Abstraksi
Buku Allah persekutuan adalah karya Leonardo Boff yang bertolak dari realitas
Amerika Latin dengan situasi kemiskinan dan penindasan. Kehidupan tidak
mencerminakan pemahaman yang benar akan Allah tritunggal yakni Bapa, Putra dan
Roh Kudus yang senantiasa hidup dalam persekutuan kasih, Perikhoresis. Boff
mengatakan, masyarakat tidak dapat dibangun atas dasar penindasan lewat norma-
norma yang merupakan gambaran dari figur seorang Bapa saja, atau atas dasar
dominasi kekuasaan sang pemimpin yang merupakan gambaran figur Putra saja, atau
melalui anarki dan spontanitas tokoh-tokoh karismatis yang merupakan gambaran
dari figur Roh Kudus saja. Menurut Boff, masyarakat yang sejahtera dibangun atas dasar
hubungan timbal balik yang seimbang antara ketiga figur tesebut. Salah satu hal yang
mau ditekankan oleh Boff adalah bahwa model persekutuan hidup Trinitas adalah
persekutuan yang mesti menjiwai setiap model kehidupan yang dibangun dalam
masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Manusia selalu merindukan Allah dan karena itu juga manusia selalu merindukan
pengetahuan tentang Allah. Hal ini dapat diketahui dan dibuktikan dengan munculnya hasrat-
hasrat agamawi yang dimiliki oleh manusia.1 Di dalam agama Kristen, Allah yang selalu
dirindukan dan selalu ingin diketahui itu dikenal dengan nama Allah Tritunggal, yaitu Satu
Hakikat KeAllahan dengan Tiga Pribadi, atau biasa disebut dengan istilah Trinitas. Tetapi
apakah orang-orang Kristen bisa mengetahui tentang keberadaan Allah ini, dan apakah Allah
Trinitas ini merupakan Allah yang benar sesuai dengan kesejatian Diri Allah? Berhadapan
1
Bdk. Dr. Charles C. Ryrie, Teologi Dasar 1, Panduan Poluler Untuk Memami Kebenaran Alkitab,
(Yogyakarta: ANDI, 2014), Hlm. 33
dengan pertanyaan-pertanyaan ini, orang-orang Kristen bisa mengatakan dengan yakin bahwa
mereka bisa mengetahui tentang keberadaan Allah, sebab Allah sendiri mewahyukan diri
kepada manusia. Puncak pewahyuan itu ialah misteri inkarnasi, yaitu penjelmaan Allah
menjadi manusia. Dalam Inkarnasi, “Allah mau membuat dirin-Nya menjadi khusus, konkret
dan berkarakter, sehingga keIlahian dapat dilihat, dijamah dan dipahami oleh manusia”2.
Peristiwa Inkarnasi itu nyata dalam diri Yesus Kristus. Kemudian di dalam refleksi
Gereja selanjutnya, Yesus diimani Sebagai Tuhan dan segala peristiwa-Nya ditulis dan
dibukukan oleh para penulis suci di dalam keempat injil dan tulisan-tulisan lainnya yang
disebut kitab suci perjanjian baru, yang oleh kebanyakan teolog selalu dilihat dalam
kaitannya dengan kitab suci perjanjian lama yang sudah berbicara secara intrinsik mengenai
Doktrin tentang Trinitas merupakan jantung dari kekristenan, sebab semua bentuk
keberimanan orang-orang Kristen selalu tertuju kepada Allah yang Trinitaris (Satu Allah Tiga
Pribadi) ini. Di dalam dan melalui ajaran Trinitas, orang Kristen mengetahui bahwa Allah
mewahyukan diri sebagaimana Dia adanya, yaitu sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Trinitas atau Tritunggal, atau Pribadi atau Esensi sebagai istilah memang bukan berasal dari
kitab suci. Kitab suci memang tidak menggunakan istilah-istilah itu untuk menggambarkan
kesejatian diri Allah Tritunggal. Kata-Kata itu tidak terdapat di dalam kitab suci umat
Kristen. Ia baru muncul di dalam pemikiran teologi Kristen sekitar satu setengah abad setelah
kematian Yesus.3 Walaupun demikian, isi ajaran yang terdapat di dalamnya, yaitu Allah
2
Dr. Dori Wuwur Hendrikus, SVD., Kontekstualisasi Sabda Dan Transformasi Masyarakat, dalam Dr.
Dori Wuwur Hendrikus SVD, dkk. (Editor), Bunga Rampai 125 Tahun SVD, (Maumere: Ledalero, 2002), Hlm.
1.
3
Tertullianus (160 M- 220 M) adalah pengguna pertama istilah Trinitas. Iaadalah seorang Teolog
awam, ahli Bahasa dan ahli hukum yang cemerlang dari Kartago di Afrika Utara. Ia juga memakai istilah-istilah
yang mengungkapkan iman sejati akan Allah, yaitu satu Kodrat tiga Pribadi. Bdk. Leonardo Boff, Der
dreieinige Gott, (Patmos Verlag, 1987), dalam Aleksius Armanjaya dan Georg Kirchberger (Penerj.), Allah
Persekutuan, Ajaran Tentang Allah Tritunggal, (Maumere: Ledalero, 1999), hlm. 54-55.
Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus, disebutkan di dalam Alkitab, baik itu kitab suci
perjanjian baru, maupun yang sudah tersirat dalam kitab suci perjanjian lama.
Ajaran Trinitas di dalam sejarah kekristenan, sama seperti agama pada umumnya,
yang mana setiap perjumpaan dengan yang Ilahi selalu berawal dari pengalaman iman dan
baru kemudian muncul ajaran iman. Begitupun perkembangan doktin Trinitas, pertama-tama
muncul sebagai pengalaman iman, yang secara umum diterima sebagai kebenaran iman dan
dihidupi di dalam doa-doa dan ibadat di dalam komunitas jemaat Kristen. Umat Kristen awal
mewartakan lewat doa-doa yang sederhana dan kotbah-kotbah mereka tentang Bapa, Puteran
dan Roh Kudus, dan mereka menyebut setiap pribadi itu Allah. Baru setelah itu, saat iman
umat sudah berkembang menjadi lebih dewasa, mereka mencoba merefleksikan hal-hal itu
dan coba menerjemahkan pewartaan para rasul itu ke dalam rumusan-rumusan tertentu. Maka
mulai muncullah Trinitas dalam rumusan klasik: Satu Allah dalam Tiga Pribadi. Dalam hal
Akan tetapi rumusan yang sudah ada itu bukan tanpa persoalan. Para cendekiawan
Kristen awal yang merumuskan ajaran Trinitas, seperti Yustinus, Klemens dari Alexandria,
Athenagoras dan Origenes, harus berhadapan dengan dua tugas utama yaitu: Pertama, iman
yang dihidupi itu harus bisa dipikirkan atau direfleksikan. Hal ini dipengaruhi oleh muatan
kultur Yunani-Romawi yang sudah terbiasa melakukan refleksi kritis atas apa yang mereka
lakukan, termasuk doa dan pujian kepada Allah. Di sini para cendekiawan dituntut untuk
tidak hanya menghidupi iman Trinitas tetapi juga merumuskan ajaran Trinitas. Kedua, Para
cendekiawan harus berhadapan dengan tiga arus keberatan yang dikemukakan oleh: agama
Yahudi Tradisional, budaya politeistis dan filosofis Yunani dan Gnostisisme. Para
4
Ibid., Hlm. Viii
yang sudah mereka rumuskan, yang kemudian menjadi awal tumbuhnya doktrin Trinitas,
Abad modern adalah abad rasio, bangkitnya sains dan penemuan baru. Zaman modern
ditandai dengan kelahiran kembali pengetahuan secara luas yang meledak pada abad 14 dan
mengguncang tatanan masyarakat abad pertengahan yang ditata dalam hierarki secara ketat.
Ada Allah di surga dan menyusul segala sesuatu yang mengikuti Dia secara hierarkis.6 Gereja
dalam hal ini mendapat peran utama sebagai pewaris nilai-nilai keAllahan dengan segala
kebenarannya yang tidak boleh diganggu gugat. Para pemikir Renaisans mulai
mempersoalkan hal tersebut dengan ide dan penemuan baru, sehingga menghantar dominasi
Gereja dengan segala status quonya ke ambang kejatuhan. Nilai-nilai metafisik mulai
perlahan ditingalkan dan titik tolak refleksi bukan lagi pada Allah melainkan berkiblat pada
manusia (Humanisme). Hal ini juga turut menimbulkan pertanyaan baru bagi iman dan ajaran
iman Gereja.
Dengan diagungkannya kemampuan rasio manusia, ada banyak penemuan baru dan
ilmu pengetahuan berkembang pesat. Tetapi ada hal negatif yang sejalan dengan itu, yaitu
munculnya masyarakat konsumen yang berubah cepat dan relativistik. Sifat konsumtif dari
masyarakat bermuara pada berbagai kerusakan pada lingkungan alam maupun lingkungan
sosial dan keterpecahan klaim kebenaran yang telah lama di dalam abad modern dilegitimasi
oleh akal budi manusia. Fakta kerusakan lingkungan dan perendahan martabat manusia
seperti yang terjadi pada perang dunia I dan II, menampilkan satu ironi dari akal budi yang
muncul sebagai kekuatan penghancur. Ini mengawali berkurangnya dominasi akal budi,
sebagaimana yang dibahasakan oleh Jean Francois Lyotard (1925-1999): ‘kehancuran meta
5
Ibid., Hlm. 46-46
6
Bdk. Kevin O’donnell, A History of Ideas, (Lion Publishing, Oxford, 2003), dalam Jan Riberu
(penerj.) Sejarah Ide-Ide, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), Hlm. 100.
narasi’ atau narasi besar yakni akal budi. Akal yang adalah cermin kebenaran itu kini telah
fragmentaris.7 Hal ini menghasilkan cara berpikit yang relativistik dan meragukan semua
kebenaran, termasuk kebenaran iman yang berasal dari wahyu, termasuk ajaran Gereja
mengenai Trinitas. Maka pertanyaan yang sering dilontarkan ketika orang hendak mencari
pengertian tentang kebenaran misteri Trinitas ialah masihkah doktrin Trinitas yang telah lama
diyakini oleh Gereja mempunyai dampak bagi kefidupan masyarakat manusia zaman ini,
ataukah doktrin ini hanya tetap tinggal sebagai ajaran yang sistematis dan tertutup.
Konsep Trinnitas hanya menjadi ulasan milik Gereja, dengan menekankan kebenaran-
kebenaran argumen, dan kurang memperhatikan implikasinya bagi kehidupan secara luas.
Hal ini diperkuat dan berlanjut pada abad modern, dengan usaha Gereja melawan paham
ateisme yang menyangkal secara sistematis prinsip yang terakhir dan kesadaran akan yang
kekal.
Tidak heran, konsep ketuhanan secara umum, dan Trinitas secara khusus, menjadi
kritikan dari beberapa pemikir abad modern, salah satunya adalah Immanuel Kant. Kant
menulis: “Doktrin Trinitas tidak menawarkan sesuatu yang berguna untuk kehidupan
praktis”.8 Apa yang dikemukakan oleh Kant menunjukkan bahwa Trinitas bagi kebanyakan
Karena itu, di zaman ini yang sarat akan krisis akal dan logika, serta nihilism yang
merongrong nilai-nilai agama, ajaran Trrinitas yang perlu diusahakan adalah Trinitas yang
menekankan relasi atau persekutuan antara tiga pribadi ke-Allahan, bukan Trinitas yang
terlampau menekankan kesatuan maupun ketigaan yang nantinya akan jatuh pada paham
7
Ibid., Hlm. 142
8
Ibid., Hlm 14.
Triteisme. Ajaran Trinitas seperti inilah yang kemudian bisa membangun pengalaman iman
akan Allah dan menjadikan Trinitas bernilai bagi kehidupan masyarakat manusia di zaman
ini.
Tentang Trinitas di zaman modern ini, terdapat tiga kelompok aliran pemikiran
berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Nico den Bok, yaitu Trinitarianisme
berdasarkan pandangan mereka tentang jumah dari Pribadi-Pribadi Ilahi di dalam Allah
Tritunggal.
1. Trinitarianisme Monopersonal
Kelompok yang memandang bahwa Allah Trinitas itu satu Pribadi. Dua teolog Gereja
yang berada pada kelompok ini ialah Karl Barth dan Karl Rahner. Menurut kedua teolog
ini tiga personae yang diajarkan oleh Tradisi Gereja tidak sama dengan pengertian diri
atau pribadi dalam arti modern. Keduanya bersepakat bahwa Allah Tritunggal tidak dapat
terdiri dari tiga pribadi atau tiga subjek, tetapi hanya satu subjek dan satu kehendak.9
Antara Trinitarianisme monopersonal dengan dengan sosial itu terdapat beberapa posisi
tengah. Ada tokoh yang ditampilkan oleh Den Bok yaitu yaitu Piet Schoonenberg dan
Hans Urs von Balthasar. Trinitarianisme sosial lebih menekankan penyataan Allah atas
dunia, dan memperkenalkan diriNya, menyatakan hatiNya kepada dunia (hasil kerja). 10
3. Trinitarianisme Sosial
9
Bdk. Dr. Niko Syukur Dister, OFM., TEOLOGI SISTEMATIKA 1: Allah Penyelamat, (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), Hlm. 164-165.
10
Ibid., Hlm. 167-168.
Trinitarianisme sosial mengarah kepada pandangan bahwa, di dalam Allah terdapat
persekutuan (Communio) dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi, dan
persekutuan itu terbuka dengan melibatkan ciptaan. Den Bok menyebutkan dua tokoh
terkenal yang lebih condong kepada model sosial, yakni Juergen Moltmann dan Wolfhart
Pannenberg.11
LEONARDO BOFF
kehidupan manusia dan umat beriman pada khususnya, maka penulis mencoba mendalami
pemikiran salah seorang teolog yaitu Leonardo Boff. Oleh karena pemikiran Trinitasnya
digolongkan pada Trinitas Sosial, maka cocok untuk digunakan dalam rangka mencari
sosial Boff sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politis yang melanda Amarika Latin.
Karena itu, terlebih dahulu akan kita lihat latar belakang pemikiran Trinitas Leonardo Boff.
pertengahan yang sedemikian menegaskan tentang keesaan dan ketunggalan Allah menjadi
rintangan yang besar terhadap proses pemerdekaan12. Pemahaman Trinitas abad pertengahan
justru semakin melegitimasi situasi ketertindasan, sebagaimana yang terjadi dan dialami oleh
masyarakat Amarika Latin dan kebanyakan negara dunia ketiga, yang mana mereka
mengalami situasi penjajahan (Spanyol dan Portugis) dan penguasaan kapitalisme Eropa.
Menurut Boff, dua situasi itu merupakan produk dari pola pembangunan kapitalis.
11
Ibid., Hlm. 169-170.
12
Leonardo Boff, Op.CitI., Hlm. 137.
Masyarakat yang demikian menghasilkan kelas-kelas sosial dan kesenjangan yang mencolok
antar berbagai kelas sosial itu. Ada banyak orang tertindas dan miskin karena dimiskinkan
menujukkan semangat Trinitaris. Terdapat tiga bentuk perpecahan sosial, yang justru
bersu,ber dari terpecahnya pengalaman orang Kristen akan Allah sebagai Trinitas. Ada
penekanan tidak berimbang entah pada Vertikalitas Bapa, horisontalitas Putera ataupun
kedalaman Roh Kudus. Akibatnya, muncul struktur masyarakat yang dibanguna atas dasar
penindasan norma-norma (hanya gambaran Bapa), dominasi otoritas sang pemimpin (hanya
gambaran Putera), serta anarkisme dan hilangnya aturan (hanya figure Roh Kudus). Hanya
jika memahami Trinitas sebagai persekutuan Pribadi-Pribadi ilahi, dan persekutuan itu selalu
mengintegrasikan seluruh ciptaan kedalam-Nya, makan Trintas dapat menjadi Ilham dan
Persoalan seperti inilah yang menjadi latar belakang pemikiran seorang Leonardo
Boff dalam merumuskan ajaran Trinitarisnya, sebagai usaha jalan tengah antara penekanan
kesatuan dan ketigaan Allah. Leonardo Boff menjadi salah satu Teolog modern yang
merumuskan ajaran Trinitasnya pada posisi Trinitas Sosial, untuk kemudian mencari daya
guna dari ajaran Trinitas bagi tercapainya kehidupan bersama yang seimbang dan tidak saling
menindas dan merugikan antara pemimpin dan yang dipimpin. Kendati demikian, ajaran yang
ia rumuskan tidak bermaksud melawan atau meniadakan ajaran-ajaran Trinitas yang baku,
malahan ia hendak menyempurnakannya dengan tidak menolak satupun paham doktrin resmi
Gereja yang sudah dihidupi oleh Gereja sejak masa awal dirumuskannya ajaran Trinitas.
Karena itu, di dalam bukunya Allah Persekutuan yang membahas ajaran-ajaran tentang
13
Ibid., Hlm. 4
14
Ibid., Hlm. 9-10.
Trinitas, ia berkata: “segala penjelasan baru tentang iman akan Trinitas harus membuat isi
iman sebagaimana diyakini Gereja menjadi lebih terang dan lebih menarik”.15
Doktrin Trinitas sebagai ajaran inti Kekristenan adalah doktrin yang menjadi ilham
bagi masyarakat dunia, karena itu doktrin ini juga berkembang seturut perkembangan zaman.
tantangan yang berbeda pula. Dari zaman Gereja mula-mula, abad pertengahan, zaman
modern dan postmodern, doktrin Trinitas tidak luput dari kritik dan pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang dikemukakan oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, mengenai apakah Trinitas
merupakan ajaran yang sudah benar dan tepat menggambarkan Allah dalam kesejatian diri-
Nya, dan apakah doktrin ini mempunyai implikasi terhadap kehidupan umat manusia?
Secara khusus pada abad pertengahan yang dominan dengan penekanan pada iman
monoteisme, yang berakibat pada sifat sentralitas Gereja dan organisasi Gereja yang
dibangun atas dasar otoritas, ajaran Trinitas juga mengalami hal serupa. Tekanan yang
berlebihan akan kesatuan hakikat membuat ajaran Trinitas kehilangan makna bagi sejarah
menghasilkan paham Allah penindas dan otoriter, yang kemudian turut menjadi alat
pembenaran bagi relasi kekuasaan yang otoriter dari para pemimpin masayrakat dan gembala
umat.16
Konsep Trinitas yang dibangun oleh Boff adalah perikhoresis abadi dari Pribadi-
Pribadi, sebagai cinta dan persekutuan inti dari keunikan dan keesaan Allah. Allah adalah
sesuatu yang tidak pernah sendiri. Bapa, Putera dan Roh Kudus saling bereksistensi dan
bersekutu sejak awal mula. Perikhoresis inilah yang menjadi inti dan pusat uraian dari
15
Ibid., Hlm. viii
16
Ibid., Hlm. 9.
Leonardo Boff. Sesungguhnya ungkapan Perikhoresis ini merupakan ungkapan Yunani yang
Makna pertama bersifat statis, yang situasi keterkandungan satu di dalam yang lain Ini
adalah suatu situasi yang statis, yang dalam Bahasa Latin diterjemahkan dengan
circuminsessio, yang berarti Pribadi dikelilingi dari segala sisi oleh Pribadi yang lain, saling
menempati ruang dan saling mengisi. Arti kedua bersifat aktif, menunjuk pada aktivitas
saling resap dan saling anyam antar Pribadi. Arti ini hendak menunjukkan hubungan yang
hidup dan abadi antar Pribadi Ilahi. Dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan
Circumincessio. Satu kebenaran ilahi yang hendak ditunjukkan oleh konsep perikhoresis ini
Leonardo Boff mengakui bahwa perikhoresis sebagai titik tolak aliran Trinitas
modern adalah aliran yang ia ikuti. Perbedaan dalam persekutuan yang terkandung dalam
perikhoresis yang memungkinkan alam semesta dan manusia selalu dilihat sebagai proses
komunikasi, persekutuan dan persatuan melalui saling resap antara mereka Tidak ada
dominasi dari satu pihak yang melemahkan pihak lain, sebab semuanya selalu dalam relasi
yang saling menguntungkan. Leonardo Boff mengangkat dasar dari persekutuan perikhoresis
yaitu sabda Yesus yang dikatakan dalam doa-Nya: “Semoga mereka semua menjadi satu,
seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam
Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku” (Yoh. 17:21). Dengan
dasar ini, terlihat ada relasi antara persekutuan Allah Trinitas dan umat manusia. Persekutuan
Allah juga melibatkan persekutuan manusia. Oleh karena itu, sebuah pemahaman yang benar
akan persekutuan Trinitaris dari Pribadi-Pribadi Ilahi adalah ilham bagi persekutuan umat
manusia.
17
Ibid., Hlm. 152-153.
Segala uraian panjang tentang Trinitas yang telah dibuat oleh Leonardo Boff,
mendorongnya untuk bersikap kritis terhadap manusia, jemaat, masyarakat dan Gereja.
Masyarakat yang atrinitaris, yang terbangun dengan pola struktur otoriter dan menindas,
harus ditinggalkan, kesejatian Allah sebagai Allah persekutuan tidak menghendaki struktur
yang menindas. Begitu pula dalam hidup politik, kuasa absolut, raja, kaisar dan pemimpin
lainnya, yang menindas adalah kuasa yang atrinitaris. Menurut Boff, hanya masyarakat
manusiawi yang terdiri dari saudari dan saudara, yang lahir dari hubungan-hubungan
persekutuan dan partisipasi, dapat menjadi symbol hidup dari Tritunggal yang abadi. Hal
yang sama juga terjadi dalam hidup menggereja. Model Gereja yang piramidal, yang
memusatkan kekuasaan pada satu pihak, yakni hierarki, tidak mencerminkan iman dan
pemahaman yang benar akan kesejatian Allah Trinitas. Boff berpendapat, bahwa model
Gereja yang perikhoresis dapat meletakkan semua pelayan Gereja (uskup, imam, awam) di
bawah perintah persekutuan, dan turut menentukan semua dalam semua demi kesejahteraan
semua orang. Distorsi sosial-politik yang demikian dapat dikoreksi secara radikal dengan
VI. PENUTUP
Trinitasnya. Ia sendiri mengakui bahwa ajaran Trinitasnya ini merupakan lanjutan dan
penemuan aspek-aspek baru dari ajaran-ajaran dogmatis sebelumnya. Karena itu, ia tidak
menolak segala ajaran resmi Gereja yang telah diimani oleh Gereja dari abad-abad awal
perumusan Trinitas, malahan menyempurnakannya. Posisinya sebagai salah satu dari aliran
Trinitas sosial, terlihat dari penekanannya pada relevansi pemahaman ajaran Trinitas sebagai
perikhoresis di dalam kehidupan masyarakat dunia secara umum, dan kehidupan orang
beriman, termasuk Gereja secara khusus. Perikhoresis, adalah kesejatian diri Allah yang
18
Doktor Niko Syukur Dister, OFM, Op.Cit., Hlm. 173-175.
sudah seharusnya menjadi kritik dan ilham yang mencerahkan dan membangun dunia
menjadi lebih baik. Di atas semua refleksinya, Leonardo Boff sampai pada kesimpulan bahwa
Allah Trinitas tetaplah misteri yang selalu menumbuhkan hasrat untuk manusia mencari terus
menerus. Berhadapan dengan misteri Allah itu, yang ada haruslah iman dan keheningan
mendalam (diam dan tafakur). Di dalam keheningan inilah, orang beriman memanjatkan doa
pujiannya kepada Allah Tritunggal: “Kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh kudus. Seperti
DAFTAR PUSTAKA
Boff Leonardo, Der dreieinige Gott, (Patmos Verlag, 1987), dalam Aleksius
Armanjaya dan Kirchberger Georg (Penerj.), Allah Persekutuan, Ajaran Tentang Allah
Tritunggal, Maumere: Ledalero, 1999.
Hendrikus Dori Wuwur SVD, dkk. (Editor), Bunga Rampai 125 Tahun SVD,
Maumere: Ledalero, 2002.
O’donnell Kevin, A History of Ideas, (Lion Publishing, Oxford, 2003), dalam Jan
Riberu (penerj.) Sejarah Ide-Ide, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Ryrie Charles C., Teologi Dasar 1, Panduan Poluler Untuk Memami Kebenaran
Alkitab, Yogyakarta: ANDI, 2014.