BAB. I.
PENGERTIAN MISIOLOGI
Misi Allah (Misio Dei). Arie de Kuiper mengatakan dalam buku “Misiologia” bahwa:
Karena hubungan/ keterkaitannya sangat erat maka dalam bahan ajar ini
dipaparkan pemahan dengan konsep keterkaitan satu sama lain sebagai satu kesatuan
pemahaman yakni Misi berasal dari Allah (Misio Dei) dan dilaksanakan oleh Allah lewat
bangsa Israel, para nabi, Tuhan Yesus Kristus dan Gereja Tuhan yang nota bene
menjalankan pekabaran Injil. Karena itu, dalam bahan ajar ini akan dipaparkan tentang
hal-hal yang disesuaikan dengan kebutuhan pemahaman tentang misi.
Allah mempunyai misi (Misio Dei) untuk memahami gereja sebagai agen misi
secara etimologi dari bahasa :Latin “Misio” sama dengan “pengutusan”; Arie de
Kuyper menulis :
Protestan pada umumnya memakai kata “Zending”. Dalam bahasa Inggris dalam
bentuk Tunggal “Mision” berarti karya Allah (God’s Mision) atau tugas yang
diberikan Tuhan kepada kita (Our Mision), sedangkan bentuk jamak menandakan
kenyataan praktis atau pelaksanaan pekerjaan itu untuk Foreign Mision
(Lembaga PI di luar negeri); Histori of mision (Sejarah PI).2
Maka dapatlah dimegerti bahwa pemilihan Israel, pengutusan para nabi,
pengutusan Kristus ke dunia, pengutusan para rasul dan pekabaran Injil kepada
bangsa-bangsa melalui gereja Tuhan dapatlah dikatakan sebagai “Misio Ecclesae”
(Pengutusan gereja = pekerjaan misioner dari jemaat Kristen sepanjang sejarah
dunia.”3
Jadi Misi adalah keseluruhan karya Allah atas dunia dalam pengutusanNya
yang diwujudkan dalam Self revelation of God yaitu penyataan diri Allah dalam
melaksanakan rencana Allah yang kekal. Misi tidak terlepas dari Allah, karena
berkaitan dengan Misio Dei. Allah adalah Allah yang hidup, Allah yang bertujuan dan
Allah yang terlibat dalam sejarah dunia, Allah yang ada sekarang di sini, Allah adalah
Allah yang sekarang sedang mengerjakan rencana-Nya dan Dia adalah Allah yang
tidak berdiam diri di tempat, Ia adalah Allah Misi.
2
Ibid
3
Ibid
3
Dengan kata lain Allah adalah Pengutus Agung. Dulu istilah Misiologi
terutama dipakai oleh para ahli teologi Roma Katholik, tetapi akhirnya diterima oleh
teolog-teolog Protestan. Istilah Misiologi merangkum Misiologi alkitabiah Misiologi
alkitabiah, Misiologi sejarah, Misiologi sistimatik dan Misiologi praktis-metodis.
Tidak dapat disangkali lagi bahwa ini merupakan satu pengertian yang baik.
Kata Misi yang dipakai di sini merujuk pada keseluruhan tugas/misi alkitabiah
dari gereja Yesus Kristus. Mission merupakan istilah yang komprehensif, Kata Misi
yang dipakai di sini merujuk pada keseluruhan tugas/misi alkitabiah dari gereja Yesus
Kristus. Mission merupakan istilah yang komprehensif.
Jadi Misiologi adalah ilmu Pekabaran Injil yang mempunyai sangkut pautnya
dengan semua ilmu teologia (Arie de Kuiper). Bertitik tolak dari ini, maka jelas
bahwa misiologi mempunyai dasar adalah Alkitab (Keluaran 19:5-6). Teminologi
misi dan gereja dalam bahan ajar ini selaras dengan pemahaman Widi Artanto
berdasarkaan pemaparan David J. Bosch dalam Transformasi Misi Kristen:
“misi lebih luas dari penginjilan. Penginjilan adalah misi, tetapi misi tidak
hanya penginjilan. Misis adalah tugas total dari Allah yang mngutus gereja demi
keselamatan dunia. Gereja diututs kedalam dunia untuk mengasihi, melayani,
mengajar, menyembuhkan dan membebaskan. Penginjilan tidak dapat disamakan
dengan misi karena ia merupakan bagian integral dari misi sehingga tidak dapat
diisolasi menjadi aktivitas yang terpisah”.4
4
Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner. (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung
Mulia, 1997)., 33
5
D.W. Ellis. Metode Penginjilan. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, .....).,......
4
BAB. II.
MISI DALAM ALKITAB
Landasan misi bukanlah ayat per ayat tetapi Alkitab secara keseluruhan, karena
misi adalah Allah itu sendiri dan missions adalah mereka yang mengkomunikasikan Injil
dengan tujuan tidak sekedar orang-orang mendengarkan Injil, tetapi untuk
mendirikan/membangun/menghadirkan Kerajaan Allah sehingga terjadi transformasi yaitu
orang menerima Yesus Kristus. Alkitab adalah dasar misi atau titik tolak pengutusan
(missions).
Misi tidak pernah terlepas dari Alkitab karena seluruh isi Alkitab menjiwai misi
dan tema sentral Alkitab adalah Misi Allah jadi dapatlah dikatakan bahwa: ”Tidak ada
Misi Allah maka tidak ada Alkitab demikian sebaliknya ”Tidak ada Alkitab maka Misi
Allah tidak dapat dimengerti”.
Alkitab merupakan satu-satunya ukururan yang memberitakan pernyataan Allah
kepada manusia dan Alkitab mempunyai tiga dimensi wibawa Allah: 1). Inspirasi Ilahi (II
Tim./ 3:16), 2). Innerensy – tidak mempunyai error – kesalahan dan 3). Infallibility –
sudah lengkap utuh.
Alkitab terdiri dari 39 kitab PL dan 27 kitab PB, mempunyai kesatuan yang unik,
karena memiliki konsep-konsep utama yang konstant (kesatuan yang terus menerus tetap
dan mempunyai nilai tetap)6 tentang dasar teologi, tujuan dan berita yang disampaikan.
Oleh karenanya mempelajari tentang misi dalam Alkitab tidaklah cukup hanya
mempelajari PB saja, tetapi harus dimulai dari PL. Berikut ini akan dibahas landasan
teologis-alkitab tentang misi:
1. Allah adalah Allah yang universal, artinya Ia bukanlah Allah untuk satu bangsa saja
melainkan Allah semua bangsa (Mazmur 47:8, 9).
2. Allah dalam kasihNya menciptakan dunia dan manusia untuk memuliakan Allah dan
karena itu Ia menciptakan segala sesuatunya baik (Mazmur 19:1, 2; Kejadian 1:31).
3. Dosa adalah penyebab segala sesuatu yang jahat dan pemisah antara Allah dan
manusia (Kejadian 3:24; Roma 3:23).
4. Allah dalam kasih dan anugrah-Nya menghendaki agar manusia yang telah jatuh
dalam dosa diselamatkan (Yohanes 3:16).
6
Indonesian Dictionary…..
6
5. Ia memilih bangsa tertentu dan orang tertentu dalam jaman PL untuk menjadi saksi
tentang Allah, dan akhirnya Kristus untuk melaksanakan misi penyelamatan-Nya
kepada manusia dan dunia (Kejadian 12:1-3).
6. Allah melibatkan gereja-Nya dalam misi penyelamatan-Nya dengan menugaskannya
untuk mengabarkan berita keselamatan dalam Yesus kepada segala bangsa (Markus
16:15; Matius 28:19; Matius 24:14).
Misi berarti menyebarkan kabar baik bahwa Yesus Kristus telah mati untuk dosa-
dosa kita dan telah dibangkitkan dari kematian menurut kitab suci, dan bahwa sebagai
Tuhan yang memerintah, Ia menawarkan pengampunan atas dosa dan Roh Kudus yang
membebaskan kepada semua yang bertobat dan percaya.7 Hal ini meliputi keseluruhan
kehidupan ciptaan Allah.
Misi dalam PL ini dapat dilihat secara ringkas sebagai berikut: Misi Dalam
Penciptaan Misi Allah dalam penciptaan adalah universal terhadap ciptaanNya dan
Allah sendiri menghubungkan dirinya dengan dunia secara universal. Allah yang
menciptakan dunia dan isinya serta manusia menjadi puncak ciptaanNya. Kepada
manusia Allah memberikan mandat budaya yaitu untuk berkembang dan
menaklukan dunia (Kej. 1:26). Hal ini menunjukan bahwa Allah dari mulanya
berurusan dengan manusia dalam arti universal yaitu manusia dari segala bangsa dan
bukan particular (Icvbnm,./srael saja). Misi Dalam Protoevangelium Rencana
misi penyelamatan Allah telah Ia ungkapkan segera setelah manusia jatuh ke dalam
dosa. Dalam bentuk janji yang terdapat dalam Kejadian 3:15; Menurut Y.Y.
Tomatala, Kej. 3:15 mengandung arti:
7
Jeni Isak Lele, Tesis: LITURGI DALAM MISI DI GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor)
JEMAAT LAHAIROI TUAK SABU LASIANA BARAT “Studi Misiologi Relevansi Liturgi Dalam
Penatalayanan Gereja Masa Kini”. Sekolah Tinggi Theologi Apollos Jakarta, 2010. Hal. 11 - 12
8
Bloomendal, Pengantar Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,.......).,......
7
Misi Dalam Zaman Musa; pemilihan Allah atas Musa untuk memimpin
Israel keluar dari Mesir mempunyai dua tujuan yang rangkap yaitu:
1. Untuk memenuhi janji Allah atas Abraham untuk memberikan tanah Kanaan
kepada keturunannya
2. Proses dalam pemenuhan misi Allah untuk seluruh bangsa melalui Israel
9
Y.Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini 1.(Malang: Gandum Mas, 1995), 8.
8
Keluaran 19:4-6 adalah perjanjian Allah dengan Musa, tetapi tidak ada
hubungannya dengan soal penyelamatan atau menjadi umat Allah, karena janji
tersebut telah dibentangkan sebelumnya dalam perjanjian Abraham. Perjanjian
Abraham berbicara soal Israel menjadi umat Allah, sementara Perjanjian Musa
berbicara soal Israel menjadi suatu bangsa dan hamba Allah. Israel menjadi hamba
Allah bagi bangsa-bangsa di dunia (Yesaya 40 – 55) dengan menggunakan kata
hamba sebanyak 18 kali dan 3 kali disebut sebagai saksi-saki-Ku. Misi Dalam
Zaman Para Nabi; suara nabi juga dipandang sebagai pekerjaan misi yang sesuai
dengan maksud Allah, yang di dalamnya keselamatan dijelaskan dan
dimaklumatkan. Sepuluh nabi zaman preexilic (sebelum pembuangan), dan tiga
diantaranya mengarahkan berita kepada bangsa non Yahudi yaitu Edom dan Niniwe
(Yunus, Obaja dan Nahum). Tujuh nabi preexilic lainnya meskipun terarah kepada
Yahudi, namun mempunyai catatan keuniversalan, contoh, Zefanya 2:11; 3:8,20;
Habakuk 2:4, 14, 29; Yoel 2:20, 3:4, 6, 8-9; Amos 9:7-15, dll.
10
Sodarmo. Kamus Istilah Teologi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 76
11
Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 297.
9
Perjanjian Baru pada hakikatnya adalah sebuah kitab tentang misi. Bahkan
kitab Kisah Para Rasul merupakan catatan misionari yang otentik dari para rasul dan
gereja mula-mula dikatakan demikian karena semua tulisan kepada gereja-gereja
dibangun melalui usaha-usaha misionari yang menyatukan misi Yesus dengan misi
Gereja. Kehidupan Yesus dan kehidupan Gereja dalam Lukas dan Kisah Para Rasul
menjadi satu dalam Roh Kudus.12
12
Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner. (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1997),
41.
10
Jadi konsep misi dalam Injil Matius adalah konsep Yesus Kristus
sendiri yaitu membawa semua bangsa takluk pada kekuasaan Mesias
pemilik segala kuasa di bumi dan di sorga. Konsep ini jelas merupakan
kelangsungan dari pernyataan-pernyataan Mesianik dalam Perjanjian Lama.
mereka dengan sambutan : “Damai sejahtera bagi kamu.” Sesudah itu Tuhan
menjelaskan rencana misi kepada mereka :
1. Misi berdasarkan kitab-kitab suci : Taurat Musa, Nabi-nabi dan Mazmur.
(Lukas 24:44).
2. Inti Injil : kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus (Lukas 24:22).
3. Tujuan : pertobatan dan pengampunan.
4. Pemberitaan Injil bagi segala Bangsa (Lukas 24:47).
5. Alat yang dipakai bagi pekerjaan misi sedunia adalah murid-murid-Nya.
6. Kuasa dan kekuatan untuk melaksanakan Amanat Agung berasal dari
Roh Kudus yang sudah dijanjikan Allah Bapa (Lukas 24:49).
2.4. Misi dan Amanat Agung menurut Yohanes
Injil Yohanes mengingatkan kita, bahwa murid-murid diutus sama
seperti Bapa mengutus Anak-Nya yang Tunggal yaitu Tuhan Yesus
(Yohanes 20:21-23). Murid-murid harus mengidentifikasikan diri dengan
Kristus, karena mereka telah diperlengkapi oleh Roh Kudus“terimalah Roh
Kudus” (Yohanes 21:22).
Seringkali hal ini menjadi perdebatan : Kapan mereka diperlengkapi
dengan Roh Kudus?Sebelum Pentakosta (Yohanes 21) atau pada hari
Pentakosta ketika Yesus menghembusi mereka dengan Roh Kudus? Dia
memberikan Roh Kudus kepada mereka secara terbatas sesuai dengan cara
Perjanjian Lama, tetapi pada hari Pentakosta mereka dipenuhi dengan Roh
Kudus untuk melaksanakan misi Amanat Agung Tuhan Yesus (KPR 2).
3. Misi dan Kisah Para Rasul (Pemberitaan injil)
Injil yang diberitakan harus komunikatif dan bertumbuh sesuai teks dan
konteks. Dalam kaitan Misi dan Injil akan dibahas 1) Misi dan sifat Injil; 2) Misi
dan Keunikan Injil.
1) Misi dan Sifat Injil
Sifat injil adalah :
a. Injil Ilahi yaitu Allah sebagai sumber (Roma 1:16)
b. Misi dirancang oleh Allah dengan jelas
c. Alkitab dirancang dengan sempurna untuk misi
d. Sasaran Misi adalah manusia
e. Berpusatkan kepada Kristus
2) Misi dan Keunikan Injil
15
13
David. J Bosch, Tranformasi Misi Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999),208-209.
14
Widi Artanto. Ibid., 42.
18
Matius 16:18 Yesus berkata bahwa Ia akan medirikan jemaat-Nya. Jelas melalui
pernyataan Yesus Kristus tersebut jelas bahwa gereja belum ada sebelumnya.
Gereja baru dapat memiliki Kepala yang berfungsi setelah kebangkitan Kristus,
karenanya agak riskan jika dikatakan bahwa gereja sudah ada sebelum
rohani setelah kenaikan Kristus ke sorga (Efesus 4:7-12). Jadi dalam hal ini jelas
gereja tidak bisa disamakan dengan Israel, sehingga gereja bukan Israel baru,
Allah.
BAB. III
15
A. Naftalino, Teologi Misi, Misi di abad Posmodernisme. (Jakarta: Logos Heaven Light, 2007),
44.
19
Sejarah Misiologi belum terlalu panjang karena pada abad-abad pertama sejarah
gereja umum belum menerima misiologi sebagai satu ilmu.Walaupun misi dilakukan, baik
oleh para Rasul. Sebelum memahami tentang misi dalam sejarah gereja maka perlulah
memahami hubungan misi dan gereja sebagai pengantar.
Misi datangnya hanya dari Allah sendiri. Keyakinan ini bukan diambil
dari eklesiologi dan soteorologi melainkan dari doktrin Trinitas. Seperti Allah
mengutus Putra dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiganya mengutus
gereja ke tengah-tengah dunia.16
Selanjutnya Adolf Von Harnak yang dikutip Widi Artanto menulis:
Misi adalah tugas total dari Allah yang mengutus Gereja guna demi
keselamatan dunia, gereja diutus ke dalam dunia untuk mengasihi, mengajar,
melayani, berkhotbah, menyembuhkan dan membebaskan (Gereja membawa
kabar baik ”shalom” Allah)17
Jadi dapat dimengerti bahwa hubungan antara Misi dan Gereja terdapat
dalam dua konsep dasar yaitu: pertama: Misi merupakan panggilan gereja secara
esensi. Kedua: Implementasi misi merupakan tanggung jawab gereja. Dengan
demikian implementasi misi dijalankan oleh gereja sebagai tugas dan panggilannya
di tengah-tengah dunia.
16
Widi Artanto. Ibid., 65.
17
Ibid.
20
18
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1996)., 571.
Christiaan de Jonge, GEREJA MENCARI JAWAB – Kapita Selekta Sejarah Gereja. (Jakarta:
19
pada sikap menahan diri dan menghindari hal-hal yang berlebihan seperti emosi
(hal ini merupakan salah satu ciri dari filsafat Stoa).
Kepercayaan kepada hal-hal yang ajaibpun menjadi ciri dari gereja lama
sehingga terdapat pemahaman bahwa orang-orang yang mati syahid memperoleh
hubungan yang lebih dekat dengan daripada orang-orang lain sehingga
mempengaruhi bukan hanya para jemaat tetapi para teologpun dipengaruhi oleh
pemahaman ini. Hal ini menyebabkan tulisan-tulisan dijaman ini banyak
menceritakan tentang kisah-kisah orang yang mati syahit dan pada akhirnya
berpengaruh terhadap kepercayaan dikemudian hari yakni penghormatan kepada
orang-orang yang mati syahit.
Sikap terbuka terhadap hal-hal yang bersifat tidak alamiah mempengaruhi
pertambahan anggota gereja ditambah dengan agama Kristen dijadikan agama
rakyat oleh kekaisaran Romawi. Demikianlah orang Kristen bertambah banyak
dengan segala pengaruh yang berkembangnya berdasarkan kebudayaan yang ada
maka gereja mengambil sikap untuk melarang penyembahan kepada orang mati,
penyembahan berhala dan mengarahkan kepercayaan jaman itu kepada orang-
orang yang mati syahit, benda-benda keramat diganti dengan simbol-simbol gereja
dan hari-hari raya kekafiran diganti dengan hari raya yang dimaknai dengan
pandangan Kristen (contoh: Hari Natal/Christmas- Perayaan kelahiran Yesus
Kristus pada tanggal 25 Desember. Pesta ini berasal dari Barat, menggantikan
pesta kafir yang memuja Matahari yang tak terkalahklan.20 Natal Yesus Kristus
menjadi hari raya istimewa. Tidak ada yang tahu pasti hari kelahiran Yesus Kristus
yang sesungguhnya; Mulai abad ke-4 gereja-gereja di Barat telah menerima
tanggal 25 Desember sebagi hari kelahiran Yesus Kristus; Andar Ismail menulis:
Gereja Roma baru mulai merayakan Natal pada akhir abad ke-4, dan
tanggal yang dipilihnya adalah 25 Desember. Tanggal tersebut dipilih untuk
memberi isi yang baru kepada perayaan kafir yang menyambut kemuliaan
matahari ke bumi. Tidak lama kemudian kebiasaan perayaan atal pada 25
Desember itu diambil alih oleh gereja-gereja di tempat-tempat lain.21
Rasid Rachman menulis:Gereja mau menguasai pesta kafir itu dengan
merayakan hari kejadian (Natal=hari kelahiran) Kristus pada hari yang sama. Dan
memproklamasikan Kristus sebagai terang baru dan satu-satunya Matahari
Kebenaran. Tidak dapat dibuktikan dengan tepat tanggal 25 Desember sebagai
20
Ibid, 112.
21
Andar Ismail .Selamat Natal. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996),42.
22
hari kelahiran Yesus susah untuk ditelusuri. Tetapi Disamping itu pengambilan
tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus menggantikan perayaan kafir
”menyembah dewa matahari” merupakan suatu usaha kontekstulaisasi untuk
mengkristenkan hari raya saturnalia dalam kehidupan orang Romawi dan
mengambil alih pesta Mithrais (Natalis Invicti) dalam nama orang Romawi Purba
melahirkan Kelahiran matahari dan berakhirnya musim dingin. Sebutan lain unutk
merayakan musim dingin dikalangan orang Romawi adalah Sol Invictus atau
”perayaan untuk matahari yang tak terkalahkan”. 22 Jadi perayaan Natal adalah
suatu usaha kontekstualisasi paradigma dari makna budaya diadopsi menjadi
makna rohani dalam pengertian Kristuslah Sang Matahari kehidupan yang lahir
dan tak terkalahkan dalam karya-Nya.).
Masa ini merupakan tantangan untuk dipikirkan tentang struktur misi yang
terlalu pragmatis, kecendrungan untuk memandang misi secara eksklusif dalam
kategori verbal dan tidak adanya spiritualitas misi dalam Gereja. Semua itu secara
drastis memerosotkan usaha-usaha yang patut dihargai dalam masalah-masalah
keadilan sosial. Namun sebaliknya, unsur lain dari pemahaman misi ortodoks perlu
dipertimbangkan misalnya: peran gereja sebagai stabilisator dan peran mistis
22
A.F. Parengkuan, “Ibadah Gereja Protestan Di Indonesia” (Penyunting) Tom Therik dan Lintje
Pellu dalam Ibadah, Liturgi Dan Kontekstualisasi. (Kupang: Artha Wacana Press, 2000).47.
23
Widi Artanto, Menjadi Gereja Yang Misioner., 43.
23
1. Pergeseran Rasionalitas
dan ritual dipakai bukan hanya menyentuh rasio manusia tetapi juga hati.
Dalam masa pencerahan manusia dan dunia dilihat secara keliru, di mana bumi
dilihat sebagai objek yang perlu dikuasai dan dieksploitasi karena memberi
keuntungan. Manusia harus melihat bumi sebagai ibu dan sebagai saudara
kakak beradik untuk umat manusia yang lain. Teknologi dilihat dalam rangka
manusia tidak dapat melanjutkan kehidupannya sebab tanpa tujuan, arti hidup
dan harapan. Orang sekarang berpikir tentang masa yang akan datang yang
dapat berubah. Manusia harus memiliki gairah hidup untuk menjangkau dunia
yang miskin dan kaya tidak terbukti dalam kemajuan yang menurut
Perbedaan antara fakta dan nilai dalam masa pencerahan sangat nyata
hilang.Misi yang nyata bagi manusia adalah agar ilmu pengetahuan menjadi
alat yang benar. Sehingga tugas agama adalah melindungi manusia dai tipu
Keyakinan akan masalah dapat terseesaikan adalah prinsip yang dianut pada
era pencerahan. Tetapi dunia pada realitasnya terjadi kejahatan dan keburukan
dalam kehidupan manusia dan struktur sosial. Manusia mencari arti hidup,
surgawi tetapi nyata didalam pengharapan masa yang akan datang yang
memberi sinar pada dunia yang suram untuk memberi arti hidup di dunia ini.
Dalam era modernisme manusia bersifat pribadi dan bebas, sehingga apapun
yang dipikirkan selagi tidak merugikan diri sendiri akan dilakukan terhadap
orang lain dan seluruh ciptaan. Tidak ada saling bergantungan namun sekarang
Pada tahun 1792 William Carey menulis sebuah buku yang berjudul ‘An
Inquiry into the Obligation of Christians to use Means for the Conversation of
be Heathens’.Dengan buku ini William Carey menjdai Bapak Misi modern. Selain
itu ada Aleksander Duff diEdinburgh tahun 1867 dan seorang Roma Katholik Josef
Schmitlin dari Muenster tahun 1910yang menulis buku Misiologi.
Selain ilmu PI yang pertama bisa dikatakan adalah karangan Gustav
Warneck Evangelische Missionslehre. Karangan ini mempengaruhi
perkembangan Misiologi sebagai ilmu dikemudian hari, memperlihatkan ciri-ciri
30
Th. Ohm, Machet zu Juengern alle Voelker (Theorie der Mission), Freiburg,
i.B. 1962 (band. Kuiper,13-14)
Selain itu laporan-laporan dan konferensi-konferensi besar di bidang misi,
pertemuanpertemuanMissionary International Counsel ini sangat penting, sesuai
dengan konferensiyang diadakan di Edinburgh tahun 1910 dstnya.
1. Masa Portugis
Pada waktu orang Portugis tiba di Nusantara, penduduk daerah pesisir
Sumatera dan Jawa sudah masuk Islam. Lagipula dari sudut pandang politik,
masyarakat tersebut relatif kompak; terbukti dengan terbentuknya kerajaan-
kerajaan yang kuat dengan wilayah yang relatif besar, seperti Aceh, Johor,
Banten, dan Demak. “Misi tidak berhasil mendapat tempat berpijak di daerah-
daerah tersebut.”29
26
Zakaria Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme. 13.
27
Th. Van den End, Harta dalam Bejana. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), 207.
28
Ibid, 212.
29
Van den End (editor), Kegiatan Misi di Indonesia dalam Sejarah Gereja Protestan di Indonesia.
11.
32
dagang ini maupun para personelnya tidak banyak berminat kepada tugas itu;
minatnya lebih banyak kepada perolehan keuntungan material lewat penguasan
dan monopoli perdagangan hasil bumi dan komoditas lainnya.
“VOC adalah sebuah kongsi besar yang dibentuk oleh pedagang Belanda
pada tahun 1602. VOC mempunyai tujuan lain dari gereja.” 32 Karena itu tidak
heran bila jumlah orang Kristen pada periode ini tidak berkembang, bahkan
merosot, dibandingkan dengan jumlah orang Kristen Katolik pada masa Portugis
- Spanyol abad ke-16. “Jemaat-jemaat Kristen juga hanya ada di beberapa kota
pelabuhan antara lain Batavia, Semarang, Surabaya, Padang, Makassar, Ambon,
dan Ternate, yang secara organisatoris diurus oleh sebuah majelis/pengurus
gereja yang berkedudukan di Batavia, yang pemimpin tertingginya adalah pejabat
VOC.”33
Karena jemaat-jemaat pada zaman VOC pada umumnya adalah “jemaat
benteng”, yakni berada di lingkungan benteng-benteng VOC, hubungan jemaat
benteng (baik yang Belanda maupun pribumi dan orang-orang Timur-asing: Cina
dan India) dengan masyarakat beragama lain, terutama Islam, sangatlah terbatas.
Lagi pula para pejabat VOC dan para pendeta yang dipekerjakan oleh VOC pada
umumnya menganut pemahaman yang negatif tentang Islam.34
Salah satu kasus yang memperlihatkan sikap negatif terhadap Islam itu
adalah pembantaian terhadap penduduk beragama Islam di pulau Banda pada
tanggal 8-11 Maret 1621, karena penduduk yang beragama Islam tidak mau
tunduk pada klaim hak monopoli perdagangan cengkeh. Domine Hulsebos,
pendeta VOC pada masa itu, menyebut dan merayakan pembantaian itu sebagai
“suatu penaklukan yang diberkati oleh Tuhan, yang patut disyukuri dan
mengucapkan pujian yang tak terhingga kepada Allah” 35. Sebenarnya tindakan itu
tidak didasarkan pada pertimbangan agama, yaitu menindas orang Islam dalam
rangka memajukan kekristenan.
Mengenai perkembangan kekristenan pada periode 1522-1799, Van den
End berkata:
32
Th. Van den End, Harta dalam Bejana, 222.
33
Th. Van den End, Ragi Carita 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 136.
34
K. Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia (1596 – 1942)
(terj.). (Bandung: Mizan, 1995), hlm 3.
35
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta: BPK G. Mulia,
2006), hlm 61.
34
36
Th. Van Den End, Ragi Carita 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 135.
37
Harta dalamBejana. (Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1997), 247.
38
Th. Van Den End, Harta dalam Bejana. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), 274.
39
Kekristenan dan Nasionalise, 17
40
Ibid.
41
Ibid, 18.
35
Tanah Papua (GKI Papua), Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP), Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Methodist
Indonesia (GMI), Gereja Kristen Muria Indonesia, (GKMI), dan Gereja Kristen
Protestan Bali (GKPB)42. Gereja-gereja ini kelak (sejak 1950) bergabung dalam
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, sejak 1984 menjadi Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia/PGI).
Lembaga-lembaga penginjilan dari Barat itu tidak hanya berupaya
mempertobatkan orang-orang beragama suku dan beragama lain menjadi Kristen,
dalam rangka menambah juga bergiat di berbagai bidang pelayanan sosial-
kemanusiaan. Bidang-bidang ini bisa saja dilihat sebagai bidang penunjang
(hulpdienst) terhadap bidang utama (hoofddienst) yaitu penginjilan dalam rangka
pengkristenan. Tetapi gereja-gereja dan lembaga-lembaga pelayanan yang
didirikannya tidak memaksa orang-orang yang dilayani untuk menjadi Kristen.
Karena lembaga-lembaga penginjilan dan gereja-gereja yang dibentuknya
itu banyak berkiprah di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pertukangan.
Banyak orang Kristen doyan menjadi birokrat, dan pegawai/pejabat pemerintah
dari kalangan pribumi sebagian besar adalah orang Kristen. Di kalangan non-
Kristen, terutama Islam, hal ini menimbulkan kemarahan. Abdul Muis, salah
seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yang duduk di dalam Volksraad (Dewan
Rakyat) pada tahun 1920-an mengajukan keberatan terhadap pemerintah Hindia
Belanda, karena menurut pengamatannya pemerintah memberikan sangat banyak
subsidi kepada badan-badan zending bagi usaha badan-badan zending di bidang
pendidikan dan kesehatan, “sedangkan dana subsidi itu sebagian besar berasal
dari belasting (pajak) yang dibayar oleh warga masyarakat beragama Islam. 43
Protes yang sama juga dilakukan M. Natsir.”44
Baik pemerintah Hindia Belanda maupun kalangan zending dan gereja
Kristen bisa saja berargumen bahwa subsidi itu bersifat simbiosis mutualistis: di
satu sisi beban kerja pemerintah diringankan dan biaya penyelenggaraan
pendidikan dan kesehatan menjadi lebih murah bila dikerjakan kalangan Kristen,
dan di sisi lain kalangan Kristen mendapat peluang meluaskan pelayanannya
kepada masyarakat, termasuk yang bukan Kristen.
42
Ibid, 267
43
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,, 156.
44
Harta dalam Bejana, 284.
36
45
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 87.
46
Ibid, 87.
37
kian saling mengenal dan menyadari nasib yang sama. Karena itulah wadah ini
menjadi salah satu cikal-bakal wadah oikumenis (kesatuan gereja) yang setelah
kemerdekaan Indonesia lebih dikembangkan.
Peranan orang Kristen yang tak kurang pentingnya pada zaman Jepang
adalah dalam proses perumusan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar antara
lain Johannes Latuharhary, yang kelak menjadi gubernur Maluku yang pertama
berjuang dengan sangat gigih bersama kaum nasionalis-sekuler agar dasar negara
Indonesia bukan agama atau hukum Islam.
Karena orang Kristen terbukti ikut berjuang melawan penjajah dan
mempertahankan Repubik Indonesia (RI) dari niat Belanda dan sekutunya untuk
kembali menjajah Indonesia, maka di sepanjang masa Revolusi Fisik (1945-1949)
hubungan umat Kristen dengan umat beragama lain, khususnya Islam, relatif
cukup baik. Kalangan Kristen juga ikut menduduki jabatan-jabatan penting di
dalam pemerintahan. Tak sedikit yang diangkat menjadi menteri di dalam
kabinet-kabinet yang cukup sering jatuh-bangun di masa itu. Bahkan Amir
Sjarifuddin dua kali menjabat Perdana Menteri. Pada masa itu juga dibentuk
sebuah partai politik bagi kalangan Kristen yaitu Partai Kristen Nasional (PKN).
Gereja-gereja menjalin hubungan baik dengan partai ini, dan sebagian cukup
besar umat Kristen menyalurkan aspirasi politik melalui partai ini.
5. Masa Orde Lama (1950-1965)
Salah satu perkembangan penting di kalangan Kristen pada awal periode
Orde Lama ini adalah pembentukan Dewan Gereja Indonesia, 25 Mei 1950 oleh
22 organisasi gereja. Tujuan utama pembentukan wadah oikumenis ini
sebagaimana dikemukakan pada Anggaran Dasarnya adalah “pembentukan
Gereja Kristen yang Esa di Indonesia”. Rumusan ini merupakan rumusan
teologis, mengacu pada cita-cita keesaan Gereja yang sudah tercantum dalam doa
Yesus Kristus di taman Getsemani sebelum kematian-Nya (Yohanes 17:21). Di
sisi lain rumusan ini mengandung muatan politis, yakni mendukung cita-cita
kesatuan negara dan bangsa Indonesia dalam wujud Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Pada periode ini jumlah organisasi gereja Protestan di Indonesia
bertambah dengan cukup pesat. Hingga 1950 baru ada sekitar 40-an (20-an di
antaranya bergabung dalam Dewan Gereja Indonesia, dan dapat disebut sebagai
gereja-gereja arus utama dan merupakan gereja-gereja terbesar dalam hal jumlah
38
anggota, dari Sumatera Utara hingga Maluku, menyusul Irian Barat/Papua pada
tahun 1956). Tetapi pada akhir periode ini sudah menjadi sekitar 1980-an,
termasuk gereja-gereja Pentakostal (penginjilnya sudah hadir sejak 1920-an,
tetapi organisasinya baru sejak 1930-an), gereja-gereja Baptis (hadir dalam wujud
badan/kegiatan misi sejak awal abad ke-19, tetapi baru terbentuk sebagai
organisasi gereja sejak 1950-an), dan gereja-gereja Injili (sebagai badan/kegiatan
misi sejak 1950-an, sebagai organisasi gereja sejak akhir 1960-an).
Di bidang politik, peranan kalangan Protestan cukup menonjol. Di dalam
sekian banyak kabinet yang terbentuk dan jatuh bangun di sepanjang periode ini,
tidak pernah tidak ada wakil dari kalangan Protestan, baik dari Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) maupun dari kalangan nasionalis sekuler. Salah satu tokoh
yang cukup menonjol adalah dr. Johannes Leimena, yang menjadi Wakil Perdana
Menteri II (bahkan beberapa kali menjadi Presiden ad interim ketika Soekarno
mengadakan perjalanan ke luar negeri). Soekarno sendiri terkenal dekat dengan
kalangan Kristen, karena pengalaman dan pergaulannya pada masa penjajahan
hingga pada waktu ia menjadi Presiden. Cukup sering Soekarno menghadiri
upacara atau peristiwa penting di kalangan Kristen, antara lain dalam Sidang
Lengkap Dewan Gereja Indonesia (DGI) tahun 1956 dan 1964, sidang
pembentukan East Asia Christian Conference (EACC) 1957, dan Yubileum 100
Tahun HKBP 1961.
Ketika Soekarno sejak awal 1960-an banyak berbicara tentang “Revolusi
Kita”, TB. Simatupang yang sejak 1959 mulai melibatkan diri dalam kegiatan
gereja pada lingkup nasional (DGI) dan internasional (East Asia Christian
Counsil/ EACC dan World Christian Counsil/WCC) menerapkan gagasan itu ke
dalam lingkungan gereja. Karena itu tidak heran bila pada akhir masa Orde Lama
ini kalangan Kristen di Indonesia, termasuk Dewan Gereja Indonesia, banyak
juga menyerukan revolusi. Bahkan atas nama revolusi orang Kristen juga ikut-
ikutan menyerukan “ganyang Malaysia”.
6. Masa Orde Baru/Orba (1966-1998).
“Masa Orde Baru (1966-1982) dalam arti tertentu dapat disebut sebagai
‘masa keemasan’ kekristenan di Indonesia.”47 Pertambahan jumlah orang Kristen
secara signifikan. Setelah kegagalan Gerakan Tiga puluh September/Partai
47
Jan S. Aritonang, Disampaikan pada acara “Studi Agama-agama – Belajar Bersama Kelompok
Antar-Iman”, di Manado, 19- 22 November 2007.
39
dari luar negeri (baik tenaga maupun dana) untuk urusan penyiaran agama yaitu
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no
1/1969 serta SK Menteri Agama no. 70 dan 77/1978. Semua itu bukan membuat
hubungan di antara umat beragama khususnya Kristen dan Islam menjadi lebih
baik, melainkan sebaliknya.
Sebenarnya, kira-kira bersamaan dengan semakin tingginya tingkat
ketegangan hubungan di antara penganut kedua agama ini, sudah dimulai juga
rangkaian musyawarah atau dialog antar umat beragama, baik di luar maupun di
dalam negeri. Kegiatan ini semakin banyak diadakan bersamaan dengan semakin
berkembangnya wacana dan wawasan pluralisme. Di sepanjang masa Orde Baru,
dan berlanjut hingga Era Reformasi sekarang ini, tak terbilang banyaknya
kegiatan yang bersifat antar-agama/interfaith (dengan berbagai istilah), baik
berupa musyawarah atau dialog maupun studi yang lebih serius dan mendalam
dan berlangsung dalam jangka waktu lebih lama. Seiring dengan itu dibentuk
juga berbagai forum ataupun organisasi lintas-agama, antara lain DIAN (Dialog
Antar Iman di Indonesia)/ Interfidei (Institute for Inter-Faith Dialogue in
Indonesia).
Semakin sulitnya mendapat izin membangun rumah ibadah membuat
orang Kristen menggunakan gedung-gedung pertemuan umum (termasuk hotel
dan restoran) atau menyewa ruko (rumah-toko) untuk beribadah. Ketika peluang
untuk menjadi pejabat negara semakin terbatas, banyak dari kalangan Kristen
meningkatkan kiprah di sektor swasta. Karena itu, walaupun pada akhir periode
Orde Baru ini banyak orang Kristen yang mengeluh (bahkan meratap), tetapi
secara umum dan secara kuantitatif tidak terlihat penurunan yang signifikan.
BAB. IV
41
48
David J Hasselgrave. Edward Rammen, Kontekstualisasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 54
49
Eka Darmaputra, Konteks Berteologi di Indonesia (jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 11
50
Ibid.
42
51
Bruce B. Nichols, Contekstualisasi: A Theology of Gospel and Culture, (Downers Grove:
Interversity, 1975), 647.
52
George W. Peters, Issues Confronting Evangelical Missions dalamEvangelical Mission
Tomorrow, (Pasadena California: William Carey Library, 1977), 169.
43
a. Doksologis:
Penyembahan kepada Allah(Wahyu 7)
b. Soteriologis:
Keselamatan (PR 4:12)
c. Ekklesiologis:
Membangun Gereja (Efesus 4:15, dst)
d. Antagonistis:
Kemenangan atas kuasa gelap(Kol 1:13; 2:15)
Dalam sejarah Teologi Misi tujuan Misi sering tidak dijelaskan seperti di
atas. AndarLumbantobing dalam bukunya berbicara tentang tiga tujuan misi, yaitu :
unsur doxologies (pemulian), unsur soteriologis (pelepasan) dan unsur eschotologis
(achirat). Dulu selalu gereja yang mandiri dianggap sebagai tujuan terakhir usaha
misi, misalnya seperti RufusAnderson dan Herny Venn yang menentukan tujuan
misi lewat 3-self, yaitu self-govering, self-supporting dan self-proclaiming. Tetapi
hakekat misi bukan otonomi melainkan Kristonomi.
a) Penginjilan bukan suatu mekanisme untuk mempercepat kedatangan Kristus.
Walaupunvisi eskatologi menjadi dorongan dalam penginjilan, kedatangan
Kristus adalahpemenuhan Kerajaan Allah yang dikerjakan Allah sendiri.
b) Penginjilan bukan hanya proklamasi verbal walaupun dimensi ini jelas ada
dalampenginjilan dan dunia juga membutuhkan pernyataan verbal tentang nama
Yesus di tengah-tengah ketidakpastian yang melanda duia. Akan tetapi, hal itu
tidak terpisahkandari perbuatan bagai ‘kehadirang Kristen’ atau ‘Firman yang
menjadi daging.
Pada umumnya kalau kita mendengar istilah misi, kita cepat mengasosiasikan
misi denganYesus Kristus dan Amanat Agung. Sebenarnya misi pertama kali harus
dihubungkan dengan Allah sendiri.Kita hanya mengenal Allah yang menghendaki
misi. Setiap oknum Allah Tritunggal terlibat dalam memprakarsai proses misi
dengan tujuan pertama untuk memuliakan Allah yang Maha tinggi.
Roma 11: 36 “ Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia dan
kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”. Dalam proses Misi
atau penyelamatan manusia adalah persamaan dalam tindakan setiap oknum Allah
Tri tunggal yaitu masing-masing mencari manusia dan mengutus wakilNya dalam
melaksanakan Misi, karena Allah Bapa bertindak sebagai pelopor Misi, Yesus
44
Kristus (Allah Anak dan Putera) sebagai fondasi Misi dan Roh Kudus sebagai
pembina Misi.
1. Peranan Allah Bapa Dalam Misi
Misi lahir dari kasih Allah yang mencari manusia. Allah itu Kasih (I Yohanes
4:8,16), yang tidakingin tinggal sendiri, terpisah dari manusia, tetapi ingin
berkomunikasi dengan makhlukNya.
Itu sebabnya Allah sudah membuktikan kasihNya dalam mengutus
AnakNya yang Tunggaluntuk menyelamatkan manusia yang berdosa.Yohanes
3:16 “Karena begitu besar kasih Allahakan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan AnakNya yang Tunggal, supaya setiap orangyang percaya
kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Andres
Mc.Gorwan mengungkapkan ini dalam makalahanya “Misi dari Allah, Misi
dari Roh” sepertiberikutnya (Persetia : 1992 : 132) : Misi dari Allah berarti:
misi yang berasal dari dandiperintahkan-Nya, atau misi dimana Allah adalah
yang dikirim/diutus.
Chamberlain dalam buku Misi Allah dan Anda I, (h.10.no.14)
memberitahukan 9 alasan bagiAllah sebagai pelopor misi :
1. Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada.
2. Allah Bapa menciptakan segala sesuatu dalam keadaan amat baik adanya.
3. Allah Bapa menyediakan kerajaan sorga bagi manusia sejak dunia
dijadikan.
4. Allah Bapa langsung mencari hubungan dengan manusia yang baru jatuh
dalam dosa.
5. Allah Bapa langsung menolong manusia yang telah berdosa.
6. Allah Bapa langsung menjanjikan keselamatan kepada manusia yang
berdosa.
7. Allah Bapa yang adil dan suci menghukum manusia dengan jujur.
8. Allah Bapa memilih suatu bangsa supaya mereka menjadi saluran
keselamatan bagi manusia.
9. Allah Bapa mengutus AnakNya yang Tunggal sebagai juruselamat
manusia.
Keberadaan Allah yang sesugguhnya serta karakter-Nya adalah dasar
terdalam pekabaranInjil.Manusia tidak mungkin berpikir mengenai Allah,
kecuali dalam hal mensyaratkangagasan pekabaran Injil.
45
kebenaran itu sendiri. Bersamaan dengan itu, harus diakui bahwa iman Kristen
(demikian pula kontekstualisasi) tidak dapat dipisahkan dari budaya.Sebab itu
sangatlah penting bagi para misiolog dan teolog untuk mengerti bagaimana relasi
budaya dengan Kitab Suci sebelum mereka mempraktikkan kontekstualisasi dalam
pelayanan.
IV.3. Bagaimana Relasi Budaya Dan Worldview Dengan Kontekstualisasi.
Luzbetak mengakui bahwa antropologi budaya adalah sebuah ilmu
pengetahuan yang harus dikuasai oleh para misiolog (a missionary science par
excellence). Tidak ada seni atau ilmu pengetahuan yang dapat menolong seorang
misiolog untuk memahami prasangka budaya yang dimiliki oleh dirinya dan
memahami budaya orang lain secara baik selain ilmu di atas. Konteks budaya, yang
mana merupakan topik utama dari ilmu pengetahuan ini, merupakan perlengkapan
dasar yang harus dimiliki oleh seorang misiolog.
Budaya dijelaskan sebagai pengetahuan sosial dari masyarakat tertentu, di
mana orang-orang dalam masyarakat tersebut bekerja dan mengatasi segala macam
masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun, perlu diperhatikan bahwa
menurut E. T. Hall, "budaya menyembunyikan lebih banyak daripada apa yang
dinyatakannya, dan anehnya yang disembunyikan, secara paling efektif
disembunyikan dari orang yang berbagian dengan budaya tersebut". Cara lain untuk
mengatakan hal ini adalah: budaya merupakan sebuah sistem yang implisit dari
aturan pengetahuan dan perilaku. Kelihatannya ada konsensus antropologis bahwa
budaya pada dasarnya adalah ideational. Esensi dari budaya adalah ideologi atau
worldview-nya, dan bukan pola perilaku yang dapat kita amati.
Karena itu, budaya tidak dapat dipisahkan dari worldview. Menurut Kraft:
"Worldview is culturally structured assumptions, values, and commitments
underlying a people's perception of Reality." Sudut pandang dunia itu seperti
kacamata yang telah terbentuk oleh budaya, di mana melalui kacamata itu, kita
melihat segala sesuatu di sekeliling kita. Disatu pihak, budaya membentuk
worldview. Di pihak lain, worldview membangun suatu budaya.
Dalam hal ini, S. Lingenfelter sangat tidak setuju dengan para misiolog yang
melihat budaya dan worldview sebagai alat atau peta yang netral bagi
kontekstualisasi.Ia tidak setuju karena pandangan ini menyangkali akibat dosa pada
budaya dan worldview. Pada kenyataannya, budaya dan worldview telah tercemar
oleh dosa, namun hal ini tidak berarti bahwa budaya dan worldview tidak berguna
51
membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Hasil dari model neoortodoksi
adalah bahwa manusia akan mendapatkan pengertian rohani dan identitas rohani
dalam Kristus. Sebaliknya, model ortodoksi adalah akomodasi apostolik. Metode ini
berusaha membangun dasar yang sama di mana orang tidak percaya dapat diajar
kebenaran dari Injil yang bersifat suprakultural. Hasilnya adalah transformasi dari
orang-orang yang beriman kepada Kristus.
Kedua, kategori Bevans.Menurutnya, pada model antropologi budayalah
yang mengatur teologi, bukan Kitab Suci atau tradisi. Teologi kontekstual bukan
berarti menempatkan anggur lama yang sudah teruji dalam botol yang baru. Teologi
kontekstual berarti mengembangkan anggur yang sama sekali baru. Model ini tidak
melihat bahwa budaya dapat menjadi jahat atau korup. Sedangkan model
penerjemahan mengakui bahwa esensi dari kekristenan adalah suprakultural. Oleh
karena itu, meskipun budaya diakui penting dan harus diperhitungkan dengan serius,
namun pada akhirnya berita yang bersifat suprakultural itulah yang harus menjadi
acuan. Dengan kata lain, esensi kekristenan harus dipegang dengan teguh, meskipun
pada saat usaha pemeliharaan terhadap esensi kekristenan itu bertentangan dengan
budaya.
Pengertian dari model praksis sama dengan model neoliberal (lihat
penjelasan model neoliberal di atas). Ini merupakan proses yang terus-menerus
seperti sebuah siklus. Sedangkan pelaku model sintetik percaya pada kemampuan
aplikasi secara universal dari berita iman Kristen pada setiap budaya. Karakteristik
dari model ini adalah keterbukaan dalam berdialog dengan budaya yang lain. Bentuk
dialog yang dimaksudkan di sini adalah dalam pengertian Hegelian, yaitu dialektik.
Oleh karena itu, berita iman Kristen dapat ditransformasikan dan diperkaya dalam
proses dialog itu oleh banyak budaya. Pada model semiotik, Kristus diyakini dapat
ditemukan dalam nilai, simbol, dan pola perilaku dalam sebuah budaya, serta dalam
situasi dan peristiwa yang memengaruhi budaya. Oleh karena itu, praktisi model
semiotik menggunakan simbol, dan tanda serta isu-isu yang sudah dikenal oleh
orang-orang yang menjadi penerima dalam pengomunikasian Injil.Pada model
transendental, yang menjadi tekanan utamanya adalah pengalaman
pribadi.Akibatnya, model transendental bersikeras bahwa praktisi yang paling tepat
untuk melakukan teologi kontekstual adalah orang yang berpartisipasi dalam sebuah
konteks. Dengan kata lain, praktisi kontekstualisasi harus orang dari budaya itu
sendiri.
53
dua bahaya kontekstualisasi ini kontekstualisasi yang dilakukan harus tunduk pada
kewibawaan Alkitab dan juga mempelajari budaya pribumi dimana kontekstualisasi
itu dilakukan.
Kontekstualisasi harus bertitik tolak dari iman kepada penyataan Allah di
dalam Yesus Kristus. Persamaan-persamaan mungkin akan ditemukan dalam
berbagai budaya, seperti halnya ketika Rasul Paulus di Anthena, tetapi kebudayaan
tidak menyediakan titik tolak.
Apabila kita mencermati pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka
terlihat dengan jelas bahwa pandangan seseorang terhadap Kitab Suci dan budaya
sangat memengaruhi apakah dalam proses kontekstualisasi ia akan menaruh Kitab
Suci sebagai acuan terakhir atau budaya yang akan menjadi acuan terakhir. Apabila
seseorang melihat kontekstualisasi sebagai proses jual beli teologi yang sudah ada,
maka hasilnya adalah teologi yang sama dalam bahasa yang berbeda. Hal di atas
sama dengan pengertian akomodasi yang dikemukakan oleh Calvin dalam
menjelaskan penyataan Allah di Alkitab, di mana teologi yang sudah ada dilihat
sebagai sesuatu yang bersifat normatif. Teologi memang bersumber dari Alkitab,
tetapi hal itu tidak boleh menjadikan teologi memiliki otoritas yang sama dengan
Alkitab.
Alkitab harus selalu menjadi acuan bagi semua teolog dan misiolog dalam
berteologi.Termasuk pada waktu merumuskan teologi yang kontekstual atau berita
iman Kristen yang kontekstual. Di pihak lain, apabila seseorang melihat
kontekstualisasi sebagai proses merumuskan teologi yang kontekstual, maka
pertanyaannya adalah apakah Kitab Suci hanya dilihat sebagai sumber dalam
merumuskan teologi yang kontekstual. Apabila ini yang dilihat oleh pelaku
kontekstualisasi, maka hasilnya adalah teologi yang sesuai dengan konteks, di mana
konteks yang menjadi acuannya. Bukankah seharusnya Kitab Suci bukan hanya
diperlakukan sebagai sumber, melainkan juga sebagai acuan dalam proses
kontekstualisasi. Dengan cara demikian, kita akan menghasilkan teologi yang
kontekstual dan Alkitabiah.
IV.6. Suatu Refleksi Kontekstualisasi di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat-
istiadat dan agama yang komunitas sosialnya hidup tersebar dalam ribuan pulau.
Penyebaran penduduk di pulau-pulau tersebut tidak merata. Penduduk yang sangat
padat seperti di pulau Jawa, dihuni oleh 58 %, pulau Sumatra 21 %, pulau Sulawesi
55
Menurut Sensus Penduduk Biro Pusat Statistik (BPS) Agustus tahun 2010,
jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak
237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783
perempuan dan distribusi penduduk Indonesia : Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah adalah tiga provinsi dengan urutan teratas yang berpenduduk
terbanyak, yaitu masing-masing berjumlah 43.021.826 orang, 37.476.011 orang,
dan 32.380.687 orang. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah
yang terbanyak penduduknya di luar Pulau Jawa, yaitu sebanyak 12.985.075
orang.
Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Indonesia adalah sebesar 124 orang
per km². Provinsi yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Provinsi
DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440 orang per km². Provinsi yang paling rendah
tingkat kepadatan penduduknya adalah Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 8
orang per km².55
Berdasarkan data dan keterangan tersebut di atas, maka tidak dapat
disangkal bahwa pluralitas dalam masyarakat adalah suatu realitas dalam negara
Republik Indonesia. Istilah “plural” berasal dari bahasa Latin “plus” menjadi
“pluralis” yang berarti “lebih” atau berarti lebih dari satu; Dalam bahasa Indonesia
ada persamaannya dari berbagai-bagai unsur. Keadaan seperti ini dalam bahasa
Indonesia diungkapkan dengan istilah “majemuk” (majmu) yang berasal dari bahasa
Arab. Dalam penulisan ini penekanannya pada pengertian plural “lebih dari satu”
baik itu dari suku, budaya, agama, bahasa, dan adat-istiadat. Pluralitas di Indonesia
amat sangat kompleks; Dalam pluralitas ini, bangsa Indonesia mampu membangun
dirinya sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai nasional. Kondisi pluralitas tidak
ditonjolkan sebagai faktor pembeda tetapi dianggap sebagai suatu anugerah dalam
pembinaan jiwa dan semangat persatuan.
54
http://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_Indonesia_2010
55
Ibid
1
56
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu kemerdekaan negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah
yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya. Kemudiaan dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukakan kesejaterahan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhan Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakyaratan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam
permusyawataran perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.56
Dari kutipan di atas dapat dikatakan bahwa semua aktivitas di dalam
negara sudah diatur oleh Undang-Undang A.A Yewangoe mengatakan:
Atas dasar kepercayaan Bangsa Indonesia tehadap Tuhan Yang Maha Esa maka
kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia harus benar-benar selaras dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan alam sekitar,
serta memiliki kemantapan keseimbangan dalam kehidupan lahiriah dan
batiniah serta mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong yang
berkembang sehingga sanggup serta mampu untuk melanjutkan perjungan
Bangsa dalam mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan landasan
ekonomi yang seimbang. 58
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Pancasila memotivasi bangsa
Indonesia untuk hidup dalam kerukunan sebagai hal sangat mendasar bagi
Pembangunan Nasional. Sila pertama Pancasila “Ketuhan Yang Maha Esa”
memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada agama-agama untuk
menginterprestasikan ajarannya dengan bertolak pada iman masing-masing. Sebagai
masyarakat Indonesia yang plural tentunya harus memelihara persatuan dan
kesatuan seperti tersirat dalam sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”. Jika
Pancasila, yang selanjutnya dijabarkan dalam UUD telah dirumuskan dan disepakati
sebagai konsensus bersama bangsa Indonesia untuk mengatur dan menjadi kriteria
bermasyarakat dan bangsa, maka pada hakekatnya peraturan seperti Surat Keputusan
Besama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 01/BER.MDN-MAG/1969
tanggal 13 September 1969 tentang pembangunan tempat ibadah dan tempat
kegiatan agama; disusul dengan :
3. SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang
tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada
agama di Indonsia.
4. Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1981 tentang bimbing pelaksanaan
dakwah/ khotbah/ceramah agama59
Yang nampaknya membatasi kreatifitas dalam ruang aplikatif beragama
oleh berbagai penganut agama di Indonesia. Undang-Undang 1945 yang menjamin
kebebasan beragama bagi masyarakat Indonesia, sebagimana tertulis dalam BAB XI
pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.60 Pemerintah juga mengatakan bahwa lebih dari 99%
penduduk Indonesia telah memeluk salah satu agama resmi yang diakui di
Indonesia; Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama
Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya,
pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya
secara terbuka. Dalam Keppres No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid
mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran
agama Konghucu maupun aliran-aliran kepercayaan yang mengalami diskriminasi di
Indonesia; Koran Sindo menulis: “Pidato Presiden RI saat menerima penghargaan
The World Statesman dari Yayasan The Appeal of Concience di New York (30/5)
dan memberi kesan luar biasa “Kita akan melindungi kelompok minoritas dan
memastikan tidak ada yang diperlakukan diskriminasi”. Namun demikian, pada
level mobilisasi dan eksekusinya masih cukup lemah karena tidak ada langkah atau
upaya untuk merealisasikan apa yang disampaikan dalam isi pidato.; dilanjutkan
dengan pernyataan Koordinator Eksekutif Kontras Haris Azhar mengakui, kelompok
intoleransi justru muncul di era pemerintahan SBY. Dia menyebutkan sejak empat
bulan terakhir sudah ada sekitar 60 kasus intolerasi. Jumlah tersebut dinilai
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibanding dengan tahun
sebelumnya.”61 Ditambah dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor. 9 tahun 2006 BAB. IV tentang Pendirian Rumah Ibadat 62,
khusunya dalam beberapa poin; terkesan adanya diskriminasi/ penghambatan
59
Sudomo, “Beberapa Pemikiran Sekitar Pembangunan Rumah Ibadah”, dalam Kerukuranan Umat
Beragama (ed) wainata Sairin, (Jakarta: BPK: Gunung Mulia, 2002), 136.
60
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Ibid, 7. 3
61
Penyelesaian Kasus Intoleransi Tak Pernah Jelas. Koran Sindo,Rabu, 5 Juni 2013
62
Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI, Direktori Gereja-Gereja, Yayasan, Pendidikan
Agama dan Keagamaan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Aristik Citra Nuansapratama, 2011)., 45.
59
terhadap komunitas kepercayaan dengan jumlah penganut yang lebih kecil dalam
melaksanakan peribadahannya. Untuk mengakomodir berbagai-bagai kepercayaan
yang ada, pemerintah pada masa sebelumnya, telah dengan santun mengaturnya;
sebagai berikut:
4
60
Bagaimana “shalom” dalam kata dan aksi yang relevan dalam konteks masyarakat
plural di Indonesia, tidak mendatangkan permasalahan baru (isu kristenisasi) di
tengah realitas sosial Indonesia? Hal-hal tersebut memberi motivasi bagi penulis
untuk memikirkan dan mengkaji konsep “Perjumpaan Kristiani Dalam Bingkai
Pluralitas Indonesia Raya”, yang relevan dalam konteks masyarakat yang plural
agar diperoleh keharmonisan yang seimbang dan inklusif, pada ranah praksis dalam
masyarakat Indonesia yang plural. Pemikiran ini, dilakukan dengan tujuan agar
kekristenan dapat dipahami dengan lebih baik dan ketika berjumpa dengan sesama
warga Negara Indonesia yang berkepercayaan lain serta kekristenan dapat dipahami
dalam konteks masyarakat yang plural, sehingga ditemukan upaya yang relevan
dalam perjumpaan yang santun pada konteks realitas bingkai plural di Indonesia.
Seperti yang telah diuraikan bahwa Orang Kristen merupakan bagian yang
tak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di
Indonesia. Maka tanggung jawab sebagai Orang Kristen tidak menghilangkan
tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia, oleh karena itu Orang Kristen
harus konsekuen, dengan melaksankan panggilan menyampaikan “kabar baik/
shalom” dalam kata dan aksi (Markus 16:15); sebab tugas menyampaikan “kabar
baik” menyatu dengan hakekat Orang Kristen, sehingga tanpa menyampaikan
“kabar baik” maka tidak dapat disebutkan sebagai Orang Kristen. Pada pihak lain,
Orang Kristen sebagai warga negera Indonesia, wajib mematuhi peraturan
pemerintah dan ikut dalam seluruh aspek Pembangunan Nasional sebagai
pengamalan Pancasila. Untuk itu, Orang Kristen harus dapat bekerjasama dengan
pemerintah dan juga pemeluk agama lain untuk menciptakan negara Indonesia yang
adil dan makmur. Karena itu tulisan ini dibatasi dalam konteks identitas Orang
Kristen (kristiani “konsep dan gaya hidup”) dapat dikenal , bernegara dan berjumpa
dengan pemeluk kepercayaan lain dalam pluralitas Indonesia tanpa menimbulkan
persoalan baru.