Anda di halaman 1dari 61

22

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Budaya Masyarakat Batak


1. Pengertian Budaya
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.1
Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an
dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang
mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya
yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan budaya dan
kebudayaan. Dalam istilah antropolgi budaya perbedaan itu ditiadakan. Kata
budaya disini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari kebudayaan dengan
arti yang sama.2
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan kebudayaan,
berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama
mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala
daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.3
Di samping istilah kebudayaan, adapula istilah peradaban. Hal yang
terakhir adalah sama dengan istilah Inggris civilization. Istilah tersebut biasa
dipakai untuk menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju dan
indah, misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan,
kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya. Civilation ini lebih
sering diartikan dengan perkembangan sosial yang sudah maju. 4 Istilah peradaban
sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem
1

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, Cet.ke-3,2010),


h. 46.
2
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 2010), h. 31.
3
Ibid. h. 42.
4
A.P. Cowie, Oxford Learner’ Pocket Dictionary (Oxford: Oxford University Press,
1987), p. 64.
23

teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan dari
masyarakat kota yang maju dan kompleks. Apabila dibandingkan kebudayaan dan
peradaban maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan lebih banyak direfleksikan
dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, sedangkan peradaban terefleksi
kepada politik, ekonomi dan teknologi.5
Ada tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts.
Kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,
norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.6
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai tadi, dalam kenyataan kehidupan
masyarakat tentu tidakterpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat
istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia.Baik pikiran-pikiran dan ide-
ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan
fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup
tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya
sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara
berfikirnya.
Sungguhpun ketiga wujud dari kebudayaan tadi saling berkaitan, tetapi
untuk keperluan analisis perlu diadakan pemisahan antara tiap-tiap wujud itu. Hal
ini sering dilupakan, tidak hanya dalam diskusi-diskusi atau dalam pekerjaan
sehari-hari ketiga wujud dari kebudayaan tadi sering dikacaukan, tetapi juga
dalam analisis ilmiah oleh para sarjana yang menamakan dirinya ahli kebudayaan
atau ahli masyarakat, dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara
ketiga hal terurai tadi.
2. Budaya Hukum

Effrat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1986), h. 5.


6
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985),
h. 5.
24

Nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi terhadap
hidup, bersifat amat umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk
bertindak bersifat khusus, sedangkan perumusannya bersifat amat terperinci, jelas,
tegas dan tidak meragukan. Hal itu memang seharusnya demikian, sebab kalau
terlampau umum dan luas ruang lingkupnya, serta terlampau kabur perumusannya
maka norma tersebut tidak dapat mengatur tindakan individu dan membingungkan
individu yang bersangkutan mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan suatu
tindakan.
Dalam setiap pranata itu terdapat macam-macam kedudukan. Dalam tiap
kedudukan ada seorang individu yang bertindak mementaskan peranan sosialnya
terhadap tindakan-tindakan lain individu warga masyarakat dalam interaksi
sosial. Para individu dalam hal mementaskan peranan mereka tidak bertindak
membabi buta, tetapi bertindak menurut aturan-aturan tertentu, yaitu menurut
norma-norma khusus yang jelas, tegas dan tidak meragukan.
Norma-norma dalam rangka suatu pranata dan sub-subpranata sudah tentu
erat berkaiatan satu sama lain, dan juga karena merupakan suatu sistem yang
terintegrasi. Selain itu norma-norma dalam suatu pranata sudah tentu juga
berkaitan dengan norma-norma dalam pranata-pranata lain yang berdekatan,
menjadi sistem-sistem yang lebih luas. Sistem-sistem yang lebih luas itu dapat
kita sebut unsur-unsur kebudayaan universal, dan mengenai konsep itu akan
diuraikan lebih khusus dalam subbab selanjutnya.
Dalam masyarakat yang sederhana, dimana jumlah pranata dalam
kehidupan masyarakat masih sedikit, dan jumlah norma dalam suatu pranata juga
kecil, maka satu orang ahli adat dapat mencakup pengetahuan mengenai semua
norma dalam banyak pranata, bahkan sering sekali semua pranata yang ada dalam
masyarakatnya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang kompleks dimana jumlah
pranatanya sangat banyak dan jumlah norma tiap pranata juga sangat besar,
seorang ahli seperti ahli adat dalam masyarakat yang sederhana, tidak dapat lagi
menguasai seluruh pengetahuan mengenai semua sistem norma yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, ada ahli khusus mengenai norma
kekerabatan, ahli khusus mengenai norma perdaganagan, ahli khusus mengenai
25

norma keagamaan dan sebagainya. Bahkan dalam masyarakat yang kompleks


seperti itu, norma-norma dalam satu pranata sudah sedemikian banyaknya
sehingga sistem itupun tidak dapat lagi dikuasai oleh satu orang dan terpaksa
dibagi antara sejumlah ahli. Misalnya, norma pranata ekonomi sudah menjadi
demikian banyaknya sehingga perlu ada ahli khusus mengenai norma-norma
perdagangannya, ahli khusus mengenai norma perburuhannya, ahli khusus
mengenai norma koperasinya dan lain sebagainya.
Mengenai perbedaan antara adat dan hukum adat, atau mengenai ciri-ciri
dasar dari hukum dan hukum adat, memang sudah sejak lama menjadi buah
pemikiran para ahli antropologi. Mereka dapat kita bagi dalam dua golongan.
Golongan pertama beranggapan bahwa tidak ada aktivitas hukum dalam
masyarakat yang tidak bernegara (seperti masyarakat kelompok berburu dan
meramu, masyarakat peladang yang tidak mengenal dunia lain di luar desa
mereka). Anggapan itu terutama disebabkan karena para ahli menyempitkan
defenisi mereka tentang hukum hanya pada aktivitas-aktivitas hukum dalam
masyarakat yang bernegara. Dipandang dari sudut itu, maka aktivitas hukum akan
berupa suatu sistem penjagaan tata tertib masyarakat bersifat memaksa dan
disokong oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan yang diorganisasi oleh suatu
Negara. Apabila dalam suatu masyarakat seperti masyarakat kelompok berburu
dan meramu, atau masyarakat peladang itu tidak ada suatu sistem yang dapat
disamakan dengan itu, maka menurut mereka dalam masyarakat itu memang tidak
ada sistem hukumnya. Ahli antropologi A.R. Radeliffe Brown menganut
pendirian ini. Pendiriannya mudah, tetapi kemudian timbul masalah tentang cara
masyarakat yang tidak ada hukumnya berhasil menjaga tata tertib di dalamnya,
mengenai itu Radeliffe Brown percaya akan adanya suatu kompleks norma umum,
yaitu adat yang berada di atas individu, sifatnya mantap dan kontinu, mempunyai
sifat memaksa. Demikianlah mereka berpendirian bahwa tata tertib masyarakat
tanpa sistem hukum itu tetap terjaga, karena warganya mempunyai suatu ketaatan
yang seolah-olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran mak secara
otomatis pula akan timbul rekasi masyarakat untuk menghukum pelanggaran itu.
26

Ketika dikaitkan budaya dengan hukum, maka ia menjadi budaya hukum,


yang berarti tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-
gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai
dan prilaku hukum. Jadi budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku
individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan orientasi
yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.7
Budaya hukum bukan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari
masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh karenanya
dalam membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat,
sistem dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum itu.8
3. Budaya Hukum Masyarakat Batak
a) Filsafat Hidup Masyarakat Batak
Banyak defenisi tentang kebudayaan yang telah diajukan oleh para ahli
antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan kesusateraan. Bahkan ada sekitar 160
rumusan defenisi kebudayaan menurut hasil studi Kluchohn dan Kroeber. Salah
seorang di antaranya ialah E.B. Taylor yang memberikan defenisi tergolong
klasik. Defenisi kebudayaan memang masih sulit untuk dikesampingkan begitu
saja. Bahkan menurut penulis defenisi yang muncul kemudian banyak mengacu
kepada defenisi Taylor, dengan penciptaan kekhususan-kehususan baru sesuai
fenomena yang diminati. Jadi untuk mempermudah pengertian kebudayaan,
defenisi tersebut masih layak dipergunakan sebagai salah satu acuan untuk
mengkaji masalah kebudayaan masa kini, di samping defenisi lain yang lebih
kontemporer.
Pengertian kebudayaan yang dikemukakan ialah menyangkut keseluruhan
ilmu pengetahuan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan, serta kemampuan lainnya
yang diperoleh sebagai anggota masyarakat. Unsur-unsur yang terdapat dalam
batasan tersebut, ilmu pengetahuan dan adat merupakan induk dari banyak unsur,
bagian kehidupan manusia yang dinamakan kompleks kebudayaan (cukture
complex). Kompleks kebudayaan pada hakikatnya terdiri atas berbgai ciri budaya
7

Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, h. 51.


8
Ibid.
27

atau cukture traits yang merupakan praksis budaya secara khusus dalam proses
kehidupan sosial pemilinya. Kebudayaan secara universal memiliki tujuh unsur
yang terdiri atas sistem religi dan uppacara agama, sistem organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian,
serta sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut
merupakan kompleks kebudayaan yang secara universal ditemukan pada
kebudayaan bangsa-bangsa. Koentjaraningrat kemudian mendefenisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan hasil belajar dan proses belajar
itu sendiri.
Kedua defenisi kebudayaan yang disebutkan di atas mengandung unsur
yang sama. Perbedaannya hanya menyangkut sistematika. Sistematika dan
pengelompokan dari Koentjaraningratlebih jelas. Unsur moral, adat, hukum, dan
kebiasaan yang dikemukakan Tylor, oleh Koentjaraningrat disatukan dalam satu
unsur yang dinamakan sistem organisasi kemasyarakatan. Sistematika defenisi
Tylor ialah penyampaian unsur-unsur yang menjadikan adanya kebudayaan.
Kluckhohn yang pernah meneliti defenisi kebudayaan bersama Kroeber,
mengajukan satu rangkaian defenisi kebudayaan yang lebih kompleks tetapi
mengandung esensi cakupan yang sama luas dengan defenisi yang diajukan kedua
penulis sebelumnya. Salah satu rangkaian defenisi tersebut, seperti disinggung
Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan tingkah laku yang
dipelajari (culture is learned behavvior). Defenisi kebudayaan selengkapnya
Kluchohn adalah:
(1)The total way of life of a people, (2) the social legacy the individual
acquires from group (3) a way thingking, feeling and believing; (4) an abstraction
from behavior;(5)a theory on the part of the anthropologist about the way ini
which a group of people in fact behave;(6)a store house of pooled leraning;(7) a
set standardized orientation to reccurent problems;(8) learned behavior;(9) a
mechanism for the normative regulation of behavior;(10) a set of techniques for
adjusting both to the external environment and the other men;(11)a precipitate of
history.
28

Defenisi tersebut menyebutkan bahwa kebudayaan ialah (1) keseluruhan


cara hidup manusia;(2) warisan sosial yang diperoleh setiap orang dari
kelompoknyan (3) cara berfikir, merasakan dan kepercayaan; (4) suatu abstraksi
tingkah laku; (5) suatu teori dibidang antropologi tentang cara satu kelompok
bertingkah laku secara nyata;(6) gudang terhadap pelajaran yang dikumpulkan ;(7)
suatu orientasi yang baku terhadap masalah yang sering terjadi;(8) tingkah laku
yang dipelajari;(9) suatu mekanisme peraturan tingkah laku;(10) suatu teknik
penyesuaian baik terhadap lingkungan eksternal maupun kepada orang lain;(11)
suatu endapan sejarah.9
Defenisi kuchohn mencakup hampir semua aspek kehidupan manusia.
Defenisi tersebut dapat berdiri sendiri, tinggal memilih mana yang sesuai dengan
tujuan pemakai. Namun kalau dikaji lebih dalam, sebaiknya defenisi tersebut
dikawinkan satu dengan yang lainnya. Penulis setuju pada defenisi yang
mengatakan bahwa kebudayaan ialah keseluruhan cara hidup manusia. Cara hidup
tersebut kemudian dapat dijabarkan ke dalam indikasi-indikasi seperti kebiasaan,
tata krama ataupun penggunaan norma-norma adat. Cara hidup dapat diartikan
sebagai metode untuk melangsungkan kehidupan secara teknis, teknologi, religi
dan sebagainya. Jadi, unsur-unsur kebudayaan universal yang disebutkan oleh
Koentjaraningrat dapat dipergunakan sebagai penjabaran defenisi dari Kluckhohn.
Penulis juga tidak melihat kekurangan defenisi yang mengatakan bahwa
kebudayaan ialah a leraned behavior. Defenisi tetap harus dijabarkan ke dalam
rincian yang operasional, karena memang setiap orang mempelajari segala sesuatu
menyangkut kehidupan di dalam kelompok sosial dan masyarakatnya. Dengan
berpegang pada defenisi-defenisi tersebut maka penulis cenderung sependapat
dengan Koentjaraningrat dan memakai defenisinya dalam tulisan ini, dimana
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.10

Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 138.
10
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 137-139.
29

Ketika disebut dengan nilai budaya, maka ia dapat dipahami sebagai nilai
yang dikandung oleh suatu kebudayaan dan unsur-unsur yang membedakannya
dari kebuadayaan lain. Nilai budaya merupakan tingkat terteinggi dan abstrak dari
adat-istiadat serta memberikan ciri dan karakter bangsa, suku, bahkan kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Dengan demikian, ada perbedaan nilai dan sistem
budaya dalam setiap kebudayaan. Nilai budaya tersebut meresapi hidup anggota
masyarakat sejak dini sehingga mengakar di dalam jiwa, sehingga nilai budaya
yang terdapat dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti begitu saja dalam
waktu singkat dengan nilai budaya lain walaupun dengan dalih rasionalitas.11
Perubahan sosial budaya dapat terjadi akibat perkembangan dari dalam
masyarakat dan pertemuan dengan budaya dari luar. Perubahan yang terjadi dari
dalam, oleh banyak pakar dihubungkan dengan teori evolusi perkembangan
masyarakat Charles Darwin dan Herbert Spencer. Teori ini dibantah dengan
penemuan masyarakat Aborigin di Australia yang tidak mendukung teori evolusi
itu. Perubahan dari dalam terjadi melalui inovasi sebagai akibat kesalahan secara
tak sengaja maupun karena adanya kebiasaan mengatasi setiap kesukaran.
Perubahan dari luar terjadi akibat kontak budaya dengan etnis lain sehingga terjadi
transmisi sosial budaya melalui jalur difusi, asimilasi dan akulturasi. Asimilasi
terjadi bila satu kebudayaan menyerap kebudayaan lain, sedangkan akulturasi
terjadi bila ada kontak dua kebudayaan dalam posisi sederajat.12
Karena nilai budaya termasuk nilai yang tertinggi di dalam masyarakat,
bentuknya abstrak, serta sifatnya umum, maka nilai tidak dapat dioperasikan
secara mudah. Nilai-nilai budaya masih harus dijabarkan dalam bentuk norma
yang sifatnya operasional. Norma ialah aturan-tauran tingkah laku yang
dirumuskan secara jelas, terperinci, tegas dan tidak meragukan. Tingkah laku yang
selalu berulang dan terorganisasi dinamakan kebiasaan (customs). Menurut
Sumner tingkah laku itu dinamakan folkways. Ada beberapa jenis kebiasaan,
demikian Sumner dan secara alamiah terdapat ikatan antara satu kebiasaan dengan

11

Ibid. h.140.
12
Ibid.h. 31.
30

kebiasaan lainnya. Pada perkembangan selanjutnya pengertian folkways ini


menyangkut nilai-nilai dan keragaman jenis norma.
Pada saat proses hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat
diwujudkan, maka setiap orang diminta untuk mematuhi nilai dan sistem budaya
yang terwujud di dalam adat istiadat yang mengandung norma-norma tersebut.
Pertengkaran sosial dapat terjadi jika ada sekelopok warga tidak mematuhi norma
yang berlaku di dalam masyarakatnya. Pertengkaran dapat berubah menjadi
konflik antar kelomopok bila ada yang menolak atau mengganti sistem dan nilai
serta adat istiadat dengan dalih rasionalitas, modernisasi atau kekuasaan, tanpa
persetujuan warga yang terorganisasi di dalam kelompok-kelompok.
Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa ada perbedaan
idealisme dan realisme. Secara umum diketahui bahwa kebudayaan mengandung
nilai-nilai yang tinggi, yang menjadi cita-cita utama, bahkan menjadi tujuan hidup
pemiliknya. Secara teoritis sering disebut dengan budaya ideal atau ideal culture.
Salah satu bagian budaya ideal tersebut dipergunakan sebagai sistem pedoman
hidup dan cita-cita, inilah yang dinamakan idiologi. Idiologi merupakan unsur
sistem nilai budaya. Secara operasional idiologi merupakan sistem pandang
kelompok masyarakat terhadap kenyataan berdasarkan pandangan hidup tertentu.
Idiologi adalah doktrin yang dipergunakan oleh kelompok masyarakat untuk
mencapai cita-citanya.
Untuk mewujudkan tujuan hidup seperti tertuang dalam idiologi,
diperlukan norma-norma berupa aturan-aturan yang harus menjadi pedoman
anggota masyarakat. Nilai-nilai budaya sebagai pedoman hidup sifatnya terlalu
umum dan wujudnya abstrak. Dalam hal ini dibutuhkan pedoman praktis yang
jelas, tegas, terperinci dan dapat dimengerti , kalau bisa dihayati oleh setiap
anggota masyarakat. Karena itu pula norma sosial yang berupa aturan-aturan
merupakan alat untuk mencapai cita-cita dan pedoman pratis yang dibutuhkan.
Sumner membagi norma atas norma ringan dan berat. Pelanggaran atas norma
berat akan menimbulkan ketegangan sosial dengan akibat berkepanjangan.
Melanggar berarti mendapat hukuman berat. Sedangkan pelanggran atas norma
ringan hanya mendapat sanksi ringan berupa cemoohan atau pelecehan oleh
31

umum. Norma dengan hukuman berat oleh Sumner dinakan mores dan norma
ringan dinamakan folkways. Mores dapat digolongkan sebagai adat istiadat dalam
arti khusus dan folkways merupakan tata cara di dalam kebiasaan. Mores dan
folkways merupakan ideal culture yang harus dituruti oleh warga masyarakat.13
Apabila dikaitkan dengan masyarakat Batak, maka falsafah hidup orang
Batak adalah menekankan kekayaan, banyak anak dan kehormatan (hamoraon,
hagabeon, dan hasangopan).14 Menurut pandangan orang Batak Toba,
kebudayaan memiliki sistem nilai budaya yang amat penting, yang menjadi tujuan
dan pandangan hidup mereka secara turun temurun yakni kekayaan (hamoraon),
banyak ketururunan (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon). Yang dimaksud
dengan kekayaan ialah harta milik berwujud materi maupun non materi yang
diperoleh melalui usaha atau warisan. Keturunan juga termasuk ke dalam kategori
kekayaan. Banyak keturunan ialah mempunyai banyak anak, cucu, cicit dan
keturunan-keturunannya, termasuk pemilikan tanaman serta ternak.
Dengan demikian, pandangan hidup atau identitas orang Batak Toba ialah
mencapai hamoraon, hagabeon, dan hasangopan atau kekayaan, keturunan dan
kehormatan.15 Kehormatan dan kemuliaan merupakan tujuan hidup tertinggi yang
ingin dicapai pada masa hidup dan juga sesudah mati (hagabeon). Kehormatan
merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat
seseorang.16
Menurut pandangan orang Batak, kebudayaannya memiliki sistem nilai
budaya yang amat penting, yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka
secara turun temurun, yakni kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon)
dan kehormatan (hasangapon). Yang dimaksud kekayaan ialah harta milik
berwujud materi maupun non materi yang diperoleh melalui usaha atau melalui
warisan. Keturunan juga termasuk ke dalam kategori kekayaan. Banyak keturunan
ialah mempunyai banyak anak, cucu, cicit dan keturunan-keturunannya, termasuk

13

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2010),h.87.


14
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 52.
15
Ibid. h. 156.
16
Ibid. h. 142.
32

pemilikan tanaman serta ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan


penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang.17
Hubungan sosial diatur oleh sistem yang berlandaskan kepada marga
(clan). Hubungan sosial antar marga diatur menurut dasar struktur sosial tungku
berkaki tiga (dalihan na tolu). Dalihan na tolu terdiri atas tiga unsur sosial, yakni
pemberi istri (hula-hula), penerima istri (boru) dan saudara semarga (dongan tubu
atau dongan sabutuha).18
Ketiga unsur sosial tersebut secara ideal dipandang setara. Namun dalam
kenyataan, unsur boru memandang kelompok hulahula lebih tinggi daripada
boru. Hubungan ke luar kelompok dalam struktur dalihan na tolu adalah
hubungan hulahula-boru, sedangkan hubungan ke dalam di antara anggota
kelompok, baik dalam kelompok hulahula, boru dan dongan tubu sendiri adalah
hubungan dongan tubu atau bersaudara semarga.
Secara pasti tidak diketahui sejak kapan sistem hubungan sosial
berdasarkan dalihan na tolu dimulai, dikenal dan berlaku di kalangan orang
Batak. Menurut Tobing, ada hubungan erat antara sistem hubungan sosial tersebut
dan kepercayaan keagamaan mereka; bahwa kelompok hulahula dianggap sebagai
representasi dewa Batara Guru, dongan tubu representasi dewa Batara Sori, dan
boru representasi dewa Bala Bulan (Mangala Bulan). Kepercayaan tersebut
berhubungan dengan kepercayaan Hindu, bahkan berasal dari pengaruh Hindu.
Berdasarkan pengenalan kepercayaan tersebut, maka dalihan na tolu diduga sudah
sejak lama dikenal dan dipakai sebagai sistem pengatur hubungan sosial.

17

Berdasarkan kajian yang dilakukan bahwa falsafah ini sebenarnya ada pada masyarakat
Batak Toba, sedangkan pada masyarakat Batak yang lain tidak seperti itu. Seperti pada masyarakat
Batak Mandailing, mereka berfalsafah bahwa agama Islam adalah tujuan hidup mereka. Mereka
akan berusaha mengamalkan agama Islam, sedangkan adat menyesuaikan diri dengan agama
Islam. Mereka memiliki falsafah hombar do adat dohot ibadat. Ini artinya adat dan ibadat tidak
bisa dipisahkan, adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada
hal-hal yang menggangu dengan pelaksanaan agama, adat itu harus dikesampingkan. Lihat
Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman (Medan: FORKALA
Prov. Sumatera Utara, 2005), h. 14.
18
Dalihan Na Tolu secara harfiah berarti tungku berkaki tiga . Ia dipakai sebagai simbol
sistem hubungan sosial masyarakat Batak Toba yang terdiri atas tiga kelompok unsur, yaitu
hulahula, boru, dan dongan tubu atau dongan sabutuha. Di Batak Karo dinamakan sangkep sitelu,
Batak Simalungun, tolu sahundulan lima saodoran, di Batak Angkola dan Mandailing dinamakan
dalihan na tolu.
33

Naskah Batak tertua yang ditulis oleh orang Batak dengan huruf Latin,
Ruhut Parsaoran di Habatahan (Aturan Hubungan Sosial Orang Batak) terbit
tahun 1898 dan Patik Dohot Uhum Ni Halak Batak (Hukum dan Aturan Orang
Batak) yang terbit tahun 1899, tidak menyinggung istilah dalihan na tolu. Kedua
buku tersebut menyebut aturan-aturan hubungan sosial dan hukum, bahkan istilah
hulahula, pamoruan (boru), dan parparibanon (sepengambilan istri)
dipergunakan juga, namun, rumusan dalihan na tolu tidak disebut. Akan tetapi,
menurut pengakuan orang Batak Toba, mereka menerima terminologi tersebut
sebagai warisan dari nenek moyang. Hal itu terbukti bahwa di dalam setiap
upacara adat, baik perkawinan maupun kematian, hubungan adat dalihan na tolu
selalu disebutkan sebagai warisan nenek moyang tidak boleh diubah. Jadi, sejak
orang Batak Toba bermukim di kaki Pusuk Buhit, dalihan na tolu sudah
dipergunakan sebagai pengatur hubungan sosial.
Marga adalah dasar terjadinya hubungan dalihan na tolu. Marga
merupakan nama kolektif sekelompok warga keturunan satu nenek moyang yang
dihitung dari tingkat atas atau grad/grade yang lebih tinggi. Menurut sejarah
Batak, ada dua marga induk yaitu, Sumba dan Lotung. Kemudian nama keturunan
kedua nenek moyang ini merupakan moiety, menjadi marga utama bagi marga-
marga di bawahnya. Misalnya, moiety Lotung melalui nama anaknya Saribu Raja
dan Lontung melahirkan marga-marga Situmorang, Sinaga, Pandiangan,
Nainggolan, Simatupang, Aritonang dan Siregar. Demikian juga Moitey Sumba
melalui putranya Tuan Soni Mangaraja dan Nai Rasaon memunculkan marga-
marga Manurung, Sitorus, Purba dan Tanjung. Jadi, nama kolektif marga muncul
dari nama seorang nenek moyang.
Hubungan antara kelompok boru dan kelompok hulahula bersifat sembah
sujud (somba). Artinya kedudukan hulahula terlihat lebih tinggi. Dalam
penerapan adat, kelompok hulahula adalah kelompok yang dipandang mampu
memberi berkat dan restu serta kekuatan jasmani dan rohani kepada kelompok
boru. Hulahula adalah debata na tarida (dewata yang tampak) dan mataniari
binsar atau matahari terbit yang sinarnya mempunyai kekuatan memberi hidup.
34

Ketika itu hubungan kelompok marga boru dilakukan secara mangelek


(membujuk). Artinya, kelompok hulahula tidak berlaku semena-mena, serta tidak
menimbulkan rasa sakit hati. Kelompok boru adalah kelompok yang diwajibkan
untuk selalu patuh, serta menjadi pembantu dan penunjang finansial atas segala
upacara adat bagi hulahula. Namun dewasa ini banyak kelompok boru yang tidak
bersedia melakukan kegiatan apapun dalam perhelatan hulahula-nya karena
merasa sakit hati. Disfungsionalisasi boru maupun hulahula sering terjadi di
kalangan orang Batak karena faktor sakit hati atau konflik.
Hubungan pada saudara-saudara semarga dilakukan dengan dasar nilai
monat mardongan tubu atau amat hati-hati dengan bijaksana terhadap saudara
semarga. Sikap kehati-hatian amat diperlukan karena mereka yang satu marga
biasanya hidup berdampingan di dalam satu desa atau satu wilayah pemujaan roh
nenek moyang atau keramat yang dinamakan bius. Orang Batak Toba percaya
bahwa pertikaian amat mudah terjadi di antara orang-orang yang bersaudara.
Penyebabnya antara lain pembagian warisan, pemilikan tanah yang dinamakan
golat, batas sawah, batas kebun, ternak, pemakaian halam desa, dan sebagainya.
Persoalan harta selalu merupakan pemicu konflik di kalangan orang semarga. Itu
sebabnya nilai hubungan bersaudara bersifat manat atau penuh kehati-hatian dan
kebijaksanaan.
Dengan adanya nilai budaya pada masyarkat Batak Toba, yaitu
menekankan kekayaan, banyak anak dan kehormatan (hamoraon, hagabeon, dan
hasangopan) yang diperjelas dengan dalihan natolu, maka muncul aturan-aturan
antara hulahula, dongan tubu serta boru. Aturan-aturan tersebut dapat dilihat
dalam pandangan mereka. Pandangan dan Sikap kepada hulahula (marga sumber
isteri) tersebut adalah:
obuk do jambulan rambut jadi gombak
na nidandan baen samara dijalin jadi cemara
pasu-pasu nihulahula restu dari hulahula
pitu sundut soada mora tujuh keturunan tanpa bahaya

hulahula mata ni ari binsar hulahula matahari terbit


35

sipanumpak do tondina rohnya pemberi berkat


sipanui ia sahalana jiwanya pemberi nasib baik
di nasa ponpranna kepada seluruh keturunannya
nidurung situma ditangguk ulat rama-rama
tarihut pora-pora terikut ikan pora-pora
pasu-pasu ni hulahula restu dari hulahula
mambahen na pogos gabe mamora menjadikan yang miskin jadi
kaya19
Dari bait di atas dapat dipahami bahwa dalam adat Batak, restu hulahula
yang diberikan kepada boru dianggap mampu membebaskan bahkan
menyelamatkan boru dan keturunannya tujuh generasi dari segala macam bahaya.
Ungkapan kedua menyatakan bahwa hulahula adalah awal matahari terbit.
Maksudnya, hulahula berfungsi sebagai sumber kehidupan, seperti matahari yang
berfungsi sebagai pemberi kehidupan kepada manusia. Sedangkan ungkapan
ketiga menyatakan bahwa berkat restu yang diberikan hulahula maka kekayaan
akan diperoleh. Tampak adanya fungsi ketuhanan yang terdapat pada kelompok
hulahula sehingga bernilai kepercayaan; memberi, menyumbang dan berkorban
kepada hulahula akan menghasilkan keselamatan, kehormatan, kekayaan dan
banyak keturunan.
Ada semacam peraturan bagaimana bersikap patuh kepada hulahula,
yakni: permintaannya tidak dapat ditolak apalagi menyangkut tumpak dan piso,
harus sopan santun, selalu mempersembahkan makanan adat, patuh kepada
keputusan hulahula bila ada pertikaian atau perkara di kalangan boru, setiap anak
lahir selalu dibawa ke rumah hulahula dengan membawa makanan adat
(paebathon). Dengan demikian dalam praktik kehidupan sehari-hari terutama di
dalam adat, status hulahula lebih tinggi daripada status boru.
Namun pada saat ini, kenyataan kehidupan sosial sehari-hari, hubungan
hulahula-boru yang bernilai tinggi bahkan tampak sakral, tidak seindah
idealitasnya. Sejak sebelum akhir abad ke-19 rupanya telah muncul sikap
19

W. Hutagalung, Adat Pardongan Saripeon di Halak Batak (Jakarta, Pustaka NV,1963),


17.
36

pelecehan kepada hulahula, terutama karena miskin. Dikatakan bahwa anak-anak


pun tidak suka mengunjungi hulahula yang msikin.20
Aturan selanjutnya adalah pandangan dan sikap kepada dongan tubu
(saudara semarga). Aturan tersebut adalah:
Na so sihol siapa tidak rindu
Mardongan sabutuha bersaudara semarga
Dang daionna gabe tidak beroleh keturunan

Tampulon aek do seperti memenggal air


Na mardongan sabutuha orang yang saudara semarga
Tali papaut tali untuk mengikat
Tali panggongan tali penyambat
Taripar laut pergi ke seberang laut
Sai tinanda do selalu kita kenal
Rupa ni dongan wajah saudara21
Budaya yang pertama menyatakan bahwa orang yang tidak mencintai
saudara semarga akan membuatnya tidak mempunyai keturunan yang banyak. Hal
ini dapat dimaklumi dengan adanya idiologi seperti ini maka akan muncul
pemahaman anak saudara juga merupakan anak kita. Dengan mencintai dongan
sabutuha, berarti ia telah mencintai semua keluarganya semarga. Padahal,
mempunyai keturunan banyak merupakan salah satu tujuan hidup orang batak.
Karenanya saudara semarga harus dicintai agar bisa mempunyai banyak
keturunan.
Ungkapan kedua menyatakan bahwa orang yang satu marga tidak dapat
berpisah selamanya, akan selalu muncul persatuan walaupun pada saat lain terjadi
perkelahian. Ungkapan ini menyatakan bahwa persatuan dan kesatuan akan tetap
terpelihara berdasarkan marga. Hubungan satu marga adalah hubungan permanen
yang tidak bisa dipisahkan. Perkelahian atau ketidakcocokan akan bisa hilang,
namun persaudaraan dongan saabutuha satu marga akan terus dijaga.
20

Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba...,h. 164.


21
A.N.P. Sibarani, Umpasa Batak Dohot Lapatana (Pematang Siantar: Parda, 19765), h. 46.
37

Ungkapan budaya yang ketiga menyatakan bahwa orang yang satu marga,
walau garis keturunannya sudah agak berbeda, akan tetap saling menjalin tali
persaudaraan seperti seibu sebapak. Melalui pengetahuan marga, amak tali
persaudaraan serta tanggung jawab sosial satu sama lain akan dijunjung tinggi.
Aturan yang ketiga adalah pandangan dan sikap kepada boru (pengambil
putri), yaitu:
Bunghulan do boru boru adalah wuwungan
Durung do boru boru adalah tangguk
Tamburan hulahula hulahula penerima ikan
Elek marboru kasih sayang kepada boru.22
Ungkapan yang pertama berarti bahwa boru menempati kedudukan yang
terhormat di kalangan hulahula. Bungkulan adalah kayu penyanggah utama atap
rumah. Seluruh perkayuan rumah terpikul ke atasnya. Oleh karena itu, fungsi
bungkulan amat penting bagi rumah. Demikian juga boru yang dilambangkan
sebagai penyangga hubungan sosial sesama hula-hula. Boru adalah kelompok
sosial yang akan mendamaikan hulahula bila terjadi pertikaian sesama hulahula,
akan memberi sumbangan materi demi keberhasilan horja, kinerja hulahula.
Boru sangat fungsional dalam relasi antar sesama hulahula atau dengan
masyarakat lain.
Ungkapan budaya yang kedua berarti bahwa boru adalah kelompok yang
akan selalu membuat senang hati hulahula lewat pemberian, upeti, sumbangan
dan sebagainya. Boru dilambangkan sebagai tangguk penangkap ikan, yang
fungsinya selalu memberi hasil jerih payahnya kepada hulahula yang
dilambangkan sebagai wadah ikan tangkapan. Sebagai imbalannya maka hulahula
akan memberi restu dan dengan restu itu ia akan memperoleh pahala berupa
kekayaan, banyak anak, dan kehormatan (hamoraon, hagabeon, hasangopan).
Agar boru dengan rela dan senang hati memberi upeti seperti dimaksudkan dalam
ungkapan ketiga, maka sikap kepada mereka adalah mangelek, membujuk, ambil
hati, mengayomi, kasih sayang dan tidak membuat sakit hati.

22

Ibid. h. 46
38

Dengan demikian, dukungan budaya terhadap fungsionalisasi struktur


sosial amat kuat. Fungsionalisasi struktur tersebut memberi dasar pada sistem
sosial yang dianut. Ungkapan yang utuh dikenal dalam kehidupan sehari-hari atas
ketiga unsur struktur sosial tersebut adalah somba marhulahula, manat
mardongan tubu, elek marboru (sembah sujud kepada hulahula, bijaksana
terhadap saudara semarga dan membujuk sayang kepada boru). Ungkapan
tersebut merupakan pedoman hubungan sosial orang Batak sebagai wujud nyata
sistem sosial yang dianut.
Itu merupakan budaya yang tumbuh dalam masyarakat Batak Toba.
Sedangkan setelah masuknya agama Kristen ke daerah Toba sebagai status baru
yang modern menimbulkan pergeseran nilai dalam tujuan hidup. Nilai
perdamaian (hadameon) dan persatuan (hasadaon) yang disebarluaskan oleh
agama Kristen kemudian masuk ke barisan tujuan hidup. Kedua nilai itu
dipandang amat rendah dalam pandangan orang Batak Toba pada zaman pra-
Kristen, terbukti dengan banyaknya peperangan yang terjadi di antara marga
maupun huta atau desa. 23
Dengan demikian, sudah muncul perubahan dan pertambahan idiologi atau
falsafah hidup pada orang Batak Toba, yang semulanya hanya tiga, yaitu
kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon) dan kehormatan
(hasangapon), sekarang sudah menjadi lima, yaitu kekayaan (hamoraon), banyak
keturunan (hagabeon), kehormatan (hasangapon), perdamaian (hadameon) dan
persatuan (hasadaon).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bungaran Antonius
Simanjuntak dalam disertasinya pada tahun 2009, bahwa tujuan yang konservatif,
yakni banyaknya keturunan masih tetap menjadi tujuan utama. Peringkat pertama
atas pilihan banyaknya anak merupakan pertanda bahwa yang terangkat ke
permukaan ialah status. Perdamaian dan persatuan yang menduduki peringkat
kedua merupakan nilai yang seharusnya, atau das sollen menurut ajaran agama
Kristen. Sedangkan tujuan hidup yang tadinya paling utama dan selalu

23

Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 157.


39

dikumandangkan yakni kekayaan dan kehormatan, kurang dipentingkan. Ini


merupakan kebudayaan idealisme (ideal culture).
Sedangkan secara ralisme, menurut Simanjuntak bahwa muncul sikap
kontroversial dan inkonsistensi. Tujuan hidup orang Batak yang utama adalah
mencari kekayaan (hamoraon) dan kehormatan (hasangapon). Dalam realisasi
pencapaian kedua tujuan ini terjadi persaingan dan perebutan. Persaingan
memperebutkan jabatan yang bermuatan kehormatan, kemuliaan dan bahkan
kekayaan, mendorong untuk saling mengalahkan. Pilihan peringkat keempat dan
kelima atas tujuan hidup kehormatan dan kekayaan merupakan kenyataan yang
terjadi sebagai pencerminan kontroversi nilai-nilai Kristian dan nilai tradisional.
b) Sistem Kekeluargaan Masyarakat Batak
a. Perkawinan24
Sistem perkawinan adalah eksogami yang tidak simetris. Perkawinan
harus dengan marga lain dan tidak boleh bertukar langsung di antara dua keluarga
yang berbeda marga. Dengan kata lain, sistem lingkaran. Dalam hal jumlah istri,
prinsip masa kini adalah monogami. Pada zaman Batak Toba dahulu yang dianut
adalah poligami. Situasi peperangan memerlukan tenaga tentara dan tenaga untuk
bekerja di ladang sawah dan kebun agar kebutuhan hidup terpenuhi.
Karenanya, parbalga tubu (keluarga besar) merupakan kehormatan dan
kuasa. Itulah sebabnya banyak istri merupakan persyaratan untuk memenuhi
keinginan tersebut. Akan tetapi, adat melarang untuk mengambil adik kandung
istri menjadi istri kedua dan ketiga. Demikian juga dua orang laki-laki bersaudara
kandung dilarang mengambil istri dua orang perempuan kakak-beradik.
Dewasa ini prinsip perkawinan yang dianut sudah berubah dari sistem
poligami menjadi monogami. Agama Kristen mendorong orang untuk
meninggalkan kebiasaan nenek moyang lewat larangan yang keras. Anggota yang
melanggar akan dikeluarkan dari keanggotaan dan diumumkan secara terbuka.

24

Pada tulisan ini yang digambarkan hanya aspek hukum adat Batak Toba saja, karena
pada adat Tapanuli Tengah, Pakpak, Dairi dan Karo ada kemiripan dengan Batak Toba walaupun
ada sedikit perbedaan dalam istilah dan upacra adat. Hal ini nanti akan disampaikan pada hasil
penelitian Bab IV.
40

Perkawinan yang ideal bagi orang Batak Toba ialah antara seorang
pemuda dengan putri saudara laki-laki ibunya (pisalai, mabido). Sistem ini
dinamakan marboru ni tulang atau kawin pariban. Demikian juga bila seorang
pemudi kawin dengan putra saudara perempuan ayah (pasapea, fassio) atau
maranak ni namboru, disebut juga kawin pariban. Namun, sistem perkawinan
semacam ini sudah tidak begitu diminati lagi. Perkawinan yang lebih bebas
dengan marga lain yang tidak ada hubungan darah bahkan dengan etnis lain justru
lebih digemari. Namun demikian, belum pernah dikaji secara ilmiah berapa jauh
sistem perkawinan pariban sudah ditinggalkan.
Sebalinya, kawin dengan putri saudara perempuan ayah (pisapa, fasido)
atau boru ni namboru merupakan hal gterlarang. Larangan ini sesuai dengan
struktur sosial dalihan na tolu bahwa hanya boru yang boleh mengambil istri dari
kelompok hulahula. Pelanggaran atas larangan ini akan dihukum berat berupa
pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai anggota marga dan dilarang mengikuti
upacara adat. Orang Batak Toba memperkuat hukum adat ini dengan ungkapan
dang tarpaulak aek tu julu artinya air tidak bisa dialirkan kembali ke hulu. Dalam
persoalan ini hulahula adalah sumber asal boru. Oleh karena itu tidak mungkin
proses itu diputar balik. Artinya, boru menjadi sumber keturunan. Artinya boru
menjadi sumber keturunan secara simbolik adalah pohon kehidupan bagi
hulahula. Secara idiologis hulahula merupakan personifikasi dewata Batara Guru
dan banua ginjang (dunia atas), sedangkan boru adalah personifikasi dewata
Balabulan dan Banua toru (dunia bawah). Itulah sebabnya kedudukannya yang
tinggi dari hulahula tidak dapat dijungkirbalikkan, sama seperti menukarkan
kedudukan dewata Batara Guru dengan Balabula. Secara religi hal ini tidak
diperbolehkan dan tidak dimungkinkan. Karena itu, adat yang menjadi bagian dan
kepercayaan keagamaan harus mematuhinya.
Di lihat dari sudut pelaksanaan upacara perkawinan yang melibatkan
banyak pihak, maka prinsip pertanggungjawaban adalah milik kelompok sosial.
Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara
langsung dengan bertanggung jawab sesuai kedudukan sosial adatnya. Dengan
demikian yang berkepentingan tidak hanya kedua pengantin atau kedua pihak
41

orangtua dan kerabat dekat, namun juga setiap unsur dalihan na tolu dari kedua
kelompok sosial tersebut. Keterlibatan semua unsur dalihan na tolu terwujud
dalam tanggung jawab masing-masing kepada pengantin, kedua orangtua
pengantin, serta tiap-tiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok yang
berhadapan secara langsung.
Adat membicarakan maskawin, tuhor dan sinamot seolah-olah merupakan
proses tawar menawar tuhor (harga) seorang gadis. Para misionaris Jerman
menyebutkan sistem kawin tuhor itu dengan bride price. Dahulu, sekitar 20 tahun
lalu, perkawinan bisa batal jika tidak ada kesesuaian jumlah maskawin (tuhor).
Bahkan batalnya suatu rencana perkawinan tidak selalu datang dari orangtua
dengan saudara kandung gadis, tetapi juga dari kerabat dekat lainnya, termasuk
dari tulang saudara laki-laki ibu. Faktor penyebabnya jika upa tulang (bagian dari
maskawin yang menjadi hak tulang) tidak sesuai dengan permintaannya. Namun
belakangan, ini hal seperti itu sudah sangat jarang terjadi.
Penyebab pembatalan perkawinan belakangan ini bila di antara gadis atau
pemuda masaih ada ikatan janji dengan orang lain dan belum diputuskan sehingga
datang gugatan salah satu pihak sesaat sebelum pemberkatan di gereja. Di
samping itu, juga jika nama gadis tercemar, atau calon pengantin laki-laki
diisukan sudah kawin dengan boru sileban (perempuan suku lain di perantauan)
tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Pada zaman orang Batak dahulu, pembatalan perkawinan dengan alasan
apapun dapat mengakibatkan konflik yang serius bahkan bisa menimbulkan
peperangan antarmarga dan antardesa, karena hal itu dianggap merendahkan
derajat dan nama baik salah satu kelompok masyarakat atau desa.
Karena sistem kekerabatan Batak Toba berdasarkan pada garis keturunan
bapak (patrilineal), maka pengantin perempuan diboyong ke rumah laki-laki.
Namun ada juga pengantin laki-laki yang tidak sanggup melunasi maskawinnya,
lalu diputuskan dibayar dengan tenaga sehingga pengantin harus menetap di desa
keluarga perempuan. Hal semacam ini dinamakan sonduk hela. Perkawinan
menetap di desa isteri dapat juga terjadi bila istri itu anak tunggal atau tidak punya
saudara laki-laki sehingga tenaga sang suami diperlukan untuk menjaga orangtua
42

dan harta bendanya. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, boru yang menetap
di desa keluarga perempuan tidak punya hak milik atas tanah melainkan hanya
hak pakai selama menetap di desa itu.
Ada beberapa jenis perkawinan yang dikenal selama ini yaitu, kawin
dialap jual (kawin dijual-jemput), yakni perkawinan adat dengan cara menjemput
pengantin perempuan ke rumah orangtuanya karena pesta adat sepenuhnya
dilakukan di rumah perempuan. Jenis perkawinan kedua ialah ditaruhon jual
(kawin dijual-antar), pengantin perempuan di antar ke rumah laki-laki, karena
pesta dilakukan di rumah laki-laki.
Jenis ketiga ialah mangalua (kawin lari), yakni perkawinan yang
dilakukan tanpa persetujuan salah satu atau kedua keluarga. Laki-laki membawa
pasangannya ke rumah saudaranya lalu diadakan upacara adat parajahon.
Pemberitahuan dilakukan dengan mengutus beberapa orang boru dengan
membawa upa sahut (bagian ekor utuh seekor babi) sebagai pertanda upacara
merajakan gadis telah dilakukan. Dahulu perkawinan jenis ini selalu mengundang
permusuhan dan peperangan. Belakangan ini perkawinan demikian sudah
sepengetahuan keluarga perempuan. Keretakan di antara kerabat permpuan,
kekurangmampuan ekonomi dan faktor kakak gadis bersaudara yang belum
kawin, menjadi alasan diizinkannya perkawinan lain. Jenis-jenis perkawinan di
atas masih berlaku.
Selain itu ada jenis lain yang dahulu dikenal namun sudah ditinggalkan
orang, misalnya kawin mangobing atau perkawinan dengan cara menculik, kawin
malturiun atau gadis mendapatkan pujaannya dan mengajaknya kawin tenap
persetujuan orang tuanya. Jenis ini kadang kadang disebut juga kawin mahuempe,
yang artinya merendahkan martabat sendiri.
Adapula perkawinan yang dilakukan di antara orang yang pernah kawin.
Perkawinan ini disebut pareakhon, atau ganti tikar. Perkawinan ini adalah
perkawinan seorang janda dengan saudara laki-laki mendiang suaminya.
Perkawinan jenis ini dimaksudkan agar ada yang mempertanggungjawabkan
anak-anak almarhum, atau apabila janda itu sedang hamil sewaktu ditinggal mati
suaminya, sehingga akan ada yang menjadi ayah si bayi.
43

Jenis perkawinan yang dilakukan secara kurang kesatria adalah kawin


mangalangkap, yakni merampas perempuan yang masih terikat perkawinan
dengan orang lain walaupun tidak cerai. Disebut langkup jongjong bila dicuri
terang-terangan, dan anggi ni langkap bilsa sudah pindah tempat, meski sudah
janda tetapi masih merupakan hak kerabat almarhum suami. Perkawinan secara
paksa itu biasanya dilakukan oleh orang kaya yang memiliki kekuasaan (parbalga
tubu) dan banyak sanak saudara. Peperangan antardesa atau marga biasanya
terjadi untuk menegakkan martabat dan kehormatan. Selama 20 tahun terakhir ini
sudah tidak kedengaran lagi jenis perkawinan semacam itu, baik yang dilakukan
orang desa maupun kota.
Sistem perkawinan yang sudah lazim dewasa ini ialah perkawinan terbuka.
Artinya, orang yang sudah bebas memilih calon istri maupun suami. Memang
masih ada orangtua yang menginginkan perkawinan eksogami terbatas, artinya
masih menginginkan perkawinan ideal, yakni kawin pariban (pisalai atau
pasapea). Akan tetapi atau pada akhirnya putusan terakhir diberikan kepada orang
muda yang akan memilih calon. Pesta perkawinan dilakukan masih seperti dahulu.
Artinya, kelompok yang terlibat tetap terdiri atas tiga unsur struktur sosial dalihan
na tolu yakni hulahula, dongan tubu dan boru. Ketiga unsur ini mempunyai hak
dan tanggung jawab seperti dahulu. Ada sedikit perubahan di mana ketiga unsur
dalihan na tolu tidak lagi memiliki hak menggagalkan perkawinan. Kalau
dipaksakan maka akan terjadi perpecahan keluarga. Dengan demikian, kekuasaan
tertinggi sudah berada di tangan orangtua pengantin, tidak lagi di tangan
kelompok komunal kerabat dekat.
Tempat pesta pensahan perkawinan di desa selalu dilihat dari sistem
perkawinan yang dilakukan, apakah dialap jual atau ditaruhon jual. Bila
dijemput jual maka pesta diselenggarakan di halaman rumah pengantin
perempuan, dan bila diantar jual maka pesta dilakukan di halaman rumah
pengantin laki-laki. Di kota-kota besar pesta perkawinan pada umumnya
diselenggarakan di gedung pertemuan umum yang disewa. Namun gedung
tersebut masih dilambangkan sebagai rumah pengantin putri, bila perkawinan itu
44

memakai cara jemput jual. Sebaliknya, gedung dilambangkan sebagai rumah


pengantin laki-laki bila perkawinan itu memakai sistem diantar jual.
Tatacara uapacara masih tetap sama, yakni orang tua pengantin laki-laki
atau perempuan bersama kerabat dekat, sesuai dengan sistem perkawinan
menerima kehadiran semua kelompok hulahula, dongan tubu dan boru di depan
rtumah tempat pesta. Kemudian diselenggarakan upacara makan setelah kedua
belah pihak pengantin laki-laki menyampaikan bagian utama lauk (kerbau, sapi,
babi, kambing) yang dinamakan tudu-tudu ni sipanganon, serta pihak pengantin
perempuan menyampaikan ikan mas atau ikan Batak di atas piring besar yang
dinamakan dengke simudur-udur, dengke na labangon. Setelah berdoa sesuai
agama dan kepercayaannya, makan bersama dilakukan. Pesta perkawinan selalu
dihadiri oleh ratusan orang, bahkan sering mencapai ribuan orang, tergantung
pada tingkat kekayaan, pangkat, jabatan dan jumlah kerabat dekat orang yang
berhajat.
Pembagian jambar kemudian dilakukan oleh kedua kelompok pengantin
setelah pembagian tubuh hewan sembelihan secara adat dan musywarah. Setelah
itu pihak laki-laki membayar hutang, yakni mahar atau maskawin yang belum
dilunasi kepada orangtua dan kerabat pengantin perempuan. Jumlah maskawin
yang diserahkan adalah sesuai dengan keputusan rembugan (tawar menawar)
yang dilakukan juah sebelum uapacara perkawinan, pada upacara marhata
sinamot. Selesai pembagian jambar, hulahula menyampaikan selimut adat yang
bernilai religi (ulos) kepada orang tua saudara laki-laki dan perempuan ayah,
kerabat dekat lainnya dan kedua memperlai. Pesta adat perkawinan ditutup dengan
membagikan sejumlah uang kepada hadirin yang dinamakan ulos-ulos, simbol
selimut yang diterima dari hulahula dan tuhor ni boru, maskawin perempuan yang
diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada para undangannya. Arti
terdalam pemberian itu bahwa semua undangan adalah pemilik putrinya, dan
maskawin adalah milik semua kerabat undangan serta sebagai pemberitahuan
bahwa putrinya sudah dibeli orang lain. Itu sebabnya uang pembelian tersebut
harus dinikmati oleh semua orang yang diundang.
45

Sistem adat perkawinan demikian masih dilakukan dan diikuti sampai saan
ini baik di desa asal, di daerah perantauan maupun di kota-kota. Berbagai
perubahan praksis telah terjadi tetapi essensinya tetap dipertahankan.
b. Warisan25
Seperti telah dikemukakan bahwa sistem sosial orang Batak Toba
berdasarkan kelompok laki-laki. Kekuasaan berada di tangan bapak. Garis
keturunan berdasarkan keturunan laki-laki (patrilineal). Marga bapak adalah
marga seluruh keturunannya. Perempuan yang telah kawin mengikuti marga
suami, namun marganya tidak ditinggalkan. Marga perempuan menjadi dasar
rujukan untuk mengetahui hulahula setiap tingkat keturunan. Demikian juga
sebagai rujukan pariban, yakni setiap kelompok laki-laki yang mengambil istri
dari marga istri ego.
Bagi orang Batak Toba, anak laki-laki lebih diutamakan dari anak
perempuan. Laki-laki adalah penerus keturunan, pelanjut marga Bapak penerus
pohon kehidupan. Sedangkan anak perempuan adalah pelanjut keturunan marga
lain. Artinya, perempuan adalah penerus kelanjutan keturunan marga suaminya.
Dengan dasar itu anak laki-laki selalu diharapkan lebih banyak dari anak
perempuan, seperti digambarkan oleh ungkapan tradisional; maranak sampulu
pitu, marboru sampulu onom, atau beranak laki-laki tujuh belas, beranak
perempuan enam belas.
Keistimewaan tersebut tergambar dalam pemberian warisan yang hanya
untuk anak laki-laki. Anak perempuan tidak mempunyai hak waris dari orang
tuanya. Anak laki-laki memiliki hak manjae atau hak berdiri sendiri, baik dalam
pemilikan dan penguasaan benda maupun hubungan sosial, adat dan
pemerintahan. Legalisasi berdiri sendiri, manjae diwujudkan dangan memberikan
sawah, ladang, atau kebun yang dinamakan panjaean. Pemberian itu berlaku
untuk semua anak laki-laki yang telah berumah tangga. Sebelum adat manjae

25

Pada tulisan ini yang digambarkan hanya aspek hukum adat Batak Toba saja, karena
pada adat Tapanuli Tengah, Pakpak, Dairi dan Karo ada kemiripan dengan Batak Toba walaupun
ada sedikit perbedaan dalam istilah dan upacra adat. Hal ini nanti akan disampaikan pada hasil
penelitian Bab IV.
46

dilaksanakan orangtua, maka keluarga muda tersebut menjadi tanggungan


orangtuanya secara sosial ekonomis termasuk adat dan pemerintahan.
Anak perempuan yang sudah kawin tidak mendapatkan panjaean. Namun
bila orangtuanya tergolong kaya, maka pada saat pesta adat perkawinan
dilangsungkan, pengantin perempuan dapat diberi sebidang tanah yang dinamakan
pauseang, atau tanah pemberian. Namun adat itu pada umumnya berlaku di
Tapanuli Utara saja, antara lain di Toba Holbung, sebagian daerah Humbang serta
sebagian Pulau Samosir.
Cucu pertama laki-laki dari anak pertama seorang kakek akan menerima
warisan sawah yang dinamakan upa ompu atau dondon tua, dan kepada anak
pertama serta anak bungsu akan diberikan sawah yang dinamakan upa suhut.
Pemberian kepada cucu pertama dari anak merupakan lambang kenaikan status
sosial seorang Bapak. Seorang Bapak akan naik status sosialnya bila mempunyai
anak laki-laki atau anak perempuan. Lamnbang kenaikan itu digambarkan dalam
bentuk panggilan baru dengan memakai nama anaknya. Nama aslinya tidak lagi
dipanggil orang, tetapi nama anaknya menjadi “bapak si Anu, atau ama ni adui.
Kenaikan status itu mencapai tahap tertinggi bila telah mempunyai cucu laki-laki
atau perempuan. Lambang kenaikan diwujudkan dalam bentuk panggilan “kakek
si anu’ atau ompu adui, ompu si adui.
Lambang status tertinggi tersebut tidak hanya dalam bentuk panggilan
dalam adat atau hubungan sosial sehari-hari, tetapi yang paling utama ialah dalam
bentuk lambang dan jenis kematian yang diraih orang tersebut. Dengan kata lain
hanya pada orang yang telah sempurna keturunan, gabe, marpahompu di anak,
marpahompu di boru, dalam arti punya cucu dari anak laki-laki dan perempuan.
Orang yang demikian diperbolehkan adat untuk menyelenggarakan uapacara adat
tertinggi dan dianggap paling mulia, yakni horja mate saur matua.
Tidak ada lagi anaknya laki-laki maupun perempuan yang belum berumah
tangga. Walaupun seorang kakek dan nenek masih sempat hidup bersama
buyutnya, namun satus sosialnya tidak naik lagi karena telah mencapai puncak
status tertinggi. Dalam kedua jenis kenaikan status tersebut terjadi perubahan
sikap orang kepada orang yang demikian. Orang tidak lagi menganggapnya
47

sebagai orang muda atau orang tua yang belum sempurna, melainkan menjadi
anggota kelompok orang tua yang penuh dan sempurna.
Seperti telah dikemukakan, pada prinsipnya setiap anak laki-laki
memperoleh warisan berupa tanah (sawah, ladang, kebun, hutan) dari
orangtuanya, sedangkan perempuan tidak. Warisan dapat diperoleh pada saat
orangtua masih hidup, yakni melalui lembaga lambang kemandirian yang
dinamakan panjaean. Waisan dapat juga ditunjuk orangtua pada saat hidupnya,
walaupun anak-anaknya baru boleh menguasai warisan tersebut setelah orang tua
meninggal dunia. Selain tanah, warisan dapat juga berbentuk pusaka, benda
keramat bahkan jabatan.
Pada zaman Batak tua, pra-pengaruh Barat, maupun kekeristenan, jabatan
pemerintahan juga diwariskan kepada keturunan. Bila orangtua adalah pendiri
kampung dan menjadi raja, maka anaknya akan mewarisi jabatan raja tersebut.
Demikian seterusnya, bila ada orang lain yang menginginkan kedudukan itu,
biasanya kakak atau adik lalu berusaha merebutnya, maka akan terjadi pertikaian
bahakan peperangan antarsuadara. Karena penduduk desa satu nenek moyang,
semarga dan seketurunan, dan ada anggota yang ingin menjadi raja, maka ia
terlebih dahulu harus mengajukan usul untuk mendirikan huta baru atau kampung
baru kepada raja huta. Dengan mendirikan perkampungan baru maka pendiri
kampung baru tersebut secara otomatis menjadi raja. Kerajaan baru diakui setelah
melakukan upacara adat. Jika keinginan itu ditolak raja huta, biasanya akan
terjadi konflik bahkan perang saudara.
Pemilikan sawah atau ladang, sealin melalui warisan orangtua dapat juga
terjadi melalui transaksi adat antara hulahula dengan boru. Seorang anak
perempuan yang melahirkan anak pertama akan meminta sebidang tanah sawah
atau ladang kepada orangtuanya yang dinamakan indohan arian atau nasi untuk
dimakan siang hari. Bahkan ada juga hulahula yang memberi sawah tersebut pada
saat mengandung tujuh bulan, yang dinamakan sawah bangunan. Pemberian
demikian tidak dinamakan warisan tetapi ulos na sora buruk (selimut yang tidak
akan rusak). Selain itu perpindahan penguasaan sawah atau ladang maupun kebun
48

dapat terjadi melalui transaksi ekonomi, yaitu pinjam meminjam (mamola pinang)
dan gadai atau dondon.
Gadai permanen sebenarnya sudah mengarah pada jual beli. Semua
transaksi tersebut hanya berlaku di antara saudara sekampung dan sedarah. Bila
tidak mampu diperbolehkan menjual kepada saudara semarga yang tingkatan
hubungan darahnya sudah agak lebih jauh. Semua transaksi baru boleh dilaksakan
bila raja huta dan perwakilan orang tua (panungganei) telah menyetujui.
Kelompok boru atau orang lain yang bukan saudara semarga, yang tinggal
di suatu desa karena mengawini anak perempuan marga raja, tidak mempunyai
hak memindahkan tanah yang dipakai kepada anaknya sebagai warisan. Ia juga
tidak diperbolehkan memberikannya kepada orang lain sebagai pinjam pakai,
misalnya karena orang tersebut pindah. Mereka hanya mempunyai hak pakai
karena mereka berstatus penumpang yang dinamakan parippe.
Perpindahan penguasaan dapat juga terjadi melaui peperangan. Bila suatu
desa kalah perang, maka semua harta dan penghuninya menjadi milik mereka
yang menang. Desa yang kalah dinamakan huta natartaban (kampung yang
tersita). Keadaan tersebut menimbulkan perbudakan pada zaman Batak Tua,
terutama di wailayah Tapanuli Utara dan Selatan. Namun perang antar marga
yang berbeda biasanya berlangsung lama dan jarak perkampungan marga-marga
yang saling berperang itu berjauhan.
B. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
1. Perubahan Sosial dan Kebudayaan dalam Masyarakat Batak
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan.
Perubahan. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial dan lain sebagainya.26
Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai
pembatasan pengertian-pengertian perubahan sosial dan kebudayaan. William F.
26

Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar (Jakarta:


RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-45, 2013), h. 262.
49

Ogburn, ia berusaha memberikan sesuatu pengertian tertentu, walau tidak


memberi defenisi tentang perubahan-perubahan sosial. Dia mengemukakan ruang
lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang
material maupun immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur
kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.27
Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Mislanya, timbul
pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan
perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan
seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan
politik.28
Dalam masyarakat Batak yang ada pada saat ini juga mengalami
perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Batak bisa
disebabkan oleh perubahan politik dan ekonomi. Ketika masyarakat Batak masih
dalam bentuk kerajaan, sebelum Indonesia meredeka tentu akan mengalami
perubahan ketika setelah menjadi negara kesatuan Republik Indonesia.
Perubahan ekonomi juga terjadi di masyarakat Batak, terutama setelah
terjadi otonomi daerah dan adanya pembangunan pada masyarakat daerah Batak.
Ketika terjadi otonomi daerah, masyarakat Batak yang sebelumnya menempati
mayoritas pada wilayah Tapanuli Utara, saat ini sudah menjadi pada empat
wilayah, yaitu Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Toba
Samosir. Semua ini sudah menjadi kabupaten yang mandiri dengan pembangunan
masing-masing.
Menurut MacIver, perubahan-perubahan sosial merupakan perubahan-
perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan
terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.29 Akibat adanya perubahan
politik, ekonomi dan bahkan budaya akan mempengaruhi hubungan sosial. Bukan
hanya itu, juga akan mempengaruhi keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.
27

William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, Socilogy (Boston: A Pfeffer and Simons
International University Edition, Toughton Mifflin Company, 1954), p. 7.
28
Kngsley Davis, Human Society (New York: The Macmillan Company, 1960), p. 76.
29
MacIver, Society; A Textbook of Socilogy (New York: Farrar and Rinehart, 1937), p. 272.
50

Yang sangat menarik dalam penelitian ini adalah, masyarakat Batak yang
sebelumnya adalah tidak memiliki konsep dasar tentang ketuhanan. Mereka hanya
percaya kepada kekuatan tondi dan begu.30 Untuk memperkuat diri melawan
hantu-hantu jahat, maka diperlukan media perantara yang bernama datu (dukun).
Dengan ucapan tabas, mantra seorang dukun memperkuat roh seseorang atau
mengusir roh jahat atau hantu.31
Agama Hindu kemudian memperluas wawasan tersebut dengan
memperkenalkan Tuhan yang kemudian dinamakan debata mula jadina bolon,
serta tiga dewa penguasa lapisan bumi, yaitu lapisan atas (banua ginjang), tengah
(banua tonga)dan bawah (banua toru). Ini dinamakan debata na tolu atau tri
murti. Adanya persamaan Trimurti tersebut dengan Trinitas dalam agama Kristen,
menurut Parkin mempermudah diterimanya agama Kristen oleh orang Batak.32
Agama Kristen masuk ke daerah Batak pada dasarnya sejak Inggris
menginjakkan kaki di Bumi Indonesia. Ketika Sir Syamford Raffles menjadi
Letnan Gubernur di Jawa, rasa takutnya muncul bila orang Islam Aceh bergabung
dengan Islam Minangkabau menjadi satu kekuatan raksasa yang dapat
mengancam kekuasaan Inggris. Karena sejak berkuasa di Jawa dan Sumatera
tahun 1811 ia mulai mencanangkan startegi pemisahan kedua suku bangsa itu
dengan cara memberi izin bahkan mendorong para misionaris Kristen untuk
mengembangkan agama ke daerah Tapanuli, daerahnya orang Batak. Strategi ini
menginginkan agar ada satu suku bangsa pemisah yang memeluk agama lain.
Pilihan itu jatuh pada orang Batak yang waktu itu masih belum memeluk suatu
agama. Untuk mewujudkan rencana tersebut maka Baptist Mission Society di
Inggris mengirim tiga orang misionaris, yaitu Richard Burton(ahli bahasa dan
etnologi), Nathaniel Ward (ahli kesehatan) dan Evan Brookers (ahli pendidikan).33
Ketika Kristen memasuki wilayah Batak, maka saat yang bersamaan
sebenarnya Islam juga memasuki wilyah Batak melalui perantaraan Perang Paderi

30

Tondi adalah kekuatan jiwa, sedangkan begu merupakan roh orang-orang yang pernah
hidup.
31
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 67.
32
Ibid.
33
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 74.
51

(1824-1829 dan 1830-1833) dari Sumatera Barat. Wilayah yang bisa dimasuki
adalah wilayah Mandailing sehingga di sana banyak penduduk muslim hingga
wilayah Angkola Sipirok.34
Dari penjelasan singkat di atas dapat dipahami bahwa saat ini, ada tiga
bentuk kepercayaan atau agama yang ada di wilayah Batak, yaitu; aliran
kepercaya sipala begu, agama Kristen dan Islam. Munculnya tiga agama atau
kepercayaan tersebut akan mengakibatkan perubahan sosial dalam masyarakat
Batak.
Sedangkan apabila ditinjau dari sudut pandang hukum, maka ada empat
hukum yang akan berlaku pada masyarakat Batak, yaitu hukum Nasional, hukum
Adat Batak, hukum Kristen dalam hal ini Hukum Perdata (BW) dalam hukum
perkawinan dan warisan, serta hukum Islam bagi masyarakat muslim Batak. Oleh
karena itu secara sosiologi, tidak dapat dipungkiri akan terjadi perubahan sosial
dan kebudayaan pada masyarakat Batak secara keseluruhan dan masyarakat
minoritas muslim di Sumatera Utara.
Gillin dan Gillin mengatakan perubahan-perubahan sosial sebagai suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi
geografis, kebudayaan materill, komposisi penduduk, ideologi maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara
singkat Samuel Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada
modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang
terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.35
Bukan hanya adanya tiga kepercayaan atau agama di wilayah Batak,
munculnya komposisi penduduk yang berubah juga akan mengakibatkan
perubahan sosial di wilayah Batak. Saat ini penduduk yang menetap di wilayah
Batak, tidak hanya masyarakat atau penduduk yang bersuku Batak, tetapi sudah
ada suku Minang, Aceh, Mandailing, Nias dan Jawa. Perubahan komposisi

34

E. Harahap, Perihal Bangsa Batak (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,


1960), h. 87.
35
Samuel Koenig, Man and Society, the BasicTeaching of Sociology (New York: Barners &
Noble Inc, 1957), p. 279.
52

penduduk ini juga akan dapat menimbulkan perubahan sosial dan kebudayaan
pada masyarakat Batak di Sumatera Utara.
Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias,
dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Daerah pesisir timur Sumatera
Utara, pada umumnya dihuni oleh orang-orang Melayu.Pantai barat dari Barus
hingga Natal, banyak bermukim orang Minangkabau.Wilayah tengah
sekitar Danau Toba, banyak dihuni oleh Suku Batak yang sebagian besarnya
beragama Kristen. Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat.Sejak dibukanya
perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia
Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di
perkebunan.Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa.
Pusat penyebaran suku-suku di Sumatera Utara, sebagai berikut :
1. Suku Melayu : Pesisir Timur, terutama di kabupaten Deli Serdang,
Serdang Bedagai, dan Langkat
2. Suku Batak Karo : Kabupaten Karo
3. Suku Batak Toba : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir
4. Suku Batak Mandailing : Kabupaten Mandailing Natal
5. Suku Batak Angkola : Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten
Padang Lawas
6. Suku Batak Simalungun : Kabupaten Simalungun
7. Suku Batak Pakpak : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat
8. Suku Nias : Pulau Nias
9. Suku Minangkabau : Kota Medan, Kabupaten Batubara, Pesisir barat
10. Suku Aceh : Kota Medan
11. Suku Jawa : Pesisir timur
12. Suku Tionghoa : Perkotaan pesisir timur & barat.
Menurut Selo Soemardjan, perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada defenisi tersebut terletak pada
53

lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, yang


kemudian memengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya.36
Munculnya variant agama (sipala begu, Kristen dan Islam) dan
kepercayaan dan struktur komposisi penduduk (etnis Batak, Minang, Mandailing
dan Jawa) dapat mengakibat munculnya perubahan nilai, sikap, pola perilaku di
antara kelompok di dalam sebuah masyarakat sebagaimana yang dijelaskan oleh
Soemardjan di atas. Perubahan sosial dan budaya akan dapat terjadi dalam bentuk-
bentuk yang bervariasi sebagaimana dijelaskan dalam ilmu sosiologi. Hal ini akan
dibahas pada sub differensiasi sosial berikutnya.
2. Hubungan Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. 37
Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan
dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.
Perubahan-perubahan dalam model pakaian dan kesenian dapat terjadi
tanpa memengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan atau sistem sosial. Namun,
sukar pula dibayangkan terjadi perubahan-perubahan sosial tanpa didahului oleh
suatu perubahan kebudayaan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti keluarga,
perkawinan, hak milik, perguruan tinggi atau negara tak akan mengalami
perubahan apa pun bila tidak didahului oleh suatu perubahan fundamental di
dalam kebudayaan. Suatu perubahan sosial dalam bidang kehidupan tertentu tidak
mungkin berhenti pada satu titik karena perubahan di bidang lain akan segera
mengikutinya. Ini disebabkan karena struktur lembaga-lembaga kemsyarakatan
sifatnya jalin berjalin. Apabila suatu negara mengubah undang-undang dasarnya
atau bentuk pemerintahannya, perubahan yang kemudian terjadi tidak hanya
terbatas pada lembaga-lembaga politik saja.38

36

Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gajah Mada University


Press, 1982), 379.
37
Davis, Human Society, p. 622-623.
38

Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 266-267.


54

Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, seringkali tidak mudah untuk


menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan kebudayaan. Hal itu
disebabkan tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan
sebaliknya tidak akan mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu
masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di dalam kenyataan
hidup antara perubahan sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi untuk ditegaskan.
Biasanya antara kedua gejala itu dapat ditemukan hubungan timbal balik sebagai
sebab akibat.39
Perubahan sosial dalam masyarakat Batak akan memengaruhi perubahan
kebudayaan. Perubahan itu tidak hanya dalam tataran pola perilaku saja, bahkan
bisa sampai tahap filosofis hidup. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Simanjuntak sebagaimana dijelaskan di atas, pada awalnya filosofis orang
Batak hanya tiga, yaitu kekayaan, banyak anak, dan kehormatan (hamoraon,
hagabeon, hasangopan). Itu merupakan budaya yang tumbuh dalam masyarakat
Batak Toba. Sedangkan setelah masuknya agama Kristen ke daerah Toba sebagai
status baru yang modern menimbulkan pergeseran nilai dalam tujuan hidup. Nilai
perdamaian (hadameon) dan persatuan (hasadaon) yang disebarluaskan oleh
agama Kristen kemudian masuk ke barisan tujuan hidup. 40
Dalam tataran perilaku juga akan mengalami perubahan. Perubahan sosial
dengan munculnya kepercayaan atau agama yang bervariasi serta komposisi
penduduk yang sudah berubah pada masyarakat Batak tentu akan mengalami
perubahan. Perubahan tersebut juga berlaku pada norma hukum. Bagaimana
perubahan norma hukum yang terjadi pada masyarakat Batak yang telah
mengalami perubahan sosial tentu membutuhkan kajian yang lebih mendalam
serta observasi yang lebih mendetail. Dalam rangka itulah peneliti sangat tertarik
untuk melakukan penelitian ini di bawah judul kesadara hukum masyarakat
muslim minoritas pada wilayah masyarakat Batak di Sumatera Utara. Dengan
adanya penelitian ini akan dapat digambarkan bagaimana perubahan sosial yang
terjadi pada masyarakat Batak.

39
Ibid. h. 268.
40
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 157.
55

3. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial dan Kebudayaan


Dalam ilmu sosiologi, dijelaskan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan
dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut:
1. Perubahan lambat dan perubahan cepat.
Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetan-rentetan
perubahan yang kecil yang saling mengikuti dengan lambat disebut dengan
evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana dan
kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan
kondisi-kondisi baru yang tinbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Rentetan-rentetan perubahan tersebut tidak perlu sejalan dengan rentetan
peristiwa-peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.41
Sementara itu perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang
berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok
kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyrakatan) lazimnya
dinamakan revolusi. Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang
cepat, dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok
kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan-perubahan yang terjadi
dapat direncanakan terlebih dahulu atau tanpa rencana. Ukuran kecepatan suatu
perubahan yang dinamakan revolusi, sebenarnya bersifat relatif karena revolusi
dapat memakan waktu yang lama.
Misalnya revolusi industri di Inggris, dimana perubahan-perubahan terjadi
dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi menggunakan mesin.
Perubahan tersebut dianggap cepat karena mengubah sendi-sendi pokok
kehidupan masyarakat, seperti sistem kekeluargaan, hubungan antara buruh dan
majikan dan seterusnya. Suatu revolusi dapat berlangsung dengan didahului oleh
suatu pemberontakan (revolt, rebellion) yang kemudian menjelma menjadi
revolusi.42
41

Paul Bohannan, Social Antropology (New York: Holt Rinehart and Winston etc, 1963) ,
p. 360.
42

Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 269-270.


56

Dengan demikian, apabila ditarik kepada perubahan sosial yang terjadi


pada masyarakat Batak di Sumatera Utara akan ada kemungkinan bentuk-bentuk
perubahan sosial dan kebudayaan yang mengalami secara cepat dan lambat.
Bentuk mana saja yang akan mengalami perubahan dengan cepat atau lambat
tentu membutuhkan penelitian dan analisa yang tepat.
2. Perubahan kecil dan perubahan besar
Perubahan kecil dapat dipahami merupakan perubahan kecil yang terjadi
di tengah masyarakat atau unsur-unsur struktur sosial tetapi tidak membawa
pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan mode pakaian
misalnya tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat secara
keseluruhan karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan. Sebaliknya suatu proses industrialisasi yang
berlangsung pada masyarakat agraris, misalnya merupakan perubahan yang akan
membawa pengaruh besar pada masyarakat.43
Munculnya agama Islam dalam masyarakat Batak tentu akan
memengaruhi filsafat dan budaya masyarakat Batak di Sumatera Utara. Sebelum
kehadiran Islam pada masyarakat sudah ada budaya yang tumbuh dan
berkembang, yaitu budaya masyarakat Batak asli yang diwariskan secara turun
temurun dan budaya agama Kristen yang diwariskan melalui misionaris. Hal ini
tentu tidak dapat dipungkiri akan menghadirkan perubahan sosial dan kebudayaan
pada masyarakat Batak secara besar dan kecil. Untuk mengukur besar dan
kecilnya perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi tentu membutuhkan
penelitian dan analisa yang lebih mendalam dan luas.
3. Perubahan yang dikehendaki (ntended-change) atau perubahan yang
direncanakan (planned-change) dan yang tidak dikehendaki
(unintended-change).
Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan
perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh
pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat.44 Pihak-

43
Ibid. h. 272.
44
57

pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seorang


atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Cara-cara
memengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih
dahulu dinamakan rekayasa sosial (social enggineering) atau yang sering disebut
pula perencanaan sosial (social planning).45
Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di
luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya
akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.
Suatu perubahan yang dijehendaki dapat timbul sebagai reaksi yang
direncanakan terhadap perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang telah
terjadi sebelumnya, baik yang merupakan perubahan yang dikehendaki maupun
yang tidak dikehendaki. 46
Dari kerangka teori tersebut di atas maka nanti setelah penelitian ini
dilakukan akan dapat dijelaskan bagaimana bentuk perubahan sosial yang terjadi
pada masyarakat Batak. Apakah hukum Islam di masyarakat Batak dapat
melakukan perubahan sosial secara cepat, besar dan terencana, atau bahkan bisa
sebaliknya yaitu lambat, kecil dan tidak terencana. Namun yang pasti dalam ilmu
sosiologi, munculnya interseksi sosial pada masyarakat akan menimbulkan
perubahan sosial dan kebudayaan.

4. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Sosial dan


Kebudayaan
1. Bertambah dan berkurangya penduduk
Pertambahan penduduk yang sangat di pulau Jawa menyebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat, terutama lembaga-lembaga

Cliffort Geertz, The Social Context of Economic Change; An Indonesian Case Study
(mimeographed paper, MIT, Cambridge Mass, 1956), p. 13.
45
Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 272-273.
46
Ibid. h. 273-274.
58

kemasyarakatan. Misalnya, orang mengenal hak milik individual atas tanah, sewa
tanah, gadai tanah, bagi hasil dan selanjutnya, yang sebelumnya tidak dikenal.
Berkurangnya penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk
dari desa ke kota atau dari daerah ke daerah lain, mislanya transmigrasi.
Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan, misalnya dalam bidang
pembagian kerja dan stratafikasi sosial, yang memengaruhi lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah berlangsung beratus-ratus ribu
tahun lamanya di dunia. Hal itu sejajar dengan bertambah banyaknya manusia
penduduk bumi ini. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencarian utamanya
berburu, perpindahan sering kali dilakukan, yang tergantung dari persediaan
hewan-hewan buruannya. Apabila hewan-hewan tersebit habis, merek akan
pindah ke tempat-tempat lainnya.
2. Penemuan-penemuan baru
Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan
dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian discovery dan invention. Discovery
adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang
berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan
para inddividu. Discovery baru menjadi invention, kalau mayarakata sudah
mengakui, menerima serta menerapkan penemuan baru itu. Sering kali proses dari
discovery sampai ke invention membutuhkan suatu rangkaian-rangkaian
penciptaan.
3. Pertentangan masyarakat
Pertentangan (conflict) masyarakat mungkin pula menjadi sebab terjadinya
perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi
antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok.
Sebagai contoh perubahan yang disebabkan konflik adalah apa yang
terjadi pada masyarakat Batak dengan sistem kekeluargaan patrilineal murni.
Terdapat adat istiadat bahwa apabila suami meninggal, keturunannya berada di
bawah kekuasaan keluarga almarhum. Dengan terjadinya proses individualisasi
terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi
penyimpangan. Anak-anak tetap tinggal pada ibunya, walaupun hubungan antara
59

si ibu dengan keluarga almarhum suaminya telah putus karena meninggalnya


suami. Keadaan tersebut membawa perubahan besar pada pernanan keluarga
Batakdan juga pada kedudukan wanita, yang selama ini dianggap tidak
mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan dengan laki-laki.47
4. Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Revolusi akan menimbulkan perubahan-perubahan sosial. Revolusi yang
meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut terjadinya perubahan-
perubahan besar Negara Rusia yang mula-mula bentuk kerajaan absolut berubah
menjadi diktator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Segenap
lembaga kemasyarakatan, muali dari bentuk negara sampai kepada keluarga
mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-
sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri, antara lain disebabkan oleh
yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia itu.
Terjadinya bencana alam, seperti angin topan, gempa bumi, sunami dan lain
sebagainya akan menimbulkan perubahan sosial. Sebagai contoh adanya Sunami
di Aceh menimbulkan perubahan sosial dan lembaga kemasyarakatan di Aceh.
Banyak masyakat pendatang untuk membangun Aceh menimbulkan perubahan
sosial di Aceh.
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini maka akan dapat digambarkan
bahwa apa saja faktor yang memengaruhi perubahan sosial di masyarakat Batak.
Faktor-faktor itu bisa digambarkan secara detail apabila penelitian ini dapat
terlaksana. Oleh karena itu, peneliti akan mengamati bagaimana perubahan sosial
dan kebudayaan pada masyarakat muslim minoritas yang berpenduduk lebih
banyak dibandingkan dengan penduduk yang lebih sedikit. Sebagai contoh, nanti
peneliti akan menganalisa bagaimana perubahan sosial dan kebudayaan yang
terjadi pada wilayah Humbang Hasundutan, Samosir, Dairi, Karo, Toba Samosir
dibandingkan pada wilayah Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.
Peneliti juga akan meneliti dan menganalisa bagaimana pengaruh faktor
konflik dalam perubahan sosial dan kebudayaan. Salah satu cara adalah dengan
47

Ibid. h. 280.
60

cara melakukan interview dengan pertanyaan mengapa masyarakat Batak yang


bersangkutan memeluk agama Islam. Alasan-alasan informan diusahakan sekuat
tenaga untuk mengaitkannya dengan faktor konflik pada perubahan sosial dan
kebudayaan. Sebagai contoh, mengapa masyarakat Batak telah berani
meninggalkan hukum larangan menikah satu marga? Mengapa kadang-kadang
masyarakat Batak saat ini mengganti kepala babi dengan kepala lembu atau
kerbau pada saat mangadati? Bagaimana cara yang ditempuh oleh masyarakat
Batak ketika ada jatuh cinta antara seorang pemuda dengan pemudi yang berbeda
agama untuk melangsungkan perkawinan? Dan banyak pertanyaan lagi yang akan
ditimbulkan sehingga dapat digali faktor-faktor terjadinya perubahan sosial dan
kebudayaan.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Perubahan
Di dalam masyarakat di mana terjadi suatu proses perubahan, terdapat
faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi. Faktor-faktor
tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kontak dengan kebudayaan lain
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah difussion. Difusi adalah
proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu kepada individu lain,
dari satu masyarakat kepada masyarakat lain. Dengan proses tersebut, manusia
mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah diterima oleh
masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan pada masyarakat luas sampai umat
manusia dapat menikmati kegunaannya. Proses tersebut merupakan pendorong
pertumbuhan suatu kebuadayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan
masyarakat manusia.
Ada dua tipe difusi, yaitu difusi intramasyarakat (intrasociety difussion)
dan antramasyarakat (inter-society difussion). Difusi intramasyarakat
(intrasociety difussion) terpengaruh oleh beberapa faktor, misalnya:
1) Suatu pengakuan bahwa unsur yang baru tersebut
mempunyai kegunaan;
2) Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang memengaruhi
diterimanya atau tidak diterimnya unsur-unsur yang baru;
61

3) Unsur baru yang berlawanan dengan fungsi unsur lama,


kemungkinan besar tidak akan diterima;
4) Kedudukan dan peranan sosial dari individu yang
menemukan sesuatu yang baru tadi akan memengaruhi
apakah hasil penemuannya itu dengan mudah diterima atau
tidak;
5) Pemerintah dapat membatasi proses difusi tersebut. Difusi
antar masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor pula,
yaitu antara lain:
a. Adanya kontak antara masyarakat-masyarakat
tersebut;
b. Kemampuan untuk mendemonstrasikan kemanfaatan
penemuan-penemuan baru itu;
c. Pengakuan akan kegunaan penemuan baru tersebut;
d. Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang
menyaingi unsur-unsur penemuan baru tersebut;
e. Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan
baru di dunia ini;
f. Paksaan dapat juga dipergunakan untuk menerima
suatu penemuan baru.
2. Sistem pendidikan formal
3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan
untuk maju;
4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang (deviation) yang
bukan merupakan delik
5. Sistem terbuka lapisan masyarakat.
6. Penduduk yang heterogen
7. Ketidakpuasan masyarakat pada bidang-bidang kehidupan tertentu
8. Orientasi ke masa depan
62

9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki


hidupnya.48
Sedangkan faktor yang menghalangi dan menghambat terjadinya
perubahan adalah:
1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain;
2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat;
3. Sikap masyarakat yang tradisionalis
4. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat
atau vested interest
5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan;
6. Prasangka terhadap hal-hal yang baru/asing
7. Hambatan ideologis
8. Adat atau kebiasaan
9. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin
diperbaiki.49
6. Akibat Proses Perubahan
a. Penyesuaian Masyarakat terhadap perubahan
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibirium)
merupakan keadaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat. Keserasian
masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi dan saling mengisi. 50 Dalam
keadaan demikian, individu secara psikologi merasakan akan adanya ketentraman
karena tidak adanya pertentangan dalam norma dan nilai-nilai.
Suatu perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga
kemasyarakatan dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat
tersebut.51 Penyesuaian dan lembaga-lembaga kemasyarakatan menunjuk pada
keadaan, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga
kemasyarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial dan
48

Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 283-285.


49
Ibid.
50
Soemardjan, Perubahan Sosial..., h. 383.
51
Ibid. h. 384.
63

kebudyaan. Sementara itu penyesuaian dari individu yang ada menunjuk pada
usaha-usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti agar terhindar dari disorganisasi
psikologis. Dikenalnya kehidupan dan praktik ekonomi yang berasal dari Barat
menyebabkan semakin pentingnya pernan keluarga sebagai lebaga produksi dan
konsumsi.
b. Saluran-saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan (avenue or channel of
change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan.
Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan
dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan
seterusnya. Lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi titik tolak, tergantung pada
cultural focus masyarakat pada suatu masa tertentu.
Lembaga kemasyarakatan yang ada pada suatu waktu mendapatkan
penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung menjadi saluran perubahan sosial
dan kebudayaan. Perubahan lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa
akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya karena lembaga-lembaga
kemasyarakatan merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Apabila lembaga-
lembaga kemasyarakatan tersebut sebagai sistem sosial digambarkan coraknya
adalah sebagi berikut:

Gambar 3
Saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan

ORGANISASI ORGANISASI
KEAGAMAAN EKONOM

ORGANISASI ORGANISASI
PENDIDIKAN HUKUM
64

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa saluran tersebut berfungsi


agar sesuatu perubahan dikenal, diterima, diakui, serta dipergunakan oleh
khalayak ramai, atau dengan singkat mengalami proses institutionalization
(pelembagaan).
c. Disorganisasi dan Reorganisasi
Organisasi merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan
kesatuan fungsional. Tubuh manusia, misalnya, terdiri dari bagian-bagian yang
masing-masing mempunyai fungsi dalam rangka hidupnya seluruh tubuh
mkanusia sebagai satu kesatuan. Apabila seseorang sedang sakit, bisa dikatakan
salah satu bagian tubuhnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi,
secara keseluruhan bagian-bagian tubuh manusia tadi merupakan keserasian yang
fungsional. Dengan demikian, yang disebut disorganisasi adalah suatu keadaan
dimana tidak ada keserasian pada bagian-bagian kebulatan. Misalnya, dalam
masyarakat agar dapat berfungsi sebagai organisasi harus ada keserasian
antarbagiannya.
Suatu disorganisasi atau disintegrasi mungkindapat dirumuskan sebagai
suatu proses berpudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat karena
ada perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Semnetara itu
reorgansiasi atau reintegrasi adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan
nilai-nilai baru agar serasi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah
mengalami perubahan.52
Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai yang
baru telah melembaga (institutinalized) dalam diri warga masyarakat. Berhasil
atau tidaknya pelembagaan tersebut dalam masyarakat mengikuti formula sebagai

52

Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 288-293.


65

berikut. Efektivitas menanam merupakan hasil positif penggunaan tenaga


manusia, alat, organsiasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa munculnya varian agama dan
perubahan struktur kependudukan pada masyarakat Batak di Sumatera Utara akan
dapat menimbulkan organsiasi, disorgansiasi serta reorganisasi pada hubungan
sosial.
C. Diferensiasi Sosial
1. Pengertian Diferensiasi Sosial
Pada dasarnya diferensiasi menunjukkan adanya keragaman dalam sebuah
komunitas. Baik ditinjau dari suku, adat istiadat, bahasa, ras, budaya, agama, dan
lain sebagainya. Konsep diferensiasi sosial tidak harus diartikan sebagai suatu
diferensiasi derajat dan martabat manusia. Konsep diferensiasi sosial
menunjukkan adanya diferensiasi yang terdapat pada masyarakat tanpa
memandang kelas-kelas sosial yang bersifat hierarchies. Dengan demikian,
konsep diferensiasi sosial lebih diartikan sebagai keragaman yang bersifat
horisontal, bukan pembedaan kelas yang bersifat vertikal.53
Berdasarkan ciri-ciri di atas (fisik, sosial, dan budaya) bentuk-bentuk
diferensiasi sosial (perbedaan sosial) dapat dibedakan atas enam macam,
yaitu: diferensiasi sosial berdasarkan jenis kelamin, ras, profesi, klan, suku
bangsa, dan agama.
Berdasarkan parameter sosiokultural, kita mendapatkan 4 bentuk
diferensiasi sosial, yaitu diferensiasi suku bangsa (tribal differentiation),
diferensiasi klan (clan differentiation), diferensiasi agama (religion
differentiation) dan diferensiasi pekerjaan / profesi (profession differentiation).
Agama merupakan suatu sistem terpadu mengenai kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan menyatukan semua
pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut umat. Semua ajaran
agama mengatur hubungan, baik hubungan antara sesama manusia maupun
hubungan antara manusia dengan Tuhan.

53
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosilogi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2010), h. 459.
66

Agama sangat penting bagi manusia untuk memelihara ketertiban dan


kestabilan dalam masyarakat. Di Negara kita tidak boleh ada sikap anti agama
serta tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan. Setiap warga Negara harus
percaya dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bertakwa kepada-Nya,
hal tersebut sesua dengan sila pertama dalam Pancasila.
Diferensiasi sosial berdasarkan perbedaan agama tercipta pada kenyataan
sosial bahwa masyarakat terdiri dari manusia manusia yang mempercayai suatu
agama tertentu termasuk dalam sebuah komunitas atau golongan yang disebut
dengan umat. Seperti pada penggolongan yang lainnya, Diferensiasi agama juga
tidak mencerminkan tingkatan-tingkatan secara hierarkis, artinya tidak berarti
sebuah agama tertentu lebih tinggi tingkatannya dari agama yang lainnya. dan hal
ini jangan sampai dijadikan pembeda tingkatan dalam interaksi sosial di
masyarakat. Karena seandainya perbedaan ini dibesar-besarkan, yang terjadi
justru ketidak harmonisan dan kekacauan dalam hubungan bermasyarakat.
2. Dampak Diferensiasi Sosial
a) Interseksi Sosial
Interseksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut
hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok
dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada
kehidupan bersama.  Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal
balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang
hidupnya didalam amasyarakat.
Interseksi sosial di dalam struktur masyarakat majemuk berdampak pada
peningkatan solidaritas dan timbulnya potensi konflik. Akibat pembentukan
kelompok-kelompok dari seksi yang berbeda-beda di antaranya makin kuatnya
hubungan atau ikatan-ikatan antar anggota masyarakat. Para anggota masyarakat
yang ada akan mengabaikan perbedaan horizontal maupun vertikal. Differensiasi
dianggap sebagai hal yang wajar akibat saling bergaul intensif dan saling
memaklumi hal-hal tersebut. Selain itu, interseksi dapat menghasilkan kelompok
sosial yang baru dengan kriteria yang baru pula. Jika perbedaan yang dimiliki
seperti latar belakang agama, suku, ras dan sebagainya lebih menonjol dan
67

semakin tajam, maka konflik yang berakhir pada perpecahan akan terjadi dalam
organsiasi konflik.54
b) Akulturasi Sosial
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu
kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari
suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri.55
Akulturasi merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu
acculturate yang mempunyai arti tumbuh dan berkembang bersama-sama. Secara
umum, akulturasi adalah suatu proses sosial yang muncul saat terjadi penyatuan
dua budaya yang berbeda menjadi budaya yang baru tanpa menghilangkan unsur
budaya lama. Dengan demikian akulturasi merupakan proses perubahan yang di
dalamnya terjadi penyatuan budaya-budaya yang berbeda.
c) Hubungan Primordialisme
Primordil atau primordialisme berasal dari kata bahasa Latin, yaitu
primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, primordialisme adalah perasaan kesukuan yang
berlebihan.56
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang
diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap
primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan
budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau
kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung
bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu
memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi
karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang

54

Ibid., h. 475.
55
Ibid., h. 478.
56
Pusat BahasaDepartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, Edisi ke-3, 2005), h. 896.
68

mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan
cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Terdapat dua jenis etnosentris yaitu: pertama, etnosentris infleksibel yakni
suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau
tingkah laku orang lain, kedua, etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang
cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang
budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. Tidak selamanya primordial
merupakan tindakan salah. Akan tetapi bisa saja dinilai sebagai sesuatu yang
mesti dipertahankan. Dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. Perilaku
primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.57
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Primordialisme adalah sebuah
pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil,
baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada
di dalam lingkungan pertamanya.
Primordialisme merupakan identitas bersama suatu komunitas yang
terbentuk karena ada ikatan kekerabatan, seperti darah dan keluarga serta adanya
kesamaan suku, ras, tempat tinggal, bahasa dan adat istiadat. Pembentukan
identitas bersama dalam suatu masyarakat akan mengalami kesukaran apabila
masyarakat tersebut merupakan masyarakat majemuk secara budaya, yaitu
masyarakat yang terdiri atas beberapa suku, ras, bahasa dan agama. Perbedaan ini
kemungkinan besar akan menimbulkan konflik nilai. Jika usaha penciptaan
identitas bersama atau identitas nasional tidak memuaskan beberapa kelompok
budaya yang ada, maka akan terjadi disintegrasi masyarakat.58
d) Hubungan Paternalisme
Paternalisme adalah practice of governing or controllling people in the
paternal way, providing for their need but giving them no responsibility. 59 Yang
terjemahan bebasnya adalah mempraktekkan pengaruh atau pengendalian di

57
Setiadi, Pengantar Sosilogi..., h. 483-484.
58

Ibid.
59
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (New York:
Oxford University Press, 1987), p. 615
69

dalam pola-pola hubungan kepabapakan, dimana memenuhi kebutuhan mereka


tanpa membebankan tanggungjawab.
Di dalam pola-pola hubungan paternal selalu terdapat hubungan antara
ketokohan seorang bapak atau tokoh figur yang dituakan yang dalam istilah
sosiologi disebut patron, sementara di pihak lain terdapat kelompok sosial yang
menyandarkan pola-pola perilakunya pada perilaku yang dituakan atau difigurkan
tersebut, sehingga kelompok nsosial tersebut lebih banyak dalam melakukan
tindakan sosialnya merujuk apa kata orang yang dituakan atau difigurkan
tersebut.60
Paternalisme adalah suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas
kelompok ras pribumi. Pola ini muncul apabila kelompok pendatang, yang secara
politik lebih kuat, mendirikan koloni di daerah jajahan.
e) Politik Aliran
Politik aliran adalah suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam
ormas-ormas yang memiliki suatu pemersatu berupa partai politik dalam suatu
negara, sehingga ormas tersebut dikatakan penganut partai yang memang
dijadikan pemersatu dalam negara. Berkembangnya politik aliran ini banyak
dilatarbelakangi oleh gejala munculnya in group atau primary group yang
memiliki sikap etnosentris.61
Dengan demikian, munculnya differensiasi sosial akan dapat memberi
dampak munculnya interseksi sosial, akulturasi sosial, hubungan primordialisme,
hubungan paternalisme dan aliran politik. Ini muncul dari sudut pandang dan
analisa sosiologi-antropologi, bagaimana apabila dikaitkan dengan hukum?
Adanya budaya Batak asli serta hadirnya norma-norma hukum agama
Kristen, norma-norma hukum agama Islam serta norma hukum Nasional akan
menimbulkan differensiasi sosial. Sebagaimana dijelaskan di atas oleh Setiadi
bahwa pembentukan identitas bersama dalam suatu masyarakat akan mengalami
kesukaran apabila masyarakat tersebut merupakan masyarakat majemuk secara
budaya, yaitu masyarakat yang terdiri atas beberapa suku, ras, bahasa dan agama.

60
Setiadi, Pengantar Sosilogi..., h. 485.
61
Ibid. h. 485.
70

Perbedaan ini kemungkinan besar akan menimbulkan konflik nilai. Jika usaha
penciptaan identitas bersama atau identitas nasional tidak memuaskan beberapa
kelompok budaya yang ada, maka akan terjadi disintegrasi masyarakat.62
Dalam analisa George Ritzer dalam bukunya Modern Sociological Theory,
ia menjelaskan bahwa munculnya differensialisme kultural akan menimbulkan
konvergensi kultural, yaitu dimana budaya-budaya tersebut bergerak menuju
kepada titik kesamaan. Kultur-kultur tersebut akan terus berubah, terkadang
secara radikal sebagai akibat dari globalisasi. Namun walaupun demikian,
munculnya konvergensi kulturtal bukan berarti akan menyatunya budaya, tetapi
kedatang budaya tersebut dapat menimbulkan kebangkitan atau perkembangan
kembali bentuk-bentuk budaya lolak.63
Apabila dikaitkan dengan teori tersebut, maka budaya yang ada saat ini
pada masyarakat Batak, ada kemungkinan hukum-hukum adat Batak tidak hilang,
namun mereka menyesuaikannya dengan norma hukum Kristen, Islam dan
Nasional. Hukum Nasional, Islam, Kristen dan Adat Batak akan bergerak terus
menuju titik kesamaan namun tetap angkit dan berkembang. Ini adalah merupakan
salah satu hipotesa.
Akibat yang kedua, kemungkinan muncul dari adanya globalisasi atau
diferensisasi sosial adalah hibrida kultural, yaitu dengan munculnya globalisasi
dan masalah lokal atau diferensisasi budaya maka akan ada kemungkinan
menghadirkan budaya baru yang merupakan perpaduan atau integrasi global dan
lokal, integrasi berbagai budaya.64
Dengan teori ini maka akan ada kemungkinan muncul perpaduan adat,
norma, hukum yang ada pada masyarakat Batak sehingga menjadi budaya baru
yang masing-masing angggota masyarakat mengikuti budaya baru tersebut.
Masyarakat Batak asli yang menganut kepecayaan sipala begu, yang menganut
agama Kristen, yang menganut agama Islam akan tunduk pada hukum Nasional

62

Ibid.
63
George Ritzer dalam bukunya Modern Sociological Theory, terj. Triwibowo B.S, Teori
Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2014), h. 546.
64

Ibid. h. 551-552.
71

dan pada beberpa bagian mereka tunduk pada adat yang tidak bertentangan
dengan agama Islam dan Kristen. Ketika yang bertentangan adalah norma hukum
Islam dan Kristen maka diserahkan kepada agama masing-masing.
Dalam buku Law and Social Change, Sharyn L. Roach Anleu menjelaskan
bahwa ketika ada pluralisme hukum, maka ada beberapa kemungkinan yang akan
muncul, yaitu imposed law, convergence dan parallel. Ketika hadir pluralisme
hukum dalam sebuah masyarakat, maka akan muncul sebuah hukum yang
memaksakan atau dipakasakan sehingga hukum yang lain tidak diindahkan.
Dalam keadaan seperti ini akan muncullah hukum yang kalah dan hukum yang
menang. Hukum yang dipaksakan ini (imposed law) akan dapat diterima oleh
masyarakat apabila ia diterapkan oleh penguasan untuk mencapai tujuan politik
dan sosial kemasyarakatan untuk menghindari konflik.65
Sedangkan dalam convergence, menurut Anleu bahwa ketika hadir
plurasilme hukum dalam sebuah masyarakat maka yang akan muncul adalah
sebagaimana konvergensi dalam sitilah sosiologi. Masing-masing hukum dalam
perjalananya di tengah masyarakat bergerak menuju titik kesamaan. 66 Mungkin
inilah yang disebut dengan istilah eklektisisme oleh A. Qodri Azizy dalam
bukunya Hukum Nasional; Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum. Dalam
pandangan Azizy bahwa untuk menuju atau terwujudnya hukum Nasional di
Indonesia perlu dilakukan pemilihan-pemilihan hukum antara hukum umum
dengan hukum Islam untuk mewujdukan hukum Nasional. 67 Pada kesimpulannya
untuk membentuk hukum Nasional, harus dilakukan reorientasi terhadap hukum
umum dan hukum Islam menuju Hukum Nasional.68
Kemungkinan ketiga yang muncul adalah paralllel. Menurut Anleu,
bahwa apabila muncul pluralisme hukum dalam sebuah masyarakat ada

65
Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Change (London: SAGE Publication, 2000), p.
71-72.
66
Ibid. h. 73
67

A. Qodri Azizy, Hukum Nasional; Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum
(Jakarta: Teraju, 2004), h. 12.
68
Ibid. h. 309.
72

kemungkinan masing-masing hukum tetap hidup dan berlaku pada masing-masing


penganut hukum tersebut (coexist).69
D. Kesadaran Hukum
1. Pengertian Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum terdiri dari dua suku kata, yaitu kesadaran yang berasal
dari kata sadar berarti insaf, merasa tahu dan mengerti, ingat kembali dan bangun
dari tidur.70 Ini menunjukkan bahwa orang sadar adalah orang yang insaf dan ingat
kembali serta ia tahu dan mengerti. Ketika ia tidak sadar maka ia sama dengan
orang yang sedang tidur tidak tahu dan mengerti apa yang dilakukannya. Ketika
kata sadar dibentuk menjadi kesadaran dan digabung dengan kata hukum, maka ia
menjadi kesadaran hukum yang berarti keasadaran untuk menegakkan hukum di
dalam kehidupan bermasyarakat.71
Istilah kesadaran hukum ada dalam ilmu sosiologi hukum. Kesadaran
hukum biasanya baru dimasalahkan dan banyak ditulis dalam surat kabar apabila
justru terjadi ketidaksadaran hukum, pelanggaran hukum, atau kebatilan. Kalau
kesadaran hukum itu tinggi, kalau tidak banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran
hukum tidak akan banyak dipermalasahkan tentang kesadaran hukum.72
Permasalahan kesadaran hukum pada dasarnya adalah permasalahan
hukum yang ada dalam masyarakat. Dimana ada kesesuaiana antara ide yang ada
pada pemerintah atau pihak yang berkuasa dengan penegak hukum dan warga
masyarakat.Hukum dalam fungsinya untuk mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat bisa muncul dari diri masyarakat tersebut, dan bisa juga muncul dari
pemerintah atau penguasa.Hukum yang muncul dari masyarakat, maka hukum
tersebut adalah berfungsi sebagai social control atau pengendalian masyarakat.
Sedangkan hukum yang muncul dari ide pemerintah maka ini akan berfungsi
sebagai social engginering, diamana hukum akan berfungsi untuk menggerakkan

69
Anleu, Law and Social Change, h. 73.
70
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, Edisi ke-3, 2005), h. 975.
71
Ibid.
72
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pusaka, 2010), h. 39.
73

masyarakat pada suatu kondisi tertentu sebagaimana yang ditujukan oleh hukum
tersebut.
Kesadaran hukum muncul adalah dari ajaran rechtsgeful atau
rechtbewusstsein yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat
warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Sebuah hukum
yang diterbitkan tidak cocok dengan kesadaran hukum masyarakat, maka akan
tibul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat, semakin besar pertentangan
antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit untuk menerapkannya.
Permasalahan kesadaran hukum (legal consciousness) sangat perlu
dipahami untuk bisa memahami hukum itu sendiri dan essensinya di tengah
masyarakat. Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya
hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang rechsgefuhl atau
rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat
warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum. Hal tersebut
merupakan salah satu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa
kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum
dan efektivitas hukum.
Masalah kesadaran hukum, termasuk pula di dalam ruang lingkup
persoalan hukum dan nilai-nilai sosial. Apabila ditinjau dari teori-teori modern
tentang hukum dan pendapat para ahli hukum tentang sifat mengikat dari hukum
timbul bermacam permasalahan. Salah satu persoalan yang timbul adalah
mengenai adanya suatu jurang pemisah antara asumsi-asumsi tentang dasar
keabsahan hukum tertulis, serta kenyataan dari pada dipatuhinya hukum tersebut.
Terdapat suatu pendapat yang menyatakan bahwa mengikatnya hukum terutama
tergantung pada keyakinan seseorang. Inilah yang dinamakan teori
rechtsbewustzijn.73
Ajaran tradisional, pada umumnya bertitik tolak pada suatu anggapan
bahwa hukum secara jelas merumuskan perilakuan-perilakuan yang dilarang atau

73

R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum ( Bandung: Alumni, 1989), h.49
74

yang diperbolehkan. Pun bahwa hukum tersebut dengan sendirinya dipatuhi


dengan nama co-variency teori.74
Kesadaran hukum adalah permaslahan yang berkaitan dengan perasaan
hukum. Sekarang muncul pertanyaan, apakah kesadaran hukum itu sama dengan
perasaan hukum? Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul
secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan.
Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum
mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya melalui penafsiran-
penafsiran secara ilmiah. Jadi sebenarnya kesadaran hukum merupakan kesadaran
atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan ada.75
Suatu konsep lain yang erat kaitannya dengan kesadaran hukum adalah
konsepsi mengenai kebudayaan hukum (legal culture). Kebudayaan hukum ini
kegunaanya adalah untuk mengetahui perihal nilai-nilai terhadap prosedur
hukum maupun substansinya. Dengan demikian konsepsi budaya hukum lebih
luas dibandingkan dengan konsepsi kesadaran hukum.
Kesadaran hukum seringkali diasumsikan bahwa ketaatan hukum sangat
erat kaitannya dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum dianggap sebagai
variable bebas, sedangkan taraf ketaatan merupakan variable tergantung.
Perilaku yang nyata terwujud dalam ketaatan hukum, namun hal itu tidak
dengan sendirinya hukum mendapat dukungan sosial, dukungan sosial hanyalah
diperoleh apabila ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan, oleh
karena kepuasan merupakan hasil pencapaian hasrat akan keadilan.
Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau
efektivitas hukum. Dengan perkataan lain kesadaran hukum menyangkut masalah
apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak didalam
masyarakat.
Kesadaran hukum itu dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu
Kesadaran hukum yang berasal dari individu-individu dalam masyarakat atau

74
Ibid. h 50.
75
Ibid. h. 51
75

sebagai warga masyarakat dan kesadaran hukum individu-individu sebagai


pejabat hukum. Kesadaran hukum individu tersebut adalah merupakan perasaan
hukum dan keyakinan hukum individu tersebut.
Adapun tujuan utama dari penelitian hukum tentang kesadaran hukum
masyarakat adalah:
1. Untuk mengetahui apakah di dalam tindakan-tindakan terhadap
peristiwa-peristiwa hukum tertentu masyarakat mempunyai
pandangan yang sama dengan pejabat hukum
2. Untuk menegetahui apakah kesadaran hukum para pejabat hukum
merupakan refleksi dari kesadaran hukum masyarakat
3. Sampai seberapa jauh masyarakat mengetahui akan adanya peraturan-
peraturan tertulis dan melaksanakannya
4. Sampai seberapa jauh pejabat hukum mengetahui akan adanya
peraturan-peraturan tertulis dan melaksanakannya
5. Untuk mengetahui alat-alat apakah yang paling banyak dipergunakan
oleh masyarakat maupun para pejabat hukum di dalam proses hukum.
Dengan demikian maka pokok yang harus diteliti adalah:
1. Proses hukum, yaitu bagaimana masyarakat bertindak di dalam
kehidupan hukum dengan mengambil tindakan-tindakan hukum yang
terbanyak dilakukan sebagai patokan.
2. Alasan dan latar belakang proses hukum tersebut.
3. Apakah proses hukum tersebut selaras atau tidak sesuai dengan
peraturan-peraturan tertulis yang berlaku
4. Mengapakah terdapat keselarasan atau ketidak selarasan antara proses
hukum dengan peraturan tertulis.76
Berkaitan dengan penelitian ini, maka ada beberapa pokok penelitian yang
akan dilakukan, yaitu:
1. Bagaimana masyarakat minoritas muslim bertindak di dalam
kehidupan hukum dengan mengambil tindakan-tindakan hukum yang

76

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali, 2012), h.168-169.


76

terbanyak dilakukan sebagai patokan dalam masyarakat yang


mayoritas tidak beragama Islam.
2. Mengapa masyarakat minoritas muslim bertindak hukum tertentu
dalam masyarakat yang mayoritas tidak beragama Islam.
3. Bagaiman proses hukum yang dilakukan oleh masyarakat minoritas
muslim tersebut, apakah selaras atau tidak sesuai dengan peraturan-
peraturan hukum Islam tertulis yang berlaku dan yang tidak tertulis
4. Mengapakah terdapat keselarasan atau ketidak selarasan antara proses
hukum dengan peraturan tertulis yang dilakukan oleh masyarakat
minoritas muslim
2. Faktor-faktor yang Menimbulkan Kesadaran Hukum
Menurut Bierstedt, dasar-dasar kepatuhan adalah:
a. Indoctrination
Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah
adalah karena dia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil
manusia telah didik agar mengetahui kaedah-kaedah yang berlaku
dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dengan unsur-unsur
kebudayaan lainnya, maka kaedah-kaedah telah ada waktu seseorang
dilahirkan, dari semula manusia menerimanya secara tidak sadar.
Melalui proses sosialisasi manusia didik untuk mengenal, mengetahui
serta mematuhi kaedah-kaedah tersebut.

b. Habituation
Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama
kelamaan mejadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku.
Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi
yang seolah-oleh mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari
ditemui, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya
terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya
dengan bentuk dan cara yang sama.
77

c. Utility
Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas
dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu
pantas dan teratur untuk orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan
tentang kepantasan dan keteraturan tersebut. Patokan-patokan tadi merupakan
pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku dan dinamakan
kaedah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat
pada kaedah adalah karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. Manusia
menyadari bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan
kaedah-kaedah.
d. Group identification
Salah satu sebab mengapa seseorang patuh kepada kaedah adalah karena
kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi
dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaesah-kaedah yang berlaku dalam
kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari
kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan
identifikasi dengan kelompoknya tadi. Bahkan kadang-kadang seseorang
mematuhi kaedah-kaedah kelompok lain karena ingin mengidentifikasi dengan
kelomp0k lain tersebut.77
H.C Kelman menyatakan bahwa sebenarnya masalah kepatuhan yang
merupakan suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses,
yaitu:
1. Compliance, yaitu suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan
akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari
hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang
melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini tidak sama sekali
didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang
bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang
kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada apabila ada
77

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers,
1982), h. 225-226.
78

pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum


tersebut.
2. Identification, yaitu terjadi kepatuhan terhadap kaidah bukan
dikarenakan nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok
tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi
wewenang untuk menerapkan kaidah hukum-kaidah hukum tersebut.
Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari
hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung
pada buruk baiknya interaksi tadi. Walaupun seseorang tidak
menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya
berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif
terhadapnya. Hal ini disebabkan oleh karena yang bersangkutan
berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan kekhawatirannya
terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai obyek frustasi
tersebut dengan mengadakan identifikasi. Penderitaan yang ada
sebagai akibat pertentangan nilai-nilai diatasinya dengan menerima
nilai-nilai penegak hukum. Tentang hal ini Mowrer berasumsi bahwa
” if one is identified with a force of which one is afraid, one can no
longer be hurt by it.
3. Internalization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah
hukum dikarenakan secara instrinsik kepatuhan tadi mempunyai
imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya
dari pribadi yang bersangkutan, atau oleh karena dia mengubah nilai-
nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu
konformitas yang didasarkan pada motivasi secara instrinsik. Titik
sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaaan orang tadi
terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari
pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang
kekuasaan maupun pengawasannya.78
78

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers,
1982), h. 230-232.
79

Kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah


hukum yang ada. Kesadaran hukum juga berkaitan dengan nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan
demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan,
melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini terjadi internalisasi hukum
dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum
tersebut telah meresap dalam diri masyarakat.79
3. Indikator Keasadaran Hukum
Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing
merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:
1. Pengetahuan hukum, yaitu pengetahuan seseorang mengenai beberapa
perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum
yang dimaksud disini adalah hukum tertulis. Pengetahuan tersebut
berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang
diperbolehkan oleh hukum
2. Pemahaman hukum, ini maksudnya adalah sejumlah informasi yang
dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu.
Dengan lain perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian
terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum
tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-
pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal
pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu
mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur sesuatu hal.
Akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka
dalam mengahadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-
norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan
melalui sikap mereka terhadap tingakah laku sehari-hari.
3. Sikap hukum (legal attitude), adalah sesuatu kecenderungan untuk
menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum

79
Ibid.,h. 234-235.
80

sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu


ditaati. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya
sehingga akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan
penghargaan terhadapnya.
4. Pola perilaku hukum (legal behavior), pada pola ini adalah dimana
hukum sudah berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian sampai
seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari
pola perilaku hukum suatu masyarakat.
Dengan demikian kita melihat bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Perubahan sistem nilai dalam
masyarakat akan memunculkan perubahan hukum dalam masyarakat.
Penelitian dengan menggunakan kerangka pendekatan kesadaran hukum
akan bermanfaat di dalam mengkaji efektivitas hukum dan living law. Penelitian
hukum untuk mengetahui kesadaran hukum terhadap beberapa sistem hukum
sejenis berbeda dengan penelitian hukum terhadap satu sistem hukum saja. Dalam
penelitian seperti ini terbuka kemungkinan berbaurnya kesadaran hukum
masyarakat terhadap sistem-sistem hukum tersebut. Oleh sebab itu acuan
analisisnya harus bervarisasi. Secara umum ada dua hal pokok, yaitu:

1. Seberapa jauh kesadaran hukum masyarakat terhadap sistem hukum


tertentu.
2. Terhadap sistem hukum manakah kecenderungan kesadaran hukum
masyarakat.
Bila di dalam penelitian diperoleh fakta bahwa tingkat pengetahuan
masyarakat relatif rendah terhadap suatu sistem hukum, maka harus dilihat hal-hal
sebagai berikut:
1. Apakah responden memperoleh pendidikan (penyuluhan, pendidikan
formal atau informal) yang berkenaan dengan pengetahuan sistem
hukum tersebut.
81

2. Apakah masalah tersebut merupakan masalah yang sering dilakukan


atau jarang dilakukan. Seperti perkawinan merupakan masalah yang
sering dilakukan, lain hal dengan masalah waris hanya berlaku bila
pewaris meninggal dunia.
3. Berada dalam lingkungan mana masalah tersebut, perdata, pidana atau
lingkungan hukum lainnya.
4. Teori-teori tentang Kepatuhan Hukum
Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum
sebagai berikut:
1. Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang
berwenang.
2. Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya, akan tetapi ia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan
oleh berwenang terhadap hukum yang bersangkutan.
3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi ia tidak setuju dengan kaedah-
kaedah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa.
4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum
tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempenyuai wewenang.
5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan dia pun tidak
patuh pada hukum.
Kesadaran hukum mencakup unsur-unsur pengetahuan tentang hukum,
pengetahuan tentang isi hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ada hubungan pengatahuan hukum dengan
kepatuhan hukum. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan,
ada sebuah kesimpulan, yaitu teori yang menyatakan “knowledge about law is
neither a necessary nor a sufficient condition for conformity to the law”. Hal ini
muncul berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di Eropa, antara
lain Inggris dan Norwegia. Dimana dilakukan penelitian terhadap mahasiswa
fakultas hukum tentang peraturan-peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya.
Para mahasiswa tersebut dalam mematuhi hukum lalu lintas relatif rendah. Dalam
82

kesimpulannya bahwa tidak ada pengaruh positif maupun negatif dari


pengetahuan hukum tentang peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya pada
kepatuhan terhadap peraturan tersebut.
Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada hubungan antara
kepatuhan hukum dengan pengetahuan tentang isi hukum itu sendiri. Berdasarkan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan, tergambar bahwa kepatuhan kepada
hukum karena adanya internalisasi. Pengetahuan tentang isi peraturan
menyebabkan terjadinya kepatuhan terhadap hukum tersebut. Akan tetapi sulit
untuk menetapkan secara pasti derajat kepatuhan macam apakah yang dicapai
dengan pengetahuan tersebut., oleh karena derajat kepatuhan juga tergantung pada
teladan yang diberikan oleh pejabat hukum dan taraf kesempurnaan mekansime
pengawasan pelaksanaan peraturan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada hubungan sikap hukum dan
kepatuhan hukum. Sebelum membahasnya perlu dijelaskan tentang sikap itu
sendiri. Pada dasarnya ada dua bentuk sikap, yaitu sikap fundamental dan sikap
instrumental. Sikap fundamental adalah sikap yang merupakan reaksi serta merta
tanpa ada memperhitungkan untung ruginya bagi dirinya sendiri, sedangkan sikap
instrumental adalah reaksi berdasarkan perhitungan untung rugi, kebaikan-
kebaikan dan keburukan-keburukan suatu kaedah hukum secara mantap.
Seseorang patuh kepada hukum atau peraturan-peraturan mungkin karena
bersikap fundamental atau instrumental. Kepatuhan yang disebabkan karena
sikap yang fundamental jelas lebih mantap, oleh karena didasarkan pada
pemikiran yang mantap yang tidak didasarkan pada kepentingan-kepentingan
pribadi. Sikap akan timbul apabila sedang mematuhi hukum karena rasa takut
pada sanksinya, karena ada petugas pengawas atau karena kebanyakan orang
mematuhi peraturan tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hubungan pola perilaku hukum
dan kepatuhan hukum? Pola perilaku hukum merupakan setip perlakuan yang
teratur dan bertujuan untuk mencapai keserasian antara ketertiban dengan
kebebasan. Setiap perilaku yang sesuai dengan hukum merupakan salah satu ciri
atau kriteria akan adanya kepatuhan atau ketaatan hukum yang cukup tinggi.

Anda mungkin juga menyukai