Anda di halaman 1dari 13

PERSEKUTUAN TRINITAS SEBAGAI KRTIK DAN ILHAM BAGI DUNIA

(Implikasi Pemikiran Leonardo Boff tentang Trinitas dalam Teologi Modern)

Fr. Kornelius Febrianto Etan

Abstraksi

Buku Allah persekutuan adalah karya Leonardo Boff yang bertolak dari realitas
Amerika Latin dengan situasi kemiskinan dan penindasan. Kehidupan tidak
mencerminakan pemahaman yang benar akan Allah tritunggal yakni Bapa, Putra dan
Roh Kudus yang senantiasa hidup dalam persekutuan kasih, Perikhoresis. Boff
mengatakan, masyarakat tidak dapat dibangun atas dasar penindasan lewat norma-
norma yang merupakan gambaran dari figur seorang Bapa saja, atau atas dasar
dominasi kekuasaan sang pemimpin yang merupakan gambaran figur Putra saja, atau
melalui anarki dan spontanitas tokoh-tokoh karismatis yang merupakan gambaran
dari figur Roh Kudus saja. Menurut Boff, masyarakat yang sejahtera dibangun atas dasar
hubungan timbal balik yang seimbang antara ketiga figur tesebut. Salah satu hal yang
mau ditekankan oleh Boff adalah bahwa model persekutuan hidup Trinitas adalah
persekutuan yang mesti menjiwai setiap model kehidupan yang dibangun dalam
masyarakat.

I. PENDAHULUAN

Manusia selalu merindukan Allah dan karena itu juga manusia selalu merindukan

pengetahuan tentang Allah. Hal ini dapat diketahui dan dibuktikan dengan munculnya hasrat-

hasrat agamawi yang dimiliki oleh manusia.1 Di dalam agama Kristen, Allah yang selalu

dirindukan dan selalu ingin diketahui itu dikenal dengan nama Allah Tritunggal, yaitu Satu

Hakikat KeAllahan dengan Tiga Pribadi, atau biasa disebut dengan istilah Trinitas. Tetapi

apakah orang-orang Kristen bisa mengetahui tentang keberadaan Allah ini, dan apakah Allah

Trinitas ini merupakan Allah yang benar sesuai dengan kesejatian Diri Allah? Berhadapan
1
Bdk. Dr. Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1, Panduan Poluler Untuk Memami Kebenaran Alkitab,
(Yogyakarta: ANDI, 2014), Hlm. 33
dengan pertanyaan-pertanyaan ini, orang-orang Kristen bisa mengatakan dengan yakin bahwa

mereka bisa mengetahui tentang keberadaan Allah, sebab Allah sendiri mewahyukan diri

kepada manusia. Puncak pewahyuan itu ialah misteri inkarnasi, yaitu penjelmaan Allah

menjadi manusia. Dalam Inkarnasi, “Allah mau membuat dirin-Nya menjadi khusus, konkret

dan berkarakter, sehingga keIlahian dapat dilihat, dijamah dan dipahami oleh manusia”2.

Peristiwa Inkarnasi itu nyata dalam diri Yesus Kristus. Kemudian di dalam refleksi

Gereja selanjutnya, Yesus diimani Sebagai Tuhan dan segala peristiwa-Nya ditulis dan

dibukukan oleh para penulis suci di dalam keempat injil dan tulisan-tulisan lainnya yang

disebut kitab suci perjanjian baru, yang oleh kebanyakan teolog selalu dilihat dalam

kaitannya dengan kitab suci perjanjian lama yang sudah berbicara secara intrinsik mengenai

keberadaan Allah Tritunggal.

Doktrin tentang Trinitas merupakan jantung dari kekristenan, sebab semua bentuk

keberimanan orang-orang Kristen selalu tertuju kepada Allah yang Trinitaris (Satu Allah Tiga

Pribadi) ini. Di dalam dan melalui ajaran Trinitas, orang Kristen mengetahui bahwa Allah

mewahyukan diri sebagaimana Dia adanya, yaitu sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Trinitas atau Tritunggal, atau Pribadi atau Esensi sebagai istilah memang bukan berasal dari

kitab suci. Kitab suci memang tidak menggunakan istilah-istilah itu untuk menggambarkan

kesejatian diri Allah Tritunggal. Kata-Kata itu tidak terdapat di dalam kitab suci umat

Kristen. Ia baru muncul di dalam pemikiran teologi Kristen sekitar satu setengah abad setelah

kematian Yesus.3 Walaupun demikian, isi ajaran yang terdapat di dalamnya, yaitu Allah

2
Dr. Dori Wuwur Hendrikus, SVD., Kontekstualisasi Sabda Dan Transformasi Masyarakat, dalam Dr.
Dori Wuwur Hendrikus SVD, dkk. (Editor), Bunga Rampai 125 Tahun SVD, (Maumere: Ledalero, 2002), Hlm.
1.
3
Tertullianus (160 M- 220 M) adalah pengguna pertama istilah Trinitas. Iaadalah seorang Teolog
awam, ahli Bahasa dan ahli hukum yang cemerlang dari Kartago di Afrika Utara. Ia juga memakai istilah-istilah
yang mengungkapkan iman sejati akan Allah, yaitu satu Kodrat tiga Pribadi. Bdk. Leonardo Boff, Der
dreieinige Gott, (Patmos Verlag, 1987), dalam Aleksius Armanjaya dan Georg Kirchberger (Penerj.), Allah
Persekutuan, Ajaran Tentang Allah Tritunggal, (Maumere: Ledalero, 1999), hlm. 54-55.
Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus, disebutkan di dalam Alkitab, baik itu kitab suci

perjanjian baru, maupun yang sudah tersirat dalam kitab suci perjanjian lama.

Ajaran Trinitas di dalam sejarah kekristenan, sama seperti agama pada umumnya,

yang mana setiap perjumpaan dengan yang Ilahi selalu berawal dari pengalaman iman dan

baru kemudian muncul ajaran iman. Begitupun perkembangan doktin Trinitas, pertama-tama

muncul sebagai pengalaman iman, yang secara umum diterima sebagai kebenaran iman dan

dihidupi di dalam doa-doa dan ibadat di dalam komunitas jemaat Kristen. Umat Kristen awal

mewartakan lewat doa-doa yang sederhana dan kotbah-kotbah mereka tentang Bapa, Puteran

dan Roh Kudus, dan mereka menyebut setiap pribadi itu Allah. Baru setelah itu, saat iman

umat sudah berkembang menjadi lebih dewasa, mereka mencoba merefleksikan hal-hal itu

dan coba menerjemahkan pewartaan para rasul itu ke dalam rumusan-rumusan tertentu. Maka

mulai muncullah Trinitas dalam rumusan klasik: Satu Allah dalam Tiga Pribadi. Dalam hal

ini terjadi transformasi dari doksologi menuju teologi.4

Akan tetapi rumusan yang sudah ada itu bukan tanpa persoalan. Para cendekiawan

Kristen awal yang merumuskan ajaran Trinitas, seperti Yustinus, Klemens dari Alexandria,

Athenagoras dan Origenes, harus berhadapan dengan dua tugas utama yaitu: Pertama, iman

yang dihidupi itu harus bisa dipikirkan atau direfleksikan. Hal ini dipengaruhi oleh muatan

kultur Yunani-Romawi yang sudah terbiasa melakukan refleksi kritis atas apa yang mereka

lakukan, termasuk doa dan pujian kepada Allah. Di sini para cendekiawan dituntut untuk

tidak hanya menghidupi iman Trinitas tetapi juga merumuskan ajaran Trinitas. Kedua, Para

cendekiawan harus berhadapan dengan tiga arus keberatan yang dikemukakan oleh: agama

Yahudi Tradisional, budaya politeistis dan filosofis Yunani dan Gnostisisme. Para

cendekiawan harus bertindak selaku apologet untuk mempertahankan kebenaran Trinitas

4
Ibid., Hlm. Viii
yang sudah mereka rumuskan, yang kemudian menjadi awal tumbuhnya doktrin Trinitas,

sebagaimana dirumuskan di dalam konsili-konsili awal Gereja.5

II. ALAM PEMIKIRAN MODERN DAN POSTMODERN

Abad modern adalah abad rasio, bangkitnya sains dan penemuan baru. Zaman modern

ditandai dengan kelahiran kembali pengetahuan secara luas yang meledak pada abad 14 dan

mengguncang tatanan masyarakat abad pertengahan yang ditata dalam hierarki secara ketat.

Ada Allah di surga dan menyusul segala sesuatu yang mengikuti Dia secara hierarkis.6 Gereja

dalam hal ini mendapat peran utama sebagai pewaris nilai-nilai keAllahan dengan segala

kebenarannya yang tidak boleh diganggu gugat. Para pemikir Renaisans mulai

mempersoalkan hal tersebut dengan ide dan penemuan baru, sehingga menghantar dominasi

Gereja dengan segala status quonya ke ambang kejatuhan. Nilai-nilai metafisik mulai

perlahan ditingalkan dan titik tolak refleksi bukan lagi pada Allah melainkan berkiblat pada

manusia (Humanisme). Hal ini juga turut menimbulkan pertanyaan baru bagi iman dan ajaran

iman Gereja.

Dengan diagungkannya kemampuan rasio manusia, ada banyak penemuan baru dan

ilmu pengetahuan berkembang pesat. Tetapi ada hal negatif yang sejalan dengan itu, yaitu

munculnya masyarakat konsumen yang berubah cepat dan relativistik. Sifat konsumtif dari

masyarakat bermuara pada berbagai kerusakan pada lingkungan alam maupun lingkungan

sosial dan keterpecahan klaim kebenaran yang telah lama di dalam abad modern dilegitimasi

oleh akal budi manusia. Fakta kerusakan lingkungan dan perendahan martabat manusia

seperti yang terjadi pada perang dunia I dan II, menampilkan satu ironi dari akal budi yang

muncul sebagai kekuatan penghancur. Ini mengawali berkurangnya dominasi akal budi,

sebagaimana yang dibahasakan oleh Jean Francois Lyotard (1925-1999): ‘kehancuran meta

5
Ibid., Hlm. 46-46
6
Bdk. Kevin O’donnell, A History of Ideas, (Lion Publishing, Oxford, 2003), dalam Jan Riberu
(penerj.) Sejarah Ide-Ide, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), Hlm. 100.
narasi’ atau narasi besar yakni akal budi. Akal yang adalah cermin kebenaran itu kini telah

terpecah berkeping-keping, maka kebenaran tidak lagi tunggal melainkan bersifat

fragmentaris.7 Hal ini menghasilkan cara berpikit yang relativistik dan meragukan semua

kebenaran, termasuk kebenaran iman yang berasal dari wahyu, termasuk ajaran Gereja

mengenai Trinitas. Maka pertanyaan yang sering dilontarkan ketika orang hendak mencari

pengertian tentang kebenaran misteri Trinitas ialah masihkah doktrin Trinitas yang telah lama

diyakini oleh Gereja mempunyai dampak bagi kefidupan masyarakat manusia zaman ini,

ataukah doktrin ini hanya tetap tinggal sebagai ajaran yang sistematis dan tertutup.

III. TRINITAS DALAM ARUS TANTANGAN

Konsep Trinnitas hanya menjadi ulasan milik Gereja, dengan menekankan kebenaran-

kebenaran argumen, dan kurang memperhatikan implikasinya bagi kehidupan secara luas.

Hal ini diperkuat dan berlanjut pada abad modern, dengan usaha Gereja melawan paham

ateisme yang menyangkal secara sistematis prinsip yang terakhir dan kesadaran akan yang

kekal.

Tidak heran, konsep ketuhanan secara umum, dan Trinitas secara khusus, menjadi

kritikan dari beberapa pemikir abad modern, salah satunya adalah Immanuel Kant. Kant

menulis: “Doktrin Trinitas tidak menawarkan sesuatu yang berguna untuk kehidupan

praktis”.8 Apa yang dikemukakan oleh Kant menunjukkan bahwa Trinitas bagi kebanyakan

orang hanya merupakan rahasia logika, daripada rahasia keselamatan.

Karena itu, di zaman ini yang sarat akan krisis akal dan logika, serta nihilism yang

merongrong nilai-nilai agama, ajaran Trrinitas yang perlu diusahakan adalah Trinitas yang

menekankan relasi atau persekutuan antara tiga pribadi ke-Allahan, bukan Trinitas yang

terlampau menekankan kesatuan maupun ketigaan yang nantinya akan jatuh pada paham

7
Ibid., Hlm. 142
8
Ibid., Hlm 14.
Triteisme. Ajaran Trinitas seperti inilah yang kemudian bisa membangun pengalaman iman

akan Allah dan menjadikan Trinitas bernilai bagi kehidupan masyarakat manusia di zaman

ini.

Sebelum berlangkah mendalami pemikiran Leonardo Boff, perlu diterangkan tentang

Trinitas dalam perspektif Teologi masa kini.

IV. TIGA KELOMPOK TRINITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI MASA KINI

Tentang Trinitas di zaman modern ini, terdapat tiga kelompok aliran pemikiran

berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Nico den Bok, yaitu Trinitarianisme

Monopersonal, Trinitarianisme Sosial dan Trinitarianisme posisi tengah. Ketignya dibedakan

berdasarkan pandangan mereka tentang jumah dari Pribadi-Pribadi Ilahi di dalam Allah

Tritunggal.

1. Trinitarianisme Monopersonal

Kelompok yang memandang bahwa Allah Trinitas itu satu Pribadi. Dua teolog Gereja

yang berada pada kelompok ini ialah Karl Barth dan Karl Rahner. Menurut kedua teolog

ini tiga personae yang diajarkan oleh Tradisi Gereja tidak sama dengan pengertian diri

atau pribadi dalam arti modern. Keduanya bersepakat bahwa Allah Tritunggal tidak dapat

terdiri dari tiga pribadi atau tiga subjek, tetapi hanya satu subjek dan satu kehendak.9

2. Trinitarianisme Posis Tengah

Antara Trinitarianisme monopersonal dengan dengan sosial itu terdapat beberapa posisi

tengah. Ada tokoh yang ditampilkan oleh Den Bok yaitu yaitu Piet Schoonenberg dan

Hans Urs von Balthasar. Trinitarianisme sosial lebih menekankan penyataan Allah atas

dunia, dan memperkenalkan diriNya, menyatakan hatiNya kepada dunia (hasil kerja). 10

3. Trinitarianisme Sosial
9
Bdk. Dr. Niko Syukur Dister, OFM., TEOLOGI SISTEMATIKA 1: Allah Penyelamat, (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), Hlm. 164-165.
10
Ibid., Hlm. 167-168.
Trinitarianisme sosial mengarah kepada pandangan bahwa, di dalam Allah terdapat

persekutuan (Communio) dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi, dan

persekutuan itu terbuka dengan melibatkan ciptaan. Den Bok menyebutkan dua tokoh

terkenal yang lebih condong kepada model sosial, yakni Juergen Moltmann dan Wolfhart

Pannenberg.11

V. ALLAH PERSEKUTUAN: SEBUAH KONSEP TRINITAS PERSPEKTIF

LEONARDO BOFF

Untuk menjawabi berbagai kritik yang mempertanyakan peranan Trinitas bagi

kehidupan manusia dan umat beriman pada khususnya, maka penulis mencoba mendalami

pemikiran salah seorang teolog yaitu Leonardo Boff. Oleh karena pemikiran Trinitasnya

digolongkan pada Trinitas Sosial, maka cocok untuk digunakan dalam rangka mencari

relevansi pemahaman Trinitas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pemikiran Trinitas

sosial Boff sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politis yang melanda Amarika Latin.

Karena itu, terlebih dahulu akan kita lihat latar belakang pemikiran Trinitas Leonardo Boff.

5.1 LATAR BELAKANG PEMIKIRAN LEONARDO BOFF TENTANG TRINITAS.

Leonardo Boff, mengkritisi pemikiran Trinitas yang diwariskan oleh abad

pertengahan yang sedemikian menegaskan tentang keesaan dan ketunggalan Allah menjadi

rintangan yang besar terhadap proses pemerdekaan12. Pemahaman Trinitas abad pertengahan

justru semakin melegitimasi situasi ketertindasan, sebagaimana yang terjadi dan dialami oleh

masyarakat Amarika Latin dan kebanyakan negara dunia ketiga, yang mana mereka

mengalami situasi penjajahan (Spanyol dan Portugis) dan penguasaan kapitalisme Eropa.

Menurut Boff, dua situasi itu merupakan produk dari pola pembangunan kapitalis.

11
Ibid., Hlm. 169-170.
12
Leonardo Boff, Op.CitI., Hlm. 137.
Masyarakat yang demikian menghasilkan kelas-kelas sosial dan kesenjangan yang mencolok

antar berbagai kelas sosial itu. Ada banyak orang tertindas dan miskin karena dimiskinkan

oleh segelintir orang yang berkuasa.13

Dalam pandangan Leonardo Boff, Terpecahnya masyarakat Amerika Latin, belum

menujukkan semangat Trinitaris. Terdapat tiga bentuk perpecahan sosial, yang justru

bersu,ber dari terpecahnya pengalaman orang Kristen akan Allah sebagai Trinitas. Ada

penekanan tidak berimbang entah pada Vertikalitas Bapa, horisontalitas Putera ataupun

kedalaman Roh Kudus. Akibatnya, muncul struktur masyarakat yang dibanguna atas dasar

penindasan norma-norma (hanya gambaran Bapa), dominasi otoritas sang pemimpin (hanya

gambaran Putera), serta anarkisme dan hilangnya aturan (hanya figure Roh Kudus). Hanya

jika memahami Trinitas sebagai persekutuan Pribadi-Pribadi ilahi, dan persekutuan itu selalu

mengintegrasikan seluruh ciptaan kedalam-Nya, makan Trintas dapat menjadi Ilham dan

sekaligus kritik atas ketidakadilan sosial dalam masyarakat.14

Persoalan seperti inilah yang menjadi latar belakang pemikiran seorang Leonardo

Boff dalam merumuskan ajaran Trinitarisnya, sebagai usaha jalan tengah antara penekanan

kesatuan dan ketigaan Allah. Leonardo Boff menjadi salah satu Teolog modern yang

merumuskan ajaran Trinitasnya pada posisi Trinitas Sosial, untuk kemudian mencari daya

guna dari ajaran Trinitas bagi tercapainya kehidupan bersama yang seimbang dan tidak saling

menindas dan merugikan antara pemimpin dan yang dipimpin. Kendati demikian, ajaran yang

ia rumuskan tidak bermaksud melawan atau meniadakan ajaran-ajaran Trinitas yang baku,

malahan ia hendak menyempurnakannya dengan tidak menolak satupun paham doktrin resmi

Gereja yang sudah dihidupi oleh Gereja sejak masa awal dirumuskannya ajaran Trinitas.

Karena itu, di dalam bukunya Allah Persekutuan yang membahas ajaran-ajaran tentang

13
Ibid., Hlm. 4
14
Ibid., Hlm. 9-10.
Trinitas, ia berkata: “segala penjelasan baru tentang iman akan Trinitas harus membuat isi

iman sebagaimana diyakini Gereja menjadi lebih terang dan lebih menarik”.15

Doktrin Trinitas sebagai ajaran inti Kekristenan adalah doktrin yang menjadi ilham

bagi masyarakat dunia, karena itu doktrin ini juga berkembang seturut perkembangan zaman.

Setiap zaman dengan kecenderungan cara berpikir yang berbeda-beda, menghasilkan

tantangan yang berbeda pula. Dari zaman Gereja mula-mula, abad pertengahan, zaman

modern dan postmodern, doktrin Trinitas tidak luput dari kritik dan pertanyaan-pertanyaan

mendasar yang dikemukakan oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, mengenai apakah Trinitas

merupakan ajaran yang sudah benar dan tepat menggambarkan Allah dalam kesejatian diri-

Nya, dan apakah doktrin ini mempunyai implikasi terhadap kehidupan umat manusia?

Secara khusus pada abad pertengahan yang dominan dengan penekanan pada iman

monoteisme, yang berakibat pada sifat sentralitas Gereja dan organisasi Gereja yang

dibangun atas dasar otoritas, ajaran Trinitas juga mengalami hal serupa. Tekanan yang

berlebihan akan kesatuan hakikat membuat ajaran Trinitas kehilangan makna bagi sejarah

keselamatan. Penekanan ini, yang merupakan warisan dari abad-abad sebelumnya,

menghasilkan paham Allah penindas dan otoriter, yang kemudian turut menjadi alat

pembenaran bagi relasi kekuasaan yang otoriter dari para pemimpin masayrakat dan gembala

umat.16

5.2 PERSEKUTUAN TRINITAS SEBAGAI KRTIK DAN ILHAM BAGI DUNIA

Konsep Trinitas yang dibangun oleh Boff adalah perikhoresis abadi dari Pribadi-

Pribadi, sebagai cinta dan persekutuan inti dari keunikan dan keesaan Allah. Allah adalah

sesuatu yang tidak pernah sendiri. Bapa, Putera dan Roh Kudus saling bereksistensi dan

bersekutu sejak awal mula. Perikhoresis inilah yang menjadi inti dan pusat uraian dari

15
Ibid., Hlm. viii
16
Ibid., Hlm. 9.
Leonardo Boff. Sesungguhnya ungkapan Perikhoresis ini merupakan ungkapan Yunani yang

mempunyai makna ganda.

Makna pertama bersifat statis, yang situasi keterkandungan satu di dalam yang lain Ini

adalah suatu situasi yang statis, yang dalam Bahasa Latin diterjemahkan dengan

circuminsessio, yang berarti Pribadi dikelilingi dari segala sisi oleh Pribadi yang lain, saling

menempati ruang dan saling mengisi. Arti kedua bersifat aktif, menunjuk pada aktivitas

saling resap dan saling anyam antar Pribadi. Arti ini hendak menunjukkan hubungan yang

hidup dan abadi antar Pribadi Ilahi. Dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan

Circumincessio. Satu kebenaran ilahi yang hendak ditunjukkan oleh konsep perikhoresis ini

ialah proses persekutuan merupakan kodrat sejati Pribadi-Pribadi.17

Leonardo Boff mengakui bahwa perikhoresis sebagai titik tolak aliran Trinitas

modern adalah aliran yang ia ikuti. Perbedaan dalam persekutuan yang terkandung dalam

perikhoresis yang memungkinkan alam semesta dan manusia selalu dilihat sebagai proses

komunikasi, persekutuan dan persatuan melalui saling resap antara mereka Tidak ada

dominasi dari satu pihak yang melemahkan pihak lain, sebab semuanya selalu dalam relasi

yang saling menguntungkan. Leonardo Boff mengangkat dasar dari persekutuan perikhoresis

yaitu sabda Yesus yang dikatakan dalam doa-Nya: “Semoga mereka semua menjadi satu,

seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam

Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku” (Yoh. 17:21). Dengan

dasar ini, terlihat ada relasi antara persekutuan Allah Trinitas dan umat manusia. Persekutuan

Allah juga melibatkan persekutuan manusia. Oleh karena itu, sebuah pemahaman yang benar

akan persekutuan Trinitaris dari Pribadi-Pribadi Ilahi adalah ilham bagi persekutuan umat

manusia.

17
Ibid., Hlm. 152-153.
Segala uraian panjang tentang Trinitas yang telah dibuat oleh Leonardo Boff,

mendorongnya untuk bersikap kritis terhadap manusia, jemaat, masyarakat dan Gereja.

Masyarakat yang atrinitaris, yang terbangun dengan pola struktur otoriter dan menindas,

harus ditinggalkan, kesejatian Allah sebagai Allah persekutuan tidak menghendaki struktur

yang menindas. Begitu pula dalam hidup politik, kuasa absolut, raja, kaisar dan pemimpin

lainnya, yang menindas adalah kuasa yang atrinitaris. Menurut Boff, hanya masyarakat

manusiawi yang terdiri dari saudari dan saudara, yang lahir dari hubungan-hubungan

persekutuan dan partisipasi, dapat menjadi symbol hidup dari Tritunggal yang abadi. Hal

yang sama juga terjadi dalam hidup menggereja. Model Gereja yang piramidal, yang

memusatkan kekuasaan pada satu pihak, yakni hierarki, tidak mencerminkan iman dan

pemahaman yang benar akan kesejatian Allah Trinitas. Boff berpendapat, bahwa model

Gereja yang perikhoresis dapat meletakkan semua pelayan Gereja (uskup, imam, awam) di

bawah perintah persekutuan, dan turut menentukan semua dalam semua demi kesejahteraan

semua orang. Distorsi sosial-politik yang demikian dapat dikoreksi secara radikal dengan

berpaling pada pemahaman mendalam akan Allah perikhoresis.18

VI. PENUTUP

Melalui bukunya berjudul Allah Persekutuan, Leonardo Boff menjabarkan ajaran

Trinitasnya. Ia sendiri mengakui bahwa ajaran Trinitasnya ini merupakan lanjutan dan

penemuan aspek-aspek baru dari ajaran-ajaran dogmatis sebelumnya. Karena itu, ia tidak

menolak segala ajaran resmi Gereja yang telah diimani oleh Gereja dari abad-abad awal

perumusan Trinitas, malahan menyempurnakannya. Posisinya sebagai salah satu dari aliran

Trinitas sosial, terlihat dari penekanannya pada relevansi pemahaman ajaran Trinitas sebagai

perikhoresis di dalam kehidupan masyarakat dunia secara umum, dan kehidupan orang

beriman, termasuk Gereja secara khusus. Perikhoresis, adalah kesejatian diri Allah yang

18
Doktor Niko Syukur Dister, OFM, Op.Cit., Hlm. 173-175.
sudah seharusnya menjadi kritik dan ilham yang mencerahkan dan membangun dunia

menjadi lebih baik. Di atas semua refleksinya, Leonardo Boff sampai pada kesimpulan bahwa

Allah Trinitas tetaplah misteri yang selalu menumbuhkan hasrat untuk manusia mencari terus

menerus. Berhadapan dengan misteri Allah itu, yang ada haruslah iman dan keheningan

mendalam (diam dan tafakur). Di dalam keheningan inilah, orang beriman memanjatkan doa

pujiannya kepada Allah Tritunggal: “Kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh kudus. Seperti

pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin.”

DAFTAR PUSTAKA
Boff Leonardo, Der dreieinige Gott, (Patmos Verlag, 1987), dalam Aleksius
Armanjaya dan Kirchberger Georg (Penerj.), Allah Persekutuan, Ajaran Tentang Allah
Tritunggal, Maumere: Ledalero, 1999.

Dister Niko Syukur, OFM., TEOLOGI SISTEMATIKA 1: Allah Penyelamat,


Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Hendrikus Dori Wuwur SVD, dkk. (Editor), Bunga Rampai 125 Tahun SVD,
Maumere: Ledalero, 2002.

O’donnell Kevin, A History of Ideas, (Lion Publishing, Oxford, 2003), dalam Jan
Riberu (penerj.) Sejarah Ide-Ide, Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Ryrie Charles C., Teologi Dasar 1, Panduan Poluler Untuk Memami Kebenaran
Alkitab, Yogyakarta: ANDI, 2014.

Anda mungkin juga menyukai