Anda di halaman 1dari 9

AGAMA, KONFLIK DAN BUDAYA KEKERASAN 1

Oleh : Umbu Akwan


Pendahuluan
Perbincangan kita kali ini berkisar di sekitar masalah Agama, Konflik, dan Budaya Kekerasan. Masalah
yang menjadi obyek perbincangan kita ini bukanlah sebuah topik yang menyenangkan untuk
dibicarakan. Topik pembicaraan ini mengingatkan kita pada berbagai peristiwa yang terjadi di negeri
kita, berbagai peristiwa yang membuat kita memalukan dan sekaligus memilukan, sebuah topik yang
selama ini membuat kita mengelus-ngelus dada menyaksikan betapa masyarakat kita seolah-olah telah
kehilangan akal sehat dan diganti oleh emosi kemarahan dan kebencian satu sama lain. Fenomena
kemunculan budaya kekerasan yang makin lama makin menggejala itu justru memunculkan pertanyaan
di kepala banyak orang apakah angin reformasi yang berhembus di negeri kita yang membawa harapan
akan kedatangan zaman baru ketika kebebasan dinikmati, ketika nilai-nilai demokrasi mulai dihayati
dan ketika masyarakat sipil mulai memperoleh kesempatan yang selama beberapa dasa warsa tertekan
untuk mengembangkan kehidupan bangsa kita dalam bernegara akan benar-benar memberikan masa
depan kita yang lebih baik. Fenomena di atas memperlihatkan betapa agama-agama seolah-olah
mengalami kemandulan dalam mencegah munculnya budaya kekerasan yang diliputi brutalisme dan
dalam perspektif yang lebih luas hal itu menunjukkan kegagalan memberikan jawaban positif pada
harapan banyak orang ketika berbagai ideologi dianggap gagal membentuk tata dunia yang lebih adil
dan manusiawi.

Agama:Kontradiksi antara Cita-cita dan Realita


Dalam konteks kehidupan beragama fenomena di atas lebih memprihatinkan lagi karena ia muncul
setelah agama-agama mengalami apa yang disebut sebagai masa kebangkitan kembali. Anggapan
selama ini bahwa bangsa kita adalah bangsa yang religius agaknya sudah kehilangan dasar untuk
mempertahankannya. Anggapan semacam itu sudah tidak relevan lagi. Bagaimana mungkin agama-
agama yang mengajarkan nilai kemanusiaan dan peradaban melahirkan para pemeluknya yang seolah-
olah sudah tidak lagi mengenal nilai-nilai kemanusiaan. Tentu saja semua pemuka agama sepakat
bahwa budaya kekerasan dan tindakan-tindakan bengis itu tidak sesuai dengan ajaran agama apapun.
Harus dibedakan antara ajaran-ajaran agama yang luhur dengan perilaku penganut-penganutnya yang
brengsek. Tapi pertanyaan kita muncul mengapa hal-hal itu bisa terjadi justru ketika agama-agama
mengalami kebangkitan dan kesemarakan. Pendidikan agama sejak puluhan tahun diberikan di sekolah-
sekolah sejak sekolah adsar hingga perguruan tinggi. Radio dan televisi setiap pagi memprogramkan
kuliah subuh. Khotbah-khotbah keagamaan diberikan di berbagai kesempatan oleh berbagai kalangan,
remaja, pemuda, perempuan dan orang-orang dewasa umumnya. Perayaan hari-hari besar keagamaan
dilaksanakan dengan berbagai kegiatan yang menyita biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Rumah-
rumah ibadah bermunculan dalam wujud yang tidak jarang mengesankan bukan hanya indah tapi juga
mewah. Tapi mengapa muncul tindakan-tindakan kekerasan yang makin membudaya, dan jangan lupa
juga tindakan-tindakan korupsi yang agaknya masih menggurita sembari kehidupan beragama makin
semarak? Mengapa muncul gagasan untuk menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti, sebuah
agagsan yang secara tidak langsung menuduh dan menuding bahwa agama telah gagal membentuk
manusia yang berbudi pekerti luhur, insan yang mempunyai al-akhlakul-karimah.

Memang tidak bisa dinafikan bahwa ternyata kenyataan sangat jauh dari harapan. Salah satu gejala yang
mewarnai masa reformasi ini adalah justru makin merebaknya konflik sosial bernuansa SARA di
berbagai tempat. Makin merebak karena memang konflik itu sudah terjadi dalam berbagai kerusuhan
sosial di sana-sini di masa Orde Baru masih jaya-jayanya. Karena itu tidak mengherankan apabila
penguasa Orde Baru menekan potensi konflik itu seketat mungkin agar tidak meledak dengan menekan
isu-isu SARA. Ketika di masa reformasi kemampuan menekan itu jauh sangat berkurang maka konflik-
konflik horizontal bernuansa SARA-pun sangat mudah meledak dan merebak. Kepulauan Ambon,
Maluku Utara, Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah adalah beberapa wilayah dimana konflik
sosial yang berskala cukup besar terjadi dan menjadi tontonan masyarakat dunia. Dan masih ada lagi
konflik-konflik sosial yang bisa kita sebutkan, yang sifatnya lebih kecil dan sebagian dapat lebih cepat

1 Sebuah Resensi dari Buku : ”Pluralisme dan Kebebasan Beragama”, karangan Djohan Effendi, 2011.
diatasi seperti yang pernah terjadi di Kupang, Batam, beberapa tempat di pesisir utara Jawa seperti
Indramayu, Pekalongan, dan Pati. Lalu masih terdapat lagi tawuran antar kampung dan pelajar, yang
tidak jarang membawa korban harta benda dan bahkan nyawa manusia, terutama di Jakarta yang
agaknya sudah bersifat kronis. Maka kita pun menyaksikan sebuah monumen tawuran dalam wujud
”Pagar Matraman” yang sampai kini masih kokoh tegak berdiri di Jalan Matraman Raya bagaikan
”tembok Berlin” pemisah dua negara Jerman dahulu yang bermusuhan. Pembangunan ”Pagar
Matraman” tersebut menggambarkan bahwa kita seolah-olah tidak punya cara yang elegan untuk
menghentikan konflik horizontal sesama warga masyarakat. Sebuah realitas yang sangat ironis.

Konflik-konflik sosial itu terasa lebih memprihatinkan lagi karena sekaligus ia menandai munculnya
budaya kekerasan. Bahkan bukan hanya sekedar kekerasan tapi juga sadisme, kekejaman dan
kebengisan, yang tak pantas dilakukan terhadap hewan sekalipun. Memacung kepala orang yang tak
berdaya dan menenteng-nentengnya dengan tertwa bangga, membakar orang hidup-hidup hanya karena
pencurian kecil bisa dimenferti kalau hal itu terjadi dalam dunia yang masih belum mengenal peradaban.
Masyarakat kita juga seakan-akan sudah tidak percaya lagi pada hukum sebagai salah satu pilar
masyarakat modern dan beradab, dan merekapun dengan mudah menjadi hakim sendiri yang biasanya
disertai oleh kekerasan dan kekejaman. Tapi hal itu sungguh-sungguh terjadi di negeri kita di zaman
modern ini, sebuah negeri yang konon berketuhanan dan berkemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah
negeri yang penduduknya dikenal religius. Sebuah tantangan serius bagi para pemuka agama agar
khotbah-khotbah mereka selama ini tentang keindahan ajaran-ajaran agama yang menekankan nilai-
nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran agama yang
menekankan nilai-nilai kasih sayang, damai dan tiada kekerasan, dan tentang kemanjuran ajaran-ajaran
agama untuk mengobati penyakit-penyakit masyarakat kita tidak dianggap sebagai retorika kosong.

Agama di Tengah Konflik Sosial


Kalau kita mau jujur kita harus mengakui bahwa tidak satu pun agama-agama besar yang sebagian
penganutnya, walaupun jumlahnya kecil, yang tidak terlibat dalam konflik kekerasan dan berdarah. Apa
yang terjadi di Irlandia, Timur Tengah dan di Anak Benua India dan Srilangka, dan tanpa kecuali negeri
kita sendiri, merupakan bukti-bukti kasat mata yang tak bisa kita bantah betapa agama-agama besar
seperti Nasrani, baik Katholik maupun Kristen Protestan, Islam, baik Sunni maupun Syiah, Hindu,
Buddha dan Yahudi seakan-akan sudah kehilangan kemampuannya untuk mencegah penganutnya agar
tidak melakukan pertumpahan darah dan saling membunuh, bukan hanya antara satu umat agama
dengan umat agama lain tetapi bahkan di antara sesama umat satu agama.
Menanggapi konflik-konflik sosial itu yang dalam perkembangannya menjadi isu konflik agama para
pemuka agama pada umumnya cenderung menolak anggapan bahwa konflik-konflik tersebut sebagai
konflik agama. Mereka, seperti juga banyak kalangan lebih melihat faktor sosial ekonomi sebagai akar
penyebabnya. Hal ini tentu saja tidak sama sekali salah sebab terbukti di antara konflik-konflik sosial
itu justru terjadi di antara penganut satu agama. Namun juga tidak bisa dibantah bahwa nuansa agama
untuk sebagian konflik kemudian muncul dan secara sadar dikonfirmasi, dilegitimasi dan dihembus-
hembuskan oleh berapa pemuka agama yang menggambarkab bahwa konflik-konflik sosial itu adalah
benar-benar konflik agama. Sesungguhnya masalahnya akan terlihat lebih kompleks apabila kita
mencoba mendalaminya. Ada berbagai aspek yang melatarbelakanginya, sosial, kultural, politik,
ekonomi dan agama yang harus dilihat tiak hanya dalam konteks kesesaatan tapi juga dalam konteks
kesejarahan yang panjang.

Kesenjangan Sosial, Ekonomi dan Budaya


Kalau kita melihat kasus di Maluku dan Kalimantan, Barat maupun Tengah, pertama-tama dapat dicatat
bahwa konflik-konflik di daerah-daerah tersebut tidak dapat dipisahkan dari persoalan penting dan
penduduk asal. Hal ini agaknya merupakan masalah yang laten yang kurang mendapat perhatian.
Pengusiran pendatang Bugis, Buton dan Makassar di Maluku dan pendatang Madura di Kalimantan
merupakan contoh yang sangat jelas tentang kesenjangan tersebut. Kesenjangan antara kaum pendatang
dan penduduk asli itu memang lebih terasa dalam kehidupan ekonomi. Hal ini tidak mengherankan
karena etos kerja kaum pendatang biasanya lebih tinggi dibanding etos kerja penduduk asli. Kaum
pendatang umumnya adalah pekerja-pekerja keras sebab tekad mereka meninggalkan kampung
halaman untuk pergi merantau ke daerah lain memang hanya satu: mengubah nasib, meningkatkan taraf
kehidupan mereka. Kasus konflik Dayak versus Madura di Kalimantan Tengah dan Dayak dan Melayu
versus Madura di Kalimantan Barat contoh yang paling jelas tentang hal ini.
Namun untuk kasus Kalimantan ini, selain faktor etos kerja yang menimbulkan kesenjangan ekonomi
masalah perbedaam temperamen kepribadian dan budaya etnis antara orang-orang Madura dan Dayak
dan juga Melayu juga ikut berperan. Apalagi setelah masuknya pengusaha-pengusaha hutan yang secara
massif membabat hutan-hutan yang dengan sendirinya mematikan sumber-sumber mata pencaharian
tradisional penduduk asli yang biasanya hidup dari hasil-hasil hutan yang dengan mudah mereka
peroleh. Kalau mereka ingin memanfaatkan hasil hutan yang dikuasai oleh para pengusaha besar bisa-
bisa mereka diperlakukan sebagai penjahat kriminal yang akan ditindak secara sadis oleh para satpam
yang kebanyakan direkrut dari kaum pendatang yang konon tidak segan-segan bertindak keras. Ketika
penduduk asli itu turun ke kota untuk mengadu nasib merekapun menemui medan pergulatan mencari
nafkah yang keras dan lagi-lagi mereka umumnya kalah bersaing dengan para pendatang. Hal ini sangat
memperparah gesekan antara kaum pendatang yang beretos kerja tinggi dan tidak jarang juga agresif
dengan kaum penduduk asli yang merasa terancam eksistensinya dan makin terpinggirkan peranan
sosial, politik, dan ekonominya. Penduduk asli itu seolah-olah menjadi pendatang haram di daerahnya
sendiri. Situasi tidak sehat yang lama terpendam inilah agaknya yang kemudian meledak dalam
wujudkan konflik massal berdarah yang sangat mengerikan.
Apa yang kita maksudkan dengan kaum pendatang terutama pendatang baru. Sebab di antara kaum
pendatang itu terdapat mereka yang sudah bergenerasi-generasi menetap di sana bahkan mungkin sudah
banyak yang tidak mampu mempergunakan bahasa ibu mereka dengan baik. Mereka sudah membaur,
melakukan kawin-mawin dengan penduduk asli dan karena itu mereka sudah merasa bukan lagi
pendatang melainkan merasa sudah menjadi penduduk setempat. Adalah sangat menyedihkan dalam
konflik baru-baru ini banyak di antara mereka juga menjadi korban dan terpaksa mengungsi atau
kembali ke tanah leluhur mereka yang untuk sebagian sudah tidak mempunyai keluarga dekat lagi.
Untuk kasus Maluku ada nuansa lain. Memang masalah gesekan antara kaum pendatang dan penduduk
asli sangat kental. Kaum pendatang yang umumnya beragama Islam menguasai pasar sedangkan
penduduk asli terutama yang beragama Nasrani lebih terkonsentrasi di lingkungan birokrasi. Hal ini
terkait dengan politik penjajahan yang di masa kolonial lebih mempermudah saudara-saudara Nasrani
untuk memperoleh pendidikan. Namun kemerdekaan membawa perubahan yang besar. Terbukanya
kesempatan pendidikan bagi semua warga negara sangat meningkatkan jumlah terdidik generasi
kemudian kaum pendatang yang umum penganut agama Islam dan mereka juga memasuki dunia
birokrasi. Kecenderungan kian menguatnya pengaruh Islam dalam dunia birokrasi lebih terasa lagi di
tahun-tahun terakhir Orde Baru ketika terjadi pergeseran politik penguasa yang tidak lagi dianggap
menggencet kalangan Islam. Fenomena Islamisasi birokrasi di tingkat nasional dengan sendirinya juga
sangat mempengaruhi penempatan kepemimpinan di lingkungan birokrasi pemerintahan di tingkat
daerah yang sedikit atau banyak menyebabkan kekecewaan di kalangan minoritas non Muslim.
Khusus dalam kaitan hubungan Islam-Kristen tidak boleh dilupakan bahwa hubungan tersebut sangat
akrab di amsa demokrasi parlementer. Terutama antara partai politik Islam terbedai kala itu, Masyumi,
dengan kedua partai politik Kristen, Parkindo dan Partai Khatolik. Bersama PSI, Partai Sosialis
Indonesia, ketiga partai politik itu merupakan satu front dalam memperjuangkan sistem demokrasi
parlementer sampai pembubaran Masyumi dan PSI sebagai akibat dari peristiwa PRRI. Tertutupnya
kehidupan politik bagi bekas tokoh Masjumi mendorong mereka aktif dalam kegiatan dakwah. Dalam
lapangan dakwah ini mereka berhadapan dengan kegiatan sosial keagamaan terutama dalam bidang
dakwah di pedalaman, pendidikan, dan kesehatan. Lebih-lebih setelah terjadi peristiwa G30S.
Anggapan yang diterima secara umum bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan
tudingan bahwa PKI adalah partai yang anti agama, menimbulkan ketakutan orang untuk dicap anti
agama. Situasi pasca G30S seperti itu mengundang kalangan agama untuk melakukan dakwah
keagamaan. Tidak kurang dari organisasi keagamaan dari luar, antara lain gereja-gereja kecil dari
Amerika. Terjadilah persaingan dalam kegiatan dakwah yang menimbulkan kecemburuan terutama dari
umat Islam yang organisasi dan dana lebih lemah. Keadaan ini bertambah lagi ketika di masa awal Orde
Baru itu golongan Islam masih dicurigai sebagai kekuatan ekstrem kanan. Penguasa dipersepsi sebagai
lebih percaya dengan golongan minoritas daripada golongan Islam yang dianggap sebagai ancaman.
Situasi seperti ini mendorong ketegangan hubungan antara golongan Islam sebagai mayoritas dengan
golongan minoritas terutama kalangan Kristen.
Hal-hal di atas adalah beberapa kondisi yang membuat hubungan antar umat beragama, khususnya
antara Islam dan Kristen, mengalami ketegangan. Keadaan ini berlangsung cukup lama dan melahirkan
berbagai kerusuhan bernuansa ”konflik agama” di sana-sini. Terjadilah peristiwa perusakan rumah-
rumah ibadah yang kadang-kadang disebabkan oleh hal-hal yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan
hubungan antar umat beragama. Berbagai konflik sosial di beberapa daerah tidak lepas dari perspektif
ini.
Terseretnya agama ke dalam konflik sosial membuat konflik itu lebih parah dan jauh lebih sulit untuk
diakhiri. Sebab konflik yang bernuansa agama itu akan mengundang pihak luar wilayah konflik yang
meras aterpanggil untuk membantu saudara-saudara seagama mereka. Lebih-lebih lagi kalau aparat
yang seharusnya menangani dan menyelesaikan konflik itu tidak mampu menguasai sentimen
subyektifitas kekelompokan dan melibatkan diri dalam konflik itu sehingga mereka tidak lagi bersikap
netral dan obyektif. Pengalaman di Ambon dan Poso merupakan bukti yang jelas akan hal tersebut.
Konflik di kedua daerah tersebut berlangsung lama dan memakan korban yang lebih banyak.

Agama dan Kekerasan


Meningkatnya potensi konflik itu juga bisa dilihat sebagai makin melapuknya tali-tali pengikat
kebersamaan dalam kehidupan masyarakat kita. Kalau kita telusuri lebih jauh agaknya hal tersebut
merupakan dampak negatif proses modernisasi yang menjadi tujuan pembangunan bangsa kita yang
lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Pertimbangan rasionalitas dan efensiensi tentu saja
lebih didahulukan dibanding pertimbangan sosio-kultural yang dianggap lebih merupakan biaya
daripada modal, yang pada gilirannya mengakibatkan makin melemahnya perhatian terhadap asset-
asset kultural, baik kearifan lokal maupun kepemimpinan informal setempat. Kecenderungan etatisme
juga memperlemah fungsi kepemimpinan lokal yang berbasis agama dan adat istiadat. Bias militerisme
dalam pemerintahan Orde Baru tentu saja tidak kecil pengaruhnya dalam proses pembangunan terutama
dalam peenrapan sistem komando yang sentralistik dan seringkali juga agak otoriter. Sentralisasi
kebijakan pembangunan memperlemah potensi budaya lokal dan mengeliminasi kearifan lokal dan
pranata-pranata kultural yang bisa dilihat dari kepentingan jangka pendek cenderung tidak ekonomis.
Gejala sentralisme ditambah dengan uniformisasi dalam pelaksanaan pemerintahan telah ”berjasa”
dalam menghancurkan pranata-pranata lokal dan kultural di berbagai daerah nusantara kita. Padahal
pranata-pranata tersebut seharusnya dimanfaatkan sebagai asset budaya untuk pembangunan bangsa
kita yang tidak hanya mempunyai dimensi ekonomi akan tetapi juga dimensi komunal. Sebuah catatan
khusus juga harus diketengahkan di sini yang sedikit banyak mengandung potensi mempertajam
kecemburuan sekterian di antara kelompok Islam dengan kelompok Kristen.

Pengamanan proses pembangunan ekonomi menuntut pendekatan keamanan untuk meredam potensi-
potensi konflik dan membiarkannya terpendam di bawah permukaan. Perbedaan pendapat dan kritik
seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap pelaksanaan pembangunan yang dijalankan pemerintah
dan karena itu harus dihadapi sebagai ”bahaya”. Kehidupan sebuah masyarakat yang demokratik
memang menuntut kesabaran dalam mengikuti proses dan prosedur, kesediaan untuk memberi dan
menerima, kesetiaan dalam mengikuti hukum dan aturan permainan, kejujuran dalam bersikap, suatu
prasyarat yang tidak familier dengan sistem yang berbau otoriter. Peredaman perbedaan pendapat dan
tersumbatnya saluran untuk mengeluarkan kritik dan uneg-uneg membuat masyarakat kita untuk sekian
lama merasa tertekan, makan hati dan menahan perasaan. Kondisi batiniah masyarakat yang seperti ini
adalah ibarat bom waktu yang menunggu saat peledakannya. Ketika saat ledakan itu tidak bisa ditahan-
tahan lagi, masyarakat mencari sasaran pelampiasan rasa tertekan selama ini dan golongan-golongan
minoritas yang lemahlah menjadi sasaran. Mereka itu bisa saja ras tertentu, minoritas agama atau orang-
orang kaya.

Formalisme, Simbolisme dan Ritualisme


Situasi kontradiktif tersebut seakan-akan merupakan pemenuhan ramalan Nabi Muhammad s.a.w.
dalam sabda beliau:
Aku khawatir akan datang suatu masa kepada kalian ketik a Islamtinggal nama, al-Quran
tinggal tulisan, mesjid- mereka penuh sesak tapi kosong dari hidayah
Ulama-ulama mereka adalah sejahat-jahat manusia di bawah kolong langit, da’i mereka
keluar fitnah dan kepada mereka fitnah itu kembali
Saya tidak tahu apakah situasi seperti itu juga dialami oleh umat agama-agama lain. Mudah-mudahan
tidak. Akan tetapi ”wisdom” yang bisa kita ambil dari ramalan tersebut adalah bahwa bahaya akan
mengancam umat beragama apabila mereka terjebak dalam formalisme dan simbolisme. Sebuah cerita
imajinatif di kalangan sufi mengajarkan tentang kehampaan formalisme dan simbolisme itu. Sebuah
cerita imajinatif di kalangan sufi mengajarkan tentang kehampaan formalisme dan simbolisme itu.
Konon ada seseorang yang berniat menjalankan ibadah haji sejak lama. Bertahun-tahun ia menabung
sedikit demi sedikit hingga tercapai jumlah uang yang mencukupi untuk menunaikan ibadah haji. Ketik
ia akan berangkat datang seseorang yang memohon bantuannya karena ada saudaranya yang sakit. Ia
memerlukan biaya yang cukup besar untuk pengobatan saudaranya itu. Timbullah dilema di hati orang
yang akan berangkat menjalankan ibadah haji itu. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk membantu
orang yang sakit itu dan akibatnya ia membatalkan rencananya untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah
masa haji selesai orang-orang sekampungnya yang melaksanakan ibadah haji berdatangan kembali.
Seorang Sufi diberi tahu muridnya bahwa jamaah haji sudah mulai kembali ke kampungnya. Jawaban
sang Sufi itu sangat mencengangkan. ”Tahun ini di kampung kita ini hanya satu orang yang
melaksanakan ibadah haji” katanya. ”Tidak ya syaikh. Bukankah syaikh tahu berapa banyak saudara-
saudara kita yang melaksanakannya dan sekarang mereka mulai kembali” kata sang murid. ”Tidak,
Cuma seorang” kata syaikh itu. ”Kalau begitu siapa orang itu” tanya sang murid. ”Si Anu” kata sang
Sufi itu. Sang murid lebih heran lagi karena setahunya orang itu justru membatalkan kepergiannya.
Cerita imajinatif tersebut hanya ingin mengatakan bahwa dilihat dari segi substansi keberagamaan yang
hakiki perbuatan membantu mereka yang memerlukan bantuan mendesak lebih bermakna dibanding
ritual ibadah kepada Tuhan. Cerita imajinatif ini seakan-akan menjelaskan sebuah hadis qudsi di
kalangan kaum muslimin. Nabi Muhammad bersabda bahwa di hari pembalasan Tuhan berkata:
”Hai anak -cucu Adam, Aku lapar tapi mengapa kalian tidak memberi-Ku makanan? Aku
haus tapi mengapa kalian tidak memberi-Ku minuman? Aku sakit tapi mengapa kalian
tidak menengok -Ku?” Lalu anak -cucu Adam itu menjawab: ”Mana mungkin Engkau
lapar, haus dan sakit Tuhan. Bukankah Engkau Tuhan pencipta alam semesta?” Tuhan
menjawab:”Dulu ada saudara-saudara kalian yang menderita kelaparan, kehausan dan
sakit. Kalaulah saja kalian datang kepada mereka memberi makanan, minuman atau
menengok sakit mereka, kalian akan menemukan Aku di samping mereka”. 
Kutipan-kutipan di atas paling tidak mendorong kita untuk mempertanyakan kembali asumsi-asumsi
dan ukuran-ukuran kita tentang keberagamaan. Ia merupakan sindiran terhadap para penganut agama
yang terjebak dalam formalisme sehingga lebih mementingkan ritualisme lahiriah daripada
penghayatan nilai-nilai maknawi, yang tidak hanya berkaitan dengan relasi vertikal antara manusia
dengan Tuhannya melainkan juga relasi horizontal antara manusia dengan sesamanya dan dengan alam
lingkungannya. Kecenderungan formalisme itu bisa menggejala dalam berbagai sikap yang lebih
berorientasi pada aspek-aspek yang bersifat kwantitatif, lahiriah dan simbolik. Maka kadar
keberagamaan seseorang dilihat dari pelaksanaan ritualisme srimonial dan penampilan busana. Dalam
konteks komunal kadar keberagamaan masyarakat akan dilihat dari penamabhan jumlah penganut
agama dan pembangunan rumah-rumah ibadah. Kuitipan-kutipan di atas mengingatkan kita agar
keberagamaan kita tidak terjebak dalam sikap lebih mementingkan dimensi kesemarakan daripada
dimensi kedalaman dan lebih mementingkan dimensi kesalehan individual daripada kesalehan sosial.
Penekanan keberagamaan pada aspek-aspek yang bersifat lahiriah dan kwantitaif mau tidak mau akan
menimbulkan gesekan-gesekan yang cebderung berakhir dengan persaingan yang tidak sehat. Aspek-
aspek tersebut secara potensial mengandung bibit-bibit konflik horizontal. Sebab persaingan itu akan
diterjemahkan dalam kegiatan penyebaran agama yang lebih berorientasi pada penambahan jumlah
penganut, dalam kegiatan pembangunan rumah-rumah ibadah yang lebih menekankan pada penampilan
fisiknya daripada fungsi pencerahan spiritualitas umat. Akibat lebih jauh adalah munculnya persaingan
yang tidak sehat untuk saling mengungguli. Maka yang tanmpak adalah bahwa para penyebar agama
bagaikan kondektur bus yang berebut penumpang.

Fundamentalisme, Radikalisme dan Anti Pluralisme


Keberagamaan adalah penerimaan terhadap seperingkat nilai dan norma yang berasal dari Sang
Pencipta sebagai jalan yang diyakini akan membawa kepadaNya. Ia menyangkut dimensi yang sangat
pribadi dalam kehidupan manusia berkenaan dengan ”ultimate issues”, kehidupan dan kematian,
kebenaran dan keselamatan. Kaerena itu keberagamaan lebih bersifat pribadi dan unik. Namun
keberadaan kita tidaklah dalam kehidupan vakum budaya. Kita berada dalam relasi vertikal dan
horizontal. Manusia ada tidak dalam kesendirian tapi selalu dalam kebersamaan. Kehadiran kita tidak
lepas dari kehadiran orang lain, selalu bersama dengan orang lain, dan memberi pengaruh pada orang
lain. Manusia tidak lepas dari ”nature” dan ”culture”, alam dan budaya. Dari perspektif lain umat
manusia adalah satu tapi sekaligus majemuk, sama tapi seklaigus unik. Walaupun umat manusia sangat
majemuk dalam etnisitas, ras, dan kultural namun umat manusia satu sebagai keluarga Ilahi. Umat
manusia sama dalam martabat dan harkat kemanusiaannya tapi masing-masing memiliki keunikan yang
berbeda satu sama lain. Dalam pada itu keberadaan manusia juga tidak lepas dari fenomena
keberagamaan.
Adalah benar bahwa agama-agama itu berbeda, karena itu kita bisa menyebutnya dengan kata plural,
agama-agama. Tapi agama-agama itu juga mempunyai kesamaan satu sama lain sehingga kita juga
memasukkannya dalam satu kategori, agama. Agama-agama itu serupa tapi tidak sama. Bahkan dalam
satu agamapun interpretasi para penganutnya juga berbeda-beda bahkan tidak jarang bertentangan.
Menanggapi perbedaan agama-agama itu saya teringat pertengkaran cucu saya dengan temannya ketika
mereka melihat gambar burung. Ketika mereka menemukan gambar burung cucu saya menyebutnya
”bird” sedangkan temannya itu menyebutnya ”burung”. Lalu mereka bertengkar: ”bird” kata cucu
saya,”burung” kata temannya,--bird-burung, bird-burung—demikian mereka masing-masing
bersikeras. Karena tak ada yang mau mengalah akhirnya mereka merobek-robek gambar burung itu.
Lucu, yang mereka pertengkarkan adalah gambar burung bukan burung itu sendiri, hanya karena
perbedaan sebutan akibat bahasa yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa hakikat burung itu satu tapi
memiliki sebutan yang berbeda-beda sebanyak jumlah bahasa manusia.

Problem yang lebih rumit lagi adalah bahwa perbedaan itu lebih dari sekedar perbedaan bahasa akan
tetapi pernedaan persepsi dan interpretasi. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan latar belakang,
pendidiakn maupun pengalaman, perbedaan perspektif dan interest. Untuk sekedar ilustrasi tentang
perbedaan interpretasi dan persepsi saya ingin mengambil contoh yang sangat kentara. Tanyakanlah
kepada masing-masing kita yang berasal dari daerah yang berbeda bagaimana bunyi ayam jantan
berkokok di pagi hari. Di daerah saya, Kalimantan Selatan suara ayam jantan itu adalah ”kongkook”,
di telinga teman-temna Jawa terdengar bunyi ”kokoruyuk”, teman-teman Manado mendengarnya
”kokorako” mirip pendengaran orang perancis ”cocorico”.
Dengan mengatakan hal di atas saya ingin menekankan bahwa perbedaan di antara umat manusia adalah
sesuatu tidak mungkin ditiadakan. Ia bagian dari keberadaan mereka sebagai makhluk yang unik
seklaigus majemuk. Oleh karena itu kita tidak boleh terbawa arus prasangka apalagi prasangka agama
yang bisa-bisa mendorong kita untuk saling menghakimi iman kita masing-masing. Ada cerita
imajinatif yang lagi-lagi mashyur di kalangan sufi.
Konon ada seorang rohaniwan tinggal berseberangan rumah dengan seorang pekerja seks. Setiap
membuka jendela sang rohaniwan itu melihat si perempuan itu dan terlintas dalam benaknya bahwa si
perempuan itu sedang melakukan maksiat yang terlaknat. Terbayang dalam angan-angannya bahwa
perempuan itu sedang bergelut dalam permainan cinta dengan seorang lelaki hidung belang. Sebaliknya,
si perempuan pekerja seks itu, setiap kali dia menatap rumah sang rohaniwan itu, muncul rasa
penyesalan dalam dirinya dan muncul keinginannya untuk kembali ke jalan yang benar, menghindari
perbautan maksiat dan taat melaksanakan ibadat sebagaimana dilakukan sang rohaniwan tersebut.
Syahdan, ketika keduanya berada di seberang makam sama terjadilah peristiwa yang mencengangkan
yang tidak bisa dimengerti oleh sang rohaniwan tersebut. Dia dijebloskan ke dalam neraka sedangkan
si pekerja seks itu justru dimasukkan ke dalam surga. Dengan nada protes ia bertanya kepada malaikat,
mengapa dijebloskan ia ke dalam neraka tempat orang-orang jahat seperti si perempuan pekerja seks
itu dan sebaliknya si pelacur yang berlumuran dengan kemaksiatan itu malah dimasukkan ke dalam
surga, tempat orang-orang baik yang taat melaksanakan ibadat kepada Tuhan dan menjauhi perbuatan
maksiat seperti dia jalani sepanjang hidupnya. ”Mesti ada kekeliruan” ujarnya, ”mengapa aku yang setia
mengikuti perintah Tuhan masuk neraka sedangkan dia yang setiap hari berbuat melanggar larangan-
Nya justru masuk surga. Coba lihat-lihat lagi catatan perilaku kami berdua.” Setelah sang malaikat
membuka catatan kedua orang itu dia memberi tahu sang rohaniawan. ”Memang benar kau adalah
seorang yang sangat taat beribadat tapi rupanya ibadatmu itu kalah dengan dosamu. Hatimu penuh
prasangka buruk terhadap tetangga di seberang rumahmu. Sebaliknya tetanggamu itu, setiap kali
melihat rumahmu dia menyesali perbuatan maksiatnya dan muncul keinginannya untuk bertobat dan
berhenti dari melakukan perbuatan maksiat itu. Rasa penyesalannya itu telah menghapuskan dosanya.”

Cerita imajinatif seorang Sufi itu sungguh mengandung ”wisdom” yang patut kita renungkan bersama
lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat kita saat ini ketika potensi konflik horizontal makin mudah
tersulut dan muncul ke permukaan dan merobek-robek kebersamaan kita. Kita menyaksikan dan
memprihatinkan bersama merebaknya budaya kekerasan bahkan kebengisan yang membuat kita seolah-
olah hidup dalam ”neraka”. Api kebencian telah membakar tali-tali pengikat kebersamaan kita. Keadaan
ini agaknya bermula dari prasangka buruk yang dibiarkan makin merebak dan akhirnya mengalahkan
daya nalar kita untuk tidak asal percaya terhadap berita dan cerita yang tidak jelas asal-usulnya. Masing-
masing kita merasa terancam oleh mereka yang bukan ”orang kita”. Perasaan saling terancam itu sangat
memperparah hubungan sosial warga masyarakat kita. Kita tidak mampu lagi berpikir jernih dan
obyektif. Desas-desus lebih berperan dalam membentuk persepsi dan opini masyarakat kita daripada
fakta sejatinya. Konsep tentang ”orang kita” dan ”orang mereka” makin mengental dan mempengaruhi
sikap kita dalam pergaulan masyarakat. Terbentuklah dalam pikiran bahkan pergaulan masyarakat kita
garis demarkasi antara ”kita” dan ”mereka”. Karena itu siapa yang berbaik-baik dengan ”mereka”
adalah ”musuh” kita. Lebih parah lagi, kadar keberagamaan kitapun diukur sepadan dengan kadar
kebencian kita terhadap orang lain.

Situasi kebatinan seperti ini mednorong munculnya sikap anti-pluralisme. Sikap anti pluralisme ini
dengan baik dilukiskan oleh seorang Sufi dalam kisah imajinatif yang lain.
Suatu ketika di malam hari, katanya Nabi Musa berjalan-jalan. Tiba-tiba ia mendengar suara lamat-
lamat dari sebuah rumah. Ia pasang telinganya dan terdengarlah suara munajat dari penghuni rumah itu.
”Tuhan, aku sangat merindukan-Mu. Berilah aku, Tuhan, kesempatan untuk melayani-Mu. Aku ingin
mencuci terompah-Mu yang kotor, menjahit baju-Mu yang robek dan menyisir rambut-Mu yang kusai.
Tentu saja Nabi Musa kaget mendengar doa seperti itu dan serta merta diapun masuk ke dalam rumah
menemui orang itu. Dengan nada marah dia menghardik orang itu. ”Mengapa kau berdoa seperti itu.
Kau sangat merendahkan Tuhan yang Maha Agung.” Mendengar teguran Nabi Musa orang itu menjadi
ketakutan. Dia berlari sambil merobek-robek bajunya menyesali dirinya. Tiba-tiba muncul suara. ”Hai
Musa mengapa kau marahi hamba-Ku yang bermunajat kepada-Ku?” Musa menjawab: ”Bukankah dia
telah menghina-Mu?” Muncul lagi suara itu: ”Kau tidak boleh berbuat seperti itu, memaksakan
pendapatmu. Biarkanlah hamba-Ku itu bermunajat kepadaku dengan caranya sesuai dengan tingkat
daya nalarnya.”
Seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat dengan orang lain yang tidak sefaham dengannya.
Dia tidak bersedia menerima kehadiran orang lain yang berbeda apalagi bertentangan dengannya. Kalau
seorang anti-pluralis memegang kekuasaan dia akan memaksakan pikiran dan pendirian yang tidak
sama dengan pikiran, dan pendiriannya hidup dan berkembang. Baginya satu-satunya kebenaran adalah
pikiran dan pendiriannya. Yang lain tidak. Maka dengan bersikap memonopoli kebenaran seorang yang
anti-pluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan dengan gampang menghakimi iman
orang lain. Sebagai seorang penganut suatu agama tertentu dengan seorang anti pluralis sukar
dibayangkan untuk bisa bersahabat dan bercengkerama dengan seorang penganut agama lain, dan
sebagai seorang yang bertuhan dia tidak mungkin siap berkawan akrab dengan seorang atheis.

Pluralisme: Kenyataan dan Keniscayaan


Padahal pluralitas adalah sebuah kenyataan hidup yang tak mungkin kita nafikan. Ia, bahkan,
merupakan salah satu tanda kemahabesaran Tuhan. Kita harus menerimanya dengan sikap positif. Kita
harus menysukuri pluralitas itu dengan mengembangkan pluralisme sebagai pola pikir dan jalan hidup
kita. Mau tidak mau kita harus berusaha secara aktif dan positif membangun kehidupan bersama yang
memberi tempat bagi kita semua yang berbeda-beda satu sama lain. Dalam perspektif inilah mengapa
kita mengangan-angankan tumbuhnya sikap saling menerima eksistensi orang lain dengan segala
keunikannya, saling menghormati keyakinan masing-masing dan saling membela hak hidup bersama.
Cita-cita inilah yang melatarbelakangi kehadiran berbagai organisasi ”interfaith” di mana-mana di
berbagai negeri sejak satu-dua dasawarsa yang lalu. Juga di negeri kita di mana kita yang berkumpul di
sini merupakan orang-orang yang mendukung cita-cita itu dan terlibat dalam usaha mewujudkannya.
Pengembangan pola pikir dan jalan hidup yang menerima pluralisme secara tulus, saya rasa, mestinya
bertolak dari kesadaran bahwa keberadaan kita di bumi ini pada adasrnya bukan pilihan kita. Kita ini
adalah anak zaman dan lingkungan kita. Kita tidak pernah memilih siapa orang tua kita yang melalui
mereka kita lahir ke dunia dan dalam lingkungan masyarakat yang bagaimana kita dibesarkan. Semua
itu secara alami dan kultural sangat mempengaruhi agama apa yang kita anut. Oleh karena itu
keberagamaan kita pada umumnya berdasarkan kelahiran dan bukan pilihan. Karena saya lahir dari
kedua orang tua saya yang beragama Islam dan mereka membesarkan dan mendidik saya dalam
lingkungan masyarakat Muslim, maka jadilah saya seorang muslim. Andaikan saya lahir dari orang tua
yang beragama Buddha atau Hindu atau katolik atau Kristen atau Kong Hucu atau bahkan atheis,
kemungkinan besar saya mengikuti agama atau keyakinan orang tua saya tersebut sebagaimana saya
sekarang.
Dengan mengatakan hal di atas bukanlah maksud saya untuk mengajak kita menjadi seorang relativis
atau agnostik akan tetapi hanya ingin mengatakan bahwa kita perlu bersikap positif terhadap perbedaan
di antara kita, bahwa kita secara tulus harus menerima dan sekaligus menghormati keberadaan kita
masing-masing dengan segala keunikannya. Dunia kita sekarang ini tidak memungkinkan kita
mengisolasi diri dalam kotak-kotak yang eksklusifistik. Kita tidak bisa lepas dari relasi-relasi sosial
dengan segala bentuknya dalam kehidupan kemasyarakatan kita. Apa yang perlu kita kembangkan
bersama adalah bagaimana membangun kebersamaan dimana relasi-relasi sosial tidak dicederai oleh
prasangka dan kecemburuan antara”kita” dn ”mereka” melainkan hubungan antar sesama sebagai
makhluk Tuhan Yang Esa yang menghuni bumi yang satu di bawah kolong langit yang sama. Inilah,
saya rasa, yang kita usahakan bersama melalui berbagai organisasi ”antar iman”.

Dari Dialog ke Kerja-Bersama


Usaha membangun kebersamaan pertama-tama tentu saja harus bermula dari sikap tenggang rasa di
antara sesama kita. Boleh dikatakan semua agama sangat menekankan nilai tenggang rasa ini. Dengan
berbagai ungkapan yang mengajarkan agar kita tidak memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang
kita sendiri tidak mau diperlakukan seperti. Tentu saja sikap tenggang rasa ini tidak hanya berlaku
dalam relasi personal antar individu dengan individu melainkan juga dalam relasi antar kelompok atau
umat. Berangkat dari sikap tenggang rasa itu kita bisa mengembangkan dialog yang tulus sebagai media
klarifikasi berbagai masalah yang mengganggu hubungan antara umat beragama. Dialog seperti ini
dapat kita namakan sebagai dialog yang membebaskan, dialog yang membebaskan pergaulan kita dari
berbagai prasangka negatif, dari kecurigaan dan kecemburuan satu sama lain, dari keinginan untuk
mendominasi dan menguasai pihak lain. Kebebasan dari prasangka, kecurigaan dan kecemburuan
tersebut penting untuk menumbuhkan sikap saling percaya sesama kita yang merupakan prasyarat
mutlak untuk membangun kebersamaan. Melalui dialog itu juga kita akan saling belajar melalui proses
”take and give”, mengambil dan memberi.
Usaha mewujudkan semangat kekitaan tentu saja memerlukan langkah-langkah operasional yang nyata.
Dalam kesempatan ini saya ingin mencoba mengemukakan beberapa gagasan aplikatif untuk
mengembangkan sikap pluralis dalam kehidupan masyarakat kita, terutama untuk generasi kita di masa
depan.

Sebelum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut saya ingin menceritakan pengalaman ketika saya
dipercaya memimpin Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama sekitar tahun 1972-1978
ketika Departemen Agama dipimpin oleh Prof. Mukti Ali. Ada tiga kegiatan yang dilaksanakan oleh
proyek ini, yakni dialog tokoh-tokoh berbagai agama, penelitian bersama yang dilakukan oleh peneliti-
peneliti dari berbagai agama, dan kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai
perguruan agama dan organisasi mahasiswa berlatar belakang agama.
Pada tiga tahun pertama proyek ini menyelenggarakan dialog-dialog antar pemuka berbagai agama di
hampir semua propinsi di Tanah Air kita. Bukan hanya diikuti oleh tokoh-tokoh dari apa yang selama
ini dipersepsi secara sevagai agama-agama resmi tapi juga diikuti oleh tokoh agama lokal seperti agama
Kaharingan di Kalimantan Tengah bahkan tokoh aliran kepercayaan di Jawa Tengah. Kegiatan dialog
itu sedapat mungkin diselenggarakan di luar kota sehingga para tokoh dari agama-agama yang berbeda
itu beroleh kesempatan hidup bersama beberapa hari. Atau kalau diselenggarakan dalam kota selain
kegiatan dialog juga dilaksanakan darmawisata bersama untuk meninjau sarana-sarana kegiatan
keagamaan masing-masing sehingga berbagai tokoh agama-agama itu beroleh kesempatan untuk
bercengkerama secara santai dan informal selama perjalanan darmawisata tersebut. Yang dipentingkan
dalam dialog ini bukanlah kesepakatan pendapat yang dituangkan dalam kesimpulan tertulis tapi
kesempatan untuk membangun hubungan interpersonal yang akrab satu sama lain dari paar tokoh
berbagai agama itu yang justru tercipta di luar kegiatan dialog yang terstruktur. Terciptanya hubungan
interpersonal itu jauh lebih penting dari kesepakatan formal dan tertulis antar institusi.
Sejak tahun ketiga diselenggarakan kegiatan penelitian tentang peranan agama, baik nilai-nilai agama
maupun lembaga keagamaan, dalam kehidupan riil masyarakat. Untuk ini berbagai desa atau komunitas
di mana suatu agama dominan dijadikan sasaran penelitian yang dilaksanakan oleh para peneliti dari
berbagai agama. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan tentang hubungan dan interaksi
antara agama dan masyarakat, persamaan dan perbedaannya.
Terakhir, sejak tahun keempat difasilitasi kamping bersama yang diikuti oleh mahasiswa perguruan-
perguruan agama dan anggota-anggota organisasi mahasiswa yang berlatar belakang agama. Kegiatan
ini bertujuan untuk memebri ruang di mana berbagai calon pemuka agama dan tokoh umat beragama
di masa depan dapat berkenalan, bercakap-cakap dan membangun hubungan interpersonal satu sama
lain. Melalui percakapan yang terbuka dan terus terang diharapkan mereka akan sampai pada komitmen
bersama untuk membangun masa depan bangsa.
Sayang sekali pimpinan Departemen Agama sesudah Mukti Ali tidak meneruskan kegiatan ini. Persepsi
dan pemahaman tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pluralitas agama berbeda sehingga
pandangan dan sikap dalam penanganannya pun berbeda pula. Pengaturan, dan bukan dialog, yang
dianggap lebih efektif untuk mengembangkan kerukunan hidup umat beragagama. Kesepakatan formal
institusional dianggap lebih penting daripada hubungan interpersonal antar pemuka agama dalam
masyarakat. Padahal seringkali kesepakatan formal dan institusional itu lebih banyak bersifat artifisial
serta dipaksakan dan jarang menyentuh hal-hal yang justru lebih diterima secara sukarela dan berakar
dari kesadaran dan pengalaman masyarakat sendiri.
Bagaimanapun, sesungguhnya kerukunan hidup umat beragama tidaka akn tercipta oleh pengaturan dari
atas melainkan ia harus dikembangkan dari bawah. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita akhir-akhir
ini saya rasa, sedikit banyak, disebabkan oleh karena kita lebih mementingkan pendekatan tuntunan
dari atas dan kurang mengembangkan kemampuan masyarakat kita sendiri untuk memelihara
kerukunan hidup mereka. Akhirnya bangsa kita yang dahulu dianggap sebagai bangsa yang dapat
dijadikan teladan dalam memelihara kerukunan masyarakat yang sangat majemuk saat ini dikenal
sebagai bangsa yang dilanda budaya kekerasan bahkan kebengisan yang justru tidak diajarkan oleh
agama apapun.
Sebenarnya sekarang ini dirasakan saat yang sangat mendesak untuk mempergiat usaha-usha yang lebih
terarah dan terencana untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan warga bangsa kita dengan
belajar dari pengalaman pahit yang kita alami selama ini. Apa yang perlu ditekankan, saya rasa, adalah
konseptualisasi bersama tentang pluralisme dan usaha bersama untuk mensosialisasikannya. Dalam
kesempatan ini saya ingin mengemukakan beberapa gagasan untuk mewujudkan gagasan di atas.

Pertama, melakukan dialog-dialog yang teratur antar tokoh agama dan masyarakat di tingkat lokal agar
tercipta perkenalan dan persahabatan interpersonal di antara mereka. Melalui kegiatan ini mereka akan
mampu merumuskan bersama masalah-masalah riil yang mereka hadapi dan cara-cara memecahkannya
melalui ”local wisdom”.
Kedua, melakukan dialog-dialog yang teratur antara guru-guru agama di sekolah-sekolah formal
sehingga terbuka kesempatan untuk saling belajar bagaimana membangun generasi baru yang
menghayati agamanya sendiri tapi juga menghargai agama orang lain.
Ketiga, di tingkat perguruan tinggi, di samping pendidikan agama masing-masing juga dilakukan kuliah
umum tentang agama-agama dari masing-masing ahlinya sehingga para mahasiswa mengetahui
perbedaan dan persamaan dari agama-agama yang ada. Khusus untuk perguruan tinggi agama,
seyogyanya dibangun kerjasama akademik melalui kuliah silang. Melalui program ini para mahsiswa
masing-masing perguruan tinggi diberi kesempatan untuk mengikuti kuliah agama lain dari ahli dan di
perguruan agama itu sendiri. Di samping memperoleh informasi dari tangan pertama juga terbuka
kesempatan untuk membangun persahabatan interpersonal di antara calon-calon pemuka agama dari
berbagai umat.
Tentu masih ada kegiatan-kegiatan lain yang bisa dikembangkan namun paling tidak melalui kegiatan-
kegiatan di aats apa yang kita maksudkan sebagai pendidikan pluralisme dapat dilaksanakan pada
tingkat yang lebih praktikal. Yang lebih penting lagi diharapkan sikap anti pluralis dapat dibendung
yang mau tidak mau pasti akan menimbulkan konflik.

Anda mungkin juga menyukai