Anda di halaman 1dari 3

GEREJA DAN LINGKUNGAN HIDUP

PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri, pemanfaatan sumber daya alam dan eksploitasi yang berlebihan telah
terus memaksa alam mengalami bencana ekologis. Bencana ekologis merupakan fenomena
alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami ganguan atas
beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara manusia, makluk hidup dan kondisi alam.
Bencana ekologis sering terjadi akibat akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh
ketidakadilan dan gagalnya tata kelola alam yang mengakibatkan kolapsnya tata kehidupan
manusia. Beberapa contoh bencana ekologis, seperti perubahan iklim, banjir bandang, limbah,
banjir, musim kemarau, dll.

Dewasa ini bencana ekologis seperti banjir bandang, badai panas, pencemaran air, tanah, dan
udara, kekeringan, dll., sudah semakin mengkhawtirkan dibandingkan dengan bencana
geologis seperti gempa bumi, gunung meletus dan tsunami. Hal ini didasarakan pada data
BNPB untuk tahun 2002-2009.1 Bencana ekologis (atau dalam bahasa sehari-hari sering
disebut dengan kerusakan lingkungan2) ini bukan hanya sekadar wacana global saja, tetapi
telah menjadi realitas hidup kita saat ini. Kita hidup ditengah-tengah bumi yang memanas.

Jika dicari akar permasalahnya, bencana ini terkait erat dengan pola prilaku, konsumsi dan
gaya hidup yang tidak ramah lingkungan. Tentunya ada juga faktor kebijakan dan lemahnya
penegakan hukum atas oknum perusak lingkungan, serta eksploitasi alam yang berlebihan.
Mengenai hal ini para pelaku bisnis dan pengambil kebijakan selalu dianggap menjadi aktor
utama penyebab bencana ekologis. Namun, secara langsung atau tidak setiap orang (termasuk
warga gereja) sebenarnya telah ikut menjadi aktor perusak lingkungan. Oleh karena bencana ini
merupakan ulah manusia, maka manusia memiliki tanggung jawab bersama untuk
menghentikan dan memastikan bahwa bumi sumber kehidupan tetap ada dan tidak hancur.

Sebagai pihak yang diberikan mandat untuk menjaga dan memelihara bumi dengan segala
isinya, maka orang Kristen seharusnya berperan dalam menekan laju krisis ekologis dimulai
dari rumah dan lingkungan dimana gereja berada.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah yang menjadi dasar teologis kekristenan
untuk melaksanakan tanggung jawabnya ini? Bagaimanakah gereja dapat terlibat langsung di
dalam menjaga keutuhan ciptaan? Tindakan-tindakan nyata apa sajakah yang gereja dapat
lakukan untuk merespon kerusakan lingkungan?

1.2 Pemahaman Teologi

Di dalam literatur-literatur “teologi lingkungan” atau eko-teologi sebenarnya telah banyak


disinggung apa yang menjadi dasar teologis gereja di dalam melakukan tugas dan tangung
jawabnya menjaga keutuhan ciptaan. Bahkan beberapa kali sidang raya yang membahas
secara khusus mengenai tema keadilan dan keutuhan ciptaan. Namun mengapa gereja-gereja
di Indonesia belum sepenuhnya menyadari, merespon, dan melaksanakan secara-secara
sungguh-sungguh apa yang menjadi tugas panggilannya tersebut? Tidaklah mudah untuk
dijawab. Bagian ini akan sedikit mengulas apa yang menjadi dasar teologis tugas dan tanggung
jawab gereja di dalam menjaga keutuhan ciptaan.

Lynn White seorang spesialis di bidang teknologi pada 1970 -an mengatakan bahwa akar dari
krisis ekologis adalah pemahaman orang Kristen mengenai tugas “menguasai” dalam Kejadian
1-2 yang ditafsirkan menjadi penguasaan/pengeksploitasian. Beberapa ahli meragukan tesis ini
sebab sebenarnya penafsiran yang antroposentris terhadap teks tersebut telah berjalan
sebelum permulaan krisis ekologis (Drummond 1999, 20). Akan tetapi harus diakui bahwa kritik
Lynn ini perlu menjadi pertimbangan para penafsir teks Alkitab di dalam membangun teologi
berperspektif ekologis.

1.2.1 Dosa Manusia dalam Kerusakan Lingkungan

Harus diakui bahwa sebagian besar manusia turut beperan dalam perusakan lingkungan.
Kepercayaan yang diberikan Allah kepada manusia untuk mengusahakan dan memelihara alam
ciptaan, dilaksanakan secara lalim untuk memenuhi kerakusan dan keserakahan manusia.
Kerakusan dan keserakahan itu bersumber dari dosa. Oleh karena itu menurut Stott, akar
kerusakan lingkungan terletak juga dalam kerakusan manusia dan kesombongannya yang
nyata dari penyalahgunaan kekuasaannya (Borrong 1999, 246). Akibatnya manusia tidak lagi
mampu menguasai alam dalam arti menggunakan dan memanfaatkannya secara benar tetapi
telah menjelma menjadi pengusaan yang mengeksploitasi bagi kepentingan keserakahan
pribadinya.

Selain itu, menurut Haskar masalah utama kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh
manusia yang terlibat dalam proses pengelolaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan lingkungan belum mengalami rekonsiliasi dengan Allah setelah jatuh ke dalam dosa.
Karena “upah dosa adalah maut” (Roma 6: 23), maka kerusakan lingkungan dan pemanasan
global adalah buah yang pantas untuk dituai manusia bila pengelolaan lingkungan diserahkan
kepada manusia yang belum berdamai dengan Allah dan tidak mengetahui maksud penciptaan
Allah (Haskar 2011, 145).

Dari perspektif Kristen perlakuan destruktif-eksploitatif manusia terhadap lingkungan bersumber


dari kegagalan manusia memenuhi tugas panggilannya karena manusia jatuh ke dalam dosa,
yaitu memberontak melawan Allah yang didorong oleh ambisi dan kerakusannya akan kuasa
dan kemewahan. Dengan sikap yang sama, umat manusia sepanjang sejarah memperlakukan
alam untuk tujuan memenuhi tuntutan ambisi dan keserakahannya. Dengan demikian,
‘kerusakan alam bersumber dari kerusakan manusia’. Pencemaran terhadap lingkungan hidup
berakar dalam kecemaran hati manusia. Polusi terhadap alam berakar dalam polusi moral dan
spiritual pada diri manusia, yaitu pemberontakan terhadap Allah. Pemberontakan, keserakahan
dan kesombongan itulah dosa manusia. Dosa itu yang telah menyebabkan pencemaran, polusi
moral dan spiritual yang disebut sebagai kerusakan hati manusia atau kerusakan imago dei
(Borrong 1999, 247).

Kerusakan Lingkungan (pencemaran limbah dan kekeringan)

Pencemaran terhadap lingkungan seperti pencemaran limbah yang dibuang secara


sembarangan memang tidak secara langsung menunjukkan sikap sombong dan serakah dari
manusia. Pencemaran limbah lebih cenderung menggambarkan sikap tidak peduli manusia
terhadap lingkungannya. Namun, harus diakui bahwa sikap tidak peduli atau acuh tak acuh
terhadap kebersihan dan keharmonisan lingkungan menunjukkan tiadanya muatan moral dalam
hubungan manusia dengan lingkungannya. Hal itu berakar dalam prasangka manusia bahwa
alam atau lingkungan merupakan obyek yang dapat diperlakukan manusi sekehendak hatinya
(Borrong 199, 248).

1.2.2 Peran Gereja dalam Menggumuli Kerusakan Lingkungan

Gereja selaku persekutuan orang percaya tidak hanya bertanggung- jawab untuk mewujudkan
persekutuan di antara sesama gereja dan sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan dan
sesama ciptaan. Konsep kesatuan atau keesaan gereja yang disebut “oikumenis” yang
menunjuk pada hubungan antar denominasi gereja berasal dari akar kata Yunani oikos, yang
sebenarnya berarti juga dunia yang didiami. Dalam konteks globalisasi kerusakan ekologis,
gereja perlu memahami kembali makna kesatuannya dengan seluruh ciptaan. Menurut Ted
Petter, sebagaimana dikutip Borrong, tujuan oikumene tidak bisa lagi terbatas pada usaha
penyatuan denominasi gereja atau menciptakan hubungan yang harmonis di antara orang
Kristen, tetapi harus menjangkau wawasan yang lebih luas sesuai dengan arti dan makna yang
terkandung dalam kata “oikumene”, yakni usaha bersama untuk menjadikan dunia yang kita
diami layak untuk didiami (Borrong 1999, 255-256). Hal inilah yang menjadi dasar kemutlakan
gereja berpartisipasi aktif dalam usaha pemeliharaan lingkungan hidup baik dalam rangka
memahami hakikatnya maupun melaksanakan misinya.

Etimologi gereja di dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dari kata Yunani ekklesia yang berarti
“orang-orang terpanggil”, yang mengandung makna bahwa gereja berada oleh karena ia
mengemban tugas. Ia dipanggil untuk melanjutkan misi pendamaian Allah mewujudkan tanda-
tanda kerajaan Allah yaitu shalom di bumi. Gereja tidak dapat mengingkari atau menolak tugas
panggilannya untuk ikut serta secara aktif dalam memelihara lingkungan alam sebagai
pengejawantahan imannya kepada Allah sang pencipta dan penebus.

Lebih lanjut menurut Ted Petter yang menjadi pusat perhatian gereja adalah kerajaan Allah,
dan cara menujukkan perhatian tersebut ialah melalui pelaksanaan tugas apostolik gereja yaitu
pendamaian dan rekonsiliasi (Borrong 1999, 256). Rekonsiliasi atau pendamaian yang
dimaksudkan sebagai misi tunggal gereja (yang juga misi Allah dan misi Kristus) bukan hanya
rekonsiliasi di antara umat manusia, tetapi mencakup seluruh ciptaan. Pengorbanan Kristus di
kayu salib adalah untuk memerdamaikan segala sesuatu dengan Allah. Masa depan
pendamaian itu adalah kepenuhan kerajaan Allah yang digambarkan sebagai terwujudnya
langit biru dan bumi baru (ciptaan baru) yang sudah dimulai dalam Kristus sendiri (2 Kor. 5:7).
Ini berarti bahwa gereja, selaku orang-orang yang telah menerima pembaruan di dalam Kristus
atau sebagai imitatio christi terpanggil untuk mengusahakan pendamaian itu di antara seluruh
ciptaan.

Anda mungkin juga menyukai