Anda di halaman 1dari 5

INSPIRASI TRINITAS PERIKORESIS BAGI KEHIDUPAN MENGGEREJA

August Leonardo Kurniawan Adua

Pendahuluan
Ajaran Allah yang Trinitas telah dirumuskan dalam konsili gerejawi di Nicea (325 M) dan
Konstantinopel (381 M). Keputusan gerejawi tersebut tercermin dalam Pengakuan Iman Nicea-
Konstantinopel dan Athanasius. Pengaruh konsili tersebut kemudian menguat kenbali pada
permulaan abad XX yang kemudian dipandang sebagai Kebangunan Doktrin Trinitas dan ledakan
penyelidikan teologi khususnya dalam relasi di antara agama-agama (Karkkainen 2013,1).
Kebangunan doktrin trinitas pada awal abad XX dipelopori oleh Karl Barth (1886-1968), seorang
teolog reformatoris di Swiss. Doktrin Allah yang Trinitaris tersebut ditempatkan dalam isu-isu
kontemporer yakni keselamatan, komunitas, kehidupan menggereja, ciptaan, dan eskatologi,
khususnya tantangan pluralisme agama. Pembahasan Allah yang Trinitaris merupakan pokok iman
Kristen yang aktual/relevan dengan kehidupan umat dan kehidupan menggereja secara internal
maupun dalam relasinya dengan sesama di sekitarnya. Dengan pemahaman yang lebih utuh dan
jernih terhadap pergumulan pemikiran tentang Allah yang Trinitas, diharapkan umat semakin takjub
akan kekayaan rahasia kemuliaan dan penyataan Allah dalam kehidupan manusia. Sikap takjub
tersebut menuntun umat untuk semakin rendah hati akan keterbatasan dirinya seraya membuka
wawasan imannya untuk menyambut penyataan kasih Allah dan menjadikannya sebagai guideline
dalam membangun kehidupan di berbagai sektor salah satunya dalam kehidupan menggereja.

Trinitas Perikhoresis – Trinitas Persekutuan


Kehidupan menggereja yang sehat, menurut saya memerlukan gagasan teologis yang benar dan
berprinsip yang dikemudian hari menolong gereja membangun relasi dengan dirinya serta relasinya
dengan dunia, dan gagasan teologis tersebut berakar dalam keyakinan gereja mengenai Allah
Trinitas. Istilah “Trinitas” tidak pernah kita jumpai dalam ayat-ayat Alkitab, namun esensi “Trinitas”
terdapat dalam pelbagai kesaksian Alkitab. Penggagas pertama istilah trinitas memiliki dua
pendapat, yakni Teophilus dari Antiokhia (115-181) dan Tertullianus (160-220) di Kartago (sekarang
Tunisia). Kata Trinitas berasak dari bentukan kata dalam bahasa Inggris yakni triunity (tri-tunggal-
sansekerta) yang secara harafiah berarti tiga dalam kesatuan. Kata triunity tersebut berpadanan
dengan kata dalam bahasa Latin Trinitas (berasal dari Triad yang berarti tiga). Istilah-istilah tersebut
mengandung makna bahwa Allah dalam keesaan-Nya adalah Allah yang memiliki tiga diri (pribadi)
sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus yang dalam istilah Tertullianus menyebutnya Una Substantia-Tres
Personae.

Ciri khas dan identitas iman Kristen bukan hanya Allah pada yang esa. Rumusan yang tepat adalah
“Allah yang Esa dalam Bapa-Anak-Roh Kudus.” Karena itu rumusan iman “Allah Trinitas” dinyatakan
dalam seluruh aspek kehidupan spiritualitas umat, pengakuan iman, dan liturgi. Landasan umat
berdoa, dibaptis,mengaku percaya (sidi), menikah, diteguhkan sebagai pejabat gerejawi, ditahbis
sebagai pendeta, hingga meninggal dunia selalu dinyatakan dalam rumusan “Bapa-Anak-Roh Kudus.”
Dalam hal ini makna “keesaan Allah” tidak dipahami sebagai Keesaan yang Nominal-Absolut
melainkan Keesaan yang Relasional-Majemuk. Sebab dalam rumusan Allah sebagai “Bapa-Anak-Roh
Kudus diimani sebagai Allah yang esa dengan tiga pribadi, namun ketiga-Nya berelasi dalam ikatan
kasih dan keintiman yang tiada taranya. Sekalipun disisi lain pebahasan teologi Allah yang Trinitas
cenderung dihindari oleh umat sebab dianggap sulit, tidak membumi, serta hilang relevansinya
sehingga yang dipandang utama adalah sikap iman kepada Bapa-Anak-Roh Kudus dan sikap hidup
sehari-hari. Namun perlu dicatat bahwa sikap iman tidak berarti meniadakan pentingnya
pemahaman. Gordon S. Dicker dalam bukunya Faith With Understanding menyatakan bahwa Faith
always contains an element of understanding (iman senantiasa mengandung elemen pemahaman)
(Dicker 1995,3). Dalam perkembangannya Trinitas bukan saja doktrin fundamental dalam perspektif
kredo gereja, namun disisi lain menurut Catherina Mowry Lacugna, trinitas adalah doktrin praktis,
yang mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Lacugna 1992, 679). Trinitas dapat menjadi
lensa bagi gereja dan manusia untuk melihat kehidupan menggereja sehari-hari dalam beragam
aspek, termasuk melihat kehidupan gereja sebagai komunitas iman dalam kehidupan sosialnya.

Sejalan dengan Lacugna, Edward Zaragoza menyebutkan bahwa trinitas bukan deskripsi fakta ilmiah,
melainkan pengakuan iman yang didasarkan kepada penyataan Allah di dalam Alkitab dan dalam
pengalaman yang kemudian dapat direfleksikan secara lebih luas oleh gereja (Zaragoza 1999, 63).
Refleksi atas penyataan Allah ini membawa gereja pada pengakuan bahwa Allah yang dikenal dan
disembah dalam ibadah dan kehidupan gereja adalah Allah Trinitas, satu Allah namun menyatakan
diri dalam tiga pribadi : Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ketiga pribadi Allah ini ada dalam relasi yang
intim, saling meresapi satu dengan yang lain, tanpa tercampur, terpisah, atau terbelah. Inilah relasi
persekutuan atau koinonia Allah Trinitas yang biasa disebut dengan istilah perichoresis (Adiprasetya
2013, 1).

Dalam buku An Imaginative Glimpse: The Trinity and Multiple Religious Imaginations, Prof. Joas
Adiprasetya menjelaskan istilah perikhoresis pada awal mulanya dipakai untuk menerangkan natur
dari Yesus Kristus yakni ilahi dan manusiawi. Kedua natur ini saling meresapi, tetapi tidak bercampur.
Relasi kedua natur dalam satu pribadi disebut nature perichoresis (Adiprasetya 2013, 105). Dari situ
ungkapan perikhoresis kemudian dipakai untuk menjelaskan kesatuan trinitaris Bapa, Putera, dan
Roh Kudus. Relasi perikhoresis tiga pribadi Allah ini dikenal dengan sebutan person perichoresis
(Adiprasetya 2013, 108-111). Dalam pemahaman dan pengakuan akan perikhoresis pribadi Allah
Trinitas berarti pengalaman kristiani menyatukan perbedaan-perbedaan dalam Allah, tanpa pergoda
untuk menggandakan Allah ke dalam triteisme atau politeisme. Konsekuensinya, Trinitas Ilahi
menuntut untuk menerima perbedaan dalam kesatuan. Kesatuan tidak berarti penyangkalan
terhadap perbedaan, juga tidak berarti reduksi perbedaan kepada keseragaman, melainkan berarti
persekutuan dan interpenetrasi di antara perbedaan (Boff 1999, 153-154).

Prof. Joas Adiprasetya kemudian menambahkan satu tipe relasi perikhoresis yang ia sebut reality
perichoresis yang menjadi sentral dalam tulisannya (Adiprasetya 2013, 111). Menurut saya, inilah hal
yang paling mengaggumkan dalam studi Adiprasetya. Mengapa? Relasi saling masuk dan saling
memberi ruang berlangsung bukan hanya antara kedua hakikat ilahi-insani di dalam diri Yesus
Kristus, atau antara pribadi-prinadi Trinitas, melainkan juga antara pencipta dan ciptaan
(Adiprasetya 2017, 25) yang disebutnya sebagai reality perichoresis. Inilah titik dimana Allah
memberi ruang bagi ciptaan untuk masuk dan berpartisipasi dalam persekutuan Trinitas.

Dengan meminjam gagasan panentheisme dari Jurgen Moltmann dan pengembangan gagasan
theenpanisme dari A.J. Torrance dan N.T. Wright, Adiprasetya menerangkan bahwa di dalam
Kristuslah segala sesuatu diciptakan dan berpartisipasi dalam diri Allah. Adiprasetya menerangkan
dengan mengutip Moltmann bahwa penciptaan adalah tindakan kenosis dari Allah, sebab disitulah
Allah sebagai Yang Tak Terbatas membatasi diri dengan memberi ruang di dalam Sang Anak, supaya
ciptaan sebagai yang terbatas tercipta dari tidak ada menjadi ada (creatio ex-nihilo) (Adiprasetya
2017, 28-29). Yang kemudian berpuncak menurut hemat saya pada proses inkarnasi Kristus sendiri
dimana Allah memasuki sejarah dan merengkuh semua ciptaan ke dalam diri-Nya. Mengutip St. Paus
Yohanes Paulus II, Adiprasetya menulis :

“Inkarnasi Anak Allah merupakan perengkuhan ke dalam kesatuan dengan Allah bukan
hanya hakikat manusia, namun di dalam hakikat manusia ini, dalam arti tertentu, segala
sesuatu yang adalah “daging”” (Adiprasetya 2017, 28)
Belajar dari Trinitas Perikhoresis yang Egaliter
Istilah perikhoresis berasal dari kata bahasa Yunani yang berarti saling merangkul dan meresapi
kemudian menurut Leonard Boff dalam konsep Yunani istilah ini memiliki makna ganda yakni pasif
dan aktif. Dalam artian pasif, satu terkandung dalam yang lain, tinggal dan ada dalam yang lain,
sebuah situasi yang nyata dan statis. Jika dikenakan dalam arti Trinitas, maka satu Pribadi berada
dalam yang lain, dikelilingi dari segala sisi oleh yang lain. Artinya keduanya menempati ruang yang
sama saling mengisi dengan kehadiranNya. Dalam artian aktif, yakni saling resap dan saling anyam
antara satu Pribadi yang lain dengan Pribadi yang lain atau dalam Pribadi yang lain. Konsep ini
hendak mengungkapkan proses hubungan yang hidup dan abadi antar Pribadi-Pribadi Ilahi, di mana
satu Pribadi meresapi dan menjiwai Pribadi ilahi yang lain.

Jadi, dalam konsep perikhoresis ini ada suatu dinamika hubungan resiprokal dan saling meresapi di
antara Pribadi-Pribadi Ilahi tersebut. Dalam kitab suci ungkapan yang bermakna perikhoresis ini juga
sering diwartakan oleh Yesus sendiri. Misalnya, “Aku dan Bapa adalah satu”(bdk. Yoh.10:30), atau
“Aku dalam Bapa dan Bapa dalam Aku”( Yoh 14:11; 17-21). Menurut Boff model persekutuan
perikhoresis merupakan model yang tepat untuk mengungkapkan wahyu Trinitaris sebagaimana
yang diwartakan dalam injil sebagai berikut.

Trinitas sebagai Kritik dan Ilham bagi Masyarakat manusia


Menurut Boff, pemahaman yang tepat tentang Trinitas tersebut seharusnya menjadi kritik tetapi
sekaligus menjadi inspirasi bagi komunitas masyarakat manusia. Baginya, apa yang terjadi dalam
komunitas masyarakat manusia secara umum justru menunjukkan kesalahpahaman tentang Trinitas,
atau dengan kata lain tidak Trinitarian. Misalnya, status ayah identik dengan orang yang memiliki
pengetahuan dan kekuasaan yang membuat keputusan dalam keluarga. Paternalisme adalah model
bagi hubungan keluarga dalam masyarakat luas. Dengan kata lain, bahkan secara gamblang Boff
menegaskan bahwa masyarakat cenderung membenarkan setiap bentuk otoritarianisme,
paternalisme, tirani, atau individualisme otonom dalam hubungan politik, ekonomi, gerejawi,
seksual, dan kekeluargaan. Hal ini berakar pada pemahaman Trinitarian yang monoteistik, yakni
pemahaman yang terlalu menonjolkan peran suatu Pribadi saja.

Trinitas menciptakan suatu persekutuan yang terbuka. Seorang pribadi manusia hendaknya tidak
berlindung dalam dunia sempit hubungan interpersonal sehingga ia tidak dapat menjalin hubungan
dengan yang lain, hubungan sosial dan historis, hubungan transpersonal dan struktural. Menjadi dan
berada dalam suatu persekutuan tidak boleh jatuh ke dalam konsep keterasingan personalisme.
Kritik ini berkaitan erat dengan kehidupan jemaat. Dalam suatu jemaat hendaknya ada keakraban
satu dengan yang lain dan saling menyapa dengan nama dan saling mengisi dalam kehidupan.
Jemaat yang terbentuk haruslah jemaat yang terbuka bukan suatu jemaat yang tertutup.

Selain menjalankan fungsi kritis, persekutuan Trinitaris juga merupakan sumber ilham bagi praktek
kehidupan masyarakat, khusunya bagi kaum Kristen yang berjuang demi suatu perubahan sosial
dalam masyarakat. Dalam konsep Trinitaris setiap Pribadi dari tiga yang berbeda menerima
perbedaaan yang lain. Hal ini menggambarkan bahwa sikap menerima yang lain dan memberi diri
merupakan gambaran tentang perbedaan dalam persekutuan. Dalam Trinitas tidak ada dominasi
satu pihak, tetapi merupakan konvergensi dari ketiganya dalam sikap saling menerima dan memberi.
Mereka berbeda namun tak ada yang lebih besar atau lebih kecil, yang dahulu dan kemudian, yang
berkuasa dan yang ditindas. Karena itu, menurut Boff sebuah masyarakat yang diilhami oleh
persekutuan Trinitaris tidak pernah mengafirmasi adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat atau
dominasi kelompok sosial tertentu terhadap yang lain. Masyarakat yang tidak diwarnai dengan
dominasi kekuasaan tertentu yang mengebiri dan memperbudak pihak yang berbeda darinya.
Oleh karena itu, masyarakat yang hidup dalam inspirasi Trinitas akan menjadi masyarakat yang
ditandai oleh persaudaraan dan kemitraan. Dalam masyarakat model ini, akan ada ruang yang besar
untuk setiap orang mengekspresikan diri secara pribadi dan kelompok. Di sana ada ruang bagi
kebebasan dan martabat manusia untuk bertumbuh. Hanya masyarakat yang hidup dalam semangat
sebagai saudara dan saudari yang bisa mengklaim diri mereka sebagai gambaran dan cerminan dari
persekutuan Trinitas.

Trinitas sebagai Inspirasi Pembebasan


Ada tiga hal yang ditekankan oleh Boff dalam bagian ini. Pertama: Bapa sebagai sumber dan tujuan
dari segala pembebasan. Kedua: Putera sebagai peranatara menuju kebebasan yang integral. Ketiga:
Roh Kudus sebagai sumber kekuatan yang mendorong usaha untuk mencapai realisasi pembebasan
yang utuh.

Leonardo Boff mengemukakan peranan Trinitaris dalam kehidupan Kerajaan Allah Bapa, Putra dan
Roh Kudus adalah satu. Ketiganya tidak berdiri sendiri-sendiri. Ketiganya saling melengkapi dan
memenuhi dalam karya keselamatan. Dalam saling memberi diri tanpa batas, utuh dan tanpa
bersyarat. Bapa mengutus Yesus sebagai penebus dan Roh Kudus sebagai roh penguat. Ketiganya
pula berbeda dalam wujud tetapi satu tujuan.

Inspirasi Trinitas Perikhoresis Bagi Kehidupan Menggereja

Tanpa mencoba menyempitkan konsep yang luas ini, saya kemudian mencoba membagi inspirasi
dalam beberapa poin.

Koinonia : Gereja, Persekutuan Terbuka yang bebas dari Relasi Kuasa


Kehidupan Orang Percaya yang terdiri dari banyak anggota mampu membentuk persekutuan umat
Allah. Masing-masing anggota Gereja menjalankan peran dan tugasnya sesuai dengan keperluan
seperti kaum klerus dan kaum awam. Tata dan aturan telah diatur sejauh membawa berkat bagi
semua orang. Semua bagian saling bekerja sama dan membantu ketika masing-masing bagian saling
membutuhkan. Seperti konsep trinitas yang tak dapat dipisahkan atau yang satu berada jika yang
lain ada, jika salah satu bagian misalnya imam tidak dapat bekerja dengan baik maka pelayanan
Gereja akan terganggu.

Dalam ajaran Trinitas tidak terlihat perbedaan mencolok antara ketiga Pribadi. Persekutuan yang
sempurna, perikhoresis yang sempurna satu di dalam yang lain, satu dari yang lain, satu untuk yang
lain. Dalam Gereja, ada banyak perbedaan seperti umat Allah yang terdiri dari berbagai suku,
budaya, negara, etnis yang berasal dari seluruh dunia. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak
menghancurkan iman umat Allah yang berada di bawah payung Gereja. Gereja universal atau Gereja
semesta itu berarti kesatuan dalam kemajemukan. Persatuan iman tetap terjaga dengan baik dan
sejahtera. Perbedaan tersebut tidak menjadi akar kelemahan Gereja dalam mempersatukan iman
umat di dunia. Justru dengan perbedaan tersebut, umat Allah menjadi lebih kuat karena berpegang
pada pedoman dan ajaran iman yang diterima di seluruh dunia. Umat Allah masih memiliki
keyakinan yang sama terhadap Allah Tritunggal meski mereka tak dapat saling bertemu satu sama
lain.

Dalam konsep Trinitas, Boff menekankan tentang keterbukaan dalam persekutuan. Dalam
persekutuan yang harmonis, semua bagian harus terlibat aktif dalam hubungan sosial dan personal
tanpa membeda-bedakan. Keberadaan Gereja diakui apabila ia mampu terbuka pada situasi dan
kondisi baik yang terjadi di dalam tubuh Gereja maupun yang terjadi di luar tubuh Gereja. Gereja
yang terbuka juga berarti membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus. Setiap umat Allah terbuka
pada kelangsungan hidup yang mengutamakan cinta kasih.

Pemahaman teologis ini kemudian nyatanya tidak hanya berkaitan dengan bidang dogmatika belaka,
namun juga menginspirasi kehidupan etis. Pengajaran tentang keesaan Allah yang nominal-absolut
mendorong lahirnya konsep “monarkhi-absolutisme” dalam kehidupan negara-bangsa. Makna
“absolut” berarti mutlak, sehingga ketika diejawantahkan dalam kehidupan bersama dalam
komunitas dapat menjadi pemutlakan pendapat diri sebagai suatu kebenaran sehingga menolak
yang lain. Sementara memandang keesaan Allah sebagai Relasional-Majemuk membuka ruang kasih
dan relasi bagi yang berbeda. Konsepsi ini kemudian menjadi dasar sikap etis yang praktis untuk
membuka ruang, menjalin relasi, dan penerimaan kepada pihak lain yang dianggap berbeda. Secara
lebih jauh bahkan mungkin saja mendorong kita merekonstruksi nilai-nilai yang dianggap “normal.”

Untuk itu terinspirasi oleh Nindyo Sasongko, Gereja Trinitaris yang terbuka itu haruslah bebas dari
“relasi kuasa Mayoritas-Minoritas” mengutip pandangan Nindyo sebagai berikut :

Salah satu pokok yang harus kita pelajari dari sejarah kekristenan adalah “Standar yang
dipakai untuk menyatakan sekelompok minoritas sebagai sesat sehingga layak dieliminasi
akan dipakai oleh kelompk yang sama jika mereka mendapatkan kekuasaan.” Bahasa-bahasa
supremasi, superioritas, kaum pilihan, satu-satunya jalan tidak lagi sekadar kosakata Alkitab
namun lebih jauh dapat dimaknai ganda. Menjadi penghiburan bagi kaum marginal dan
kata-kata opresif bagi penguasa.

Sebagai bentuk kritiknya Nindyo lebih lanjut memandang relasi kuasa tersebut secara langsung
ataupun tidak akan berubah menjadi system of privilege yang opresif. Mungkin tidak langsung, tetapi
dengan pengabaian suara. Andaikan di sebuah gereja yang memprioritaskan kepemimpinan laki-laki
dan suku mayoritas di gereja itu serta kekuatan finansial maka bagaimana dengan :
a. Laki-laki dari suku mayoritas namun tidak memiliki kekuatan finansial
b. Laki-laki bukan dari suku mayoritas tanpa kekuatan finansial
c. Perempuan dari suku mayoritas namun tidak memiliki kekuatan finansial
d. Perempuan dari suku minoritas, tidak terpelajar, miskin, eks tapol, korban kekerasan
seksual, lesbian.
Menghadapi situasi itu, bagaimanakah gereja Trinitaris membuka diri dan membebaskannya?

Martunia : Gereja yang Bersaksi dalam Kebersamaan


Berangkat dari refleksi Prof. Joas Adiprasetya

Diakonia : Gereja yang Menyelesaikan

Anda mungkin juga menyukai