Anda di halaman 1dari 62

1

BAB. I.
PENGERTIAN MISIOLOGI

Misi Allah (Misio Dei). Arie de Kuiper mengatakan dalam buku “Misiologia” bahwa:

Misio Dei adalah keseluruhan pekerjaan Allah untuk menyelamatkan dunia:


pemeliharaan Israel, pengutusan para nabi kepada Israel dan kepada bangsa-bangsa
di sekitarnya, pengutusan Kristus kepada dunia, pengutusan rasul-rasul, pekabaran-
pekabaran Injil kepada bangsa-bangsa.1
Jadi dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa berbicara tentang Misio Dei
berarti berbicara tentang keseluruhan misi di tengah-tengah dunia dan berbicara tentang
misi di dunia berarti berbicara tentang pengutusan Israel dan berbicara tentang pengutusan
Israel berarti berbicara tentang kedatangan Kristus dalam melaksanakan tugas-Nya dan
berbicara tentang Kristus berarti berbicara tentang para Pekabar Injil “Gereja Tuhan di
dunia”.

Karena hubungan/ keterkaitannya sangat erat maka dalam bahan ajar ini
dipaparkan pemahan dengan konsep keterkaitan satu sama lain sebagai satu kesatuan
pemahaman yakni Misi berasal dari Allah (Misio Dei) dan dilaksanakan oleh Allah lewat
bangsa Israel, para nabi, Tuhan Yesus Kristus dan Gereja Tuhan yang nota bene
menjalankan pekabaran Injil. Karena itu, dalam bahan ajar ini akan dipaparkan tentang
hal-hal yang disesuaikan dengan kebutuhan pemahaman tentang misi.

I.1. Etimologi Misi


Kata Misi yang dipakai di sini merujuk pada keseluruhan tugas/misi alkitabiah dari
gereja Yesus Kristus. Mision merupakan istilah yang komprehensif, mencakup
pelayanan gereja ke atas, ke dalam dan keluar. Gereja “diutus” seperti seseorang yang
melakukan perjalanan rohani, seorang asing, seorang saksi, seorang nabi, dan seorang
hamba, sebagai garam dan terang ke dalam dunia ini (Mat.5:13-16).

Allah mempunyai misi (Misio Dei) untuk memahami gereja sebagai agen misi
secara etimologi dari bahasa :Latin “Misio” sama dengan “pengutusan”; Arie de
Kuyper menulis :

Bahasa Latin “Misio” = pengutusan. Inggris/Jerman/Prancis :


“Mision”;Belanda”Misie” dipergunakan dalam gereja Roma Katolik, gereja
1
Arie de Kuiper, Missiologia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 10.
2

Protestan pada umumnya memakai kata “Zending”. Dalam bahasa Inggris dalam
bentuk Tunggal “Mision” berarti karya Allah (God’s Mision) atau tugas yang
diberikan Tuhan kepada kita (Our Mision), sedangkan bentuk jamak menandakan
kenyataan praktis atau pelaksanaan pekerjaan itu untuk Foreign Mision
(Lembaga PI di luar negeri); Histori of mision (Sejarah PI).2
Maka dapatlah dimegerti bahwa pemilihan Israel, pengutusan para nabi,
pengutusan Kristus ke dunia, pengutusan para rasul dan pekabaran Injil kepada
bangsa-bangsa melalui gereja Tuhan dapatlah dikatakan sebagai “Misio Ecclesae”
(Pengutusan gereja = pekerjaan misioner dari jemaat Kristen sepanjang sejarah
dunia.”3

Jadi Misi adalah keseluruhan karya Allah atas dunia dalam pengutusanNya
yang diwujudkan dalam Self revelation of God yaitu penyataan diri Allah dalam
melaksanakan rencana Allah yang kekal. Misi tidak terlepas dari Allah, karena
berkaitan dengan Misio Dei. Allah adalah Allah yang hidup, Allah yang bertujuan dan
Allah yang terlibat dalam sejarah dunia, Allah yang ada sekarang di sini, Allah adalah
Allah yang sekarang sedang mengerjakan rencana-Nya dan Dia adalah Allah yang
tidak berdiam diri di tempat, Ia adalah Allah Misi.

Dalam hubungan Misiologi ini dapat membicarakan ‘Missio Ekklesia’


artinya pengutusangereja, pekerjaan yang dikerjakan oleh para misionaris dari jemaat
Kristen sepanjang sejarah dunia. Atau selain itu ‘Missio Apostolorum’ pengutusan
para Rasul dan ‘Missio Christi’pengutusan Kristus dalam arti :
a. Kritus mengutus murid-muridNya.
b. Kristus diutus oleh Allah (Yoh.20:21 “Sama seperti Bapa mengutus Aku,demikian
juga sekarang Aku utus kamu”).
` ‘Missio Dei’ artinya seluruh pekerjaan Allah untuk menyelamatkan dunia.
Ini berarti Missio Dei adalah teosentris dan khristocentris bukan ekklesiocentris atau
anthropocnetris.
a. Pemilihan Israel.
b. Pengutusan para nabi kepada Israel dan kepada bangsa-bangsa sekitarnya.
c. Pengutusan Kristus kepada dunia.
d. Pengutusan Rasul-rasul dan pekabar Injil kepada bangsa-bangsa.

2
Ibid
3
Ibid
3

Dengan kata lain Allah adalah Pengutus Agung. Dulu istilah Misiologi
terutama dipakai oleh para ahli teologi Roma Katholik, tetapi akhirnya diterima oleh
teolog-teolog Protestan. Istilah Misiologi merangkum Misiologi alkitabiah Misiologi
alkitabiah, Misiologi sejarah, Misiologi sistimatik dan Misiologi praktis-metodis.
Tidak dapat disangkali lagi bahwa ini merupakan satu pengertian yang baik.
Kata Misi yang dipakai di sini merujuk pada keseluruhan tugas/misi alkitabiah
dari gereja Yesus Kristus. Mission merupakan istilah yang komprehensif, Kata Misi
yang dipakai di sini merujuk pada keseluruhan tugas/misi alkitabiah dari gereja Yesus
Kristus. Mission merupakan istilah yang komprehensif.
Jadi Misiologi adalah ilmu Pekabaran Injil yang mempunyai sangkut pautnya
dengan semua ilmu teologia (Arie de Kuiper). Bertitik tolak dari ini, maka jelas
bahwa misiologi mempunyai dasar adalah Alkitab (Keluaran 19:5-6). Teminologi
misi dan gereja dalam bahan ajar ini selaras dengan pemahaman Widi Artanto
berdasarkaan pemaparan David J. Bosch dalam Transformasi Misi Kristen:
“misi lebih luas dari penginjilan. Penginjilan adalah misi, tetapi misi tidak
hanya penginjilan. Misis adalah tugas total dari Allah yang mngutus gereja demi
keselamatan dunia. Gereja diututs kedalam dunia untuk mengasihi, melayani,
mengajar, menyembuhkan dan membebaskan. Penginjilan tidak dapat disamakan
dengan misi karena ia merupakan bagian integral dari misi sehingga tidak dapat
diisolasi menjadi aktivitas yang terpisah”.4

I.2. Hakekat Misi


Menurut D. W. Ellis, hakekat misi itu mencakup 3 hal yaitu :
1. Proklamasi
2. Kesaksian
3. Pelayanan5
Ketiga aspek ini merupakan penyataan Kristus bagi dunia yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain.
Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Ch. Abineno, yaitu :
1. Pemberitaan Firman
2. Persekutuan
3. Pelayanan.

4
Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner. (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung
Mulia, 1997)., 33
5
D.W. Ellis. Metode Penginjilan. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, .....).,......
4

I.3. Lingkup Misiologi


1. Teologi Misi
2. Sejarah
3. Ekklesiologi
4. Apologia
5. Metodik
6. Sosiologi lintas budaya
7. Etnologi, dsbnya.
Untuk melaksanakan tugas ini dibutuhkan : Homiletik, Hermeneutik,
Komunikasi, Linguistik, Pengetahuan dalam bidang Politik dan Ekonomi. Misiologi
memiliki hubungan yang erat dengan Theologi dan tidak boleh menjadi satu
fakminor. Menurut Georges Peters Misiologi harus masuk dalam pusat Theologi
tentang Allah.
5

BAB. II.
MISI DALAM ALKITAB

Landasan misi bukanlah ayat per ayat tetapi Alkitab secara keseluruhan, karena
misi adalah Allah itu sendiri dan missions adalah mereka yang mengkomunikasikan Injil
dengan tujuan tidak sekedar orang-orang mendengarkan Injil, tetapi untuk
mendirikan/membangun/menghadirkan Kerajaan Allah sehingga terjadi transformasi yaitu
orang menerima Yesus Kristus. Alkitab adalah dasar misi atau titik tolak pengutusan
(missions).
Misi tidak pernah terlepas dari Alkitab karena seluruh isi Alkitab menjiwai misi
dan tema sentral Alkitab adalah Misi Allah jadi dapatlah dikatakan bahwa: ”Tidak ada
Misi Allah maka tidak ada Alkitab demikian sebaliknya ”Tidak ada Alkitab maka Misi
Allah tidak dapat dimengerti”.
Alkitab merupakan satu-satunya ukururan yang memberitakan pernyataan Allah
kepada manusia dan Alkitab mempunyai tiga dimensi wibawa Allah: 1). Inspirasi Ilahi (II
Tim./ 3:16), 2). Innerensy – tidak mempunyai error – kesalahan dan 3). Infallibility –
sudah lengkap utuh.
Alkitab terdiri dari 39 kitab PL dan 27 kitab PB, mempunyai kesatuan yang unik,
karena memiliki konsep-konsep utama yang konstant (kesatuan yang terus menerus tetap
dan mempunyai nilai tetap)6 tentang dasar teologi, tujuan dan berita yang disampaikan.
Oleh karenanya mempelajari tentang misi dalam Alkitab tidaklah cukup hanya
mempelajari PB saja, tetapi harus dimulai dari PL. Berikut ini akan dibahas landasan
teologis-alkitab tentang misi:
1. Allah adalah Allah yang universal, artinya Ia bukanlah Allah untuk satu bangsa saja
melainkan Allah semua bangsa (Mazmur 47:8, 9).
2. Allah dalam kasihNya menciptakan dunia dan manusia untuk memuliakan Allah dan
karena itu Ia menciptakan segala sesuatunya baik (Mazmur 19:1, 2; Kejadian 1:31).
3. Dosa adalah penyebab segala sesuatu yang jahat dan pemisah antara Allah dan
manusia (Kejadian 3:24; Roma 3:23).
4. Allah dalam kasih dan anugrah-Nya menghendaki agar manusia yang telah jatuh
dalam dosa diselamatkan (Yohanes 3:16).

6
Indonesian Dictionary…..
6

5. Ia memilih bangsa tertentu dan orang tertentu dalam jaman PL untuk menjadi saksi
tentang Allah, dan akhirnya Kristus untuk melaksanakan misi penyelamatan-Nya
kepada manusia dan dunia (Kejadian 12:1-3).
6. Allah melibatkan gereja-Nya dalam misi penyelamatan-Nya dengan menugaskannya
untuk mengabarkan berita keselamatan dalam Yesus kepada segala bangsa (Markus
16:15; Matius 28:19; Matius 24:14).
Misi berarti menyebarkan kabar baik bahwa Yesus Kristus telah mati untuk dosa-
dosa kita dan telah dibangkitkan dari kematian menurut kitab suci, dan bahwa sebagai
Tuhan yang memerintah, Ia menawarkan pengampunan atas dosa dan Roh Kudus yang
membebaskan kepada semua yang bertobat dan percaya.7 Hal ini meliputi keseluruhan
kehidupan ciptaan Allah.

II.1. Misi Dalam Perjanjian Lama (Torah, Naviim dan Ketubim)8


Sejak kejatuhan Adam dan Hawa, maka manusia memilih untuk
memberontak terhadap Allah dan menolak Allah. Dengan menolak kontrol Allah
atas diri manusia, manusia memilih dikontrol oleh iblis. Allah dalam murkaNya
telah menghukum manusia dengan mengirimkan banjir di zaman Nuh dan
mengacaukan bahasa manusia di Babel. Namun demikian dalam belas kasihan
ilahiNya, Ia memilih untuk menyelamatkan manusia.

Misi dalam PL ini dapat dilihat secara ringkas sebagai berikut: Misi Dalam
Penciptaan Misi Allah dalam penciptaan adalah universal terhadap ciptaanNya dan
Allah sendiri menghubungkan dirinya dengan dunia secara universal. Allah yang
menciptakan dunia dan isinya serta manusia menjadi puncak ciptaanNya. Kepada
manusia Allah memberikan mandat budaya yaitu untuk berkembang dan
menaklukan dunia (Kej. 1:26). Hal ini menunjukan bahwa Allah dari mulanya
berurusan dengan manusia dalam arti universal yaitu manusia dari segala bangsa dan
bukan particular (Icvbnm,./srael saja). Misi Dalam Protoevangelium Rencana
misi penyelamatan Allah telah Ia ungkapkan segera setelah manusia jatuh ke dalam
dosa. Dalam bentuk janji yang terdapat dalam Kejadian 3:15; Menurut Y.Y.
Tomatala, Kej. 3:15 mengandung arti:

7
Jeni Isak Lele, Tesis: LITURGI DALAM MISI DI GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor)
JEMAAT LAHAIROI TUAK SABU LASIANA BARAT “Studi Misiologi Relevansi Liturgi Dalam
Penatalayanan Gereja Masa Kini”. Sekolah Tinggi Theologi Apollos Jakarta, 2010. Hal. 11 - 12
8
Bloomendal, Pengantar Perjanjian Lama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,.......).,......
7

Janji keselamatan yang didengungkan pada saat terbukti secara hukum


bersalah dan tidak berdaya . Janji keselamatan itu bersifat eskatologis yaitu
melihat ke depan, ke masa yang diperkenankan Allah (Gal. 4:4) dan juga
bersifat Messianik karena akan digenapi oleh seorang juruselamat Kristus/
Mesias, sang pendamai, seorang pengantara (mediator) (Mat.1:18-25; Luk.
1:31-35; II Tim 2:5; Yes. 6:14 dan sebagainya).9
Dilanjutkan, Misi Dalam Perjanjian Nuh; dalam Kejadian 9:1, 8-9 memuat
tentang Perjanjian Allah dengan Nuh, tetapi pernjanjian ini bukan hanya sekedar
dengan Nuh saja tetapi dengan anak-anaknya, itu berarti perjanjian tersebut juga
untuk semua orang. Karena itu misi sifatnya universal kepada seluruh bangsa dan
ras. Misi Dalam Zaman Patriarkh; pembentangan misi dalam zaman patriarkh
dimulai pada perjanjian Abraham (Kejadian 12:1 – 3). Perjanjian Abraham bukan
untuk kepentingan Abraham sendiri, tetapi dalam hubungan dengan dunia sebagai
lingkup pandanganNya dan manusia sebagai obyek sasaran. Keuniversalan
perjanjian Abraham dilanjutkan kepada dua patriarkh lainnya yaitu Ishak (Kejadian
26:4) dan Yakub (Kejadian 28:14). Tujuan pemilihan Allah terhadap Abraham
adalah untuk mendirikan suatu bangsa dan melalui bangsa tersebut nantinya Allah
akan menyelamatkan semua bangsa di dunia. Dalam hubungan dengan misi
mencakup tiga hal yaitu :

1. Kewajiban – Israel diciptakan dan dipilih Allah dengan harapan ia menjadi


berkat bagi semua bangsa.
2. Kesempatan – Israel diberi sarana dan kesempatan untuk menunaikan tugasnya
menjadi berkat.
3. Response – Israel gagal meresponi perjanjian tersebut.
Perjanjian Allah dengan Abraham dalam Kejadian 12:1 – 3 terdapat tiga
perjanjian yaitu, pertama janji keturunan, kedua janji akan diberikan tanah dan yang
ketiga janji tentang berkat.

Misi Dalam Zaman Musa; pemilihan Allah atas Musa untuk memimpin
Israel keluar dari Mesir mempunyai dua tujuan yang rangkap yaitu:

1. Untuk memenuhi janji Allah atas Abraham untuk memberikan tanah Kanaan
kepada keturunannya
2. Proses dalam pemenuhan misi Allah untuk seluruh bangsa melalui Israel

9
Y.Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini 1.(Malang: Gandum Mas, 1995), 8.
8

Keluaran 19:4-6 adalah perjanjian Allah dengan Musa, tetapi tidak ada
hubungannya dengan soal penyelamatan atau menjadi umat Allah, karena janji
tersebut telah dibentangkan sebelumnya dalam perjanjian Abraham. Perjanjian
Abraham berbicara soal Israel menjadi umat Allah, sementara Perjanjian Musa
berbicara soal Israel menjadi suatu bangsa dan hamba Allah. Israel menjadi hamba
Allah bagi bangsa-bangsa di dunia (Yesaya 40 – 55) dengan menggunakan kata
hamba sebanyak 18 kali dan 3 kali disebut sebagai saksi-saki-Ku. Misi Dalam
Zaman Para Nabi; suara nabi juga dipandang sebagai pekerjaan misi yang sesuai
dengan maksud Allah, yang di dalamnya keselamatan dijelaskan dan
dimaklumatkan. Sepuluh nabi zaman preexilic (sebelum pembuangan), dan tiga
diantaranya mengarahkan berita kepada bangsa non Yahudi yaitu Edom dan Niniwe
(Yunus, Obaja dan Nahum). Tujuh nabi preexilic lainnya meskipun terarah kepada
Yahudi, namun mempunyai catatan keuniversalan, contoh, Zefanya 2:11; 3:8,20;
Habakuk 2:4, 14, 29; Yoel 2:20, 3:4, 6, 8-9; Amos 9:7-15, dll.

Misi Zaman Pembuangan; masa pembuangan adalah masa yang pedih


bagi Israel. Pembuangan Israel mempunyai dua maksud yaitu:

1. Sebagai penghukuman akan ketidaktaatan mereka.


2. Untuk membuat namaNya dikenal oleh bangsa-bangsa lain.
Sejak jaman pembuangan, karena pertemuan mereka dengan bangsa-bangsa
lain, Israel mulai aktif untuk menyampakan berita tentang Tuhan kepada bangsa-
bangsa lain untuk memeluk agama Yahudi. Ada dua macam pertobatan dari bangsa-
bangsa lain yaitu proselit (orang yang bukan Yahudi yang kemudian memeluk
agama Yahudi)10 dan orang yang takut akan Allah maksudnya mereka dianggap
sebagai orang kelas dua, akan tetapi kedua-duanya mempunyai akses/ jalan masuk
untuk berada di sinagoge.

Sinagoge adalah tempat yang penting sebagai tempat perkumpulan, sekolah


Yahudi dan menjadi pusat ibadah serta pengajaran bagi orang Yahudi 11 di
pembuangan maupun para proselit dan orang yang takut akan Allah, karena di
sinagoge merupakan tempat mengajarkan hukum-hukum Yahudi dan Allah.

10
Sodarmo. Kamus Istilah Teologi. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 76
11
Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 297.
9

Perspektif teologis misi dalam PL memang mudah digugat, karena adanya


asumsi bahwa misi itu berkaitan dengan pemberitaan lintas budaya, sementara PL
tidak ada ide pemikiran tersebut. Tetapi walaupun demikian PL tetap menjadi
sesuatu yang asasi bagi pemahaman misi PB, karena PB akan menjadi jelas bila
diterangi oleh PL; karena PL mengandung kesaksian yang menegaskan isi PB; dan
kesaksian PB banyak merupakan kesakisan PL. Dengan demikian PL dan PB adalah
suatu kesinambungan yang tidak bisa dipisahkan jika ingin memahami misi secara
baik.

II. 2. Misi Dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru pada hakikatnya adalah sebuah kitab tentang misi. Bahkan
kitab Kisah Para Rasul merupakan catatan misionari yang otentik dari para rasul dan
gereja mula-mula dikatakan demikian karena semua tulisan kepada gereja-gereja
dibangun melalui usaha-usaha misionari yang menyatukan misi Yesus dengan misi
Gereja. Kehidupan Yesus dan kehidupan Gereja dalam Lukas dan Kisah Para Rasul
menjadi satu dalam Roh Kudus.12

Karena PB adalah dokumen misi itu sendiri dalam Alkitab, maka


pembahasannya tidak akan spesifik kitab per kitab tetapi hanya akan melihat konsep
Misi Yesus Kristus yang diamanatkan-Nya kepada murid-murid dan kisah Rasul
“Paulus” dalam garis besar.

1. Misi Dalam Kitab Injil


Yesus dan Misi Misi dalam Perjanjian Lama bersifat sentripetal (dari
luar ke dalam) dalam pengertian bangsa-bangsa datang kepada Israel dan mereka
dapat mengenal dan menyembah Tuhan yang benar sedangkan Misi dalam
Perjanjian Baru bersifat sentrifugal (dari pusat ke luar)yang berarti bahwa dari
gereja atau dari Israel kabar keselamatan akan disampaikan kepada semua suku-
suku bangsa.
1.1. Yesus dan Misi
Dalam kehidupan Tuhan Yesus pada waktu Dia masih tinggal di
dunia ini, kita dapat melihat dua cara tersebut digunakan oleh Tuhan Yesus.

12
Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner. (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1997),
41.
10

Sewaktu-waktu Tuhan seolah-olah hanya memikirkan Israel saja, tetapi


dalam kesempatan yang lain Dia juga memperhatikan orang-orang bukan
Israel.
1.2. Tuhan Memperhatikan Israel Secara Khusus
1. Dia datang sebagai “Raja orang Yahudi”
a. Atas petunjuk Allah, orang Majus dari Timur mencari “Raja orang
Yahudi yang telah dilahirkan” (Matius 2:2).
b. Pengakuan Natanael “Engkau Raja orang Yahudi”, diterima oleh
Tuhan Yesus.
c. Yesus menerima dengan senang hati sambutan orang banyak sebagai
“Raja orangYahudi” sewaktu ia naik keledai memasuki kota
Yerusalem (Yohanes 12:13)
d. Prajurit-prajurit Romawi mengolok-olok Yesus sebagai “Raja orang
Yahudi”(Yohanes 19:3)
e. Pilatus memasang sebuah papan “Yesus Raja orang Yahudi” di kayu
salib TuhanYesus tetapi para imam tidak setuju dengan tulisan itu
karena Yesus sendiri berkata“Aku adalah Raja orang Yahudi”.
2. Yesus berkata Dia diutus kepada umat Israel saja (Matius 15:24).
3. Pemilihan Israel tetap nyata dalam Perjanjian Baru, bangsa Israel
disebut:
a. Kebun Anggur (Markus12:1-12)
b. Kawanan domba (Yohanes 10:6)
c. Anak-anak Kerajaan (Yohanes 8:12)
4. Bangsa-bangsa lain disebut sebagai bangsa kafir atau bangsa yang tidak
mengenal Allah (Matius 6:7; Lukas 12:30).
5. Yesus mengutus murid-murid-Nya hanya kepada bangsa Israel (Matius
10:5-6).
11

1.3. Tuhan Memperhatikan Semua Bangsa


Visi dan Misi Yesus juga tertuju kepada bangsa-bangsa lain di luar
Israel. Hal ini dapat dilihat melalui peristiwa-peristiwa yang dicatat oleh
Kitab Suci antara lain :
1. Kelahiran Yesus diberitahukan kepada orang Majus dari Timur, yaitu
orang-orang nonYahudi.
2. Simeon bernubuat bahwa Yesus ditetapkan sebagai sumber keselamatan
dan terang bagi segala bangsa (Lukas 2:31-32).
3. Yohanes Pembaptis menyatakan Yesus sebagai anak Domba Allah yang
menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29).
4. Yesus menyebut dirinya : “terang dunia” (Yohanes 8:12).
5. Yesus mempunyai rencana untuk menuntun “domba-domba lain yang
bukan dari kandang ini (Yahudi)” sehingga mereka menjadi “satu
kawanan” (Yohanes 10:16)
6. Yesus menyembuhkan anak dari perempuan Kanaan yang percaya
(Matius15:21-28).
7. Yesus menjelaskan bahwa orang dari segala bangsa akan masuk ke
dalam Kerajaan Allah (Lukas13:29).
8. Yesus menugaskan murid-murid-Nya untuk memberitakan Injil sampai
ke ujung-ujung bumi (Matius 28:18-20).
Dari beberapa contoh di atas, dapat dilihat bahwa Tuhan Yesus
tidak hanya memperhatikan orang Yahudi saja melainkan Ia juga
memperhatikan orang-orang nonYahudi atau orang kafir.
2. Misi dan Amanat Agung
Bagian Alkitab yang paling terkenal berhubungan dengan tugas misi
adalah Amanat Agung. Amanat Agung merupakan kerinduan dan isi hati Allah
terhadap dunia ini. Dalam Perjanjian Baru diuraikan tentang kepribadian Allah
yang ingin berkomunikasi dengan manusia. Melalui Roh Kudus, Allah
menggerakkan murid-murid untuk mengkomunikasikan Injil. Pada umumnya
orang Kristen hanya mengenal satu atau dua nats Alkitab yang memuat Amanat
Agung, tetapi Alkitab sendiri menceritakan ada 5 bentuk ucapan Amanat
Agung :
a. Matius 28:18 – 20 –Allah mempunyai otoritas dalam misi sampai akhir
zaman.
12

b. Markus 16:15 – 18 – Metode dan akibat misi sedunia.


c. Lukas 24:46 – 49 – Kristus adalah dasar misi.
d. Yohanes 20:11 – 23 – Misi bersifat rohani.
e. Kisah Rasul 1:8–Kuasa Misi sedunia.
Amanat Agung berfokus kepada keselamatan dalam 2 hal :
1. Pemberitaan Injil.
2. Pemuridan.
Misi sedunia adalah kehendak Allah, oleh karena itu setiap orang Kristen harus
terlibat dalam pekerjaan yang mulia ini. Roh Kudus yang akan memampukan
gereja-Nya untuk mentaati Amanat Agung.
2.1. Misi dan Amanat Agung Menurut Matius.
Menurut Matius Amanat Agung dimulai pada saat Allah mengutus murid-
murid untuk memberitakan Injil. Dialah Tuhan atas tuaian, Ia dapat
membuka dan menutup pintu bagi pekerjaan misi, oleh karena itu murid-
murid tidak perlu takut atas kesulitan yang akan dihadapi, sebab mereka
mempunyai Allah yang Maha kuasa.
Tugas pengikut-pengikut Tuhan Yesus :
1. Menjadikan semua bangsa murid-Nya,
2. Membaptis mereka,
3. Mengajar mereka.
Tujuan Amanat Agung dan penginjilan adalah pemuridan supaya
manusia menjadi serupa dengan Allah (II Korintus 3:18) sehingga kita
diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang
semakin besar (Yohanes 3:2). Menjadi murid Kristus berarti
mengidentifikasikan diri sendiri secara total dengan Kristus dan memikul
salib-Nya. Memikul salib-Nya berbeda dengan memikul beban yang dalam
kehidupan manusia seperti : sakit penyakit, kesulitan, kecelakaan, dll.
Memikul salib :
1. Sukarela (Matius 16:24-28) setiap orang yang mau mengikut.
2. Terus-menerus/setiap hari (Matius 16:24).
3. Salib adalah satu bagian dari pemuridan tanpa salib tidak bisa mengikut
Yesus.
4. Memikul salib karena Kristus.
13

Seorang murid Kristus terus-menerus mengindentifikasikan diri


sendiri dengan Kristus dan bersedia mati bagi Tuhan.Tuhan Yesus ingin
mempunyai murid dari setiap suku bangsa (Matius 28:18-20); Kosep Misi
Yesus Kristus dalam Matius 28:18-20 adalah pernyataan misi yang keluar
dari Yesus Kristus yang dikenal dengan The Great Commision (Amanat
Agung). Terlepas dari asal-usul nats tersebut. Dalam Matius 28:18-20
tersebut menggunakan dua kata dalam bentuk partisip yaitu V
(baptizontes) “membaptis” dan V (didaskontes) “mengajar”
tercakup dalam kata kerja pokok q (matheteusate) “(kamu)
jadikanlah … murid”. Makna kata kini partisip menujukkan tindakan yang
bersamaan waktu dengan pelaksanaan menjadikan murid.

Dalam kata tersebut tidak terdapat kata ganti empunya (mou)


“-Ku” yang disertakan pada q (matheteusate), seharusnya
tidak menggunakan “Ku” pada terjemahan “jadikanlah … murid-Ku”.
Tetapi pada konteks ayat sebelumnya ada kata  (moi) “kepada-Ku”,
sehingga Kristus menjadi sentral, bukan pribadi padanan, karena itu
pengertian menjadi murid, bukan hanya murid yang memiliki kehidupan
mirip Kristus, melainkan juga murid milik Kristus.

Jadi konsep misi dalam Injil Matius adalah konsep Yesus Kristus
sendiri yaitu membawa semua bangsa takluk pada kekuasaan Mesias
pemilik segala kuasa di bumi dan di sorga. Konsep ini jelas merupakan
kelangsungan dari pernyataan-pernyataan Mesianik dalam Perjanjian Lama.

2.2. Misi dan Amanat Agung Menurut Markus


1. Ditujukan kepada semua makhluk oleh karena Allah adalah pencipta.
Kristus meminta jemaat-Nya membawa keselamatan kepada seluruh
makhluk di dunia tanpa terkecuali.
2. Pemberitaan Injil dibuktikan dengan tanda-tanda.

2.3. Misi dan Amanat Agung Menurut Lukas


Karena murid-murid-Nya sangat kecewa dengan rencana untuk
mendirikan kerajaan secara politis tidak terlaksana, maka Yesus menghibur
14

mereka dengan sambutan : “Damai sejahtera bagi kamu.” Sesudah itu Tuhan
menjelaskan rencana misi kepada mereka :
1. Misi berdasarkan kitab-kitab suci : Taurat Musa, Nabi-nabi dan Mazmur.
(Lukas 24:44).
2. Inti Injil : kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus (Lukas 24:22).
3. Tujuan : pertobatan dan pengampunan.
4. Pemberitaan Injil bagi segala Bangsa (Lukas 24:47).
5. Alat yang dipakai bagi pekerjaan misi sedunia adalah murid-murid-Nya.
6. Kuasa dan kekuatan untuk melaksanakan Amanat Agung berasal dari
Roh Kudus yang sudah dijanjikan Allah Bapa (Lukas 24:49).
2.4. Misi dan Amanat Agung menurut Yohanes
Injil Yohanes mengingatkan kita, bahwa murid-murid diutus sama
seperti Bapa mengutus Anak-Nya yang Tunggal yaitu Tuhan Yesus
(Yohanes 20:21-23). Murid-murid harus mengidentifikasikan diri dengan
Kristus, karena mereka telah diperlengkapi oleh Roh Kudus“terimalah Roh
Kudus” (Yohanes 21:22).
Seringkali hal ini menjadi perdebatan : Kapan mereka diperlengkapi
dengan Roh Kudus?Sebelum Pentakosta (Yohanes 21) atau pada hari
Pentakosta ketika Yesus menghembusi mereka dengan Roh Kudus? Dia
memberikan Roh Kudus kepada mereka secara terbatas sesuai dengan cara
Perjanjian Lama, tetapi pada hari Pentakosta mereka dipenuhi dengan Roh
Kudus untuk melaksanakan misi Amanat Agung Tuhan Yesus (KPR 2).
3. Misi dan Kisah Para Rasul (Pemberitaan injil)
Injil yang diberitakan harus komunikatif dan bertumbuh sesuai teks dan
konteks. Dalam kaitan Misi dan Injil akan dibahas 1) Misi dan sifat Injil; 2) Misi
dan Keunikan Injil.
1) Misi dan Sifat Injil
Sifat injil adalah :
a. Injil Ilahi yaitu Allah sebagai sumber (Roma 1:16)
b. Misi dirancang oleh Allah dengan jelas
c. Alkitab dirancang dengan sempurna untuk misi
d. Sasaran Misi adalah manusia
e. Berpusatkan kepada Kristus
2) Misi dan Keunikan Injil
15

Ciri yang menonjol dalam kekristenan adalah Kasih Agape (Yohanes


3:16).Sifat Allah adalah tunggal (Herbert J. Kane).
Enam Sifat Yesus Kristus :
a. Dia adalah kekal (Bilangan 32:40).
b. Dia adalah seorang yang berpribadi (Amsal 8:22-23;Yohanes 3:16;
Matius 22:37).
c. Dia tidak terbatas (Roma 11:32; Yesaya 66:1 dst).
d. Dia sebagai yang bermoral (Ibrani 1:9)
Dia adalah adil dalam segala jalan-Nya dan suci (Mazmur 145:1-7; 1
Yohanes 1:5; Ibrani 11:12)
e. Dia adalah Bapa, Anak dan Roh Kudus yang esa (Matius 28:9)
f. Dia telah menyatakan diri kepada manusia (Yohanes 1:14; Ibrani 1:1)
Keunikan Kristus
a. Kelairan awalnya melalui anak darah Maria (Lukas 2:52)
b. Tanpa dosa, lahir dari benih ilahi (2 Korintus 5:21; 1 Petrus 2:22; 1
Yohanes 3:5)
c. Kematian-Nya mempunyai nilai harga yang tak ternilai (1 Petrus 3:18;
Matius 26:18; KPR 4:27; Yohanes 19:11)
d. Kebangkitan-Nya yang gemilang (Ibrani 11:35; Yohanes 11:25)
e. Kenaikan-Nya ke Sorga (KPR 3:15; 1 Korintus 2:8; Kolose 1:18; Ibrani
7:25)
f. Dia akan datang kembali untuk ke dua kali (1 Tesalonika 4:16 – 17).
4. Surat-Surat Kiriman (Rasul Paulus dan Misi).
Paulus adalah seorang Penginjil dan Misionaris yang paling berhasil.Dia
berkotbah disinagoge, di pasar dan di tempat-tempat yang lain, menguatkan
jemaatnya yang barudidirikan agar sungguh-sungguh percaya kepada
Tuhan.Paulus senantiasa mengabarkanbahwa Allah sudah mengutus seorang
Juruselamat, yaitu Yesus Kristus untukmenyelamatkan seluruh umat
manusia.Dalam II Korintus 5:19 “Sebab Allah mendamaikan duniadengan
diriNya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka.Ia
telahmempercayakan berita pendamaian itu kepada kita.”
Walaupun Paulus tidak mengulangi Amanat Agung, dia menyebutkan
bagian tersebut dalamRoma 10:12-18; II Kor.5:4-21; Ef.3:1-12; Roma 1:13-17; I
16

Kor.9:1-16; Fil.2:14-16; ITim.2:1-7. Dasar Theologia Paulus : Yesus Kristus


yang tersalib bagi manusia.
Hal-hal yang penting di dalam Teologi Misi Paulus :
1. Seluruh alam semesta (universum) adalah makhluk Allah (Roma 1:18).
2. Seluruh umat manusia mempunyai hubungan dengan alam (Roma 5:12-21).
3. Di dalam Adam, seluruh umat manusia telah berdosa (Roma5:12)
4. Semua orang berhutang kepada Allah (Roma 1:18-21).
5. Kristus adalah Juruselamat bagi semua orang, tetapi keselamatan ini harus
diperoleh secara pribadi (Roma 5:12-21).
6. Tuhan Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya bagi keselamatan manusia
(Roma 3:21;5:21).
7. Keselamatan harus diberikan oleh Allah dan tidak bisa ditemukan oleh
manusia sendiri (Roma 10:17; 16:25-26).
8. Rasul Paulus merasa dipanggil untuk memberitakan Injil kepada bangsa-
bangsa non Yahudi dan dia taat kepada panggilanNya.
Rasul Paulus hanya mengenal dua golongan manusia yaitu yang sudah
diselamatkan atausudah di dalam Kristus dan yang belum di dalam
Kristus.Paulus juga mengenal universalitas Allah yang sudah diwahyukan dalam
PL :
1. Allah sebagai pencipta (Roma 1:25).
2. Abraham dipanggil waktu dia masih orang kafir dan dibenarkan karena iman
(Roma 4).
3. Karena Israel menolak Mesias, maka Allah memakai orang non-Israel (Roma
2:11).
4. PB melanjutkan PL, jemaat melanjutkan pelayanan Israel (Efesus 2:11;
3:12).
5. Jemaat sebagai tubuh Kristus terdiri dari orang Yahudi dan non Yahudi
(Efesus 3:1-12).
6. Paulus dipanggil untuk menjadi rasul orang non Yahudi (Galatia 2:8-9).
Tujuan dan puncak misi terdapat di Wahyu 7:9.Jemaat yang memuji
Allah. “Kemudian daripada itu aku melihat: Sesungguhnya, suatu kumpulan
besar orang banyak yang tidak dapatterhitung banyaknya. Dari segala bangsa dan
suku dan bahasa, berdiri dihadapan takhta dandi hadapan Anak Domba.”
17

Menurut Peters di dalam Alkitab ada 2 macam mandat, yaitu Mandat


Budaya Kejadian 1:28 danAmanat Agung Matius 28:18-20.
Konsep Misi Rasul Paulus; misi Rasul Paulus tergambar dalam suratnya
yang kedua kepada jemaat di Korintus yaitu 2 Korintus 5:19-21. Misi dalam ayat
tersebut berkaitan dengan rancangan Allah untuk “mendamaikan dunia dengan
diri-Nya” yang telah dikerjakan melalui penebusan Yesus Kristus. Paulus dalam
motivasi misinya; menurut Michael Green ada tiga motif utama yaitu: rasa
bersyukur, rasa tanggung jawab dan rasa keprihatinan. 13 Maksudnya ia bersyukur
karya Kristus yang mulia, ia merasa bertanggung jawab atas amanat misi untuk
menyampaikan kabar baik kepada bangsa yang bukan Yahudi dan ia merasa
prihatin kepada yang tertindas baik karena dosa maupun karena tekanan
kehidupan yang tidak menguntungkan. Dalam pengertian selanjutnya yang
menjadi pokok berita adalah “utusan-utusan” bagi dunia istilah V (kosmos),
“dunia” menunjuk kepada semua ras manusia juga mendapat kesempatan untuk
didamaikan dengan Allah Kritus datang “mendamaikan dunia dengan diri-Nya”.
Hal itu membuktikan bahwa Allah telah mendisain rencana penyelamatan itu
bagi manusia.
Paulus mengindentikan diri dari para pembawa berita pendamaian itu
sebagai V (presbys), “seorang tua” atau “”duta” artinya bertindak sebagai
seorang duta atau kadang hanya semata-mata pembawa berita. Seorang duta
adalah petinggi sebuah kerajaan atau negara yang ditugaskan untuk menjadi
wakil di negara lain. Ia diutus untuk mengetahui keinginan negara asing,
bernegosiasi tentang perdagangan, perang atau perdamaian. Widi Artanto
menulis:
Bagi Paulus tujuan misi bukanlah Gereja itu sendiri, tetapi rekonsiliasi
antara Allah dan dunia karena di dalam Kristulah Allah mendamaikan diri-
Nya tidak hanya dengan Gereja tetapi dengan dunia. Kristus dimuliakan
oleh Allah dan diberi nama di atas segala nama supaya dalam nama Yesus
semua lutut bertekuk menyembah Dia. Itulah sebabnya Paulus menyebut
‘semua bangsa’ dalam Roma 1:5 sebagai sasaran paling luas dari misi yang
diterimanya dari Kristus. Tugas inilah yang membawa Paulus berkeliling di
wilayah Mediterania untuk melaksanaan misi.14
Jadi misi merupakan kehadiran Allah di tengah manusia, melalui duta-
duta-Nya, dengan maksud penawaran perdamaian antara Allah dan alam semesta.

13
David. J Bosch, Tranformasi Misi Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999),208-209.
14
Widi Artanto. Ibid., 42.
18

5. Perbandingan Misi dalam PL dan PB


Misi dalam Perjanjian Lama bersifat sentripetal (dari luar ke dalam)
dalam pengertian bangsa-bangsa datang kepada Israel dan mereka dapat
mengenal dan menyembah Tuhan yang benar sedangkan Misi dalam Perjanjian
Baru bersifat sentrifugal (dari pusat ke luar)yang berarti bahwa dari gereja atau
dari Israel kabar keselamatan akan disampaikan kepadasemua suku-suku bangsa.
Secara substansial, antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
tidak berbeda. Sebab didalamnya dikemukakan bahwa hakekat misi adalah
kepedulian Tuhan atas ciptaanNya (yang telah jatuh) . Perbedaannya hanya
terletak pada (dalam cara) bagaimana Tuhan menyatakan kepedulianNya.
Kalau pada masa Perjanjian Lama (PL) Israel secara elsplisit khusus
sebagai arena kegiatan (misi) Tuhan yang, orientasinya adalah mencakup
segenap kaum di muka bumi. Sementara pada masa Perjanjian Baru (PB) ,
peran kekhususan Israel itu telah diambil alih oleh komunitas baru (gereja
Tuhan) yang terdiri dari berbagai bangsa, Mat 21:43. Itu berarti hidup
orang percaya (gereja) bernilai misi bagi misiNya.15
Jadi jika dilihat dalam Perjanjian Lama, maka gereja belum ada. Dalam

Matius 16:18 Yesus berkata bahwa Ia akan medirikan jemaat-Nya. Jelas melalui

pernyataan Yesus Kristus tersebut jelas bahwa gereja belum ada sebelumnya.

Gereja baru dapat memiliki Kepala yang berfungsi setelah kebangkitan Kristus,

karenanya agak riskan jika dikatakan bahwa gereja sudah ada sebelum

kebangkitanNya (Efesus 1:20). Gereja baru dapat mengfungsikan karunia-karunia

rohani setelah kenaikan Kristus ke sorga (Efesus 4:7-12). Jadi dalam hal ini jelas

gereja tidak bisa disamakan dengan Israel, sehingga gereja bukan Israel baru,

meskipun mempunyai karakteristik yang sama dalam pemilihan dan panggilan

Allah.

BAB. III
15
A. Naftalino, Teologi Misi, Misi di abad Posmodernisme. (Jakarta: Logos Heaven Light, 2007),
44.
19

MISI DALAM SEJARAH GEREJA

Sejarah Misiologi belum terlalu panjang karena pada abad-abad pertama sejarah
gereja umum belum menerima misiologi sebagai satu ilmu.Walaupun misi dilakukan, baik
oleh para Rasul. Sebelum memahami tentang misi dalam sejarah gereja maka perlulah
memahami hubungan misi dan gereja sebagai pengantar.

III.1. Hubungan Misi Dan Gereja

Pemikiran Karl Barth yang dikutip Widi Artanto sebagai berikut:

Misi datangnya hanya dari Allah sendiri. Keyakinan ini bukan diambil
dari eklesiologi dan soteorologi melainkan dari doktrin Trinitas. Seperti Allah
mengutus Putra dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiganya mengutus
gereja ke tengah-tengah dunia.16
Selanjutnya Adolf Von Harnak yang dikutip Widi Artanto menulis:

Misi adalah tugas total dari Allah yang mengutus Gereja guna demi
keselamatan dunia, gereja diutus ke dalam dunia untuk mengasihi, mengajar,
melayani, berkhotbah, menyembuhkan dan membebaskan (Gereja membawa
kabar baik ”shalom” Allah)17
Jadi dapat dimengerti bahwa hubungan antara Misi dan Gereja terdapat
dalam dua konsep dasar yaitu: pertama: Misi merupakan panggilan gereja secara
esensi. Kedua: Implementasi misi merupakan tanggung jawab gereja. Dengan
demikian implementasi misi dijalankan oleh gereja sebagai tugas dan panggilannya
di tengah-tengah dunia.

Misi Sebagai Tanggung Jawab Gereja: Gereja pada hakekatnya adalah


misioner, dasarnya adalah 1 Petrus 2:9 “tetapi kamulah bangsa yang terpilih, …
Panggilan gereja ini senada dengan panggilan Israel yang diungkapkan dalam
perjanjian pada masa Musa (Keluaran 19:5-6), meskipun implementasi misi dari
dua panggilan ini berbeda. Gereja diutus untuk membangun dirinya sehubungan
dengan panggilan misinya. Bila elemen misi yang esensi adalah Pekabaran Injil,
maka panggilan gereja yang utama adalah pekabaran Injil dalam berbagai bidang/
holistik.

16
Widi Artanto. Ibid., 65.
17
Ibid.
20

Implementasi Misi Sebagai Tanggung Jawab Gereja: Gereja mula-mula


menunjukan keterlibatannya dalam pelayanan; pelayanan dari kata dasar ‘layan’
artinya “membantu menyiapkan (mengurus) apa yang dipeperlukan orang lain;
orang yang melayani, pembantu, pesuruh” dengan demikian dapat dimengerti
bahwa pelayanan artinya cara melayani kebutuhan orang lain baik jasmani maupun
rohani.18 Pelayanan misi pekabaran Injil yang dipaparkan dalam Alkitab (Kisah
Para Rasul) contoh: Paulus dalam Filipi 1:3-6 “Aku mengucap syukur kepada
Allah … “ hal ini merupakan ungkapan syukur Paulus atas keterlibatan jemaat
Filipi dalam misi Pekabaran Injil yang mereka lakukan. Jadi pada prinsipnya,
implementasi misi dalam Pekabaran Injil merupakan tanggung jawab
penatalayanan gereja yakni pemberitaan tentang Kristus dalam proklamasi dan
tindakan praktis dalam masyarakat.

III.2. Misi Dalam Gereja Lama ± 0 – 300 M


Orang Kristen pada awalnya diperhadapkan dengan kebudayaan; dalam PB
dapatlah dilihat bahwa perjumpaan antara Yesus dan kebudayaan Yahudi.
Dilanjutkan dengan para rasul yang juga diperhadapkan dengan perjumpaan
dengan kebudayaan-kebudayaan di sekitar Yahudi/ gereja diperhadapkan dengan
kebudayaan Helenis yang berbeda dengan kebudayaan Yahudi dalam PL.
Rasul Paulus dikenal dalam perjumpaannya dengan kebudayaan-
kebudayaan di luar Yahudi membentuk model-model dalam perjumpaan antara
kristen dan kebudayan di luar Yahudi (KPR. 16:....) dalam hal ini sikap Paulus
cukup lunak; maksudnya: selama kebudayaan tidak bertentangan dengan iman
Kristen, kebudayaan tidak dipersoalkan.
Gereja kuno berjumpa dengan kebudayaan Yunani dan Romawi yang
berkaitan dengan penyembahan kepada dewa-dewi itu ditolak, perjumpaan dengan
filsafat Yunani merupakan bekal yang baik dalam pendekatan pendidikan dalam
budaya Yunani tetapi ketika gnostik Kristen memakai gagasan-gagasan filsafat
Yunani untuk mengembangkan bentuk kekristenan maka sikap terhadap filsafat
Yunani mulai berubah dan mulai menjadi sikap menolak 19. Dalam bidang etika
Kristenpun menunjukan pengaruh filsafat Yunani, yang ditandai dengan tekanan

18
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1996)., 571.
Christiaan de Jonge, GEREJA MENCARI JAWAB – Kapita Selekta Sejarah Gereja. (Jakarta:
19

BPK Gunung Mulia,2000).,61.


21

pada sikap menahan diri dan menghindari hal-hal yang berlebihan seperti emosi
(hal ini merupakan salah satu ciri dari filsafat Stoa).
Kepercayaan kepada hal-hal yang ajaibpun menjadi ciri dari gereja lama
sehingga terdapat pemahaman bahwa orang-orang yang mati syahid memperoleh
hubungan yang lebih dekat dengan daripada orang-orang lain sehingga
mempengaruhi bukan hanya para jemaat tetapi para teologpun dipengaruhi oleh
pemahaman ini. Hal ini menyebabkan tulisan-tulisan dijaman ini banyak
menceritakan tentang kisah-kisah orang yang mati syahit dan pada akhirnya
berpengaruh terhadap kepercayaan dikemudian hari yakni penghormatan kepada
orang-orang yang mati syahit.
Sikap terbuka terhadap hal-hal yang bersifat tidak alamiah mempengaruhi
pertambahan anggota gereja ditambah dengan agama Kristen dijadikan agama
rakyat oleh kekaisaran Romawi. Demikianlah orang Kristen bertambah banyak
dengan segala pengaruh yang berkembangnya berdasarkan kebudayaan yang ada
maka gereja mengambil sikap untuk melarang penyembahan kepada orang mati,
penyembahan berhala dan mengarahkan kepercayaan jaman itu kepada orang-
orang yang mati syahit, benda-benda keramat diganti dengan simbol-simbol gereja
dan hari-hari raya kekafiran diganti dengan hari raya yang dimaknai dengan
pandangan Kristen (contoh: Hari Natal/Christmas- Perayaan kelahiran Yesus
Kristus pada tanggal 25 Desember. Pesta ini berasal dari Barat, menggantikan
pesta kafir yang memuja Matahari yang tak terkalahklan.20 Natal Yesus Kristus
menjadi hari raya istimewa. Tidak ada yang tahu pasti hari kelahiran Yesus Kristus
yang sesungguhnya; Mulai abad ke-4 gereja-gereja di Barat telah menerima
tanggal 25 Desember sebagi hari kelahiran Yesus Kristus; Andar Ismail menulis:
Gereja Roma baru mulai merayakan Natal pada akhir abad ke-4, dan
tanggal yang dipilihnya adalah 25 Desember. Tanggal tersebut dipilih untuk
memberi isi yang baru kepada perayaan kafir yang menyambut kemuliaan
matahari ke bumi. Tidak lama kemudian kebiasaan perayaan atal pada 25
Desember itu diambil alih oleh gereja-gereja di tempat-tempat lain.21
Rasid Rachman menulis:Gereja mau menguasai pesta kafir itu dengan
merayakan hari kejadian (Natal=hari kelahiran) Kristus pada hari yang sama. Dan
memproklamasikan Kristus sebagai terang baru dan satu-satunya Matahari
Kebenaran. Tidak dapat dibuktikan dengan tepat tanggal 25 Desember sebagai

20
Ibid, 112.
21
Andar Ismail .Selamat Natal. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996),42.
22

hari kelahiran Yesus susah untuk ditelusuri. Tetapi Disamping itu pengambilan
tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus menggantikan perayaan kafir
”menyembah dewa matahari” merupakan suatu usaha kontekstulaisasi untuk
mengkristenkan hari raya saturnalia dalam kehidupan orang Romawi dan
mengambil alih pesta Mithrais (Natalis Invicti) dalam nama orang Romawi Purba
melahirkan Kelahiran matahari dan berakhirnya musim dingin. Sebutan lain unutk
merayakan musim dingin dikalangan orang Romawi adalah Sol Invictus atau
”perayaan untuk matahari yang tak terkalahkan”. 22 Jadi perayaan Natal adalah
suatu usaha kontekstualisasi paradigma dari makna budaya diadopsi menjadi
makna rohani dalam pengertian Kristuslah Sang Matahari kehidupan yang lahir
dan tak terkalahkan dalam karya-Nya.).

Pada akhirnya di masa ini terjadilah pengambil-alihan budaya-budaya kafir


menjadi budaya kristiani ditandai dengan diubahnya kuil menjadi gereja, dan
disesuikan dengan budaya kekristenan dalam proses peribadahan dan biasanya
nama-nama orang yang mati syahit dijadikan nama gereja di waktu itu.
Widi Artanto Menulis bahwa:
Karakter misi yang penting pada era itu tampak dalam ekspresi iman
Gereja Timur yang memahami gereja sebagai tanda, simbol dan sakramen
dari keilahian dalam hidup manusia untuk mengarahkan hati manusia kepada
Allah dalam satu dunia yang fatalistis. Liturgi ekaristi menjadi tempat
kesetiaan Allah dinyatakan agar manusia dapat hidup dalam “litury after
liturgy”. Kesatuan Gereja dalam minya memberikan kredibilitas kepada
Gereja dalam konteks masyarakat yang terpecah dan dunia politeis sehingga
dengan itu dunia juga dapat memandang Allah yang esa dan mulia. Kasih
Allah sebagai dasar misi lebih daripada keadilan-Nya adalah suatu pesan
revolusioner dalam dunia yang apatis. Hidup baru sebagai identitas yang
substansial dari keselamatan menambah kualitas dari keberadaan kristen
yang tidak terbandingkan dengan membantu dunia untuk mengarahkan
pandanganya kepada Allah.23

Masa ini merupakan tantangan untuk dipikirkan tentang struktur misi yang
terlalu pragmatis, kecendrungan untuk memandang misi secara eksklusif dalam
kategori verbal dan tidak adanya spiritualitas misi dalam Gereja. Semua itu secara
drastis memerosotkan usaha-usaha yang patut dihargai dalam masalah-masalah
keadilan sosial. Namun sebaliknya, unsur lain dari pemahaman misi ortodoks perlu
dipertimbangkan misalnya: peran gereja sebagai stabilisator dan peran mistis
22
A.F. Parengkuan, “Ibadah Gereja Protestan Di Indonesia” (Penyunting) Tom Therik dan Lintje
Pellu dalam Ibadah, Liturgi Dan Kontekstualisasi. (Kupang: Artha Wacana Press, 2000).47.
23
Widi Artanto, Menjadi Gereja Yang Misioner., 43.
23

dengan mengabaikan peran gereja sebagai emansipator dan peran mesianis


terhadap dunia di sekitarnya. Gereja dipandanng dengan kata kunci tradisi,
doxology, fathers karena gereja dianggap sebagai benteng yang harus
mempertahankan doktrin yang benar. Gereja lalu tumbuh dari dalam, a-politis dan
tidak punya perhatian terhadap mereka yang ada di luar Gereja. Kemapanan Gereja
sebagai institusi telah menutup keselamatan bagi dunia luar. Iman Kristen menjadi
kamar tersendiri yang tertutup dan dinyatakan dalam upacara sakramen dan liturgi.
Semangat eskatologis diganti oleh berbagai fase pendidikan iman, yaitu hidup
baru dan tahap-tahap selanjutnya sehingga berjumpa dengan Allah. Perhatian
terhadap pertumbuhan iman seperti itu menempatkan dunia dan sejarah sebagai
ilusi. Konsekuensinya, jika orang-orang yang percaya terlibat dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, sangat mungkin mereka melakukannya dengan syarat-
syarat dan dengan kesadaran yang rendah.

III.3. Misi Zaman Pertengahan (± 300-1500 M)


Thomas Aquinas yang menulis buku Summa kontra gentiles (ajaran
melawan orang kafir) terutama menguraikan pendekatan kepada orang kafir dan
orang Islam karena kedua golongan ini tidak mengakui Perjanjian Lama,
sedangkan Perjanjian Baru diterima oleh mereka sebagai bidat saja.
Raimundus Lullus (1235–1315) seorang biarawan Dominikan mengadakan
PI kepada orangYahudi dan Islam. Dia pernah menulis sebuah buku yang berjudul
‘Kitab tentang orang kafir dan tiga orang berhikmat’ (Kristen, Yahudi dan
Islam).Mereka bertiga meyakinkan bahwa ada Allah yang benar. Kemudian
mereka mempunyai rencana akan berdialog bersama-sama untuk mencapai
persetujuan dalam satu iman untuk memuliakan Allah kita.
Sesudah itu Thomas A Yesus menulis buku (1613) di dalamnya dibahas
berturut-turut hubungan orang yang berbidat yaitu Yahudi, Islam dan orang kafir.
Pemaksaan untuk bertobat dan tekanan berlebihan pada arti baptisan telah
mewarnai era ini dan menjadi sisi gelap dalam sejarah gereja. Beberapa perubahan
dalam era ini tampak dalam beberapa hal:
1. Gereja berkembang dari sebuah minoritas yang dianiaya menjadi organisasi
yang besar dan berpengaruh
2. Hubungan antara kekristenan dan Yudaisme semakin terpisah
3. Terjadi hubungan inti antara tahta dan altar
24

4. Keanggotaan gereja menjadi suatu hal yang sangat penting


5. Dogma dibakukan dengan pasti dalam rumusan yang final
6. Gerakan misi apokaliptik dari gereja perdana disingkirkan oleh ekspansi dari
kerajaaan kristen.
Pada era ini Agustinus menjadi Awal dan Tomas Aqiunas menjadi klimaks
dalam pemikiran teologi saat itu. Pemikiran Tomas Aquinas yang selalu melihat
segala sesuatu sebagai sintesis dalam tata hubungan natural dan supranatural,
pengetahuan dan keberadaan, akal dan iman, alam dan anugerah, gereja dan
negara, filsafat dan teologi telah menandai perkembangan ide misi dalam puncak
abad pertengahan dan seterusnya bahkan sampai abad ke- 20. Pemikiran ini juga
dimanifestasikan oleh misi Eropa ke dunia timur.
III.4. Misi Zaman Reformasi/ Pietisme (± 1500-1800 M)24
Para reformator tidak sedikitpun berminat kepada Pekabaran Injil, mereka
tidak terlalu memikirkan misi secara ilmiah. Marthin Bucer merupakan satu
perkecualian. Dari Pihak Lutheran yang menonjol yaitu Yustinian von Wels. Ada
beberapa orang lain yang juga menguraikan hubungan dengan orang Yahudi.
Selama dalam abad pada era ini (abad ke 16 dan 17), elemen-elemen
paradigma misi cenderung berubah-ubah diantara beberapa ekstrem.
Tekanan pada kemahakuasaan Allah kadang-kadang mengalami pengaruh
yang melumpuhkan, bahkan juga ada ide keterlibatan misioner, pada saat yang lain
antara pemerintahan ilahi dan pertanggung jawaban manusia terhadap ketegangan
yang kreatif. Kadang-kadang manusia dilihat dalam perspektif kejatuhan dalam
dosa sebagai pendosa yang keras kepala dan menuju kebinasaan. Pada saat yang
lain kasih Kristus kepada manusia terhalang mendapat tekanan yang kuat. Manusia
dihakimi sebagai manusia yang dapat ditebus dan berharga pada penebusan itu.
Ortodoksi protestan cenderung meberikan pada sifat iman yang obyektif
dan meninggalkan keselamatan yang personal. Pada pihak lain pietisme menunjuk
pada ekstrim yang lain dan menekankan secara berlebihan sisi pengalaman
beragama secara subyektif. Sedangkan kelompok atau aliran lain mengatur
keseimbangan antara dua dimensi: obyektif dan subyektif menjadi kesatuan.
Sebagaian besar orang protestan saat itu hidup dalam kerangka hubungan
gereja dan negara, juga dalam hal misi. Namun kelompok-kelompok anabaptis
menolak sikap positif dan menekankan ketentuan perkecualian sendiri. ciri-ciri
24
Arie de Kuiper, Missiologia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 8
25

teokrasi calvinisme memberikan tekanan besar pada hidup kristen dalam


masyarakat luas daripada lutheran; perbedaan ini mempengaruhi praktek hidup
kaum calvinis.
Tokoh-tokoh seperti Spehner, Francke dan Zinzendorf mengarahkan lebih
banyak tentang Pekabaran Injil tetapi karangan-karangan mereka lebih bersifat
alkitabiah-metodis dari pada teoritis ilmiah.
III.5. Zaman Pencerahan
Motif para misionars pada era ini bersifat sentrifugal. Mereka tidak lagi
menerapkan secara kaku Calvinisme yang menekankan pada inisiatif penyelamatan
hanya pada Allah saja yang membawa pemahaman pada predestinasi. Inisiatif
Allah tidak meniadakan usaha manusia dalam pemberitaan injil. Penekanan pada
kemuliaan Allah bergeser pada pemahaman kasih Kristus, keselamatan pada orang
kafir dan sosial gospel.
Penekanan sebagai luapan syukur kepada Allah, yang di dalam Kristus
telah mengasihi manusia, mendorong semangat untuk mendorong orang lain
mengalami kesukaan yang sama inilah motifasi kasih yang bisa menyebabkan
asketisme, yaitu misi dilakukan untuk kepentingan diri sendiri melalui
penyangkalan diri, perbuatan baik, dan pengorbanan dalam misi. Aspek individu
dalam yang mendapat tekanan besar dalam era ini memanifestasi diri dalam dua
hal yaitu pertama misi adalah tanggung jawab individu dan kedua proklamasi injil
ditujukan kepada individu.
Gereja kristen barat memandang misi sebagai bagian dari ekspansi
kultur karena mereka memiliki hak untuk memaksakan pandangannya kepada
orang lain dan menentukan standar hidup bagi manusia. Misi kemudian dibatasi
oleh etnosentrisme. Apa yang dianggap ideal dan menengah di barat dipaksakan
kepada orang-orang di negara lain yang menerima injil. Demikian pula teologi
barat diterapkan di mana-mana tanpa perubahan dan penyesuaian sama sekali.
Gereja khatolik memakai istilah “akomodasi” dalam misi (menerapkan kebiasaan
Roma di tempat yang baru), sedangkan gereja protestan memakai istilah
“pemribumian” (sekalipun yang menentukan batas boleh dan tidak adalah para
misionaris dan bukan orang pribumi).
Dikalangan Protestan, misi bertujuan agar gereja muda yang didirikan
sebagai hasil misi memiliki kemandirian menjadi self – Governing,self-expanding,
self-supporting churches. Namun, dalam kenyataan “Gereja induk” tetap
26

memandang “Gereja muda” sebagai agen misi dan mengembangkan kawasan


industri di wilayah-wilayah misi, serta menerapkan sistim gereja barat dalam
gereja muda yang sebenarnya sangat berbeda dari segi sosial, ekonomi dan budaya.
Misi dalam era ini sejalan dengan kolonialisme dan mencapai masa
kejayaan pada tahun 1880 sampai 1920. Walaupun dalam pemahaman sudah
terjadi perubahan yang mengaskan bahwa misi adalah tugas gereja dalam
pelaksanaannya misi dan kolonisasi berjalan bersama-sama dan saling mendukung.
Slogan yang biasa dipakai adalah three C.s : Christianity, Commerce, civilization.
Teks Alkitab pada era ini adalah kisah para rasul 16:9, Yohanes 10:10, dan
amanat agung Matius 28:18-20. Pada akhir abad ke 19 kepatuhan kepada amanat
agung adalah cap dari masyarakat barat ke bumi lainnya.
III.6. Zaman Postmodern (± 1800- Sekarang)
Setelah mengikuti perkembangan misi di atas tampak dengan jelas bahwa
pergeseran misi tidak dapat diidentifikasi dengan tajam. Pada abad ke 20 sesudah
era pencerahan masih dapat dihayati dan dialami yang menggunakan pemikiran
misi sebelumnya. Misi gereja pada zaman ini tidak begitu mudah dilukiskan, dan
kata yang tepat adalah “Mosaik”. Namun hal ini tidak mengurangi usaha untuk
mempelajari paradigma yang muncul dalam era postmodernisme karena ditengah-
tengah mosaik itu terjadi antara gereja antar denominasi yang punya integritas dan
sekaligus keterbukaan untuk melaksanakan konvergensi. Untuk itulah dibutuhkan
suatu pemilihan paradigma yang dengan gereja melaksanakan kesetiaan dan
keterlibatannya dalam misi Allah di tenga-tengah dunia yang sudah dan sedang
berubah.
Dilihat dari dimensi historis, era gerakan ekumenis muncul bersama
dengan era postmodernisme setelah era pencerahan yang melahirkan modernisme
dipertanyakan keabsahannya dalam menjawab masalah manusia; Widi Artanto
mengutip Tomy Sasongko: modernisme sendiri sebagai suatu bentuk peradaban
berakar pada kebangkitan akal budi (rasionalisme), dari era pencerahan
(Enlightenment atau Aufklarung) di barat. Maka akal budi dinobatkan sebagai
penuntun perjalanan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan. Antroposentris
menjadi primadona dalam kehidupan yang berpusat pada eksistensi dan otonomi
manusia. Era itu juga ditandai bangkitnya revolusi ilmu pengetahuan. Sebagai
ekspresi paling canggih dari otonomi manusia paling bebas, kreatif, dan inovatif.
Dari teknologi lahirlah gejala ekonomi industri yang membidani revolusi industri
27

modern. Alam modernisme ditandai dengan pentingnya rasionalisme, positivisme,


dan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kriteria utama untuk mendefinisikan
gerak langkah dan tujuan hidup manusia. Asumsi yang dipegang, dengan ini
manusia akan menemukan jalan kebahagiaan. Bahkan ada klaim bahwa hanya
melalui modernisme sajalah bisa mencapai kebahagiaan. Benarkah anggapan atau
idealisme tersebut?.
Pertanyaan tersebut pada era postmodernisme dengan tegas dijawab :
“tidak” modernisme sebagai sistem budaya dan peradaban bukanlah satu-satunya
sistem yang satu-satunya mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
manusia. Ia tidak mutlak atau hanya suatu alternatif dan bukan satu sandaran yang
absolut. Modernisme ternyata mengandung kontradiksi karena ia juga menyimpan
bahaya dehumanisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta industrialisasi
telah mengancam kelestarian alam; teknologi nuklir telah membangkitkan
kecemasan massal. Masih banyak gejala modernisasi yang justru menempatkan
manusia hanya sebagai “onderdil”. Dari gerak perputaran roda industri modern
yang hampir tidak dapat dihentikan lagi. Postmodernisme menawarkan suatu
wawasan diluar modernisme yang justru membuka diri terhadap budaya dan
peradaban lainnya. Anggapan yang bernada etnosentrisme bahwa hanya seolah-
olah modernisme yang bisa membawa umat manusia menuju kebahagiaan telah
kehilangan keabsahannya. Ternyata sekelompok manusia dapat hidup bahagia
dalam sistim budaya yang dulu dicap primitif atau tradisional. Anggapan
rasionalisme adalah tolok ukur utama juga digugat dengan kenyataan yang
menunjukkan bahwa sistim berpikir irrasional tidak lebih buruk daripada cara
berpikir rasional. Dengan demikian, postmodernisme mendorong manusia untuk
menghargai dan keunikan pluralitas; Menurut David J. Bosch ada tujuh pergeseran
yang dialami manusia beragama dalam era postmodernisme.25

1. Pergeseran Rasionalitas

David J. Bosch tidak menolak rasionalitas sebab manusia membutuhkan rasio

sebagai pendorong ilmu pengetahuan berkembang.Sebab rasionalitas tanpa


25
Widi Artanto dalam Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta:Kanisius,
2001, hlm 49.
28

dimensi religius hidup manusia terasa kosong.Dengan demikian simbol, tanda

dan ritual dipakai bukan hanya menyentuh rasio manusia tetapi juga hati.

2. Pergeseran Skema Subjek-Objek

Dalam masa pencerahan manusia dan dunia dilihat secara keliru, di mana bumi

dilihat sebagai objek yang perlu dikuasai dan dieksploitasi karena memberi

keuntungan. Manusia harus melihat bumi sebagai ibu dan sebagai saudara

kakak beradik untuk umat manusia yang lain. Teknologi dilihat dalam rangka

pemenuhan nilai-nilai kerajaan Allah.

3. Penemuan Kembali Dimensi Teologis

Kehidupan manusia tidak tergantung kepada keadaan sebab-akibat karena

manusia tidak dapat melanjutkan kehidupannya sebab tanpa tujuan, arti hidup

dan harapan. Orang sekarang berpikir tentang masa yang akan datang yang

dapat berubah. Manusia harus memiliki gairah hidup untuk menjangkau dunia

yang akan datang.

4. Tantangan Terhadap Mendewakan Kemajuan

Kemajuan menimbulkan penindasan terhadap perkembangan yang disebut

pembangunan sehingga terjadi penjajahan Negara maju terhadap Negara

miskin.Kemajuan yang disebabkan oleh teknologi tidaklah disalahkan tetapi

struktur yang menindas dan menghancurkan manusia. Dari pemerataan antara

yang miskin dan kaya tidak terbukti dalam kemajuan yang menurut

modernisme akan membahagiakan semua orang.

5. Penemuan Kembali Nilai-Nilai Dalam Fakta Kehidupan

Perbedaan antara fakta dan nilai dalam masa pencerahan sangat nyata

perbedaannya namun dalam era postmodernisme semua menjadi mundur dan


29

hilang.Misi yang nyata bagi manusia adalah agar ilmu pengetahuan menjadi

alat yang benar. Sehingga tugas agama adalah melindungi manusia dai tipu

muslihat dan ketergantungan manusia pada hal yang keliru.

6. Pergeseran Kepercayaan Diri

Keyakinan akan masalah dapat terseesaikan adalah prinsip yang dianut pada

era pencerahan. Tetapi dunia pada realitasnya terjadi kejahatan dan keburukan

dalam kehidupan manusia dan struktur sosial. Manusia mencari arti hidup,

keadaan yang sedang mencari demikianlah yang harus dinyatakan agama

Kristen sebagai perwujudan visi kerajaan Allah bukan sebagai khayalan

surgawi tetapi nyata didalam pengharapan masa yang akan datang yang

memberi sinar pada dunia yang suram untuk memberi arti hidup di dunia ini.

7. Pergeseran Dari Individual Ke Ketergantungan Positif

Dalam era modernisme manusia bersifat pribadi dan bebas, sehingga apapun

yang dipikirkan selagi tidak merugikan diri sendiri akan dilakukan terhadap

orang lain dan seluruh ciptaan. Tidak ada saling bergantungan namun sekarang

semua agama dituntut untuk saling membangun dan memerhatikan terutama

berkaitan dengan ciptaan Allah yang lain. Pengaturan kehidupan dalam

masyarakat karena kehidupan sangat kacau dan diatur untuk kehidupan.

Pada tahun 1792 William Carey menulis sebuah buku yang berjudul ‘An
Inquiry into the Obligation of Christians to use Means for the Conversation of
be Heathens’.Dengan buku ini William Carey menjdai Bapak Misi modern. Selain
itu ada Aleksander Duff diEdinburgh tahun 1867 dan seorang Roma Katholik Josef
Schmitlin dari Muenster tahun 1910yang menulis buku Misiologi.
Selain ilmu PI yang pertama bisa dikatakan adalah karangan Gustav
Warneck Evangelische Missionslehre. Karangan ini mempengaruhi
perkembangan Misiologi sebagai ilmu dikemudian hari, memperlihatkan ciri-ciri
30

zamannya yakni mencampuri Pekabaran Injil dankebudayaan Barat. Beberapa


buku yang penting dalam Pekabaran Injil pada zaman itu adalah :
J. Richter, Evangelische Missionslehre, Leipzig 1927
R. Allen, The spontaneous Expansion of the Church, London, 1927
E.D. Soper, The Philosophy of the Christian World Mission, New York, 1929
H.W. Schomerus, Missionswissenschaft, Leipzig, 1935
H. Kraemer, The Christian Mission in a non-Christian World, London, 1938
M.A.C. Waren, The Christian Mission, London, 1953
W. Holsten, Das Kergyma und der Mensch, London, 1953
J.H. Bavinck, Inleiding in de Zendingswetenschap, Kampen 1954: Bahasa
Inggris :
An introduction to the Science of Missions, Philadelphia, 1960
H. Kraemer, Religion and Christian Faith, London, 1956
H. Lindsell, Missionary Principles and Practice, Westwood, N.J.1955
W. Anderson, Towards a Theology of Mission, London, 1955
G.F. Vicedom, Missio Dei (Einfuehrung in eine Theologie der Mission),
Muenchen, 1958
H.J. Margull, Theologie der missionarischen Verkuendingung, Struttgart,
1959
K. Barth, Kirchliche Dogmatik IV/3, Zollikon, 1959
G.H. Anderson (ed) The Theology of the Christian Mission, London 1961
J. Blauw, Gottes Werk in dieser Welt, Muenchen, 1961
D.T. Niles, Upon the Earth, London, 1962
F. Hahn, Das Verstaendnis der Mission im Neuen Testament, Neukirchen
Vlyn, 1963
A.Th. van Leeuwen, Chistianity in World History, London, 1964
M Linz, Anwalt der Welt (zur Theologie der Mission), Berlin 1964
Dari pihak Katholik :
J. Schmidlin, Katholische Missionslehre im Grundriss, Muenster, 1923
J. Schmidlin, Einfuehrung in die Missionswissenschaft, Muenster, 1925
A. Mulders, Inleiding tot de Missie Wetenschaft, ’s Hertogenbosch, 1937
A.V. Seumois, Introduction a la Missiologie, Schoeneck-Beckenried, 1952
A. Mulders, Missiologisch Bestek, Hilversum, 1962
31

Th. Ohm, Machet zu Juengern alle Voelker (Theorie der Mission), Freiburg,
i.B. 1962 (band. Kuiper,13-14)
Selain itu laporan-laporan dan konferensi-konferensi besar di bidang misi,
pertemuanpertemuanMissionary International Counsel ini sangat penting, sesuai
dengan konferensiyang diadakan di Edinburgh tahun 1910 dstnya.

III.7.Selayang pandang tentang Misi dalam Sejarah Gereja Indonesia

Kilasan Sejarah Gereja Indonesia Kedatangan bangsa-bangsa Barat, khususnya


Portugis dan Spanyol pada awal abad ke-16 membuka babak baru sama sekali.
“Kekristenan (Katolik) berkembang di Indonesia pada zaman Portugis terutama di
Indonesia Timur (Maluku, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara).” 26 “Salah seorang
tokoh pekabar Injil yang paling terkenal giat pada zaman itu ialah Fransiskus
Xaverius (1506-1552).” 27
Indonesia pada abad ke-16 termasuk wilayah pengaruh Portugis.
“Pekabaran Injil mula-mula memperlihatkan corak umum, yaitu (a) hubungan yang
erat antara pekabaran Injil dengan kekuasaaan bangsa kulit putih; (b) dangkalnya
pengajaran agama-agama; (c) kesetiaan kepada Kristen yang sering
mengagumkan.”28
Perkembangan Agama Kristen di Indonesia: Untuk mengetahui
perkembangan agama Kristen dan perjumpaannya dengan penganut agama lain,
penulis akan memaparkan dengan membaginya menjadi beberapa periode seperti
berikut :

1. Masa Portugis
Pada waktu orang Portugis tiba di Nusantara, penduduk daerah pesisir
Sumatera dan Jawa sudah masuk Islam. Lagipula dari sudut pandang politik,
masyarakat tersebut relatif kompak; terbukti dengan terbentuknya kerajaan-
kerajaan yang kuat dengan wilayah yang relatif besar, seperti Aceh, Johor,
Banten, dan Demak. “Misi tidak berhasil mendapat tempat berpijak di daerah-
daerah tersebut.”29

26
Zakaria Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme. 13.
27
Th. Van den End, Harta dalam Bejana. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), 207.
28
Ibid, 212.
29
Van den End (editor), Kegiatan Misi di Indonesia dalam Sejarah Gereja Protestan di Indonesia.
11.
32

Perkembangan di Indonesia Timur berbeda, agama Kristen memang


berhasil ditanamkan. Hanya cara perluasannya tidak terencana. Sarikat Yesus
mencoba menyebarkan Injil dengan lebih teratur. Tetapi peperangan
menyebabkan penanaman jemaat-jemaat di daerah-daerah baru tidak berhasil.
Pada tahun 1522, tidak sampai setengah abad sesudah Islam masuk di Ternate,
orang Portugis mendirikan benteng di pulau tersebut. Dengan demikiran, Portugis
menjadi sekutu orang Ternate untuk sementara waktu. Beberapa pembesar
kerajaan dibaptis, tetapi dinasti Kerajaan dan masyarakat tetap berpegang teguh
pada agama Islam yang dianut sejak tahun 1473.
Perkembangan agama Kristen di Halmahera tidak dapat bertahan
karena tahun 1570 berkobar perang antara Ternate dengan Portugis, yang telah
membunuh Sultan Hairun. Pembunuhan ini menyebabkan persekutuan yang lama
berbalik menjadi permusuhan. Akantetapi, benih Kristen berhasil ditanamkan di
Ambon. Sejumlah kampung di Teluk Hitu yang belum masuk Islam meminta
bantuan Portugis, menerima agama orang Portugis (Kristen) yang dikemudian
hari agama Kristen meluas ke kampung-kampung lain di Ambon dan Lease.
Agama Kristen juga tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Perkembangan agama Kristen dalam abad ke-16 merupakan awal
sejarah agama Kristen di Indonesia. Menurut Van den End, ciri-ciri penyebaran
agama Kristen pada abad ke-16 adalah :
1. Agama Kristen tidak dipaksakan kepada orang Indonesia, tetapi diterima
berdasarkan pertimbangan politis, ekonomi, etnologis, militer.
2. Penyebaran agama Kristen tidak merupakan fenomena religius semata,
tetapi terjalin dengan berbagai faktor lain.
3. Titik berat jemaah Kristen terdapat di Indonesia Timur.
4. Bagi penganutnya, agama Kristen bukan merupakan unsur asing,
melainkan milik sendiri.Orang Kristen bersedia mempertahankan dan
membela identitas yang baru itu terhadap musuhnya.30

2. Masa Vereenigne Oost-Indische Compagnie/ VOC (1596-1799)


Kristen Protestan hadir di Indonesia sejak akhir abad ke-16, dibawa oleh
personel armada dagang Belanda yang kemudian bergabung dalam VOC. “Gereja
Protestan Belanda pada masa itu mengacu pada Pengakuan Iman Belanda tahun
1561 pasal 36 menitipkan tugas kepada VOC untuk ikut mewartakan Injil dan
ajaran Kristen-Protestan kepada masyarakat yang dijumpai.” 31 Namun, kongsi
30
Ibid, 13.
31
Th. Van den End (penyeleksi), Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), hlm. 53.
33

dagang ini maupun para personelnya tidak banyak berminat kepada tugas itu;
minatnya lebih banyak kepada perolehan keuntungan material lewat penguasan
dan monopoli perdagangan hasil bumi dan komoditas lainnya.
“VOC adalah sebuah kongsi besar yang dibentuk oleh pedagang Belanda
pada tahun 1602. VOC mempunyai tujuan lain dari gereja.” 32 Karena itu tidak
heran bila jumlah orang Kristen pada periode ini tidak berkembang, bahkan
merosot, dibandingkan dengan jumlah orang Kristen Katolik pada masa Portugis
- Spanyol abad ke-16. “Jemaat-jemaat Kristen juga hanya ada di beberapa kota
pelabuhan antara lain Batavia, Semarang, Surabaya, Padang, Makassar, Ambon,
dan Ternate, yang secara organisatoris diurus oleh sebuah majelis/pengurus
gereja yang berkedudukan di Batavia, yang pemimpin tertingginya adalah pejabat
VOC.”33
Karena jemaat-jemaat pada zaman VOC pada umumnya adalah “jemaat
benteng”, yakni berada di lingkungan benteng-benteng VOC, hubungan jemaat
benteng (baik yang Belanda maupun pribumi dan orang-orang Timur-asing: Cina
dan India) dengan masyarakat beragama lain, terutama Islam, sangatlah terbatas.
Lagi pula para pejabat VOC dan para pendeta yang dipekerjakan oleh VOC pada
umumnya menganut pemahaman yang negatif tentang Islam.34
Salah satu kasus yang memperlihatkan sikap negatif terhadap Islam itu
adalah pembantaian terhadap penduduk beragama Islam di pulau Banda pada
tanggal 8-11 Maret 1621, karena penduduk yang beragama Islam tidak mau
tunduk pada klaim hak monopoli perdagangan cengkeh. Domine Hulsebos,
pendeta VOC pada masa itu, menyebut dan merayakan pembantaian itu sebagai
“suatu penaklukan yang diberkati oleh Tuhan, yang patut disyukuri dan
mengucapkan pujian yang tak terhingga kepada Allah” 35. Sebenarnya tindakan itu
tidak didasarkan pada pertimbangan agama, yaitu menindas orang Islam dalam
rangka memajukan kekristenan.
Mengenai perkembangan kekristenan pada periode 1522-1799, Van den
End berkata:

32
Th. Van den End, Harta dalam Bejana, 222.
33
Th. Van den End, Ragi Carita 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 136.
34
K. Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia (1596 – 1942)
(terj.). (Bandung: Mizan, 1995), hlm 3.
35
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta: BPK G. Mulia,
2006), hlm 61.
34

Harus diakui bahwa usaha-usaha mengabarkan Injil dan menanamkan


gereja di Indonesia selama waktu 2½ abad ini adalah mengecewakan. Ini
benar kalau kita melihat hasil itu dari segi jumlah orang yang masuk
Kristen – kira-kira 100.000 orang – dan membandingkannya dengan
kemajuan yang dicapai oleh agama Islam dalam kurun waktu yang sama.
Tetapi hal yang sama juga harus dikatakan mengenai kekuatan batiniah
kekristenan di Indonesia pada zaman itu. Hanya di Maluku Tengah berhasil
dibangun suatu kekristenan yang agak mantap sedikit. Pengaruh agama
Kristen di luar lingkungan gereja adalah kecil sekali.36

3. Masa Hindia Belanda (1800-1942)


“Periode ini dapat disebut sebagai masa puncak perkembangan Kristen
(baik Katolik maupun dan terutama Protestan) di Indonesia. Abad ke-19 betul-
betul menjadi abad “abad pekabaran Injil.” 37 Sejak awal abad ke-19 puluhan
badan/lembaga penginjilan dari kalangan Katolik maupun Protestan yang datang
dari Eropa dan Amerika bekerja di Indonesia. Badan penginjilan/lembaga
penginjilan mengirimkan ribuan tenaga penginjil, baik penginjil langsung
(verbal) maupun penginjil tidak langsung, yakni yang bekerja di berbagai sarana
pelayanan: pendidikan/persekolahan, kesehatan/rumah sakit, pertanian,
pertukangan, bahasa, media komunikasi.
Di daerah-daerah yang sebagian besar penduduknya masih beragama
suku, lembaga-lembaga penginjilan (zending, mission) Protestan berhasil
membentuk jemaat-jemaat (gereja lokal) Kristen, bahkan mendirikan organisasi-
organisasi gereja (di kalangan Protestan sering disebut Sinode) yang
menghimpun dan membawahi jemaat-jemaat lokal. Di antara organisasi
gereja/sinode itu ada yang bertumbuh menjadi besar dan kuat, antara lain Huria
Kristen Batak Protestan/HKBP (berdiri tahun 193038), Gereja Masehi Injili
Minahasa/GMIM (berdiri tahun 193439), Gereja Protestan Maluku/GPM (193540),
Gereja Masehi Injili Timor/GMIT(194741), Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ),
Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja
Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST), Gereja Toraja, Gereja Masehi Injili Halmahera
(GMIH), Gereja Masehi Injili Sangir-Talaud (GMIST), Gereja Kristen Injili di

36
Th. Van Den End, Ragi Carita 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 135.
37
Harta dalamBejana. (Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1997), 247.
38
Th. Van Den End, Harta dalam Bejana. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), 274.
39
Kekristenan dan Nasionalise, 17
40
Ibid.
41
Ibid, 18.
35

Tanah Papua (GKI Papua), Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP), Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Methodist
Indonesia (GMI), Gereja Kristen Muria Indonesia, (GKMI), dan Gereja Kristen
Protestan Bali (GKPB)42. Gereja-gereja ini kelak (sejak 1950) bergabung dalam
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, sejak 1984 menjadi Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia/PGI).
Lembaga-lembaga penginjilan dari Barat itu tidak hanya berupaya
mempertobatkan orang-orang beragama suku dan beragama lain menjadi Kristen,
dalam rangka menambah juga bergiat di berbagai bidang pelayanan sosial-
kemanusiaan. Bidang-bidang ini bisa saja dilihat sebagai bidang penunjang
(hulpdienst) terhadap bidang utama (hoofddienst) yaitu penginjilan dalam rangka
pengkristenan. Tetapi gereja-gereja dan lembaga-lembaga pelayanan yang
didirikannya tidak memaksa orang-orang yang dilayani untuk menjadi Kristen.
Karena lembaga-lembaga penginjilan dan gereja-gereja yang dibentuknya
itu banyak berkiprah di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pertukangan.
Banyak orang Kristen doyan menjadi birokrat, dan pegawai/pejabat pemerintah
dari kalangan pribumi sebagian besar adalah orang Kristen. Di kalangan non-
Kristen, terutama Islam, hal ini menimbulkan kemarahan. Abdul Muis, salah
seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yang duduk di dalam Volksraad (Dewan
Rakyat) pada tahun 1920-an mengajukan keberatan terhadap pemerintah Hindia
Belanda, karena menurut pengamatannya pemerintah memberikan sangat banyak
subsidi kepada badan-badan zending bagi usaha badan-badan zending di bidang
pendidikan dan kesehatan, “sedangkan dana subsidi itu sebagian besar berasal
dari belasting (pajak) yang dibayar oleh warga masyarakat beragama Islam. 43
Protes yang sama juga dilakukan M. Natsir.”44
Baik pemerintah Hindia Belanda maupun kalangan zending dan gereja
Kristen bisa saja berargumen bahwa subsidi itu bersifat simbiosis mutualistis: di
satu sisi beban kerja pemerintah diringankan dan biaya penyelenggaraan
pendidikan dan kesehatan menjadi lebih murah bila dikerjakan kalangan Kristen,
dan di sisi lain kalangan Kristen mendapat peluang meluaskan pelayanannya
kepada masyarakat, termasuk yang bukan Kristen.

42
Ibid, 267
43
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia,, 156.
44
Harta dalam Bejana, 284.
36

Bagaimanapun juga, di kalangan masyarakat bukan Kristen fakta itu


membuat masyarakat tersebut merasa diperlakukan tidak adil. Karena itulah
perlawanan terhadap penjajahan Belanda, terutama hingga awal abad ke-20,
kebanyakan datang dari kalangan Islam. Kemarahan atau minimal rasa terganggu
dan terlecehkan di kalangan Islam menjadi semakin kuat karena kalangan
zending Barat itu pada umumnya memperlihatkan sikap dan penilaian negatif
terhadap Islam. Syukurlah bahwa tidak semua orang Kristen pada periode ini
memperlihatkan sikap dan pandangan negatif itu. Beberapa tokoh yang sangat
menghargai agama dan umat beragama lain, khususnya Islam, dan berusaha
mengungkapkan iman Kristennya dengan cara dan gaya yang akrab bagi
masyarakat Islam. Misalnya C.L. Coolen dan Paulus Tosari di Jawa Timur, serta
Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach di Jawa Tengah . 45 Pihak Islam
sendiri juga tidak semua memperlihatkan reaksi negatif terhadap sepakterjang
kalangan Kristen. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, misalnya,
menjalin hubungan yang akrab dengan kalangan zending di Yogyakarta,
walaupun “menurut Alwi Shihab Muhammadiyah didirikan dalam rangka
membendung penetrasi misi Kristen.”46
4. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Ketika Jepang menduduki Indonesia sejak Maret 1942, salah satu pihak
yang banyak menjadi korban penyiksaan hingga pembunuhan adalah kalangan
Kristen, terutama para misionaris Barat. Pribumi Kristen itu ikut menjadi korban
karena didakwa sebagai kaki tangan atau pendukung kekuasaan Barat yang
menjadi musuh Jepang pada Perang Dunia II itu.
Dalam hal organisasi, pemerintah-pendudukan Jepang di Indonesia juga
memprakarsai pembentukan wadah kesatuan gereja dengan maksud untuk
memudahkan pengendalian terhadap gereja. Itu sejalan dengan tindakan
pemerintah Jepang di negerinya, yaitu membentuk Nippon Kirisuto Kyodan
(Gereja Kristus di Jepang). Wadah kesatuan gereja bentukan Jepang yang
pertama di Indonesia adalah Ambon-syu Kiristokyo Rengokai (Gabungan Gereja-
gereja Masehi di Ambon), yang selanjutnya meluas ke Sulawesi dan Kalimantan.
Wadah seperti ini, kendati merupakan hasil rekayasa penjajah Jepang, ada juga
manfaatnya bagi kalangan gereja/orang Kristen pribumi; orang-orang Kristen

45
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 87.
46
Ibid, 87.
37

kian saling mengenal dan menyadari nasib yang sama. Karena itulah wadah ini
menjadi salah satu cikal-bakal wadah oikumenis (kesatuan gereja) yang setelah
kemerdekaan Indonesia lebih dikembangkan.
Peranan orang Kristen yang tak kurang pentingnya pada zaman Jepang
adalah dalam proses perumusan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar antara
lain Johannes Latuharhary, yang kelak menjadi gubernur Maluku yang pertama
berjuang dengan sangat gigih bersama kaum nasionalis-sekuler agar dasar negara
Indonesia bukan agama atau hukum Islam.
Karena orang Kristen terbukti ikut berjuang melawan penjajah dan
mempertahankan Repubik Indonesia (RI) dari niat Belanda dan sekutunya untuk
kembali menjajah Indonesia, maka di sepanjang masa Revolusi Fisik (1945-1949)
hubungan umat Kristen dengan umat beragama lain, khususnya Islam, relatif
cukup baik. Kalangan Kristen juga ikut menduduki jabatan-jabatan penting di
dalam pemerintahan. Tak sedikit yang diangkat menjadi menteri di dalam
kabinet-kabinet yang cukup sering jatuh-bangun di masa itu. Bahkan Amir
Sjarifuddin dua kali menjabat Perdana Menteri. Pada masa itu juga dibentuk
sebuah partai politik bagi kalangan Kristen yaitu Partai Kristen Nasional (PKN).
Gereja-gereja menjalin hubungan baik dengan partai ini, dan sebagian cukup
besar umat Kristen menyalurkan aspirasi politik melalui partai ini.
5. Masa Orde Lama (1950-1965)
Salah satu perkembangan penting di kalangan Kristen pada awal periode
Orde Lama ini adalah pembentukan Dewan Gereja Indonesia, 25 Mei 1950 oleh
22 organisasi gereja. Tujuan utama pembentukan wadah oikumenis ini
sebagaimana dikemukakan pada Anggaran Dasarnya adalah “pembentukan
Gereja Kristen yang Esa di Indonesia”. Rumusan ini merupakan rumusan
teologis, mengacu pada cita-cita keesaan Gereja yang sudah tercantum dalam doa
Yesus Kristus di taman Getsemani sebelum kematian-Nya (Yohanes 17:21). Di
sisi lain rumusan ini mengandung muatan politis, yakni mendukung cita-cita
kesatuan negara dan bangsa Indonesia dalam wujud Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Pada periode ini jumlah organisasi gereja Protestan di Indonesia
bertambah dengan cukup pesat. Hingga 1950 baru ada sekitar 40-an (20-an di
antaranya bergabung dalam Dewan Gereja Indonesia, dan dapat disebut sebagai
gereja-gereja arus utama dan merupakan gereja-gereja terbesar dalam hal jumlah
38

anggota, dari Sumatera Utara hingga Maluku, menyusul Irian Barat/Papua pada
tahun 1956). Tetapi pada akhir periode ini sudah menjadi sekitar 1980-an,
termasuk gereja-gereja Pentakostal (penginjilnya sudah hadir sejak 1920-an,
tetapi organisasinya baru sejak 1930-an), gereja-gereja Baptis (hadir dalam wujud
badan/kegiatan misi sejak awal abad ke-19, tetapi baru terbentuk sebagai
organisasi gereja sejak 1950-an), dan gereja-gereja Injili (sebagai badan/kegiatan
misi sejak 1950-an, sebagai organisasi gereja sejak akhir 1960-an).
Di bidang politik, peranan kalangan Protestan cukup menonjol. Di dalam
sekian banyak kabinet yang terbentuk dan jatuh bangun di sepanjang periode ini,
tidak pernah tidak ada wakil dari kalangan Protestan, baik dari Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) maupun dari kalangan nasionalis sekuler. Salah satu tokoh
yang cukup menonjol adalah dr. Johannes Leimena, yang menjadi Wakil Perdana
Menteri II (bahkan beberapa kali menjadi Presiden ad interim ketika Soekarno
mengadakan perjalanan ke luar negeri). Soekarno sendiri terkenal dekat dengan
kalangan Kristen, karena pengalaman dan pergaulannya pada masa penjajahan
hingga pada waktu ia menjadi Presiden. Cukup sering Soekarno menghadiri
upacara atau peristiwa penting di kalangan Kristen, antara lain dalam Sidang
Lengkap Dewan Gereja Indonesia (DGI) tahun 1956 dan 1964, sidang
pembentukan East Asia Christian Conference (EACC) 1957, dan Yubileum 100
Tahun HKBP 1961.
Ketika Soekarno sejak awal 1960-an banyak berbicara tentang “Revolusi
Kita”, TB. Simatupang yang sejak 1959 mulai melibatkan diri dalam kegiatan
gereja pada lingkup nasional (DGI) dan internasional (East Asia Christian
Counsil/ EACC dan World Christian Counsil/WCC) menerapkan gagasan itu ke
dalam lingkungan gereja. Karena itu tidak heran bila pada akhir masa Orde Lama
ini kalangan Kristen di Indonesia, termasuk Dewan Gereja Indonesia, banyak
juga menyerukan revolusi. Bahkan atas nama revolusi orang Kristen juga ikut-
ikutan menyerukan “ganyang Malaysia”.
6. Masa Orde Baru/Orba (1966-1998).
“Masa Orde Baru (1966-1982) dalam arti tertentu dapat disebut sebagai
‘masa keemasan’ kekristenan di Indonesia.”47 Pertambahan jumlah orang Kristen
secara signifikan. Setelah kegagalan Gerakan Tiga puluh September/Partai

47
Jan S. Aritonang, Disampaikan pada acara “Studi Agama-agama – Belajar Bersama Kelompok
Antar-Iman”, di Manado, 19- 22 November 2007.
39

Komunis Indonesia (G30S/PKI), banyak orang memilih menjadi Kristen, karena


takut dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan karena pemerintah tidak
memberi tempat (hak hidup) di negeri ini bagi orang yang tidak beragama. Cukup
banyak yang lebih suka memilih masuk Kristen, karena organisasi-organisasi
Islam sangat giat pada waktu penumpasan PKI, sehingga mendatangkan rasa
ngeri pada organisasi-organisasi Islam tersebut.
Sehubungan dengan adanya kebangunan rohani ataupun peluang emas
pasca Gerakan Tiga Puluh September (G30S) itu, semakin banyak badan
penginjilan (misi) dari luar negeri yang berkiprah di Indonesia, terutama dari
kalangan Evangelical (Injili) dan Pentakostal-Kharismatik. Sejalan dengan itu
berdirilah puluhan organisasi gereja baru, baik yang disponsori oleh badan-badan
misi itu maupun hasil “pembiakan” (perpecahan) dari gereja-gereja yang sudah
ada sebelumnya.
Banyak pejabat tinggi negara (menteri.) dari kalangan Kristen (Protestan
maupun Katolik). Karena gereja-gereja/orang Kristen merasa dekat dengan
penguasa, gereja-gereja/orang-orang Kristen merasa mendapat kebebasan untuk
mengembangkan diri di berbagai bidang kehidupan, dan sedikit-banyak hal itu
mendatangkan sikap arogan di kalangan Kristen tertentu.
Dalam situasi seperti itu tidak heran bila (sebagian dari) kalangan Islam
merasa terganggu bahkan terancam. Mulailah ditiupkan isu kristenisasi, dan
semakin banyak polemik terjadi di antara kalangan Kristen dan Islam mengenai
hal itu. Salah satu diantaranya adalah menjelang, pada waktu, dan sesudah
Musyawarah Antar-Agama 30 November 1967. Pada waktu itu beberapa tokoh
Islam (antara lain H.M. Rasjidi dan M. Natsir) mengusulkan agar pemerintah
membuat peraturan yang pada intinya melarang penyiaran agama lain kepada
orang yang sudah beragama tertentu. Kalangan Kristen (antar lain T.B.
Simatupang) menentang usul itu, karena menurut kalangan Kristen hal itu
bertentangan dengan sifat dasar agama Kristen sebagai agama misioner, maupun
dengan kebebasan beragama (termasuk beralih agama) yang dijamin oleh
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (HAM) maupun Undang-Undang
Dasar 1945. Pemerintah tidak begitu saja mengikuti kemauan pihak Kristen.
Sejak akhir 1960-an mulai dikeluarkan sejumlah ketentuan yang bertujuan
menjaga kerukunan maupun membatasi atau mengendalikan kebebasan
menyiarkan agama, termasuk mendirikan rumah ibadah dan menerima bantuan
40

dari luar negeri (baik tenaga maupun dana) untuk urusan penyiaran agama yaitu
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no
1/1969 serta SK Menteri Agama no. 70 dan 77/1978. Semua itu bukan membuat
hubungan di antara umat beragama khususnya Kristen dan Islam menjadi lebih
baik, melainkan sebaliknya.
Sebenarnya, kira-kira bersamaan dengan semakin tingginya tingkat
ketegangan hubungan di antara penganut kedua agama ini, sudah dimulai juga
rangkaian musyawarah atau dialog antar umat beragama, baik di luar maupun di
dalam negeri. Kegiatan ini semakin banyak diadakan bersamaan dengan semakin
berkembangnya wacana dan wawasan pluralisme. Di sepanjang masa Orde Baru,
dan berlanjut hingga Era Reformasi sekarang ini, tak terbilang banyaknya
kegiatan yang bersifat antar-agama/interfaith (dengan berbagai istilah), baik
berupa musyawarah atau dialog maupun studi yang lebih serius dan mendalam
dan berlangsung dalam jangka waktu lebih lama. Seiring dengan itu dibentuk
juga berbagai forum ataupun organisasi lintas-agama, antara lain DIAN (Dialog
Antar Iman di Indonesia)/ Interfidei (Institute for Inter-Faith Dialogue in
Indonesia).
Semakin sulitnya mendapat izin membangun rumah ibadah membuat
orang Kristen menggunakan gedung-gedung pertemuan umum (termasuk hotel
dan restoran) atau menyewa ruko (rumah-toko) untuk beribadah. Ketika peluang
untuk menjadi pejabat negara semakin terbatas, banyak dari kalangan Kristen
meningkatkan kiprah di sektor swasta. Karena itu, walaupun pada akhir periode
Orde Baru ini banyak orang Kristen yang mengeluh (bahkan meratap), tetapi
secara umum dan secara kuantitatif tidak terlihat penurunan yang signifikan.

BAB. IV
41

KONTEKSTUALISASI DALAM MISI

Kontekstualisasi dalam bahan ajar ini tidak membahas tentang sejarah


perkembangannya. Penekanan bahwa misi dilaksanakan bukan secara ekstrim seolah-olah
injil seperti ilmu pasti sehingga terjadi pemahaman Alkitab dan penerapannya bersifat
harafiah maksudnya injil diartikan secara kaku dan memaksakan alkitab kepada obyek
dalam alkitab. Hal ini bukan berarti kontekstualisasi implikasinya disesuaikan dengan
konteks budaya, yang mengarah kepaada pluralisme, sinkritisme dan relativisme. Banyak
teori tentang pengertian kontekstualisasi karena itu defenisi yang dipakai dalam bagian ini
diambil dari konsep Teological Education Fund (TEF).
“kami memahami istilah tersebut sebagai membuat konsep atau cita-cita menjadi
relevan dalam situasi tertentu” (Kato 1975; hlm 1217). “(kontektualisasi adalah)
penerjemahan isi injil kerajaan yang tidak berubah kedalam bentuk lisan yng
bermakna bagi bangsa-bangsa dalam budaya mereka dan dalam situasi-situasi
eksistensi mereka (Niccholss 1979; hlm 674), “kontekstualisasi yang diterapkan
secara tepat berarti menemukan implikasi-implikasi yang sah dari injil dari suatu
situasi tertentu. ini lebih dalam daripada penerapan saja. Penerapan dapat dibuat atau
tidak dibuat dan teks tetap sama. Tetapi implikasi-implikasi ddituntut oleh tafsiran
teks yang tepat” (Peters 1977; hlm 169).48

Dari ketiga defenisi diatas, menampakkan suatu keterkaitan yang mampu


menjawab pengertian kontekstualisasi yaitu membuat konsep yang relevan dalam situasi
tertetentu dalam penerjemahan injil yang tidak berubah kedalam bentuk lisan yang
bermakna bagi bangsa-bangsa dalam budaya mereka, pada situasi eksistensi objek yang
diterapkan secara tetap dan menemukan implikasi-implikasi yang sah dari injil. Ini lebih
dari penerapan saja yang dibuat atau tidak dibuat “tetap teks yang sama” (alkitab). Dan
implikasi-imlplikasi yang ada dituntut oleh tafsiran yang tepat. Eka Darmaputra
mengatakan: “Allah selalu bkerja secara historis dan kontekstual. Itulah sebabnya “teks”
itu selalu berada dalam “konteks. Dan oleh karena itu kita harus berbicara mengenai
“konteks”, bahkan juga ketika kita berbicara mengenai “teks”.49
Selanjutnya Eka Darmaputra mengatakan bahwa:
“Allah berkenan menyatakan kehendak-Nya pada suatu konteks ruang dan waktu
tertentu! dan Allah selalu begitu! Allah selalu bekerja dalam dan melalui sejarah.
Mempelajari Alkitab berarti berhadapan dengan penyataan kehendak Allah secara
universal itu melalui dan didalam konteks tertentu. Allah selalu bekerja secara historis
dalam konteks tertentu.50

48
David J Hasselgrave. Edward Rammen, Kontekstualisasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 54
49
Eka Darmaputra, Konteks Berteologi di Indonesia (jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 11
50
Ibid.
42

Kata "kontekstualisasi" telah ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang


misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun
1972.1 Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah
pendidikan teologi di negara-negara dunia ketiga.2 Namun, para misiolog menyadari
bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum TEF
bersidang, yaitu terdapat di Kitab Suci.3 Contohnya adalah inkarnasi Yesus Kristus dan
pendekatan Paulus pada waktu ia mengomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi
(Kis. 17:16-34; 1 Kor. 9:19-23).
Menurut Bruce B. Nichols kontekstualisasi adalah menerjemahkan isi Injil Kerajaan
Allah yang tidak berubah ke dalam bentuk-bentuk yang bermakna bagi bangsa-bangsa
dalam budaya dan keadaan/ konteks mereka masing-masing. 51 Sedangkan George W.
Peters mendefinisikan kontekstualisasi sebagai menemukan implikasi-implikasi yang sah
dari Injil dalam keadaan tertentu.52
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila ada di antara para misiolog yang
beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari istilah-istilah yang
telah ada dan dipakai sebelumnya. Istilah-istilah itu adalah indigenisasi, inkulturasi,
akomodasi, dan adaptasi (Lihat buku: Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan tentang
ringkasan pemikiran Richard Niebuhr). Selain itu, para misiolog dan teolog juga berbeda
pendapat tentang apa yang perlu dikontekstualisasikan. Apakah Alkitabnya, teologinya,
atau berita Injilnya? Mereka juga mendiskusikan tentang sejauh mana proses
kontekstualisasi itu boleh dilakukan. Apakah hanya isinya, bentuknya, atau keduanya?
Oleh karena itu, tulisan ini akan menjabarkan pengertian kontekstualisasi dan korelasi
pengertian kontekstualisasi dengan aplikasi kontekstualisasi sebagai sebuah strategi misi.
Bagian ini dibagi ke dalam tiga topik pembahasan: pertama, pemaparan persepsi
kontekstualisasi; kedua, hubungan antara kebudayaan dan worldview4 dengan
kontekstualisasi; dan ketiga, penyajian model-model kontekstualisasi.

IV.1. Peranan Allah Dalam Misi Sebagai Landasan Kontekstualisasi


Misi memiliki 4 tujuan utama :

51
Bruce B. Nichols, Contekstualisasi: A Theology of Gospel and Culture, (Downers Grove:
Interversity, 1975), 647.
52
George W. Peters, Issues Confronting Evangelical Missions dalamEvangelical Mission
Tomorrow, (Pasadena California: William Carey Library, 1977), 169.
43

a. Doksologis:
Penyembahan kepada Allah(Wahyu 7)
b. Soteriologis:
Keselamatan (PR 4:12)
c. Ekklesiologis:
Membangun Gereja (Efesus 4:15, dst)
d. Antagonistis:
Kemenangan atas kuasa gelap(Kol 1:13; 2:15)
Dalam sejarah Teologi Misi tujuan Misi sering tidak dijelaskan seperti di
atas. AndarLumbantobing dalam bukunya berbicara tentang tiga tujuan misi, yaitu :
unsur doxologies (pemulian), unsur soteriologis (pelepasan) dan unsur eschotologis
(achirat). Dulu selalu gereja yang mandiri dianggap sebagai tujuan terakhir usaha
misi, misalnya seperti RufusAnderson dan Herny Venn yang menentukan tujuan
misi lewat 3-self, yaitu self-govering, self-supporting dan self-proclaiming. Tetapi
hakekat misi bukan otonomi melainkan Kristonomi.
a) Penginjilan bukan suatu mekanisme untuk mempercepat kedatangan Kristus.
Walaupunvisi eskatologi menjadi dorongan dalam penginjilan, kedatangan
Kristus adalahpemenuhan Kerajaan Allah yang dikerjakan Allah sendiri.
b) Penginjilan bukan hanya proklamasi verbal walaupun dimensi ini jelas ada
dalampenginjilan dan dunia juga membutuhkan pernyataan verbal tentang nama
Yesus di tengah-tengah ketidakpastian yang melanda duia. Akan tetapi, hal itu
tidak terpisahkandari perbuatan bagai ‘kehadirang Kristen’ atau ‘Firman yang
menjadi daging.
Pada umumnya kalau kita mendengar istilah misi, kita cepat mengasosiasikan
misi denganYesus Kristus dan Amanat Agung. Sebenarnya misi pertama kali harus
dihubungkan dengan Allah sendiri.Kita hanya mengenal Allah yang menghendaki
misi. Setiap oknum Allah Tritunggal terlibat dalam memprakarsai proses misi
dengan tujuan pertama untuk memuliakan Allah yang Maha tinggi.
Roma 11: 36 “ Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia dan
kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”. Dalam proses Misi
atau penyelamatan manusia adalah persamaan dalam tindakan setiap oknum Allah
Tri tunggal yaitu masing-masing mencari manusia dan mengutus wakilNya dalam
melaksanakan Misi, karena Allah Bapa bertindak sebagai pelopor Misi, Yesus
44

Kristus (Allah Anak dan Putera) sebagai fondasi Misi dan Roh Kudus sebagai
pembina Misi.
1. Peranan Allah Bapa Dalam Misi
Misi lahir dari kasih Allah yang mencari manusia. Allah itu Kasih (I Yohanes
4:8,16), yang tidakingin tinggal sendiri, terpisah dari manusia, tetapi ingin
berkomunikasi dengan makhlukNya.
Itu sebabnya Allah sudah membuktikan kasihNya dalam mengutus
AnakNya yang Tunggaluntuk menyelamatkan manusia yang berdosa.Yohanes
3:16 “Karena begitu besar kasih Allahakan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan AnakNya yang Tunggal, supaya setiap orangyang percaya
kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Andres
Mc.Gorwan mengungkapkan ini dalam makalahanya “Misi dari Allah, Misi
dari Roh” sepertiberikutnya (Persetia : 1992 : 132) : Misi dari Allah berarti:
misi yang berasal dari dandiperintahkan-Nya, atau misi dimana Allah adalah
yang dikirim/diutus.
Chamberlain dalam buku Misi Allah dan Anda I, (h.10.no.14)
memberitahukan 9 alasan bagiAllah sebagai pelopor misi :
1. Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada.
2. Allah Bapa menciptakan segala sesuatu dalam keadaan amat baik adanya.
3. Allah Bapa menyediakan kerajaan sorga bagi manusia sejak dunia
dijadikan.
4. Allah Bapa langsung mencari hubungan dengan manusia yang baru jatuh
dalam dosa.
5. Allah Bapa langsung menolong manusia yang telah berdosa.
6. Allah Bapa langsung menjanjikan keselamatan kepada manusia yang
berdosa.
7. Allah Bapa yang adil dan suci menghukum manusia dengan jujur.
8. Allah Bapa memilih suatu bangsa supaya mereka menjadi saluran
keselamatan bagi manusia.
9. Allah Bapa mengutus AnakNya yang Tunggal sebagai juruselamat
manusia.
Keberadaan Allah yang sesugguhnya serta karakter-Nya adalah dasar
terdalam pekabaranInjil.Manusia tidak mungkin berpikir mengenai Allah,
kecuali dalam hal mensyaratkangagasan pekabaran Injil.
45

Bukan kesejahteraan dan kemuliaan manusia, bukan pertumubah


gereja, melainkankemuliaan Allah membentuk sasaran tertinggi dalam
pemberitaan Injil, karena keberadaandan karakter Allah adalah dasar paling
dalam dari pemberitaan Injil “Sebab segala adalah dariDia, dan oleh Dia dan
kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.
Allah Bapa sebagai tokoh Misi:
• Allah bukan allah terasing
• Allah adalah Roh Yohanes 4:24
• Allah adalah terang 1 Yohanes 1:5
• Allah adalah kasih 1 Yohanes 4:8-16).
Kesimpulan: Allah adalah Allah yang ramah, karena Dia adalah terang dan
kasih,menghendaki kebaikan bagi manusia dan selalu memberikan diri-Nya
kepada manusia.
2. Peranan Allah Anak Dalam Misi
Fondasi mutlak yang diletakkan untuk misi adalah Yesus Kristus,
Firman Allah yang menjadimanusia, mati di kayu salib dan bangkit.Walaupun
diutus oelh Allah Bapa, Dia datang secarasukarela ke dunia ini. (Yohanes
10:17-19 “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikannyawaKu untuk
menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari
padaKu,melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri.Aku
berkuasa memberikannyadan berkuasa mengambilnya kembali.Inilah tugas
yang Kuterima dari BapaKu”).Paulus jugamenyaksikan bahwa Yesus Kristus
tidak dipaksa untuk menyelamatkan dunia ini (Filipi 2:6-8).
Pengantara satu-satunya manusia dengan Allah adalah Yesus Kristus
(Yohanes 14:6, KPR 4:12, ITimotius 2:5, Yohanes 10:9). Dia mempunyai 4
fungsi dalam penyelamatan :
a. Pengantara satu-satunya bagi manusia dengan Allah
b. Mesias yang menyelamatkan orang berdosa (KPR 5:42, Yohanes 17:3,
1:14, dll)
c. Teladan (Yohanes 13:15)
d. Penguasa (Matius 28:18-20)
Penting sekali bahwa kita mengetahui bahwa Yesus Kristus tidak
mempunyai keselamatan melainkan Dia adalah Keselamatan. Keselamatan
bukan suatu kumpulan berkat khusus,melainkan keselamatan adalah diri Yesus
46

Kristus sendiri. Di dalam Dialah berdiam seluruh kepenuhan ke Allah-an,


kehidupan, kuasa, damai sejahtera dan sukacita (Kolose 2:9; Yohanes 1:12).
Apa Keselamatan itu :
1. Merupakan suatu realitas :
a. Yang masuk ke dalam diri manusia
b. Untuk mengubah kecenderungan dasar manusia
c. Membersihkan manusia dari dosa dan tidakkeberan
d. Melepaskan manusia dari perhambaan dan kebejatan
e. Mengajarkan sifat Allah kepada manusia
f. Menciptakan kembali citra Kristus di dalam manusia
g. Menjadikan manusia sebagai anak Allah yakni anggota rumah tangga
Allah
h. Memperlengkapi manusia lewat karunia Roh Kudus
2. Berasal dari yang Ilahi
3. Bersifat Kristosentris
4. Terkait Salip dan Kebangkitan
5. Diberberi berdasarkan anugerah dan iman
6. Berlaku universal
3. Peranan Allah Roh Kudus Dalam Misi
Dalam pelaksanaan Misi, Allah Roh, oknum yang ketiga dari Allah
Tritunggal mempunyaiperanan yang penting. Hal ini sejak penciptaan.
Kejadian 1:2 “Roh Kudus melayang-layang diatas permukaan air.” Peranan
Roh Kudus sebagai Pembina Misi ialah:
Mempersiapkan gereja. Tanpa karya Roh Kudus jemaat tidak bisa
melaksanakan apa-apa.Karya Roh Kudus :
1. Mempersatukan jemaat (Efesus 4:3)
2. Mengajar jemaat (Yohanes 16:13)
3. Mengggerakan jemaat (KPR 4:8, 20; 20:22-24)
4. Menyucikan jemaat (II Korintus 3:16)
5. Menguasai jemaat (KPR 3:16; Lukas 24:49)
6. Memperlengkapi jemaat (Galatia 5:22-23; I Korintus 14:4-11)
Roh Kudus tidak cuma mempersiapkan gereja, tetapi juga dunia,
supaya manusia yangseharusnya binasa dapat bertobat. Karya Roh Kudus :
47

1. Membuka mata orang berdosa supaya mereka bisa mengerti tentang


keselamatan(I Korintus 2:14).
2. Membuka hati manusia (KPR 2:14).
3. Menginsafkan dunia akan dosa (Yohanes 16:8-10).
Roh Kudus mengkoordir program Misi, karena Dia yang :
1. Memanggil pribadi-pribadi untuk pelayanan Misi.
2. Menuntun utusan Misi.
3. Memprakarsai strategi Allah di dunia.
4. Meneguhkan Injil dengan tanda-tanda dan mujizat-mujizat.
IV.2. Persepsi Kontekstualisasi
Persepsi kontekstualisasi akan dipaparkan berdasarkan konteks misiologis
dan teologis. Pemaparan tentang apa yang dimaksudkan dengan kontekstualisasi
akan dilakukan melalui penjelasan tentang apa yang seharusnya tidak dimaksudkan
dengan kontekstualisasi. Penulis berharap melalui penjelasan semacam itu, kita akan
lebih mendapatkan persepsi kontekstualisasi yang lebih komprehensif.
Pertama, konteks misiologis.James Bushwell III melihat kontekstualisasi
hanya sebagai kata baru dari indigenisasi.5 Tetapi Staf TEF membantah dengan
mengatakan bahwa kontekstualisasi memiliki arti yang lebih dari sekadar
indigenisasi.
Indigenization tends to be used in the sense of responding to the Gospel in
terms of a traditional culture. Contextualization, while not ignoring this, takes into
account the process of secularity, technology, and the struggle for human justice,
which characterize the historical moment of nations in the Third World.
(Indigenisasi cenderung digunakan dalam kaitan untuk menanggapi injil sehubungan
dengan budaya tradisional. Kontekstualisasi, dengan tidak mengabaikan hal itu, juga
memerhitungkan proses dari sekularitas, teknologi, dan perjuangan untuk keadilan
bagi manusia, yang merupakan karakteristik dari perjalanan sejarah negara di Dunia
Ketiga).6
Pada umumnya, kontekstualisasi dilihat sebagai suatu istilah yang
memaparkan tentang suatu proses di mana berita tentang iman Kristen dibuat
menjadi relevan dan berarti bagi budaya yang menjadi penerima berita tersebut.
Namun pernyataan di atas tidak berarti bahwa para misiologis dan teolog sepakat
dalam penggunaan istilah tersebut. Louis J. Luzbetak, seorang misiolog Katolik,
mengusulkan istilah "akomodasi".7
48

H. Kraemer, direktur pertama dari WCC Ecumenical Institute, mengatakan


bahwa kalangan Protestan lebih memilih memakai istilah "adaptasi pada budaya". J.
H. Bavinck, seorang teolog Reformed, lebih suka menggunakan istilah "kepemilikan
budaya". Sedangkan Charles Kraft, seorang misiolog Protestan, memilih
menggunakan istilah "transformasi budaya", dan C. S. Song, seorang teolog Asia,
memilih istilah "inkarnasi".
Kedua, konteks teologis.Menurut H. Conn dan A. Konig, kontektualisasi
selalu merupakan suatu karakteristik dari teologi.Sedangkan menurut C. Kraft,
kontekstualisasi bukan berarti suatu kontekstualisasi dari teologi yang sudah
ada.Kraft menyatakan bahwa teologi kontekstual adalah penerjemahan secara
"dynamic equivalent" dari berita iman Kristen yang diambil secara langsung dari
Kitab Suci ke dalam berbagai budaya di dunia. Oleh karena itu, kontekstualisasi
teologi haruslah alkitabiah dan tidak boleh hanya merupakan suatu proses dari jual
beli produk teologis yang sudah ada, sebagaimana yang sering dilakukan oleh
praktisi kontekstualisasi.
Para misiolog menegaskan bahwa kontekstualisasi bukan sinkretisme,
akomodasi, atau teologi situasional.Bagi mereka, kontekstualisasi adalah teologi
yang berorientasi pada Alkitab. Oleh karena itu, pada bagian ini, arti dari
sinkretisme, akomodasi, dan teologi situasional akan dijelaskan supaya kita memiliki
pengertian yang jelas tentang apa yang tidak dimaksudkan dengan pengertian
kontekstualisasi.
Pertama, sinkretisme. Sinkretisme adalah suatu proses di mana unsur-unsur
dari satu agama diintegrasikan ke dalam agama yang lain. Sebagai akibatnya, ada
perubahan yang fundamental dari agama tersebut. Dengan kata lain, sinkretisme
merupakan gabungan dari dua atau lebih kepercayaan yang saling bertolak belakang
sehingga bentuk gabungannya merupakan sebuah hal yang baru. Menurut H. Conn,
ada enam buah pertanyaan yang harus dijawab apabila seseorang ingin terhindar dari
sinkretisme.
Hampir sama dengan itu, secara ringkas S. Rowen memberikan usulan yang
lain untuk menghindari sinkretisme. Ia menyatakan bahwa kita harus dapat
membedakan mana yang normatif dan mana yang deskriptif di dalam Kitab Suci.
Untuk dapat melaksanakan hal itu, tidak ada cara lain, seorang praktisi dari
kontekstualisasi dituntut atau diharuskan untuk memiliki pengetahuan Kitab Suci
yang memadai.
49

Kedua, akomodasi.Rupanya akomodasi memiliki pengertian yang berbeda


bagi orang yang berbeda. Bagi J. Calvin, firman Allah di Alkitab merupakan
penyataan Allah di mana melaluinya Ia telah mengakomodasikan diri-Nya pada
kapasitas manusia. Sedangkan bagi misiolog Katolik, akomodasi berarti adanya
suatu proses pentransmisian teologi Barat yang tidak berubah pada gereja-gereja
Kristen di bagian dunia yang lain. Tetapi kontekstualisasi tidak memiliki arti yang
sama dengan istilah akomodasi yang dipakai oleh Calvin, karena teologi kontekstual
tidak memiliki otoritas yang sama dengan Kitab Suci. Demikian pula
kontekstualisasi bukan akomodasi sebagaimana yang dimengerti dalam konteks
misiologi Katolik, karena tujuan dari kontekstualisasi adalah untuk menghentikan
jual beli teologi Barat. Karena itu, J. H. Bavinck menolak istilah akomodasi sebab
menurutnya hal itu merupakan penyangkalan dari akibat dosa pada umat manusia
secara keseluruhan. Baginya, akomodasi merupakan usaha untuk
mengontekstualisasikan Injil dengan mengabaikan fakta bahwa budaya manusia
telah dicemari oleh dosa.
Ketiga, teologi situasional. Bong Rin Ro dan C. Nunez dkk, yang adalah
teolog-teolog yang berasal dari dunia ketiga, tidak setuju dengan pendekatan teologi
ini. Mereka percaya bahwa konteks sosial dapat berubah dan arti dari teks Alkitab
tidak boleh ditentukan oleh konteks sosial. Sebaliknya, para teolog pembebasan
berbeda pendapat dengan kedua teolog di atas. Mereka mengatakan bahwa teologi
harus bertitik tolak dari konteks sosial. Penderitaan-penderitaan dari manusia yang
tersingkir dalam masyarakat, orang-orang yang tertindas, dan orang miskin
merupakan sumber autentik untuk mengerti kebenaran kristiani. Para teolog
pembebasan meyakini bahwa gereja dan dunia tidak boleh terpisah. Mereka
menyatakan bahwa gereja harus membiarkan dirinya "didiami dan diinjili oleh
dunia".Hal ini berarti gereja harus selaras dengan dunia. Pendapat inilah yang
ditentang oleh F. Schaeffer dan teolog evangelikal lainnya. Karena menurut mereka,
Kitab Suci adalah hakim bagi budaya dan bukan sebaliknya.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kontekstualisasi bukanlah
sinkretisme, akomodasi, atau teologi situasional. Kontekstualisasi adalah proses
yang terus berlangsung dalam upaya menjadikan Injil diterima dan dimengerti oleh
si penerima dalam budaya mereka yang dinamis, baik secara politik, sosial, dan
ekonomi. Kontekstualisasi merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan yang benar
dalam budaya tertentu sesuai dengan Kitab Suci tanpa adanya pencemaran dari
50

kebenaran itu sendiri. Bersamaan dengan itu, harus diakui bahwa iman Kristen
(demikian pula kontekstualisasi) tidak dapat dipisahkan dari budaya.Sebab itu
sangatlah penting bagi para misiolog dan teolog untuk mengerti bagaimana relasi
budaya dengan Kitab Suci sebelum mereka mempraktikkan kontekstualisasi dalam
pelayanan.
IV.3. Bagaimana Relasi Budaya Dan Worldview Dengan Kontekstualisasi.
Luzbetak mengakui bahwa antropologi budaya adalah sebuah ilmu
pengetahuan yang harus dikuasai oleh para misiolog (a missionary science par
excellence). Tidak ada seni atau ilmu pengetahuan yang dapat menolong seorang
misiolog untuk memahami prasangka budaya yang dimiliki oleh dirinya dan
memahami budaya orang lain secara baik selain ilmu di atas. Konteks budaya, yang
mana merupakan topik utama dari ilmu pengetahuan ini, merupakan perlengkapan
dasar yang harus dimiliki oleh seorang misiolog.
Budaya dijelaskan sebagai pengetahuan sosial dari masyarakat tertentu, di
mana orang-orang dalam masyarakat tersebut bekerja dan mengatasi segala macam
masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun, perlu diperhatikan bahwa
menurut E. T. Hall, "budaya menyembunyikan lebih banyak daripada apa yang
dinyatakannya, dan anehnya yang disembunyikan, secara paling efektif
disembunyikan dari orang yang berbagian dengan budaya tersebut". Cara lain untuk
mengatakan hal ini adalah: budaya merupakan sebuah sistem yang implisit dari
aturan pengetahuan dan perilaku. Kelihatannya ada konsensus antropologis bahwa
budaya pada dasarnya adalah ideational. Esensi dari budaya adalah ideologi atau
worldview-nya, dan bukan pola perilaku yang dapat kita amati.
Karena itu, budaya tidak dapat dipisahkan dari worldview. Menurut Kraft:
"Worldview is culturally structured assumptions, values, and commitments
underlying a people's perception of Reality." Sudut pandang dunia itu seperti
kacamata yang telah terbentuk oleh budaya, di mana melalui kacamata itu, kita
melihat segala sesuatu di sekeliling kita. Disatu pihak, budaya membentuk
worldview. Di pihak lain, worldview membangun suatu budaya.
Dalam hal ini, S. Lingenfelter sangat tidak setuju dengan para misiolog yang
melihat budaya dan worldview sebagai alat atau peta yang netral bagi
kontekstualisasi.Ia tidak setuju karena pandangan ini menyangkali akibat dosa pada
budaya dan worldview. Pada kenyataannya, budaya dan worldview telah tercemar
oleh dosa, namun hal ini tidak berarti bahwa budaya dan worldview tidak berguna
51

dalam kontekstualisasi. Maka yang diperlukan adalah perspektif yang seimbang


dalam melihat hal ini. Menurut P. Hiebert, apabila orang Kristen telah memiliki
pengetahuan Alkitab tanpa pengetahuan tentang masyarakat di sekitarnya, mereka
akan memproklamasikan suatu berita yang tidak relevan dan sama sekali tanpa arti.
Di pihak lain, apabila orang Kristen hanya memiliki pengertian budaya di sekitarnya
tanpa pengertian tentang Injil dan dosa, mereka tidak memiliki berita untuk
disampaikan. Oleh karena itu, para misiolog membutuhkan keduanya, yaitu
pengertian tentang konteks budaya Alkitab dan budaya sekelilingnya.
Dengan demikian, kita dapat simpulkan bahwa kontekstualisasi Injil sangat
erat hubungannya dengan pengetahuan budaya dan worldview. Para misiolog dan
teolog harus mengetahui tiga hal ini untuk dapat mempraktikkan kontekstualisasi
dengan sukses: pertama, konteks budaya dari Alkitab; kedua, konteks budaya
mereka sendiri; dan ketiga, konteks budaya di sekeliling mereka di mana mereka
melayani.
IV.4. Model-Model Kontekstualisasi
Beberapa misiolog masa kini telah berhasil memetakan kategori model-
model kontekstualisasi yang ada. Misalnya, D. Hesselgrave mengusulkan empat
kategori: liberal, neoliberal, neoortodoksi, dan ortodoksi. S. Bevans mengusulkan
enam kategori: antropologis, penerjemahan, praksis, sintetik, semiotik, dan
transendental. D. S. Gilliland menggunakan lima kategori pertama dari kategori
Bevans dan ia menggantikan kategori transendental dengan model kritis. Kategori
tersebut akan penulis jelaskan satu per satu.
Pertama, kategori Hesselgrave Menurutnya, model liberal merupakan
akomodasi sinkretistik. Metode ini berusaha mencari kebenaran yang baru melalui
dialog yang bersifat kompromis antara kepercayaan yang berbeda dan hasilnya
adalah Injil sinkretistik yang baru. Sedangkan model neoliberal dan neoortodoksi
dapat dimengerti sebagai akomodasi kenabian. Kedua model di atas berusaha
mencari metode yang dapat dipakai untuk menyatakan kebenaran sesuai dengan
konteks penerima kebenaran itu.Bagi neoliberal, konteks utama adalah perjuangan
politik. Bagi neoortodoksi, konteks utama adalah ketegangan secara dialektis antara
sejarah yang terus berjalan dengan firman Tuhan. Dalam proses kontekstualisasi,
neoliberal memberikan penghargaan lebih banyak pada insight teolog, sedangkan
neoortodoksi memberikan penekanan lebih banyak pada Roh Allah. Hasilnya, model
neoliberal adalah hermeneutik politis dari Injil yang mengajak manusia untuk
52

membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik. Hasil dari model neoortodoksi
adalah bahwa manusia akan mendapatkan pengertian rohani dan identitas rohani
dalam Kristus. Sebaliknya, model ortodoksi adalah akomodasi apostolik. Metode ini
berusaha membangun dasar yang sama di mana orang tidak percaya dapat diajar
kebenaran dari Injil yang bersifat suprakultural. Hasilnya adalah transformasi dari
orang-orang yang beriman kepada Kristus.
Kedua, kategori Bevans.Menurutnya, pada model antropologi budayalah
yang mengatur teologi, bukan Kitab Suci atau tradisi. Teologi kontekstual bukan
berarti menempatkan anggur lama yang sudah teruji dalam botol yang baru. Teologi
kontekstual berarti mengembangkan anggur yang sama sekali baru. Model ini tidak
melihat bahwa budaya dapat menjadi jahat atau korup. Sedangkan model
penerjemahan mengakui bahwa esensi dari kekristenan adalah suprakultural. Oleh
karena itu, meskipun budaya diakui penting dan harus diperhitungkan dengan serius,
namun pada akhirnya berita yang bersifat suprakultural itulah yang harus menjadi
acuan. Dengan kata lain, esensi kekristenan harus dipegang dengan teguh, meskipun
pada saat usaha pemeliharaan terhadap esensi kekristenan itu bertentangan dengan
budaya.
Pengertian dari model praksis sama dengan model neoliberal (lihat
penjelasan model neoliberal di atas). Ini merupakan proses yang terus-menerus
seperti sebuah siklus. Sedangkan pelaku model sintetik percaya pada kemampuan
aplikasi secara universal dari berita iman Kristen pada setiap budaya. Karakteristik
dari model ini adalah keterbukaan dalam berdialog dengan budaya yang lain. Bentuk
dialog yang dimaksudkan di sini adalah dalam pengertian Hegelian, yaitu dialektik.
Oleh karena itu, berita iman Kristen dapat ditransformasikan dan diperkaya dalam
proses dialog itu oleh banyak budaya. Pada model semiotik, Kristus diyakini dapat
ditemukan dalam nilai, simbol, dan pola perilaku dalam sebuah budaya, serta dalam
situasi dan peristiwa yang memengaruhi budaya. Oleh karena itu, praktisi model
semiotik menggunakan simbol, dan tanda serta isu-isu yang sudah dikenal oleh
orang-orang yang menjadi penerima dalam pengomunikasian Injil.Pada model
transendental, yang menjadi tekanan utamanya adalah pengalaman
pribadi.Akibatnya, model transendental bersikeras bahwa praktisi yang paling tepat
untuk melakukan teologi kontekstual adalah orang yang berpartisipasi dalam sebuah
konteks. Dengan kata lain, praktisi kontekstualisasi harus orang dari budaya itu
sendiri.
53

Ketiga, kategori Gilliland. Kelima kategori Gilliland yang pertama sama


dengan yang diajukan oleh Bevans. Tambahan dari Gilliland adalah model kritikal
yang diinspirasikan oleh P. Hiebert di mana mereka melihat bahwa setiap model
memiliki kekuatannya sendiri dan fungsi yang khusus.Oleh karena itu, pendekatan
yang bersifat komprehensif pada kontekstualisasi menuntut penggunaan semua ide
dari semua model yang ada sesuai dengan penekanan dan tuntutan situasi tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketidaksepakatan di antara para misiolog dan
teolog dalam menamai proses kontekstualisasi berkaitan dengan pendekatan mereka
yang berbeda pada kontekstualisasi. Setiap model bukan hanya memiliki nama yang
berbeda, tetapi juga memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Benar dan
salahnya kontekstualisasi atau baik dan buruknya kontekstualisasi dinilai
berdasarkan parameter yang telah ditentukan sebelumnya.
IV.5. Dua Bahaya Kontekstualisasi
Hal penting dalam mempelajari Kontekstualisasi ada baiknya dimulai dengan
suatu pertanyaan seberapa pentingkah kontekstualisasi itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu maka, paling tidak ada dua dasar yang bisa
dijadikan acuan untuk menjawabnya.Ada dua bahaya dalam kontekstualisasi, yang
pertama, apabila kontekstualisasi tidak digunakan. Ini akan berdampak pada ketidak
relevan teologi. Seperti yang diungkapkan oleh Eka Darmaputra “kontekstualisasi
adalah teologi itu sendiri” maksudnya teologi hanya dapat disebut teologi apabila
ia benar-benar kontekstual.
Kedua, apabila kontekstualisasi dilakukan dengan terlalu bersemangat. Ini
akan beresiko pada terjadinya kompromi yang menghasilkan sinkretisme dalam
agama.
Dalam memberitakan Injil, harus menggunakan bentuk-bentuk budaya yang
cocok asal saja Injil itu tidak disangkal.Bila ini tidak dilakukan, maka ada
kemungkinan bahwa hanya lapisan-lapisan permukaan budaya saja yang diubah,
bukan lapisan-lapisan dalam.Transformasi budaya oleh Injil harus dilakukan dari
dalam, yaitu Injil merubah isi budaya yang sinkretisme dan yang bertentangan
dengan Injil sehingga nilai-nilai Injil yang pada akhirnya dijadikan patokan dasar
budaya.Injil harus dipribumikan atau mempribumi53 dengan budaya dalam setiap
konteks. Injil tidak boleh dicocok-cocokan dengan budaya/adat istiadat tetapi
budaya/adat istiadat yang harus mengikuti Injil. Oleh kareanya untuk menghadapi
53
Bandingkan dengan tulisan Robert J. Schreiter, Ibid.
54

dua bahaya kontekstualisasi ini kontekstualisasi yang dilakukan harus tunduk pada
kewibawaan Alkitab dan juga mempelajari budaya pribumi dimana kontekstualisasi
itu dilakukan.
Kontekstualisasi harus bertitik tolak dari iman kepada penyataan Allah di
dalam Yesus Kristus. Persamaan-persamaan mungkin akan ditemukan dalam
berbagai budaya, seperti halnya ketika Rasul Paulus di Anthena, tetapi kebudayaan
tidak menyediakan titik tolak.
Apabila kita mencermati pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka
terlihat dengan jelas bahwa pandangan seseorang terhadap Kitab Suci dan budaya
sangat memengaruhi apakah dalam proses kontekstualisasi ia akan menaruh Kitab
Suci sebagai acuan terakhir atau budaya yang akan menjadi acuan terakhir. Apabila
seseorang melihat kontekstualisasi sebagai proses jual beli teologi yang sudah ada,
maka hasilnya adalah teologi yang sama dalam bahasa yang berbeda. Hal di atas
sama dengan pengertian akomodasi yang dikemukakan oleh Calvin dalam
menjelaskan penyataan Allah di Alkitab, di mana teologi yang sudah ada dilihat
sebagai sesuatu yang bersifat normatif. Teologi memang bersumber dari Alkitab,
tetapi hal itu tidak boleh menjadikan teologi memiliki otoritas yang sama dengan
Alkitab.
Alkitab harus selalu menjadi acuan bagi semua teolog dan misiolog dalam
berteologi.Termasuk pada waktu merumuskan teologi yang kontekstual atau berita
iman Kristen yang kontekstual. Di pihak lain, apabila seseorang melihat
kontekstualisasi sebagai proses merumuskan teologi yang kontekstual, maka
pertanyaannya adalah apakah Kitab Suci hanya dilihat sebagai sumber dalam
merumuskan teologi yang kontekstual. Apabila ini yang dilihat oleh pelaku
kontekstualisasi, maka hasilnya adalah teologi yang sesuai dengan konteks, di mana
konteks yang menjadi acuannya. Bukankah seharusnya Kitab Suci bukan hanya
diperlakukan sebagai sumber, melainkan juga sebagai acuan dalam proses
kontekstualisasi. Dengan cara demikian, kita akan menghasilkan teologi yang
kontekstual dan Alkitabiah.
IV.6. Suatu Refleksi Kontekstualisasi di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat-
istiadat dan agama yang komunitas sosialnya hidup tersebar dalam ribuan pulau.
Penyebaran penduduk di pulau-pulau tersebut tidak merata. Penduduk yang sangat
padat seperti di pulau Jawa, dihuni oleh 58 %, pulau Sumatra 21 %, pulau Sulawesi
55

7 %, pulau Kalimantan 6 %, Bali dan Nusa Tenggara 6 % sedangkan dipulau Irian


Jaya dan Maluku dihuni oleh 3 % penduduk Indonesia.54 Hal ini menunjukkan
bahwa jumlah penduduk yang tinggal di suatu pulau berbeda dengan pulau yang lain
di Indonesia.

Menurut Sensus Penduduk Biro Pusat Statistik (BPS) Agustus tahun 2010,
jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak
237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783
perempuan dan distribusi penduduk Indonesia : Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah adalah tiga provinsi dengan urutan teratas yang berpenduduk
terbanyak, yaitu masing-masing berjumlah 43.021.826 orang, 37.476.011 orang,
dan 32.380.687 orang. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah
yang terbanyak penduduknya di luar Pulau Jawa, yaitu sebanyak 12.985.075
orang.
Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Indonesia adalah sebesar 124 orang
per km². Provinsi yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Provinsi
DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440 orang per km². Provinsi yang paling rendah
tingkat kepadatan penduduknya adalah Provinsi Papua Barat, yaitu sebesar 8
orang per km².55
Berdasarkan data dan keterangan tersebut di atas, maka tidak dapat
disangkal bahwa pluralitas dalam masyarakat adalah suatu realitas dalam negara
Republik Indonesia. Istilah “plural” berasal dari bahasa Latin “plus” menjadi
“pluralis” yang berarti “lebih” atau berarti lebih dari satu; Dalam bahasa Indonesia
ada persamaannya dari berbagai-bagai unsur. Keadaan seperti ini dalam bahasa
Indonesia diungkapkan dengan istilah “majemuk” (majmu) yang berasal dari bahasa
Arab. Dalam penulisan ini penekanannya pada pengertian plural “lebih dari satu”
baik itu dari suku, budaya, agama, bahasa, dan adat-istiadat. Pluralitas di Indonesia
amat sangat kompleks; Dalam pluralitas ini, bangsa Indonesia mampu membangun
dirinya sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai nasional. Kondisi pluralitas tidak
ditonjolkan sebagai faktor pembeda tetapi dianggap sebagai suatu anugerah dalam
pembinaan jiwa dan semangat persatuan.

Pada pendiri negara Indonesia sangat arif dan mempunyai pandangan


jauh ke depan, sehingga mereka dapat merumuskan suatu negara yang merupakan
negara kebangsaan. Hal ini diuraikan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945:

54
http://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_Indonesia_2010
55
Ibid
1
56

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu kemerdekaan negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah
yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya. Kemudiaan dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukakan kesejaterahan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhan Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakyaratan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam
permusyawataran perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.56
Dari kutipan di atas dapat dikatakan bahwa semua aktivitas di dalam
negara sudah diatur oleh Undang-Undang A.A Yewangoe mengatakan:

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki persatuan yang


meliputii segenap bangsa Indonesia dalam pengertian yang lazim negera,
penyelenggaraan negara, dan setiap warga negara wajib mengutamakan
kepentingan negara di atas golongan atau perorangan.57
Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD. 1945), maka
Pancasila dikatakan sebagai dasar negara atau ideologia atau sebagai falsafah atau
pandangan hidup bangsa, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
landasan konstitusional “aturan dasar”. Jadi negara kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945.

Dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa maka


penyelenggaraan negara menyelenggarakan program untuk mensejaterahkan rakyat
Indonesia. Program yang dimaksud adalah program Pembangunan Nasional yang
mencakup ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan dan juga tentang kepercayaan “agama”.
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur sesuai dengan isi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea kedua.
56
Sekertariat Negara Indonesia, Undang-Undang Dasar (Jakarta: CV Remeo Indonesia, 1983),1.
57
A.A Yewangoe, Iman Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2002), 202.
2
57

Cita-cita pembangunan nasional merupakan suatu permasalahan yang kompleks di


dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam pluralitas yang kompleks, bangsa
Indonesia patut bersyukur kepada Tuhan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa, bahasa dan agama dapat bersatu dalam semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” dengan semangat gotong royong yang bertoleransi antar umat
beragama.

Penyelenggaraan Pembangunan Nasional tidak lepas dari peran seluruh


rakyat Indonesia dan agama-agama yang diakui dan diharapkan untuk memberikan
landasan moral bagi pembangunan nasional, seperti yang ditegaskan dalam GBHN
1978 pada bagian Arah Pembangunan Jangka Panjang, butir tentang Agama:

Atas dasar kepercayaan Bangsa Indonesia tehadap Tuhan Yang Maha Esa maka
kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia harus benar-benar selaras dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan alam sekitar,
serta memiliki kemantapan keseimbangan dalam kehidupan lahiriah dan
batiniah serta mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong yang
berkembang sehingga sanggup serta mampu untuk melanjutkan perjungan
Bangsa dalam mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan landasan
ekonomi yang seimbang. 58
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Pancasila memotivasi bangsa
Indonesia untuk hidup dalam kerukunan sebagai hal sangat mendasar bagi
Pembangunan Nasional. Sila pertama Pancasila “Ketuhan Yang Maha Esa”
memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada agama-agama untuk
menginterprestasikan ajarannya dengan bertolak pada iman masing-masing. Sebagai
masyarakat Indonesia yang plural tentunya harus memelihara persatuan dan
kesatuan seperti tersirat dalam sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”. Jika
Pancasila, yang selanjutnya dijabarkan dalam UUD telah dirumuskan dan disepakati
sebagai konsensus bersama bangsa Indonesia untuk mengatur dan menjadi kriteria
bermasyarakat dan bangsa, maka pada hakekatnya peraturan seperti Surat Keputusan
Besama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 01/BER.MDN-MAG/1969
tanggal 13 September 1969 tentang pembangunan tempat ibadah dan tempat
kegiatan agama; disusul dengan :

1. Keputusan Menteri Agama No.70 Tahun 1978 tentang pedoman penyiaran


agama.
2. Keputusan Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 tentang bantuan luar negeri.
58
Team Pembinaan Penataran Pegawai Republik Indonesia, Bahan Penataran, (Jakarta: TPPRI,
1981), 154.
58

3. SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang
tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada
agama di Indonsia.
4. Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1981 tentang bimbing pelaksanaan
dakwah/ khotbah/ceramah agama59
Yang nampaknya membatasi kreatifitas dalam ruang aplikatif beragama
oleh berbagai penganut agama di Indonesia. Undang-Undang 1945 yang menjamin
kebebasan beragama bagi masyarakat Indonesia, sebagimana tertulis dalam BAB XI
pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.60 Pemerintah juga mengatakan bahwa lebih dari 99%
penduduk Indonesia telah memeluk salah satu agama resmi yang diakui di
Indonesia; Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama
Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya,
pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya
secara terbuka. Dalam Keppres No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid
mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran
agama Konghucu maupun aliran-aliran kepercayaan yang mengalami diskriminasi di
Indonesia; Koran Sindo menulis: “Pidato Presiden RI saat menerima penghargaan
The World Statesman dari Yayasan The Appeal of Concience di New York (30/5)
dan memberi kesan luar biasa “Kita akan melindungi kelompok minoritas dan
memastikan tidak ada yang diperlakukan diskriminasi”. Namun demikian, pada
level mobilisasi dan eksekusinya masih cukup lemah karena tidak ada langkah atau
upaya untuk merealisasikan apa yang disampaikan dalam isi pidato.; dilanjutkan
dengan pernyataan Koordinator Eksekutif Kontras Haris Azhar mengakui, kelompok
intoleransi justru muncul di era pemerintahan SBY. Dia menyebutkan sejak empat
bulan terakhir sudah ada sekitar 60 kasus intolerasi. Jumlah tersebut dinilai
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibanding dengan tahun
sebelumnya.”61 Ditambah dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor. 9 tahun 2006 BAB. IV tentang Pendirian Rumah Ibadat 62,
khusunya dalam beberapa poin; terkesan adanya diskriminasi/ penghambatan

59
Sudomo, “Beberapa Pemikiran Sekitar Pembangunan Rumah Ibadah”, dalam Kerukuranan Umat
Beragama (ed) wainata Sairin, (Jakarta: BPK: Gunung Mulia, 2002), 136.
60
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Ibid, 7. 3
61
Penyelesaian Kasus Intoleransi Tak Pernah Jelas. Koran Sindo,Rabu, 5 Juni 2013
62
Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI, Direktori Gereja-Gereja, Yayasan, Pendidikan
Agama dan Keagamaan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Aristik Citra Nuansapratama, 2011)., 45.
59

terhadap komunitas kepercayaan dengan jumlah penganut yang lebih kecil dalam
melaksanakan peribadahannya. Untuk mengakomodir berbagai-bagai kepercayaan
yang ada, pemerintah pada masa sebelumnya, telah dengan santun mengaturnya;
sebagai berikut:

Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang


No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam
penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut
oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan
kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan
pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-
agama tersebut. Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian
orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu
dari agama mayoritas.63
Di tengah-tengah realitas plural di Indonesia inilah, Gereja (Orang Kristen)
adalah bagian dari bangsa Indonesia yang mengemban tugas keimanannya sesuai
dengan kitab sucinya yakni untuk menjadi “Kamu adalah garam dunia... Kamu
adalah terang dunia...menerangi semua orang…demikianlah hendaknya terangmu
bercahaya...(Matius 5:13-16); Dengan kata lain Orang Kristen mempunyai tugas,
yakni menghadirkan dan memberitakan kabar baik (Injil) yakni shalom (damai
sejahtera) dalam wujud menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (Kasih, sukacita,
damai sejahtera, kesejahteraan, ketentraman, keharmonisan dst.) dalam realitas
masyarakat Indonesia yang plural. Orang Kristenpun diperhadapkan dengan
tantangan-tantangan pelaksanaan tugas dan panggilannya ini dalam kata dan aksi.

Di satu pihak, pluralistik merupakan satu potensi dalam membangun suatu


masyarakat jika dalam keanekaragaman itu terjalin kerja sama, toleransi dan
pengertian. Tetapi di pihak lain segi pluralistik ini dapat memunculkan berbagai
masalah konflik kemasyarakatan bahkan konflik keagamaan bila tidak terwujud
kerjasama dan saling pengertian.

Permasalahan yang muncul di sini, apa sikap Orang Kristen dalam


pelaksanaan tugas panggilan dalam perjumpaan dengan pluralitas Indonesia?
63
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama-Agama_di_Indonesia

4
60

Bagaimana “shalom” dalam kata dan aksi yang relevan dalam konteks masyarakat
plural di Indonesia, tidak mendatangkan permasalahan baru (isu kristenisasi) di
tengah realitas sosial Indonesia? Hal-hal tersebut memberi motivasi bagi penulis
untuk memikirkan dan mengkaji konsep “Perjumpaan Kristiani Dalam Bingkai
Pluralitas Indonesia Raya”, yang relevan dalam konteks masyarakat yang plural
agar diperoleh keharmonisan yang seimbang dan inklusif, pada ranah praksis dalam
masyarakat Indonesia yang plural. Pemikiran ini, dilakukan dengan tujuan agar
kekristenan dapat dipahami dengan lebih baik dan ketika berjumpa dengan sesama
warga Negara Indonesia yang berkepercayaan lain serta kekristenan dapat dipahami
dalam konteks masyarakat yang plural, sehingga ditemukan upaya yang relevan
dalam perjumpaan yang santun pada konteks realitas bingkai plural di Indonesia.

Seperti yang telah diuraikan bahwa Orang Kristen merupakan bagian yang
tak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di
Indonesia. Maka tanggung jawab sebagai Orang Kristen tidak menghilangkan
tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia, oleh karena itu Orang Kristen
harus konsekuen, dengan melaksankan panggilan menyampaikan “kabar baik/
shalom” dalam kata dan aksi (Markus 16:15); sebab tugas menyampaikan “kabar
baik” menyatu dengan hakekat Orang Kristen, sehingga tanpa menyampaikan
“kabar baik” maka tidak dapat disebutkan sebagai Orang Kristen. Pada pihak lain,
Orang Kristen sebagai warga negera Indonesia, wajib mematuhi peraturan
pemerintah dan ikut dalam seluruh aspek Pembangunan Nasional sebagai
pengamalan Pancasila. Untuk itu, Orang Kristen harus dapat bekerjasama dengan
pemerintah dan juga pemeluk agama lain untuk menciptakan negara Indonesia yang
adil dan makmur. Karena itu tulisan ini dibatasi dalam konteks identitas Orang
Kristen (kristiani “konsep dan gaya hidup”) dapat dikenal , bernegara dan berjumpa
dengan pemeluk kepercayaan lain dalam pluralitas Indonesia tanpa menimbulkan
persoalan baru.

Untuk mengakhiri bagian ini, pemikiran dari Lokakarya Persetia pada


tahun 1992 menjadi satu bahan refleksi untuk menentukan bahwa wajah Misioloig
yang kontekstual bagi Indonesia sebagai berikut:

1. Terbuka terhadap agama-agama.


61

2. Terbuka kepada cerita-cerita rakyat, ungkapan mitologis agama-agama suku dan


nilai nilai leluhur yang terkandung di dalamnya.
3. Terbuka kepada masalah-masalah praktek agama suku dalam gereja-gereja suku.
4. Terbuka kepada dunia modern dengan segala masalahnya yang sangat kompleks
dalam era idustri dan komunikasi ini.
Konteks para Misiolog yang di bawah naungan Persetia bermisiologi di
Indonesia sepertiberikutnya:
1. Refleksi Biblika yang terfokus kepada kerajaaan Allah dengan kuasa Allah
didalamnya dan pada keutuhan ciptaan. Selain itu kerja berhubungan
denganperkerjaan yang cocok dalam kerajaan Allah direfleksikan dan dipikirkan,
siapa mitrakerja gereja
2. Refleksi Analisis Sosial
3. Releksi Praktikal (life oriented)
Tugas teologi Misi:
1. Memikirkan dasar misi
2. Menyelidiki hakekat misi sesuai dengan Alkitab
3. Member tujuan dan init misi
4. Mempertanyakan motivasi untuk pelayanan lintas budaya
5. Menjelaskan penerima pelayanan misi
6. Menekankan pentingnya misi
7. Mempertanyakan tujuan dan “closure” misi
Misi Alkitabiah adalah kegiatan Allah melalui PutraNya dan gerejaNya
lewat penginjilan,pengajaran dan diakonia.Misi mulai local (di tempat di mana
orang Kristen berada) danmengalir ke suku-suku terabaikan supaya semua ethne
tercapai dengan Injil sampai Kristusdatang lagi.Misi berkaitan dengan Kerajaan
Allah yang sudah mulai dan tetap harusdinantikan.
9 Aspek Misi
1. Misi adalah tindakan Allah yang universal untuk menyelamatkan Yohanes 3:16
2. Misi terkait dengan sejarah kesalamatan Ibrani 1:1-3
3. Misi terlaksana oleh seluruh gereja Yesus Kristus 1 Petrus 2:9
4. Misi terjadi di dunia yang tersesat yang dikasihi Allah untuk diselamatkan 1
Timotius 2:4
5. Misi terdiri dari penginjilan, pengajaran dan diakonia Matius 4:23
6. Misi mulai secara local KPR 13:1-3
62

7. Misi berarti pelayanan lintas budaya Markus 16:15


8. Misi berusaha mencapai semua kaum, suku dan bangsa (ethne) Matius 24:14;
Wahyu 7
9. Misi terkai Kerajaan Allah yang sudah mulai dan tetap dinantikan Matius 28:20

Anda mungkin juga menyukai