DIPRESENTASIKAN OLEH :
1
I. PENDAHULUAN
Sehubungan dengan tugas teori dalam zaman Perjanjan Baru dan Gereja
purba, saya mengambil definisi teori (berdasarkan kuliah Teori PAK materi
pertemuan pertama) dari Jonathan H. Turner (Prof.Sosciology di Univ
California) yang menyatakan bahwa: “Teori adalah sebuah proses
mengembangkan ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan
mengapa suatu peristiwa terjadi.”
Dalam bagian ini, Robert R Boehlke melandasi pembahasan teori PAK dari
dua pendekatan: Pertama, berfokus pada Yesus; kedua, pandangan terhadap
pendidikan yang tersirat dalam tulisan-tulisan PB yang tua (surat Paulus
kepada jemaat Tesalonika) dan yang paling muda (surat Paulus kepada
Timotius).
2
Dengan demikian pertanyaan tentang hakekat Yesus ini sangat mendasar
sebab dalam diri Yesus sebagai manusia itu (homosius) terdapat hakekat Ilahi
yang tidak pernah dimiliki oleh manusia manapun juga. Awalnya hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi orang Kristen yang berasal dari agama
Yahudi; sebab agama Yahudi melarang dengan sangat keras mengakui
manusia – siapapun dia – sebagai ilahi. Namun perjumpaan mereka dengan
Yesus mendorong mereka berlutut di depan-Nya sambil mengaku bahwa Dia
memang Tuhan adanya. Sekalipun orang Kristen telah mengakui Keilahian
Yesus namun menurut Boehlke bahwa dalam tulisan Perjanjian Baru
ketegangan antara kedua dimensi (kemanusiaan dan keilahian) Yesus tak
kunjung reda dan harus tetap ada; sampai saat ini.
Dengan mengutip Ibrani 5:7-9a (catatan kritis ayat ini kurang tepat),
Boehlke mengungkapkan bahwa sekalipun Yesus memiliki identitas Ilahi,
namun hal itu tidak membebaskan Dia dari keharusan belajar. Kalau tidak
demikian Yesus tentu bukan manusia yang sungguhan, dan inkarnasi-Nya
harus dianggap sebagai keadaan yang dibuat-buat belaka. Pengalaman
belajar tersebut terjadi sebagai hasil usaha-Nya menghayati panggilan-Nya
sebagai manusia yang sesungguhnya, yang justeru memenuhi apa yang tidak
mampu dipenuhi oleh manusia lainnya. Pertanyaannya adalah
bagaimanakah caranya Yesus diperlengkapi dengan pengetahuan tentang
hubungan Allah dengan bangsa Yahudi sepanjang abad? Hal ini ditinjau dari
latar belakang pedagogi Yesus sebelum kedewasaan-Nya. Memang tidak
muda untuk mengetahuinya karena tidak ada sumber yang membicarakan
bagaimana masa kanak-kanak Yesus terutama bagaimana ia mengikuti
proses pendidikan. Namun Boehlke berusaha untuk menjembatani hal ini
dengan merujuk beberapa ayat dari Lukas (6:39;6:40), Matius (10:16) dan
Yohanes (13:16-17). Dengan ketiga kelompok ayat tersebut (catatan kritis:
sebagian ayat kurang mengena) diperoleh kunci untuk membuka sebagian
dari rahasia kepintaran Yesus. Bahwa dulu Ia sendiri adalah seorang murid. Ia
sudah belajar dari guru-guru-Nya. Sama dengan laki-laki Yahudi lainnya
3
bahwa keluargalah gurunya yang pertama. Dari keterangan keempat kitab
Injil tentang keluarganya dapat disimpulkan bahwa orang tua-Nya berusaha
memenuhi semua syarat agama Yahudi yang berlaku bagi mereka baik yang
bersifat liturgis maupun yang bukan (Luk. 2:21,24). Kemudian, sebagai orang
dewasa Ia masuk ke dalam rumah ibadat menurut kebiasaan-Nya pada hari
Sabat (Luk 4:16). Ia merayakan hari Paskah (Luk 22:24). Seringkali Ia
mengutip dari Perjanjian Lama. Rupanya kemampuan-Nya itu diperoleh dari
Beth-Talmud, atau mungkin juga ditambah dengan pelajaran yang diterima-
Nya di bawah bimbingan para ahli Taurat dan studi lanjut”. Ia juga sudah
belajar bahasa Ibrani sejak kecil sehingga Yesus dapat membaca hukum
Taurat. Dan sejak kecil Ia sudah diajarkan keterampilan sebagai seorang
tukang kayu (Mrk 6:3).
Masa Muda Yesus; apa yang dilakukan Yesus pada masa kanak-kanak-Nya
berdampak pada kehidupan dewasa-Nya bahwa sebagai seorang muda
Nazaret Ia diajarkan menafsirkan Taurat secara ketat menurut ukuran ilmiah
yang paling mutakhir dari para rohaniawan Yahudi. Namun sejak masa
kanak-kanak-Nya Yesus sudah mendengar isi Taurat itu disampaikan secara
lebih lunak dan manusiawi. Sampai pada masa tertentu akhirnya kedua
pemikiran tentang Allah tidak dapat diperdamaikan satu sama lain dalam
pemikiran-Nya sehingga satu dari kedua harus menyingkir. Tentu yang
disingkirkan-Nya adalah menafsirkan Taurat secara ketat. Pada masa muda-
Nya dalam konteks kehidupan saat itu sebagai pemuda Ia telah mengetahui
tentang gerakan pemberontakan bawah tanah yang menyala-nyala dan siap
untuk menggempur pasukan Romawi. Tetapi telah pula dilihat-Nya akibat-
akibat pemberontakan itu. Yesus juga telah melihat dua falsafah hidup yang
besar ini yaitu filsafah Romawi dengan kekuatan angkatan bersenjatanya dan
4
filsafat Yahudi dengan hukum Tauratnya. Yesus tahu bahwa betapa besar
kerinduan manusia akan pembebasan dari dua filsata besar itu; namun Ia
juga tahu bahwa manusia saat itu tidak mampu menjangkau pembebasan
tersebut.
Salah satu gelar penting yang diberikan kepada Yesus dalam konteks
pelayanan-Nya adalah sebagai Guru (Rabi bahasa Aram). Hal itu
berhubungan dengan penggunaan kata Didaske artinya: “Mengajar”, oleh
Kitab-kitab Injil Sinopsis dan Yohanes dalam gambar kegiatan yang dilakukan
Yesus (bnd. Mat 9:35; 11:1). Artinya bahwa kegiatan Yesus lebih sering
digambarkan dengan kata kerja “mengajar” dari pada dengan kata kerja
“memberitakan” atau “berkhotbah”. Menurut Muirheat, pemakaian istilah
“guru” bukanlah kebiasaan Yunani, melainkan kebiasaan Yahudi. Melalui
gaya hidup-Nya Yesus telah menyatakan latar belakang latihan-Nya sebagai
seorang Rabi. Bultmann memperkuat pandangan Muirheat, ia menulis: “…
Jelaslah bahwa Yesus betul-betul hidup sebagai seorang Rabi.” Jadi Yesus
disapa Rabi oleh karena Ia pernah dididik dalam sekolah yang
mempersiapkan bakal rabi. Di rumah ibadat Nazaret, Yesus dihormati
sebagai seorang rabi pengunjung.
5
Nya juga dipakai oleh rabi-rabi lainnya pada waktu itu. Ia pun menyusun
perumpamaan-perumpamaan. Sebagian dari isi pengajaran-Nya juga
menyerupai isi pengajaran para rabi. Mereka sering membicarakan hukum
mana yang lebih utama dan memberikan jawaban yang serupa seperti yang
diucapkan Yesus yaitu keharusan mengasihi baik Allah maupun sesama
manusia. Bultmann pernah mendaftarkan beberapa ucapan para rabi yang
sejajar dengan pengajaran Yesus, misalnya:
Jangan kuatir akan keprihatinan besok, sebab anda tidak tahu apa
yang terjadi besok. Barangkali besoknya anda sudah mati, dan akan
kuatirkan diri mengenai hal-hal yang tidak merupakan keprihatinan
lagi. Kesusahan sejam cukuplah untuk sejam.
(Bandingkan perkataan Yesus tentang kekuatir dalam Matius 6:34).
Hal yang menarik dari Rabi Yesus bukan saja isi pengajaran-Nya tetapi
juga gaya mengajar Yesus. Gaya mengajar Yesus mampu menarik perhatian
khalayak ramai yang sudah bosan dengan cara pendekatan guru-guru biasa.
Reaksi orang banyak dinyatakan dalam Markus 1:22; 12:37. Gaya mengajar
Yesus itu meliputi : Suara-Nya, air muka-Nya, gerak-gerik badan-Nya, sikap-
Nya terhadap para pendengar. Yang istimewa itu adalah nada suara-Nya.
6
Terdapat sesuatu dalam nada suara-Nya yang menimbulkan kepercayaan
dalam diri mereka. Apa yang diungkapkan-Nya dapat dipercaya. Namun
sayang semua dimensi gaya mengajar Yesus tersebut sudah hilang selama-
lamanya. Selain Yesus memiliki gaya mengajar yang unik, Ia juga memiliki
metode mengajar yang ditemukan dalam keempat kitab Injil, yaitu:
a. Ceramah
Melaui ceramah Yesus berusaha menyampaikan pengetahuan kepada
para murid-Nya atau menfsirkan pengetahuan tersebut. Melalui
metode ini Ia mengharapkan dua tanggapan dari para pendengar-Nya
yaitu: pengertian mendalam dan prilaku baru (bnd. Khotbah di Bukit,
Mat 5-7).
b. Bimbingan
Saat memberikan ceramah kepada para murid-Nya, Yesus juga
memberikan bimbingan. Mereka diajar melalui tinjauan lalu dilakukan.
Yesus menentukan apa yang para murid harus lakukan dan ke mana
mereka akan pergi kelak. (Mat 10:40-42).
c. Menghafalkan
Catatan kritis, agak susah untuk menentukan apakah Yesus
menerapkan metode menghafal ini kepada para murid-Nya.
d. Pewujudan
Penulis Injil Matius menggunakan metode ini terhadap eksistensi
Yesus. Bahwa Tuhan itu dilukiskan sebagai seorang yang telah
mewujudkan dalam diri pribadi-Nya sebagian dari sejarah bangsa
Israel. Artinya Yesus adalah perwujudan dari kisah dalam PL, misalnya:
saat Yesus masih bayi Ia harus dibawah ke Mesir oleh orang tua-Nya
untuk menghindar dari bahaya seperti Yakub ke Mesir diloloskan dari
bahya kelaparan; dan lain-lain.
e. Dialog
Yesus dalam mengajar juga sering berdialog dengan audiens-Nya,
misalnya dengan perempuan Samaria (Yoh 4).
f. Studi Kasus
Studi kasus terlihat jelas melaui perumpamaan Tuhan Yesus. Misalnya
tentang anak yang hilang (Luk 15:2b). Pendengar-Nya didorong untuk
memikirkan inti persoalan dan bagaimana memecahkannya.
7
g. Perjumpaan
Yesus sering berjumpa secara langsung kepada seseorang untuk
menantang mereka mengambil keputusan.
h. Perbuatan simbolis
Misalnya, Yesus dibaptis di sungai Yordan. Perbuatan Yesus ini hendak
menunjukkan kesengsaraan yang akan dialami Yesus.
II.A.4 IMPLEMENTASI
Surat Tesalonika dikirim dari kota Korintus pada tahun 50 M. Jadi setelah
tujuh belas tahun sesudah kebangkitan Yesus. Pertanyaannya adalah pola
pendidikan apakah yang terdapat di dalam surat Tesalonika itu?
Paulus sebagai penulis surat ini proklamasi dan ajaran yang diungkapkannya
telah berakar dalam prakasa Allah sendiri. Allah-lah yang merupakan
8
pendidik utama dan Paulus adalah wakil-Nya. Paulus sebagai wakil Allah
bersyukur karena mereka (jemaat Tesalonika) telah menerima Allah yang
diberitakan oleh Paulus dan rekannya, bukan sebagai perkataan manusia,
tetapi sebagai firman Allah yang bekerja di dalam mereka yang percaya (bnd.
1 Tes 2:13). Di sini terdapat pengertian yang dinamis terhadap firman Allah.
Proklamasi yang diucapkan Paulus dan ajaran yang disampaikannya berasal
dari penyataan tersebut. Berdasarkan hal ini maka pendidikan dalam jemaat
merupakan salah satu cara yang disediakan agar orang-orang
mendengarkan firman Allah. Pengertian itu diperkuat lagi oleh kesaksian
Paulus “Kamu tahu juga petunjuk-petunjuk mana yang telah kami berikan
kepada kamu atas nama Tuhan Yesus” (1 Tes 4:2). Tanggapan jemaat sebagai
buah dari pendidikan itu adalah mereka belajar saling mengasihi, karena
itulah yang diajarkan oleh Tuhan sendiri (! Tes 4:9).
Berdasarkan perkataan Paulus dalam 2 Timotius 1:5; 3:15 dan 2 Tim 3:14
nyatalah bahwa pada masa itu pendidikan agama Kristen yang bersumber
pada Kitab Suci (yaitu tulisan kristiani di antaranya termasuk surat-surat
Paulus sendiri, Injil Markus, Matius dan Lukas, disamping Perjanjian Lama)
10
telah menyentuh kehidupan kaum muda dan orang dewasa. Dan Timotius
adalah buah dari pendidikan agama Kristen pada masa itu.
Adapun situasi yang melatar belakangi surat-surat itu adalah banyak ajaran-
ajaran yang berkembang yang tidak sesuai dengan firman Tuhan (ajaran
sesat) yang selalu menggerogoti kehidupan jemaat, termasuk kaum muda.
Suasana seperti itu diistilahkan Boehlke semacam “pikiran terkepung”. Agar
umat tidak terkontaminasi dengan ajaran-ajaran sesat maka perlu pelayanan
pedagogis diutamakan. Keprihatinan nampak itu dengan digunakannya kata:
didaskalia atau kale didaskalia (pengajaran atau pengajaran yang benar)
sebanyak lima belas kali. Itulah sebabnya dalam situasi itu pentingnya
jabatan guru seperti Paulus (1 Tim 2:7). Jabatan guru itu melalui kaderisasi.
Maksudnya, sebagaimana penulis itu sendiri mengajar, demikian pula dapat
diangkat orang-orang yang terpercaya dan cakap untuk menjadi pengajar;
misalnya Paulus sebagai guru berhasil mengkader Timotius, karena itu besar
harapan Paulus agar Timotius juga dapat mengajar orang lain berdasarkan
pengajaran yang diterimanya dari Paulus sehingga orang lain yang dapat
dipercayai itu dapat juga mengajar orang lain ( 2 Tim 2:2). Sebagai seorang
guru (pengajar) ia harus menjadi teladan dalam kebenaran. Ia harus
berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran sehat,
supaya ia juga sanggup mengajar orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup
meyakinkan penentang-penentangnya. Itulah yang terlihat dalam surat
kepada Titus (Tit 1:9). Hal lain bahwa menurut surat yang dikirim kepada
Titus Jabatan pengajar itu merupakan salah satu dari sejumlah tugas yang
diserahkan kepada seorang penilik jemaat (uskup).
Apa yang diajarkan kepada jemaat pada pokoknya sesuai dengan pula
dengan apa yang diajarkan para pemimpin kristiani sejak semula, tetapi titik
beratnya berbeda (tentunya berdasarkan konteks), yakni iman dan ajaran
benar sama artinya. Pokok-pokok yang perlu diajarkan adalah: Pertama,
adalah ajaran teologis. Misalnya, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus
Yesus.... (I Tim 2:5,6); Kedua, pengajaran etis, bagaimana orang harus hidup
dalam kebenaran (I Tim 6:11) dan meninggalkan perbuatan dosa (I Tim 6:9-
10; Tit 3:3); Ketiga, Petunjuk-petunjuk mengenai Jabatan Gerejawi dan sifat-
sifat orang yang memimpin jemaat (I Tim 3:1-13); Keempat, Perkataan-
11
perkataan Tuhan Yesus; Kelima, Jemaat diajar bersandar pada Roh Kudus.
Tanpa Roh Kudus jemaat tidak dapat menerima pengajaran kristiani seperti
Timotius.
II.C IMPLEMENTASI
III.A Konteks
Pada awal abad ke-2 pemeluk agama Kristen sangat sedikit jumlahnya.
Keadaan ini berubah diakhir abad ke-5 yakni kehadiran Gereja dalam
kerajaan bukan lagi sebagai persekutuan kecil yang dianggap hina oleh
masyarakat luas, melainkan sudah menjadi pengaruh yang mampu
12
menentukan nasib orang. Hal itu terjadi sejak awal abad ketiga ketika Kaisar
Constantinus mengeluarkan dekrit (edik) yang terkenal dengan sebutan Edik
Milano bulan Januari tahun 313 di kota Milano yang isinya mengkui agama
Kristen sebagai agama resmi Negara Romawi. Akan tetapi perubahan hebat
dalam gereja tidak berlangsung tanpa kesulitan. Banyak tantangan yang
dihadapi Gereja pada masa itu secara khusus terhadap kebudayaan Yunani-
Romawi.
13
yang bukan Kristen. Ia lebih senang orang-orang Kristen membaca Perjanjian
Baru saja. Sebab jika orang kristen mempelajari karya tulisan kafir itu mau
tak mau mereka akan dipengaruhi oleh nilai-nilai di dalamnya. Jadi
kesimpulannya orang Kristen tidak perlu ikut campur dalam urusan budaya,
lebih baik orang Kristen memusatkan perhatian kepada diri Kristus yang
bangkit itu. Pemikiran Tertulianus ini tidak diterima oleh kebanyakan rekan
seimannya sebab bagaimanapun kekristenan tidak bisa lepas dari
kebudayaan, orang Kristen adalah buah dari kebudayaan. Bukan berarti
semua kebudayaan diterima begitu saja, orang Kristen tetap kritis yakni
hanya menerima kebudayaan yang memperkaya kehidupan Kristen.
Seorang teolog lainnya bernama Basil (330-379) dari Kaisaria suatu kota di
Kappadokia, berusaha membedakan antara pengarang Yunani-Romawi yang
boleh dimanfaatkan gereja dan karangan-karangan yang perlu ditolak. Hal ini
14
terlihat melalui karyanya yang berjudul: “Amanat Yang Dialamatkan Kepada
Kaum Muda”. Basil mengajak kaum muda untuk mulai latihan kearah
perkembangan watak yang bajik (perbuatan yang mendatangkan kebaikkan)
dengan jalan membaca karangan-karangan yang disusun oleh para
pengarang kafir sebagai persiapan untuk menangkap isi Alkitab itu sendiri.
Artinya buah pikiran para pujangga Yunani misalnya, dapat dimanfaatkan
bila menceritakan suatu prestasi yang baik, namaun kaum muda sebaiknya
melangkahi bagian-bagian yang menggambarkan prilaku yang buruk, bahkan
wajib menghindari diri dari gambaran-gambaran seperti itu. Singkatnya Basil
mengajak agar semua bacaan itu dipertimbangkan dan ditinjau dari sudut
pandang kehidupan Kristen untuk mencari prilaku yang selaras dengan Injil
Kristus dan apa saja yang mendorong pengamalan kebajikan. Jadi
kesimpulannya bahwa Basil beranggapan bahwa tidak ada pertentangan
pokok antara karangan kafir yang mutunya paling tinggi dan isi alkitab itu
sendiri. Contoh, cara Sokrates bertindak sesudah dahinya ditinju oleh
seorang yang kasar. Ia tidak memberikan balasan yang setimpal. Ia hanya
menuliskan nama orang yang kasar itu pada dahinya yang kena tinju. Bagi
Basil, perilaku Sokrates itu sesuai dengan nasiht yang diberikan Yesus,
“Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu” (Mat.
5:39). Dengan demikian keseluruhan sumber-sumber pikiran Basil berasal
dari tulisan-tulisan pengarang kafir, khususnya Plato, tetapi juga dari surat-
surat karangan rasul Paulus. Jadi dalam diri Basil ketegangan antara Injil dan
kebudayaan tidak pernah teratasi secara tuntas, tetapi diredakan sesuai
maksudnya.
17
III.C Keprihatinan Gereja terhadap Pelayanan Pendidikan
19
Keprihatinan ketiga, tentang pentingnya doa dan cara berdoa. Para
pemimpin gereja mengarahkan jemaat untuk tekun berdoa. Dalam Didakhe,
para pembacanya dinasehatkan untuk berdoa dengan jalan mengucapkan
Doa Bapa Kami tiga kali sehari. Juga sesudah makan orang Kristen harus
mengucap syukur kepada Tuhan. Hal ini jug ditekankan oleh Hippolitus, bapa
gereja dari abad kedua dan ketiga. Ia menggariskan pedoman dalam hal
berdoa. Misalnya, setiap waktu orang Kristen hendaknya berdoa sebelum
mulai bekerja. Dalam pola doa ia mengajak orang Kristen untuk berdoa
mengikuti kisah kesengsaraan Yesus saat disalib yaitu berdoa pada jam
sembilan karena waktu itu Tuhan Yesus sedang mengalami penyaliban-Nya.
Berdoa jam 12 untuk mengingat kegelapan yang terjadi di seluruh daerah itu
pada saat Yesus disalib. Berdoa. Berdoa jam 15 sebagai doa syukur karena
penderitaan Yesus diakhiri. Hippolitus juga menyarankan agar orang Kristen
berdoa lagi sebelum tidur dan persis pada jam 24.00. Jam terakhir ini
ditekankan karena pada waktu itu seluruh ciptaan beristirahat.
III.D Implikasi
Dewasa ini ada banyak tantangan yang dihadapi gereja salah satunya
adalah kebudayaan. Bagaimanakah sikap gereja terhadap kebudayaan? Pada
dasarnya gereja berupaya mengembangkan teologi kontekstual supaya
kebudayaan dapat dijadikan kekayaan dalam bertelogi yang bermuara pada
satu tujuan bahwa Allah dimuliakan dalam suatu budaya. Tapi pada
kenyataannya sebagaian jemaat lebih mengutamakan tuntutan-tuntutan
kebudayaan dari pada gereja. Misalnya jemaat tidak hadir dalam ibadah
karena ada acara adat. Ini tantangan sebagian jemaat GPIB sebab jemaat
GPIB sangat majemuk.
20
III.D LIMA PENDIDIK BESAR
21
melainkan pengetahuan itu dimaksudkan sebagai sarana untuk
kenyoroti prilaku yang sesuai dengan Yesus sebagai teladan bagi
orang-orang Kristen.
- Boehlke memberikan pertanyaan penting dari pemikiran Clementus
(lihat kutipan perkataan Clementus hal 104) tentang hubungan
pekabaran Injil dan pendidikan. Apakah dengan pendidikan itu orang-
orang bertobat dan menerima Kristus, atau apakah mereka harus lebih
dahulu mendengar Injil, bertobat, dan sesudah itu baru dapat diajar?
Rupnya Clementus tidak menarik garis pemisah yang lebar antara
kedua pelayanan itu, karena Kristus, Sang Pengajar itu, terlibat dalam
kedua-duanya.
- Sehubungan dengan identitas para “pelajar” tidak dibatasi oleh
golongan umur tertentu. Semua orang yang menganggap Allah betul-
betul Bapa mereka, berapapu usinya, adalah pelajar. Satu-satu syarat
yang diperlu, tidak lain daripada kemauan untuk diajar.
- Tujuan PAK. Sekalipun tujuan PAK tidak dikemukakan secara langsung
namun berdasarkan isi tulisannya dapat disimpulkan bahwa Clementus
ingin menghasilkan seorang Kristen yang mewujukan dalam diri
pribadinya sifat yang paling kaya yang berasal dari Injil dan dari
kebudayaan Yunani.
- Kurikulum yang dipakai guru sekolah katekismus di Alesandria tempat
Clementus mengajar dan memimpin adalah lebih luas dari vak-vak
teologi saja. Selain teologi dan vak-vak lain yang bersangkut-paut
dengan agama, para pelajar juga diajarkan vak umum seperi ilmu
hitung, filsafat, ilmu bintang, musik dan berpidato. Tujuannya agar
tamatan sekolah tinggi itu diharapkan mampu berpikir mendalam
tentang berbagai masalah sama seperti pelajar bukn Kristen, bahkan
lebih mendalam lagi.
22
sebagai alat untuk menolong orang-orang menjernihkan pemikiran, tetapi
filsafat itu kurang bobotnya untuk memperoleh pengetahuan yang ilahi. Yang
diperlukan ialah prakarsa Allah yang sudah ada dalam Alkitab dan Yesus yang
diurapi.
Dari segi filsafat Yunani dan terutama yang dikemukakan Plato, Origenes
menerima gagasan tentang dua tingkat kenyataan, yaitu kenyataan yang
selalu berubah dan kenyataan rohani yang sama selama-lamanya. Jadi orang-
orang keliru apabila hanya memusatkan perhatian pada hal-hal jasmani saja,
sebab pada akhirnya dunia itu kurang mampu memenuhi semua harapan.
Lebih keliru lagi ialah jika orang mengabdikan diri pada dunia yang fana dan
melalikan kekayaan yang terkandung dalam dunia rohani yang sama selama-
lamanya. Berdasarkan pemahaman Plato ia jug memahami bahwa dunia
gagasan abadi yang paling nyata. Oleh karena itu baik benda maupun
gagasan itu bersifat rohani, pengalaman memperoleh pengetahuan dapat
terjadi melalui proses berpikir. Bagi Origenes akal manusia mempunyai
kemungkinan teramat kaya raya, tetapi ia juga yakin bahwa kemampuan
daya berpikir manusia itu juga terbatas. Itulah sebabnya mengapa manusia
memerlukan penyataan dari Allah melalui Alkitab dan Yesus Kristus. Dengan
kemampuan yang dimilikinya, Origenes mengembangkan metode penafsiran
Alkitab disebut: metode penafsiran Alegoris atau metode ibarat. Artinya,
nats Alkitab itu dijelaskan untuk mendukung pendapat penafsir sendiri
mengenai arti yang dimaksud penulisnya. Baginya metode alegoris amat
tepat sebab dengan begitu arti tersembunyi di bawah permukaan perikop itu
dapat dibebaskan. Inilah salah satu tugas pokok seorang guru PAK yaitu
menolong para pelajar memahami arti yang dibukakan melalui pendekatan
alegoris tersebut. Sekalipun pendekatannya sebagai penafsir alegoris tidak
diterima lagi karena alasan subyektivitas namun sumbangannya sebagai
seorang guru amat bermakna, seperti yang terjadi pada salah seorang
muridnya bernama Gregori Thaumaturgus.
Hieronimus adalah seorang muda yang hidup pada abad ke-4 dan berasal
dari kota Antiokhia. Ia juga seorang guru terutama mengajar kaum wanita
Romawi golongan elit. Sekalipun mereka sudah mendapat pendidikan umum
yang memadai namun mereka sadar mereka sangat kurang dalam bidang
23
pengetahuan tentang sumber iman Kristen yaitu Alkitab. Hieronimus
bersedia mengajar para perempuan ini untuk melengkapi pengetahuan
mereka.
Ruang lingkup pendidikan Hieronimus terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu
penggunaan bahasa, baik Yunani maupun latin; pengetahuan dan
pengalaman rohani; dan akhirnya keterampilan memintal, menjahit dan
sebagainya.
24
Pengertian Hieronimus tentang pengajaran “agama” adalah:…. (baca: hal.
112). Berdasarkan pengertiannya tersebut ia tidak mengajarkan Alkitab
secara “kronologis” yaitu dari kejadian sampai Wahyu, malahan sebagai guru
yang bertanggung jawab ia memilih kurikulumnya berdasarkan alasan yang
dianggapnya meyakinkan yaitu dengan memulai dari kitab-kitab yang
memenuhi kebutuhan untuk beribadah dan hidup (Mazmur, Amsal,
Pengkhotbah, Ayub); kemudian si pelajar diperkenalkan dengan keempat
Injil, kitab-kitab lain dari PB; baru kemudian dengn sisa dari PL.
25
Bagi Chrysostomus lingkungan luas atau konteks perlu ditekankan. Yang ia
maksudkan bukan jemaat tetapi keluarga yaitu suasana yang dipupuk oleh
orangtua sendiri. Hal itu disebabkan karena orangtua lebih suka memberi
perhiasan emas kepada anak-anak. Bagi Chrysostomus bukan emas yang
diperlukan anak-anak melainkan bimbingan dari orangtua yang bijaksana.
Jadi untuk mengembangkan suasana yang menghasilkan anak yang baik itu
menuntut usaha dari pihak orangtua.
26
III.D.5 Agustinus
Agustinus adalah teolog yang dihormati, baik oleh gereja Katolik Roma
maupun Protestan. Ia lahir di Afrika Utara. Ibunya seorang Kristen bernama
Monika. Sekalipun ia dididik dalam iman Kristen namun pada masa periode
tertentu ia bertumbuh dalam jiwa yang labil artinya belum menerima Kristus
seutuhnya. Itu juga menjadi alasan mengapa ibunya belum mau membawa
anaknya untuk dibaptis karena ia tahu masih banyak dosa yang akan
dilakukannya. Puncak pergumulan pribadi Agustinus berakhir di suatu taman
ketika ia mendengar “suara” memerintahnya untuk membaca. Apa yang
harus dibacanya? Tidak jauh dari tempat itu ia melihat Surat Paulus kepada
jemaat di Roma. Saat itulah hidupnya mengalami perubahan besar. Ia
bertobat dan mengabdikan diri kepada Kristus. Jadi Agustinus adalah tokoh
raksasa pertama dalam sejarah gereja yang diubah secara mendalam oleh
surat Roma. Tugas pertama yang diberikan kepada Agustinus adalah menjadi
kepala sekolah kateketika (perguruan tinggi Kristen). Namun tugas itu
ditolaknya. Sesudah masuk agama Kristen ia mengumpulkan buku-buku
tafsiran Alkitab, karya dogmatis, sejarah gereja dsb. Dengan intelek yang
begitu besar menghantarnya enjadi penulis yang handal. Dibidang PAK
terdapat tiga buku yang paling penting yaitu: De Doctrina Christiana (Ajaran
Kristiani), De Magistra (Sang Guru) dan De Catechizandis rudibus
(Mengkatekisasi Orang yang Belum Dididik).
27
apa yang dinyatakan secara batin kepadanya oleh Allah. Dengan kata lain
kita harus percaya sebelum kita dapat berpikir secara mendalam. Jadi orang
tidak belajar tentang kebenaran agamawi itu dengan jalan “diisi dari luar”,
malahan penerimaan kebenaran tersebut memerlukan respon pribadi
terhadap Allah. Demikianlah arti kutipan terkenal dari Agustinus: “Ya Allah,
Engkau telah menciptakan kami bagi Dikau sendiri, dan hati kami merasa
kurang tenteram sebelum ia berhenti bergumul dan merasa tenteram dalam
Tuhan sendiri.”
29
disamping keperluan agar jemaat dididik oleh Firman yang dibaca yaitu kitab
suci dengan penjelasannya. Pada pokoknya dimensi pedagogis dlam bagian
pertama dari liturgy , dlam arti jemaat semuanya sedang dididik, baik atas
orang-orang yang sudah disidi maupun para katekumin yaitu yang ingin
diterima sebagai anggota yang sah.
Pada zaman gereja purba orang-orang dewasa yang belum dibaptis yang
ingin mengabdikan diri pada Kristus mereka harus melewati proses
pembelajaran. Peserta ini disebut katekumen. Proses ini berpola pada tiga
perikop kitab Kisah Para Rasul. Pertama, Pada hari Pentakosta Rasul Petrus
berkhotbah sebagai akibatnya hati mereka sangat terharu. Lalu mereka
bertanya: apakah yang harus kami perbuat? Saat mereka menyatakan minat
atau motivasinya inilah tahap kedua. Kemudian Petrus menjawab,
“Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu di baptis
dalam nama Kristus untuk pengampunan dosamu… (Kis 2:38). Tetapi
sesungguhnya merek belum langsung dibaptis; Tahap ketiga, mereka harus
memperlihatka suatu kehidupan yang berbeda yaitu berusaha hidup dalam
kekudusan; Setelah itu barulah masuk tahap keempat, mereka memberikan
dirinya dibaptis.
30
III.D.3 Wadah Sekolah Katekisasi
IV. PENUTUP
31