sama eksploitatifnya dengan usaha
sakisme untuk menjadikan pengalaman laki-laki sebagai norma universal
bagi seluruh manusia (Keadilan)

105
4. Pluralisme Ontologis (Raymond Panikkar)

Pendekatan ini menegaskan bahwa pluralisme bukanlah sekedar suatu


pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup manusia.
Pendekatan lebih bersifat Kristosentris. Dalam pendekatan ini, Kristus
mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda.
Kristus dalam agama Kristen menampilkan diri dalam Yesus. Kristus dalam
agama Hindu menampilkan diri dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus
bisa pula menampilkan diri sebagai Tao atau bahkan sebagai Muhammad.
Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran Hindu yang memiliki ribuan
dewa/dewi. Yang dimaksudkan disini Kristus = Penyelamat
Ontology menurut bahasa, berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘On/Ontos =
Being atau Ada, dan Logos = Logic atau Ilmu, jadi Ontology bisa diartikan : The theo
of being qua being atau Teori tentang keberadaan sebagai keberadaan, ilmu tentang
yang ada. Artinya satu ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani/kongkrit maupun
rohani/abstrak. Tokoh Yunani yang memiliki pemikiran yang bersifat Ontologis
yang terkenal adalah Plato, Aristoteles dan Thales.

5. Kristosentris Pluralis (Hans Kung, John Cobb, Jurgen Maltmann, Kenneth


Surin, dsb)
Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus menghargai
agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan finalitas
Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang Kristen
kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif terhadap
agama lain, orang Kristen terjebak dalam keponggahan rohaninya. Kelemahan
pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga yaitu Soterosetris Pluralis.
Pendekatan ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi
teologis yang tidak relevan bagi kehidupan kita kini.

106
6. Kristologi yang Soteriosentris (Eka Darmaputera)
Posisi ini sangat menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang
ditekankan disini bukanlah Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma.
Paradigma ini menekankan Yesus sebagai anak Allah yang care pada manusia
dan dunia serta rela berinkarnasi untuk masuk, hidup dan berjuang untuk
menciptakan keadilan dan perdamaian didalam dunia di tengah umat
manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum sungguh-sungguh
“Kristen” bila belum meneladani sikap hidup Kristus. Hal ini lebih ditekankan
untuk konteks Indonesia.
Kenyataan membuktikan bahwa penyebab konfrontasi antar umat bukan terletak pada
realitas pluralitas itu sendiri. Penyebab konflik antar umat paling sedikit ada tiga hal :

1. Absolutisme keagamaan dalam sikap konfrontatif terutama ketika menyampaikan


klaim-klaim kebenaran eksklusif. Sikap ini bisa mengarah pada idolatry, pengalihan
terhadap keyakinan seseorang atau sekelompok
2. Absolutisme kekuasaan yang digunakan untuk memupuk kekuasaan sambil
melakukan politik diskriminasi dan adu domba di antara rakyat, dan
3. Kemiskinan absolut yang menciptakan perasaan nihilism. Tidak berharga dalam diri
sebagian besar anak bangsa ini
Saya ini mengusulkan beberapa hal untuk menghadapi setuasi ini, yaitu, kita harus :

1. Memiliki sensitifitas untuk hidup dalam masyarakat plural


2. Mengembangkan dialog di segala lapisan
3. Komitmen untuk membangun keadilan berdasarkan rasa hormat dan cinta kasih
pada sesama
4. Mengembangkan solidaritas sosial lintas sukuu bangsa, agama dan status sosial, dan
5. Kemampuan untuk rendah hati dan mengkritisi diri.

107
TANGGUNG JAWAB GEREJA DAN ETIK GLOBAL (Hans Kung)

KONDISI-KONDISI MODERNITAS

Pengertian Modernitas disini pada dasarnya tidak hanya menunjukan sebuah


periode sejarah setelah abad pertengahan atau sebuah pengalaman kultural tertentu,
melainkan juga suatu posisi epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter
tertentu mengenai pengetahuan dan kebenaran.

Secara historis kesadaran akan modernitas ini berawal dari masa Renaisance
(yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta) pada abad ke-16 dan
memuncak pada Aufklarung atau pencerahan pada abad ke-18. Afklarung memberi
kedudukan akan kepercayaan luar biasa kepada akal budi manusia. Gerakan ini tumbuh
sejalan dengan penemuan-penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan alam di
Italia, Jerman, Polandia, dan Inggris. Beberapa ilmuwan yang hadir dan meramaikan
ilmu pengetahuan pada masa ini antara lain : Galileo, Kepler, Copernicus, dan
Newton. Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan
alam semesta mulai muncul di bawah semboyan terkenal : Sapare Aude! (berpikirlah
sendiri). Secara filosofis, tokoh besar yang merumuskan semangat modernitas adalah
Rene Descartes. Ungkapannya yang teramat masyhur Cogito Ergo Sum telah menandai
kesadaran baru ini :

 Manusia atau “aku” adalah subjek yang menghadapi alam lahiriah yang dibedakan
dengan alam batiniah
 Bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan adalah produk pemikiran
mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu.
Alam modern adalah masa dimana rasionalitas manusia muncul dan
menggeser segala otoritas non-rasio. Ini berarti keyakinan selama ini bahwa tradisi
atau dogma agama sebagai sumber otoritas yang dianggap mampu menjawab segala
pertanyaan tentang semesta dan problem-problem yang dihadapi umat manusia,
mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, hanya manusia dengan kemampuan rasionyalah
yang mampu memahami kenyataan dengan benar dan mampu menjawab perkembangan

108
zaman. Optimisme terhadap kemampuan rasio ini pada akhirnya melahirkan
gagasan modern tentang Progress.

Progress, sebagai kesadaran akan waktu yang khas dalam modernitas, dimaksudkan
waktu yang dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju kemajuan. Dalam kesadaran baru
ini perjalanan waktu tidak melangkah secara repetitive dan imitatif melainkan bergerak
linear secara pasti. Kesadaran baru ini meyakini bahwa kekinian adalah peningkatan
kualitatif atas kelampauan dan berikutnya menjadi modal peningkatan masa mendatang.

Keyakinan akan rasonalitas manusia dan kepastian akan kemajuan ini pada
momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi
sains dan teknologis. Dengan sains dan teknologi ini, umat manusia berusaha
merealisasikan cita-citanya untuk menguasai alam, dan menghadirkannya untuk
kesejahteraan seluruh umat manusia.

Namun demikian berbagai peristiwa factual menunjukan realitas yang lain.


Sains dan teknologi telah membawa bencana yang mahadahsyat; dua perang dunia,
konflik ideology, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justru
mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan
segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini
akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah menghancurkan
harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan, dihormatinya
martabat kemanusiaan.

Hans Kung, salah satu di antara sejumlah pemikir pengkritik modernitas, dengan
lugas menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada
rasio tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas
sains dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan
tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak
bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya.

109
Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika
global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan
modern sendiri yang semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi.

MENUJU ETIKA BERSAMA PASCA MODERNITAS

Krisis modernitas yang membawa bencana kemanusiaan ini menarik keprihatinan


Hans Kung.

1) Keprihatinan pertama terkait dengan tendensi modernitas yang mengandalkan


rasio manusia yang tidak memberikan landasan etis yang memadai untuk
tanggung jawab etika global.
2) Kedua, terkait dengan budaya teknokratis (manusia memandang alam sebagai
sesuatu yang perlu ditaklukan dan dikuasai) yang mendominasi masyarakat
modern telah mengabaikan aspek kemanusiaan dalam menggunakan
teknologi. Akibatnya, bukan hanya melahirkan teknologi yang justru
mengancam keadilan dan kebebasan manusia, tapi juga merusak lingkungan,
bahkan ancaman terhadap eksistensi manusia itu sendiri.
Bagi Kung, untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar
ini, harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia.
Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke “paska modernitas” ini meliputi hal-hal berikut :

1. Perubahan dari masyarakat yang bebas etik, menuju masyarakat yang


bertanggung jawab secara etis
2. Dari budaya teknokrasi yang mendominasi, manusia menuju teknologi yang
melayani manusia
3. Dari industri yang merusak lingkungan, menuju industri yang ramah
lingkungan
4. Dari demokrasi legal, menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.
Namun demikian realisasi pergeseran paradigma ini tentu saja membutuhkan
consensus bersama, suatu moralitas atau norma etik yang mengikat secara
universal. Yakni, suatu norma dan nilai minimum yang bersifat transkultural dan
transnasional yang bisa menjamin dan mengarahkan umat manusia menuju

110
kehidupan masa depan yang harmonis, damai, taat hukum, dan tanpa kekerasan.
Suatu norma yang dilandasi oleh tanggung jawab bersama terhadap kehidupan alam
semesta (a planetary responsibility). Norma ini adalah etika public-global yang
bertanggung jawab terhadap orang lain, lingkungan dan masa depan dunia, serta
menjadikan manusia sebagai kriteria dan tujuan.

AGAMA-AGAMA SEBAGAI BASIS ETIKA GLOBAL

Pertanyaan pertama untuk membangun sebuah etika bersama adalah : di atas


landasan apa etika bersama dan mengikat itu hendak dibangun? Apa kriteria validitas
etika bersama itu agar bisa dipertanggungjawabkan secara bersama-sama pula?

1. Hans Kung menegaskan bahwa kemajuan sains modern tidak seluruhnya


membawa kemajuan umat manusia, sains dan teknologi tidak seluruhnya
rasional. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irasionalitas dan tenggelam
dalam jurang kehancuran. Karena persis pemikiran saintifik dan teknologis
modern tidak bisa memberikan dasar bagi nilai-nilai universal, hak asasi manusia
(HAM) dan kriteria etis yang memadai.
2. Filsafat juga gagal bahkan tidak mampu memberikan fondasi etika praktis
bagi seluruh masyarakat, juga suatu etika yang bersifat universal dan
mengikat. Alih-alih, mereka (para filsuf seperti MacIntyre, Rorty, Foucault, dll)
kembali kepada budaya dan nilai-nilai lokal sebagai sumber norma-norma etika
yang tentu bagi Hans Kung partikularitas itu tidak mencukupi bagi etika bersama.
Mengapa demikian? Karena rumusan etika dalam filsafat tidak menyertakan
keharusan universal dan yang tanpa syarat. Filsafat hanya mengabdi pada
kekuatan rasio sehingga ketundukan pada keharusan etis terasa menyakitkan
secara eksistensial. Apalagi juga filsafat mustahil menuntut pengorbanan atas
kepentingan hidup mereka.
Dengan bersikap pesimis terhadap peran rasio dan filsafat yang gagal menyediakan
fondasi etis, Hans Kung akhirnya melihat peluang agama yang secara potensial bisa
menjadi dasar pijakan bagi moralitas universal semacama itu. Memang benar bahwa
agama bisa berlaku otoritarian, menjadi tiran, menciptakan intoleransi, ketidakadilan,

111
isolasi dan seterusnya hingga memusuhi sains, teknologi, idustri, bahkan demokrasi dan
HAM. Namun demikian, Hans Kung menyanggah kalau agama adalah fenomena
universal manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak
mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah Humanisme ateistik ala Feurbach,
Sosialisme Ateistik ala Marx, Sains Ateistik ala Freud dan Russel atau yang lain.
Memang benar bahwa agama juga telah menyebabkan destruksi, tetapi kenyataannya
agama juga membawa pembebasan manusia, ikut menyumbangkan nilai-nilai
keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi, HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya,
bahkan menjadi kekuatan etika nonkekerasan. Bagi Hans Kung, dengan bukti-bukti
bahwa agama bisa menjadi fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia,
kesadaran diri yang sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak
agama dipandang sebagai proyeksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanak-kanakan.

Sebaliknya, agama memiliki harapan dan potensi besar untuk membangun kerangka
etika universal, yang tidak mungkin lagi diharapkan dari rasio dan pemikiran saintifik dan
teknologis. Mengapa ?

1. Setiap agama memiliki nilai-nilai Humanum, dan justru ia bisa


dipertanggungjawabkan karena nilai-nilai humanum ini.
2. Agama memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral tanpa syarat,
dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Ini berbeda dengan para
penganut ateisme, mereka bisa saja melakukan tindakan bermoral secara otonom
dan manusiawi tetapi mereka tidak bisa memberikan alasan mengapa ia menerima
absolutisitas dan universalitas kewajiban moral. Kung menegaskan : “An
inconditional claim, a ‘categorical’ ought, cannot be derived from the finite conditions
of human existence, from human urgencies and needs. And even an independent
abstract ‘human nature’ or idea of humanity (as a legitimating authority) can hardly
put unconditional obligation on anyone for anything”. Sebaliknya, tuntutan etis dan
keharusan tanpa syarat itu hanya bisa dan harus didasarkan pada suatu yang tak
bersyarat dan yang Absolut. Dalam konteks ini, bagi Kung, agama-agama profetis
seperti Judaisme, Kristiani dan Islam bisa memberikan basis tuntutan etis yang
absolut dan universal. Keyakinan pada the Ultimate Reality atau Tuhan diyakini bisa

112
memberikan motivasi moral dan tingkat paksaan (compulsion) dan menjadi modal
dasar agama-agama dalam membangun etika bersama.
3. Etika global yang bersifat universal berdasarkan nilai-nilai agama mungkin
dicapai karena setiap manusia secara antropologis meyakini akan Yang
Absolut.
Namun demikian Hans Kung memberikan sejumlah catatan bahwa agama-
agama seharusnya juga bersikap rendah hati menerima perkembangan pemikiran baru
karena ia sendiri tidak lepas dari problem di dalam dirinya. Singkatnya, agama tetap tidak
bisa mengabaikan nilai-nilai pencerahan seperti humanisme, dan perkembangan
sains dan teknologi, karena :

 Karena nilai dan norma etis konkret itu juga hadir bersama dalam proses sejarah,
maka dimungkinkan solusi dan norma etis itu berubah secara kontekstual.
 Agamawan juga harus menggunakan bantuan metode sains untuk memperoleh
kepastian analisis secara prejudis terhadap persoalan-persoalan terkait sebelum
mengambil keputusan.
 Persoalan yang semakin kompleks menuntut adanya pertanggungjawaban etis
berikut solusi konkrit menurut konteks setempat. Selain itu tindakan etis juga mesti
dilakukan dengan pertimbangan prioritas dan kepastian, dan ini bisa dicapai dengan
memanfaatkan metode analisis sains.
Dengan menjadikan agama-agama sebagai basis atika global ini, Hans Kung
benar-benar ingin mencari alternative landasan bersama etika bersama yang
mengikat. Bukan menggantungkan diri pada rasionalitas manusia, melainkan pada
pertemuan nilai-nilai humanum dari agama-agama. Namun gagasan Hans Kung ini
memancing sebuah pertanyaan, apakah “kembali ke etika agama-agama” bermaksud
menganjurkan kearah gerakan revivalisme keagamaan, seperti revivalisme Islam ?

Revivalisme yang selama ini dilontarkan kalangan Islamis pada dasarnya didorong
oleh kehendak untuk kembali ke Kitab Suci atau Islam murni atau Islam otentik, dengan
cara menafsirkan Al-Qur’an secara tekstualistik. Persoalannya adalah “Islam otentik” atau
“Islam Murni”? Ajaran-ajaran Islam telah dipahami secara beragam oleh umatnya dengan
melahirkan beragam produk tafsiran terhadap teks kitab suci yang kadang-kadang

113
melahirkan perbedaan, bahkan konflik dan perpecahan. Sehingga klaim tentang “Islam
otentik” yang tunggal itu menjadi problematis. Otentisitas itu hanya bisa dipahami dalam
kerangka subyektifitas penghayatan individual. Karenanya otentisitas selalu berkaitan
dengan penghayatan iman orang tersebut dalam situasi konkrit itu yang selalu mengalami
transformasi.

Gagasan Etika Global Hans Kung tidak mengarah pada revivalisme semacam itu,
apalagi yang sectarian. Melainkan Kung hendak merumuskan etika global yang bisa
menjamin kepastian dan keharusan moral kepada semua orang. Bagi Hans Kung kriteria
etika semacam itu hanya mungkin ditemukan dalam agama-agama, mengapa ?
sebagaimana disinggung di atas, unsur dasar agama adalah keyakinan adanya otoritas
absolut yang transenden. Dan kepercayaan terhadap realitas transenden merupakan gejala
atau fenomena universal manusia. Hanya etika transenden yang berasal dari otoritas
absolut itulah yang bisa menjamin kepastian nilai-nilai tertinggi, norma-norma tak
bersyarat, motivasi terdalam, serta ide-ide tertinggi. Dan dalam setiap agama, tegas Kung
ada nilai-nilai etis bersifat universal yang bisa dipakai sebagai landasan bersama.

Jadi, alih-alih mau menyerukan ke revivalisme agama atau sektarianisme, Kung


justru mengafirmasi potensi agama-agama untuk membangun landasan etis bersama bagi
perdamaian global. Agama bukanlah suatu hypostase. Agama tidak tinggal dalam dunia
Platonik, tetapi merupakan agama manusia biasa dengan daging dan darah. Suatu agama
yang menyejarah yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan, dan terlibat dalam
menyelesaikan krisis dan keprihatinan umat manusia.

RINGKASAN EKSEKUTIF

Hans Kung : Tanggung Jawab Global – Pencarian Sebuah Etika Dunia yang Baru dan
Etika Global

Pada akhir tahun 1980an. Hans Kung setelah melewati berbagai seri seminar dan
konverensi menulis buku Global Responsibility : In Search of a New World Ethic.
Berdasarkan buku ini, Hans Kung lalu ditugaskan untuk menyiapkan sebuah naskah
bagi pertemuan yang disebut Palemen Agama-Agama Dunia di Chicago tahun 1993.

114
Pertemuan ini merupakan peringatan 100 tahun pertemuan serpa tahun 1893 di Chicago
dengan maksud untuk menciptakan pemahaman bersama di antara agama-agama dunia
itu. Pertemuan tahun 1893 itu gagal mencapai tujuannya. Baru pada tahun 1993 itulah
pertemuan tersebut berhasil merumuskan suatu etika bersama yang disebut : Etika
Global (Global Ethic).

No Survival Without a World Ethic

No World Peace Without Religious Peace

No Religious Peace Without Religious Dialogue

No Survival Without a World Ethic

Mengapa dibutuhkan sebuah Etika Dunia ?

1. Dari Modernitas ke Posmodernitas


 Setiap menit bangsa-bangsa di dunia mengeluarkan uang sebanyak $1.8 juta
untuk persenjataan mereka
 Setiap jam 1500 anak mati karena kasus-kasus yang berhubungan dengan
kelaparan
 Setiap hari, suatu jenis mahluk hidup musnah
 Setiap minggu, selama tahun 1980an, lebih banyak orang ditahan, disiksa,
dibunuh, menjadi pengungsi, atau dengan berbagai cara telah ditindas dengan
berbagai tindakan represif daripada yang pernah terjadi dalam sejarah
 Setiap bulan, sistem ekonomi dunia menambahkan lebih dari $7,5 miliar hutang
yang tak terbayarkan dari hutang yang sudah ada sebesar $1.500 miliar pada
bangsa-bangsa Dunia Ketiga.
 Setiap tahun, suatu daerah seluas tiga perempat semenanjung Korea dirusak
atau hilang
 Setiap dekade, kalau kecenderungan pemanasan bumi berlanjut, suhu bumi
dapat meningkat secara drastic (antara 1,5 – 4,5 °C), dengan akibat terjadi

115
kenaikan permukaan laut, yang memiliki akibat berbahaya, khususnya bagi
daerah-daerah pesisir di bumi
Berdasarkan data-data ini, masikah diperlukan penjelasan panjang tentang,
mengapa kita membutuhkan sebuah etika dunia?

a. Awal Perubahan Paradigma


Perubahan paradigma ini sudah dimulai sejak tahun 1918 dalam Perang
Dunia I, ketika kekuasaan sentral Eropa mulai digantikan oleh kekuasaan-
kekuasaan dunia lainnya, seperti Amerika, Rusia dan Jepang. Kekuasaan Kekaisaran
Jerman mulai runtuh di Eropa Tengah dan timur dengan kekuasaan Gereja
Protestan dan Teologi modern yang liberal, juga runtuhnya Kekaisaran Ottoman dan
China.

2. Slogan-Slogan Tanpa Masa Depan


a. Negara Sosialisme
Sistem pemerintahan Marxis, apa pun keadaannya, ternyata tidak
mampu menciptakan keadilan dan perdamaian seperti yang dijanjikannya
dengan runtuhnya tembok berlin tahun 1989 di Eropa Timur dan akhirnya
tahun 1990 Rusia menggantikannya dengan system ekonomi pasar. China juga
tidak akan lepas dari kenyataan itu

b. Neo-Kapitalisme
Sejalan dengan runtuhnya Sosialisme, Kapitalisme di dunia barat
ternyata juga kolaps, dengan berkembangnya keserakahan, hidup tanpa
makna, nilai dan norma. Amerika yang pada tahun 1970an merupakan negara
donor terbesar di dunia, pada akhirnya masa Ronald Reagen berubah menjadi
negara penghutang terbesar di dunia.

c. Runtuhnya Jepanisme

116
Jepang yang sebelumnya berhasil dalam bidang ekonomi dengan slogan
kebanggannya, The Japan that Can Say No, ternyata harus mengakui bahwa
system ekonominya bangkut juga.

3. Mengapa Etika ?
Dalam setiap kehidupan masyarakat manusia, selalu saja ada orang
yang berusaha menjauhi kejahatan dan berusaha berbuat kebaikan, siapa pun
masyarakat itu. Orang tidak hanya selalu mengikuti keinginannya begitu saja,
akan tetapi juga mengetahui yang baik dan yang jahat.
Kesulitan dari kehidupan demokratik pada masyarakat plural adalah apabila
tidak diperoleh konsesus bersama, paling tidak untuk memungkinkan kelompok
minoritas turut menyumbangkan perannya dalam kehidupan bersama.
Karenanya dibutuhkan nilai, norman dan sikap bersama yang minimal
supaya manusia bisa hidup bersama. Untuk itulah manusia harus menjadi
tujuan dan kriteriannya.

4. Koalisi antara Yang Percaya (believers) dan Yang Tidak Percaya (non-
believers)
Bahkan diantara orang-orang yang kini cenderung menolak agama, mereka
masih hidup secara bermoral karena memiliki tanggungjawab bagi mereka sendiri
dan juga bagi dunia. Karenannya, orang harus dibebaskan untuk memiliki atau
menolak agama dan harus ada koalisi minimum antara Yang Percaya dan Yang
Tidak Percaya kepada Tuhan untuk bisa hidup bersama secara damai.
Ilmu pengetahuan (rasionalitas) dan agama ternyata memiliki
keterbatasannya sendiri-sendiri. Karenanya yang dibutuhkan sebuah etika.
Prasyarat bagi Posmodernitas :
 Not just freedom, but also justice;
 Not just equality, but also plurality;
 Not just brotherhood, but also sisterhood;
 Not just coexistence, but also peace;
 Not just productivity, but solidarity with the environment;
117
 Not just toleration, but ecumenism.

No World Peace Without Religious Peace

Jalan ekumenisme antara Fanatisme dan Kealpaan kebenaran

1. Dua Wajah Agama


a. Agama dan Peperangan
Kasus-kasus Libanon, Jerusalem, India-Pakistan, Hindu-Sikhs, dsbnya.
Menunjukan bahwa salahsatu wajah dari agama-agama adalah peperangan
yang ditimbulkannya atau yang menggunakan isu agama.

b. Agama dalam Perdamaian


Selain peperangan, agama-agama juga punya wajah damai, seperti yang
terjadi di Jerman, Prancis dan Polandia, yang untuk berabad-abad diwarnai
oleh pertentangan dan peperangan yang pada akhirnya setelah Perang Dunia
II masuk dalam perdamaian dengan dasar teologi dan politik yang baik. Tak
ada Perdamaian Dunia tanpa Perdamaian Agama.

2. Masalah Kebenaran
Perdamaian agama selalu terganggu dengan masalah kebenaran. Tiga
strategi yang muncul ialah :

a. Strategi Benteng
Dasarnya : hanya agama saya sendiri yang benar (true), yang lainnya tidak, dan
perdamaian agama dijamin hanya oleh satu agama yang benar itu saja.
b. Strategi Mengabaikan Perbedaan-perbedaan
Dasarnya : Tidak ada masalah kebenaran secara eksistensial, karena setiap agama
memiliki kebenaran dengan cara dan hakikatnya sendiri-sendiri dan karenanya
perdamaian agama hanya akan diperoleh dengan cara mengabaikan perbedaan dan
kotrakdiksi yang ada.

118
c. Strategi Merangkul
Dasarnya : Hanya satu agama yang benar dan semua agama yang telah ada dalam
sejarah memiliki sebagian kebenaran dari agama yang benar itu, dan perdamaian
agama akan dicapai secara baik lewat integrasi semua agama itu.
Karenannya dibutuhkan strategi keempat, yaitu Ekumenisme. Dalam strategi ini
dibutuhkan satu kriteria bersama. Hans Kung mengusulkan humanum (manusia)
sebagai satu-satunya kriteria.

No Religious Peace Without Religious Dialogue

Berdasarkan hal-hal diatas, yaitu perubahan paradigma dan keterbatasan


agama-agama dalam menciptakan perdamaian agama, maka satu-satunya jalan
untuk menciptakan perdamaian dunia dan kelangsungan keberadaan dunia
hanyalah dialog antar agama.

Dialog ini harus terjadi pada semua tahap masyarakat dan meliputi semua
lapisan masyarakat dan tidak dapat hanya dibatasi oleh para pemuka agama saja.

Pada pertemuan di Chicago tahun 1993, para peserta berhasil merumuskan


Etika Global itu. Ajaran yang sama dari agama-agama dunia dalam merumuskan
Etika Global adalah sebagai berikut :

Confucius (c.551-489 BCE) :


’Apa yang kau sendiri tidak inginkan, janganlah kau lakukan kepada orang lain.’
(Ucapan 15: 23)
Rabbi Hilel (60 BCE – 10 CE) :
’Janganlah lakukan kepada orang apa yang kau sendiri tidak menginginkan mereka
lakukan kepadamu.’ (Shabbat 31a)
Yesus dari Nazareth :
’Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah
demikian juga kepada mereka.’ (Mat 7: 12; Luk 6: 31)
Islam :

119
’Tak seorang darimu adalah orang percaya selama ia tidak mengingikan bagi
sesamanya apa yang ia sendiri inginkan bagi dirinya sendiri.’ (40 Hadits dari an-
Nawawi, 13)
Jainism :
’Manusia tidaklah berbeda dengan hal-hal duniawi dan memperlakukan semua
ciptaan di dunia ini sebagaimana mereka ingin diperlakukan sendiri (Sutrakritanga I,
11, 33).
Agama Buddha :
’Sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak mengenakkan bagi saya seharusnyalah
juga tidak bagi orang lain; bagaimana mungkin saya memaksakan bagi orang lain
sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak mengenakkan bagi saya? (Samyutta
Nikaya V, 353.35-342.2)
Agama Hindu :
’Tidaklah sepantasnya seseorang melakukan kepada sesamanya hal-hal yang dia
sendiri tidak menginginkannya: itulah inti moralitas.’ (Mahabharata XIII 114,8).

ETIKA GLOBAL

1. Tuntutan Mendasar :
Setiap Manusia Harus Diperlakukan Secara Manusiawi

2. Empat Keharusan :
a. Komitmen kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup;
(Hukum agamanya: Jangan Membunuh!)

b. Komitmen kepada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil; (Hukum
agamanya: Jangan Mencuri!)

c. Komitmen kepada budaya toleransi dan hidup yang benar; (Hukum


agamanya: Jangan Menipu!)

120
d. Komitmen kepada budaya kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan.
(Hukum agamanya: Jangan Berzinah!).

AGAMA DAN PANGGILAN KEMANUSIAAN DI MALUKU

PENGANTAR

Konflik Maluku adalah bagian dari problem transisi demokrasi di Indonesia yang
rentan konflik. Transisi demokrasi, menurut literature, adalah keseluruhan proses
yang berawal dari kejatuhan rezim politik lama (regime breakdown) melewati masa
liberalisasi politik (political liberalization) menuju konsolidasi demokrasi
(democratic consolidation). Masa trandisi ini ditandai pembongkaran aturan-aturan
hokum dari rezim yang lama dan serangkaian perundingan untuk aturan main yang baru.
Di era transisi, masyarakat Indonesia menikmati euphoria refomrasi yang ditunjukkan
dengan meluapnya kebebasan, berdirinya banyak partai politik, terbukannya ruang-ruang
publik, dan juga desentralisasi.

Kondisi perpolitikan nasional di masa transisi menuju demokrasi diwarnai


beberapa hal, seperti : 1. Lemahnya aparat keamanan pasca reformasi, menyusul
pencabutan dwi-fungsi ABRI dan pemisahan antara TNI dan POLRI dengan
kewenangan terpisah masing-masing di bidang pertahanan dan bidang keamanan; 2.
Terbatasnya wewenang TNI dan POLRI, sebagai terikat pada UU yang mengatur
pemisahan kewenangan bidang pertahanan dan keamanan maupun karena control
oleh public dan media massa, yang menilai tindakan aparat keamanan dalam acuan
demokrasi dan HAM; 3. Elit politik yang terfragmentasi dalam partai-partai politik
dan kelompok kepentingan yang berorientasi pada partai-partai politik; dan 4.
Euphoria massa pada kebebasan pasca reformasi. Kejatuhan orde baru dan transisi
menuju demokrasi, dengan demikian memberikan lanskap politik nasional baru yang
rawan mendorong terjadinya konflik.

Dalam literatur Ilmu sosial dan politik, konflik Maluku disebut dalam
beberapa terminologi, yakni : Konflik komunal (communal conflict) dan konflik sub-

121
nasional (sub-national conflict). Konflik komunal atau konflik sub-nasional disebut
juga sebagai konflik horizontal, yakni konflik yang berlangsung diantara
masyarakat. Berikut ini kita akan melihat pandangan ahli tentang faktor penyebab konflik.

Kriesberg berargumentasi bahwa konflik terjadi karena kedua pihak percaya


bahwa mereka meyakini memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan. Yang didorong
oleh :

1) Kelompok atau pihak-pihak yang berkonflik harus memiliki kesadaran tentang


entitas kolektif atau bahwa mereka berbeda dari kelompok lain
2) Kelompok atau pihak-pihak yang berkonflik harus merasakan ketidakpuasan atas
posisi mereka dalam hubungan dengan kelompok lain.
3) Kelompok atau pihak-pihak yang berkonflik harus beranggapan bahwa mereka bisa
mengurangi ketidakpuasan dengan membuat kelompok lain menderita.
Konflik dapat berkembang melampaui proses kompetisi normal menjadi konflik kekerasan
yang negatif dan disfungsional, sehingga dibutuhkan bantuan pihak ketiga (mediator)
untuk menyelesaikannya.

Konflik Maluku memiliki akar penyebab yang bukan hanya berada di internal
Maluku tetapi juga berkaitan dengan kondisi perpolitikan nasional pasca reformasi.
Konflik antara dua pihak yang menggunakan agama sebagai identitas di Maluku
adalah bagian dari problem transisi menuju demokrasi di Indonesia.

Di masa transisi kekuatan-kekuatan politik lama dan baru berkonflik memasuki system
yang demokratis. Karennya, faktor penyebab konlik Maluku tidak bersifat tunggal tetapi
saling berkaitan antara beberapa faktor :

1. Segregasi Sosial-Ekonomi warisan Kolonial yang potensial konflik


2. Benturan kepentingan kekuatan-kekuatan politik di tingkat lokal dan nasional
3. Pemerintah lemah karena masa transisi menuju demokrasi.
Dampak Konflik yang terjadi di Maluku :

1) Korban Jiwa/Luka

122
2) Kerugian Materi (Kerusakan Infrastruktur bangunan, kerusakan lingkungan hidup.
Hilangnya sumber daya)
3) Gangguan Sosial (Terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari, angka
pengangguran, timbulnya kelompok baru di masyarakat (pengungsi, anak yatim,
janda)
4) Stres Psikologi (Rasa tidak berdaya, kehilangan harapan, sedih, stress rasa bersalah)

STRUKTUR KONFLIK DI MALUKU (Sumber-Sumber Konflik dan Perpecahan)


Warisan Masa Kolonial

Bila kita melihat struktur konflik Maluku, kemudian kita akan temukan sumber-
sumber konflik dan perpecahan. Oleh karena itu sumber-sumber konflik dan perpecahan di
Maluku harus kemudian dilihat sebagai salahsatu warisan kolonial di Maluku.

Sejarah kolonialisme di ambon mempunyai rentang waktu yang amat panjang sejak
permulaan abad ke-16. Bila sejarah ini digambarkan di dalam suatu ‘skenario’, maka
skenario pertama (permulaan abad ke-16) menandai suatu era yang penting,
dimana Maluku memasuki “arena” ekspansi Portugis di kepulauan Indonesia. Pada
tahap ini, sejarah Maluku ditandai oleh perubahan-perubahan sosial yang signifikan,
baik politik, ekonomi, keagamaan, maupun kultural. Skenario pertama
memperlihatkan bagaimana perjuangan survive, untuk menancapkan “hegemoni” di
antara kesultanan Ternate dan Tidore, pedangan-pedagang Melayu, pedagang-
pedagang Jawa dengan pedagang-pedagang Eropa (Portugis) untuk menguasai
perdagangan dan produksi cengkeh.

Bila skenario pertama, abad ke -16, Maluku memasuki arena ekspansi, maka
scenario kedua yang dimulai pertengahan abad ke -17 dan sepanjang abad ke 18 sejarah
Maluku memasuki dan menjalani suatu perode stagnasi yang sangat mencemaskan.
Periode ini memperlihatkan bagaimana Maluku secara khusus Ambon dan Lease
secara total memasuki dan menjalani era sistim monopoli VOC. Pada era ini Belanda
hanya menancapkan “bendera” supremasinya. Selanjutnya, akhir periode ini ditandai
dengan pendudukan Inggris pada tahun 1796.

123
Skenario ketiga, dimulai pada dekade-dekade terakhir abad ke-19. Dalam decade ini
terjadi “diskontinuitas” yang amat besar di dalam sejarah masyarakat Maluku. Decade ini
menandai suatu permulaan fase kedua dari apa yang disebut sebagai “Ambon’s colonial
experience”. Diskontinuitas di dalam scenario ini menyangkut banyak aspek, baik
pendidikan, ekonomi, keagamaan, posisi, status, dan sebagainya. Secara umum
dekade terakhir abada ke-19 (1870) menandai periode liberal didalam kekuasaan kolonial
Belanda. Periode ini menandai apa yang disebut sebagai the new colonial age atau the high
colonial age. Dekade ini memberi indikasi yang jelas mengenai interese perdagangan Eropa
(Barat) yang hendak melakukan penaklukan lewat penetrasi di negeri-negeri jajahan,
khususnya Asia, dengan kombinasi tujuan-tujuan politik-ekonomi dengan suatu sistim
yang baru.

Pendeta pertama tiba di Ambon untuk melayani pada tahun 1614. Pada tahun
1607 dan kemudian pada tahun 1618, sebuah sekolah telah dibangun untuk
mendidik guru-guru agama Ambon (guru injil). Pada tahun 1628 telah dibangun 18
buah sekolah dengan murih lebih dari 800 orang di dalam negeri.

Tahun 1860-an, prioritas pemerintah Hindia Belanda dalam system pendidikan


mengalami perubahan. Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan suatu orientasi
praktis pada pendidikan. Berkaitan dengan perluasan kontrol Belanda di kepulauan
Indonesia, maka penguasa Belanda mencari anggota masyarakat yang mampu
mencoba membaca dan menulis, namun dengan keahlian yang terbatas untuk
mengisi jenjang paling bawa dan menengah dari birokrasi (staf administradi dan
tentara KNIL).

Pada tahun 1863 oleh pemerintah Hindia Belanda dibuka pula sebuah
pendidikan guru sekolah yang diawasi pemerintah, dan dapat meningkatkan fungsi
pegawai pribumi. Sekolah pemerintahan dalam negeri-negeri Kristen. Pada
masyarakat Kristen, kesempatan pendidikan Belanda berada di atas elit adat dan agama,
serta kesempatan itu memberikan pula peluang bagi anak dari keluarga non-elit untuk
memperoleh harga diri dan kesejahteraan di dalam suatu system status kolonial yang baru.

124
Bagaimana dengan pendidikan bagi kaum Muslim Ambon? Nampaknya hanya
sedikit yang diketahui tentang pendidikan keagamaan dalam negeri Muslim sebelum
kemerdekaan. Dalam abad ke-17 terdapat bukti adanya sekolah khusus pendidikan
keagamaan bagi anak-anak elit. Madrasah didirikan di kota Ambon pada tahun 1924
oleh masyarakat Arab. Pada tahun 1920-an, sekolah rakyat telah didirikan di enam
negeri Muslim di Ambon. Sekolah-sekolah yang dibangun dengan subsidi pemerintah ini
merupakan upaya awal untuk memperluas pendidikan yang bersifat sekuler ke
dalam negeri Islam

Periodesasi berikutnya ditandai dengan pendudukan Jepang di Indonesia dan di


Maluku. Dalam kasus pendudukan Jepang di Maluku, kita melihat bahwa Jepang melakukan
perubahan kepemimpinan politik antara kaum elite Raja dan Nasionalis.

Catatan Richard Chauvel menunjukan perubahan substansial pada aras


keagamaan. Ternyata keruntuhan Belanda dan kedatangan Jepang membawa
dimensi keagamaan yang berbeda. Nampaknya masalah agama merupakan “subjek”
penting, baik bagi Belanda maupun Jepang, dalam upaya merobek-robek dan
memprorak-porandakan masyarakat Maluku secara keseluruhan. Agama terkooptasi
dalam kepentingan politik, militer dan ekonomi.

Dari peristiwa yang dihadapi di masa Jepang ini, dapat dikatakan bahwa
pendudukan Jepang merupakan kekuatan pemicu proses politik lokal secara
multidimensi, baik kepemimpinan, keagamaan, militer maupun ekonomi. Hubungan
masyarakat Maluku dengan Jepang telah menyebabkan reaksi masyarakat dengan dimensi
keagamaan yang berbeda. Para sejarawan Maluku misalnya, membagi reaksi masyarakat
terhadap kemenangan Jepang dalam tiga kelompok :

1. Orang-orang Muslim yang menerima Jepang sebagai pembebas dan


menganggap Belanda sebagai penindas. Mereka menerima Jepang dengan
sikap penuh terimakasih, yang dinyatakan melalui bantuan untuk
menghancurkan kolaborator-kolaborator Belanda

125
2. Orang-orang Kristen, yang melihat kedatangan Jepang sebagai suatu
kemalangan yang amat besar bagi jiwa dan keamanan mereka. Kehilangan
Belanda berarti kehilangan pelindung dan supporter mereka.
3. Kelompok Nasonalis yang menerima Jepang dengan sikap hati-hati, namun mereka
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengorganisir mereka sendiri. Nasionalis
dalam hal ini baik Kristen maupun Islam.
Pada permulaan tahun 1943, Jepang memulai promosinya tentang suatu
organisasi Islam dan menekankan identifikasi yang kuat dengan Islam, sementara
membiarkan orang-orang Kristen secara kelembagaan mengatur diri, dan menyiksa
orang-orang Kristen yang dicurigai. Islam mendapat perhatian, dan pada pihak lain
Jepang mengoraganisasikan memobilisasi dukungan orang-orang Kristen kepada tujuan-
tujuan perang Jepang (Heiho-Mantan KNIL).

Jepang memberi iklim yang sangat kondusif, serta mendukung organisasi dan
pembaharuan Islam. Menarik bahwa Jepang mencoba untuk memobilisasi dukungan
Muslim untuk upaya perang tanpa hambatan teologis. Jepang membangun persepsi
perang sebagai a holy war.

Kalau pada era Belanda kaum Kristen Maluku memperoleh hak-hak terkemuka, maka
setelah keruntuhan Belanda mereka harus menghadapi hambatanm penyiksaan. Keadaan
ini mengakibatkan kesulitan bagi gereja untuk mempersatukan kehidupan
kelembagaannya. Frank Cooley mengatakan bahwa selama pendudukan Jepang dalam
tahun 1942-1945, gereja dan para pemimpinnya mengalami keadaan yang sangat sulit.
Kalau dalam pemerintahan Belanda, gereja dibiayai atau disubsidi makanya pada
pemerintahan Jepang tidak sama sekali.

Faktor Internal (Agama)

Ketika agama berfusi dengan aspek-aspek kehidupan lain, tidak jarang agama
menjadi alat legitimasi kekerasan. Untuk memicu kekerasan, identitas agama
individu menjelma menjadi homogenisasi komunal. Agama akan menjadi kekuatan
dalam membangkitkan identitas emosional keagamaan, dibanding dengan identitas sosial
lainnya. Dalam konteks inilah, analisis bahwa agama membawa konflik antar kelompok

126
dengan intensitas emosi yang lebih besar dan motivasi pemaksaan yang lebih mendalam
dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap identitas etnis lainnya, menemukan
relevansinya.72
Dalam konteks ini pula, perlu dimajukan tesis Beuken dan Kuschel73 yang
berkesimpulan bahwa kekerasan atas nama agama bisa dilihat dari dua perspektif,
yakni :
1. Pembacaan agama mengenai hubungan sosial, di mana agama merupakan
legitimasi tersendiri bagi keabsahan perilaku kekerasan, karena memiliki
fungsinya sebagai ideology,
2. Agama sebagai faktor budaya identitas.

Beberapa kasus kekerasan bernuansa agama, seperti konflik Suku Hutu dan Tutsi di
Rwanda; kekerasan agama di Sri Lanka, di mana Kerajaan Singhalese dengan konsep
nasionalisme Budhisnya, berperan aktif dalam pentas politik; kekerasan agama di Bosnia,
yang merupakan representasi perang etnis dan budaya.
Konflik dan kekerasan dimaksud, adalah bukti konkret betapa agama
memiliki akar dan legitimasinya terhadap keabsahan perilaku kekerasan. Beberapa
warisan kekerasan atas nama agama, bisa disimak dalam beberapa kasus sejarah
keislaman maupun kekristenan. Dalam sejarah Islam misalnya, kasus al-Hallaj yang
dihukum mati, Ibnu Rushd dihukum di depan masjid Kordoba, atau dalam konteks
Indonesia adalah Shaykh Siti Jenar yang dihukum pancung akibat menyalahi pola
keberagamaan mainstream.Dalam sejarah Kristiani misalnya, juga bisa dilihat kasus
Priscillian yang dihukum mati dan lainlain.
Kendati berbau agama, namun sebenarnya tragedi kekerasan di atas tidak
murni agama, tetapi juga terdapat faktor lain seperti politik, sosial dan bahkan
interpretasi teologis. Terdapat beberapa pijakan teologis tentang “perang suci atas
nama agama” (holy war), yang interpretasinya sarat dan identik dengan kekerasan. Ini
karena, dalam tradisi agama-agama, fenomena ini seakan memiliki legitimasi

72
Sudhir Kakar, The Colors of Violence Cultural Identities, Religion and Conflict (Chicago: University of Chicago
Press, 1996), Hal 192
73
Beuken dan Kuschel, et al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan?, ter. Iman Baehaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003) H. xiv-xxv

127
teologis tersendiri bagi survivalitas dan keberlangungan doktrin tersebut. Dengan
demikian, terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa kekerasan agama terjadi
karena pembelokan makna teks-teks keagamaan, karena pada dasarnya tidak bisa
dipungkiri bahwa ajaran agama memiliki unsur kekerasan. Hal ini juga bisa dilihat
pada fakta penyebaran agama-agama, yang sarat dengan kekerasan.

Belum lagi doktrin-doktrin keagamaan yang potensial menjadi pemicu kekerasan :


 Konsep perang suci yang dimaknai sebagai perang fisik, sehingga muncul
identitas kawan dan lawan,
 Isu-isu teologis yang seringkali memicu ekspresi kekerasan agama.
 Sumbangan kelompok Islam dan Kristen fundamentalis dalam menghadirkan
fenomena kekerasan agama.

Simbol-simbol keagamaan yang merupakan representasi masyarakat, seperti


etnosentrisme agama Yahudi, agama Mormon di AS dan Sikh di India, dan lain lain
demikian kental sifat komunalnya.74 Sehingga, melalui simbol-simbol inilah,
komunalisme agama sering menjadi pemandangan dalam relasi agama-agama.
Dengan semangat dan identitas komunalisme yang kuat, maka rentan memicu
terjadinya kekerasan agama. Sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu atau
dengan identitas tertentu, baik suku, etnis, ras maupun agama, memiliki ikatan emosional
yang kuat satu dengan yang lain. Sehingga ketika identitas mereka yang diekspresikan
melalui simbol-simbol tertentu merasa terusik atau dilecehkan orang lain, dengan sangat
cepat semangat komunalisme ini timbul.
Pendangkalan agama dalam transformasi masyarakat tradisional ke modern
yang mengakibatkan hilangnya akar-akar psikologis dan kultural juga menjadi
sebab lain dari merebaknya komunalisme agama-agama. Bercampur-baurnya agama
dengan politik padahal keduanya adalah entitas yang berbeda, sehingga yang terjadi adalah
politisasi agama, juga merupakan faktor yang tidak kalah menariknya bagi pembacaan
kekerasan agama.

74
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), Hal 18

128
Riyanto75 menyatakan bahwa kekerasan agama lebih disebabkan oleh sikap :
 Keagamaan yang fanatik (fanatisme),
 Paham keagamaan yang fundamentalistis (fundamentalisme) dan
 Integralisme.

Dengan demikian, eksklusivisme sering dekat dengan konflik, pertikaian, dan


kekerasan. Orang beragama yang menghadirkan kekerasan, disebabkan level
keagamaannya yang jargonsentrisme, memperlihatkan keimanan yang logoistis,
memiliki kekuatan bahasa yang provokatif, sempit dan rigid. Sehingga penghayatan
yang kurang terhadap hakikat agama (being religious) menjadi sebab merebaknya
komunalisme. Hal ini karena agama merupakan entitas yang secara sosio-psikologis
bertautan langsung dengan dimensi emosionalitas dan spiritualitas manusia.
Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat
dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat.
Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat
beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat dan hal ini
telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Dengan keanekaragaman agama yang ada di
Indonesia membuat masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang berbeda-beda sesuai
dengan yang diajarkan oleh agamanya masing-masing. Perbedaan ini timbul karena adanya
doktrin-doktrin dari agama-agama, suku, ras, perbedaan kebudayaan, dan dari kelompok
minoritas dan mayoritas.

Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar masyarakat
beragama khususnya yang terjadi di Maluku, adalah sebagai berikut :
 Perbedaan Doktrin
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-
masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab
dari benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran
tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan,

75
Armada Riyanto, “Genesis Terorisme”, dalam Harian Umum Kompas, 22 Oktober 2002.“Membongkar
Eksklusivisme Hidup Beragama”, dalam Agama Kekerasan, Hal 16-34

129
memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala
penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan,
sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Agama Islam dan Kristen di
Maluku, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk
dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari
Tuhan.

 Perbedaan Suku dan Ras


Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar
jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan
perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan
perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.

 Perbedaan Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan
perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Tempat-tempat terjadinya
konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen, perbedaan antara dua
kelompok yang konflik. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang
sederhana atau tradisional : sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang
lebih maju atau modern. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang
berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor
pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok
agama.
 Masalah Mayoritas dan Minoritas
Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam
masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan
minoritas golongan agama. Masalah mayoritas dan minoritas ini timbul
dikarenakan kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar kelompok moyoritas
dari pada kelompok minoritas sehingga timbul konflik yang tak terelakan.
Dikarenakan saling menunjukan pembenaran masing-masing pemahaman
130
dari doktrin-doktirn yang di berikan dalam kelompok mayoritas dan
minoritas. Mengakibatkan timbulnya konflik dari kelompok mayoritas dengan
kelompok minoritas

Originalitas istilah Mayoritas dan Minoritas itu ada pada era diskriminasi Ras
yang terintegrasi dalam tindakan-tindakan politik Apartheid kulit putih terhadap
kulit hitam di Afrika Selatan. Sifat fundamental dari diskriminasi ras dalam politik kulit
putih dan kulit hitam adalah ketidakadilan dan tidak berperikemanusiaan yang di
‘legalkan’.
Dalam konteks berbagsa dan bernegara di Indonesia yang menganut paham
Demokrasi, konsep Mayor dan Minor tidak diperkenankan. Karena dalam sifat
fundamental dari demokrasi republik adalah EQUITY. Equity bukan sekedan EQUAL.
Dalam Mayor dan Minor 1% harus tunduk kepada 99% atau 99% = 100%.
Sedangkan dalam Demokrasi Republik 99% tidak akan pernah jadi 100% tanpa 1%
itu. Jadi Demokrasi Republik adalah 1% + 99% = 100% ini prinsip abadinya
Demokrasi Republik.

Secara sosiologi Konsep mayoritas dan minoritas dari akar sejarahnya


sebenarnya didasarkan pada dominasi kekuasaan, bukan dominasi oleh jumlah
anggota. Artinya bahwa secara sosiologi konsep mayoritas dan minoritas bukan
pada numeric/jumlah secara angka. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih kecil
dibandingkan kelompok mayoritas. Sebagai contoh adalah saat politik APARTHEID
dicanangkan di Afrika selatan, jumlah orang kulit putih lebh sedikit daripada orang
kulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih memiliki kuasa terhadap kelompok
kulit hitam. Selain itu hubungan antar kelompok yang didasarkan konsep mayoritas
dan minoritas dipengaruhi juga oleh konsep kebudayaan mayoritas dominan yang
angkat oleh Edward M Bruner.
Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas
adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan
memiliki derajat lebih tinggi. Sedangkan kelompok lain yang dianggap sebagai
kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih
131
rendah karena memiliki ciri tertentu : cacat secara fisik ataupun mental sehingga
mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi.

Terdapat 10 cara penyelesaian konflik, ialah sebagai berikut :

1. Penghindaran (conflict avoidance)


2. Diskusi dan penyelesaian masalah secara informal (informal discussion and problem
solving)
3. Negosiasi (negotiation)
4. Mediasi (mediation)
5. Keputusan Administratif (administratif decision)
6. Arbritasi (arbritation)
7. Keputusan Hukum (judicial decision)
8. Keputusan Legislatif (legislative decision)
9. Paksaan tanpa kekerasan (nonviolent direct action)
10. Paksaan dengan kekerasan (violent direct action)

132

Anda mungkin juga menyukai