Anda di halaman 1dari 19

BAHAN KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM

I. HUKUM dan KEBUDAYAAN

Seperti dipahami bersama bahwa ilmu-ilmu hukum mencakup


normwissenschaften yang menyoroti hukum dari sudut normatif, dan
tatsachenwissenschaften yang menelaah hukum sebagai perikelakuan yang
merupakan kenyataan dalam masyarakat. Salah satu ilmu bantu hukum yang
menyoroti hukum dari aspek perilaku adalah antropologi hukum. Dalam tataran
normatif yang dipelajari adalah asas hukum dan kaedah hukum. Asas hukum
merupakan nilai, dan nilai merupakan inti dari kebudayaan yang menjadi tinjauan
utama dari antropologi. Dari sudut antropologi, kita akan mengetahui latar belakang
dari kaedah/norma hukum atau asas hukum/nilai hukum.
Sebenarnya pada kuliah AH kita akan langsung masuk ke materi AH, tetapi
dengan pertimbangan peserta kuliah belum tentu pernah mengambil/mengikuti mata
kuliah Antropologi Budaya (AB), karena mata kuliah AB merupakan mata kuliah
pilihan. Dengan pertimbangan itu, maka pada awal kuliah dibuka dulu dengan hal-hal
yang terkait antara kebudayaan dengan hukum, dengan memberikan pengertian
kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan, dan hubungan antara kebudayaan dengan
hukum.
Kebudayaan
Kebudayaan menurut Prof.Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar
Antropologi I (1996:72) adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta
karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan
miliknya dengan belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah
“kebudayaan”, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan
bermasyarakat yang tidak dibiasakannya dengan belajar (naluri, refleks, tindakan
akibat proses fisiologi, tindakan membabi-buta), sangat terbatas. Bahkan tindakan
yang bersifat naluri (makan, minum, berjalan) juga telah banyak dirombak oleh
manusia sehingga menjadi tindakan kebudayaan. Manusia makan pada waktu
tertentu dengan cara tertentu, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Demikian
juga cara berjalan, berbeda antara orang kebanyakan dengan cara berjalan prajurit
militer atau peragawati, inipun sebagai tindakan kebudayaan yang dibiasakan
dengan belajar.
Kebudayaan (culture), perlu dibedakan dengan peradaban (civilization).
Peradaban adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bagian-bagian/unsur-unsur
dari kebudayaan yang sifatnya halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, adat sopan-santun dan pergaulan, kepandaian menulis, organisasi
bernegara dan lain-lain. Istilah peradaban juga sering dipakai untuk menyebut bagian
kebudayaan seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa,
masyarakat kota yang maju dan kompleks.

Wujud Kebudayaan
Wujud kebudayaan, menurut Prof Koentjaraningrat (1996: 56) digambarkan
dalam 4 lingkaran konsentris yaitu :
1. Lingkaran inti adalah nilai-nilai budaya (sistem ideologis)
2. Lingkaran kedua dari dalam adalah sistem budaya (sistem gagasan)
3. Lingkaran ketiga adalah sistem sosial (sistem tingkah laku)
4. Lingkaran keempat adalah kebudayaan fisik (benda-benda fisik).
Contoh dari wujud konkret kebudayaan (lingkaran/wujud keempat) antara lain
bangunan-bangunan megah, benda-benda bergerak, dan semua benda hasil karya
manusia yang bersifat konkrit dan dapat diraba serta difoto. Wujud ketiga/sistem
tingkah laku, meliputi menari, berbicara, tingkah laku melakukan pekerjaan, semua
gerak-gerik dan dari hari ke hari, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan
berdasarkan sistem sosial.Wujud ketiga ini masih bisa dipotret dan konkret.
Sedangkan wujud kedua/ sistem gagasan, tempatnya pada kepala tiap
individu warga kebudayaan. Wujud kedua ini bersifat abstrak, tak dapat difoto, dan
hanya dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajari melalui
wawancara atau dengan membaca apa yang dia tulis. Berikutnya wujud pertama/
sistem ideologis, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga
sejak usia dini, dan karenanya sukar diubah, disebut juga “nilai-nilai budaya” yang
menentukan sifat dan corak pikiran, cara berpikir serta tingkah laku manusia suatu
kebudayaan.
Hubungan Hukum Dengan Kebudayaan
Dalam AH, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam
hidup bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tingi nilai-nilai
budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu harus
dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain. Nilai-nilai
budaya tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma sosial, yang diajarkan
kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada
waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial.
Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain,
dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial yang semuanya lebih
mempermudah manusia mewujudkan perilaku yang sesuai dengan tuntutan
masyarakatnya atau yang sesuai dengan gambaran ideal mengenai cara hidup yang
dianut dalam kelompoknya. Gambaran ideal atau desain hidup atau cetak biru, yang
merupakan kebudayaan dari masyarakat itu hendak dilestarikan melalui cara hidup
warga masyarakat, dan salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat
supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum.
Contoh untuk menjelaskan hubungan hukum dan kebudayaan akan diberikan
contoh mengenai hubungan kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Bali. Menurut
kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang sangat penting.
Nilai utamanya adalah gagasan bahwa anak laki-laki diakui sebagai pengubung
dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang
mempertimbangkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan
(secara1 konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang
menghubungkan para laki-laki sebagai penghubung-penghubung garis keturunan.
Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial
lainnya dalam kaitan dengan pengaturan soal-soal yang berkenaan dengan
kekerabatan, seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus mengikuti suami ke
tempat tinggal kerabat dari suaminya (patrilokal), norma sosial yang lain, harta dari
seorang ayah diwariskan pada anaknya yang laki-laki. Norma sosial ini semuanya
bergabung menjadi suau lembaga atau pranata sosial, yaitu pranata atau lembaga
keluarga. Pranata ini diikuti sebagai pedoman berlaku oleh semua anggota
masyarakat, bila ada anggota masyarakat tidak mengindahkan norma sosial itu,
maka ini berarti nilai budaya yang mendasarinya diingkari, dan jika pelanggaran itu
sering terjadi, maka nilai budaya yang mendasarinya, lama-lama akan memudar dan
terancam hilang.
Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi yang
konkret yang dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi
wewenang untuk itu. Sebagai contoh, ada seorang istri di Bali tidak mau mengikuti
suami ke tempat tinggal kerabatnya, maka ia akan dikenakan sanksi yaitu diceraikan.
Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang tercermin dalam norma sosial juga
dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan karena perlindungannya terjadi melalui
proses hukum, maka usaha mencegah pelanggarannya dengan sanksi hukum,
dibandingkan dengan norma sosial yang merupakan kebiasaan saja.
II. PENGERTIAN ANTROPOLOGI HUKUM

Definisi Antroplogi Hukum


Menurut Prof. Dr. T.O. Ihromi (1984:24) Antropologi Hukum adalah cabang
dari antropologi budaya yang hendak memahami bagaimana masyarakat
mempertahankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi melalui proses pengendalian sosial
yang salah satunya berbentuk hukum. Sedangkan Prof. Dr. Nyoman Nurjaya
(2008:47) melihat definisi AH dari dua sudut. Dari optik ilmu hukum, AH pada
dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya
pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Jika dilihat
dari sudut antropologi, AH adalah sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan
kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat.
Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan
masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau
bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau
sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Antroplogi
Hukum merupakan salah satu ilmu empiris atau ilmu perilaku yang menitik beratkan
pada pemahaman hukum dalam sudut pandang empiris/kenyataan yaitu ilmu
antropologi. Pemahaman terhadap suatu kenyataan dalam bahasa sosiologi disebut
verstehen, menjelaskan mengapa suatu perbuatan itu terjadi. Dikaitkan dengan
kajian hukum, maka yang dipahami adalah mengapa orang yang satu melakukan
tindakan yang berbeda dengan orang yang lain pada hal aturan yang berlaku bagi
orang-orang tersebut sama. Latar belakang inilah yang ingin dicari penjelasannya
dari kacamata antropologi hukum. Perspektif ini berbeda dengan perspektif hukum
yang menjustifikasi terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran atau
kejahatan.
Manfaat Mempelajari Antropologi Hukum
Para praktisi hukum seringkali ragu-ragu mengenai apakah ada manfaat yang
dapat diambil dari AH. Mereka berkilah bahwa telaah AH akan memperdalam
pemahaman mengenai proses pengendalian sosial, latar belakang budaya dari
hukum, tetapi hasilnya tidak dapat langsung digunakan. Hal itu memang benar,
karena fungsinya lebih besar pencegahan atau preventif daripada represif, dengan
mengetahui latar belakang budaya dari suatu masyarakat dalam pengendalian
sosial akan dengan mudah mengendalikan masyarakat yang kurang atau tidak tahu
hukum negara. Jadi manfaat mempelajari AH adalah untuk mengetahui gambaran
bekerjanya hukum sebagai pengendali sosial yang dilatar-belakangi oleh budaya.
Ruang Lingkup Antropologi Hukum
Ruang lingkup antropologi hukum dapat dijelaskan dengan membandingkan
dengan ilmu-ilmu yang dekat dengannya, yaitu dengan hukum adat dan sosiologi
hukum. Ada ahli antropologi yang menyamakan hukum adat dengan antropologi
hukum. Pendapat ini tidaklah salah karena pokok perhatian kedua ilmu ini bukan
pada masyarakat yang sudah maju seperti di Barat, tetapi pada masyarakat
sederhana dimana kehidupan hukum dan budayanya belum kompleks. Selain itu
kedua-duanya mempelajari gejala sosial. Bahkan hari lahirnya hukum adat yaitu 3
Oktober 1901 ketika van Vollenhoven menyampaikan kuliah inaugurasinya di
Universitas Leiden, oleh ahli antropologi hukum John Griffiths disebut juga lahirnya
Antropologi Hukum.
G.J.Resink, guru besar FHUI, seperti dikutip Prof. T.O. Ihromi, mengatakan
dalam banyak hal sebenarnya pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang
sekarang digunakan dalam AH, juga telah menjadi tradisi dalam ilmu hukum adat.
Bahkan sudah jauh-jauh hari Ter Haar menggunakan istilah etnologi hukum,
sehingga dapatlah diterima bahwa bidang yang ditelaah oleh AH dengan hukum
adat, untuk bagian besar banyak persamaannya. Bahan-bahan hukum adat dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan AH di Indonesia, demikian sebaliknya metode-
metode penelitian dalam AH juga dapat bermanfaat bagi hukum adat itu sendiri.
Perbedaannya, dalam hukum adat yang diutamakan adalah identifikasi dari
adat yang mempunyai konsekuensi hukum. Sedangkan Antropologi Hukum,
disamping mempelajari norma hukum juga ditelaah berbagai jenis pedoman perilaku
serta hubungan di antara aneka norma itu dengan nilai-nilai budaya yang dianut
dalam suatu masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa wawasan AH lebih luas karena
tidak hanya memperhatikan hukum di Indonesia, tetapi juga bersifat komparatif
sehingga hukum ditinjau sebagai gejala yang bersifat lintas budaya.
Perbedaaan antara antropologi hukum dengan hukum adat dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 1
Perbedaan Antropologi Hukum dengan Hukum Adat
No Item Antroplogi Hukum Hukum Adat
1 Obyek Perilaku manusia Norma hukum di luar UU
2 Pendekatan Holistik Yuridis normatif
3 Sifat Penelitian Penelitian lapangan Studi pustaka & dokumen
4 Norma Kenyataan Dikehendaki
Dari tabel diatas terlihat bahwa obyek AH adalah perilaku hukum dari
manusia, sedangkan sasarannya adalah norma-norma hukum yang dipakai oleh
anggota masyarakat. Selanjutnya pendekatan yang dipakai AH adalah holistik, dari
kata whole, artinya dalam mempelajari sesuatu akan dilihat secara keseluruhan.
Meminjam teori sistem, hukum hanyalah entitas sub sistem yang dipengaruhi dan
mempengaruhi oleh sub-sub sistem yang lain, misalnya sub sistem ekonomi, sub
sistem politik, sub sistem sosial dan lain sebagainya. Kemudian dilihat dari sifat
penelitian, pada AH lebih menitik-beratkan pada penelitian lapangan (field research)
dari pada studi pustaka. Sebaliknya hukum adat, lebih mengutamakan studi pustaka
dan dokumen dari pada penelitian lapangan.
Untuk melihat ruang lingkup AH, juga akan diperlihatkan perbedaannya
dengan Sosiologi Hukum (SH), karena ilmu yang disebut terakhir ini juga
mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan AH. Ada yang mengatakan antara
AH dan SH adalah seperti dua sisi mata uang logam, bisa dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2
Perbedaan Antropologi Hukum dengan Sosiologi Hukum
No Item Antropologi Hukum Sosiologi Hukum
1 Obyek Hukum bukan Barat, Hukum Barat/ yang
tidak tertulis telah dipengaruhi, hk
tertulis
2 Subyek Masyarakat sederhana Masyarakat
maju/modern
3 Perspektif Budaya Sosial

4 Penelitian Kualitatif, studi kasus Kuantitatif, Sampel

Perbedaan di atas adalah perbedaan pada awalnya, dalam


perkembangannya sudah mengalami perubahan, bahkan sulit untuk dibedakan,
misalnya obyek dan subyek sudah bercampur mulai dari masyarakat sederhana
sampai masyarakat maju/modern. Hal-hal yang masih bisa dibedakan adalah
menyangkut perspektif dan metode penelitian yang masing-masing mempunyai ciri
khas.
Pendekatan Antropologi Hukum
Berbicara mengenai pendekatan, adalah berbicara bagaimana cara suatu
ilmu pengetahuan mendekati obyek/sasaran kajiannya. Pendekatan AH setidaknya
ada tiga yaitu, holistik, empiris, dan komparatif. Pendekatan holistik artinya, AH
melihat gejala sosial yang ada dengan kacamata menyeluruh, dari berbagai sudut
pandang, tidak stereotip, yaitu hukum dipandang bukan hanya hukum secara an
sich, tetapi dilihat dari sudut pandang dan kaitan fungsinya dengan yang lain,
misalnya ekonomi, politik, sosial, agama dan lain sebagainya.
Sebagai ilmu perilaku/empiris, AH lebih menitik-beratkan pada kenyataan-
kenyataan hukum yang nampak dalam situasi atau peristiwa hukum (law in actions)
tidak hukum dalam peraturan perundangan tertulis (law in book). Dalam arti lain, AH
sebagai ilmu empiris mempunyai konsekuensi bahwa teorinya harus didukung oleh
fakta yang relevan atau setidaknya terwakili secara representatif. Mengikuti
pendekatan sejarah, maka metode komparatif dapat dilakukan dengan cara
penelitian sinkronis (generalizing approach) maupun penelitian diakronis (descriptive
approach). Dalam penelitian sinkronis, mencari prinsip persamaan diantara berbagai
kebudayaan. Sedangkan metode komparatif yang diakronis, meneliti suatu
masyarakat tertentu dari waktu ke waktu atau perkembangan suatu masyarakat
tertentu.

III. PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI HUKUM

Awal pemikiran antroplogis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang


dilakukan oleh kalangan ahli antropologi, bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal
kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine
yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia
dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi
teori evolusionistik mengenai masyarakat dan hukum. Secara umum tema
kajian/teori-teori AH dapat dikelompokkan dalam 3 fase, yaitu Fase Evolusionisme,
Fase Fungsionalisme, Fase Pluralisme.
Fase Evolusionisme (1861-1926)
Tema-tema kajian yang dominan pada fase evolusionisme/awal
perkembangan AH adalah berkisar pada eksistensi hukum. Perspektif pada fase ini
adalah adanya anggapan hukum berevolusi/berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakatnya. Studi evolusionistik AH dimulai oleh Sir Henry Maine
dalam bukunya The Ancient Law (1861), yang mengatakan bahwa perkembangan
hukum menyesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya, yang dimulai dari
masyarakat purba, masyarakat suku, dan masyarakat wilayah bersama.
Menurut Maine, pada masyarakat purba, masyarakatnya masih disibukkan
dengan urusan makanan dan melangsungkan keturunan, sehingga dikatakan pada
waktu itu belum ada hukum. Kemudian masyarakat suku menyadari bahwa mereka
berasal dari keturunan yang sama. Kesadaran ini membentuk ikatan hubungan darah
yang disebut masyarakat suku (tribal society). Pada masyarakat suku ini, kata Maine
pada dasarnya masih belum ada hukum, tetapi dikatakan ada hukum jika hukum
tersebut berlaku secara kontinyu bukan secara insidental.
Kemudian masyarakat suku timbul kesadaran baru bahwa suku-suku yang
ada bertempat tinggal pada teritorial bersama, sehingga terbentuk masyarakat
wilayah bersama. Pada masyarakat ini sudah terbentuk pemerintahan baik monarki
maupun republik. Perkembangan hukum pada masyarakat ini dibedakan menjadi
dua, masyarakat wilayah bersama yang statis (diluar Eropa dan Amerika Utara)
hukumnya masih sederhana, sedangkan pada masyarakat wilayah bersama yang
dinamis, bentuk hukumnya sudah kompleks dan modern.
Tokoh kedua pada fase evolusionisme adalah J.J. Bachofen dengan bukunya
Das Mutterecht (terbit 1861). Menurut Bachofen perkembangan masyarakat dimulai
dari Gemeinschaft menuju masyarakat gesselschaft. Masyarakat Gemeinschaft
adalah suatu masyarakat yang masih menjunjung tinggi semangat kesersamaan,
kekeluargaan, gotong-royong dalam kehidupannya. Pada masyarakat ini bentuk
hukumnya mengikuti masyarakatnya, artinya hukum yang terbentuk masih
mengutamakan hal-hal yang sifatnya komunal. Kemudian pada masyarakat
gesselschaft adalah suatu masyarakat yang sudah menggunakan rasionalisme,
individualisme, dan ekonomis dalam kehidupannya. Demikian pula hukum yang
terbentuk pada masyarakat ini menempatkan kepentingan pribadi, rasionalitas dan
ekonomis di atas kepentingan bersama.
Fase Fungsionalisme (awal abad ke-20)
Selanjutnya pada fase fungsionalisme ini, terjadi perdebatan apa itu hukum,
apakah hukum ada pada semua masyarakat, dari para peminat AH. Dimulai dari
A.R. Radcliffe Brown yang mengatakan hukum adalah suatu sistem pengendalian
sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu
bangunan negara. Alasannya, hanya dalam suatu organisasi sosial seperti negara
terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dan lain-lain
sebagai pranata neara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial
dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang
tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu negara tidak mempunyai hukum.
Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut
diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara
otomatis-spontan (automatic spontaneus submission to tradition).
Pendapat Brown ini, yang mengatakan bahwa hukum tidak semata-mata
terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu negara, tetapi hukum sebagai
sarana pengendalian sosial terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam
masyarakat sederhana, dikritik oleh Bronislaw Malinowski dalam bukunya Crime and
Punishment in Savage Society yang terbit tahun 1926menurut Malinowski juga bukan
ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis, tetapi hukum harus
diberi pengertian luas, yaitu sebagai suatu sistem pengendalian sosial (legal order
system) yang didasarkan pada prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan
publisitas (principle of publicity) yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan
masyarakat.
Pendapat Malinowski ini memperoleh komentar dan kritik dari Paul
Bohannan (Law and Warfare, Studies in the Anthopology of Conflict, 1967:45-49)
yang mengatakan sebagai berikut:
1. Mekanisme resiprositas dan publisitas sebagai kriteria untukmengatur hak dan
kewajiban dalamkehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan
hukum, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan
masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.
2. Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan,
atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan
kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan yang mencerminkan tingkah laku
yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan
kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku
dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadang kala kebiasaan bisa
sama dan sesuai dengan hukum, tetapi bisa juga bertentangan dengan norma-
norma hukum.
Oleh karena itu Bohannan mengajukan definisi hukum sebagai seperangkat
kewajiban yang dipandang sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi
warga masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi hukum
untuk mencapai tujuan agar kehidupan masyarakat dapat berfungsi dan teratur.
Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi
kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai norma hukum melalui tahapan yang
disebut double institutionalization of norm atau pelembagaan kembali norma.
Selanjutnya, Leopold Pospisil (Anthopology of Law, A Comparative Study,
1971: 39-35) juga mengkritik Malinowski bahwa pengertian hukumnya terlalu luas,
sehingga hukum yang dimaksudkan juga dimaksudkan juga mencakup pengertian
kebiasaan-kebiasaan, bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang
berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-kewajiban yang bersifat moral
dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu Pospisil mengajukan definisi hukum sebagai
suatu aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai alat untuk pengendalian sosial.
Untuk membedakan peraturan hukum dengan noram-norma lain, yang sama-sama
mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial, maka peraturan hukum
dicirikan mempunyai 4 atribut (attributes of law) yaitu :
1. Atribut kekuasaan/otoritas (attribute of authority), adalah keputusan-keputusan
dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa.
2. Atribut penerapan secara universal (attribute of intention of universal aplication)
artinya keputusan-keputusan pemegang otoritas juga akan diaplikasikan
terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.
3. Atribut obligasio (attribute of obligation) berarti keputusan pemegang otoritas
tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak
untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai
kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama.
4. Atribut sanksi (attribute of sanction) keputusan-keputusan dari pihak pemegang
otoritas tersebut juga disertai penjatuhan sanksi.
Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata
berdasarkan atribut otoritas, juga diperkenalkan oleh Ter Haar dengan teorinya teori
Keputusan (beslissingenleer/ decision theory) yang mendefinisikan hukum sebagai
keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus sengketa dan non sengketa
Fase Pluralisme Hukum (1940-sekarang)
Fase ini terbagi menjadi sub-sub fase antara lain: 1) Fase antropologi hukum
penyelesaian sengketa (1940-1950-an); 2). Fase pluralisme hukum penyelesaian
sengketa dan non sengketa (1960- 1970-an); 3). Fase pluralisme hukum pengelolaan
sumber daya alam, lingkungan hidup dan lain-lain (1990- sekarang).

Pada fase AH penyelesaian sengketa, teori-teori evolusionisme dan


fungsionalisme mulai ditinggalkan dan bergeser ke arah untuk memahami
mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement) dalam
masyarakat. Metode penelitian juga sudah berganti dari studi pustaka/dokumen
menjadi studi lapangan (fields research). Karya klasik dari Karl Llewellyn dan E.A.
Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil studi lapangan
kolaborasi dari seorang sarjana hukum (Llewellyn) dengan ahli antropologi (Hoebel)
dalam masyarakat Indian Cheyenne di AS. Kemudian Hoebel mempublikasikan hasil
studinya dengan judul The Law of Primitive Man (1954), disusul karya Gluckman
mengenai hukum orang Barotse dan lozi di Afrika, juga karya Bohannan mengenai
hukum orang Tiv, dan Gulliver mengenai hukum orang Arusha dan Ndenduli, serta
karya Pospisil tentang hukum orang Kapauku di Papua. Pada fase ini, kajian yang
menonjol adalah penemuan hukum dengan menelusuri kasus sengketa. Pada masa
itu, untuk menemukan hukum pada masyarakat yang belum mengenal tulisan dipakai
metode 3 jalan raya hukum yaitu :

1. Metode ideologis, adalah cara penemuan hukum dengan mencari aturan atau
norma yang dipersepsikan sebagai hukum/pedoman perilaku.
2. Metode deskriftif, ialah cara penemuan hukum dengan mengamati perilaku
anggota masyarakat untuk diabstraksikan menjadi hukum.
3. Metode kasus sengketa, adalah cara penemuan hukum dengan mengikuti,
mengamati dan menelaah kasus yang telah atau sedang terjadi di masyarakat.
Menurut Hoebel, metode pertama dan kedua mempunyai kelemahan yaitu
pada metode pertama kita hanya mendapatkan aturan yang belum tentu
dipraktekkan dalam kasus yang sedang dihadapi. Sedangkan pada metode kedua,
perilaku yang muncul belum tentu menunjukkan keadaan yang sebenarnya, jika
sedang menghadapi sengketa. Oleh karena itu, metode ketiga sangat cocok dan
komplit, karena di dalamnya kita dapat menemukan apa yang ditemukan dalam
metode pertama dan kedua. Selain itu metode ini dipandang lebih ilmiah karena
menerapkan metode induktif (dari khusus ke umum).
Dalam kepustakaan sosiologi sengketa disebut dengan konflik. Pengertian
konflik adalah fenomena sosial yang bersifat semesta (universal) dan melekat
(inherent) dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu konflik tidak perlu dilihat
sebagai gejala patologis yang bersumber dari tingkah-laku devian/abnormal, karena
setiap komunitas masyarakat mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-
norma dan mekanisme-mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan konflik-konflik
yang muncul dalam pergaulan sosial warga masyarakat.
Dalam perspektif antropologi hukum, fenomena konflik mempunyai makna
ganda yaitu makna negatif dan makna positif. Makna negatif, konflik menimbulkan
disintegrasi suatu kehidupan sosial dan melemahkan kohesi sosial atau
menimbulkan kerusakan suatu sistem hubungan sosial dalam masyarakat. Makna
positif, konflik dapat mempertahankan integrasi sosial, memperkokoh ikatan sosial,
memberi kontribusi untuk mengembalikan keseimbangan hubungan sosial antar
individu atau kelompok. Makna positif akan terwujud jika pihak-pihak yang terlibat
konflik secara bersama-sama dapat mengelola, mengendalikan, dan menyelesaikan
konflik yang dihadapi secara dewasa, bijak, damai, dengan atau tanpa mengundang
kehadiran pihak ketiga (Gluckman, 1956).
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam masyarakat
bersumber dari persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam (natural resources
control and distribution)
2. Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelomok masyarakat (terittoriality
expantion)
3. Kegiatan ekonomi masyarakat (economic activities); dan
4. Kepadatan penduduk (density of population).
Dalam persepktif AH, konflik yang terjadi dalam masyarakat paling tidak dapat
dikategorisasi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Konflik kepentingan (conflict of interests)
2. Konflik nilai-nilai (conflict of values)
3. Konflik norma (conflict of norms).
Nader dan Todd (1978) menyatakan bahwa pada dasarnya konflik-konflik
yang terjadi di masyarakat melalui tahapan-tahapan konflik sebagai berikut :
1. Pra konflik, adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang, bersifat
monadik
2. Konflik, adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui adanya
perasaan tidak puas tersebut, bersifat diadik.
3. Sengketa, adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum
atau melibatkan pihak ketiga, bersifat triadik atau publik.
Sedangkan model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam
masyarakat sederhana maupun modern adalah sebagai berikut :
1. Membiarkan saja (lumping it), salah satu pihak tidak menanggapi keluhan,
gugatan, tuntutan pihak lain atau mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak
lain
2. Menghindar (avoidance), salah satu pihak menghindari konflik karena tidak
berdaya atau untuk menjaga hubungan dengan pihak lain.
3. Kekerasan (coersion), penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan fisik dan
kekerasan, seperti melakukan tindakan hukum sendiri (self-helf atau
eigenrichting) atau bentuk perang antar suku (warfare)
4. Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik
5. Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga
(mediator dalam penyelesaian konflik, walau hanya berfungsi sebatas perantara
(go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan
tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik
6. Arbitrase, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut
arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut harus
ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik
7. Ajudikasi, melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak.
Sistem nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi
pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian konflik dalam masyarakat.
Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat paling tidak ada 2
macam , yaitu:
1. Institusi tradisional (folk institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang
masih sederhana dan subsisten, di mana relasi antar individu, hubungan
kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka maksud penyelesaian sengketa
adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat.
2. Institusi negara (state institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang sudah
kompleks dan modern, di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik,
berorientasi pada ekonomi pasar, maka maksud penyelesaian sengketa dengan
mengacu pada hukum negara yang legalistik.
Daniel S.Lev, Indonesianis dari Amerika Serikat (1972) pernah melakukan
penelitian mengenai budaya hukum penyelesaian sengketa masyarakat pedesaan di
Jawa dan Bali menyimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam kehidupan sosial sebagai besar masyarakat Indonesia cenderung untuk
menghindari konflik dengan siapapun, karena nilai-nilai pergaulan sosial yang
dianut lebih bersifat personal, komunal, mengutamakan solidaritas, dan
bernuansa magis. Oleh karena itu jika terjadi konflik, cenderung diselesaikan
melalui prosedur kompromi, konsiliasi, mengutamakan pendekatan personal dan
kekerabatan.
2. Konflik antar individu sedapat mungkin dihindari, dan kalaupun harus terjadi
cenderung ditutupi dengan gaya yang halus, tidak merusak hubungan/pergaulan
sosial, tidak menjatuhkan martabat/derajat pihak yang diajak konflik
3. Fokus penyelesaian konflik bukan pada penerapan peraturan hukum, tetapi lebih
pada upaya pelenyapan konflik yang menjadi sumber ketegangan sosial.
4. Makna penyelesaian konflik bukan pada persoalan kalah-menang (win-lose
solution), tetapi menjadi kewajiban para pihak untuk menghentikan perselisihan
dan meniadakan ketegangan sosial yang telah terjadi. Oleh karen itu yang
diutamakan bukan penyelesaian substansi konflik tetapi lebih pada prosedur
penyelesaian konflik.
5. Para pihak yang berkonflik lebih melihat pihak ketiga (petugas hukum) dari pada
peraturan-peraturan hukum yang mengatur penyelesaian sengketanya. Oleh
karena itu petugas hukum ditaati masyarakat bukan karena alasan yang
berkaitan dengan masalah kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Pada Fase Pluralisme Hukum Penyelesaian Sengketa dan Non Sengketa,
tema kajian pluralisme hukum pada awalnya difokuskan pada fenomena
kemajemukan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat melalui mekanisme
dan institusi tradisional yang dikenali masyarakat setempat (folk institution of dispute
settlement). Kemudian tema-tema studi pluralisme model penyelesaian sengketa
mulai diarahkan untuk memahami mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa
selain menurut hukum yang diberlakukan pemerintah kolonial di negeri jajahannya,
juga menurut hukum positif yang berlaku di negara-negara merdeka
Kemudian sejak tahun 1970-an tema studi AH secara sistematis difokuskan
pada korelasi antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional dalam
masyarakat menurut hukum rakyat (folk law) dan menurut institusi penyelesaian
sengketa menurut hukum negara (state law). Karya-karya Nader dan Todd, van
Rouveroy van Nieuwaal, serta suami-istri Franz dan Keebet von Benda Beckmann
mewakili masa itu. Nader dan Todd (1978) sebagai hasil riset dari Berkeley Village
Law Project, memfokuskan kajiannya pada proses-proses, mekanisme-mekanisme,
institusi-institusi penyelesaian sengketa yang dikenali dalam komunitas-komunitas
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern di sepuluh negara di dunia.
Kemudian Nieuwaal melakukan riset tentang mekanisme penyelesaian sengketa
dalam kehidupan orang Togo di Afrika. Selanjutnya Franz von Benda Beckmann
(1979) dan Keebet von Benda Beckmann (1984) memberi pemahaman tentang
proses,mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa mengenai harta warisan di
kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan pengadilan negeri di
Sumatera Barat. Karya Sally Falk Moore (1978) mulai meninggalkan tema pluralisme
hukum penyelesaian sengketa berganti tema pluralisme hukum di luar penyelesaian
sengketa, dengan penelitiannya tentang persoalan agraria pada suku Chagga di
Tanzania (Afrika), mekanisme dalam proses produksi di satu pabrik garment terkenal
di Amerika Serikat. Selain itu pada tahun 1970-an kajian AH menggunakan
pendekatan sejarah untuk menjelaskan keberadaan, relasi dan interaksi institusi
hukum negara dengan hukum rakyat dalam penyelesaian sengketa, seperti yang
dilakukan Keebet von Benda Beckmann dalam karyanya yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan
Pengadilan Negeri di Minangkabau (2000).
Berikutnya kajian pluralisme hukum dalam berbagai hal mengemuka sejak
1970-an. Pluralisme hukum menurut Griffiths (1986:1) didefinisikan sebagai situasi
dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu
bidang kehidupan sosial yang sama. Sedangkan Hooker (1975:3) menjelaskan
pluralisme hukum sebagai situasi dimana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi
dalam satu kehidupan sosial. Sementara itu Franz von Benda Beckmann
mengartikan pluralisme hukum sebagai suatu kondisi dimana lebih dari satu sistem
hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan
hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat.
Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum
dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi
sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki
pemberlakuan hukum negara sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga
masyarakat, dengan mengabaikan eksistensi sistem-sistem hukum yang lain, seperti
hukum agama, hukum kebiasaan, dan semua bentuk mekanisme-mekanisme
pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Jadi ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan
budaya dalam masyarakat. Oleh karena itu pemberlakuan sentralisme hukum dalam
suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya
merupakan sebuah kemustahilan.
Menurut Griffiths, pluralisme hukum pada dasarnya dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pluralisme hukum yang kuat dan pluralisme hukum yang lemah.
Pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) mengacu pada fakta adanya
kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang
sama kedudukannya, sehingga tidak ada hirarki yang menunjukkan hukum yang satu
lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Sedangkan pluralisme hukum yang
lemah, merupakan bentuk lain daripada sentralisme hukum, karena walaupun hukum
negara mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap
dipandang sebagai superior, sementara sistem hukum yang lain bersifat inferior.
Contoh konsep pluralisme hukum yang lemah, adalah interaksi sistem hukum
pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat dan hukum agama yang
berlangsung di negara-negara jajahan.
Setelah munculnya teori Semi Autonomous Social Field dari Sally Falk Moore
(1978), maka Griifths mengadopsi teori Moore, sehingga hukum yang dimaksud
dalam konsep pluralisme menjadi tidakt terbatas pada sistem hukum negara, hukum
kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem
normatif yang berupa mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation).
Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada
interaksi dan ko-eksitensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya
norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat.
Pada tahun 1970-an tema studi-studi AH cenderung lebih diarahkan untuk
memberi pemahaman mengenai fungsi dan peran hukum dalam fenomena
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditunjukkan karya
bersama Joop Spiertz dan Melanie G.Wiber (eds) yang bertajuk The Role of Law in
Natural Resources Management (1996). Kecenderungan lainnya, pada April 2002
The Commission on Folk Law and Legal Pluralism menyelenggarakan the XIII-th
International Congress and Symposium di Chiang Mai, Thailand dengan tajuk Legal
Pluralism and Unofficial Law in Social, Economic and Political Development.
Selanjutnya perkembangan terakhir pada bulan Juni 2006 lalu di Universitas
Indonesia, Jakarta The Commisionon Folk Law dan Legal Pluralism kembali
menyelenggarakan Kongres dan Simposium Internasional dengan tema Law, Power
and Culture: Transnational, National and Local Process in the Contex of Legal
Pluralism. Pada Kongres ini selain berfokus pada kemajemukan pengelolaan dan
hak penguasaan masyarakat adat atas sumber daya alam, juga dibahas topik kajian
hukum ber-perspektif jender, agama dan kemajemukan hukum, regulasi hak asasi
manusia, perlindungan HKI, masalah jaminan sosial, KDRT, trafficking (perdagangan
manusia), hak atas kesehatan reproduksi, sampai aspek penanggulangan bencana
alam.

IV. TEORI-TEORI ANTROPOLOGI HUKUM


Teori Forum Shopping-Shopping Forum dari Keebet von Benda Beckmann
(2000: 64-65) merupakan hasil penelitiannya di Sumatera Barat yang berlangsung
bulan Juni 1974 – September 1975. Teori ini dibangun dari fakta persengketaan
harta warisan kolam Batu Panjang yang diklaim oleh dua kaum yang berbeda. Dari
fakta-fakta penelitian itu, Keebet membangun sebuah teori yang di-analogkan dari
istilah hukum perdata internasional, yaitu Forum Shopping-Shopping Forum. Forum
Shopping berarti orang-orang yang bersengketa dapat memilih lembaga dan
mendasarkan pilihannya pada hasil akhir apakah yang diharapkan dari sengketa
tersebut. Sedangkan Shopping Forum berarti pihak pengadilan, baik pengadilan adat
ditingkat masyarakat maupun di pengadilan pemerintah terlibat memanipulasi
sengketa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan politik atau malah
menolak sengketa yang mereka (hakim) kawatirkan akan mengancam kepentingan
mereka.
Dikaitkan dengan kondisi sekarang ini, pada Forum Shopping, para pihak
yang bersengketa bebas memilih model penyelesaian sengketa apakah melalui jalur
di luar pengadilan (ADR) ataukah di pengadilan sesuai dengan hasil akhir yang
diharapkan. Sedangkan Shopping Forum, pihak lembaga penegak hukum (polisi,
jaksa,hakim, juga advokat) mempunyai kekuasaan apakah akan meneruskan
perkara yang diajukan kepadanya ataukah dipeti-eskan/deponeer/SKPP/ SP3 sesuai
dengan hasil akhir yang diharapkan.
Teori berikutnya dari Marc Galanter (dalam Ihromi,1993) yang bertajuk
Justice in Many Rooms. Pada masa itu terjadi dua pandangan yang berbeda tentang
hukum, di satu sisi dilihat dalam kacamata sentralisme hukum, sedangkan yang lain
melihatnya dari dimensi pluralisme hukum. Galanter melihat bahwa pada dimensi
sentralisme terdapat kelemahan-kelemahan, seolah-olah keadilan itu produk
eksklusif dari lembaga yang mendapat wewenang yuridis dari negara. Dengan
demikian ada gerak sentripetal dari masyarakat untuk menyelesaikan perkaranya,
artinya satu-satunya cara untuk mencari keadilan hanya ditemukan di temukan di
lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah. Akibatnya terjadi banyak
penumpukan perkara (terutama di MA) sehingga membutuhkan waktu yang panjang,
tenaga dan biaya yang berlebih.
Di Amerika Serikat, dengan menunjuk studi S.Macaulay, bahwa banyak
sengketa yang menurut peraturan atau perjanjian bisa diajukan ke pengadilan,
ternyata banyak yang dibiarkan berlalu, dielakkan, dibatalkan, atau diselesaikan
sendiri melalui jalur ADR (Alternative Dispute Resolution). Melihat kenyataan yang
demikian, Marc Galanter berpendapat bahwa setiap komunitas biasanya mempunyai
self regulation termasuk dalam penyelesaian sengketa yang tejadi diantara mereka.
Hingga akhirnya, Marc Galanter mencetuskan teori Justice in Many Rooms yang
mengatakan bahwa keadilan itu dapat ditemukan diberbagai tempat, tidak hanya di
lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah.
Aplikasi teori Galanter di Indonesia yang bernuansa pluralistik dapat kita
temukan, misalnya negosiasi, mediasi, arbitrase baik sengketa tentang rumah
tangga, di tempat kerja, perdagangan dan lain sebagainya. Contoh konkritnya
lembaga bipartit dan tripartit untuk sengketa perburuhan, mediasi kasus pencemaran
sungai Tapak di Semarang dan sungai Asahan di Sumatera Utara untuk sengketa
lingkungan, peran orang tua/sesepuh untuk perkara rumah tangga dan masih banyak
lagi. Bahkan sejak tahun 1999 pemerintah telah memberikan wadah dengan
dikeluarkannya Undang Undang No.30 tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Arbitrase.
Selanjutnya teori Semi Autonomous Social Fields (dalam Ihromi, 1993) yang
merupakan hasil penelitiannya di bidang agraria di Tanzania, tepatnya pada suku
Chagga. Latar belakang munculnya teori ini bermula dari adanya dikotomi tentang
hukum, dari Roscoe Pound dan Cochrane. Ahli sosiologi hukum Roscoe Pound
berpendapat bahwa hukum itu berfungsi sebagai alat untuk merubah/merekayasa
masyarakat (law as a tool of social engeneering), artinya dengan pemberlakuan
hukum dari pemerintah maka perilaku masyarakat dapat diarahkan sesuai dengan
hukum tersebut (perubahan sosial). Sebaliknya Cochrane mengemukakan bahwa
masyarakatlah yag menentukan hukum, bukan masyarakat yang diarahkan oleh
hukum dari pemerintah.
Dengan bekal pendapat yang kontradiktif tersebut, Moore ingin
membuktikannya dengan melakukan penelitian pada Suku Chagga di Tanzania yang
sedang diberlakukan UU Agraria yang baru yang intinya tidak ada lagi tanah milik
pribadi tetapi semua tanah milik negara, setiap warganegara hanya mempunyai hak
menggarap. Ternyata penerapan UU tersebut oleh pemerintah Tanzania yang
sosialis, tidak mencapai hasil yang diharapkan. Orang-orang yang dulunya tuan
tanah, dan sekarang tanahnya diambil oleh negara dan kemudian diberi tanah
garapan yang luasnya sama dengan lainnya, ternyata secara terselubung tetap
menjadi “tuan tanah”, karena jika ada orang yang dulunya tidak punya tanah
kemudian dengan UU baru dia dapat tanah, tidak dapat menggarap tanah tersebut
karena tidak punya biaya. Kemudian yang terjadi, secara diam-diam tanahnya dijual
sedikit kepada “tuan tanah” untuk memperoleh uang. Sehingga yang terjadi keadaan
kembali seperti sebelum adanya UU Agraria, yang tuan tanah kembali jadi tuan
tanah, yang miskin tetap miskin.
Akhirnya muncul satu teori dari Semi Autonomous Social Fileds dari Sally
Falk Moore yang mengatakan bahwa dalam suatu bidang kehidupan sosial secara
internal dapat membangkitkan aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, sistem-sistem,
tetapi di lain pihak juga rentan menjadi sasaran dari aturan-aturan dan kekuatan-
kekuatan lain yang berasal dari eksternal yang mengitarinya.
Teori terakhir dari Michel Lipsky yang bertajuk Street Level Bureaucracy
(dalam Masinambouw, 2000:168) berpendapat bahwa para birokrat tingkat bawah
yang langsung berhadapan dengan masyarakat mengamban dua tugas sekaligus:
1). sebagai pelaksana peraturan/kebijakan; 2). dalam diri mereka melekat diskresi
(kebijaksanaan). Teori Steet Level Bureaucracy mengatakan bahwa ada
kecenderungan birokrat tingkat bawah untuk melakukan diskresi yang
menguntungkan dirinya sendiri. Berbagai contoh di Indonesia, adalah pungutan-
pungutan liar untuk mengurus KTP, SIM, Paspor, perijinan, sertifikat tanah, bahkan
termasuk pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai