Anda di halaman 1dari 9

TEORI-TEORI PAK KONTEMPORER

Relevansi Penggunaan Tongkat dalam PAK


Menurut Amsal 13:24

Oleh:
Marlon Brando Gumabo

Dosen Pengampu:
Dr. Janneman R. Usmany, M.A., M.Pd.K

SEKOLAH TINGGI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (STIPAK)


DUTA HARAPAN MALANG
12 OKTOBER 2019
PENGGUNAAN TONGKAT DALAM MENDIDIK ANAK
MENURUT AMSAL 13:24

Teks Amsal 13:24

“Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi
anaknya, menghajar dia pada waktunya”

Pendahuluan

Pendidikan merupakan tolak ukur sebuah kesuksesan dalam diri seseorang.

Pendidikan membuat seseorang dinilai terdidik atau tidak, terlepas dari konsentrasi

dan keahlian yang dikuasainya. Secara umum, pendidikan sekuler merupakan salah

satu pendidikan yang paling banyak diikuti dan diminati oleh khalayak ramai.

Namun, pendidikan keagamaan adalah salah satu jalan untuk membentuk seseorang

tidak hanya sampai pada logika dan pengetahuannya saja, akan tetapi lebih berfokus

pada karakter rohani yang akan dimiliki oleh obyek dari pendidikan keagamaan

tersebut.

Pendidikan Agama Kristen merupakan salah satu pendidikan keagamaan yang

bertujuan untuk merubah dan membentuk pribadi yang menerima didikan Alkitab

menjadi murid Kristus (Mat.28:19). Meskipun untuk menjadi murid sejati Kristus

adalah pergumulan seumur hidup. Akan tetapi disini, Pendidikan Agama Kristen

bertugas untuk mengarahkan setiap pribadi yang rindu menjadi murid-Nya untuk

berada dan berjalan di jalur yang tepat menuju kesempurnaan seperti Kristus.

Makalah pendidikan Agama Kristen yang ditulis oleh penulis dalam bagian ini

berfokus pada pembahasan pola didik yang salah kaprah terhadap tongkat yang

digunakan oleh para orang tua Kristen terhadap anak-anak mereka. Bagi

kebanyakan orang tua Kristen modern ini, penggunaan tongkat tidaklah relevan

terhadap pola didik yang akan diajarkan kepada anak karena akan melukai hati dan
membentuk mereka menjadi pribadi yang kasar. Namun, sebaliknya Alkitab

menasehati para orang tua Kristen agar memakai tongkat dalam mendidik anak-anak

mereka. Tentunya, makalah ini akan mencoba menemukan maksud dari penggunaan

tongkat dalam Amsal 13:24 dan membantu para orang tua Kristen agar memahami

dan mengaplikasikan kebenaran ini dengan benar.

Latar Belakang Penulis

Kitab Amsal, Ayub, dan Pengkhotbah, merupakan bagian dari tulisan-tulisan

hikmat pada Perjanjian Lama (Sinulingga: 2007, 1). Kitab-kitab dari Perjanjian

Lama dalam bahasa Ibrani biasanya diberi judul menurut kata-kata pertama kitabnya.

Karena itu, Kitab Amsal seharusnya berjudul misyle syelomo (“Amsal-amsal

Salomo”), yaitu menurut kata-kata dalam Amsal 1:1a. Kemudian, judul ini

dipersingkat Orang Yahudi menjadi misyle (“Amsal-amsal”). Itulah sebabnya dalam

Alkitab bahasa Indonesia kitab ini diberi judul “Amsal”.

Menurut Ensiklopedia Alkitab Masa Kini dalam tradisi Yahudi, raja Salomo lah

penulis sebagian besar kitab Amsal yang ada sekarang. Meskipun di dalam Amsal

ada 2 penulis minor seperti Agur bin Yake (pasal 30) dan Lemuel, Raja Masa (pasal

31:1-9), namun, kitab Amsal lebih identik dan melekat pada diri Salomo. Barth

(2005) mengatakan bahwa kitab-kitab berisi pengajaran hikmat yang, menurut

anggapan orang Yahudi di kemudian hari, semuanya terkarang oleh Salomo;

sebagiannya di dalam, sebagiannya lagi di luar kanon Alkitab Ibrani.

Tradisi Alkitab di awal kitab Raja-raja menunjukkan tentang pemerintahan

Salomo yang dimana hikmat sebagai temanya yang terkemuka. Maklumlah, raja

Salomo telah dianugerahi suatu hati “yang penuh hikmat dan pengertian” (1 Raj.

3:12). Begitu besar makna pemberian anugerah itu, sehingga seluruh bumi
berikthiar menghadap Salomo untuk menyaksikan hikmat yang telah ditaruh Allah di

dalam hatinya (1 Raj. 10:24); ratu negeri Syeba pun diriwayatkan pernah dating ke

Yerusalem untuk menguji kebenaran berita-berita yang telah diterimanya ( 1 Raj.

10:1-10).

Kajian Teori

Amsal sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai misal;

umpama; perumpamaan. Menurut Bergant (1989) Amsal memiliki ciri-ciri yang

umum dan mudah dikenali oleh pembaca. Ciri-ciri tersebut adalah: 1) singkat; 2)

padat; 3) mudah diingat; 4) berpijak pada pengalaman; 5) kebenaran universal; 6)

untuk tujuan praktis; dan 7) lama digunakan (asalnya dari tradisi). Maksud dari ciri

ini, menurut Wismoadi (1986) untuk membantu para orang tua Yahudi dengan mudah

mendidik dan mengingatkan apa saja yang benar dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Seluruh pendidikan dan pengajaran Israel pada zaman dahulu utamanya ditujukan

kepada anak-anak Israel, agar mereka memiliki hikmat membedakan mana yang baik

dan tidak.

Lasor dalam Sinulingga (Teks Amsal 13:24 masuk dalam kumpulan 375 Amsal

Salomo yang menurut tradisi Yahudi adalah sebagai bagian yang tertua dalam kitab

Amsal Lasor melanjutkan Amsal 10-25 terdiri dari dua baris yang struktur puisinya

biasanya bersifat pententangan (antitetik), yakni baris kedua menyatakan gagasan

yang berlawanan dengan baris pertama:

“Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi;

Siapa tidur pada waktu panen membuat malu.” (Ams. 10:25)

Amsal 13:24 pun memiliki pertentangan

“Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya;


Tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya”

Struktur ini sangat sesuai untuk pengajaran hikmat karena menjelaskan segi

positif dan segi negatif dari suatu sikap atau kelakuan. Lebih dari itu, struktur ini

menekankan kepada orang tua Yahudi dan anak-anaknya untuk menjadi orang bijak

yang memilih untuk berjalan di jalan orang benar (bijak) dan jalan orang jahat

(bodoh).

Tanggapan Wycliffe (2017) mengenai pemakaian tongkat dalam teks Amsal

13:24 sangat fleksibel dan situasional. Maksud dari pemikiran Wycliffe ini terlihat

dari pernyataannya, “Tak mau menghajar anak berarti memanjakan anak," sudah

menjadi peribahasa yang umum. Tetapi, kita harus ingat bahwa Kitab Amsal tidak

menganjurkan pemukulan yang brutal. Hajaran fisik juga bukanlah satu-satunya

cara mendidik anak (bdg. 22:6). Sesungguhnya, mengajarkan kebenaran dan takut

akan Tuhan merupakan cara yang tanpanya pemberian cemeti tidak akan efektif”.

Sejalan dengan Wycliffe, Henry menafsirkan teks Amsal 13:24 dengan

pemahaman yang sangat “harafiah”. Dia mengatakan bahwa,

demi mendidik anak-anak dalam hal kebaikan, penting untuk mengoreksi


apa yang salah pada mereka. Setiap anak yang kita miliki adalah anak Adam, dan
karena itu di dalam hatinya melekat kebodohan yang harus sedikit banyak ditegur
dengan tongkat dan teguran yang memberikan hikmat (Henry, 2013) Tidak
hanya berhenti disitu, Henry menambahkan dengan mengatakan orang yang tidak
mendidik anak-anak mereka dengan disiplin yang ketat, dan dengan segala cara
yang pantas, dan cara-cara yang keras bila yang lembut tidak berhasil, mereka itu
sebenarnya membenci anak-anak mereka, meskipun sangkanya mereka sayang.

Pulpit Commentary yang ditulis oleh Rev. Joseph dan Henry Donald pada abad

ke-19 mengomentari Amsal 13:24 dengan mengatakan “Correction of children is a

great point with his author (see Proverbs 19:18; Proverbs 22:15; Proverbs 23:13, etc.;

Proverbs 29:15, 17) (Koreksi kepada anak-anak adalah poin yang besar/utama dengan

penulis Amsal ini (lihat Amsal 19:18; Amsal 22:15; Amsal 23:13, dll.; Amsal 29:15,

17). Pernyataan dalam Pulpit Commentary sangat benar, jika melihat isi Kitab Amsal
dari pasal 1-31 yang selalu merujuk kepada para anak Yahudi untuk memilih yang baik,

berhati-hati terhadap sikap negatif, dan melakukan perbuatan kebajikan.

Analisa Penulis

Kata “menggunakan” yang dipakai dalam Alkitab Indonesia dalam Amsal 13:24,

diterjemahkan dari kata “Spares” yang dipakai King James Version dan New

International Version. Kata “Spares” berasal dari kata Ibrani “Chasak” yang artinya

menahan atau menyembunyikan. Namun kata “Spares” sendiri lebih tepat jika

diterjemahkan dengan kata “Meluangkan” Maksud dari kata ini adalah suatu

keadaan yang sangat situasional terhadap apa yang dikerjakan dan dialami. Kamus

Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi kata “meluangkan” sebagai memberikan

kesempatan kepada suatu keadaan, namun tidak selalu ada kesempatan untuk keadaan

tersebut. Hal ini menandaskan bahwa pemakaian tongkat untuk mendidik anak-anak,

tidak selalu harus dipakai untuk mengajarkan kebaikan, namun hanya dipakai dalam

keadaan yang sangat perlu.

Kata “tongkat” sendiri berasal dari kata Ibrani “shebet” yang memiliki pengertian

juga adalah “tongkat” secara harafiah. Shebet mempunyai arti sebuah tongkat (untuk

menopang) dan juga diterjemahkan menjadi ”tongkat gembala”. (Im 27:32). Selain

itu, dalam tradisi Yahudi, para gembala menggunakan tongkat sewaktu menuntun

kawanan ternak, untuk mengendalikan dan menolong ternak itu. Kemungkinan

tongkat yang dimaksudkan oleh Amsal 13:24 adalah tongkat yang sama untuk

menuntun domba-domba orang Israel. Hal ini berarti, penggunaan tongkat yang

dimaksudkan dalam teks diatas adalah untuk menuntun, mengendalikan, dan

menolong anak-anak Yahudi untuk menjadi pribadi yang benar.


Dalam Mazmur 23, Yahweh diumpamakan sebagai gembala yang baik yang

menuntun anak-anaknya dengan menggunakan tongkat (ayat 1-4). Yahweh menjadi

teladan bagi setiap orang tua Yahudi dalam menggunakan tongkat mereka terhadap

anak-anaknya. Jika Yahweh menggunakan tongkatnya demi membawa

anak-anaknya ke padang yang berumput hijau dan air yang tenang, demikian para

orang tua Yahudi pun harus punya sebuah alasan dalam menggunakan tongkat kepada

anak-anak mereka, yaitu hanya demi anak-anak mereka mendapatkan kebaikan di

masa mendatang.

Kesimpulan

Pendidikan Kristen yang Alkitabiah dalam teks Amsal 13:24, tidak serta merta

memerintahkan para orang tua Kristen untuk selalu menggunakan tongkat dalam

mendidik anak-anak mereka. Kebenaran yang dituliskan raja Salomo dalam hikmat

Allah sedang menyarankan orang tua Kristen era ini untuk menjadikan pilihan

memakai tongkat sebagai pilihan situasional dan fleksibel terhadap suatu kesalahan.

Tongkat dapat digunakan dengan tujuan demi kebaikan anak-anak, dan tidak dapat

dipakai tanpa tujuan yang bijak, bahkan akan sangat berlawanan dengan maksud ayat

ini, jika hanya demi melampiaskan amarah kepada mereka.

Alasan yang lebih agung dan mulia terhadap pemakaian tongkat, tentunya harus

mendasar pada sikap dan gambaran dari Gembala Agung, yaitu Tuhan Yesus Kristus

sendiri yang mengatakan bahwa Dialah Gembala yang baik (Yoh. 10:11). Gembala

Baik ini, yang disinggung oleh ayah Salomo, Daud, sebagai Gembala yang menuntun

mereka kepada segala kebaikan dengan gada dan tongkat-Nya. Oleh sebab itu,

sudah seharusnya, para orang tua Kristen saat ini, tidak anti terhadap pemakaian

tongkat dalam mendidik anak mereka, namun ingatlah bahwa pilihan ini adalah

bersifat situasional, dan jika boleh menyarankan, mintalah hikmat Allah untuk
membimbing kita dalam menerapkan kebenaran ini, sehingga tindakan kita tidak

melukai hati anak-anak kita.


DAFTAR PUSTAKA

Barth, Christoph. 2005. Teologi Perjanjian Lama 3. Jakarta: Gunung Mulia.

Bergant, Dianne. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius.

Henry, Matthew. 2013. Tafsiran Matthew Henry: Kitab Amsal. Surabaya:

Momentum.

Sinulingga, Risnawaty. 2007. Tafsiran Alkitab. Kitab Amsal 1-9. Jakarta: Gunung

Mulia.

Wahono, S. Wismoady. 2009. Di sini kutemukan. Jakarta: Gunung Mulia.

Wycliffe, William. 2017. Tafsiran Alkitab Wycliffe Volume 2. Malang: Gandum

Mas.

Anda mungkin juga menyukai