Anda di halaman 1dari 6

MINGG PRAPASKA KE IV

YOS, 5:9°.10-12
2KOR, 5:17-21
LUK 15:1-3.11-32.

PENGANTAR:
Apakah Tuhan mencintai kita, hanya karna kita sehat
dan tak bercacat?. Justeru semakin kita tidak sehat dan dihimpit
oleh beban dosa, semakin Tuhan mencintai kita. Tuhan mencitai
kita bukan karena kita baik, melainkan karena Tuhan itu baik,
hal ini terungkap secara amat bagus oleh St.Paulus ”di mana
dosa bertambah banyak, disana kasih karunia berlimpah-limpah.
Karena kasihnya kepada kita tanpa batas, maka Ia rela mengutus
Yesus yang wafat dan bangkit untuk memuliakan kembali
hubungan kita dengan Allah yang telah putus oleh dosa.
Tenang kasih Allah yang berlimpah kepada kita manusia,
di ungkapkan oleh Yesus dalam perumpamaan tentang anak
yang hilang. Dalam perumpamaan itu Yesus mengajarkan bahwa
Tuhan tidak melihat berapa besar kesalahan, tetapi yang Tuhan
perhatikan ialah kesadaran kita untuk kembali kepada bapa,
kesadaran untuk hidup dalam kasih bapa.
Dengan kesadaran ini marilah kita mohon ampun atas
dosa dan salah yang telah kita buat.
HOMILI
Perumpamaan tentang si anak hilang dalam Luk 15:11-
32 sudah banyak dikenal. Gagasan pokoknya ialah kebaikan
Tuhan terhadap siapa saja, lebih-lebih terhadap pendosa
yang mau mendekat kepadaNya. Perumpamaan ini diceritakan
utk menanggapi sungut2 dari kaum Farisi dan Ahli Kitab yang
melihat Yesus bergaul dengan para pemungut pajak dan pendosa
lainnya.
Ada seorang ayah yang mempunyai dua orang anak
lelaki. Yang bungsu meminta bagian miliknya untuk mulai hidup
di perantauan. Ia hanya berfoya-foya dan ketika ada kelaparan ia
jatuh melarat dan terpaksa hidup tak pantas sebagai budak.
Akhirnya ia memutuskan kembali. Ketika melihat anaknya dari
kejauhan, sang ayah lari menjemputnya. Ia menyuruh orang-
orang untuk memberinya jubah yang terbaik, cincin, dan sepatu -
tanda ia diakui kembali sebagai anak, bukan diterima
sebagai budak yang tak mengenakan hal-hal itu.
Kedatangannya kembali juga dipestakan. Sementara itu anaknya
yang sulung pulang dari ladang dan mendengar hal pesta itu. Ia
tidak puas dan tak mau masuk ke rumah ikut pesta. Tetapi
ayahnya keluar membujuknya. Anak sulung itu mengutarakan
alasannya mengapa ia marah. Bertahun-tahun ia bekerja tanpa
melanggar perintah tapi tak satu kali pun mendapat kesempatan
bersuka ria dengan teman-temannya. Dan kini bagi anak
pemboros dan tak berbakti itu ada pesta besar! Ayahnya
membujuknya, anak sulung itu toh selalu ada bersamanya dan
semua miliknya juga kepunyaannya.
Perumpamaan ini diceritakan bukan untuk membuat
orang bertobat seperti si anak hilang, atau agar kita tidak
bersikap iri seperti si anak sulung. Perumpamaan biasanya
diceritakan untuk mengajak berpikir mengenai hal yang lebih
dalam yakni belas kasih Allah.
Yang menjadi pelajaran bagi kita adalah sikap tobat
yang tulus dari si bungsu. Dan sikap tobat seperti si bungsu
inilah yang menggugah hati Tuhan. Tuhan akan merangkul kita,
sambil megenakan jubah mewah, cincin pada jari dan sepatu
pada kita bahkan ia mengadakan pesta dan bersuka cita.
Sesungguhnya inilah perjumpaan yang mambahagiakan Tuhan.
Tuhan itu bapa kita yang selalu memberikan pengampunan,
menerima kembali anak-anaknya yang hilang karena mau ikut
keinginan sendiri. Suasana yang sangat mengharukan bahwa
Bapa, Allah kita sudah lama mencari kita dan sungguh luar
biasa kegembiraannya bila kita kembali kerumahnya.
Sangat jelas di sini, betapa tak terukurnya kasih bapa
bagi semua manusia. Ia menerima kembali kita tanpa
mengeluarkan kata-kata hukuman. Ia tidak melihat besarnya
kesalahan kita, yang ia perhatikan ialah kesadaran kita untuk
kembali kerangkulan-Nya, yang perlu kita usahakan ialah hidup
dalam kasih Bapa, agar dapat memperolehh hidup yang
selimpah-limpahnya.
Saudara/i terkasih...
TEOLOGI "HUKUMAN DAN PAHALA"?
Bila orang melakukan kesalahan, maka layak ia terkena
hukuman. Atas dasar prinsip itu, kebaikan mestinya
mendatangkan pahala. Tanpa kita sadari gagasan ini sering
mendasari cara memandang kejadian-kejadian dan melandasi
penilaian terhadap orang lain. Perumpamaan ini disampaikan
untuk menyorotinya.
yang berpandangan seperti ini adalah orang-orang farisi
dan ahli taurat yang dilambangkan dengan anak sulung.
Mereka adalah gambaran orang yang tidak tau diri, yang
menganggap diri sebagai ‘orang benar” karena tidak melanggar
satu hukumpun dari Hukum Taurat. Telah bertahun-tahun aku
melayani bapa, dan belum pernah aku melanggap perintah bapa,
tetapi kepadaku belum pernah bapa berikan seekor anak
kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku’.
Betapa baiknya sang bapa ia tidak membela yang satu
dan mempersalahkan yang lain tetapi menerima dan merangkul
keduanya, Lalu bapa yang baik itu ke luar membujuk anaknya
yang sulung agar ia masuk dan turut berpesta. Sepantasnya kita
bergembira karena saudaramu ini telah mati tetapi hidup
kembali; telah hilang dan didapat kembali.
Sifat bapa yang begitu baik terhadap anak-anaknya itu
adalah gambaran dari kasih sayang Tuhan Allah terhadap kita.
Sekalipun kita bersalah dan berdosa, tetapi ada jalan untuk
berdamai kembali dengan Tuhan. Kalau kita mendekati Tuhan,
berbalik kepadanya, ia tetap sudi menerima kita
Puncak dari seluruh persiapan kita di masa prapaska ini
adalah, rekonsiliasi, perubahan hati dan bertobat. Allah
sungguh mencintai kita dan sudi menganugerahkan kebahagiaan
dan keselamatan kepada kita. Hanya saja kita yang sering kali
membentengi diri untuk mengalami kasih itu. saat ini kita
semakin dituntut membangun sikap tobat dengan cara
memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan dan sesama, terutama
dengan alam sekitar. Perubahan diri dan pola pikir inilah arti
tobat yang sebenarnya, inilah arti dari kembalinya anak yang
hilang. Dengan demikian kemerdekaan hanya bisa diperoleh
manusia melalui pertobatan utama yakni kembalinya manusia
kepada Allah dan Allah datang menjemputnya.
Semoga kitapun semakin menyadari kedosaan kita serta
belas kasih Allah yang demikian besar, yang senantiasa
mengundang kita untuk kembali ke pangkuan kasih-nya. Hanya
penyesalan dan tobat yang sungguh, mampu mengantar kita
kembali ke rumah bapa.... amin.

Anda mungkin juga menyukai