BAB II
KERANGKA TEORI
teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan dari
masyarakat kota yang maju dan kompleks. Apabila dibandingkan kebudayaan dan
peradaban maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan lebih banyak direfleksikan
dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, sedangkan peradaban terefleksi
kepada politik, ekonomi dan teknologi.5
Ada tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts.
Kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,
norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.6
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai tadi, dalam kenyataan kehidupan
masyarakat tentu tidakterpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat
istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia.Baik pikiran-pikiran dan ide-
ide, maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan
fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup
tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya
sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara
berfikirnya.
Sungguhpun ketiga wujud dari kebudayaan tadi saling berkaitan, tetapi
untuk keperluan analisis perlu diadakan pemisahan antara tiap-tiap wujud itu. Hal
ini sering dilupakan, tidak hanya dalam diskusi-diskusi atau dalam pekerjaan
sehari-hari ketiga wujud dari kebudayaan tadi sering dikacaukan, tetapi juga
dalam analisis ilmiah oleh para sarjana yang menamakan dirinya ahli kebudayaan
atau ahli masyarakat, dan sering tidak dapat dibuat pemisahan yang tajam antara
ketiga hal terurai tadi.
2. Budaya Hukum
Nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi terhadap
hidup, bersifat amat umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk
bertindak bersifat khusus, sedangkan perumusannya bersifat amat terperinci, jelas,
tegas dan tidak meragukan. Hal itu memang seharusnya demikian, sebab kalau
terlampau umum dan luas ruang lingkupnya, serta terlampau kabur perumusannya
maka norma tersebut tidak dapat mengatur tindakan individu dan membingungkan
individu yang bersangkutan mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan suatu
tindakan.
Dalam setiap pranata itu terdapat macam-macam kedudukan. Dalam tiap
kedudukan ada seorang individu yang bertindak mementaskan peranan sosialnya
terhadap tindakan-tindakan lain individu warga masyarakat dalam interaksi
sosial. Para individu dalam hal mementaskan peranan mereka tidak bertindak
membabi buta, tetapi bertindak menurut aturan-aturan tertentu, yaitu menurut
norma-norma khusus yang jelas, tegas dan tidak meragukan.
Norma-norma dalam rangka suatu pranata dan sub-subpranata sudah tentu
erat berkaiatan satu sama lain, dan juga karena merupakan suatu sistem yang
terintegrasi. Selain itu norma-norma dalam suatu pranata sudah tentu juga
berkaitan dengan norma-norma dalam pranata-pranata lain yang berdekatan,
menjadi sistem-sistem yang lebih luas. Sistem-sistem yang lebih luas itu dapat
kita sebut unsur-unsur kebudayaan universal, dan mengenai konsep itu akan
diuraikan lebih khusus dalam subbab selanjutnya.
Dalam masyarakat yang sederhana, dimana jumlah pranata dalam
kehidupan masyarakat masih sedikit, dan jumlah norma dalam suatu pranata juga
kecil, maka satu orang ahli adat dapat mencakup pengetahuan mengenai semua
norma dalam banyak pranata, bahkan sering sekali semua pranata yang ada dalam
masyarakatnya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang kompleks dimana jumlah
pranatanya sangat banyak dan jumlah norma tiap pranata juga sangat besar,
seorang ahli seperti ahli adat dalam masyarakat yang sederhana, tidak dapat lagi
menguasai seluruh pengetahuan mengenai semua sistem norma yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, ada ahli khusus mengenai norma
kekerabatan, ahli khusus mengenai norma perdaganagan, ahli khusus mengenai
25
atau cukture traits yang merupakan praksis budaya secara khusus dalam proses
kehidupan sosial pemilinya. Kebudayaan secara universal memiliki tujuh unsur
yang terdiri atas sistem religi dan uppacara agama, sistem organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian,
serta sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut
merupakan kompleks kebudayaan yang secara universal ditemukan pada
kebudayaan bangsa-bangsa. Koentjaraningrat kemudian mendefenisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan hasil belajar dan proses belajar
itu sendiri.
Kedua defenisi kebudayaan yang disebutkan di atas mengandung unsur
yang sama. Perbedaannya hanya menyangkut sistematika. Sistematika dan
pengelompokan dari Koentjaraningratlebih jelas. Unsur moral, adat, hukum, dan
kebiasaan yang dikemukakan Tylor, oleh Koentjaraningrat disatukan dalam satu
unsur yang dinamakan sistem organisasi kemasyarakatan. Sistematika defenisi
Tylor ialah penyampaian unsur-unsur yang menjadikan adanya kebudayaan.
Kluckhohn yang pernah meneliti defenisi kebudayaan bersama Kroeber,
mengajukan satu rangkaian defenisi kebudayaan yang lebih kompleks tetapi
mengandung esensi cakupan yang sama luas dengan defenisi yang diajukan kedua
penulis sebelumnya. Salah satu rangkaian defenisi tersebut, seperti disinggung
Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan tingkah laku yang
dipelajari (culture is learned behavvior). Defenisi kebudayaan selengkapnya
Kluchohn adalah:
(1)The total way of life of a people, (2) the social legacy the individual
acquires from group (3) a way thingking, feeling and believing; (4) an abstraction
from behavior;(5)a theory on the part of the anthropologist about the way ini
which a group of people in fact behave;(6)a store house of pooled leraning;(7) a
set standardized orientation to reccurent problems;(8) learned behavior;(9) a
mechanism for the normative regulation of behavior;(10) a set of techniques for
adjusting both to the external environment and the other men;(11)a precipitate of
history.
28
Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 138.
10
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 137-139.
29
Ketika disebut dengan nilai budaya, maka ia dapat dipahami sebagai nilai
yang dikandung oleh suatu kebudayaan dan unsur-unsur yang membedakannya
dari kebuadayaan lain. Nilai budaya merupakan tingkat terteinggi dan abstrak dari
adat-istiadat serta memberikan ciri dan karakter bangsa, suku, bahkan kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Dengan demikian, ada perbedaan nilai dan sistem
budaya dalam setiap kebudayaan. Nilai budaya tersebut meresapi hidup anggota
masyarakat sejak dini sehingga mengakar di dalam jiwa, sehingga nilai budaya
yang terdapat dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti begitu saja dalam
waktu singkat dengan nilai budaya lain walaupun dengan dalih rasionalitas.11
Perubahan sosial budaya dapat terjadi akibat perkembangan dari dalam
masyarakat dan pertemuan dengan budaya dari luar. Perubahan yang terjadi dari
dalam, oleh banyak pakar dihubungkan dengan teori evolusi perkembangan
masyarakat Charles Darwin dan Herbert Spencer. Teori ini dibantah dengan
penemuan masyarakat Aborigin di Australia yang tidak mendukung teori evolusi
itu. Perubahan dari dalam terjadi melalui inovasi sebagai akibat kesalahan secara
tak sengaja maupun karena adanya kebiasaan mengatasi setiap kesukaran.
Perubahan dari luar terjadi akibat kontak budaya dengan etnis lain sehingga terjadi
transmisi sosial budaya melalui jalur difusi, asimilasi dan akulturasi. Asimilasi
terjadi bila satu kebudayaan menyerap kebudayaan lain, sedangkan akulturasi
terjadi bila ada kontak dua kebudayaan dalam posisi sederajat.12
Karena nilai budaya termasuk nilai yang tertinggi di dalam masyarakat,
bentuknya abstrak, serta sifatnya umum, maka nilai tidak dapat dioperasikan
secara mudah. Nilai-nilai budaya masih harus dijabarkan dalam bentuk norma
yang sifatnya operasional. Norma ialah aturan-tauran tingkah laku yang
dirumuskan secara jelas, terperinci, tegas dan tidak meragukan. Tingkah laku yang
selalu berulang dan terorganisasi dinamakan kebiasaan (customs). Menurut
Sumner tingkah laku itu dinamakan folkways. Ada beberapa jenis kebiasaan,
demikian Sumner dan secara alamiah terdapat ikatan antara satu kebiasaan dengan
11
Ibid. h.140.
12
Ibid.h. 31.
30
umum. Norma dengan hukuman berat oleh Sumner dinakan mores dan norma
ringan dinamakan folkways. Mores dapat digolongkan sebagai adat istiadat dalam
arti khusus dan folkways merupakan tata cara di dalam kebiasaan. Mores dan
folkways merupakan ideal culture yang harus dituruti oleh warga masyarakat.13
Apabila dikaitkan dengan masyarakat Batak, maka falsafah hidup orang
Batak adalah menekankan kekayaan, banyak anak dan kehormatan (hamoraon,
hagabeon, dan hasangopan).14 Menurut pandangan orang Batak Toba,
kebudayaan memiliki sistem nilai budaya yang amat penting, yang menjadi tujuan
dan pandangan hidup mereka secara turun temurun yakni kekayaan (hamoraon),
banyak ketururunan (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon). Yang dimaksud
dengan kekayaan ialah harta milik berwujud materi maupun non materi yang
diperoleh melalui usaha atau warisan. Keturunan juga termasuk ke dalam kategori
kekayaan. Banyak keturunan ialah mempunyai banyak anak, cucu, cicit dan
keturunan-keturunannya, termasuk pemilikan tanaman serta ternak.
Dengan demikian, pandangan hidup atau identitas orang Batak Toba ialah
mencapai hamoraon, hagabeon, dan hasangopan atau kekayaan, keturunan dan
kehormatan.15 Kehormatan dan kemuliaan merupakan tujuan hidup tertinggi yang
ingin dicapai pada masa hidup dan juga sesudah mati (hagabeon). Kehormatan
merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat
seseorang.16
Menurut pandangan orang Batak, kebudayaannya memiliki sistem nilai
budaya yang amat penting, yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka
secara turun temurun, yakni kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon)
dan kehormatan (hasangapon). Yang dimaksud kekayaan ialah harta milik
berwujud materi maupun non materi yang diperoleh melalui usaha atau melalui
warisan. Keturunan juga termasuk ke dalam kategori kekayaan. Banyak keturunan
ialah mempunyai banyak anak, cucu, cicit dan keturunan-keturunannya, termasuk
13
17
Berdasarkan kajian yang dilakukan bahwa falsafah ini sebenarnya ada pada masyarakat
Batak Toba, sedangkan pada masyarakat Batak yang lain tidak seperti itu. Seperti pada masyarakat
Batak Mandailing, mereka berfalsafah bahwa agama Islam adalah tujuan hidup mereka. Mereka
akan berusaha mengamalkan agama Islam, sedangkan adat menyesuaikan diri dengan agama
Islam. Mereka memiliki falsafah hombar do adat dohot ibadat. Ini artinya adat dan ibadat tidak
bisa dipisahkan, adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada
hal-hal yang menggangu dengan pelaksanaan agama, adat itu harus dikesampingkan. Lihat
Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman (Medan: FORKALA
Prov. Sumatera Utara, 2005), h. 14.
18
Dalihan Na Tolu secara harfiah berarti tungku berkaki tiga . Ia dipakai sebagai simbol
sistem hubungan sosial masyarakat Batak Toba yang terdiri atas tiga kelompok unsur, yaitu
hulahula, boru, dan dongan tubu atau dongan sabutuha. Di Batak Karo dinamakan sangkep sitelu,
Batak Simalungun, tolu sahundulan lima saodoran, di Batak Angkola dan Mandailing dinamakan
dalihan na tolu.
33
Naskah Batak tertua yang ditulis oleh orang Batak dengan huruf Latin,
Ruhut Parsaoran di Habatahan (Aturan Hubungan Sosial Orang Batak) terbit
tahun 1898 dan Patik Dohot Uhum Ni Halak Batak (Hukum dan Aturan Orang
Batak) yang terbit tahun 1899, tidak menyinggung istilah dalihan na tolu. Kedua
buku tersebut menyebut aturan-aturan hubungan sosial dan hukum, bahkan istilah
hulahula, pamoruan (boru), dan parparibanon (sepengambilan istri)
dipergunakan juga, namun, rumusan dalihan na tolu tidak disebut. Akan tetapi,
menurut pengakuan orang Batak Toba, mereka menerima terminologi tersebut
sebagai warisan dari nenek moyang. Hal itu terbukti bahwa di dalam setiap
upacara adat, baik perkawinan maupun kematian, hubungan adat dalihan na tolu
selalu disebutkan sebagai warisan nenek moyang tidak boleh diubah. Jadi, sejak
orang Batak Toba bermukim di kaki Pusuk Buhit, dalihan na tolu sudah
dipergunakan sebagai pengatur hubungan sosial.
Marga adalah dasar terjadinya hubungan dalihan na tolu. Marga
merupakan nama kolektif sekelompok warga keturunan satu nenek moyang yang
dihitung dari tingkat atas atau grad/grade yang lebih tinggi. Menurut sejarah
Batak, ada dua marga induk yaitu, Sumba dan Lotung. Kemudian nama keturunan
kedua nenek moyang ini merupakan moiety, menjadi marga utama bagi marga-
marga di bawahnya. Misalnya, moiety Lotung melalui nama anaknya Saribu Raja
dan Lontung melahirkan marga-marga Situmorang, Sinaga, Pandiangan,
Nainggolan, Simatupang, Aritonang dan Siregar. Demikian juga Moitey Sumba
melalui putranya Tuan Soni Mangaraja dan Nai Rasaon memunculkan marga-
marga Manurung, Sitorus, Purba dan Tanjung. Jadi, nama kolektif marga muncul
dari nama seorang nenek moyang.
Hubungan antara kelompok boru dan kelompok hulahula bersifat sembah
sujud (somba). Artinya kedudukan hulahula terlihat lebih tinggi. Dalam
penerapan adat, kelompok hulahula adalah kelompok yang dipandang mampu
memberi berkat dan restu serta kekuatan jasmani dan rohani kepada kelompok
boru. Hulahula adalah debata na tarida (dewata yang tampak) dan mataniari
binsar atau matahari terbit yang sinarnya mempunyai kekuatan memberi hidup.
34
Ungkapan budaya yang ketiga menyatakan bahwa orang yang satu marga,
walau garis keturunannya sudah agak berbeda, akan tetap saling menjalin tali
persaudaraan seperti seibu sebapak. Melalui pengetahuan marga, amak tali
persaudaraan serta tanggung jawab sosial satu sama lain akan dijunjung tinggi.
Aturan yang ketiga adalah pandangan dan sikap kepada boru (pengambil
putri), yaitu:
Bunghulan do boru boru adalah wuwungan
Durung do boru boru adalah tangguk
Tamburan hulahula hulahula penerima ikan
Elek marboru kasih sayang kepada boru.22
Ungkapan yang pertama berarti bahwa boru menempati kedudukan yang
terhormat di kalangan hulahula. Bungkulan adalah kayu penyanggah utama atap
rumah. Seluruh perkayuan rumah terpikul ke atasnya. Oleh karena itu, fungsi
bungkulan amat penting bagi rumah. Demikian juga boru yang dilambangkan
sebagai penyangga hubungan sosial sesama hula-hula. Boru adalah kelompok
sosial yang akan mendamaikan hulahula bila terjadi pertikaian sesama hulahula,
akan memberi sumbangan materi demi keberhasilan horja, kinerja hulahula.
Boru sangat fungsional dalam relasi antar sesama hulahula atau dengan
masyarakat lain.
Ungkapan budaya yang kedua berarti bahwa boru adalah kelompok yang
akan selalu membuat senang hati hulahula lewat pemberian, upeti, sumbangan
dan sebagainya. Boru dilambangkan sebagai tangguk penangkap ikan, yang
fungsinya selalu memberi hasil jerih payahnya kepada hulahula yang
dilambangkan sebagai wadah ikan tangkapan. Sebagai imbalannya maka hulahula
akan memberi restu dan dengan restu itu ia akan memperoleh pahala berupa
kekayaan, banyak anak, dan kehormatan (hamoraon, hagabeon, hasangopan).
Agar boru dengan rela dan senang hati memberi upeti seperti dimaksudkan dalam
ungkapan ketiga, maka sikap kepada mereka adalah mangelek, membujuk, ambil
hati, mengayomi, kasih sayang dan tidak membuat sakit hati.
22
Ibid. h. 46
38
23
24
Pada tulisan ini yang digambarkan hanya aspek hukum adat Batak Toba saja, karena
pada adat Tapanuli Tengah, Pakpak, Dairi dan Karo ada kemiripan dengan Batak Toba walaupun
ada sedikit perbedaan dalam istilah dan upacra adat. Hal ini nanti akan disampaikan pada hasil
penelitian Bab IV.
40
Perkawinan yang ideal bagi orang Batak Toba ialah antara seorang
pemuda dengan putri saudara laki-laki ibunya (pisalai, mabido). Sistem ini
dinamakan marboru ni tulang atau kawin pariban. Demikian juga bila seorang
pemudi kawin dengan putra saudara perempuan ayah (pasapea, fassio) atau
maranak ni namboru, disebut juga kawin pariban. Namun, sistem perkawinan
semacam ini sudah tidak begitu diminati lagi. Perkawinan yang lebih bebas
dengan marga lain yang tidak ada hubungan darah bahkan dengan etnis lain justru
lebih digemari. Namun demikian, belum pernah dikaji secara ilmiah berapa jauh
sistem perkawinan pariban sudah ditinggalkan.
Sebalinya, kawin dengan putri saudara perempuan ayah (pisapa, fasido)
atau boru ni namboru merupakan hal gterlarang. Larangan ini sesuai dengan
struktur sosial dalihan na tolu bahwa hanya boru yang boleh mengambil istri dari
kelompok hulahula. Pelanggaran atas larangan ini akan dihukum berat berupa
pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai anggota marga dan dilarang mengikuti
upacara adat. Orang Batak Toba memperkuat hukum adat ini dengan ungkapan
dang tarpaulak aek tu julu artinya air tidak bisa dialirkan kembali ke hulu. Dalam
persoalan ini hulahula adalah sumber asal boru. Oleh karena itu tidak mungkin
proses itu diputar balik. Artinya, boru menjadi sumber keturunan. Artinya boru
menjadi sumber keturunan secara simbolik adalah pohon kehidupan bagi
hulahula. Secara idiologis hulahula merupakan personifikasi dewata Batara Guru
dan banua ginjang (dunia atas), sedangkan boru adalah personifikasi dewata
Balabulan dan Banua toru (dunia bawah). Itulah sebabnya kedudukannya yang
tinggi dari hulahula tidak dapat dijungkirbalikkan, sama seperti menukarkan
kedudukan dewata Batara Guru dengan Balabula. Secara religi hal ini tidak
diperbolehkan dan tidak dimungkinkan. Karena itu, adat yang menjadi bagian dan
kepercayaan keagamaan harus mematuhinya.
Di lihat dari sudut pelaksanaan upacara perkawinan yang melibatkan
banyak pihak, maka prinsip pertanggungjawaban adalah milik kelompok sosial.
Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara
langsung dengan bertanggung jawab sesuai kedudukan sosial adatnya. Dengan
demikian yang berkepentingan tidak hanya kedua pengantin atau kedua pihak
41
orangtua dan kerabat dekat, namun juga setiap unsur dalihan na tolu dari kedua
kelompok sosial tersebut. Keterlibatan semua unsur dalihan na tolu terwujud
dalam tanggung jawab masing-masing kepada pengantin, kedua orangtua
pengantin, serta tiap-tiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok yang
berhadapan secara langsung.
Adat membicarakan maskawin, tuhor dan sinamot seolah-olah merupakan
proses tawar menawar tuhor (harga) seorang gadis. Para misionaris Jerman
menyebutkan sistem kawin tuhor itu dengan bride price. Dahulu, sekitar 20 tahun
lalu, perkawinan bisa batal jika tidak ada kesesuaian jumlah maskawin (tuhor).
Bahkan batalnya suatu rencana perkawinan tidak selalu datang dari orangtua
dengan saudara kandung gadis, tetapi juga dari kerabat dekat lainnya, termasuk
dari tulang saudara laki-laki ibu. Faktor penyebabnya jika upa tulang (bagian dari
maskawin yang menjadi hak tulang) tidak sesuai dengan permintaannya. Namun
belakangan, ini hal seperti itu sudah sangat jarang terjadi.
Penyebab pembatalan perkawinan belakangan ini bila di antara gadis atau
pemuda masaih ada ikatan janji dengan orang lain dan belum diputuskan sehingga
datang gugatan salah satu pihak sesaat sebelum pemberkatan di gereja. Di
samping itu, juga jika nama gadis tercemar, atau calon pengantin laki-laki
diisukan sudah kawin dengan boru sileban (perempuan suku lain di perantauan)
tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Pada zaman orang Batak dahulu, pembatalan perkawinan dengan alasan
apapun dapat mengakibatkan konflik yang serius bahkan bisa menimbulkan
peperangan antarmarga dan antardesa, karena hal itu dianggap merendahkan
derajat dan nama baik salah satu kelompok masyarakat atau desa.
Karena sistem kekerabatan Batak Toba berdasarkan pada garis keturunan
bapak (patrilineal), maka pengantin perempuan diboyong ke rumah laki-laki.
Namun ada juga pengantin laki-laki yang tidak sanggup melunasi maskawinnya,
lalu diputuskan dibayar dengan tenaga sehingga pengantin harus menetap di desa
keluarga perempuan. Hal semacam ini dinamakan sonduk hela. Perkawinan
menetap di desa isteri dapat juga terjadi bila istri itu anak tunggal atau tidak punya
saudara laki-laki sehingga tenaga sang suami diperlukan untuk menjaga orangtua
42
dan harta bendanya. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, boru yang menetap
di desa keluarga perempuan tidak punya hak milik atas tanah melainkan hanya
hak pakai selama menetap di desa itu.
Ada beberapa jenis perkawinan yang dikenal selama ini yaitu, kawin
dialap jual (kawin dijual-jemput), yakni perkawinan adat dengan cara menjemput
pengantin perempuan ke rumah orangtuanya karena pesta adat sepenuhnya
dilakukan di rumah perempuan. Jenis perkawinan kedua ialah ditaruhon jual
(kawin dijual-antar), pengantin perempuan di antar ke rumah laki-laki, karena
pesta dilakukan di rumah laki-laki.
Jenis ketiga ialah mangalua (kawin lari), yakni perkawinan yang
dilakukan tanpa persetujuan salah satu atau kedua keluarga. Laki-laki membawa
pasangannya ke rumah saudaranya lalu diadakan upacara adat parajahon.
Pemberitahuan dilakukan dengan mengutus beberapa orang boru dengan
membawa upa sahut (bagian ekor utuh seekor babi) sebagai pertanda upacara
merajakan gadis telah dilakukan. Dahulu perkawinan jenis ini selalu mengundang
permusuhan dan peperangan. Belakangan ini perkawinan demikian sudah
sepengetahuan keluarga perempuan. Keretakan di antara kerabat permpuan,
kekurangmampuan ekonomi dan faktor kakak gadis bersaudara yang belum
kawin, menjadi alasan diizinkannya perkawinan lain. Jenis-jenis perkawinan di
atas masih berlaku.
Selain itu ada jenis lain yang dahulu dikenal namun sudah ditinggalkan
orang, misalnya kawin mangobing atau perkawinan dengan cara menculik, kawin
malturiun atau gadis mendapatkan pujaannya dan mengajaknya kawin tenap
persetujuan orang tuanya. Jenis ini kadang kadang disebut juga kawin mahuempe,
yang artinya merendahkan martabat sendiri.
Adapula perkawinan yang dilakukan di antara orang yang pernah kawin.
Perkawinan ini disebut pareakhon, atau ganti tikar. Perkawinan ini adalah
perkawinan seorang janda dengan saudara laki-laki mendiang suaminya.
Perkawinan jenis ini dimaksudkan agar ada yang mempertanggungjawabkan
anak-anak almarhum, atau apabila janda itu sedang hamil sewaktu ditinggal mati
suaminya, sehingga akan ada yang menjadi ayah si bayi.
43
Sistem adat perkawinan demikian masih dilakukan dan diikuti sampai saan
ini baik di desa asal, di daerah perantauan maupun di kota-kota. Berbagai
perubahan praksis telah terjadi tetapi essensinya tetap dipertahankan.
b. Warisan25
Seperti telah dikemukakan bahwa sistem sosial orang Batak Toba
berdasarkan kelompok laki-laki. Kekuasaan berada di tangan bapak. Garis
keturunan berdasarkan keturunan laki-laki (patrilineal). Marga bapak adalah
marga seluruh keturunannya. Perempuan yang telah kawin mengikuti marga
suami, namun marganya tidak ditinggalkan. Marga perempuan menjadi dasar
rujukan untuk mengetahui hulahula setiap tingkat keturunan. Demikian juga
sebagai rujukan pariban, yakni setiap kelompok laki-laki yang mengambil istri
dari marga istri ego.
Bagi orang Batak Toba, anak laki-laki lebih diutamakan dari anak
perempuan. Laki-laki adalah penerus keturunan, pelanjut marga Bapak penerus
pohon kehidupan. Sedangkan anak perempuan adalah pelanjut keturunan marga
lain. Artinya, perempuan adalah penerus kelanjutan keturunan marga suaminya.
Dengan dasar itu anak laki-laki selalu diharapkan lebih banyak dari anak
perempuan, seperti digambarkan oleh ungkapan tradisional; maranak sampulu
pitu, marboru sampulu onom, atau beranak laki-laki tujuh belas, beranak
perempuan enam belas.
Keistimewaan tersebut tergambar dalam pemberian warisan yang hanya
untuk anak laki-laki. Anak perempuan tidak mempunyai hak waris dari orang
tuanya. Anak laki-laki memiliki hak manjae atau hak berdiri sendiri, baik dalam
pemilikan dan penguasaan benda maupun hubungan sosial, adat dan
pemerintahan. Legalisasi berdiri sendiri, manjae diwujudkan dangan memberikan
sawah, ladang, atau kebun yang dinamakan panjaean. Pemberian itu berlaku
untuk semua anak laki-laki yang telah berumah tangga. Sebelum adat manjae
25
Pada tulisan ini yang digambarkan hanya aspek hukum adat Batak Toba saja, karena
pada adat Tapanuli Tengah, Pakpak, Dairi dan Karo ada kemiripan dengan Batak Toba walaupun
ada sedikit perbedaan dalam istilah dan upacra adat. Hal ini nanti akan disampaikan pada hasil
penelitian Bab IV.
46
sebagai orang muda atau orang tua yang belum sempurna, melainkan menjadi
anggota kelompok orang tua yang penuh dan sempurna.
Seperti telah dikemukakan, pada prinsipnya setiap anak laki-laki
memperoleh warisan berupa tanah (sawah, ladang, kebun, hutan) dari
orangtuanya, sedangkan perempuan tidak. Warisan dapat diperoleh pada saat
orangtua masih hidup, yakni melalui lembaga lambang kemandirian yang
dinamakan panjaean. Waisan dapat juga ditunjuk orangtua pada saat hidupnya,
walaupun anak-anaknya baru boleh menguasai warisan tersebut setelah orang tua
meninggal dunia. Selain tanah, warisan dapat juga berbentuk pusaka, benda
keramat bahkan jabatan.
Pada zaman Batak tua, pra-pengaruh Barat, maupun kekeristenan, jabatan
pemerintahan juga diwariskan kepada keturunan. Bila orangtua adalah pendiri
kampung dan menjadi raja, maka anaknya akan mewarisi jabatan raja tersebut.
Demikian seterusnya, bila ada orang lain yang menginginkan kedudukan itu,
biasanya kakak atau adik lalu berusaha merebutnya, maka akan terjadi pertikaian
bahakan peperangan antarsuadara. Karena penduduk desa satu nenek moyang,
semarga dan seketurunan, dan ada anggota yang ingin menjadi raja, maka ia
terlebih dahulu harus mengajukan usul untuk mendirikan huta baru atau kampung
baru kepada raja huta. Dengan mendirikan perkampungan baru maka pendiri
kampung baru tersebut secara otomatis menjadi raja. Kerajaan baru diakui setelah
melakukan upacara adat. Jika keinginan itu ditolak raja huta, biasanya akan
terjadi konflik bahkan perang saudara.
Pemilikan sawah atau ladang, sealin melalui warisan orangtua dapat juga
terjadi melalui transaksi adat antara hulahula dengan boru. Seorang anak
perempuan yang melahirkan anak pertama akan meminta sebidang tanah sawah
atau ladang kepada orangtuanya yang dinamakan indohan arian atau nasi untuk
dimakan siang hari. Bahkan ada juga hulahula yang memberi sawah tersebut pada
saat mengandung tujuh bulan, yang dinamakan sawah bangunan. Pemberian
demikian tidak dinamakan warisan tetapi ulos na sora buruk (selimut yang tidak
akan rusak). Selain itu perpindahan penguasaan sawah atau ladang maupun kebun
48
dapat terjadi melalui transaksi ekonomi, yaitu pinjam meminjam (mamola pinang)
dan gadai atau dondon.
Gadai permanen sebenarnya sudah mengarah pada jual beli. Semua
transaksi tersebut hanya berlaku di antara saudara sekampung dan sedarah. Bila
tidak mampu diperbolehkan menjual kepada saudara semarga yang tingkatan
hubungan darahnya sudah agak lebih jauh. Semua transaksi baru boleh dilaksakan
bila raja huta dan perwakilan orang tua (panungganei) telah menyetujui.
Kelompok boru atau orang lain yang bukan saudara semarga, yang tinggal
di suatu desa karena mengawini anak perempuan marga raja, tidak mempunyai
hak memindahkan tanah yang dipakai kepada anaknya sebagai warisan. Ia juga
tidak diperbolehkan memberikannya kepada orang lain sebagai pinjam pakai,
misalnya karena orang tersebut pindah. Mereka hanya mempunyai hak pakai
karena mereka berstatus penumpang yang dinamakan parippe.
Perpindahan penguasaan dapat juga terjadi melaui peperangan. Bila suatu
desa kalah perang, maka semua harta dan penghuninya menjadi milik mereka
yang menang. Desa yang kalah dinamakan huta natartaban (kampung yang
tersita). Keadaan tersebut menimbulkan perbudakan pada zaman Batak Tua,
terutama di wailayah Tapanuli Utara dan Selatan. Namun perang antar marga
yang berbeda biasanya berlangsung lama dan jarak perkampungan marga-marga
yang saling berperang itu berjauhan.
B. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
1. Perubahan Sosial dan Kebudayaan dalam Masyarakat Batak
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan.
Perubahan. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial dan lain sebagainya.26
Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai
pembatasan pengertian-pengertian perubahan sosial dan kebudayaan. William F.
26
William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, Socilogy (Boston: A Pfeffer and Simons
International University Edition, Toughton Mifflin Company, 1954), p. 7.
28
Kngsley Davis, Human Society (New York: The Macmillan Company, 1960), p. 76.
29
MacIver, Society; A Textbook of Socilogy (New York: Farrar and Rinehart, 1937), p. 272.
50
Yang sangat menarik dalam penelitian ini adalah, masyarakat Batak yang
sebelumnya adalah tidak memiliki konsep dasar tentang ketuhanan. Mereka hanya
percaya kepada kekuatan tondi dan begu.30 Untuk memperkuat diri melawan
hantu-hantu jahat, maka diperlukan media perantara yang bernama datu (dukun).
Dengan ucapan tabas, mantra seorang dukun memperkuat roh seseorang atau
mengusir roh jahat atau hantu.31
Agama Hindu kemudian memperluas wawasan tersebut dengan
memperkenalkan Tuhan yang kemudian dinamakan debata mula jadina bolon,
serta tiga dewa penguasa lapisan bumi, yaitu lapisan atas (banua ginjang), tengah
(banua tonga)dan bawah (banua toru). Ini dinamakan debata na tolu atau tri
murti. Adanya persamaan Trimurti tersebut dengan Trinitas dalam agama Kristen,
menurut Parkin mempermudah diterimanya agama Kristen oleh orang Batak.32
Agama Kristen masuk ke daerah Batak pada dasarnya sejak Inggris
menginjakkan kaki di Bumi Indonesia. Ketika Sir Syamford Raffles menjadi
Letnan Gubernur di Jawa, rasa takutnya muncul bila orang Islam Aceh bergabung
dengan Islam Minangkabau menjadi satu kekuatan raksasa yang dapat
mengancam kekuasaan Inggris. Karena sejak berkuasa di Jawa dan Sumatera
tahun 1811 ia mulai mencanangkan startegi pemisahan kedua suku bangsa itu
dengan cara memberi izin bahkan mendorong para misionaris Kristen untuk
mengembangkan agama ke daerah Tapanuli, daerahnya orang Batak. Strategi ini
menginginkan agar ada satu suku bangsa pemisah yang memeluk agama lain.
Pilihan itu jatuh pada orang Batak yang waktu itu masih belum memeluk suatu
agama. Untuk mewujudkan rencana tersebut maka Baptist Mission Society di
Inggris mengirim tiga orang misionaris, yaitu Richard Burton(ahli bahasa dan
etnologi), Nathaniel Ward (ahli kesehatan) dan Evan Brookers (ahli pendidikan).33
Ketika Kristen memasuki wilayah Batak, maka saat yang bersamaan
sebenarnya Islam juga memasuki wilyah Batak melalui perantaraan Perang Paderi
30
Tondi adalah kekuatan jiwa, sedangkan begu merupakan roh orang-orang yang pernah
hidup.
31
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 67.
32
Ibid.
33
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 74.
51
(1824-1829 dan 1830-1833) dari Sumatera Barat. Wilayah yang bisa dimasuki
adalah wilayah Mandailing sehingga di sana banyak penduduk muslim hingga
wilayah Angkola Sipirok.34
Dari penjelasan singkat di atas dapat dipahami bahwa saat ini, ada tiga
bentuk kepercayaan atau agama yang ada di wilayah Batak, yaitu; aliran
kepercaya sipala begu, agama Kristen dan Islam. Munculnya tiga agama atau
kepercayaan tersebut akan mengakibatkan perubahan sosial dalam masyarakat
Batak.
Sedangkan apabila ditinjau dari sudut pandang hukum, maka ada empat
hukum yang akan berlaku pada masyarakat Batak, yaitu hukum Nasional, hukum
Adat Batak, hukum Kristen dalam hal ini Hukum Perdata (BW) dalam hukum
perkawinan dan warisan, serta hukum Islam bagi masyarakat muslim Batak. Oleh
karena itu secara sosiologi, tidak dapat dipungkiri akan terjadi perubahan sosial
dan kebudayaan pada masyarakat Batak secara keseluruhan dan masyarakat
minoritas muslim di Sumatera Utara.
Gillin dan Gillin mengatakan perubahan-perubahan sosial sebagai suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi
geografis, kebudayaan materill, komposisi penduduk, ideologi maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara
singkat Samuel Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada
modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang
terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.35
Bukan hanya adanya tiga kepercayaan atau agama di wilayah Batak,
munculnya komposisi penduduk yang berubah juga akan mengakibatkan
perubahan sosial di wilayah Batak. Saat ini penduduk yang menetap di wilayah
Batak, tidak hanya masyarakat atau penduduk yang bersuku Batak, tetapi sudah
ada suku Minang, Aceh, Mandailing, Nias dan Jawa. Perubahan komposisi
34
penduduk ini juga akan dapat menimbulkan perubahan sosial dan kebudayaan
pada masyarakat Batak di Sumatera Utara.
Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias,
dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Daerah pesisir timur Sumatera
Utara, pada umumnya dihuni oleh orang-orang Melayu.Pantai barat dari Barus
hingga Natal, banyak bermukim orang Minangkabau.Wilayah tengah
sekitar Danau Toba, banyak dihuni oleh Suku Batak yang sebagian besarnya
beragama Kristen. Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat.Sejak dibukanya
perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia
Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di
perkebunan.Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa.
Pusat penyebaran suku-suku di Sumatera Utara, sebagai berikut :
1. Suku Melayu : Pesisir Timur, terutama di kabupaten Deli Serdang,
Serdang Bedagai, dan Langkat
2. Suku Batak Karo : Kabupaten Karo
3. Suku Batak Toba : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir
4. Suku Batak Mandailing : Kabupaten Mandailing Natal
5. Suku Batak Angkola : Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten
Padang Lawas
6. Suku Batak Simalungun : Kabupaten Simalungun
7. Suku Batak Pakpak : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat
8. Suku Nias : Pulau Nias
9. Suku Minangkabau : Kota Medan, Kabupaten Batubara, Pesisir barat
10. Suku Aceh : Kota Medan
11. Suku Jawa : Pesisir timur
12. Suku Tionghoa : Perkotaan pesisir timur & barat.
Menurut Selo Soemardjan, perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-
kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada defenisi tersebut terletak pada
53
36
39
Ibid. h. 268.
40
Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, h. 157.
55
Paul Bohannan, Social Antropology (New York: Holt Rinehart and Winston etc, 1963) ,
p. 360.
42
43
Ibid. h. 272.
44
57
Cliffort Geertz, The Social Context of Economic Change; An Indonesian Case Study
(mimeographed paper, MIT, Cambridge Mass, 1956), p. 13.
45
Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 272-273.
46
Ibid. h. 273-274.
58
kemasyarakatan. Misalnya, orang mengenal hak milik individual atas tanah, sewa
tanah, gadai tanah, bagi hasil dan selanjutnya, yang sebelumnya tidak dikenal.
Berkurangnya penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk
dari desa ke kota atau dari daerah ke daerah lain, mislanya transmigrasi.
Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan, misalnya dalam bidang
pembagian kerja dan stratafikasi sosial, yang memengaruhi lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Perpindahan penduduk telah berlangsung beratus-ratus ribu
tahun lamanya di dunia. Hal itu sejajar dengan bertambah banyaknya manusia
penduduk bumi ini. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencarian utamanya
berburu, perpindahan sering kali dilakukan, yang tergantung dari persediaan
hewan-hewan buruannya. Apabila hewan-hewan tersebit habis, merek akan
pindah ke tempat-tempat lainnya.
2. Penemuan-penemuan baru
Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya perubahan-perubahan
dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian discovery dan invention. Discovery
adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang
berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan
para inddividu. Discovery baru menjadi invention, kalau mayarakata sudah
mengakui, menerima serta menerapkan penemuan baru itu. Sering kali proses dari
discovery sampai ke invention membutuhkan suatu rangkaian-rangkaian
penciptaan.
3. Pertentangan masyarakat
Pertentangan (conflict) masyarakat mungkin pula menjadi sebab terjadinya
perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-pertentangan mungkin terjadi
antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok.
Sebagai contoh perubahan yang disebabkan konflik adalah apa yang
terjadi pada masyarakat Batak dengan sistem kekeluargaan patrilineal murni.
Terdapat adat istiadat bahwa apabila suami meninggal, keturunannya berada di
bawah kekuasaan keluarga almarhum. Dengan terjadinya proses individualisasi
terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi
penyimpangan. Anak-anak tetap tinggal pada ibunya, walaupun hubungan antara
59
Ibid. h. 280.
60
kebudyaan. Sementara itu penyesuaian dari individu yang ada menunjuk pada
usaha-usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti agar terhindar dari disorganisasi
psikologis. Dikenalnya kehidupan dan praktik ekonomi yang berasal dari Barat
menyebabkan semakin pentingnya pernan keluarga sebagai lebaga produksi dan
konsumsi.
b. Saluran-saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan (avenue or channel of
change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan.
Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan
dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan
seterusnya. Lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi titik tolak, tergantung pada
cultural focus masyarakat pada suatu masa tertentu.
Lembaga kemasyarakatan yang ada pada suatu waktu mendapatkan
penilaian tertinggi dari masyarakat cenderung menjadi saluran perubahan sosial
dan kebudayaan. Perubahan lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa
akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya karena lembaga-lembaga
kemasyarakatan merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Apabila lembaga-
lembaga kemasyarakatan tersebut sebagai sistem sosial digambarkan coraknya
adalah sebagi berikut:
Gambar 3
Saluran Perubahan Sosial dan Kebudayaan
ORGANISASI ORGANISASI
KEAGAMAAN EKONOM
ORGANISASI ORGANISASI
PENDIDIKAN HUKUM
64
52
53
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosilogi; Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2010), h. 459.
66
semakin tajam, maka konflik yang berakhir pada perpecahan akan terjadi dalam
organsiasi konflik.54
b) Akulturasi Sosial
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu
kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari
suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan
kelompok itu sendiri.55
Akulturasi merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu
acculturate yang mempunyai arti tumbuh dan berkembang bersama-sama. Secara
umum, akulturasi adalah suatu proses sosial yang muncul saat terjadi penyatuan
dua budaya yang berbeda menjadi budaya yang baru tanpa menghilangkan unsur
budaya lama. Dengan demikian akulturasi merupakan proses perubahan yang di
dalamnya terjadi penyatuan budaya-budaya yang berbeda.
c) Hubungan Primordialisme
Primordil atau primordialisme berasal dari kata bahasa Latin, yaitu
primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, primordialisme adalah perasaan kesukuan yang
berlebihan.56
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang
diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap
primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan
budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau
kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung
bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu
memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi
karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang
54
Ibid., h. 475.
55
Ibid., h. 478.
56
Pusat BahasaDepartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, Edisi ke-3, 2005), h. 896.
68
mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan
cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Terdapat dua jenis etnosentris yaitu: pertama, etnosentris infleksibel yakni
suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau
tingkah laku orang lain, kedua, etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang
cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang
budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. Tidak selamanya primordial
merupakan tindakan salah. Akan tetapi bisa saja dinilai sebagai sesuatu yang
mesti dipertahankan. Dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. Perilaku
primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.57
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Primordialisme adalah sebuah
pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil,
baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada
di dalam lingkungan pertamanya.
Primordialisme merupakan identitas bersama suatu komunitas yang
terbentuk karena ada ikatan kekerabatan, seperti darah dan keluarga serta adanya
kesamaan suku, ras, tempat tinggal, bahasa dan adat istiadat. Pembentukan
identitas bersama dalam suatu masyarakat akan mengalami kesukaran apabila
masyarakat tersebut merupakan masyarakat majemuk secara budaya, yaitu
masyarakat yang terdiri atas beberapa suku, ras, bahasa dan agama. Perbedaan ini
kemungkinan besar akan menimbulkan konflik nilai. Jika usaha penciptaan
identitas bersama atau identitas nasional tidak memuaskan beberapa kelompok
budaya yang ada, maka akan terjadi disintegrasi masyarakat.58
d) Hubungan Paternalisme
Paternalisme adalah practice of governing or controllling people in the
paternal way, providing for their need but giving them no responsibility. 59 Yang
terjemahan bebasnya adalah mempraktekkan pengaruh atau pengendalian di
57
Setiadi, Pengantar Sosilogi..., h. 483-484.
58
Ibid.
59
AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (New York:
Oxford University Press, 1987), p. 615
69
60
Setiadi, Pengantar Sosilogi..., h. 485.
61
Ibid. h. 485.
70
Perbedaan ini kemungkinan besar akan menimbulkan konflik nilai. Jika usaha
penciptaan identitas bersama atau identitas nasional tidak memuaskan beberapa
kelompok budaya yang ada, maka akan terjadi disintegrasi masyarakat.62
Dalam analisa George Ritzer dalam bukunya Modern Sociological Theory,
ia menjelaskan bahwa munculnya differensialisme kultural akan menimbulkan
konvergensi kultural, yaitu dimana budaya-budaya tersebut bergerak menuju
kepada titik kesamaan. Kultur-kultur tersebut akan terus berubah, terkadang
secara radikal sebagai akibat dari globalisasi. Namun walaupun demikian,
munculnya konvergensi kulturtal bukan berarti akan menyatunya budaya, tetapi
kedatang budaya tersebut dapat menimbulkan kebangkitan atau perkembangan
kembali bentuk-bentuk budaya lolak.63
Apabila dikaitkan dengan teori tersebut, maka budaya yang ada saat ini
pada masyarakat Batak, ada kemungkinan hukum-hukum adat Batak tidak hilang,
namun mereka menyesuaikannya dengan norma hukum Kristen, Islam dan
Nasional. Hukum Nasional, Islam, Kristen dan Adat Batak akan bergerak terus
menuju titik kesamaan namun tetap angkit dan berkembang. Ini adalah merupakan
salah satu hipotesa.
Akibat yang kedua, kemungkinan muncul dari adanya globalisasi atau
diferensisasi sosial adalah hibrida kultural, yaitu dengan munculnya globalisasi
dan masalah lokal atau diferensisasi budaya maka akan ada kemungkinan
menghadirkan budaya baru yang merupakan perpaduan atau integrasi global dan
lokal, integrasi berbagai budaya.64
Dengan teori ini maka akan ada kemungkinan muncul perpaduan adat,
norma, hukum yang ada pada masyarakat Batak sehingga menjadi budaya baru
yang masing-masing angggota masyarakat mengikuti budaya baru tersebut.
Masyarakat Batak asli yang menganut kepecayaan sipala begu, yang menganut
agama Kristen, yang menganut agama Islam akan tunduk pada hukum Nasional
62
Ibid.
63
George Ritzer dalam bukunya Modern Sociological Theory, terj. Triwibowo B.S, Teori
Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2014), h. 546.
64
Ibid. h. 551-552.
71
dan pada beberpa bagian mereka tunduk pada adat yang tidak bertentangan
dengan agama Islam dan Kristen. Ketika yang bertentangan adalah norma hukum
Islam dan Kristen maka diserahkan kepada agama masing-masing.
Dalam buku Law and Social Change, Sharyn L. Roach Anleu menjelaskan
bahwa ketika ada pluralisme hukum, maka ada beberapa kemungkinan yang akan
muncul, yaitu imposed law, convergence dan parallel. Ketika hadir pluralisme
hukum dalam sebuah masyarakat, maka akan muncul sebuah hukum yang
memaksakan atau dipakasakan sehingga hukum yang lain tidak diindahkan.
Dalam keadaan seperti ini akan muncullah hukum yang kalah dan hukum yang
menang. Hukum yang dipaksakan ini (imposed law) akan dapat diterima oleh
masyarakat apabila ia diterapkan oleh penguasan untuk mencapai tujuan politik
dan sosial kemasyarakatan untuk menghindari konflik.65
Sedangkan dalam convergence, menurut Anleu bahwa ketika hadir
plurasilme hukum dalam sebuah masyarakat maka yang akan muncul adalah
sebagaimana konvergensi dalam sitilah sosiologi. Masing-masing hukum dalam
perjalananya di tengah masyarakat bergerak menuju titik kesamaan. 66 Mungkin
inilah yang disebut dengan istilah eklektisisme oleh A. Qodri Azizy dalam
bukunya Hukum Nasional; Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum. Dalam
pandangan Azizy bahwa untuk menuju atau terwujudnya hukum Nasional di
Indonesia perlu dilakukan pemilihan-pemilihan hukum antara hukum umum
dengan hukum Islam untuk mewujdukan hukum Nasional. 67 Pada kesimpulannya
untuk membentuk hukum Nasional, harus dilakukan reorientasi terhadap hukum
umum dan hukum Islam menuju Hukum Nasional.68
Kemungkinan ketiga yang muncul adalah paralllel. Menurut Anleu,
bahwa apabila muncul pluralisme hukum dalam sebuah masyarakat ada
65
Sharyn L. Roach Anleu, Law and Social Change (London: SAGE Publication, 2000), p.
71-72.
66
Ibid. h. 73
67
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional; Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum
(Jakarta: Teraju, 2004), h. 12.
68
Ibid. h. 309.
72
69
Anleu, Law and Social Change, h. 73.
70
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, Edisi ke-3, 2005), h. 975.
71
Ibid.
72
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Cahaya Atma
Pusaka, 2010), h. 39.
73
masyarakat pada suatu kondisi tertentu sebagaimana yang ditujukan oleh hukum
tersebut.
Kesadaran hukum muncul adalah dari ajaran rechtsgeful atau
rechtbewusstsein yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat
warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Sebuah hukum
yang diterbitkan tidak cocok dengan kesadaran hukum masyarakat, maka akan
tibul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat, semakin besar pertentangan
antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit untuk menerapkannya.
Permasalahan kesadaran hukum (legal consciousness) sangat perlu
dipahami untuk bisa memahami hukum itu sendiri dan essensinya di tengah
masyarakat. Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya
hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang rechsgefuhl atau
rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat
warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum. Hal tersebut
merupakan salah satu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa
kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum
dan efektivitas hukum.
Masalah kesadaran hukum, termasuk pula di dalam ruang lingkup
persoalan hukum dan nilai-nilai sosial. Apabila ditinjau dari teori-teori modern
tentang hukum dan pendapat para ahli hukum tentang sifat mengikat dari hukum
timbul bermacam permasalahan. Salah satu persoalan yang timbul adalah
mengenai adanya suatu jurang pemisah antara asumsi-asumsi tentang dasar
keabsahan hukum tertulis, serta kenyataan dari pada dipatuhinya hukum tersebut.
Terdapat suatu pendapat yang menyatakan bahwa mengikatnya hukum terutama
tergantung pada keyakinan seseorang. Inilah yang dinamakan teori
rechtsbewustzijn.73
Ajaran tradisional, pada umumnya bertitik tolak pada suatu anggapan
bahwa hukum secara jelas merumuskan perilakuan-perilakuan yang dilarang atau
73
R. Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum ( Bandung: Alumni, 1989), h.49
74
74
Ibid. h 50.
75
Ibid. h. 51
75
76
b. Habituation
Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama
kelamaan mejadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku.
Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi
yang seolah-oleh mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari
ditemui, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya
terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya
dengan bentuk dan cara yang sama.
77
c. Utility
Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas
dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu
pantas dan teratur untuk orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan
tentang kepantasan dan keteraturan tersebut. Patokan-patokan tadi merupakan
pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku dan dinamakan
kaedah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat
pada kaedah adalah karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. Manusia
menyadari bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan
kaedah-kaedah.
d. Group identification
Salah satu sebab mengapa seseorang patuh kepada kaedah adalah karena
kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi
dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaesah-kaedah yang berlaku dalam
kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari
kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan
identifikasi dengan kelompoknya tadi. Bahkan kadang-kadang seseorang
mematuhi kaedah-kaedah kelompok lain karena ingin mengidentifikasi dengan
kelomp0k lain tersebut.77
H.C Kelman menyatakan bahwa sebenarnya masalah kepatuhan yang
merupakan suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan dalam tiga proses,
yaitu:
1. Compliance, yaitu suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan
akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari
hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang
melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini tidak sama sekali
didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang
bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang
kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada apabila ada
77
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers,
1982), h. 225-226.
78
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali Pers,
1982), h. 230-232.
79
79
Ibid.,h. 234-235.
80