Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN BACA MATA KULIAH DOGMATIKA II

MATA KULIAH : DOGMATIKA 2

NAMA DOSEN : DARIUS M.Th

NAMA MAHASISWA : THABITA TIBUKA

KELAS : D TEOLOGI

JUDUL BUKU : MANUSIA MATI SEUTUHNYA

JUMLAH HALAMAN : 508 Hal.

PENGARANG : ANDARIAS KABANGNGA’

PENERBIT : MEDIA PRESSINDO

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (TORAJA)


TAHUN 2019-2020
BAB 1
ANTROPOLOGI TORAJA
Secara sistematis, ada empat pokok permasalahan yang perlu diketahui dalam
mempelajari pandangan suku bangsa toraja mengenai manusia. Adapun keempat pokok
tersebut, yakni: pandangan mengenai asal manusia, eksistensi manusia, kematian manusia, dan
kehidupan manusia di ”dunia akhirat”. Dan, dari keempat pokok tersebut dikatakan bahwa
saling memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Keempat pokok tersebut akan
diuraikan satu persatu, yang dimulai dari:

a. Asal Manusia
Jika kita memperhatikan persepsi (pandangan) yang ada mengenai asal manusia, maka
kita akan menemukan dua vesi yang berkembang dalam masyarakat Toraja menyangkut asal-
usul leluhur suku bangsa Toraja. Kedua versi tersebut ialah versi mitologis dan versi ilmuan.
Dimana versi mitologis berkaitan erat dengan cerita-cerita rakyat dalam masyarakat Toraja.
Dikatakan bahwa cerita-cerita tersebut sering tidak persis sama penuturannya, akan tetapi isi
dan maknanya sama. Hal tersebut terjadi diakibatkan adanya cerita-cerita yang disampaikan
dari mulu ke mulut secara turun-temurun. Sedangkan, versi ilmuan berkaitan dengan asal-usul
leluhur bangsa Toraja dengan sejarah perkembangan manusia secara ilmiah.
Adapun penguraian secara luas dari kedua versi tersebut di atas, yakni:
 Manusia: keturunan Dewa atau Makhluk Ciptaan?
Untuk menelusuri asal-usul nenek moyang suku bangsa Toraja, maka sang penelusur
dikatakan harus bersedia bekerja diibaratkan seorang ”pemulung”. Dengan kata lain bahwa
untuk menelusuri bagaimana asal-usul nenek moyang suku Toraja, maka kita harus
mengumpulkan berbagai sumber yang ada dengan kondisi yang ada pula. Hal demikian tidak
bisa kita kira-kira saja karena dikatakan bahwa tidak ada sumber tertulis yang ditinggalkan oleh
nenek moyang suku bangsa Toraja. Sebab, sebelum bangsa Belanda datang ke bumi Toraja, kita
tidak dapat menemukan sumber literatur tentang etnis Toraja, apalagi mengenai silsilahnya.
Adapun cara lain yang dapat dilakukan untuk menelusuri asal manusia Toraja ialah dengan
mencermati legenda Toraja dan karya-karya sastra Toraja yang masih terpelihara melalui
Tominaa,sebagai pelaksana ritus penyembahan, dan juga tokoh adat masyarakat Toraja.
Dalam sastra Toraja, asal-usul manusia disinggung khususnya dalam upaca merok.
Upacara merok adalah suatu upacara yang berkaitan dengan pengucapan syukur dari penganut
kepercayaan tradisional Toraja. Salah satu bagian dari upacara merok adalah Massomba
Tedong atau proses penyucian kerbau yang akan disembelih untuk menjadi kurban. Upacara
Massomba Tedong, dipimpin oleh Imam Aluk Todolo.
Menurut mitologi Toraja, manusia yang pertama diciptakan oleh Puang Matua di langit
melalui puputan kembar, dan materi dasarnya adalah emas. Dalam upaca Massomba Tedong,
Tominaa biasanya mengungkapkan kata-kata yang menyangkut dengan asal manusia dan
penciptaan manusia.
Dari ungkapan-ungkapan yang diungkapkan oleh Tominaa memberikan penjelasan
bahwa manusia yang pertama itu diciptakan oleh Puang Matua dari bahan emas murni, melalui
puputan kembar. Adapun nama dari leluhur manusia pertama adalah Datu Laukku’. Dikatakan
bahwa Datu Laukku’ ia berjenis kelamin perempuan dan diceritakan pula bahwa setelah Datu
Laukku diciptakan, ia kemudian dikawini oleh dewata Bongga Langi’na.
Di dalam kepercayaan tradisional Toraja manusia itu pada mulanya dipahami sebagai
makhluk yang “diciptakan”. Dikatakan bahwa nenek moyang manusia yang pertama adalah
Datu Laukku’, dikawini oleh dewata Bongga Langi’na. Karena itu, keturunan Datu Laukku
memiliki unsur dewata. Dengan demikian, dalam kepercayaan tradisional Toraja terdapat
keyakinan bahwa di dalam diri manusia ada unsur dewata (ilahi). Dan unsur ilahi dalam diri
manusia tidak lain adalah jiwa atau rohnya.
Menurut pandangan kaum ilmuan, nenek moyang suku bangsa Toraja bukanlah turun
dari langit di Rura, melainkan berasal dari Dongson, Annam, dan Hindia Belakang.
b. Eksistensi Manusia
Dalam bahasa Toraja, ada dua kata yang dipakai untuk manusia yaitu tau dan tolino.
Makna yang terkadung dari tolino ialah mengacu pada pengertian ”penduduk dunia”, yang
dibedakan darin “penduduk langit” yaitu Puang Matua dan ilah-ilah lain.
Eksistensi manusia dapat kita pahami apabila mengerti pandangan kepercayaan
tradisional Toraja tentang dimensi manusia dan kehidupan manusia. Dalam dimensi manusia
dikenal dua kata dimensi yakni, dimendi yang kelihatan dan dimensi yang tidak kelihatan.
Dimensi kelihatan diberi dengan nama kale. Dimana kata kale adalah wujud nyata dari manusia
yang bisa kita lihat secara jelas. Misalnya apakah seseorang itu gemul atau kurus, tinggi atau
pendek. Dengan kata lain, kale dalam bahasa Indonesia ialah tubuh manusia. Dan dimensi yang
kedua ialah dimensi yang tidak kelihatan. Demensi yang tidak kelihatan seperti: tangnga’,
sumanga’,sunga’, penaa, bombo. Tangnga’ berarti akal dan pikiran manusia; sumangnga’
menekankan manusia; sunga’adalah pada semangat, daya hidup pada manusia; penaa
menekankan pada hati dan nafas nyawa pada manusia; dan bombo adalah jiwa atau roh
manusia.
c. Kematian Manusia
Kematian adalah suatu faktum yang merupakan bagian sejarah bagi setiap insan.
Adapun paham kamtian menurut suku Toraja yakni:
 Meninggal tetapi “Belum” Mati
Menurut kepercayaan tradisional Toraja, seseorang yang meninggal bila belum
diupacarakan pemakamannya, maka mendiang masih dianggap tetap hidup. Dikatakan bahwa
yang mengakibatkan manusia putus nyawanya atau meninggal menurut mitologi Toraja adalah
akibat dari terjadinya peristiwa di Rura. Dimana orang yang pertama lahir di bumi yang
bernama Pong Malatau, yang mempunyai 2 orang anak yaitu Londong Dilangi’ dan Londong
Dirura.
d. Meninggal dan “Sudah” Mati
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, maka ada 48% responden mengatakan bahwa
yang dimaksudkan mati dalam kepercayaan tradisional Toraja adalah “peralihan dari dunia ini
ke dunia seberang saja”.
Dimensi Manusia pada saat Mati
Ada dua dimensi manusia pada sat mati, yakni: Dimensi tubuh pada saat mati dan
dimensi Jiwa/Roh manusia setelah mati.
 Dimensi Tubuh pada Saat Mati
Pada saat nyawa (penaa) seorang putus, maka badan kasarnya semakin lama semakin
kaku. Dalam kepercayaan tradisional Toraja, terdapat keyakinan bahwa pada saat itulah
jiwanya/rohnya keluar dari tubuh.
 Dimensi Jiwa/Roh Manusia setelah Mati
Dalam kepercayaan Toraja dijelaskan bahwa jiwa atau roh manusia tidak terpengaruh
pada kematian. Walaupun manusia mati, tetapi jiwa atau rohnya tidak takluk di bawah
kematian. Ia tetap ada sekalipun tubuh hancur. Jiwa manusia bukan fana karena ia adalah
“ilahi”. Dengan demikian, bila roh dan jiwa tidak terpengaruh oleh kematian, dan sebaliknya
tubuh akan hancur sebagai akibat dari kematian, dan tubuh tidak akan dibangkitkan. jika
demikian, bagaiamanakah konsep “keselamatan” dalam kepercayaan tradisional Toraja?
Keselamatan Manusia
Dalam kepercayaan Aluk Todolo, dikenal juga adanya keselamatan. Keselamatan itu,
berkaitan dengan apa yang disebut mendeata (menjadi dewata) atau membali puang (menjadi
ilah). Dikatakan bahwa setelah jenazah seorang dimasukkan ke dalam liang kubur, maka jiwa
manusia akan beralih dari dunia ini menuju ke Puya. Puya dikatakan hanyalah terminal
sementara bagi jiwa; karena jiwa dapat keluar dari Puya dan menuju ke asal nenek moyang
manusia, yakni langit. Langit adalah suatu tempat di atas bumi ini, yaitu tempat dimana Puang
Matua dan dewata lain berkediaman.
Hal keluarnya jiwa dari Puya tidak ditentukan oleh jiwa itu sendiri melainkan ditentukan
oleh keluarga mendiang yang masih hidup. Dengan demikian, dalam kepercayaan tradisional
Toraja, keselamatan bagi orang mati dalam hal jiwa menejadi ilahi ditentukan oleh keluarga
mendiang yang masih hidup.
Ritus dan Keselamatan Mendiang
Ritus dan Keselamatan mendiang dilaksanakan setelah potong padi, dilaksanakan
beberapa bulan setelah pemakaman jenazah, bahkan bisa bertahun-tahun jika keluarga
mendiang belum berkesempatan. Dalam acara ini dilaksanakan “pembalikan” tempat sajian
(yang dahulunya menghadap ke Barat kemudian diarahkan ke Timur, kea rah matahari naik).
Dalam masyarakat Toraja, upacara pembalikan sajian ke arah Timur disebut dengan Rambu
Tuka’, yang berkaitan dengan ucapan penyembahan dan pengucapan syukur.
Dalam kepercayaan tradisional Toraja, ritus Ma’balikan Pesung sangat besar artinya,
karena ritus inilah yang menentukan proses jiwa menjadi dewata atau nenek leluhur.
Jiwa Menjadi Ilahi
Dalam kepercayaan tradisional Toraja, kematian adalah “peralihan” dari dunia impiris
ke dunia ilahi, dunia mitis. Pun dalam kepercayaan tradisional Traja, manusia diyakini berasal
dari langit, dari dunia ilahiyakni dunia mitis transenden. Dunia mitis transenden adalah tujuan
akhir manusia dan “tidak”akan kembali lagi menjadi manusia baru. Dengan demikian, manusia
dalam antropologi Torajamerupakan suatu siklusdari dunia mitis transenden ke dunia empiris
praktis, kembali ke dunia mitis.
BAB II
ANTROPOLOGI DALAM SEJARAH
DOGMA PROTESTANTISME

a. Antropologi Reformator
Sejarah Protestantisme berawal dari munculnya Reformasi di Jerman pada abad ke-16.
Tokoh-tokoh reformator tersebut antara lain, Martin Luther dan Yohanes Calvin.
 Asal dan kehidupan manusia menurut Luther
Beranjak dari motto Reformasi yakni: sola fide, sola gratia,dan sola Scriptura, maka
dapat dipastikan bahwa Luther dalam membangun teologinya “hanya” didasarkan atas
kesaksian Alkitab.
Berdasarkan kesaksian Alkitab, manusia itu diciptakan oleh Allah. Dikatakan bahwa
Allah sendiri yang menciptakan manusia menurut Firman-Nya, “Baiklah kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan dilaut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas sseluruh bumi dan atas segala binatang melata
yang merayap di bumi”.
Asal dan kehidupan manusia menurut Luther, sebagaimana ia mengaitkan dengan
Kejadian 1:26. Dimana ia tertarik untuk mendalami tentang kandungan penciptaan manusia.
Dalam kitab Kejadian 1:26 ini, terdapat dua kata yang dikatakan bahwa menarik perhatian
Luther yakni kata “gambar” dan ”rupa Allah”. Kata gambar dan rupa Allah diterjemahkan dari
kata Ibrani yakni (tselem) dan (demut. Menurut Luther, yang dimaksudkan dengan tselem
adalah image of figure. Kata kedua yakni demut yang berarti the accuracy of the image.
Terlepas dari kedua kata yang dipakai di atas, namun keduanya bermuara dalam satu
tekanan dalam konteks Kejadian 2:26 yakni manusia diciptakan “langsung” oleh Allah dan
tidak seperti makhluk lain yang hanya dengan kata-kata. Sangat jelas dikatakan bahwa Tuhan
Allah-lah yang menciptakan manusia. Manusia diciptakan mengikuti “gambar” dan “rupa”
Allah. Dikataan bahwa Allah adalah Khalik dan manusia adalah “makhluk” ciptaan-Nya. Oeh
karena itu, sepatunyalah kita mengakui bahwa Dialah satu-satunya Allah, yang akan senentiasa
memeilihara kehidupan semua orang yang percaya kepada-Nya.
Dikatakan bahwa manusia pertama ditempatkan di Taman Eden dengan sebuah
tanggung jawab, yakni untuk memuliakan Tuhan Allah. Dan, dalam melaksanakan tanggung
jawab ini, dibutuhkan sebuah ketaatan. Akan tetapi ternyata manusia yang ditempatkan di
Taman Eden itu tidak mampu mempertahankan kesetiannya kepada Tuhan, yang
mengakibatkan mereka melanggar apa yang dilarang oleh Tuhan yang membawa manusia itu
jatuh ke dalam dosa.
Menurut Luther, setelah manusia jatuh ke dalam dosa maka image Dei pada manusia
was wholly lost, yang membawa kerusakan secara menyekuruh, atau total corruption pada
manusia. Dikatakan bahwa setelah manusia jatuh ke dalam dosa, manusia di sebut sebagai
“pendosa”. Dan, akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa itu maka “semua” manusia dikandung
dan dilahirkan dalam keadaan berdosa. Dalam pengakuan kaum Lutheran, sebagaimana dalam
Konfensi Augsburg (1530) dikatakan bahwa sejak kejatuhan Adam semua manusia yang
dilahirkan secara kodrati dikandung dan dilahirkan dalam dosa. Yakni semua manusia penuh
dengan nafsu dan kecenderungan-kecenderungan yang jahat sejak ejak dalam kandugan ibunya
dan pada hakekatnya tidak mampu memiliki takut dan iman yang sejati kepada Allah. Dengan
demikian jelaslah bahwa bagi Luther bahwa manusia setelah jatuh ke dalam dosa kehilangan
kebenaran, sehingga tidak ada yang dapat diandalkan di hadapan Allah.
Luther mengatakan bahwa meskipun manusia telah jatuh ke dalam dosa yang
mengakibatkan imago Dei pada manusia hilang, namun oleh karena anugerah Allah manusia
beroleh keselamatan semata-mata; sola gratia. Dikatakan bahwa bila kita beriman kepada
Tuhan maka kita akan dibenarkan dan diselamatkan. Dengan tegas dikatakan bahwa “hanya
oleh iman” manusia diselamatkan, sola fide. Dikatakan bahwa berita sukacita (Injil) tentang
keselamatan itu telah tertulis di dalam Alkitab. Bahkan seluruh rencana apa yang dikehendaki
Allah bagi manusia telah tertulis dalam Alkitab. Dengan demikian, hanya Alkitablah yang harus
dijadikan sumber untuk mengukur segala-galanya, sola scriptura. Begitupun dengan Luther, ia
memandan Alkitab sebagai satu-satunya pedoman bagi iman dan kehidupan manusia.
Dikatakan pula bahwa kegemaran orang percaya untuk mengabdi kepada Allah dikaitkan pada
sebuah kebebasan. Luther mengatakan bahwa kebebasan itu bukanlah suatu ketidakterkendalian
atau kesewenangan, tetapi kesedian yang sukarela untuk menyerahkan diri kita sendiri kepada
Allah. Dikatan bahwa orang percaya dapat memperoleh kebebasan ika memiiki iman. Iman
kepada Allah dalam Yesus Kristus itulah kuncinya. Oleh karena itu, Luther mengatakan, “Dari
iman timbullah cinta kasih suatu hidup yang bebas, yang tanpa paksaan, yang gembira dalam
melayani sesama manusia”. Dengan demikian, jika kita memperhatikan pendapat Luther maka
jelaslah bahwa melakukan kebajikan bukanlah suatu hal yang wajib apalagi dilakukan dengan
paksaan, melainkan merupakan suatu kesenangan atau kegembiraan setiap manusia untuk
merespon apa yang telah Allah lakukan untuknya. Sebagaimana Tuhan telah menganugerahkan
keselamatan melalui Yesus Kristus umat manusia.
 Kematian dan Keselamatan Manusia
Menurut Luther, kematian berarti pergi ke rumah Bapa di sorga. Dikatakan bahwa dua
hari Luther meninggal, ia mengatakan bahwa “Kalau seseorang dengan sungguh-sungguh
merenungkan dan mempercayai Firman Allah, dan kemudian tertidur lalu mati, maka ia
terlelap, sebelum ia ingat kepada mati, dan pastinya ia berpulang dengan bahagia”.dengan
demikian dapat disimpulakn bahwa kematian menurut Luther ialah pada suatu pihak pergi
kepada Bapa, dan pada pihak lain berarti tertidur atau beristirahat. Bagi Luther yang paling
penting daripada kematian adalah kebangkitan.
Berbicara mengenai keselamatan, Luther mengaitkannya dengan pembenaran.
Sebagaimana dikatakan dalam Roma 1:17; Dengan beriman kepada Yesus Kristus maka
seseorang akan dibenarkan. Dengan demikian jelaslah yang dikatakan oleh Luther bahwa
“Orang benar akan hidup oleh iman”. Manusia diselamatkan oleh oleh iman, bukan karena
perbuatan amal manusia. Bagi Luther, selamat berarti bersama Bapa di sorga. Manusia selamat
berarti manusia “menerima hidup dan kesukaan kekal.” Bagi Luther yang pasti ialah bila kita
beriman kepada Yesus, maka kita akan selamat. Dan, keyakinan itu dipegang teguh olehnya
sampai ia menghembuskan nafas terakhir.
b. Antropologi Yohanes Calvin
Calvin merupakan tokoh reformasi yang kemudian setelah Luther. Dikatakan bahwa
Calvin dalam membangun Teologinya lewat kerangka-kerangka Luther. Karena itu tidak
mengherankan bila dalam beberapa hal pikiran Calvin sejalan dengan Luther, yang walaupun
dalam pertimbangan-pertimbangan tertentu Calvin menempuh jalan sendiri atau dengan kata
lain dalam mengambil pertimbangan ia lakukan menurut pikirannya sendiri.
 Asal dan kehidupan manusia
Dikatakan bahwa Calvin dalam teologinya berpegang pada Alkitab semata-mata, sola
scriptura. Dengan mengatakan bahwa manusia ada karena ada yang menciptakannya, yakni
Tuhan Allah. Dalam teologi Calvin, tselem dan demut diartikan sebagai gambar dan rupa Allah.
Tselem adalah hakikat manusia yang tidak dapat berubah, sedangkan demut atau “rupa” adalah
sifat manusia yang tidak dapat berubah. Yang dimaksud dengan hakikat manusia yang tidak
berubah adalah manusia memiliki akal, kehendak dan pribadi. Dikatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang terdekat kepada Allah sang Khalik. Akan tetapi, karena dosa manusia sendiri
maka gambar dan rupa Allah pada manusia menjadi rusak.
Bagi Calvin, jiwa dan roh adalah sama. Keduanya menunjukkan hal batiniah pada
manusia. Dikatakan bahwa walaupun dalam Alkitab ada sebuah kalimat “manusia jatuh ke
dalam dosa” namun jika dilihat dari pendapat Calvin ia seakan-akan tidak setuju sebab ia
mengatakan bahwa Allah tidak membiarkan manusia berada terus dalam tindihan dosa,
melainkan Allah mengasihinya dengan mengkariakan “keselamatan” bagi manusia, sehingga
kehidupannya tidak lagi menuju kepada kesia-siaan.
Menurut Calvin, keselamatan adalah “anugerah Allah”. Pikiran dan keyakinan Calvin
jelas dan tegas, manusia yang berdosa dipilih dan diselamatkan oleh Allah dalam Yesus
Kristus. Dengan demikian, keselamatan yang adalah anugerah dari Allah sepatutnyalah kita
sambut dengan sukacita. Manusia dalam seluruh kehidupan dan eksistensinya patut mengucap
syukur dan memuliakan Allah atas anugerah keselamatan yang dinyatakan bagi manusia.
Dengan demikian, menurut Calvin, makna kehidupan bagi manusia adalah untuk memuliakan
Allah.
 Kematian dan Keselamatan Manusia
Menurut kaum Anabaptis, mereka mengatakan bahwa pada saat manusia mati, maka
jiwanya juga turut mati. Beda dengan ajaran Calvin. Calvin mengatakan bahwa kematian adalah
perpisahan antara jiwa dan tubuh. Bagi Calvin, kematian adalah dividing line ‘garis pemisah’
antara kehidupan sekarang dengan kehidupan (kekal) dimasa mendatang; dengan kata lain
berakhirnya kehidupan yang sering dihadapkan dengan pergumulan dan perjuangan dan
mulainya hidup penuh rahmat di dunia kekal. Karena itu, Calvin mengatakan bahwa dengan
kematian orang percaya beroleh pengharapan bahwa kihidupan yang kekal “dimulai” dengan
adanya kematian, sebab pada saat kematian jiwa dibebaskan dari kungkungan tubuh dimana
manusia tidak lagi berperang melawan keinginan-keinginan daging. Pada saat seseorang
meninggal, jiwa terpisah dari tubuh dan tubuh kembali kepada tanah/debu. Tetapi jiwa itu
immoral, atau baka. Menurut Calvin jiwa itu tidak mengalami kebangkitan, karena ia tidak
mati. Yang bangkit adalah daging, atau tubuh manusia. Demikianlah kita akan bangkit dalam
daging yang sama dengan yang ada pada kita sekarang, namun sifatnya berbeda.
BAB III
KONSEP KEMATIAN DALAM
ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA-AGAMA

a. Kematian Menurut Ilmu Pengetahuan


Menurut ilmu kedokteran Dr. Soemiatno dalam majalah Medika mengatakan bahwa di
waktu dunia masih agak muda, peristiwa-peristiwa besar seperti lahir, kawin, dan mati. Hal
demikian ini, dikatakan bahwa masih meliputi ‘kekudusan’ dan dianggap sebagai rahasianya
Tuhan. Namun, sekarang hal ini tidaklah demikian lagi.
Secara medis, penyebab kematian itu tidak disangkutpautkan dengan jatuhnya manusia
ke dalam dosa. Juga tidak dikaitkan dengan dewata atau Allah, melainkan diarahkan kepada
organ nyata dari tubuh manusia. Menurut Dokter H. Tabrani Rab, ada empat penyebab
kematian pada diri manusia yaitu: berhentinya pernafasan, matinya jaringan otak, tidak
berdenyutnya jantung, serta adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri-bakteri.
Karena itu, menurut, Dr. S. Sunatrio seseorang dinyatakan telah mati apabila fungsi
spontan pernafasan/paru-paru dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi
kematian batang otak.
Adapun ilmu kedokteran melihat tubuh dan jiwa pada saat meninggal. Ilmu kedokteran
melihat tubh dan jiwa itu sebagai aspek yang tidak dapat dipisahkan, sehingga paham ini
menentang paham filsafat dan keagamaan (yang tradisional) yang melihat manusia sebagai
makhluk dikhotomi atai trikhotomi. Dikatakan bahwa dalam bidang medis, belum dapat
dibuktikan bahwa tubuh dapat dipisahkan dari jiwa dan jiwa itu baka. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa ilmu kedokteran melihat sosok manusia secara holistik, keseluruhan, atau
secara utuh.
b. Mati Menurut Ilmu Filsafat
Dikatakan bahwa sebelum Kristus, adalah “gudang” filsafat. Sesuai sumber-sumber
literatur yang ada, maka kita dapat mengetahui bahwa filsafat Yunani telah mulai sejak abad
ke-6 sebelum masehi. Dan, filsuf-filsuf yang hidup pada zaman itu yakni: Thales,
Anaximandors dan Anaximenes.
Filsuf yang pertama kali memberi perhatian sepenuhnya kepada manusia ialah Plato.
Gurunya adalah Socrates yang dikenal guru yang tersohor. Dikatakan bahwa Socrates dihukum
mati oleh para penguasa pada saat itu, dan hal demikian menyebabkan Plato merasa jijik
terhadap setiap sistem politik dan pemerintahan yang tidak adil. Karena itu, Plato bertitik tolak
dari manusia yang harmonis serta adil. Dan dalam hal itu, Plato menggunakan tiga pembagian
atas tiga fungsi yaitu: epithmia (keinginan), thymos (energik), dan sebagai puncaknya adalah
logos (rasional). Menurutnya, sebelum manusia dilahirkan ia sudah berada sebagai jiwa murni
dan hidup di kawasan lebih tinggi, dimana ia dapat memandang suatu dunia rohani. Menurut
Plato jiwa itu baka serta selalu bergerak. Karena itu, tubuh yang merupakan materi dianggap
penghalang bagi jiwa.
Berbicara mengenai jiwa dan tubuh, Plato membedakan dua dunia itu yakni dunia
kayangan atau dunia rohani dan dunia jasmani yakni dunia materi, dunia yang kita diami
sekarang. Dengan demikian, Plato menjelaskan bahwa dunia materi dan tubuh itu bersifat
ambivalen. Sifat ambivalen yang dimaksud oleh Plato adalah dunia materi dan tubuh dapat
merayu seseorang ke arah yang jahat, tetapi juga dapat mendorong seseorang kea arah yang
baik.
Adapun makna kehidupan bagi Plato. Bagi Plato, peruntukan manusia selama hidupnya
ialah memanjat terus ke arah ”keindahan ilahi itu sendiri”. Ia mengatakan bahwa pada saat
manusia mati, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menuju ke keadaan yang lebih rendah atau
lebih tinggi dari keberadaan sebelumnya. Oleh karena itu, Plato selalu menghimbau kepada
muridnya dan masyarakat sejamannya agar jangan dipengaruhi oleh tubuh/dunia materi ini,
melainkan senantiasa mengangkat hati ke sorga dan mengarahkan diri kepada Dewata.
Aristoteteles adalah salah seorang murid Plato, dalam mencoba memahami sosok
manusia pada mulanya mengikuti Plato, namun kemudian ia menempuh jalan sendiri. Dengan
demikian, Aristoteles “tidak” mengaitkan asal jiwa itu dengan Tuhan Allah, melainkan
dikaitkan dengan “perubahan” yang muncul dari materi pertama. Dikatakan bahwa kalau
manusia itu mati maka substansi jiwa itu “berubah” tetapi dari segi materi dia tetap ada karena
materi tidak pernah berubah. Pun dikatakan bahwa jika manusia itu mati, maka “yang ilahi”
pada manusia yakni nous poietikos akan kembali serupa dengan/bersama dengan Tuhan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bila manusia mati, maka ada yang tidak binasa
pada manusia yakni roh aktif.
Juga diceritakan mengenai seorang filsuf yakitu Platinos. Sebagaimana diceritakan
bahwa Platinos ini mengembangkan pemikirannya yang bertolak dari pemikiran Plato atau
“dunia idea” yang oleh karena itu, filsafatnya disebut filsafat Neo Plationisme. Dikatakan
bahwa Platinos melangkah lebih jauh dengan berani memirkirkan “Yang Tak Terhingga”. Bagi
Platinos, Yang Tak Terhingga itu harus dijadikan “titik tolak” karena Dialah yang merangkul
segala-galanya, sebagai sumber da nasal mula segala gejala. Dan untuk mengenal Yang tak
Terhingga itu, Platinos memakai istilah To Hen (Yunani, yang artinya “Yang Satu”). Dijelaskan
bahwa Yang Satu itu bukanlah ada, bukan pula sesuatu yang ada, melainkan Dia adalah Yang
Absolut, Yang Tak Terhingga. Dengan demikian, yang dimaksud Platinos Yang Satu tidak lain
adalah Allah, yang dari pada-Nya mengalirlah secara radiasi atau emanasi apa yang dinamakan
nuos (roh, ratio). Menurut Platinos, nous tidak lain adalah Ada yang berpikir serta pemikiran
yang berada dan dalam pikiran itu ia mendapatkannya dari Allah sebagai sumbernya. Menurut
Platinos, jiwa manusia itu ambivalen dan bipolar. Sebab, pada satu pihak, jiwa dalam diri
seseorang mengalami dorongan rohani untuk mengarahkan pikiran dan cintanya kepada asalnya
yaitu Jiwa Dunia; dan pada pihak lain terdapat suatu daya dalam diri manusia untuk berkiblat
pada dunia yang lebih rendah.
Adapun keadaan manusia setelah mati menurut Platinos. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa jiwa itu ilahi karena berasal dari “atas” yakni dari Yang Satu melalui Jiwa
Dunia, sedangkan tubuh adalah materi yang mengakibatkan jiwa manusia lebih dikuasai nafsu,
kemabukan dan penderitaan. Dijelaskan bahwa pada saat manusia mati maka jiwanya berpisah
dari tubuh atau meninggalkan tubuh dan dengan tak berwujud ia kembali merupakan daya yang
ditarik ke Jiwa Dunia.
c. Konsep Mati Dalam Kepercayaan Non Kristen
Dalam konsep kepercayaan non Kristen, kematian dikatakan sebagai realita yang tidak
dapat dihindari oleh setiap insan yang ada di dunia ini, baik orang yang beragama maupun yang
tidak beragama.
Dalam konsep kepercayaan agama Hindu, kematian dilihat sebagai bagian dari alam
semesta. Sebagimana alam semesta dikatakan berasal dari sumber alam yang disebut Brahman.
Menurut kepercayaan mereka, alam semesta tercipta dengan cara bertapa yang dari dalamnya
muncul dua kekuatan yaitu Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakriti (kekuatan kebendaan).
Dalam kepercayaan Hindu, mati dianggapnya sebagai perpisahan antara roh/jiwa dari tubuh
manusia atau dengan kata lain mati dalam kepercayaan mereka adalah “batas” untuk jiwa
menjalani penghakiman yang menujukepada Nirwanaatau mengalami proses penjelmaan.
Dengan memperhatikan konsep kematian dalam agama Hindu, maka jika dikaitkan
dengan kepercayaan Tradisional Toraja maka jelas mengalami kemiripan.

3.2 Konsep Mati Dalam Kepercayaan Orang Kristen

Gereja Toraja menyoroti dua hal mengenai konsep kepercayaan Hindu yang memandang
kematian sebagai perpisahan dan menganggap keselamatan manusia ditentukan oleh karma
manusia. Maka dari itu,, PGT mengatakan bahwa kematian manusia merupakan "batas" untuk
sepenuhnya berada dalam penguasaan Allah. Dengan demikian, PGT mengatakan bahwa tidak
ada lagi yang dapat diperbuat oleh manusia ketika ia sudah sampai pada "batas" tersebut yakni
mati maka manusia secara seutuhnya mati. Bila kita melihat konsep tersebut maka kita dapat
menyimpulkan bahwa PGT tidak melihat jiwa sebagai suatu unsur yang immortal dalam diri
manusia. Jiwa dalam kepercayaan PGT pada saat kematian juga fana dan turut rusak pada saat
kematian menimpa seseorang. Bagian konsep kedua dalam agama Hindu meyakini bahwa yang
menentukan status seseorang yang telah ada "di balik" kematian adalah karma-nya. Karena itu
PGT menyoroti dengan mengatakan bahwa keselamatan itu tidak tergantung kepada usaha
manusia melainkan pertama-tama terletak dalam kemurahan Allah yang mengambil inisiatif
dalam pengkaryan keselamatan dan bukan manusia. Dengan demikian, PGT memandang
keselamatan sebagai anugerah Allah.

Dengan memahami konsep kematian dalam agama Hindu yang dikaitkan dengan PGT
maka jelas bahwa Gereja Toraja dalam perjumpaannya dengan kepercayaan Hindu (termasuk di
dalamnya terdapat Aluk Todolo) yang telah menyatakan pengakuannya yang merupakan
sikapnya yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alkitab.

3.2.2 Konsep Kematian Dalam Ajaran Islam

Dalam kepercayaan Islam, manusia dibagi menjadi dua unsur yakni unsur Roh dan unsur
tubuh (jasad). Unsur Roh atau jiwa dipahami berasal "dari atas", sedangkan unsur tubuh (jasad)
adalah unsur yang berasal dari tanah/bumi.

Dengan demikian, manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk dikhotomi yang
terdiri dari esensi roh/jiwa pada satu pihak dan esensi jasad pada pihak lainnya. Oleh karena itu,
suatu roh/jiwa akan melepaskan diri dari tubuh, dan itulah yang disebutnya sebagai mati.
Menurut konsep Islam mati adalah perpisahan antara roh/jiwa dan jasad. Menurutnya orang
yang ada di dunia yang telah mati akan dihidupkan kembali dan padanya akan dikembalikan
roh lalu kemudian dilakukan pengahakiman.

Dengan memperhatikan uraian konsep Islam mengenai kematian maka, jelaslah bahwa
dalam ajaran Islam, bahwa pada saat seseorang meninggal, jiwanya akan meninggalkan tubuh,
dan tubuhnya akan kembali ke tanah. Dikatakan bahwa jiwa tidak terpengaruh oleh kematian.
Sebab setelah kematian ia pergi ke alam Barzah. Dan, pada hari kebangkitan kelak jiwa itu akan
dipersatukan dengan tubuh untuk menerima penghakiman Allah.

Jika dikaitkan konsep kematian dalam ajaran Islam dengan ajaran kepercayaan tradisional
Toraja, maka nampaklah persamaan dan perbedaannya. Persamaannya terletak pada persepsi
mengenai asal jiwa dan keadaan jiwa pada saat seseorang meninggal dunia. Dengan kata lain
ajaran Islam "mengukuhkan" konsep immortalitas jiwa dalam kepercayaan tradisional Toraja.
Dan, perbedaannya terletak pada kebangkitan kelak dan penghakiman karena dalam
kepercayaan tradisional Toraja tidak dikenal adanya kebangkitan kembali dan penghakiman
setelah kebangkitan kembali.

Berbicara mengenai konsep kamatian. Jika konsep kematian dalam ajaran Islam
dihubungkan dengan apa yang tercantum dalam PGT, maka perbedaannya cukup jelas.
Pandangan mengenai immortalitas jiwa dalam ajaran Islam yang lebih mengukuhkan konsep
yang terdapat dalam kepercayaan tradisional Toraja yang bertolak belakang denga. Pemahaman
dan ajaran Gereja Toraja. Dimana Gereja Toraja mengatakan bahwa manusia mati seutuhnya,
maka terhadap Islam sebagai salah satu komponen dalam konteks Toraja, dimana Gereja Toraja
hendak mengatakan bahwa konsep pemahaman Gereja Toraja kematian, "lain" daripada yang
dipahami dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa jika manusia sampai kepada batas kehidupan
yang nyata yakni kematian maka manusia adalah aspek jiwanya juga pun akan mengalami
kematian. Karena itu, ia mati secara utuh. Maka konsekuensi dari pikiran tersebut adalah bahwa
konsep immortalitas jiwa dalam PGT Gereja Toraja ditolak. Dikatakan bahwa manusia mati
secara utuh, dan dengan demikian manusia juga akan dibangkitkan secara utuh kelak pada saat
Tuhan Yesus datang pada kali yang kedua.
Pandangan immortalitas jiwa memang telah merupakan "warisan" bagi suku Toraja
sebelum Injil datang ke Toraja, yang mengakibatkan sadar atau tidak sadar warga Gereja Toraja
sering "memindahkan" konsep baik Aluk Todolo, Hindu maupun Islam dalam memahami
kepercayaan Kristen. Dan, sebagai hasilnya sebagian besar warga Gereja Toraja mempunyai
persepsi mengenai jiwa sebagai yang immortal pada diri manusia, sehingga pada saat kematian
jiwa itu tidak terpengaruh apa-apa. Dan yang menjadi persoalan adalah sebagian warga Gereja
Toraja juga mengatakan bahwa persepsi mengenai jiwa yang immortal itu berdasar pada
kesaksian Alkitab.

3.3 Kematian Menurut Alkitab

Dalam Perjanjian Lama (PL) dipakai kata mut, mawet, dan dalam Perjanjian Baru (PB)
dipakai kata thanatos, nekros. Dikatakan bahwa naskah Alkitab memakai kata maka terbuka
kemungkinan bagi penafsir berbeda penekanan dan juga dikatakan bahwa Alkitab tidak banyak
memberi penjelasan tentang apa sebenarnya kematian itu. Dengan demikian, ada yang
mengatakan bahwa kematian itu adalah suatu misteri yang tidak dapat diselami. Secara
sederhana istilah kematian dipahami adalah hal yang berkaitan erat dengan tiga hal yakni:
jatuhnya manusia ke dalam dosa yang mengakibatkan keterpisahan dari Allah, putusnya nyawa
makhluk dan berada dalam penghukuman kekal.

3.3.1. Mati: Terpisah dari Allah karena Dosa

Dalam kejadian 1:27 mengatakan bahwa Allahlah yang menciptakan manusia menurut
Gambar-Nya. Menurut Lyn A. de Silva, kalimat tersebut mempunyai implikasi ganda: yakni
manusia adalah ciptaan dan pada manusia melekat gambar Allah. Dan karena manusia disebut
ciptaan maka di dalam diri manusia ada elemenketidakkekalan, mortality.

Kata mati ditemukan dalam kitab Kejadian dimana muncul setelah penciptaan manusia.
Dikatakan bahwa kata tersebut diucapkan oleh Tuhan Allah pertama kali tatkala manusia
ditempatkan di Taman Eden. Dimana manusia diberi Tuhan Allah perintah dengan mengatakan
bahwa "semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon
pengetahuan yang baik dan yang jahat itu, jangan kau makan buahnya, sebab pada hari engkau
memakannya, pastilah engkau akan mati.
Dikatakan bahwa kata "mati" dalam ayat di atas diterjemahkan dari bahasa Ibrani mut.
Dimana kata tersebut berkaitan dengan tugas dan larangan yang disampaikan oleh Allah kepada
manusia. Larangan untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat
yang merupakan "rambu" yang patut ditaati oleh manusia. Karena, kapan mereka melanggarnya
maka hukuman yang akan diberikan kepadanya adalah "mati". Karena itu, Walter Lempp
mengatakan bahwa larangan untuk memakan buah dari pohon pengetahuan itu, sebenarnya
memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih, sebab buah pohon-pohon lain mereka
bebas untuk memakannya.

Kebebasan tersebut disalah gunakan oleh manusia dengan memakan buah yang dilarang
Allah tersebut. Namun disini, setelah manusia memakan buah pengetahuan yang baik dan yang
jahat, manusia itu tidaklah mati dalam arti bahwa nyawanya tidaklah putus. Mereka masih
hidup. Dengan demikian mati yang di anggap oleh Allah disini ketika manusia melanggar ialah
dengan pelanggaran itu, dosa masuk dalam kehidupan manusia dan sebagai akibatnya, manusia
terpisah dari Allah. Dosa dalam diri manusia mengakibatkan adanya jurang pemisah antara
manusia dengan Tuhan Allah yang Mahasuci. Akibat nyata dari pelanggaran Adam dan Hawa
adalah mereka diusir dari taman Eden. Dengan demikian mati yang dimaksudkan dalam
kejadian 1:27 bahwa bila manusia melanggar apa yang dilarang oleh Allah mereka akan mati,
maka yang dimaksudkan ialah "manusia akan terpisah dari Allah".

Adapun ayat-ayat dalam Alkitab yang menyinggung tentang kata mati yakni: Dalam
ulangan Ul. 30:15-20 dikatakan bahwa hidup yang sejati adalah menuruti jalan yang
ditunjukkan oleh Allah dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-peraturan-Nya.
Dalam PB dan PL berbicara mengenai ketaatan kepada Firman Tuhan sebagaimana terdapat
dalam Mat. 4:4. Maka seseorang akan memiliki hidup bila ia mengenal atau percaya kepada
Allah. Percaya yang dimaksud disini ialah bagaimana kita mempercayakan diri kita kepada
Allah atau "taat" kepada Firman Allah. Tetapi kebinasaan/kematian akan muncul ketika kita
tidak mendengar Firman Allah atau memalingkan hati dari Firman Allah. Maka Jelaslah bahw
Yesus telah mengambil ide-ide PL dalam mberitakan Injil Keselamatan bahwa berpaling dari
Firman Allah atau kehendak Allah adalah kematian. Juga Paulus dalam mengembangkan
teologinya dikatakan bahwa juga dipengaruhi oleh kesaksian PL. Sebagaimana dalam suratnya
kepada jemaat di Efesus ia mengatakan "kamu dahulu sudah mati oleh pelanggaran-
pelanggaran dan diaa-dosamu. Jadi mati yang dimaksudkan oleh Paulus sesuai terjemahan oleh
LAI dari kata Nekros dimana dikaitkan dengan pelanggaran mereka yang
mengakibatkanmereka berdosa. Dan dalam Roma 7:9, jelas bahwa mati yang dimaksudkan oleh
Rasul Paulus ialah manusia berada di bawah hukuman dosa.

Jadi sesuai dengan , mati dalam konteks Alkitab maka yang dimaksudkan dengan
kematian bermuara pada tiga arti yakni: keterpisahan dari Allah karena dosa, keterpisahan
kehidupan dari tubuh dan keterpisahan selama-lamanya dari Allah dalam penghukuman kekal.
BAB IV
MANUSIA DALAM PENGAKUAN GEREJA TORAJA
Gereja Toraja berdiri sebagai Sinode pada tahun 1974, akan tetapi Gereja Toraja baru
memiliki pengakuan iman pada tahun 1981.

Sidang Sinode Am XVI Gereja Toraja yang dilaksanakan di Makale, pada tanggal 5-15
Juli 1981 yang didalamnya dijadwalkan mengenai pemanasan konsep Pengakuan Gereja Toraja
sebagai salah satu acara pokok dalam persidangan.

Asal Manusia dalam konsep Pengakuan Gereja Toraja

Asal manusia dalam konsep Pengakuan Gereja Toraja ialah manusia diciptakan oleh
Puang Matua di langit. Dikatakan bahwa Pengakuan Gereja Toraja mengenai manusia
diciptakan menurut "gambar" Allah memiliki makna ganda yakni: Pertama, secara umum
hendak menekankan bahwa manusia bukanlah ilahi, bukan pula setengah ilahi, akan tetapi
semata-mata "makhluk" yang diciptakan. Kedua, dalam konteks Toraja, manusia diciptakan
sebagai "gambar" Allah dimana hendak menekankan "tanggung jawab" manusia, yang menolak
konsep takdir dalam kepercayaan tradisional Toraja.

Dimensi manusia dalam konsep PGT

Pengakuan Gereja Toraja mengataka bahwa manusia diciptakan dalam kesatuan tubuh
dan jiwa. Dikatakan bahwa jiwa tidak ilahi dan tidak lebih penting daripada tubuh dan
sebaliknya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa roh dan tubuh yakni hal rohani dan hal jasmani
sama pentingnya. Pun dikatakan bahwa manusia dipanggil untuk memelihara tubuhnya sebagai
bait Allah dan kesucian. Dengan demikian, dalam kaitannya denga konteks Toraja, maka
dipercaya bahwa tubuh itu fana dan jiwa itu baka. Dikatakan bahwa jiwa dibungkus oleh tubuh,
dan sering keluar dari tubuh pada saat manusia tidur. Menurutnya, tubuh manusia itu dikuasai
oleh kematian, sedangkan jiwa itu kekal dan kelak akan menjadi dewata. Jadi, dalam
kepercayaan tradisional Toraja diakui bahwa jiwa itu mengandung unsur ilahi.

Berbeda dengan Pengakuan Gereja Toraja, yang menyatakan bahwa jiwa itu sama
pentingnya dengan tubuh, dan jiwa itu tidak mengandung unsur ilahi. Denah demikian,
kepercayaan Kristen sebagaimana yang dipahami oleh Gereja Toraja sangat berbeda dari
persepsi yang ada dalam keparcayaan tradisional Toraja. Pengakuan Gereja Toraja merujuk
kepada kitab 1Kor. 6-13-15,20. Sehubungan dengan dimensi tubuh dan jiwa. Sebagaiman
Paulus menasehati warga jemaat di Korintus agar tidak mempeegunakan salah satu mereka
untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan.

Pengakuan Gereja Toraja tidak hanya berbicara mengenai asal manusia, tetapi juga
mengenai kehidupan manusia. Gereja Toraja memahami bahwa setelah manusia diciptakan dan
ditempatkan di dalam Taman Eden, manusia melanggar apa yang dilarang Allah. Dengan
demikian, manusia disebut orang berdosa. Oleh karena itu, dalam PGT, pemahaman tersebut
perlu dicantumkan secara eksplisit. "Manusia sebagai ciptaan Allah yang baik telah jatuh ke
dalam dosa, karena keinginan manusia yang ingin menjadi seperti Allah.

Di kalangan masyarakat Toraja dikenal adanya dosa yakni pelanggaran terhadap Aluk Sola
Pemali. Menurut data penelitian, ada 48 0/0 masyarakat yang mengatakan bahwa dosa adalah
pelanggaran terhadap Aluk Sola Pemali. Dikatakan bahwa oleh pelanggaran tersebutlah maka
manusia mendapat kutuk dan Puang Matua, yakni manusia dibinasakan. Hal tersebut dikatakan
terjadi di Rura pada saat Puang Londong Dirura mengawinkan anak-anaknya. Namun hal
tersebut dianggap sebagai pelanggaran biasa yang tidak sama dalamnya dengan dosa dalam
ajaran Kristen.

Dalam kepercayaan Kristen, kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa adalah karena
memakan buah pohon yang dilarang, sedang dalam konteks Toraja, pelanggaran pertama
manusia di bumi adalah mengawinkan saudara kandung menjadi suami-istri. Dengan demikian,
manusia adalah makhluk yang telah melanggar kehendak Allah, karena itu adalah ia adalah
makhluk yang berdosa. Kalau demikian, berarti bahwa seluruh dimensi manusia berada di
bawah kekuasaan dosa: tubuh dan jiwanya.

Dengan demikian, manusia disebut makhluk yang fana. Sebagaimana yang telah diuraikan
di atas bahwa manusia melanggar apa yang dilarang Tuhan, maka akibatnya mereka disebut
pendosa. Dalam konteks Toraja, kematian pertama kali terjadi di dunia ini tatkala Puang
Londong Dirura mengawinkan anak kandungnya sebagai suami-istri. Dikatakan bahwa
perbuatan tersebut melanggar aturan yang diberikan oleh Puang Matua. Oleh karena itu Puang
Londong Dirura beserta anak-anaknya dihukum mati dan tanah tempat melaksanakan pesta
ditenggelamkan sehingga terjadilah danau di Rura. Karena itu dapat disimpulkan bahwa
pelanggaran terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Puang Matua adalah dosa dan sebagia
akibatnya adalah kematian.

Dua hal yang ditekankan oleh Gereja Toraja mengenai "dosa" yang telah dilakukan
manusia yakni: pertama, pemutusan hubungan dengan Allah. Dimana pemutusan hubungan ini
dikatakan terjadi sejak nenek moyang manusia jatuh sebagaimana yang diceritakan dalam Kej.
3:16-19. Dengan demikian, jelas bahwa Gereja Toraja mengakui adanya dosa warisan. Kedua,
yaitu pemberontakan terhadap Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks Gereja Toraja, bila seseorang atau masyarakat dilanda oleh salah satu
bencana, maka asosiasi pikiran masyarakat dikaitkan dengan hukuman yang diberikan oleh para
Dewata karena telah melanggar aluk sola pemali. Jadi dalam konteks kepercayaan tradisional
Toraja, penyakit atau bencana-bencana lain dipandang secara "mutlak" sebagai sumber
pengenalan kesalahan atau pelanggaran manusia. Namun dalam Pengakuan Gereja Toraja
dinyatakan bahwa kita mengenal dosa kita dari Alkitab, maka sebenarnya Gereja Toraja
menolak "pemutlakan" penderitaan sebagai akibat langsung dari dosa tertentu. Dengan
demikian, pengakuan tersebut hendak mengajar anggota jemaat untuk tidak dipengaruhi oleh
cara dan praktik yang ada dalam kepercayaan tradisional Toraja sesuai dengan pernyataan tanya
mengenai dosa dengan mengatakan bahwa hanya ada satu sumber untuk mengenal dosa
manusia adalah Alkitab, dan hanya oleh pekerjaan Roh Kudus manusia diinsafkan akan dosa-
dosanya (Yoh. 16:7-11).

Akan tetapi, apabila dosa dipahami oleh Gereja Toraja sebagai pemberontakan dan
pemutusan hubungan yang benar dengan Allah, maka wajarlah kalau manusia dan segalaakhluk
ciptaan, termasuk alam semesta ini menerima kutuk Allah. Meski demikian, menurut kesaksian
Alkitab, manusia dan dunia ini tidak dibiarkan oleh Allah berada terus-menerus terpisah dari
Allah. Allah telah memulihkan hubungan-Nya dengan manusia yang berdosa.

Dalam konteks kepercayaan tradisional Toraja, pemulihan hubungan dengan Puang Matua
dan para dewata diwujudkan melalui pemenuhan ritus. Dikatakan bahwa sejauh ritus
dilaksanakan dengan baik, sejauh itu dipercaya bahwa hubungan dengan para ilahi akan
berjalan secara harmonis.
Gereja Toraja mengatakan bahwa pemulihan hubungan antara Allah dan manusia telah
dilaksanakan di dalam diri Yesus Kristus. Dikatakan bahwa pemulihan hubungan itu tidak
terletak pada manusia dan ritus yang dilaksanakannya, melainkan semata-mata hanya di dalam
kasih dan anugerah Allah dalam Yesus Kristus.
BAB V
MATI SEUTUHNYA DALAM KONTEKS TORAJA
Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada Bab 1 sebagaiamana dikemukakan bahwa
menurut kepercayaan tradisional Toraja, yang mengatakan bahwa pada saat seseorang
meninggal, dia belum dianggap mati sebelum tiba pada ritus kematiannya. Dikatakan bahwa
sekalipun menurut pemeriksaan medis, mendiang sungguh-sungguh telah meninggal, namun
mendiang belum dianggap mati bila belum dilaksanakan upacara pemakamannya.

Gereja Toraja menanggapi atau menjelaskan imannya mengenai Konsepsi kepercayaan


tradisional Toraja tersebut di atas dengan mengatakan bahwa salah satu arti (mati) dalam
kepercayaan Kristen adalah terpisahnya hidup dari tubuh, maka itu berarti bahwa kematian
dialami oleh seseorang pada saat ia tidak lagi bernafas, jantungnya tidak lagi bekerja
sebagaimana mestinya. Dikatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan imannya, Gereja
Toraja harus menyatakan suara kemanisannya dalam berjumpa dengan kepercayaan tradisional
Toraja. Pun, dilihat dari latar belakang di atas maka dengan sadar Gereja Toraja menggunkan
istilah "mati Seutuhnya". Dimana mati seutuhnya disini benar-benar mati dan bukan hanya to
makula'. Karena itu, bila seseorang meninggal maka ia mati seutuhnya, yang berarti bahwa
seseorang tersebut tidak mati suri, melainkan sungguh-sungguh telah mati. Jadi, istilah "mati
seutuhnya" pada satu segi yang berarti seseorang sungguh-sungguh telah meninggal.

Dikatakan bahwa satu sisi lain lagi yang perlu dikaji dari pandangan kepercayaan
tradisional Toraja terhadap orang telah meninggal yang disebut to makula', yaitu keadaan jiwa
dan rohnya. Seperti telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa dalam kepercayaan tradisional
Toraja bila seseorang telah meninggal tetapi belum tiba pada upacara pemakaman jenazah,
mendiang, maka diyakini bahwa jiwa atau roh mendiang masih ada di sekeliling tubuh
mendiang. Jiwa itu dipahami sebagai sesuatu yang immortal di dalam manusia, yang terus
hidup dan berorientasi sekalipun tidak lagi berada dalam tubuh manusia. Diuraikan pula pada
bab sebelumnya bahwa dalam kepercayaan tradisional Toraja diakui adanya mortalitas tubuh
dan immortalitas jiwa. Maka, Pengakuan Gereja Toraja tentang manusia mati seutuhnya hendak
mengutarakan selain persamaan konsep kepercayaan tradisional Toraja, juga sekaligus
menegaskan kepercayaan yang ada.
Konsep kepercayaan tradisional Toraja maupun PGT Mandang tubuh sebagai segi
badaniah yang nampak pada manusia dan yang akan hancur tatkala seseorang meninggal dunia.
Dikatakan bahwa pengambilalihan konsep tubuh yang fana dari kepercayaan tradisional Toraja
ke dalam Pengakuan Gereja Toraja menunjukkan upaya "transportasi akomodatif", sehingga
pemberitaan Injil menyangkut manusia dalam kepercayaan Kristen tidaklah merupakan hal
yang "asing" bagi orang yang hidup dalam lingkungan Toraja. Gereja Toraja memahami bahwa
jiwa bukan hanya "bagian dari" manusia, bukan pula "bagian di dalam" manusia, melainkan
jiwa adalah manusia itu juga. Dikatakan bahwa ungkapan jiwa dipakai untuk menekankan segi
batiniah pada sosok manusia itu. Sedangkan dalam kepercayaan tradisional Toraja, diyakini
bahwa jiwa itu tetap hidup di sekitar jenazah pada saat mendiang dianggap telah mati.
Dikatakan bahwa sementara upacara pemakan berlangsung maka jiwa yang masih di sekitar
jenazah atau di sekitar tempat upacara, bersiap untuk beralih ke dunia seberang sana. Denah
demikian, makna upacara selain merupakan pemenuhan ritus kematian (tubuh), tetapi juga
persiapan bagi jiwa yang immortal untuk pergi ke Puya. Dalam kepercayaan tradisional Toraja
pada akhir upacara pemakaman setelah jenazah dimasukkan ke dalam liang kuburan batu, maka
diadakan upacara Mangleakan yakni upaca khusus untuk melepaskan jiwa untuk pergi ke Puya.
Dengan demikian, jika kita memperhatikan persepsi di atas maka tegasnya dalam kepercayaan
tradisional Toraja ialah hanya tubuh yang mati dan jiwa tidak mati.

Paham Gereja Toraja tersebut di atas dikatakan bahwa mempunyai dampak dalam
pelaksanaan upacara pemakaman, bila mendiang adalah orang Kristen. Jika dilihat dari
ungkapan syair yang dinyanyikan dalam badong, menunjuk kepada ketidakfanaan jielwa dan
pemujaan kepada jiwa/roh nenek moyang yang hendaknya diganti dengan ungkapan yang pada
satu pihak menyatakan bahwa manusia itu fana, tetapi pada pihak lain juga menyatakan bahwa
di dalam Tuhan ada kebangkitan atau kemenangan atas kematian itu. Dengan demikian, pada
saat menghadapi kematian, sekalipun orang percaya bersedih namun memiliki pengharapan
akan kemenangan atas kematian di dalam Yesus Kristus. Dan, pengharapan inilah yang akan
menghilangkan dukacita yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan oleh mendiang. Dan
itulah Injil dalam berhadapan dengan kematian, dalam konteks kepercayaan tradisional Toraja.
Kelebihan Buku

Setelah saya membaca buku Mati Seutuhnya ini, saya bisa mengetahui asal usul
manusia dalam kepercayaan tradisional Torja hingga sampai pada konsep kepercayaan
masyarakat Toraja saat ini. Saya bersyukur karena bisa mengetahui asal usul manusia dalam
lingkup Toraja ini. Meskipun saya berada di luar Toraja, namun saya tertarik mempelajari buku
ini sebab kata-kata yang digunakannnya sangat sederhana sehingga isi yang terdapt di dalamnya
mudah dimengerti dan dipahami.

Kelemahan Buku

Disamping kelebihannya buku yang telah saya paparkan di atas, sayapun akan
memeparkan mengenai kelemahannya. Kelemahan dari buku di atas ialah adanya pengulangan
kalimat yang pada dasarnya memiliki arti atau makna yang sama.

Anda mungkin juga menyukai