Anda di halaman 1dari 19

Sianturi, Reymond P. 2018. Teologi pastoral di ruang publik. Dalam Aritonang, Jan S.

(peny.), Teologi-teologi kontemporer. Jakarta: BPK Gunung Mulia & Unit Publikasi
dan Media STFT Jakarta.

TEOLOGI PASTORAL DI RUANG PUBLIK

Pengantar

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara historis dan reflektif teologi
pastoral sebagai teologi kontemporer. Tulisan ini dibagi dalam lima segmen. Pertama,
panorama perkembangan paradigma teologi pastoral sebagai gambaran definisi, sejarah
perkembangan, dan terutama fokus perhatian teologi pastoral. Hal ini penting untuk
meletakkan landasan berpikir, ruang lingkup, dan varian teologi pastoral yang akan
dikembangkan dalam paper ini. Kedua, penulis menguraikan tentang ruang publik
sebagai konteks berteologi. Bagian ini terdiri dari gagasan filosofis ruang publik,
gambaran umum realita ruang publik di Indonesia yang mengalami bermacam-macam
masalah, dan bagaimana tantangan berteologi pastoral di dalam ruang publik tersebut.
Ketiga, akan diuraikan tentang metodologi berteologi pastoral di ruang publik.
Keempat, akan diberi contoh kasus teologi pastoral publik dan tanggapan penulis
terhadap tulisan Duane Bidwell. Kelima, bagian penutup yang berisi refleksi teologis
penulis.

I. Panorama Perkembangan Paradigma Teologi Pastoral


Sejak abad 20 hingga sekarang, ada tujuh paradigma teologi pastoral yang
berkembang dalam tulisan dan diskursus teologi pastoral. Di bawah ini diuraikan secara
ringkas ketujuh paradigma teologi pastoral.
Classical-clerical paradigm. Paradigma ini mengawali munculnya ledakan
paradigma teologi pastoral pada tahun 1950-an. Paradigma ini menekankan Injil
(message) sebagai solusi dalam pendampingan menurut tradisi keagamaan dan kultur
sang teolog terhadap kesadaran baru individual si klien (monokultur). Jadi pendekatan
ini sepenuhnya dipimpin dan difokuskan pada pejabat tahbisan (clergy-led and clergy-
focused). Totok S. Wiryasaputra menyebut paradigma ini sebagai kelompok posisi
kanan teolog pastoral. 1 Kelompok kanan ini memandang bahwa dalam konseling
pastoral, sang pastor/pendeta memindahkan mimbar ke perkunjungan rumah dan rumah
sakit, dengan menekankan ayat, doa, nyanyian, upacara keagamaan sebagai resep, pil,
obat terhadap persoalan. Model konseling yang dipakai sangat direktif sehingga kurang
melibatkan partisipasi konseli. Paradigma klerik masih dipakai hingga sekarang
terutama gereja-gereja yang mengakui dalam dokumen tata gerejanya tentang
keutamaan peran pendeta dan majelis gereja sebagai pihak yang paling berwenang
melakukan kunjungan pastoral dan aktivitas pastoral sejenis. Kritik terhadap
pendekatan ini bermunculan. Ada yang beranggapan paradigma klerik terkesan
individualistik, patriarkhis, mengedepankan pemikiran magis, membuat klien merasa
ketergantungan, dan memiliki kecenderungan penyalahgunaan kuasa.
Clinical-pastoral paradigm. Paradigma pastoral klinis muncul sebagai kritik
terhadap paradigma klasik sebelumnya, dan mendominasi karya-karya pastoral hingga
tahun 1970-an. Paradigma ini, menurut Anton Boisen, lebih fokus terhadap kepribadian
si pendamping dan bagaimana lingkungan interpersonal yang mewadahi hubungan, dan
pendokumentasian realita masalah hidup manusia. Pendekatan ini sering disebut in
living human document. Untuk menjadi seorang teolog klinis diperlukan Pendidikan
Pastoral Klinis atau Clinical Pastoral Education (CPE). Pendidikan Pastoral Klinis,
yang mengintegrasikan ilmu psikologis dan medis, merupakan bentuk pelatihan praktis
bagi calon konselor yang lebih diarahkan melayani di lembaga-lembaga sosial. Model
ini cocok dengan kondisi masyarakat yang mengalami krisis mental akibat peperangan
dan pasca perang, dimana ilmu-ilmu psikologi menjadi obat mujarab bagi gejala
kelainan psikis yang ditimbulkan peperangan tersebut.2 Pendekatan Boisen berakar dari
teologi naratif. Namun dalam pendekatan klinis ini, Boisen menggeser fokus narasi dari
kitab suci kepada hidup pribadi seseorang (focus on the individual person) dan ruang
lingkup yang memengaruhi kehidupannya. Paradigma klinis berkembang hingga saat
ini. Ada beberapa situs yang fokus mengembangkan paradigma klinis seperti
https://healthcarechap laincy.org/clinical-pastoral-education.html. Di HKBP

1
Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Yogyakarta:Diandra, 2014), 32
2
Menurut Totok, model ini lebih cenderung ke barisan/posisi kiri atau liberal, yang memandang
sejajar konseling pastoral dengan pelayanan terapi sekuler. Totok, Pengantar.., 33
paradigma klinis diperkenalkan sejak tahun 2004 oleh UEM. Organisasi pengembang
paradigma klinis dapat dilihat secara online dalam https://www.acpe.edu/.
Communal-contextual paradigm. Paradigma ini muncul sekitar tahun 1970-1990.
Paradigma ini lebih mengarusutamakan pengaruh lingkungan sosial, budaya, dan
ekonomi terhadap pelayanan pastoral. Paradigma ini muncul setelah Konsili Vatikan II
yang menggeser otoritas pelayanan gereja dari struktur pelayan tahbisan yang hirarkis
kepada kelompok-kelompok komunitas Kristen. Buku John Patton berjudul Pastoral
Care in Context: An Introduction to Pastoral Care adalah tulisan terbaik untuk
memahami paradigma komunal kontekstual dan perbedaannya dengan paradigma klinis
atau paradigma klerik klasik. 3 Patton mengangkat isu-isu ras, jender, kekuasaan,
masalah, dan moralitas, untuk membahasakan signifikansi pelayanan pastoral dengan
pendekatan paradigma komunal kontekstual. 4 Menjadi gereja adalah menjadi
komunitas yang saling memedulikan, saling mendengar dan saling menerima kembali
(re-membering). Paradigma ini muncul sebagai kritik terhadap pastoral klinis yang
lebih menekankan pendekatan psikologi untuk kesembuhan pribadi, dan pastoral klerik
yang sangat bergantung kepada peran imam atau pelayan tahbisan dalam
membahasakan kabar baik (message) bagi jemaat.
Intercultural paradigm. Paradigma ini dirintis oleh Emmanuel Lartey, Carrie
Doehring, Jamie Beachy, dan Melinda McGarrah Sharp, sejak awal 2000-an hingga
saat ini. Paradigma ini mempertimbangkan tradisi agama, kelompok budaya, keyakinan
agama, gender dan orientasi seksualitas, yang memiliki keterkaitan historis dengan
kolonialisme. Paradigma ini melihat setiap orang harus dihargai dalam tiga bidang
kepribadian yaitu universal (like all others), kultural/komunal (like some others), dan
keunikan individual (like no other).5 Pendekatan ini dipakai untuk menunjukkan
pergeseran pandangan teologi pastoral terhadap kebudayaan. Sebelumnya sudah ada
monocultural, across cultural, dan multicultural. Pendekatan interkultural bersifat

3
John Patton, Pastoral Care in Context: An Introduction to Pastoral Care, (Kentucky:
Wesminster/John Knox Press, 1993).
4
John Patton, 40
5
Emmanuel Lartey, In Living Color, An Intercultural Approach to Pastoral Care and Counseling,
(London & New York: Jessica Kingsley Publ., 2003), 24-27; 171-174. Dalam bukunya itu, Lartey
mengklaim pendekatan interkultural jauh lebih baik ketimbang pendekatan monokultur, across-kultur,
dan multikultur, terutama dalam mengembangkan pelayanan pastoral ditengah masyarakat plural.
polylingual, polyphonic, and polyperspectival karena menghargai setiap orang, di
dalam kompleksitas, pluralitas, fragmentasi masyarakat posmodern dan poskolonial.
Spiritual care paradigm. Tentang paradigma ini, penulis sebaiknya mengutip
utuh penjelasan Larry Kent Graham yang menuliskan:
“this is a post-modern, post-denominational, post-theological paradigm that
revives and transforms earlier attention to individual interior processes of
meaning-making, healing, personal responsibility, and engagement with the life
of the world. This model expands the neighborhood of pastoral care to include
the unaffiliated, the disenfranchised, the exiles and searches, and those imagining
a new world and new ways to live well within it. While recognizing, differences,
this paradigm is a syncretistic paradigm that borrows from one another in a trans-
spiritual interconnected universe.” 6

Paradigma spiritual care merupakan corak teologi komparatif yang


memperjumpakan tradisi Kristen dengan agama atau budaya lain. Misalnya perjumpaan
Kristen dengan Buddha (Bidwell), Kristen dengan agama tradisi Afrika khususnya di
Ghana (Lartey), Kristen dengan Zen Buddhisme dan Konghucu (Insook Lee), dan
Taoisme dengan Theravada Buddha (Siroj Sorajjakool). 7
Public pastoral theology paradigm. Duane R. Bidwell melihat bahwa, sejalan
dengan teologi publik, paradigma teologi pastoral publik menyuarakan secara luas
tanggung jawab saling memedulikan di antara manusia dan alam semesta. Teologi
pastoral publik berkaitan dengan refleksi kritis dan konstruktif terhadap asumsi-asumsi
implisit (terkadang eksplisit juga) tentang nilai-nilai kepedulian yang melekat di dalam
budaya, kebijakan pemerintah, dan wacana publik. Dengan demikian, teologi pastoral
publik bergerak melampaui konteks individual dan kegerejawian dalam upaya-upaya
pendampingannya, untuk memberi perhatian lebih luas terhadap ruang sosial,
institusional, dan praktik pendampingan (care) secara luas. Meskipun begitu, hasil
refleksi dan rekomendasi teologi pastoral publik dihubungkan lagi kepada komunitas
dan norma-norma Kristen. Salah satu tugas kunci teologi pastoral publik adalah
mengembangkan teologi-teologi dan praktik-praktik yang bermanfaat bagi kebaikan

6
Larry Kent Graham, “Just Between Us : Some Big Thoughts On Pastoral Theology” dalam
Practicing Public Pastoral Theologies in Contexts of Difference, edited by Emmanuel Lartey and
Melinda A. McGarrah Sharp, Journal of Pastoral Theology , 25-3, 2015, 174
7
Duane R. Bidwell, “Religious Diversity and Public Pastoral Theology: Is it time for a
Comparative Theological Paradigm?” dalam Practicing Public Pastoral Theologies in Contexts of
Difference, edited by Emmanuel Lartey and Melinda A. McGarrah Sharp, Journal of Pastoral
Theology , 25-3, 2015, 144
bersama di dalam kepelbagaian masyarakat. Paradigma teologi pastoral publik
mengarusutamakan kepentingan publik sebagai sasaran dan tujuan dari setiap
rancangan karya pastoral dengan cara mempromosikan kebajikan publik, meringankan
penderitaan masyarakat, mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan. Sebagai
konsekuensi atas sifatnya yang interdisipliner, teologi pastoral publik
mempertimbangkan dan menghargai sumber-sumber agama dan spiritual (seperti teks
suci, tradisi, dan praktik) layaknya sumber-sumber kebajikan dan kearifan non-religius.
Teologi pastoral publik tidak sebatas refleksi kritis dan konstruktif atas nilai-nilai
kekhususan agama-agama, tapi pencarian yang lebih baik lagi melampaui komunitas
agama dan spiritual untuk menghasilkan pemahaman dimensi teologis dan religius yang
dibakukan tentang isu-isu publik serta mengembangkan analisis dan kritik dalam
bahasa yang terhubung lintas disiplin dan tradisi iman.8
Cosmogenic pastoral theology paradigm. Paradigma kosmogenik melihat
puncak lingkungan sosial terdapat pada lapisan hubungan macro-systemic, meso-
systemic, micro-systemic, dan minusculo-systemic. Sehingga lingkungan kerja pastoral
mencakup cosmo-bio-psycho-social-historical. Untuk lebih jelas, penulis mengutip
beberapa pemikiran penting Graham dalam tulisannya:
The central characteristic of a cosmogenic paradigm is the pervasive
“serendipitous co-creation” that is always taking place within the interstices
between God, the universe, and human cultures and persons as we co-evolve
through history and over the eons. This paradigm is cosmogenic because it
recognizes that the neighborhood of care is a huge neighborhood composed of
the massive powers of the universe interacting in complex and inexorable ways
to bring us together serendipitously and receive the blessing or bane of what
happens in a dynamic, relational, and progressive environment expressed and
pervasively encountered through culture, history, and our world. 9

Lebih lanjut, Graham menuliskan “the central cosmogenic strategies of care are :
attuning, strengthening, repairing, and dreaming collaboratively with our intersecting
cosmogenic environments.”10
Dari uraian di atas dapat dipahami dua hal. Pertama, teologi pastoral dapat
didefinisikan sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki metodologi untuk menyusun

8
Duane R. Bidwell, “Religious Diversity and Public Pastoral Theology: Is it time for a
Comparative Theological Paradigm?,” 135-150
9
Larry Kent Graham, “Just Between Us : Some Big Thoughts On Pastoral Theology”, 176
10
Ibid, 182
teori-teori dan praktik baru melalui pengalaman pribadi, pelayanan, sumber-sumber
keagamaan, dan ilmu pengetahuan lain. Teologi pastoral juga dapat didefinisikan
sebagai wahana pengembangan pelayanan gereja pada setiap tantangan zaman. Teologi
pastoral akhirnya bisa berdampak terhadap perubahan masyarakat baik lokal maupun
global. Semua definisi tersebut disadari sebagai respon teologis terhadap upaya
pemeliharaan Allah bagi manusia dan seluruh ciptaan.
Kedua, bahwa area operasi ketujuh paradigma teologi pastoral di atas bergerak
dari interior ke publik bahkan kosmik, atau, bergeser dari hal-hal yang bersifat
partikular kepada yang universal, meskipun dalam penerapannya masing-masing area
teologi pastoral tersebut tetap saling membutuhkan.

II. Ruang Publik Sebagai Konteks Berteologi Pastoral di Indonesia

Gereja dalam konteksnya sebagai bagian dari masyarakat sipil di Indonesia harus
menyadari panggilannya bagi kesejahteraan sosial, penegakan hukum formal, dan
membangun kultur demokrasi yang sehat. Tidak seperti negara demokrasi lainnya yang
mampu melakukan privatisasi agama, di Indonesia pluralisme agama justru
melenggang manis di tengah ruang publik, meskipun belakangan ini lebih mengarah
pada aktivitas religius yang bertujuan politis atau menjauhkan umat dari tujuan
demokrasi. Intoleransi dan konflik bernuansa SARA meningkat di sejumlah daerah dan
pada sejumlah momen pemilihan umum. Realita ini merupakan pertanda bahwa ruang
publik sering terpapar bias pertentangan antarumat beragama, antarbudaya, dan
antaretnis. Politik identitas mayoritas versus minoritas di ruang publik menjadi bola liar
yang memiliki potensi destruktif terhadap relasi-relasi sosial. Kontradiksi ruang publik
yang tidak adil ini, menurut penulis, tidak terlepas dari pendangkalan akan pemahaman
masyarakat baik terhadap dalil-dalil demokrasi maupun kontribusi teologi yang
dimiliki tiap-tiap agama. Kesadaran inilah yang mendorong penulis untuk menggali
ulang hubungan negara dengan agama, atau demokrasi dan teologi. Inti pembahasan
hubungan demokrasi dan teologi harus dimulai dari ruang publik. Alasannya, ruang
publik merupakan ruang terbuka bagi setiap warga untuk berkumpul dan
menyampaikan pendapatnya, mengekspresikan keyakinannya, dan menentukan masa
depannya dalam ikatan negara. Ruang publik menjadi starting point membangun
masyarakat yang merdeka dan saling memerdekakan. Sayang sekali, teologi pastoral
yang dikembangkan selama ini, meskipun telah banyak berkecimpung dalam pelayanan
internal dan eksternal gereja, cenderung melewatkan ruang publik sebagai konteks
berteologi yang potensial.

Ide tentang potensi ruang publik sebagai konteks berteologi, termasuk teologi
pastoral, muncul dari seorang filsuf agnostik bernama Jurgen Habermas. Dalam
bukunya berjudul Between Facts and Norms Habermas menuliskan:

The public sphere can best be described as a network for communicating


information and points of view (i.e., opinions expressing affirmative or negative
attitudes); the streams of communication are, in the process, filtered and
synthesized in such a way that they coalesce into bundles of topically specified
public opinions. Like the lifeworld as a whole, so, too, the public sphere is
reproduced through communicative action, for which mastery of a natural
language suffices; it is tailored to the general comprehensibility of everyday
communicative practice. 11
Ciri khas ruang publik adalah arena diskursif atau tindakan komunikatif, yang
berbeda dan terpisah dari ekonomi dan negara, dimana melaluinya para warga
berpartisipasi dan bertindak melalui dialog dan debat. Ruang publik dalam bahasa
Jerman Offentlichkeit artinya “keadaan dapat diakses oleh semua orang”. Artinya ruang
publik menjadi lokus penyatuan yang mendamaikan konflik-konflik, klaim-klaim yang
bersaing, dan perbedaan-perbedaan yang tak dapat terselesaikan. 12 Dalam suatu negara
demokrasi, rakyat disebut berdaulat jika negara yang terdiri dari lembaga-lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tersambung secara diskursif dengan proses
pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. 13 Ruang publik menjadi satu-
satunya ruang dalam peradaban demokrasi yang bersifat netral dari intervensi dan
diskriminasi, kritis, bebas, setara, partisipatif, solidaritas, dan menjamin pluralitas tetap
terjaga secara seimbang. Pada tahap itulah ruang publik memiliki tujuan praksis
emansipatoris, yaitu dialog komunikatif dan tindakan komunikatif yang menghasilkan
transformasi masyarakat demokrasi. 14
Pada tahap itu juga, dalil-dalil “praksis

11
Jurgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law
and Democracy (Cambridge, Mass: MIT Press, 1996), 360
12
Nicholas Adams, Habermas and Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 2
13
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto? Dalam
Basis (edisi November-Desember 2004), 19
14
Menoh, 54-5
emansipatoris” ruang publik menjadi satu tujuan dengan praksis teologi pastoral, yaitu
keutuhan holistik seluruh ciptaan Allah melalui tindakan keadilan, pembebasan, dan
keselamatan.

Menurut Cooke dalam Menoh, Habermas menjadi gelisah dan skeptis terhadap
proyek liberalisasi politik dan modernisasi dunia karena telah menimbulkan dua
persoalan kemanusiaan. Pertama, perkembangan terakhir dalam bioteknologi yang
mengarah pada instrumentalisasi manusia yang secara mendasar membahayakan
pemahaman kita mengenai diri kita sendiri sebagai pribadi. Kedua, serangan teroris
yang dilakukan oleh militan fundamentalis Islam pada 11 September 2001. 15 Habermas
melihat bahwa liberalisme yang terjadi di Eropa telah mengakibatkan warga
masyarakatnya berubah menjadi individu-individu yang terisolasi satu sama lain, yang
bertindak hanya demi kepentingan sendiri. Solidaritas semakin menipis dan hak
masing-masing individu dipakai untuk melawan hak individu lain, adalah contoh nyata
konsekuensi menjauhkan (privatisasi) agama dari ruang publik. Habermas, dikutip oleh
Sunarko mengatakan:

“kesadaran religius secara hakiki terkait erat dengan praksis hidup yang kontinu
dalam sebuah kelompok/ persekutuan; dan dalam hal agama yang bersifat global,
berarti terkait erat dengan ritus dari jemaat dari seluruh dunia. Berdasarkan
komunitarianisme universal ini, kesadaran religius masing-masing dapat
memberi dorongan yang lebih kuat untuk membangun solidaritas.” 16
Pernyataan di atas merupakan sikap terakhir Habermas terhadap peran agama di
tengah sistem demokrasi. Komunitarianisme religius mengandung sisi solidaritas
kemanusiaan yang hilang dalam proyek rasionalisasi liberalisme dan modernisme.
Solidaritas merupakan makna yang terkandung pada dimensi praksis komunitas tiap-
tiap agama. Berkat makna solidaritas inilah yang membuat agama berfungsi
menyediakan basis moral bagi diskursus publik. Agama menjadi partner potensial
dalam mengkritisi dan meluruskan perkembangan masyarakat modern yang mulai salah
arah. Habermas menjadi semakin optimis apabila masing-masing komunitas religius,
apapun dan bagaimanapun model keyakinannya, bekerjasama menerjemahkan

15
Menoh, 105
16
A. Sunarko, Dialog Teologis dengan Jurgen Habermas, dalam Paul Budi Kleden dan A.
Sunarko (ed.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan (Yogyakarta dan
Maumere: Penerbit Lamalera, 2010), 73
kosakata dan dimensi epistemik dari panggilan makna teologis agama mereka yang
bermanfaat bagi demokrasi.

Menurut Gusti Menoh pemikiran Habermas relevan dalam konteks Indonesia


melalui dua indikasi. Pertama, dalam konteks Indonesia demokrasi deliberatif
Habermas menemukan jangkarnya (pijakannya), dan melalu demokrasi deliberatif
tersebut praksis politik para pendiri bangsa menemukan legitimasi (justifikasi)
rasionalnya secara normatif. 17 Kedua, munculnya fundamentalisme agama dan pasar
paska rezim Orde Baru menandakan proses pembelajaran menuju negara demokrasi
yang legitim justru baru dimulai. Fundamentalisme agama tampak melalui upaya-upaya
ekspansif yang masif dan ambisius untuk menjadikan doktrin agama tertentu sebagai
satu-satunya prinsip pengatur seluruh bidang hidup pribadi dan bermasyarakat.
Fundamentalisme pasar juga tak kalah bahayanya. Selain ingin memberlakukan
mekanisme pasar sebagai prinsip pengatur seluruh bidang kehidupan, fundamentalisme
pasar membenarkan tindakan anarkis, bahasa kepentingan diri, segala sesuatu
dikalkulasi dan akhirnya melihat ruang publik sebagai komoditi pasar. 18

Habermas membutuhkan waktu selama 30 tahun (1970-2001) untuk menyadari


bahwa agama-agama tidak bisa dihilangkan atau dieksklusi ke ruang pribadi. Agama
menjadi bagian penting perkembangan peradaban dunia. Pada awalnya, Habermas
menduga kehadiran agama bisa mengganggu penyelenggaraan demokrasi secara ideal
dan rasional. Pengasingan agama dari ruang publik masyarakat modern sama
bahayanya dengan membiarkan hegemoni fundamentalisme agama masuk ke ruang
publik. Oleh sebab itu, ruang publik dapat dikatakan sebagai konteks berteologi
pastoral karena teologi pastoral berpusat pada operasional dan praksis. Fungsi
menopang (sustaining) teologi pastoral terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila yang
menjamin keadilan dan kebebasan beragama dari berbagai ancaman sektarianisme dan
fundamentalisme, seharusnya mulai didesain melalui model-model praksis sosial,
politik, dan pedagogik.

17
Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik. Hubungan Antara Agama dan Negara
dalam Masyarakat Postsekuler Menurut Jurgen Habermas. (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 162
18
Gusti A.B. Menoh, ibid, 200-10
III. Metode Berteologi Pastoral di Ruang Publik

Dalam teologi pastoral terdapat metode penelitian yang bervariasi, baik yang
berpusat pada literatur (literature research) seperti ciri penelitian teologi lainnya,
maupun penelitian khasnya yang berpusat pada penelitian lapangan (field research).
Namun dalam paper ini metode Spiral Pastoral, yang berpusat pada penelitian lapangan,
lebih sejalan dengan upaya merancang metode penelitian teologi pastoral di ruang
publik. Istilah Spiral Pastoral belakangan dikembangkan oleh para teolog pastoral
sebagai kritik atas istilah Lingkaran Pastoral. 19 Spiral pastoral menampakkan bahwa
setiap siklus pastoral tidak pernah kembali ke kondisi semula, melainkan akan
memasuki suatu pengalaman baru. Metode Spiral Pastoral terdiri dari empat momen
yaitu pengalaman, analisis, refleksi teologi, dan respons atau aksi pastoral.

Tahap pengalaman (experience) adalah tahap memperhatikan dan mengalami


realita sosial (inkarnasi) khususnya kasus pastoral yang terjadi melalui peristiwa-
peristiwa ketidakadilan, konflik, perang, bencana, dan krisis kehidupan lainnya. Upaya
intensif ini disebut observasi partisipan. Dalam menelusuri sense of case dari suatu
peristiwa, diajukan pertanyaan pemandu. Frans Wijsen dikutip Marthin Nainupu
menyebut ada tiga jenis pertanyaan yaitu pertanyaan deskriptif (alat untuk menghimpun
data dan informasi secara umum), pertanyaan terstruktur (mengarahkan pada satu atau
dua domain fokus pengamatan), dan pertanyaan kontras (mempertentangkan dengan
maksud mempertajam). 20 Pertanyaan kunci: apa yang sebenarnya terjadi di tengah
masyarakat? Kisah apa yang mereka ceritakan? Bagaimana mereka merasakan
pengalaman tersebut? Bagaimana mereka merespons pengalaman tersebut? Apakah
saya, sebagai peneliti, telah mendengar dengan langsung dan tepat pada inti persoalan
mereka?

19
Frans. J.S. Wijsen, There is Only One God: A Social Scientific and Theological Study of
Popular Religion and Evangelization in Sukumaland Northwest Tanzania, (Kampen: Uitgeverij Kok,
1993), 11-2; Franz Wijsen, Peter Henriot, dan R. Mejia, (eds), The Pastoral Circle Revisited: A Critical
Quest for Truth and Transformation, (New York: Orbis, 2005); Joe Holland, dan Peter Henriot, Social
Analysis: Linking Faith & Justice, (New York: Orbis, 1983); J.B. Banawiratma, Kemiskinan dan
Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 123-4; Marthen Nainupu, “Lingkaran Pastoral: Sebagai
Suatu Metode Penelitian Theologi” dalam Jurnal Theologi Aletheia 4/6 (Maret 2002), 3-13
20
Marthen Nainupu, “Lingkaran Pastoral: Sebagai Suatu Metode Penelitian Theologi” dalam
Jurnal Theologi Aletheia 4/6 (Maret 2002), 6-7
Tahap analisis sering disebut analisis sosial merupakan upaya menyelidiki realita
secara sistematis berdasarkan data dan informasi yang sudah terkumpul pada tahap
pertama. Analisis ini dikembangkan untuk menemukan hubungan-hubungan makna di
antara bahasa dan pola-pola tingkah laku yang terstruktur. Wijsen dalam Nainupu
menyebutkan ada empat macam analisis sosial yaitu analisis domain, analisis
taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema. 21 Pertanyaan pemandu adalah
mengapa hal ini terjadi? Bagaimana peristiwa tersebut dikaitkan dengan hukum formal,
peran pemerintah, dan logika ruang publik? Apakah konsekuensi bila kasus ini tidak
diselesaikan? Siapakah aktor kunci, pihak berwenang yang mengambil kebijakan? Jadi
pada tahap analisis ini sudah ditunjukkan peran logika ruang publik sebagai acuan
membangun pertanyaan.

Tahap refleksi teologis menyelidiki konstruksi teologi yang mengalami


pergeseran, atau kehilangan makna, lalu kemudian menawarkan alternatif berteologi
yang transformatif. Ada upaya mendialogkan antara fakta empiris dengan tradisi iman,
seperti sumber-sumber kitab suci, sejarah dan doktrin-doktrin, dan etika. Wijsen dalam
Marthen Nainupu menyebut ada empat langkah membangun refleksi teologis antara
lain perspektif empiris (menilai bagaimana komunitas yang diteliti memahami situasi
riil mereka); perspektif teoritis (menilai situasi riil dari perspektif tradisi gereja apakah
masih relevan dan masih bisa dipertahankan); interrelasi kritis (menginterpretasi situasi
aktual dalam terang tradisi Kristen, dan tradisi Kristen diinterpretasi dalam terang
situasi aktual), dan mengajukan gagasan ideal yang relevan, visioner, konkrit, dan dapat
dioperasikan melalui aksi pastoral. 22

Pada tahap akhir, yaitu aksi atau respon teologis, peneliti mengajukan desain
praktik-praktik yang mengakomodir jawaban-jawaban teologis berdasarkan analisa
sosial dan konstruksi teologi. Pertanyaan kunci adalah tindakan apa yang dapat
dilakukan untuk mengubah keadaan tersebut? Wijsen dalam Nainupu menyebut
perencanaan pastoral menuju aksi pastoral dapat dilakukan melalui: merumuskan

21
Marthen Nainupu, 7-9
22
Marthen Nainupu, 9-11
kebijakan umum (misi, goal, dan sasaran), perencanaan strategi (desain kerja sama dan
desain dengan melibatkan tenaga penggerak), rencana pelaksanaan, dan pelaksanaan.23

Spiral pastoral di atas, menurut penulis, masih relevan digunakan untuk


mengembangkan teologi pastoral di ruang publik. Sebagai tambahan yang perlu
diperhatikan adalah bahwa teologi pastoral di ruang publik melihat ruang publik bukan
sebagai objek Kristenisasi, namun sebagai tempat belajar bersama baik dengan agama-
agama lain, warga negara, aparat pemerintah, penegak hukum, yang membentuk suatu
percakapan publik. Konten percakapan publik tersebut diarahkan pada konsensus-
konsensus yang lahir dari sikap egaliter, partisipatif, dan saling membebaskan.

IV. Teologi Pastoral Publik di Orange County oleh Duane R. Bidwell


Tulisan Duane R. Bidwell berjudul Religious Diversity and Public Pastoral
Theology: Is it time for a Comparative Theological Paradigm? menjadi salah satu
contoh penelitian teologi pastoral publik. 24 Bidwell mengangkat isu perdebatan publik
tentang keikutsertaan Persekutuan Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual Vietnam
dalam parade perayaan Hari Raya Tahun Baru Lunar Tet di Little Saigon, Orange
County, California. Perayaan tahun baru lunar atau tet ini dirayakan oleh warga
Vietnam di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Keterlibatan kaum queer
Vietnam ini memicu keberatan dari beberapa pimpinan agama Vietnam-Amerika dan
himbauan memboikot acara dari Badan Kerjasama Antariman Vietnam yang ada di
California Selatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pergantian penanggungjawab kegiatan
dari pemerintah setempat kepada kelompok swasta yang menangani imigran dan
termasuk anggota badan kerjasama antariman. Kelompok swasta inilah yang menolak
keberadaan kaum gay dan lesbian. Mereka dengan tegas menyuarakan “LGBT is not a
part of the Vietnamese culture”. Namun himbauan ini tidak diindahkan oleh warga kota.
Mereka menginginkan agar perkumpulan queer Vietnam yang ada di kota itu tetap ikut
dalam parade pesta. Akhirnya, pihak penyelenggara mengambil inisiatif di tengah acara
untuk menghentikan kegiatan selama 30 menit dan menawarkan solusi a separate but
equal. Ketika kaum Queer menolak solusi itu, bishop Lutheran meminta mereka untuk

23
Nainupu, ibid., 11-13
24
Duane R. Bidwell, “Religious Diversity,” 135-150
mengorbankan diri (sacrifice) untuk kebaikan komunitas. Permintaan bishop tersebut
merupakan refleksi dari ajaran Konghucu yang membentuk budaya Vietnam dimana
mengorbankan diri demi penegakan moral merupakan hal biasa dalam tradisi.
Menurut Bidwell keistimewaan teologi pastoral publik terletak pada kreativitas
teolog untuk mengangkat isu-isu publik yang bermanfaat bagi semua pihak yang
terlibat tanpa mengkultuskan tradisi teologi Kristen dan mengesampingkan kearifan
tradisi agama lain. Awalnya Bidwell melihat konflik agama, budaya, politis, dan etnis
rasial ini melalui paradigma komunal-kontekstual dan interkultural. Hasilnya
ditemukanlah akar-akar kontroversi parade tersebut melibatkan tiga isu utama yaitu
imigrasi, dinamika sosio-politis, dan agama. Pertama, imigrasi. Orang-orang Vietnam-
Amerika ternyata terbagi tiga gelombang dari segi proses perpindahan ke Amerika.
Imigran gelombang pertama ialah kaum elit Vietnam, kalangan terdidik Vietnam
Selatan yang sering diasosiasikan sebagai militer, aparat pemerintah, yang tiba di
Orange County tahun 1975. Gelombang kedua ialah golongan “anak kapal” yang tiba
tahun 1980an. Kelompok ini adalah kalangan Vietnam yang tidak berpendidikan dan
miskin, kelaparan, dan tertindas. Mereka datang ke AS untuk mencari hidup yang lebih
baik. Gelombang ketiga (1980an-1990an) ialah kelompok Vietnam yang datang ke AS
karena program pemerintah namun didanai oleh keluarga mereka yang ada di AS. Pola
imigrasi tiga gelombang inilah yang membentuk kontroversi Little Saigon. Panitia dan
sponsor utama kegiatan adalah golongan Vietnam gelombang pertama, sementara kaum
Vietnam Pelangi (LGBT) umumnya gelombang imigran kedua dan ketiga. Bidwell
menyurati pihak penyelenggara kegiatan parade. Dalam suratnya itu Bidwell
menggunakan teologi komparatif untuk mengemukakan pencapaian konsensus tentang
makna sacrifice interreligius dalam agama Konghucu, Taoisme, Buddha, dan Kristen.
Dengan mengemukakan pemahaman sacrifice interreligius kepada pemimpin agama
(bishop) secara ramah, pendekatan teologi pastoral publik akhirnya bisa memberi solusi
tanpa merugikan pihak tertentu didalamnya. Sebelas bulan kemudian, perkumpulan
LGBT akhirnya dilibatkan lagi dalam acara parade Tet. Keberhasilan Bidwell
menambahkan pendekatan teologi komparatif dalam teologi pastoral publiknya,
ditentukan oleh keterbukaan dan penghargaan yang tulus dalam mendudukkan praktik,
otoritas teologi dan tradisi agama lain sebagai mitra sejajar bagi teologi Kristen.
V. Refleksi Teologis

Pada bagian pertama penulis telah memberikan gambaran perkembangan teologi


pastoral mulai abad 20 hingga pada masa kini. Ketujuh paradigma tersebut sebaiknya
dipahami sebagai paradigma teologi pastoral kontemporer yang hadir untuk memenuhi
panggilan khusus pastoral menurut tuntutan zaman dan konteks masing-masing.
Masing-masing paradigma tersebut masih digunakan sampai sekarang baik oleh
komunitas gereja maupun nongereja menurut kebutuhannya. Jadi tidak ada paradigma
yang salah atau lebih benar. Ketujuh paradigma itu saling melengkapi. Bagian kedua,
penulis memperlihatkan bahwa ruang publik sebagai ruang yang terbuka dan ideal
sekaligus mengalami banyak persoalan di seputar hubungan antarumat beragama.
Sayang sekali, dalam konteks Indonesia, ruang publik belum dijadikan sebagai konteks
berteologi pastoral. Bagian ketiga diuraikan metode spiral pastoral sebagai salah satu
metode berteologi pastoral. Hal ini untuk menunjukkan bahwa ruang publik dapat
dijadikan sebagai lapangan penelitian spiral pastoral. Bagian keempat diuraikan tentang
penelitian teologi pastoral di ruang publik oleh Duane R. Bidwell dalam konteks
perdebatan publik soal keterlibatan kaum LGBT pada pesta tahun baru Lunar (Tet) di
Orange County, California.

Ada tiga makna yang terkandung pada tulisan Bidwell. Pertama, tulisan Bidwell
merupakan salah satu contoh penerapan metode teologi pastoral spiral pastoral. Kedua,
tulisan Bidwell mengandung pendekatan yang mengintegrasikan tiga paradigma yaitu
komunal-kontekstual, interkultural, dan teologi komparatif. Pada tahap analisis Bidwell
memakai paradigma kontekstual dan interkultural untuk menemukan akar persoalan di
Orange County yaitu imigrasi, dinamika sosio-politis, dan agama. Lalu teologi
komparatif digunakan sebagai refleksi teologis untuk melihat makna sacrifice pada
masing-masing agama Vietnam-Amerika. Ketiga, tulisan Bidwell menggambarkan
arena debat publik yang dipengaruhi pandangan agama-agama, kultur, dan politik.
Suasana hiruk pikuk debat publik seperti ini sangat dekat dengan suasana debat publik
dalam ruang demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu model berteologi pastoral di ruang
publik oleh Bidwell tersebut relevan dan kontekstual jika dikembangkan di Indonesia.

Di Indonesia, upaya yang sejajar dengan Bidwell pernah terjadi di Indonesia


seperti ketika Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) mengeluarkan surat terbuka tanggal
28 Mei 2016 lalu tentang LGBT yang menjadi bahan perdebatan publik. LGBT
dipandang sebagai minoritas yang sangat rentan terhadap perlakuan ketidakadilan dan
diskriminasi. PGI menyuarakan bahwa LGBT sebagai sesama yang setara dalam hak
layaknya warga lain. PGI juga menyinggung soal-soal kesalahpahaman dan interpretasi
yang menegasikan ataupun menghakimi kaum LGBT. Merujuk data medis, LGBT
bukan penyakit jiwa bukan pula penyakit spiritual. LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu
yang terterima (given). Namun surat pastoral PGI tersebut justru menimbulkan pro-
kontra di kalangan gereja atau umat Kristen pada umumnya.

Pada satu sisi inisiatif PGI di atas merupakan suatu terobosan penting bagaimana
gereja tampil di ruang publik ikut merespon dan memperjuangkan kaum LGBT yang
tidak mendapatkan hak-haknya secara adil dan setara. Namun berbeda dari Bidwell,
respon pastoral PGI justru mendapat kritikan tajam dari gereja-gereja yang ikut sebagai
anggota PGI. Bahkan ada gereja yang mengancam keluar dari PGI apabila surat pastoral
ini tidak direvisi atau ditarik. Menurut penulis, respon PGI tersebut seharusnya
mempertimbangkan langkah-langkah teologi pastoral di ruang publik yang meliputi
metodologi, paradigma-paradigma, dan logika ruang publik. Teologi pastoral publik
berbeda dari ide revolusioner teologi pembebasan yang memperjuangkan satu kelas
meskipun harus mengancam kelas sosial lain.

Berteologi pastoral di ruang publik adalah memasuki ruang publik dalam bentuk
percakapan atau tindakan komunikatif. Artinya teologi duduk bersama dengan teologi
dari agama-agama lain dan logika ruang publik itu sendiri. Penulis melihat kisah Yesus
dalam Injil sebagai profil teolog pastoral yang bisa menghadirkan tanda-tanda mesianik
dan Kerajaan Allah melalui percakapannya bersama warga lintas budaya, agama,
ideologi, politik, dan etnis. Beberapa peristiwa penting yang menggambarkan Yesus
condong mengeksplorasi ruang publik dalam rangka melaksanakan visi pelayanan-Nya
adalah: peristiwa perkawinan di Kana (Yoh. 2:1-11), pengajaran keliling (Mat.9:35),
pemanggilan murid-murid dari pinggir danau (Mat.4:18-22) dan pengutusan murid ke
tempat-tempat orang-orang sakit, mati, kusta dan kesurupan (Mat.10:8), khotbah di
Bukit (Mat. 5), sumur (Yoh. 4:5-42), kolam Betesda (Yoh. 5:1-47), bait Allah yang
menjadi ruang publik untuk memperdebatkan perempuan yang tertangkap tangan kasus
perzinahan (Yoh. 8:2-11), lima ribu orang berbagi makanan di tempat umum
(Mat.15:32-39), orang buta di pinggir jalan (Mat. 20:30-34), dan lain-lain. Yesus
melakukan tindakan komunikatif di tempat-tempat publik terinspirasi suara kenabian
Yesaya yang berbunyi:

“..Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah.
Ia sendiri datang menyelamatkan kamu. Pada waktu itu mata orang-orang buta
akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang
lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai;
sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara..”
(Yes. 35:4-6 ITB)
Teks-teks di atas dapat dijadikan contoh bahwa pelayanan go public Yesus
menjadi kritik terhadap tradisi pelayanan keagamaan yang formal legalistik (ritual
hipokrit dan status quo). Agama tidak lagi berkontribusi bagi kesembuhan, kebebasan,
kebangkitan, dan pemberdayaan masyarakat. Suara mesianik agama disembunyikan
dan dijauhkan dari aktivitas komunikasi di ruang publik. Sebaliknya Yesus membawa
dan menerjemahkan gagasan-gagasan teologis Kerajaan Allah ke dalam bahasa-bahasa
yang biasa digunakan di ruang publik. Yesus berhasil menunjukkan kesinambungan
antara gagasan tanda-tanda Kerajaan Allah dengan pengharapan mesianik, baik bagi
kalangan Yahudi maupun non-Yahudi. Bahkan lebih dari itu, Yesus mampu
menggerakkan dan memberdayakan masyarakat lintas agama, budaya, dan ideologi.
Oleh sebab itu, tema Kristologi kontekstual sebenarnya relevan untuk menyusun
kontruksi teologi pastoral di ruang publik. Memahami pelayanan Yesus sebagai teologi
pastoral di ruang publik sesungguhnya sangat relevan karena ide Kerajaan Allah yang
menjadi inti pemberitaan-Nya tersambung secara diskursif melalui percakapan,
pengajaran, penyembuhan, kotbah, dan penderitaan Yesus di ruang publik sebagaimana
kesaksian Injil. Yesus adalah wujud tindakan komunikatif Allah terhadap umat ciptaan-
Nya.

Dalam konteks Indonesia saat ini, gereja harus terlibat dalam upaya
memperkokoh dalil-dalil demokrasi yang menjamin keadilan dan kebebasan bagi
pemeluk agama baik dalam memilih, mengekspresikan, dan menjalankan fungsi positif
agama itu sendiri pada ruang publik. Gereja tidak cukup sekadar memaknai tindakan
komunikatif Allah terkungkung di dalam komunitas gereja semata, melainkan gereja
dalam panggilan teologisnya merupakan wadah pemublikasian potensi semantik dan
fungsi positif gagasan Kerajaan Allah bagi semua bangsa. Yang perlu diperhatikan
adalah gereja hidup bersama dengan agama lain yang memiliki visi “menjadi rahmat”
bagi dunia. Maka, gereja secara kreatif, kritis, dan inovatif mempertimbangkan gagasan
praksis masing-masing agama yang ada di Indonesia. Judith Butler dalam Eduardo
Mendieta mengatakan: “to co-habit is prior to any possible community or nation or
neighborhood. We might choose where to live, and who to live by, but we cannot choose
with whom to co-habit the earth. We must actively seek to preserve ‘the non-choosen
character of inclusive and plural co-habitation”.25 Judith Butler menandaskan bahwa
masa depan suatu komunitas di tengah konteks plural ditentukan oleh karakter inklusif
yang rendah hati tanpa mengumbar gagasan keumatterpilihan, dan memandang tempat
tinggal sebagai habitat bersama (co-habit). Menurut penulis, gagasan co-habit harus
ditindaklanjuti dengan co-praxis. Co-praxis (bahasa penulis untuk menyebut
kesejajaran panggilan praksis teologis antaragama) adalah jalan teologi pastoral publik.
Di dalam co-praxis masing-masing agama terlibat pada suatu aktivitas publik,
berdiskusi, berdebat, dan bertindak, mencari dan menemukan solusi publik.
Keterlibatan masyarakat religius seperti ini justru syarat utama terciptanya demokrasi.
Secara teologis, Kerajaan Allah akhirnya tersambung dalam tindakan komunikatif
gereja di ruang publik. Pada sisi lain, dalil demokrasi dan filsafat politik mengandaikan
ruang publik harus tersambung secara diskursif dengan ruang publik informal tempat
warga antaragama berdiskusi dengan warga lain. Oleh sebab itu ruang publik menjadi
tempat perjumpaan gagasan Kerajaan Allah dengan negara demokrasi seperti
Indonesia.

25
Eduardo Mendieta and Jonathan Vanantwerpen, Introduction, dalam The Power of Religion in
the Public Sphere, (New York : Columbia University, 2011), 9
Daftar Pustaka

Adams, Nicholas. Habermas and Theology. Cambridge: Cambridge University Press,


2006.

Banawiratma, J.B. Kemiskinan dan Pembebasan. Yogyakarta: Kanisius, 1990

Bidwell, Duane R. “Religious Diversity and Public Pastoral Theology: Is it time for a
Comparative Theological Paradigm?” dalam Emmanuel Lartey and Melinda A.
McGarrah Sharp (ed.). Journal of Pastoral Theology. Practicing Public Pastoral
Theologies in Contexts of Difference, 25-3, 2015

Habermas, Jurgen. Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of


Law and Democracy. Cambridge, Mass: MIT Press, 1996

Hardiman, F. Budi. “Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto?”


dalam Basis edisi November-Desember 2004

Graham, Larry Kent. “Just Between Us : Some Big Thoughts On Pastoral Theology”
dalam Emmanuel Lartey and Melinda A. McGarrah Sharp (ed.). Journal of
Pastoral Theology. Practicing Public Pastoral Theologies in Contexts of
Difference, 25-3, 2015

Holland, Joe dan Peter Henriot, Social Analysis: Linking Faith & Justice. New York:
Orbis, 1983

Lartey, Emmanuel. In Living Color, An Intercultural Approach to Pastoral Care and


Counseling. London & New York: Jessica Kingsley Publ., 2003.

Mendieta, Eduardo dan Jonathan Vanantwerpen, The Power of Religion in the Public
Sphere. New York : Columbia University, 2011.

Menoh, Gusti A. B. Agama Dalam Ruang Publik. Hubungan Antara Agama dan
Negara dalam Masyarakat Postsekuler Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius, 2015

Nainupu, Marthen. “Lingkaran Pastoral: Sebagai Suatu Metode Penelitian Theologi”


dalam Jurnal Theologi Aletheia 4/6, Maret 2002.

Sunarko, A. “Dialog Teologis dengan Jurgen Habermas” dalam Paul Budi Kleden dan
A. Sunarko (ed.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan
Tanggapan. Yogyakarta dan Maumere: Penerbit Lamalera, 2010
Wijsen, Frans. J.S. There is Only One God: A Social Scientific and Theological Study
of Popular Religion and Evangelization in Sukumaland Northwest Tanzania.
Kampen: Uitgeverij Kok, 1993.

Wijsen, Franz, Peter Henriot, dan R. Mejia, (eds), The Pastoral Circle Revisited: A
Critical Quest for Truth and Transformation. New York: Orbis, 2005.

Wiryasaputra, Totok S. Pengantar Konseling Pastoral. Yogyakarta: Diandra, 2014.


Patton, John. Pastoral Care in Context: An Introduction to Pastoral Care. Kentucky:
Wesminster/John Knox Press, 1993.

Anda mungkin juga menyukai