Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MANDIRI

M.K : TEORI PERKEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN


DOSEN : Pdt. Janse Belandina Non Serrano, M.Th.

DIPRESENTASIKAN OLEH :

PDT. ARNEX RUMANGKANG, S.Th.


UKI, TGL : 2,9 APRIL 2015

1
I. PENDAHULUAN

Sehubungan dengan tugas teori dalam zaman Perjanjan Baru dan Gereja
purba, saya mengambil definisi teori (berdasarkan kuliah Teori PAK materi
pertemuan pertama) dari Jonathan H. Turner (Prof.Sosciology di Univ
California) yang menyatakan bahwa: “Teori adalah sebuah proses
mengembangkan ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan
mengapa suatu peristiwa terjadi.”

Dengan demikian teori tidak pernah statis. Teori terus berkembang


bergerak secara dinamis berdasarkan perkembangan zaman. Demikian
halnya teori Pendidikan Agama Kristen mengalami perkembangan
berdasarkan situasinya. Hal ini dapat terlihat dalam dua topik bahasan : Teori
Pendidikan Agamawi dalam Perjanjian Baru dan PAK dalam Gereja Purba.

II. TEORI PENDIDIKAN AGAMAWI PERJANJIAN BARU

Dalam bagian ini, Robert R Boehlke melandasi pembahasan teori PAK dari
dua pendekatan: Pertama, berfokus pada Yesus; kedua, pandangan terhadap
pendidikan yang tersirat dalam tulisan-tulisan PB yang tua (surat Paulus
kepada jemaat Tesalonika) dan yang paling muda (surat Paulus kepada
Timotius).

II.A PENDIDIKAN YANG BERPOROS PADA YESUS

Sejak semula orang Kristen mengakui bahwa Yesus adalah manusia


sebagaimana yang dimaksudkan Allah, namun serentak dengan itu istilah
“manusia” sendiri kurang mampu mencakup keseluruhan hakekat dari
manusia Yesus itu. Karena itu pertanyaan mendasar dalam bagian ini adalah :
“Siapakah Yesus itu sebenarnya?” Begitu pentingnya pertanyaan ini, sewaktu
Yesus masih bersama para murid, Ia pernah melontarkan pertanyaan ini
kepada para murid. Yesus ingin mengetahui siapakah Ia menurut orang
banyak dan menurut para murid sendiri (lih. Matius 16:13-16). Orang banyak
saat itu memahami bahwa Yesus adalah seseorang nabi. Hanya sebatas itu.
Karena itu Yesus meminta pendapat para murid menurut mereka siapakah
Ia? Petrus menjawab: “Engkau adalah Meias Anak Allah yang hidup”.

2
Dengan demikian pertanyaan tentang hakekat Yesus ini sangat mendasar
sebab dalam diri Yesus sebagai manusia itu (homosius) terdapat hakekat Ilahi
yang tidak pernah dimiliki oleh manusia manapun juga. Awalnya hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi orang Kristen yang berasal dari agama
Yahudi; sebab agama Yahudi melarang dengan sangat keras mengakui
manusia – siapapun dia – sebagai ilahi. Namun perjumpaan mereka dengan
Yesus mendorong mereka berlutut di depan-Nya sambil mengaku bahwa Dia
memang Tuhan adanya. Sekalipun orang Kristen telah mengakui Keilahian
Yesus namun menurut Boehlke bahwa dalam tulisan Perjanjian Baru
ketegangan antara kedua dimensi (kemanusiaan dan keilahian) Yesus tak
kunjung reda dan harus tetap ada; sampai saat ini.

Sekalipun Perdebatan tentang hakekat Yesus tak pernah usai, namun


pendidikan kekristenan tetap berporos pada Yesus. Sehubungan dengan itu
Boehlke menyoroti dalam 3 hal yaitu:

II.A.1 Yesus Sebagai Buah Dari Pendidikan Agama Yahudi

Dengan mengutip Ibrani 5:7-9a (catatan kritis ayat ini kurang tepat),
Boehlke mengungkapkan bahwa sekalipun Yesus memiliki identitas Ilahi,
namun hal itu tidak membebaskan Dia dari keharusan belajar. Kalau tidak
demikian Yesus tentu bukan manusia yang sungguhan, dan inkarnasi-Nya
harus dianggap sebagai keadaan yang dibuat-buat belaka. Pengalaman
belajar tersebut terjadi sebagai hasil usaha-Nya menghayati panggilan-Nya
sebagai manusia yang sesungguhnya, yang justeru memenuhi apa yang tidak
mampu dipenuhi oleh manusia lainnya. Pertanyaannya adalah
bagaimanakah caranya Yesus diperlengkapi dengan pengetahuan tentang
hubungan Allah dengan bangsa Yahudi sepanjang abad? Hal ini ditinjau dari
latar belakang pedagogi Yesus sebelum kedewasaan-Nya. Memang tidak
muda untuk mengetahuinya karena tidak ada sumber yang membicarakan
bagaimana masa kanak-kanak Yesus terutama bagaimana ia mengikuti
proses pendidikan. Namun Boehlke berusaha untuk menjembatani hal ini
dengan merujuk beberapa ayat dari Lukas (6:39;6:40), Matius (10:16) dan
Yohanes (13:16-17). Dengan ketiga kelompok ayat tersebut (catatan kritis:
sebagian ayat kurang mengena) diperoleh kunci untuk membuka sebagian
dari rahasia kepintaran Yesus. Bahwa dulu Ia sendiri adalah seorang murid. Ia
sudah belajar dari guru-guru-Nya. Sama dengan laki-laki Yahudi lainnya
3
bahwa keluargalah gurunya yang pertama. Dari keterangan keempat kitab
Injil tentang keluarganya dapat disimpulkan bahwa orang tua-Nya berusaha
memenuhi semua syarat agama Yahudi yang berlaku bagi mereka baik yang
bersifat liturgis maupun yang bukan (Luk. 2:21,24). Kemudian, sebagai orang
dewasa Ia masuk ke dalam rumah ibadat menurut kebiasaan-Nya pada hari
Sabat (Luk 4:16). Ia merayakan hari Paskah (Luk 22:24). Seringkali Ia
mengutip dari Perjanjian Lama. Rupanya kemampuan-Nya itu diperoleh dari
Beth-Talmud, atau mungkin juga ditambah dengan pelajaran yang diterima-
Nya di bawah bimbingan para ahli Taurat dan studi lanjut”. Ia juga sudah
belajar bahasa Ibrani sejak kecil sehingga Yesus dapat membaca hukum
Taurat. Dan sejak kecil Ia sudah diajarkan keterampilan sebagai seorang
tukang kayu (Mrk 6:3).

Boehlke juga menggunakan pendapat Sherill dalam menjelaskan


bagaimana pengalaman Yesus sebelum Ia tampil dalam panggung sejarah
sebagai pemimpin:

“Masa Kanak-Kanak Yesus; sebagai seorang anak laki-laki Yahudi Ia


dibesarkan dalam suatu keluarga setia dan kaya sekali dalam pengalaman
agamawi. Sejak kecil Yesus sudah mengambil bagian dalam berbagai
tanggung jawab yang diwajibkan dalam agama Yahudi dan Ia semakin
bertumbuh dalam pengetahuan tentang Kitab Suci.

Masa Muda Yesus; apa yang dilakukan Yesus pada masa kanak-kanak-Nya
berdampak pada kehidupan dewasa-Nya bahwa sebagai seorang muda
Nazaret Ia diajarkan menafsirkan Taurat secara ketat menurut ukuran ilmiah
yang paling mutakhir dari para rohaniawan Yahudi. Namun sejak masa
kanak-kanak-Nya Yesus sudah mendengar isi Taurat itu disampaikan secara
lebih lunak dan manusiawi. Sampai pada masa tertentu akhirnya kedua
pemikiran tentang Allah tidak dapat diperdamaikan satu sama lain dalam
pemikiran-Nya sehingga satu dari kedua harus menyingkir. Tentu yang
disingkirkan-Nya adalah menafsirkan Taurat secara ketat. Pada masa muda-
Nya dalam konteks kehidupan saat itu sebagai pemuda Ia telah mengetahui
tentang gerakan pemberontakan bawah tanah yang menyala-nyala dan siap
untuk menggempur pasukan Romawi. Tetapi telah pula dilihat-Nya akibat-
akibat pemberontakan itu. Yesus juga telah melihat dua falsafah hidup yang
besar ini yaitu filsafah Romawi dengan kekuatan angkatan bersenjatanya dan
4
filsafat Yahudi dengan hukum Tauratnya. Yesus tahu bahwa betapa besar
kerinduan manusia akan pembebasan dari dua filsata besar itu; namun Ia
juga tahu bahwa manusia saat itu tidak mampu menjangkau pembebasan
tersebut.

II.A.2 Yesus Sebagai Seorang Guru

Salah satu gelar penting yang diberikan kepada Yesus dalam konteks
pelayanan-Nya adalah sebagai Guru (Rabi bahasa Aram). Hal itu
berhubungan dengan penggunaan kata Didaske artinya: “Mengajar”, oleh
Kitab-kitab Injil Sinopsis dan Yohanes dalam gambar kegiatan yang dilakukan
Yesus (bnd. Mat 9:35; 11:1). Artinya bahwa kegiatan Yesus lebih sering
digambarkan dengan kata kerja “mengajar” dari pada dengan kata kerja
“memberitakan” atau “berkhotbah”. Menurut Muirheat, pemakaian istilah
“guru” bukanlah kebiasaan Yunani, melainkan kebiasaan Yahudi. Melalui
gaya hidup-Nya Yesus telah menyatakan latar belakang latihan-Nya sebagai
seorang Rabi. Bultmann memperkuat pandangan Muirheat, ia menulis: “…
Jelaslah bahwa Yesus betul-betul hidup sebagai seorang Rabi.” Jadi Yesus
disapa Rabi oleh karena Ia pernah dididik dalam sekolah yang
mempersiapkan bakal rabi. Di rumah ibadat Nazaret, Yesus dihormati
sebagai seorang rabi pengunjung.

Sebagai mana lazimnya kaum rabi, Yesus pun mengumpulkan


beberapa orang yang ingin diajar. Mereka itu dinamakan “murid”. Dalam
penerapan selanjutnya bahwa “murid” bukanlah istilah yang lazim dipakai
dalam kalangan persekutuan agamawi. Memang jemaat Kristiani akan
mempergunakan secara umum, tetapi lambat laun istilah murid condong
dibatasi penggunaannya khusus untuk “keduabelas” orang pertama yang
dipanggil Yesus pada saat memulai pelayanan-Nya di depan umum. Rupanya
Rasul Paulus sendiri tidak pernah memakai kata itu, karena sesudah
kebangkitan Yesus Ia bukan rabi lagi, melainkan Tuhan yang sudah bangkit.
Paulus lebih condong memakai istilah “saudara”untuk melambangkan
hubungan intim dalam persekutuan orang percaya.

Antara Yesus sebagai Rabi dengan rabi Yahudi lainnya mempunyai


persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sebagai Rabi, Yesus pun
sama seperti rabi lainnya membicarakan hukum Taurat. Metode perdebatan-

5
Nya juga dipakai oleh rabi-rabi lainnya pada waktu itu. Ia pun menyusun
perumpamaan-perumpamaan. Sebagian dari isi pengajaran-Nya juga
menyerupai isi pengajaran para rabi. Mereka sering membicarakan hukum
mana yang lebih utama dan memberikan jawaban yang serupa seperti yang
diucapkan Yesus yaitu keharusan mengasihi baik Allah maupun sesama
manusia. Bultmann pernah mendaftarkan beberapa ucapan para rabi yang
sejajar dengan pengajaran Yesus, misalnya:

Jangan kuatir akan keprihatinan besok, sebab anda tidak tahu apa
yang terjadi besok. Barangkali besoknya anda sudah mati, dan akan
kuatirkan diri mengenai hal-hal yang tidak merupakan keprihatinan
lagi. Kesusahan sejam cukuplah untuk sejam.
(Bandingkan perkataan Yesus tentang kekuatir dalam Matius 6:34).

Perbedaannya, misalnya: di antara para pengikut-Nya terdapat perempuan-


perempuan, suatu keadaan mustahil atau jarang sekali terjadi dalam
kalangan rabi; Ia memperhatikan anak-anak kecil , suatu sifat yang berlainan
sekali dengan perilaku rabi-rabi biasa; Demikian juga kerelaan-Nya bergaul
dengan orang-orang berdosa, misalnya pemungut cukai dan wanita sundal,
sesuatu yang pantang sekali bagi kaum rabi.

Kesimpulannya adalah bahwa Yesus bukanlah hanya sekedar rabi biasa


tetapi Ia disebut sebagai Guru Agung. Ia disebut demikian bukan berdasarkan
kebaruan pengajaran-Nya, melainkan karena hakekat-Nya sendiri. Dialah
pengajar serentak penyataan Allah dalam rupa seorang manusia tertentu.
Yang diajarkan-Nya ialah diri pribadi-Nya sendiri. Seandainya pengajaran
Yesus itu lepas dari diri-Nya, maka isi-Nya tidak akan jauh berbeda dari apa
yang diajarkan oleh rabi-rabi lainnya. Melalui kegiatan mengajar itu Ia
menyatakan seluruh rencana Allah sampai titik waktu itu.

II.A.3 Gaya Mengajar Yesus

Hal yang menarik dari Rabi Yesus bukan saja isi pengajaran-Nya tetapi
juga gaya mengajar Yesus. Gaya mengajar Yesus mampu menarik perhatian
khalayak ramai yang sudah bosan dengan cara pendekatan guru-guru biasa.
Reaksi orang banyak dinyatakan dalam Markus 1:22; 12:37. Gaya mengajar
Yesus itu meliputi : Suara-Nya, air muka-Nya, gerak-gerik badan-Nya, sikap-
Nya terhadap para pendengar. Yang istimewa itu adalah nada suara-Nya.

6
Terdapat sesuatu dalam nada suara-Nya yang menimbulkan kepercayaan
dalam diri mereka. Apa yang diungkapkan-Nya dapat dipercaya. Namun
sayang semua dimensi gaya mengajar Yesus tersebut sudah hilang selama-
lamanya. Selain Yesus memiliki gaya mengajar yang unik, Ia juga memiliki
metode mengajar yang ditemukan dalam keempat kitab Injil, yaitu:

a. Ceramah
Melaui ceramah Yesus berusaha menyampaikan pengetahuan kepada
para murid-Nya atau menfsirkan pengetahuan tersebut. Melalui
metode ini Ia mengharapkan dua tanggapan dari para pendengar-Nya
yaitu: pengertian mendalam dan prilaku baru (bnd. Khotbah di Bukit,
Mat 5-7).
b. Bimbingan
Saat memberikan ceramah kepada para murid-Nya, Yesus juga
memberikan bimbingan. Mereka diajar melalui tinjauan lalu dilakukan.
Yesus menentukan apa yang para murid harus lakukan dan ke mana
mereka akan pergi kelak. (Mat 10:40-42).
c. Menghafalkan
Catatan kritis, agak susah untuk menentukan apakah Yesus
menerapkan metode menghafal ini kepada para murid-Nya.
d. Pewujudan
Penulis Injil Matius menggunakan metode ini terhadap eksistensi
Yesus. Bahwa Tuhan itu dilukiskan sebagai seorang yang telah
mewujudkan dalam diri pribadi-Nya sebagian dari sejarah bangsa
Israel. Artinya Yesus adalah perwujudan dari kisah dalam PL, misalnya:
saat Yesus masih bayi Ia harus dibawah ke Mesir oleh orang tua-Nya
untuk menghindar dari bahaya seperti Yakub ke Mesir diloloskan dari
bahya kelaparan; dan lain-lain.
e. Dialog
Yesus dalam mengajar juga sering berdialog dengan audiens-Nya,
misalnya dengan perempuan Samaria (Yoh 4).
f. Studi Kasus
Studi kasus terlihat jelas melaui perumpamaan Tuhan Yesus. Misalnya
tentang anak yang hilang (Luk 15:2b). Pendengar-Nya didorong untuk
memikirkan inti persoalan dan bagaimana memecahkannya.

7
g. Perjumpaan
Yesus sering berjumpa secara langsung kepada seseorang untuk
menantang mereka mengambil keputusan.
h. Perbuatan simbolis
Misalnya, Yesus dibaptis di sungai Yordan. Perbuatan Yesus ini hendak
menunjukkan kesengsaraan yang akan dialami Yesus.

II.A.4 IMPLEMENTASI

- Dalam keluarga, seperti Yesus bahwa guru pertamanya adalah


keluarga maka penting bagi keluarga untuk mengambil peran dalam
pendidikan anak dalam mengajarkan siapakah Yesus sebenarnya.
Supaya mereka bertumbuh dalam pemahaman akan Yesus. Jadi tidak
sepenuhnya pendidikan itu diserahkan kepada gereja. GPIB menyadari
hal itu karenanya GPIB mengembangkan tema: “Peningkatan Peran
Keluarga” lalu diupayakanlah kegiatan yang melibatkan seluruh
anggota keluarga baik ditingkat keluarga maupun ditingkat jemaat.
Misalnya, menghadirkan bacaan dan renungan harian bagi anak
sekolah minggu dan Teruna/remaja yang membutuhkan bimbingan
orang tua.
- Dalam Gereja, pengajaran GPIB pastilah terpusat pada pertanyaan
“Siapakah Yesus sebenarnya”. Hakekat Yesus sebagai Allah dan
manusia tetap menjadi pengajaran sentral gereja. Karenanya GPIB
seperti gereja-gereja lainnya mengakui bahwa Yesus seratus persen
Allah dan seratus persen manusia.

II.B PAK YANG TERSIRAT DALAM TULISAN-TULISAN PERJANJIAN BARU (PB)

II.B.1 Surat Kepada Jemaat Tesalonika

Surat Tesalonika dikirim dari kota Korintus pada tahun 50 M. Jadi setelah
tujuh belas tahun sesudah kebangkitan Yesus. Pertanyaannya adalah pola
pendidikan apakah yang terdapat di dalam surat Tesalonika itu?

Paulus sebagai penulis surat ini proklamasi dan ajaran yang diungkapkannya
telah berakar dalam prakasa Allah sendiri. Allah-lah yang merupakan

8
pendidik utama dan Paulus adalah wakil-Nya. Paulus sebagai wakil Allah
bersyukur karena mereka (jemaat Tesalonika) telah menerima Allah yang
diberitakan oleh Paulus dan rekannya, bukan sebagai perkataan manusia,
tetapi sebagai firman Allah yang bekerja di dalam mereka yang percaya (bnd.
1 Tes 2:13). Di sini terdapat pengertian yang dinamis terhadap firman Allah.
Proklamasi yang diucapkan Paulus dan ajaran yang disampaikannya berasal
dari penyataan tersebut. Berdasarkan hal ini maka pendidikan dalam jemaat
merupakan salah satu cara yang disediakan agar orang-orang
mendengarkan firman Allah. Pengertian itu diperkuat lagi oleh kesaksian
Paulus “Kamu tahu juga petunjuk-petunjuk mana yang telah kami berikan
kepada kamu atas nama Tuhan Yesus” (1 Tes 4:2). Tanggapan jemaat sebagai
buah dari pendidikan itu adalah mereka belajar saling mengasihi, karena
itulah yang diajarkan oleh Tuhan sendiri (! Tes 4:9).

Selama Paulus bekerja di Tesalonika metode yang digunakannya


adalah berkhotbah, namun metode itu juga disusul dengan dengan metode
lain yaitu mendidik, membina jemaat (bnd. 1 Tes 2:11-12). Jadi bagi Paulus
berkhotbah saja kurang cukup. Harus ada metode lain yang digunakan
sebagai tindak lanjut setelah orang bertobat dari hasil khotbah tersebut
yaitu pelayanan yang mendidik agar para warga jemaat bertumbuh dalam
imannya.

Pencapaian Paulus bagi pendidikan di Tesalonika dijelaskan oleh Muirhead


bahwa orang-orang Kristen di Tesalonika tidak dihasilkan secara ajaib, tetapi
melalui pendidikan secara sungguh-sungguh dalam para-dosis (tradisi, intisari
Injil). Dalam pelaksanaan pendidikan di Tesalonika, Paulus menggunakan
metode para rabi karena itu seluruh perbendaharaan kata dalam kedua surat
Tesalonika terisi dengan istilah-istilah oleh para rabi dinamakan : halakha
dan haggada (bahan hukum dan etis dari Talmud). Atas keberhasilan Paulus
ini Paulus dengan jujur mengungkapkan bahwa pengajaran yang
dibawakannya bukan berasal dari dirinya sendiri ataupun dari gagasannya
melainkan ia memberikan “petunjuk, bimbingan” (paraggelia) atas nama
Tuhan. artinya ia hanya menyampaikan suatu pengajaran yang diterimanya
[paradosis (2 Tes 2:15)].

Dalam surat Tesalonika minimal terdapat empat macam bahan pengajaran,


yaitu:
9
- Ajaran Teologis
Misalnya, Yesus diperlihatkan sebagai Anak Allah ( 1 Tes 1:10); Yessus
telah disalibkan dan Allah telah membngkitkan Dia. Dengan kematian
Yesus itu manusia diselamatkan dari murka yang akan datang (1 Tes
1:10). Bukan hanya Yesus yang dibangkitkan. Siapa saja yang percaya
dibangkitkan juga (1 Tes 4:13-18).
- Pengajaran Etis
Misalnya, jemaat diajarkan bahwa ada gaya hidup yang sesuai dengan
Injil Kristus, yang berkenan kepada Allah (1 Tes 4:1); para warga jemaat
harus hidup dalam kekudusan artinya menjauhkan diri dari perbuatan
dosa percabulan, ketidak jujuran dll.
- Tata Gereja
Tata Gereja dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bersama dalam
iman di dalam persekutuan jemaat.
- Kata-kata yang Menyerupai Ucapan Yesus
Usia pelayanan Yesus kurang lebih 3,5 tahun. Perkataan-Nya selama
waktu pelayanan-Nya itu tidak mungkin dapat dicatat semua oleh
keempat Injil. Karenanya tidak mengherankan membaca dalam tulisan-
tulisan lain di PB tentang ucapan Yesus yang tidak terdapat dalam isi
keempat Injil. Misalnya: I Tes 4:15.

II.B.2 Surat-surat Penggembalaan

Surat-surat penggembalaan yang dimaksud adalah I,II Timotius dan Titus.


Surat-surat ini disusun antara lima puluh dan tujuh puluh tahun sesudah
penulisan surat-surat Tesalonika. Menurut alamatnya salah satu surat
pengembalaan itu dikirim kepada Timotius. Timotius adalah anak (rohani),
teman dan kawan sekerja Paulus. Timotius adalah buah dari pendidikan
agama Kristen yang didapat melalui keluarga dan jemaat (II Tim 1:5; 3:15).
Artinya peran keluarga memegang peranan penting agar anggota keluarga
bertumbuh di dalam Kristus berdasarkan firman Allah.

Berdasarkan perkataan Paulus dalam 2 Timotius 1:5; 3:15 dan 2 Tim 3:14
nyatalah bahwa pada masa itu pendidikan agama Kristen yang bersumber
pada Kitab Suci (yaitu tulisan kristiani di antaranya termasuk surat-surat
Paulus sendiri, Injil Markus, Matius dan Lukas, disamping Perjanjian Lama)

10
telah menyentuh kehidupan kaum muda dan orang dewasa. Dan Timotius
adalah buah dari pendidikan agama Kristen pada masa itu.

Adapun situasi yang melatar belakangi surat-surat itu adalah banyak ajaran-
ajaran yang berkembang yang tidak sesuai dengan firman Tuhan (ajaran
sesat) yang selalu menggerogoti kehidupan jemaat, termasuk kaum muda.
Suasana seperti itu diistilahkan Boehlke semacam “pikiran terkepung”. Agar
umat tidak terkontaminasi dengan ajaran-ajaran sesat maka perlu pelayanan
pedagogis diutamakan. Keprihatinan nampak itu dengan digunakannya kata:
didaskalia atau kale didaskalia (pengajaran atau pengajaran yang benar)
sebanyak lima belas kali. Itulah sebabnya dalam situasi itu pentingnya
jabatan guru seperti Paulus (1 Tim 2:7). Jabatan guru itu melalui kaderisasi.
Maksudnya, sebagaimana penulis itu sendiri mengajar, demikian pula dapat
diangkat orang-orang yang terpercaya dan cakap untuk menjadi pengajar;
misalnya Paulus sebagai guru berhasil mengkader Timotius, karena itu besar
harapan Paulus agar Timotius juga dapat mengajar orang lain berdasarkan
pengajaran yang diterimanya dari Paulus sehingga orang lain yang dapat
dipercayai itu dapat juga mengajar orang lain ( 2 Tim 2:2). Sebagai seorang
guru (pengajar) ia harus menjadi teladan dalam kebenaran. Ia harus
berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran sehat,
supaya ia juga sanggup mengajar orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup
meyakinkan penentang-penentangnya. Itulah yang terlihat dalam surat
kepada Titus (Tit 1:9). Hal lain bahwa menurut surat yang dikirim kepada
Titus Jabatan pengajar itu merupakan salah satu dari sejumlah tugas yang
diserahkan kepada seorang penilik jemaat (uskup).

Apa yang diajarkan kepada jemaat pada pokoknya sesuai dengan pula
dengan apa yang diajarkan para pemimpin kristiani sejak semula, tetapi titik
beratnya berbeda (tentunya berdasarkan konteks), yakni iman dan ajaran
benar sama artinya. Pokok-pokok yang perlu diajarkan adalah: Pertama,
adalah ajaran teologis. Misalnya, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus
Yesus.... (I Tim 2:5,6); Kedua, pengajaran etis, bagaimana orang harus hidup
dalam kebenaran (I Tim 6:11) dan meninggalkan perbuatan dosa (I Tim 6:9-
10; Tit 3:3); Ketiga, Petunjuk-petunjuk mengenai Jabatan Gerejawi dan sifat-
sifat orang yang memimpin jemaat (I Tim 3:1-13); Keempat, Perkataan-

11
perkataan Tuhan Yesus; Kelima, Jemaat diajar bersandar pada Roh Kudus.
Tanpa Roh Kudus jemaat tidak dapat menerima pengajaran kristiani seperti
Timotius.

Kesimpulannya adalah pelayanan mengajar adalah bagian yang asasi dari


kehidupan jemaat-jemaat Perjanjian Baru baik yang paling tua maupun yang
paling muda.

Catatan kritis: Dalam bagian pembahasan tentang surat-surat


penggembalaan ini harusnya Boehlke membahas juga surat Filemon dengan
dua pertimbangan yaitu: Berdasarkan pengklasifikasiaan surat-surat Paulus,
suarat kepada Filemon termasuk surat penggembalaan atau ditujukan
kepada pribadi; kedua, perlu juga pendidikan memfokuskan diri secara etis
bagaimana hubungan antara hamba dan tuan; dan sebaliknya. Hal ini penting
supaya anak-anak juga dapat memberlakukan para pekerja di rumah dengan
benar.

II.C IMPLEMENTASI

Betapa pentingnya pendidikan iman dalam keluarga. Pendidikan itu akan


mengarahkan anak-anak dalam rumah tangga untuk mengambil bagian
dalam pelayanan, seperti Timotius buah dari didikan dalam keluarga. Di GPIB
pintu terbuka untuk anak-anak mengambil bagian dalam pelayanan di Pelkat
(Pelayanan Kategorial) sebagai proses kaderisasi. Dan pelayanan itu tidak
boleh dianggap remeh karena itu proses bimbingan kepada para pengajar
juga harus mendapat perhatian seperti yang dianjurkan dalam surat Titus.
GPIB sadar benar akan hal itu, karenanya GPIB selalu menyiapkan wadah
pembinaan bagi pelayan dan pengurus Pelkat baik tingkat jemaat, Mupel
(Musyawarah Pelayanan) dan tingkat Sinodal,

III. TEORI PAK DALAM GEREJA PURBA

III.A Konteks

Pada awal abad ke-2 pemeluk agama Kristen sangat sedikit jumlahnya.
Keadaan ini berubah diakhir abad ke-5 yakni kehadiran Gereja dalam
kerajaan bukan lagi sebagai persekutuan kecil yang dianggap hina oleh
masyarakat luas, melainkan sudah menjadi pengaruh yang mampu
12
menentukan nasib orang. Hal itu terjadi sejak awal abad ketiga ketika Kaisar
Constantinus mengeluarkan dekrit (edik) yang terkenal dengan sebutan Edik
Milano bulan Januari tahun 313 di kota Milano yang isinya mengkui agama
Kristen sebagai agama resmi Negara Romawi. Akan tetapi perubahan hebat
dalam gereja tidak berlangsung tanpa kesulitan. Banyak tantangan yang
dihadapi Gereja pada masa itu secara khusus terhadap kebudayaan Yunani-
Romawi.

III.B Tantangan Budaya Terhadap Gereja

Ada empat tantangan yang dihadapi gereja dalam kebudayaan


Romawi-Yunani, yaitu:

Tantangan pertama, gereja purba dihadapkan pada kebudayaan


menyembah banyak dewa-dewi. Teristimewa ketika Raja (Kaisar) diangkat
menjadi tuhan dengan pemahaman bahwa Kaisar adalah titisan dewa.
Semua orang yang hidup dalam kekaisaran Romawi harus menyembah Kaisar
sebagai tuhan. Orang Kristen yang berprinsip manusia tidak boleh disembah
hanya Tuhan yang patut disembah menyebabkan orang Kristen berbenturan
dengan Negara. Akhirnya Gereja dianggap sebagai pembangkang akibatnya
Gereja mengalami penganiayaan. Selain menolak menyembah Kaisar
Romawi, orang-orang Kristen juga dituduh oleh warga-warga biasa karena
kebiasaan untuk tidak turut melibatkan diri dalam urusan masyarakat.
Didesas-desuskan pula bahwa orang Kristen memakan daging manusia
tatkala mereka berkumpul bersama, pada hal sesungguhnya orang Kristen
sedang melakukan perjamuan kudus. Jadi dalam periode tertentu orang
Kristen dianggap sebagai suatu ancaman terhadap keamaan Negara.

Tantangan kedua, gereja purba ditantang untuk mencari jalan bagaimana


memanfaatkan buah intelektual kebudayaan itu tanpa mengambil alih isinya
yang bertentangan dengan injil. Jadi terjadi ketegangan antara iman Kristen
dan kebudayaan. Ketegangan ini tak pernah teratasi secara tuntas sebab
orang Kristen sendiri adalah buah dari kebudayaan. Seorang tokoh dari
Afrika Utara yang hidup pada abad ke-3 bernama Tertulianus sungguh-
sungguh menggumuli hal ini. Ia menantang Gereja untuk tidak
memanfaatkan bahan yang dikarang oleh para sarjana yang bukan Kristen.
Tertulianus bermaksud untuk melepaskan diri dari semua aliran intelektual

13
yang bukan Kristen. Ia lebih senang orang-orang Kristen membaca Perjanjian
Baru saja. Sebab jika orang kristen mempelajari karya tulisan kafir itu mau
tak mau mereka akan dipengaruhi oleh nilai-nilai di dalamnya. Jadi
kesimpulannya orang Kristen tidak perlu ikut campur dalam urusan budaya,
lebih baik orang Kristen memusatkan perhatian kepada diri Kristus yang
bangkit itu. Pemikiran Tertulianus ini tidak diterima oleh kebanyakan rekan
seimannya sebab bagaimanapun kekristenan tidak bisa lepas dari
kebudayaan, orang Kristen adalah buah dari kebudayaan. Bukan berarti
semua kebudayaan diterima begitu saja, orang Kristen tetap kritis yakni
hanya menerima kebudayaan yang memperkaya kehidupan Kristen.

Tokoh Kristen lain yang melihat persoalan tersebut namun memberikan


jawaban yang lain ialah Hieronimus (Jerome). Ia seorang muda yang hidup
pada abad ke-4 dan berasal dari kota Antiokhia. Ia adalah orang yang
sungguh-sungguh menaruh minat besar pada karya tertulis Yunani dan
Romawi kuno. Sebegitu hebat minatnya terhadap hal itu maka ia
berpendapat bahwa dibandingkan dengan karangan kafir, maka Alkitab jauh
lebih rendah mutunya dan kurang cukup kuat untuk menolong pemikiran
yang mendalam. Puncak tantangan Hieronimus ini ketika ia jatuh sakit
akibatnya penyakit itu badannya kurus kering. Dalam khayalannya ia
bermimpi… disinilah ia mengalami titik balik bahwa ia berjanji tidak akan
membaca buku itu lagi selain Alkitab. Agaknya ia mendukung Tertulianus.
Tapi hal itu hanya beberapa saat saja. Setelah kondisinya pulih ia melupakan
janjinya. Ia tetap mengutip karya orang-orang Yunani-Romawi khususnya
Quintillianes. Berdasarkan gagasan Quintillianes ini ia ingin menerapkan
pandangannya sesuai dengan kebutuhan pendidikan agama Kristen. Keahlian
Hieronimus dibidang klasik terbukti ketika Paus memanggil ia ke Roma untuk
menterjemahkan Alkitab dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam bahasa
Latin yang disebut Vulgata. Dengan demikian secara psikologis pusat
perhatiannya beralih dari dunia sekuler ke dunia sakral. Tetapi ia tidak
memisahkan diri dari kebudayaan disekitarnya, seperti halnya dengan
Tertullianus.

Seorang teolog lainnya bernama Basil (330-379) dari Kaisaria suatu kota di
Kappadokia, berusaha membedakan antara pengarang Yunani-Romawi yang
boleh dimanfaatkan gereja dan karangan-karangan yang perlu ditolak. Hal ini

14
terlihat melalui karyanya yang berjudul: “Amanat Yang Dialamatkan Kepada
Kaum Muda”. Basil mengajak kaum muda untuk mulai latihan kearah
perkembangan watak yang bajik (perbuatan yang mendatangkan kebaikkan)
dengan jalan membaca karangan-karangan yang disusun oleh para
pengarang kafir sebagai persiapan untuk menangkap isi Alkitab itu sendiri.
Artinya buah pikiran para pujangga Yunani misalnya, dapat dimanfaatkan
bila menceritakan suatu prestasi yang baik, namaun kaum muda sebaiknya
melangkahi bagian-bagian yang menggambarkan prilaku yang buruk, bahkan
wajib menghindari diri dari gambaran-gambaran seperti itu. Singkatnya Basil
mengajak agar semua bacaan itu dipertimbangkan dan ditinjau dari sudut
pandang kehidupan Kristen untuk mencari prilaku yang selaras dengan Injil
Kristus dan apa saja yang mendorong pengamalan kebajikan. Jadi
kesimpulannya bahwa Basil beranggapan bahwa tidak ada pertentangan
pokok antara karangan kafir yang mutunya paling tinggi dan isi alkitab itu
sendiri. Contoh, cara Sokrates bertindak sesudah dahinya ditinju oleh
seorang yang kasar. Ia tidak memberikan balasan yang setimpal. Ia hanya
menuliskan nama orang yang kasar itu pada dahinya yang kena tinju. Bagi
Basil, perilaku Sokrates itu sesuai dengan nasiht yang diberikan Yesus,
“Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu” (Mat.
5:39). Dengan demikian keseluruhan sumber-sumber pikiran Basil berasal
dari tulisan-tulisan pengarang kafir, khususnya Plato, tetapi juga dari surat-
surat karangan rasul Paulus. Jadi dalam diri Basil ketegangan antara Injil dan
kebudayaan tidak pernah teratasi secara tuntas, tetapi diredakan sesuai
maksudnya.

Tantangan ketiga, gereja purba ditantang untuk menjernihkan pengakuan


imannya di tengah aliran-aliran keagamaan dan intelektual yang dikenal
dalam dunia Yunani-Romawi pada zaman itu. Misalnya, Gnostik (Yun gnosis
yang berarti pengetahuan). Tetapi pengetahuan itu bukan sesuatu yang
dapat diperoleh sebagai akibat usaha mempelajari sumber-sumber tertentu,
melainkan ia terima langsung dari dunia sorgawai oleh orang-orang yang
terdidik dalam misteri aliran itu. Jadi Gnostik ini condong menantang gereja
menggumuli ulang arti penyataan Allah dan hubungan-Nya dengan manusia;
Mitraisme, yaitu pemahaman tentang dewa Mitra yang dianggap lahir dari
sebuah batu. Sekitar abad pertama sebelum masehi agama ini telah
15
disebarkan sejauh kota Roma sendiri. Di sana dewa Mitra digabungkan
dengan dewa matahari dan menerima gelar baru yaitu dues Sol invictus
Mithras yaitu dewa matahari mitra yang tak terkalahkan. Hari ulang
tahunnya dirayakan pada setiap tanggal 25 Desember. Para pemimpin gereja
pada masa itu ditantang keras oleh daya tariknya yang mampu
menyelewengkan para warga dari iman sebagai mana diajarkan gereja;
Aliran lain bernama Neo Platonisme, bersifat filsafat berasal dari kota
Aleksandria di Mesir pada abad ke -3 M. Di sana berkumpul para ilmuwan
yang bermaksud membangkitkan kembali ajaran Plato. Mereka ingin mencari
kenyataan paling tinggi dan sekaligus pula menemukan jalan untuk mencapai
kenyataan itu. Mereka memisahkan tubuh dan jiwa. Tubuh binasa dan jiwa
kekal. Selama manusia hidup jiwa terpenjara dalam tubuh. Jiwa itu akan
terlepas ketika manusia mengalami kematian. Saat itu jiwa akan kembali
kepada Allah. Sebagaian dari pengajaran itu masuk ke dalam orang-orang
Kristen, misalnya pandangan terhadap maut dalam arti mayat diserahkan ke
kubur sedangkan jiwanya dikirim ke sorga.

Tantangan Keempat, sehubungan dengan tuduhan-tuduhan yang


dialamatkan kepada orang Kristen untuk meremehkan iman dan gaya hidup
para warga Kristen. Tuduhan pertama, orang Kristen dituduh tidak ber-
Tuhan karena dalam kebaktian tidak ada patung-patung. Tuduhan ini
dijawab oleh Aristides, salah seorang pemikir Kristen dari abad ke-2. Ia
menjelaskan mengapa dalam upacara kebaktian Krsiten tidak ada patung
karena orang Kristen melayani Allah yang tidak dibuat oleh tangan manusia.
Jadi tidak mungkin Allah dilambangkan melalui patung-patung apapun;
Tuduhan kedua, orang kristen dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
Orang Kristen condong menarik diri dari semua upacara umum yang bersifat
keagamaan misalnya, tidak hadir dalam pertandingan berdarah di Koloseum
melainkan orang Kristen selalu berkumpul secara rahasia di dalamnya
mereka minum darah dan makan daging - yakni darah dan daging anak bayi
manusia sendiri - tatkala mereka beribadah. Artinya orang Kristen dituduh
menggugurkan kandungan untuk keperluan upacara tersebut. Atas tuduhan
ini pembelaan orang Kristen adalah bahwa mereka bukan minum darah dan
makan daging bayi manusia dalam peribadatan, melainkan mereka sedang
mengadakan Perjamuan Kudus dengan minum anggur sebagai simbol darah
Kristus dan makan roti sebagai simbol tubuh Kristus. Jadi orang Kristen tidak
16
menggugurkan kandungan untuk keperluan upacara tersebut sebab orang
percaya bergembira atas kelahiran setiap bayi baru. Dan alasan mengapa
orang Kristen tidak menghadiri pertandingan berdarah di Koloseum ialah
karena menonton apa yang terjadi di arena tidak berbeda dari turut
membunuh dari orang-orang yang kalah itu; Tuduhan ketiga, sehubungan
dengan perjamuan cinta kasih orang Kristen dituduh berzinah sebagai bagian
integral dari upacara kebaktian; Tuduhan keempat, orang Kristen dituduh
tidak setia pada negara Romawi. Hal ini berhubungan dengan teologi
Kerajaan Allah yang ditonjolkan dalam pemberitaan Injil, sehingga
kelihatannya orang Kristen memiliki hubungan dengan Kerajaan lain. Justin
Martyr ia adalah seorang pembela Kristen ternama dari abad ke-2
menyatakan pembelaannya atas tuduhan tersebut dengan memohon agar
pemerintah Romawi itu membedakan antara kesetiaan yang diberikan
kepada negeri Romawi sendiri dan kesetiaan yang diberikan kepada negeri
asing. Menurutnya, jika orang Kristen menyatakan kesetiaan kepada negeri
asing hal tersebut tidak dapat dibela. Tetapi kenyataannya paguyuban
Kristen tidak pernah memberi kesetiaan kepada negeri manapun selain
Romawi. Bukinya mereka membayar pajak, , mereka mendoakan Raja dan
negeri dan berusaha hidup damai dengan orang lain. Bila orang Kristen
menitik beratkan pada kepentingan Kerajaan Allah, mereka bukan
menentang kerajaan Romawi, melainkan menyatakan kesetiaan mutlak
kepada kerajaan yang bersifat rohani; Tuduhan kelima, bahwa agama Kristen
tidak berpendidikan karena itu cocok hanya kepada anak-anak dan wanita
yang saat itu digolongkan sebagai orang yang tidak berpendidikan. Para
pendidik Kristen berusaha keras menentang tuduhan ini. Origenes seorang
teolog abad ke-3 menjawab para penuduh melalui karyanya yang terkenal
yaitu Contra Celsum (Melawan Kelsus). Ia mencatat fakta bahwa banyak
pemimpin gereja yang dapat digolongkan dalam kelompok cendikiawan yang
tidak membatasi penyelidikannya pada sumber imannya saja, melainkan juga
mencakup juga tulisan-tulisan yang bukan dari pena iman Kristen. Ia juga
berusaha meyakinkan kaum cendikiawan kafir bahwa iman kristen
merupakan filsafat yang berintegritas dan juga suatu agama yang tinggi.

17
III.C Keprihatinan Gereja terhadap Pelayanan Pendidikan

Pada zaman gereja purba pendidikan Agama Kristen mengalami


perkembangan yang sangat luar biasa mulai berbicara dalam ranah sejarah,
dogmatika dan tindakan-tindakan ethis yang memiliki wujud nyata. Sebab
konteksnya sudah berubah. Perkembangan luar biasa itu bukan tanpa
masalah tetapi justeru gereja berada pada titik nadir akibat permasalahan
yang muncul dari dalam gereja itu sendiri. Karena itu ada beberapa
keprihatinan pada zaman itu, yakni: Keprihatinan pertama, dalam gereja
purba adalah tentang ajaran. Pertanyaan yang tetap aktual digumuli gereja
dari masa ke masa berdasarkan konteks mereka adalah : Siapakah Yesus itu
sebenarnya? Pada tahun-tahun pertama kehidupan gereja, baik tabiat
keallahan maupun kemanusiaan Yesus rupanya diterima tanpa berpikir
banyak tentang bagaimana caranya hal itu terjadi. Namun lambat laun
seiring dengan perkembangan zaman dan tantangan yang dihadapi mau
tidak mau, suka atau tidak suka orang Kriten harus merumuskan dengan teliti
hubungan kedua tabiat dalam diri pribadi Yesus itu. Tujuannya jelas yaitu
untuk menjawab tantangan yang dihadapi supaya kebenaran sejati yang
berporos kepada Yesus bukan saja dapat diterima melalui iman tetapi juga
dapat dijelaskan secara logis. Dan proses tersebut membuat kekristenan saat
itu berada pada titik nadir sebab pertengkaran tentang hakekat Yesus terjadi
yang bermuara pada perpecahan dalam kerangka mendukung pendapat para
pemimpin golongan masing-masing.

Situasi ini tentunya bisa saja mengganggu ketentraman Negara. Untuk


menjaga agar hal itu tidak terjadi, Raja Konstantinus memprakarsai konsili di
kota Nicea pada tahun 325 M. Keputusan yang diambil oleh para utusan
dalam konsili tersebut merupakan rumusan yang condong diterima oleh
kebanyakan orang Kristen yaitu Kristus mempersatukan dalam diri pribadi-
Nya baik tabiat manusia yang sungguhan maupun tabiat yang ilahi. Itulah
sebabnya dalam dogma Kristen hingga saat ini kita mengakui bahwa Yesus
itu seratus persen manusia dan seratus persen Allah.

Keprihatinan kedua, disamping mengajar anggota jemaat tentang tabiat


Yesus, jemaat-jemaat gereja purba juga mengajarkan iman mereka melalui isi
nyanyian rohani yang menjadi bagian dari kebaktian mereka bersama. Fakta
ini dicatat oleh Eusebius, seorang ahli sejarah gereja purba yang mengarang
18
sekitar tahun 325M. Orang pertama menerapkan hal ini adalah seorang
pendeta Siria bernama Efraim (kira-kira 306-373 M). Ia sengaja mengajarkan
jemaatnya melalui nyanyian rohani: Dengan isi nyanyian rohani itu iman
jemaat diakui dan semangat menyanyi itu didorong oleh penggunaan musik
oleh lagu-lagu popular. Hasilnya ialah bahwa orang-orang Kristen suka sekali
menganjurkan nyanyian rohani dengan isi iman ortodoks yang disusun oleh
Efaraim. Apa yang dipelopori Efraim akan diteruskan dan kemudian hari
sebagai kegiatan mutlak dalam kebaktian. Kira-kira dua belas abad kemudian
pelayanan Efraim akan menerima bentuk yang baru lewat bakat dan
keyakinan teologis Martin Luther yang mengajrkan jemaatnya melalui
partisipasinya dalam menyanyi dan tidak hanya mendengar nyanyian yang
dinyanyikan oleh paduan suara.

Keprihatinan Ketiga, sehubungan dengan pola hidup jemaat. Warga gereja


purba mengajarkan imannya melalui gaya hidup mereka. Disatu sisi, pola
hidup mereka sangat menarik sehingga banyak orang kafir tertarik oleh
gerakan keagamaan baru ini. Sekalipun demikian adanya, rupanya pemimpin
Kristen kurang puas dengan mutu kehidupan anggota-anggota jemaat. Itulah
sebabnya muncul tulisan-tulisan untuk menuntun orang Kristen hidup dalam
kasih sebagai salah satu pondasi hidup orang percaya. Salah satunya adalah
Didakhe yang ditulis pada abad kedua oleh seorang yang tidak ketahui
namanya. Dalam tulisan itu penulis menjabarkan keseluruhan kehidupan
Kristen ke dalam dua jalan principal yaitu Jalan maut dan Jalan kehidupan.
Hal ini berdasarkan Khotbah di Bukit dalam Matius 5-7. Intinya adalah
mengajar jemaat untuk mengasihi Allah dan sesama sebagai jalan
kehidupan. Jalan maut merupakan prilaku buruk seperti pembunuhan,
perzinahan, penyembahan berhala.

Polikarpus, uskup di Smirna dalam suratnya yang dikirim kepada jemaat


Efesus juga menekankan pada pola hidup Kristen yang harus dikedepankan.
Ia mendesak orang Kristen untuk saling mengasihi serta meniru prilaku
Yesus, Tuhan yang dilayani sebagai Tuhan. Mereka hendaknya menjauhkan
diri dari semua tindakan yang merendahkan nama Kritus, khususnya dalam
urusan keuangan. Hal ini sebagai tanggapan atas masalah yang ditimbulkan
oleh seorang pemimpin jemaat yang memanfatkan jabatannya untuk
memperkaya diri sendiri.

19
Keprihatinan ketiga, tentang pentingnya doa dan cara berdoa. Para
pemimpin gereja mengarahkan jemaat untuk tekun berdoa. Dalam Didakhe,
para pembacanya dinasehatkan untuk berdoa dengan jalan mengucapkan
Doa Bapa Kami tiga kali sehari. Juga sesudah makan orang Kristen harus
mengucap syukur kepada Tuhan. Hal ini jug ditekankan oleh Hippolitus, bapa
gereja dari abad kedua dan ketiga. Ia menggariskan pedoman dalam hal
berdoa. Misalnya, setiap waktu orang Kristen hendaknya berdoa sebelum
mulai bekerja. Dalam pola doa ia mengajak orang Kristen untuk berdoa
mengikuti kisah kesengsaraan Yesus saat disalib yaitu berdoa pada jam
sembilan karena waktu itu Tuhan Yesus sedang mengalami penyaliban-Nya.
Berdoa jam 12 untuk mengingat kegelapan yang terjadi di seluruh daerah itu
pada saat Yesus disalib. Berdoa. Berdoa jam 15 sebagai doa syukur karena
penderitaan Yesus diakhiri. Hippolitus juga menyarankan agar orang Kristen
berdoa lagi sebelum tidur dan persis pada jam 24.00. Jam terakhir ini
ditekankan karena pada waktu itu seluruh ciptaan beristirahat.

Mungkin sedikit orang-orang yang mengikuti saran-saran Hippolitus; tapi


tulisannya menununjukkan bahwa pengajaran tentang doa merupakan
bagian yang mutlak dari PAK.

Keprihatinan keempat, tentang puasa. Praktek berpuasa mendapat perhatian


pengarang Didakhe.

III.D Implikasi

Dewasa ini ada banyak tantangan yang dihadapi gereja salah satunya
adalah kebudayaan. Bagaimanakah sikap gereja terhadap kebudayaan? Pada
dasarnya gereja berupaya mengembangkan teologi kontekstual supaya
kebudayaan dapat dijadikan kekayaan dalam bertelogi yang bermuara pada
satu tujuan bahwa Allah dimuliakan dalam suatu budaya. Tapi pada
kenyataannya sebagaian jemaat lebih mengutamakan tuntutan-tuntutan
kebudayaan dari pada gereja. Misalnya jemaat tidak hadir dalam ibadah
karena ada acara adat. Ini tantangan sebagian jemaat GPIB sebab jemaat
GPIB sangat majemuk.

20
III.D LIMA PENDIDIK BESAR

Ada lima pendidik besar yang berpengaruh dalam memberikan sumbangan


pedagogis pada gereja purba orang .

III.D.1 Clementus (150-215)

Clementus lahir di kota Atena dan meninggal di Palestina. Ketika


berumur 13 tahun ia masuk sekolah Katekisasi di Alexandria dan belajar di
bawah bimbingan Pantaenus. Clementus memiliki seorang murid yang
terkenal bernama Origenes. Clementus sangat rajin dalam usaha menjadi
pemikiran Kristen dengn kebudayaan Yunani sebagaimana diwakili dalam
tulisan-tulisan Homerus, Plato dan kaum filsuf Stoa. Sungguhpun demikian, ia
tidak bermaksud mengurangi kemutlakan Kristus, malahan justeru
sebaliknya.

Gagasan pokok dibidang PAK dijelaskan Clementus dalam tiga karyanya,


yaitu: Protrepikos (Nasihat yang Disampaikan kepada Kaum Kafir),
Paidagogos (Sang Pendidik, yaitu Kristus) dan Stomateis (Bunga Rampai).
Dari ketiga karyanya itu buah-buah pikirannya dibidang PAK yang paling
matang terdapat dalam Paidagogos.

Pokok-pokok pikiran Clementus adalah

- Tentang pengajar, bahwa sang pengajar yang memainkan peranan


paling utama dalam pendidikan agama Kristen bukan seorang yang
berdiri di depan kelas, siapapun dia. Pendidik utama tidak lain
daripada Firman Allah, yaitu Yesus. Artinya bahwa Tuhan yang dikenal
dalam Yesus dari Nazaret itu bertindak dalam diri seorang guru dan
pengetahuannya, baik kebutuhan pelajar maupun pengalamannya,
agar pengalaman belajar-mengajar itu dijadikan pengalaman yang
menyelamatkan para pelajar dari kesalahan dan serentak membimbing
mereka sehingga memeluk kehidupan yang sejati, yaitu berhubungan
dengan Allah sendiri. Sebagai Guru, Firman itu menjelaskan serta
menyatakan bahwa takut akan Tuhan mengajar seseorang dalam
pelayanan Allah, mendidik seseorang dalam pengetahuan kebenaran,
dan membimbing dengan jalan yang menuju langsung ke sorga.
Dengan kata lain bahwa pengetahuan bukanlah tujuan pokok,

21
melainkan pengetahuan itu dimaksudkan sebagai sarana untuk
kenyoroti prilaku yang sesuai dengan Yesus sebagai teladan bagi
orang-orang Kristen.
- Boehlke memberikan pertanyaan penting dari pemikiran Clementus
(lihat kutipan perkataan Clementus hal 104) tentang hubungan
pekabaran Injil dan pendidikan. Apakah dengan pendidikan itu orang-
orang bertobat dan menerima Kristus, atau apakah mereka harus lebih
dahulu mendengar Injil, bertobat, dan sesudah itu baru dapat diajar?
Rupnya Clementus tidak menarik garis pemisah yang lebar antara
kedua pelayanan itu, karena Kristus, Sang Pengajar itu, terlibat dalam
kedua-duanya.
- Sehubungan dengan identitas para “pelajar” tidak dibatasi oleh
golongan umur tertentu. Semua orang yang menganggap Allah betul-
betul Bapa mereka, berapapu usinya, adalah pelajar. Satu-satu syarat
yang diperlu, tidak lain daripada kemauan untuk diajar.
- Tujuan PAK. Sekalipun tujuan PAK tidak dikemukakan secara langsung
namun berdasarkan isi tulisannya dapat disimpulkan bahwa Clementus
ingin menghasilkan seorang Kristen yang mewujukan dalam diri
pribadinya sifat yang paling kaya yang berasal dari Injil dan dari
kebudayaan Yunani.
- Kurikulum yang dipakai guru sekolah katekismus di Alesandria tempat
Clementus mengajar dan memimpin adalah lebih luas dari vak-vak
teologi saja. Selain teologi dan vak-vak lain yang bersangkut-paut
dengan agama, para pelajar juga diajarkan vak umum seperi ilmu
hitung, filsafat, ilmu bintang, musik dan berpidato. Tujuannya agar
tamatan sekolah tinggi itu diharapkan mampu berpikir mendalam
tentang berbagai masalah sama seperti pelajar bukn Kristen, bahkan
lebih mendalam lagi.

III.D.2 Origenes (185-224)

Origenes adalah seorang guru dan sekaligus rektor sekolah katekismus di


Aleksandria. Melalui perannya sebagai seorang guru, sekolahnya berhasil
menjadikan kota Aleksandria dikenal sebagai pusat penelaahan ilmiah.
Dalam diri Origenes sebagai orang Kristen tergabung buah filsafat Yunani dan
iman alkitabiah. Pandangannya tentang filsafat ialah filafat dihargainya

22
sebagai alat untuk menolong orang-orang menjernihkan pemikiran, tetapi
filsafat itu kurang bobotnya untuk memperoleh pengetahuan yang ilahi. Yang
diperlukan ialah prakarsa Allah yang sudah ada dalam Alkitab dan Yesus yang
diurapi.

Dari segi filsafat Yunani dan terutama yang dikemukakan Plato, Origenes
menerima gagasan tentang dua tingkat kenyataan, yaitu kenyataan yang
selalu berubah dan kenyataan rohani yang sama selama-lamanya. Jadi orang-
orang keliru apabila hanya memusatkan perhatian pada hal-hal jasmani saja,
sebab pada akhirnya dunia itu kurang mampu memenuhi semua harapan.
Lebih keliru lagi ialah jika orang mengabdikan diri pada dunia yang fana dan
melalikan kekayaan yang terkandung dalam dunia rohani yang sama selama-
lamanya. Berdasarkan pemahaman Plato ia jug memahami bahwa dunia
gagasan abadi yang paling nyata. Oleh karena itu baik benda maupun
gagasan itu bersifat rohani, pengalaman memperoleh pengetahuan dapat
terjadi melalui proses berpikir. Bagi Origenes akal manusia mempunyai
kemungkinan teramat kaya raya, tetapi ia juga yakin bahwa kemampuan
daya berpikir manusia itu juga terbatas. Itulah sebabnya mengapa manusia
memerlukan penyataan dari Allah melalui Alkitab dan Yesus Kristus. Dengan
kemampuan yang dimilikinya, Origenes mengembangkan metode penafsiran
Alkitab disebut: metode penafsiran Alegoris atau metode ibarat. Artinya,
nats Alkitab itu dijelaskan untuk mendukung pendapat penafsir sendiri
mengenai arti yang dimaksud penulisnya. Baginya metode alegoris amat
tepat sebab dengan begitu arti tersembunyi di bawah permukaan perikop itu
dapat dibebaskan. Inilah salah satu tugas pokok seorang guru PAK yaitu
menolong para pelajar memahami arti yang dibukakan melalui pendekatan
alegoris tersebut. Sekalipun pendekatannya sebagai penafsir alegoris tidak
diterima lagi karena alasan subyektivitas namun sumbangannya sebagai
seorang guru amat bermakna, seperti yang terjadi pada salah seorang
muridnya bernama Gregori Thaumaturgus.

III.D.3 Hieronimus (345-420)

Hieronimus adalah seorang muda yang hidup pada abad ke-4 dan berasal
dari kota Antiokhia. Ia juga seorang guru terutama mengajar kaum wanita
Romawi golongan elit. Sekalipun mereka sudah mendapat pendidikan umum
yang memadai namun mereka sadar mereka sangat kurang dalam bidang
23
pengetahuan tentang sumber iman Kristen yaitu Alkitab. Hieronimus
bersedia mengajar para perempuan ini untuk melengkapi pengetahuan
mereka.

Ada beberapa pandangan Hieronimus tentang pendidikan anak-anak:

- Pendidikan anak dititik fokuskannya pada PENGARUH LINGKUNGAN.


Lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Karena itu
keprihatinan Hieronimus adalah mengendalikan lingkungan luas anak
(Paula) secara total. Ia berkata: “Kita selalu bersedia meniru apa saja
yang buruk, dan sesuatu yang salah serta merta kita pelajari, tetapi
kebajikan jauh di luar jangkaun kita.” Contoh misalnya: Paula, seorang
anak perempuan yang dinazarkan oleh kedua orang tuanya bernama
Laeta (ibunya) dan Gaudentius (ayahnya) bahwa hidupnya diabadikan
kepada Tuhan sehingga hidup selanjutnya sebagai seorang perawan;
supaya cita-cita itu tercapai maka Paula tidak boleh bermain dengan
anak laki-laki agar kata-kata kasar jangan didengar dan kelakuan buruk
jangan dilihatnya. Sebagai asas umum, Hieronimus menyebut sesuatu
yang masih merupakan prinsip pedagogis yang berlaku sampai
sekarang : “Jadi, janganlah ia sebagai seorang anak belajar sesuatu
yang harus dihapuskan atau ditolak di kemudian hari.
- Asas lain yang masih relevan adalah pengalaman belajar hendaknya
merupakan sesuatu yang dinikmati oleh anak didik. Denagn demikian
setiap anak didik berbuat sesuatu yang memuaskan, maka sebaiknya
prestasi itu dipuji oleh gurunya. Sebab pujian bisa saja menjadi hadiah
yang disukai anak.
- Hieronimus sadar juga bahwa orang condong belajar lebih cepat
sebagai anggota kelompok daripada seorang diri saja. Dengan
mendengar atau melihat anak-anak yang sebaya, maka ia akan
didorong untuk belajar lebih rajin lagi,
- Hukuman tidak boleh diberikan kepada anak jika belum mampu
menangkap atau berbuat sesuatu yang masih sulit baginya.

Ruang lingkup pendidikan Hieronimus terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu
penggunaan bahasa, baik Yunani maupun latin; pengetahuan dan
pengalaman rohani; dan akhirnya keterampilan memintal, menjahit dan
sebagainya.
24
Pengertian Hieronimus tentang pengajaran “agama” adalah:…. (baca: hal.
112). Berdasarkan pengertiannya tersebut ia tidak mengajarkan Alkitab
secara “kronologis” yaitu dari kejadian sampai Wahyu, malahan sebagai guru
yang bertanggung jawab ia memilih kurikulumnya berdasarkan alasan yang
dianggapnya meyakinkan yaitu dengan memulai dari kitab-kitab yang
memenuhi kebutuhan untuk beribadah dan hidup (Mazmur, Amsal,
Pengkhotbah, Ayub); kemudian si pelajar diperkenalkan dengan keempat
Injil, kitab-kitab lain dari PB; baru kemudian dengn sisa dari PL.

Hieronimus tetap antusias untuk membaca tulisan-tulisan dari orang-


orang yang bukan Kristen, namun ia tetap waspada mana boleh dipakai
mana yang tidak. Sebab baginya pendapat dan pengertian orang bukan
Kristen juga diperlukan untuk memahami masalah manusia dan dunianya.

III.D.4 Yohanes Chrysostomus (347-407)

Yohanes adalah pendidik gereja. Ia lahir pada tahun di kota Antiokhia,


dikemudian hari digelari Chrysostomus artinya “mulut kencana” dan “Maha
Guru di Dunia”. Gelar pertama melambangkan kemampuannya sebagai
seorang pengkhotbah; gelar kedua untuk mengingatkan betapa besar
sumbangan Chrysostomus dibidang pendidikan gerejawi. Ia memiliki seorang
ibu Kristen. Ia ditahbiskan sebagai pendeta pada tahun 386. Akibat gaya
berkhotbah dan isi khotbahnya banyak orang yang tertarik pada gereja. Pada
zamannya orang lebih suka menghadiri kebaktian di gereja tempat
Chrysostomus berkhotbah ketimbang menonton atraksi di stadion.

Buah-Buah pikiran Chrysostomus tentang pendidikan kaum muda


dituangkan dalam karya tulisannya berjudul: “Jalan yang Layak bagi Para
orangtua untuk Mendidik Anaknya. Baginya tujuan PAK pada akhirnya adalah
untuk mendidik seseorang menjadi olahragawan bagi Kristus. Rupanya ia
terinspirasi dengan cara seorang olahragawan melatih diri atau dilatih. Ia
berkata: ….“ Besarkanlah seorang olahragawan bagi Kristus, dan didiklah ia
sejak kecilnya bertindak sopan serta menghormati segala kehidupan,
khususnya hal-hal yang bersifat rohani, meskitpun ia harus tetap tinggal
dalam dunia ini.”

25
Bagi Chrysostomus lingkungan luas atau konteks perlu ditekankan. Yang ia
maksudkan bukan jemaat tetapi keluarga yaitu suasana yang dipupuk oleh
orangtua sendiri. Hal itu disebabkan karena orangtua lebih suka memberi
perhiasan emas kepada anak-anak. Bagi Chrysostomus bukan emas yang
diperlukan anak-anak melainkan bimbingan dari orangtua yang bijaksana.
Jadi untuk mengembangkan suasana yang menghasilkan anak yang baik itu
menuntut usaha dari pihak orangtua.

Asas penuntun yang akan menyoroti keseluruhan “kurikulum ialah panca


indera anak didik. Chrysostomus menganalogikan anak didik dengan sebuah
kota. Menurutnya: “Keseluruhan tubuh adalah tembok kota itu. Pintu
gerbangnya dinamakan mata, lidah, pendengaran, indera penciuman dan
indera peraba. Melalui pintu gerbang inilah masuk keluar para warga kota,
atau denga kata lain, melalui pintu gerbang ini pikiran-pikiran dirusakkan
atau sebaliknya dibimbing menuju yang baik.” Intinya disatu sisi ia lebih
mengutamakan pengalaman dan kebutuhan anak didik daripada
penyampaian sejumlah pengetahuan tertentu; tetapi dipihak lain ia
bermaksud mengendalikan perilaku para pelajar yakni:

- Pintu gerbang pertama adalah pengucapan lisan, artinya setiap anak


harus mengendalikan segala sesuatu yang diucapkan.
- Pintu gerbang kedua adalah pendengaran, artinya setiap orangtua dan
guru harus menjaga pendengaran anak supaya apa yang masuk
ditelinganya turut membangun wataknya bukan merusaknya.
- Pintu gerbang ketiga yaitu indera penciuman, artinya dapat menghirup
wangi-wangian yaitu udara segar untuk menjaga ketegangan dalam
diri seorang anak.
- Pintu gerbang keempat Penglihatan atau mata dimaksudkan agar anak
hanya melihat pemandangan alam yng indah atau hal-hl yang baik.
- Pintu gerbang kelima indra peraba, dimaksudkan adalah meliputi
semua badan.Namun pada pokoknya ia hanya dikaitkan dengan
pakaian. Hal ini berhubungan dengan gaya hidup yakni pola hidup
sederhana.

26
III.D.5 Agustinus

Agustinus adalah teolog yang dihormati, baik oleh gereja Katolik Roma
maupun Protestan. Ia lahir di Afrika Utara. Ibunya seorang Kristen bernama
Monika. Sekalipun ia dididik dalam iman Kristen namun pada masa periode
tertentu ia bertumbuh dalam jiwa yang labil artinya belum menerima Kristus
seutuhnya. Itu juga menjadi alasan mengapa ibunya belum mau membawa
anaknya untuk dibaptis karena ia tahu masih banyak dosa yang akan
dilakukannya. Puncak pergumulan pribadi Agustinus berakhir di suatu taman
ketika ia mendengar “suara” memerintahnya untuk membaca. Apa yang
harus dibacanya? Tidak jauh dari tempat itu ia melihat Surat Paulus kepada
jemaat di Roma. Saat itulah hidupnya mengalami perubahan besar. Ia
bertobat dan mengabdikan diri kepada Kristus. Jadi Agustinus adalah tokoh
raksasa pertama dalam sejarah gereja yang diubah secara mendalam oleh
surat Roma. Tugas pertama yang diberikan kepada Agustinus adalah menjadi
kepala sekolah kateketika (perguruan tinggi Kristen). Namun tugas itu
ditolaknya. Sesudah masuk agama Kristen ia mengumpulkan buku-buku
tafsiran Alkitab, karya dogmatis, sejarah gereja dsb. Dengan intelek yang
begitu besar menghantarnya enjadi penulis yang handal. Dibidang PAK
terdapat tiga buku yang paling penting yaitu: De Doctrina Christiana (Ajaran
Kristiani), De Magistra (Sang Guru) dan De Catechizandis rudibus
(Mengkatekisasi Orang yang Belum Dididik).

Pemikiran Agustinus tentang pendidikan berakar dalam refleksinya


sebagai seorang Kristen dan pendidik yang ia alami dulu, bidang filsafat,
khususnya Plato dan misteri anugerah Allah yang dinyatakan melalui Alkitab
dan Yesus Kristus. Menurut Plato, kebenaran sudah ada dalam diri manusia
walaupun masih tersembunyi, tetapi melalui pendidikan kebenaran itu
ditarik keluar. Pendapat Plato ini disimpulkan oleh Agustinus bahwa apabila
gagasan asasi yang dikemukakan Plato digembleng ulang dalam terang Injil,
maka terdapat persamaan antara gagasan kebenaran itu dan Allah. Bahwa
“Kebenaran itu datang dari Allah. Kebenaran-Nya yang abadi itu, Yesus
Kristus, hidup dalam akal-akal orang yang sudah siap untuk menerima Dia.
Kristus adalah Gurubatin untuk semua orang yang dapat atau rela
mendengarkan suara-Nya.” Kesimpulan yang diambil dari asas itu ialah
bahwa si pelajar “…diajar bukan oleh kata-kat saja, melainkan oleh segala

27
apa yang dinyatakan secara batin kepadanya oleh Allah. Dengan kata lain
kita harus percaya sebelum kita dapat berpikir secara mendalam. Jadi orang
tidak belajar tentang kebenaran agamawi itu dengan jalan “diisi dari luar”,
malahan penerimaan kebenaran tersebut memerlukan respon pribadi
terhadap Allah. Demikianlah arti kutipan terkenal dari Agustinus: “Ya Allah,
Engkau telah menciptakan kami bagi Dikau sendiri, dan hati kami merasa
kurang tenteram sebelum ia berhenti bergumul dan merasa tenteram dalam
Tuhan sendiri.”

Dalam De Magistera Agustinus juga mengakui tidak memadainya kata-


kata sebagai alat untuk mengajar karena pengalaman belajar-mengajar yang
paling mendalam berkaitan dengan usaha manusia agar mengenal Allah dan
diri pribadi si pelajar itu sendiri.

Bagi Agustinus tujuan seorang terpelajar adalah memperoleh hikmat. Namun


hikmat yang dimaksud adalah bukan hikmat kaum filsuf kafir, melainkan
hikmat yang diilhami oleh penyataan Allah di dalam Yesus Kristus. Jadi
disimpulkan bahwa Tujuan pendidikan Kristiani adalah menghantar para
pelajar untuk memupuk kehidupan rohani, membuka diri pada firman Tuhan,
memperoleh pengetahuan tentang perbuatan Allah yang dilaporkan dalam
Alkitab dan bacaan lainnya agar dengan demikian mereka mengalami
hikmat, suatu pengalaman yang di dalamnya terkandung kesalehan,
persekutuan dengan Allah, kebahagiaan pribadi, pengetahuan dan
pengertian serta kemampuan untuk hidup sebagai warga gereja dalam suatu
masyarakat umum.

Berdasarkan pemikiran dalam pengalaman belajar-mengajar, paling tidak


ada tiga keprihatinan Agustinus yaitu: Pertama, keadaan manusia yaitu
bahwa ia seorang mahkluk yang berdosa dan Karena itu berbuat dosa. Dosa
inilah yang menjadi penghalang untuk melihat kebenaran dari Allah. Karena
itu hati yang ternoda itu harus ditahirkan lebih dahulu melalui perintah yang
menyengat antara lain Kesepuluh Firman; Kedua, Perbedaan perkembangan
setiap pribadi. Meskitpun semua pelajar menjadi percaya namun cara
pendekatan yang dipakai guru tidak sama. Agustinus mengutamakan bahwa
gaya mengajar seorang guru perlu disesuaikan dengan sifat khas dari setiap
pelajar. Jadi sebelum mengajar seorang guru perlu mengetahui latar
belakang masing-masing pelajar, misalnya pengalaman pedagogisnya
28
(berpendidikan sedikit atau banyak) dsb. Jadi intinya sebelum mengajar
seorang guru perlu berdialog dengan setiap pelajar untuk mengenal dia
secara pribadi dan juga untuk mengetahui tahap pengertian iman Kristennya;
Ketiga, peranan guru dalam pendidikan. Dasar pemikiran Agustinus tentang
sang guru bahwa Alla-lah guru yang utama. Dengan demikian ada tanggung
jawab dari seorang guru ketika ia hendak mengajar. Guru sendiri wajib
merencanakan pengalaman belajar misalnya, ururtan berbagai sumber yang
diajarkan, metode mana yang akan dipakai, mempersiapkan diri sebaik
mungkin, mengusahakan gaya hidup sendiri dengan apa yang diajarkan, dsb.

Dari segi isi pelajaran atau kurikulum, Agustinus menentang semua


kecondongan mengotakkan pelajaran dalam yang disebut “sekuler” dan
disebut “agamawi” atau “kristiani”. Jadi tidak ada pemisihan antara vak yang
umum dan agamawi. Semua vak harus disoroti dari iman Kristen.

Dari segi metode, apabila Agustinus mengajar ia condong memanfatkan dua


metode pokok yaitu: penjelasan panjang lebar yang dibawakan secara lisan
dan suatu pendekatan dialogis.

Agustinus memahami bahwa dalam dirinya telah dipersatukan jabatan


pengelolaan gerejawi yaitu teolog dan pendidik. Baginya seorang pendeta
bukan hanya pengkhotbah saja tetapi juga sebagai pengajar.

III.D TIGA MACAM PEDAGOGI POKOK

Berangsur-angsur Gereja Purba mengembangkan tiga wadah pokok yang


dipakai untuk mendidik pra warga jemaat, yaitu :

III.D.1 Kebaktian Umum

Sebagian gaya hidup bersama selaku persekutuan yang beribadah


diambil dari pengalaman di rumah ibadah Yahudi (sinagoge) dan dari
sejumlah upacara rahasia yang dilakukan oleh agama misteri Yunani,
misalnya Mitraisme. Ketika jemaat Kristen terbentuk, kedua tradisi tersebut
diolah menjadi sesuatu yang baru, yaitu liturgi gerejawi. Dari warisan liturgy
Yahudi itu persekutuan Kristen menerima kebiasaan memuji Tuhan melalui
doa yang diucapkan dan mazmur-mazmur yang dinyanyikanbersama

29
disamping keperluan agar jemaat dididik oleh Firman yang dibaca yaitu kitab
suci dengan penjelasannya. Pada pokoknya dimensi pedagogis dlam bagian
pertama dari liturgy , dlam arti jemaat semuanya sedang dididik, baik atas
orang-orang yang sudah disidi maupun para katekumin yaitu yang ingin
diterima sebagai anggota yang sah.

Setelah tahap pendidikan itu, katekumin disuruh sebab mereka belum


berhak mengambil bagian dalam misteri Perjamuan Kudus. Keputusan
membatasi perayaan Perjamuan Kudus hanya kepada orang-orang yang
sudah disidi rupanya berasal ari warisan agama-agama misteri. Setelah
mereka keluar maka yang tinggal merayakan misteri seluruh kehidupan dan
pekerjaan Tuhan Yesus yang menyelmatkan itu.

III.D.2 Wadah Katekumenat

Pada zaman gereja purba orang-orang dewasa yang belum dibaptis yang
ingin mengabdikan diri pada Kristus mereka harus melewati proses
pembelajaran. Peserta ini disebut katekumen. Proses ini berpola pada tiga
perikop kitab Kisah Para Rasul. Pertama, Pada hari Pentakosta Rasul Petrus
berkhotbah sebagai akibatnya hati mereka sangat terharu. Lalu mereka
bertanya: apakah yang harus kami perbuat? Saat mereka menyatakan minat
atau motivasinya inilah tahap kedua. Kemudian Petrus menjawab,
“Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu di baptis
dalam nama Kristus untuk pengampunan dosamu… (Kis 2:38). Tetapi
sesungguhnya merek belum langsung dibaptis; Tahap ketiga, mereka harus
memperlihatka suatu kehidupan yang berbeda yaitu berusaha hidup dalam
kekudusan; Setelah itu barulah masuk tahap keempat, mereka memberikan
dirinya dibaptis.

Sekitar abad ketiga, gereja semakin sadar akan pentingny pelayanan


pedagogis. Karena itu ditentukanlah persyaratan yang lebih ketat yang harus
dipenuhi para calon katekumenat sebelum diterima dlam persekutuan
kristiani. Para calon katekumenat tidak diterima begitu saja. Mereka harus
diperkenalkan kepada mereka oleh penyokong atau wali mereka. Setelah
mereka diterima sebagai calon katekumin, dalam kebanyakan jemaat
mereka diajar pada kebaktian pagi Selama tiga tahun.

30
III.D.3 Wadah Sekolah Katekisasi

Sekolah ini pada zaman gereja purba merupakan perguruan Kristen


yang pertama. Jadi bukanlah semacam kelas katekisasi yang dikenal dalam
gereja Protestan sekarang. Kurikulumnya mirip dengan tiga macam fakultas.
Awalnya sekolah katekisasi dapat dikatakan sebagai Fakultas Sastra karena
dalam kuliah penekananya adalah bahasa, sastra dan filsfat; tetapi karena
daam kuliah mahasiswa mendapat ilmu ukur, ilmu bintang, ilmu hayat
sehingga dapat disebut Ilmu Sains atau pengetahuan. Namun karena
maksudnya yang paling utama merangkum kuliah tentang Alkitab,
penafsirannya, dogmatika, etika dan filsafat, intinya lebih dekat dengan
Fakultas Teologi.

IV. PENUTUP

Demikianlah pemaparan Pendidikan Agama Kristen pada masa


Perjanjian Baru dan zaman Gereja Purba. Pada dasarnya PAK di dua
zaman ini mengalami suatu perkembangan yang berkesinambungan.
Konteksnya sungguh-sungguh mempengaruhi teori yang dimunculkan.
Ide-ide tersebut memampukan kita untuk mengetahui suatu peristiwa
terjadi, seperti dikatakan Jonathan H. Tuner. Dan yang lebih
mengesankan lagi adalah bahwa apa yang tercetus saat itu dapat terlihat
implikasinya dalam kehidupan gereja pada masa kini.

31

Anda mungkin juga menyukai