Anda di halaman 1dari 27

PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MELAKSANAKAN BIMBINGAN KONSELING

TERHADAP SISWA KRISTEN YANG RENDAH DIRI DI SEKOLAH DASAR NEGERI SALATIGA 06

ABSTRAK

Advisor : Dr. Johan Biaf, M.Th dan Dyah Gumelar Kartikarini S.Th., S.Pd.K, M.Th

Peneliti: Rina Sweet home, S.PAK

Bimbingan konseling merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam proses pendidikan
sebagai suatu sistem, bahwa proses pendidikan adalah proses interaksi antara masukan alat dan
masukan mentah. Masukan alat adalah tujuan pendidikan, kerangka, tujuan dan materi kurikulum,
fasilitas dan media pendidikan, sistim evaluasi serta bimbingan konseling, sedangkan masukan mentah
adalah peserta didik. Bantuan bimbingan konseling dibutuhkan oleh siswa untuk membantu siswa
mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan masalah prestasi, pribadi dan pergaulannya agar
setiap siswa bisa lebih berkembang ke arah yang semakin maksimal.

Bimbingan konseling menjadi bidang layanan khusus dalam keseluruhan kegiatan pendidikan sekolah
yang ditangani oleh tenaga-tenaga khusus yang kompeten di bidang tersebut. Akan tetapi di Sekolah
Dasar belum memiliki tenaga khusus untuk Bimbingan Konseling sehingga guru yang melaksanakan
Bimbingan Konseling tersebut.

Salah satu persoalan yang sering dihadapi siswa di Sekolah Dasar adalah rasa rendah diri. Perasaan
tersebut menghambat prestasi belajar siswa, demikian pula dalam hal perkembangan kepribadiannya.
Khususnya di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06, beberapa siswa mengalami rasa rendah diri karena
penampilan fisik, faktor ekonomi, dan karena tuntutan orag tua.

Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui sejauh mana peranan guru Pendidikan Agama Kristen
(PAK) dalam melakukan bimbingan konseling terhadap siswa kristen di Sekolah Dasar yang rendah diri
dan faktor-faktor penyebab dari rendah diri siswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, dengan kriteria sebagai berikut : anak yang rendah diri,
bersedia menjadi subyek penelitian dan berusia 9 hingga 10 tahun. Alat pengumpul data yang digunakan
adalah wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan dengan : tranpenelitian , pengorganisasian
data, pengenalan dan koding. Pengecekan keabsahan data dilakukan melalui metode triangulasi dan
perpanjangan keikutsertaan. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa siswa kristen yang mengalami rasa
rendah diri ini perlu dilayani melalui bimbingan konseling secara khusus, agar mereka dapat kembali
menemukan rasa percaya diri mereka.

Dari ketiga subyek, subyek 1 dan subyek 2 dapat menyesuaikan diri dengan baik, sedangkan subyek 3
dapat dikatakan cukup, dalam menerima keadaan dirinya, ini disebabkan dari keempat aspek yang
dipaparkan satu aspek yang subyek tidak dapat melaksanakannya, yaitu subyek dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan subyek berusaha menutupi tanda hitam di pipinya ini dengan bedak yang tebal.
Dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dengan orang-orang di sekitar subyek serta adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat rendah diri siswa, yaitu adanya dukungan dari keluarga,
subyek yang tinggal bersama ibunya, serta subyek yang sudah lama bertempat tinggal di daerahnya.
Untuk ke tiga subyek ini, guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) memberikan layanan bimbingan secara
khusus, yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut : menerima keberadaan anak, bersikap peduli,
bersikap belas kasih, bersikap adil dan memberi keteladanan.

Dengan adanya peranan Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam layanan bimbingan konseling ini
nampak perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta didik yang mengalami rasa rendah diri. Contoh
: Subyek 2 yang awalnya sering bolos sekolah, dia mulai jarang absen, subyek 1 yang mengalami
keterlambatan dalam hal belajar, mulai ada peningkatan dalam belajar, untuk subyek 3 masih terus
dalam pengamatan.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pendidikan yang dilaksanakan dalam masing-masing lembaga pendidikan telah diatur secara nasional
dalam bentuk undang-undang. Di dalam Undang-undang sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003
bab I pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi
sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan
lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”[1].
Berdasarkan undang-undang tersebut jelas menyebutkan mengenai tenaga kependidikan yang ikut
terlibat mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat.

Lembaga Pendidikan Sekolah Dasar dalam struktur organisasinya tidak memiliki wadah khusus untuk
melaksanakan bimbingan konseling. Berbeda dengan lembaga pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) atau Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) memiliki guru yang khusus menangani bidang
konseling siswa. Padahal siswa Sekolah Dasar (SD) juga memiliki banyak hambatan dan permasalahan
baik yang bersifat akademis maupun kepribadian. Misalnya siswa kurang berminat dalam belajar,
kesulitan berkonsentrasi dalam belajar atau gangguan kepribadian seperti rasa rendah diri atau minder,
sehingga guru Sekolah Dasar (SD) harus menjalankan fungsi ganda sebagai konselor.

Edwin Charis mengatakan bahwa guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga memiliki peran sebagai
konselor bagi siswanya, baik untuk mengatasi permasalahan akademik maupun kepribadian siswa.
Peran inilah yang justru kurang mendapat perhatian kependidikan Sekolah Dasar (SD), guru hanya
menjalankan tugas sebagai pengajar saja namun kurang dalam melaksanakan fungsi bimbingan.[2]

Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan penelitian dengan judul : Peranan Guru Pendidikan Agama
Kristen (PAK) Dalam Melaksanakan Bimbingan Konseling Terhadap Siswa Kristen yang Rendah Diri di
Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06.

Salah satu contoh: siswi kelas V seringkali absen, prestasi pun menurun, kurang tanggung jawab. Setelah
peneliti mengadakan pengamatan, diketahuilah anak tersebut mengalami rasa rendah diri. Rasa rendah
diri tersebut terjadi karena anak atau siswi tersebut selama duduk di bangku sekolah mulai dari kelas I
sering kali mendapat ejekan dari teman-teman satu kelasnya dikarenakan penampilan fisik. Ejekan ini
terbawa hingga ia duduk di kelas V.
Berdasarkan pengalaman peneliti, tugas guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) tidak hanya sekedar
menyampaikan ilmu, namun juga sekaligus sebagai konselor untuk memberikan layanan bimbingan.
Bimbingan konseling ini dilaksanakan pada waktu di luar jam sekolah, misalnya setelah pulang sekolah
atau pada jam istirahat. Di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06 seperti juga di Sekolah-sekolah Dasar Negeri
lainnya, guru-guru banyak yang kurang memperhatikan layanan bimbingan konseling, tetapi lebih
cenderung memperhatikan segi kognitifnya saja.

Siswa-siswi Kristen di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06 tahun ajaran 2010/2011 berjumlah 20 orang
kelas I sampai VI dari keseluruhan 295 orang. Masalah-masalah siswa Kristen yang muncul di Sekolah
Dasar Negeri Salatiga 06 antara lain : siswa tidak mengerjakan tugas, prestasi menurun dan rasa rendah
diri. Masalah yang sering muncul adalah rasa rendah diri pada siswa Kristen. Dari hasil pengamatan,
siswa merasa malu, sering takut untuk tampil ke depan dan menjadi lebih pendiam. Hal ini dapat
disebabkan juga karena jumlah siswa Kristen yang sedikit dari jumlah keseluruhan siswa. Rasa rendah
diri ini menjadi penghambat dan memberi dampak negatif pada prestasi siswa. Siswa menjadi malas
belajar, tidak mengerjakan tugas Pekerjaan Rumah (PR) atau membolos sekolah.

Peneliti melihat bahwa guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) berperan dalam menolong siswa, dengan
mendengarkan masalah siswa, memberi nasihat berdasarkan Firman Tuhan dan memotivasi siswa dalam
mengatasi rasa rendah dirinya.

Perumusan Masalah

Melihat uraian yang diungkapkan dalam latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut :

Apa yang menjadi penyebab siswa Kristen di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06 menjadi rendah diri?

Apakah peranan guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam melaksanakan bimbingan konseling
terhadap siswa Kristen yang rendah diri di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06?

Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk :

Menjelaskan mengenai penyebab siswa Kristen yang rendah diri di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06.

Menjelaskan peranan guru dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling di Sekolah Dasar Negeri
Salatiga 06 terhadap siswa Kristen yang rendah diri.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian mencakup;

Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini bermanfaat dalam meningkatkan perencanaan secara strategis
dalam meaksanakan konseling bagi anak Sekolah Dasar yang mengalami rendah diri

Manfaat praktis

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK)

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) perlu menyediakan waktu khusus untuk memberikan perhatian
kepada siswa/peserta didiknya agar dapat menumbuhkan rasa percaya diri kepada siswa/peserta yang
mengalami rasa rendah diri

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) bukan hanya sekedar memberikan materi pelajaran saja tetapi
juga harus dapat memberikan motivasi pada siswa/peserta didik yang mengalami rasa rendah diri agar
mereka dapat memiliki rasa percaya diri.

Bagi Orang Tua

Diharapkan orang tua bisa menerima keberadaan anaknya seutuhnya, tanpa harus mempercakapkan
segala kelemahan yang ada pada diri anak. Sebaliknya orang tua memotivasi anak untuk mencapai hal-
hal yang positif bagi masa depan anak dengan tidak membanding-bandingkan anak dengan anak yang
lain. Anak memiliki bakat yang berbeda-beda sehingga orang tua perlu membantu mengembangkan
bakat anak untuk mencapai keberhasilan bagi kemuliaan Tuhan.

Orang tua perlu bersikap adil, tidak menuntut anak untuk mencapai keberhasilan di segala bidang. Bila
anak gagal mencapai bidang tertentu, maka ia tidak merasa gagal dalam hidupnya karena tidak
mencapai harapan orang tua. Orang tua perlu membimbing anaknya untuk menerima kenmyataan
bahwa manusia bisa gagal itu adalah wajar. Dengan demikian anak tidak rendah diri karena
kegagalannya.

Orang tua tidak sewenang-sewenang menghukum anak. Orang tua perlu penuh pengertian terhadap
setiap kesalahan anak. Hal ityu bukan berarti setiap kesalahan dibiarkannya. Teguran, hukuman bisa
dilaksanakan asal tidak berlebihan dan wajar saja sehingga tidak merusak kepribadian anak. Orang tua
menyerang kesalahan anak, dan bukan menyerang harga diri anak. Hukuman didasari kasih akan
membantu anak berkembang ke arah konsep diri yang sehat dan benar. Hukuman tidak dipandang oleh
anak sebagai penolakan, tetapi wujud kasih orang tua pada anak.

Orang tua perlu menyediakan waktu, perhatian untuk membimbing anak yang rendah diri agar dia tidak
merasa cemas, kuatir dan ketakutan dengan kelemahan-kelemahan yang ada di dalam dirinya. Sikap
positif tersebut akan berdampak positif dan besar karena anak merasa dirinya diterima, dikasihi,
dihargai oleh orang tua. Dengan demikian, anak tidak perlu merasa diri rendah dengan kelemahan-
kelemahan yang dimilikinya.

Bagi Siswa

Diharapkan anak mampu menerima keberadaan dirinya secara benar tanpa harus cemas dan kuatir
dengan kelemahan yang dimilikinya.
Diharapkan anak tidak menjadi kelemahan untuk alasan rendah diri. Sebaliknya mengenali dan
mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya untuk masa depannya dan juga bagi kemuliaan
Tuhan.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode Penelitian.

Penulisan penelitian ini adalah :

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan Kualitatif.

Strategi yang digunakan untuk melakukan analisis adalah deskriptif analitis yaitu, peneliti mencari
hubungan, mengumpulkan dan mempelajari data-data dari berbagai buku-buku atau literatur yang
berkaitan dengan pokok pembahasan dalam penulisan ini Kemudian menyusunnya secara sistematis
sehingga menghasilkan suatu gambaran yang jelas.

Untuk mengumpulkan data, peneliti mengadakan observasi lapangan dan wawancara kepada siswa
serta guru kelas yang mengamati secara langsung perkembangan siswa.

Karakteristik Subyek

Subyek dalam penelitian ini adalah anak atau siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Salatiga 06 yang
mengalami rasa rendah diri. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk
mengetahui tentang tingkat rendah diri yang mereka alami.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel yg bertujuan yaitu Sampel Purposive.Dengan
kata lain sebelum penarikan sampel, sudah ditentukan kriteria tertentu yang merupakan karakteristik
sampel dan teknik pengambilan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Karakteristik subyek penelitian
adalah :

Anak yang mengalami rendah diri

Anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) Salatiga 06 yaitu kelas 4-6.

Jumlah Subyek.

Subyek yang diambil dalam penelitian adalah siswa kelas 4-6 yang beragama Kristen di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) sebanyak 3 anak yang mengalami rendah diri dari total sample 23 siswa. Di mana siswa
yang mengalami rasa rendah diri tersebut diberikan layanan bimbingan konseling.

Metode Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, peneliti menggunakan dua metode sebagai berikut:

Wawancara
Wawancara adalah suatu percakapan, tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk
berhadapan secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah tertentu.[3] Metode wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Pengertian wawancara semi
terstruktur adalah percakapan yang diarahkan untuk menggali topik-topik yang telah ditetapkan dan
pertanyaan-pertanyaan baru yang menyertainya merupakan bentuk pendalaman dari topik tersebut.[4]

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan interview (wawancara) untuk memudahkan peneliti
mengingat hal-hal yang perlu ditanyakan kepada subyek. Alat yang digunakan peneliti adalah kaset
kosong dan alat perekam (tape recorder) untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses
wawancara. Wawancara akan dilakukan selama peneliti merasa cukup mendapatkan data. Wawancara
akan dilakukan di suatu tempat yang ditentukan sebagai kesepakatan antara peneliti dengan subyek.

Berikut adalah penjabaran aspek tingkat rendah diri yang akan peneliti gunakan dalam pengambilan
data penelitian terhadap tiga siswa yang rendah diri di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Salatiga 06

Tabel I

Penjabaran Aspek Tingkat Rendah Diri

No Aspek Penjelasan

Individu tidak dapat menciptakan suasana


yang menyenangkan ketika individu tersebut
berinteraksi dengan orang lain, karena
Individu tidak mampu individu lebih banyak diam, selain itu
untuk bekerja sama dan individu juga tidak dapat membaur di
hidup bersama dengan lingkungan yang baru, kemudian saat individu
1
individu yang lain dalam harus bekerja sama dengan orang lain,
suasana yang individu tersebut tidak dapat bekerja sama
menyenangkan. dengan orang lain karena individu banyak
memilih-milih dalam bergaul.

Ketidakmampuan Individu tidak dapat mengerti apa yang


individu untuk memilih menjadi minat yang dimilikinya, sehingga
2 kegiatan yang dapat individu tidak dapat memilih kegiatan yang
memberikan kepuasan sesuai dengan kelebihan dan minatnya
dalam minatnya. tersebut.

Individu tidak dapat memahami


Ketidakmampuan untuk
akan kemandirian dan penerimaan dirinya
3 menerima diri apa
meliputi kelebihan dan kekurangan yang
adanya.
dimilikinya.
Dalam situasi dan kondisi bagaimanapun,
individu tidak dapat menempatkan diri
Tidak mampu untuk
dengan baik, tidak dapat menyesuaikan diri
mengadakan interaksi
4 dengan baik dimanapun dan kapanpun
sosial dengan orang
individu tersebut berada, tidak dapat
lain.
membina hubungan yang dekat dengan
orang lain.

Observasi (Pengamatan)

Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang khusus bila dibandingkan dengan
teknik yang lain, yaitu wawancara dan angket. Wawancara dan angket selalu berkomunikasi dengan
orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam lain.[5]

Pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subyek
penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subyek, menanggap
budaya dari segi pandangan dan anutan para subyek pada keadaan waktu itu.

Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses
yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses
pengamatan dan ingatan.[6] Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi untuk
mengamati penelitian berkenaan dengan perilaku siswa yang rendah diri, proses kerja, gejala-gejala
alam karena responden yang diamati tidak terlalu besar.

Melalui observasi, peneliti dapat belajar tentang perilaku dan makna dari siswa yang rendah diri maka
peneliti menggunakan adalah buku catatan untuk mencatat hal-hal yang mungkin terjadi ketika peneliti
sedang melakukan wawancara.

Pada penelitian ini peneliti terlibat langsung dengan aktivitas tiga siswa Kristen yang rendah diri di
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Salatiga 06.

Analisis Data

Dalam penelitian ini, data hasil observasi diperlukan sebagai data untuk memperoleh gambaran umum
tentang subyek penelitian. Sedangkan hasil wawancara merupakan data utama dalam penelitian ini.

Analisis data merupakan proses pemilihan data agar dapat diinterpretasi. Berbeda dengan penelitian
kuantitatif, penelitian kualitatif tidak memiliki rumusan standar untuk mengolah dan menganalisa data.
Ada 4 tahapan proses pengumpulan data pada analisis data kualitatif, yaitu:

Tranpenelitian

Merupakan hasil wawancara dan diskusi dengan subyek yang direkam dengan tape recoder atau catatan
laporan, kemudian dipindahkan ke disket atau lainnya.
Pengorganisasian data

Mencatat tanggal pengumpulan data dan menandai informasi dari subyek dengan kode dan angka.

Pengenalan

Mendengarkan hasil rekaman wawancara, membaca kembali data, dan merangkum sebelum analisis
formal dimulai.

Koding

Memberikan kode pada wawancara

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Persiapan Dan Pelaksanaan Penelitian

Tempat penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06 yang berada di Jl. Kartini 26
Kecamatan Sidorejo kota Salatiga. Penelitian dilakukan selama satu bulan dari tanggal 12 Agustus 2011
sampai dengan 12 September 2011. Dengan partisipan dalam penelitian ini adalah siswa Kristen kelas 4
– 6 saja secara khusus yang mengalami rendah diri sebanyak 3 siswa Kristen.

Beberapa persiapan sangat diperlukan demi tercapainya keberhasilan dalam sebuah penelitian.
Penelitian ini mengambil judul Peranan Guru Agama Kristen Dalam Melaksanakan Bimbingan Konseling
Terhadap Siswa Kristen Yang Rendah Diri Di Sekolah Dasar Negeri Salatiga 06. Peneliti telah melakukan
persiapan penelitian.

Setelah peneliti cukup yakin dengan judul yang akan diangkat, peneliti membuat rancangan penelitian
yang di dalamnya mencakup alasan, tujuan penelitian, karakteristik subyek dan beberapa hal yang lain.
Peneliti menyampaikan maksud dan tujuan penelitian kepada siswa yang menurut pengamatan peneliti
mengalami rendah diri. Setelah itu, peneliti mendatangi setiap alamat yang sudah peneliti catat,
kemudian membuat catatan laporan dan menjelaskan maksud tujuan kedatangan peneliti kepada orang
tua siswa.

Peneliti mulai menentukan metode penelitian yang akan digunakan, yaitu metode wawancara dan
observasi. Kemudian peneliti mulai mempersiapkan tuntunan wawancara (interview guide) yang akan
digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data. Peneliti melakukan wawancara dengan
menghubungi subyek untuk menentukan waktu (tempat, hari, jam) subyek bisa diwawancarai.

Penelitian dilakukan selama satu bulan dari tanggal 12 Agustus 2011 sampai dengan 12
September 2011. Penelitian ini dilakukan di sekolah dan rumah masing-masing subyek. Wawancara
berlangsung sekitar 60 menit.

Dalam melakukan proses wawancara, peneliti menggunakan handphone (hp) untuk merekam hasil
wawancara, sedangkan untuk data observasi peneliti mencatat setiap gejala atau tindakan ataupun
segala sesuatu yang bisa diamati dengan menggunakan alat tulis (kertas kosong, pensil ketika
wawancara).
Sebelum melakukan proses wawancara peneliti terlebih dahulu meminta ijin kepada setiap subyek
untuk menggunakan alat perekam selama proses wawancara dan ternyata tidak ada yang keberatan.
Semua subyek meminta supaya namanya disamarkan dengan menggunakan inisial. Pada umumnya
secara keseluruhan proses wawancara berjalan lancar.

Hasil Penelitian

Gambaran umum subyek diperoleh dari wawancara awal dan observasi selama proses penelitian.

Data Subyek 1

Nama : AS

Usia : 10 tahun

Suku : Jawa

Pendidikan : IV ( Empat )

Alamat : Plompongan RT 2 / RW 2 Salatiga

Anak ke : 3 ( Tiga ), dari 2 bersaudara

Saudara : 2 ( Dua ) ( Kakak )

Nama Orang tua

Ayah : BP

Usia : 48 tahun

Ibu : RB

Usia : 44 tahun

Subyek adalah seorang anak perempuan yang berumur 10 tahun. Dari segi fisik subyek berbadan kurus,
berkulit putih, rambut ikal, tinggi badan kurang lebih 100 cm. Subyek terlihat pasif dalam melakukan
pekerjaan rumah (PR).

Subyek merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Subyek tinggal bersama ayah, ibu dan dua orang
kakaknya di desa Plompongan. Ayah subyek adalah seorang PNS. Subyek saat ini duduk di Sekolah Dasar
Negeri Salatiga 06 kelas 4. Subyek merasa senang tinggal bersama ibu dan kakak-kakaknya. dan memang
subyek tidak banyak bicara. Subyek lebih banyak melakukan kegiatannya di dalam rumah. Subyek suka
bermain sendiri di dalam kamar, jarang ke luar dari kamar dan kadang-kadang itu hanya untuk
menonton TV.
Subyek pernah mengikuti kegiatan ekskul di sekolah yaitu Drumband, tapi kemudian ke luar karena
selalu mendapat teguran dari pembinanya karena memang subyek kurang bisa menyesuaikan diri
dengan teman-temannya. Subyek hanya mengikuti kegiatan ekskul dalam bidang ke Pramukaan saja
dan hal inipun dikarenakan kegiatan ini wajib diikuti oleh setiap siswa di Sekolah Dasar Negeri (SDN)
Salatiga 06.

Dalam observasi dan wawancara subyek menjawab setiap pertanyaan selalu menunduk, takut dan
malu. Peneliti mengamati subyek selalu menyendiri pada saat jam-jam istirahat, jarang bermain dengan
teman-temannya karena menurut pengakuan subyek bahwa tidak ada teman-teman yang mau bermain
dengan dia.

Subyek ketika berada di rumah lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Hubungan subyek dengan
ibunya sangatlah baik, hal ini terlihat dengan sikap subyek yang manja. Subyek terlihat lebih
bersemangat jika berada didekat ibunya. Ini terlihat selama peneliti berada di rumah subyek dan
melakukan proses wawancara. Hubungan dengan ibunya sangat baik, ketika disinggung mengenai
ayahnya, subyek menunjukkan sikap yang tidak baik. Hal itu tampak dari raut wajah yang berubah yaitu
terlihat sangat tidak menyenangkan menjadi acuh tak acuh dan tidak mau peduli. Sikap tidak
menyenangkan subyek dipertegas dengan perkataan-perkataan subyek yang mengatakan bahwa
ayahnya suka berbohong, jahat dan tidak sayang terhadap dirinya. Ayahnyapun sering
menyebut subyek dengan kata-kata kasar seperti : Goblok, Pekok, dan sebagainya ketika subyek
meminta bantuan tentang tugas PR dari sekolah. Sang ayah tidak mau membantu.

Selama wawancara berlangsung subyek kurang kooperatif dalam menjawab semua pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti bahkan terkadang saat menjawab pertanyaan, subyek terlihat agak gugup dan
tidak banyak melakukan kontak mata dengan peneliti. Sikap subyek sering melihat ke depan atau
menunduk saat menjawab pertanyaan. Reaksi emosionalnya cenderung datar, sesekali subyek
tersenyum tetapi lebih sering subyek hanya menjawab pertanyaan saja tanpa terlihat reaksi
emosionalnya.

Analisis data per aspek :

Individu tidak mampu untuk bekerja sama dengan individu yang lain dalam suasana yang
menyenangkan.

Dengan kondisi subyek yang cenderung pendiam, selalu menutup diri, subyek tidak mampu bekerjasama
dengan teman-teman sebayanya seperti bermain-main ataupun dalam mengerjakan tugas kelompok
dari sekolah. Hal tersebut ditunjukkan dengan jawaban-jawaban yang diberikan kepada peneliti seperti:
“Tidak pernah bu”. Ya di kelas saja, atau di kamar saja” (46-65). Peneliti menyarankan agar subyek bisa
bergaul dengan teman-temannya. Hal ini ditunjukkan dengan kata-kata : “Bagaimana kalau kamu
mencoba untuk berteman dengan teman-temanmu, khususnya teman sebangkumu dulu”. (176-188).

Ketidakmampuan individu untuk memilih kegiatan yang dapat memberikan kepuasan dalam minatnya.

Seolah-olah subyek merasa tidak mempunyai minat terhadap kegiatan di sekolah atau dengan teman-
teman sekelasnya. Untuk menghilangkan rasa bosan biasanya subyek menghabiskan waktunya dengan
bermain game di kamar. Bila berada di sekolah, subyek lebih sering duduk sendiri di ruang kelas saat
jam-jam istirahat.

“mmmhh…aku suka di kamar saja bu, atau di dalam kelas saja” (58), subyek saat didatangi oleh peneliti
sedang berada di kamar dan bermain game. Begitu juga di sekolah saat istirahat, subyek sering berada di
dalam kelas dan bermain sendiri. Yang peneliti lakukan saat melihat subyek menyendiri saat jam-jam
istirahat adalah, mengajak subyek ke luar kelas untuk bermain bersama dengan teman-temannya.

Ketidakmampuan untuk menerima keberadaan dirinya apa adanya.

Berdasarkan pengakuan dari subyek, ia tetap merasa bahwa dirinya tidak berguna bagi keluarga dan
lingkungannya. Subyek menilai dirinya rendah karena tidak sepandai kakak-kakaknya juga teman-
temannya. Ini terlihat dari subyek yang sangat tertutup dan selalu tertunduk dalam menjawab setiap
pertanyaan dari peneliti saat berada di rumah maupun di sekolah.

Peneliti bertanya tentang masa depan, subyek mempunyai keinginan untuk bisa membahagiakan kedua
orang tuanya. Hal ini ditunjukkan dengan perkataannya : “ Kamu ingin menjadi apa nantinya?” (148-
151) saat ditanya oleh ibu subyek, subyek memandang ke atas dan menjawab dengan perlahan sekali “
Ingin menjadi guru”. Peneliti memberikan nasehat, jika ingin menjadi seorang guru, subyek harus banyak
belajar, dan bergaul dengan orang lain.

Tidak mampu untuk mengadakan interaksi sosial dengan orang lain.

Subyek mengaku jarang berinteraksi dengan tetangga atau teman di lingkungannya maupun di
sekolahnya bahkan untuk menyapapun subyek mengaku takut dan malu.

Kesimpulan

Subyek memiliki rasa rendah diri. Ini terlihat dari diri subyek yang kurang bisa berinteraksi dengan
teman dilingkungannya dan di sekolahnya. Subyek selalu menutup diri dengan jarang bergaul.

Data Subyek 2

Nama subyek : RO

Usia subyek : 12 thn

Suku : Jawa

Pendidikan : Kelas 6 SD

Anak ke : 3 dari 2 bersaudara

Nama Orang tua

Ayah : SS

Ibu : TP

Usia
Ayah : 55 thn

Ibu : 44 thn

Subyek merupakan anak ketiga dari dua bersaudara. Subyek tinggal bersama kedua orang tuanya.
Subyek adalah seorang anak perempuan yang berumur 12 tahun. Dari segi fisik subyek berbadan agak
kurus, berkulit sawo matang, rambut lurus dengan potongan pendek, tinggi badan kurang lebih 100 cm.

Ayahnya bekerja sebagai staff di salah satu Pabrik Textile, lalu kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dan akhirnya menjalani profesi sebagai tukang ojek hingga sekarang. Keadaan tersebut berdampak pada
diri subyek di mana subyek menjadi lebih pendiam. Subyek merasa malu dan tidak siap menghadapi
kenyataan ekonomi keluarganya. Subyek sering diejek-ejek oleh anak-anak di sekitarnya dan teman-
teman di sekolahnya juga terkadang menyebut dirinya sebagai “anak si tukang ojek”. Hal itu membuat
subyek lebih suka bermain sendiri dan melakukan kegiatan di dalam rumah.

Pada masa kecil subyek, ia memang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, karena sang ayah
bekerja dengan baik, tapi sejak ayahnya di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), segalanya telah berubah.
Dari anak yang serba berkecukupan menjadi anak “tukang ojek” dengan ekonomi pas-pasan. Inilah yang
menyebabkan subyek sering terlambat masuk sekolah dan juga bolos sekolah karena merasa malu untuk
bertemu dengan teman-temannya. Subyek cenderung tidak mau bergaul.

Menurut ibunya, sikap subyek ini yang menjadi pendiam dan terkadang murung terjadi ketika subyek
duduk di kelas 3 akhir, hampir masuk ke kelas 4. Sifat diam dan pemalunya ini terlihat sekali ketika
peneliti mengamati subyek di sekolah maupun ketika peneliti datang ke rumah subyek bahkan menurut
pengakuan dari wali kelasnyapun mengatakan bahwa subyek lebih senang menyendiri. Ini terlihat dari
gerak tubuh subyek saat diwawancarai, yaitu selalu menunduk dan tidak berani kontak mata dengan
peneliti.

Selama proses wawancara subyek tidak cukup kooperatif dalam menjawab pertanyaan yang peneliti
ajukan. Subyek terlihat sangat gugup dan kadang meremas-remas jari-jarinya. Subyek tidak cukup
banyak melakukan kontak mata dengan peneliti saat wawancara. Reaksi emosional seperti tertawa,
jengkel, dan meningginya intonasi bicara tidak terlihat sama sekali.

Subyek menjadi pendiam terlebih terhadap orang yang belum pernah dikenalnya. Ini terlihat dari hasil
observasi di lingkungan rumahnya dan di sekolah, subyek tidak nyaman dengan keadaan lingkungan saat
observasi.

Analisis data per aspek :

Individu tidak mampu untuk bekerja sama dengan individu yang lain dalam suasana yang
menyenangkan.

Status subyek yang rendah diri ini menjadi kendala saat subyek belajar dan bermain. Subyek tidak dapat
menerima kenyataan bahwa dirinya adalah anak tukang ojek sehingga ia sulit untuk
diajak berkomunikasi, sulit diajak untuk mengeluarkan pendapat karena sering malu dan diam.
Subyek lahir dan besar di lingkungan kompleks perumahan dan sering bermasalah dalam beradaptasi
dengan lingkungannya. Subyek cenderung menutup diri ini, karena sering dirinya diejek oleh orang-
orang yang ada di lngkungannya serta mendapat julukan anak tukang ojek. Saat peneliti bertanya
mengapa tidak mau main dengan teman-teman di sekitar rumahnya? Subyek menjawab “ Ya bu, karena
saya malu,” “Tidak pernah, saya lebih senang di rumah saja.” (17), yang peneliti lakukan adalah
memberikan banyak nasehat untuk dapat mensyukuri setiap berkat yang Tuhan sudah berikan. Dan
mensyukuri bahwa ayahnya masih bisa bekerja untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, walau
sebagai tukang ojek.

Ketidakmampuan individu untuk memilih kegiatan yang dapat memberikan kepuasan dalam minatnya.

Subyek kurang berminat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan sekolah sore hari (ekskul)
sejak subyek kelas 3. Pada masa kecil subyek, ia memang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan,
karena sang ayah bekerja dengan baik, tapi sejak ayahnya di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),
segalanya telah berubah. Dari anak yang serba berkecukupan menjadi anak “tukang ojek” dengan
ekonomi pas-pasan. Inilah yang menyebabkan subyek sering terlambat masuk sekolah dan juga bolos
sekolah karena merasa malu untuk bertemu dengan teman-temannya. Subyek cenderung tidak mau
bergaul.

Subyek senang membantu ibunya ketika pulang sekolah. Subyek sendiri mengakuinya bahwa dirinya
kurang tertarik dengan ekskul. Subyek menjawab pertanyaan peneliti “saya tidak suka bu” (46). Peneliti
menyarankan kepada subyek untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang sekolah berikan agar dapat
mengerti kegiatan yang disukainya.

Ketidakmampuan untuk menerima diri apa adanya.

Subyek merasa mengalami perubahan sejak ayahnya menjadi tukang ojek. Subyek belum bisa menerima
keadaan tersebut. Subyek belum bisa menerima statusnya sebagai “anak tukang ojek” dan keadaan ini
berdampak pada keharmonisan di keluarga..

Subyek merasa mengalami perubahan dalam pergaulan. Subyek merasa malu untuk tampil di depan
kelas maupun bergaul dengan teman-temannya. Sekalipun subyek juga merasa memiliki kelebihan
dalam dirinya. Hal ini tampak dari sikap subyek yang sangat senang dengan pelajaran matematika ketika
peneliti bertanya,”apa kamu punya kelebihan” “Mmmhh…punya bu, saya sangat suka matematika” (52-
54). Peneliti memberikan nasehat kepada subyek untuk dapat menerima kenyataan yang ada.

Tidak mampu untuk mengadakan interaksi sosial dengan orang lain.

Subyek jarang nampak berinteraksi dengan tetangga dan teman-temannya di lingkungan rumahnya
maupun di sekolah. Subyek merasa mengalami perbedaan saat berinteraksi dengan orang-orang di
lingkungannya maupun sekolahnya. Hal ini bisa dikarenakan merasa malu dengan keadaan keluarganya.

Subyek mengaku pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan status
subyek, subyek mengaku setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan subyek langsung pulang dan
masuk ke dalam rumah. Ini ditunjukkan dengan :
“Saat berkumpul dengan teman-teman subyek, subyek diejek, ini sesuai dengan pernyataan subyek yang
mengatakan “sangat malu” (25-32). Peneliti menasehati subyek, agar tidak perlu malu dengan
statusnya, karena pekerjaan sebagai tukang ojek bukanlah pekerjaan yang memalukan.

Kesimpulan

Subyek tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik karena rasa rendah dirinya yang terlihat dari
ketidakmampuan subyek untuk menerima kenyataan yang ada, tidak dapat bekerja sama dengan
teman-teman dan orang lain baik itu di sekolah maupun di lingkungan di mana subyek tinggal.

Data Subyek 3

Nama subyek : YE

Usia subyek : 11 thn

Suku : Jawa

Pendidikan : Kelas 5 SD

Anak ke : 2 dari 2 bersaudara

Nama ortu

Ayah : SY

Ibu : LD

Usia

Ayah : 49 tahun

Ibu : 45 tahun

Subyek merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Subyek sebelumnya tinggal bersama kedua
orangtuanya di perkampungan tetapi setelah subyek berusia 1 tahun, ayahnya bekerja di Negara
Bangladesh. Akhirnya ia dan ibunya pindah di kompleks perumahan.

Setelah tinggal di kompleks perumahan, subyek hanya tinggal bersama ibu dan kakaknya.
Subyek cenderung menjadi lebih pendiam. Ini dikarenakan subyek kehilangan sosok ayah dalam dirinya
dan kehidupannya. Saat ini subyek lebih suka bermain dan melakukan kegiatan di dalam rumah.

Subyek adalah seorang anak perempuan yang berumur 11 tahun. Dari segi fisik subyek berbadan kurus,
berkulit putih, rambut lurus dengan potongan pendek, tinggi subyek kurang lebih 100 cm. Terhadap
mamanya subyek menunjukan sikap yang sopan dan halus dalam bertutur kata, tidak jarang subyek dan
mamanya terlihat mesra. Hal ini diperkuat subyek selalu memperhatikan mamanya. Hanya lebih banyak
diam. Selama proses wawancara subyek tidak cukup kooperatif dalam menjawab semua pertanyaan
yang peneliti ajukan. Subyek terlihat sangat pendiam selama proses wawancara dan kadang menunduk.
Subyek tidak cukup banyak melakukan kontak mata dengan peneliti saat wawancara. Reaksi emosional
bicara tidak cukup terlihat.

Subyek tidak terlihat berinteraksi dengan tetangga atau teman-temannya di sekitar subyek dan sekolah
subyek, subyek lebih sering terlihat berada di dalam ruang kelas ataupun di rumah.. Subyek termasuk
orang yang pendiam, terlebih kepada orang yang belum pernah dikenalnya. Terlihat dari observasi fisik,
wajah subyek tampak takut dan malu.

Analisis data :

Individu tidak mampu untuk bekerja sama dengan individu yang lain dalam suasana yang
menyenangkan.

Subyek saat ini tinggal bersama ibu dan kakaknya. Subyek senang membantu ibunya untuk
membersihkan rumah.

Dengan status subyek yang memiliki tanda hitam di separuh wajahnya, subyek sulit bekerja sama
dengan tetangga di sekitarnya dan teman-temannya. Subyek mempunyai perasaan malu atas
keadaannya saat ini saat bekerja sama, hal ini ditunjukan dengan :

“Perkataan subyek yang merasa malu saat bekerja sama dengan teman-temannya”. (38-46). Peneliti
menyarankan kepada subyek untuk dapat menerima anugrah yang diberikan Tuhan kepadanya dengan
selalu belajar mengucap syukur.

Ketidakmampuan individu untuk memilih kegiatan yang dapat memberikan kepuasan dalam minatnya.

Semua orang memiliki minat terhadap sesuatu yang tentunya sangat disenangi, begitu juga dengan
subyek, hanya saja subyek tidak mampu untuk memilih kegiatan apa yang bisa menyenangkan dirinya.
Hal ini ditunjukn dengan perkataan subyek :

“Diam aja di rumah”, jarang adanya kegiatan di lakukan subyek, membuat subyek tidak pernah
melakukan kegiatan minatnya di luar rumah yaitu dengan mengikuti kegiatan sore di sekolah, maupun
kegiatan yang ada di sekitar lingkungannya (66-73).

Ketidakmampuan untuk menerima diri apa adanya.

Subyek merasa belum bisa menerima dirinya yang memiliki tanda hitam di separuh wajahnya ini, dan ini
dibenarkan oleh ibunya. Sering ibunya berusaha untuk menutupi tanda itu dengan memberikan bedak
yang cukup tebal, jika akan bepergian ataupun sekolah, hal ini dilakukan oleh ibunya atas permintaan
subyek. Subyek juga mengaku bahwa dirinya belum dapat menerima kondisi dari wajahnya. Dan subyek
tetap merasa malu dan akhirnya sering menarik diri baik di sekolah maupun di lingkungan rumah
subyek.

Sebenarnya subyek memiliki kelebihan yang tidak jauh dari minatnya yaitu dalam hal pelajaran Seni
Budaya dan Ketrampilan (SBK), khususnya menyanyi. Hal ini sesuai dengan pernyataan subyek :“SBK bu,
khususnya nyanyi” subyek sangat menyenangi kegiatannya ini (103-106). Peneliti menyarankan agar
subyek menekuni minatnya ini dengan tanpa malu-malu lagi.

Tidak mampu untuk mengadakan interaksi sosial dengan orang lain.

Subyek jarang berinteraksi dengan teman-teman di lingkungan sekitarnya dan di sekolahnya. Subyek
merasa malu dan selalu berusaha untuk menutupi wajahnya.

Hal ini ditunjukan dengan :

“di lingkungan, subyek sering terlihat adanya kegiatan tetapi subyek jarang mengikutinya. Subyek tidak
pernah ikut berpartisipasi. Hal ini dibenarkan oleh ibu subyek yang mengatakan jika subyek jarang ikut
kegiatan kompleks perumaha. Peneliti menyarankan kepada ibu subyek, untuk mencoba sering
membawa subyek dalam acara-acara atau kegiatan-kegiatan di kompleks maupun kegiatan di sekolah
pada sore hari (ekskul).

Kesimpulan

Subyek tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik yang nampak pergaulan sosial dengan orang lain baik
dengan mengikuti kerja bakti di lingkungannya belum dapat menerima kenyataan bahwa subyek
memiliki tanda hitam di separuh wajahnya. Subyek belum dapat memilih kegiatan yang sesuai keinginan
dan kesenangannya.

Uji Keabsahan Data.

Untuk pembahasan data, peneliti menggunakan metode triangulasi dan perpanjangan keikutsertaan.
Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi waktu dan triangulasi data. Triangulasi waktu (time
triangulation) adalah peneliti mengadakan pengecekan ulang pada waktu yang berbeda.[7] Peneliti
datang ke tempat penelitian pada waktu yang berbeda dengan tujuan menguji konsistensi data yang
diperoleh. Kemudian triangulasi data yaitu digunakannya variasi sumber-sumber data yang berbeda
dengan maksud untuk mengkross-check data yang diperoleh dari subyek. Bisa dilakukan dengan orang-
orang yang dekat dengan subyek, seperti keluarga subyek, teman subyek, guru subyek, yang diyakini
bisa memberikan penilaian obyektif pada subyek. Dalam hal ini triangulasi dilakukan dengan saudara
dan tetangga (subyek 1), ibu (subyek 2) dan saudara (subyek 3). Selain itu metode lain yang digunakan
adalah perpanjangan keikutsertaan dengan tujuan untuk menambah informasi yang belum lengkap dan
kurang jelas. Hasil perpanjangan keikutsertaan tidak dipisah tetapi langsung disisipkan pada bagian-
bagian yang dianggap kurang jelas dan perlu digali atau diungkapkan lagi dari hasil wawancara yang
sebelumnya.

Triangulasi

Subyek 1

Untuk subyek pertama, peneliti melakukan triangulasi pada dua orang yaitu tetangga dan ibu subyek.
Informasi yang didapat dari tetangga subyek adalah sebagai berikut: menurut tetangga subyek, subyek
memiliki sifat yang kurang tegas, lebih banyak diam. Dalam melakukan tugas dan kegiatan, subyek tidak
memiliki target untuk dapat menghasilkan sesuatu. Subyek juga sering melupakan hal-hal yang kecil
misalnya lupa menaruh kunci rumah atau kunci kamar.
Hubungan subyek dengan ibu dan kakak-kakaknya sangat dekat hanya dengan sang ayah nampak ada
rasa takut (kurang harmonis). Setiap ada masalah subyek jarang cerita dan selalu menyimpannya sendiri
dari saudara atau orang tuanya.

Dalam bekerja, subyek senang melakukannya sendirian. Tugas dari sekolah selalu dilakukannya sendiri.
Subyek segan untuk meminta bantuan.

Subyek adalah anak Sekolah Minggu dalam sebuah organisasi Gereja di dekat rumahnya tetapi juga
kurang rajin dalam ibadah Sekolah Minggunya dikarenakan subyek merasa malu dengan teman-teman
di gereja.

Subyek 2

Subyek yang kedua, peneliti hanya melakukan triangulasi dengan satu orang saja yaitu ibu subyek.
Menurut ibu subyek, subyek merupakan seorang anak yang bertanggungjwab dan sangat
memperhatikan ibu subyek. Hanya subyek tidak bisa menerima status subyek saat ini. Subyek masih
memiliki harapan agar keadaan bisa berubah. Ibu subyek berpendapat subyek belum bisa
menerima keadaannya karena kurang adanya dukungan dari keluarga. Karena kesibukan ibu subyek
untuk ikut membantu keadaan ekonomi keluarga sehingga subyek menjadi anak yang pendiam dan
cenderung rendah diri.

Subyek 3.

Triangulasi subyek ketiga dilaksanakan tanggal 07 September 2011 pada pukul 14.00 WIB dengan
saudara subyek yang bertempat tinggal tidak jauh dengan subyek. Menurut saudara subyek, saat ini
memang benar subyek hanya tinggal dengan ibu dan kakaknya saja. Menurutnya, hidup subyek sangat
memprihatinkan. Subyek nampak lain dengan kakaknya yang cantik. Yang dimaksud lain adalah subyek
memiliki tanda hitam di separuh wajahnya. Ini membuat subyek jarang ke luar rumah jika pulang dari
sekolah. Subyek juga tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di sekitar rumahnya.

Perpanjangan keikutsertaan dilakukan pada ketiga subyek penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan
data yang lebih lengkap dan jelas. Dalam hal ini peneliti mendatangi subyek untuk menanyakan
beberapa hal yang kurang jelas pada wawancara sebelumnya dan menambah beberapa informasi untuk
melengkapi hasil penelitian.

Berikut ini adalah waktu pelaksanaan perpanjangan keikutsertaan yang dilakukan peneliti.

Subyek 1 : Tanggal 18 Agustus dan 22 Agustus 2011

Subyek 2 dan 3 : Tanggal 11 September 2011.


Pembahasan

Aspek 1. Individu tidak mampu untuk bekerja sama dengan individu yang lain dalam suasana yang
menyenangkan.

Dalam bekerja sama ketiga subyek lebih memilih pasif saat bekerja sama dan cenderung tidak berusaha
untuk melakukan semua pekerjaan yang diberikan kepada mereka dengan baik. Ketiga subyek jarang
ikut dalam kegiatan di lingkungan rumahnya maupun di sekolah. Hal tersebut dibenarkan oleh orang tua
subyek bahwa subyek merasa malu atau minder jika harus berkumpul dengan teman-temannya. Saat
melakukan kegiatan atau saat bekerja sama dengan orang-orang di lingkungan ataupun di sekolah,
ketiga subyek merasa tidak nyaman dan selalu berusaha untuk menghindar.

Aspek 2. Ketidakmampuan individu untuk memilih kegiatan yang dapat memberikan kepuasan dalam
minatnya.

Ketiga subyek kurang berminat apapun. Hal ini dikarenakan mereka lebih sering mengurung diri di
rumah. Ketiga subyek jarang melakukan kegiatan yang diadakan oleh lingkungannya.

Aspek 3. Tidak mampu untuk mengadakan interaksi sosial dengan orang lain.

Dari ketiga subyek, semua subyek jarang mengikuti kegiatan yang diadakan oleh RT di lingkungan subyek
tinggal dan juga kegiatan yang ada di sekolah mereka. Mereka merasa malu atau minder jika mengikuti
kegiatan-kegiatan yang ada sehingga mereka kurang berinteraksi dengan orang lain.

Ketiga subyek merasa belum mampu berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitar, subyek
akan menghormati orang yang berperilaku sopan, tetapi subyek tidak akan menghormti orang yang
menurut subyek tidak berlaku sopan kepada subyek.Ini menunjukan, bahwa ketiga subyek memiliki rasa
rendah diri.

Status subyek 1 pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan di lingkungan keluarga , ini
dikarenakan subyek sering menerima perlakuan dari ayahnya yang kasar. Berbeda dengan subyek
2 rendah dirinya terjadi karena status dari sang ayah, yang semula berada di atas, kemudian harus
menjadi seorang tukang ojek, faktor ekonomi pun menjadi penyebab subyek 2 mengalami rasa rendah
diri. Subyek ke 3 faktor rendah diri terjadi karena sejak lahir subyek merasa tidak secantik sang kakak,
karena subyek lahir dengan membawa tanda hitam di separuh wajahnya.

Peranan Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) Dalam Melaksanakan Bimbingan Konseling
Terhadap Siswa Kristen Yang Rendah Diri di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Salatiga 06.

Berikut ini adalah peranan guru Pendidikan Agama Kristen dalam pelaksanaan layanan bimbingan
konseling bagi siswa yang mengalami rendah diri sebagai berikut: mengenali persoalan yang dihadapi
siswa dan melakukan bimbingan konseling pada siswa, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
menerima keberadaan anak, bersikap peduli, bersikap belas kasih, bersikap adil, memberi keteladanan.
Penulis akan menguraikan masing-masing pokok bahasan ini satu persatu :

Mengenali persoalan yang dihadapi siswa


Menemukan penyebab merupakan tindakan pertama yang perlu dilakukan untuk membimbing siswa
yang memiliki rasa rendah diri. Dengan menemukan penyebabnya terlebih dahulu, maka akan diketahui
langkah-langkah konkrit untuk mengatasinya melalui bimbingan konseling.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang konselor untuk menemukan penyebab rasa rendah
diri:

Perlu dipahami bahwa pada umumnya seseorang yang rendah diri sulit untuk mengakui keadaannya,
sebab seringkali tersinggung dan menjadi marah.

Tanda-tanda dari rasa rendah diri tidak selalu menunjukkan bahwa masalah orang tersebut hanyalah
rendah diri. Ini bisa disebabkan karena:

Rasa rendah diri tidak pernah berdiri sendiri, namun seringkali bercampur dengan
masalahanger (marah) anxiety (kecemasan), dan lain-lain.

Rasa rendah diri seringkali juga tidak dirasakan sebagai hal yang mengganggu sehingga penyelesaiannya
bisa ditunda.

Dinamika perilaku anak begitu kompleks, terkadang rasa rendah diri menjadi kejadian bawah sadar yang
menggejala dalam macam-macam perilaku yang merugikan, yang masing-masing seolah-olah
merupakan masalah yang berdiri sendiri.

Oleh karena itu, guru PAK sebagai seorang pembimbing/konselor bisa menemukan penyebab rasa
rendah diri yang dialami oleh siswa dengan melihat respon siswa tersebut terhadap suatu keadaan atau
masalah, terutama yang berhubungan dengan relasinya dengan orang lain atau hubungan sosial.

Melakukan bimbingan konseling kepada siswa

Bila rasa rendah diri bukan disebabkan oleh faktor orang tua/keluarga, maka anak tersebut perlu
mendapat bimbingan konseling guna menguatkan dan mendapat dukungan yang baik dari keluarganya.
Keluarga khususnya orang tua dapat memberikan bimbingan kepada anaknya untuk dapat menerima
dirinya apa adanya. Bila harga diri anak dibangun maka berangsur-angsur rasa rendah diri akan pulih.

Berikut hal-hal yang bisa dilakukan guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) untuk memberikan layanan
bimbingan konseling pada anak yang mengalami rendah diri:

Jika anak rendah diri karena penampilan, maka perlu diingatkan dengan firman Tuhan, untuk senantiasa
mengucap syukur kepada Allah atas segala keberadaannya, termasuk penampilan fisik. Yang terpenting
dalam hidup bukanlah soal makan, minum maupun penampilan, melainkan mengetahui kehendak
Tuhan. Setiap anak diciptakan oleh Tuhan, dengan rencana-Nya yang indah. Oleh karena itu anak yang
rendah diri perlu dibimbing agar menyadari bahwa Tuhanlah yang menciptakan dirinya. Dengan
demikian ia tidak mengukur harga dirinya dengan hal-hal yang bersifat lahiriah. Ia menyadari bahwa
dirinya adalah anak Allah (Yoh 1:12) dan dimiliki oleh Allah (1 Kor 6:19-20), anak tersebut tidak perlu lagi
merasa rendah diri. Contoh : Ada pada diri subyek 3.

Jika anak rendah diri karena faktor kegagalan menyenangkan orang tua dengan tugas-tugas sekolahnya,
maka orang tua perlu menasihati anak bahwa kegagalan itu adalah suatu hal yang wajar. Setiap orang
pasti pernah mengalami kegagalan hidup. Menyadarkan anak bahwa menyenangkan orang tua tidak
harus dengan berprestasi dalam bidang pendidikan. Masih banyak bidang lain yang mungkin bisa dicapai
bagi kemuliaan Tuhan. Dengan demikian anak tidak perlu merasa gagal lalu menyerah dan menjadi
rendah diri. Contoh : Ada pada diri subyek 1.

Bila rasa rendah diri diakibatkan karena lingkungan keluarga/orang tua, maka anak dibimbing untuk :

Memberi pengampunan kepada orang tua yang telah membuatnya rendah diri. Seorang anak yang
rendah diri harus diajar melalui firman Tuhan bahwa Tuhan Yesus telah mengampuni dosa dan
kesalahan-kesalahanya. Sebagaimana Tuhan Yesus telah mengampuni dosa seorang yang rendah diri,
maka kehendak Tuhan agar ia juga dapat mengampuni kesalahan orang tua. Demikian juga anak
dibimbing untuk mengampuni kesalahan orang tua. Dengan pengampunan itu maka pemulihan bisa
terjadi bagi anak itu sendiri maupun orang tua yang telah menyakitinya.

Menerima keberadaan orang tua apa adanya. Anak dinasihati bahwa kekurangan orang tua bukan
dijadikan alasan untuk menjadi minder. Kekurangan orang tua di sini, misalnya dalam hal materi. Kalau
ternyata kehidupan ekonomi orang tua di bawah tingkat ekonomi teman-temannya, maka anak tidak
perlu merasa rendah diri atau minder. Contoh : Ada pada subyek 2.

Langkah-langkah Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam bimbingan konseling di Sekolah Dasar
Negeri (SDN).Salatiga 06 :

Menerima Keberadaan Anak

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) perlu bisa menerima keberadaan semua siswa apa
adanya. Menurut Stephen Tong dan Marry Setiawani, bahwa guru harus memandang siswa/peserta
didik dan mengakui mereka bukan dari sudut pandang dirinya yang ideal, melainkan dari sudut pandang
Allah yang obyektif dan benar bahwa anak adalah segambar dengan Allah yang diciptakan-Nya secara
unik berbeda dari anak lainnya.[8] Anak memiliki nilai yang sama dihadapan Allah sehingga harus
diperlakukan sebagai pribadi yang berharga.[9] Rendah diri pada anak dapat ditimbulkan karena faktor
kekurangan fisik, sebagai contoh pada subyek 3. Cacat fisik yang dialami dibagian wajah menimbulkan
rasa minder, sehingga siswa menjauhkan diri dari pergaulan dengan orang lain.

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) sebagai pembimbing perlu menunjukkan sikap menerima
keberadaan siswa yang mengalami rendah diri karena penampilan fisik. Guru Pendidikan Agama Kristen
(PAK) melakukan pembimbingan agar siswa menerima keadaan kelemahan fisiknya. Membangkitkan
rasa percaya dirinya dengan mengarahkan pada kelebihan atau potensi yang dimilikinya. Sikap tersebut
sangat membantu dia berkembang ke arah kepribadian yang benar dan sehat. Paul J. Centi menyatakan
sebagai berikut:

“Menerima keberadaan anak apa adanya, yaitu menerima kekurangan, maka sikap tersebut turut
membantu anak yang rendah diri untuk dapat menerima dirinya sendiri apa adanya. Dan hal itu
memupuk rasa percaya diri dan harga diri yang benar”.[10]

Jadi, penting sekali guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) menerima keberadaan para siswanya apa
adanya, bukan hanya menerima kelemahan siswanya, tetapi juga mencari dan mengembangkan hal-hal
yang positif atau kelebihan yang ada pada diri siswa. Sikap penerimaan tersebut menolong dan
membantu serta memotivasi siswa yang rendah diri untuk dapat menerima dirinya apa adanya. Dengan
cara demikian, siswa yang mengalami rendah diri dapat memiliki harga diri yang benar.

Bersikap Peduli

Seorang guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) sekaligus adalah seorang konselor, ia harus menunjukkan
sikap peduli terhadap siswa yang mengalami rendah diri. Seperti Tuhan Yesus menunjukkan kepedulian
kepada orang-orang yang tersisih. Sebagai contoh Zakheus (Lukas 19 : 1-10), perempuan berdosa
(Yohanes 8 : 1-11), mereka adalah contoh orang-orang yang tidak memperoleh perhatian dari orang lain.
Sikap peduli Yesus kepada orang-orang yang tersisih dapat menjadi teladan bagi guru Pendidikan Agama
Kristen (PAK) dalam membimbing siswa yang tersisih dari pergaulan.

Kasus subyek 3 tersisih dari teman-teman di sekolah karena kekurangan fisiknya, yaitu separuh dari
wajahnya memiliki tanda hitam, sehingga anak atau siswa tersebut sering menerima ejekan dari teman-
temannya. Dalam hal ini seorang guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) menunjukkan sikap kepedulian
dengan melakukan pendekatan, memberi perhatian serta bersikap empati. ”Sebab Anak Manusia
datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10). Tuhan Yesus sangat mempedulikan
manusia yang akan binasa, sehingga Ia datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia.

Bersikap Belas Kasih

Sikap belas kasih ini harus dilaksanakan kepada belaskasihan Tuhan Yesus kepada manusia. Tuhan Yesus
telah menyatakan kasih-Nya dengan mati untuk menanggung hukuman manusia sehingga manusia
beroleh selamat. Itu hanya terjadi karena belas kasih Allah semata,”Melihat orang banyak itu,
tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka…” (Mat 9:36).

Sikap belas kasih inilah yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus menjadi teladan bagi guru Pendidikan Agama
Kristen (PAK) dalam memberi bantuan layanan bimbingan konseling terhadap siswa yang mengalami
rendah diri.

Dengan menunjukkan sikap belas kasih kepada siswa yang rendah diri, maka guru Pendidikan Agama
Kristen (PAK) telah membantu siswa untuk bisa mengasihi dirinya sendiri dengan sehat. Seseorang yang
tidak bisa mengasihi dirinya sendiri dengan sehat, maka ia juga tidak dapat mengasihi sesamanya. Salah
satu ciri orang yang mengalami rasa rendah diri adalah tidak bisa mengasihi dirinya sendiri, sehingga
mudah menyalahkan orang lain, mudah berprasangka buruk kepada orang lain, bersikap ragu-ragu dan
ketakutan karena kelemahan-kelemahan yang ada dalam dirinya.

Bersikap Adil

Anak tidak hanya membutuhkan kasih, tetapi juga rasa aman dan keadilan. Dalam proses pendidikan,
sekolah harus menjadi tempat di mana keadilan dilaksanakan.

Perlakuan yang tidak adil juga akan sangat berpengaruh bagi pendidikan para siswa. Sering terjadi dalam
proses belajar mengajar bahwa yang pintar lebih banyak dibimbing dibandingkan dengan siswa-siswa
yang lainnya. Hal itu dapat membuat siswa yang pintar merasa lebih diterima oleh guru, sedang siswa
yang kurang akan semakin merasa tidak diterima. Contoh kasus dari subyek 1, subyek adalah anak yang
lamban, sehingga pernah tidak naik kelas. Hal inilah yang menyebabkan ia tidak diterima oleh ayahnya,
di mana sang ayah sangat mengharapkan anaknya ini selalu berprestasi, sehingga anak selalu mengalami
penolakan-penolakan dari sang ayah.
Sebaiknya, guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) tidak membeda-bedakan perlakuan bagi siswanya. Jika
siswa-siswanya mendapat perlakuan yang adil, mendapat bimbingan dan perhatian yang merata maka
perkembangan siswa-siswanya akan sehat dan mereka akan belajar saling menghargai dengan teman
maupun gurunya.

Guru yang sering membandingkan keadaan peserta didiknya, maka akan memicu siswa tersebut
mendapati dirinya tidak sebaik anak-anak lainnya. Hal ini akan menyebabkan seorang siswa menjadi
rendah diri.

Guru membangun rasa harga diri yang positif bagi anak yang mengalami rendah diri adalah dengan
bersikap adil. Sebaliknya sikap yang tidak adil, akan membuat seorang anak tumbuh dalam keragu-
raguan untuk diterima dan dihargai.

Jadi guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga berperan penting dalam membangun siswa bertumbuh
dengan rasa percaya diri yang sehat, dapat menerima kelemahan dirinya tanpa harus merasa rendah
diri.

Memberi Keteladanan

Teladan yang baik merupakan tindakan yang harus diperlihatkan oleh seorang guru Pendidikan Agama
Kristen (PAK) kepada para siswanya. Siswa akan lebih banyak belajar dari contoh-contoh yang kelihatan
daripada apa yang diajarkan/didengarkan, karena “Keteladan yang baik adalah cara termudah untuk
mengajarkan contoh yang baik setiap hari”.

Dengan sikap konsisten menunjukkan teladan kasih, pengertian, penghargaan dan penerimaan pada
siswa, guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) telah membantu siswa bertumbuh dalam rasa percaya diri
yang sehat. Margareth Hensley menyatakan:

“Dalam membangun harga diri yang rendah pada anak, maka seseorang harus secara konsisten
menunjukkan keteladan yang baik di depan anak. Keteladanan mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam usaha membangun harga diri yang rendah. Tanpa keteladanan yang baik maka gagallah usaha
menyembuhkan rasa rendah diri seseorang”.

Berdasarkan langkah-langkah yang telah diuraikan di atas, maka guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) di
Sekolah Ddasar Negeri (SDN) Salatiga 06 berperan dalam layanan bimbingan konseling terhadap siswa
kristen yang rendah diri sehingga siswa mengalami sedikit perubahan. Siswa pada subyek 2 mengalami
perubahan dalam hal penerimaan diri, yaitu sudah berani untuk tampil ke depan, untuk subyek 1
mengalami perubahan dalam hal belajar, dan aktif mengikuti kegiatan ekskul di sekolah subyek 1 dan 3
dapat membaur dengan teman-temannya.

Namun guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) masih tetap perlu melakukan layanan bimbingan konseling
bagi siswa yang mengalami masalah.

PENUTUP

Kesimpulan
Rasa rendah diri merupakan salah satu gangguan perasaan yang bisa dialami oleh semua orang.
Penyebab rasa rendah diri yang paling mendasar adalah karena seseorang tidak memiliki konsep diri
yang benar. Konsep diri dapat diartikan sebagai pandangan atau perasaan maupun pendapat tentang
siapa dirinya. Gambaran fisik biasanya mengarah pada penampilan anak, sedangkan psikologis lebih
mengarah kepada pikiran, perasaan dan emosi anak.

Jika orang tua menginginkan anaknya bertumbuh untuk menjadi pribadi yang sehat, mereka harus
membantu mengembangkan konsep diri yang positif dan benar pada anak mereka. Konsep diri yang
benar adalah mengacu pada gambaran atau pendapat Allah tentang manusia yang diciptakan segambar
dengan Dia pada anak mereka. Konsep diri siswa Kristen adalah sebagai pribadi yang telah ditebus
Kristus, dikasihi dan dimiliki oleh Kristus. Inilah konsep diri orang percaya sebagai anak-anak Tuhan.

Oleh sebab itu, anak yang rendah diri perlu diberi bimbingan konseling dan pengertian bagaimana Allah
mengasihi dia apa adanya. Allah memandang setiap orang percaya adalah berharga di hadapan-Nya.
Setiap orang adalah unik, sehingga tidak seorangpun yang sama sebab anak memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing.

Sebagai guru Pendidika Agama Kristen (PAK), ia juga terpanggil untuk melayani siswanya yang
mengalami rendah diri. Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) perlu membantu siswa yang mengalami
rasa rendah diri dengan cara menunjukkan sikap menerima keberadaan siswa apa adanya, bersikap
peduli, bersikap belas kasih dan berlakui adil serta menjadi teladan yang baik. Di samping itu, guru
Pendidikan Agama Kristen (PAK) dapat mengadakan bimbingan konseling secara khusus pada orang tua
dan juga anak.

Bimbingan konseling guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) di sekolah bertujuan untuk mewujudkan
peserta didik bahwa dirinya adalah pribadi yang tidak terlepas dari ancaman hukuman maut (Rm 6:23).
Ia juga menyadari dirinya membutuhkan Juruselamat yang mampu membebaskan dari hukuman maut
(Luk 19:10), dan pada akhirnya peserta didik tiba pada perjumpamaannya dengan Tuhan Yesus sang
Pembimbing yang Agung.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tugas utama guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) sebagai seorang
konselor bagi siswa yang rendah diri adalah:

Berperan sebagai pemberi layanan bimbingan agar konseli mampu menyadari kelemahan dirinya,
mampu melihat kebenaran, dan arah untuk penyelesaian masalahnya, sehingga ia dapat menunjukkan
suatu perubahan perilaku pada dirinya yang diharapkan.

Mampu memanfaatkan setiap kesempatan yang baik untuk menyatakan kasih Kristus dan menolong
konseli kepada suatu perjumpaan dengan Tuhan sang Juruselamat manusia.

Saran

Secara Teoritis

Disarankan kepada para pakar bimbingan konseling untuk melakukan kajian tentang pentingnya
bimbingan konseling bagi anak-anak Sekolah Dasar. Karena anak-anak sekolah dasar merupakan tunas
harapan bangsa yang perlu mendapatkan bimbingan sehubungan dengan banyaknya masalah yang
dihadapi oleh anak-anak yang masih muda belia.

Secara Praktis

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK)

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) perlu menyediakan waktu khusus untuk memberikan perhatian
kepada siswa/peserta didiknya agar dapat menumbuhkan rasa percaya diri kepada siswa/peserta yang
mengalami rasa rendah diri

Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) bukan hanya sekedar memberikan materi pelajaran saja tetapi
juga harus dapat memberikan motivasi pada siswa/peserta didik yang mengalami rasa rendah diri agar
mereka dapat memiliki rasa percaya diri.

Bagi Orang Tua

Diharapkan orang tua bisa menerima keberadaan anaknya seutuhnya, tanpa harus mempercakapkan
segala kelemahan yang ada pada diri anak. Sebaliknya orang tua memotivasi anak untuk mencapai hal-
hal yang positif bagi masa depan anak dengan tidak membanding-bandingkan anak dengan anak yang
lain. Anak memiliki bakat yang berbeda-beda sehingga orang tua perlu membantu mengembangkan
bakat anak untuk mencapai keberhasilan bagi kemuliaan Tuhan.

Orang tua perlu bersikap adil, tidak menuntut anak untuk mencapai keberhasilan di segala bidang. Bila
anak gagal mencapai bidang tertentu, maka ia tidak merasa gagal dalam hidupnya karena tidak
mencapai harapan orang tua. Orang tua perlu membimbing anaknya untuk menerima kenmyataan
bahwa manusia bisa gagal itu adalah wajar. Dengan demikian anak tidak rendah diri karena
kegagalannya.

Orang tua tidak sewenang-sewenang menghukum anak. Orang tua perlu penuh pengertian terhadap
setiap kesalahan anak. Hal ityu bukan berarti setiap kesalahan dibiarkannya. Teguran, hukuman bisa
dilaksanakan asal tidak berlebihan dan wajar saja sehingga tidak merusak kepribadian anak. Orang tua
menyerang kesalahan anak, dan bukan menyerang harga diri anak. Hukuman didasari kasih akan
membantu anak berkembang ke arah konsep diri yang sehat dan benar. Hukuman tidak dipandang oleh
anak sebagai penolakan, tetapi wujud kasih orang tua pada anak.

Orang tua perlu menyediakan waktu, perhatian untuk membimbing anak yang rendah diri agar dia tidak
merasa cemas, kuatir dan ketakutan dengan kelemahan-kelemahan yang ada di dalam dirinya. Sikap
positif tersebut akan berdampak positif dan besar karena anak merasa dirinya diterima, dikasihi,
dihargai oleh orang tua. Dengan demikian, anak tidak perlu merasa diri rendah dengan kelemahan-
kelemahan yang dimilikinya.

Bagi Siswa

Diharapkan anak mampu menerima keberadaan dirinya secara benar tanpa harus cemas dan kuatir
dengan kelemahan yang dimilikinya.

Diharapkan anak tidak menjadi kelemahan untuk alasan rendah diri. Sebaliknya mengenali dan
mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya untuk masa depannya dan juga bagi kemuliaan
Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amti, Prayitno Erman (1997).Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Depdikbud.

Centi, J. Paul (1993). Mengapa rendah Diri. Yogyakarta : Kanisius.

Charis, Edwin (2006). Karena Anda Berperan Membuat PAK Lebih Bermakna. Bandung: Jurnal Media.

Crabb, Larry (1995). Konseling yang Efektif & Alkitabiah.Yogyakarta : Andi.

Dargatz, Jan (1999). 52 Cara Membangun Harga Diri dan Percaya Diri Anak. Jakarta : Pustaka Tangga

Gunarsa, Singgih dan Ny Singgih (1995). Psikologi Untuk Membimbing. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Hensley, Margaret. (1997). Konsep Diri dan Kedewasaan Rohani. Bandung : Kalam Hidup.

Hurlock, Elisabeth B (1994). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Juntika, Nurihsan ( 2005). Manajemen Bimbingan Konseling di SD Kurikulum 2004. Jakarta :


Gramedia.

Mesach, Krisetya (1998). Teologi Pastoral. Semarang : Panji Graha

Meyer, Joyce (2004). Cara Untuk Sukses Menjadi Diri Sendiri. Batam : Interaksa.
Mulyono, Y.Bambang (1996). Mengatasi Kenakalan Remaja. Yogyakarta : Andi.

Mugiarso, Heru,dkk (2004). Bimbingan dan Konseling. Semarang : UNNES

Narramore, Clyde M (2000). Mengatasi Rasa Rendah Diri. Bandung : Kalam Hidup.

Nainggolan, Jhon M (2007). Menjadi Guru Agama Kristen : Suatu Upaya Peningkatan Mutu dan Kualitas
Profesi Keguruan. Bandung: Generasi Info Media.

Non-Serrano, Janse Belandina (2009). Profesionalisme Guru & Bingkai Materi PAK. Bandung : Bina Media
Informasi.

Price, M. Yesus Guru Agung. Bandung : Lembaga Literatur Baptis.

Susabda, Yakub B (1996). Pastoral Konseling 2. Malang : Gandum Mas.

Sugiyo, dkk ( 1987). Bimbingan dan Konseling Sekolah. Semarang : IKIP Semarang.

Slameto (1998) Bimbingan di Sekolah. Jakarta: Bina Aksara.

Sidjabat,B.S (2000). Menjadi Guru Profesional: Sebuah Perspektif Kristiani. Bandung : Kalam Hidup.

Sidjabat,B.S (2008). Membesarkan Anak dengan Kreatif. Yogyakarta : Andi.

Surya,M (1998). Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan, Jakarta : UT

Tomatala, Magdalena (2000). Konselor Kompeten. Jakarta : Leadership Foundation.


Tondowidjojo (1985). Kunci Sukses Pendidik, Yogyakarta : Kanisius.

Wegde, Florence (1999). Mengatasi Rasa Rendah Diri. Bogor : Mardi Yuana.

Wibowo, Mungin Eddy (1988). Konseling di Sekolah. Semarang : IKIP Semarang.

Winkel, W.S (1991). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta : Alfabeta.

Winkel, W.S (1984). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jakarta : Gramedia.

Winkel, W.S (1991). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta : Grasindo.

Wright, H. Norman (1993). Konseling Krisis. Malang : Gandum Mas.

Anda mungkin juga menyukai