Anda di halaman 1dari 4

BAHAN KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM

I. HUKUM dan KEBUDAYAAN



Seperti dipahami bersama bahwa ilmu-ilmu hukum mencakup
normwissenschaften yang menyoroti hukum dari sudut normatif, dan
tatsachenwissenschaften yang menelaah hukum sebagai perikelakuan yang
merupakan kenyataan dalam masyarakat. Salah satu ilmu bantu hukum yang
menyoroti hukum dari aspek perilaku adalah antropologi hukum. Dalam tataran
normatif yang dipelajari adalah asas hukum dan kaedah hukum. Asas hukum
merupakan nilai, dan nilai merupakan inti dari kebudayaan yang menjadi tinjauan
utama dari antropologi. Dari sudut antropologi, kita akan mengetahui latar belakang
dari kaedah/norma hukum atau asas hukum/nilai hukum.
Sebenarnya pada kuliah Antropologi Hukum (AH) kita akan langsung masuk
ke materi AH, tetapi dengan pertimbangan peserta kuliah belum tentu pernah
mengambil/mengikuti mata kuliah Antropologi Budaya (AB), karena mata kuliah AB
merupakan mata kuliah pilihan. Dengan pertimbangan itu, maka pada awal kuliah
dibuka dulu dengan hal-hal yang terkait antara kebudayaan dengan hukum, dengan
memberikan pengertian kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan, dan hubungan
antara kebudayaan dengan hukum.
Kebudayaan
Kebudayaan menurut Prof.Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar
Antropologi I (1996:72) adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya
yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya
dengan belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah
kebudayaan, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan
bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (naluri, refleks, tindakan
akibat proses fisiologi, tindakan membabi-buta), sangat terbatas. Bahkan tindakan
yang bersifat naluri (makan, minum, berjalan) juga telah banyak dirombak oleh
manusia sehingga menjadi tindakan kebudayaan. Manusia makan pada waktu tertentu
dengan cara tertentu, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Demikian juga cara
berjalan, berbeda antara orang kebanyakan dengan cara berjalan prajurit militer atau
peragawati, inipun sebagai tindakan kebudayaan yang dibiasakan dengan belajar.
Kebudayaan (culture), perlu dibedakan dengan peradaban (civilization).
Peradaban adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bagian-bagian/unsur-unsur dari
kebudayaan yang sifatnya halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan,
adat sopan-santun dan pergaulan, kepandaian menulis, organisasi bernegara dan lain-
lain. Istilah peradaban juga sering dipakai untuk menyebut bagian kebudayaan seperti
teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, masyarakat kota yang maju
dan kompleks.

Wujud Kebudayaan
Wujud kebudayaan, menurut Prof Koentjaraningrat (1996: 56) digambarkan
dalam 4 lingkaran konsentris yaitu :
1. Lingkaran inti adalah nilai-nilai budaya (sistem ideologis)
2. Lingkaran kedua dari dalam adalah sistem budaya (sistem gagasan)
3. Lingkaran ketiga adalah sistem sosial (sistem tingkah laku)
4. Lingkaran keempat adalah kebudayaan fisik (benda-benda fisik).
Contoh dari wujud konkret kebudayaan (lingkaran/wujud keempat) antara lain
bangunan-bangunan megah, benda-benda bergerak, dan semua benda hasil karya
manusia yang bersifat konkrit dan dapat diraba serta difoto. Wujud ketiga/sistem
tingkah laku, meliputi menari, berbicara, tingkah laku melakukan pekerjaan, semua
gerak-gerik dan dari hari ke hari, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan
berdasarkan sistem sosial.Wujud ketiga ini masih bisa dipotret dan konkret.
Sedangkan wujud kedua/ sistem gagasan, tempatnya pada kepala tiap individu
warga kebudayaan. Wujud kedua ini bersifat abstrak, tak dapat difoto, dan hanya
dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajari melalui wawancara
atau dengan membaca apa yang dia tulis. Berikutnya wujud pertama/ sistem ideologis,
adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga sejak usia dini, dan
karenanya sukar diubah, disebut juga nilai-nilai budaya yang menentukan sifat dan
corak pikiran, cara berpikir serta tingkah laku manusia suatu kebudayaan.
Hubungan Hukum Dengan Kebudayaan
Dalam AH, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam
hidup bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tingi nilai-nilai
budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu harus
dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain. Nilai-
nilai budaya tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma sosial, yang diajarkan
kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu
melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial.
Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain, dan
menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial yang semuanya lebih mempermudah
manusia mewujudkan perilaku yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya atau yang
sesuai dengan gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya.
Gambaran ideal atau desain hidup atau cetak biru, yang merupakan kebudayaan dari
masyarakat itu hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat, dan salah
satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan
itu adalah hukum.
Contoh untuk menjelaskan hubungan hukum dan kebudayaan akan diberikan
contoh mengenai hubungan kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Bali. Menurut
kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang sangat penting.
Nilai utamanya adalah gagasan bahwa anak laki-laki diakui sebagai pengubung dalam
garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang
mempertimbangkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan
(secara1 konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang
menghubungkan para laki-laki sebagai penghubung-penghubung garis keturunan.
Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial lainnya
dalam kaitan dengan pengaturan soal-soal yang berkenaan dengan kekerabatan,
seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus mengikuti suami ke tempat tinggal
kerabat dari suaminya (patrilokal), norma sosial yang lain, harta dari seorang ayah
diwariskan pada anaknya yang laki-laki. Norma sosial ini semuanya bergabung
menjadi suau lembaga atau pranata sosial, yaitu pranata atau lembaga keluarga.
Pranata ini diikuti sebagai pedoman berlaku oleh semua anggota masyarakat, bila ada
anggota masyarakat tidak mengindahkan norma sosial itu, maka ini berarti nilai
budaya yang mendasarinya diingkari, dan jika pelanggaran itu sering terjadi, maka
nilai budaya yang mendasarinya, lama-lama akan memudar dan terancam hilang.
Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi yang
konkret yang dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi
wewenang untuk itu. Sebagai contoh, ada seorang istri di Bali tidak mau mengikuti
suami ke tempat tinggal kerabatnya, maka ia akan dikenakan sanksi yaitu diceraikan.
Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang tercermin dalam norma sosial juga
dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan karena perlindungannya terjadi melalui
proses hukum, maka usaha mencegah pelanggarannya dengan sanksi hukum,
dibandingkan dengan norma sosial yang merupakan kebiasaan saja.

Anda mungkin juga menyukai