Wujud Kebudayaan
Wujud kebudayaan, menurut Prof Koentjaraningrat (1996: 56) digambarkan
dalam 4 lingkaran konsentris yaitu :
1. Lingkaran inti adalah nilai-nilai budaya (sistem ideologis)
2. Lingkaran kedua dari dalam adalah sistem budaya (sistem gagasan)
3. Lingkaran ketiga adalah sistem sosial (sistem tingkah laku)
4. Lingkaran keempat adalah kebudayaan fisik (benda-benda fisik).
Contoh dari wujud konkret kebudayaan (lingkaran/wujud keempat) antara lain
bangunan-bangunan megah, benda-benda bergerak, dan semua benda hasil karya
manusia yang bersifat konkrit dan dapat diraba serta difoto. Wujud ketiga/sistem
tingkah laku, meliputi menari, berbicara, tingkah laku melakukan pekerjaan, semua
gerak-gerik dan dari hari ke hari, merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan
berdasarkan sistem sosial.Wujud ketiga ini masih bisa dipotret dan konkret.
Sedangkan wujud kedua/ sistem gagasan, tempatnya pada kepala tiap
individu warga kebudayaan. Wujud kedua ini bersifat abstrak, tak dapat difoto, dan
hanya dipahami (oleh warga kebudayaan lain) setelah ia mempelajari melalui
wawancara atau dengan membaca apa yang dia tulis. Berikutnya wujud pertama/
sistem ideologis, adalah gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh para warga
sejak usia dini, dan karenanya sukar diubah, disebut juga “nilai-nilai budaya” yang
menentukan sifat dan corak pikiran, cara berpikir serta tingkah laku manusia suatu
kebudayaan.
Hubungan Hukum Dengan Kebudayaan
Dalam AH, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam
hidup bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tingi nilai-nilai
budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu harus
dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain. Nilai-nilai
budaya tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma sosial, yang diajarkan
kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada
waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial.
Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain,
dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial yang semuanya lebih
mempermudah manusia mewujudkan perilaku yang sesuai dengan tuntutan
masyarakatnya atau yang sesuai dengan gambaran ideal mengenai cara hidup yang
dianut dalam kelompoknya. Gambaran ideal atau desain hidup atau cetak biru, yang
merupakan kebudayaan dari masyarakat itu hendak dilestarikan melalui cara hidup
warga masyarakat, dan salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat
supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum.
Contoh untuk menjelaskan hubungan hukum dan kebudayaan akan diberikan
contoh mengenai hubungan kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Bali. Menurut
kebudayaan Bali, perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang sangat penting.
Nilai utamanya adalah gagasan bahwa anak laki-laki diakui sebagai pengubung
dalam garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang
mempertimbangkan garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan
(secara1 konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang
menghubungkan para laki-laki sebagai penghubung-penghubung garis keturunan.
Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial
lainnya dalam kaitan dengan pengaturan soal-soal yang berkenaan dengan
kekerabatan, seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus mengikuti suami ke
tempat tinggal kerabat dari suaminya (patrilokal), norma sosial yang lain, harta dari
seorang ayah diwariskan pada anaknya yang laki-laki. Norma sosial ini semuanya
bergabung menjadi suau lembaga atau pranata sosial, yaitu pranata atau lembaga
keluarga. Pranata ini diikuti sebagai pedoman berlaku oleh semua anggota
masyarakat, bila ada anggota masyarakat tidak mengindahkan norma sosial itu,
maka ini berarti nilai budaya yang mendasarinya diingkari, dan jika pelanggaran itu
sering terjadi, maka nilai budaya yang mendasarinya, lama-lama akan memudar dan
terancam hilang.
Sebagian dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi yang
konkret yang dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi
wewenang untuk itu. Sebagai contoh, ada seorang istri di Bali tidak mau mengikuti
suami ke tempat tinggal kerabatnya, maka ia akan dikenakan sanksi yaitu diceraikan.
Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang tercermin dalam norma sosial juga
dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan karena perlindungannya terjadi melalui
proses hukum, maka usaha mencegah pelanggarannya dengan sanksi hukum,
dibandingkan dengan norma sosial yang merupakan kebiasaan saja.
II. PENGERTIAN ANTROPOLOGI HUKUM
Tabel 2
Perbedaan Antropologi Hukum dengan Sosiologi Hukum
No Item Antropologi Hukum Sosiologi Hukum
1 Obyek Hukum bukan Barat, Hukum Barat/ yang
tidak tertulis telah dipengaruhi, hk
tertulis
2 Subyek Masyarakat sederhana Masyarakat
maju/modern
3 Perspektif Budaya Sosial
1. Metode ideologis, adalah cara penemuan hukum dengan mencari aturan atau
norma yang dipersepsikan sebagai hukum/pedoman perilaku.
2. Metode deskriftif, ialah cara penemuan hukum dengan mengamati perilaku
anggota masyarakat untuk diabstraksikan menjadi hukum.
3. Metode kasus sengketa, adalah cara penemuan hukum dengan mengikuti,
mengamati dan menelaah kasus yang telah atau sedang terjadi di masyarakat.
Menurut Hoebel, metode pertama dan kedua mempunyai kelemahan yaitu
pada metode pertama kita hanya mendapatkan aturan yang belum tentu
dipraktekkan dalam kasus yang sedang dihadapi. Sedangkan pada metode kedua,
perilaku yang muncul belum tentu menunjukkan keadaan yang sebenarnya, jika
sedang menghadapi sengketa. Oleh karena itu, metode ketiga sangat cocok dan
komplit, karena di dalamnya kita dapat menemukan apa yang ditemukan dalam
metode pertama dan kedua. Selain itu metode ini dipandang lebih ilmiah karena
menerapkan metode induktif (dari khusus ke umum).
Dalam kepustakaan sosiologi sengketa disebut dengan konflik. Pengertian
konflik adalah fenomena sosial yang bersifat semesta (universal) dan melekat
(inherent) dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu konflik tidak perlu dilihat
sebagai gejala patologis yang bersumber dari tingkah-laku devian/abnormal, karena
setiap komunitas masyarakat mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-
norma dan mekanisme-mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan konflik-konflik
yang muncul dalam pergaulan sosial warga masyarakat.
Dalam perspektif antropologi hukum, fenomena konflik mempunyai makna
ganda yaitu makna negatif dan makna positif. Makna negatif, konflik menimbulkan
disintegrasi suatu kehidupan sosial dan melemahkan kohesi sosial atau
menimbulkan kerusakan suatu sistem hubungan sosial dalam masyarakat. Makna
positif, konflik dapat mempertahankan integrasi sosial, memperkokoh ikatan sosial,
memberi kontribusi untuk mengembalikan keseimbangan hubungan sosial antar
individu atau kelompok. Makna positif akan terwujud jika pihak-pihak yang terlibat
konflik secara bersama-sama dapat mengelola, mengendalikan, dan menyelesaikan
konflik yang dihadapi secara dewasa, bijak, damai, dengan atau tanpa mengundang
kehadiran pihak ketiga (Gluckman, 1956).
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam masyarakat
bersumber dari persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam (natural resources
control and distribution)
2. Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelomok masyarakat (terittoriality
expantion)
3. Kegiatan ekonomi masyarakat (economic activities); dan
4. Kepadatan penduduk (density of population).
Dalam persepktif AH, konflik yang terjadi dalam masyarakat paling tidak dapat
dikategorisasi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Konflik kepentingan (conflict of interests)
2. Konflik nilai-nilai (conflict of values)
3. Konflik norma (conflict of norms).
Nader dan Todd (1978) menyatakan bahwa pada dasarnya konflik-konflik
yang terjadi di masyarakat melalui tahapan-tahapan konflik sebagai berikut :
1. Pra konflik, adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang, bersifat
monadik
2. Konflik, adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui adanya
perasaan tidak puas tersebut, bersifat diadik.
3. Sengketa, adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum
atau melibatkan pihak ketiga, bersifat triadik atau publik.
Sedangkan model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam
masyarakat sederhana maupun modern adalah sebagai berikut :
1. Membiarkan saja (lumping it), salah satu pihak tidak menanggapi keluhan,
gugatan, tuntutan pihak lain atau mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak
lain
2. Menghindar (avoidance), salah satu pihak menghindari konflik karena tidak
berdaya atau untuk menjaga hubungan dengan pihak lain.
3. Kekerasan (coersion), penyelesaian dengan mengandalkan kekuatan fisik dan
kekerasan, seperti melakukan tindakan hukum sendiri (self-helf atau
eigenrichting) atau bentuk perang antar suku (warfare)
4. Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik
5. Mediasi, melalui kesepakatan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga
(mediator dalam penyelesaian konflik, walau hanya berfungsi sebatas perantara
(go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan
tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik
6. Arbitrase, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut
arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan dan keputusan tersebut harus
ditaati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik
7. Ajudikasi, melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak.
Sistem nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi
pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian konflik dalam masyarakat.
Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam masyarakat paling tidak ada 2
macam , yaitu:
1. Institusi tradisional (folk institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang
masih sederhana dan subsisten, di mana relasi antar individu, hubungan
kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka maksud penyelesaian sengketa
adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat.
2. Institusi negara (state institutions), biasanya dipilih oleh masyarakat yang sudah
kompleks dan modern, di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik,
berorientasi pada ekonomi pasar, maka maksud penyelesaian sengketa dengan
mengacu pada hukum negara yang legalistik.
Daniel S.Lev, Indonesianis dari Amerika Serikat (1972) pernah melakukan
penelitian mengenai budaya hukum penyelesaian sengketa masyarakat pedesaan di
Jawa dan Bali menyimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam kehidupan sosial sebagai besar masyarakat Indonesia cenderung untuk
menghindari konflik dengan siapapun, karena nilai-nilai pergaulan sosial yang
dianut lebih bersifat personal, komunal, mengutamakan solidaritas, dan
bernuansa magis. Oleh karena itu jika terjadi konflik, cenderung diselesaikan
melalui prosedur kompromi, konsiliasi, mengutamakan pendekatan personal dan
kekerabatan.
2. Konflik antar individu sedapat mungkin dihindari, dan kalaupun harus terjadi
cenderung ditutupi dengan gaya yang halus, tidak merusak hubungan/pergaulan
sosial, tidak menjatuhkan martabat/derajat pihak yang diajak konflik
3. Fokus penyelesaian konflik bukan pada penerapan peraturan hukum, tetapi lebih
pada upaya pelenyapan konflik yang menjadi sumber ketegangan sosial.
4. Makna penyelesaian konflik bukan pada persoalan kalah-menang (win-lose
solution), tetapi menjadi kewajiban para pihak untuk menghentikan perselisihan
dan meniadakan ketegangan sosial yang telah terjadi. Oleh karen itu yang
diutamakan bukan penyelesaian substansi konflik tetapi lebih pada prosedur
penyelesaian konflik.
5. Para pihak yang berkonflik lebih melihat pihak ketiga (petugas hukum) dari pada
peraturan-peraturan hukum yang mengatur penyelesaian sengketanya. Oleh
karena itu petugas hukum ditaati masyarakat bukan karena alasan yang
berkaitan dengan masalah kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Pada Fase Pluralisme Hukum Penyelesaian Sengketa dan Non Sengketa,
tema kajian pluralisme hukum pada awalnya difokuskan pada fenomena
kemajemukan cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat melalui mekanisme
dan institusi tradisional yang dikenali masyarakat setempat (folk institution of dispute
settlement). Kemudian tema-tema studi pluralisme model penyelesaian sengketa
mulai diarahkan untuk memahami mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa
selain menurut hukum yang diberlakukan pemerintah kolonial di negeri jajahannya,
juga menurut hukum positif yang berlaku di negara-negara merdeka
Kemudian sejak tahun 1970-an tema studi AH secara sistematis difokuskan
pada korelasi antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional dalam
masyarakat menurut hukum rakyat (folk law) dan menurut institusi penyelesaian
sengketa menurut hukum negara (state law). Karya-karya Nader dan Todd, van
Rouveroy van Nieuwaal, serta suami-istri Franz dan Keebet von Benda Beckmann
mewakili masa itu. Nader dan Todd (1978) sebagai hasil riset dari Berkeley Village
Law Project, memfokuskan kajiannya pada proses-proses, mekanisme-mekanisme,
institusi-institusi penyelesaian sengketa yang dikenali dalam komunitas-komunitas
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern di sepuluh negara di dunia.
Kemudian Nieuwaal melakukan riset tentang mekanisme penyelesaian sengketa
dalam kehidupan orang Togo di Afrika. Selanjutnya Franz von Benda Beckmann
(1979) dan Keebet von Benda Beckmann (1984) memberi pemahaman tentang
proses,mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa mengenai harta warisan di
kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan pengadilan negeri di
Sumatera Barat. Karya Sally Falk Moore (1978) mulai meninggalkan tema pluralisme
hukum penyelesaian sengketa berganti tema pluralisme hukum di luar penyelesaian
sengketa, dengan penelitiannya tentang persoalan agraria pada suku Chagga di
Tanzania (Afrika), mekanisme dalam proses produksi di satu pabrik garment terkenal
di Amerika Serikat. Selain itu pada tahun 1970-an kajian AH menggunakan
pendekatan sejarah untuk menjelaskan keberadaan, relasi dan interaksi institusi
hukum negara dengan hukum rakyat dalam penyelesaian sengketa, seperti yang
dilakukan Keebet von Benda Beckmann dalam karyanya yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari dan
Pengadilan Negeri di Minangkabau (2000).
Berikutnya kajian pluralisme hukum dalam berbagai hal mengemuka sejak
1970-an. Pluralisme hukum menurut Griffiths (1986:1) didefinisikan sebagai situasi
dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu
bidang kehidupan sosial yang sama. Sedangkan Hooker (1975:3) menjelaskan
pluralisme hukum sebagai situasi dimana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi
dalam satu kehidupan sosial. Sementara itu Franz von Benda Beckmann
mengartikan pluralisme hukum sebagai suatu kondisi dimana lebih dari satu sistem
hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan
hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat.
Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum
dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi
sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki
pemberlakuan hukum negara sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga
masyarakat, dengan mengabaikan eksistensi sistem-sistem hukum yang lain, seperti
hukum agama, hukum kebiasaan, dan semua bentuk mekanisme-mekanisme
pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Jadi ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan
budaya dalam masyarakat. Oleh karena itu pemberlakuan sentralisme hukum dalam
suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya
merupakan sebuah kemustahilan.
Menurut Griffiths, pluralisme hukum pada dasarnya dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pluralisme hukum yang kuat dan pluralisme hukum yang lemah.
Pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism) mengacu pada fakta adanya
kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang
sama kedudukannya, sehingga tidak ada hirarki yang menunjukkan hukum yang satu
lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Sedangkan pluralisme hukum yang
lemah, merupakan bentuk lain daripada sentralisme hukum, karena walaupun hukum
negara mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap
dipandang sebagai superior, sementara sistem hukum yang lain bersifat inferior.
Contoh konsep pluralisme hukum yang lemah, adalah interaksi sistem hukum
pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat dan hukum agama yang
berlangsung di negara-negara jajahan.
Setelah munculnya teori Semi Autonomous Social Field dari Sally Falk Moore
(1978), maka Griifths mengadopsi teori Moore, sehingga hukum yang dimaksud
dalam konsep pluralisme menjadi tidakt terbatas pada sistem hukum negara, hukum
kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem
normatif yang berupa mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation).
Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada
interaksi dan ko-eksitensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya
norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat.
Pada tahun 1970-an tema studi-studi AH cenderung lebih diarahkan untuk
memberi pemahaman mengenai fungsi dan peran hukum dalam fenomena
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditunjukkan karya
bersama Joop Spiertz dan Melanie G.Wiber (eds) yang bertajuk The Role of Law in
Natural Resources Management (1996). Kecenderungan lainnya, pada April 2002
The Commission on Folk Law and Legal Pluralism menyelenggarakan the XIII-th
International Congress and Symposium di Chiang Mai, Thailand dengan tajuk Legal
Pluralism and Unofficial Law in Social, Economic and Political Development.
Selanjutnya perkembangan terakhir pada bulan Juni 2006 lalu di Universitas
Indonesia, Jakarta The Commisionon Folk Law dan Legal Pluralism kembali
menyelenggarakan Kongres dan Simposium Internasional dengan tema Law, Power
and Culture: Transnational, National and Local Process in the Contex of Legal
Pluralism. Pada Kongres ini selain berfokus pada kemajemukan pengelolaan dan
hak penguasaan masyarakat adat atas sumber daya alam, juga dibahas topik kajian
hukum ber-perspektif jender, agama dan kemajemukan hukum, regulasi hak asasi
manusia, perlindungan HKI, masalah jaminan sosial, KDRT, trafficking (perdagangan
manusia), hak atas kesehatan reproduksi, sampai aspek penanggulangan bencana
alam.