Memang tidak bisa dinafikan bahwa ternyata kenyataan sangat jauh dari harapan. Salah satu gejala yang
mewarnai masa reformasi ini adalah justru makin merebaknya konflik sosial bernuansa SARA di
berbagai tempat. Makin merebak karena memang konflik itu sudah terjadi dalam berbagai kerusuhan
sosial di sana-sini di masa Orde Baru masih jaya-jayanya. Karena itu tidak mengherankan apabila
penguasa Orde Baru menekan potensi konflik itu seketat mungkin agar tidak meledak dengan menekan
isu-isu SARA. Ketika di masa reformasi kemampuan menekan itu jauh sangat berkurang maka konflik-
konflik horizontal bernuansa SARA-pun sangat mudah meledak dan merebak. Kepulauan Ambon,
Maluku Utara, Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah adalah beberapa wilayah dimana konflik
sosial yang berskala cukup besar terjadi dan menjadi tontonan masyarakat dunia. Dan masih ada lagi
konflik-konflik sosial yang bisa kita sebutkan, yang sifatnya lebih kecil dan sebagian dapat lebih cepat
1 Sebuah Resensi dari Buku : ”Pluralisme dan Kebebasan Beragama”, karangan Djohan Effendi, 2011.
diatasi seperti yang pernah terjadi di Kupang, Batam, beberapa tempat di pesisir utara Jawa seperti
Indramayu, Pekalongan, dan Pati. Lalu masih terdapat lagi tawuran antar kampung dan pelajar, yang
tidak jarang membawa korban harta benda dan bahkan nyawa manusia, terutama di Jakarta yang
agaknya sudah bersifat kronis. Maka kita pun menyaksikan sebuah monumen tawuran dalam wujud
”Pagar Matraman” yang sampai kini masih kokoh tegak berdiri di Jalan Matraman Raya bagaikan
”tembok Berlin” pemisah dua negara Jerman dahulu yang bermusuhan. Pembangunan ”Pagar
Matraman” tersebut menggambarkan bahwa kita seolah-olah tidak punya cara yang elegan untuk
menghentikan konflik horizontal sesama warga masyarakat. Sebuah realitas yang sangat ironis.
Konflik-konflik sosial itu terasa lebih memprihatinkan lagi karena sekaligus ia menandai munculnya
budaya kekerasan. Bahkan bukan hanya sekedar kekerasan tapi juga sadisme, kekejaman dan
kebengisan, yang tak pantas dilakukan terhadap hewan sekalipun. Memacung kepala orang yang tak
berdaya dan menenteng-nentengnya dengan tertwa bangga, membakar orang hidup-hidup hanya karena
pencurian kecil bisa dimenferti kalau hal itu terjadi dalam dunia yang masih belum mengenal peradaban.
Masyarakat kita juga seakan-akan sudah tidak percaya lagi pada hukum sebagai salah satu pilar
masyarakat modern dan beradab, dan merekapun dengan mudah menjadi hakim sendiri yang biasanya
disertai oleh kekerasan dan kekejaman. Tapi hal itu sungguh-sungguh terjadi di negeri kita di zaman
modern ini, sebuah negeri yang konon berketuhanan dan berkemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah
negeri yang penduduknya dikenal religius. Sebuah tantangan serius bagi para pemuka agama agar
khotbah-khotbah mereka selama ini tentang keindahan ajaran-ajaran agama yang menekankan nilai-
nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran agama yang
menekankan nilai-nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran
agama untuk mengobati penyakit-penyakit masyarakat kita tidak dianggap sebagai retorika kosong.
Pengamanan proses pembangunan ekonomi menuntut pendekatan keamanan untuk meredam potensi-
potensi konflik dan membiarkannya terpendam di bawah permukaan. Perbedaan pendapat dan kritik
seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap pelaksanaan pembangunan yang dijalankan pemerintah
dan karena itu harus dihadapi sebagai ”bahaya”. Kehidupan sebuah masyarakat yang demokratik
memang menuntut kesabaran dalam mengikuti proses dan prosedur, kesediaan untuk memberi dan
menerima, kesetiaan dalam mengikuti hukum dan aturan permainan, kejujuran dalam bersikap, suatu
prasyarat yang tidak familier dengan sistem yang berbau otoriter. Peredaman perbedaan pendapat dan
tersumbatnya saluran untuk mengeluarkan kritik dan uneg-uneg membuat masyarakat kita untuk sekian
lama merasa tertekan, makan hati dan menahan perasaan. Kondisi batiniah masyarakat yang seperti ini
adalah ibarat bom waktu yang menunggu saat peledakannya. Ketika saat ledakan itu tidak bisa ditahan-
tahan lagi, masyarakat mencari sasaran pelampiasan rasa tertekan selama ini dan golongan-golongan
minoritas yang lemahlah menjadi sasaran. Mereka itu bisa saja ras tertentu, minoritas agama atau orang-
orang kaya.
Problem yang lebih rumit lagi adalah bahwa perbedaan itu lebih dari sekedar perbedaan bahasa akan
tetapi pernedaan persepsi dan interpretasi. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan latar belakang,
pendidiakn maupun pengalaman, perbedaan perspektif dan interest. Untuk sekedar ilustrasi tentang
perbedaan interpretasi dan persepsi saya ingin mengambil contoh yang sangat kentara. Tanyakanlah
kepada masing-masing kita yang berasal dari daerah yang berbeda bagaimana bunyi ayam jantan
berkokok di pagi hari. Di daerah saya, Kalimantan Selatan suara ayam jantan itu adalah ”kongkook”,
di telinga teman-temna Jawa terdengar bunyi ”kokoruyuk”, teman-teman Manado mendengarnya
”kokorako” mirip pendengaran orang perancis ”cocorico”.
Dengan mengatakan hal di atas saya ingin menekankan bahwa perbedaan di antara umat manusia adalah
sesuatu tidak mungkin ditiadakan. Ia bagian dari keberadaan mereka sebagai makhluk yang unik
seklaigus majemuk. Oleh karena itu kita tidak boleh terbawa arus prasangka apalagi prasangka agama
yang bisa-bisa mendorong kita untuk saling menghakimi iman kita masing-masing. Ada cerita
imajinatif yang lagi-lagi mashyur di kalangan sufi.
Konon ada seorang rohaniwan tinggal berseberangan rumah dengan seorang pekerja seks. Setiap
membuka jendela sang rohaniwan itu melihat si perempuan itu dan terlintas dalam benaknya bahwa si
perempuan itu sedang melakukan maksiat yang terlaknat. Terbayang dalam angan-angannya bahwa
perempuan itu sedang bergelut dalam permainan cinta dengan seorang lelaki hidung belang. Sebaliknya,
si perempuan pekerja seks itu, setiap kali dia menatap rumah sang rohaniwan itu, muncul rasa
penyesalan dalam dirinya dan muncul keinginannya untuk kembali ke jalan yang benar, menghindari
perbautan maksiat dan taat melaksanakan ibadat sebagaimana dilakukan sang rohaniwan tersebut.
Syahdan, ketika keduanya berada di seberang makam sama terjadilah peristiwa yang mencengangkan
yang tidak bisa dimengerti oleh sang rohaniwan tersebut. Dia dijebloskan ke dalam neraka sedangkan
si pekerja seks itu justru dimasukkan ke dalam surga. Dengan nada protes ia bertanya kepada malaikat,
mengapa dijebloskan ia ke dalam neraka tempat orang-orang jahat seperti si perempuan pekerja seks
itu dan sebaliknya si pelacur yang berlumuran dengan kemaksiatan itu malah dimasukkan ke dalam
surga, tempat orang-orang baik yang taat melaksanakan ibadat kepada Tuhan dan menjauhi perbuatan
maksiat seperti dia jalani sepanjang hidupnya. ”Mesti ada kekeliruan” ujarnya, ”mengapa aku yang setia
mengikuti perintah Tuhan masuk neraka sedangkan dia yang setiap hari berbuat melanggar larangan-
Nya justru masuk surga. Coba lihat-lihat lagi catatan perilaku kami berdua.” Setelah sang malaikat
membuka catatan kedua orang itu dia memberi tahu sang rohaniawan. ”Memang benar kau adalah
seorang yang sangat taat beribadat tapi rupanya ibadatmu itu kalah dengan dosamu. Hatimu penuh
prasangka buruk terhadap tetangga di seberang rumahmu. Sebaliknya tetanggamu itu, setiap kali
melihat rumahmu dia menyesali perbuatan maksiatnya dan muncul keinginannya untuk bertobat dan
berhenti dari melakukan perbuatan maksiat itu. Rasa penyesalannya itu telah menghapuskan dosanya.”
Cerita imajinatif seorang Sufi itu sungguh mengandung ”wisdom” yang patut kita renungkan bersama
lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat kita saat ini ketika potensi konflik horizontal makin mudah
tersulut dan muncul ke permukaan dan merobek-robek kebersamaan kita. Kita menyaksikan dan
memprihatinkan bersama merebaknya budaya kekerasan bahkan kebengisan yang membuat kita seolah-
olah hidup dalam ”neraka”. Api kebencian telah membakar tali-tali pengikat kebersamaan kita. Keadaan
ini agaknya bermula dari prasangka buruk yang dibiarkan makin merebak dan akhirnya mengalahkan
daya nalar kita untuk tidak asal percaya terhadap berita dan cerita yang tidak jelas asal-usulnya. Masing-
masing kita merasa terancam oleh mereka yang bukan ”orang kita”. Perasaan saling terancam itu sangat
memperparah hubungan sosial warga masyarakat kita. Kita tidak mampu lagi berpikir jernih dan
obyektif. Desas-desus lebih berperan dalam membentuk persepsi dan opini masyarakat kita daripada
fakta sejatinya. Konsep tentang ”orang kita” dan ”orang mereka” makin mengental dan mempengaruhi
sikap kita dalam pergaulan masyarakat. Terbentuklah dalam pikiran bahkan pergaulan masyarakat kita
garis demarkasi antara ”kita” dan ”mereka”. Karena itu siapa yang berbaik-baik dengan ”mereka”
adalah ”musuh” kita. Lebih parah lagi, kadar keberagamaan kitapun diukur sepadan dengan kadar
kebencian kita terhadap orang lain.
Situasi kebatinan seperti ini mednorong munculnya sikap anti-pluralisme. Sikap anti pluralisme ini
dengan baik dilukiskan oleh seorang Sufi dalam kisah imajinatif yang lain.
Suatu ketika di malam hari, katanya Nabi Musa berjalan-jalan. Tiba-tiba ia mendengar suara lamat-
lamat dari sebuah rumah. Ia pasang telinganya dan terdengarlah suara munajat dari penghuni rumah itu.
”Tuhan, aku sangat merindukan-Mu. Berilah aku, Tuhan, kesempatan untuk melayani-Mu. Aku ingin
mencuci terompah-Mu yang kotor, menjahit baju-Mu yang robek dan menyisir rambut-Mu yang kusai.
Tentu saja Nabi Musa kaget mendengar doa seperti itu dan serta merta diapun masuk ke dalam rumah
menemui orang itu. Dengan nada marah dia menghardik orang itu. ”Mengapa kau berdoa seperti itu.
Kau sangat merendahkan Tuhan yang Maha Agung.” Mendengar teguran Nabi Musa orang itu menjadi
ketakutan. Dia berlari sambil merobek-robek bajunya menyesali dirinya. Tiba-tiba muncul suara. ”Hai
Musa mengapa kau marahi hamba-Ku yang bermunajat kepada-Ku?” Musa menjawab: ”Bukankah dia
telah menghina-Mu?” Muncul lagi suara itu: ”Kau tidak boleh berbuat seperti itu, memaksakan
pendapatmu. Biarkanlah hamba-Ku itu bermunajat kepadaku dengan caranya sesuai dengan tingkat
daya nalarnya.”
Seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sefaham dengannya.
Dia tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang berbeda apalagi bertentangan dengannya. Kalau
seorang anti-pluralis memegang kekuasaan dia akan memaksakan pikiran dan pendirian yang tidak
sama dengan pikiran, dan pendiriannya hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah
pikiran dan pendiriannya. Yang lain tidak. Maka dengan bersikap memonopoli kebenaran seorang yang
anti-pluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan dengan gampang menghakimi iman
orang lain. Sebagai seorang penganut suatu agama tertentu dengan seorang anti pluralis sukar
dibayangkan untuk bisa bersahabat dan bercengkerama dengan seorang penganut agama lain, dan
sebagai seorang yang bertuhan dia tidak mungkin siap berkawan akrab dengan seorang atheis.
Sebelum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut saya ingin menceritakan pengalaman ketika saya
dipercaya memimpin Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama sekitar tahun 1972-1978
ketika Departemen Agama dipimpin oleh Prof. Mukti Ali. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan oleh
proyek ini, yakni dialog tokoh-tokoh berbagai agama, penelitian bersama yang dilakukan oleh peneliti-
peneliti dari berbagai agama, dan kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai
perguruan agama dan organisasi mahasiswa berlatar belakang agama.
Pada tiga tahun pertama proyek ini menyelenggarakan dialog-dialog antar pemuka berbagai agama di
hampir semua propinsi di Tanah Air kita. Bukan hanya diikuti oleh tokoh-tokoh dari apa yang selama
ini dipersepsi secara sevagai agama-agama resmi tapi juga diikuti oleh tokoh agama lokal seperti agama
Kaharingan di Kalimantan Tengah bahkan tokoh aliran kepercayaan di Jawa Tengah. Kegiatan dialog
itu sedapat mungkin diselenggarakan di luar kota sehingga para tokoh dari agama-agama yang berbeda
itu beroleh kesempatan hidup bersama beberapa hari. Atau kalau diselenggarakan dalam kota selain
kegiatan dialog juga dilaksanakan darmawisata bersama untuk meninjau sarana-sarana kegiatan
keagamaan masing-masing sehingga berbagai tokoh agama-agama itu beroleh kesempatan untuk
bercengkerama secara santai dan informal selama perjalanan darmawisata tersebut. Yang dipentingkan
dalam dialog ini bukanlah kesepakatan pendapat yang dituangkan dalam kesimpulan tertulis tapi
kesempatan untuk membangun hubungan interpersonal yang akrab satu sama lain dari paar tokoh
berbagai agama itu yang justru tercipta di luar kegiatan dialog yang terstruktur. Terciptanya hubungan
interpersonal itu jauh lebih penting dari kesepakatan formal dan tertulis antar institusi.
Sejak tahun ketiga diselenggarakan kegiatan penelitian tentang peranan agama, baik nilai-nilai agama
maupun lembaga keagamaan, dalam kehidupan riil masyarakat. Untuk ini berbagai desa atau komunitas
di mana suatu agama dominan dijadikan sasaran penelitian yang dilaksanakan oleh para peneliti dari
berbagai agama. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan tentang hubungan dan interaksi
antara agama dan masyarakat, persamaan dan perbedaannya.
Terakhir, sejak tahun keempat difasilitasi kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa perguruan-
perguruan agama dan anggota-anggota organisasi mahasiswa yang berlatar belakang agama. Kegiatan
ini bertujuan untuk memebri ruang di mana berbagai calon pemuka agama dan tokoh umat beragama
di masa depan dapat berkenalan, bercakap-cakap dan membangun hubungan interpersonal satu sama
lain. Melalui percakapan yang terbuka dan terus terang diharapkan mereka akan sampai pada komitmen
bersama untuk membangun masa depan bangsa.
Sayang sekali pimpinan Departemen Agama sesudah Mukti Ali tidak meneruskan kegiatan ini. Persepsi
dan pemahaman tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pluralitas agama berbeda sehingga
pandangan dan sikap dalam penanganannya pun berbeda pula. Pengaturan, dan bukan dialog, yang
dianggap lebih efektif untuk mengembangkan kerukunan hidup umat beragagama. Kesepakatan formal
institusional dianggap lebih penting daripada hubungan interpersonal antar pemuka agama dalam
masyarakat. Padahal seringkali kesepakatan formal dan institusional itu lebih banyak bersifat artifisial
serta dipaksakan dan jarang menyentuh hal-hal yang justru lebih diterima secara sukarela dan berakar
dari kesadaran dan pengalaman masyarakat sendiri.
Bagaimanapun, sesungguhnya kerukunan hidup umat beragama tidaka akn tercipta oleh pengaturan dari
atas melainkan ia harus dikembangkan dari bawah. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita akhir-akhir
ini saya rasa, sedikit banyak, disebabkan oleh karena kita lebih mementingkan pendekatan tuntunan
dari atas dan kurang mengembangkan kemampuan masyarakat kita sendiri untuk memelihara
kerukunan hidup mereka. Akhirnya bangsa kita yang dahulu dianggap sebagai bangsa yang dapat
dijadikan teladan dalam memelihara kerukunan masyarakat yang sangat majemuk saat ini dikenal
sebagai bangsa yang dilanda budaya kekerasan bahkan kebengisan yang justru tidak diajarkan oleh
agama apapun.
Sebenarnya sekarang ini dirasakan saat yang sangat mendesak untuk mempergiat usaha-usha yang lebih
terarah dan terencana untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan warga bangsa kita dengan
belajar dari pengalaman pahit yang kita alami selama ini. Apa yang perlu ditekankan, saya rasa, adalah
konseptualisasi bersama tentang pluralisme dan usaha bersama untuk mensosialisasikannya. Dalam
kesempatan ini saya ingin mengemukakan beberapa gagasan untuk mewujudkan gagasan di atas.
Pertama, melakukan dialog-dialog yang teratur antar tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal agar
tercipta perkenalan dan persahabatan interpersonal di antara mereka. Melalui kegiatan ini mereka akan
mampu merumuskan bersama masalah-masalah riil yang mereka hadapi dan cara-cara memecahkannya
melalui ”local wisdom”.
Kedua, melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal
sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang
menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain.
Ketiga, di tingkat perguruan tinggi, di samping pendidikan agama masing-masing juga dilakukan kuliah
umum tentang agama-agama dari masing-masing ahlinya sehingga para mahasiswa mengetahui
perbedaan dan persamaan dari agama-agama yang ada. Khusus untuk perguruan tinggi agama,
seyogyanya dibangun kerjasama akademik melalui kuliah silang. Melalui program ini para mahsiswa
masing-masing perguruan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah agama lain dari ahli dan di
perguruan agama itu sendiri. Di samping memperoleh informasi dari tangan pertama juga terbuka
kesempatan untuk membangun persahabatan interpersonal di antara calon-calon pemuka agama dari
berbagai umat.
Tentu masih ada kegiatan-kegiatan lain yang bisa dikembangkan namun paling tidak melalui kegiatan-
kegiatan di aats apa yang kita maksudkan sebagai pendidikan pluralisme dapat dilaksanakan pada
tingkat yang lebih praktikal. Yang lebih penting lagi diharapkan sikap anti pluralis dapat dibendung
yang mau tidak mau pasti akan menimbulkan konflik.